89
ISBN 979-95999-6-2 PUSAT PENGKAJIAN DAN PENERAPAN TEKNOLOGI KONVERSI DAN KONSERVASI ENERGI BADAN PENGKAJIAN DAN PENERAPAN TEKNOLOGI E E Ed d d i i i t t t o o o r r r : : : D D r r . . H Ha ar r i i S Su uh h a ar r y y o o n no o D D r r . . A Ag g u us s N N u ur r r r o o h hi i m m

Prospek Pengembangan Biofuel BPPT

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Prospek Pengembangan Biofuel BPPT

ISBN 979-95999-6-2

PUSAT PENGKAJIAN DAN PENERAPAN TEKNOLOGI KONVERSI DAN KONSERVASI ENERGI

BADAN PENGKAJIAN DAN PENERAPAN TEKNOLOGI

EEEdddiiitttooorrr::: DDDrrr... HHHaaarrriii SSSuuuhhhaaarrryyyooonnnooo DDDrrr... AAAggguuusss NNNuuurrrrrrooohhhiiimmm

Page 2: Prospek Pengembangan Biofuel BPPT

Perpustakaan Nasional: Katalog dalam terbitan

PUSAT PENGKAJIAN DAN PENERAPAN TEKNOLOGI KONVERSI DAN KONSERVASI ENERGI

BADAN PENGKAJIAN DAN PENERAPAN TEKNOLOGI

EEEdddiiitttooorrr::: DDDrrr... HHHaaarrriii SSSuuuhhhaaarrryyyooonnnooo DDDrrr... AAAggguuusss NNNuuurrrrrrooohhhiiimmm

Page 3: Prospek Pengembangan Biofuel BPPT

Perpustakaan Nasional: Katalog dalam terbitan Prospek Pengembangan Biofuel Sebagai Sunstitusi Bahan Bakar Minyak (BBM) di Indonesia Editor, Dr. Hari Suharyono, at al 100 + iii Hlm, 29 cm

ISBN 979-95999-6-2 PROSPEK PENGEMBANGAN BIO-FUEL SEBAGAI SUBSITUSI BAHAN BAKU MINYAK (BBM) DI INDONESIA © Alright Reserves Editor: Dr. Hari Suharyono Dr. Agus Nurrohim Dilarang mengutip, menyimpan sebagian atau seluruh isi buku ini dalam bentuk apapun tanpa ijin sah dari penerbit. Diterbitkan oleh: Pusat Pengkajian Dan Penerapan Teknologi Konversi Dan Konservasi Energi, BPPT Jl. M.H. Thamrin No. 8, Jakarta 10340 Telp. +62 (21) 316 9754 Fax. +62 (21) 316 9765 Disain Sampul : Supriyadi Dicetak oleh CV. Nuansa Cipta Warna, Jakarta Isi diluar tanggung jawab percetakan.

Page 4: Prospek Pengembangan Biofuel BPPT

i

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Warohmatullahi Wabarokatuh

Indonesia mempunyai potensi energi yang cukup besar, meliputi dari energi fosil, yang terdiri dari minyak bumi, gas bumi dan batubara, serta energi terbarukan,antara lain, panas bumi, hidro, biomasa, surya,angin dan lain-lain. Sejalan dengan laju pembangunan, penggunaan minyak bumi terus meningkat, tetapi potensi sumber-dayanya sangat terbatas, sehingga saat ini Indonesia telah menjadi "Net Importer Country". Batubara dan gas bumi mempunyai potensi yang cukup besar, tetapi pengembangannya untuk memenuhi penyediaan bahan bakar listrik dan industri di pulau Jawa akan memerlukan penyediaan dan pengembangan infrastruktur, seperti pipa transmisi gas maupun pelabuhan penerima batubara. Kebutuhan bahan bakar minyak dimasa mendatang diperkirakan masih akan dominan dalam memenuhi kebutuhan energi sektor transportasi, rumah tangga dan industri serta untuk pembangkitan listrik di luar Jawa. Untuk itu Pemerintah mencanangkan kebijakan pengurangan pemakaian BBM di dalam negeri, melalui program konservasi dan diversifikasi (penganeka ragaman) energi. Pemanfaatan bio-fuel sebagai salah satu alternatif energi dalam substitusi BBM, diharapkan dapat menciptakan pembangunan nasional yang berwawasan lingkungan, mengurangi ketergantungan pada bahan bakar minyak serta membuka lapangan kerja di daerah dan meningkatkan pertumbuhan industri nasional di Indonesia. Untuk memperoleh gambaran prospek pengembangan bio-fuel di Indonesia, Tim Perencanaan Energi, Pusat Pengkajian dan Penerapan Teknologi Konversi dan Konservasi Energi (P3TKKE), Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, melakukan penelitian pengembangan penyediaan bio-fuel jangka panjang di Indonesia untuk memenuhi kebutuhan di sektor transportasi, industri, rumah-tangga maupun pembangkit tenaga listrik Hasil dari penelitian tersebut diterbitkan dalam bentuk buku oleh Pusat Pengkajian dan Penerapan Teknologi Konversi dan Konservasi Energi dengan judul “Prospek Pengembangan Bio-Fuel Sebagai Substitusi Bahan Bakar Minyak (BBM) di Indonesia”. Buku ilmiah ini terdiri dari beberapa bagian buku yang saling terkait, untuk memudahkan pihak-pihak yang memerlukan informasi. Selain itu tujuan dari publikasi ilmiah ini adalah untuk menampung, mengkomunikasikan, dan menyebarluaskan hasil penelitian ke berbagai lembaga penelitian, perguruan tinggi, dan masyarakat energi, pengusaha maupun investor, dengan harapan dapat digunakan sebagai sumber informasi maupun acuan bagi semua pihak yang berkepentingan.

Page 5: Prospek Pengembangan Biofuel BPPT

ii

Dengan segala keterbatasan yang ada, kami menyadari bahwa buku yang kami susun ini belum sempurna dan untuk itu kami sangat mengharapkan tanggapan serta masukan dari berbagai pihak berupa kritik, saran maupun informasi yang akan dapat kami pergunakan untuk perbaikan agar diperoleh hasil yang lebih baik. Pada kesempatan ini pula kami ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu hingga buku ilmiah ini dapat diterbitkan.

Wasallammuallaikum warrohmatullahi wabarrohkatuh.

Jakarta, 17 April 2006

Pusat Pengkajian dan Penerapan Teknologi Konversi dan Konservasi Energi-BPPT Direktur,

Dr. Arya Rezavidi

Page 6: Prospek Pengembangan Biofuel BPPT

iii

DAFTAR ISI

Kata Pengantar

…………………………………………………… i

Daftar Isi

…………………………………………………… iii

ISI BUKU:

1. Prospek dan Tantangan Pemanfaatan Bio-Fuel Sebagai Sumber Energi Alternatif Pengganti Minyak di Indonesia Endang Suarna

.............................. 1

2. Teknologi Proses Produksi Bio-Diesel Martini Rahayu

..............................

17

3. Peluang Pemanfaatan Bio-diesel dari Kelapa Sawit Sebagai Bahan Bakar Alternatif Pengganti Minyak Solar Agus Sugiyono

.............................. 27

4. Pengaruh Kenaikan Harga Minyak Mentah Terhadap Potensi Pemanfaatan Bio-DieselJoko Santosa

.............................. 39

5. Teknologi Proses Pencampuran Bio-Diesel Dan Minyak Solar Di Indonesia M. Sidik Boedoyo

.............................. 49

6. Pemanfaatan Bio-Ethanol Sebagai Bahan Bakar Kendaraan Berbahan Bakar Premium La Ode Muh. Abdul Wahid

.............................. 61

7. Teknologi Proses Produksi Bio-Ethanol Indyah Nurdyastuti

.............................. 73

Page 7: Prospek Pengembangan Biofuel BPPT

Prospek Pengembangan Bio-fuel sebagai Substitusi Bahan Bakar Minyak

1

PROSPEK DAN TANTANGAN PEMANFAATAN BIOFUEL SEBAGAI SUMBER ENERGI ALTERNATIF

PENGGANTI MINYAK DI INDONESIA

Endang Suarna

ABSTRACT

As oil consumption continues to increase, while the availability of oil supply remains limited, an oil shortage is a real possibility in Indonesia. As a result Indonesia needs to import both crude oil for refinery feedstock and oil products to meet the energy demand. Meanwhile, Indonesia has a great potential of biomass or renewable sources to be utilized as biofuels both Bio-diesel and Bio-ethanol (ethanol). Therefore, energy diversification by introducing the biofuel to substitute oil is needed to reduce the oil consumption especially in the transportation sector. As consequence, land areas are required to grow palm oil for supplying Bio-diesel’s feedstock, and to grow cassava for supplying Bio-ethanol’s feedstock. Examining the potential and challenge of the biofuel utilization for oil substitution is the purpose of this paper.

1. PENDAHULUAN

Semakin meningkatnya kebutuhan minyak, sedangkan penyediaan minyak semakin terbatas, sehingga untuk memenuhi kebutuhan minyak dalam negeri Indonesia harus mengimpor minyak baik dalam bentuk minyak mentah maupun dalam bentuk produk kilang atau bahan bakar minyak (BBM) seperti minyak solar atau ADO (Automotive Diesel Oil), premium atau bensin, minyak bakar atau FO (Fuel Oil), dan minyak tanah. Semakin meningkatnya import minyak dan semakin meningkatnya harga minyak dunia diperkirakan akan semakin berat beban dan biaya yang harus ditanggung pemerintah Indonesia dalam pengadaan minyak dalam negeri. Oleh karena itu perlu dipertimbangkan penggunaan sumber energi lain selain minyak, untuk mengurangi tekanan besarnya konsumsi minyak.

Biofuel yang terdiri atas Bio-diesel dan Bio-ethanol (ethanol) merupakan pilihan untuk dipergunakan sebagai sumber energi pengganti minyak. Biofuel tersebut dapat dibuat dari sumber hayati atau biomasa, seperti kelapa sawit, jarak pagar, dan kedelai untuk bahan baku Bio-diesel; serta ubi kayu (singkong), ubi jalar, dan jagung untuk bahan baku ethanol. Semua bahan baku biofuel tersebut merupakan tanaman yang sudah dikenal dan dapat tumbuh dengan baik di Indonesia. Namun berdasarkan ketersediaan dan efisiensi penggunaan lahan, diperkirakan kelapa sawit dan ubi kayu dapat merupakan sumber bahan baku biofuel yang paling potensial di Indonesia. Saat ini, tanaman-tanaman tersebut lebih banyak diperuntukkan untuk keperluan bukan energi, sehingga pengembangan tanaman-tanaman tersebut untuk bahan baku biofuel merupakan suatu tantangan dan diperkirakan akan memerlukan pengembangan lahan dan penelitian lebih lanjut.

Biofuel dalam bentuk Bio-diesel sebagai pengganti atau campuran minyak solar (ADO), maupun dalam bentuk Bio-ethanol (ethanol) sebagai pengganti atau campuran bensin atau premium dapat dipergunakan sebagai bahan bakar kendaraan bermotor tanpa merubah mesin. Kedua sumber

Page 8: Prospek Pengembangan Biofuel BPPT

Prospek Pengembangan Bio-fuel sebagai Substitusi Bahan Bakar Minyak

2

energi terbarukan tersebut sudah pernah dipergunakan sebagai bahan bakar mesin kendaraan bermotor sejak tahun 1880-an, tapi sejak ditemukannya minyak yang berasal dari fosil yang harganya lebih murah, biofuel secara ekonomis tidak dapat bersaing dan berkembang. Oleh karena itu, semakin terbatasnya penyediaan minyak dan semakin tingginya harga minyak, diperkirakan akan mendorong pemanfaatan biofuel sebagai sumber energi alternatif pengganti minyak.

Pemanfaatan biofuels, selain dipergunakan untuk mengurangi ketergantungan terhadap minyak (diversifikasi energi), juga mempunyai keuntungan lain terutama dari segi dampak lingkungan, karena biofuel merupakan bahan bakar yang rendah emisi bahan pencemar (polutan), biodegradable dan tidak beracun (Morgan, D., 2005;. Darnoko. et al., 2001). Penggunaan biofuel juga mampu mengurangi emisi gas rumah kaca sampai 90 persen (Theil, S. 2005). Keuntungan lain dari pemanfaatan energi terbarukan yang bersumber dari biomasa tersebut adalah dapat mendorong penciptaan lapangan kerja di pedesaan, sebagai contoh produksi ethanol di Brazil diperkirakan telah menciptakan sekitar 700000 lapangan pekerjaan, termasuk untuk pekerjaan yang tidak memerlukan skill (Macedo, IC, 2004).

Prospek pemanfaatan biofuel, baik dalam bentuk Bio-diesel sebagai bahan bakar pengganti ataupun campuran minyak solar atau Automobile Diesel Oil (ADO), maupun dalam bentuk Bio-ethanol sebagai bahan bakar pengganti ataupun campuran bensin atau premium pada sektor transportasi ditentukan berdasarkan hasil Model MARKAL (Market Allocation), yaitu suatu model optimasi penggunaan energi berdasarkan biaya terendah. Sumber energi terbarukan biofuels diperkirakan akan menarik secara ekonomi pada harga minyak mentah tinggi, yaitu 60 $/barrel. Sebagai tantangan adanya kebutuhan biofuel pada harga minyak mentah tinggi tersebut, antisipasi penyiapan lahan untuk media tumbuh bahan baku biofuel seperti kelapa sawit untuk bahan baku Bio-diesel, dan ubi kayu untuk bahan baku ethanol perlu dilakukan, sehingga pemanfaatan biomasa sebagai sumber energi alternatif pengganti minyak dapat lebih optimal, efisien, dan berdaya guna. 2. SEJARAH PEMANFAATAN BIOFUELS.

Pemanfaatan Bio-diesel dan ethanol yang dibuat dari bahan baku sumber hayati atau biomasa untuk bahan bakar kendaraan bermotor sebenarnya secara teknis sudah pernah dilakukan sejak lama, namun sejak ditemukannya minyak bumi atau petroleum yang lebih murah, pengembangan pemanfaatan kedua sumber energi terbarukan tersebut terhambat. Dalam sejarah perkembangan biofuels tersebut dapat diuraikan sebagai berikut. 2.1. Bio-diesel. Pembuatan Bio-diesel melalui transesterification dari minyak sayur telah dilakukan sejak awal tahun 1853 oleh E. Duffy dan J. Patrick, beberapa tahun sebelum mesin diesel pertama berfungsi. Sampai kira-kira 40 tahun kemudian, yaitu 10 Agustus 1893, Rudolf Diesel meluncurkan model mesin pertamanya di Augsburg, Jerman, sehingga pada 10 Agustus tersebut dideklarasikan sebagai Hari Bio-diesel Internasional. Diesel kemudian mendemonstrasikan mesinnya pada World Fair di Paris, Perancis 1898. Mesin tersebut sendiri adalah sebagai contoh visi Diesel, karena digerakan dengan bahan bakar minyak kacang atau biofuel, jadi tidak bisa dikatakan sebagai

Page 9: Prospek Pengembangan Biofuel BPPT

Prospek Pengembangan Bio-fuel sebagai Substitusi Bahan Bakar Minyak

3

Bio-diesel, karena tidak melalui proses transesterification (Columbia University, 2004).

Dalam tahun 1920-an, pabrik mesin diesel mengubah mesinnya untuk memanfaatkan bahan bakar fosil (petrodiesel) yang viscositasnya lebih rendah daripada minyak sayur. Industri-industri perminyakan mampu menciptakan pasar bagi minyak (petroleum), sebab produksi bahan bakar minyak tersebut lebih murah daripada bahan bakar alternatif biomasa. Sebagai akibatnya dalam beberapa tahun, infrastruktur produksi bahan bakar biomasa tersebut secara perlahan-lahan hilang. Akhir-akhir ini, kepedulian terhadap lingkungan dan semakin kecilnya perbedaan biaya membuat bahan bakar biomassa seperti Bio-diesel terdorong menjadi bahan bakar alternatif. Pada tahun 1990an, Prancis meluncurkan produksi bahan bakar Bio-diesel yang diperoleh melalui proses transesterification dari rapeseed oil. Bahan bakar tersebut dicampur dengan proporsi 5 persen Bio-diesel dari minyak solar (petrodiesel) serta 30 persen Bio-diesel dari minyak solar pada sektor transportasi. Renault, Peugeot dan pabrik-pabrik lain sudah mensertifikasi mesin truk untuk menggunakan proporsi Bio-diesel tersebut. Sementara itu, percobaan campuran Bio-diesel sampai 50 persen masih sedang dilakukan (Columbia University, 2004). 2.2. Ethanol.

Penggunaan ethanol untuk bahan bakar kendaraan sebenarnya sudah dimulai sejak tahun 1880, pada tahun tersebut Henry Ford telah merancang sebuah sebuah mobil dengan bahan bakar hanya ethanol (tanpa dicampur). Ford memproduksi secara masal mobil Model T yang dapat dioperasikan dengan ethanol maupun bensin atau premium (Ethanol Info, 9/6/2004 http://www.renewableenergypartners.org/ethanol.html). Sampai tahun 1970-an ketika terjadi krisis minyak, Brazilia menkampanyekan untuk tidak mengimport minyak yang mahal. Pemerintah Brazil membantu dengan mensubsidi rancang bangun dan manufaktur mobil berbahan bakar hanya alkohol. Mereka juga mendukung sebuah industri besar untuk mengolah tebu (tetes tebu) menjadi alkohol yang kemudian membangun jaringan distribusi alkohol untuk bahan bakar kendaraan ke seluruh Brazil, dalam menjaga memenuhi kebutuhan ethanol, perusahaan-perusahaan lokal dan multinasional akan menginvestasikan sekitar 6 milyar US dollar dalam perkebunan dan destilasi ethanol dalam 5 tahun yang akan datang (Theil, S, 2004). Bahkan Brazil sekarang menjadi produsen ethanol terbesar di dunia dengan sekitar 400 unit buah pabrik ethanol (Macedo, I..C, 2004), pada tahun 2000 saja diperkirakan dapat menghasilkan ethanol sekitar 4 milyar galon atau 16 milyar liter setiap tahun (Santos, A.S et al, 2000). Pada tahun 1980-an jutaan orang Brazil beralih ke mobil alkohol. Namun pada tahun 1989 terjadi kelangkaan alkohol, sehingga para pemilik kendaraan alkohol tidak dapat mengisi bahan bakar dan kendaraan alkoholnya lagi. Jatuhnya harga minyak mentah (crude oil) dunia pada tahun 1990-an berakibat pada semakin turunnya penggunaan mobil berbahan alkohol tersebut di Brazil. Namun penjualan mobil alkohol tersebut terdongkrak kembali setelah FFV atau flexible-fuel car (mobil yang bisa berjalan dengan bahan bakar bensin maupun ethanol dengan sembarang kombinasi) penjualannya meningkat sampai 50.000 unit sampai akhir tahun 2003. Bahkan dalam kurun waktu enam bulan kemudian, yaitu dari Januari sampai dengan Juni 2004, sekitar tambahan 150000 unit flex-fuel car telah terjual di

Page 10: Prospek Pengembangan Biofuel BPPT

Prospek Pengembangan Bio-fuel sebagai Substitusi Bahan Bakar Minyak

4

Brazil (Associated Press, 2004). Brazil merupakan negara pengguna mobil berbahan bakar ethanol terbesar, sekitar 15 persen dari mobil Brazil dioperasikan dengan 100 persen ethanol (E100), sedangkan sisanya menggunakan bahan bakar campuran ethanol 20 persen dan bensin 80 persen atau E20 (Ethanol Info, 9/6/2004). Sekarang ini, banyak pabrik mobil sudah mengembangkan mobil yang dapat berjalan dengan kandungan ethanol lebih tinggi, yaitu E85 (ethanol 85 persen dan bensin 15 persen) atau mobil FFV. Ford, GM, Chrysler, Mazda, Isuzu, dan Mercedes sudah menyelsaikan sekitar 20 model kendaraan dari mobil dan truk yang menggunakan campuran bensin dengan ethanol sampai 85 persen tanpa modefikasi. Amerika Serikat sekarang sedang mempromosikan bahan bakar ethanol 85 persen dengan bensin 15 persen. Sekitar tiga juta kendaraan dual fuels atau FFV sudah ada di jalan dan sekitar 240 buah Stasiun Pengisian Bahan Bakar (SPBB) di Amerika Serikat menawarkan E85, dan setiap bulan jumlah SPBB yang menawarkan E85 di negara tersebut bertambah terus (Ethanol Info, 9/6/2004). 3. POTENSI BAHAN BAKU BIOFUELS.

Biofuels yang terdiri atas Bio-diesel dan Bio-ethanol meskipun memerlukan bahan baku yang sama, yaitu sumber hayati atau tanaman, tetapi mempunyai penggunaan yang berbeda. Bio-diesel dipergunakan sebagai bahan bakar pada kendaraan bermesin diesel atau minyak solar, sedangkan Bio-ethanol dipergunakan sebagai bahan bakar pada kendaraan bermesin premium atau bensin. Sumber hayati sebagai bahan baku untuk biofuels di Indonesia dapat diuraikan sebagai berikut. 3.1. Bahan Baku Bio-diesel.

Bahan baku Bio-diesel seperti jarak pagar, kedelai, dan kelapa sawit adalah merupakan tanaman-tanaman yang terdapat di Indonesia, namun tidak semua tanaman-tanaman tersebut sudah dibudidayakan secara luas. Tanaman-tanaman kedelai dan kelapa sawit merupakan tanaman sudah dibudayakan secara luas hampir di seluruh Indonesia, sehingga untuk memenuhi kebutuhan bahan baku Bio-diesel yang mendesak, kedua jenis tanaman tersebut perlu mendapat perhatian yang utama. Sementara itu, jarak pagar (Jatropha curcas) meskipun sudah dikenal, namun budidaya tanaman tersebut masih terbatas, sehingga pemanfaatan jarak pagar sebagai bahan baku Bio-diesel masih memerlukan sosialisasi. Selain itu, pemanfaatan jarak pagar sebagai bahan baku Bio-diesel masih terdapat kendala dengan keasaman, sehingga pemanfaatan Bio-diesel berbahan baku jarak pagar masih perlu penelitian lebih lanjut (Sudradjat, 2006). Luas lahan bahan baku dan potensi produksi Bio-diesel dari kelapa sawit dan kedelai menurut wilayah di Indonesia dapat dilihat pada Tabel 1.

Berdasarkan luas lahan maupun potensi produksi Bio-diesel, kelapa sawit mempunyai potensi lebih besar daripada kedelai untuk dipergunakan sebagai bahan baku Bio-diesel. Luas lahan kelapa sawit di Indonesia mencapai lebih dari tiga kali lipat luas lahan kedelai, sedangkan potensi produksi Bio-diesel dari kelapa sawit juga lebih besar daripada potensi produksi Bio-diesel dari kedelai, yaitu lebih dari empat kali. Pemilihan kelapa sawit sebagai bahan baku Bio-diesel diperkirakan akan lebih efisien dari segi pengangkutan bahan

Page 11: Prospek Pengembangan Biofuel BPPT

Prospek Pengembangan Bio-fuel sebagai Substitusi Bahan Bakar Minyak

5

baku, karena pengusahaan kelapa sawit yang terpusat pada lahan yang luas, sedangkan lahan perkebunan kedelai biasanya tersebar dalam jumlah banyak tetapi lebih sempit per petani pemiliknya. Terpusatnya lahan perkebunan kelapa sawit tersebut dapat berdampak terhadap efisiensi biaya, terutama dalam pengumpulan dan pengangkutan bahan baku ke lokasi pabrik Bio-diesel. Namun keekonomian dari penggunaan kedua bahan baku Bio-diesel tersebut masih perlu penelitian lebih lanjut.

Tabel 1. Luas Lahan Bahan Baku dan Potensi Produksi Bio-diesel menurut wilayah di Indonesia 2004.

Kedelai Kelapa Sawit

Wilayah Luas Biodisel Luas Biodisel

(Ha) (kl) (Ha) (kl)

Sumatra 67201 302404 3028000 18470800

Jawa 588234 2647052 19000 115900

Bali & Nusa Tenggara 123594 556171 0 0

Kalimantan 10988 49445 509000 3104900

Sulawesi 41761 187924 100000 610000

Maluku dan Papua 247832 1115245 38000 231800

Total Indonesia 1079609 4858242 3694000 22533400 Sumber: Statistik Perkebunan Kelapa Sawit 2004. Ditjen Bina Produksi Perkebunan. Buku Statistik Indonesia 2004. BPS. Catatan: Setiap hektar pertanaman kedelai dapat menghasilkan rata-rata 4,5 kl Bio-diesel. Setiap hektar perkebunan kelapa sawit dapatmenghasilkan rata-rata 6,1 kl Bio-diesel

3.2. Bahan Baku Ethanol.

Sumber bahan baku pembuatan ethanol atau Bio-ethanol di Indonesia terdiri atas tanaman-tanaman yang mengandung pati seperti jagung, ubi kayu (ketela pohon atau singkong), ubi jalar, sagu serta tetes tebu. Namun ubi kayu, ubi jalar, serta jagung diperkirakan merupakan sumber-sumber bahan baku ethanol yang potensial yang tersebar di seluruh Indonesia.. Luas dan potensi produksi dari tanaman-tanaman bahan baku ethanol tersebut dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Luas Lahan Bahan Baku dan Potensi Produksi Ethanol menurut

Wilayah di Indonesia 2004.

Ubi Kayu Ubi Jalar Jagung

Wilayah Luas Ethanol Luas Ethanol Luas Ethanol

(Ha) (KL) (Ha) (KL) (Ha) (KL)

Sumatera 350385 612581 36012 40279 710201 383367

Jawa 663585 1348506 61984 83780 1859891 1028148

Bali & Nusa Tenggara 103309 159922 23405 28259 322306 136787

Kalimantan 37392 68531 8957 8923 59196 18493

Sulawesi 59260 98782 17454 17844 382393 194256

Total Luar Jawa 23645 40302 39614 43155 12514 6249

Total Indonesia 1237575 2335209 187426 227770 3346501 1774984

Sumber: * Diolah berdasarkan data BPS, 2004 dan BBTP-BPPT, 2005. Catatan: Kebutuhan bahan baku jagung 5 kg/liter ethanol, ubi jalar 8 kg/liter ethanol, dan ubi kayu 6,5 kg/liter ethanol.

Page 12: Prospek Pengembangan Biofuel BPPT

Prospek Pengembangan Bio-fuel sebagai Substitusi Bahan Bakar Minyak

6

Berdasarkan kebutuhan bahan baku untuk memproduksi satu unit

volume ethanol, jagung mempunyai efisiensi pemanfaatan yang paling tinggi, yaitu hanya 5 kilogram jagung per liter ethanol, dibandingkan dengan ubi kayu dan ubi jalar yang masing-masing memerlukan 6,5 kilogram ubi kayu dan 8 kilogram ubi jalar. Berdasarkan asumsi bahwa semua produksi bahan baku tersebut dibuat ethanol, dan perkiraan luas tanaman bahan baku; ubi kayu mempunyai potensi produksi ethanol paling tinggi di antara ketiga bahan baku tersebut, yaitu lebih dari 2,3 juta kiloliter (KL). Potensi produksi ethanol dari ubi kayu tersebut adalah lebih dari 10 kali lipat potensi produksi ethanol dari ubi jalar, dan 1,32 kali lipat potensi produksi ethanol dari jagung. Ubi kayu tersebut juga merupakan tanaman yang mudah tumbuh dan tumbuh di seluruh Indonesia, sehingga sosialisasi budidaya penanaman ubi kayu diperkirakan tidak akan menjadi hambatan.. 4. PROSPEK PEMANFAATAN BIOFUEL DI INDONESIA

Biofuels yang terdiri atas Bio-diesel dan ethanol untuk bahan bakar pada sektor transportasi di Indonesia, prospeknya bukan saja ditentukan oleh berlimpahnya sumber bahan baku pembuatan bofuels, tetapi ditentukan pula oleh keekonomian kedua bahan bakar tersebut. Sementara itu, keekonomian dari biofuel bukan saja ditentukan oleh biaya produksi biofuel tersebut, tetapi juga ditentukan oleh harga minyak mentah dunia yang berpengaruh pada harga produknya seperti minyak solar (ADO) dan premium (gasoline). Secara sederhana, kelayakan ekonomi dari pemanfaatan biofuel bergantung pada selisih biaya pengadaan minyak dengan biofuel. Berdasarkan perkiraan Tim Perencanaan Energi BPPT (2005) yang memperkirakan kebutuhan energi jangka panjang dengan menggunakan model optimasi MARKAL (Market Allocation), prospek pemanfaatan Bio-diesel dan ethanol pada harga minyak mentah $40/barrel dan $60/barrel di Indonesia adalah sebagai berikut. 4.1. Harga Minyak Mentah $40/barrel ( Kasus Dasar).

Dalam kasus dasar, harga minyak mentah dunia diasumsikan $40/barrel, pada kasus ini hasil model memperkirakan kebutuhan energi pada sektor transportasi dari 2005 sampai 2025 sebagian besar masih tetap akan dipenuhi oleh sumber energi fosil yang meliputi minyak dan gas seperti diperlihatkan pada Tabel 3. Tabel 3. Perkiraan Kebutuhan Energi Pada Sektor Transportasi di Indonesia

2005-2025. (Berdasarkan Harga Minyak Mentah $40/Barrel)

Jenis B.Bakar 2015 2017 2019 2021 2023 2025

Minyak Solar 725.2 806.1 886.6 965.6 1046.8 1128.9 Premium 825.2 928.0 1030.0 1158.2 1301.9 1441.2

Avtur 123.5 143.8 165.0 190.0 219.6 250.6

Minyak Bakar 20.9 22.9 24.7 26.9 29.4 31.8

Gas Alam 45.8 49.8 53.7 53.4 54.9 56.3

Listrik 0.2 0.2 0.2 0.2 0.2 0.3 Total 1740.9 1950.7 2160.3 2394.2 2652.8 2909.2

Sumber: Tim Perencanaan Energi BPPT, Oktober 2005.

Page 13: Prospek Pengembangan Biofuel BPPT

Prospek Pengembangan Bio-fuel sebagai Substitusi Bahan Bakar Minyak

7

Pada tingkat harga minyak mentah (crude oil) $40/barrel, Bio-diesel

maupun Bio-ethanol diperkirakan tidak dapat bersaing secara ekonomi dengan sumber-sumber energi minyak pada sektor transportasi, sehingga hampir seluruh kebutuhan energi pada sektor transportasi masih tetap dipenuhi oleh sumber energi minyak seperti minyak solar atau ADO (Automotive Diesel Oil), premium atau bensin (gasoline), avtur, dan minyak bakar atau FO (Fuel Oil). Selain itu pada kasus ini, gas alam juga dalam bentuk CNG (Compressed Natural Gas) adalah sumber energi fosil yang relatif bersih dari bahan pencemar, diperkirakan dipergunakan sejak tahun 2005 sebagai bahan bakar untuk kendaraan umum bus. Sementara itu listrik dalam jumlah yang relatif lebih terbatas diperkirakan dipergunakan sebagai bahan bakar kereta api listrik (KRL).

Dalam periode waktu 20 tahun yang akan datang, yaitu dari 2005 sampai dengan 2025 total kebutuhan energi pada sektor transportasi diperkirakan akan meningkat dengan pertumbuhan rata-rata sekitar 5 persen per tahun. Minyak solar dan premium adalah sumber-sumber energi yang paling dominan pada sektor transportasi juga meningkat dengan pertumbuhan rata-rata, masing-masing 4,43 persen/tahun dan 5,15 persen/tahun. Kebutuhan gas alam pada kasus dasar ini diperkirakan akan meningkat dengan pertumbuhan rata-rata 11 persen per tahun, sehingga kebutuhan gas alam akan meningkat dengan pesat dari 3,49 PJ pada tahun 2005 menjadi 56,30 PJ pada tahun 2025.

Meningkatnya perkiraan kebutuhan gas alam tersebut diperkirakan disebabkan oleh meningkatnya keinginan terciptanya penggunaan energi yang berwawasan lingkungan, karena gas alam relatif lebih bersih daripada minyak dalam emisi bahan-bahan pencemar. Kebutuhan listrik untuk sektor transportasi diperkirakan selama periode 20 tahun dapat dikatakan konstan, karena pengembangan penggunaan listrik sebagai bahan bakar sektor transportasi bergantung pada pengembangan jaringan rel kereta listrik yang umumnya hanya terdapat di kota besar saja. Namun sumber-sumber energi yang dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan energi pada sektor transportasi tersebut diperkirakan akan lain pada harga minyak mentah yang lebih tinggi. 4.2. Harga Minyak Mentah $60/barrel (Kasus Harga Minyak Tinggi).

Sebagai hasil perkiraan Model MARKAL, kenaikan harga minyak mentah sampai mencapai $60/barrel diperkirakan akan berdampak pada terjadinya peningkatan daya saing sumber-sumber energi selain minyak (non minyak) seperti gas dan sumber energi terbarukan biofuels seperti Bio-diesel dan ethanol (Bio-ethanol) sebagai sumber energi pada sektor transportasi seperti diperlihatkan pada Tabel 4.

Meningkatnya harga minyak mentah yang berakibat pada meningkatnya harga produk kilang atau BBM (Bahan bakar Minyak) bukan saja mengakibatkan meningkatnya jumlah jenis-jenis sumber energi yang dipergunakan, tetapi mengakibatkan juga meningkatnya total kebutuhan energi, karena disebabkan oleh semakin meningkatnya daya saing sumber-sumber energi non minyak seperti Bio-diesel, Bio-ethanol, dan gas. Pengaruh kenaikan harga minyak mentah terhadap kebutuhan sumber-sumber energi terbarukan dapat diuraikan sebagai berikut.

Page 14: Prospek Pengembangan Biofuel BPPT

Prospek Pengembangan Bio-fuel sebagai Substitusi Bahan Bakar Minyak

8

Tabel 4. Perkiraan Kebutuhan Energi Pada Sektor Transportasi di

Indonesia 2005-2025. (Berdasarkan Harga Minyak Mentah $60/Barrel)

Jenis B.Bakar 2015 2017 2019 2021 2023 2025

Minyak Solar 583.53 611.93 635.70 668.14 497.95 489.18

Premium 594.70 569.20 555.45 540.12 610.09 680.07

Avtur 123.48 143.82 165.05 189.96 219.63 250.56

Minyak Bakar 20.91 22.86 24.74 26.87 29.41 31.86

Gas Alam 384.06 485.71 557.53 534.16 598.45 609.84

Listrik 0.21 0.21 0.21 0.24 0.24 0.27

Bio-diesel 0.00 9.95 30.01 46.39 226.68 281.28

Bio-ethanol 59.55 140.60 230.60 425.76 515.17 613.34

Total 1766.44 1984.28 2199.29 2431.64 2697.62 2956.40 Sumber: Tim Perencanaan Energi BPPT, Oktober 2005.

4.2.1. Perkiraan Kebutuhan Bio-diesel.

Pada kasus harga minyak tinggi ($60/barrel), Bio-diesel sebagai sumber energi alternatif pengganti atau campuran minyak solar (ADO) diperkirakan akan layak secara ekonomis untuk dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan energi pada sektor transportasi mulai tahun 2017 dengan jumlah kebutuhan sekitar 10 PJ yang setara dengan 0,25 juta ton atau sekitar 0,22 juta kiloliter Bio-diesel. Potensi pemanfaatan Bio-diesel sebagai bahan bakar alternatif pengganti ataupun campuran minyak solar dapat dijabarkan sebagai pangsa pemanfaatan Bio-diesel terhadap penggunaan minyak solar pada sektor transportasi. Peluang pemanfaatan Bio-diesel terhadap penggunaan minyak solar atau ADO (Automotive Diesel Oil) pada sektor transportasi dimulai dari tahun 2017 sampai 2025 meningkat terus dari 2 persen hingga mencapai 57 persen dari total penggunaan minyak solar pada sektor tersebut. Pangsa penggunaan Bio-diesel tersebut setara dengan 0,50 persen menjadi hampir 10 persen dari total kebutuhan energi pada sektor transportasi tahun 2017 sampai dengan 2025.

Berdasarkan perbedaan kondisi sosial, ekonomi, dan potensi wilayah dalam penyediaan bahan baku CPO dari kelapa sawit, setiap wilayah mempunyai kelayakan ekonomi yang berbeda dalam pemanfaatan Bio-diesel. Kalimantan diperkirakan merupakan wilayah pertama sebagai lokasi pemanfaatan Bio-diesel pada tahun 2017 tersebut, disusul oleh Papua atau Irian Jaya yang mulai menggunakan Bio-diesel pada tahun 2022 sekitar 14 PJ yang setara dengan 0,35 juta ton atau 0,31 juta kiloliter Bio-diesel. Pada tahun 2025, kebutuhan Bio-diesel di Indonesia diperkirakan akan mencapai total lebih 281 PJ yang setara dengan 7 juta ton atau 6 juta kiloliter Bio-diesel. Sebagian besar dari Bio-diesel di Indonesia pada tahun 2025 tersebut dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan Bio-diesel di Papua, yaitu lebih dari 163 PJ yang setara dengan 4,13 juta ton atau 3,59 juta kiloliter Bio-diesel, sedangkan sisanya untuk memenuhi kebutuhan Bio-diesel di Kalimantan. Besarnya kebutuhan Bio-diesel di Kalimantan dan Papua tersebut diperkirakan karena besarnya potensi pengembangan lahan sebagai media tumbuh bahan baku kelapa sawit di kedua wilayah tersebut.

Page 15: Prospek Pengembangan Biofuel BPPT

Prospek Pengembangan Bio-fuel sebagai Substitusi Bahan Bakar Minyak

9

4.2.2. Perkiraan Kebutuhan Bio-ethanol.

Kenaikan harga minyak mentah, selain akan meningkatkan keekonomian Bio-diesel juga meningkatkan keekonomian ethanol (Bio-ethanol) sebagai sumber bahan bakar alternatif untuk sektor transportasi. Bahkan Bio-ethanol diperkirakan akan layak secara ekonomi lebih awal lagi sebagai pengganti atau campuran premium atau gasolin, yaitu pada tahun 2013 dengan perkiraan kebutuhan sekitar 10 PJ yang meningkat menjadi 15,60 PJ pada tahun 2014, dan 59,55 PJ pada tahun 2015, serta sekitar 613 PJ pada tahun 2025. Jumlah kebutuhan ethanol pada tahun-tahun 2013, 2014, 2015, dan 2025 tersebut setara secara berturut-turut dengan 0,48 juta KL (kiloliter), 0,74 juta KL, 2,83 juta KL, dan 29,18 juta KL ethanol. Meningkatnya keekonomian ethanol pada tingkat harga minyak yang lebih tinggi tersebut, disebabkan oleh semakin kecilnya selisih antara biaya produksi ethanol dengan biaya produksi bahan bakar minyak.

Sementara itu potensi Bio-ethanol sebagai bahan bakar pengganti premium ditunjukkan dengan kenaikan pangsa kebutuhan Bio-ethanol terhadap kebutuhan premium pada sektor transportasi dalam waktu sekitar 20 tahun mendatang. Pada harga minyak mentah $60/barrel tersebut, ethanol (Bio-ethanol) diperkirakan mempunyai potensi yang sangat besar dalam menggantikan premium untuk memenuhi kebutuhan bahan bakar pada sektor transportasi. Oleh karena itu kebutuhan premium yang dapat dipenuhi oleh Bio-ethanol atau pangsa penggunaan ethanol terhadap penggunaan premium diperkirakan akan meningkat dari 1,65 persen pada tahun 2013, 2,52 persen pada tahun 2014, 10 persen pada tahun 2015 hingga mencapai 41,52 persen pada tahun 2019. Bahkan pada tahun 2020, potensi pemanfaatan Bio-ethanol terhadap premium tersebut atau pangsa Bio-ethanol tersebut mencapai lebih dari 71 persen, dan pada tahun 2025 mencapai sekitar 90 persen. 4.2.3. Perkiraan Kebutuhan Energi Non-Minyak Lainnya.

Pada kasus harga minyak mentah tinggi juga menunjukkan peningkatan penggunaan sumber energi fosil lainnya pada sektor transportasi, yaitu gas alam yang kebutuhannya meningkat beberapa kali lipat dibandingkan pemakaian gas alam pada tingkat harga minyak mentah $40/barrel, yaitu hampir tiga kali lipat pada tahun 2005, dan hampir 11 kali lipat pada tahun 2025. Demikian juga total kebutuhan energi pada sektor transportasi pada kasus harga minyak mentah tinggi ini juga lebih besar dibandingkan dengan total kebutuhan energi pada tahun yang sama pada kasus dasar (harga minyak mentah $40/barrel). Namun kebutuhan energi pada jenis-jenis energi produk minyak hasil kilang seperti kebutuhan minyak solar dan premium mengalami penurunan, karena masing-masing tergantikan oleh Bio-diesel dan Bio-ethanol. Dalam rangka merealisasikan pemanfaatan biofuels sebagai bahan bakar pada sektor transportasi, langkah-langkah antisipasi penyiapan bahan baku biofuels yang meliputi memperkirakan kebutuhan bahan baku dan kebutuhan lahan untuk produksi bahan baku perlu dipertimbangkan.

Page 16: Prospek Pengembangan Biofuel BPPT

Prospek Pengembangan Bio-fuel sebagai Substitusi Bahan Bakar Minyak

10

5. PERKIRAAN KEBUTUHAN LAHAN DAN KEBUTUHAN BAHAN BAKU BIOFUELS SEBAGAI SUMBER ENERGI PADA 2005 - 2025.

Sebagai tantangan adanya perkiraan kebutuhan biofuels yang terdiri atas Bio-diesel dan ethanol untuk bahan bakar pada periode tahun 2005 sampai 2025, lahan sebagai media tumbuh bahan baku tanaman kedua sumber energi terbarukan tersebut perlu dipersiapkan sejak awal. Meskipun Indonesia mempunyai beberapa jenis tanaman yang dapat dipergunakan sebagai bahan baku Bio-diesel seperti kelapa sawit, jarak pagar, dan kedelai, namun berdasarkan kesiapan penyediaannya kelapa sawit diperkirakan mempunyai potensi yang paling besar. Sementara itu, pemanfaatan tanaman-tanaman lainnya diperkirakan masih terdapat kendala-kendala teknis dan non teknis yang masih perlu dipertimbangkan lebih lanjut.

5.1. Lahan untuk Bahan Baku Bio-diesel.

Berdasarkan asumsi bahwa bahan baku Bio-diesel yang akan dimanfaatkan adalah CPO (Crude Palm Oil) dari kelapa sawit, sedangkan CPO yang ada tersedia diperuntukkan untuk non-energi seperti minyak goreng dan sabun, sehingga agar tidak mengganggu suplai CPO untuk non-energi, diperlukan lahan kelapa sawit yang produksi CPOnya diperuntukkan untuk bahan baku Bio-diesel. Alasan pemilihan bahan baku kelapa sawit untuk Bio-diesel didasarkan pada kesiapan penyediaan bahan baku tersebut, yaitu kelapa sawit merupakan komoditas pertanian yang sudah dikenal dan sudah dibudidayakan secara luas, sehingga tidak memerlukan waktu yang lama untuk sosialisasi penanaman kelapa sawit. Selain itu, penggunaan CPO kelapa sawit untuk bahan baku Bio-diesel tersebut secara tidak langsung dapat juga berdampak pada pembukaan pasar CPO yang sebelumnya hanya digunakan untuk bahan baku industri non energi saja seperti minyak goreng dan sabun, sehingga penggunaan CPO untuk bahan baku Bio-diesel diharapkan dapat merangsang petani atau investor dalam budidaya kelapa sawit. Perkiraan kebutuhan lahan untuk penanaman kelapa sawit yang produksinya untuk memenuhi kebutuhan Bio-diesel dari tahun 2017 sampai tahun 2025 dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Kebutuhan Lahan dan Produksi Kelapa Sawit untuk Memenuhi Kebutuhan Bio-diesel 2017 – 2025.

Unit 2017 2019 2021 2023 2025

Bio-diesel PJ 9.95 30.01 46.39 226.68 281.28

Ton 251580 758786 1172946 5731479 7112010

Kiloliter 218875 660144 1020463 4986387 6187449

Lahan K.Sawit (Ha) 143171 431814 667506 3261699 4047338

CPO (ton) 279183 842037 1301636 6360312 7892309 Catatan: 1 PJ= 25284 ton Bio-diesel; 1 ton = 0,87 kiloliter Bio-diesel Rata-rata produksi CPO di Indonesia = 1,95 ton/ha; Rata-rata kebutuhan lahan kelapa sawit di Indonesia = 14389 Ha/PJ.

Pada harga minyak mentah $60/barrel, Bio-diesel diperkirakan dapat

bersaing secara ekonomi dengan sumber energi minyak pada sektor transportasi, sehingga pada tahun 2017 kebutuhan Bio-diesel diperkirakan mencapai 9,95 PJ yang setara dengan 0,25 juta ton atau 0,22 juta kiloliter

Page 17: Prospek Pengembangan Biofuel BPPT

Prospek Pengembangan Bio-fuel sebagai Substitusi Bahan Bakar Minyak

11

yang meningkat terus berlipat ganda setiap tahun, hingga dalam delapan tahun kemudian, atau pada tahun 2025 mencapai lebih dari 28 kalinya atau 281,28 PJ yang setara dengan lebih dari 7 juta ton atau lebih 6 juta kiloliter Bio-diesel. Untuk memenuhi kebutuhan Bio-diesel pada periode waktu tersebut diperlukan bahan baku berbentuk CPO (Crude Palm Oil) dari kelapa sawit yang mencapai 0,28 juta ton pada tahun 2017 menjadi hampir 8 juta ton pada tahun 2025. Berdasarkan rata-rata produksi CPO di Indonesia, kebutuhan lahan untuk tanaman kelapa sawit penghasil CPO tersebut diperkirakan mencapai 0,14 juta hektar pada tahun 2017, dan lebih dari 4 juta hektar pada tahun 2025. Hasil produksi kelapa sawit dalam bentuk CPO pada suatu wilayah berbeda dengan produksi CPO di wilayah lainnya bergantung pada kondisi tanah dan iklim, serta pengelolaan tanaman di antara wilayah-wilayah tersebut.

Kebutuhan lahan untuk bahan baku Bio-diesel tersebut berbeda pada setiap wilayah bergantung pada rata-rata produksi CPO per hektar di wilayah-wilayah tersebut seperti yang diperlihatkan pada Tabel 6. Tabel 6. Rata-rata Produksi CPO per Hektar Lahan dan Kebutuhan Lahan Kelapa Sawit untuk Memproduksi setiap Unit Energi Menurut Wilayah. Wilayah Produksi CPO

(ton/Ha) Kebutuhan Lahan

(Ha/PJ) Sumatra Jawa Kalimantan Sulawesi Papua (Irian Jaya)

2,26 1,66 0,96 1,62 1,45

12453 16888 29319 17323 19438

Indonesia 1,95 14389 Sumber: Statistik Perkebunan, Kelapa Sawit 2000, 2001, 2002, 2003, dan 2004. Direktorat Jenderal Bina Produksi Perkebunan. Catatan: 1 PJ = 25284 ton Bio-diesel

Sumatra mempunyai hasil produksi CPO per hektar yang paling tinggi, sedangkan Kalimantan mempunyai hasil produksi per hektar yang paling rendah di antara wilayah-wilayah lainnya di Indonesia. Berdasarkan asumsi bahwa setiap ton bahan baku CPO dapat menghasilkan 0,9 ton Bio-diesel (Wirawan, S.S, 2004), wilayah yang mempunyai tingkat produksi CPO kelapa sawit per hektar yang paling rendah, untuk memperoleh jumlah Bio-diesel yang sama akan memerlukan lahan kelapa sawit yang paling besar atau luas. Sebagai contoh, untuk memperoleh produksi satu unit energi Bio-diesel yang sama, kebutuhan lahan untuk bahan baku di Kalimantan dua kali lipat lebih besar daripada di Sumatra dan satu setengah lebih besar daripada di Papua atau Irian Jaya.

5.2. Lahan untuk Bahan Baku Ethanol.

Bahan baku ethanol (Bio-ethanol) untuk bahan bakar pengganti atau campuran premium yang dipergunakan dalam perkiraan adalah singkong atau ubi kayu. Namun untuk mengetahui perkiraan kebutuhan lahan untuk memenuhi kebutuhan ethanol dengan berbagai bahan baku, kebutuhan lahan untuk bahan baku ethanol jenis tanaman lainnya, yaitu jagung dan ubi jalar

Page 18: Prospek Pengembangan Biofuel BPPT

Prospek Pengembangan Bio-fuel sebagai Substitusi Bahan Bakar Minyak

12

juga perlu dipertimbangkan. Ketiga jenis bahan baku ethanol tersebut merupakan tanaman yang terdapat hampir di seluruh Indonesia, sehingga sosialisasi budidaya ketiga jenis bahan baku ethanol tersebut diperkirakan relatif tidak akan menemukan kendala yang berarti. Perkiraan kebutuhan lahan dan bahan baku pembuatan ethanol dari ubi kayu, ubi jalar, dan jagung dapat dilihat pada Tabel 7.

Pada kasus harga minyak tinggi, Bio-ethanol sebagai sumber energi alternatif pengganti atau campuran bensin (premium) diperkirakan akan layak secara ekonomi mulai tahun 2013 dengan kebutuhan sebesar hampir 10 PJ yang setara dengan 0,47 juta kiloliter (KL) ethanol. Sementara itu kebutuhan bahan baku dan lahan untuk memenuhi kebutuhan Bio-ethanol tersebut berbeda menurut jenis bahan baku. Bahan baku ubi kayu diperkirakan lebih efisien dalam penggunaan lahan, karena mempunyai rata-rata produktifitas per hektar paling tinggi di Indonesia, yaitu 12,60 ton/hektar, diikuti produktifitas ubi jalar dan jagung, masing-masing 9,74 ton/hektar dan 2,79 ton/hektar. Tabel 7. Perkiraan Kebutuhan Lahan dan Bahan Baku untuk Bio-ethanol

dalam Memenuhi Kebutuhan Energi pada Sektor Transportasi

Bio-ethanol Ubi Kayu Ubi Jalar Jagung

Tahun Energi Volume Lahan Produksi Lahan Produksi Lahan Produksi

(PJ) (KL) (Ha) (ton) (Ha) (ton) (Ha) (ton)

2013 9.99 475314 163901 2261840 115930 1147710 108026 313275 2014 15.60 742232 255942 3532002 181032 1792220 168689 489199

2015 59.55 2833329 977010 13482740 691056 6841454 643939 1867422

2016 80.90 3849141 1327290 18316602 938815 9294268 874805 2536934

2017 140.60 6689607 2306761 31833304 1631612 16152954 1520365 4409059

2018 179.90 8131251 2803880 38693540 1983232 19633997 1848012 5359234

2019 230.60 10971717 3783351 52210241 2676029 26492683 2493572 7231359

2020 359.55 17107029 5898976 81405864 4172446 41307217 3887961 11275088

2021 425.76 20257235 6985253 96396498 4940789 48913811 4603917 13351359

2022 470.85 22402572 7725025 106605343 5464042 54094016 5091494 14765332

2023 515.17 24511273 8452163 116639853 5978359 59185758 5570744 16155157

2024 559.30 26610935 9176184 126631344 6490472 64255672 6047940 17539025

2025 613.34 29182104 10062794 138866563 7117586 70464104 6632296 19233659

Sumber: Diolah berdasarkan BPS (2004) dan BBTP-BPPT (2005). Catatan: Nilai kalor ethanol 0,000021 PJ/kiloliter ethanol. Untuk memperoleh 1 kiloliter ethanol diperlukan 6,5 ton ubi kayu, atau 8 ton ubi jalar, atau 5 ton jagung.

Bila pembuatan ethanol untuk memenuhi kebutuhan tersebut

dipergunakan ubi kayu, pada tahun 2013 perlu dipersiapkan sekitar 0,16 juta hektar lahan untuk memproduksi lebih dari 2 juta ton ubi kayu sebagai bahan baku. Namun bila dipergunakan bahan baku ubi jalar, kebutuhan lahan untuk memenuhi kebutuhan ethanol tersebut mencapai sekitar 0,12 juta hektar yang diperkirakan dapat memproduksi sekitar lebih dari sejuta ton ubi jalar. Sementara itu penggunaan jagung bahan baku, kebutuhan lahan tersebut

Page 19: Prospek Pengembangan Biofuel BPPT

Prospek Pengembangan Bio-fuel sebagai Substitusi Bahan Bakar Minyak

13

lebih kecil lagi, yaitu hampir 0,11 juta hektar dengan jumlah bahan baku mencapai 0,31 juta ton.

Kebutuhan ethanol tersebut diperkirakan akan meningkat terus, sehingga pada tahun 2025 kebutuhan tersebut mencapai sekitar 613 PJ yang setara dengan lebih dari 29 juta kiloliter ethanol. Sebagai akibatnya kebutuhan lahan maupun bahan baku untuk penyediaan ethanol tersebut diperkirakan akan mencapai 61 kali lipat dari kebutuhan lahan maupun produksi bahan baku pada tahun 2013, yaitu mencapai hampir 139 juta ton ubi kayu, atau 70 juta ton ubi jalar, atau lebih dari 19 juta ton jagung. Lahan tersebut diperkirakan untuk memproduksi 10 juta hektar lahan ubi kayu, atau lebih dari 7 juta hektar lahan ubi jalar, atau 6,67 juta hektar lahan jagung. Kebutuhan lahan dan produksi bahan baku tersebut didasarkan pada asumsi rata-rata produksi per hektar, dan

Sementara itu perkiraan kebutuhan lahan dan produksi bahan baku ethanol dari 2013 sampai dengan 2025 tersebut didasarkan pada rata-rata hasil produksi per hektar tanaman bahan baku, rata-rata kebutuhan bahan baku untuk memproduksi satu unit volume ethanol, serta potensi produksi ethanol dari setiap hektar lahan bahan baku di Indonesia yang disederhanakan pada Tabel 8. Tabel 8. Kebutuhan Bahan Baku dan Lahan untuk Ethanol Menurut Wilayah.

Ubi Kayu

Ubi Jalar

Jagung

Wilayah Prod. Ethanol Lahan Prod. Ethanol Lahan Prod. Ethanol Lahan

ton/Ha liter/Ha Ha/PJ ton/Ha liter/Ha Ha/PJ ton/Ha liter/Ha Ha/PJ

Sumatera 11.48 1766 26962 9.12 1140 41771 2.83 567 84020

Jawa 13.84 2129 22364 10.98 1373 34695 2.98 596 79866

Kalimantan 12.14 1868 25496 8.00 1000 47619 1.72 344 138299

Sulawesi 11.26 1732 27489 8.44 1055 45137 2.50 500 95284 Maluku dan Papua 11.34 1745 27295 9.22 1153 41318 1.49 298 160053

Total Indonesia 12.60 1938 24565 9.74 1218 39112 2.79 559 85223 Sumber: BPS (2000, 2001, 2002, 2003, & 2004) & BBTP-BPPT (2005). * Rata-rata produksi tahun 2000, 2001, 2002, 2003, dan 2004.

Kebutuhan lahan untuk bahan baku ethanol selain bergantung pada jenis tanaman bahan baku juga bergantung pada produktifitas per hektar serta kebutuhan jumlah bahan baku per liter produksi ethanol. Ubi kayu atau singkong diperkirakan merupakan bahan baku yang paling produktif dalam produksi bahan baku maupun produksi ethanol. Efisiennya kebutuhan bahan baku ubi kayu tersebut menyebabkan tingginya rata-rata produktifitas ethanol berbahan baku ubi kayu, yaitu 1,94 kiloliter ethanol per hektar ubi kayu, dibandingkan bahan baku ubi jalar dan jagung, yaitu 1,22 kiloliter ethanol per hektar ubi jalar, dan 0,56 kiloliter ethanol per hektar jagung. Selain itu, ubi kayu juga merupakan bahan baku yang paling efisien dalam penggunaan lahan untuk memproduksi setiap unit produksi ethanol, yaitu rata-rata kebutuhan lahan ubi kayu untuk memproduksi setiap PJ (Peta Joule) ethanol adalah sekitar 62 persen dari kebutuhan lahan ubi jalar, dan sekitar 29 persen kebutuhan lahan jagung. Oleh karena itu berdasarkan efisiensi produktifitas dan kebutuhan lahan, ubi kayu dapat menjadi pilihan yang paling potensial sebagai sumber bahan baku pembuatan ethanol di Indonesia.

Page 20: Prospek Pengembangan Biofuel BPPT

Prospek Pengembangan Bio-fuel sebagai Substitusi Bahan Bakar Minyak

14

6. KESIMPULAN. 1. Biofuels, baik dalam bentuk Bio-diesel maupun Bio-ethanol (ethanol) yang

dibuat dari biomasa atau bahan hayati, sejak abad 19 sudah dipergunakan sebagai bahan bakar mesin kendaraan, namun sejak ditemukan dan dikembangkannya minyak yang berasal dari fosil, pemanfaatan biofuels sebagai bahan bakar mesin kendaraan terabaikan karena tidak dapat bersaing secara ekonomi dengan bahan bakar fosil yang lebih murah.

2. Biofuels dipromosikan kembali, selain disebabkan oleh semakin meningkatnya harga minyak dunia, ketersediaan bahan baku biofuels yaitu biomasa seperti kelapa sawit, kedelai, ubi kayu (singkong), ubi jalar, dan jagung yang banyak tersedia di Indonesia, serta makin menipisnya cadangan minyak bumi Indonesia.

3. Penggunaan biofuels selain dapat mengurangi penggunaan BBM, sekaligus mengurangi import minyak yang berakibat terhadap penghematan devisa, juga dapat berdampak terhadap pengurangan emisi bahan pencemar (polutant) dan emisi gas rumah kaca, serta bahan pencemar lain. Dampak lain dari penggunaan biofuels adalah penciptaan lapangan kerja bagi masyarakat pedesaan.

4. Berdasarkan ketersediaan dan efisiensi biaya bahan baku Bio-diesel, kelapa sawit diperkirakan merupakan bahan baku Bio-diesel yang paling potensial di Indonesia. Terpusatnya perkebunan kelapa sawit dalam blok-blok lahan perkebunan yang luas diperkirakan dapat meningkatkan efisiensi biaya pengumpulan dan transportasi bahan baku dari lokasi perkebunan ke pabrik Bio-diesel, dibandingkan lahan yang tersebar dalam unit luas area yang lebih kecil. Sementara itu, berdasarkan efisiensi lahan dan produksi ethanol (Bio-ethanol), ubi kayu merupakan bahan baku yang paling potensial, karena dengan lahan yang paling minimum mampu memproduksi ethanol dalam jumlah besar.

5. Besarnya potensi kelapa sawit untuk bahan baku Bio-diesel, serta potensi ubi kayu untuk bahan baku ethanol merupakan peluang pasar bagi kedua komoditi tersebut, sekaligus tantangan karena peruntukkan kedua komoditi pertanian tersebut untuk makanan atau keperluan non energi.

6. Pembukaan lahan baru untuk bahan baku biofuel merupakan alternatif, karena memerlukan waktu, biaya serta penyediaan lahan yang pada umumnya adalah pembukaaan hutan, sehingga pelaksanaan pengembangan biofuels sebagai sumber energi alternatif pengganti minyak perlu mempertimbangkan semua aspek terkait antara lain pertanian, industri, tenaga kerja, dan finansiil secara terpadu.

7. Berdasarkan hasil Model MARKAL, kenaikan harga minyak mentah dunia hingga mencapai 60$/barrel, diperkirakan akan mendorong prospek pemanfaatan biofuels, sebagai berikut. • Bio-diesel akan layak secara ekonomi mulai tahun 2017 dengan

kebutuhan sebesar 9,95 PJ yang diperkirakan setara dengan 0,22 juta kiloliter Bio-diesel. Kebutuhan Bio-diesel tersebut meningkat terus

Page 21: Prospek Pengembangan Biofuel BPPT

Prospek Pengembangan Bio-fuel sebagai Substitusi Bahan Bakar Minyak

15

hingga pada tahun 2025 mencapai 281 PJ yang setara dengan 6,19 juta kiloliter Bio-diesel.

• Bio-ethanol (ethanol) akan layak secara ekonomi mulai tahun 2013 dengan kebutuhan sebesar hampir 10 PJ yang diperkirakan setara dengan 0,47 juta kiloliter ethanol. Kebutuhan Bio-ethanol tersebut meningkat terus hingga pada tahun 2025 mencapai 613 PJ yang setara dengan 29 juta kiloliter ethanol.

8. Kebutuhan biofuels pada tingkat harga minyak mentah 60$/barrel

tersebut, berakibat pada timbulnya tantangan untuk penyediaan lahan tanaman bahan baku biofuels sebagai berikut. • Kebutuhan Bio-diesel pada tahun 2017 sebesar 9,95 PJ, diperkirakan

membutuhkan lahan sebesar 0,14 juta hektar kelapa sawit untuk menyediakan sebesar 0,28 juta ton CPO (Crude Palm Oil) sebagai bahan baku Bio-diesel.

• Kebutuhan Bio-ethanol atau ethanol pada tahun 2013 sebesar 10 PJ, diperkirakan memerlukan lahan sebesar 0,16 juta hektar ubi kayu untuk menyediakan 2,3 juta ton ubi kayu sebagai bahan baku ethanol.

Daftar Pustaka 1. Associated Press. 30 Aug. 2004. Brazil buys into flex-fuel cars. They run

on gas, ethanol or any combination. MSNNBC. 2. Balai Besar Teknologi Pati BPPT. (2005). Kelayakan Tekno Ekonomi Bio-

ethanol sebagai Bahan Bakar Alternatif Terbarukan. Seminar Launching Gasohol BE-10. Jakarta 27 Januari 2005.

3. Columbia University Press. (2004). Encyclopedia. Bio-diesel. 4. Darnoko, et al. (2001). Penggunaan Bio-diesel Sawit sebagai Bahan

Bakar Alternatif. Pusat Penelitian Kelapa Sawit. Diskusi Meja Bundar Mitigasi Emisi Gas Rumah Kaca dan Adaptasi terhadap Perubahan Iklim pada Sektor Energi. Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup. 12 April 2001.

5. Direktorat Jenderal Bina Produksi Perkebunan. (2000, 2001, 2002, 2003, 2004). Statistik Perkebunan. Kelapa Sawit 2000, 2001, 2002, 2003, & 2004.

6. Direktorat Jenderal Minyak dan Gas. (2000, 2001, 2002, 2003, 2004). Statistik Perminyakan Indonesia 2000, 2001, 2002, 2003, & 2004.

7. Ethanol Info. 9/6/2004. Flexible Fuel Vehicles (FFV). http://www.renewableenergypartners.org/ethanol.html

8. Macedo, I.C. (2004). Chapter 10 Converting Biomass to Liquid Fuels: Making Ethhanol from Sugar Cane in Brazil. Energy as an Instrument for Socio-Economic Development. UNDP-EAP.

9. Morgan, D. 2005. Brazil Biofuel strategy pays off as gas price. Oil substitutes include sugar cane, corn, soybeans, beets, cornstalls. The Washington Post. MSNNBC.

10. Santos, A.S. et al. (2000). Addition of Oxygenated Compound to Gasoline and the Proalcool Experience. Economy Energy No.19. April/May 2000.

11. Sudradjat, HR. Prof. Dr. (2006). Waspadai secara Serius: Keasaman Bio-diesel dari Minyak Jarak Pagar bisa Merusak Seluruh Mesin di Indonesia. Pusat Litbang, Hasil Hutan. Bogor.

Page 22: Prospek Pengembangan Biofuel BPPT

Prospek Pengembangan Bio-fuel sebagai Substitusi Bahan Bakar Minyak

16

12. Theil, S. (2005). The Next Petroleum with Oil Prices Going through the Roof, so called Biofuel are at last becoming a viable alternative to gasoline and Diesel. Newsweek International.

13. Tim Perencanaan Energi BPPT. (2005). Hasil Run Model MARKAL. Oktober 2005.

Page 23: Prospek Pengembangan Biofuel BPPT

Prospek Pengembangan Bio-fuel sebagai Substitusi Bahan Bakar Minyak

17

TEKNOLOGI PROSES PRODUKSI BIODIESEL

Martini Rahayu

ABSTRACT

Biodiesel is a clean burning alternative fuel, produced from renewable resources. Biodiesel contains no petroleum, but it can be blended at any level with diesel oil to create a biodiesel blend. Biodiesel is simple to use, biodegradable, nontoxic, and essentially free of sulfur and aromatics. Biodiesel is made through a chemical process called transesterification whereby the glycerin is separated from the fat or vegetable oil. The process leaves behind two products, methyl esters and glycerin Opportunity and potency exploiting of standard palm oil upon which making of biodiesel will push a growth of national palm oil industries and can improve the effort of palm plantation especially in specially society farmer of palm

1. PENDAHULUAN

Indonesia merupakan salah satu negara penghasil minyak bumi di dunia namun sampai saat ini masih mengimpor bahan bakar minyak (BBM) untuk mencukupi kebutuhan bahan bakar minyak di sektor transportasi dan energi. Kenaikan harga minyak mentah dunia akhir-akhir ini memberi dampak yang besar pada perekonomian nasional, terutama dengan adanya kenaikan harga BBM. Kenaikan harga BBM secara langsung berakibat pada naiknya biaya transportasi, biaya produksi industri dan pembangkitan tenaga listrik. Dalam jangka panjang impor BBM ini akan makin mendominasi penyediaan energi nasional apabila tidak ada kebijakan pemerintah untuk melaksanakan penganekaragaman energi dengan memanfaatkan energi terbaharukan dan lain-lain.

Biodiesel salah satu bahan bakar alternatif yang ramah lingkungan, tidak mempunyai efek terhadap kesehatan yang dapat dipakai sebagai bahan bakar kendaraan bermotor dapat menurunkan emisi bila dibandingkan dengan minyak diesel. Biodiesel terbuat dari minyak nabati yang berasal dari sumber daya yang dapat diperbaharui. Beberapa bahan baku untuk pembuatan biodiesel antara lain kelapa sawit, kedelai, bunga matahari, jarak pagar, tebu dan beberapa jenis tumbuhan lainnya. Dari beberapa bahan baku tersebut di Indonesia yang punya prospek untuk diolah menjadi biodiesel adalah kelapa sawit dan jarak pagar, tetapi propek kelapa sawit lebih besat untuk pengolahan secara besar-besaran . Sebagai tanaman industri kelapa sawit telah tersebar hampir di seluruh wilayah Indonesia, teknologi pengolahannya sudah mapan. Dibandingkan dengan tanaman yang lain seperti kedelai, bunga matahari, tebu, jarak pagar dan lain lain yang masih mempunyai kelemahan antara lain sumbernya sangat terbatas dan masih diimpor (kedelai & bunga matahari), tebu masih minim untuk bahan baku gula (kekurangan gula nasional masih diimpor dan hanya dapat dipakai tetesnya sebagai bahan alkohol), jarak pagar masih dalam taraf penelitian skala laboratorium untuk

Page 24: Prospek Pengembangan Biofuel BPPT

Prospek Pengembangan Bio-fuel sebagai Substitusi Bahan Bakar Minyak

18

budidaya dan pengolahannya, sehingga dapat dikatakan bahwa kelapa sawit merupakan bahan baku untuk biodiesel yang paling siap.

Dalam program pengembangan biodisel berbahan baku kelapa sawit, maka perkebunan kelapa sawit sangat menjanjikan terutama dalam mengangkat keterpurukan perekonomian nasional, selain manfaat yang dirasakan oleh masyarakat petani kelapa sawit yang menggantungkan hidupnya dari hasil panen (Tandan Buah Segar) TBS, industri bio-diesel, juga pemanfaatan bio-diesel akan dapat mengurangi atau menghentikan impor minyak solar yang berakibat berkurangnya pembelanjaan luar negeri.

Biodiesel dibuat melalui suatu proses kimia yang disebut transesterifikasi (transesterification) dimana reaksi antara senyawa ester (CPO/minyak kelapa sawit) dengan senyawa alkohol (methanol). Proses ini menghasilkan dua produk yaitu metil esters (biodiesel) dan gliserin (pada umumnya digunakan untuk pembuatan sabun dan lain produk). Dalam bagian buku ini dibahas teknologi pembuatan biodiesel agar para pengkaji, peneliti dan masyarakat luas dapat mengetahui lebih dalam tentang proses pembuatan bahan bakar alternatif ini.

2. GAMBARAN UMUM PENGEMBANGAN BIODIESEL DI INDONESIA

Dalam bab ini ditunjukkan beberapa parameter atau fakta untuk

menggambarkan realitas yang ada baik kekurangan maupun kelebihan biodiesel sebagai sumber energi alternatif untuk mengurangi atau menggantikan pemakaian minyak solar, serta disampaikan juga asumsi-asumsi untuk mempermudah atau mendekatkan perbedaan antara keinginan dan harapan dengan realitas yang ada di lapangan.

2.1. Pengembangan Produksi CPO sebagai Bahan Baku Biodiesel • Konsumsi minyak solar di Indonesia tahun 2005 rata-rata per tahun

mencapai 70.000 kilo liter per hari atau setara dengan 26 juta kilo liter per tahun. Pada kondisi konsumsi seperti demikian padahal produksi minyak solar dalam negeri tidak mencapai 13 juta kilo liter per tahun, sehingga diperlukan impor minyak solar lebih dari 13 juta kilo liter. Mengingat konsumsi minyak solar, khususnya pada sektor transportasi yang terus meningkat, maka diperkirakan volume impor minyak solar ini akan terus meningkat bila tidak diambil kebijakan penganekaragaman atau diversifikasi bahan bakar pengganti minyak solar, seperti biodiesel maupun pencairan batubara.

• Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional, mentargetkan substitusi biofuel pada tahun 2024 adalah minimal 5% terhadap konsumsi energi nasional, serta Inpres Nomor 1 Tahun 2006 tentang Penyediaan dan Pemanfaatan Bahan Bakar Nabati (Biofuel) sebagai Bahan Bakar Lain, menunjukkan keseriusan Pemerintah dalam penyediaan dan pengembangan bahan bakar nabati, diantaranya bioetanol dan biodiesel.

• Lebih dari 50 jenis tanaman yang dapat menghasilkan minyak nabati dan dapat dipergunakan sebagai bahan baku bahan bakar nabati, sebagian dari tanaman tersebut dapat dikonsumsi manusian dan sebagian lainnya tidak dapat dikonsumsi manusia sebagai makanan seperti jarak pagar, minyak

Page 25: Prospek Pengembangan Biofuel BPPT

Prospek Pengembangan Bio-fuel sebagai Substitusi Bahan Bakar Minyak

19

kastor dan lain-lain. Dari seluruh jenis tanaman tersebut yang mempunyai prospek untuk dikembangkan sebagai biofuel dan saat ini telah mulai dibudidayakan ialah kelapa sawit, dan jarak pagar.

• Berdasarkan pengamatan industri minyak kelapa sawit di seluruh Indonesia diperkirakan seluruh jenis kelapa sawit di Indonesia diharapkan dapat dipakai sebagai bahan baku industri biodisel. Mengingat CPO saat ini telah mempunyai pasar sendiri yaitu untuk pembuatan minyak goreng, maka CPO sebagai bahan baku biofuel harus dari hasil areal kelapa sawit baru. Luas areal Kelapa Sawit di Indonesia tahun 2004 menunjukkan angka 5,24 Juta Hektare, dimana Sumatera sebesar 4,19 juta Hektare dan Kalimantan seluas 1,050 Juta Hektare. Berbagai pihak mengharapkan pembukaan areal kelapa sawit adalah dengan memanfaatkan lahan kritis yang cukup luas di Indonesia, misalnya di Kalimantan Timur luas lahan kritis mencapai 6,4 Juta hektare.

• Kapasitas produksi setiap lahan Kelapa Sawit berbeda,1 hektare kebun sawit di Sumatera per tahun (124 ton Tandan Buah Segar) mampu menghasilkan biodiesel sebanyak 1,5 – 2,3 kilo liter per tahun, dan di Kalimantan hanya mencapai sekitar 1,2 - 1,7 kilo liter per tahun. Pada tahun 2004 produksi CPO di Sumatera mencapai 9,89 juta Ton, dan Kalimantan sebesar 1,51 Juta Ton, dengan produksi CPO rata-rata di Indonesia sebesar 2,176 ton per Hektare.

• Dilihat dari segi harga biodiesel kelapa sawit masih belum dapat bersaing, yaitu sekitar Rp. 6.000 per liter dengan harga CPO per liter Rp. 3.500, sedangkan harga keekonomian minyak solar masih lebih rendah yaitu Rp. 5.750 per liter.

2.2. Proses Pembuatan Minyak Nabati Menjadi Biodiesel. • Minyak nabati merupakan trigliserida melalui reaksi transesterifikasi

dengan methanol akan menghasilkan, gliserin, metil stearate, metil oleate. Metil oleate atau biodiesel dan gliserin harus dipisahkan melalui suatu tangki-pengendap. Setelah gliserin dipisahkan larutan dicuci dengan air dan selanjutnya didistilasi sehingga menghasilkan biodiesel sesuai standard yang diinginkan.

• Masalah yang timbul pada proses transestrifikasi dengan metoda relatif mahal, disamping itu hasil samping gliserin harus diproses lagi agar dapat dimanfaatkan lagi untuk industri terkait lainnya.

• Produk akhir yaitu biodiesel merupakan bahan bakar untuk mesin/motor menghasilkan emisi NOx lebih sedikit tinggi, tetapi emisi CO yang lebih rendah dibandingkan dengan emisi yang dihasilkan dalam pemanfaatan BBM.

3. TEKNOLOGI PROSES PEMBUATAN BIO-DIESEL 3.1. Teori Dasar Pembuatan Biodiesel

Di Indonesia terdapat lebih 50 jenis tanaman yang dapat menghasilkan minyak nabati baik untuk non pangan maupun pangan, namun hanya beberapa jenis yang dapat diolah menjadi minyak nabati untuk bahan baku pembuatan biodiesel., Tabel1. Namun dari ke tujuh tanaman yang paling layak

Page 26: Prospek Pengembangan Biofuel BPPT

Prospek Pengembangan Bio-fuel sebagai Substitusi Bahan Bakar Minyak

20

diolah dan siap diolah sebagai biodiesel di Indonesia yaitu kelapa sawit. Sedangkan lainnya masih memerlukan penelitian dan budi daya tanaman tersebut karena tidak cukup tersedia untuk industri biodiesel.

Biodiesel dibuat melalui suatu proses kimia yang disebut transesterifikasi dimana gliserin dipisahkan dari minyak nabati. Proses ini menghasilkan dua produk yaitu metil esters (biodiesel)/mono-alkyl esters dan gliserin yang merupakan produk samping. Bahan baku utama untuk pembuatan biodiesel antara lain minyak nabati, lemak hewani, lemak bekas/lemak daur ulang. Semua bahan baku ini mengandung trigliserida, asam lemak bebas (ALB) dan zat-pencemar dimana tergantung pada pengolahan pendahuluan dari bahan baku tersebut. Sedangkan sebagai bahan baku penunjang yaitu alkohol. Pada ini pembuatan biodiesel dibutuhkan katalis untuk proses esterifikasi, katalis dibutuhkan karena alkohol larut dalam minyak. Minyak nabati kandungan asam lemak bebas lebih rendah dari pada lemak hewani, minyak nabati biasanya selain mengandung ALB juga mengandung phospholipids, phospholipids dapat dihilangkan pada proses degumming dan ALB dihilangkan pada proses refining. Minyak nabati yang digunakan dapat dalam bentuk minyak Produk biodiesel tergantung pada minyak nabati yang digunakan sebagai bahan baku seta pengolahan pendahuluan dari bahan baku tersebut.

Alkohol yang digunakan sebagai pereaksi untuk minyak nabati adalah methanol, namun dapat pula digunakan ethanol, isopropanol atau butyl, tetapi perlu diperhatikan juga kandungan air dalam alcohol tersebut. Bila kandungan air tinggi akan mempengaruhi hasil biodiesel kualitasnya rendah, karena kandungan sabun, ALB dan trig;iserida tinggi. Disamping itu hasil biodiesel juga dipengaruhi oleh tingginya suhu operasi proses produksi, lamanya waktu pencampuran atau kecepatan pencampuran alkohol.

Katalisator dibutuhkan pula guna meningkatkan daya larut pada saat reaksi berlangsung, umumnya katalis yang digunakan bersifat basa kuat yaitu NaOH atau KOH atau natrium metoksida. Katalis yang akan dipilih tergantung minyak nabati yang digunakan, apabila digunakan minyak mentah dengan kandungan ALB kurang dari 2 %, disamping terbentuk sabun dan juga gliserin. Katalis tersebut pada umumnya sangat higroskopis dan bereaksi membentuk larutan kimia yang akan dihancurkan oleh reaktan alkohol. Jika banyak air yang diserap oleh katalis maka kerja katalis kurang baik sehingga produk biodiesel kurang baik. Setelah reaksi selesai, katalis harus di netralkan dengan penambahan asam mineral kuat. Setelah biodiesel dicuci proses netralisasi juga dapat dilakukan dengan penambahan air pencuci, HCl juga dapat dipakai untuk proses netralisasi katalis basa, bila digunakan asam phosphate akan menghasil pupuk phosphat(K3PO4)

Proses dasar pembuatan biodiesel lihat Gambar 1. Proses transesterifikasi yang umum untuk membuat biodiesel dari minyak nabati (biolipid) ada tiga macam yaitu : Ø Transesterifikasi dengan Katalis Basa Ø Transesterifikasi dengan Katalis Asam Langsung Ø Konversi minyak/lemak nabati menjadi asam lemak dilanjutkan menjadi

biodiesel

Page 27: Prospek Pengembangan Biofuel BPPT

Prospek Pengembangan Bio-fuel sebagai Substitusi Bahan Bakar Minyak

21

Gambar 1. Blok Diagram Proses Biodiesel

Hampir semua biodiesel diproduksi dengan metode transesterifikasi dengan katalisator basa karena merupakan proses yang ekonomis dan hanya memerlukan suhu dan tekanan rendah. Hasil konversi yang bisa dicapai dari proses ini adalah bisa mencapai 98%. Proses ini merupakan metode yang cukup krusial untuk memproduksi biodiesel dari minyak/lemak nabati. Proses transesterifikasi merupakan reaksi dari trigliserin (lemak/minyak) dengan bioalkohol (methanol atau ethanol) untuk membentuk ester dan gliserol.

Minyak nabati dengan kadar asam lemak bebas (ALB)-nya rendah (< 1%), bila lebih, maka perlu pretreatment karena berakibat pada rendahnya kinerja efisiensi. Padahal standar perdagangan dunia kadar ALB yang diijinkan hingga 5%. Jadi untuk minyak nabati dengan kadar ALB >1%, perlu dilakukan deasidifikasi dengan reaksi metanolisis atau dengan gliserol kasar. Secara sederhana reaksi transesterifikasi dapat digambar sebagai berikut :

100 lbs Minyak Nabati + 10 lbs Methanol -à 100 lbs Biodiesel + 10 lbs gliserol R1, R2, dan R3 adalah alkil dari ester. Selama proses esterifikasi, trigliserin bereaksi dengan alkohol dengan katalisator alkalin kuat (NaOH, KOH atau sodium silikat). Jumlah katalisator yang digunakan dalam proses titrasi ini adalah cukup menentukan dalam memproduksi biodiesel. Secara empiris, 6,25gr/l NaOH adalah konsentrasi yang memadai. Reaksi antara biolipid dan alkohol adalah reaksi dapat balik (reversible) sehingga alkohol harus diberikan berlebih untuk mendorong reaksi kekanan dan mendapatkan konversi yang sempurna.

Distilasi Biodiesel

Distilasi Gliserin

Alkohol Recovery

Transesterifikasi

Alkohol+ Katalis Basa

Crude Glycerin Crude Biodiesel

Biodiesel Gliserin

Dillute Acid Esterification

Asam Sufat Alkohol

Recycled Greases

Minyak Nabati

Page 28: Prospek Pengembangan Biofuel BPPT

Prospek Pengembangan Bio-fuel sebagai Substitusi Bahan Bakar Minyak

22

Gambar 2. Reaksi Transesterifikasi

Gambar 2. Reaksi Transesterifikasi

Pada reaksi transesterifikasi dimana R1 , R2, R3, merupakan rantai panjang dari atom karbon dan hydrogen, yang disebut sebagai sama lemak. Ada beberapa tipe rantai dari minyak nabati yaitu :

Palmitik R = - (CH2)14 – CH3 16 karbon

termasuk R (16 : 0)

Stearik R = - (CH2)16 – CH3 18 karbon , 0 double bond (18 : 0)

Oleat R = - (CH2)7 CH = CH (CH2)7CH3 18 karbon , 1 double bond (18 : 1)

Linoleat R= -(CH2)7CH=CH-CH2–CH=CH(CH2)4CH3 18 karbon , 2 double bond (18 : 2)

Linolenik R=-(CH2)7CH=CH-CH2–CH=CH-CH2-CH=CH-CH2-CH3

18 karbon , 3 double bond (18 : 3)

Apabila triolein dalam minyak nabati beraksi dengan methanol akan menghasilkan 3 molekul methil oleat inilah yang disebut sebagai biodiesel dan satu molekul gliserol.

Apabila dihitung berat molekul triolein adalah sebagai berikut : Karbon = 57 x 12,0111 = 684,63 Hidrogen = 104 x 1,00797 = 104,83 Oksigen = 6 x 16,000 = ......96,000 Total = 885,46 gram per mole

O O II II CH2 - O - C- R1 CH3 – O – C – R1 O O CH2 - OH II II I CH - O –C – R2 + 3CH3OH -à CH3 – O – C – R2 + CH - OH (Katalis) I O O CH2 - OH II II CH2 – O – C – R3 CH3 – O – C – R3

Trigliserida Methanol Campuran Gliserol Ester Lemak

Page 29: Prospek Pengembangan Biofuel BPPT

Prospek Pengembangan Bio-fuel sebagai Substitusi Bahan Bakar Minyak

23

Berat molekul triolein 885,45 sehingga berat 1 molekul triolein 885,46 grm. Tiga molekul methanol beratnya 96,12 grm, 3 molekul methil oleat beratnya 889,5 grm sedangkan berat satu molekul gliserol 92,12grm Methanol yang ditambahkan pada pembentukan triolein biasanya antara 60 – 100% ekses methanol reaksinya sempurna, reaksinya sebagai berikut :

Triolein + n Methanol à Methyl Oleat + Gliserol + m Methanol Katalis

Gambar 3. Reaksi Transesterifikasi Triolein

885,46gr Triolein bereaksi dengan 2 x 32,04gr – 192,24 gr dengan katalis Natrium Hidroksida atau Potasium Hidrosida akan menghasilkan 3 x 296,50gr = 889,50 gr methil oleat dan 92,10 gr gliserol serta 96,12 xsmethanol. Bila 100 lb minyak nabati dan terbentuk 100 % xs methanol, neraca massa sebagai berikut : Minyak Nabati seberat 100 lb direaksikan dengan Methanol = 21,71 lb akan terbentuk 100,45 lb biodiesel, 10,40 lb glyserol dan 10,86 lb xs Methanol. Apabila berat jenis dari triolein = 0,8988 (kg/lt), methanol = 0,7914 (kg/lt), methil oleat = 0,8739 (kg/lt), gliserol = 1,2613 (kg/lt), dengan dasar 100 lt minyak nabati dan reaksi pembentukan biodiesel dengan 24,45 lt methanol maka akan diperoleh hasil 103,3 lt methil oleat dan 7,42 lt gliserol dan 12,33 xs methanol.

Triolein Methanol (885,46gr) (3x32,04 = 96,12gr) O II CH2 - O - C- (CH2)7 CH = CH (CH2)7CH3 O II CH - O –C – (CH2)7 CH = CH (CH2)7CH3 + 3CH3OH à Katalis (KOH) O II CH2 – O – C – (CH2)7 CH = CH (CH2)7CH3 Methil Oleat(Biodiesel) Gliserol (3x296,50 = 889,50gr) (92,10gr) O CH2 - OH II I 3CH3 - O - C- (CH2)7 CH = CH (CH2)7CH3 + CH - OH I CH2 - OH

Page 30: Prospek Pengembangan Biofuel BPPT

Prospek Pengembangan Bio-fuel sebagai Substitusi Bahan Bakar Minyak

24

3.2. Proses Produksi Biodiesel

Seperti telah dijelaskan di atas bahwa kadar asam lemak bebas harus kurang dari 1%. Selain itu instalasi biodiesel juga mensyaratkan bahwa ukuran partikel asam lemak bebas harus < 5 mikrometer. Bila kondisi ini tidak terpenuhi, diperlukan proses persiapan sebagai berikut: Ø Filtrasi hingga 5 mikrometer Ø Pencucian dengan air Ø Dekantasi Ø Pemanasan minyak Ø Dekantasi kedua

Bila dalam minyak nabati kadar airnya cukup tinggi, maka setelah dekantasi kedua dilakukan pengeringan disamping itu perlu diperhatikan adalah minyak mudah larut dalam alkohol. Secara ringkas tahapan proses dari pembuatan biodiesel (Gambar 4.) adalah sebagai berikut: Ø Jika kandungan asam lemak bebas dan air terlalu tinggi, hal ini akan

mengakibatkan pembentukan sabun (saponifikasi) dan menimbulkan masalah pada pemisahan gliserol nantinya. Oleh karena itu perlu dilakukan pengolahan pendahuluan bahan baku dilakukan proses degumming dan refined

Gambar 4.Diagram Alir Proses Produksi Biodiesel Dari Minyak Nabati

Gliserol 12%

Air

Methanol

Methanol

Metil Ester 88%

8

Minyak Nabati ALB 1%

Methanol 22% KOH 1%

Air Pencuci

Pengeringan

Reaktor

Air

Biodiesel

Air

Pemisahan

Page 31: Prospek Pengembangan Biofuel BPPT

Prospek Pengembangan Bio-fuel sebagai Substitusi Bahan Bakar Minyak

25

Ø Katalis dilarutkan dalam methanol dengan menggunakan mixer atau agitator standar.

Ø Campuran methanol dan katalis dimasukkan ke dalam reaktor tertutup baru kemudian ditambahkan minyak nabati. Sistem harus tertutup total untuk menghindari penguapan methanol.

Ø Reaksi dijaga pada suhu diatas titik didih alkohol (sekitar 70 oC) guna mempercepat reaksi meskipun beberapa sistem merekomendasikan suhu kamar. Lama reaksi adalah 1 – 8 jam. Pemberian methanol berlebih diperlukan untuk memastikan konversi yang sempurna.

Ø Meskipun densitas gliserol lebih tinggi daripada biodiesel sehingga gliserol tertarik ke bawah karena gravitasi, alat sentrifugal masih diperlukan untuk mempercepat pemisahan kedua senyawa tersebut. Setelah terjadi pemisahan gliserol dan biodiesel , kelebihan methanol diambil dengan proses evaporasi atau distilasi.

Ø Produk samping gliserol yang masih mengandung katalis dan sabun selanjutnya dinetralkan dengan larutan asam sulfat.

Ø Setelah biodiesel dipisahkan dari gliserol selanjutnya dimurnikan lagi dengan air hangat untuk membuang sisa-sia katalis atau sabun. Lalu dikeringkan dan dikir im ke tangki penyimpan biodiesel.

3.3. Minyak Kelapa Sawit Sebagai Bahan Baku Proses Biodiesel

Teknologi proses biodiesel yang umum digunakan pada skala komersial yaitu transesterifikasi antara minyak nabati dan metanol menggunakan katalis basa NaOH atau KOH (Gambar 4.). Sebaiknya digunakan minyak nabati dalam hal ini CPO yang kadar asam lemak bebas (ALB)-nya rendah (< 1%). Apabila ALB lebih, maka perlu dilakukan pretreatment karena dapat mengakibatkan efisiensi proses rendah. Padahal standar perdagangan minyak nabati dunia mengizinkan kadar ALB hingga 5 persen. Sehingga minyak nabati dengan kadar> 1%, perlu dilakukan proses deasidifikasi dapat pula dilakukan reaksi metanolisis atau dengan gliserol kasar seperti yang dikembangkan oleh Pusat Penelitian Kelapa Sawit Medan.

Apabila digunakan katalis basa 0,75 persen dengan dua tahapan transesterifikasi, pemurnian minyak nabati tidak perlu dilakukan dengan pencucian, tetapi cukup dengan mendiamkannya selama 2-4 hari. Melalui teknik ini, produk samping gliserin yang bernilaii ekonomi cukup tinggi dapat diperoleh secara efisien. Adapun spesifikasi biodiesel seperti pada Tabel 2.

Biodiesel sebagai bahan bakar motor diesel dapat digunakan dalam

keadaan murni atau dicampur dengan minyak diesel dengan perbandingan tertentu. Spesifikasi biodiesel yang dihasilkan tergantung pada minyak nabati yang digunakan sebagai bahan baku dan kondisi operasi pabrik serta modifikasi dari peralatan yang digunakan. Biodiesel sebagai bahan bakar motor diesel dapat dikatakan layak karena angka cetannya minimal 47, sedangkan minyak diesel angka cetan sekitar 50. Apabila angka biodiesel terlalu dapat merusak motor. Perkebunan kelapa sawit di Indonesia pada 2010 diperkirakan mencapai areal seluas 10 juta ha dengan total produksi CPO 15 juta ton. Melimpahnya produksi CPO di pasar dunia akan mengganggu stabilitas harga CPO, maka pemanfaatannya untuk produksi biodiesel minyak sawit diharapkan bisa menjadi stabilitator harga CPO.

Page 32: Prospek Pengembangan Biofuel BPPT

Prospek Pengembangan Bio-fuel sebagai Substitusi Bahan Bakar Minyak

26

Tabel 2.

Spesifikasi Biodiesel

Properti Satuan Batas Maksimum/Minimum

Metode ASTM

Titik bakar oC 130 min. D93

Air & Sedimen % volume 0,50 maks D2709

Viskositas (40 oC) mmo/detik 1,9 – 6,0 D445

Abu sulfat %mass 0,020 maks D874

Sulfur S 15 Grade S 500 Grade

ppm

15 maks 500 maks

Copper Strip Corrosion No.3 maks D130

Cetane 47 min D613

Residu Karbon %mass 0,50 maks D4530

pH mgKOH/grm 0,80 maks D664

Gliserin bebas %mass 0,020 maks D6584

Total Gliserin %mass 0,240 maks D6584

Kandungan Phosphat %mass 0,001 maks D4951

Temp.Distilasi oC 360 maks D1160

Sumber : National Biodiesel Board

Penyerapan pasokan CPO untuk bahan baku biodiesel dapat ditingkatkan lagi, tetapi masih membutuhkan subsidi agar harga jualnya kompetitif. Apabila 20 persen minyak sawit dengan harga Rp 4.000 per liter dan 80 persen minyak diesel/solar (Rp 1.700 per liter) akan diperoleh harga jual Rp 2.160 per liter. Volume CPO yang terserap bisa mencapai 4,6 juta ton dengan subsidi mencapai Rp 460 per liter (27 persen) guna menjaga harga jual di tingkat Rp 1.700 per liter atau sekitar Rp 1,9 triliun. Pada kondisi seperti ini tentu saja para investor menunggu kebijakan pemerintah dalam bentuk subsidi langsung guna mengembangkan industri biodiesel di Tanah Air. Dari sisi anggaran tampaknya tak terlalu sulit jika sebagian dari subsidi BBM yang diperkirakan mencapai Rp 66 triliun dapat dialokasikan untuk program ini.

Pilihan terhadap pembangunan industri biodiesel diharapkan mengurangi ketergantungan pada produk impor BBM. Sumber daya alam kelapa sawit yang melimpah di Indonesia dan ketersediaan teknologi proses serta SDM dapat diharapkan hasil produksi industri biodiesel dapat menggantikan kedudukan BBM. 3.4. Pabrik Biodiesel di Indonesia

Program pengembangan biodiesel sebagai substitusi minyak solar, merupakan langkah yang berani, tetapi sangat tepat mengingat sumberdaya minyak bumi Indonesia yang sangat terbatas dan impor minyak solar yang sangat tinggi. BPPT telah mendisain dan membangun pabrik biodiesel dengan kapasitas 1,5 ton per hari, seperti terlihat pada Gambar 5.

Page 33: Prospek Pengembangan Biofuel BPPT

Prospek Pengembangan Bio-fuel sebagai Substitusi Bahan Bakar Minyak

27

Selain dari prototipe tersebut, Tim BPPT juga telah mendirikan pabrik biodiesel dengan kapasitas 8 ton per hari tipe bach bekerja sama dengan Pemda Provinsi Riau. Pada tahun 2006 didirikan pabrik (pilot plant) Biodiesel skala 3 ton/hari tipe kontinyu berlokasi di Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi (Puspiptek) Serpong. Pada tahun 2007 akan diselesaikan detail disain dari pabrik Biodiesel skala komersial 30.000 ton per tahun atau 80 ton per hari.

Gambar 5. Pabrik Biodiesel (1,5 T/hari)

4. KESIMPULAN

1. Proses transesterifikasi merupakan proses utama pembuatan biodiesel karena disini merupakan kunci terbentuk methyl oleat yang disebut sebagai biodiesel. Pada tahapan proses harus ditentukan pereaksi dan katalis yang akan digunakan, untuk bahan baku CPO maka sebaiknya pereaksi yang digunakan methanol dengan katalis NaOH atau KOH.

2. Minyak nabati merupakan campuran trigliserida dengan Asam Lemak Bebas (ALB), komposisi minyak nabati tergantung pada tanaman penghasil minyak tersebut. Kandungan ALB akan mempengaruhi proses produksi biodiesel dan bahan bakar yang dihasilkan.

3. CPO merupakan bahan baku yang layak untuk pembuatan biodiesel karena kadar ALB kurang dari 1 %, sehingga tidak memerlukan proses pendahuluan untuk mengolah minyak nabati tersebut seperti proses degumming dan refined. Namun bila kandungan ALB dan air terlalu tinggi, mengakibatkan terjadinya penyabunan (saponifikasi) dan akan menimbulkan masalah pada pemisahan gliserol sebagai produk sampingan sehingga kedua proses tersebut diperlukan.

4. Dalam pendirian suatu pabrik biodiesel perlu dilakukan kajian beberapa teknologi agar mendapat hasil yang optimum dari biodiesel dengan memperhatikan spesifikasi minyak nabati yang digunakan, kapasitas produksi, daur ulang pemakaian alkohol dan katalis. Faktor yang sangat dominant dalam pendirian pabrik biodiesel adalah harga bahan baku dengan biaya kapital. Oleh karena sebelum dilakukan kajian kelayakan pendirian pabrik biodiesel perlu dilakukan kajian dari hasil kajian pabrik biodiesel skala kecil.

5. Peluang dan potensi pemanfaatan minyak sawit sebagai bahan baku pembuatan biodiesel akan mendorong perkembangan industri sawit nasional dan dapat meningkatkan usaha perkebunan kelapa sawit terutama dalam mengangkat keterpurukan perekonomian secara nasional, khususnya masyarakat petani kelapa sawit.

Page 34: Prospek Pengembangan Biofuel BPPT

Prospek Pengembangan Bio-fuel sebagai Substitusi Bahan Bakar Minyak

28

DAFTAR PUSTAKA 1. Biodiesel Technology , A patented biodiesel technology. developed

at the University of Toronto, www.rendermagazine.com, akses tanggal 21 Juli 2005.

2. Continuous Trans Esterification Reactor http ://www.biodiesel.org/resources akses tanggal 25 September 2005

3. Biofuels supplies and suppliers, http ://www journeytoforever.org/biofuel_supply, akses 19 Oktober 2005.

4. Kecemasan dunia akan minyak kelapa sawit (CPO), Riau Pos Online - Sawit Biodiesel www.riaupos.com

5. ………., Growingdiesel., http://www.growingdiesel.com 6. Pengembangan Biodiiesel sebagai Energy Alternatif, BRDST-BPPT

Page 35: Prospek Pengembangan Biofuel BPPT

Prospek Pengembangan Bio-fuel sebagai Substitusi Bahan Bakar Minyak

29

PELUANG PEMANFAATAN BIODIESEL DARI KELAPA SAWIT SEBAGAI BAHAN BAKAR

ALTERNATIF PENGGANTI MINYAK SOLAR DI INDONESIA

Agus Sugiyono

ABSTRACT

The Automotive Diesel Oil (ADO) or petroleum diesel has a very important role to meet the energy demand in transportation, industrial, and power generation sectors in Indonesia, however, the most petroleum diesel is used for the transportation sector. The petroleum diesel demand increases every year, while the petroleum diesel production from Indonesia’s refinery is limited, therefore import of diesel oil is required to meet the domestic demand increase. The diesel oil is a type of fuel in the transportation sector that can not easily be replaced by other types of fuel. Biodiesel is an energy alternative option to substitute and replace the diesel oil especially in the transportation sector. We are all aware that Indonesia has a big potential to produce CPO as an alternative raw material for producing biodiesel. The increase of oil price, followed by ADO as an oil refined product, leads a better economy feasibility for utilization of biodiesel to substitute diesel oil. Social, economic, and technical aspect cost and benefit have to be scrutinized in the utilization of biodiesel.

1. PENDAHULUAN.

Minyak solar atau Automotive Diesel Oil (ADO) sebagai salah satu hasil kilang minyak merupakan bahan bakar destilasi menengah (middle destilate) yang sangat penting untuk memenuhi kebutuhan energi khususnya bahan bakar minyak (BBM) untuk bahan bakar di sektor transportasi, industri dan kelistrikan di Indonesia.. Selain itu juga dikenal minyak diesel atau Industrial Diesel Oil (IDO) yang digunakan untuk bahan bakar di sektor industri, termasuk untuk pembangkit listrik. Penyediaan minyak solar selain dapat diperoleh dari produksi kilang minyak di dalam negeri, juga diperoleh dari impor yang saat ini sudah mencapai angka yang hampir sama dengan produksi dalam negeri. Dengan kondisi tersebut, kenaikan harga minyak mentah dunia yang berakibat pada kenaikan harga produk kilang seperti minyak solar akan menambah beratnya beban Pemerintah dalam penyediaan BBM terutama untuk bahan bakar yang disubsidi. Mengingat minyak solar sangat berperan dalam transportasi, baik transportasi orang maupun barang, maka penyediaan minyak solar di masa mendatang sulit untuk dihilangkan dan harus dipenuhi. Oleh karena itu perlu dicari langkah-langkah untuk mengurangi maupun menggantikan pemakaian minyak solar tersebut dengan bahan bakar alternatif.

Indonesia sebagai negara tropis memiliki berbagai jenis tanaman yang dapat dikembangkan sebagai bahan baku untuk produksi energi alternatif untuk menggantikan bahan bakar minyak, baik berupa bio-ethanol sebagai pengganti premium maupun bio-diesel sebagai pengganti minyak solar. Biodiesel mempunyai sifat pembakaran yang sangat serupa dengan minyak

Page 36: Prospek Pengembangan Biofuel BPPT

Prospek Pengembangan Bio-fuel sebagai Substitusi Bahan Bakar Minyak

30

solar, sehingga dapat dipergunakan langsung pada mesin berbahan bakar minyak solar tanpa mengubah mesin (Columbia University Press, 2004). Biodiesel dapat dibuat dari bahan hayati yang ramah lingkungan seperti: kelapa sawit, jarak pagar, dan kacang kedelai. Biodiesel di Amerika Serikat umumnya dibuat dengan bahan baku kacang kedelai sesuai dengan kondisi wilayahnya. Di samping Malaysia, Indonesia saat ini merupakan penghasil CPO terbesar di dunia, sehingga dilihat dari kesiapan dalam penyediaan, CPO dari kelapa sawit mempunyai potensi yang besar untuk dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku utama produksi bio-diesel. Sumber yang lain seperti jarak pagar potensinya relatif terbatas, karena sampai saat ini belum banyak dibudi dayakan.

Perkebunan kelapa sawit yang pengelolaannya terdiri atas perkebunan rakyat, perkebunan negara atau Badan Umum Milik Negara (BUMN), dan perkebunan swasta mencapai luas 5,4 juta hektar. Total produksi pada tahun 2004 mencapai 11,78 juta ton Crude Palm Oil (CPO) atau produksi rata-rata dari setiap hektar perkebunan sawit adalah 2,17 ton (Statistik Perkebunan, Ditjen Bina Produksi Perkebunan 2004). Sebagian besar dari perkebunan kelapa sawit berada di Sumatera sekitar 4 juta hektar, sedangkan sisanya secara berturut-turut tersebar di Kalimantan, Sulawesi, Papua, dan Jawa. Produksi CPO tersebut biasanya dipergunakan untuk bahan baku pembuatan minyak goreng, dan sabun. Oleh karena itu, masalah-masalah teknis, ekonomis, dan sosial dari pengembangan perkebunan kelapa sawit untuk bahan baku biodiesel tersebut perlu diperhatikan, sehingga hasilnya dapat lebih berdaya guna. Berdasarkan ketersediaan lahan, Kalimantan dan Papua mempunyai potensi yang besar dalam pengembangan perkebunan kelapa sawit. 2. PERKIRAAN PENYEDIAAN DAN KEBUTUHAN MINYAK SOLAR

Dalam sekitar 10 tahun terakhir dari 1994 sampai dengan 2004,

penggunaan minyak solar diperkirakan mencapai rata-rata lebih 41 persen dari total penggunaan BBM dalam negeri. Minyak solar tersebut diperoleh dari produksi kilang minyak dalam negeri dan dari impor. Karena harga minyak solar sangat bergantung pada harga minyak mentah dunia maka dengan meningkatnya harga minyak mentah dunia diperkirakan akan semakin meningkatkan harga minyak solar. Sebagai gambaran, perkembangan penyediaan dan penggunaan serta harga minyak solar dalam 10 tahun terakhir dapat diuraikan sebagai berikut. 2.1. Kebutuhan Minyak Solar

Minyak solar sebenarnya adalah BBM yang diperuntukkan untuk sektor transportasi. Namun dalam kenyataannya bahan bakar tersebut banyak pula yang dipergunakan untuk sektor-sektor lainnya seperti sektor industri dan pembangkit listrik. Sesuai dengan perkembangan penduduk, kebutuhan minyak solar untuk sektor transportasi, industri, dan pembangkit listrik dari tahun ke tahun semakin meningkat seperti diperlihatkan pada Tabel 1.

Selama sepuluh tahun terakhir, yaitu dari tahun 1994 sampai dengan tahun 2004 total kebutuhan minyak solar untuk semua sektor meningkat dengan pertumbuhan rata-rata sekitar lima persen per tahun, sehingga total kebutuhan atau penggunaan minyak solar tersebut meningkat lebih dari 1,5

Page 37: Prospek Pengembangan Biofuel BPPT

Prospek Pengembangan Bio-fuel sebagai Substitusi Bahan Bakar Minyak

31

kali lipat selama periode tersebut. Sesuai dengan peruntukkannya, sebagian besar dari dari minyak solar dipergunakan untuk sektor transportasi, disusul untuk sektor industri dan pembangkit listrik. Meskipun pangsa penggunaan minyak solar untuk sektor pembangkit listrik paling kecil, namun kebutuhan minyak solar pada sektor tersebut yang paling pesat pertumbuhannya, yaitu meningkat lebih dari sembilan persen per tahun, sedangkan kebutuhan minyak solar pada sektor transportasi dan industri, masing-masing hanya meningkat 4,26 persen dan 4,69 persen per tahun. Rendahnya pertumbuhan kebutuhan minyak solar pada sektor transportasi, menyebabkan pangsa penggunaannya cenderung menurun, sedangkan pangsa penggunaan minyak solar pada sektor-sektor lainnya cenderung meningkat.

Tabel 1. Kebutuhan Minyak Solar Menurut Sektor Tahun 1994 - 2004. Tahun Transportasi Industri Listrik Total (000 kl) (%) (000 kl) (%) (000 kl) (%) (000 kl)

1994 8.443,64 52,71 5.664,89 35,37 1.908,81 11,92 16.016,87 1995 9.150,97 53,91 5.993,30 35,31 1.830,73 10,78 16.975,01

1996 10..326,9

7 54,85 6.264,81 33,27 2.235,72 11,87 18.827,52 1997 11.436,52 52,33 6.384,02 29,21 4.032,16 18,45 21.852,71 1998 10.818,50 54,88 5.877,91 29,82 3.017,71 15,31 19.714,12 1999 11.076,53 54,57 6.162,78 30,36 3.058,21 15,07 20.297,53 2000 12.152,82 55,06 6.674,51 30,24 3.244,92 14,70 22.072,25 2001 12.946,41 55,40 7.047,81 30,16 3.373,57 14,44 23.367,79 2002 12.650,85 52,25 7.015,91 28,98 4.546,07 18,78 24.212,84 2003 12.108,93 50,32 6.833,49 28,40 5.122,02 21,28 24.064,45 2004 12.816,78 48,39 8.956,06 33,81 4.714,89 17,80 26.487,75

4,26 %/th 4,69 %/th 9,46 %/th 5,16 %/th Sumber: Diadaptasi dan diolah dari Ditjen. Migas, 1994-2004.

Kecenderungan meningkatnya penggunaan minyak solar pada sektor lain selain transportasi tersebut kemungkinan disebabkan kemudahan dalam memperoleh minyak solar karena tersedia di seluruh Depot di Indonesia, serta perubahan dalam pola industri. Perubahan ini dapat terjadi akibat pergeseran jenis industri yang dahulu memakai jenis energi lain seperti minyak bakar, batubara serta listrik, berubah menjadi pemakai minyak solar yang mungkin dipakai untuk pembangkit listrik diesel sendiri. Sektor industri maupun pembangkit listrik dapat lebih mudah memperoleh walaupun dengan harga yang berbeda dengan solar untuk transportasi. Harga minyak solar untuk transportasi karena masih diatur secara tersendiri lebih murah dibandingkan harga minyak diesel industri terutama sebelum tahun 2004. Meskipun terjadi penurunan pangsa penggunaan minyak solar pada sektor transportasi, tetapi sektor transportasi masih tetap paling dominan dalam penggunaan minyak solar dibandingkan dengan sektor-sektor lainnya. Mengingat jenis penggunaaannya sektor transportasi sulit untuk menggantikan kebutuhan bahan bakarnya (BBM) dengan jenis bahan bakar yang lain, sehingga jumlah konsumsi sektor transportasi akan sensitif terhadap fluktuasi harga minyak.

Page 38: Prospek Pengembangan Biofuel BPPT

Prospek Pengembangan Bio-fuel sebagai Substitusi Bahan Bakar Minyak

32

2.2. Penyediaan Minyak Solar

Penyediaan minyak solar untuk memenuhi kebutuhan minyak dalam negeri diperoleh selain dari hasil pengilangan minyak di dalam negeri juga dari impor. Adanya impor minyak solar tersebut menunjukkan ketidakmampuan kilang minyak dalam negeri untuk memenuhi seluruh kebutuhan minyak solar dalam negeri. Perkembangan besarnya produksi minyak solar baik yang diproduksi dari kilang dalam negeri maupun yang diimpor dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Perkembangan Produksi dan Impor Minyak Solar dari 1994-2004

Tahun Produksi Impor Total Suplai (000 kl) (%) (000 kl) (%) (000 kl)

1994 11.682 76,50 3.588 23,50 15.270 1995 13.209 78,87 3.538 21,13 16.747 1996 14.212 74,86 4.773 25,14 18.986 1997 13.759 62,81 8.148 37,19 21.906 1998 14.553 74,25 5.048 25,75 19.601 1999 14.751 71,88 5.770 28,12 20.521 2000 15.249 67,94 7.194 32,06 22.444 2001 15.253 65,94 7.879 34,06 23.132 2002 14.944 60,79 9.637 39,21 24.581 2003 15.035 60,16 9.955 39,84 24.990 2004 15.685 55,97 12.339 44,03 28.024

GR (%/yr) 2,99 13,15 6,26 Sumber: Diadaptasi dan diolah dari Ditjen. Migas, 1994-2004.

Tabel 1 dan Tabel 2 memperlihatkan perkembangan kebutuhan dan

penyediaan minyak solar. yang terdiri atas sektor transportasi, industri dan pembangkit tenaga listrik dari tahun 1994 sampai dengan 2004. Total penyediaan atau konsumsi minyak solar dalam negeri meningkat dengan pertumbuhan rata-rata sekitar enam persen per tahun. Sebagian besar peningkatan tersebut ditunjang oleh pesatnya kebutuhan yang meningkat dengan pertumbuhan konsumsi minyak solar rata-rata sekitar 5,16 % per tahun, sedangkan pertumbuhan sektor transportasi sebesar 4,26 % per tahun. Dengan pertumbuhan produksi minyak solar dari kilang dalam negeri hanya sekitar tiga persen per tahun, maka selama 10 tahun terakhir ini (1994 – 2004) impor minyak solar meningkat cepat dengan laju pertumbuhan sebesar 13,15 % per tahun. Dari perkembangan selama beberapa tahun ini, terlihat bahwa produksi minyak solar tidak mengalami pertumbuhan yang cukup berarti, sehingga dengan peningkatan kebutuhan minyak solar, maka impor solar akan makin meningkat yang pada akhirnya akan membebani anggaran pembangunan serta mengurangi ketahanan energi Indonesia. Oleh karena itu, perlu dikembangkan bahan bakar alternatif sebagai pengganti minyak solar atau setidaknya mengurangi impor, terutama yang dapat dipenuhi di dalam negeri, antara lain melalui penerapan teknologi GTL (gas to liquid), pencairan batubara, serta BTL (biomas to liquid) yang terdiri dari pengolahan minyak nabati dan pengolahan bahan berbasis selulosa.

Page 39: Prospek Pengembangan Biofuel BPPT

Prospek Pengembangan Bio-fuel sebagai Substitusi Bahan Bakar Minyak

33

3. POTENSI KELAPA SAWIT SEBAGAI BAHAN BAKU BIODIESEL.

Semakin meningkatnya konsumsi minyak solar yang berasal dari sumber energi fosil atau sumber energi yang tak terbarukan, dan semakin terbatasnya cadangan minyak, telah menyebabkan peningkatan impor minyak solar yang makin meningkat setiap tahunnya. Oleh karena itu untuk meningkatkan ketahanan energi nasional sebagai salah satu negara tropis yang memiliki berbagai jenis tanaman, Indonesia perlu memanfaatkan sumber energi terbarukan biomasa yang ada sebagai pengganti minyak. Disamping itu, semakin meningkatnya harga minyak mentah dunia ikut mendorong pemanfaatan energi alternatif sebagai pengganti bahan bakar minyak karena secara ekonomi akan makin layak. Biomasa yang dapat dikembangkan menjadi bio-diesel terdiri dari berbagai jenis tanaman yang mencapai sekitar 54 jenis tanaman yang dapat dimakan maupun yang tidak dapat dimakan. Tabel 3 menunjukkan berbagai jenis tanaman yang dapat dipergunakan sebagai bio-fuel berdasarkan sumber minyaknya, berapa persen kandungan minyak terhadap berat biji kering serta yang dapat dapat atau tidak dapat dimakan. Diantara berbagai jenis tanaman pada Tabel 3, kelapa sawit merupakan tanaman yang telah dibudidayakan secara intensif di Indonesia, khususnya dalam pembuatan CPO (crude plam oil) sebagai bahan dasar pembuatan minyak goreng, sabun di dalam negeri atau dieskpor. Oleh karena itu, bila ditinjau terhadap kesiapan ketersediaan bahan baku, maka kelapa sawit merupakan bahan yang paling potensial untuk dipergunakan sebagai bahan baku pembuatan biodiesel. Hanya pemanfaatan CPO sebagai bahan baku untuk produksi biodiesel perlu dilaksanakan secara bijaksana dan hati-hati, karena fungsinya saat ini sebagai bahan baku minyak goreng yang termasuk bahan makanan. Mungkin akan lebih baik bila dikembangkan lahan kelapa sawit untuk produksi biodiesel, diluar terpisah lahan kelapa sawit saat ini yang diperuntukkan sebagai bahan baku minyak goreng, kosmetik dan ekspor.

Tabel 3. Jenis Tanaman yang Menghasilkan Bio-Fuel Name Indonesia Nama Latin Sumber % minyak

(kering) DM / TDM

1. Jarak kaliki Ricinus communis Seed 45 – 50 TDM

2. Jarak pagar Jatropha curcas Kernel 40 – 60 TDM

3. Kacang suuk Arachis hypogea Kernel 35 – 55 DM

4. Kapok/randu Ceiba pentandra Kernel 24 – 40 TDM

5. Karet Hevea brasiliensis Kernel 40 – 50 TDM

6. Kecipir Psophocarpus tetrag. Seed 15 – 20 DM

7. Kelapa Cocos nucifera Kernel 60 – 70 DM

8. Kelor Moringa oleifera Seed 30 – 49 DM

9. Kemiri Aleurites moluccana Kernel 57 – 69 TDM

10. Kusambi Sleichera trijuga Kernel 55 – 70 TDM

11. Nimba Azadirachta indica Kernel 40 – 50 TDM

Page 40: Prospek Pengembangan Biofuel BPPT

Prospek Pengembangan Bio-fuel sebagai Substitusi Bahan Bakar Minyak

34

Lanjutan Tabel 3. Name Indonesia Nama Latin Sumber % minyak

(kering) DM / TDM

12. Saga utan Adenanthera pavonina Kernel 14 – 28 DM

13. Sawit Elais guineensis Pulp + Kernel 45-70 + 46-54

DM

14. Akar kepayang Hodgsonia macrocarpa Seed ≈ 65 DM

15. Alpukat Persea gratissima Fr. Pulp 40 – 80 DM

16. Cokelat Theobroma cacao Seed 54 – 58 DM

17. Gatep pait Samadera indica Seed ≈ 35 TDM

18. Kepoh Sterculia foetida Kernel 45 – 55 TDM

19. Ketiau Madhuca mottleyana Kernel 50 – 57 DM

20. Nyamplung Callophyllum inophyllum Kernel 40 – 73 TDM

21. Randu alas/agung Bombax malabaricum Seed 18 – 26 TDM

22. Seminai Madhuca utilis Kernel 50 – 57 DM

23. Siur (-siur) Xanthophyllum lanceatum Seed 35 – 40 DM

24. Tengkawang tungkul

Shorea stenoptera Kernel 45 – 70 DM

25. Tengk. terindak Isoptera borneensis Kernel 45 – 70 DM

26. Wijen Sesamum orientale Seed 45 – 55 DM

27. Bidaro Ximenia americana Kernel 49 – 61 TDM

28. Bintaro Cerbera manghas/odollam Seed 43 – 64 TDM

29. Bulangan Gmelina asiatica Seed ? TDM

30. Cerakin/Kroton Croton tiglium Kernel 50 – 60 TDM

31. Kampis Hernandia peltata Seed ? TDM

32. Kemiri cina Aleurites trisperma Kernel ? TDM

33. Labu merah Cucurbita moschata Seed 35 – 38 DM

34. Mayang batu Madhuca cuneata Kernel 45 – 55 DM

35. Nagasari (gede) Mesua ferrea Seed 35 – 50 TDM

36. Pepaya Carica papaya Seed 20 – 25 DM

37. Pulasan Nephelium mutabile Kernel 62 – 72 DM

38. Rambutan Nephelium lappaceum Kernel 37 – 43 DM

39. Sirsak Annona muricata Kernel 20 – 30 TDM

40. Srikaya Annona squamosa Seed 15 – 20 TDM

41. Kenaf Hibiscus cannabinus Seed 18 – 20 TDM

42. Kopi arab (Okra) Hibiscus esculentus Seed 16 – 22 TDM

43. Rosela Hibiscus sabdariffa Seed ≈ 17 TDM

44. Kayu manis Cinnamomum burmanni Seed ≈ 30 DM

45. Padi Oryza sativa Bran ≈ 20 DM

46. Jagung Zea Mays Germ ≈ 33 DM

Page 41: Prospek Pengembangan Biofuel BPPT

Prospek Pengembangan Bio-fuel sebagai Substitusi Bahan Bakar Minyak

35

Lanjutan Tabel 3.

Name Indonesia Nama Latin Sumber % minyak (kering)

DM / TDM

47. Tangkalak Litsea sebifera Seed ≈ 35 DM

48. Tidak Jelas Taractogenos kurzii Kernel 48 – 55 TDM

49. Kursani Vernonia anthelmintica Seed ≈ 19 TDM

Keterangan: DM = Dapat dimakan; TDM = Tidak dapat dimakan Sumber: Raw Material Aspects of Biodiesel Production in Indonesia, Tatang H.S. 3.1. Luas Perkebunan Kelapa Sawit 2000-2004

Saat ini Indonesia merupakan negara produsen CPO nomor 2 terbesar di dunia setelah Malaysia, dan dalam waktu dekat kemungkinan akan menggeser posisi Malaysia sebagai produsen CPO terbesar didunia.

Kelapa sawit sebagai tanaman penghasil CPO merupakan tanaman perkebunan yang terdapat di hampir seluruh wilayah Indonesia. Wilayah Sumatera saat ini merupakan wilayah yang mempunyai lahan kelapa sawit terbesdar di Indonesia, khususnya Sumatera Utara, disusul Riau dan Sumatera Selatan.

Perkembangan luas perkebunan kelapa sawit beserta produksinya yang

berupa CPO dari tahun 2000 sampai dengan 2004 dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Luas Area Perkebunan Kelapa Sawit dan Produksi CPO Menurut Wilayah

2000 2001 2002 2003 2004

Wilayah Luas Prod. Luas Prod. Luas Prod. Luas Prod. Luas Prod.

(000 Ha)

(000 ton)

(000 Ha)

(000 ton)

(000 Ha)

(000 ton)

(000 Ha)

(000 ton)

(000 Ha)

(000 ton)

Sumatera: 2744 6597 2810 6850 3890 8190 4032 7954 4191 9891

Jawa 21 34 21 37 23 34 23 37 26 50

Kalimantan 844 741 971 834 957 1065 969 489 1050 1509

Sulawesi 108 118 114 148 143 261 146 271 128 263

Papua 52 91 56 100 53 72 68 73 53 68

INDONESIA 3770 7581 3973 7969 5067 9622 5239 8824 5448 11781 Sumber: Diolah dari Direktorat Jenderal Perkebunan 2, 2001, 2002, 2003, & 2004.

Sebagai sumber bahan baku untuk produksi bio-fuel (bahan bakar bio)

yang potensial, luas perkebunan kelapa sawit dari tahun ke tahun meningkat terus baik demikian juga dalam produksi CPO. Selama periode empat tahun, yaitu dari tahun 2 sampai 2004 luas areal perkebunan kelapa sawit meningkat dengan pertumbuhan rata-rata hampir 10 persen per tahun, sedangkan produksi CPO mengalami peningkatan rata-rata hampir 12 persen per tahun, sehingga selama periode tersebut luas areal perkebunan tersebut meningkat dari 3,77 juta hektar menjadi 5,45 juta hektar, sedangkan produksi CPO meningkat dari 7,58 juta ton menjadi 11,78 juta ton. Lebih pesatnya produksi CPO dari pada luas perkebunan tersebut disebabkan meningkatnya intensitas produksi rata-rata kelapa sawit dari 2,01 ton per hektar menjadi 2,16 ton per hektar. Peningkatan hasil rata-rata tersebut diperkirakan oleh makin intensifnya pengelolaan perkebunan kelapa sawit terutama di wilayah Sumatera, serta peningkatan efisiensi peralatan pengolah sawit.

Page 42: Prospek Pengembangan Biofuel BPPT

Prospek Pengembangan Bio-fuel sebagai Substitusi Bahan Bakar Minyak

36

Dibanding dengan wilayah lain, intensitas produksi CPO di Sumatera merupakan yang tertinggi di antara wilayah-wilayah lainnya, yaitu 2,36 ton per hektar. Hal tersebut diperkirakan sebagian besar dari perkebunan kelapa sawit yang ada di Sumatera terdiri atas perkebunan yang produktif atau matang dalam berproduksi. Selain itu, selama periode tahun 2000 sampai 2004, rata-rata produksi CPO Sumatera per hektar yang relatif stabil, yaitu rata-rata di atas 2 ton/hektar. Sementara hasil rata-rata di wilayah lainnya cenderung berfluktuasi dengan rata-rata hasil per hektar di bawah 2 ton/hektar. Berdasarkal kondisi tersebut, diperkirakan di wilayah-wilayah lainnya seperti Jawa, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua masih banyak areal perkebunan yang belum produktif (immature) dan sudah tidak produktif lagi. Kemungkinan lain relatif rendahnya produktifitas kelapa sawit di luar Sumatera tersebut adalah belum optimalnya pengelolaan perkebunan kelapa sawit serta kurang cocoknya kondisi lingkungan di luar Sumatera untuk kelapa sawit. Banyaknya perkebunan kelapa sawit yang belum berproduksi juga menunjukkan bahwa wilayah-wilayah tersebut mempunyai perkembangan luas perkebunan kelapa sawit yang lebih pesat dan mempunyai potensi perluasan perkebunan yang lebih besar tidak hanya di pulau Sumatera. Bahkan akhir-akhir ini pemerintah mentargetkan tiga juta hektar pengembangan perkebunan kelapa sawit untuk bahan baku biodiesel, dua juta hektar di antaranya di Kalimantan (Kompas, 2006). Perkebunan kelapa sawit di Kalimantan pada tahun 2004 mencapai satu juta hektar dengan produksi CPO rata-rata 1,5 juta ton atau rata-rata produksi 1,44 ton CPO/hektar. Pangsa luas perkebunan kelapa sawit di Kalimantan tersebut adalah sekitar 19 persen dari total luas perkebunan kelapa sawit di seluruh Indonesia, sedangkan pangsa produksi CPO di Kalimantan adalah sekitar 13 persen dari total produksi CPO di Indonesia. Namun dalam periode empat tahun terakhir, rata-rata produksi CPO per hektar cenderung meningkat yang menunjukkan intensifikasi produksi perkebunan kelapa sawit di Kalimantan. Oleh karena itu, pembukaan lahan baru diperkirakan akan membuka peluang bagi pengembangan bahan baku biodiesel.

Namun secara ekonomi, biodiesel akan semakin dapat bersaing bila harga minyak solar meningkat. Relatif lebih tingginya harga minyak solar di daerah terpencil (karena kelangkaan transportasi) seperti di pedalaman Kalimantan, Papua, serta Sulawesi diperkirakan akan berdampak pada peningkatan daya saing biodiesel dari kelapa sawit tersebut. Peningkatan daya saing biodiesel di wilayah-wilayah tersebut diperkirakan akan didukung pula dengan ketersediaan lahan yang masih belum dimanfaatkan untuk perkebunan kelapa sawit, sehingga pengembangan biodiesel dari kelapa sawit dapat dilakukan secara lebih optimal dan lebih berdaya guna. 3.2 Perkiraan Produksi Biodiesel dari Total Produksi CPO

CPO yang berasal dari kelapa sawit merupakan sumber bahan baku biodiesel yang sudah tersedia, meskipun saat ini CPO tersebut diperuntukkan untuk keperluan non energi seperti minyak goreng dan sabun. Namun mengingat ketersediaan CPO maka perlu dipertimbangkan pengembangannya sebagai bahan baku pembuatan biodiesel, sehingga CPO dari kelapa sawit bukan saja bermanfaat sebagai sumber makanan dan sumber devisa, tetapi juga bermanfaat sebagai sumber energi. Sebagai gambaran, potensi produksi biodiesel dengan menganggap seluruh CPO dipakai sebagai bahan baku

Page 43: Prospek Pengembangan Biofuel BPPT

Prospek Pengembangan Bio-fuel sebagai Substitusi Bahan Bakar Minyak

37

produksi bio-diesel yang dihasilkan dari perkebunan kelapa sawit yang ada dapat dilihat pada Tabel 4. Perkiraan besarnya produksi biodiesel pada Tabel 4 dibuat berdasarkan asumsi bahwa dari setiap ton CPO dapat menghasilkan 0,9 ton biodiesel dan setiap ton biodiesel diperkirakan mempunyai nilai kalor sebesar 0,03955 PJ.

Selain itu, produksi biodiesel pada tabel tersebut juga dibuat berdasarkan asumsi bahwa semua produksi CPO dari seluruh wilayah di Indonesia dipergunakan sebagai bahan baku biodiesel. Produksi CPO pada tahun 2004 diperkirakan dapat menghasilkan lebih dari 10 juta ton biodiesel atau setara dengan 419 PJ (Peta Joule) atau 12,57 juta kiloliter biodiesel. Sementara itu pada tahun yang sama kebutuhan minyak solar setiap tahun mencapai 800 PJ yang setara dengan sekitar 24 juta kiloliter.

Tabel 4. Perkiraan Produksi Biodiesel dari Kelapa Sawit (CPO) menurut Wilayah

2000 2001 2002 2003 2004

Wilayah Ribu ton PJ

Ribu ton PJ

Ribu ton PJ

Ribu ton PJ

Ribu ton PJ

Sumatera: 5937 235 6165 244 7371,2 291,5 7158,6 283,1 8901,9 352,1

Jawa 31 1 33 1 30,1 1,2 33,3 1,3 45,0 1,8

Kalimantan 667 26 751 30 958,3 37,9 440,1 17,4 1358,1 53,7

Sulawesi 106 4 133 5 235,1 9,3 243,9 9,6 236,7 9,4

Papua 82 3 90 3 65,1 2,6 65,7 2,6 61,2 2,4

INDONESIA 6822 270 7172 284 8660,1 342,5 7941,6 314,1 10602,9 419,3 Sumber: Diolah berdasarkan Statistik Perkebunan 2000-2004 Catatan: 1 ton CPO = 0,9 ton biodiesel 1 ton biodiesel = 0,03955 PJ

Mengingat CPO Gambaran diatas menunjukkan bahwa produksi CPO, sekitar 50% dipergunakan untuk produksi minyak goreng dalam negeri dan sisanya di ekspor. Dengan menganggap CPO yang diekspor dipakai sebagai bahan bakar biodiesel, maka maksimum hanya sekitar 6 juta kilo liter yang mempunyai potensi untuk dikembangkan sebagai biodiesel.

Berdasarkan perhitungan tersebut diatas, maka bila ditargetkan penggunaan biodiesel sejumlah 2% atau campuran 98 persen minyak solar dengan 2 persen biodiesel, akan memerlukan sekitar 16 PJ biodiesel yang diperkirakan sama dengan sekitar 4 persen dari total perkiraan produksi biodiesel.

Namun potensi yang ada tersebut harus memperhitungkan kebutuhan CPO baik untuk memenuhi produksi minyak goreng di dalam negeri dan pasar internasional yang telah dirintis dan telah pasti juga mempertimbangkan pengembangan kebutuhan dalam negeri serta ekspor. Untuk jumlah prosentase campuran yang besar perlu dipikirkan untuk mengembangkan perkebunan kelapa sawit yang peruntukkannya khusussebagai bahan baku biodiesel, agar tidak mengganggu pasar CPO yang telah ada saat ini. Sementara itu, dapat diperkirakan bahwa produksi CPO yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku biodiesel tanpa mengganggu pasokan CPO untuk keperluan non energi adalah sekitar 1 sampai 2 persen saja dari produksi CPO. Disamping itu biodiesel juga dapat diproduksi dari limbah produksi CPO yang disebut sebagai ”CPO parit” (PTPN VIII, 2004).

Page 44: Prospek Pengembangan Biofuel BPPT

Prospek Pengembangan Bio-fuel sebagai Substitusi Bahan Bakar Minyak

38

3.3 Perkiraan CPO Parit dari Perkebunan Kelapa Sawit

Produksi CPO untuk bahan baku pembuatan biodiesel sebagai sumber energi terbarukan adalah suatu pemanfaatan yang relatif baru. Pemanfaatan CPO ini bila tidak dipertimbangkan dengan baik dapat menyebabkan adanya pengalihan peruntukkan CPO yang dikhawatirkan akan berdampak terhadap terganggunya penyediaan CPO dalam negeri maupun ekspor. Sementara itu, pengembangan perkebunan kelapa sawit yang produksinya khusus diperuntukkan untuk bahan baku biodiesel masih memerlukan waktu dan biaya investasi yang tidak sedikit. Selain itu harga CPO standar yang diperuntukkan bagi bahan baku non energi relatif mahal, yaitu mencapai harga Rp.2.600/kilogram (PTPN VIII, 2004), sehingga bila dipergunakan sebagai bahan baku biodiesel maka harga biodiesel yang dihasilkan diperkirakan kurang dapat bersaing dengan minyak solar. Oleh karena itu supaya tidak mengganggu pasokan CPO untuk kebutuhan non energi maka penggunaan CPO parit untuk memenuhi kebutuhan bahan baku biodiesel perlu dipertimbangkan. CPO parit merupakan limbah proses pembuatan CPO, tetapi masih memiliki kandungan minyak yang dianggap kurang ekonomis untuk diproses sebagai CPO, tetapi untuk proses pembuatan biodiesel mungkin dapat ekonomis karena harga CPO parit cukup rendah.

Potensi CPO parit yang dapat diperoleh untuk pemanfaatan biodiesel. biasanya mencapai satu atau dua persen saja dari total produksi CPO. Potensi ekstraksi bahan baku biodiesel dari CPO parit diperkirakan mencapai dua persen dari total produksi CPO. Secara ekonomi pengembangan biodiesel berbahan baku CPO parit cukup kompetitif karena harga CPO parit tersebut hanya Rp.400 per kilogram (Wirawan, 2004), tetapi volume ketersediaan CPO parit pada suatu pabrik CPO sangat terbatas, sehingga untuk pengembangan biodiesel skala ekonomi akan muncul masalah dalam pengangkutan dan pengumpulan. Lokasi pabrik CPO yang tersebar berakibat pada meningkatnya biaya untuk pengumpulan dan pengangkutan CPO parit dari pabrik CPO ke pabrik biodiesel sehingga akan mempengaruhi keekonomian penggunaan CPO parit sebagai sumber bahan baku biodiesel.

Tabel 5 memperlihatkan Prakiraan penggunaan CPO parit untuk bahan baku biodiesel menurut wilayah dapat digambarkan seperti yang diperlihatkan pada Tabel 5. Tabel 5. Perkiraan Potensi Produksi Biodiesel dari CPO Parit Menurut Wilayah

2 2001 2002 2003 2004

Wilayah Ribu ton PJ

Ribu ton PJ

Ribu ton PJ

Ribu ton PJ

Ribu ton PJ

1. Sumatera: 118,7 4,70 123,3 4,88 147,4 5,83 143,1 5,66 178,0 7,04

2. Jawa 0,6 0,02 0,6 0,03 0,6 0,02 0,6 0,03 0,9 0,04 3. Kalimantan 13,3 0,53 15,0 0,59 19,1 0,76 8,8 0,35 27,1 1,07

4. Sulawesi 2,1 0,08 2,6 0,11 4,7 0,19 4,8 0,19 4,7 0,19

5. Papua 1,6 0,06 1,7 0,07 1,3 0,05 1,3 0,05 1,2 0,05

INDONESIA 136,4 5,40 143,4 5,67 173,2 6,85 158,8 6,28 212,0 8,39

Catatan: CPO parit adalah merupakan 2 persen dari total produksi CPO.

Berdasarkan asumsi bahwa dua persen dari produksi CPO dipertimbangkan sebagai CPO parit dan perkiraan bahwa setiap PJ biodiesel

Page 45: Prospek Pengembangan Biofuel BPPT

Prospek Pengembangan Bio-fuel sebagai Substitusi Bahan Bakar Minyak

39

setara dengan sekitar 27.777 kilo liter minyak solar, pada tahun 2004 Indonesia berpotensi menghasilkan lebih dari 212 ribu ton biodiesel atau setara dengan 8 PJ atau 233 ribu kilo liter minyak solar. Jumlah tersebut diperkirakan setara dengan sekitar dua persen dari kebutuhan minyak solar untuk sektor transportasi atau sekitar satu persen dari total kebutuhan minyak solar pada tahun 2004. Sekitar 84 persen dari potensi biodiesel tersebut berada di Sumatera. Sumatera merupakan penghasil CPO terbesar di Indonesia, namun potensi pengembangan perkebunan kelapa sawit di Sumatera diperkirakan sudah jenuh, sehingga potensi pengembangan perkebunan kelapa sawit untuk bahan baku biodiesel di Sumatera relatif kecil. Sebaliknya di Kalimantan dan Papua mempunyai potensi pengembangan perkebunan kelapa sawit yang cukup besar, karena kedua wilayah ini masih mempunyai lahan yang belum termanfaatkan cukup luas. Hal yang perlu dipertimbangkan ialah intensitas produksi CPO di Kalimantan dan Papua relatif rendah dibanding Sumatera. Mungkin perlu diteliti jenis kelapa sawit yang cocok untuk ditanam di Kalimantan dan Papua. 4. KESIMPULAN. 1. Kebutuhan minyak solar pada sektor-sektor transportasi, industri, dan

pembangkit listrik meningkat terus, sedangkan produksi minyak solar di dalam negeri relatif tetap. Sebagian besar kebutuhan minyak solar tersebut dipergunakan sebagai bahan bakar kendaraan pada sektor transportasi, yang secara fisik sulit untuk digantikan oleh jenis energi lain, sehingga mendorong Pemerintah untuk meningkatkan impor minyak solar guna memenuhi kebutuhan energi tersebut.

2. Tingginya harga minyak mentah dunia yang diikuti harga BBM termasuk minyak solar, mengakibatkan beban pemerintah dalam penyediaan minyak solar dalam negeri semakin berat. Untuk itu perlu dicari bahan bakar alternatif pengganti minyak solar tersebut. Biodiesel merupakan pilihan sebagai sumber bahan bakar alternatif pengganti minyak solar terutama untuk sektor transportasi.

3. Berdasarkan pengembangan tanaman penghasil bahan baku biodiesel saat ini, CPO dari kelapa sawit merupakan sumber bahan baku biodiesel yang paling siap dan potensial. Dengan luas perkebunan kelapa sawit yang mencapai sekitar 5,45 juta hektar dan produksi CPO nya mencapai sekitar 11,78 juta ton, maka bila seluruh produksi CPO tersebut dipergunakan sebagai bahan baku biodiesel akan menghasilkan sekitar 10,60 juta ton biodiesel yang setara dengan 419,34 PJ atau sekitar 50% kebutuhan minyak solar nasional.

4. Produksi CPO tersebut diperuntukkan untuk keperluan non energi seperti bahan baku pembuatan minyak goreng, sabun dan ekspor, sehingga bila CPO yang ada dipergunakan sebagai bahan baku biodiesel dikhawatirkan akan dapat mengganggu pasokan non energi tersebut. Oleh karena itu diperlukan perluasan lahan kelapa sawit khusus untuk pasokan bahan baku biodiesel.

5. Untuk mendukung keekonomian biodiesel, sebagian dari bahan baku biodiesel dapat memanfaatkan CPO parit atau limbah CPO yang diperkirakan bisa mencapai dua persen dari produksi CPO standar.

Page 46: Prospek Pengembangan Biofuel BPPT

Prospek Pengembangan Bio-fuel sebagai Substitusi Bahan Bakar Minyak

40

Jumlah CPO parit di seluruh wilayah Indonesia yang dapat dipergunakan sebagai bahan baku biodiesel pada tahun 2004 mencapai lebih dari dua juta ton atau setara dengan 233 ribu kiloliter minyak solar. CPO parit mempunyai harga yang lebih murah yaitu Rp.400/kilogram dibandingkan dengan harga CPO standar Rp. 2600/kilogram.

6. Kendala utama dari pemanfaatan CPO parit untuk biodiesel adalah jumlahnya yang relatif terbatas dan lokasi pabrik CPO tersebar di beberapa lokasi, sehingga memerlukan usaha dan biaya tersendiri dalam pengangkutan CPO parit ke pabrik biodiesel.

7. Pengembangan Biodiesel yang optimal perlu memanfaatkan CPO serta CPO parit agar diperoleh harga bahan baku yang murah dan harga biodiesel yang terjangkau oleh masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA 1. --------. Biodiesel. Encyclopedia. Columbia University Press. 2004. 2. Ditjen. Perkebunan. Buku Statistik Perkebunan Indonesia, Kelapa Sawit

1990-2004, 2005. 3. Ditjen. Minyak dan Gas. Statistik Minyak dan Gas 1994 – 2004. 4. KOMPAS. Harga Minyak Tak Wajar. 31 Agustus 2005. 5. Wirawan, S.S. Perkiraan Reference Energy System Biodiesel. BPPT. 2004. 6. Bagian Produksi PTPN VIII Bandung, 2004. 7. Tatang H.S., Material Aspects of Biodiesel Production in Indonesia, Seminar

“Business opportunities of Biodiesel into the fuel market in Indonesia“, BPPT, Jakarta, 8 Maret 2006.

Page 47: Prospek Pengembangan Biofuel BPPT

Prospek Pengembangan Bio-fuel sebagai Substitusi Bahan Bakar Minyak

41

PENGARUH KENAIKAN HARGA MINYAK MENTAH TERHADAP PEMANFAATAN BIO-DIESEL DAN

DAMPAK LINGKUNGAN

Joko Santosa

ABSTRACT

Bio-diesel is a natural renewable energy source that made from biomass or vegetable oil. As the Bio-diesel has physical properties very similar to petroleum-derived diesel fuel or ADO (Automobile Diesel Oil), Bio-diesel has been used for motor engine since 1880’s. In 1920’s, Bio-diesel production infrastructure has been nearly eliminated since diesel engine manufacturers altered their engine to utilize petroleum diesel that was much cheaper than Bio-diesel production. Recently, an increase on oil consumption, crude oil price, and ADO import have lead to consider Bio-diesel utilization for transportation sector in Indonesia. An increase of the crude oil price that lead to a decreasing cost differential for Bio-diesel production, Bio-diesel utilization as alternative energy source in Indonesia is real possibility. Some environmental impact concerns would also increase the Bio-diesel utilization prospect. The Bio-diesel utilization is also expected to reduce oil consumption. The purpose of the paper is examining the influence of crude oil price increase on the Bio-diesel utilization, oil consumption reduction, and pollutant emission reduction.

1. PENDAHULUAN

Bio-diesel adalah sumber energi yang dapat dibuat dari bahan baku biomassa seperti kelapa sawit, jarak pagar, dan kedelai. Karena itulah Bio-diesel digolongkan pada sumber energi terbarukan yang ketersediannya dapat lebih terjamin karena sumbernya dapat diperbarui. Jika dilihat sifatnya, Bio-diesel mempunyai sifat-sifat fisik yang serupa dengan minyak solar (petroleum diesel). Sehingga Bio-diesel dapat dipergunakan langsung sebagai bahan bakar pengganti ataupun campuran minyak solar untuk kendaraan bermesin diesel tanpa modifikasi (Columbia University, 2004). Hanya saja, untuk bisa menembus pasar komersial, keekonomian Bio-diesel harus bisa bersaing dengan sumber energi lain khusunya BBM (Bhan Bakar Minyak).

Pada dasarnya, keekonomian sumberdaya energi bukan saja ditentukan oleh harga sumber energi itu sendiri, tetapi ditentukan pula oleh harga sumber energi sejenis yang akan dipersaingkan. Jadi, ketika Bio-diesel diperkenalkan untuk mengganti BBM, maka bisa tidaknya Bio-diesel masuk pasaran sangat bergantung pada harga minyak mentah. Karena, semakin meningkatnya harga minyak mentah akan berakibat pada meningkatnya harga produk kilang seperti minyak solar (ADO), premium, dan minyak bakar. Sehingga dengan kenaikan tersebut akan mengakibatkan semakin kecilnya perbedaan antara harga Bio-diesel dengan BBM yang menjadikan Bio-diesel menarik secara economi untuk dimanfaatkan sebagai sumber energi alternatif.

Dalam melihat keekonomian Bio-diesel di Indonesia, paper ini akan menyajikan dampak kenaikan harga minyak mentah dunia pengaruhnya pada penyediaan Bio-diesel yang dianalisis berdasarkan optimasi Model MARKAL (Market Allocation). Dari hasil model tersebut, terlihat bahwa ketika harga minyak US$40/barel, Bio-diesel masih belum mampu bersing dengan minyak

Page 48: Prospek Pengembangan Biofuel BPPT

Prospek Pengembangan Bio-fuel sebagai Substitusi Bahan Bakar Minyak

42

solar. Tetapi pada harga US $60/barel Bio-diesel sduah mulai bisa dijadikan alternatif untuk mengganti minyak solar. Apalagi kalau kita lihat harga minyak akhir-akhir ini yang terus naik, bahkan mencapai $70/barrel (KOMPAS, 31 Agustus 2005) menjadikan Bio-diesel sebagai pilihan energi alternatif semakin terbuka lebar.

Selain menurunkan kebutuhan minyak, penggunaan Bio-diesel sebagai bahan bakar kendaraan bermotor mempunyai dampak positif juga terhadap lingkungan, karena Bio-diesel relatif bersih dari emisi bahan-bahan pencemar seperti SOx, partikel debu serta gas rumah kaca. Nilai positif lain dari pemanfaatan Bio-diesel adalah terbukanya lapangan kerja baru, seperti pembukaan lahan bagi petani dan pekerja di industri yang berkaitan dengan pengolahan Bio-diesel.

2. PERKEMBANGAN HARGA MINYAK MENTAH DAN MINYAK SOLAR

Sebagai salah satu produk dari pengilangan minyak bumi, harga minyak solar atau ADO (Automobile Diesel Oil) sangat erat kaitannya dengan harga minyak mentah (crude oil). Sehingga, dengan meningkatnya harga minyak bumi akan menyebabkan semakin meningkatnya harga minyak solar. Selain ketergantungan pada penyediaan bahan baku, sesuai dengan hukum pasar, harga minyak solar dipengaruhi pula oleh kebutuhan atau penggunaannya. Sehingga semakin meningkatnya kebutuhan minyak, sedangkan penyediaannya semakin terbatas, diperkirakan akan menyebabkan meningkatnya harga minyak tersebut.

Meskipun Indonesia merupakan negara pengekspor minyak atau memproduksi minyak, tetapi saat ini Indonesia juga mengimport minyak, baik dalam bentuk minyak mentah (crude oil), maupun dalam bentuk produk kilang seperti minyak solar atau ADO (MIGAS, 2004). Oleh karena itu, dengan meningkatnya harga minyak dan penambahan jumlah import minyak akan mengakibatkan semakin beratnya beban Pemerintah Indonesia dalam penyediaan BBM (bahan bakar minyak). Sebagai gambaran perkembangan harga minyak solar di Indonesia dan harga rata-rata minyak mentah dunia dalam beberapa tahun terahir dapat dilihat pada Tabel 1.

Meskipun harga minyak solar pada tahun 2002 berfluktuasi, tetapi secara umum harga minyak solar di Indonesia dari 2002 sampai dengan 2004 mempunyai kecenderungan meningkat. Fluktuasi harga minyak solar pada tahun 2002 disebabkan oleh kebijakan pemerintah yang menetapkan harga BBM dievaluasi dan direvisi setiap bulan untuk penentuan harga BBM pada bulan berikutnya. Tetapi mulai tahun 2003, hal itu tidak berlaku lagi. Kebijakan pemerintah terakhir tentang harga BBM dikeluarkan pada tanggal 30 September 2005 menetapkan bahwa mulai tanggal 1 Oktober 2005 harga minyak solar di Indonesia adalah Rp 4300,- (Peraturan Presiden No.55 Tahun 2005).

Page 49: Prospek Pengembangan Biofuel BPPT

Prospek Pengembangan Bio-fuel sebagai Substitusi Bahan Bakar Minyak

43

Tabel 1. Perkembangan Harga Minyak Solar (ADO) 2002 – 2004 Tahun dan Bulan Harga Minyak Solar

(Rp/liter) Harga Minyak Mentah Indonesia (US $/barrel)

2002 1- 16 Januari 17 Januari – 28 Februari 1 Maret 1 April-2 Mei 3-31 Mei 1 Juni 1 Juli 1 Agustus 1 September 1 Oktober 1 November 1 Desember 2003 2-20 Januari 21 Januari 2004 1 Maret

1510 1510 1580 1700 1900 1900 1790 1760 1810 1920 2120 2060

1890 1650

2100

18,57 18,80 22,39 24,88 25,01 23,87 24,88 25,60 26,85 27,40 26,42 30,22

31,35 32,04

33,16

Catatan: Tahun dan bulan mengacu pada penetapan harga minyak solar. Sumber: Statistik Perminyakan Indonesia 2002, 2003, dan 2004. Ditjen. Migas..

3. PENGARUH PENINGKATAN HARGA MINYAK MENTAH TERHADAP PEMANFAATAN BIO-DIESEL

Sebagaimana umumnya masalah pengembangan sumber energi terbarukan, meskipun ketersediaan bahan baku dari sumber energi terbarukan lebih terjamin dan berkesinambungan dibandingkan sumber energi fosil, namun pengembangan sumber energi terbarukan tersebut biasanya terbentur pada masalah keekonomiannya. Keekonomian atau daya saing dari sumber energi terbarukan bukan saja dipengaruhi oleh biaya proses atau teknologi sumber energi terbarukan, tetapi juga dipengaruhi oleh harga minyak sebagai sumber energi yang utama saat ini. Sehingga dengan meningkatnya harga minyak dunia akhir-akhir ini telah mendorong penggunaan sumber energi lainnya selain minyak termasuk sumber energi terbarukan Bio-diesel.

Dalam rangka melihat peluang Bio-diesel sebagai bahan bakar alternatif pengganti atau campuran minyak solar, telah dilakukan analisis berdasarkan hasil optimasi model MARKAL (Market Allocation) yang di-run dengan fungsi objektif biaya minimum (terendah). Berdasarkan hasil optimasi dari model tersebut dapat diperoleh perkiraan energi jangka panjang dan juga munculnya energi alternatif yang mampu bersaing antara satu dengan yang lainnya .

Untuk melihat, keekonomian Bio-diesel, data masukan (input data) yang digunakan pada model tersebut antara lain, biaya investasi (INVCOST) pembangunan plant Bio-diesel yang berkapasitas 100.000 ton/tahun adalah 200 US $/ ton Bio-diesel atau sekitar 5 juta US $/PJ. Biaya operasi dan perawatan yang terdiri atas Fix dan Variable costs dari pengelolaan plant Bio-

Page 50: Prospek Pengembangan Biofuel BPPT

Prospek Pengembangan Bio-fuel sebagai Substitusi Bahan Bakar Minyak

44

diesel yang masing-masing bernilai 0,25 juta US $/PJ dan 6,65 juta US $/PJ (Didiek, DH. 2004). Bahan baku untuk pabrik Bio-diesel yang berbentuk CPO (Crude Palm Oil) dari kelapa sawit diperkirakan berharga rata-rata Rp2.600,-/kilogram (PT. Perkebunan Nusantara VIII, 2004). Harga atau biaya bahan baku tersebut diperkirakan setara dengan 8,1 juta US $/PJ. Sementara harga minyak mentah diasumsikan US $40/barrel pada kasus dasar (Base Case), dan US $60/barrel untuk skenario High Oil Case. Berdasarkan hasil optimasi model, dampak kenaikan harga minyak mentah dapat dianalisis sebagai berikut. 3.1. Harga Minyak Mentah $40/barrel ( Kasus Dasar).

Dalam kasus dasar dimana harga minyak mentah dunia diasumsikan $40/barrel, kebutuhan energi pada sektor transportasi dari 2005 sampai 2025 hasil model ditunjukkan seperti pada Tabel 2.

Tabel 2. Perkiraan Kebutuhan Energi Pada Sektor Transportasi di Indonesia 2005-2025. (Berdasarkan Harga Minyak Mentah $40/Barrel)

Jenis B.Bakar 2015 2017 2019 2021 2023 2025

Minyak Solar 725.21 806.10 886.59 965.55 1046.77 1128.95

Premium 825.23 927.98 1029.95 1158.20 1301.91 1441.22

Avtur 123.48 143.82 165.05 189.96 219.63 250.56

Minyak Bakar 20.9 1 22.86 24.74 26.87 29.41 31.86

Gas Alam 45.83 49.78 53.71 53.41 54.87 56.30

Listrik 0.21 0.21 0.21 0.24 0.24 0.27

Total 1740.87 1950.75 2160.25 2394.23 2652.83 2909.16

Sumber: Tim Perencanaan Energi BPPT, Oktober 2005.

Pada tingkat harga minyak mentah (crude oil) $40/barrel, Bio-diesel diperkirakan belum dapat bersaing secara ekonomi dengan sumber-sumber energi minyak pada sektor transportasi, sehingga hampir seluruh kebutuhan energi pada sektor transportasi masih tetap dipenuhi oleh sumber energi minyak seperti minyak solar atau ADO (Automotive Diesel Oil), premium atau bensin (gasoline), avtur, dan minyak bakar atau FO (Fuel Oil). Tetapi sumber energi jenis lain, seperti gas alam dalam bentuk CNG (Compressed Natural Gas) diperkirakan sudah mampu bersaing sejak tahun 2005 sebagai bahan bakar untuk kendaraan umum bus. Sementara itu listrik dalam jumlah yang relatif lebih terbatas diperkirakan juga sudah bisa bersaing untuk memenuhi kebutuhan energi penggerak kereta api (KRL).

Secara umum, dalam periode waktu 20 tahun yang akan dating (2005 sampai dengan 2025), total kebutuhan energi pada sektor transportasi diperkirakan akan meningkat dengan pertumbuhan rata-rata sekitar 5 persen per tahun. Minyak solar dan premium adalah sumber-sumber energi yang paling dominan pada sektor transportasi juga meningkat dengan pertumbuhan rata-rata, masing-masing 4,43 persen/tahun dan 5,15 persen/tahun. Kebutuhan gas alam pada kasus dasar ini diperkirakan akan meningkat dengan pertumbuhan rata-rata 11 persen per tahun, sehingga kebutuhan gas alam akan meningkat dengan pesat dari 3,49 PJ pada tahun 2005 menjadi 56,30 PJ pada tahun 2025.

Meningkatnya perkiraan kebutuhan gas alam tersebut diperkirakan karena meningkatnya keinginan terciptanya penggunaan energi yang berwawasan lingkungan, karena gas alam relatif lebih bersih daripada minyak

Page 51: Prospek Pengembangan Biofuel BPPT

Prospek Pengembangan Bio-fuel sebagai Substitusi Bahan Bakar Minyak

45

dalam emisi bahan-bahan pencemar. Kebutuhan listrik untuk sektor transportasi diperkirakan selama periode 20 tahun dapat dikatakan konstan, karena pengembangan penggunaan listrik sebagai bahan bakar sektor transportasi bergantung pada pengembangan jaringan rel kereta listrik yang umumnya hanya terdapat di kota besar saja. 3.2. Harga Minyak Mentah $60/barrel (Kasus Harga Minyak Tinggi).

Dalam hasil optimasi Model MARKAL, kenaikan harga minyak mentah mulai US $60/barrel diperkirakan akan berdampak pada terjadinya peningkatan daya saing sumber-sumber energi terbarukan biofuels seperti Bio-diesel dan ethanol (bioethanol). Proyeksi kebutuhan energi di sektor transportasi dan peluang Bio-diesel memenuhi ketuhan energi di sektor tersebut ditunjukkan seperti pada Tabel 3. Tabel 3. Perkiraan Kebutuhan Energi Pada Sektor Transportasi di

Indonesia 2005-2025. (Berdasarkan Harga Minyak Mentah $60/Barrel)

Jenis B.Bakar 2015 2017 2019 2021 2023 2025

Minyak Solar 583.53 611.93 635.70 668.14 497.95 489.18

Premium 594.70 569.20 555.45 540.12 610.09 680.07

Avtur 123.48 143.82 165.05 189.96 219.63 250.56

Minyak Bakar 20.91 22.86 24.74 26.87 29.41 31.86

Gas Alam 384.06 485.71 557.53 534.16 598.45 609.84

Listrik 0.21 0.21 0.21 0.24 0.24 0.27

Bio-diesel 0.00 9.95 30.01 46.39 226.68 281.28

Bioethanol 59.55 140.60 230.60 425.76 515.17 613.34

Total 1766.44 1984.28 2199.29 2431.64 2697.62 2956.40 Sumber: Tim Perencanaan Energi BPPT, Oktober 2005.

Dari Tabel 3 terlihat bahwa pada harga minyak mentah 60$/barrel,

Bio-diesel diperkirakan layak secara ekonomi mulai tahun 2017 dengan perkiraan kebutuhan sebesar 9,95 PJ atau setara dengan 0,25 juta ton atau sekitar 0,22 juta kiloliter Bio-diesel. Jika dilihat sebagai angka substitusi, konsumsi Bio-diesel tersebut setara dengan 1,60 persen dari kebutuhan minyak solar (ADO) pada sektor transportasi di Indonesia. Selanjutnya, pada tahun 2025 kebutuhan Bio-diesel di Indonesia diperkirakan akan mencapai total lebih 281 PJ yang setara dengan 7 juta ton atau 6 juta kiloliter Bio-diesel. Peluang pemanfaatan Bio-diesel tersebut meningkat drastis menjadi 57 persen dari minyak solar pada sektor transportasi pada tahun 2025. Terhadap total konsumsi energi disektor transportasi, konsumsi Bio-diesel pada tahun 2017 dan 2025 adalah setara dengan 0,50 persen dan 10 persen.

Namun demikian, hasil perkiraan model MARKAL menunjukkan bahwa kenaikan harga minyak mentah dari 40$/barrel menjadi 60$/barrel akan mengakibatkan peningkatan kebutuhan biaya (discounted cost) sistem energi keseluruhan dari 730893 juta US dollar menjadi 822736 juta US dollar. Demikian pula kenaikan harga minyak mentah tersebut mengakibatkan peningkatan biaya (discounted cost) penyediaan energi pada sektor transportasi yang lebih tinggi, yaitu dari 316554 juta US dollar menjadi 320802 juta US dollar (Tim Perencanaan Energi BPPT, 2005) atau kenaikan harga minyak mentah tersebut memerlukan biaya tambahan sekitar 4249

Page 52: Prospek Pengembangan Biofuel BPPT

Prospek Pengembangan Bio-fuel sebagai Substitusi Bahan Bakar Minyak

46

juta US dollar untuk penyedian sumber-sumber energi terbarukan seperti Bio-diesel dan ethanol pada sektor transportasi.

4. PENGARUH PENINGKATAN HARGA MINYAK MENTAH TERHADAP

PENURUNAN KONSUMSI MINYAK DAN KEBUTUHAN CPO

Meningkatnya harga minyak bukan saja berdampak pada peningkatan daya saing sumber-sumber energi terbarukan seperti Bio-diesel, tetapi dapat berdampak pada penurunan konsumsi energi minyak. Bio-diesel sebagai sumber energi alternatif pengganti minyak solar, penggunaan Bio-diesel secara tidak langsung dapat berdampak pula terhadap penurunan konsumsi minyak solar pada sektor transportasi seperti diperlihatkan pada Tabel 4.

Tabel 4. Perkiraan Penurunan Kebutuhan Minyak Solar pada Sektor Transportasi akibat Kenaikan Harga Minyak Mentah.

2015 2017 2019 2021 2023 2025

Base Case (PJ) 725.21 806.10 886.59 965.55 1046.77 1128.95

Penurunan (PJ) 141.68 194.17 250.89 297.41 548.82 639.77

Penurunan (%) 19.54 24.09 28.30 30.80 52.43 56.67 Sumber: Diolah berdasarkan perkiraan Tim Perencanaan Energi BPPT (2005).

Berdasarkan hasil model MARKAL, kenaikan harga minyak mentah dari

40$/barrel (Base Case) menjadi 60$/barrel (High Oil Case) mengakibatkan menurunnya penggunaan sumber energi minyak seperti minyak solar dan premium sebagai sumber energi pada sektor transportasi. Penurunan tersebut dapat dilihat dengan membandingkan kebutuhan minyak solar menurut base case dan high oil case. Penurunan tersebut disebabkan oleh beralihnya para pengguna atau pemakai minyak ke sumber energi lain selain minyak. Sesuai dengan kelayakan ekonomis dari sumber-sumber energi non minyak, gas alam merupakan sumber energi non minyak pada sektor transportasi yang diperkirakan sudah dipergunakan sejak tahun 2005, disusul oleh ethanol atau bioethanol sebagai bahan bakar alternatif pengganti premium yang mulai menarik secara ekonomi tahun 2013, kemudian Bio-diesel sebagai bahan bakar alternatif pengganti minyak solar yang layak secara ekonomi mulai tahun 2017. Oleh karena itu penurunan tersebut diperkirakan dari tahun ke tahun semakin meningkat, yaitu dari sekitar 1 persen pada tahun 2005 menjadi sekitar 17 persen pada tahun 2013 (mulai dipergunakannya ethanol), kemudian menjadi sekitar 24 persen pada tahun 2017 (mulai dipergunakannya Bio-diesel), dan akhirnya sekitar 57 persen dari total kebutuhan minyak solar pada tahun 2025 menurut base case.

Penghematan konsumsi minyak solar tersebut secara tidak langsung akan dapat menghemat devisa negara, sehingga penggunaan Bio-diesel tersebut diharapkan dapat meningkatkan ekspor minyak mentah dan mengurangi import minyak mentah maupun minyak solar. Selain itu, pemanfaatan bahan bakar yang berbasis biomasa hasil pertanian tersebut seperti Bio-diesel juga diharapkan dapat menciptakan lapangan kerja di pedesaan, sehingga keuntungan pemanfaatan Bio-diesel tersebut tidak saja dilihat dari segi ekonomi, tetapi harus dilihat pula dari segi sosial dan pengembangan sumberdaya manusia.

Page 53: Prospek Pengembangan Biofuel BPPT

Prospek Pengembangan Bio-fuel sebagai Substitusi Bahan Bakar Minyak

47

Dengan asumsi bahwa Bio-diesel yang dipakai bersumber dari CPO (Crude Palm Oil), maka untuk memenuhi kebutuhan Bio-diesel pada periode waktu tersebut diperlukan bahan baku berbentuk CPO (Crude Palm Oil) dari kelapa sawit yang mencapai 0,28 juta ton pada tahun 2017 menjadi hampir 8 juta ton pada tahun 2025. Berdasarkan rata-rata produksi CPO di Indonesia sebesar 1,95 ton/hektar, kebutuhan lahan untuk tanaman kelapa sawit penghasil CPO tersebut diperkirakan mencapai 0,14 juta hektar pada tahun 2017, dan lebih dari 4 juta hektar pada tahun 2025. Perkiraan kebutuhan CPO dan lahan untuk penanaman kelapa sawit yang produksinya untuk memenuhi kebutuhan Bio-diesel dari tahun 2017 sampai tahun 2025 dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Kebutuhan Lahan dan Produksi Kelapa Sawit untuk Memenuhi Kebutuhan Bio-diesel 2017 – 2025.

Unit 2017 2019 2021 2023 2025

Bio-diesel PJ 9.95 30.01 46.39 226.68 281.28 Ton 251580 758786 1172946 5731479 7112010

CPO (ton) 279183 842037 1301636 6360312 7892309

Lahan K.Sawit (Ha) 143171 431814 667506 3261699 4047338 Catatan: 1 PJ= 25284 ton Bio-diesel; 1 ton = 0,87 kiloliter Bio-diesel

Rata-rata produksi CPO di Indonesia = 1,95 ton/ha; Rata-rata kebutuhan lahan kelapa sawit di Indonesia = 14389 Ha/PJ.

5. DAMPAK LINGKUNGAN PEMAKAIAN BIOFUEL

Penggunaan Bio-diesel sebagai sumber energi alternatif pengganti minyak diperkirakan mempunyai dampak lingkungan yang positif. Bio-diesel selain merupakan sumber energi terbarukan yang tidak beracun dan biodegradable, juga merupakan sumber energi yang emisi pencemarnya rendah, sehingga Bio-diesel dapat dikatakan sebagai bahan bakar yang ramah lingkungan (Advanced Fuel Solutions, Inc., 2004). Beberapa keuntungan dampak lingkungan dari Bio-diesel dibandingkan bahan bakar minyak petroleum (Columbia University Press, 2004) antara lain sebagai berikut. • Bio-diesel dapat mengurangi emisi carbon monoksida (CO) sekitar 50

persen dan carbon dioksida (CO2) sekitar 78,45 persen berdasarkan siklushidup (lifecycle) sebab emisi carbon dari Bio-diesel merupakan carbon yang diperoleh dari atmosphere bukan dari yang sudah terikat (terjebak) dalam fosil.

• Bio-diesel mengandung beberapa aromatik hydrocarbon: pengurangan 56 persen benzofluoranthene dan pengurangan 71 persen benzopyrenes.

• Bio-diesel dapat mengurangi emisi sulfur (SO2), sebab Bio-diesel tidak mengandung sulfur.

• Bio-diesel dapat mengurangi sekitar 65 persen partikel debu. • Bio-diesel mempunyai cetane rating yang lebih tinggi dari minyak solar

yang menyebabkan kinerja mesin lebih tinggi. Namun Bio-diesel tersebut mempunyai emisi NOx yang lebih tinggi daripada minyak solar (petrodiesel) yang disebabkan oleh tingginya cetan rating. Tingginya emisi NOx tersebut dapat dikurangi dengan penggunaan catalytic converter. Bahkan penyetelan mesin secara benar juga dapat mengurangi emisi NOx dari Bio-diesel tersebut.

Page 54: Prospek Pengembangan Biofuel BPPT

Prospek Pengembangan Bio-fuel sebagai Substitusi Bahan Bakar Minyak

48

Berdasarkan hasil Model MARKAL, penggunaan Bio-diesel dan sumber energi non minyak lainnya dapat berdampak terhadap jumlah emisi polutan dan gas rumah kaca CO2 seperti diperlihatkan pada Tabel 6.

Tabel 6. Emisi Polutant dari Penggunaan Energi pada Sektor Transportasi Menurut Base Case dan High Oil Case.

Emisi CO2 (juta ton)

Emisi NOX (ribu ton)

Emisi SOX (ribu ton)

TAHUN BASE HIGHOIL BASE HIGHOIL BASE HIGHOIL

2003 70.51 61.94 228.25 184.10 29.07 18.46

2004 73.72 64.19 245.87 199.83 31.25 20.23

2005 77.98 67.57 260.56 211.03 32.91 21.38

2006 81.87 70.77 272.77 220.74 34.39 22.38

2007 85.74 74.01 284.98 230.38 35.83 23.35

2008 89.55 77.23 297.42 240.29 37.29 24.33

2009 93.34 80.38 309.56 249.86 38.71 25.29

2010 97.08 82.50 321.81 264.66 40.14 25.81

2011 102.67 86.03 340.55 285.88 42.26 26.78

2012 108.22 89.77 359.35 302.74 44.39 28.13

2013 112.98 91.21 378.12 318.63 46.10 29.53

2014 118.50 95.07 397.27 336.01 48.28 30.88

2015 123.98 98.50 415.96 353.36 50.32 32.13

2016 131.43 103.25 441.04 376.43 53.13 33.85

2017 138.94 108.07 466.13 399.77 55.95 35.55

2018 146.39 113.09 491.16 422.54 58.72 37.24

2019 153.86 118.03 516.60 443.27 61.56 39.22

2020 161.26 123.98 541.19 459.54 64.26 41.46

2021 170.54 131.60 570.86 479.85 67.54 44.24

2022 179.81 139.03 600.87 504.87 70.92 46.72

2023 188.91 142.69 630.53 529.59 74.06 49.07

2024 198.07 149.39 660.60 554.65 77.31 51.45

2025 207.18 156.80 690.68 578.21 80.54 53.97

Sumber: Tim Perencanaan Energi BPPT (2005).

Sebagaimana dijelaskan didepan bahwa dari hasil perkiraan Model

MARKAL (Tim Perencanaan Energi BPPT, 2005) menunjukkan bahwa kenaikan harga minyak mentah dari 40$/barrel menjadi 60$/barrel berakibat pada meningkatnya daya saing sumber energi gas dan energi terbarukan seperti Bio-diesel dan bioethanol sebagai sumber energi pada sektor transportasi. Hal ini membawa nilai positif pada semakin berkurangnya emisi bahan pencemar NOx dan SOx, serta gas rumah kaca CO2. Persentase pengurangan terbesar akibat penggunaan sumber-sumber energi non minyak tersebut adalah emisi SOx, yang mencapai 36 persen pada tahun 2005 dan skitar 33 persen pada tahun 2025, sedangkan persentase pengurangan emisi CO2 mencapai sekitar 12 persen pada tahun 2005 dan 24 persen pada tahun 2025. Sementara itu terjadinya pengurangan emisi NOx diperkirakan mencapai 19 persen pada tahun 2005 dan 16 persen pada tahun 2025. Namun pengurangan emisi NOx pada kasus harga minyak tinggi tersebut diperkirakan dikontribusi akibat penggunaan bahan bakar bioethanol dan gas saja, bukan akibat penggunaan Bio-diesel.

Page 55: Prospek Pengembangan Biofuel BPPT

Prospek Pengembangan Bio-fuel sebagai Substitusi Bahan Bakar Minyak

49

6. KESIMPULAN 1. Keekonomian pemanfaatan Bio-diesel sebagai sumber energi terbarukan

pengganti minyak solar pada sektor transportasi ditentukan bukan saja oleh harga Bio-diesel itu sendiri tetapi juga ditentukan oleh harga minyak mentah, semakin tinggi harga minyak mentah, semakin kecil perbedaan biaya pengadaan Bio-diesel dengan pengadaan minyak solar, sehingga semakin besar daya saing Bio-diesel sebagai pengganti atau campuran minyak solar pada sektor transportasi.

2. Berdasarkan hasil perkiraan Model MARKAL (Market Allocation), harga

minyak mulai US 60$/barrel akan berdampak pada peningkatan kelayakan ekonomi sumber-sumber energi non minyak termasuk sumber energi terbarukan Bio-diesel sebagai sumber energi alternatif. Pada level harga tersebut, Bio-diesel akan bisa bersaing mulai tahun 2017 dengan kebutuhan 9,95 PJ dan meningkat menjadi 281,28 PJ pada tahun 2025.

3. Perkiraan kebutuhan Bio-diesel perlu diantisipasi dengan penyiapan

lahan kelapa sawit untuk bahan baku yang diperkirakan mencapai 0,14 juta hektar untuk memproduksi 0,28 juta ton CPO (Crude Palm Oil) pada tahun 2017, 1 juta hektar untuk memproduksi 1,9 juta ton CPO pada tahun 2022 dan mencapai sekitar 4 juta hektar untuk memproduksi 7,9 juta ton CPU di tahun 2025.

4. Peningkatan harga minyak mentah dari 40$/barrel menjadi 60$/barrel

selain berakibat pada penggunaan sumber-sumber energi non minyak pada sektor transportasi, berakibat pula pada peningkatan total biaya (discounted cost) penyediaan energi pada sektor transportasi dari 316.554 juta US dollar menjadi 320.802 juta US dollar.

5. Keuntungan pemanfaatan Bio-diesel tidak bisa dilihat dari keuntungan

ekonomi semata, tetapi perlu juga dilihat dari segi dampak sosial dan lingkungan. Bio-diesel sebagai sumber energi terbarukan yang berbahan baku biomasa produksi pertanian, diharapkan pengembangannya dapat menciptakan lapangan kerja di pedesaan, terutama pada sektor informal. Bio-diesel juga merupakan bahan bakar yang ramah lingkungan, karena sifatnya yang tidak beracun dan biodegradable, serta mengandung sedikit emisi bahan pencemar (pollutant) dan gas rumah kaca CO2.

DAFTAR PUSTAKA. 1. www.fuelsolution.com. 2004. Iowa Workshop Expect More from Your

Fuel. Advanced Fuel Solutions, Inc. Lynnfield, MA. 01940. 2. Columbia University Press. (2004). Encyclopedia. Bio-diesel. 3. Darnoko, et al. (2001). Penggunaan Bio-diesel Sawit sebagai Bahan

Bakar Alternatif.Pusat Penelitian Kelapa Sawit. Diskusi Meja Bundar Mitigasi Emisi Gas Rumah Kaca dan Adaptasi terhadap Perubahan Iklim pada Sektor Energi. Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup. 12 April 2001.

Page 56: Prospek Pengembangan Biofuel BPPT

Prospek Pengembangan Bio-fuel sebagai Substitusi Bahan Bakar Minyak

50

4. Didiek, H.G. (2004). Harga Minyak Melonjak, Pakai Bio-diesel Kenapa Tidak? Kompas, 2 Desember 2004.

5. Direktorat Jenderal Bina Produksi Perkebunan. (2000, 2001, 2002, 2003, 2004). Statistik Perkebunan. Kelapa Sawit 2000, 2001, 2002, 2003, & 2004.

6. Direktorat Jenderal Minyak dan Gas. (2000, 2001, 2002, 2003, 2004). Statistik Perminyakan Indonesia 2000, 2001, 2002, 2003, & 2004.

7. Sudradjat, HR. Prof. Dr. (2006). Waspadai secara Serius: Keasaman Bio-diesel dari Minyak Jarak Pagar bisa Merusak Seluruh Mesin di Indonesia. Pusat Litbang Hasil Hutan. Bogor.

8. Theil, S. (2005). The Next Petroleum with Oil Prices Going through the Roof, so called Biofuel are at last becoming a viable alternative to gasoline and Diesel. Newsweek International.

9. Tim Perencanaan Energi BPPT. (2005). Hasil Run Model MARKAL. Oktober 2005.

10. KOMPAS. 31 Agustus 2005. Harga Minyak Tak Wajar. Pemerintah AS dan Spekulan Berperan Besar.

11. Macedo, I.C. (2004). Chapter 10 Converting Biomass to Liquid Fuels: Making Ethanol from Sugar Cane in Brazil. Energy as an Instrument for Socio-Economic Development. UNDP-EAP.

Page 57: Prospek Pengembangan Biofuel BPPT

Prospek Pengembangan Bio-fuel sebagai Substitusi Bahan Bakar Minyak

51

TEKNOLOGI PROSES PENCAMPURAN BIO-DIESEL DAN MINYAK SOLAR DI INDONESIA

M. Sidik Boedoyo

ABSTRACT

In the frame of bio-diesel is commercialization for industry and transportation, quality of biodiesel is standardized . One important criterion for for the Bio-diesel quality is a good mixing between bio-diesel and diesel oil. Due to different location of several biodiesel plants, biodiesel consumers and bio-diesel filling stations, bio-diesel – diesel oil mixing technologies should be selected to ensure optimal bio-diesel blend can be achieved economically and technically. The selected blending technologies should be fitted for application in diesel oil distribution depo, diesel oil filling station storage tank, and also in the diesel oil filling equipment. This section will illustrate several technologies for Bio-diesel and Diesel oil blending in particular locations.

1. PENDAHULUAN Bio-Diesel merupakan bahan bakar alternatif untuk kendaraan bermotor yang berbahan bakar minyak solar. Bio-Diesel dapat diproduksi dari kelapa sawit, kedelai, dan jarak pagar. Mengingat kelapa sawit, kedelai, dan jarak pagar merupakan tanaman yang biasa ditanam dan cukup berpotensi untuk dikembangkan di Indonesia, sehingga dengan adanya peningkatan kebutuhan minyak solar di sektor transportasi mengakibatkan alternatif pencampuran bahan bakar biodiesel dan minyak solar di Indonesia dapat diupayakan. Pencampuran bio-diesel dengan minyak solar biasanya diberikan sistem penamaan tersendiri, seperti B2, B3 atau B5 yang berarti campuran bio-diesel dan minyak solar yang masing-masing mengandung 2%, 3%, dan 5% bio-diesel. Sedangkan B20 atau B100 merupakan campuran bio-diesel dan minyak solar yang masing-masing mengandung 20% dan 100% bio-diesel. Pada umumnya konsentrasi tertinggi yang sudah dioperasikan secara komersial adalah B20. walaupun bio-diesel dapat dicampur dengan minyak solar pada berbagai konsentrasi tanpa merusak atau memodifikasi mesin, tetapi memerlukan penggantian paking karet pada beberapa peralatan karena spesifikasinya disesuaikan untuk BBM. Pada kenyataannya pencampuran minyak solar dengan bio-diesel tidaklah semudah yang diperkirakan orang. Walaupun hanya mengatur konsentrasi saja, tetapi dalam jumlah yang besar akan terjadi masalah bila konsentrasi biodiesel tidak sesuai dengan yang seharusnya. Teknologi pencampur bio-diesel dengan minyak solar ternyata ada enam jenis teknologi yang dapat diterapkan di Indonesia. Dari enam teknologi tersebut, empat diantaranya diimplementasikan pada terminal pengisian bahan bakar besar atau kecil dan sisanya satu diterapkan pada lokasi industri dan satunya lagi diterapkan di Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU).

Page 58: Prospek Pengembangan Biofuel BPPT

Prospek Pengembangan Bio-fuel sebagai Substitusi Bahan Bakar Minyak

52

Mengingat lokasi biodiesel plant pada umumnya berada didekat perkebunan kelapa sawit, sehingga dibutuhkan adanya sistem penyimpanan dengan tanki penyimpan biodiesel di wilayah terminal pengisian minyak solar (depo), dan di wilayah SPBU yang dilengkapi dengan sistem injeksi yang sesuai dengan teknologi pencampuran bio-diesel dan minyak solar pada lokasi yang telah ditentukan. Untuk memberi informasi yang lebih jelas tentang cara melaksanakan pencampuran biodiesel dengan minyak solar, pada makalah ini dibahas mengenai ”Teknologi Proses Pencampuran Bio-diesel dan Minyak Solar di Indonesia. 2 BIO-DIESEL SEBAGAI BAHAN BAKAR KENDARAAN BERBAHAN

BAKAR MINYAK SOLAR Biodiesel merupakan bahan bakar yang berwarna kekuningan yang viskositasnya tidak jauh berbeda dengan minyak solar, oleh karena itu campuran bio-diesel dengan minyak solar dapat dimanfaatkan sebagai bahan bakar kendaraan berbahan bakar minyak solar tanpa merusak atau memodifikasi mesin. Selain itu tenaga dan unjuk kerja mesin diesel dengan bahan bakar minyak solar juga tidak berubah. Meskipun demikian spesifikasi bio-diesel yang akan dicampur atau dimanfaatkan harus sesuai dengan standar yang telah ditetapkan, karena standar tersebut dapat memastikan bahwa bio-diesel yang dihasilkan dari reaksi pemrosesan bahan baku minyak nabati sempurna, artinya bebas gliserol, katalis, alkohol dan asam lemak bebas. Standar internasional untuk bio-diesel adalah ISO 14214, ASTM D 6751, dan DIN (standar biodiesel yang digunakan di Jerman), dan saat ini di Indonesia telah disusun standar bio-diesel Spesifikasi Bio-diesel sesuai standar RSNI EB 020551 ditunjukkan pada Tabel 1 yang sedikit berbeda dengan standar Biodiesel ASTM D 6751 yang ditunjukkan pada Tabel 2.

Tabel 1 Spesifikasi Bio-diesel Sesuai Standar Indonesia RSNI EB 020551

Parameter Kualitas dan units Batas Test method Altern. Method Density at 40 oC, kg/m3 850 – 890 ASTM D 1298 ISO 3675 Kinem. Visc. at 40 oC, mm2/s (cSt) 2,3 – 6,0 ASTM D 445 ISO 3104 Cetane number min. 51 ASTM D 613 ISO 5165 Flash point (closed cup), oC min. 100 ASTM D 93 ISO 2710 Cloud point, oC max. 18 ASTM D 2500 - Cu strip corrosion (3 hr, 50 oC) max. no. 3 ASTM D 130 ISO 2160 Carbon residue (%-b), - in original sample - in 10 % distillation residue

max. 0,05 (max. 0,3)

ASTM D 4530

ISO 10370

Water and sediment, %-vol. max. 0,05 ASTM D 2709 - 90 % distillation temperature, oC max. 360 ASTM D 1160 - Sulfated ash, %-w max. 0,02 ASTM D 874 ISO 3987 Sulfur, ppm-w (mg/kg) max. 100 ASTM D 5453 prEN ISO 20884 Phosphorous, ppm-w (mg/kg) max. 10 AOCS Ca 12-55 FBI-A05-03 Acid value, mg-KOH/g max. 0,8 AOCS Cd 3-63 FBI-A01-03 Free glycerol, %-w max. 0,02 AOCS Ca 14-56 FBI-A02-03 Total glycerol, %-w max. 0,24 AOCS Ca 14-56 FBI-A02-03

Page 59: Prospek Pengembangan Biofuel BPPT

Prospek Pengembangan Bio-fuel sebagai Substitusi Bahan Bakar Minyak

53

Tabel 1. Lanjutan Parameter Kualitas dan units Batas Test method Altern. Method Alkyl ester content, %-w min. 96,5 calculated FBI-A03-03 Iodine value, %-b (g-I2/100 g) max. 115 AOCS Cd 1-25 FBI-A04-03 Halphen test negative AOCS Cb 1-25 FBI-A06-03 Sumber: T.H. Soerawidjaja, Raw Material Aspects of Biodiesel Production in Indonesia, 8 Maret 2006, BPPT

Tabel 2. Spesifikasi Bio-diesel Sesuai Standar ASTM D 6751

Jenis Tes Metode Tes Limit Satuan • Flash Point • Air & Sedimen • Residu karbon (100% sampel) • Abu sulfat • Viskositas, 40oC • Sulfur • Cetane • Cloud Point • Korosi Tembaga • Derajat Keasaman • Gliserin Bebas • Gliserin Total • Phosphor • Distilasi, T90 AET

ASTM D 93 ASTM D 2709 ASTM D 4530 ASTM D 874 ASTM D 445 ASTM D 5453 ASTM D 613 ASTM D 2500 ASTM D 130 ASTM D 664 ASTM D 6854 ASTM D 6854 ASTM D 4951 ASTM D 1160

130 min. 0.05 maks. 0.05 maks.

0.02 maks. 1.9 - 6.0

0.05 maks. 47 min.

Menurut pelanggan No. 3 maks. 0.80 maks.

0.020 0.240

10 maks. 360 maks.

oC % volume % berat

% berat mm_/sec. % berat oC mg KOH/g % berat % berat ppm oC

Sumber : BPPT Perbedaan standar ini disebabkan adanya perbedaan kondisi antara Indonesia dengan Amerika Serikat, Jerman maupun negara lainnya. Seperti yang telah dijelaskan pada bab pendahuluan konsentrasi tertinggi pencampuran bio-diesel dengan minyak solar yang sering diterapkan tanpa perubahan atau memodifikasi mesin adalah B20, sedangkan konsentrasi B100 walaupun juga dapat diterapkan namun secara ekonomi masih mahal dan masih terjadi beberapa kendala. Beberapa karakteristik dari bio-diesel (B100) adalah sebagai berikut.

• Kandungan sulfur kurang dari 15 ppm • Bebas aromatik • Angka cetane yang tinggi (lebih dari 50) • Lubrikasi yang tinggi (lebih dari 6000 gram BOCLE) • Bisa terdegradasi secara alami • Tidak bersifat karsinogen • Flash point yang tinggi (lebih dari 127 oC) • Nilai kalor 8% lebih rendah dari solar. • Pelarut yang baik (melarutkan sedimen) • Berpengaruh pada selang dan gasket karet mobil yang dibuat sebelum

tahun 1993. • Diperlukan pemanasan pada tangki penyimpanan bio-diesel pada musim

dingin.

Page 60: Prospek Pengembangan Biofuel BPPT

Prospek Pengembangan Bio-fuel sebagai Substitusi Bahan Bakar Minyak

54

Biodiesel yang memenuhi standar akan bersifat sangat tidak beracun dengan tingkat toksisitas (LD50) lebih kecil dari 50 ml/kg. Jika diartikan secara lebih sederhana, biodiesel sepuluh kali lebih tidak berbahaya dibanding dengan garam meja. Dari segi lingkungan pemakaian biodiesel mempunyai beberapa kelebihan dibandingkan pemakaian minyak solar, yaitu:

• Pengurangan emisi CO sebesar 50%, emisi CO2 sebesar 78,45%; • Biodiesel mengandung lebih sedikit hidrokarbon aromatik: pengurangan

benzofluoranthene 56%, benzopyrenes 71%; • Tidak menghasilkan emisi sulfur (SO2); • Pengurangan emisi partikulat sebesar 65%; • Pengapian yang lebih sempurna karena angka cetane yang tinggi. • Menghasilkan emisi NOX lebih kecil dibanding dengan penggunaan

minyak diesel biasa disebabkan angka cetane yang tinggi.

3. JENIS TEKNOLOGI PENCAMPURAN BIODIESEL DAN MINYAK

SOLAR

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya ada enam jenis teknologi pencampuran yang secara tekno-ekonomi bisa diterapkan, yaitu Pencampuran Splash Pada Tanki Terminal, Pencampuran Sekuensial Pada Rak Pipa Pengisian, Pencampuran Sekuensial Pada Loading Arm Pengisian, Pencampuran Injeksi Pada Rak Pipa, Pencampuran Pada Lokasi Industri, dan Pencampuran di Stasiun Pengisian bahan Bakar Umum (SPBU). Empat dari ke-enam jenis teknologi tersebut, diimplementasikan pada terminal pengisian bahan bakar besar atau kecil, sedangkan yang dua, dapat diterapkan pada lokasi industri dan di Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU). Hal yang perlu dipertimbangkan sebelum melakukan pencampuran bio-diesel dengan minyak solar adalah:

• menentukan sistem penyimpanan dan sistem injeksi yang disesuaikan dengan kondisi lokasi pencampuran seperti terminal besar, terminal yang lebih kecil, industri serta stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU);

• mengevaluasi sistem penanganan pencampuran untuk menjamin kelancaran operasi;

• menentukan konsentrasi pencampuran B10, B20 atau lainnya, dan • koordinasi dengan pemasok biodiesel mengenai cara, jumlah dan jadwal

pengiriman.

Gambar 1 menunjukkan sistem pencampuran bio-diesel dan minyak solar pada terminal bahan bakar. Sistem pencampuran bio-diesel dan minyak solar pada terminal bahan bakar tersebut, sudah mencakup pencampuran pada tanki terminal bisa sekuensial atau splash batch, pencampuran sekuensial pada rak pipa pengisian, pencampuran sekuensial pada loading arm pengisian, dan pencampuran injeksi pada rak pipa.

Page 61: Prospek Pengembangan Biofuel BPPT

Prospek Pengembangan Bio-fuel sebagai Substitusi Bahan Bakar Minyak

55

Gambar 1 Sistem Pencampuran Biodiesel Pada Terminal Bahan Bakar

3.1 Pencampuran Splash Pada Tanki Terminal

Teknologi Pencampuran Splash pada Tanki Terminal ini tidak begitu rumit yaitu hanya mencampur bio-diesel dengan minyak solar di dalam tanki. Pencampuran pada tanki terminal bisa sekuensial atau splash batch. Berat jenis (spesific gravity) bio-diesel lebih berat daripada minyak solar, yaitu nilainya 0,88 untuk bio-diesel dan 0,85 untuk minyak solar. Oleh sebab itu untuk splash batch, diusahakan biodiesel di campur di atas minyak solar dan penggunaan teknologi ini mempunyai keuntungan dan kerugian. Keuntungan dari penggunaan teknologi ini antara lain:

• Pengoperasiannya mudah dan biayanya tidak mahal; • Biodiesel bisa dicampur sebelum, pada saat atau setelah bahan bakar

dikirim; • Untuk pencampuran yang optimal, biodiesel dapat diinjeksikan secara

proporsional pada pipa sebelum masuk tangki penyimpanan; • Dengan biaya investasi yang minimal diperoleh hasil yang mempunyai

akuntabilitas akurat. Sedangkan kerugian dari penggunan teknologi ini adalah:

• Semua minyak solar di dalam tangki penyimpanan yang sudah dicampur dengan biodiesel tidak lagi bisa diekspor sebagai minyak solar

• Campuran bio-diesel dan solar dalam tangki harus disirkulasi atau diaduk untuk mempertahankan suspensi dan homogenitas bio-diesel.

Biaya investasi dari sistem pencampuran splash batch dengan kapasitas 1,5 juta gallon per bulan ditunjukkan pada Tabel 3 .

Page 62: Prospek Pengembangan Biofuel BPPT

Prospek Pengembangan Bio-fuel sebagai Substitusi Bahan Bakar Minyak

56

Tabel 3 Biaya Investasi Sistem Pencampuran Splash

Jumlah (Unit)

Jenis Alat Biaya (US$)

1

1

1

1

1

1

1

1

1

1

Tangki Penyimpanan kapasitas 30.000 galon

Heated dan Insulated

Fondasi

Mixer

Pemanas

Pompa Umpan Biodiesel (20 GPM P/D)

Flow meter (20 GPM) 4-20 mA Biodiesel

Flow meter Saluran Utama

Valve, Check valve

Konstruksi sipil, mekanis dan elektris

40.000

20.000

15.000

7.500

7.500

20.000

3.000

5.000

2.500

45.000

Total Biaya Investasi 165.500

Sumber: Iowa 3.2 Pencampuran Sekuensial (sebagian-sebagian) Pada Rak Pipa

Pengisian

Sistem Pencampuran Sekuensial pada Rak Pipa Pengisian ini beroperasi dengan mencampur bio-diesel pada jalur pengisian bahan bakar ke sistem transportasi bahan bakar seperti truk. Debit dikendalikan dengan katup yang dikendalikan motor serta meter indikator. Pada peralatan untuk negara 4 musim dilengkapi dengan pemanas, dan pipa panas yang diisolasi yang memakan biaya yang cukup besar baik untuk investasi maupun operasi, tetapi di Indonesia sebagai negara tropis tidak diperlukan. Investasi alat set pemanas ini mencapai 15 % dari total nilai alat pencampur, sedangkan dalam biaya operasi akan memerlukan penyediaan listrik yang memakan biaya operasi cukup besar dalam biaya pencampuran.

Alat pencampur sekuensial pada rak pipa pengisian ini, ditunjukkan pada Gambar 2.

Gambar 2 Alat Pencampur Sekuensial

Page 63: Prospek Pengembangan Biofuel BPPT

Prospek Pengembangan Bio-fuel sebagai Substitusi Bahan Bakar Minyak

57

Tabel 3 Biaya Investasi Sistem Pencampuran Sekuensial Rak Pipa Pengisian

Jumlah (Unit)

Jenis Alat Biaya (US$)

1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1

Tangki Penyimpanan kapasitas 30.000 galon Heated dan Insulated Fondasi Mixer Pemanas Pompa Umpan Biodiesel (20 GPM P/D) Flow meter (20 GPM) 4-20 mA Biodiesel Control valve Valve, Check valve Konstruksi sipil, mekanis dan elektris Sistem Otomasi

40.000 20.000 15.000 7.500 7.500

20.000 3.000 5.000 2.500

45.000 10.000

Total Biaya Investasi 175.500 Sumber: Iowa

3.2 Pencampuran Sekuensial Pada Loading Arm Pengisian Pencampuran sekuensial pada loading arm pengisian ini mempunyai keuntungan yaitu tidak terlalu banyak merubah sistem pengisian di terminal seperti depo. Bahan bakar minyak solar dicampur dengan bio-diesel tepat pada saat mau dimasukkan kedalam sistem transportasi bahan bakar seperti truk. Kerugian dari sistem ini adalah biaya operasi dan perawatan serta instalasi meningkat. Biaya investasi sistem pencampuran sekuensial pada rak jalur pipa pengisian dengan kapasitas 1,5 juta galon per bulan ditunjukkan pada Tabel 4.

Tabel 4 Biaya Investasi Sistem Pencampuran Sekuensial Pada Loading Arm

Jumlah (Unit)

Jenis Alat Biaya (US$)

1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1

Tangki Penyimpanan kapasitas 30.000 galon Heated dan Insulated Fondasi Mixer Pemanas Heated dan Insulated Pipa Rak 2” Pompa Umpan Biodiesel (20 GPM P/D) Flow meter (20 GPM) 4-20 mA Biodiesel Control valve 4” Valve, Check valve Konstruksi sipil, mekanis dan elektris Sistem Otomasi

40.000 20.000 15.000 7.500 7.500

10.000 9.000 3.000 4.500 2.500

55.000 10.000

Total Biaya Investasi 184.000 Sumber: Iowa

Page 64: Prospek Pengembangan Biofuel BPPT

Prospek Pengembangan Bio-fuel sebagai Substitusi Bahan Bakar Minyak

58

3.3 Pencampuran Injeksi Pada Rak Pipa Bio-diesel dicampur sebagai bahan bakar aditif secara proporsional dengan bahan bakar minyak solar solar yang akan diisikan ke sistem transportasi dengan pencampuran injeksi pada rak pipa. Sebagian besar operator terminal pengisian mengenal dengan baik sistem aditif ini, sedangkan cara operasionilnyapun sangat sederhana. Yang perlu diatur ialah distandarkan adalah alat yang secara otomatis mengatur harga dari campuran bio-diesel sesuai dengan konsentrasi campuran bio-diesel tesebut. Biaya investasi pada kapasitas 1,5 juta galon per bulan bisa dilihat pada Tabel l 5.

Tabel 5 Biaya Investasi Sistem Pencampuran Injeksi Aditif Pada Rak Pipa

Jumlah (Unit)

Jenis Alat Biaya (US$)

1 1 1 1 1 1 1 1 1 1

Tangki Penyimpanan kapasitas 50.000 galon Dual Pump/Motor skid w/ 8-10 GPM Pumps Fondasi dan Kontainer beton Mixer Pemanas Instalasi Peralatan Tangki Insulate Injector, tubing, valves Instalasi peralatan injector termasuk listrik Sistem Otomasi

50.000 12.000 15.000 7.500 7.500

30.000 25.000 8.000 4.500

10.000

Total Biaya Investasi 169.500 Sumber: Iowa

3.4 Pencampuran Pada Lokasi Industri Sistem pencampuran pada Lokasi Industri ini mencampur biodiesel dengan minyak solar tanpa sistem otomasi dan pembatasan lainnya karena sifatnya yang mengarah ke pemakaian sendiri. Di lokasi industri pada umumnya biodiesel dicampur secara langsung, pada saat pengisian tangki solar. Misalnya bila ditetapkan menggunakan B20, maka dipindahkan 1600 liter Bio-diesel setelah atau sebelum tangki penyimpanan diisi oleh 1 truk tangki (8 KL). Investasi instalasi pencampuran bio-diesel di lokasi industri meliputi pekerjaan sipil, tangki penyimpanan, meter pengisian, pemanas dan pengaduk. Untuk Indonesia serta negara-negara tropis dimana temperatur udara luar sekitar berkisar antara 25° C sampai 34° C, dan jauh diatas pour point atau titik beku dari bio-diesel sehingga tidak diperlukan pemanas. Pemanas mungkin diperlukan untuk wilayah dengan temperatur udara dibawah 15° C. Biaya investasi sistem ini pada kapasitas 0,5 juta galon per bulan ditunjukkan pada Tabel 6, sedangkan konfigurasi sistem tersebut ditunjukkan pada Gambar 3. Konfigurasi sistem tersebut menunjukkan kesederhanaan sistem bila pencampuran dilaksanakan di lokasi industri.

Page 65: Prospek Pengembangan Biofuel BPPT

Prospek Pengembangan Bio-fuel sebagai Substitusi Bahan Bakar Minyak

59

Tabel 6 Biaya Investasi Sistem Pencampuran di Lokasi Industri (Jobber)

Jumlah (Unit)

Jenis Alat Biaya (US$)

1 1 1 1 1 1 1

Tangki Penyimpanan 10.000 galon dinding ganda Meter Pengisian Biodiesel Insulasi Pemanas Mixer Penyangga beton Tangki Peralatan dan Instalasi Tangki

30.000

25.000 10.000 7.500 7.500 8.000

20.000 Total 108.000

Sumber: Iowa Untuk wilayah di Indonesia pada umumnya tidak diperlukan pemanas karena temperatur udara yang cukup tinggi, mencapai diatas titik beku bio-diesel.

Gambar 3 Sistem Pencampuran Pada Lokasi Industri (Jobber)

3.5 Pencampuran di Stasiun Pengisian bahan Bakar Umum (SPBU) Teknologi pencampuran yang terakhir adalah pencampuran bio-diesel secara langsung di SPBU. Sistem ini menambah bio-diesel secara otomatis dan proporsional ketika bahan bakar solar dimasukkan ke tanki penyimpan yang ada di SPBU, pada saat yang sama juga menghitung biaya per liter yang harus dibayar konsumen sesuai dengan derajat pencampuran bio-diesel. Di negara maju dimana konsumen dapat memilih konsentrasi campuran B1 –B20 maka diperlukan peralatan otomatis yang terintegrasi antara volume bio-diesel yang diinjeksikan dengan harga bahan bakar. Sedangkan untuk komposisi Bio-diesel yang tetap bio-diesel diinjeksikan ke bahan bakar solar tanpa peralatan dengan sistem otomasi. Sudah banyak lokasi ritel (SPBU) yang menerapkan teknologi ini.. Biaya investasi pada kapasitas 0,5 juta galon per bulan dan konfigurasinya ditunjukkan pada Tabel 7 dan Gambar 4.

Page 66: Prospek Pengembangan Biofuel BPPT

Prospek Pengembangan Bio-fuel sebagai Substitusi Bahan Bakar Minyak

60

Tabel 1 Biaya Investasi Sistem Pencampuran di SPBU

Jumlah (Unit)

Jenis Alat Biaya (US$)

1 1 1 1 1 1 1

Tangki Penyimpanan 10.000 galon dinding ganda Dual pump/motor skid Injektor tiap tangki penyimpanan Adapter, meter, valves tangki Insulasi Pemanas Instalasi sistem keseluruhan

30.000 12.000 5.000 4.500 4.000 7.500

10.000

Total 73.000 Sumber: Iowa

Gambar 4 Sistem pencampuran Biodiesel di SPBU (Lokasi Ritel) 4. KESIMPULAN 1. Mengingat viskositas dan karakteristik bio-diesel tidak jauh berbeda

dengan minyak solar, maka campuran bio-diesel dengan minyak solar dalam konsentrasi tertentu dapat dimanfaatkan sebagai bahan bakar kendaraan berbahan bakar minyak solar tanpa merusak atau memodifikasi mesin, dan dalam pengujian tenaga dan unjuk kerja mesin berbahan bakar minyak solar juga tidak berubah. Meskipun demikian agar konsumen memperoleh pasokan bahan bakar sesuai kualitas, spesifikasi bio-diesel yang akan dicampur atau dimanfaatkan harus disesuaikan dengan standar yang telah ditetapkan. Standar internasional untuk bio-diesel adalah ISO 14214, ASTM D 6751, DIN standar biodiesel yang digunakan di Jerman, dan RSNI 020557 untuk Indonesia .

2. Enam jenis teknologi pencampuran yang secara tekno-ekonomi layak untuk diterapkan dimana, empat dari ke-enam jenis teknologi tersebut, bisa diimplementasikan pada terminal pengisian bahan bakar besar atau kecil

Page 67: Prospek Pengembangan Biofuel BPPT

Prospek Pengembangan Bio-fuel sebagai Substitusi Bahan Bakar Minyak

61

yaitu Pencampuran Splash Pada Tanki Terminal, Pencampuran Sekuensial Pada Rak Pipa Pengisian, Pencampuran Sekuensial Pada Loading Arm Pengisian, dan Pencampuran Injeksi Pada Rak Pipa, kemudian 2 teknologi pencampur lainnya ialah, Pencampuran langsung pada Lokasi Industri, serta Pencampuran dengan injeksi di Stasiun Pengisian bahan Bakar Umum (SPBU).

3. Hal yang perlu diperhitungkan ialah pencampuran biodiesel dengan minyak solar juga memerlukan biaya yang cukup tinggi, terutama bila bio-diesel dicampur di terminal pengisian karena memerlukan ketelitian dan kontinuitas yang tinggi agar konsentrasi dan kualitas campuran tepat dengan yang diharapkan. Demikian juga untuk pencampuran di SPBU memerlukan sistem injeksi yang kontinyu dengan volume pencampuran yang tepat.

DAFTAR PUSTAKA 1. BPPT. Kajian Lengkap Prospek Pemanfaatan Biodiesel Dan Bioethanol Pada

Sektor Transportasi Di Indonesia. 2005. 2. Advanced Fuel Solutions, Inc., “Iowa Workshop: Expect More From Your

Fuel”, Iowa Soybean Association, http://www.iasoybeans.com/checkoff/soybiodiesel.html.

3. Wikipedia, “Biodiesel”, http://en.wikipedia.org/wiki/Biodiesel. 4. T.H. Soerawidjaja, “Raw Material Aspects of Biodiesel Production in

Indonesia”, 8 Maret 2006, BPPT

Page 68: Prospek Pengembangan Biofuel BPPT

Prospek Pengembangan Bio-fuel sebagai Substitusi Bahan Bakar Minyak

62

Page 69: Prospek Pengembangan Biofuel BPPT

Prospek Pengembangan Bio-fuel sebagai Substitusi Bahan Bakar Minyak

63

PEMANFAATAN BIO-ETHANOL SEBAGAI BAHAN BAKAR KENDARAAN BERBAHAN BAKAR

PREMIUM

La Ode M. Abdul Wahid

ABSTRACT

The premium gasoline is a main fuel for transportation sector, especially for land transportation that use private and public transportation. In order to reduce the amount of gasoline import that increases year by year, the Government launched bio-ethanol – premium gasoline mix program, a mixture of certain amount of 95% purification bioethanol into premium gasoline. In the 1983, performance testing of bioethanol vehicles conducted, in 100 cars and 32 motor cycles. The testing result proved that the performance of the car engine was not decreased significantly, but some of the gasoline tank and packing were leaked. Recently, the fuel based ethanol (99.5% purification minimal) are used in the car and other land transportation vehicles. It is also proved that the gasoline – bio-ethanol mixed will released smaller emission compare with gasoline only, except aldehydes. Considering to the economic evaluation, it is clear that the price of bio-ethanol (include tax, delivery cost, and benefit) today almost the same level with premium gasoline.

1. PENDAHULUAN

Premium merupakan bahan bakar yang banyak digunakan pada sektor transportasi, khusunya transportasi darat, baik kendaraan pribadi maupun kendaraan umum. Kebutuhan bahan bakar premium pada tahun 2004 sejumlah 16.418 ribu KL ini, dipenuhi oleh kilang didalam negeri sebesar 11.436 ribu KL dan sisanya sebesar 4.982 ribu KL diimpor. Mengingat kebutuhan premium terus meningkat sedangkan produksi dari tahun ketahun cenderung tetap, maka dapat diperkirakan bahwa dimasa mendatang impor premium ini akan terus meningkat. Salah satu alternatif untuk mengurangi ketergantungan pada impor premium ialah dengan mencampurkan bio-ethanol yang merupakan energi terbarukan pada premium dengan konsentrasi tertentu.

Bio-ethanol dikenal sebagai bahan bakar yang ramah lingkungan, karena bersih dari emisi bahan pencemar. Bio-ethanol dapat dibuat dari bahan baku tanaman yang mengandung pati seperti ubi kayu, ubi jalar, jagung, sagu, dan tetes. Ubi kayu, ubi jalar, dan jagung merupakan tanaman pangan yang biasa ditanam rakyat hampir di seluruh wilayah Indonesia, sehingga jenis tanaman tersebut merupakan tanaman yang potensial untuk dipertimbangkan sebagai sumber bahan baku pembuatan bio-ethanol atau gasohol. Pada tahun 1982 BPPT telah mengawali pembangunan pabrik ethanol di Tulang Bawang yang berkapasitas 15000 liter ethanol/hari yang setiap harinya memerlukan sekitar 90 ton bahan baku ubi jalar dan atau ubi kayu. Pembangunan pabrik ethanol tersebut dimaksudkan sebagai substitusi premium di sektor transportasi,

Page 70: Prospek Pengembangan Biofuel BPPT

Prospek Pengembangan Bio-fuel sebagai Substitusi Bahan Bakar Minyak

64

khususnya untuk wilayah yang menghasilkan ubi jalar dan atau ubi kayu. Berkaitan dengan hal tersebut, pada tahun 1883 Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) melakukan pengkajian pemanfaatan campuran bio-ethanol dan premium pada bahan bakar kendaraan berbahan bakar premium di Indonesia.

Meskipun program pemanfaatan bio-ethanol pada saat itu sebagai bahan bakar kendaraan secara ekonomi masih belum layak, namun program tersebut mempunyai manfaat lain, yaitu dapat mengurangi konsumsi bahan bakar minyak (BBM) di dalam negeri, mendorong program diversifikasi (penganeka ragaman) energi, mendorong terciptanya pemanfaatan energi yang berwawasan lingkungan (ethanol termasuk bahan bakar yang bersih dari bahan pencemar), merangsang pertumbuhan industri penunjang serta, mendorong terciptanya lapangan kerja dan peningkatan ekonomi di daerah.

Oleh karena itu dalam makalah ini dibahas tentang “Pemanfaatan bio-ethanol sebagai bahan bakar kendaraan berbahan bakar premium”untuk mendapatkan gambaran pemanfaatan bio-ethanol sebagai bahan bakar kendaraan bermotor (fuel internal combustion motor vehicles), baik sebagai bahan bakar tunggal (100% ethanol) maupun sebagai bahan bakar ganda atau campuran dengan premium (bi-fuels),. 2. PERKEMBANGAN PRODUKSI ETHANOL DAN BIO-ETHANOL DI

INDONESIA

Sejak tahu 1986 pabrik ethanol BPPT di Lampung mengubah bahan bakunya dari ubi jalar dan ubi kayu dengan Mollase atau tetes. Hal ini disebabkan sulitnya memperoleh bahan baku ubi jalar maupun ubi kayu, yang disebabkan oleh harga bahan baku yang tinggi dan persaingan dengan industri tepung. Di Indonesia pada saat ini ethanol di produksi dari tetes untuk keperluan bahan farmasi oleh PTPN XI, PG Rajawali II, Molindo Raya Industrial, Indo Lampung Distilerry, Indo Acidatama, Aneka Kimia Nusantara, dll. Dari tahun 1997 hingga tahun 2001, produksi ethanol di Indonesia relative konstan, yaitu sekitar 159000 kl dan pada tahun 2002 meningkat menjadi 174000 kl. Sejumlah 26% dari total produksi pada tahun 2002 tersebut di produksi oleh Indo Acidatama, kemudian diikuti oleh Molindo Raya Industrial. Dan Indo Lampung Distilerry yang masing-masing besarnya produksi 23% dari total produksi pada saat itu. Pangsa produksi ethanol tahun 2002 masing-masing plant ethanol ditunjukkan pada Gambar 1.

Page 71: Prospek Pengembangan Biofuel BPPT

Prospek Pengembangan Bio-fuel sebagai Substitusi Bahan Bakar Minyak

65

Total Produksi Tahun 2002: 174000 KL

9%4%

6%

23%

23%

26%

9%

Lain-Lain PTPN XIPG Rajawali II Molindo Raya IndustrialIndo Lampung Distilerry Indo AcidatamaAneka Kimia Nusantara

Gambar 1. Pangsa produksi ethanol tahun 2002 dari masing-masing plant

ethanol

Dari gambar diatas terihat bahwa produksi yang terbesar adalah Indo Acidatama, disusul oleh Indon Lampung Distilerry dan Molindo Raya Industrial. Industri ethanol yang lain mempunyai kapasitas produksi yang jauh lebih kecil dibanding dengan ketiga industri tersebut. Produksi alkohol diatas merupakan kondisi yang disesuaikan dengan kebutuhan dan pasar alkohol yang ada, baik dalam negeri maupun ekspor. Bila alkohol diarahkan untuk menjadi bahan bakar pengganti premium, maka kebutuhan akan alkohol atau ethanol akan meningkat dengan cepat. Pada tahun 2004 penjualan Premium di dalam negeri mencapai 16,418 Juta Kilo Liter, bila 1% kebutuhan ini digantikan oleh alkohol maka diperlukan 0,164 Juta Kilo Liter, padahal produksi ethanol saat ini sekitar 0,18 Juta Kilo Liter. Oleh karena itu perlu dicari potensi sumber ethanol yang dapat diperoleh dari berbagai laternatif bahan baku 2.1 Potensi Sumber Bio-Ethanol Di Indonesia

Bioethanol selain untuk bahan baku kimia juga dapat dipergunakan sebagai bahan bakar kendaraan pengganti bensin atau premium. Dengan produksi ethanol di daerah, maka diharapkan daerah dapat mengganti atau mengurangi konsumsi premium yang untuk sebagian besar wilayah di Indonesia didatangkan dari daerah lain. Berkaitan dengan hal tersebut, dalam bab ini diperhitungkan potensi sumber bio-ethanol dengan melihat potensi ketersediaan bahan baku untuk pembuatan ethanol.

Selain tetes atau mollase, tanaman lain yang dapat dipergunakan sebagai bahan baku produksi ethanol (bio-ethanol) adalah ubi kayu, ubi jalar, jagung, dan sagu. Dari semua jenis bahan baku tersebut, di Indonesia ubi kayu mempunyai potensi lebih besar sebagai bahan baku pembuatan ethanol. Hal ini disebabkan ubi kayu dapat ditanam hampir di semua jenis tanah mulai dari lahan yang subur sampai ke lahan kering, bahkan lahan kritis sekalipun. Disamping itu intensitas produksi ubi kayu per hektar dalam satu tahun relatif cukup tinggi yaitu antara 15 sampai 27 ton per hektar.

Page 72: Prospek Pengembangan Biofuel BPPT

Prospek Pengembangan Bio-fuel sebagai Substitusi Bahan Bakar Minyak

66

Secara umum, semua wilayah di Indonesia dapat ditanami ubi kayu, walaupun Pulau Sumatra dan Jawa mempunyai perkembangan produksi ubi kayu yang sangat baik. Mengingat semua wilayah Indonesia dapat ditanami ubi kayu, sehingga bio-ethanol plant yang berbahan baku ubi kayu berpotensi untuk dikembangkan di Indonesia. Rata-rata untuk produksi 1 liter bio-ethanol diperlukan 6,5 kg ubi kayu, berdasarkan perhitungan tersebut diatas serta produksi ubi kayu di Indonesia dari tahun 1998 sampai 2002 dapat diperkirakan potensi ketersediaan bio-ethanol dari ubi kayu di Indonesia dari tahun 1998 s.d 2002, yaitu 249 ribu KL pada tahun 1998, 208 ribu KL pada tahun 1999, 229 ribu KL tahun 2000, 219 ribu KL pada tahun 2001 dan 221 ribu KL tahun 2002. Besarnya perkiraan potensi ketersediaan bio-ethanol per wilayah di Indonesia dari tahun 1998 s.d 2002 ditunjukkan pada Gambar 2.

0

50

100

150

200

250

1998 1999 2000 2001 2002

Per

kira

n P

rodu

ksi

Bio

-Eth

anol

(Rib

u kl

)

Sumatera JawaBali,Nusa T & Tim-Tim KalimantanSulawesi Maluku dan Papua

Gambar 2. Perkiraan Potensi Ketersediaan Bio-Ethanol dari Ubi Kayu Per Wilayah Di Indonesia Dari Tahun 1998 S.D 2002

Dari gambar tersebut terlihat bahwa produksi ubi kayu yang dapat

dipergunakan sebagai bahan baku ethanol yang terbesar adalah di pulau Jawa, disusul Sumatera ethanol adanya penurunan sebesar - 2,28% per tahun Penurunan potensi tersebut pada umumnya akibat perubahan sebagian status lahan dari lahan yang ditanami ubi kayu dan ubi jalar menjadi lahan perumahan atau perkebunan, serta adanya perubahan musim. Selain dari ubi jalar, ubi kayu dan sumber pati-patian lainnya, ethanol juga dapat diproduksi dari bahan lain yaitu selulosa, atau dari unsur kayu-kayuan, yang akan dapat memanfaatkan limbah hutan dan pertanian yang banyak diperoleh di seluruh wilayah Indonesia. Masalah utama dari penggunaan limbah hutan dan pertanian ialah pengumpulan yang agak sulit dilakukan. 2.2 Potensi Pemanfaatan Bio-Ethanol di Indonesia

Sebagaimana diketahui bahwa ethanol/bio-ethanol mempunyai nilai oktan yang lebih tinggi dibandingkan dengan premium. Ethanol/bio-ethanol apabila dicampur dengan premium dapat meningkatkan nilai oktan, dimana nilai oktan untuk ethanol/bio-ethanol 98% adalah sebesar 115, selain itu mengingat ethanol/bio-ethanol mengandung 30% oksigen, sehingga campuran ethanol/bio-ethanol dengan gasoline dapat masuk katagorikan high octane gasoline (HOG), dimana campuran sebanyak 15% bioethanol setara dengan

Page 73: Prospek Pengembangan Biofuel BPPT

Prospek Pengembangan Bio-fuel sebagai Substitusi Bahan Bakar Minyak

67

pertamax (RON 92) dan campuran sebanyak 24% bioethanol setara dengan pertamax plus (RON 95). Hal itu menunjukkan bahwa bio-ethanol dapat dimanfaatkan sebagai aditif pengganti MTBE untuk meningkatkan efisiensi pembakaran dan menghasilkan gas buang yang lebih bersih. Pada tahun 2003, pasar HOG menurut Pertamina adalah sebesar 1750 kl/hari, dimana 1400 kl/hari berasal dari pertamax (RON 92) dan 350 kl/hari berasal dari pertamax plus (RON 95). Pada tahun yang sama ethanol diperkirakan dapat memasok 294 kl/hari, dimana 210 kl/hari ethanol yang dipasok setara dengan pertamax (RON 92) dan 84 kl/hari ethanol yang dipasok setara dengan pertamax plus (RON 95). Apabila pada tahun 2013, diperkirakan pasar HOG dan ethanol meningkat 10 kali lipat terhadap tahun 2003, sehingga dapat dipastikan bio-ethanol berpotensi untuk diproduksi dan dimanfaatkan. Potensi pemanfaatan bio-ethanol sebagai pengganti Pertamax dan Pertamax Plus di Indonesia ditunjukkan pada Gambar 3.

0

2000

4000

6000

8000

10000

12000

14000

2003 2013

Tahun

Vol

ume

(KL/

hari)

Volume RON 92 Volume RON 95Vol Ethanol/Bio-Eth. setara RON 92 Vol Ethanol/Bio-Eth. setara RON 95

Gambar 3. Potensi Pemanfaatan Bio-Ethanol di Indonesia 2003

Walaupun ethanol/bio-ethanol mempunyai nilai oktan (octane rating) lebih tinggi dan emisi yang lebih bersih dibanding premium, namun ethanol/bio-ethanol juga mempunyai sifat korosif dan membuat mesin lebih sulit distarter. Sifat korosif ini menyebabkan diperlukannya material yang tahan korosif pada peralatan-peralatan tertentu seperti, tanki bahan bakar, karburator, pipa-pipa, karet-karet penyekat dan lain-lain peralatan. Sedangkan kesulitan dalam starter ini memang sulit dihindari, karena temperatur pembakaran sendiri/flash point ethanol yang tinggi sehingga pembakaran secara homogen akan sulit tercapai pada tekanan kompresi di ruang bakar, khususnya pada mobil lama yang menggunakan karburator konvensionil. Oleh karena itu, penggunaan campuran Bioethanol dalam premium dibatasi antara 5 – 25% agar kinerja mesin tidak terlalu berbeda, sedangkan pemakaian campuran yang lebih besar harus menggunakan mesin yang sudah dimodifikasi atau mesin yang khusus untuk pemakaian ethanol. Penggunaan Bio-ethanol sebagai pengganti atau substitusi Premium telah dilaksanakan di berbagai negara, seperti Amerika Serikat, Jerman, Belanda, New Zaeland, Brazilia serta banyak negara lain, tetapi hanya Brazilia dan Amerika Serikat yang telah menerapkan teknologi mesin kendaraan untuk ethanol 85% (E85) secara komersial. Di Amerika Serikat.sejumlah 3 juta

Page 74: Prospek Pengembangan Biofuel BPPT

Prospek Pengembangan Bio-fuel sebagai Substitusi Bahan Bakar Minyak

68

kendaraan dengan sistem dual fuel atau FFV (Flexible Fuel Vehicles) telah menggunakan E85 yang dipasarkan melalui sekitar 240 SPBU. Perbandingan sifat thermal, kimia dan fisika dari ethanol/bio-ethanol dan premium ditunjukkan pada Tabel 1.

Tabel 1. Perbandingan sifat thermal, kimia dan fisika dari ethanol/bio-ethanol dan premium

No. Keterangan Unit Ethanol/Bio-

Ethanol Premium

1. Sifat Thermal a. Nilai kalor b. Panas penguapan pada 20o C c. Tekanan uap pada 38o C d. Angka oktan motor e. Angka oktan riset f. Index Cetan g. Suhu pembakaran sendiri h. Perbandingan nilai bakar terhadap

premium

(kkal/liter) (kkal/liter) (Bar) (MON) (RON) (oC)

5023,3 6,4 0,2 94,0 111,0 3,0 363,0 0,6

8308,0 1,8 0,8 82,0 91,0 10,0 221,0-260,0 1,0

2. Sifat Kimia a. Analisis berat: C H O C/H b.Keperluan udara (kg udara/kg bahan bakar)

52,1 13,1 34,7 4,0 9,0

87,0 13,0 0 6,7 14,8

3. Sifat Fisika 1. Berat Jenis 2. Titik Didih 3. Kelarutan dalam air

(g/cm) (oC)

0,8 78,0 Ya

0,7 32,0-185,0 tidak

Sumber: Djojonegoro, W. (1981).

Lebih rendahnya nilai kalor ethanol daripada nilai kalor premium diperkirakan akan berdampak pada kinerja mesin, yaitu kinerja mesin berbahan bakar ethanol akan lebih rendah daripada kinerja mesin kendaraan berbahan bakar bensin. The Argonne National Laboratory di Amerika Serikat menyimpulkan bahwa jarak tempuh per galon bahan bakar kendaraan berbahan bakar ethanol (E85) lebih rendah 10-30 persen daripada kendaraan berbahan bakar bensin, karena setiap galon ethanol mengandung hanya sekitar 70 persen dari energi yang dikandung oleh setiap galon premium (Ethanol Info 9/6/2005). Hal ini perlu diperhitungkan dalam menghitung nilai ekonomis dari bio-ethanol bila dibandingkan dengan premium, artinya karena jarak tempuh 70% lebih pendek maka harga jual ethanol harus lebih rendah dari 70% harga premium agar ethanol secara ekonomis bersaing dengan premium.

Di banyak negara masuknya ethanol ke pasar sebagai bahan bakar kendaraan baik ethanol 85% ataupun sebagai aditif (5 – 25%) pada umumnya lebih didorong untuk mengurangi pemakaian bahan bakar fosil untuk memperbaiki lingkungan hidup sesuai dengan hasil Konvensi KTT Bumi, daripada persaingannilai ekonomis.

Page 75: Prospek Pengembangan Biofuel BPPT

Prospek Pengembangan Bio-fuel sebagai Substitusi Bahan Bakar Minyak

69

3. PEMANFAATAN BIO-ETHANOL DI INDONESIA

Pemanfaatan bio-ethanol di Indonesia sebagai bahan bakar kendaraan bermotor adalah bertujuan mendorong substitusi bahan bakar premium, mengurangi impor BBM dan mendukung pertumbuhan ekonomi daerah. Dimanfaatkannya bio-ethanol tersebut akan dapat mengurangi subsidi BBM melalui pengurangan impor BBM, pengurangan impor HOMC dan infestasi di fasilitas reformer, serta dapat mengurangi polusi udara dan segala dampak negatifnya. Selain itu dengan produksi bio-ethanol yang umumnya memanfaatkan bahan baku lokal akan dapat membuka lapangan kerja di daerah yang selanjutnya dapat meningkatkan taraf hidup masyarakat dan pada akhirnya akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi daerah.

Program pemanfaatan bio-ethanol untuk bahan bakar kendaraan bermotor di Indonesia sudah dikaji sejak tahun 1980-an, bahkan pada saat itu sudah dilakukan sampai pada tingkat pengujian kendaraan dengan bahan bakar campuran premium dengan bio-ethanol (gasohol). Pengujian pemanfaatan bio-ethanol untuk bahan bakar kendaraan bermotor tersebut, telah dilakukan terhadap 100 unit mobil dan 32 unit speda motor. Gasohol yang digunakan sebagai bahan bakar dalam pengujian tersebut adalah campuran premium dengan ethanol, yaitu gasohol 10% (campuran bio-ethanol 10% dan premium 90%) dan gasohol 20% (campuran bio-ethanol 20% dan premium 80%). Namun seiring dengan rendahnya harga minyak mentah dan naiknya harga bahan baku ethanol (ubi jalar dan ubi kayu), program pemanfaatan gasohol untuk bahan bakar kendaraan bermotor di Indonesia mengalami banyak hambatan sehingga tidak dapat dilanjutkan.

Saat ini kondisi tersebut telah berubah, yaitu dengan dihapusnya subsidi terhadap BBM secara bertahap dan meningkatnya harga minyak mentah di dunia, semakin terbatasnya cadangan minyak Indonesia meningkatnya, serta meningkatnya komitmen dunia akan bahaya pemanasan global, mengangkat nilai keekonomian bio-ethanol. Dijakini bahwa bio-ethanol akan mempunyai potensi besar untuk menjadi bahan bakar pengganti premium. Mengingat dorongan dan tantangan diatas, seyogyanya penelitian untuk pengembangan sumber energi alternative ethanol untuk sektor transportasi di Indonesia yang pernah berhenti dikembangkan kembali dengan memperhitungkan kekurangan maupun keberhasilan penelitian yang terdahulu. Pada penelitian yang terdahulu yang diproduksi dan diuji adalah Ethanol dengan kemurnian 95%, dan ternyata setelah beberapa bulan terjadi pemisahan air di dalam tanki mobil yang menyebabkan karat dan kebocoran serta gangguan pada mesin bila air ikut masuk ke mesin. Walaupun demikian hasil penelitian terdahulu menunjukkan bahwa sebagian besar kendaraan premium konvensionil dapat beroperasi secara normal dengan bahan bakar bio-ethanol (kemurnian 95%) sebanyak 10 persen (E10) dicampur premium 90 persen tanpa mengubah mesin. Namun sekarang ini, banyak pabrik mobil sudah mengembangkan mobil yang dapat berjalan dengan campuran fuel-based bio-ethanol (kemurnian lebih dari 99,5%) yang lebih tinggi, yaitu E85 (ethanol 85 persen dan premium 15 persen). Mobil yang dapat berjalan dengan bahan bakar E85 tersebut memakai mesin yang mampu menggunbakan berbagai grade bahan bakar yang kemudian disebut Flexible Fuel Vehicles (FFV). Ford, GM, Chrysler, Mazda, Isuzu, dan Mercedes sudah menyediakan sekitar 20 model kendaraan dari mobil dan truk yang mampu menggunakan campuran premium dengan bio-ethanol sampai 85 persen merubah mesin.

Page 76: Prospek Pengembangan Biofuel BPPT

Prospek Pengembangan Bio-fuel sebagai Substitusi Bahan Bakar Minyak

70

3.1 Perbandingan Emisi Bahan Pencemar dari Campuran Bio-Ethanol

dan Premium

Berlainan dengan pemanfaatan premium yang diperoleh dari minyak mentah yang merupakan bahan bakar fosil dan tidak terbarukan, pemanfaatan bio-ethanol yang diperoleh dari bahan baku tanaman, ubi kayu dan lain-lain dapat menunjang program pengurangan gas rumah kaca (CO2 dan CH4). Hal ini dapat dijelaskan bahwa pertumbuhan ubi kayu atau tanaman lain akan meningkatkan daya serap karbon (carbon sink capacity), dan dengan penggunaan yang kontinyu carbon hasil pembakaran energy (energy combustion) akan diserap kembali oleh tanaman-tanaman yang tumbuh secara seimbang, sedangkan penggunaan bahan bakar fosil yang akan memerlukan jutaan tahun untuk pembentukannya, adalah diluar keseimbangan produksi – penyerapan CO2 sehingga penggunaan energi fosil akan meningkatkan konsentrasi CO2 di atmosfer. Pengurangan gas rumah kaca di atmosfer selain diakibatkan penyerapan carbon oleh tanaman, juga disebabkan oleh lebih rendahnya kandungan carbon pada bio-ethanol dibandingkan pada premium, sehingga pembakaran bio-ethanol (ethanol combustion) akan mengeluarkan emisi gas rumah kaca yang lebih rendah daripada emisi gas rumah kaca dari pembakaran premium (gasoline combustion). Argonne National Laboratory juga menyimpulkan bahwa bio-ethanol selain merupakan bahan bakar yang tidak beracun, juga mempunyai siklus emisi gas rumah kaca (green house gas) yang lebih rendah, yaitu lebih rendah 14-19 persen dibandingkan dengan premium, sehingga dapat dikatakan ethanol merupakan bahan bakar yang ramah lingkungan (Ethanol Info, 9/6/2004).

Secara umum pemanfaatan campuran bio-ethanol dan premium dapat berdampak pada pengurangan emisi bahan pencemar seperti diperlihatkan pada Error! Reference source not found.2, sehingga pemanfaatan campuran bio-ethanol dan premium diharapkan dapat mendukung program pengembangan energi yang berwawasan lingkungan di Indonesia.

Tabel 2. Perbandingan Emisi Bahan Pencemar dari Campuran Bio-Ethanol dan Premium

Emisi E10 E85

Carbon Monoxide (CO) Berkurang 25-30% Berkurang 40% Carbon Dioxide (CO2) Berkurang 10% Berkurang 14-102% Nitrogen Oxides Berkurang 5% Berkurang 30% Volatile Organic Compound (VOCs) Berkurang 7% Berkurang 30% lebih Sulfur Dioxide (SO2) Beberapa pengurangan Berkurang sampai 80% Particulates Beberapa pengurangan Berkurang 20% Aldehydes Meningkat 30-50% Tidak cukup data Aromatic (benzene dan butadiene) Beberapa pengurangan Berkurang lebih 50% Sumber: http://www.renewableenergypartners.org/ethanol.html

Dengan gambaran diatas maka dapat dibuktikan bahwa penggunaan bio-ethanol sebagai aditif untuk menggantikan TEL atau MTBE akan sangat mendukung kebersihan lingkungan karena tidak mengandung bahan beracun maupun zat yang menyebabkan kerusakan Ozon.

Page 77: Prospek Pengembangan Biofuel BPPT

Prospek Pengembangan Bio-fuel sebagai Substitusi Bahan Bakar Minyak

71

3.2 Biaya Proses Produksi Bio-Ethanol

Untuk memproduksi bio-ethanol plant berkapasitas 60 kl/hari dari ubi kayu diperlukan biaya investasi sebesar 7.380.000 US $ (Rp. 66.420.000,-), dengan catatan 1 US$ = Rp 9000, sehingga dengan harga minyak mentah sebesar 55 US$/barel diasumsikan bio-ethanol dapat bersaing dengan BBM. Biaya tersebut sudah termasuk biaya investasi pengolahan limbah dan pembangkit listrik. Untuk memperoleh biaya produksi ethanol selain biaya investasi juga harus diperhitungkan biaya operasi dan perawatan termasuk biaya bahan baku. Parameter lain yang diperhitungkan ialah umur dari bio-ethanol plant adalah 25 tahun, dengan lamanya operasi dalam satu tahun sebesar 350 hari,bungan bank 12% per tahun. Dengan harga Ethanol di tingkat pabrik sebesar Rp. 2612 per liter adalah layak secara ekonomi, tetapi harga diatas belum memperhitungkan pajak alkohol yang cukup tinggi dan penggunaannya sebagai bahan bakar belum diatur dalam undang-undang atau peraturan dibawahnya. Selain itu ada beberapa parameter yang perlu diperhitungkan yaitu pertama, harga ubi kayu yang dapat berubah setiap saat, terutama bila bersaing dengan pabrik tepung, atau pada saat musim kemarau yang berkepanjangan sehingga produksi menurun sedangkan ubi kayu yang ada menjadi makanan pokok masyarakat. Kedua, proses pembuatan bio-ethanol membutuhkan jenis energi lain seperti solar, kayu bakar dan lain-lain, sehingga perlu dilakukan perhitungan neraca energi secara cermat untuk melihat potensi substitusi yang sebenarnya terhadap BBM, serta perlu dicari jenis energi terbarukan lainnya yang dapat menggantikan penggunaan BBM di pabrik ethanol.

Tabel 3 menunjukkan rincian biaya investasi Pabrik bio-ethanol yang berkapasitas 60 kl/hari. Perhitungan biaya produksi per liter ethanol tanpa memasukkan pajak seperti tersebut diatas dapat dilihat pada Tabel 4. Perincian biaya seperti terlihat pada Tabel 3 dan Tabel 4 sangat tergantung dari kepemilikan lahan, pabrik serta status investasi, disamping itu pajak serta pengeluaran yang lain harus tetap diperhitungkan agar memudahkan investor untuk menghitung tingkat keekonomian pabrik ethanol ini. Pada Tabel 4. juga ditunjukkan harga tingkat pabrik untuk harga dari ubi kayu, Rp. 180 per kilogram, dan Rp. 250 per kilogram. Tabel 3. Rincian Biaya Investasi Pabrik Bio-Ethanol Anhydrous dengan

Kapasitas 60 KL/Hari Menggunakan Bahan Baku Ubi Kayu

No Nilai (US$) 1

Total Biaya Investasi Peralatan Utama Peralatan Pengumpanan Unit Pengolah Limbah Tanah (min 30 Ha) Power Plant Bangunan Pabrik dan Kantor

7.380.000 5.580.000 690.000

400.000 60.000

450.000 200.000

2. Umur Hidup Hari Produksi Bunga / Interest

25 Tahun 365 hari

12% per Tahun Sumber: BPPT-Presentasi

Page 78: Prospek Pengembangan Biofuel BPPT

Prospek Pengembangan Bio-fuel sebagai Substitusi Bahan Bakar Minyak

72

Harga Rp. 180 merupakan harga yang umum pada tahun 2005 dan Rp. 250 per kilogram merupakan perkiraan harga pada saat musim kering. Dengan melihat harga ethanol pada dua tingkat harga ubi kayu tersebut, diharapkan dapat diperhitungkan perkiraan harga penjualan pabrik yang paling tepat. Tabel 4. Rincian Biaya Produksi Bio-Ethanol Anhydrous dengan Kapasitas

60 KL/Hari

Konsumsi per liter Harga Satuan Biaya Kg/Liter ( Rp/Unit ) (Rp. / Liter)

Biaya Modal - Bahan Baku Ubi Kayu, 6.50 180.00 1170.00 - Bahan Baku Ubi Kayu, 6.50 250.00 1625 Bahan Pembantu ( x 10-3 ) -Alpha Amylase, Kg 0.80 45.00 36.00 36.00 -Gluko Amylase,Kg 1.30 60.00 78.00 78.00 -Asam Sulfat, L 0.20 650.00 0.13 0.13 -Na OH, L 1.25 10.00 12.50 12.50 -Urea, Kg 4.00 1.20 4.80 4.80 - NPK 1.50 3000.00 4.50 4.50 - Antifoam, ml 0.25 35.00 8.75 8.75 Utilitas -Air, L 20.50 0.75 15.00 15.00 -Uap Air, Kg 5.10 170.00 867.00 867.00 -Listrik, kwh 1.30 150.00 195.00 195.00 Biaya : a. Bahan Baku dan Utilitas 2391.68 2846.68 b. Operasi dan Perawatan 62.03 62.03 c. Investasi (straight line) 106.87 106.87 A. Produksi (a + b + c) 2560.58 3015.58 B. Penyimpanan 2,5% 54.41 54.41 C. Keuntungan 15% Prod. 326.49 326.49 D. Lain-lain 2,5% 54.41 54.41 Total Harga Ethanol Pabrik 2995.89 3450.89

4. KESIMPULAN 1 Pemanfaatan campuran bio-ethanol dengan premium secara umum dapat

berdampak pada pengurangan emisi gas rumah kaca. Disamping itu pencampuran bio-ethanol dengan premium dapat mengurangi konsumsi bahan bakar minyak (BBM) di dalam negeri dan mendorong program diversifikasi (penganeka ragaman) energy, serta mendorong terciptanya pemanfaatan energi yang berwawasan lingkungan, mendorong berkembangnya industri lokal selanjutnya mendorong terciptanya lapangan kerja di daerah, serta meningkatkan pertumbuhan ekonomi daerah .

2 Pada tahun 2003, dilihat dari produksi ubi kayu diperkirakan potensi

ketersediaan ethanol sebagai HOG (high octane gasoline) mencapai 294 kl/hari, dimana 210 kl/hari ethanol (24%) dicampur dengan premium tanpa

Page 79: Prospek Pengembangan Biofuel BPPT

Prospek Pengembangan Bio-fuel sebagai Substitusi Bahan Bakar Minyak

73

timbal dapat mensubtitusi Pertamax (RON 92) dan 84 kl/hari ethanol (15%) dicampur dengan premium tanpa timbal dapat mensubtitusi Pertamax plus (RON 95). Sedangkan pada tahun 2013, diperkirakan kebutuhan HOG akan meningkat 10 kali lipat terhadap tahun 2003, sehingga dapat dipastikan bio-ethanol berpotensi untuk dikembangkan dan dimanfaatkan sebagai HOG.

3 Pencampuran Ethanol/bio-ethanol dengan premium dapat meningkatkan nilai

oktan premium, dimana nilai oktan untuk 98% ethanol/bio-ethanol adalah sebesar 115, selain itu mengingat ethanol/bio-ethanol mengandung 30% oksigen, sehingga ethanol/bio-ethanol dapat dikatagorikan sebagai high octane gasoline (HOG) yang merupakan bahan pencampur premium dengan angka oktan 88.

4 Sesuai hasil penelitian terdahulu sebagian besar kendaraan premium

konvensionil dapat beroperasi dengan bahan bakar bio-ethanol 10 persen (E10) dicampur premium 90 persen tanpa modifikasi mesin. Namun sekarang ini, banyak pabrik mobil sudah mengembangkan mobil yang dapat berjalan dengan kandungan bio-ethanol lebih tinggi, yaitu E85 (ethanol 85 persen dan bensin 15 persen) . Bahkan Amerika Serikat dan Brazilia telah menggunakan ethanol 85% (E85) secara komersial sebagai bahan bakar kendaraan.

5 Untuk memproduksi bio-ethanol plant berkapasitas 60 kl/hari dengan harga ubi

kayu Rp. 180 per kg diperlukan biaya produksi sebesar Rp 2996 per liter, dan dengan harga ubi kayu Rp. 250 per kg diperlukan biaya produksi sebesar Rp 3451 per liter Melihat kondisi ini selain bio-ethanol layak dikembangkan karena selain secara mikro ekonomi mampu berkompetisi bila harga minyak mentah diatas $55 per barel, juga akan dapat mengurangi ketergantungan kepada impor HOG serta menunjang program lingkungan, khususnya pencegahan terhadap pemanasan global.

DAFTAR PUSTAKA 1. BPPT. Kajian Lengkap Prospek Pemanfaatan Biodiesel Dan Bioethanol

Pada Sektor Transportasi Di Indonesia. 2005. 2. Balai Besar Teknologi Pati-BPPT. Kelayakan Tekno Ekonomi Bio-Ethanol

Sebagai Bahan Bakar Alternatif Terbarukan. 27 Januari 2005. 3. Trada Group. Perkembangan Pemanfaatan Bio-Ethanol sebagai Bahan Bakar

Otomotif di Beberapa Negara. Presentasi dalam Seminar Sehari Mendukung Keberlanjutan Bahan Bakar Otomotif di Masa Depan dengan Gasohol. Launching Penggunaan Gasohol BE-10 untuk Bahan Bakar Otomotif dan Penggunaan Energi Alternatif Lainnya. Kamis, 27 Januari 2005.

4. Prawoto dan Bagus Anang Nugroho. Perbandingan Unjuk Kerja kendaraan

Bermotor Dengan Bahan Bakar Gasohol (E10), Premium dan Pertamax. 2005 5. http://www.renewableenergypartners.org/ethanol.html

Page 80: Prospek Pengembangan Biofuel BPPT

Prospek Pengembangan Bio-fuel sebagai Substitusi Bahan Bakar Minyak

74

Page 81: Prospek Pengembangan Biofuel BPPT

Prospek Pengembangan Bio-fuel sebagai Substitusi Bahan Bakar Minyak

75

TEKNOLOGI PROSES PRODUKSI BIO-ETHANOL

Indyah Nurdyastuti

ABSTRACT

Gasoline is n iportant liquid fuels for transportation. Due high domestic demand of gasoline, Government of Indonesia plans to reduce the utilization of gasoline trough energy diversification. For substitution of gasoline, there are several kind of energy alternatives such as Compressed Natural Gas (CNG), gasoline derived from Coal liquefaction, and alcohol. Alcohol is a material produced from starches plant such as casava, sweet potato, corn, and sago, called by bio-ethanol. These plants commonly plant by people in all areas of Indonesia. Bio-ethanol development for vehicle fuel will reduce dependenly on refined product that its price is currently increasing, and will support economic of people in ruralarea. This paper will present production process of bio-ethanol from starch or molasses.

1. PENDAHULUAN

Alkohol merupakan bahan kimia yang diproduksi dari bahan baku tanaman yang mengandung pati seperti ubi kayu, ubi jalar, jagung, dan sagu biasanya disebut dengan bio-ethanol. Ubi kayu, ubi jalar, dan jagung merupakan tanaman pangan yang biasa ditanam rakyat hampir di seluruh wilayah Indonesia, sehingga jenis tanaman tersebut merupakan tanaman yang potensial untuk dipertimbangkan sebagai sumber bahan baku pembuatan bio-ethanol atau gasohol. Namun dari semua jenis tanaman tersebut, ubi kayu merupakan tanaman yang setiap hektarnya paling tinggi dapat memproduksi ethanol. Selain itu pertimbangan pemakaian ubi kayu sebagai bahan baku proses produksi bio-ethanol juga didasarkan pada pertimbangan ekonomi. Pertimbangan keekonomian pengadaan bahan baku tersebut bukan saja meliputi harga produksi tanaman sebagai bahan baku, tetapi juga meliputi biaya pengelolaan tanaman, biaya produksi pengadaan bahan baku, dan biaya bahan baku untuk memproduksi setiap liter ethanol/bio-ethanol.

Secara umum ethanol/bio-ethanol dapat digunakan sebagai bahan baku industri turunan alkohol, campuran untuk miras, bahan dasar industri farmasi, campuran bahan bakar untuk kendaraan. Mengingat pemanfaatan ethanol/bio-ethanol beraneka ragam, sehingga grade ethanol yang dimanfaatkan harus berbeda sesuai dengan penggunaannya. Untuk ethanol/bio-ethanol yang mempunyai grade 90-96,5% vol dapat digunakan pada industri, sedangkan ethanol/bio-ethanol yang mempunyai grade 96-99,5% vol dapat digunakan sebagai campuran untuk miras dan bahan dasar industri farmasi. Berlainan dengan besarnya grade ethanol/bio-ethanol yang dimanfaatkan sebagai campuran bahan bakar untuk kendaraan yang harus betul-betul kering dan anhydrous supaya tidak korosif, sehingga ethanol/bio-ethanol harus mempunyai grade sebesar 99,5-100% vol. Perbedaan besarnya grade akan berpengaruh terhadap proses konversi karbohidrat menjadi gula (glukosa) larut air. Mengacu dari penjelasan tersebut, disusunlah makalah yang berjudul “Teknologi Proses Produksi Bio-Ethanol” 2. PROSES PRODUKSI BIO-ETHANOL Produksi ethanol/bio-ethanol (alkohol) dengan bahan baku tanaman yang mengandung pati atau karbohydrat, dilakukan melalui proses konversi karbohidrat menjadi gula (glukosa) larut

Page 82: Prospek Pengembangan Biofuel BPPT

Prospek Pengembangan Bio-fuel sebagai Substitusi Bahan Bakar Minyak

76

air. Konversi bahan baku tanaman yang mengandung pati atau karbohydrat dan tetes menjadi bio-ethanol ditunjukkan pada Tabel 1. Tabel 1. Konversi Bahan Baku Tanaman Yang Mengandung Pati Atau Karbohidrat Dan Tetes

Menjadi Bio-Ethanol

Bahan Baku Kandungan Gula Dalam Bahan

Baku

Jumlah Hasil Konversi

Jenis Konsumsi (Kg)

(Kg) Bio-etanol (Liter)

Perbandingan Bahan Baku

dan Bioetanol

Ubi Kayu 1000 250-300 166.6 6,5:1

Ubi Jalar 1000 150-200 125 8:1

Jagung 1000 600-700 200 5:1

Sagu 1000 120-160 90 12:1

Tetes 1000 500 250 4:1

Glukosa dapat dibuat dari pati-patian, proses pembuatannya dapat

dibedakan berdasarkan zat pembantu yang dipergunakan, yaitu Hydrolisa asam dan Hydrolisa enzyme. Berdasarkan kedua jenis hydrolisa tersebut, saat ini hydrolisa enzyme lebih banyak dikembangkan, sedangkan hydrolisa asam (misalnya dengan asam sulfat) kurang dapat berkembang, sehingga proses pembuatan glukosa dari pati-patian sekarang ini dipergunakan dengan hydrolisa enzyme. Dalam proses konversi karbohidrat menjadi gula (glukosa) larut air dilakukan dengan penambahan air dan enzyme; kemudian dilakukan proses peragian atau fermentasi gula menjadi ethanol dengan menambahkan yeast atau ragi. Reaksi yang terjadi pada proses produksi ethanol/bio-ethanol secara sederhana ditujukkan pada reaksi 1 dan 2. H2O (C6H10O5)n -------------------------à N C6H12O6 (2) enzyme (pati) (glukosa) (C6H12O6)n ------------------------ à 2 C2H5OH + 2 CO2. (3) yeast (ragi) (glukosa) (ethanol) Selain ethanol/bio-ethanol dapat diproduksi dari bahan baku tanaman yang mengandung pati atau karbohydrat, juga dapat diproduksi dari bahan tanaman yang mengandung selulosa, namun dengan adanya lignin mengakibatkan proses penggulaannya menjadi lebih sulit, sehingga pembuatan ethanol/bio-ethanol dari selulosa tidak perlu direkomendasikan. Meskipun teknik produksi ethanol/bio-ethanol merupakan teknik yang sudah lama diketahui, namun ethanol/bio-ethanol untuk bahan bakar kendaraan memerlukan ethanol dengan karakteristik tertentu yang memerlukan teknologi yang relatif baru di Indonesia antara lain mengenai neraca energi (energy balance) dan efisiensi produksi, sehingga penelitian lebih lanjut mengenai teknologi proses produksi ethanol masih perlu dilakukan. Secara singkat teknologi proses produksi ethanol/bio-ethanol tersebut dapat dibagi dalam tiga tahap, yaitu gelatinasi, sakharifikasi, dan fermentasi.

Page 83: Prospek Pengembangan Biofuel BPPT

Prospek Pengembangan Bio-fuel sebagai Substitusi Bahan Bakar Minyak

77

2.1 Proses Gelatinasi

Dalam proses gelatinasi, bahan baku ubi kayu, ubi jalar, atau jagung dihancurkan dan dicampur air sehingga menjadi bubur, yang diperkirakan mengandung pati 27-30 persen. Kemudian bubur pati tersebut dimasak atau dipanaskan selama 2 jam sehingga berbentuk gel. Proses gelatinasi tersebut dapat dilakukan dengan 2 cara, yaitu:

• Bubur pati dipanaskan sampai 130oC selama 30 menit, kemudian

didinginkan sampai mencapai temperature 95oC yang diperkirakan memerlukan waktu sekitar ¼ jam. Temperatur 95oC tersebut dipertahankan selama sekitar 1 ¼ jam, sehingga total waktu yang dibutuhkan mencapai 2 jam.

• Bubur pati ditambah enzyme termamyl dipanaskan langsung sampai mencapai temperatur 130oC selama 2 jam.

Gelatinasi cara pertama, yaitu cara pemanasan bertahap mempunyai keuntungan, yaitu pada suhu 95oC aktifitas termamyl merupakan yang paling tinggi, sehingga mengakibatkan yeast atau ragi cepat aktif. Pemanasan dengan suhu tinggi (130oC) pada cara pertama ini dimaksudkan untuk memecah granula pati, sehingga lebih mudah terjadi kontak dengan air enzyme. Perlakuan pada suhu tinggi tersebut juga dapat berfungsi untuk sterilisasi bahan, sehingga bahan tersebut tidak mudah terkontaminasi.

Gelatinasi cara kedua, yaitu cara pemanasan langsung (gelatinasi dengan enzyme termamyl) pada temperature 130oC menghasilkan hasil yang kurang baik, karena mengurangi aktifitas yeast. Hal tersebut disebabkan gelatinasi dengan enzyme pada suhu 130oC akan terbentuk tri-phenyl-furane yang mempunyai sifat racun terhadap yeast. Gelatinasi pada suhu tinggi tersebut juga akan berpengaruh terhadap penurunan aktifitas termamyl, karena aktifitas termamyl akan semakin menurun setelah melewati suhu 95oC. Selain itu, tingginya temperature tersebut juga akan mengakibatkan half life dari termamyl semakin pendek, sebagai contoh pada temperature 93oC, half life dari termamyl adalah 1500 menit, sedangkan pada temperature 107oC, half life termamyl tersebut adalah 40 menit (Wasito, 1981). Hasil gelatinasi dari ke dua cara tersebut didinginkan sampai mencapai 55o C, kemudian ditambah SAN untuk proses sakharifikasi dan selanjutnya difermentasikan dengan menggunakan yeast (ragi) Saccharomyzes ceraviseze. 2.2 Fermentasi

Proses fermentasi dimaksudkan untuk mengubah glukosa menjadi ethanol/bio-ethanol (alkohol) dengan menggunakan yeast. Alkohol yang diperoleh dari proses fermentasi ini, biasanya alkohol dengan kadar 8 sampai 10 persen volume. Sementara itu, bila fermentasi tersebut digunakan bahan baku gula (molases), proses pembuatan ethanol dapat lebih cepat. Pembuatan ethanol dari molases tersebut juga mempunyai keuntungan lain, yaitu memerlukan bak fermentasi yang lebih kecil. Ethanol yang dihasilkan proses fermentasi tersebut perlu ditingkatkan kualitasnya dengan membersihkannya dari zat-zat yang tidak diperlukan.

Page 84: Prospek Pengembangan Biofuel BPPT

Prospek Pengembangan Bio-fuel sebagai Substitusi Bahan Bakar Minyak

78

Alkohol yang dihasilkan dari proses fermentasi biasanya masih mengandung gas-gas antara lain CO2 (yang ditimbulkan dari pengubahan glucose menjadi ethanol/bio-ethanol) dan aldehyde yang perlu dibersihkan. Gas CO2 pada hasil fermentasi tersebut biasanya mencapai 35 persen volume, sehingga untuk memperoleh ethanol/bio-ethanol yang berkualitas baik, ethanol/bio-ethanol tersebut harus dibersihkan dari gas tersebut. Proses pembersihan (washing) CO2 dilakukan dengan menyaring ethanol/bio-ethanol yang terikat oleh CO2, sehingga dapat diperoleh ethanol/bio-ethanol yang bersih dari gas CO2). Kadar ethanol/bio-ethanol yang dihasilkan dari proses fermentasi, biasanya hanya mencapai 8 sampai 10 persen saja, sehingga untuk memperoleh ethanol yang berkadar alkohol 95 persen diperlukan proses lainnya, yaitu proses distilasi. Proses distilasi dilaksanakan melalui dua tingkat, yaitu tingkat pertama dengan beer column dan tingkat kedua dengan rectifying column. Definisi kadar alkohol atau ethanol/bio-ethanol dalam % (persen) volume adalah “volume ethanol pada temperatur 15oC yang terkandung dalam 100 satuan volume larutan ethanol pada temperatur tertentu (pengukuran).“ Berdasarkan BKS Alkohol Spiritus, standar temperatur pengukuran adalah 27,5o C dan kadarnya 95,5% pada temperatur 27,5 o C atau 96,2% pada temperatur 15o C (Wasito, 1981). Pada umumnya hasil fermentasi adalah bio-ethanol atau alkohol yang mempunyai kemurnian sekitar 30 – 40% dan belum dpat dikategorikan sebagai fuel based ethanol. Agar dapat mencapai kemurnian diatas 95% , maka lakohol hasil fermentasi harus melalui proses destilasi. 2.3. Distilasi :

Sebagaimana disebutkan diatas, untuk memurnikan bioetanol menjadi berkadar lebih dari 95% agar dapat dipergunakan sebagai bahan bakar, alkohol hasil fermentasi yang mempunyai kemurnian sekitar 40% tadi harus melewati proses destilasi untuk memisahkan alkohol dengan air dengan memperhitungkan perbedaan titik didih kedua bahan tersebut yang kemudian diembunkan kembali.

Gambar 1. Skema Proses Pilot Plant Ethanol

Page 85: Prospek Pengembangan Biofuel BPPT

Prospek Pengembangan Bio-fuel sebagai Substitusi Bahan Bakar Minyak

79

Gambar diatas menunjukkan suatu proses lengkap dari pembuatan etanol yang dari bahan pati-patian dimulai dari konveyor, gelatinisasi, fermentasi, destilasi sampai ke penyimpanan.

Untuk memperoleh bio-ethanol dengan kemurnian lebih tinggi dari 99,5%

atau yang umum disebut fuel based ethanol, masalah yang timbul adalah sulitnya memisahkan hidrogen yang terikat dalam struktur kimia alkohol dengan cara destilasi biasa, oleh karena itu untuk mendapatkan fuel grade ethanol dilaksanakan pemurnian lebih lanjut dengan cara Azeotropic destilasi. 2.3 Biaya Produksi per Liter Bioetanol Berbahan Baku Ubi Kayu

Biaya produksi meliputi biaya investasi yang dihitung biaya bunga dan pengembalian investasi, biaya operasi dan perawatan serta biaya bahan. Biaya investasi fasilitas produksi bio-ethanol ditunjukkan pada Tabel 2.

Tabel 2. Biaya Investasi Fasilitas Produksi Bio-Ethanol

No Jenis Peralatan Harga (US$) 1 Peralatan Utama 5.580.000 2 Peralatan Pengumpanan 400.000 3 Unit Pengolah Limbah 690.000 4 Tanah (min 30 Ha) 60.000 5 Power Plant 450.000 6 Bangunan Pabrik dan Kantor 200.000

T o t a l 7.380.000 1$ = Rp. 9000 Rp.

66.420.000.000 Sumber: B2TP, BPPT

Dengan kapasitas produksi yang sebesar 8000 lityer per hari, dan pabrik bekerja selama 320 hari dalam 1 tahun, umur hidup alat 15 tahun, biaya operasi –perawatan sebesar 1.5% (tidak termasuk bahan baku dan utilitas) dan bunga bank 10 %, maka metoda perhitungan double decline diperoleh biaya investasi dan pengembalian sebesar Rp. 972 per liter bio-ethanol. Tabel 1 menunjukkan bahwa untuk mengkonversi ubi kayu menjadi 1 liter bio-ethanol dibutuhkan sekitar 6,5 kg ubi kayu, sehingga apabila harga ubi kayu sebesar Rp 180 per kg (B2TP, 2005) akan dibutuhkan biaya ubi kayu sebesar Rp 1.384,5. Selain ubi kayu, pada konversi bahan baku tanaman yang mengandung pati atau karbohydrat menjadi bio-ethonal dibutuhkan bahan pembantu proses pembuatan glukosa dan bahan pembantu proses peragian atau fermentasi gula menjadi ethanol yang jenis, konsumsi, dan biayanya ditunjukkan pada Tabel 3. Total biaya pemakaian bahan baku, bahan pembantu dan utilitas yang ditunjukkan pada Tabel 3, ditambah dengan biaya investasi serta operasi-perawatan adalah merupakan merupakan biaya produksi per liter bio-ethanol.

Page 86: Prospek Pengembangan Biofuel BPPT

Prospek Pengembangan Bio-fuel sebagai Substitusi Bahan Bakar Minyak

80

Tabel 3. Biaya Bahan Per Liter Bio-Ethanol

Jenis Bahan/Utilitas Konsumsi Bahan/Utilitas

per liter Bioetanol

Harga Satuan

(Rp/unit)

Biaya Pemakaian

Bahan/Utilitas (Rp)

Bahan Baku: Ubi Kayu, Kg

6,5 180 1.170

Bahan Pembantu - Alpha Amylase, Kg - Gluko Amylase,Kg - Asam Sulfat, L - Na OH, L - Urea, Kg - NPK, Kg - Antifoam, ml

(x10-3 ) 0,8 1,3 0,2 1,25 4,0 1,5 0,25

x103 ) 45 60

0,65 10

1,20 3 35

36 78

0,13 12,50 4,80 4,50 8,75

Utilitas - Air, L - Uap Air, Kg - Listrik, kwh

20,5 5,1 1,3

0,75

170 150

15,4

867 195

Biaya Total 2.400 Sumber: Balai Besar Teknologi Pati-BPPT

Biaya produksi tidak termasuk pajak dan keuntungan adalah Rp. 2400 + Rp. 976 = Rp. 3376 per liter. Harga bio-ethanol sangat tergatung dari biaya bahan baku, karena sensitif terhadap iklim, perdagangan sebagai bahan baku tepung tapioka dan lain-lain. 3. KENDALA DAN UPAYA PENGEMBANGAN PRODUKSI BIO-ETHANOL Produksi ethanol/bio-ethanol harus mempertimbangkan keekonomiannya dari dua sisi kepentingan, yaitu sisi produsen ethanol/bio-ethanol yang memerlukan bahan baku produksi tanaman dengan harga rendah, dan dari segi petani penghasil bahan baku yang menginginkan produksi tanamannya dibeli dengan harga tinggi dan biaya produksi paling rendah. Hal tersebut disebabkan nilai produksi tanaman adalah sebagai biaya pengeluaran untuk pembelian bahan baku bagi produsen ethanol/bio-ethanol. Oleh karena itu, keekonomian program pemanfaatan ethanol/bio-ethanol untuk bahan bakar kendaraan bukan saja ditentukan oleh harga bahan bakar premium saja, tetapi ditentukan pula oleh harga bahan baku pembuatan ethanol/bio-ethanol dalam hal ini produksi tanaman. 3.1 Kendala Pengembangan Produksi Bio-Ethanol Dalam memenuhi program pemanfaatan ethanol/bio-ethanol untuk bahan bakar kendaraan, pemerintah telah membuat road map teknologi bio-ethanol, yaitu pada periode tahun 2005-2010 dapat memanfaatkan bio-ethanol sebesar 2% dari konsumsi premium (0.43 juta kL), kemudian pada periode tahun 2011-2015, persentase pemanfaatan bio-ethanol ditingkatkan menjadi 3% dari konsumsi premium (1.0 juta kL), dan selanjutnya pada periode tahun 2016-2025, persentase pemanfaatan bio-ethanol ditingkatkan menjadi 5% dari konsumsi premium (2.8 juta kL). Namun untuk merealisasikan road map teknologi bio-

Page 87: Prospek Pengembangan Biofuel BPPT

Prospek Pengembangan Bio-fuel sebagai Substitusi Bahan Bakar Minyak

81

ethanol harus melibatkan banyak pihak baik dari sisi Pemerintah maupun Swasta. Mengingat sampai saat ini belum ada sinergi yang diwujudkan dalam satu dokumen rencana strategis yang komprehensif dan terpadu, sehingga akan timbul beberapa kendala yang harus diatasi. Beberapa kendala tersebut, meliputi:

• Rencana pengembangan lahan untuk tanaman penghasil bahan baku bio-ethanol yang dibuat oleh Departemen Pertanian dan Departemen Kehutanan belum terkait langsung dengan rencana pengembangan bio-ethanol di sektor energi;

• Rencana Pemerintah dalam pengembangan energi dan instrumen kebijakan yang diperlukan dalam pengembangan bio-ethanol belum terkait langsung dengan rencana dari para pihak pelaku bisnis bio-ethanol dan pengelola lahan pertanian yang sangat luas untuk menghasilkan bahan baku; dan

• Ketidakpastian resiko investasi dalam komersialisasi pengembangan bio-ethanol dan belum terbentuknya rantai tata niaga bio-ethanol.

Agar kendala tersebut dapat diatasi harus didukung adanya kebijakan Pemerintah mengenai pertanian dan kehutanan yang terkait dengan peruntukan lahan, kebijakan insentif bagi pengembangan bio-ethanol, tekno-ekonomi produksi dan pemanfaatan bio-ethanol, sehingga ada kejelasan informasi bagi pengusaha yang tertarik dalam bisnis bio-ethanol. 3.2 Upaya Pengembangan Bio-Ethanol Dalam upaya pengembangan bio-ethanol diperlukan adanya beberapa langka yang harus dilakukan, yaitu:

• Menyusun agenda bersama untuk mendapatkan konsensus terhadap program yang komprehensif dan terpadu agar supaya memberikan hasil yang konkret dan maksimal, antara lain melalui penetapan sasaran dan upaya pencapaiannya untuk produksi, distribusi dan pemakaian bio-ethanol serta penjabaran agenda dan program implementasi yang konkret.

• Melakukan inventarisasi dan evaluasi secara rinci berbagai peluang dan tantangan untuk investasi bio-ethanol, khususnya berbagai insentif yang diperlukan

• Membangun rantai tata niaga bio-ethanol secara bertahap yang difasilitasi oleh Pemerintah

• Menyatukan semua rencana pengembangan bio-ethanol dari berbagai pihak terkait dalam suatu ”Blueprint Pengembangan Bio-fuel” yang dapat dijadikan pegangan bagi para stakeholder.

3.3 Komponen Rantai Tata Niaga Bio-Ethanol Komponen rantai tata niaga bio-ethanol dimulai dari pengadaan bahan baku, proses produksi bio-ethanol anhydrous, pencampuran bio-ethanol dengan premium hingga ke pemasaran. Dengan adanya peraturan yang baik, konsisten, dan mendukung yang dapat dijadikan pegangan bagi para stakeholder akan dapat mendorong berjalannya tata niaga bio-ethanol. Tata niaga bio-ethanol dapat berjalan sesuai yang diharapkan apabila ada kejelasan potensi pasar bio-ethanol. Potensi pasar bio-ethanol dapat diperkirakan berdasarkan perkiraan kebutuhan bio-ethanol yang disepakati oleh semua pihak yang terkait dan dituangkan dalam road map teknologi bio-ethanol, sehingga mendorong minat pengusaha dalam

Page 88: Prospek Pengembangan Biofuel BPPT

Prospek Pengembangan Bio-fuel sebagai Substitusi Bahan Bakar Minyak

82

mengembangkan produksi bio-ethanol di Indonesia. Komponen rantai tata niaga bio-ethanol ditunjukkan pada Gambar 2.

Bahan Baku Proses Blending danDistribusi

• Ketersediaan UbiKayu

• Komposisi

• Harga

KomponenBio-Ethanol Pasar

Bahan bakarkhusus

Perusahaan PerminyakanPerusahaan Bio-Ethanol

Peraturan• Spesifikasi produk• Mekanisme pendukung• Pungutan, pajak dan tarif

Perusahaan Otomotif

Gambar 2. Komponen Rantai Tata Niaga Bio-Ethanol 4. KESIMPULAN 1. Alkohol/bio-ethanol dapat diproduksi dari tanaman yang mengandung pati atau

karbohydrat, dilakukan melalui proses konversi karbohidrat menjadi gula (glukosa) larut air. Proses pembuatan glukosa dibedakan berdasarkan zat pembantu yang dipergunakan, yaitu Hydrolisa asam dan Hydrolisa enzyme. Selanjutnya dilakukan proses peragian atau fermentasi gula menjadi ethanol dengan menambahkan yeast atau ragi.

2. Keekonomian program pemanfaatan ethanol/bio-ethanol untuk bahan bakar kendaraan bukan saja ditentukan oleh harga bahan bakar premium saja, tetapi ditentukan pula oleh harga bahan baku pembuatan ethanol/bio-ethanol, oleh karenanya produksi ethanol/bio-ethanol harus mempertimbangkan keekonomiannya dari dua sisi kepentingan, yaitu sisi produsen ethanol/bio-ethanol dan dari segi petani penghasil bahan baku.

3. Sampai saat ini belum ada sinergi yang diwujudkan dalam satu dokumen rencana strategis yang komprehensif dan terpadu, sehingga akan timbul beberapa kendala yang harus diselesaikan. Namun agar kendala tersebut dapat diatasi harus didukung adanya kebijakan Pemerintah mengenai pertanian dan kehutanan yang terkait dengan peruntukan lahan, kebijakan insentif bagi pengembangan bio-ethanol, tekno-ekonomi produksi dan pemanfaatan bio-ethanol, sehingga ada kejelasan informasi bagi pengusaha yang tertarik dalam bisnis bio-ethanol.

DAFTAR PUSTAKA 1. BPPT, Kajian Lengkap Prospek Pemanfaatan Biodiesel Dan Bioethanol Pada Sektor

Transportasi Di Indonesia. 2005.

Page 89: Prospek Pengembangan Biofuel BPPT

Prospek Pengembangan Bio-fuel sebagai Substitusi Bahan Bakar Minyak

83

2. Balai Besar Teknologi Pati-BPPT, Kelayakan Tekno-Ekonomi Bio-Ethanol Sebagai Bahan

Bakar Alternatif Terbarukan, 27 Januari 2005.

3. Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, Blue Print Pengelolaan Energi Nasional 2005-2025, Pola Pikir Pengelolaan Energi Nasional, 2005.

4. Ir. Sutijastoto, MA, Kebijakan Energi Mix, Juni 2005.