Upload
others
View
33
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
554
PRINSIP DASAR PEROLEHAN MAKNA
DALAM PERSPEKTIF ULAMA USHUL FIQH
Ibnu Samsul Huda
Universitas Negeri Malang
Abstrak: Islam sebagai agama semesta dengan al-Qur'an yang terjaga sepanjang
masa meniscayakannya untuk bisa “dibaca” oleh umat manusia dimanapun dan
kapanpun (shalih likulii zamaan wa makaan). Membaca adalah mencerap,
memahami, menganalisis dan lebih jauh menginterpretasikan sebuah pesan bacaan.
Begitu pentingnya membaca, Allah subhanahu wata’ala memulai perintah beragama
dengan membaca. Membaca adalah firman yang pertama diturunkan dalam al-
Qur’an, Bacalah dengan Nama Tuhanmu. Perintah dalam al-Qur’an adalah perintah
kepada seluruh manusia yang tidak disekat oleh ruang dan waktu, dari terciptanya
manusia sampai berakhirnya seluruh kehidupan di seluruh alam semesta. Proses
transmisi al-Qur’an dari yang transenden menuju imanen hingga dicerap oleh umat
islam di seluruh penjuru dunia meniscayakan adanya sebuah metodologi dalam
mengambil makna. Dalam Islam terdapat ilmu ushul fikih yang berisi sekumpulan
prinsip dan metodologi penelitian yang digunakan untuk menurunkan aturan hukum-
hukum praktis dari sumber utama al-Qur’an dan Hadits. Tulisan ini secara singkat
akan mengulas metodologi pencapaian makna dari lafadz-lafadz al-Qur’an dan al-
Hadits.
Kata kunci: al-Qur’an, lafadz, makna,ushul fiqh .
I. PENDAHULUAN
Ada dua hal yang penting dan saling berkaitan satu sama lain dalam pemaknaan
al-Qur'an dan al-Hadits. Pertama adalah lafadz sebagai materi dasar teks yang
digunakan sebagai media untuk menyampaikan pesan Tuhan kepada manusia, dan
kedua adalah makna yang mengandung watak dan wacana dari teks yang ditawarkan al-
Qur-an, berupa pesan moral dan aturan-aturan hukum dalam beragama. Fuqahâ'
berkutat dengan kerja kebahasaaan dalam menafsirkan al-Qur'an dan al-Hadits secara
terperinci untuk sampai kepada makna yang dimaksud, proses kerangka berfikir yang
demikian melahirkan sekumpulan prinsip dan metodologi penelitian yang digunakan
untuk menurunkan aturan hukum-hukum praktis dari sumber utama, yang kemudian
kita sebut " 'Ilmu Ushul fiqh".
Al-Qur'an merupakan basis utama dalam menentukan hukum Islam, dibantu al-
Hadits yang dianggap sebagi wahyu batin Nabi dalam menafsirkan al-Qur'an. Tujuan
dari ulama ushul fiqh adalah mencari legitimasi suatu aturan apakah bergantung pada
basis yang pasti tersebut atau tidak. Berangkat dari sebuah legitimasi hukum maka
muncullah istilah ijmâ', sebuah konsensus seluruh ulama penafsir pada masa tertentu
dalam menentukan aturan hukum mengenai kejadian baru yang belum ada dalam al-
Quran dan Hadits. Selain ijmâ', dalam ilmu ushûl fiqh sering kita temukan istilah Qiyas
(analogi), Istihsân (preferensi), Mashlahah Mursalah (pertimbangan kemaslahatan) dan
Istishâb (kesinambungan) yang semua bermuara pada satu tujuan, yakni sebuah
legitimasi hukum (Esposito, 2002: 123-125).
Untuk bisa sampai pada basis hukum, al-Quran dan al-Hadits haruslah dikaji
unsur-unsur semantisnya guna mengetahui makna dan hukum yang terkandung
didalamnya. Dari proses yang demikian itu, makalah ini berusaha untuk mengkaji
seputar lafadz dan makna dalam perspektif ulama ushûl fiqh.
555
II. PEMBAHASAN A. USHÛL FIQH; LAFADZ DAN MAKNA
Ushul Fiqh merupakan ilmu yang pertama ditemukan oleh Imam al-Syafi’i (al-
Khun, 2000: 24), menurut as-Syaukani adalah realisasi seperangkat kaidah yang mampu
menghantarkan kepada pengambilan cabang-cabang hukum syar'i, dengan
menggunakan dalil-dalil yang terperinci (adillah tafshîliyyah). Ada yang mengatakan
ushûl fiqh adalah ilmu dengan seperangkat kaidah....; ada yang mengatakan esensi
seperangkat kaidah yang dengan sendirinya mampu menghantarkan kepada
pengambilan hukum; adalagi yang mengatakan ushûl fiqh adalah metodologi ilmu fiqh
(al-Syaukani, 1993: 17-18). Obyek kajian ilmu ushûl al-fiqh adalah dalil-dalil syar'i
secara umum, dilihat dari ketetapan-ketetapan hukum umum (Khallaf, 1990: 12-13).
Karena obyek kajiannya adalah dalil syar'i yang berbentuk bahasa dalam teks al-Qur'an
dan al-Hadits, maka yang penting dilakukan adalah kerja kebahasaan, proses
pemahaman dari lafadz menuju makna.
Menurut Ahmad Hasyimi, Lafadz adalah kumpulan bunyi yang terdiri dari
sebagian huruf hijâiyyah, baik secara tersurat seperti Muhammad, maupun tersirat
seperti dhamîr mustatir dalam kalimat, "izhab (pergilah..!)". Kalâm didefinisikan
sebagai lafadz yang tersusun dan bermakna dalam struktur bahasa Arab, sedangkan
Kalimah berarti lafadz mufrad yang memiliki makna (Hasyimi,tt: 8-9). Dilihat dari
ketiga definisi diatas, lafadz mempunyai pengertian yang lebih umum, dapat berupa
kalimah maupun kalâm. Lafadz dalam bahasa Indonesia dapat dipadankan dengan
ujaran, sedangkan kalimah dengan kata, dan kalâm dapat dipadankan dengan kalimat.
Jadi lafadz bisa berupa kalimat (kalâm), frasa (jumlah) maupun kata (kalimah).
Sebagaimana definisi diatas Ulama ushul fiqh melihat lafadz dalam tataran ketika lafadz
itu mufrad (singular) ataupun murakkab (tersusun) (Khallaf, 1990: 140-141).
Sedangkan menurut Abdul Karim-mengutip pendapat Syathiby-, Makna ada
dua bentuk, pertama, makna ashly yakni makna dasar (lexical meaning), dan kedua,
makna tab'iy, yaitu makna kata ketika berada dalam susunan gramatikal (gramatical
meaning). Tidak ada perselisihan dalam menentukan makna leksikal, oleh sebab itu
yang dikaji ulama ushul fiqh adalah kebenaran makna gramatikal dalam menentukan
hukum, stressing-nya bukan pada makna yang pertama (makna ashly) namun lebih pada
makna kedua (makna tab'iy). Ulama ushul fiqh memposisikan "makna" pada level
diatas "kata", apabila mereka menganalisis kata, maka hanya demi sebuah makna.
Seperti yang diutarakan Syathibi, lafadz hanya menjadi media untuk menghasilkan
makna yang dikehendaki, dan makna itulah yang dituju (Mujahid, 1985: 22-24).
Mengikuti beberapa kategori yang diberikan ulama ushul fiqh, penulis
membagi permasalahan lafadz dan makna kedalam empat kelompok (Zaidan, tt: 227),
yaitu: (1) Makna ujaran berdasarkan makna dasarnya (2) Lafadz berdasarkan makna
yang digunakan (3) Lafadz berdasarkan tersurat dan tersirat-nya makna, dan (4) Lafadz
berdasarkan pemaknaan yang dikehendaki penutur. B. LAFADZ BERDASARKAN MAKNA DASAR
Berdasarkan makna yang dibentuk (makna dasar)-nya, ada yang membagi
lafadz menjadi tiga macam, yaitu (1) al-Khâs (2) al-'Âm dan (3) al-Musytarak 1. Al-Khâs
Khâs adalah setiap lafadz yang diletakkan untuk suatu makna tertentu secara
khusus, dan setiap `ism (nuon) itu mesti memberikan makna tertentu secara khusus.
Khâs ada yang dimaksudkan untuk kekhususan jenis (genus), seperti manusia. Jenis itu
ada yang abstrak, seperti kasih sayang, cinta dan adil, dan ada jenis yang kongkrit
556
seperti rumah, sekolah. Khâs ada yang dimaksudkan untuk kekhususan ragam, seperti
laki-laki dan ada juga yang menunjuk pada kekhususan personal seperti, Balya dan
Kamila. Al-Khâs dapat dibagi lagi menjadi dua bagian, yaitu: (1) Muthlaq dan
Muqayyad (2) Amr dan Nahy (al-Khun, 2000: 281).
Muthlaq dan Muqayyad
Abdul Karim Zaidan, mendefinisikan Muthlaq sebagai lafadz yang
menunjukkan tercakupnya keseluruhan jenis yang ditunjuk, atau bisa dikatakan sesuatu
yang menunjukkan satuan atau kelompok yang tidak tertentu dan tidak dibatasi secara
lafal dengan batasan apa saja (Zaidan, tt: 284). Sedangkan al-Amdi yang dikutip Abdul
Karim Mujâhid, mendefisikan Muthlaq sebagai ungkapan yang menggunakan nakirah
(kata benda indefinit) dalam menentukan kandungan sesuatu yang dituju (Mujahid,
1985: 27) . Contohnya:
(من ق بل أن ي تمآسا )المجادلة: تحرير رق بة والذين يظاهرون من نسآئهم ث ي عودون لما قالوا ف Sedangkan Muqayyad adalah lawan dari Muthlaq yang didefinisikan sebagai
lafadz yang menunjuk pada tercakupnya keseluruhan jenis yang ditunjuk dengan
dibatasi oleh sifat-sifat yang menyaran kepadanya(Zaidan, tt: 284). Contoh:
د فصيام (مآسا... )المجادلة: من ق بل أن ي ت شهرين مت تابعي فمن ل ي `Amr dan Nahy
Menurut ulama ahli ushûl al-`Amr diartikan sebagai lafadz yang diletakkan
untuk meminta terlaksananya suatu perbuatan dengan adanya superioritas (dari
peminta). Ada lima model kalimat `amr dalam al-Qur'an yaitu (Zaidan, tt: 292):
1. Fi'il `Amr. Contoh:
المب ي وأطيع وا ا و ن رس ولا ال ب تم ف او موا أ )المائ دة: الله وأطيع وا الرس و واذ ذروا ف تن ولي )
2. Fi'il mudhari' yang tersambung dengan lam amr.
(ومن... ) البقرة: ف يصمه ...، فمن شهد مكم الشهر 3. Mashdar yang menggantikan fi'il `amr, contoh:
.... )محمد: فضرب الرقاب فتذا لقيتم الذين كفروا (ذت4. Isim fi'il `amr, contoh:
ه الت هو ف ب يتها ون ن فسه وغ قت الأب واب وقالت (.. )يوسف: هيت لك.وراود5. Jumlah khabariyyah yang dimaksudkan untuk sebuah "permintaan" (bukan
statement).
( ي لمن أراد أن يتم الرضاوة ...)البقرة: والوالدات ي رضعن أولادهن ذولي كام Menurut ulama ushûl fiqh, shighah al-`amr dilihat dari segi makna yang
terkandung dalam kalimat-nya, mempunyai beberapa fungsi makna, al-Amdi dalam
kitab al-Ihkâm menyebutkan lima belas macam fungsi, sedangkan al-Mahalli dalam
syarah Jam'u al-Jawâmi', menyebutkan ada dua puluh enam fungsi (al-Khun, 2000:321-
323), diantaranya:
1. Menyaran pada sesuatu yang hukumnya wajib, contoh:
تم إ كم وأنتم معرضون )البقرة: ...وأقيمو الصة وءاوا الزكاة ث ولي (لا ق ي م
557
2. Menyaran pada sesuatu yang hukumnya sunnah, contoh:
ت ون الكت اب ي هم الله م ن فض ه وال ذين ي ب ا م ك ت وليس ت عفف ال ذين لاي دون نكاذ ا ذ ت ي را... )الور: (أيانكم فكابوهم إن و متم فيهم خي
3. Mengandung arti mubah, contoh:
(يأي ها الرسل ك وا من الطيبات واوم وا صالا إن با عم ون و يم ) المؤمون: 4. Bermakna mengancam (al-tahdîd), contoh:
تم إنه با عم ون بصير )فص ت: (...اوم وا ماشئ 5. Bertujuan menyeru/petuah bijak (al-Irsyâd). Menurut Al-Amdî makna al-irsyad
mirip dengan sunnah karena adanya kesamaan dalam hal seruan untuk
kemaslahatan, hanya saja kalau al-irsyad untuk kemaslahatan dunia dan sunnah
untuk kemaslahatan akhirat. Selain dari lima makna amr diatas ada beberapa
makna lagi diantaranya, al-ta'dîb (untuk mendidik), al-indzâr (peringatan), al-
Imtinan (ucapan selamat), al-ikrâm (penghormatan), al-Taskhîr (penghinaan), at-
ta'jiz (pelemahan) dan lain sebagainya. contoh:
وام رأ ن ن رض ون م ن ...واستش هدوا ش هيدين م ن رإ الكم ف تن ل يك و رإ ي ف رإ ل (الشهداء... )البقرة:
6. Bertujuan untuk mendidik, seperti sabda Nabi Muhammad kepada Umar bin Abi
Salmah ketika dia masih kecil dan belum baligh, saat itu tangannya ceroboh di
dalam mangkuk, Nabi Bersabda,
" Wahai Ghulam.., sebutlah nama Tuhanmu.., makanlah dengan tangan
kananmu, dan makanlah sesuatu yang ada didekatmu.
Sedangkan al-Nahy secara etimologi berarti al-man'u (mencegah), dan secara
terminologi berarti meminta dihentikannya suatu pekerjaan dengan superioritas untuk
melaksanakan perintah (Zaidan, tt: 301), Musthafa Sa'id al-Khunn (2000: 325),
membagi model kalimat nahy menjadi beberapa macam, diantaranya
1. Fi'il mudhari' yang bersambung dengan lâ al-nâhiyah ( jangan..!), contoh:
(الزن إنه كان فاذشة وسآء سبي )الإسراء: ولا قربوا2. Bentuk perintah yang berisi larangan, contoh:
( ق و الزور )الج: واإتبوا الرإس من الأوثن اإتبوا... ف 3. Kata "nahâ" dan beberapa turunan dari kata tersebut (musytaq minhu), contoh:
( ال فس ون )الازوات: ون هن وأما من خاف مقام ربه 4. Jumlah khabariyyah yang digunakan untuk larangan, dalam bentuk
pengharaman ataupun ketidak-halal-an terhadap sesuatu, contoh:
كم ووماكم وخالاكم.... )الساء: (ذرمت و يكم أمهاكم وب اكم وأخوا ( اموا لايل لكم أن رثوا السآء كرها... )الساء: يأي ها الذين ء
558
Sebagaimana halnya al-`amr, al-nahy juga memiliki beberapa fungsi makna,
diantaranya:
1. Bermakna peng-haram-an, contoh:
(ي )الإسراء: ولا قربوا الزن إنه كان فاذشة وسآء سب 2. Berfungsi menunjukkan sesuatu itu makruh untuk dilakukan, contoh:
لا يس أذدكم ذكره بيميه وهو يبو )الديث( 3. Berfungsi sebagai do'a (al-du'â`), contoh:
(رحة إنك أنت الوهاب )ا ومران: رب ا لاز ق وب ا ب عد إذ هدي ت ا وهب لا من لدنك 4. Bertujuan memberi petuah bijak (al-Irsyâd), contoh:
(يأي ها الذين ءاموا لاسئ وا ون أشيآء إن بد لكم سؤكم... )المائدة: 5. Bertujuan memberi ancaman (al-tahdîd), seperti ucapan majikan kepada
budaknya, "Jangan kau taati perintahku" 2. Al-'Âm
Al-'Âm secara etimologi berarti "mencakup sesuatu yang berbilang", dan
secara terminologi berarti lafadz yang mencakup keseluruhan sesuatu yang menyaran
kepadanya, penempatan satu kata menyaran pada satu kumpulan yang tak terbatas
(Zaidan, tt: 301). Dalam bahasa Arab dikenal berbagai macam bentuk 'Âm, diantara
yang paling sering digunakan adalah (al-Khunn, 2000: 282-281):
1. Lafadz Mufrad yang di-ma'rifat-kan dengan al al-jinsiyah al-Istighrâqiyyah,
contoh:
)المائدة: فاقطعوا أيدي هما إزآ والسارق والسارقة ن الله والله وزيز ذكيم (ء با كسبا نكالا م2. Lafadz jama' yang di-makrifat-kan dengan dengan al al-jinsiyah, yang
berfungsi menerangkan adanya pencakupan (al-istighraq), contoh:
ثة ق روء.... )البقرة: ي ت ربصن بن فسهن والمط قات (ث3. Asmâ` al-Ajnâs, yaitu kata yang tidak menyaran pada satuan, baik berjumlah
banyak maupun sedikit, contoh: hewan, air dan debu, jika di-makrifat-kan
dengan al-jinsiyah, contoh:
طهور لا يجسه شيئ )الديث( الماء4. Sesuatu yang di-idhafah-kan dari ketiga bentuk diatas kepada isim ma'rifah,
contoh:
م خ ذ م ن ي و يم أم وا م والله ك س كن ا وص ل و يهم إن ص )التوب ة: ص دقة طه رهم و زكيهم )
5. Asmâ` al-Syarth, seperti man untuk orang, serta mâ dan mahmâ untuk selain
orang, contoh:
(شهد مكم الشهر ف يصمه )البقرة: فمن6. Ism al-Mausûl, contoh:
{ )البقرة: يك ون الرب لا ي قومون إلا كما ي قوم الذي ي تخبطه الشيطان الذين (من المس7. Lafadz kullu dan lafadz jam'u, contoh:
(ن فس ذآئقة الموت )ا ومران: كل
559
8. Nakirah dalam konteks nafy, seperti firman Allah:
(و يكم إن ط قتم السآء )البقرة: لا إاح 3. Al-Musytarak
Al-Musytarak menurut ulama ushul fiqh adalah lafadz yang digunakan untuk
dua makna atau lebih dengan berbagai macam panggunaan, tergantung penggunaannya.
Contoh lafadz yang memiliki dua makna adalah lafadz "Qurû`" yang digunakan untuk
arti suci sekaligus menstruasi, dalam ayat berikut ini:
ثة ()البقرة: ق روء والمط قات ي ت ربصن بن فسهن ثSedang untuk lafadz yang memiliki beberapa makna dalam konteks yang
berbeda, contohnya seperti kata 'ain (mata), bisa al-'ain al-bâshirah (mata yang
melihat), 'ain al-mâ' (mata air), al-jasûs (mata-mata) dan sil'ah (mata dagangan).
Ulama ushul fiqh telah sepakat dengan adanya isytirâk dan makna yang
terdapat didalamnya, namun mereka berbeda pendapat dalam tata cara pemaknaan dan
perinciannya. Mereka juga sepakat bahwa lafadz itu pada dasarnya tidak musytarak, jadi
ketika ada lafadz yang bisa dimaknai dengan musytarak dan makna dasar, maka yang
diunggulkan makna dasarnya dahulu, contohnya:
(و يه وس موا س يما )الأذزاب: ص واو ن الب يأي ها الذين ءاموا يص ون إن الله ومئكته Dalam kalimat ini, lafadz shalat dimaknai dengan makna lughawi yang berarti
do'a, bukan makna sholat secara syar'i seperti yang kita fahami sekarang. Karena
terdapat indikasi (qarînah) yang membatasi makna yang dituju dengan makna yang
menyaran pada keduanya. Dalam ayat diatas indikasinya jelas, shâlat syar'i ditujukan
untuk menghadap Tuhan, sedangkan shalat Tuhan bagi hambanya adalah kasih sayang-
Nya (Mujahid, 1985: 40).
Ulama ushul berbeda pendapat dalam memaknai kalimat yang tidak ada
qarînah-nya, golongan Hanafiyyah dan sebagian Syafi'iyyah berpendapat bahwa
mujtahid dituntut untuk meneliti, menganalisa dan berkonsentrasi untuk menemukan
makna yang dimaksud, seperti kalimat shaum dalam hadits Nabi berikut:
من نسي وهو صائم فأكل أو شرب ف يتم صومه )رواه البخارى(Shaum secara lughawi bermakna menahan terhadap sesuatu, meninggalkannya
atupun mendiamkannya. Sedangkan dalam arti syar'i berarti menahan diri dari makan
dan minum dan menjahui sesuatu yang dilarang, yang merupakan prosesi ibadah
khusus. Karena kalimat ini berada dalam nash syar'i, maka lafadz ini bermakna syar'i
bukan makna lughawi.
Sedangkan kebanyakan Syafi'iyyah dan Mu'tazilah, memaknai lafadz
musytarak dengan menggabungkan seluruh maknanya, jika memungkinkan untuk
digabungkan. Seperti dalam firman Tuhan:
ب ا والش جر أل ر أن الله يس جد ل ه م ن ف الس ماو والش مس والقم ر والج وم وا ات وم ن ف الأرن الاس )الج (والدوآب وكثير م
Lafadz sujud disini mengandung polysemi antara menaruh jidat ke tanah
dalam shalat seperti yang dilakukan manusia, dan antara patuh dan khusyu' kepada
Allah swt. dalam hamparan kuasa-Nya, hal ini berlaku untuk seluruh ciptaan-Nya.
Dalam kasus ini, wajib digunakan makna keduanya dan tidak mengabaikan salah satu
dari keduanya.
560
Sedangkan Ibnu Taimiyah bersikap netral terhadap keduanya, dengan
mengatakan: "perselisihan yang terjadi diantara mereka mengenai lafadz, yang
mencakup dua hal: baik itu (1) berupa musytarak lughawi, seperti lafadz qaswarah yang
berarti orang yang melempar dan atau singa, ataupun 'as'as yang berarti menjelang
malam dan atau menjelang siang. Untuk kasus yang demikian diperbolehkan
menggabungkan makna keduanya dan adakalnya (2) pemaknaan interpretatif, untuk
yang demikian diperbolehkan sepakat dengan makna yang diberikan ulama salaf
ataupun tidak sepakat dengan itu (Mujahid, 1985: 22-24)
C. LAFADZ BERDASARKAN MAKNA YANG DIGUNAKAN 1. Al-Haqîqah
Al-Haqîqah adalah lafadz yang digunakan untuk menunjuk sesuatu yang
ditunjuk oleh lafadz itu (makna tekstual), baik secara lughawai, syar'i ataupun 'urfi
(adat/konvensi). Pertama: haqîqah lughâwiyyah adalah lafadz yang digunakan sesuai
dengan makna etimologis yang menyaran kepadanya, seperti matahari, bulan dan
bintang. Kedua: haqîqah syar'iyyah, adalah lafadz yang digunakan sesuai pengertian
yang terdapat dalam syari'at, atau sesuai dengan makna yang dinginkan oleh pembuat
syari'at, seperti; shalat, puasa dan haji. Ketiga: haqîqah 'urfiyyah, adalah lafadz yang
digunakan sesuai dengan makna dalam konvensi budaya, atau disesuaikan dengan
penggunaan lafadz itu dalam perjalanan budaya, baik itu "konvensi umum", seperti
mobil yang telah difahami oleh semua kalangan, maupun "konvensi khusus" seperti,
mu'rab, mabniy dan marfu' dalam 'ilmu nahwu. Herbifora, carnifora dan omnifora
dalam ilmu biologi dan konvensi-konvensi khusus dalam keilmuan lainnya (Zaidan, tt:
331).
Karena haqîqah mempunyai makna yang jelas dan langsung dapat difahami,
maka dia langsung menetapkan makna hukum yang terkandung didalamnya tanpa harus
memberikan interpretasi kepadanya, contoh:
(ال فس الت ذرم الله إلا بلق )الإسراء: ت وا ولا ق 2. Al-Majâz
Majâz adalah lafadz yang digunakan untuk menunjuk sesuatu yang bukan
berdasarkan pada makna tekstualnya, karena adanya 'alâqah (koherensi) antara
keduanya (makna tekstual dan kontekstual) dan adanya qarînah (indikasi) yang
melarang pemaknaan yang sesungguhnya. Yang dimaksud dengan qarînah adalah tanda
yang kapabel untuk menunjukkan bahwa pembicara tidak bermaksud untuk
memberikan makna yang sesunggunhnya pada lafadz itu, dan sesungguhnya yang
dimaksud adalah makna alegoris (Zaidan, tt: 332). Ada beberapa macam bentuk alâqah
diantaranya:
1. Al-Musyâbahah, yaitu adanya keserupaan dalam sifat-sifat tertentu antara makna
haqiqi dan makna majazi, contohnya perkataan ahli Madinah ketika menyambut
kedatangan Rasulullah:
و يا........ البدرط 2. Al-Kaun, artinya menyebut sesuatu, dengan (maksud) komulasi dari eksistensi
yang melekat padanya, (bukan pada makna dasarnya), contoh:
أم والكم إن ه ك ان ذ وب الي ت امنوءاوا م إ ك وا أم وا بي ث بلطي ب ولا لوا ا م ولا ت ب د كب يرا )الس اء: أم وا)
561
3. Al-`Aula, yakni menyebutkan sesuatu dengan sesuatu yang dihasilkan kemudian,
contohnya:
(... )يوسف: خرا... إن أران أوصر 4. Al-hulûl, artinya menyebutkan tempat namun yang dimaksudkan adalah
kondisinya, dan menyebutkan kondisi namun yang dimaksudkan adalah
tempatnya. Contoh:
(الت أق ب ا فيها وإ لصادقون )يوسف: الت كا فيها والعير القرية وسئل 5. Juz`iyyah, artinya menyebut sebagian namun yang dimaksud adalah keseluruhan
dan menyebutkan keseluruhan yang dimaksud adalah sebagian (kulliyyah),
contoh:
ب وب )ال (هب: بت يدآ أب يع ون وب رق ورود ف ءاذان م م ن الص واوق ذ ذر الم وت أص ابعهم أوكصيب من السماء فيه ظ مات
()البقرة: Tidak mungkin untuk memaknai lafadz dalam satu konteks secara haqîqi dan
majâzi sekaligus, namun satu lafadz bisa saja dimaknai secara majâzi dalam suatu
konteks, dan dimaknai secara haqîqi dalam konteks yang lainnya, yang terpenting
adalah bagaimana lafadz itu bisa dimaknai sesuai dengan konteks yang melingkupinya.
yang mungkin adalah menggunakan makna majâzi dengan menempatkan makna haqîqi
dibawahnya, contohnya ketika seseorang berjanji untuk tidak menapakkan kaki
dirumah seseorang, maksudnya adalah menapakkan kaki untuk masuk rumahnya,
menapakkan kaki dirumahnya merupakan sebab, namun yang diinginkan adalah akibat
dari itu, yakni memasuki rumahnya. Lafadz ini mempunyai makna majazi yang cakupan
maknanya adalah memasuki rumah baik secara telanjang kaki maupun dengan
bersepatu. Majâz disini mempunyai arti umum, tidak memberikan makna lafadz secara
majâzi dan haqîqi sekaligus. 3. Al-Sharîh dan Al-Kinâyah
Sharih dan kinayah adalah dua model penggunaan haqîqah dan majâz,
keduanya bisa tampil dengan bentuk sharih dan kinayah. Jadi adakanya sharîh itu dalam
bentuk haqîqi dan majâzi, demikian pula kinâyah ada yang haqîqi dan ada pula yang
majâzi (Mujahid, 1985: 43).
As-Sharîh adalah lafadz yang penunjukan maknanya nampak dengan jelas
dan gamblang, baik secara haqîqi maupun majâzi. Contoh sharîh haqîqi terdapat dalam
akad nikah, "aku nikahkan kamu ..... dan aku terima nikahnya...", lafadz ini mempunyai
makna sharîh sekaligus haqîqi. Sedangkan sharîh majâzi contohnya terdapat dalam
lafadz pada surat Yusuf, ayat 82 diatas, maknanya sharîh meski majâzi, yang dimaksud
dengan "qaryah" disitu jelas "ahlu al-qaryah", karena tidak mungkin orang bertanya
kepada desa.
Kinâyah secara etimologi berarti membicarakan sesuatu namun yang
dikehendaki bukan itu, sedangkan secara terminologi, kinayah berarti tersiratnya makna
yang dikehendaki dari sebuah lafadz, dengan disesuaikan pada penggunaannya.
Kinâyah tidak bisa difahami dengan tanpa adanya qarînah, baik itu kinâyah haqîqi
maupun kinâyah majâzi. Contoh kinâyah haqîqi adalah ungkapan seseorang: "Aku
ketemu temanmu, dan kami bercerita", tidak disebutkan siapa "temanmu" itu dan
bercerita tentang apa. Sedangkan kinâyah majâzi contohnya adalah perkataan suami
kepada istrinya, "Ber-'iddah-lah engkau..", yang dimaksud disini adalah 'iddah thalaq,
562
secara majazi hal ini jelas yang dimaksudkan adalah thalaq, karena thalaq-lah yang
menyebabkan adanya 'iddah, jadi lafadz " 'iddah" disitu bermakna kinâyah sekaligus
majâzi. D. LAFADZ BERDASARKAN TERSURAT DAN TERSIRATNYA MAKNA
Wâdzihu al-Dalâlah (makna tersurat)
Wâdzihu al-dalâlah adalah lafadz yang menunjukkan maknanya dari bentuk
lafadz itu sendiri, dengan tidak memerlukan bantuan dari aspek diluar lafadz tersebut,
wâdzihu al-dalâlah dibagi menjadi empat bagian (1) al-Dzâhir, (2) al-nashshsh, (3) al-
Mufassar, dan (4) al-Muhakkam (Mujahid, 1985: 44). 1. Al-Dzâhir
Al-Dzâhir secara etimologi berarti al-wâdhih (jelas, gamblang), dan secara
terminologi ushul fiqh, adalah lafadz yang menunjukkan sesuatu yang ditampakkan oleh
lafadz itu sendiri, dengan tidak membutuhkan aspek luar (kalimat), dan yang dimaksud
bukan pemaknaan berdasarkan konteks kalimat tersebut muncul, namun lafadz tersebut
masih menerima penafsiran atau pentakwilan (al-Khunn, 265). contohnya adalah
firman Allah dalam suarat al-Baqarah 275, yang berbunyi:
( الب ي وذرم الرب ... )البقرة: ... وأذل الله Ayat tersebut mempunyai dalâlah makna yang jelas, menghalalkan jual beli
dan mengharamkan riba, dengan tidak membutuhkan kepada unsur luar kalimat, dan
yang dimaksud bukanlah pemaknaan berdasarkan konteks ayat itu muncul, karena
konteks asli kalimat tersebut dimaksudkan untuk menghilangkan kesamaan antara jual
beli dan riba, untuk membantah mereka yang berkata: sesungguhnya jual beli itu seperti
riba. 2. Al-nashsh
Al-nashsh secara terminologi ulama ushul fiqh adalah lafadz yang dengan
bentuknya sendiri telah menunjukkan makna yang dimaksud, makna lafadz itu sekaligus
berdasarkan pada konteks yang menyebabkan kemunculannya, dan didalamnya
dimungkinkan adanya ta'wil. Jika maksudnya segera dapat difahami dari lafadz itu,
maka tidak perlu memperhatikan faktor luar. Makna lafadz itu sekaligus sama seperti
yang dimaksud dengan konteks yang melatarbelakanginya, dengan kata lain ia
merupakan nash bagi konteks tersebut (Khallaf, 1990: 163). contohnya:
(... وأذل الله الب ي وذرم الرب ... )البقرة: Turunnya ayat tersebut dimaksudkan untuk tidak menyamakan antara jual beli
dan riba, jadi yang segera dapat difahami dari ayat itu (berdasarkan konteksnya) adalah,
tidak sama antara jual beli dan riba, karena jual beli itu halal dan riba itu haram. Dzahir
dan Nash hanya dibedakan dari cara pandang pemaknaan saja, yang satu dari teks dan
yang satunya melalui konteks, namun tetap dalam garis pengertian yang saling
memperkaya. Makna nash adalah makna asli sesuai dengan konteks lafadz itu
sedangkan makna dzâhir hanya sesuai dengan makna yang menyertainya dengan tidak
memperhatikan konteks kalimat yang memunculkannya. Jadi pentakwilan yang terjadi
pada nash lebih jauh dari yang terjadi pada dzâhir. 3. Al-Mufassar
Kata mufassar diambil dari kata al-fasru yang artinya al-kasyfu , yakni yang
tersingkap maknanya. Sedangkan secara terminologi ulama ushul fiqh mufassar berarti
keterangan yang ditambahkan oleh nash (baca:lafadz) dengan tujuan untuk menjelaskan
kandungan lafadz itu sendiri, menjadi makna yang independen dan tidak membutuhkan
penafsiran(Zaidan, tt: 227)
563
. Contohnya adalah lafadz "tsamanîna jaldah" pada surat al-Nur, ayat 4, yang berbunyi:
(...)الور: ثاني إ دة والذين ي رمون المحصات ث ل يوا برب عة شهدآء فاإ دوهم Dalam lafadz fajlidûhum, tidak dimungkinkan adanya ta'wil, karena terdapat
keterangan yang diberikan secara langsung, yakni tsamanîna jaldah. Sedangkan ada
beberapa ayat yang penafsirannya terdapat dalam nash yang berbeda, misalnya perintah
shalat yang menyaran (ditafsiri) dengan perkataan dan perbuatan nabi, jadi ayat shalat
itu menjadi mufassar oleh Hadits Nabi, dan tidak mungkin ditafsiri dengan pengertian
lain. 4. Al-Muhkam
Al-muhkam yang secara etimologi berarti al-mutqan (yang diyakini), dalam
terminologi ushul fiqh berarati lafadz yang menunjukkan makna yang dimaksud dari
kandungan lafadz itu sendiri, dan didalamnya tidak dimungkinkan melakukan tafsir dan
ta'wil, serta tidak mungkin di-naskh, karena muatan hukumnya berisi dasar agama yang
tidak mungkin diubah, seperti masalah kepatuhan pada Tuhan, perbuatan baik serta
berbuat keadilan, berita-berita yang tidak menimbulkan kontradiksi. Contohnya adalah:
ها ومابطن... )الأنعام: (...ولا قربوا الفواذش ماظهر م Jadi, bila diurutkan dari kejelasan dalalahnya, yang terkuat dari al-wâdhih al-
dalalah adalah al-muhkam, al-mufassar, al-nashsh baru kemudian al-dzâhir. Al-Khâfiy al-Dalâlah (makna tersirat)
Al-Khafi al-dalalah adalah lafadz yang maknanya tersirat dan samar,
maknanya tidak langsung ditunjukkan dengan gamblang, diperlukan sarana bantu untuk
memahaminya, atau lafadz yang sulit untuk difahami (Mujahid, 1985: 48). Seperti
halnya wâdhihu al-dalâlah, al-khafi al-dalalah juga memiliki beberapa tingkatan ke-
tersirat-an, yaitu: (1) Al-Khafy (2) Al-Musykal (3) Al-Mujmal, dan, (4) al-Mutasyâbih. 1. Al-Khafiy
Al-Khafiy menurut ulama ushûl fiqh adalah lafadz yang menunjukkan artinya
dengan jelas, namun masih ada kesamaran dan ketersiratan ketika lafadz itu diterapkan
kepada individu-individu, dan untuk menghilangkan kesamaran dan ketersiratan itu
diperlukan upaya pemikiran yang mendalam. Contohnya dalam ayat berikut ini:
)المائدة: والسارق والسارقة ن الله والله وزيز ذكيم (فاقطعوا أيدي هما إزآء با كسبا نكالا مAyat diatas mempunyai arti yang jelas, yakni hukum pemotongan tangan bagi
mereka yang mencuri. Lafadz al-sârik mempunyai arti yang jelas, yakni pengambilan
harta berharga milik orang lain secara sembunyi-sembunyi. Namun ketika diterapkan
pada "pencopet", atau "brandal" misalnya, apakah hukumnya sama?, ulama ushu fiqh
sepakat untuk menyamakan hukuman keduanya. Namun lain halnya ketika diterapkan
pada pencuri barang-barang di kubura (al-nasyâl. Imam Syafi'i dan Imam Abi Yusuf
menyamakan hukuman dengan yang terjadi pada al-sârik, sedangkan Imam Abi
Hanifah menganggap dia bukan pencuri, oleh sebab itu ia tidak dipotong tangannya,
namun hanya diberi hukuman ta'zir, sebagi pelajaran kepadanya. 2. Al-Musykil
Al-Musykil menurut ulama ushul fiqh berarti lafadz yang bentuknya sendiri
tidak menunjukkan pada arti yang dikehendakinya, namun harus ada petunjuk luar yang
menjelaskan apa yang dimaksudnya, petunjuk itu dapat diperoleh melalui pembahasan
dan penelitian secara mendalam. Contohnya adalah kata qurû` pada ayat berikut:
ثة (... )البقرة: ق روء والمط قات ي ت ربصن بن فسهن ث
564
Lafadz quru', menurut ahli bahasa mempunyai arti ganda yang berlawanan,
suci dan atau menstruasi, untuk menjelaskan makna lafadz quru` dalam ayat ini
dibutuhkan penalaran dan analisa. Imam Syafi'i dan sebagian Mujtahid berpendapat
bahwa yang dimaksud dengan quru` dalam ayat tersebut adalah suci. Sedangkan Abu
Hanifah dan beberapa mujtahid berpendapat bahwa yang dimaksud qurû` disitu adalah
menstruasi. 3. Al-Mujmal
Al-Mujmal secara etimologi bebarti al-mubham (samar), sedangkan secara
terminologi berarti, lafadz yang tidak bisa difahami maknanya kecuali dengan
melakukan penafsiran dari lafadz yang global tersebut, dan dijelaskan dari aspek yang
darinya diketahui maksud yang dikehendaki. Contohnya adalah ayat berikut ini:
ر مووا )المعارج: ( إذا مسه إن الإنسان خ ق ه ووا ) ي ( - الشر إزووا، وإذا مسه اLafadz halû'a (tidak sabar) dalam ayat kesembilan belas di atas mujmal, ke-
mujmal-annya kemudian ditafsiri dengan ayat sesuadahnya: "apabila ia ditimpa
kesusahan ia berkeluh kesah, dan apabila ia mendapatkan kebaikan ia teramat kikir". 4. al-Mutasyâbih
Al-Mutasyâbih menurut ulama ushul fiqh berati lafadz yang maknanya
tersembunyi, bentuknya juga tidak menunjukkan maksudnya, dan tidak ada jalan untuk
mengetahuinya kecuali ada indikasi yang menghilangkan ketersiratannya. Sebagian
ulama menganggap masalah itu selesai, dengan tidak melakukan penafsiran terhadapnya
(bila kayfa). Contoh-contoh alfâdz al-mutasyâbihât adalah huruf muqaththa'ah pada
awal surat, juga ayat-ayat yang menerangkan sifat Tuhan, contohnya dalam surat Thaha,
ayat:5, berikut ini:
(( يد الله ف وق أيديهم )الفتح: الرحن و ن العرش )طه: Ada dua kelompok ulama' yang berbeda pendapat dalam mensikapi pemaknaan
alfâdz al-mutasyâbihât, pertama: madzhab salafi: kelompok ulama klasik menyerahkan
pemaknaan alfâdz al-mutasyâbihât kepada Tuhan, manusia cukup mengimaninya saja.
Kedua: madzhab khalafi: menurut madzhab yang lebih kontemporer ini, dibutuhkan
pembahasan pada ayat-ayat mutasyabihat, ketika secara kasat mata nash-nya memiliki
makna yang mustahil keberadaannya bagi Tuhan, maka diperlukan analisa dan kajian
bahasa untuk sampai pada makna yang dimaksud.
III. PENUTUP
Dari paparan di atas dapat disimpulkan bahwa dalam pembentukan hukum,
ulama ushul fiqh banyak berkutat pada masalah bahasa dalam memaknai al-Quran dan
Hadits sebagai basis legitimasi hukum Islam yang berbentuk teks bahasa yang
bermakna. Pemahaman yang benar terhadap al-Qur'an dan al-Sunnah serta hukum yang
terkandung didalamnya, hanya akan diperoleh melalui kerja semantis dari kedua teks
tersebut, sebuah proses pemaknaan dari lafadz menuju makna. Demikian paparan
makalah ini, semoga anugrah lisan dan nalar mampu menghantarkan kita pada
pemahaman, pengertian dan pencerahan . Amien...
565
REFERENSI
Esposito, John L. Ensiklopedi Oxford: Dunia Islam Modern. (Bandung: Mizan. 2002).
Cet. II.
Hasyimi, Ahmad. Al-Qawâid al-Asâsiyah li al-Lughah al-'Arabiyyah, (Lebanon: Dar al-
Kutub al-Ilmiyyah)
Khallâf, 'Abdul Wahhab. 'Ilmu Ushûlu al-Fiqh. (Kairo: Maktabah al-Da'wah al-
Islamiyyah, 1990). Cet. IIX.
al-Khun, Musthafâ Sa'îd. Al-Kâfi al-Wâfi: fi ushûli al-fiqh al-islami. (Beirut: al-Risâlah,
2000). Cet. I.
Mujâhid, 'Abdul Karîm. Al-Dalalah al-'Arâbiyyah 'Inda al-'Arab. (Yordania: Dâr al-
Dhiya'). 1985.
Na'mah, Fuad. Mulakhkhash Qawâid al-Lughah al-'Arabiyyah. (Damaskus: Dâr al-
Hikmah).
al-Syafi'i, Imam Jalaluddin Abdu al-Rohman ibn bakr al-Suyuti. Al-Itqaˆn fi 'Uluˆmi al-
Qur'an. (Lebanon : Daru al-Kutub al-'Alamiyyah). Juz. II.Cet. I. 2000.
al-Syaukani, Muhammad bin 'Ali bin Muhammad. Irsyâdu al-Fuhûl ilâ tahqîqi Ilmi al-
Ushûl. (Makkah: Maktabah al-Tijariyah, 1993 M/1413 H), Cet. I.
Zaidan, Abdul Karim. Al-Wajîz fi Ushûl al-Fiqh. (Beirut: Mu`assasah al-Risalah).