12
554 PRINSIP DASAR PEROLEHAN MAKNA DALAM PERSPEKTIF ULAMA USHUL FIQH Ibnu Samsul Huda Universitas Negeri Malang [email protected] Abstrak: Islam sebagai agama semesta dengan al-Qur'an yang terjaga sepanjang masa meniscayakannya untuk bisa “dibaca” oleh umat manusia dimanapun dan kapanpun (shalih likulii zamaan wa makaan). Membaca adalah mencerap, memahami, menganalisis dan lebih jauh menginterpretasikan sebuah pesan bacaan. Begitu pentingnya membaca, Allah subhanahu wata’ala memulai perintah beragama dengan membaca. Membaca adalah firman yang pertama diturunkan dalam al- Qur’an, Bacalah dengan Nama Tuhanmu. Perintah dalam al -Qur’an adalah perintah kepada seluruh manusia yang tidak disekat oleh ruang dan waktu, dari terciptanya manusia sampai berakhirnya seluruh kehidupan di seluruh alam semesta. Proses transmisi al-Qur’an dari yang transenden menuju imanen hingga dicerap oleh umat islam di seluruh penjuru dunia meniscayakan adanya sebuah metodologi dalam mengambil makna. Dalam Islam terdapat ilmu ushul fikih yang berisi sekumpulan prinsip dan metodologi penelitian yang digunakan untuk menurunkan aturan hukum- hukum praktis dari sumber utama al-Qur’an dan Hadits. Tulisan ini secara singkat akan mengulas metodologi pencapaian makna dari lafadz-lafadz al-Qur’an dan al- Hadits. Kata kunci: al-Qur’an, lafadz, makna,ushul fiqh . I. PENDAHULUAN Ada dua hal yang penting dan saling berkaitan satu sama lain dalam pemaknaan al-Qur'an dan al-Hadits. Pertama adalah lafadz sebagai materi dasar teks yang digunakan sebagai media untuk menyampaikan pesan Tuhan kepada manusia, dan kedua adalah makna yang mengandung watak dan wacana dari teks yang ditawarkan al- Qur-an, berupa pesan moral dan aturan-aturan hukum dalam beragama. Fuqahâ' berkutat dengan kerja kebahasaaan dalam menafsirkan al-Qur'an dan al-Hadits secara terperinci untuk sampai kepada makna yang dimaksud, proses kerangka berfikir yang demikian melahirkan sekumpulan prinsip dan metodologi penelitian yang digunakan untuk menurunkan aturan hukum-hukum praktis dari sumber utama, yang kemudian kita sebut " 'Ilmu Ushul fiqh". Al-Qur'an merupakan basis utama dalam menentukan hukum Islam, dibantu al- Hadits yang dianggap sebagi wahyu batin Nabi dalam menafsirkan al-Qur'an. Tujuan dari ulama ushul fiqh adalah mencari legitimasi suatu aturan apakah bergantung pada basis yang pasti tersebut atau tidak. Berangkat dari sebuah legitimasi hukum maka muncullah istilah ijmâ', sebuah konsensus seluruh ulama penafsir pada masa tertentu dalam menentukan aturan hukum mengenai kejadian baru yang belum ada dalam al- Quran dan Hadits. Selain ijmâ', dalam ilmu ushûl fiqh sering kita temukan istilah Qiyas (analogi), Istihsân (preferensi), Mashlahah Mursalah (pertimbangan kemaslahatan) dan Istishâb (kesinambungan) yang semua bermuara pada satu tujuan, yakni sebuah legitimasi hukum (Esposito, 2002: 123-125). Untuk bisa sampai pada basis hukum, al-Quran dan al-Hadits haruslah dikaji unsur-unsur semantisnya guna mengetahui makna dan hukum yang terkandung didalamnya. Dari proses yang demikian itu, makalah ini berusaha untuk mengkaji seputar lafadz dan makna dalam perspektif ulama ushûl fiqh.

PRINSIP DASAR PEROLEHAN MAKNA DALAM PERSPEKTIF ULAMA USHUL …

  • Upload
    others

  • View
    33

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: PRINSIP DASAR PEROLEHAN MAKNA DALAM PERSPEKTIF ULAMA USHUL …

554

PRINSIP DASAR PEROLEHAN MAKNA

DALAM PERSPEKTIF ULAMA USHUL FIQH

Ibnu Samsul Huda

Universitas Negeri Malang

[email protected]

Abstrak: Islam sebagai agama semesta dengan al-Qur'an yang terjaga sepanjang

masa meniscayakannya untuk bisa “dibaca” oleh umat manusia dimanapun dan

kapanpun (shalih likulii zamaan wa makaan). Membaca adalah mencerap,

memahami, menganalisis dan lebih jauh menginterpretasikan sebuah pesan bacaan.

Begitu pentingnya membaca, Allah subhanahu wata’ala memulai perintah beragama

dengan membaca. Membaca adalah firman yang pertama diturunkan dalam al-

Qur’an, Bacalah dengan Nama Tuhanmu. Perintah dalam al-Qur’an adalah perintah

kepada seluruh manusia yang tidak disekat oleh ruang dan waktu, dari terciptanya

manusia sampai berakhirnya seluruh kehidupan di seluruh alam semesta. Proses

transmisi al-Qur’an dari yang transenden menuju imanen hingga dicerap oleh umat

islam di seluruh penjuru dunia meniscayakan adanya sebuah metodologi dalam

mengambil makna. Dalam Islam terdapat ilmu ushul fikih yang berisi sekumpulan

prinsip dan metodologi penelitian yang digunakan untuk menurunkan aturan hukum-

hukum praktis dari sumber utama al-Qur’an dan Hadits. Tulisan ini secara singkat

akan mengulas metodologi pencapaian makna dari lafadz-lafadz al-Qur’an dan al-

Hadits.

Kata kunci: al-Qur’an, lafadz, makna,ushul fiqh .

I. PENDAHULUAN

Ada dua hal yang penting dan saling berkaitan satu sama lain dalam pemaknaan

al-Qur'an dan al-Hadits. Pertama adalah lafadz sebagai materi dasar teks yang

digunakan sebagai media untuk menyampaikan pesan Tuhan kepada manusia, dan

kedua adalah makna yang mengandung watak dan wacana dari teks yang ditawarkan al-

Qur-an, berupa pesan moral dan aturan-aturan hukum dalam beragama. Fuqahâ'

berkutat dengan kerja kebahasaaan dalam menafsirkan al-Qur'an dan al-Hadits secara

terperinci untuk sampai kepada makna yang dimaksud, proses kerangka berfikir yang

demikian melahirkan sekumpulan prinsip dan metodologi penelitian yang digunakan

untuk menurunkan aturan hukum-hukum praktis dari sumber utama, yang kemudian

kita sebut " 'Ilmu Ushul fiqh".

Al-Qur'an merupakan basis utama dalam menentukan hukum Islam, dibantu al-

Hadits yang dianggap sebagi wahyu batin Nabi dalam menafsirkan al-Qur'an. Tujuan

dari ulama ushul fiqh adalah mencari legitimasi suatu aturan apakah bergantung pada

basis yang pasti tersebut atau tidak. Berangkat dari sebuah legitimasi hukum maka

muncullah istilah ijmâ', sebuah konsensus seluruh ulama penafsir pada masa tertentu

dalam menentukan aturan hukum mengenai kejadian baru yang belum ada dalam al-

Quran dan Hadits. Selain ijmâ', dalam ilmu ushûl fiqh sering kita temukan istilah Qiyas

(analogi), Istihsân (preferensi), Mashlahah Mursalah (pertimbangan kemaslahatan) dan

Istishâb (kesinambungan) yang semua bermuara pada satu tujuan, yakni sebuah

legitimasi hukum (Esposito, 2002: 123-125).

Untuk bisa sampai pada basis hukum, al-Quran dan al-Hadits haruslah dikaji

unsur-unsur semantisnya guna mengetahui makna dan hukum yang terkandung

didalamnya. Dari proses yang demikian itu, makalah ini berusaha untuk mengkaji

seputar lafadz dan makna dalam perspektif ulama ushûl fiqh.

Page 2: PRINSIP DASAR PEROLEHAN MAKNA DALAM PERSPEKTIF ULAMA USHUL …

555

II. PEMBAHASAN A. USHÛL FIQH; LAFADZ DAN MAKNA

Ushul Fiqh merupakan ilmu yang pertama ditemukan oleh Imam al-Syafi’i (al-

Khun, 2000: 24), menurut as-Syaukani adalah realisasi seperangkat kaidah yang mampu

menghantarkan kepada pengambilan cabang-cabang hukum syar'i, dengan

menggunakan dalil-dalil yang terperinci (adillah tafshîliyyah). Ada yang mengatakan

ushûl fiqh adalah ilmu dengan seperangkat kaidah....; ada yang mengatakan esensi

seperangkat kaidah yang dengan sendirinya mampu menghantarkan kepada

pengambilan hukum; adalagi yang mengatakan ushûl fiqh adalah metodologi ilmu fiqh

(al-Syaukani, 1993: 17-18). Obyek kajian ilmu ushûl al-fiqh adalah dalil-dalil syar'i

secara umum, dilihat dari ketetapan-ketetapan hukum umum (Khallaf, 1990: 12-13).

Karena obyek kajiannya adalah dalil syar'i yang berbentuk bahasa dalam teks al-Qur'an

dan al-Hadits, maka yang penting dilakukan adalah kerja kebahasaan, proses

pemahaman dari lafadz menuju makna.

Menurut Ahmad Hasyimi, Lafadz adalah kumpulan bunyi yang terdiri dari

sebagian huruf hijâiyyah, baik secara tersurat seperti Muhammad, maupun tersirat

seperti dhamîr mustatir dalam kalimat, "izhab (pergilah..!)". Kalâm didefinisikan

sebagai lafadz yang tersusun dan bermakna dalam struktur bahasa Arab, sedangkan

Kalimah berarti lafadz mufrad yang memiliki makna (Hasyimi,tt: 8-9). Dilihat dari

ketiga definisi diatas, lafadz mempunyai pengertian yang lebih umum, dapat berupa

kalimah maupun kalâm. Lafadz dalam bahasa Indonesia dapat dipadankan dengan

ujaran, sedangkan kalimah dengan kata, dan kalâm dapat dipadankan dengan kalimat.

Jadi lafadz bisa berupa kalimat (kalâm), frasa (jumlah) maupun kata (kalimah).

Sebagaimana definisi diatas Ulama ushul fiqh melihat lafadz dalam tataran ketika lafadz

itu mufrad (singular) ataupun murakkab (tersusun) (Khallaf, 1990: 140-141).

Sedangkan menurut Abdul Karim-mengutip pendapat Syathiby-, Makna ada

dua bentuk, pertama, makna ashly yakni makna dasar (lexical meaning), dan kedua,

makna tab'iy, yaitu makna kata ketika berada dalam susunan gramatikal (gramatical

meaning). Tidak ada perselisihan dalam menentukan makna leksikal, oleh sebab itu

yang dikaji ulama ushul fiqh adalah kebenaran makna gramatikal dalam menentukan

hukum, stressing-nya bukan pada makna yang pertama (makna ashly) namun lebih pada

makna kedua (makna tab'iy). Ulama ushul fiqh memposisikan "makna" pada level

diatas "kata", apabila mereka menganalisis kata, maka hanya demi sebuah makna.

Seperti yang diutarakan Syathibi, lafadz hanya menjadi media untuk menghasilkan

makna yang dikehendaki, dan makna itulah yang dituju (Mujahid, 1985: 22-24).

Mengikuti beberapa kategori yang diberikan ulama ushul fiqh, penulis

membagi permasalahan lafadz dan makna kedalam empat kelompok (Zaidan, tt: 227),

yaitu: (1) Makna ujaran berdasarkan makna dasarnya (2) Lafadz berdasarkan makna

yang digunakan (3) Lafadz berdasarkan tersurat dan tersirat-nya makna, dan (4) Lafadz

berdasarkan pemaknaan yang dikehendaki penutur. B. LAFADZ BERDASARKAN MAKNA DASAR

Berdasarkan makna yang dibentuk (makna dasar)-nya, ada yang membagi

lafadz menjadi tiga macam, yaitu (1) al-Khâs (2) al-'Âm dan (3) al-Musytarak 1. Al-Khâs

Khâs adalah setiap lafadz yang diletakkan untuk suatu makna tertentu secara

khusus, dan setiap `ism (nuon) itu mesti memberikan makna tertentu secara khusus.

Khâs ada yang dimaksudkan untuk kekhususan jenis (genus), seperti manusia. Jenis itu

ada yang abstrak, seperti kasih sayang, cinta dan adil, dan ada jenis yang kongkrit

Page 3: PRINSIP DASAR PEROLEHAN MAKNA DALAM PERSPEKTIF ULAMA USHUL …

556

seperti rumah, sekolah. Khâs ada yang dimaksudkan untuk kekhususan ragam, seperti

laki-laki dan ada juga yang menunjuk pada kekhususan personal seperti, Balya dan

Kamila. Al-Khâs dapat dibagi lagi menjadi dua bagian, yaitu: (1) Muthlaq dan

Muqayyad (2) Amr dan Nahy (al-Khun, 2000: 281).

Muthlaq dan Muqayyad

Abdul Karim Zaidan, mendefinisikan Muthlaq sebagai lafadz yang

menunjukkan tercakupnya keseluruhan jenis yang ditunjuk, atau bisa dikatakan sesuatu

yang menunjukkan satuan atau kelompok yang tidak tertentu dan tidak dibatasi secara

lafal dengan batasan apa saja (Zaidan, tt: 284). Sedangkan al-Amdi yang dikutip Abdul

Karim Mujâhid, mendefisikan Muthlaq sebagai ungkapan yang menggunakan nakirah

(kata benda indefinit) dalam menentukan kandungan sesuatu yang dituju (Mujahid,

1985: 27) . Contohnya:

(من ق بل أن ي تمآسا )المجادلة: تحرير رق بة والذين يظاهرون من نسآئهم ث ي عودون لما قالوا ف Sedangkan Muqayyad adalah lawan dari Muthlaq yang didefinisikan sebagai

lafadz yang menunjuk pada tercakupnya keseluruhan jenis yang ditunjuk dengan

dibatasi oleh sifat-sifat yang menyaran kepadanya(Zaidan, tt: 284). Contoh:

د فصيام (مآسا... )المجادلة: من ق بل أن ي ت شهرين مت تابعي فمن ل ي `Amr dan Nahy

Menurut ulama ahli ushûl al-`Amr diartikan sebagai lafadz yang diletakkan

untuk meminta terlaksananya suatu perbuatan dengan adanya superioritas (dari

peminta). Ada lima model kalimat `amr dalam al-Qur'an yaitu (Zaidan, tt: 292):

1. Fi'il `Amr. Contoh:

المب ي وأطيع وا ا و ن رس ولا ال ب تم ف او موا أ )المائ دة: الله وأطيع وا الرس و واذ ذروا ف تن ولي )

2. Fi'il mudhari' yang tersambung dengan lam amr.

(ومن... ) البقرة: ف يصمه ...، فمن شهد مكم الشهر 3. Mashdar yang menggantikan fi'il `amr, contoh:

.... )محمد: فضرب الرقاب فتذا لقيتم الذين كفروا (ذت4. Isim fi'il `amr, contoh:

ه الت هو ف ب يتها ون ن فسه وغ قت الأب واب وقالت (.. )يوسف: هيت لك.وراود5. Jumlah khabariyyah yang dimaksudkan untuk sebuah "permintaan" (bukan

statement).

( ي لمن أراد أن يتم الرضاوة ...)البقرة: والوالدات ي رضعن أولادهن ذولي كام Menurut ulama ushûl fiqh, shighah al-`amr dilihat dari segi makna yang

terkandung dalam kalimat-nya, mempunyai beberapa fungsi makna, al-Amdi dalam

kitab al-Ihkâm menyebutkan lima belas macam fungsi, sedangkan al-Mahalli dalam

syarah Jam'u al-Jawâmi', menyebutkan ada dua puluh enam fungsi (al-Khun, 2000:321-

323), diantaranya:

1. Menyaran pada sesuatu yang hukumnya wajib, contoh:

تم إ كم وأنتم معرضون )البقرة: ...وأقيمو الصة وءاوا الزكاة ث ولي (لا ق ي م

Page 4: PRINSIP DASAR PEROLEHAN MAKNA DALAM PERSPEKTIF ULAMA USHUL …

557

2. Menyaran pada sesuatu yang hukumnya sunnah, contoh:

ت ون الكت اب ي هم الله م ن فض ه وال ذين ي ب ا م ك ت وليس ت عفف ال ذين لاي دون نكاذ ا ذ ت ي را... )الور: (أيانكم فكابوهم إن و متم فيهم خي

3. Mengandung arti mubah, contoh:

(يأي ها الرسل ك وا من الطيبات واوم وا صالا إن با عم ون و يم ) المؤمون: 4. Bermakna mengancam (al-tahdîd), contoh:

تم إنه با عم ون بصير )فص ت: (...اوم وا ماشئ 5. Bertujuan menyeru/petuah bijak (al-Irsyâd). Menurut Al-Amdî makna al-irsyad

mirip dengan sunnah karena adanya kesamaan dalam hal seruan untuk

kemaslahatan, hanya saja kalau al-irsyad untuk kemaslahatan dunia dan sunnah

untuk kemaslahatan akhirat. Selain dari lima makna amr diatas ada beberapa

makna lagi diantaranya, al-ta'dîb (untuk mendidik), al-indzâr (peringatan), al-

Imtinan (ucapan selamat), al-ikrâm (penghormatan), al-Taskhîr (penghinaan), at-

ta'jiz (pelemahan) dan lain sebagainya. contoh:

وام رأ ن ن رض ون م ن ...واستش هدوا ش هيدين م ن رإ الكم ف تن ل يك و رإ ي ف رإ ل (الشهداء... )البقرة:

6. Bertujuan untuk mendidik, seperti sabda Nabi Muhammad kepada Umar bin Abi

Salmah ketika dia masih kecil dan belum baligh, saat itu tangannya ceroboh di

dalam mangkuk, Nabi Bersabda,

" Wahai Ghulam.., sebutlah nama Tuhanmu.., makanlah dengan tangan

kananmu, dan makanlah sesuatu yang ada didekatmu.

Sedangkan al-Nahy secara etimologi berarti al-man'u (mencegah), dan secara

terminologi berarti meminta dihentikannya suatu pekerjaan dengan superioritas untuk

melaksanakan perintah (Zaidan, tt: 301), Musthafa Sa'id al-Khunn (2000: 325),

membagi model kalimat nahy menjadi beberapa macam, diantaranya

1. Fi'il mudhari' yang bersambung dengan lâ al-nâhiyah ( jangan..!), contoh:

(الزن إنه كان فاذشة وسآء سبي )الإسراء: ولا قربوا2. Bentuk perintah yang berisi larangan, contoh:

( ق و الزور )الج: واإتبوا الرإس من الأوثن اإتبوا... ف 3. Kata "nahâ" dan beberapa turunan dari kata tersebut (musytaq minhu), contoh:

( ال فس ون )الازوات: ون هن وأما من خاف مقام ربه 4. Jumlah khabariyyah yang digunakan untuk larangan, dalam bentuk

pengharaman ataupun ketidak-halal-an terhadap sesuatu, contoh:

كم ووماكم وخالاكم.... )الساء: (ذرمت و يكم أمهاكم وب اكم وأخوا ( اموا لايل لكم أن رثوا السآء كرها... )الساء: يأي ها الذين ء

Page 5: PRINSIP DASAR PEROLEHAN MAKNA DALAM PERSPEKTIF ULAMA USHUL …

558

Sebagaimana halnya al-`amr, al-nahy juga memiliki beberapa fungsi makna,

diantaranya:

1. Bermakna peng-haram-an, contoh:

(ي )الإسراء: ولا قربوا الزن إنه كان فاذشة وسآء سب 2. Berfungsi menunjukkan sesuatu itu makruh untuk dilakukan, contoh:

لا يس أذدكم ذكره بيميه وهو يبو )الديث( 3. Berfungsi sebagai do'a (al-du'â`), contoh:

(رحة إنك أنت الوهاب )ا ومران: رب ا لاز ق وب ا ب عد إذ هدي ت ا وهب لا من لدنك 4. Bertujuan memberi petuah bijak (al-Irsyâd), contoh:

(يأي ها الذين ءاموا لاسئ وا ون أشيآء إن بد لكم سؤكم... )المائدة: 5. Bertujuan memberi ancaman (al-tahdîd), seperti ucapan majikan kepada

budaknya, "Jangan kau taati perintahku" 2. Al-'Âm

Al-'Âm secara etimologi berarti "mencakup sesuatu yang berbilang", dan

secara terminologi berarti lafadz yang mencakup keseluruhan sesuatu yang menyaran

kepadanya, penempatan satu kata menyaran pada satu kumpulan yang tak terbatas

(Zaidan, tt: 301). Dalam bahasa Arab dikenal berbagai macam bentuk 'Âm, diantara

yang paling sering digunakan adalah (al-Khunn, 2000: 282-281):

1. Lafadz Mufrad yang di-ma'rifat-kan dengan al al-jinsiyah al-Istighrâqiyyah,

contoh:

)المائدة: فاقطعوا أيدي هما إزآ والسارق والسارقة ن الله والله وزيز ذكيم (ء با كسبا نكالا م2. Lafadz jama' yang di-makrifat-kan dengan dengan al al-jinsiyah, yang

berfungsi menerangkan adanya pencakupan (al-istighraq), contoh:

ثة ق روء.... )البقرة: ي ت ربصن بن فسهن والمط قات (ث3. Asmâ` al-Ajnâs, yaitu kata yang tidak menyaran pada satuan, baik berjumlah

banyak maupun sedikit, contoh: hewan, air dan debu, jika di-makrifat-kan

dengan al-jinsiyah, contoh:

طهور لا يجسه شيئ )الديث( الماء4. Sesuatu yang di-idhafah-kan dari ketiga bentuk diatas kepada isim ma'rifah,

contoh:

م خ ذ م ن ي و يم أم وا م والله ك س كن ا وص ل و يهم إن ص )التوب ة: ص دقة طه رهم و زكيهم )

5. Asmâ` al-Syarth, seperti man untuk orang, serta mâ dan mahmâ untuk selain

orang, contoh:

(شهد مكم الشهر ف يصمه )البقرة: فمن6. Ism al-Mausûl, contoh:

{ )البقرة: يك ون الرب لا ي قومون إلا كما ي قوم الذي ي تخبطه الشيطان الذين (من المس7. Lafadz kullu dan lafadz jam'u, contoh:

(ن فس ذآئقة الموت )ا ومران: كل

Page 6: PRINSIP DASAR PEROLEHAN MAKNA DALAM PERSPEKTIF ULAMA USHUL …

559

8. Nakirah dalam konteks nafy, seperti firman Allah:

(و يكم إن ط قتم السآء )البقرة: لا إاح 3. Al-Musytarak

Al-Musytarak menurut ulama ushul fiqh adalah lafadz yang digunakan untuk

dua makna atau lebih dengan berbagai macam panggunaan, tergantung penggunaannya.

Contoh lafadz yang memiliki dua makna adalah lafadz "Qurû`" yang digunakan untuk

arti suci sekaligus menstruasi, dalam ayat berikut ini:

ثة ()البقرة: ق روء والمط قات ي ت ربصن بن فسهن ثSedang untuk lafadz yang memiliki beberapa makna dalam konteks yang

berbeda, contohnya seperti kata 'ain (mata), bisa al-'ain al-bâshirah (mata yang

melihat), 'ain al-mâ' (mata air), al-jasûs (mata-mata) dan sil'ah (mata dagangan).

Ulama ushul fiqh telah sepakat dengan adanya isytirâk dan makna yang

terdapat didalamnya, namun mereka berbeda pendapat dalam tata cara pemaknaan dan

perinciannya. Mereka juga sepakat bahwa lafadz itu pada dasarnya tidak musytarak, jadi

ketika ada lafadz yang bisa dimaknai dengan musytarak dan makna dasar, maka yang

diunggulkan makna dasarnya dahulu, contohnya:

(و يه وس موا س يما )الأذزاب: ص واو ن الب يأي ها الذين ءاموا يص ون إن الله ومئكته Dalam kalimat ini, lafadz shalat dimaknai dengan makna lughawi yang berarti

do'a, bukan makna sholat secara syar'i seperti yang kita fahami sekarang. Karena

terdapat indikasi (qarînah) yang membatasi makna yang dituju dengan makna yang

menyaran pada keduanya. Dalam ayat diatas indikasinya jelas, shâlat syar'i ditujukan

untuk menghadap Tuhan, sedangkan shalat Tuhan bagi hambanya adalah kasih sayang-

Nya (Mujahid, 1985: 40).

Ulama ushul berbeda pendapat dalam memaknai kalimat yang tidak ada

qarînah-nya, golongan Hanafiyyah dan sebagian Syafi'iyyah berpendapat bahwa

mujtahid dituntut untuk meneliti, menganalisa dan berkonsentrasi untuk menemukan

makna yang dimaksud, seperti kalimat shaum dalam hadits Nabi berikut:

من نسي وهو صائم فأكل أو شرب ف يتم صومه )رواه البخارى(Shaum secara lughawi bermakna menahan terhadap sesuatu, meninggalkannya

atupun mendiamkannya. Sedangkan dalam arti syar'i berarti menahan diri dari makan

dan minum dan menjahui sesuatu yang dilarang, yang merupakan prosesi ibadah

khusus. Karena kalimat ini berada dalam nash syar'i, maka lafadz ini bermakna syar'i

bukan makna lughawi.

Sedangkan kebanyakan Syafi'iyyah dan Mu'tazilah, memaknai lafadz

musytarak dengan menggabungkan seluruh maknanya, jika memungkinkan untuk

digabungkan. Seperti dalam firman Tuhan:

ب ا والش جر أل ر أن الله يس جد ل ه م ن ف الس ماو والش مس والقم ر والج وم وا ات وم ن ف الأرن الاس )الج (والدوآب وكثير م

Lafadz sujud disini mengandung polysemi antara menaruh jidat ke tanah

dalam shalat seperti yang dilakukan manusia, dan antara patuh dan khusyu' kepada

Allah swt. dalam hamparan kuasa-Nya, hal ini berlaku untuk seluruh ciptaan-Nya.

Dalam kasus ini, wajib digunakan makna keduanya dan tidak mengabaikan salah satu

dari keduanya.

Page 7: PRINSIP DASAR PEROLEHAN MAKNA DALAM PERSPEKTIF ULAMA USHUL …

560

Sedangkan Ibnu Taimiyah bersikap netral terhadap keduanya, dengan

mengatakan: "perselisihan yang terjadi diantara mereka mengenai lafadz, yang

mencakup dua hal: baik itu (1) berupa musytarak lughawi, seperti lafadz qaswarah yang

berarti orang yang melempar dan atau singa, ataupun 'as'as yang berarti menjelang

malam dan atau menjelang siang. Untuk kasus yang demikian diperbolehkan

menggabungkan makna keduanya dan adakalnya (2) pemaknaan interpretatif, untuk

yang demikian diperbolehkan sepakat dengan makna yang diberikan ulama salaf

ataupun tidak sepakat dengan itu (Mujahid, 1985: 22-24)

C. LAFADZ BERDASARKAN MAKNA YANG DIGUNAKAN 1. Al-Haqîqah

Al-Haqîqah adalah lafadz yang digunakan untuk menunjuk sesuatu yang

ditunjuk oleh lafadz itu (makna tekstual), baik secara lughawai, syar'i ataupun 'urfi

(adat/konvensi). Pertama: haqîqah lughâwiyyah adalah lafadz yang digunakan sesuai

dengan makna etimologis yang menyaran kepadanya, seperti matahari, bulan dan

bintang. Kedua: haqîqah syar'iyyah, adalah lafadz yang digunakan sesuai pengertian

yang terdapat dalam syari'at, atau sesuai dengan makna yang dinginkan oleh pembuat

syari'at, seperti; shalat, puasa dan haji. Ketiga: haqîqah 'urfiyyah, adalah lafadz yang

digunakan sesuai dengan makna dalam konvensi budaya, atau disesuaikan dengan

penggunaan lafadz itu dalam perjalanan budaya, baik itu "konvensi umum", seperti

mobil yang telah difahami oleh semua kalangan, maupun "konvensi khusus" seperti,

mu'rab, mabniy dan marfu' dalam 'ilmu nahwu. Herbifora, carnifora dan omnifora

dalam ilmu biologi dan konvensi-konvensi khusus dalam keilmuan lainnya (Zaidan, tt:

331).

Karena haqîqah mempunyai makna yang jelas dan langsung dapat difahami,

maka dia langsung menetapkan makna hukum yang terkandung didalamnya tanpa harus

memberikan interpretasi kepadanya, contoh:

(ال فس الت ذرم الله إلا بلق )الإسراء: ت وا ولا ق 2. Al-Majâz

Majâz adalah lafadz yang digunakan untuk menunjuk sesuatu yang bukan

berdasarkan pada makna tekstualnya, karena adanya 'alâqah (koherensi) antara

keduanya (makna tekstual dan kontekstual) dan adanya qarînah (indikasi) yang

melarang pemaknaan yang sesungguhnya. Yang dimaksud dengan qarînah adalah tanda

yang kapabel untuk menunjukkan bahwa pembicara tidak bermaksud untuk

memberikan makna yang sesunggunhnya pada lafadz itu, dan sesungguhnya yang

dimaksud adalah makna alegoris (Zaidan, tt: 332). Ada beberapa macam bentuk alâqah

diantaranya:

1. Al-Musyâbahah, yaitu adanya keserupaan dalam sifat-sifat tertentu antara makna

haqiqi dan makna majazi, contohnya perkataan ahli Madinah ketika menyambut

kedatangan Rasulullah:

و يا........ البدرط 2. Al-Kaun, artinya menyebut sesuatu, dengan (maksud) komulasi dari eksistensi

yang melekat padanya, (bukan pada makna dasarnya), contoh:

أم والكم إن ه ك ان ذ وب الي ت امنوءاوا م إ ك وا أم وا بي ث بلطي ب ولا لوا ا م ولا ت ب د كب يرا )الس اء: أم وا)

Page 8: PRINSIP DASAR PEROLEHAN MAKNA DALAM PERSPEKTIF ULAMA USHUL …

561

3. Al-`Aula, yakni menyebutkan sesuatu dengan sesuatu yang dihasilkan kemudian,

contohnya:

(... )يوسف: خرا... إن أران أوصر 4. Al-hulûl, artinya menyebutkan tempat namun yang dimaksudkan adalah

kondisinya, dan menyebutkan kondisi namun yang dimaksudkan adalah

tempatnya. Contoh:

(الت أق ب ا فيها وإ لصادقون )يوسف: الت كا فيها والعير القرية وسئل 5. Juz`iyyah, artinya menyebut sebagian namun yang dimaksud adalah keseluruhan

dan menyebutkan keseluruhan yang dimaksud adalah sebagian (kulliyyah),

contoh:

ب وب )ال (هب: بت يدآ أب يع ون وب رق ورود ف ءاذان م م ن الص واوق ذ ذر الم وت أص ابعهم أوكصيب من السماء فيه ظ مات

()البقرة: Tidak mungkin untuk memaknai lafadz dalam satu konteks secara haqîqi dan

majâzi sekaligus, namun satu lafadz bisa saja dimaknai secara majâzi dalam suatu

konteks, dan dimaknai secara haqîqi dalam konteks yang lainnya, yang terpenting

adalah bagaimana lafadz itu bisa dimaknai sesuai dengan konteks yang melingkupinya.

yang mungkin adalah menggunakan makna majâzi dengan menempatkan makna haqîqi

dibawahnya, contohnya ketika seseorang berjanji untuk tidak menapakkan kaki

dirumah seseorang, maksudnya adalah menapakkan kaki untuk masuk rumahnya,

menapakkan kaki dirumahnya merupakan sebab, namun yang diinginkan adalah akibat

dari itu, yakni memasuki rumahnya. Lafadz ini mempunyai makna majazi yang cakupan

maknanya adalah memasuki rumah baik secara telanjang kaki maupun dengan

bersepatu. Majâz disini mempunyai arti umum, tidak memberikan makna lafadz secara

majâzi dan haqîqi sekaligus. 3. Al-Sharîh dan Al-Kinâyah

Sharih dan kinayah adalah dua model penggunaan haqîqah dan majâz,

keduanya bisa tampil dengan bentuk sharih dan kinayah. Jadi adakanya sharîh itu dalam

bentuk haqîqi dan majâzi, demikian pula kinâyah ada yang haqîqi dan ada pula yang

majâzi (Mujahid, 1985: 43).

As-Sharîh adalah lafadz yang penunjukan maknanya nampak dengan jelas

dan gamblang, baik secara haqîqi maupun majâzi. Contoh sharîh haqîqi terdapat dalam

akad nikah, "aku nikahkan kamu ..... dan aku terima nikahnya...", lafadz ini mempunyai

makna sharîh sekaligus haqîqi. Sedangkan sharîh majâzi contohnya terdapat dalam

lafadz pada surat Yusuf, ayat 82 diatas, maknanya sharîh meski majâzi, yang dimaksud

dengan "qaryah" disitu jelas "ahlu al-qaryah", karena tidak mungkin orang bertanya

kepada desa.

Kinâyah secara etimologi berarti membicarakan sesuatu namun yang

dikehendaki bukan itu, sedangkan secara terminologi, kinayah berarti tersiratnya makna

yang dikehendaki dari sebuah lafadz, dengan disesuaikan pada penggunaannya.

Kinâyah tidak bisa difahami dengan tanpa adanya qarînah, baik itu kinâyah haqîqi

maupun kinâyah majâzi. Contoh kinâyah haqîqi adalah ungkapan seseorang: "Aku

ketemu temanmu, dan kami bercerita", tidak disebutkan siapa "temanmu" itu dan

bercerita tentang apa. Sedangkan kinâyah majâzi contohnya adalah perkataan suami

kepada istrinya, "Ber-'iddah-lah engkau..", yang dimaksud disini adalah 'iddah thalaq,

Page 9: PRINSIP DASAR PEROLEHAN MAKNA DALAM PERSPEKTIF ULAMA USHUL …

562

secara majazi hal ini jelas yang dimaksudkan adalah thalaq, karena thalaq-lah yang

menyebabkan adanya 'iddah, jadi lafadz " 'iddah" disitu bermakna kinâyah sekaligus

majâzi. D. LAFADZ BERDASARKAN TERSURAT DAN TERSIRATNYA MAKNA

Wâdzihu al-Dalâlah (makna tersurat)

Wâdzihu al-dalâlah adalah lafadz yang menunjukkan maknanya dari bentuk

lafadz itu sendiri, dengan tidak memerlukan bantuan dari aspek diluar lafadz tersebut,

wâdzihu al-dalâlah dibagi menjadi empat bagian (1) al-Dzâhir, (2) al-nashshsh, (3) al-

Mufassar, dan (4) al-Muhakkam (Mujahid, 1985: 44). 1. Al-Dzâhir

Al-Dzâhir secara etimologi berarti al-wâdhih (jelas, gamblang), dan secara

terminologi ushul fiqh, adalah lafadz yang menunjukkan sesuatu yang ditampakkan oleh

lafadz itu sendiri, dengan tidak membutuhkan aspek luar (kalimat), dan yang dimaksud

bukan pemaknaan berdasarkan konteks kalimat tersebut muncul, namun lafadz tersebut

masih menerima penafsiran atau pentakwilan (al-Khunn, 265). contohnya adalah

firman Allah dalam suarat al-Baqarah 275, yang berbunyi:

( الب ي وذرم الرب ... )البقرة: ... وأذل الله Ayat tersebut mempunyai dalâlah makna yang jelas, menghalalkan jual beli

dan mengharamkan riba, dengan tidak membutuhkan kepada unsur luar kalimat, dan

yang dimaksud bukanlah pemaknaan berdasarkan konteks ayat itu muncul, karena

konteks asli kalimat tersebut dimaksudkan untuk menghilangkan kesamaan antara jual

beli dan riba, untuk membantah mereka yang berkata: sesungguhnya jual beli itu seperti

riba. 2. Al-nashsh

Al-nashsh secara terminologi ulama ushul fiqh adalah lafadz yang dengan

bentuknya sendiri telah menunjukkan makna yang dimaksud, makna lafadz itu sekaligus

berdasarkan pada konteks yang menyebabkan kemunculannya, dan didalamnya

dimungkinkan adanya ta'wil. Jika maksudnya segera dapat difahami dari lafadz itu,

maka tidak perlu memperhatikan faktor luar. Makna lafadz itu sekaligus sama seperti

yang dimaksud dengan konteks yang melatarbelakanginya, dengan kata lain ia

merupakan nash bagi konteks tersebut (Khallaf, 1990: 163). contohnya:

(... وأذل الله الب ي وذرم الرب ... )البقرة: Turunnya ayat tersebut dimaksudkan untuk tidak menyamakan antara jual beli

dan riba, jadi yang segera dapat difahami dari ayat itu (berdasarkan konteksnya) adalah,

tidak sama antara jual beli dan riba, karena jual beli itu halal dan riba itu haram. Dzahir

dan Nash hanya dibedakan dari cara pandang pemaknaan saja, yang satu dari teks dan

yang satunya melalui konteks, namun tetap dalam garis pengertian yang saling

memperkaya. Makna nash adalah makna asli sesuai dengan konteks lafadz itu

sedangkan makna dzâhir hanya sesuai dengan makna yang menyertainya dengan tidak

memperhatikan konteks kalimat yang memunculkannya. Jadi pentakwilan yang terjadi

pada nash lebih jauh dari yang terjadi pada dzâhir. 3. Al-Mufassar

Kata mufassar diambil dari kata al-fasru yang artinya al-kasyfu , yakni yang

tersingkap maknanya. Sedangkan secara terminologi ulama ushul fiqh mufassar berarti

keterangan yang ditambahkan oleh nash (baca:lafadz) dengan tujuan untuk menjelaskan

kandungan lafadz itu sendiri, menjadi makna yang independen dan tidak membutuhkan

penafsiran(Zaidan, tt: 227)

Page 10: PRINSIP DASAR PEROLEHAN MAKNA DALAM PERSPEKTIF ULAMA USHUL …

563

. Contohnya adalah lafadz "tsamanîna jaldah" pada surat al-Nur, ayat 4, yang berbunyi:

(...)الور: ثاني إ دة والذين ي رمون المحصات ث ل يوا برب عة شهدآء فاإ دوهم Dalam lafadz fajlidûhum, tidak dimungkinkan adanya ta'wil, karena terdapat

keterangan yang diberikan secara langsung, yakni tsamanîna jaldah. Sedangkan ada

beberapa ayat yang penafsirannya terdapat dalam nash yang berbeda, misalnya perintah

shalat yang menyaran (ditafsiri) dengan perkataan dan perbuatan nabi, jadi ayat shalat

itu menjadi mufassar oleh Hadits Nabi, dan tidak mungkin ditafsiri dengan pengertian

lain. 4. Al-Muhkam

Al-muhkam yang secara etimologi berarti al-mutqan (yang diyakini), dalam

terminologi ushul fiqh berarati lafadz yang menunjukkan makna yang dimaksud dari

kandungan lafadz itu sendiri, dan didalamnya tidak dimungkinkan melakukan tafsir dan

ta'wil, serta tidak mungkin di-naskh, karena muatan hukumnya berisi dasar agama yang

tidak mungkin diubah, seperti masalah kepatuhan pada Tuhan, perbuatan baik serta

berbuat keadilan, berita-berita yang tidak menimbulkan kontradiksi. Contohnya adalah:

ها ومابطن... )الأنعام: (...ولا قربوا الفواذش ماظهر م Jadi, bila diurutkan dari kejelasan dalalahnya, yang terkuat dari al-wâdhih al-

dalalah adalah al-muhkam, al-mufassar, al-nashsh baru kemudian al-dzâhir. Al-Khâfiy al-Dalâlah (makna tersirat)

Al-Khafi al-dalalah adalah lafadz yang maknanya tersirat dan samar,

maknanya tidak langsung ditunjukkan dengan gamblang, diperlukan sarana bantu untuk

memahaminya, atau lafadz yang sulit untuk difahami (Mujahid, 1985: 48). Seperti

halnya wâdhihu al-dalâlah, al-khafi al-dalalah juga memiliki beberapa tingkatan ke-

tersirat-an, yaitu: (1) Al-Khafy (2) Al-Musykal (3) Al-Mujmal, dan, (4) al-Mutasyâbih. 1. Al-Khafiy

Al-Khafiy menurut ulama ushûl fiqh adalah lafadz yang menunjukkan artinya

dengan jelas, namun masih ada kesamaran dan ketersiratan ketika lafadz itu diterapkan

kepada individu-individu, dan untuk menghilangkan kesamaran dan ketersiratan itu

diperlukan upaya pemikiran yang mendalam. Contohnya dalam ayat berikut ini:

)المائدة: والسارق والسارقة ن الله والله وزيز ذكيم (فاقطعوا أيدي هما إزآء با كسبا نكالا مAyat diatas mempunyai arti yang jelas, yakni hukum pemotongan tangan bagi

mereka yang mencuri. Lafadz al-sârik mempunyai arti yang jelas, yakni pengambilan

harta berharga milik orang lain secara sembunyi-sembunyi. Namun ketika diterapkan

pada "pencopet", atau "brandal" misalnya, apakah hukumnya sama?, ulama ushu fiqh

sepakat untuk menyamakan hukuman keduanya. Namun lain halnya ketika diterapkan

pada pencuri barang-barang di kubura (al-nasyâl. Imam Syafi'i dan Imam Abi Yusuf

menyamakan hukuman dengan yang terjadi pada al-sârik, sedangkan Imam Abi

Hanifah menganggap dia bukan pencuri, oleh sebab itu ia tidak dipotong tangannya,

namun hanya diberi hukuman ta'zir, sebagi pelajaran kepadanya. 2. Al-Musykil

Al-Musykil menurut ulama ushul fiqh berarti lafadz yang bentuknya sendiri

tidak menunjukkan pada arti yang dikehendakinya, namun harus ada petunjuk luar yang

menjelaskan apa yang dimaksudnya, petunjuk itu dapat diperoleh melalui pembahasan

dan penelitian secara mendalam. Contohnya adalah kata qurû` pada ayat berikut:

ثة (... )البقرة: ق روء والمط قات ي ت ربصن بن فسهن ث

Page 11: PRINSIP DASAR PEROLEHAN MAKNA DALAM PERSPEKTIF ULAMA USHUL …

564

Lafadz quru', menurut ahli bahasa mempunyai arti ganda yang berlawanan,

suci dan atau menstruasi, untuk menjelaskan makna lafadz quru` dalam ayat ini

dibutuhkan penalaran dan analisa. Imam Syafi'i dan sebagian Mujtahid berpendapat

bahwa yang dimaksud dengan quru` dalam ayat tersebut adalah suci. Sedangkan Abu

Hanifah dan beberapa mujtahid berpendapat bahwa yang dimaksud qurû` disitu adalah

menstruasi. 3. Al-Mujmal

Al-Mujmal secara etimologi bebarti al-mubham (samar), sedangkan secara

terminologi berarti, lafadz yang tidak bisa difahami maknanya kecuali dengan

melakukan penafsiran dari lafadz yang global tersebut, dan dijelaskan dari aspek yang

darinya diketahui maksud yang dikehendaki. Contohnya adalah ayat berikut ini:

ر مووا )المعارج: ( إذا مسه إن الإنسان خ ق ه ووا ) ي ( - الشر إزووا، وإذا مسه اLafadz halû'a (tidak sabar) dalam ayat kesembilan belas di atas mujmal, ke-

mujmal-annya kemudian ditafsiri dengan ayat sesuadahnya: "apabila ia ditimpa

kesusahan ia berkeluh kesah, dan apabila ia mendapatkan kebaikan ia teramat kikir". 4. al-Mutasyâbih

Al-Mutasyâbih menurut ulama ushul fiqh berati lafadz yang maknanya

tersembunyi, bentuknya juga tidak menunjukkan maksudnya, dan tidak ada jalan untuk

mengetahuinya kecuali ada indikasi yang menghilangkan ketersiratannya. Sebagian

ulama menganggap masalah itu selesai, dengan tidak melakukan penafsiran terhadapnya

(bila kayfa). Contoh-contoh alfâdz al-mutasyâbihât adalah huruf muqaththa'ah pada

awal surat, juga ayat-ayat yang menerangkan sifat Tuhan, contohnya dalam surat Thaha,

ayat:5, berikut ini:

(( يد الله ف وق أيديهم )الفتح: الرحن و ن العرش )طه: Ada dua kelompok ulama' yang berbeda pendapat dalam mensikapi pemaknaan

alfâdz al-mutasyâbihât, pertama: madzhab salafi: kelompok ulama klasik menyerahkan

pemaknaan alfâdz al-mutasyâbihât kepada Tuhan, manusia cukup mengimaninya saja.

Kedua: madzhab khalafi: menurut madzhab yang lebih kontemporer ini, dibutuhkan

pembahasan pada ayat-ayat mutasyabihat, ketika secara kasat mata nash-nya memiliki

makna yang mustahil keberadaannya bagi Tuhan, maka diperlukan analisa dan kajian

bahasa untuk sampai pada makna yang dimaksud.

III. PENUTUP

Dari paparan di atas dapat disimpulkan bahwa dalam pembentukan hukum,

ulama ushul fiqh banyak berkutat pada masalah bahasa dalam memaknai al-Quran dan

Hadits sebagai basis legitimasi hukum Islam yang berbentuk teks bahasa yang

bermakna. Pemahaman yang benar terhadap al-Qur'an dan al-Sunnah serta hukum yang

terkandung didalamnya, hanya akan diperoleh melalui kerja semantis dari kedua teks

tersebut, sebuah proses pemaknaan dari lafadz menuju makna. Demikian paparan

makalah ini, semoga anugrah lisan dan nalar mampu menghantarkan kita pada

pemahaman, pengertian dan pencerahan . Amien...

Page 12: PRINSIP DASAR PEROLEHAN MAKNA DALAM PERSPEKTIF ULAMA USHUL …

565

REFERENSI

Esposito, John L. Ensiklopedi Oxford: Dunia Islam Modern. (Bandung: Mizan. 2002).

Cet. II.

Hasyimi, Ahmad. Al-Qawâid al-Asâsiyah li al-Lughah al-'Arabiyyah, (Lebanon: Dar al-

Kutub al-Ilmiyyah)

Khallâf, 'Abdul Wahhab. 'Ilmu Ushûlu al-Fiqh. (Kairo: Maktabah al-Da'wah al-

Islamiyyah, 1990). Cet. IIX.

al-Khun, Musthafâ Sa'îd. Al-Kâfi al-Wâfi: fi ushûli al-fiqh al-islami. (Beirut: al-Risâlah,

2000). Cet. I.

Mujâhid, 'Abdul Karîm. Al-Dalalah al-'Arâbiyyah 'Inda al-'Arab. (Yordania: Dâr al-

Dhiya'). 1985.

Na'mah, Fuad. Mulakhkhash Qawâid al-Lughah al-'Arabiyyah. (Damaskus: Dâr al-

Hikmah).

al-Syafi'i, Imam Jalaluddin Abdu al-Rohman ibn bakr al-Suyuti. Al-Itqaˆn fi 'Uluˆmi al-

Qur'an. (Lebanon : Daru al-Kutub al-'Alamiyyah). Juz. II.Cet. I. 2000.

al-Syaukani, Muhammad bin 'Ali bin Muhammad. Irsyâdu al-Fuhûl ilâ tahqîqi Ilmi al-

Ushûl. (Makkah: Maktabah al-Tijariyah, 1993 M/1413 H), Cet. I.

Zaidan, Abdul Karim. Al-Wajîz fi Ushûl al-Fiqh. (Beirut: Mu`assasah al-Risalah).