15
1 PRINSIP DASAR BEDAH LAPARASKOPI DALAM BIDANG GINEKOLOGI Tono Djuwantono Bag/SMF Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Unpad / RS dr. Hasan Sadikin Bandung Klinik Fertilitas ASTER RS dr. Hasan Sadikin Bandung Disampaikan pada: Seminar Sehari Bedah Laparoskopi. Diselenggarakan RS Hermina Group. Bandung 2 Februari 2010. PENDAHULUAN Kepustakaan paling awal mengenai adanya bedah endoskopi ditemukan pada masa Talmud dari Babylon, sedangkan istilah endokopi itu sendiri pertama kali diperkenalkan oleh Avicenna antara tahun 980 dan 1037 AD. Teknik laparaskopi mulai dipopulerkan oleh Abbulkasim antara tahun 912 dan 1013 AD.Pada tahun 1587 Tuleo Caesare Aranzi di Venice telah menggunakan sumber cahaya untuk bedah laparaskopi. Kemudian teknik laparaskopi dikembangkan oleh Boesch (1936), Palmer (1948), Semm (1955), dan Barnes (1958). Dalam dua dekade terakhir ini, kemajuan laparaskopi demikian pesat. Bedah laparaskopi menggunakan kauterisasi atau laser untuk pengobatan endometriosis stadium lanjut mulai digunakan sejak tahun 80an. Seiring dengan populernya penggunaan laparaskopi, ditemukan berbagai komplikasi seperti komplikasi akibat penggunaan jarum Verres atau trokar, serta komplikasi akibat penggunaan elektrokauterisasi. Sehingga operator perlu mengetahui dan memahami prinsip dasar bedah laparaskopi untuk meminimalisir komplikasi yang mungkin terjadi. PENGAMBILAN KEPUTUSAN BEDAH LAPARASKOPI Persetujuan operasi merupakan suatu keharusan disamping pasien harus mengerti prosedur yang akan dilakukan dan keterbatasan-keterbatasan pada bedah laparaskopi. Komplikasi yang mungkin terjadi, seperti infeksi, ileus, trauma terhadap pembuluh darah, usus, ureter atau vesika urinaria harus dijelaskan kepada pasien. Disamping itu komplikasi yang jarang terjadi, seperti emboli dan kolaps pembuluh darah atau masalah yang berhubungan dengan anestesi juga harus didiskusikan.

Prinsip Dasar Bedah Laparaskopi

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Prinsip Dasar Bedah Laparaskopi

1

PRINSIP DASAR BEDAH LAPARASKOPI DALAM BIDANG

GINEKOLOGI

Tono Djuwantono

Bag/SMF Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Unpad / RS dr. Hasan Sadikin Bandung

Klinik Fertilitas ASTER RS dr. Hasan Sadikin Bandung Disampaikan pada: Seminar Sehari Bedah Laparoskopi. Diselenggarakan RS Hermina Group. Bandung 2 Februari 2010.

PENDAHULUAN

Kepustakaan paling awal mengenai adanya bedah endoskopi ditemukan pada

masa Talmud dari Babylon, sedangkan istilah endokopi itu sendiri pertama kali

diperkenalkan oleh Avicenna antara tahun 980 dan 1037 AD. Teknik laparaskopi

mulai dipopulerkan oleh Abbulkasim antara tahun 912 dan 1013 AD.Pada tahun 1587

Tuleo Caesare Aranzi di Venice telah menggunakan sumber cahaya untuk bedah

laparaskopi. Kemudian teknik laparaskopi dikembangkan oleh Boesch (1936), Palmer

(1948), Semm (1955), dan Barnes (1958).

Dalam dua dekade terakhir ini, kemajuan laparaskopi demikian pesat. Bedah

laparaskopi menggunakan kauterisasi atau laser untuk pengobatan endometriosis

stadium lanjut mulai digunakan sejak tahun 80an. Seiring dengan populernya

penggunaan laparaskopi, ditemukan berbagai komplikasi seperti komplikasi akibat

penggunaan jarum Verres atau trokar, serta komplikasi akibat penggunaan

elektrokauterisasi. Sehingga operator perlu mengetahui dan memahami prinsip dasar

bedah laparaskopi untuk meminimalisir komplikasi yang mungkin terjadi.

PENGAMBILAN KEPUTUSAN BEDAH LAPARASKOPI

Persetujuan operasi merupakan suatu keharusan disamping pasien harus

mengerti prosedur yang akan dilakukan dan keterbatasan-keterbatasan pada bedah

laparaskopi. Komplikasi yang mungkin terjadi, seperti infeksi, ileus, trauma terhadap

pembuluh darah, usus, ureter atau vesika urinaria harus dijelaskan kepada pasien.

Disamping itu komplikasi yang jarang terjadi, seperti emboli dan kolaps pembuluh

darah atau masalah yang berhubungan dengan anestesi juga harus didiskusikan.

Page 2: Prinsip Dasar Bedah Laparaskopi

2

Persiapan sebelum operasi seperti anamnesis dan pemeriksaan fisik sangat

menentukan dalam pengambilan keputusan. Hal ini penting untuk menentukan

apakah terdapat kontraindikasi atau tidak.

Kontraindikasi bedah laparaskopi meliputi :

• Obstruksi usus

• Ileus

• Peritonitis

• Perdarahan intraperitoneal

• Hernia diafragmatika

• Penyakit kardiorespirasi

Tiga kontraindikasi pertama berhubungan dengan perforasi. Walaupun peritonitis

difusa merupakan kontraindikasi, tetapi laparaskopi berguna pada diagnosis PID dan

abses tuboovarial. Juga berguna pada kehamilan ektopik dengan tanda vital yang

stabil dimana gambarannya menyerupai peritonitis.

Pada hernia diafragma dikhawatirkan akan mengalami eksaserbasi akut karena

pneumoperitoneum yang mengelevasi diafragma. Pada penyakit kardiovaskuler yang

berat, akibat posisi Trendelenburg terjadi penurunan venous return karena kompresi

gas pada pembuluh darah besar.

Pasien dengan tumor abdomen yang besar, kehamilan intrauterine lanjut, atau

penyakit infeksi saluran cerna harus dikerjakan secara lebih hati-hati.

Persiapan sebelum operasi meliputi persiapan kolon,hal ini sangat membantu

dekompresi usus, sehingga lapang pandang menjadi jauh lebih jelas. Pemberian

antibiotik sebelum operasi hanya atas indikasi. Bila pasien telah siap secara fisik dan

mental, serta semua prosedur operasi telah dijalankan, maka kita dapat mengharapkan

hasil yang optimal.

Page 3: Prinsip Dasar Bedah Laparaskopi

3

Selain itu pengambilan keputusan harus didasarkan adanya keuntungan dan

keterbatasan dari laparoskopi itu sendiri. Keuntungan laparoskopi antara lain adalah :

trauma terhadap otot dan kulit dapat dikurangi, nyeri pasca operatif lebih ringan, hari

rawat pasien lebih singkat, sering pasien sudah dapat berjalan dalam beberapa jam

setelah operasi. Selain itu bedah laparoskopi juga mengurangi kejadian infeksi,

karena permukaan jaringan yang kontak dengan udara luar terbatas dibandingkan

dengan laparatomi.

Sedangkan keterbatasan dari bedah laparoskopi adalah selain peralatannya mahal dan

memerlukan ruang operasi khusus, juga operator yang akan melakukan bedah

laparoskopi harus sudah melalui pelatihan tertentu.

INDIKASI LAPARASKOPI

LAPARASKOPI DIAGNOSTIK

Laparaskopi diagnostik merupakan instrument penting untuk mengevaluasi pasien

dengan nyeri pelvis akut atau kronis. Kehamilan ektopik, penyakit radang panggul,

endometriosis, torsi adneksa, dan kelainan pelvis lain dapat segera didiagnosis

dengan laparaskopi.Keuntungan laparaskopi adalah mengurangi secara signifikan

komplikasi akibat keterlambatan diagnosis. Laparaskopi juga digunakan untuk

mengevaluasi faktor tuba dan peritoneum pada kasus infertilitas.

LAPARASKOPI OPERATIF

Laparaskopi aman digunakan untuk prosedur bedah dimana indikasinya sama dengan

indikasi pada laparatomi.

PERLENGKAPAN LAPARASKOPI

1. Laparoskop

2. Jarum pneumoperitoneal

3. Trokar

4. Gas insuflator

5. Sumber cahaya

6. Kamera

Page 4: Prinsip Dasar Bedah Laparaskopi

4

INSTRUMEN LAIN

1. Probe

2. Forseps

3. Gunting dan pisau

4. Aspirator dan irrigator

5. Morselator

6. elektrokoagulasi

7. Thermokoagulasi

8. Laser

LAPAROSKOP

Laparoskop diagnostik tersedia dalam berbagai macam sudut pandang, baik yang

lurus ( 0 degre deflection ) atau yang foreoblique. Pemilihan jenis laparoskop

tergantung operator, tetapi yang lurus penyesuaiannya lebih mudah dan lebih sering

digunakan. Laparoskop diagnostik dan operatif juga bervariasi dalam ukuran

diameternya, antara 4-12 mm. Laparoskop yang kecil lebih lebih memuaskan untuk

diagnostik dan bermanfaat untuk pasien dengan risiko tinggi tertusuk trokar karena

tenaga yang dibutuhkan untuk menembus abdomen lebih kecil.

Sedangkan pada laparaskopi operatif digunakan laparoskop yang lebih besar , karena

akan dilalui instrument dengan diameter bervariasi antara 3-8 mm.

JARUM PNEUMOPERITONEAL

Tersedia dua tipe jarum, jarum Tuohy dirancang untuk anestesi epidural, mudah

pengadaannya dan tidak mahal. Jarum Verres dirancang untuk mengurangi

kecelakaan pada saat penusukan, jarum ini memiliki per yang akan mengalami

retraksi bagian tumpul jarum saat melewati dinding abdomen, setelah itu bagian

tumpul jarum keluar lagi untuk melindungi struktur atau organ intraabdomen.

Page 5: Prinsip Dasar Bedah Laparaskopi

5

TROKAR

Trokar akan menembus dinding abdomen setelah dilakukan insuflasi. Terdapat dua

model dasar trokar yaitu flapper valve dan trumpet valve. Flapper valve

memungkinkan memasukkan dan mengeluarkan laparoskop serta instrument lain

tanpa kehilangan gas.Ujung trokar berbentuk piramid atau kerucut. Mekanisme

memasukkan trokar kedalam abdomen seperti melakukan insersi jarum Verres.

INSUFLATOR GAS

Insuflator gas digunakan untuk membuat pneumoperitoneum yang terkontrol.

Tindakan laparaskopi hanya mungkin dilakukan bila pneumoperitoneum terpelihara

saat berbagai alat dimasukkan. Prosedur laparaskopi operatif memerlukan beberapa

tempat insersi yang memungkinkan adanya kebocoran gas. Irigasi yang kemudian

diikuti dengan aspirasi juga mempunyai kontribusi terhadap hilangnya gas. Oleh

karena itu ditekankan tersedianya insuflator dengan aliran tinggi pada prosedur

laparaskopi operatif.

SUMBER CAHAYA

Visualisasi yang adekuat tergantung pada kualitas dan kekuatan sumber cahaya.

Sumber cahaya dengan intensitas tinggi menggunakan halogen dan xenon. Cahaya

ditransmisikan melalui kabel fiberoptik, yang harus utuh untuk memelihara

visualisasi yang optimal. Fiber yang rusak akan terlihat sebagai spot yang gelap.

KAMERA

Kamera terdiri dari dua komponen, kamera utama dengan kabelnya dan unit kontrol

kamera. Gambar diterima melalui lensa kamera (yang menempel pada laparoskpo),

lalu dirubah dan ditransmisikan ke unit control kamera melalui kabel kamera.

Gambar kemudian dikirim ke monitor, dimana terjadi perubahan dari gambar

elektronik ke gambar optic.

Page 6: Prinsip Dasar Bedah Laparaskopi

6

PROBE

Probe yang paling sederhana dan banyak digunakan adalah blunt probe. Penting

untuk visualisasi yang memerlukan manipulasi seperti ovarium.

FORSEPS

Kemampuan untuk mempertahankan struktur jaringan agar tidak traumatis

merupakan kunci bagi banyak prosedur operatif. Forseps atraumatis lebih sering

digunakan. Forsep kecil digunakan untuk memegang tuba falopii dan fimbrioplasti.

Forsep dengan sendok besar digunakan untuk mengambil jaringan trofoblastik pada

salpongostomi, untuk mengangkat dinding kista ovarium dan untuk mengambil irisan

jaringan miom.

GUNTING DAN PISAU

Gunting harus tajam, karena bila tumpul akan menyebabkan kerusakan jaringan.

Tersedia berbagai jenis gunting seperti : toothed, serrated micro dan hooked scissor.

Pisau dengan berbagai ukuran dan bentuk tersedia untuk digunakan dalam

laparaskopi. Elektrokoagulasi monopolar dapat dihubungkan ke gunting atau pisau

pada laparaskopi. Kombinasi antara memotong dan koagulasi berguna baik untuk

adhesiolisis maupun salpingostomi linier.

ASPIRATOR DAN IRIGATOR

Aspirasi dapat dilakukan dan diatur secara mekanik atau manual dengan spuit yang

besar. Kecepatan mengevakuasi hemoperitoneum sangat penting untuk mendapatkan

visualisasi yang optimum.

MORSELATOR

Morselasi biasa dilakukan selama miomektomi, terkadang pada oophorectomy.

ELEKTROKOAGULASI

Unit electrosurgical modern lebih aman daripada generator pertama, dimana pada

generator modern mempunyai voltase yang rendah, freuensi tinggi.

Page 7: Prinsip Dasar Bedah Laparaskopi

7

Pada sistim unipolar, arus listrik berjalan dari generator melalui instrument ke ground

dan lalu kembali ke generator. Ground harus tertutup oleh jeli yang konduktif untuk

mempertahankan kontak dengan pasien. Unit generator akan berhenti secara otomatis

dan mengeluarkan suara peringatan bila ditemukan adanya perubahan resistensi

jaringan. Harus diingat bahwa intensitas arus listrik disesuaikan dengan penggunaan

dan diatur oleh operator. Ujung instrument harus terlihat oleh operator saat arus

listrik aktif. Operator harus waspada terhadap arus listruk lateral yang menyebar dan

dapat menyebabkan nekrosis jaringan pada jarak tertentu. Kerusakan jaringan akan

terlihat pada sejauh 2-3 cm dari koagulasi unipolar.

Sistim bipolar menggunakan dua gigi penyekat pada instrument untuk membawa arus

listrik ke dan dari generator. Forsep bipolar menggunakan frekuensi tinggi, voltase

rendah. Densitas power dicapai lebih rendah pada arus koagulasi daripada arus

cutting, karena arus koagulasi mengeringkan permukaan jaringan, meningkatkan

resistensi jaringan. Kerusakan perifer karena koagulasi bipolar lebih sedikit

dibandingkan dengan unipolar. Kerusakan kira-kira 1-2 cm sekeliling titik koagulasi,

bila terjadi pada area yang lebih luas maka jaringan akan lepas.

PENJAHITAN

Penjahitan ternyata telah menambah dimensi baru dalam laparaskopi operatif.

Beberapa Ligasi loop merupakan modifikasi dari tonsilektomi atau polip rektal. Loop

dapat ditempatkan pada sekitar struktur dan diikatkan pada jaringan atau pembuluh

darah.

PERSIAPAN SEBELUM OPERASI

Pasien yang akan dilakukan operasi pagi hari, diharuskan puasa sejak jam 10 malam

sebelum operasi. Untuk mengantisipasi bila akan dilakukan pelepasan perlengketan

dengan usus, harus dilakukan persiapan kolon. Bila pada pemeriksaan klinis dicurigai

terdapat massa di rongga pelvis, maka perlu dilakukan pemeriksaan USG.

Page 8: Prinsip Dasar Bedah Laparaskopi

8

TEKNIK BEDAH LAPARASKOPI

Sebelum memulai prosedur operasi, evaluasi preoperasi yang seksama sangat

penting. Indikasi untuk prosedur ini dan kegunaannya harus ditelaah. Kontraindikasi

untuk bedah endoskopi harus diketahui. Informed consent harus dilakukan untuk

memastikan pasien mengerti jalannya prosedur operasi, risiko, komplikasi dan

alternatif operasi lain. Informed consent juga harus mengandung ijin pasien untuk

kemungkinan laparatomi dan mengetahui hal apa yang akan menyebabkan pasieh

harus dilaparatomi.

Walaupun prosedur sterilisasi dapat dilaksanakan dengan anestesi lokal, lebih disukai

anestesi umum dimana otot berrelaksasi baik untuk prosedur diagnostic dan operatif.

Bedah laparaskopi memerlukan inspeksi yang cermat dari kavum peritoneum dan

pelaksanaannya memakan waktu berjam-jam. Anestesi umum lebih nyaman baik bagi

operator maupun pasien dan juga lebih aman. Pasien harus diintubasi dan di beri

ventilasi karena posisi Trendelenburg dan pneumoperitoneum menyebabkan

hiperkarbia.

POSISI PASIEN

Posisi pasien yang diinginkan sangat penting untuk keamanan pasien dan

kenyamanan operator, serta dapat menvisualisasikan organ pelvis secara optimal.

Laparaskopi dilakukan pada meja operasi yang dapat diatur ketinggiannya dan posisi

pasien dapat menjadi trendelenberg. Disamping itu pasien diletakkan dengan posisi

litotomi rendah.

Page 9: Prinsip Dasar Bedah Laparaskopi

9

PENGATURAN RUANG OPERASI

Pengaturan perlengkapan dan instrumen bedah laparaskopi sangat penting untuk

keamanan dan efesiensi. Untuk operasi daerah pelvis, monitor diletakkan diantara

kedua kaki pasien. Bila diperlukan dua monitor, monitor kedua dapat ditempatkan

didekat salah satu kaki pasien. Operator berdiri disebelah kiri pasien. Perawat dan

meja instrument berada didekat kaki pasien sehingga tidak menghalangi penglihatan

operator ke monitor. Insuflator ditempatkan disebelah kanan pasien, didepan

operator, sehingga memungkinkan operator memantau kecep[atan pengisian gas dan

tekanan intraabdomen. Generator elektrosurgikal, aspirator dan irrigator juga

diletakkan disebelah kanan pasien.

Page 10: Prinsip Dasar Bedah Laparaskopi

10

TEKNIK MEMASUKI RONGGA ABDOMEN

Penembusan dinding abdomen merupakan hal yang paling berbahaya dalam prosedur

laparaskopi. Sebagian besar operator menggunakan jarum verres untuk memasukkan

udara kedalam rongga abdomen. Biasanya dibuat insisi intra atau subumbilikal, dan

kemudian jarum verres dimasukkan kedalam rongga abdomen.

Insuflator Gen Elektosurgikal Aspirator Irrigator

Page 11: Prinsip Dasar Bedah Laparaskopi

11

INSISI KULIT

Lokasi insisi

Pemilihan lokasi insisi merupakan hal yang penting. Secara kosmetik sebaiknya

dibuat sepanjang garis Langer pada lipatan umbilicus baik vertical maupun

horizontal.

Sebagian besar operator memilih insisi bagian bawah dari umbilicus.

Ukuran insisi

Insisi kulit untuk tempat masuk trokar harus tepat ukurannya.Besarnya insisi dapat

dinilai dengan bagian belakang pisau standar ( lebarnya sekitar 1 cm )atau secara

langsung dengan memasukkan jari telunjuk operator kedalam lubang insisi.

Teknik insersi

Gambar dibawah ini memperlihatkan prinsip yang harus dilakukan saat memasukkan

jarum Verres secara aman. Abdomen bagian bawah antara simfisis dengan umbilicus

dibagi dalam dua bagian, bagian bawah (bagian diatas simfisis dekat area vesika

urinaria) digenggam dan diangkat oleh tangan kiri operator membentuk sudut 45

derajat keatas dan kaudal. Pengangkatan ini akan meninggikan umbilicus dan

peritoneum dibawahnya, sehingga peritoneum akan menjadi satu bidang yang tegak

lurus terhadap sumbu pelvis. Kemudian jarum Verres dimasukkan secara tepat

Page 12: Prinsip Dasar Bedah Laparaskopi

12

melalui umbilicus lurus terhadap sumbu pelvis. Selama manuver dengan dua tangan

ini, operator perlu mengingat tiga hal utama yaitu :

1. Menuju kearah uterus

2. Menjauhi pembuluh darah pelvis

3. Membentuk sudut terhadap kulit (jarak paling pendek terhadap peritoneum)

Dengan manuver ini diharapkan lemak preperitoneal yang dilewati akan minimal.

Uji penembusan peritoneum.

Setelah jarum Verres masuk kedalam rongga abdomen, harus dilakukan pengetesan

untuk meyakinkan bahwa masuknya jarum Verres sudah betul, yaitu dengan cara :

1. Tes aspirasi. Syringe yang diisi cairan NaCl dihubungkan dengan jarum Verres.

Kemudian cairan dimasukkan kedalam rongga abdomen. Bila tidak ada tahanan

berarti jarum Verres dengan benar. Untuk meyakinkan dilakukan aspirasi cairan,

bila cairan tidak dapat diaspirasi kembali, maka berarti jarum Verres benar masuk

dalam rongga peritoneum, tetapi bila diaspirasi terdapat darah , feses atau urin,

berarti jarum Verres masuk ditempat yang salah.

2. Sniff test. Jika jarum Verres menusuk usus, akan tercium bau feses, hal ini dapat

terdeteksi sebelum gas dimasukkan.

Page 13: Prinsip Dasar Bedah Laparaskopi

13

3. Palmer’s test. Setelah gas dimasukkan kedalam rongga peritoneum, jarum

dihubungkan dengan syringe yang diisi cairan NaCl. Bila terdapat gelembung

udara saat aspirasi, maka jarum Verres berada bebas dalam rongga abdomen.

PENGISIAN GAS (PNEUMOPERITONEUM)

Gas CO2 permulaan harus dimasukkan rata-rata 1 L/menit sampai yakin tidak ada

obstruksi. Bila penempatan sudah tepat, gas dapat dialirkan lebih cepat. Tekanan

abdomen yang optimum selama bedah laparaskopi biasanya antara 12-15 mmHg.

INSERSI TROKAR

Insersi trokar merupakan tindakan yang paling berbahaya dalam prosedur

laparaskopi. Teknik dalam memasukkan jaru Verres digunakan untuk memasukkan

trokar, tetapi dengan tekanan lebih kuat. Trokar tajam lebih mudah dimasukkan.

Selama insersi trokar, operator tetap harus memperhatikan tiga aturan utama, yaitu :

1. menuju kearah uterus

2. menjauhi pembuluh darah pelvis

3. membentuk suduk terhadap kulit

Operator konsentrasi penuh pada kedua tangan sewaktu memasukkan trokar. Tangan

kiri berfungsi untuk melindungi pembuluh darah, dan pengangkatan dinding abdomen

tetap terus dipertahankan ( gb 8-14)

Setelah trokar masuk kedalam rongga abdomen, harus mampu mengenali bahwa

memang benar trokar sudah berada dalam rongga peritoneum. Pada saat ini, terutama

pada wanita gemuk sebaiknya trokar dipegang agak kuat , kalau perlu sampai

“trumpet valve” menyentuh kulit ( gb 8-15).Hal ini untuk meyakinkan bahwa

selubung trokar berada dalam peritoneum dan tidak akan tertarik kembali ke

preperitoneal saat trokar ditarik. Kemudian dimasukkan laparaskop sampai terlihat

pemandangan dalam rongga abdomen.

Page 14: Prinsip Dasar Bedah Laparaskopi

14

INSERSI TROKAR KEDUA

Semua insersi trokar kedua dipandu oleh laparoskop. Tempat insisi tidak di garis

tengah karena ada aponeurosis fascial. Pembuluh darah epigastrik inferior biasanya

dapat terlihat melalui laparoskop serta dinding abdomen diidentifisir pada daerah

insersi trokar kedua untuk menghindari pembuluh darah. Biasanya tempat insersi

trokar kedua pada kuadran bawah diatas pubis dan lateral terhadap pembuluh darah

epigastrik (dan juga dari m rectus abdominis) . Pembuluh darah ini terdapat di lateral

ligamentum umbilikalis ( berasal dari a umbilkalis yang mengalami obliterasi ), yang

dapat terlihat langsung oleh laparoskop pada bagian depan dinding abdomen.

Pembuluh darah epigastrik profunda mencapai dekat hubungan pembuluh darah

illiaca externa dengan pembuluh darah femoralis dan membentuk batas medial dari

cincin inguinalis interna. Ligamentum rotundum mengelilingi pembuluh darah ini

untuk memasuki kanalis inguinalis. Jika dinding abdomen di anterior peritoneum

parietale tebal, posisi pembuluh darah ini dikonfirmasi dengan palpasi dan menekan

dinding abdomen anterior dengan bagian belakang scalpel, dinding abdomen tampak

tebal saat m rektus ditutup dan tempat insisi harus dipilih sebelah lateral dari daerah

ini, dekat SIAS (spina ischiadica anterior superior).

Page 15: Prinsip Dasar Bedah Laparaskopi

15

Operator tidak perlu melihat melalui laparoskop selama insersi trokar kedua, lebih

baik melihat langsung ke trokar dari luar dan diarahkan menuju ke uterus menjauhi

pembuluh darah illiaka komunis.

Saat kulit dan fascia ditembus, peritoneum di suprapubik lebih longgar dan perlu

menembus secara hati-hati. Lebih aman dilakukan dengan visualisasi laparoskopi.

Pangkal trokar harus terlihat setiap saat, langsung ke cavum Douglas menjauhi

pembuluh darah epigastrik.

PENUTUPAN LUKA

Peritoneum dan fascia akan menutup tanpa perlu penjahitan setelah trokar diangkat.

Jahitan kulit diperlukan untuk bekas luka trokar 10 mm, luka dijahit secara

subkutikuler dengan benang 3.0 (absorbable). Sedangkan bekas luka trokar 5 mm

dijahit dengan vicryl 4.0.

PERAWATAN PASCA OPERASI

Kebanyakan pasien dirawat selama 1 hari setelah operasi. Jika timbul komplikasi ,

maka diperlukan perawatan yang lebih lama. Penggunaan analgesi baik intramuskuler

maupun intravena saat di ruang pemulihan akan mengurangi nyeri pasca operasi.

DAFTAR PUSTAKA 1. Garry R, Reich Herry. Laparoscopic Hysterectomy 1st ed. Cambridge: Blackwell Scientific

Publications; 1993:46-60

2. Hulka and Reich. Textbook of Laparoscopy 2nd ed. W.B. Philadelphia: Saunders Company;

1994:85-95

3. Munro MG. Gynecology Endoscopy. In: Berek JS, Adashi EY, Hillard PA. Novak’s Gynecology

12th ed. Baltimore: Williams & Wilkins; 1996:677-90

4. Namnoum AB, Murphy AA. Diagnostic and Operative Laparoscopy. In: Rock JA, Thompson JD.

Te Linde’s Operative Gynecology 8th ed. Philadelphia: Lippincot-Raven; 1997:389-412

5. Sanfilippo JS, Singh M. Contemporary Operative Laparoscopy. In: Adashi EY, Rock JA,

Rosenwaks Z. Reproductive Endocrinology, Surgery, and Technology 1st ed.Pensylvania:

Lippincot-Raven Publications; 1996:2064-87