29
PREVALENSI, DERAJAT INFEKSI, DAN FAKTOR RISIKO INFEKSI PARASIT DARAH PADA SAPI POTONG DI KECAMATAN CIKALONG, TASIKMALAYA HERY NUR ICHSAN FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014

PREVALENSI, DERAJAT INFEKSI, DAN FAKTOR RISIKO … · Hery Nur Ichsan NIM: B04090061. Disetujui. oleh. Prof . Dr drh . Umi Cahyaningsih, MS Pembimbing . Diketahui. oleh. drh Agus

  • Upload
    lekhanh

  • View
    234

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: PREVALENSI, DERAJAT INFEKSI, DAN FAKTOR RISIKO … · Hery Nur Ichsan NIM: B04090061. Disetujui. oleh. Prof . Dr drh . Umi Cahyaningsih, MS Pembimbing . Diketahui. oleh. drh Agus

PREVALENSI, DERAJAT INFEKSI, DAN FAKTOR RISIKO

INFEKSI PARASIT DARAH PADA SAPI POTONG DI

KECAMATAN CIKALONG, TASIKMALAYA

HERY NUR ICHSAN

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2014

Page 2: PREVALENSI, DERAJAT INFEKSI, DAN FAKTOR RISIKO … · Hery Nur Ichsan NIM: B04090061. Disetujui. oleh. Prof . Dr drh . Umi Cahyaningsih, MS Pembimbing . Diketahui. oleh. drh Agus
Page 3: PREVALENSI, DERAJAT INFEKSI, DAN FAKTOR RISIKO … · Hery Nur Ichsan NIM: B04090061. Disetujui. oleh. Prof . Dr drh . Umi Cahyaningsih, MS Pembimbing . Diketahui. oleh. drh Agus

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Prevalensi, Derajat

Infeksi, dan Faktor Risiko Infeksi Parasit Darah pada Sapi Potong di Kecamatan

Cikalong, Tasikmalaya adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi

pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi

mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan

maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan

dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.

Bogor, Maret 2014

Hery Nur Ichsan

NIM B04090061

Page 4: PREVALENSI, DERAJAT INFEKSI, DAN FAKTOR RISIKO … · Hery Nur Ichsan NIM: B04090061. Disetujui. oleh. Prof . Dr drh . Umi Cahyaningsih, MS Pembimbing . Diketahui. oleh. drh Agus

ABSTRAK

HERY NUR ICHSAN. Prevalensi, Derajat Infeksi, dan Faktor Risiko Infeksi

Parasit Darah pada Sapi Potong di Kecamatan Cikalong, Tasikmalaya. Dibimbing

oleh UMI CAHYANINGSIH.

Tujuan penelitian ini adalah mengidentifikasi tingkat prevalensi, derajat

infeksi, dan faktor risiko infeksi parasit darah pada sapi potong peternakan rakyat

di kecamatan Cikalong, kabupaten Tasikmalaya. Sampel darah diambil dari 114

sapi potong di kecamatan Cikalong, Tasikmalaya dan dibuat preparat ulas darah,

lalu diwarnai dengan pewarnaan Giemsa. Preparat ulas darah diamati dengan

menggunakan mikroskop perbesaran 1000×. Jumlah parasit darah dihitung tiap

500 sel darah merah. Faktor risiko dapat diketahui dari manajemen peternakan

yang diperoleh dari wawancara ke peternak. Hasilnya menunjukkan bahwa tingkat

prevalensi tertinggi adalah Theileria sp. sebesar 60.53% diikuti Babesia sp.

44.74% dan Anaplasma sp. 30.70%. Berdasarkan jenis kelamin, rataan

parasitemia pada sapi jantan lebih tinggi daripada sapi betina. Infeksi Babesia sp.

dan Theileria sp. pada sapi betina berbeda nyata dengan sapi jantan (p<0.05),

tetapi infeksi Anaplasma sp. tidak berbeda nyata (p>0.05). Berdasarkan umur,

rataan parasitemia pada sapi dewasa (>12 bulan) lebih tinggi daripada sapi muda

(<12 bulan). Infeksi Babesia sp. dan Anaplasma sp. pada sapi dewasa tidak

berbeda nyata dengan sapi muda (p>0.05), tetapi infeksi Theileria sp. berbeda

nyata (p<0.05). Secara umum, tingkat prevalensi parasit darah pada sapi di

kecamatan Cikalong tidak berpengaruh pada manajemen peternakan, pakan, dan

pengendalian vektor (p>0.05).

Kata kunci: Faktor risiko, parasit darah, prevalensi, sapi

ABSTRACT

HERY NUR ICHSAN. Prevalence, Intensity of Infection, and Risk Factor of

Blood Parasite Infection on Cattle Small Holder Farmer in Cikalong Subdistrict,

Tasikmalaya. Supervised by UMI CAHYANINGSIH.

This research was aimed to determine the prevalence, intensity of infection,

and risk factors of blood parasite infection in cattle of Cikalong subdistrict,

Tasikmalaya. Blood smears samples collected from 114 cattle in Cikalong

subdistrict and processed using Giemsa staining method. Quantitative evaluation

of parasitemia (percentage of infected RBCs) was assesed by counting of the

number of parasite erythrocytes present per 500 cells at a magnification of

1000×.The potential of risk factor in regard with livestock management were

obtained by interviewing the farmer. The result showed that the highest

prevalence rate of blood parasite was Theileria sp. (60.53%), followed by Babesia

sp. (44.74%) and Anaplasma sp. (30.70%). Based on sex, the mean of blood

parasite in bull was higher than cow. Babesia sp. and Theileria sp. infection in

cow was significantly than bull (p<0.05), while Anaplasma sp. infection was not

significantly (p>0.05). Based on age, the mean of blood parasite in cattle (>12

month) was higher than calf (<12 month). Babesia sp. and Anaplasma sp.

Page 5: PREVALENSI, DERAJAT INFEKSI, DAN FAKTOR RISIKO … · Hery Nur Ichsan NIM: B04090061. Disetujui. oleh. Prof . Dr drh . Umi Cahyaningsih, MS Pembimbing . Diketahui. oleh. drh Agus

infection in cattle was not significantly than calf (p>0.05), while Theileria sp.

infection was significantly (p<0.05). Generally, the prevalence rate of blood

parasite was influenced by livestock management, feeding, and vector control was

not significantly (p>0.05).

Keywords: Blood parasite, cattle, prevalence, risk factor

Page 6: PREVALENSI, DERAJAT INFEKSI, DAN FAKTOR RISIKO … · Hery Nur Ichsan NIM: B04090061. Disetujui. oleh. Prof . Dr drh . Umi Cahyaningsih, MS Pembimbing . Diketahui. oleh. drh Agus
Page 7: PREVALENSI, DERAJAT INFEKSI, DAN FAKTOR RISIKO … · Hery Nur Ichsan NIM: B04090061. Disetujui. oleh. Prof . Dr drh . Umi Cahyaningsih, MS Pembimbing . Diketahui. oleh. drh Agus

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Sarjana Kedokteran Hewan

pada

Fakultas Kedokteran Hewan

PREVALENSI, DERAJAT INFEKSI, DAN FAKTOR RISIKO

INFEKSI PARASIT DARAH PADA SAPI POTONG DI

KECAMATAN CIKALONG, TASIKMALAYA

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2014

HERY NUR ICHSAN

Page 8: PREVALENSI, DERAJAT INFEKSI, DAN FAKTOR RISIKO … · Hery Nur Ichsan NIM: B04090061. Disetujui. oleh. Prof . Dr drh . Umi Cahyaningsih, MS Pembimbing . Diketahui. oleh. drh Agus
Page 9: PREVALENSI, DERAJAT INFEKSI, DAN FAKTOR RISIKO … · Hery Nur Ichsan NIM: B04090061. Disetujui. oleh. Prof . Dr drh . Umi Cahyaningsih, MS Pembimbing . Diketahui. oleh. drh Agus

Judul Skripsi : Prevalensi, Derajat Infeksi, dan Faktor Risiko Infeksi Parasit Darah

pada Sapi Potong di Kecamatan Cikalong, Tasikmalaya

Nama : Hery Nur Ichsan

NIM : B04090061

Disetujui oleh

Prof Dr drh Umi Cahyaningsih, MS

Pembimbing

Diketahui oleh

drh Agus Setiyono, MS, PhD, APVet

Wakil Dekan

Tanggal Lulus:

Page 10: PREVALENSI, DERAJAT INFEKSI, DAN FAKTOR RISIKO … · Hery Nur Ichsan NIM: B04090061. Disetujui. oleh. Prof . Dr drh . Umi Cahyaningsih, MS Pembimbing . Diketahui. oleh. drh Agus

Judul Skripsi: Prevalensi, Derajat Infeksi, dan Faktor Risiko Infeksi Parasit Darah pada Sapi Potong di Kecamatan Cikalong, Tasikmalaya

Nama : Hery Nur Ichsan NIM : B04090061

Disetujui oleh

Prof Dr drh U mi Cahyaningsih, MS Pembimbing

Tanggal Lulus: t28 FEB ?n1(

Page 11: PREVALENSI, DERAJAT INFEKSI, DAN FAKTOR RISIKO … · Hery Nur Ichsan NIM: B04090061. Disetujui. oleh. Prof . Dr drh . Umi Cahyaningsih, MS Pembimbing . Diketahui. oleh. drh Agus

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas

segala karunia-Nya sehingga skripsi yang berjudul Prevalensi, Derajat Infeksi, dan

Faktor Risiko Infeksi Parasit Darah pada Sapi Potong di Kecamatan Cikalong,

Tasikmalaya dapat diselesaikan.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Prof Dr drh Umi Cahyaningsih, MS

selaku pembimbing skripsi yang telah banyak memberi bimbingan dan saran, serta

drh Ni Wayan Kurniani Karja, MP, Ph.D selaku dosen pembimbing akademik

yang telah membimbing penulis selama menjadi mahasiswa Fakultas Kedokteran

Hewan, Institut Pertanian Bogor. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan

kepada drh Arifin Budiman dan Ibu Nani, beserta staf Laboratorium protozoologi

Fakultas Kedokteran Hewan IPB, serta enumerator, yang telah membantu selama

pengumpulan data. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada Ayah, Ibu,

Kakak, Adik, serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya.

Ungkapan terima kasih juga penulis sampaikan yang terspesial Jessica R. Wibowo

beserta keluarga, teman-teman satu penelitian Anggi, Ifan, Ardi, Bambang, Irwan,

Sarah, Natasha, dan juga teman-teman geochelone ’46 tercinta khususnya Wulan,

Dana, Suan, Caca, Wahyu serta teman-teman kost rengga.

Semoga skripsi ini bermanfaat.

Bogor, Maret 2014

Hery Nur Ichsan

Page 12: PREVALENSI, DERAJAT INFEKSI, DAN FAKTOR RISIKO … · Hery Nur Ichsan NIM: B04090061. Disetujui. oleh. Prof . Dr drh . Umi Cahyaningsih, MS Pembimbing . Diketahui. oleh. drh Agus

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Tujuan Penelitian 2

Manfaat Penelitian 2

TINJAUAN PUSTAKA 2

Kondisi Umum Kabupaten Tasikmalaya 2

Parasit Darah 2

METODE 4

Waktu dan Tempat 4

Pengumpulan Data 5

Ukuran Sampel 5

Pembuatan dan Pewarnaan Sampel Ulas Darah 5

Pemeriksaan Sampel Ulas Darah 5

Prosedur Analisis Data 6

HASIL DAN PEMBAHASAN 6

Tingkat Parasitemia berdasarkan Jenis Kelamin 7

Tingkat Parasitemia berdasarkan Umur 7

Faktor Risiko Kejadian Penyakit Parasit Darah 8

SIMPULAN DAN SARAN 11

Simpulan 11

Saran 11

DAFTAR PUSTAKA 22

RIWAYAT HIDUP 14

Page 13: PREVALENSI, DERAJAT INFEKSI, DAN FAKTOR RISIKO … · Hery Nur Ichsan NIM: B04090061. Disetujui. oleh. Prof . Dr drh . Umi Cahyaningsih, MS Pembimbing . Diketahui. oleh. drh Agus

DAFTAR TABEL

1 Tingkat prevalensi infeksi parasit darah 6 2 Rataan parasitemia berdasarkan jenis kelamin 7 3 Rataan parasitemia berdasarkan umur 8 4 Hubungan faktor manajemen peternakan sapi dengan kejadian penyakit

parasit darah 10

Page 14: PREVALENSI, DERAJAT INFEKSI, DAN FAKTOR RISIKO … · Hery Nur Ichsan NIM: B04090061. Disetujui. oleh. Prof . Dr drh . Umi Cahyaningsih, MS Pembimbing . Diketahui. oleh. drh Agus

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kebutuhan gizi masyarakat yang bersumber dari protein hewani asal ternak

sangat diperlukan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia baik dalam

pembentukan fisik maupun kecerdasan. Kebutuhan ini akan semakin bertambah

seiring dengan peningkatan jumlah penduduk, kualitas pendidikan dan

kesejahteraan, serta daya beli masyarakat. Salah satu usaha untuk memenuhi

kebutuhan tersebut adalah dengan mengembangkan peternakan sapi potong.

Permasalahan mengenai pemenuhan daging sapi di Indonesia masih belum

teratasi dengan baik. Hal ini disebabkan populasi ternak sapi yang ada belum

dapat memenuhi kebutuhan konsumsi daging sapi di Indonesia. Berdasarkan data

BPS (2009), pada tahun 2007 populasi ternak sapi potong di Indonesia berjumlah

11 514 900 ekor dan meningkat menjadi 11 869 200 ekor pada tahun 2008.

Jumlah ternak yang dipotong meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun 2007,

jumlah ternak yang dipotong sebesar 1 218 560 ekor dan meningkat menjadi 1

295 789 ekor pada tahun 2008. Kondisi ini menunjukkan adanya peningkatan

populasi ternak sapi yang diikuti dengan peningkatan kebutuhan daging sapi.

Sapi potong merupakan salah satu ternak penghasil daging di Indonesia.

Salah satu wilayah yang memiliki potensi cukup besar dalam pengembangan

peternakan sapi potong adalah Kabupaten Tasikmalaya. Daerah ini merupakan

salah satu kawasan di Provinsi Jawa Barat yang potensial karena ketersediaan

sumber daya dan lingkungan agroklimat yang mendukung upaya pengembangan

peternakan sapi potong, akan tetapi produksi daging sapi dalam negeri belum

mampu memenuhi kebutuhan karena populasi dan tingkat produktivitas ternak

rendah. Rendahnya populasi sapi potong antara lain disebabkan sebagian besar

ternak dipelihara oleh peternak berskala kecil dengan lahan dan modal terbatas.

Selain itu, banyak kendala yang dihadapi para peternak dalam

mengembangkan usaha peternakannya. Umumnya faktor kendala yang dihadapi

adalah masalah pakan, manajemen pemeliharaan, dan masalah penyakit ternak.

Salah satu serangan penyakit yang bisa merugikan peternak yakni penyakit parasit

(Khaidir 1994). Penyakit ini kadang-kadang tidak langsung mematikan, akan

tetapi kerugiannya dipandang dari segi ekonomi sangat besar dan dapat

menimbulkan kerugian berupa penurunan berat badan ternak, penurunan produksi

susu, dan penurunan kualitas daging, serta ancaman zoonosis (Jonnson 2006).

Parasit darah merupakan salah satu penyebab penyakit ternak yang cukup

penting dan bersifat endemik sehingga dapat menimbulkan kerugian ekonomi

cukup besar antara lain berupa penurunan berat badan, penurunan kualitas produk

ternak, dan kematian ternak. Jenis-jenis penyakit parasit darah yang penting di

Indonesia antara lain babesiosis, anaplasmosis, dan theileriosis. Penyebaran

parasit ini tergantung dari populasi caplak di daerah tersebut (Soulsby 1982) dan

dipengaruhi oleh kondisi geografis, iklim, cuaca, sosial budaya, dan sosial

ekonomi di daerah tersebut (Brotowidjoyo 1987).

Page 15: PREVALENSI, DERAJAT INFEKSI, DAN FAKTOR RISIKO … · Hery Nur Ichsan NIM: B04090061. Disetujui. oleh. Prof . Dr drh . Umi Cahyaningsih, MS Pembimbing . Diketahui. oleh. drh Agus

2

Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah mengidentifikasi jenis endoparasit,

tingkat prevalensi, derajat infeksi, dan faktor risiko infeksi endoparasit pada sapi

potong di peternakan rakyat di Kecamatan Cikalong, Tasikmalaya.

Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai endoparasit

terutama parasit darah yang terdapat pada sapi potong di peternakan rakyat di

Kecamatan Cikalong, Tasikmalaya dan sebagai pertimbangan bagi pemerintah

dan peternak untuk melakukan tindakan pencegahan dan pengendalian penyakit

parasit darah pada sapi.

TINJAUAN PUSTAKA

Kondisi Umum Kabupaten Tasikmalaya

Kabupaten Tasikmalaya secara geografis terletak di sebelah tenggara

Provinsi Jawa Barat yang sebagian besar wilayahnya berada di pantai selatan dan

memiliki batas langsung dengan Samudera Hindia. Secara astronomis terletak

antara 7°02'29" sampai 7°49'08" Lintang Selatan dan antara 107°54'10" sampai

108°26'42" Bujur Timur dengan jarak membentang utara ke selatan sepanjang 75

km dan arah barat ke timur 56.25 km, dan luas wilayahnya 270 881 Ha. Secara

topografi terdiri dari wilayah pesisir, dataran rendah, dan perbukitan. Suhu udara

kabupaten Tasikmalaya pada daerah dataran rendah adalah 34 °C dengan

kelembapan 50%, sedangkan pada daerah dataran tinggi mempunyai temperatur

18 ºC sampai 22 ºC dengan kelembapan berkisar antara 61% sampai 73%.

Curah hujan rata-rata per tahun adalah 2171.95 mm dengan jumlah hari

hujan efektif selama satu tahun sebanyak 84 hari. Curah hujan tertinggi terjadi

pada bulan November, dengan musim hujan terjadi antara bulan Oktober sampai

Mei dan musim kemarau terjadi antara bulan Juni sampai September (BPS

Tasikmalaya 2011).

Parasit Darah

Babesia sp.

Menurut Levine (1970), Babesia memiliki taksonomi sebagai berikut:

Filum : Apicomplexa

Subkelas : Piroplasmia

Ordo : Piroplasmida

Famili : Babesiidae

Genus : Babesia

Spesies : Babesia sp.

Page 16: PREVALENSI, DERAJAT INFEKSI, DAN FAKTOR RISIKO … · Hery Nur Ichsan NIM: B04090061. Disetujui. oleh. Prof . Dr drh . Umi Cahyaningsih, MS Pembimbing . Diketahui. oleh. drh Agus

3

Babesia adalah parasit darah yang dapat menyebabkan babesiosis. Jenis

Babesia yang menginfeksi sapi adalah Babesia bigemina, Babesia bovis, Babesia

divergens, Babesia argentina, Babesia major. Babesia dapat menyebabkan

penyakit yang serius pada sapi, yaitu penyakit Cattle Tick Fever, Texas Fever,

Red Water Fever, dan piroplasmosis. Babesia yang biasanya menginfeksi sapi

yang ada di Indonesia adalah Babesia bigemina dan Babesia bovis (Levine 1970).

Hewan yang terinfeksi Babesia dengan jumlah besar dan sekaligus dapat

menyebabkan kematian hewan tersebut, sedangkan hewan yang terinfeksi Babesia

dalam jumlah sedikit dan secara bertahap, maka hewan akan memiliki kekebalan

terhadap parasit ini (Levine 1970). Menurut Arunkumar dan Nagarajan (2013),

Babesia ditularkan oleh caplak yaitu, Boophilus sp. dan Rhipicephalus sp., serta

lalat penghisap darah seperti Tabanus sp. dan Stomoxys sp.

Siklus reproduksi Babesia terdiri dari siklus seksual dan aseksual. Siklus

aseksual terjadi di dalam tubuh sapi, tepatnya di dalam eritrosit, sedangkan siklus

seksual terjadi di dalam tubuh caplak. Setelah caplak menghisap darah yang

mengandung eritrosit yang berisi gametosit Babesia dari sapi, maka terjadi

perkembangan di dalam usus caplak betina, kemudian parasit masuk ke dalam

saluran reproduksi caplak dan menginfeksi telur, kemudian telur caplak menetas,

keluar larva yang kemudian berkembang menjadi caplak dewasa. Parasit

berkembang di dalam tubuh caplak dan akhirnya masuk ke dalam sel kelenjar

ludah caplak dalam bentuk sporozoit (Levine 1992). Proses perkembangbiakan ini

memakan waktu 2 sampai 3 hari (Levine 1970). Parasit stadium sporozoit masuk

ke dalam tubuh sapi melaui gigitan caplak, sporozoit berkembang menjadi

tropozoit, tropozoit terjadi pembelahan dan berkembang menjadi merozoit,

kemudian merozoit berubah menjadi gametosit (Levine 1970).

Theileria sp.

Menurut Billiouw (2005), Theileria memiliki taksonomi sebagai berikut:

Filum : Apicomplexa

Kelas : Sporozoa

Subkelas : Piroplasmia

Ordo : Piroplasmida

Famili : Theileriidae

Genus : Theileria

Spesies : Theileria sp.

Theileria menurut derajat patogenitasnya dibagi atas Theileria yang patogen

dan Theleria yang non patogen. Jenis Theleria yang patogen pada sapi adalah

Theileria annulata, Theileria bovis, Theileria laurenct, dan Theileria parva,

penyebab penyakit East Coast Fever, Mediterran Theileriosis, Corridor Disease

atau Rhodensian Red Water Disease, sedangkan jenis Theileria yang bersifat non

patogen adalah Theileria mutan, Theileria buffeli, Theileria sergenti, dan

Theileria orientalis (Levine 1992).

Siklus hidupnya hampir mirip dengan Babesia yaitu mengalami fase

seksual dan aseksual. Sporozoit ditransmisikan dari kelenjar saliva caplak yang

menggigit sapi. Berbeda dengan sporozoit Babesia yang menyerang sel darah

merah, sporozoit Theileria menyerang limfosit dan berkembang menjadi

makroschizont. Di dalam limfosit, makroschizont mengalami proses pembelahan

menjadi mikromerozoit lalu dilepaskan dari limfosit. Mikromerozoit inilah yang

Page 17: PREVALENSI, DERAJAT INFEKSI, DAN FAKTOR RISIKO … · Hery Nur Ichsan NIM: B04090061. Disetujui. oleh. Prof . Dr drh . Umi Cahyaningsih, MS Pembimbing . Diketahui. oleh. drh Agus

4

masuk ke dalam eritrosit dan akan berperan dalam perkembangan seksual di tubuh

caplak seperti perkembangan Babesia. Perkembangan seksual terjadi di dalam

usus caplak. Mikromerozoit di dalam usus caplak berdiferensiasi menjadi gamet

jantan dan betina yang berfusi menjadi zigot. Zigot akan masuk ke dalam epitel

usus menjadi kinete. Kinete masuk ke dalam sel kelenjar saliva dan berubah

menjadi sporoblast (Soulsby 1982).

Anaplasma sp.

Menurut Levine (1970), Anaplasma memiliki taksonomi sebagai berikut:

Subkelas : Riketsiaeia

Ordo : Riketsiaeida

Famili : Riketsiae

Genus : Anaplasma

Spesies : Anaplasma sp.

Anaplasmosis merupakan penyakit infeksius yang ditularkan pada hewan

ternak yang ditandai dengan anemia. Cara penularannya melalui vektor yaitu

caplak Boophilus microplus. Infeksi Anaplasma biasanya dapat bersamaan dengan

infeksi Babesia. Anaplasma marginale yang dapat menyebabkan penyakit-

penyakit High fever, anemia, bilirubinemia, bilirubinuria lebih patogen

dibandingkan dengan Anaplasma centrale. Beberapa hewan yang dapat menjadi

induk semang dari Anaplasma adalah kerbau, antelops, elk, bison, unta, biri-biri,

dan kambing (Astyawati 2005).

METODE

Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilakukan pada bulan Juli sampai Oktober 2012. Pengambilan

sampel dilakukan di beberapa peternakan rakyat di Kecamatan Cikalong,

Tasikmalaya. Identifikasi dilakukan di Laboratorium Protozoologi, Departemen

Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner, Fakultas Kedokteran

Hewan, Institut Pertanian Bogor.

Pengumpulan Data

Data dikumpulkan dari peternakan sapi potong rakyat di Kecamatan

Cikalong melalui kuesioner dengan metode wawancara terhadap pemilik atau

pekerja peternakan. Data lainnya diperoleh dari pemeriksaan ulas darah dari sapi

potong peternakan rakyat di Kecamatan Cikalong, Tasikmalaya. Kuesioner

digunakan untuk mengumpulkan data tambahan berkaitan dengan faktor risiko

berupa umur, jenis kelamin, cara beternak, frekuensi dan tempat penggembalaan

ternak, sumber rumput, serta cara pengendalian lalat dan caplak.

Page 18: PREVALENSI, DERAJAT INFEKSI, DAN FAKTOR RISIKO … · Hery Nur Ichsan NIM: B04090061. Disetujui. oleh. Prof . Dr drh . Umi Cahyaningsih, MS Pembimbing . Diketahui. oleh. drh Agus

5

Ukuran Sampel

Jumlah sampel ditentukan dengan asumsi dugaan bahwa tingkat kejadian

penyakit parasit sebesar 50% dengan tingkat kepercayaan 90%. Besaran sampel

dihitung menggunakan rumus sebagai berikut (Selvin 2004):

𝑛 = 4𝑃 (1 − 𝑃)

𝐿2

Keterangan: n= Jumlah sampel darah sapi yang diambil.

P= Asumsi dugaan tingkat kejadian penyakit parasit darah.

L= Tingkat kesalahan 10% (0.1).

Berdasarkan rumus diatas, didapatkan jumlah sampel darah yang diambil

minimal 100 sampel. Sampel diambil secara acak dari sapi potong dewasa (>12

bulan), anak (6–12 bulan), dan pedet (0–6 bulan) yang terdapat pada peternakan

terpilih dengan ketentuan maksimum jumlah sampel yang diambil dari satu

peternak adalah 4 ekor, sehingga didapatkan 114 sampel darah.

Pembuatan dan Pewarnaan Sampel Ulas Darah

Sampel darah diambil dari pembuluh darah sapi di sekitar telinga. Bagian

telinga dibersihkan terlebih dahulu dengan kapas bersih, kemudian pembuluh

darah ditusuk dengan menggunakan jarum. Satu tetes darah diletakkan di bagian

tepi gelas objek, kemudian dengan perlahan ujung gelas objek satunya

ditempelkan di atas darah tersebut. Darah akan menyebar di antara sudut gelas

objek 1 dan 2. Gelas objek 2 selanjutnya didorong dengan membentuk sudut 45

derajat untuk membuat ulas darah tipis. Ulas darah yang telah dibuat kemudian

dikeringkan selama 10 menit. Sediaan ulas darah yang telah kering kemudian

difiksasi dengan menggunakan metanol selama 3 sampai 5 menit. Lalu dibiarkan

kering di udara, sediaan ulas darah diwarnai menggunakan larutan Giemsa 10%

dengan cara merendamnya selama 30 menit. Preparat ulas darah yang telah

diwarnai dicuci dengan aquades dan dikeringkan.

Pemeriksaan Sampel Ulas Darah

Pemeriksaan ulas darah dilakukan secara acak pada lima pandang dengan

perbesaran 1000×. Jumlah parasit intraseluler darah dihitung tiap 500 sel darah

merah (Alamzan et al. 2008). Rataan parasitemia dihitung dengan rumus:

𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑝𝑎𝑟𝑎𝑠𝑖𝑡 𝑑𝑎𝑟𝑎ℎ

500 𝑥 100

Page 19: PREVALENSI, DERAJAT INFEKSI, DAN FAKTOR RISIKO … · Hery Nur Ichsan NIM: B04090061. Disetujui. oleh. Prof . Dr drh . Umi Cahyaningsih, MS Pembimbing . Diketahui. oleh. drh Agus

6

Prosedur Analisis Data

Data yang diperoleh dari hasil wawancara dan hasil pemeriksaan

laboratorium langsung diinput ke dalam database menggunakan Microsoft Excel.

Data dianalisa secara deskriptif untuk membandingkan tingkat parasitemia

terhadap umur menggunakan uji ANOVA dan uji lanjut Duncan dan untuk

membandingkan tingkat parasitemia terhadap jenis kelamin menggunakan uji t-

test. Hubungan faktor risiko dan infeksi parasit yang bersumber dari manajemen

peternakan diukur dengan menggunakan uji chi square. Semua data dianalisis

menggunakan SPSS versi 16.0.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Sampel darah sapi yang diperiksa sebanyak 114 sampel, ditemukan 51 sapi

positif terinfeksi Babesia, 69 sapi positif terinfeksi Theileria, dan 35 sapi positif

terinfeksi Anaplasma. Tingkat prevalensi tertinggi disebabkan oleh Theileria sp.

sebesar 60.53%, diikuti dengan Babesia sp. 44.74% dan terendah adalah

Anaplasma sp. 30.70%. Tingkat prevalensi infeksi parasit darah pada sapi potong

di Kecamatan Cikalong disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1 Tingkat prevalensi infeksi parasit darah

Jenis parasit darah Jumlah

sampel

Jumlah sampel positif Prevalensi (%)

Babesia sp.

Theileria sp.

Anaplasma sp.

114

114

114

51

69

35

44.74

60.53

30.70

Tingkat prevalensi parasit darah yang bervariasi di Kecamatan Cikalong,

Tasikmalaya disebabkan oleh kondisi iklim dan letak geografis yang sesuai

dengan perkembangan dan pertumbuhan caplak dan lalat penghisap darah sebagai

vektor pembawa parasit. Himawan (2009) menyatakan keberadaan caplak di suatu

lingkungan dipengaruhi oleh kondisi iklim. Arunkumar dan Nagarajan (2013)

melaporkan bahwa keberadaan lalat penghisap darah (Tabanus spp. dan Stomoxys

spp.) dipengaruhi oleh kondisi iklim tropis yang panas dan lembap. Caplak dapat

tumbuh dan berkembang di wilayah yang memiliki curah hujan minimal 1000

mm/tahun (Zintl et al. 2003). Hal ini sesuai dengan laporan Tasikmalaya dalam

angka (2011) yang menyatakan bahwa Kecamatan Cikalong berada di daerah

dataran rendah dengan suhu rata-rata 34 °C, kelembapan 50%, dan curah hujan

antara 3500 sampai 4000 mm/tahun.

Tingkat prevalensi parasit darah tertinggi yaitu pada kasus theileriosis. Hal

ini diduga karena sebagian besar peternak mengambil rumput dari kebun (Tabel

4). Haemaphysalis sebagai caplak pembawa Theileria banyak ditemukan di kebun

(Rodostits et al. 2007). Urquhart et al. (2003) juga melaporkan bahwa selain

Haemaphysalis, Theileria juga ditularkan oleh Rhipicephalus, Amblyomma, dan

Hyalomma. Babesiosis ditularkan melalui gigitan caplak Boophilus sp. dan lalat

Page 20: PREVALENSI, DERAJAT INFEKSI, DAN FAKTOR RISIKO … · Hery Nur Ichsan NIM: B04090061. Disetujui. oleh. Prof . Dr drh . Umi Cahyaningsih, MS Pembimbing . Diketahui. oleh. drh Agus

7

penghisap darah seperti Tabanus sp. dan Stomoxys sp. (Arunkumar dan Nagarajan

2013). Rymaszewska dan Grenda (2008) melaporkan bahwa anaplasmosis

ditularkan oleh caplak (Boophilus sp., Dermacentor sp., dan Amblyomma sp.).

Adanya persamaan vektor antara babesiosis dan anaplasmosis menyebabkan

tingkat prevalensi keduanya tidak berbeda jauh. Hal ini didukung oleh Jonsson et

al. (2008) yang menyatakan bahwa Babesia bovis, Babesia bigemina, dan

Anaplasma marginale ditularkan oleh Boophilus microplus. Selain itu, menurut

Kocan et al. (2010) anaplasmosis banyak dialami pada hewan yang terinfeksi

babesiosis. Bilgic et al. (2013) menyatakan infeksi parasit darah yang disebabkan

oleh tick-borne disesase sering ditemukan bersamaan pada satu individu hewan.

Tingkat Parasitemia berdasarkan Jenis Kelamin

Rataan parasitemia pada sapi jantan lebih tinggi daripada sapi betina. Sapi

jantan yang terinfeksi Babesia sp. dan Theileria sp. menunjukkan rataan

parasitemia yang berbeda nyata lebih tinggi dibandingkan betina (p<0.05),

sedangkan yang terinfeksi Anaplasma sp. tidak berbeda nyata (p>0.05) (Tabel 2).

Tabel 2 Rataan parasitemia berdasarkan jenis kelamin

Jenis kelamin Jumlah

sampel

Rataan parasitemia (%)

Babesia sp. Theileria sp. Anaplasma sp.

Betina 90 0.037±0.050a 0.074±0.072a 0.022±0.035a

Jantan 24 0.080±0.067b 0.134±0.103b 0.023±0.034a

Rata-rata 0.059±0.059 0.104±0.088 0.023±0.035

Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada

taraf uji 5% (uji t-test).

Rataan parasitemia babesiosis dan theileriosis antara sapi jantan dan betina

yang menunjukkan berbeda nyata mengindikasikan bahwa jenis kelamin sapi

dapat mempengaruhi tingkat parasitemia. Hasil ini sesuai dengan penelitian dari

Sajid et al. (2009) yang melaporkan bahwa tingkat parasitemia pada sapi jantan

lebih tinggi daripada sapi betina. Tingkat parasitemia yang rendah pada hewan

betina diduga karena hormon estrogen pada ternak betina dapat memicu

terbentuknya antibodi terhadap parasit. Hal ini menyebabkan ternak betina lebih

resisten terhadap parasit daripada ternak jantan. Hambal et al. (2013) menyatakan

bahwa hormon estrogen pada ternak betina memiliki sifat pemacu sel-sel reticulo

endothelial system (RES) dalam membentuk antibodi terhadap parasit.

Tingkat Parasitemia berdasarkan Umur

Rataan parasitemia pada sapi dewasa lebih tinggi daripada sapi anakan dan

pedet. Secara statistik, parasitemia Babesia dan Theileria pada sapi dewasa

berbeda nyata lebih tinggi (p<0.05) dibandingkan dengan sapi anakan, sedangkan

Anaplasma tidak berbeda nyata (p>0.05). Rataan parasitemia Babesia pada sapi

dewasa berbeda nyata lebih tinggi (p<0.05) dibandingkan dengan pedet,

sedangkan Anaplasma dan Theileria tidak berbeda nyata (p>0.05) (Tabel 3).

Page 21: PREVALENSI, DERAJAT INFEKSI, DAN FAKTOR RISIKO … · Hery Nur Ichsan NIM: B04090061. Disetujui. oleh. Prof . Dr drh . Umi Cahyaningsih, MS Pembimbing . Diketahui. oleh. drh Agus

8

Tabel 3 Rataan parasitemia berdasarkan umur

Klasifikasi

umur

Jumlah

sampel

Rataan parasitemia (%)

Babesia sp. Theileria sp. Anaplasma sp.

Dewasa 83 0.051±0.059a 0.101±0.084a 0.028±0.037a

Anak 11 0.036±0.054b 0.042±0.060b 0.006±0.021a

Pedet 20 0.031±0.046b 0.051±0.068ab 0.011±0.026a

Rata-rata 0.039±0.053 0.065±0.071 0.015±0.028

Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada

taraf uji 5% (uji lanjut Duncan).

Berdasarkan uji ANOVA dan uji lanjut Duncan, rataan parasitemia tertinggi

adalah pada sapi dewasa, diikuti sapi anakan dan pedet. Hal ini sesuai dengan

Nasution (2007) yang menyatakan bahwa hewan yang terinfeksi parasit darah

banyak ditemukan pada ternak yang berumur 1 sampai 2 tahun. Goff et al. (2001)

melaporkan bahwa sapi berumur kurang dari 9 bulan lebih jarang ditemukan kasus

infeksi parasit darah daripada sapi dewasa. Tingginya tingkat parasitemia pada

sapi dewasa diduga karena makin menurunnya antibodi maternal dan sapi akan

memperoleh kekebalan secara alami jika terinfeksi parasit darah. Sapi dewasa

yang terinfeksi Babesia sp. akan tetap terinfeksi seumur hidup, sedangkan yang

terinfeksi Theileria sp. akan memiliki kekebalan yang tinggi tetapi umumnya

tidak bersifat premunisi (Nasution 2007). Tingkat parasitemia Theileria sp. pada

sapi anakan dan pedet cenderung lebih tinggi daripada Babesia sp dan Anaplasma

sp. Sapi anakan dan pedet yang memperoleh kolostrum induk yang terinfeksi

Babesia akan lebih resisten terhadap babesiosis karena di dalam kolostrum induk

sudah terbentuk antibodi (CFED 2008), sedangkan induk yang terinfeksi

Theileria, di dalam kolostrum induk tidak terbentuk antibodi terhadap theileriosis,

sehingga anak sapi tidak resisten terhadap theileriosis (Nasution 2007).

Tingkat parasitemia merupakan indikator untuk mengukur tingkat infeksi

parasit dalam darah. Menurut Ndungu et al. (2005), tingkat parasitemia dibagi

menjadi tingkat berat (very severe reaction) dengan nilai parasitemia lebih dari

5%, tingkat sedang (severe reaction) dengan nilai parasitemia antara 1% sampai

5%, dan tingkat ringan (mild reaction) dengan nilai parasitemia kurang dari 1%.

Rataan parasitemia pada sampel berdasarkan jenis kelamin dan umur mempunyai

nilai parasitemia yang sama yaitu kurang dari 1% yang tergolong tingkat ringan

(mild reaction).

Faktor Risiko Kejadian Penyakit Parasit Darah

Tingkat prevalensi theileriosis dan anaplasmosis pada sapi yang dilepas

siang hari dan dikandang pada malam hari cenderung lebih tinggi dibandingkan

dengan sapi yang dikandangkan terus-menerus atau digembalakan terus-menerus,

sedangkan pada kasus babesiosis tertinggi pada sapi yang digembalakan terus-

menerus. Sapi yang digembalakan beberapa kali dalam seminggu memiliki

prevalensi theileriosis dan anaplasmosis lebih tinggi daripada digembalakan setiap

hari atau beberapa kali dalam sebulan, sedangkan pada kasus bebesiosis tertinggi

pada sapi yang digembalakan setiap hari. Sapi yang digembalakan di kebun

Page 22: PREVALENSI, DERAJAT INFEKSI, DAN FAKTOR RISIKO … · Hery Nur Ichsan NIM: B04090061. Disetujui. oleh. Prof . Dr drh . Umi Cahyaningsih, MS Pembimbing . Diketahui. oleh. drh Agus

9

memiliki prevalensi parasit darah cenderung lebih tinggi daripada digembalakan

di sawah. Pengendalian lalat menggunakan insektisida memiliki prevalensi

theileriosis dan anaplasmosis lebih tinggi daripada diusir secara mekanis, tetapi

pada kasus babesiosis lebih tinggi dengan cara diusir secara mekanis daripada

menggunakan insektisida. Pengendalian caplak dengan mengambilnya secara

manual lebih tinggi prevalensi theileriosis dan anaplasmosis dibandingkan

menggunakan insektisida. Tingkat prevalensi parasit darah lebih tinggi pada sapi

yang makan rumput yang berasal dari kebun daripada rumput yang berasal dari

sawah. Hubungan faktor manajemen peternakan dengan tingkat kejadian infeksi

parasit darah dapat dilihat pada Tabel 4. Secara umum, tidak terdapat perbedaan

yang nyata (p>0.05) antara prevalensi parasit darah dengan sistem pemeliharaan

ternak (cara beternak, frekuensi penggembalaan, tempat penggembalaan,

pengendalian caplak dan lalat, dan sumber rumput).

Sistem pemeliharaan ternak diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu intensif

(dikandangkan terus-menerus), ekstensif (digembalakan terus-menerus), dan semi

intensif (kombinasi keduanya). Tingginya tingkat prevalensi parasit darah pada

ternak yang digembalakan pada siang hari dan dikandangkan pada malam hari

diduga karena caplak pada rumput akan menempel pada tubuh sapi yang

digembalakan. Sapi yang terinfeksi akan menularkan ke sapi yang lain melalui

gigitan caplak. Paddock dan Childs (2003) menyatakan bahwa caplak yang

menghisap darah hewan terinfeksi dapat menularkan agen penyakit ke hewan

yang tak terinfeksi penyakit. Caplak akan menularkan parasit darah dari sapi

terinfeksi ke sapi lainnya pada saat sapi dikandangkan, yaitu pada pagi hari

sebelum digembalakan dan malam hari setelah digembalakan. Caplak paling aktif

di pagi hari (pukul 08.00) dan sore sampai malam hari (pukul 15.00 sampai 24.00),

tetapi dapat hidup sepanjang hari dengan baik (Buczek and Magdon 1999). Sapi

yang digembalakan beberapa kali dalam seminggu memiliki prevalensi yang lebih

tinggi daripada sapi yang digembalakan setiap hari atau beberapa kali dalam

sebulan. Hal ini diduga karena pada saat digembalakan, caplak menempel pada

tubuh sapi. Beberapa hari kemudian parasit darah akan menuju ke fase infektif

yang dapat menginfeksi sapi melalui gigitan caplak. Sporozoit infektif dari parasit

darah (Babesia, Theileria, dan Anaplasma) akan timbul dalam darah inang 3

sampai 5 hari setelah inang digigit caplak (Bishop et al. 2004).

Sapi yang digembalakan di kebun lebih banyak terinfeksi daripada di sawah.

Kondisi di kebun yang cukup teduh dan banyak dedaunan merupakan kondisi

yang cocok untuk caplak tumbuh dan berkembang biak. Hal ini didukung oleh

Rodostits et al. (2007) yang menyatakan bahwa Theileria ditularkan oleh caplak

Haemaphysalis yang sering ditemukan di kebun.

Page 23: PREVALENSI, DERAJAT INFEKSI, DAN FAKTOR RISIKO … · Hery Nur Ichsan NIM: B04090061. Disetujui. oleh. Prof . Dr drh . Umi Cahyaningsih, MS Pembimbing . Diketahui. oleh. drh Agus
Page 24: PREVALENSI, DERAJAT INFEKSI, DAN FAKTOR RISIKO … · Hery Nur Ichsan NIM: B04090061. Disetujui. oleh. Prof . Dr drh . Umi Cahyaningsih, MS Pembimbing . Diketahui. oleh. drh Agus

Tabel 4 Hubungan faktor manajemen peternakan sapi dengan kejadian penyakit parasit darah

Faktor N Babesia sp. Theileria sp. Anaplasma sp.

n % P OR n % P OR n % P OR

Cara beternak

Dikandangkan terus-menerus 9 4 44.4 Ref 2 22.2 Ref 3 33.3 Ref

Siang dilepas, malam dikandang 41 17 41.5 0.870 0.89 23 56.1 0.066 4.47 18 43.0 0.561 1.57

Digembalakan terus-menerus 10 5 50.0 0.809 1.25 2 20.0 0.906 0.88 2 20.0 0.510 0.50

Frekuensi penggembalaan

Setiap hari 28 14 50.0 0.680 1.50 11 39.3 0.976 0.97 6 21.4 0.943 1.09

Beberapa kali dalam seminggu 14 5 35.7 0.865 0.83 8 57.1 0.510 2.00 9 64.3 0.089 7.20

Beberapa kali dalam sebulan 5 2 40.0 Ref 2 40.0 Ref 1 20.0 Ref

Tempat penggembalaan

Kebun 16 9 56.3 0.201 2.18 8 50.0 0.925 1.06 8 50.0 0.286 1.92

Sawah 35 13 37.1 Ref 17 48.6 Ref 12 34.3 Ref

Cara pengendalian lalat

Insektisida 50 21 42.0 Ref 25 50.0 Ref 20 40.0 Ref

Diusir secara mekanis 10 5 50.0 0.641 1.38 2 20.0 0.082 0.25 3 30.0 0.553 0.64

Cara pengendalian caplak

Insektisida 10 5 50.0 Ref

0.60

5 50.0 Ref

1.67

3 30.0 Ref

3.89 Diambil secara manual 8 3 37.5 0.596 5 62.5 0.596 5 62.5 0.168

Sumber rumput untuk ternak

Galengan sawah 9 3 33.3 Ref 3 33.3 Ref 2 22.2 Ref

Kebun 51 23 45.1 0.511 1.64 24 47.1 0.445 1.78 21 41.2 0.281 2.45 N: jumlah peternak; n: jumlah positif terinfeksi; %: persentase prevalensi parasit; P: nilai Pearson chi square; OR: odds ratio; Ref: referensi (pembanding)=1.00.

Page 25: PREVALENSI, DERAJAT INFEKSI, DAN FAKTOR RISIKO … · Hery Nur Ichsan NIM: B04090061. Disetujui. oleh. Prof . Dr drh . Umi Cahyaningsih, MS Pembimbing . Diketahui. oleh. drh Agus
Page 26: PREVALENSI, DERAJAT INFEKSI, DAN FAKTOR RISIKO … · Hery Nur Ichsan NIM: B04090061. Disetujui. oleh. Prof . Dr drh . Umi Cahyaningsih, MS Pembimbing . Diketahui. oleh. drh Agus

11

Prevalensi parasit darah pada ternak yang menggunakan insektisida untuk

pengendalian lalat cenderung lebih tinggi daripada diusir secara mekanis. Hal ini

diduga karena lalat sudah resisten terhadap insektisida. Lalat menjadi resisten

karena kurangnya pengetahuan peternak tradisional mengenai cara menggunakan

insektisida yang tepat. Penggunaan insektisida yang tidak sesuai dengan petunjuk

pemakaian akan menyebabkan serangga resisten terhadap insektisida (Cheesman

2000). Pengendalian caplak dengan cara diambil secara manual cenderung kurang

efektif daripada menggunakan insektisida. Hal ini tidak sesuai dengan Manurung

(2002) yang melaporkan bahwa mengatasi caplak dengan diambil secara manual

lebih baik daripada menggunakan insektisida karena caplak yang ditangkap

langsung dibunuh oleh peternak dengan cara dibakar atau dipencet. Pengendalian

caplak dengan cara diambil secara manual kurang efektif karena dibutuhkan

ketelitian dari peternak dan dibutuhkan waktu yang cukup lama untuk mengambil

caplak pada tubuh sapi. Rumput yang berasal dari kebun lebih berisiko terinfeksi

parasit darah daripada rumput yang ada di sawah. Caplak akan tumbuh dan

berkembang biak dengan baik pada kondisi yang teduh seperti di kebun dan hutan.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Tingkat prevalensi infeksi parasit darah di peternakan sapi potong di

Kecamatan Cikalong, Tasikmalaya dari yang tertinggi adalah theileriosis, diikuti

babesiosis, dan terendah adalah anaplasmosis. Faktor umur dan jenis kelamin

berpengaruh terhadap prevalensi babesiosis dan theileriosis, tetapi tidak

berpengaruh terhadap anaplasmosis. Parasitemia tertinggi pada sapi berdasarkan

umur terdapat pada kelompok sapi dewasa dan berdasarkan jenis kelamin terdapat

pada kelompok sapi jantan. Faktor manajemen peternakan, pakan, dan

pengendalian vektor tidak berpengaruh signifikan terhadap prevalensi babesiosis,

theileriosis, dan anaplasmosis. Rata-rata parasitemia pada berbagai kelompok

umur dan jenis kelamin tergolong parasitemia ringan.

Saran

Penanganan kasus infeksi parasit darah di Kecamatan Cikalong Kabupaten

Tasikmalaya dapat dilanjutkan dengan mengadakan surveillance di kawasan ini

dan sekitarnya untuk mengetahui kondisi infeksi penyakit parasit darah di lapang.

Hal tersebut digunakan untuk menentukan cara pencegahan dan pengendalian

penyakit parasit darah di wilayah tersebut.

Page 27: PREVALENSI, DERAJAT INFEKSI, DAN FAKTOR RISIKO … · Hery Nur Ichsan NIM: B04090061. Disetujui. oleh. Prof . Dr drh . Umi Cahyaningsih, MS Pembimbing . Diketahui. oleh. drh Agus

12

DAFTAR PUSTAKA

Alamzan C, Medrano C, Ortiz M, Fuente JDL. 2008. Genetic diversity of

Anaplasma marginale strains from outbreak of bovine anaplasmosis in an

endemic area. Vet Parasitol. 158: 103-109.

Arunkumar S and Nagarajan K. 2013. A study on prevalence status of Anaplasma

marginale infection among cattle population of Kancheepuram and in and

around Chennai district of Tamil Nadu. J Int of Food, Agricult, and Vet Sci.

3(1): 155-157.

Astyawati T. 2005. Bahan Kuliah Protozoologi. Bogor (ID): IPB Pr.

Bilgic HB, Karagene T, Simuunza M, Shiels B, Tait A, Eren H, and Weir W. 2013.

Development of a multiplex PCR assay for stimultaneous detection of

Theileria annulata, Babesia bovis, and Anaplasma marginale in cattle. Exp

Parasitol. 133(2): 222-229.

Billiouw M. 2005. The epidemiology of bovine theileriosis in the Eastern

Province of Zambia. Laboratorium voor Parasitologie, Faculteit

Diergeneeskunde, Universiteit Gent.

Bishop R, Musoke A, Morzaria S, Gardner M, Nene V. 2004. Theileria:

intracellular protozoan parasites of wild and domestic ruminants transmitted by

ixodid ticks. Parasitol. 129: 271-283.

[BPS] Badan Pusat Statistik. 2009. Statistical Pocket Book of Indonesia. Jakarta

(ID): Badan Pusat Statistik.

[BPS] Badan Pusat Statistik Tasikmalaya. 2011. Tasikmalaya dalam angka 2011.

Tasikmalaya (ID): Badan Pusat Statistik.

Brotowidjoyo MD. 1987. Parasit dan Parasitisme. Ed ke-1. Jakarta (ID): Media

Sarana Pr.

Buczek A, Magdon T. 1999. Host location by ticks (Acari: Ixodida). Wiadomosci

Parazytologiczne. 45: 3-12.

[CFED] Committee on Foreign and Emerging Diseases of the United States

Animal Health Association. 2008. Foreign Animal Diseases. Ed ke-7. Canada:

Boca Publication Group, Inc.

Cheesman SJ. 2000. The Topoisomerases of protozoan parasites. Parasitol Today.

16(7): 277.

Goff WL, Johnson WC, Parish SM, Barrington GM, Tuo W, Valdez RA. 2001.

The age-related immunity in cattle to Babesia bovis infection involved the

rapid induction of interleukin-12, interferon-g, and inducible nitric oxide

synthase mRNA expression in the spleen. Parasit Immunol. 23: 463-471.

Hambal M, Sayuti A, Dermawan A. 2013. Tingkat kerentanan Fasciola gigantica

pada sapi dan kerbau di Kecamatan Lhoong Kabupaten Aceh Besar. J Med Vet.

7(1): 49-53.

Himawan W. 2009. Identifikasi parasit darah pada kerbau belang (Tedong bonga)

dan kerbau rawa di Kabupaten Toraja Utara, Sulawesi Selatan. [skripsi]. Bogor

(ID): Institut Pertanian Bogor.

Jonsson NN. 2006. The productivity effects of cattle tick (Boophilus microplus)

infestation on cattle, with particular reference to Bos indicus cattle and their

crosses. Vet Parasitol. 137: 1–10.

Page 28: PREVALENSI, DERAJAT INFEKSI, DAN FAKTOR RISIKO … · Hery Nur Ichsan NIM: B04090061. Disetujui. oleh. Prof . Dr drh . Umi Cahyaningsih, MS Pembimbing . Diketahui. oleh. drh Agus

13

Jonsson NN, Bock RE, Jorgensen WK. 2008. Productivity and health effects of

anaplasmosis and babesiosis on Bos indicus cattle and their crosses and the

effect of differing intensity of tick control in Australia. Vet Parasitol. 3(22):1-9.

Khaidir. 1994. Penyakit parasit ayam buras. Poult Indones. 172:11.

Kocan KM, Fuente JDL, Guglielmone AA, Mele’ndez RD. 2003. Antigens and

alternatives for control of Anaplasma marginale infection in cattle. J Clin

Microbiol. Rev. 16: 698-712.

Kocan KM, Fuente JDL, Blouin EF, Coetzee JF, and Swing SA. 2010. Review–

The natural history of Anaplasma marginale. Vet Parasitol. 167: 95-107.

Levine ND. 1970. Protozoan Parasites of Domestic Animal and of Man.

Minneapolis (US): Burgess Publ co.

Levine ND. 1992. Protozoologi Veteriner. Ashadi G, penerjemah. Yogyakarta

(ID): UGM Pr. Terjemahan dari: Veterinary Protozoology.

Manurung J. 2002. Studi prevalensi infeksi caplak pada sapi di Kecamatan

Ciracap dan Surade Kabupaten Sukabumi Jawa Barat dan cara-cara peternak

menanggulanginya. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner.

Nasution AYA. 2007. Parasit Darah pada Ternak Sapi dan Kambing di Lima

Kecamatan, Kota Jambi [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Ndungu SG, Brown CGD, Dolan TT. 2005. In vivo comparison of suspectibility

between Bos indicus and Bos taurus cattle type to Theileria parva infection.

Onderstepoort J Vet Res. 72(1): 13-22.

Paddock CD, Childs JE. 2003. Ehrlichia chaffeensis: a prototypical emerging

pathogen. Clin Microbiol Rev. 16: 37-64.

Rodostits OM, Gay CC, Hinchcliff KW, Constable PD. 2007. Veterinary

Medicine: A textbook of the diseases of cattle, horses, sheep, pigs, and goats.

10 th Ed. USA (US): Saunders.

Rymaszewska A and Grenda S. 2008. Bacteria of the genus Anaplasma–

characteristics of Anaplasma and their vectors: a review. Med Vet. 53(11): 573-

584.

Sajid MS, Iqbal Z, Khan MN, Muhammad G, and Khan MK. 2009. Prevalence

and associated risk factors for bovine tick infestation in two district of lower

Punjab, Pakistan. J Pre Vet Med. 92: 386-391.

Selvin S. 2004. Statistica Analysis of Epidemiology Data. London (GB): Oxford

University Pr.

Soulby EJL. 1982. Helmints, Arthropods, and Protozoa of Domesticated Animals.

7th Ed. London (GB): Bailiere Tindal.

Tasikmalaya dalam angka. 2011. Kabupaten Tasikmalaya dalam Angka.

Tasikmalaya (ID): Badan Pusat Statistik.

Urquhart GM, Armour J, Duncan JL, Dunn AM, Jennings FW. 2003. Vet

Parasitol. Ed ke-2. Scotland (GB): Blackwell Pub.

Zintl A, Mulcahy G, Skerrett HE, Taylor SM, and Gray JS. 2003. Babesia

divegens, a bovine blood parasite of veterinary and zoonotic importance. Clin

Microbiol Rev. 16(4): 622-636.

Page 29: PREVALENSI, DERAJAT INFEKSI, DAN FAKTOR RISIKO … · Hery Nur Ichsan NIM: B04090061. Disetujui. oleh. Prof . Dr drh . Umi Cahyaningsih, MS Pembimbing . Diketahui. oleh. drh Agus

14

RIWAYAT HIDUP

Penulis bernama lengkap Hery Nur Ichsan. Penulis lahir di Brebes pada

tanggal 5 Juni 1990 dari pasangan Bapak Maryoto dan Ibu Watijah. Penulis

merupakan anak kedua dari empat bersaudara.

Jenjang pendidikan formal yang telah ditempuh oleh penulis, antara lain:

alumni TK an-nida Manggarai, Jakarta Selatan pada tahun 1996, alumni SD

Negeri 1 Kalijurang, Brebes pada tahun 2002, alumni SMP Negeri 02 Tonjong,

Brebes pada tahun 2005, dan alumni SMA Bustanul ‘Ulum NU Bumiayu, Brebes

pada tahun 2009.

Pada tahun 2009, penulis melanjutkan jenjang pendidikan dan diterima di

Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan

Seleksi Masuk Institut Pertanian Bogor (USMI). Selama perkuliahan penulis aktif

dalam kegiatan organisasi intrakampus, yaitu Badan Eksekutif Mahasiswa

Fakultas Kedokteran Hewan IPB (BEM FKH IPB) periode 2011/2012, Ikatan

Mahasiswa Kedokteran Hewan Indonesia cabang IPB (IMAKAHI IPB) periode

2010/2011, dan Himpunan Minat Profesi Satwa Liar IPB periode 2010/2012.

Selain itu, penulis pernah menjadi asisten praktikum mata kuliah Patologi

Sistemik 1 dan Pengelolaan Kesehatan Hewan dan Lingkungan pada semester

ganjil tahun ajaran 2012/2013.