Upload
jazy-abnormal
View
24
Download
4
Embed Size (px)
DESCRIPTION
bedah
Citation preview
KEPANITERAAN KLINIK
STATUS ILMU BEDAH
FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDA
SMF ILMU PENYAKIT BEDAH
RUMAH SAKIT IMANUEL BANDAR LAMPUNG
Nama Mahasiswa : Yusta Wetri Handayani Tanda Tangan :
NIM : 11.2012.187
Dokter Pembimbing : dr. Budi Suanto Sp.B
IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. M Jenis kelamin : perempuan
kebangsaan : Indonesia Umur : 42 tahun
Status perkawinan : Menikah Agama : Hindu
Pekerjaan : Ibu rumah tangga Pendidikan : tamat SMU
Alamat : dusun jaya guna jembrana Tanggal masuk RS. Imanuel:
way karya lampung timur 18 september 2014 jam 13.00
I. Anamnesis
Diambil dari autoanamnesis Tanggal: 18 september 2014
1. Keluhan Utama: benjolan pada leher terasa sakit.
2. Riwayat Penyakit Sekarang:
OS datang dengan keluhan benjolan di leher sejak kurang lebih1,5 tahun yang lalu.
Benjolan tidak terasa sakit. 2 minggu kemudian Os merasa sakit pada benjolan dan
badan terasa panas dingin. Nyeri pada benjolan dirasakan hilang timbul. Os sempat
1
berobat ke RSIM dan dilakukan pemeriksaan kadar FT4, TSHs, dan T3 (total).
Didapati kadar TSHs rendah. Hasil pemeriksaan USG didapati tiroiditis bilateral.
Semakin lama benjolan dirasakan semakin membesar dan nyeri. Os merasa leher
sebelah kiri menjadi bengkak. Dilakukan pemeriksaan ulang USG leher dengan
hasil tiroiditis bilateral suspect tiroiditis hashimoto.
Satu bulan setelah pemeriksaan Os datang lagi ke RSIM untuk melakukan
pemeriksaan biopsi. Dengan hasil biopsi didapati tiroiditis hashimoto.
Tiga bulan setelah biopsi Os datang dengan siap untuk dilakukan tindakan
pengangkatan kelenjar tiroid.
3. Riwayat Penyakit Keluarga: tidak ada
4. Riwayat Masa Lampau
a. Penyakit Terdahulu: tidak ada.
b. Trauma Terdahulu: tidak ada
c. Operasi: tidak pernah dilakukan operasi sebelumnya
d. Sistem Saraf: tidak ada keluhan
e. Sistem Kardiovaskular: tidak ada keluhan
f. Sistem urinalis: tidak ada keluhan
g. Sistem gastrointestinal: tidak ada keluhan
h. Sistem genitalis: tidak ada keluhan
i. Sistem muskuloskeletal: tidak ada keluhan
II. Status Prasens
1. Status Umum
Keadaan Umum: Tampak Sakit Sedang
Kesadaran: Compos Mentis
Tekanan Darah: 110/70 mmHg
Nadi: 76x/menit
Pernapasan: 16 x/menit
Suhu: 36,50C
2
Kulit: warna sawo matang, tidak ada jaringan parut, turgor baik.
Kepala: normocephali
Muka: simetris
Mata: CA -/-, SI -/-
Hidung: tidak tampak septum deviasi, tidak adanya teraba krepitasi
Mulut/gigi: bibir tidak tampak sianosis, tonsil tidak tampak kelainan
Leher: kelenjar tiroid teraba membesar. teraba massa soliter ukuran 6,5 x 5 cm cm
pada regio colli sinistra dan 4,5 x 3 cm pada region colli dextra, konsistensi padat,
permukaan rata, mobilitas (+), nyeri tekan (+).
Dada: bentuk dada normal, pergerakan dada kanan dan kiri saat inspirasi dan
ekspirasi simetris, tidak tampak pelebaran sela iga.
Jantung: Bunyi jantung I-II murni reguler, murmur (-), gallop (-)
Paru: Suara Napas vesikuler +/+, rhonki -/-, wheezing -/-
Perut: supel, datar, bising usus (+), nyeri tekan (-)
Hati: tidak teraba membesar
Limpa: tidak teraba membesar
Ginjal: CVA -/-, Ballotement -/-
Kemaluan: Tidak dilakukan pemeriksaan
Rektum/Anus: Tidak dilakukan pemeriksaan
Ekstremitas: akral hangat, edema -
Refleks:
Kanan Kiri
Refleks Tendon Positif Positif
Bisep Positif Positif
Trisep Positif Positif
Patela Positif Positif
Achiles Positif Positif
3
Refleks patologis Negatif Negatif
2. Status Lokalis
Pada Regio Colli
Inspeksi: terlihat massa di leher kiri depan, warna sama dengan warna kulit sekitar,
rubor (-)
Palpasi : teraba massa soliter ukuran 6,5 x 5 cm cm pada regio colli sinistra dan 4,5
x 3 cm pada region colli dextra, konsistensi padat, permukaan rata, mobilitas (+),
nyeri tekan (+).
Auskultasi: bruit (-)
III. Pemerikasaan Penunjang
1. Endokrinologi (Periksa tanggal 30 april 2013)
Fungsi Tiroid Hasil Nilai Rujukan
FT4 1,25 ng/dl 0,7-1,55
TSHs 0,13 uIU/ml 0,27-4,7
T3 (Total) 1,24 ng/ml 0,6-6,52
Endokrinologi (Periksa tanggal 15 september 2014)
Fungsi Tiroid Hasil Nilai Rujukan
FT4 1,05 ng/dl 0,7-1,55
TSHs 0,24 uIU/ml 0,27-4,7
2. Hematologi (Periksa Tanggal 14 juni 2014)
CBC Hasil Nilai Rujukan
Hemoglobin 15,4 g/dl M: 12-17; F: 11-15
Hematokrit 44,1% 37-54
4
Eritrosit 5,01 juta/ul 3,5-5,5
Trombosit 295 ribu/ul 150-300 ribu
Leukosit 6400 /ul 5.000-10.000
Segment 48% 50-70
Limposit 42% 25-40
Monosit 7% 2-8
Eosin 3% 2-4
MCHC 34,9 g/dl 31-36
MCH 30,7 pg 27-32
MCV 88.0 fl 77-94
MPV 9,6 fl 6-12
Gambaran Eritrosit Normal
Gambaran trombosit Cukup
Hematologi (Periksa Tanggal 18 september 2014)
CBC Hasil Nilai Rujukan
Hemoglobin 15,0 g/dl M: 12-17; F: 11-15
Hematokrit 47% 37-54
Eritrosit 4,84 juta/ul 3,5-5,5
Trombosit 228.000/ul 150-300 ribu
Leukosit 4870 /ul 5.000-10.000
Segment 45% 50-70
Limposit 44% 25-40
Monosit 7% 2-8
Eosin 4% 2-4
MCHC 32 g/dl 31-36
MCH 31 pg 27-32
MCV 96 fl 77-94
5
MPV 10 fl 6-12
Gambaran Eritrosit Normal
Gambaran trombosit Cukup
Hemostatis
PT 10,3 detik 9,7-13,1
APTT 29,1 detik 25,5-42,1
Imunoserologi
Hepatitis
HbsAg Nonreaktif Nonreaktif
Kimia darah
Diabetes
Glukosa sewaktu 91 mg/dl 70-200
Fungsi Hati
SGOT 16 u/L F: <32, M: <38
SGPT 18 u/L F: 9-43, M: 9-36
Ginjal –Hipertensi
Urea 19,3mg/dl 10-50
BUN 9,01 mg/dl 6-20
Creatinin 0,66 mg/dl F: 1,1; M <1,3
3. USG Leher dan Tiroid (Periksa tanggal 30 april 2013)
Hasil USG:
Kedua tiroid berada pada posisi suprasterna dan tampak membesar
Trakea berada di tengah
Tiroid Kanan:
6
Bentuk dan besar normal dengan ukuran 60 x 40 x 18 mm dengan batas tepi yang
tampak jelas, samat tampakk berlobus-lobus, echostruktur meningkat hyperechoic,
vaskularisasi meningkat. Vena jugulare tampak collaps total saat dilakukan
kompresi.
Tiroid Kiri:
Sedikit membesar dengan ukuran 63 x 36 x 25 mm dengan batas tepi yang tampak
jelas, samar tampak berlobus-lobus, echostruktur meningkat hyperechoic,
vaskularisasi meningkat. Vena jugulare tampak collaps total saat dilakukan
kompresi.
Kesan :
Tiroiditis bilateral
USG Leher dan Tiroid (Periksa tanggal 23 mei 2013)
Hasil USG:
Kedua tiroid berada pada posisi suprasterna dan tampak membesar
Trakea berada di tengah
Tiroid Kanan dan kiri
Berukuran besar, dengan batas tepi yang jelas, tampak berlobus-lobus hypoechoic<
echostruktur meningkat, vaskularisasi meningkat.
Kesan :
Tiroiditis bilateral suspek hashimoto tiroiditis dengan DD/ malignitas (?)
4. Rongent thorax (periksa pada tanggal 14 juni 2014)
Hasil pembacaan pemeriksaan rongent thorax
Cor: tidak tampak membesar
7
Sinuses dan diafragma: normal
Pulmo: tidak tampak gambaran infiltrate / nodul / konsolidasi
Kesan:
Cor dan pulmo tampak dalam batas normal
Rongent thorax (periksa pada tanggal 10 September 2014)
Hasil pembacaan pemeriksaan rongent thorax
Cor: tidak membesar
Sinuses dan diafragma: normal
Pulmo: tampak perselubungan opak di paratracheal kiri yang agak mendesak
trachea ke sisi kanan. Tidak tampak gambaran infiltrate / nodul
Kesan :
Cor dan pulmo dalam batas normal
Gambaran struma sinistra intrathoracal
5. Pemeriksaan sitologi (periksa pada tanggal 16 juni 2014)
Hasil pemeriksaan sitologi:
Asal organ regio colli
Makroskopis: dilakukan puncture colli anterior, diameter 3 cm, mobile, nyeri bila
menelan.
Mikroskopis: sediaan sitologi terdiri dari kelompokan sel-sel bentuk relative
monomorf, dengan latar belakang limfosit dan leukosit pmn.
Kesimpulan: thyroid: tidak di dapat sel ganas
Pendapat: thyroiditis hashimoto
IV. Resume
8
Seorang wanita 42 tahun dengan keluhan utama terdapat benjolan pada leher kiri yang
diketahui sekitar kurang lebih 1,5 tahun yang lalu. Benjolan semakin membesar dan terasa
sakit. Pada pemeriksaan fisik: inspeksi terlihat massa di leher kiri depan, warna sama
dengan warna kulit sekitar; saat dilakukan palpasi teraba massa soliter ukuran 6,5 x 5 cm
cm pada regio colli sinistra dan 4,5 x 3 cm pada region colli dextra, konsistensi padat,
permukaan rata, mobilitas (+), nyeri tekan (+) . Pada pemeriksaan USG tiroid didapatkan
kesan hasil tiroiditis bilateral suspek tiroiditis hashimoto. Pada hasil sitologi didapatkan
kesimpulan tiroiditis hasimoto.
VI. Diagnosis Banding
Struma nodusa non toksik
VII. Pemeriksaan Anjuran
CT scan
VIII. Pembedahan
Subtotal Lobectomy sinistra
IX. Terapi
Inj. Ceftriaxone 3 x 1gr
Inj. Ronex 3x1 amp
Inj. Ulceranin 2x1 amp
Inj. Narfoz 4 mg prn
IX. Prognosis
a. Ad vitam : dubia ad bonam
b. Ad functionam: dubia ad bonam
c. Ad sanationam: dubia ad bonam
9
Tinjauan Pustaka
Anatomi dan Fisiologi
Kelenjar tirod terletak pada leher, bagian anterior daripada trakea, dan terdiri dari 2 lobus
konikal yang dihubungkan oleh suatu jaringan yang disebut isthmus tiroid. Kadang-kadang
ditemukan juga lobus ke 3, terdapat pada isthmus ke atas atau di bagian depan larings yang
disebut lobus piramidalis. Lobus-lobus ini dibagi atas septa-septa jaringan ikat fibrous
menjadi lobulus-lobulus, yang masing-masing terdiri dari 30-40 folikel. Kelenjar tiroid ini
mengandung banyak pembuluh darah dan mempunyai kecepatan arus darah yang tinggi.
Kelenjar tiroid berperanan mempertahankan derajat metabolisme dalam jaringan pada titik
optimal. Hormon tiroid merangsang penggunaan O2 pada kebanyakan sel tubuh, membantu
mengatur metabolisme lemak dan hidrat arang, dan sangat diperlukan untuk pertumbuhan
serta maturasi normal. Apabila tidak terdapat kelenjar tiroid, orang tidak akan tahan dingin,
akan timbul kelambanan mental dan fisik, dan pada anak-anak terjadi retardasi mental dan
dwarfisme. Sebaliknya, sekresi tiroid yang berlebihan meninbulkan penyusutan tubuh,
gugup, takikardi, tremor, dan terjadi produksi panas yang berlebihan.
Kelenjar tiroid menghasilkan hormon tiroid utama yaitu tiroksin (T4) yang kemudian
berubah menjadi bentuk aktifnya yaitu triyodotironin (T3). Iodium nonorganik yang diserap
dari saluran cerna merupakan bahan baku hormon tiroid. Zat ini dipekatkan kadarnya
menjadi 30-40 kali sehingga mempunyai afinitas yang sangat tinggi di dalam jaringan
tiroid. T3 dan T4 yang dihasilkan ini kemudian akan disimpan dalam bentuk koloid di
dalam tiroid. Sebagian besar T4 kemudian akan dilepaskan ke sirkulasi sedangkan sisanya
tetap di dalam kelenjar yang kemudian mengalami daur ulang. Di sirkulasi, hormon tiroid
akan terikat oleh protein yaitu globulin pengikat tiroid (thyroid binding globulin, TBG) atau
prealbumin pengikat albumin (thyroxine binding prealbumine, TBPA). Hormon stimulator
tiroid (thyroid stimulating hormone, TSH) memegang peranan terpenting untuk mengatur
10
sekresi dari kelenjar tiroid. TSH dihasilkan oleh lobus anterior kelenjar hipofisis. Proses
yang dikenal sebagai negative feedback sangat penting dalam proses pengeluaran hormon
tiroid ke sirkulasi. Dengan demikian, sekresi tiroid dapat mengadakan penyesuaian
terhadap perubahan-perubahan di dalam maupun di luar tubuh. Juga dijumpai adanya sel
parafolikuler yang menghasilkan kalsitonin yang berfungsi untuk mengatur metabolisme
kalsium, yaitu menurunkan kadar kalsium serum terhadap tulang.
Definisi
Tiroiditis Hashimoto adalah tiroiditis yang disebabkan oleh proses autoimun dan
berdasarkan waktu kejadian termasuk tiroiditis kronik. Jika jaringan tiroid yang mengalami
tiroiditis diperiksa dibawah mikroskop maka akan tampak gambaran peradangan berupa
infiltrasi sel-sel limfosit.
Tiroiditis autoimun yang terserang terutama wanita berusia antara 30 – 50 tahun dan
dicirikan dengan adanya kelenjar tiroid yang keras, membesar difus, tak nyeri. Pasien
biasanya eutiroid atau hipotiroid dan jarang hipertiroid. Hipotiroid terjadi jika hormon
tiroid yang diproduksi tidak mencukupi kebutuhan tubuh. Kelenjar tiroid juga bisa
membesar membentuk goiter.
Etiologi
Penyakit tiroid autoimun (PTAI) adalah penyakit yang kompleks, dengan faktor
penyebab multifaktorial berupa interaksi antara gen yang suseptibel dengan faktor pemicu
lingkungan, yang mengawali respon autoimun terhadap antigen tiroid.
Walaupun etiologi pasti respon imun tersebut masih belum diketahui, berdasarkan data
epidemiologik diketahui bahwa faktor genetik sangat berperan dalam patogenesis PTAI.
Selanjutnya diketahui pula pada PTAI terjadi kerusakan seluler dan perubahan fungsi tiroid
melalui mekanisme imun humoral dan seluler yang bekerja secara bersamaan. Kerusakan
11
seluler terjadi karena limfosit T tersensitisasi (sensitized T-lymphocyte) dan/atau antibodi
antitiroid berikatan dengan membran sel tiroid, mengakibatkan lisis sel dan reaksi
inflamasi. Sedangkan gangguan fungsi terjadi karena interaksi antara antibodi antitiroid
yang bersifat stimulator atau blocking dengan reseptor di membran sel tiroid yang bertindak
sebagai autoantigen.
Patofisiologi
Berikut dijelaskan mengenai patofisiologi tiroiditis Hashimoto ini dilihat dari faktor genetik
dan lingkungan, yang kemudian melibatkan proses autoantigen dan autoantibodi tiroid,
ditambah adanya peran sitokin serta mekanisme apoptosis yang diperkirakan terjadi pada
proses penyakit ini.
a. Faktor genetik
Gen yg terlibat dalam patogenesis PTAI adalah gen yang mengatur respon imun
seperti major histocompatibility complex (MHC), reseptor sel T, serta antibodi, dan gen
yang mengkode (encoding) autoantigen sasaran seperti tiroglobulin, TPO (thyroid
peroxidase), transporter iodium, TSHR (TSH Receptor). Dari sekian banyak gen
kandidat, saat ini baru enam gen yang dapat diidentifikasi, yaitu CTLA-4 (Cytotoxic T
Lymphocyte Antigen-4), CD40, HLA-DR, protein tyrosine phosphatase-22, tiroglobulin,
dan TSHR.
Cytotoxic T lymphocyte antigen-4 (CTLA-4) merupakan molekul kostimulator yang
terlibat dalam interaksi sel T dengan Antigen Presenting Cells (APC). APC akan
mengaktivasi sel T dengan mempresentasikan peptide antigen yang terikat protein HLA
kelas II pada permukaan reseptor sel T. Sinyal kostimulator berasal dari beberapa protein
yang diekspresikan pada PC (seperti B7-1, B7-2, B7h, CD40), dan berinteraksi dengan
reseptor (CD28, CTLA-4, dan CD40L) pada permukaan limfosit T CD4+ pada waktu
presentasi antigen.
12
CTLA-4 dan CD40 merupakan molekul kostimulator non-spesifik, yang dapat
meningkatkan suseptibilitas terhadap PTAI dan proses autoimun lain. CTLA-4
berasosiasi dan terkait dengan berbagai bentuk PTAI (tiroiditis Hashimoto, penyakit
Graves, dan pembentukan antibodi antitiroid), dan dengan penyakit autoimun lain seperti
diabetes tipe 1, penyakit Addison, dan myasthenia gravis.
Asosiasi antara tiroiditis Hashimoto dengan antigen HLA tidak begitu jelas. Hal ini
menyangkut masalah definisi penyakit tiroditis Hashimoto yang sering kontroversial.
Spektrum klinik tiroiditis Hashimoto bervariasi mulai dari hanya ditemukan antibodi
antitiroid dengan infiltrasi limfositik fokal tanpa gangguan fungsi (asymptomatic
autoimmune thyroiditis), sampai pembesaran kelenjar tiroid (struma) atau tiroiditis
atrofik dengan kegagalan fungsi tiroid. Beberapa peneliti melaporkan asosiasi antara
tiroidits Hashimoto dengan HLA-DR3 dan HLA-DQw7 pada ras Kaukasus. Pada non-
Kaukasus dilaporkan asosiasi antara tiroiditis Hashimoto dengan HLA-DRw53 pada
bangsa Jepang dan dengan HLA-DR9 pada bangsa Cina.
b. Faktor Lingkungan
Beberapa faktor lingkungan telah dapat diidentifikasi berperan sebagai penyebab
penyakit tiroid autoimun, diantaranya berat badan lahir rendah, kelebihan dan
kekurangan iodium, defisiensi selenium, paritas, penggunaan obat kontrasepsi oral, jarak
waktu reproduksi, mikrochimerisme fetal, stres, variasi musim, alergi, rokok, kerusakan
kelenjar tiroid akibat radiasi, serta infeksi virus dan bakteri.
Di samping itu penggunaan obat-obat seperti lithium, interferon-α, amiodarone dan
Campath-1H, juga meningkatkan risiko autoimunitas tiroid. Pada Tabel disajikan
beberapa faktor yang terlibat dalam etiologi PTAI, berikut ringkasan mekanisme dan
fenotipenya.
Tabel 1 Faktor lingkungan yang terlibat dalam patologi tiroiditis autoimun
13
Faktor Lingkungan Mekanisme Fenotipe
Berat lahir rendah Maturasi thymik tidak
sempurna
Antibodi TPO
Ekses iodium Tidak terjadi escape effect
Wolff-Chaikoff; Jod-
Basedow
HT
GD
Defisiensi selenium Tidak diketahui; viral? HT
Jarak proses
reproduktif yang
panjang
Efek estradiol HT
Kontraseptif oral Protektif Antibdi TPO
Mikrokhimerisme fetal Sel laki-laki di sel tiroid
menimbulkan efek antitiroid
HT dan GD
Stress Upregulasi sumbu HPA GD
Alergi Tidak diketahui; kadar IgE
tinggi
GD
Rokok Hipoksia?; Kadar IgE tinggi GD; terutama GO
Infeksi Yersinia
enterocolitica
Mimikri molekuler GD
Keterangan : HT : Hashimoto thyroiditis
GD : Graves’ disease
GO : Graves’ ophthalmopathy
Berat badan lahir bayi rendah merupakan faktor risiko beberapa penyakit tertentu
seperti penyakit jantung kronik. Kekurangan makanan selama kehamilan dapat
menyebabkan intoleransi glukosa pada kehidupan dewasa, serta rendahnya berat thymus
dan limpa mengakibatkan menurunnya sel T supresor. Mungkin ada faktor intrauterin
14
tertentu yang menghambat pertumbuhan janin, yang merupakan faktor risiko lingkungan
pertama yang terpapar pada janin untuk terjadinya PTAI di kemudian hari.
Asupan iodium mempengaruhi prevalensi hipotiroid dan hipertiroid. Hipotiroid
lebih sering ditemukan di daerah cukup iodium dibandingkan dengan daerah kurang
iodium, dan prevalensi tirotoksikosis lebih tinggi di daerah kurang iodium. Hipertiroidi
Graves lebih sering ditemukan di daerah cukup iodium, dan antibodi anti-TPO sebagai
petanda ancaman kegagalan tiroid lebih sering ditemukan di daerah kurang iodium.
Asupan iodium berlebihan dapat menyebabkan disfungsi tiroid pada penderita yang
mempunyai latar belakang penyakit tiroiditis autoimun. Kelebihan iodium dapat
menyebabkan hipotiroid dan/ atau goiter akibat gagal lepas dari efek Wolf-Chaikoff.
Tetapi bila sebelumnya telah ada nodul autonom fungsional atau bentuk subklinik
penyakit Graves, asupan iodium berlebihan akan menginduksi terjadinya hipertiroid
(efek Jod-Basedow). Pada kedua fenomena tersebut diduga terjadi destruksi kelenjar
tiroid dan presentasi antigen tiroid pada sistem imun, yang pada gilirannya akan
menimbulkan reaksi autoimun. Oleh karena itu iodium sebenarnya merupakan pula
faktor risiko terjadinya PTAI.
Selenium merupakan trace element yang esensial untuk sintesis selenocysteine,
yang juga disebut sebagai 21st amino acid. Selenium mempengaruhi sistem imun.
Defisiensi selenium akan menyebabkan individu lebih rentan terhadap infeksi virus
seperti virus Coxsackie, mungkin karena limfosit T memerlukan selenium.
Di samping itu, selenium merupakan suatu antioksidan dan mengurangi
pembentukan radikal bebas. Selenium berperan penting dalam sintesis hormon tiroid,
karena dua enzim yaitu selenoprotein deiodinase dan gluthatione peroxidase, berperan
dalam produksi hormon tiroid. Kekurangan selenium dapat meningkatkan angka
keguguran dan kematian akibat kanker (cancer mortality rate). Kadar selenium rendah
di dalam darah akan meningkatkan volume tiroid dan hipoekogenisitas, suatu petanda
adanya infiltrasi limfosit. Dari suatu penelitian dilaporkan pemberian sodium selenite
200 ug (peneliti lain memberikan 200 ug selenium methionine) pada penderita hipotiroid
15
subklinik akan menurunkan titer antibodi anti-TPO serta juga meningkatkan kualitas
hidup, tanpa mempengaruhi status hormon tiroid.
Stress mempengaruhi sistem imun melalui jaringan neuroendokrin. Saat stress
sumbu hypothalamic-pituitaryadrenal (HPA) akan diaktivasi, menimbulkan efek
imunosupresif. Stress dan kortikosteroid mempunyai pengaruh berbeda terhadap sel-sel
Th1 dan Th2, mengarahkan sistem imun menjadi respons Th2, yang akan menekan
imunitas seluler dan memfasilitasi keberadaan virus tertentu (seperti Coxsackie B),
sedangkan imunitas humoral meningkat. Inilah yang dapat menjelaskan mengapa
penyakit autoimun tertentu seringkali didahului oleh stress, dan salah satu contohnya
adalah penyakit Graves. Belum diketahui apakah penyakit Hashimoto juga terkait
dengan faktor stress.
Rokok, selain merupakan faktor risiko penyakit jantung dan kanker paru, juga
mempengaruhi sistem imun. Merokok akan menginduksi aktivasi poliklonal sel B dan T,
meningkatkan produksi Interleukin-2 (IL-2), dan juga menstimulasi sumbu HPA.
Merokok akan meningkatkan risiko kekambuhan penyakit Graves serta eksaserbasi
oftalmopatia setelah pengobatan dengan iodium radioaktif.
c. Autoantigen dan autoantibodi tiroid
Penyakit tiroid autoimun (PTAI) menyebabkan kerusakan seluler dan perubahan
fungsi tiroid melalui mekanisme imun humoral dan seluler.Kerusakan seluler terjadi saat
limfosit T yang tersensitisasi (sensitized) dan/atau autoantibodi berikatan dengan
membran sel, menyebabkan lisis sel dan reaksi inflamasi. Perubahan fungsi tiroid terjadi
karena kerja autoantibodi yang bersifat stimulator atau blocking pada reseptor di
membran sel. Ada tiga autoantigen spesifik yang dominan pada PTAI yaitu thyroid
peroxidase (TPO), tiroglobulin, dan thyrotropin receptor (TSHR). TPO, yang dulu
disebut sebagai ”thyroid microsomal antigen”, merupakan enzim utama yang berperan
dalam hormogenesis tiroid.
16
Masih belum jelas apakah autoantibodi TPO atau TPO-specific T cells merupakan
penyebab utama inflamasi tiroid. Antibodi anti-TPO tidak menghambat aktivitas
enzimatik TPO, oleh karena itu bila antibodi tersebut berperan pada inflamasi tiroid,
hanya sebatas sebagai petanda (marker) penyakit dan tidak berperan langsung dalam
terjadinya hipotiroid. Di lain pihak beberapa studi menduga antibodi anti-TPO mungkin
bersifat sitotoksik terhadap tiroid; antibodi anti-TPO terlibat dalam proses destruksi
jaringan yang menyertai hipotiroid pada tiroiditis Hashimoto dan tiroiditis atrofik.
Peranan antibodi anti-Tg dalam PTAI belum jelas; di daerah cukup iodium,
penentuan antibodi anti-Tg dilakukan sebagai pelengkap penentuan kadar Tg, karena
bila ada antibodi anti-Tg akan menganggu metode penentuan kadar Tg. Sedangkan di
daerah kurang iodium, penentuan kadar antibodi anti-Tg berguna untuk mendeteksi
PTAI pada penderita struma nodusa dan pemantauan hasil terapi iodida pada struma
endemik.
Dalam kepustakaan, terdapat beragam nomenklatur antibodi antitiroid, khususnya
terhadap TSHR (Thyroid Stimulating Hormon Receptor). Misalnya dikenal istilah LATS
= Long Acting Thyroid Stimulator; LATS-P = Long Acting Thyroid Stimulator-
Protector; TSI=Thyrotropin Stimulating Immunoglobulin; TBII = Thyrotropin Binding
Inhibitor Immunoglobulin; TSBAb = Thyroid Stimulating Blocking Antibody; dan
TRAb=Thyrotropin Receptor Antibody). Berdasarkan fungsinya antibodi TSHR
dikelompokkan menjadi:
1. Thyroid Stimulating Immunoglobulin (TSI), meningkatkan sintesis hormon tiroid;
2. TSI-blocking immunoglobulin, menghambat TSI (atau TSH) dalam merangsang
sintesis hormon tiroid;
3. Thyroid Growth Immunoglobulin (TGI), terutama merangsang pertumbuhan sel
folikel;
17
4. TGI blocking immunoglobulin, menghalangi TGI (atau TSH) merangsang
pertumbuhan seluler (misalnya pada miksedema).
Aktivitas berbagai antibodi TSHR tersebut dapat menjelaskan terjadinya diskrepansi
antara besar/ volume kelenjar tiroid dengan fungsinya; ada penderita dengan kelenjar
tiroid besar tetapi fungsinya normal atau rendah, atau sebaliknya.
Antibodi lain yang juga dapat ditemukan adalah antibodi terhadap koloid kedua
(second colloid antigen), antibodi terhadap permukaan sel selain reseptor TSH, antibodi
terhadap hormon tiroid T3 dan T4, serta antibodi terhadap antigen membran otot mata
(disebut sebagai ophthalmic immunoglobulin).
Dapat terjadi fluktuasi fungsi tiroid berupa konversi dari hiper- menjadi hipo-tiroidi,
keadaan yang disebut metamorphic thyroid autoimmunity. Contohnya konversi menjadi
hipertiroid Graves pada penderita yang sebelumnya menderita hipotiroid karena penyakit
Hashimoto, dan konversi dari tirotoksikosis menjadi eutiroid secara spontan pada
penderita Graves; beberapa mekanisme mungkin berperan.
d. Mekanisme apoptosis
Terdapat bukti-bukti yang menunjukkan bahwa apoptosis berperan dalam PTAI –
tiroiditis Hashimoto dan penyakit Graves. Defek pada CD4(+), CD25(+) T regulatory
cells akan merusak (breaks) toleransi host dan menginduksi produksi abnormal sitokin
yang akan menfasilitasi apoptosis. Terdapat perbedaan mekanisme yang memediasi
proses apoptosis pada HT dan GD, yaitu pada HT akan terjadi destruksi tirosit
sedangkan apoptosis pada GD akan mengakibatkan kerusakan thyroid infiltrating
lymphocytes. Perbedaan mekanisme apoptotik tersebut akan mengakibatkan dua bentuk
respons autotimun berbeda yang akhirnya akan menimbulkan manifestasi tiroiditis
Hashimoto dan penyakit Graves.
e. Peran sitokin
18
Sitokin berperan penting dalam mengkoordinasikan reaksi imun; sitokin dapat
bersumber dari sistem imun maupun non-imun. Limfosit CD4+ Thelper terdiri dari sel
Th1, terutama memproduksi interferon-γ (IFNγ) dan interleukin-2 (IL-2), yang
menimbulkan respon imun langsung pada sel (cellmediated immunity). Sebaliknya, sel
Th2 menghasilkan terutama IL-4, IL-5, dan IL-13 yang akan mempromosikan respons
imun humoral. Sel Th3 menghasilkan terutama TGFβ yang mempunyai peranan
protektif dan pemulihan dari penyakit autoimun.
Sitokin dapat meningkatkan reaksi inflamasi melalui stimulasi sel T dan B
intratiroid dan menginduksi perubahan pada sel folikel tiroid termasuk upregulasi MHC
kelas I dan II, serta ekspresi molekul adhesi. Sitokin juga merangsang sel folikel tiroid
untuk menghasilkan sitokin, Nitric Oxide (NO) dan Prostaglandin (PO), yang
selanjutnya akan meningkatkan reaksi inflamasi dan destruksi jaringan. Molekul ini juga
memodulasi pertumbuhan dan fungsi sel folikel tiroid, yang secara langsung akan
berimplikasi terhadap disfungsi tiroid.
Sitokin mempunyai peranan pula dalam penyulit ekstratiroid, terutama thyroid-
associated ophthlamopathy (TAO). Sel T terkumpul di jaringan retrobulbar pada
penderita dengan TAO; sel T tersebut akan diaktivasi dan menghasilkan sitokin, yang
akan memperluas proses inflamasi melalui beberapa mekanisme termasuk peningkatan
MHC kelas II, Heat Shock Protein (HSP), molekul adhesi, dan ekspresi TSH-R di
jaringan retrobulbar. Sitokin akan meningkatkan proliferasi fibroblast secara lokal dan
membantu pembentukan sel-sel radang baru, meningkatkan reaksi inflamasi, serta juga
meningkatkan akumulasi matriks ekstraseluler di jaringan orbita melalui efek
stimulatorik pada glycosaminoglycan (GAG) dan produksi inhibitor metalloproteinase
oleh fibroblast retrobulbar. Berdasarkan hal-hal di atas, memodulasi produksi sitokin
atau menghambat kerja sitokin di jaringan retrobulbar dapat dipertimbangkan untuk
menangani oftalmopati yang sampai saat ini sukar diobati.
19
Gejala Klinis
Penyakit Hashimoto tidak memiliki tanda-tanda dan gejala selama bertahun-tahun
dan tidak terdiagnosis sampai ditemukannya pembesaran kelanjar tiriod atau hasil
pemeriksaan darah yang abnormal pada pemeriksaan kesehatan rutin. Gejala yang
berkembang berhubungan dengan efek tekanan lokal pada leher yang disebabkan
pembesaran kelenjar tiroid tersebut, atau akibat penurunan kadar hormon tiroid dalam
darah. Tanda pertama penyakit ini mungkin berupa bengkak tidak nyeri pada leher depan
bagian bawah. Efek tekanan lokal akibat pembesaran kelenjar tiroid dapat menambah
gejala seperti kesulitan menelan.
Tanda-tanda dan gejala hipotiroidisme sangat bervariasi, tergantung pada tingkat
keparahan kekurangan hormon. Gambaran klinis awalnya didahului dengan gejala-gejala
hipertiroid (kadar hormon tiroid meningkat) lalu normal (eutoroid) dan akhirnya berubah
menjadi hipotiroid (kadar hormon menurun) berkepanjangan. Pada awalnya, mungkin
gejala jarang terlihat, seperti kelelahan dan kelesuan, atau tanda-tanda menua. Tetapi
semakin lama penyakit berlangsung, gejala dan tanda makin jelas.
Pasien tiroiditis Hashimoto yang berkembang mengalami hipotiroid biasanya
menunjukkan tanda dan gejala meliputi kelelahan dan kelesuan, sering mengantuk, jadi
pelupa, kesulitan belajar, kulit kering dan gatal, rambut dan kuku yang rapuh, wajah
bengkak, konstipasi, nyeri otot, penambahan berat badan, peningkatan sensitivitas terhadap
banyak pengobatan, menstruasi yang banyak, peningkatan frekuensi keguguran pada
wanita yang hamil.
Diagnosis
A. Anamnesis
1. Anamnesis
20
Anamnesis sangatlah penting untuk mengetahui patogenesis / macam kelainan dari
struma nodosa nontoksik tersebut. Perlu ditanyakan:
a. Umur, asal, tempat tinggal: penting sekali apakah penderita tinggal di daerah
pegunungan atau dataran rendah, bertujuan apakah berasal dari daerah
endemik struma.
b. Pembengakakan: mulainya kapan (jangka waktu) dan kecepatan tumbuh
c. Keluhan penekanan: apakah disphagia, dispnea dan suara serak.
d. Keluhan toksik seperti : tremor, banyak keringat, BB turun, nafsu makan,
palpitasi, nervous/gelisah tidak tenang
e. Riwayat keluarganya.
B. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik didapatkan
1. Puffy face dan edema periorbital
2. Kulit dingin, kasar, dan kering
3. edema perifer pada tangan dan kaki, biasanya tipe nonpitting edema
4. Thickenned dan brittle nails
5. Kehilangan rambut yang difus di daerah kepala, bulu mata, kulit, alat genital dan
wajah
6. Bradikardi karena menurunnya kontraktilitas dan denyut jantung
7. Kenaikan tekanan darah biasanya berupa hipertensi diastolik
8. Suara serak dan bicara lambat
9. Sindroma Carpal Tunnel
10. Kelenjar thyroid biasanya membesar, keras, kenyal, tanpa adanya lembut, atau bruit.
Ukurannya dapat normal bahkan tidak teraba sama sekali.
21
C. Pemeriksaan Penunjang
PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Pada keadaan timbulnya gejala-gejala subyektif dan temuan dalam pemeriksaan
fisik maka pemeriksaan serum TSH dibutuhkan untuk menegakkan diagnosa. Pemeriksaan
TSH merupakan suatu tes yang sensitif untuk mengetahui fungsi thyroid. Biasanya
ditemukan kadar TSH meningkat, sedangkan kadar T4 total atau T4 bebas
rendah.Sedangkan kadar serum total T3 dan T3 bebas tidak akan menurun hingga ada
kerusakan lebih lanjut, karena terjadinya peningkatan konsentrasi serum thyrotropin
menstimulasi thyroid untuk melepaskan T3. Pada saat total T4 lebih banyak ditemukan
daripada T4 bebas, T3 resin uptake dapat membantu untuk mengkoreksi kadar protein
binding antara T4 total dan T3, terutama bila ada kadar abnormalitas dari TBG. Bila kedua
serum TSH dan T4 kadarnya rendah hal ini memperkuat adanya keadaan hipothyroidisme,
begitu pula bila kadar T3 lebih rendah dibawah kadar normal maka gejala-gejala dan tanda-
tanda hypothyroidisme akan muncul. Ditemukannya autoantibodi thyroid yaitu anti –TPO
dan antibodi anti-Tg memperkuat adanya penyakit thyroiditis Hashimoto.
PEMERIKSAAN RADIOLOGI DAN USG
Pemeriksaan USG biasanya tidak diperlukan dalam menegakkan diagnosa
thyroiditis Hashimoto, tetapi berguna untuk memperkirakan ukuran thyroid dan ekstensi
retrosternal dan untuk mengevaluasi bentuk dari nodul jika ada. Alat USG digunakan untuk
menentukan nodul itu kistik atau solid dan mungkin bermanfaat untuk pemeriksaan Fine-
needle aspiration dari nodul berukuran kecil pada saat ada indikasi dan penderita dalam
keadaan bentuk anatomi leher yang berubah. Diagnosa pasti untuk menentukan jinak dan
ganasnya lesi daripada thyroid hanya dapat dikonfirmasikan dengan pemeriksaan sitologi
atau histologi dari jaringan thyroid.
22
Iodium uptake dan scan biasanya tidak diindikasikan untuk mengkonfirmasi diagnosa
thyroiditis Hashimoto ( biasanya uptake iodium mungkin meningkat sementara pada pasien
thyroiditis Hashimoto dengan intake iodium dari makanannya rendah karena efek dari
peningkatan kadar TSH). Pemeriksaan T4 dan T3 berguna untuk membedakan antara
thyroiditis hashimoto dan penyakit Grave jika ada hipertiroidisme sekunder. Pada pasien
dengan nodul yang jelas uptake iodium dan scan mungkin berguna untuk mengklasifikasi
nodul tersebut nodul panas atau dingin, tetapi kadar TSH biasanya adekuat untuk
mengetahui status fungsional dari thyroid.
Penatalaksanaan
Pengobatan pilihan untuk tiroiditis Hashimoto (atau hipotiroidisme dari sebab apapun)
adalah penggantian hormon tiroid. Obat pilihan diberikan secara oral levothyroxine sodium,
biasanya untuk hidup.
Menyesuaikan dan titrasi dosis levothyroxine sodium untuk memenuhi kebutuhan pasien
individu. Tujuan terapi adalah untuk mengembalikan keadaan klinis dan biokimia eutiroid.
Dosis standar 1,6-1,8 mcg / kg berat badan per hari, tetapi dosisnya pasien tergantung. T4
dan TSH tingkat bebas berada dalam rentang referensi dibagian biokimia eutiroid, dengan
tingkat TSH di bagian bawah kisaran referensi.
Mulai pasien yang lebih tua dari usia 50 tahun dan pasien yang lebih muda dengan penyakit
jantung pada dosis rendah 25 mcg (0,025 mg) per hari, dengan reevaluasi klinis dan
biokimia dalam 6-8 minggu. Hati-hati titrasi dosis ke atas untuk mencapai keadaan eutiroid
klinis dan biokimia. Jarang, hal itu mungkin tidak mungkin untuk mencapai keadaan
eutiroid pada pasien dengan penyakit jantung dysrhythmic dasar tanpa memperburuk status
jantung nya. Dalam kasus tersebut, dokter yang cerdik adalah konten untuk mencapai
keadaan klinis eutiroid dan menerima tingkat TSH sedikit lebih tinggi.
23
Terapi pembedahan
Teknik Pembedahan
Tiroidektomi sebagai pembedahan terapeutik pada tumor tiroid berupa:
Lumpektomi: pengangkatan nodul atau jaringan tiroid minimal di sekitarnya
Tiroidektomi parsial: pengangkatan nodul dengan jaringan tiroid di sekitarnya yang
lebih luas
Subtotal tiroidektomi: pengangkatan lebih dari setengah kelenjar tiroid pada tiap
sisi beserta istmus. Indikasinya adalah Grave’s disease, struma multinodosa toksik
dan nontoksik bilateral, tiroiditis Hashimoto.
Lobektomi atau hemitiroidektomi: pengangkatan satu lobus tiroid dan isthmus.
Indikasinya adalah nodul soliter atau multinodul unilateral.
Tiroidektomi total: pengangkatan kedua lobus tiroid beserta isthmus. Indikasinya
adalah karsinoma papiler dan meduler, beberapa kasus moltinodul yang luas,
tirotoksikosis berat dengan struma yang kecil.
Eksisi isthmus: karsinoma anaplastik atau limfoma untuk membebaskan jalan
nafas.
Komplikasi
Komplikasi utama dari tiroditis Hashimoto adalah hipotiroidisme yang progresif.
Kebanyakan pasien tiroiditis Hashimoto awalnya memiliki struma yang kecil dan
hipotiroidisme subklinis, yang ditandai dengan kadar fT4 dan T3 serum yang normal,
namun peningkatan ringan pada kadar TSH (biasanya < 10 mU/L). kondisi tersebut sangat
kontras dengan hipotiroidisme jelas, yang mana kadar fT4 berada dalam kadar subnormal.
Adapakah hipotiroidism esubklinis merupakan masalah utama yang membutuhkan terapi
masih merupakan suatu perdebatan. Beberapa pasien mungkin akan mengalami gejala
ringan dari hipotiroidisme, seiring dengan peningkatan kadar lipid dan factor resiko lainnya
24
dari penyakit kardiovaskuler aterosklerotik. Terdapat kemungkinan progresi ke arah
hipotiroidisme nyata setiap waktunya, terutama jika kadar antibody antitiroid tinggi. Pada
sisi lain, kebanyakan pasien asimtomatik, terutama jika kadar TSH masih di bawah 10
mU/L, dan hubungannya dengan aterosklerosis juga masih kontroversional.
Salah satu tipe tiroidits Hashimoto dikenal sebagai tiroiditis silent atau painless.
Keadaan ini memiliki predileksi untuk terjadi setelah partus, yang terjadi pada sekitar 5%
kasus, yang kemudian disebut sebagai tiroiditis Postpartum. Kebanyakan pasien memiliki
tanda dan gejala dari hipertiroidisme ringan, yang mungkin sulit dibedakan dengan
penyakit Grave. Tidak terdapat temuan klinis pada mata, dan tidak seperti tiroiditis subakut
lainnya, pada kelainan ini kelenjar tiroid tidak dapat dipalpasi. Kadar T4 serum meningkat
lenih tinggi daripada T3 serum, yang merupakan tipikal hampir seluruh tiroiditis, yang
dikarenakan adanya kebocoran simpanan hormone ke aliran darah. Didapatkan laju endap
darah normal, yang membedakannya dengan tiroiditis subakut; serta kadar titer antibody
TPO yang meningkat. Lebih penting lagi, kadar RAIU 24 jam rendah, yang kemudian
membedakannya dengan penyakit Grave. Tiroiditis silent berkembang dengan 3 bentuk
utama, sesuai dengan yang terlihat pada tiroiditis subakut, dengan fase hipertiroid yang
bertahan selama 1 – 3 bulan, yang diikuti oleh fase hipotiroid selama beberapa bulan. Pada
tiroiditis Postpartum, fase hipertiroid biasanya diawali sekitar 3 – 4 bulan sebelum
melahirkan. Meskipun biasanya terjadi perbaikan, sekitar 25% pasien mengalami
hipotiroidisme ringan atau subklinis yang menetap, yang dapat pula berkembang menjadi
hipotiroidism eyang nyata. Dibutuhkan follow up jangka panjang, karena hipotiroidisme
yang menetap dapat berkembang dengan cepat pada pasien setalah beberapa tahun. Dapat
pula terjadi rekurensi episode tiroiditis silent, dan tiroiditis Postpartum sering terjadi
kembali mengikuti kehamilan selanjutnya.
Pasien tiroiditis Hashimoto jarang berlanjut menjadi limfoma kelenjar tiroid.
Meskipun etiologi dari limfoma kelenjar tiroid tidak diketahui, tiroiditis Hashimoto
merupakan factor resiko definitive. Sangat mungkin bahwa limfoma tiroid berasal dari
ekspansi klon abnormal dari limfosit intratiroidal yang immortal. Limfoma tiroid
25
dikarakteristikkan sebagai pertumbuhan yang cepat pada kelenjar meskipun terapi T4
dilanjutkan, dan diagnosisnya harus ditegakkan melalui biopsy bedah.
Tidak terdapat bukti bahwa adenokarsinoma tiroid banyak terjadi pada pasien
dengan tiroiditis Hashimoto. Namun tiroiditis kronis dan karsinoma dapat terjadi secara
bersamaan pada kelenjar tiroid. Keganasan harus dicurigai ketika ditemukan nodul soliter
atau pertumbuhan massa tiroid atau kegagalan penggunaan dosis T4 yang biasanya dapat
menekan kadar TSH serum. FNAB merupakan alat diagnostik yang penting dalam kondisi
ini.
Prognosis
Dengan diagnosis dini, prognosis penyakit tiroiditis hashimoto dapat baik.
Kesimpulan
Tiroiditis Hashimoto merupakan penyakit autoimun kronik organ spesifik, dengan
penyebab multifaktorial, terjadi pada individu yang mempunyai predisposisi genetik
dengan pemicu faktor lingkungan. Pada tiroiditis Hashimoto antibody anti-TPO merupakan
petanda utama. Manifestasi klinis awalnya mungkin saja hipertiroid akibat proses inflamasi
hingga akhirnya terjadi kerusakan yang luas pada kelenjar tiroid menyebabkan hipotiroid
yang menetap.
Daftar Pustaka
1. Tim Penyusun. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III. Jakarta : FKUI
2. Sabiston, David C. Jr, MD. Buku Ajar Bedah Sabiston, Alih Bahasa Petrus
Andrianto, Timan IS, Editor Jonatan Oswari, Penerbit EGC, Jakarta 1995.
3. Sjamsuhidajat R, Jong DW. Sistem Endokrin. Buku Ajar Ilmu Bedah, edisi revisi.
EGC 2010.
26