Presus Radiology Pringgo

Embed Size (px)

Citation preview

  • 7/30/2019 Presus Radiology Pringgo

    1/19

    PRESENTASI KASUS BAGIAN RADIOLOGI

    FAKULTAS KEDOKTERAN

    UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA

    1

    DATA PASIEN

    A. SUBJEKTIF

    1. Identitas pasien

    Nomor RM : 439872 Tanggal masuk : 20/11/2012 Nama pasien : Tn.K Alamat : Prawirodirjan RT 52/RW 16 No 643 Umur : 74 tahun Jenis Kelamin : Laki-Laki Pekerjaan : Buruh

    2. Anamnesis

    Didapatkan dari autoanamnesis dengan pasien pada tanggal 23 Oktober 2012 pukul

    13.00 WIB

    Keluhan Utama : Sesak nafas

    Keluhan Tambahan : Kedinginan

    Riwayat Penyakit Sekarang

    Sejak satu minggu yang lalu pasien mengeluhkan sesak nafas. Pasien juga

    sering batuk sejak 1,5 tahun ini. Selain itu pasien juga mengeluhkan nafsu makan dan

    minumnya berkurang. Pasien juga merasakan mual dan muntah. Dan badan terasa

    lemas.

    Hari masuk RS pasien mengeluh kedinginan setelah mandi sore. Dan sesak

    nafas dirasakan semakin berat.

  • 7/30/2019 Presus Radiology Pringgo

    2/19

    PRESENTASI KASUS BAGIAN RADIOLOGI

    FAKULTAS KEDOKTERAN

    UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA

    2

    Demam (-), batuk (+), dahak (+) kuning, pilek (-), mual (+), muntah(+), BAB

    (-) sejak 1 minggu sebelum masuk RS, BAK (+), nyeri kepala(-), nyeri sendi(-), nyeri

    dada (-).

    Riwayat 10 bulan sebelumnya pasien pernah dirawat di RS jogja karena CP

    decomp dan pernah mendapatkan pengobatan TB selama 6 bulan. Dan 5 bulan yang

    lalu pasien dirawat di RS jogja karena SVTdan Syok kardiogenik.

  • 7/30/2019 Presus Radiology Pringgo

    3/19

    PRESENTASI KASUS BAGIAN RADIOLOGI

    FAKULTAS KEDOKTERAN

    UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA

    3

    Anamnesis Sistem

    Sistem SSP : demam (-), nyeri kepala (-), penurunan kesadaran (-),

    kejang (-).

    Sistem kardiovaskuler : Nyeri dada (-), berdebar-debar (-), pucat (-), kebiruan

    (-) mimisan (-), gusi berdarah (-)

    Sistem respirasi : Sesak nafas (+), batuk (+), dahak (+) kuning, batuk

    darah (-), pilek (-), bunyi ngik-ngik (-).

    Sistem gastrointestinal : Mual (-), muntah (-), nyeri ulu hati (-), nyeri perut (-),

    diare (-), konstipasi (-), BAB hitam seperti jenang (-),

    BAB darah (-), BAB seperti dempul (-), nafsu makan

    menurun (+).

    Sistem urogenital : Anyang-anyangan (-), nyeri saat berkemih (-), sulit

    berkemih (-), air kemih menetes (-), warna air kemih

    jernih (+).

    Sistem integumentum : Kuning (-), pucat (-), kebiruan (-), bengkak pada kedua

    tungkai kaki (-), sikatrik (-), jaringan mati (-).

    Sistem muskuloskletal : Gerakan bebas (+), nyeri sendi (-), tanda peradangan

    sendi (-).

    Riwayat Penyakit Dahulu:

    Riwayat penyakit gula : disangkal

    Riwayat penyakit darah tinggi : disangkal

    Riwayat penyakit jantung : SVT , syok kardiogenik

    Riwayat penyakit paru : TB, sudah mendapatkan pengobatan

    selama 6 bulan

    Riwayat penyakit asma : disangkal

    Riwayat penyakit ginjal : disangkal

    Riwayat penyakit kuning : disangkal

    Riwayat penyakit saluran pencernaan : disangkal

  • 7/30/2019 Presus Radiology Pringgo

    4/19

    PRESENTASI KASUS BAGIAN RADIOLOGI

    FAKULTAS KEDOKTERAN

    UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA

    4

    Riwayat penyakit Stroke : disangkal

    Riwayat Penyakit Keluarga:

    Riwayat penyakit gula : disangkal

    Riwayat penyakit darah tinggi : disangkal

    Riwayat penyakit jantung : disangkal

    Riwayat penyakit paru : disangkal

    Riwayat penyakit asma : disangkal

    Riwayat penyakit ginjal : disangkal

    Riwayat penyakit kuning : disangkal

    Riwayat penyakit saluran pencernaan : disangkal

    Riwayat Sosial, Ekonomi dan Gizi: Hubungan dengan keluarga harmonis.

    Hubungan pasien dengan tetangga baik. Ekonomi

    keluarga mencukupi.

    Riwayat Alergi: Pasien tidak memiliki riwayat alergi.

    B. OBJEKTIF

    Pemeriksaan fisik tanggal 23 November 2012 pukul 15.30 WIB

    1. Keadaan umum : Baik, tampak kurus

    Kesadaran : compos mentis, GCS E4V5M6

    2. Vital sign

    Tekanan darah : 120/70 mmHg

    Nadi : 88 x/m, reguler

    Respiration rate : 23 x/menit, reguler, thorakoabdominal

    Suhu : 36,50C per axilla

  • 7/30/2019 Presus Radiology Pringgo

    5/19

    PRESENTASI KASUS BAGIAN RADIOLOGI

    FAKULTAS KEDOKTERAN

    UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA

    5

    3. Kepala

    Mata : Konjunctiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)

    Hidung : Nafas cuping hidung (-), deformitas (-), polip (-), perdarahan (-),

    lendir (-), sumbatan (-)

    Mulut : mukosa lembab, hiperemis (-), sianosis (-), faring hiperemi (-), lidah

    kotor (-).

    4. Leher

    Tampak simetris, limfonodi tidak teraba, JVP tidak meningkat, massa (-)

    5. Thorak

    Pemeriksaan Thorax Anterior Pemeriksaan Thorax Posterior

    Inspeksi:

    -Bentuk dada simetris (+)-Statis (Hemitorax kiri = kanan)-

    Dinamis (Hemitorax kiri = kanan)-Sela iga tidak melebar (+)-Retraksi interkostal (-)-Retraksi subkostal (-)-Iktus kordis tidak tampak di SIC V

    linea mid clavikularis sinistra

    -Tanda peradangan (-)- Perbesaran massa (-)

    Palpasi:

    -Fremitus suara melemah padahemithorak dextra

    Inspeksi:

    -Bentuk dada simetris (+)-Statis (Hemitorax kiri = kanan)-

    Dinamis (Hemitorax kiri = kanan)-Sela iga tidak melebar (+)-Retraksi interkostal (-)-Retraksi subkostal (-)-Tanda peradangan (-)Perbesaran massa (-)

    Palpasi:

    -Fremitus suara melemah padahemithorak dextra

  • 7/30/2019 Presus Radiology Pringgo

    6/19

    PRESENTASI KASUS BAGIAN RADIOLOGI

    FAKULTAS KEDOKTERAN

    UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA

    6

    -Pergerakkan dada simetris- Emfisema subkutis (-)Perkusi:

    - Redup pada hemithorax dextra

    Batas atas hepar sulit dinilai

    Auskultasi :

    -Suara paru: vesikuler menurun padahemithorak dextra, wheezing (+),

    RBB (+) pada hemithorak dextra

    -Pergerakkan dada simetris- Emfisema subkutis (-)

    Perkusi:

    -Redup pada hemithorax dextra

    Auskultasi :

    Suara paru: vesikuler menurun pada

    hemithorak dextra, wheezing (+), RBB

    (+) pada hemithorak dextra

    6. Jantung

    I : Ictus cordis tidak tampak

    P : ictus cordis teraba pada SIC V linea midclavicularis sinistra

    P : batas jantung:

    - kanan atas : SIC II Linea para sternalis dextra

    - Kiri atas : SIC II Linea para sternalis sinistra- Kanan bawah : SIC IV Linea para sternalis dextra

    - Kiri bawah : SIC IV Linea midklavikula sinistra

    A : suara jantung : S1,S2 reguler, bising (-)

    Kesan jantung: tidak terdapat pembesaran jantung.7. Abdomen

    Inspeksi : Dinding perut lebih tinggi dibanding dengan dinding dada, massa (-),

    tampak bekas luka (-) , tanda peradangan (-)

    Auskultasi : Peristaltik (+)

    Perkusi : Timpani (+), nyeri ketok costovertebra (-)

    Palpasi : perut supel(+), nyeri tekan ulu hati (-), nyeri alih (-), hepatomegali(-),

    Undulasi (-), splenomegali (-)

  • 7/30/2019 Presus Radiology Pringgo

    7/19

    PRESENTASI KASUS BAGIAN RADIOLOGI

    FAKULTAS KEDOKTERAN

    UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA

    7

    8. Ekstremitas

    Superior : Gerak aktif (+/+), gerak pasif (+/+), sianosis (-/-), udem (-/-), akral

    hangat, perfusi baik, CRT

  • 7/30/2019 Presus Radiology Pringgo

    8/19

    PRESENTASI KASUS BAGIAN RADIOLOGI

    FAKULTAS KEDOKTERAN

    UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA

    8

    2. Hasil pemeriksaan patobiokimiawi, 05-10-2012 jam 20.00

    PARAMETER HASIL NILAI NORMAL UNIT

    Glukosa Sewaktu 80 70-140 mg/dl

    Ureum 20 10.0-50.0 mg/dl

    Kreatinin 1,1 L:

  • 7/30/2019 Presus Radiology Pringgo

    9/19

    PRESENTASI KASUS BAGIAN RADIOLOGI

    FAKULTAS KEDOKTERAN

    UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA

    9

    3. PEMERIKSAAN RADIOLOGI

    Tanggal 05-10-2012

    Rontgen foto thorax

    Posisi supine, proyeksi AP, simetris, inspirasi cukup, kondisi cukup.

    Tampak opasitas pada hemithorax dextra seluruh lapangan,homogen dengan

    trachea, cor dan struktur mediastinum deviasi ke dextra.

    CTR : tak bisa dinilai

    Kesan : Destroyed lung dextra dengan CTR tak bisa dinilai

    Suspek KP Ddx colaps paru dextra

  • 7/30/2019 Presus Radiology Pringgo

    10/19

    PRESENTASI KASUS BAGIAN RADIOLOGI

    FAKULTAS KEDOKTERAN

    UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA

    10

    D. ASSESMENT

    1. Problem Pasien :

    Mual

    Muntah

    Lemas

    Sesak nafas

    Batuk

    Dahak (+)

    Riwayat pengobatan TB (+)

    Foto polos thorak : Destroyed Lung Dextra

    2.Diagnosis :

    SOPT ( Sindrom Obstruksi Pasca Tuberkolosis )

    Observasi vomitus

    SOPT

  • 7/30/2019 Presus Radiology Pringgo

    11/19

    PRESENTASI KASUS BAGIAN RADIOLOGI

    FAKULTAS KEDOKTERAN

    UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA

    11

    BAB II

    TINJAUAN PUSTAKA

    PENDAHULUAN

    Sindrom obstruksi difus yang berhubungan dengan TB paru dikenal dengan

    berbagai nama. TB paru dengan sindrom obstruksi dan sindrom obstruksi pasca TB

    (SOPT). Kekerapan sindrom obstruksi pada TB paru bervariasi antara16%50%.

    Patogenesis timbulnya sindrom obstruksi pada TB paru yang mengarah ke timbulnya

    sindrom pasca TB sangat kompleks. Pada suatu penelitian dikatakan akibat destruksi

    jaringan paru oleh proses TB. Kemungkinan lain adalah akibat infeksi TB,

    dipengaruhi oleh reaksi imunologis perorangan sehingga menimbulkan reaksi

    peradangan nonspesifik yang luas karena tertariknya neutrofil ke dalam parenkim

    paru makrofag aktif. Peradangan yang berlangsung lama ini menyebabkan proses

    proteolisis dan beban oksidasi sangat meningkat untuk jangka lama sehingga

    destruksi matriks alveoli terjadi cukup luas menuju kerusakan paru menahun dan

    mengakibatkan gangguan faal paru yang dapat dideteksi secara spirometri.

    SINDROM OBSTRUKSI PASCA TB

    PATOGENESIS

    Gangguan faal paru akibat proses tuberkulosis paru berupa kelainan restriksi dan

    obstruksi telah banyak diteliti; kelainan yang bersifat obstruksi dan menetap akan

    mengarah pada terjadinya sindrom obstruksi pasca TB (SOPT). Destruksi parenkim

    paru pada emfisema menyebabkan elastisitas berkurang sehingga terjadi mekanisme

    ventil yang menjadi dasar terjadinya obstruksi arus udara. Emfisema kompensasi

    yang ditemukan pasca reseksi paru dan akibat atelektasis lobus atas karena TB paru

    seharusnya tidak obstruktif. Tetapi kelainan obstruksi pada TB paru tidak berasal dari

    emfisema kompensasi. Hirasawa (1965) tidak menemukan perbedaan morfologik

    yang nyata antara jenis emfisema pada kasus TB dan non TB, perubahan emfisema

  • 7/30/2019 Presus Radiology Pringgo

    12/19

    PRESENTASI KASUS BAGIAN RADIOLOGI

    FAKULTAS KEDOKTERAN

    UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA

    12

    yang tidak merata lebih menonjol pada TB dengan kesan sebagai efek lokal dalam

    perkembangan emfisema. Gaensler dan Lindgren berpendapat bahwa bronkitis kronis

    spesifik lebih mungkin merupakan faktor etiologi timbulnya emfisema obstruksi pada

    tuberkulosis paru dibandingkan dengan over distentionjaringan paru di dekat daerah

    retraksi. Bell(11) berhasil menimbulkan bula emfisematous pada kelinci yang ditulari

    mikobakterium tuberkulosis secara trakeal dan menyimpulkan bahwa proses

    emfisema dimulai dengan destruksi jaringan lalu diikuti ekspansi. Vargha dan

    Bruckner menyatakan bahwa bronkitis kronis difus yang disebabkan sekret dari

    kavitas menimbulkan kelainan obstruksi. Baum(13), Crofton dan Douglas(14)

    menyatakan bahwa reaksi hipersensitif terhadap fokus TB atau hasil sampingan

    kuman TB yang mati sering tampak berupa perubahan non spesifik yaitu peradangan

    yang kadang-kadang jauh lebih luas daripada lesi spesifiknya sendiri. Hennes et

    al(15) menemukan bahwa zat anti terhadap ekstrak paru manusia penderita TB

    merangsang pembentukan zat anti terhadap jaringan yang rusak. Pada emfisema

    mungkin timbul zat anti terhadap jaringan retikulum paru, yang dapat berperan

    penting pada patogenesis emfisema. Hubungan kelainan obstruksi pada tuberkulosis

    paru dengan beberapa faktor antara lain umur, jenis kelamin, merokok, lama sakit,

    luas lesi telah diteliti oleh beberapa peneliti(2,611,13) Pemeriksaan spirometri pada

    penderita tuberkulosis paru lanjut di RSUP Persahabatan Jakarta, menyimpulkan

    bahwa kelainan obstruksi berhubungan dengan jenis kelamin dan lama sakit, tetapi

    tidak berhubungan dengan umur, kebiasaan merokok, luas kelainan dan distribusi

    lesi(9). Pemeriksaan perubahan faal ventilasi penderita TB paru yang diobati paduan

    obat jangka pendek dengan.tujuan khusus pada gangguan obstruksi di RSUP

    Persahabatan menyimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan positif antara derajat

    obstruksi dan restriksi dengan luas lesi, kelainan obstruksi pada penderita TB paru

    maupun bekas TB paru bersifat ireversibel, dan obstruksi yang ireversibel ini

    merupakan akibat proses TB. Pemeriksaan spirometri pada penderita TB paru dan

    bekas TB paru dengan lesi minimal dan moderately advanced di RSTP Cipaganti

    Bandung mendapatkan sindrom obstruksi difus pada 46,9% penderita TB paru dan

  • 7/30/2019 Presus Radiology Pringgo

    13/19

    PRESENTASI KASUS BAGIAN RADIOLOGI

    FAKULTAS KEDOKTERAN

    UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA

    13

    30% sindrom obstruksi ditemukan pada lesi minimal; sindrom obstruksi difus

    mempunyai hubungan dengan faktor merokok dan luas lesi dan tidak mempunyai

    hubungan dengan jenis kelamin dan lama sakit(9). Salah satu kemungkinan lain

    patogenesis timbulnya sindrom obstruksi difus pada penderita TB adalah karena

    infeksi kuman TB, dipengaruhi reaksi imunologik perseorangan, dapat menimbulkan

    reaksi radang nonspesifik luas karena tertariknya netrofil ke dalam parenkim paru

    oleh makrofag aktif. Peradangan yang berlangsung lama ini menyebabkan beban

    proteolitik dan oksidasi meningkat dan merusak matriks alveoli sehingga

    menimbulkan sindrom obstruksi difus yang dapat diketahui dari pemeriksaan

    spirometri.

    SISTIM IMUNITAS TUBUH

    Sistim pertahanan tubuh terdiri atas sistim pertahanan spesifik dan

    nonspesifik. Sistim imun nonspesifik merupakan pertahanan tubuh terdepan dalam

    menghadapi serangan berbagai mikroorganisme, oleh karena dapat memberikan

    respon langsung terhadap antigen, sedangkan sistim imun spesifik membutuhkan

    waktu untuk mengenal antigen terlebih dahulu sebelum memberikan responnya.

    Paru merupakan salah satu organ tubuh yang mempunyai daya proteksi

    melalui suatu mekanisme pertahanan paru, berupa sistim pertahanan tubuh yang

    spesifik maupun nonspesifik. Di alveolus makrofag merupakan komponen sel fagosit

    yang paling aktif memfagosit partikel atau mikroorganisme. Makrofag ini penting

    dalam sistim imun karena kemampuan memfagosit serta respon imunologiknya.

    Kemampuan untuk menghancurkan mikroorganisme terjadi karena sel ini mempunyai

    sejumlah lisozim di dalam sitoplasma. Lisozim ini mengandung enzim hidrolase

    maupun peroksidase yang merupakan enzim perusak. Selain itu makrofag juga

    mempunyai reseptor terhadap komplemen. Adanya reseptor-reseptor ini

    meningkatkan kemampuan sel makrofag untuk menghancurkan benda asing yang

    dilapisi oleh antibodi atau komplemen. Selain bertindak sebagai sel fagosit, makrofag

  • 7/30/2019 Presus Radiology Pringgo

    14/19

    PRESENTASI KASUS BAGIAN RADIOLOGI

    FAKULTAS KEDOKTERAN

    UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA

    14

    juga dapat mengeluarkan beberapa bahan yang berguna untuk menarik dan

    mengaktifkan neutrofil serta bekerja sama dengan limfosit dalam reaksi inflamasi.

    TUBERKULOSIS PARU SERTA RESPON IMUN

    Apabila tubuh terinfeksi hasil tuberkulosis, maka pertama - tama lekosit

    polimorfonukleus (PMN) akan berusaha mengatasi infeksi tersebut. Sel PMN dapat

    menelan hasil tapi tidak dapat menghancurkan selubung lemak dinding hasil,

    sehingga hasil dapat terbawa ke jaringan yang lebih dalam dan mendapat

    perlindungan dari serangan antibodi yang bekerja ekstraseluler. Hal ini tidak

    berlangsung lama karena sel PMN akan segera mengalami lisis. Selanjutnya hasil

    tersebut difagositosis oleh makrofag. Sel makrofag aktif akan mengalami perubahan

    metabolisme, metabolisme oksidatif meningkat sehingga mampu memproduksi zat

    yang dapat membunuh hasil, zat yang terpenting adalah hidrogen peroksida (H2O2).

    Mikobakterium tuberkulosis mempunyai dinding sel lipoid tebal yang melin

    dunginya terhadap pengaruh luar yang merusak dan juga mengaktifkan sistim

    imunitas. Mikobakterium tuberkulosis yang jumlahnya banyak dalam tubuh

    menyebabkan :

    Penglepasan komponen toksik kuman ke dalam jaringan

    Induksi hipersensitif seluler yang kuat dan respon yang meningkat terhadap antigen

    bakteri yang menimbulkan kerusakan jaringan, perkejuan dan penyebaran kuman

    lebih lanjut.

    Akhirnya populasi sel supresor yang jumlahnya banyakakan muncul menimbulkan

    anergik dan prognosis jelek.

    Perjalanan dan interaksi imunologis dimulai ketika makrofag bertemu dengan kuman

    TB, memprosesnya lalu menyajikan antigen kepada limfosit. Dalam keadaan normal,

    infeksi TB merangsang limfosit T untuk mengaktifkan makrofag sehingga dapat lebih

    efektif membunuh kuman. Makrofag aktif melepaskan interleukin-1 yang

    merangsang limfosit T. Limfosit T melepaskan interleukin-2 yang selanjutnya

  • 7/30/2019 Presus Radiology Pringgo

    15/19

    PRESENTASI KASUS BAGIAN RADIOLOGI

    FAKULTAS KEDOKTERAN

    UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA

    15

    merangsang limfosit T lain untuk memperbanyak diri, matang dan memberi respon

    lebih baik terhadap antigen. Limfosit T supresi (TS) mengatur keseimbangan

    imunitas melalui peranan yang komplek dan sirkuit imunologik. Bila TS berlebihan

    seperti pada TB progresif, maka keseimbangan imunitas terganggu sehingga timbul

    anergi dan prognosis jelek. TS melepas substansi supresor yang mengubah produksi

    sel B, sel T aksi-aksi mediatornya. Mekanisme makrofag aktif membunuh hasil

    tuberculosis masih belum jelas, salah satu adalah melalui oksidasi dan pembentukan

    peroksida. Pada makrofag aktif, metabolisme oksidatif meningkat dan melepaskan zat

    bakterisidal seperti anion superoksida, hidrogen peroksida, radikal hidroksil dan

    ipohalida sehingga terjadi kerusakan membran sel dan dinding sel, lalu bersama

    enzim lisozim atau medoator, metabolit oksigen membunuh hasil tuberkulosis.

    Beberapa hasil tuberkulosis dapat bertahan dan tetap mengaktifkan makrofag, dengan

    demikian hasil tuberkulosis terlepas dan menginfeksi makrofag lain. Diduga dua

    proses yaitu proteolisis dan oksidasi sebagai penanggungjawab destruksi matriks.

    Komponen utama yang membentuk kerangka atau matriks dinding alveoli terdiri dari:

    kolagen interstisial (tipe I dan II), serat elastin (elastin dan mikrofibril),

    proteoglikaninterstisial, fibrokinetin. Kolagen adalah yang paling banyak jumlahnya

    dalam janingan ikat paru. Proteolisis berarti destruksi protein yang membentuk

    matriks dinding alveoli oleh protease, sedangkan oksidasi berarti pelepasan elektron

    dani suatu molekul. Bila kehilangan elektron terjadi pada suatu struktur maka fungsi

    molekul itu akan berubah. Sasaran oksidasi adalah protein jaringan ikat, sel

    epitel, sel endotel dan anti protease.

    Sel neutrofil melepas beberapa protease yaitu :

    1) Elastase adalah yang paling kuat memecah elastin dan protein janingan ikat lain

    sehingga sanggup menghancurkan dinding alveoli.

    2) Catepsin G menyerupai elastase tetapi potensinya lebih rendah dan dilepas

    bersama elastase.

    3) Kolagenase cukup kuat tetapi hanya bisa memecah kolagen tipe I, bila sendiri tidak

    dapat menimbulkan emfisema.

  • 7/30/2019 Presus Radiology Pringgo

    16/19

    PRESENTASI KASUS BAGIAN RADIOLOGI

    FAKULTAS KEDOKTERAN

    UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA

    16

    4) Plasminogen aktivator yaitu urokinase dan tissue plasmin aktivator merubah

    plasminogen menjadi plasmin. Plasmin selain merusak fibrin juga mengaktifkan

    proenzim elastase dan bekerja sama dengan elastase.

    Oksidan merusak alveoli melalui beberapa cara seperti :

    a) Peningkatan beban oksidan ekstraseluler yang tinggi, secara langsung merusak sel

    terutama pneumosit I.

    b) Secara langsung memodifikasi jaringan ikat sehingga lebih peka terhadap

    proteolisis.

    c) Secara langsung berinteraksi dengan 1-antitripsin sehingga daya antiproteasenya

    menurun.

    Tuberkulosis paru merupakan infeksi menahun sehingga sistim imunologis

    diaktifkan untuk jangka lama, akibatnya beban proteolisis dan beban oksidasi sangat

    meningkat untuk jangka yang lama sekali sehingga destruksi matriks alveoli cukup

    luas menuju kerusakan paru menahun dan gangguan faal paru yang akhirnya dapat

    dideteksi secara spirometri.

  • 7/30/2019 Presus Radiology Pringgo

    17/19

    PRESENTASI KASUS BAGIAN RADIOLOGI

    FAKULTAS KEDOKTERAN

    UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA

    17

    BAB III

    PEMBAHASAN

    Pasien Bp.K masuk ke IRD RS Jogja dengan keluhan utama sesak nafas.

    Pasien juga mengeluh batuk berdahak, Pasien sering merasakan batuknya sudah

    kurang lebih 1,5 tahun yang lalu. susah makan dan minum, terasa mual dan muntah.

    Pasien juga merasa kedinginan sebelum masuk RS.

    Riwayat 10 bulan sebelumnya pasien pernah dirawat di RS jogja karena CP

    decomp dan pernah mendapatkan pengobatan TB selama 6 bulan. Dan 5 bulan yang

    lalu pasien dirawat di RS jogja karena SVT dan Syok kardiogenik.

    Dari anamnesis pasien keluarga pasien juga mengaku tidak ada riwayat

    penyakit serupa.

    Pada pemeriksaan fisik tanda-tanda vital masih dalam batas normal. Pada

    pemeriksaan fisik thorak didapatkan vocal fremitus melemah pada hemithorak dextra,

    pada palpasi didapatkan redup pada hemithorax dextra. Pada auskultasi juga

    ditemukan suara ronkhi basah basal pada hemithorak dextra dan vesicular menurun.

    Pada pemeriksaan penunjang radiologi posisi supine, proyeksi AP. Tampak

    opasitas pada hemithorax dextra seluruh lapangan, homogeny dengan trachea, cord an

    struktur mediastinum deviasi ked extra. CTR : Tak bisa dinilai. kesan Destroyed lung

    dextra dengan CTR tak bisa dinilai. Suspek KP ddx Colaps paru dextra. Pada

    pemeriksaan penunjang laboratorium didapatkan kenaikan nilai Leukosit.

    Pada pasien ini diagnosa Sindroma Obstruksi Pasca Tuberkolosis ditegakkan

    melalui anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang.

    SOPT disebabkan oleh bekas dari luka akibat infeksi TB paru. Jadi, semakin

    luas jaringan paru yang rusak akibat infeksi kuman TB, semakin luas bekas luka ang

    ditimbulkan. jika pasien datang dengan TB paru yang parah (destroyed lung) maka

    kemungkinan setelah sembuh akan meninggalkan bekas yang luas sehingga keluahan

    yang dirasakan juga semakin berat.

  • 7/30/2019 Presus Radiology Pringgo

    18/19

    PRESENTASI KASUS BAGIAN RADIOLOGI

    FAKULTAS KEDOKTERAN

    UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA

    18

    Dari seluruh pasien TB yang telah menyelesaikan pengobatannya, 16-50%

    akan menderita SOPT mulai dari derajad ringan sampai berat. Mengingat insidensi

    SOPT yang tinggi, maka pada pasien TB yang masih dalam pengobatan, dokter selalu

    menganjurkan agar rajin berolahraga untuk mengembalikan fungsi paru. Olahraga

    yang dianjurkan adalah: jalan kaki, lari-lari kecil (jogging), bersepeda atau renang.

    Bagi pasien dengan keluhan nyeri sendi, dianjurkan untuk bersepeda atau renang.

    Tidak seperti TB yang masih aktif, SOPT tidak menularkan pada orang-orang

    di sekitarnya. Namun sayangnya SOPT tidak dapat disembuhkan. Gejalanya hanya

    dapat diminimalisasi dengan olahraga secara teratur.

  • 7/30/2019 Presus Radiology Pringgo

    19/19

    PRESENTASI KASUS BAGIAN RADIOLOGI

    FAKULTAS KEDOKTERAN

    UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA

    DAFTAR PUSTAKA

    1) Amin Z, Bahar S. Tuberkulosis paru. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I,Simadibrata KM, Setiati S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II, Edisi IV.

    Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI , 2006: 998-

    1005, 1045-9.

    2) Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis Edisi 9. Jakarta. DepartemenKesehatan Republik Indonesia. 2005

    3) Silbernagl, Stefan dan Florian Lang. Teks dan Atlas Berwarna Patofisiologi.Jakarta. EGC. 2007

    4) Mansjoer, Arief dkk. Kapita Selekta Kedokteran Fakultas KedokteranUniversitas Indonesia. Jakarta. Media Aesculapius FKUI. 2001

    5) World Health Organization. Treatment of Tuberculosis: Guidelines for NationalProgram. 2003

    6) Sherlock, S. & Dooley, J., 2002, Diseases of the Liver and Biliary System. Edisike 11. London: Blackwell Publishing

    7) World Health Organization, 1979, ART Adverse Drug Reaction terminology.Geneva: WHO Collaborating for Drug International Monitoring.

    8) Jasmer, R.M., Saukkonen J.J., Blumberg H.M., 2002. Short-Course Rifampinand Pyrazinamide Company Latent Tuberculosis Infection: A Multicenter

    Clinical Trial. Annals. of. Int Med, 137: 6407.

    9) Tobias, H., Sherman, A., 2004, Hepatobiliary Tuberculosis. Dalam Rom W.N.,Garray, S.M. (penyunting). Tuberculosis, Philadelphia: Lippincot Williams &

    Wilkins, 537-48.