84
LAPORAN KASUS HEMOPTISIS ET CAUSA BRONCHITIS PARU DENGAN PENYERTA DIABETES MELITUS Pembimbing : dr. Dwi Hartanto, Sp.P Disusun Oleh : Eko Deskurniawan 01.211.6376 FAKULTAS KEDOKTERAN UNISSULA SEMARANG 1

presus pulmo (Repaired) (Autosaved).doc

Embed Size (px)

Citation preview

LAPORAN KASUS

HEMOPTISIS ET CAUSA BRONCHITIS PARU DENGAN PENYERTA

DIABETES MELITUS

Pembimbing :

dr. Dwi Hartanto, Sp.P

Disusun Oleh :

Eko Deskurniawan 01.211.6376

FAKULTAS KEDOKTERAN UNISSULA SEMARANG

Kepaniteraan Klinik Departemen Penyakit Dalam

Rumah Sakit TK. II RST. Soedjono Magelang

1

2015

LEMBAR PENGESAHAN

HEMOPTISIS ET CAUSA BRONCHITIS PARU DENGAN PENYERTA

DIABETES MELITUS

Oleh :

Eko Deskurniawan 01.211.6376

Presentasi kasus ini telah dipresentasikan dan disahkan sebagai salah satu prasyarat mengikuti ujian

kepaniteraan Klinik di Bagian Ilmu Penyakit Dalam RST Dr. Soedjono Magelang

Magelang, 28 Oktober 2015

Mengetahui,

Pembimbing

dr. Dwi Hartanto , Sp.P

2

PRAKATA

Puji syukur kepada Tuhan yang Maha Esa atas rahmat dan karunia-Nya, penulis dapat

menyelesaikan

LAPORAN KASUS

“HEMOPTISIS ET CAUSA BRONCHITIS PARU DENGAN

PENYERTA DIABETES MELITUS”

Tugas ini disusun dalam rangka memenuhi syarat dalam mengikuti kegiatan kepaniteraan

klinik di bagian Ilmu Penyakit Dalam RST Tingkat II dr. Soedjono Magelang serta menjadi bahan

kajian ilmu penyakit dalam.

Pada kesempatan ini penulis turut mengucapkan terimakasih kepada pihak-pihak yang telah

membantu penyusunan makalah laporan kasus ini, kepada :

1. dr.Dwi Hartanto, Sp.P sebagai dokter pembimbing

2. Teman-teman dokter muda kepaniteraan klinik Ilmu Penyakit Dalam

Penulis menyadari bahwa penulisan makalah ini masih memiliki keterbatasan. Oleh karena

itu saran dan kritik yang membangun sangatlah penulis harapkan. Besar harapan penulis, laporan ini

dapat bermanfaat bagi berbagai pihak.

Magelang, 28 Oktober 2015

Penulis

3

BAB I

LAPORAN KASUS

I.1 Identitas Pasien

Nama : Ny.I

Jenis kelamin : Perempuan

Umur : 51 tahun

Tanggal lahir : 01-07-1964

Status : Menikah

Agama : Islam

Suku Bangsa : Indonesia

Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga

Alamat : Ngencek RT 14/07 Kalikutho Grabag Magelang

Tanggal masuk : 1 Oktober 2015 / 11.55 WIB

Tanggal Keluar : 7 Oktober 2015

No. CM : 127323

Ruang : R.Isolasi Seruni

I.2 Anamnesis

I.2.1 Keluhan Utama

Batuk Darah

I.2.2 Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien Ny.I, usia 51 tahun datang ke Poli Paru RST Tk.II dr.Soedjono

Magelang) dengan keluhan batuk (+) berdahak (+) dan mengeluarkan darah (+)

warna merah segar(+) beberapa jam SMRS. Pasien mengaku batuk berdahak sejak

setengah bulan terakhir, akan tetapi pada tanggal 1 Oktober, pasien mengaku batuk

berdahaknya disertai bercak darah segar berwarna merah. Pasien juga mengeluh

dada sesak yang semakin diperberat ketika pasien batuk. Pasien menyangkal nyeri

dada yang dijalarkan ke lengan kiri atau kepunggung. Pasien tidak mengeluh mual

(-), muntah (-). Selain itu pasien mengaku badan terasa lemas dan pusing berputar.

Pusing dirasakan tidak semakin berat ketika untuk aktivitas seperti berjalan atau

yang lainnya. Makan minum masih normal. Nafsu makan tidak menurun. Pasien

4

mengaku tidak mengalami penurunan berat badan. BAB dan BAK masih dalam

batas normal. Pasien juga tidak pernah mengalami kaki atau tangan bengkak. Akan

tetapi pasien mengaku dalam tiga bulan terakhir setiap harinya pergi kepasar

dengan jarak tempuh 12 KM menggunakan sepeda motor tanpa menggunakan

masker. Selain itu, didalam rumah terdapat keluarga yang merokok aktif.

I.2.3 Riwayat Penyakit Dahulu

- Riwayat Keluhan Serupa : disangkal

- Riwayat Mondok : disangkal

- Riwayat asma : disangkal

- Riwayat alergi : disangkal

- Riwayat darah tinggi : disangkal

- Riwayat Penyakit Gula : disangkal

- Riwayat penyakit paru : Dalam Pengobatan TB Paru sudah berjalan 4

bulan dengan Hasil BTA (-) dan Rontgen (-)

- Riwayat penyakit jantung : disangkal

I.2.4 Riwayat Penyakit Keluarga

- Riwayat Keluhan Serupa : disangkal

- Riwayat asma : disangkal

- Riwayat alergi : disangkal

- Riwayat darah tinggi : disangkal

- Riwayat Penyakit Gula : disangkal

I.2.5 Riwayat Sosial Ekonomi

a. Community

Pasien tinggal diperkampungan. Rumah satu dengan yang lain berdekatan.

Hubungan antara pasien dengan anggota keluarga lain, tetangga dan keluarga dekat

cukup baik. Pasien sudah menikah..

b. Occupational

Pasien adalah Ibu Rumah Tangga.

c. Personal Habit

Tidak diketahui.

5

1.2.6 Riwayat Pemakaian Obat

Saat ini pasien mengkonsumsi obat FDC(Fixed-Dose Combination)

.I.3 Pemeriksaan Fisik

Keadaan Umum : Tampak sakit sedang

Kesadaran : compos mentis, GCS = 15 E4M6V5

BB : 54

TB : 157

IMT: 21,9

Vital sign

- Tekanan Darah : 140/90 mmHg

- Nadi : 82 x/menit

- RR : 20 x/menit

- Suhu : 36,2oC

Status Generalis

Bentuk kepala : Mesocephal, simetris, tanda radang (-)

Rambut : Warna rambut hitam, tidak mudah dicabut, terdistribusi

merata

Mata : Simetris, edema palpebra (-/-), konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik

(-/-), refleks pupil (+/+) normal isokor 3 mm,

Telinga : Discharge (-/-), deformitas (-/-)

Hidung : Dicharge (-/-), deformitas (-), nafas cuping hidung (-)

Mulut : Bibir pucat (-), sianosis (-), lidah sianosis (-), atrofi papil lidah (-)

Leher : deviasi trakea (-), pembesaran kelenjar tiroid (-), JVP dbn.

Thorax :

Pulmo

Inspeksi : Dinding dada simetris, retraksi interkostal (-), ketinggalan gerak (-),

jejas (-)

Palpasi : Vokal fremitus hemitoraks kanan sama dengan hemitoraks kiri

Perkusi : Sonor di kedua lapang paru

Auskultasi : Suara Dasar Vesikuler (+/+) normal, Ronkhi (+/+), Wheezing (-/-)

6

Cor

Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak

Palpasi : Ictus cordis kuat angkat

Perkusi : Batas Jantung Kanan : Normal ICS VI Linea Sternalis Dextra

Batas Jantung Kiri : bergeser ICS V 2 Jari kearah lateral dari

Linea Midclavicularis Sinistra.

Batas Pinggang Jantung : Bergeser ICS III Linea Midclavicula

Sinistra

Batas Jantung Atas : Normal ICS II Linea Sternalis Sinistra

Auskultasi : S2, S1, regular; murmur (-), gallop (-), S3 (-) , S4 (-)

Abdomen

Inspeksi : Datar

Auskultasi : Bising usus (+) Normal

Perkusi : Timpani

Palpasi : Supel, undulasi (-), nyeri tekan (-)

Hepar : Tidak teraba

Lien : Tidak teraba

Ekstremitas

Superior : Edema (-/-), akral dingin (-/-), sianosis (-/-), petekie (-/-)

Inferior : pitting edem (-/-), akral dingin (-/-), sianosis (-/-), petekie (-/-)

I.4 Daftar Masalah

Subjektif

1. Batuk berdahak

2. Batuk darah / hemoptisis

3. Riwayat keluhan serupa (+)

4. Riwayat mondok (+) 1 bulan yang lalu karena batuk berdahak darah

5. Riwayat masih dalam pengobatan TB (+)

6. Sesak

7. Pusing

8. Lemas

Objektif

7

9. Auskultasi paru : SD Vesikuller +/+ , rhonki +/+ , whezing -/-

10. GDS : 280 mg/dl (Hiperglikemia)

11. Kardiomegali

12. Corakan Bronkovaskuler >>

I.5 Hipotesis

- Bronkhitis kronik (1,2,6,7,8,9,12)

- Diabetes Melitus (7,8,10)

I.6 Planning

a. Diagnostik

- GDS

b. Terapi dari Raber :

- Inf. Asering 18 tpm

- Inj. Ceftriaxone 1x1

- Inj. Transamin 3x1

- Inj. Humulin R 3 x 8 UI /sc

- Metformin 500 mg 2x1

c. Monitoring

- keadaan umum dan kesadaran

- tanda vital

- pemeliharaan jalan napas dan stabilisasi pasien

d. Edukasi

- Menjelaskan mengenai penyakit pasien

- Etika Batuk

8

I.7 Follow Up Ruangan

Table 1.1 follow up tanggal 1 Oktober 2015

Tanggal S O A P

1/10/15

Siang

- Batuk darah

- lemes

KU/Kes : sedang/CM

VS :

TD : 110/70, N : 76,

RR : 26, S : 36,3oC

Mata : Ca -/-, Si -/-

mulut : mukosa hiperemis (-)

hidung : sekret (-)

telinga : sekret (-)

leher : pembesaran KGB (-)

Paru :

I: Simetris

P: vocal fremitus lapang paru kiri

dan kanan simetris

P : sonor pada lapang paru kiri

dan kanan

A: Sdv +/+, Rh +/+, Wh -/-

Jantung :

I : iktus kordis tidak terlihat

P : iktus kordis tidak kuat angkat

P : batas-batas jantung ada

pembesaran.

A : S1,S2 reguler, murmur (-),

gallop (-) S3 (-) S4 (-)

Abdomen :

I : datar

A : bising usus (+) normal

P : Supel, nyeri tekan (-)

epigastrium, defans muskular (-),

hepar dan limpa tidak teraba

P : Timpani

Ekstremitas : akral hangat

(-/-/-/-), deformitas (-/-/-/-),

edema (-/-/-/-), sianosis (-/-), CR

< 2 detik

- TB Paru

- Bronkhitis

- Bronkiektasis

- Pneumonia

- Kanker Paru

Diagnostic :

- Lab. Darah

Lengkap

- kimia darah

- foto rontgen thorax

T erapi :

- Inf. Asering 18 tpm

- Inj. Ceftriaxone 1x1

- Inj. Transamin 3x1

- Stopblet 3x 1

Monitoring :

KU, VS, hemoptisis

dan gejala klinisnya.

Edukasi :

- Tidur tanpa bantal

- Ajarkan etika batuk

-Anjurkan ttg metode

yg tepat pengontrolan

batuk

-anjurkan

melakuakan nafas

diagfragma

-jelaskan pd pasien

ttg kegunaan batuk

yg efektif dan

terdapat penumpukan

sekret di saluran

pernafasan

9

15.00 Lapor hasil lab GDS: 507

HCT = 33% (35-55)

MPV = 7,8fl (8-11)

Rontgen:

Corakan

broncovasikuler

meningkat

Kedua sinus

costoprenicus

Kedua diafragma licin

CTR > 0,5

Sistema tulang dalam

batas normal

Kesan: Bronchitis, Cardiomegali.

Lapor dr.Dwi H.

- DM Cek ulang GDS

19.30 Co. Sp.PD GDS: 217

Lapor dr.Dwi B.

- DM Terapi:

-Levemir 8 UI /SC

-Besok cek GDS

I.4 Pemeriksaan Penunjang

Tabel 1.2 Laboratorium hematologi tanggal 1.10.2015Pemeriksaan Hasil Unit Nilai

Rujukan

Info

WBC 4,6 K/Ul 3.5 10.0

LYM# 1,7 K/Ul 0,5 5,0

MID# 0,4 K/uL 0,1 1,5

GRA# 2,5 K/uL 1,2 8,0

LYM% 37,6 % 15,0 50,0

MID% 7,2 % 2,0 15,0

GRA% 55.2 % 35,0 80,0

RBC 4,26 M/ul 3,5 5,5

HGB 11,7 g/Dl 11,5 16,5

HCT 33.0 % 35,0 55,0

MCV 77,3 Fl 75,0 100,0

10

MCH 27,5 Pg 25,0 35,0

MCHC 35,5 g/dL 31,0 38,0

RDW 15,6 % 11,0 16,0

PLT 232 K/uL 100 400

MPV 7,8 Fl 8,0 11,0

Tabel 1.3 Laboratorium Elektrolit tanggal 1.10.2015

Nilai Nilai Normal

Glucose 507 70-115

Urea 41 17 – 43

Creatinine 1,0 9 – 1.3

SGOT 12 0-37

SGPT 13 0-41

Pemeriksaan Penunjang, Rontgen Thorax PA

1.10.2015

11

Table 1.4 follow up tanggal 2.10.2015

Tanggal S O A P

2/10/15 - Batuk darah

- lemas

KU/Kes : sedang/CM

VS :

TD : 160/90, N : 79,

RR : 20, S : 36,2oC

GDS : 202

Mata : Ca -/-, Si -/-

mulut : mukosa hiperemis (-)

hidung : sekret (-)

telinga : sekret (-)

leher : pembesaran KGB (-)

Paru :

I: Simetris

P: vocal fremitus lapang paru kiri

dan kanan simetris

P : sonor pada lapang paru kiri

dan kanan

A: Sdv +/+, Rh +/+, Wh -/-

Jantung :

I : iktus kordis tidak terlihat

P : iktus kordis tidak kuat angkat

P : batas-batas jantung ada

pembesaran.

A : S1,S2 reguler, murmur (-),

gallop (-) S3 (-) S4 (-)

Abdomen :

I : datar

A : bising usus (+) normal

P : Supel, nyeri tekan (-)

epigastrium, defans muskular (-),

hepar dan limpa tidak teraba

P : Timpani

Ekstremitas : akral hangat

(-/-/-/-), deformitas (-/-/-/-),

edema (-/-/-/-), sianosis (-/-), CR

< 2 detik

- Bronkhitis

- DM

T erapi :

- Inf. Asering 18 tpm

- Inj. Ceftriaxone 1x1

- Inj. Transamin 3x1

- Stopblet 3x1

- Inj. Hum R 3x6 UI

Monitoring :

KU, VS, hemoptisis

dan gejala klinisnya.

Edukasi :

-Tidur tanpa bantal

-Ajarkan etika batuk

-Anjurkan ttg metode

yg tepat pengontrolan

batuk

-anjurkan

melakuakan nafas

diagfragma

-jelaskan pd pasien

ttg kegunaan batuk

yg efektif dan

terdapat penumpukan

sekret di saluran

pernafasan

12

Table 1.5 follow up tanggal 3.10.2015

Tanggal S O A P

3/10/15 - Batuk KU/Kes : sedang/CM

VS :

TD : 170/90, N : 80,

RR : 22, S : 36oC

GDP : 213

Mata : Ca -/-, Si -/-

mulut : mukosa hiperemis (-)

hidung : sekret (-)

telinga : sekret (-)

leher : pembesaran KGB (-)

Paru :

I: Simetris

P: vocal fremitus lapang paru kiri

dan kanan simetris

P : sonor pada lapang paru kiri

dan kanan

A: Sdv +/+, Rh +/+, Wh -/-

Jantung :

I : iktus kordis tidak terlihat

P : iktus kordis tidak kuat angkat

P : batas-batas jantung ada

pembesaran.

A : S1,S2 reguler, murmur (-),

gallop (-) S3 (-) S4 (-)

Abdomen :

I : datar

A : bising usus (+) normal

P : Supel, nyeri tekan (-)

epigastrium, defans muskular (-),

hepar dan limpa tidak teraba

P : Timpani

Ekstremitas : akral hangat

(-/-/-/-), deformitas (-/-/-/-),

edema (-/-/-/-), sianosis (-/-), CR

< 2 detik

- Bronkhitis

- DM

T erapi :

- Inf. Asering 18 tpm

- Inj. Ceftriaxone 1x1

- Inj. Transamin 3x1

- Stopblet 3x1

- Inj. Hum R 3x6 UI

- Metformin 500 2x1

Monitoring :

KU, VS, hemoptisis

dan gejala klinisnya.

Edukasi :

-Tidur tanpa bantal

-Ajarkan etika batuk

-Anjurkan ttg metode

yg tepat pengontrolan

batuk

-anjurkan

melakuakan nafas

diagfragma

-jelaskan pd pasien

ttg kegunaan batuk

yg efektif dan

terdapat penumpukan

sekret di saluran

pernafasan

13

Table 1.6 follow up tanggal 4.10.2015

Tanggal S O A P

4/10/15 - Batuk

- Sesak

KU/Kes : sedang/CM

VS :

TD : 130/80, N : 82,

RR : 24, S : 36oC

GDP : 151

Mata : Ca -/-, Si -/-

mulut : mukosa hiperemis (-)

hidung : sekret (-)

telinga : sekret (-)

leher : pembesaran KGB (-)

Paru :

I: Simetris

P: vocal fremitus lapang paru kiri

dan kanan simetris

P : sonor pada lapang paru kiri

dan kanan

A: Sdv +/+, Rh +/+, Wh -/-

Jantung :

I : iktus kordis tidak terlihat

P : iktus kordis tidak kuat angkat

P : batas-batas jantung ada

pembesaran.

A : S1,S2 reguler, murmur (-),

gallop (-) S3 (-) S4 (-)

Abdomen :

I : datar

A : bising usus (+) normal

P : Supel, nyeri tekan (-)

epigastrium, defans muskular (-),

hepar dan limpa tidak teraba

P : Timpani

Ekstremitas : akral hangat

(-/-/-/-), deformitas (-/-/-/-),

edema (-/-/-/-), sianosis (-/-), CR

< 2 detik

- Bronkhitis

- DM

T erapi :

- Inf. Asering 18 tpm

- Inj. Ceftriaxone 1x1

- Inj. Transamin 3x1

- Stopblet 3x 1

- Inj. Hum R 3x6 UI

- Metformin 500 2x1

Monitoring :

Beri O2,

Pantau KU, VS,

hemoptisis dan gejala

klinisnya.

Edukasi :

-Tidur tanpa bantal

-Ajarkan etika batuk

-Anjurkan ttg metode

yg tepat pengontrolan

batuk

-anjurkan

melakuakan nafas

diagfragma

-jelaskan pd pasien

ttg kegunaan batuk

yg efektif dan

terdapat penumpukan

sekret di saluran

pernafasan

14

Table 1.7 follow up tanggal 5.10.2015

Tanggal S O A P

5/10/15 - Batuk

- Sesak

berkurang

KU/Kes : sedang/CM

VS :

TD : 170/90, N : 82,

RR : 20, S : 36oC

GDS : 280

Mata : Ca -/-, Si -/-

mulut : mukosa hiperemis (-)

hidung : sekret (-)

telinga : sekret (-)

leher : pembesaran KGB (-)

Paru :

I: Simetris

P: vocal fremitus lapang paru kiri

dan kanan simetris

P : sonor pada lapang paru kiri

dan kanan

A: Sdv +/+, Rh +/+, Wh -/-

Jantung :

I : iktus kordis tidak terlihat

P : iktus kordis tidak kuat angkat

P : batas-batas jantung ada

pembesaran.

A : S1,S2 reguler, murmur (-),

gallop (-) S3 (-) S4 (-)

Abdomen :

I : datar

A : bising usus (+) normal

P : Supel, nyeri tekan (-)

epigastrium, defans muskular (-),

hepar dan limpa tidak teraba

P : Timpani

Ekstremitas : akral hangat

(-/-/-/-), deformitas (-/-/-/-),

edema (-/-/-/-), sianosis (-/-), CR

- Bronkhitis

- DM

T erapi :

- Inf. Asering 18 tpm

- Inj. Ceftriaxone 1x1

- Inj. Transamin 3x1

- Stopblet 3x 1

- Inj. Hum R 3x8

UI/sc

- Metformin 500 2x 1

Monitoring :

Beri O2,

Pantau KU, VS,

hemoptisis dan gejala

klinisnya

Edukasi :

-Tidur tanpa bantal

-Ajarkan etika batuk

-Anjurkan ttg metode

yg tepat pengontrolan

batuk

-anjurkan

melakuakan nafas

diagfragma

-jelaskan pd pasien

ttg kegunaan batuk

yg efektif dan

terdapat penumpukan

sekret di saluran

pernafasan

15

< 2 detik

Table 1.8 follow up tanggal 6.10.2015

Tanggal S O A P

6/10/15 - Batuk KU/Kes : sedang/CM

VS :

TD : 140/90, N : 82,

RR : 20, S : 36,2oC

GDS : 181

Mata : Ca -/-, Si -/-

mulut : mukosa hiperemis (-)

hidung : sekret (-)

telinga : sekret (-)

leher : pembesaran KGB (-)

Paru :

I: Simetris

P: vocal fremitus lapang paru kiri

dan kanan simetris

P : sonor pada lapang paru kiri

dan kanan

A: Sdv +/+, Rh +/+, Wh -/-

Jantung :

I : iktus kordis tidak terlihat

P : iktus kordis tidak kuat angkat

P : batas-batas jantung ada

pembesaran.

A : S1,S2 reguler, murmur (-),

gallop (-) S3 (-) S4 (-)

Abdomen :

I : datar

A : bising usus (+) normal

P : Supel, nyeri tekan (-)

epigastrium, defans muskular (-),

hepar dan limpa tidak teraba

P : Timpani

Ekstremitas : akral hangat

(-/-/-/-), deformitas (-/-/-/-),

- Bronkhitis

- DM

T erapi :

- Inj. Ceftriaxone

- Stopblet

STOP

- Inf. Asering 18 tpm

-Inj. Transamin 3x1

-Inj.Hum R 3x8UI/sc

-Metformin 500 2x1

Monitoring :

Beri O2,

Pantau KU, VS,

hemoptisis dan gejala

klinisnya.

Edukasi :

-Tidur tanpa bantal

-Ajarkan etika batuk

-Anjurkan ttg metode

yg tepat pengontrolan

batuk

-anjurkan

melakuakan nafas

diagfragma

-jelaskan pd pasien

ttg kegunaan batuk

yg efektif dan

terdapat penumpukan

sekret di saluran

pernafasan

16

edema (-/-/-/-), sianosis (-/-), CR

< 2 detik

Table 1.9 follow up tanggal 7.10.2015

Tanggal S O A P

7/10/15 - Batuk darah

- lemas

KU/Kes : sedang/CM

VS :

TD : 130/80, N : 82,

RR : 22, S : 36oC

GDS : 141

Mata : Ca -/-, Si -/-

mulut : mukosa hiperemis (-)

hidung : sekret (-)

telinga : sekret (-)

leher : pembesaran KGB (-)

Paru :

I: Simetris

P: vocal fremitus lapang paru kiri

dan kanan simetris

P : sonor pada lapang paru kiri

dan kanan

A: Sdv +/+, Rh +/+, Wh -/-

Jantung :

I : iktus kordis tidak terlihat

P : iktus kordis tidak kuat angkat

P : batas-batas jantung ada

pembesaran.

A : S1,S2 reguler, murmur (-),

gallop (-) S3 (-) S4 (-)

Abdomen :

I : datar

A : bising usus (+) normal

P : Supel, nyeri tekan (-)

epigastrium, defans muskular (-),

hepar dan limpa tidak teraba

P : Timpani

- Bronkhitis

- DM

T erapi :

- Inf. Asering 18 tpm

- Inj. Transamin 3x1

- Inj. Hum R 3x8 UI

- Metformin 500 2x1

Monitoring :

Beri O2,

Pantau KU, VS,

hemoptisis dan gejala

klinisnya.

Edukasi :

-Tidur tanpa bantal

-Ajarkan etika batuk

-Anjurkan ttg metode

yg tepat pengontrolan

batuk

-anjurkan

melakuakan nafas

diagfragma

-jelaskan pd pasien

ttg kegunaan batuk

yg efektif dan

terdapat penumpukan

sekret di saluran

pernafasan

17

Ekstremitas : akral hangat

(-/-/-/-), deformitas (-/-/-/-),

edema (-/-/-/-), sianosis (-/-), CR

< 2 detik

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. HEMOPTISIS

1.1 DEFINISI

Batuk darah merupakan suatu gejala atau tanda dari suatu penyakit infeksi. Volume

darah yang dibatukkan bervariasi dan dahak bercampur darah dalam jumlah minimal hingga

masif, tergantung laju perdarahan dan lokasi perdarahan. Batuk darah atau hemoptisis adalah

ekspektorasi darah akibat perdarahan pada saluran napas di bawah laring, atau perdarahan

yang keluar melalui saluran napas bawah laring. Batuk darah lebih sering merupakan tanda

atau gejala dari penyakit dasar sehingga etiologi harus dicari melalui pemeriksaan yang lebih

teliti. Batuk darah masif dapat diklasifikasikan berdasarkan volume darah yang dikeluarkan

pada periode tertentu. Batuk darah masif memerlukan penanganan segera karena dapat

mengganggu pertukaran gas di paru dan dapat mengganggun kestabilan hemodinamik

penderita sehingga bila tidak ditangani dengan baik dapat mengancam jiwa. Mungkin ini

merupakan manifestasi yang paling dini dari tuberkulosis aktif. Sebab-sebab lain dari

hemoptisis adalah karsinoma bronkogenik, infarksi, dan abses paru-paru.

Hemoptisis harus dibedakan dengan hematemesis. Hematemesis disebabkan oleh lesi

pada saluran cerna, sedangkan hemoptisis disebabkan oleh lesi pada paru atau

bronkus/bronkiolus.

1.2 ETIOLOGI

Sumber perdarahan hemoptisis dapat berasal dari sirkulasi pulmoner atau sirkulasi

bronkial. Hempotisis masif sumber perdarahan umumnya berasal dari sirkulasi bronkial ( 95

% ). Sirkulasi pulmoner memperdarahi alveol dan duktus alveol, sistem sirkulasi ini

bertekanan rendah dengan dinding pembuluh darah yang tipis. Sirkulasi bronkial

memperdarahi trakea, bronkus utama sampai bronkiolus dan jaringan penunjang paru,

esofagus, mediastinum posterior dan vasa vasorum arteri pulmoner. Sirkulasi bronkial ini

18

terdiri dari arteri bronkialis dan vena bronkialis. Asal anatomis perdarahan berbeda tiap

proses patologik tertentu:

(a). bronkitis akibat pecahnya pembuluh darah superfisial di mukosa,

(b) TB paru akibat robekan atau ruptur aneurisma arteri pulmoner (dinding kaviti

“aneurisma Rassmussen”). atau akibat pecahnya anastomosis bronkopulmoner atau

proses erosif pada arteri bronkialis,

(c) infeksi kronik akibat inflamasi sehingga terjadi pembesaran & proliferasi arteri

bronchial misal : bronkiektasis, aspergilosis atau fibrosis kistik,

(d) kanker paru akibat pembuluh darah yg terbentuk rapuh sehingga mudah berdarah.

Penyebab batuk darah sangat beragam antara lain :

1. Infeksi : tuberkulosis, staphylococcus, klebsiella, legionella), jamur, virus

2. Kelainan paru seperti bronchitis, bronkiektasis, emboli paru, kistik fibrosis,

emfisema bulosa

3. Neoplasma : kanker paru, adenoma bronchial, tumor metastasis

4. Kelainan hematologi : disfungsi trombosit, trombositopenia, disseminated

intravascular coagulation (DIC)

5. Kelainan jantung : mitral stenosis, endokarditis tricuspid

6. Kelainan pembuluh darah : hipertensi pulmoner, malformasi arterivena, aneurisma

aorta

7. Trauma : jejas toraks, rupture bronkus, emboli lemak

8. Iatrogenik : akibat tindakan bronkoskopi, biopsi paru, kateterisasi swan-ganz,

limfangiografi

9. Kelainan sistemik : sindrom goodpasture, idiopathic pulmonary hemosiderosis,

systemic lupus erytematosus, vaskulitis (granulomatosis wagener, purpura henoch

schoenlein, sindrom chrug-strauss)

10. Obat / toksin : aspirin, antikoagulan, penisilamin, kokain

11. Lain-lain : endometriosis, bronkiolitiasis, fistula bronkopleura, benda asing,

hemoptisis kriptogenik, amiloidosis.

Penyebab terpenting dari hemoptisis masif adalah :

1. Tumor :

a. Karsinoma.

b. Adenoma.

19

c. Metastasis endobronkial dari massa tumor ekstratorakal.

2. Infeksi

a. Aspergilloma.

b. Bronkhiektasis (terutama pada lobus atas).

c. Tuberkulosis paru.

3. Infark Paru

4. Udem paru, terutama disebabkan oleh mitral stenosis

5. Perdarahan paru

a. Sistemic Lupus Eritematosus

b. Goodpasture’s syndrome.

c. Idiopthic pulmonary haemosiderosis.

d. Bechet’s syndrome.

6. Cedera pada dada/trauma

a. Kontusio pulmonal.

b. Transbronkial biopsi.

c. Transtorakal biopsi memakai jarum.

7. Kelainan pembuluh darah

a. Malformasi arteriovena.

b. Hereditary haemorrhagic teleangiectasis.

8. Bleeding diathesis.

Penyebab hemoptoe banyak, tapi secara sederhana dapat dibagi dalam 3 kelompok

yaitu : infeksi, tumor dan kelainan kardiovaskular. Infeksi merupakan penyebab yang sering

didapatkan antara lain : tuberkulosis, bronkiektasis dan abses paru. Pada dewasa muda,

tuberkulosis paru, stenosis mitral, dan bronkiektasis merupakan penyebab yang sering

didapat. Pada usia diatas 40 tahun karsinoma bronkus merupakan penyebab yang sering

didapatkan, diikuti tuberkulsosis dan bronkiektasis. Penelitian yang dilakukan di RS

persahabatan oleh Retno dkk : 323 pasien hemoptisis di IGD RS Persahabatan didapatkan TB

paru 64,43 %, bronkiektasis 16,71 % , karsinoma paru 3,4 % dan Maria : 102 pasien

hemoptisis rawat inap dan IGD RS Persahabatan didapatkan TB paru 75,6 %, bekas TB paru

16,7 %, bronkiektasis 7,8 %.

1.3. PATOFISIOLOGI HEMOPTISIS

20

Setiap proses yang terjadi pada paru akan mengakibatkan hipervaskularisasi dari

cabang-cabang arteri bronkialis yang berperanan untuk memberikan nutrisi pada jaringan

paru bila terjadi kegagalan arteri pulmonalis dalam melaksanakan fungsinya untuk pertukaran

gas. Terdapatnya aneurisma Rasmussen pada kaverna tuberkulosis yang merupakan asal dari

perdarahan pada hemoptoe masih diragukan. Teori terjadinya perdarahan akibat pecahnya

aneurisma dari Ramussen ini telah lama dianut, akan tetapi beberapa laporan autopsi

membuktikan bahwa terdapatnya hipervaskularisasi bronkus yang merupakan percabangan

dari arteri bronkialis lebih banyak merupakan asal dari perdarahan pada hemoptoe. (4)

Mekanisma terjadinya batuk darah adalah sebagai berikut :

1. Radang mukosa

Pada trakeobronkitis akut atau kronis, mukosa yang kaya pembuluh darah menjadi

rapuh, sehingga trauma yang ringan sekalipun sudah cukup untuk menimbulkan batuk

darah.

2. Infark paru

Biasanya disebabkan oleh emboli paru atau invasi mikroorganisme pada pembuluh

darah, seperti infeksi coccus, virus, dan infeksi oleh jamur.

3. Pecahnya pembuluh darah vena atau kapiler

Distensi pembuluh darah akibat kenaikan tekanan darah intraluminar seperti pada

dekompensasi cordis kiri akut dan mitral stenosis.

4. Kelainan membran alveolokapiler

Akibat adanya reaksi antibodi terhadap membran, seperti padaGoodpasture’s

syndrome.

5. Perdarahan kavitas tuberkulosa

Pecahnya pembuluh darah dinding kavitas tuberkulosis yang dikenal dengan

aneurisma Rasmussen; pemekaran pembuluh darah ini berasal dari cabang pembuluh

darah bronkial. Perdarahan pada bronkiektasis disebabkan pemekaran pembuluh

darah cabang bronkial. Diduga hal ini terjadi disebabkan adanya anastomosis

pembuluh darah bronkial dan pulmonal. Pecahnya pembuluh darah pulmonal dapat

menimbulkan hemoptisis masif.

6. Invasi tumor ganas

7. Cedera dada

Akibat benturan dinding dada, maka jaringan paru akan mengalami transudasi ke

dalam alveoli dan keadaan ini akan memacu terjadinya batuk darah.

21

1.4. KLASIFIKASI

Klasifikasi didasarkan pada perkiraan jumlah darah yang dibatukkan.

1. Bercak (Streaking) : <15-20 ml/24 jam

Yang sering terjadi darah bercampur dengan sputum. Umumnya pada bronkitis.

2. Hemoptisis: 20-600 ml/24 jam

Hal ini berarti perdarahan pada pembuluh darh yang lebih besar. Biasanya pada

kanker paru, pneumonia, TB, atau emboli paru.

3. Hemoptisis massif : >600 ml/24 jam

Biasanya pada kanker paru, kavitas pada TB, atau bronkiektasis.

4. Pseudohemoptisis

Merupakan batuk darah dari struktur saluran napas bagian atas (di atas laring) atau

dari saluran cerna atas atau hal ini dapat berupa perdarahan buatan (factitious).

Berdasarkan penyebabnya dikenal berbagai macam batuk darah :

1. Batuk darah idiopatik atau esensial dimana penyebabnya tidak diketahui

Angka kejadian batuk darah idiopatik sekitar 15% tergantung fasilitas penegakan

diagnosis. Pria terdapat dua kali lebih banyak daripada wanita, berumur sekitar 30

tahun, biasanya perdarahan dapat berhenti sendiri sehingga prognosis baik. Teori

perdarahan ini adalah sebagai berikut :

a. Adanya ulserasi mukosa yang tidak dapat dicapai oleh bronkoskopi.

b. Bronkiektasis yang tidak dapat ditemukan.

c. Infark paru yang minimal.

d. Menstruasi vikariensis.

e. Hipertensi pulmonal.

2. Batuk darah sekunder, yang penyebabnya dapat di pastikan

a. Pada prinsipnya berasal dari :

b. Saluran napas

i. Yang sering ialah tuberkulosis, bronkiektasis, tumor paru, pneumonia

dan abses paru.

22

ii. Menurut Bannet, 82 – 86% batuk darah disebabkan oleh tuberkulosis

paru, karsinoma paru dan bronkiektasis.

iii. Yang jarang dijumpai adalah penyakit jamur (aspergilosis), silikosis,

penyakit oleh karena cacing.

c. Sistem kardiovaskuler

i. Yang sering adalah stenosis mitral, hipertensi.

ii. Yang jarang adalah kegagalan jantung, infark paru, aneurisma aorta.

d. Lain-lain

i. Disebabkan oleh benda asing, ruda paksa, penyakit darah seperti

hemofilia, hemosiderosis, sindrom Goodpasture, eritematosus lupus

sistemik, diatesis hemoragik dan pengobatan dengan obat-obat

antikoagulan

Berdasarkan jumlah darah yang dikeluarkan maka hemoptisis dapat dibagi atas :

1. Hemoptisis massif

Bila darah yang dikeluarkan adalah 100-160 cc dalam 24 jam.

2. Kriteria yang digunakan di rumah sakit Persahabatan Jakarta :

Bila perdarahan lebih dari 600 cc / 24 jam

Bila perdarahan kurang dari 600 cc dan lebih dari 250 cc / 24 jam, akan

tetapi Hb kurang dari 10 g%.

Bila perdarahan lebih dari 600 cc / 24 jam dan Hb kurang dari 10 g%,

tetapi dalam pengamatan 48 jam ternyata darah tidak berhenti. 

Kesulitan dalam menegakkan diagnosis ini adalah karena pada hemoptoe

selain terjadi vasokonstriksi perifer, juga terjadi mobilisasi dari depot

darah, sehingga kadar Hb tidak selalu memberikan gambaran besarnya

perdarahan yang terjadi.

Kriteria dari jumlah darah yang dikeluarkan selama hemoptoe juga

mempunyai kelemahan oleh karena :

o Jumlah darah yang dikeluarkan bercampur dengan sputum dan

kadang-kadang dengan cairan lambung, sehinga sukar untuk

menentukan jumlah darah yang hilang sesungguhnya.

o Sebagian dari darah tertelan dan dikeluarkan bersama-sama dengan

tinja, sehingga tidak ikut terhitung

o Sebagian dari darah masuk ke paru-paru akibat aspirasi.

23

Oleh karena itu suatu nilai kegawatan dari hemoptisis ditentukan oleh :

Apakah terjadi tanda-tanda hipotensi yang mengarah pada renjatan hipovolemik

(hypovolemik shock).

Apakah terjadi obstruksi total maupun parsial dari bronkus yang dapat dinilai dengan

adanya iskemik miokardium, baik berupa gangguan aritmia, gangguan mekanik pada

jantung, maupun aliran darah serebral. Dalam hal kedua ini dilakukan pemantauan

terhadap gas darah, disamping menentukan fungsi-fungsi vital. Oleh karena itu suatu

tingkat kegawatan hemoptoe dapat terjadi dalam dua bentuk, yaitu bentuk akut berupa

asfiksia, sedangkan bentuk yang lain berupa renjatan hipovolemik.

Bila terjadi hemoptisis, maka harus dilakukan penilaian terhadap:

Warna darah untuk membedakannya dengan hematemesis.

Lamanya perdarahan.

Terjadinya mengi (wheezing) untuk menilai besarnya obstruksi.

Keadaan umum pasien, tekanan darah, nadi, respirasi dan tingkat kesadaran.

Klasifikasi menurut Pusel  :

+ : batuk dengan perdarahan yang hanya dalam bentuk garis-garis dalam sputum

++ : batuk dengan perdarahan 1 – 30 ml

+++ : batuk dengan perdarahan 30 – 150 ml

++++ : batuk dengan perdarahan > 150 ml

Positif satu dan dua dikatakan masih ringan, positif tiga hemoptisis sedang, positif

empat termasuk di dalam kriteria hemoptisis masif.

Perbedaan hemoptoe dengan hematemesis

Untuk membedakan antara muntah darah (hematemesis) dan batuk darah (hemoptoe)

bila dokter tidak hadir pada waktu pasien batuk darah, maka pada batuk darah (hemoptoe)

akan didapatkan tanda-tanda sebagai berikut :

Tanda-tanda batuk darah:

1. Didahului batuk keras yang tidak tertahankan.

2. Terdengar adanya gelembung-gelembung udara bercampur darah di dalam saluran

napas.

24

3. Terasa asin / darah dan gatal di tenggorokan.

4. Warna darah yang dibatukkan merah segar bercampur buih, beberapa hari kemudian

warna menjadi lebih tua atau kehitaman.

5. pH alkalis.

6. Bisa berlangsung beberapa hari

7. Penyebabnya : kelainan paru

Tanda-tanda muntah darah :

1. Tanpa batuk, tetapi keluar darah waktu muntah.

2. Suara napas tidak ada gangguan.

3. Didahului rasa mual / tidak enak di epigastrium.

4. Darah berwarna merah kehitaman, bergumpal-gumpal bercampur sisa makanan.

5. pH asam.

6. Frekuensi muntah darah tidak sekerap hemoptoe.

7. Penyebabnya : sirosis hati, gastritis.

Differentiating Features of Hemoptysis and Hematemesis

Hemoptysis Hematemesis

History

Absence of nausea and vomiting Presence of nausea and vomiting

Lung disease Gastric or hepatic disease

Asphyxia possible Asphyxia unusual

Sputum examination

Frothy Rarely frothy

Liquid or clotted appearance Coffee ground appearance

Bright red or pink Brown to black

Laboratory

Alkaline Ph Acidic pH

25

Hemoptysis Hematemesis

Mixed with macrophages and neutrophils Mixed with food particles

Diagnostic Clues in Hemoptysis: Physical History

Clinical clues Suggested diagnosis*

Anticoagulant use Medication effect, coagulation disorder

Association with menses Catamenial hemoptysis

Dyspnea on exertion, fatigue, orthopnea,

paroxysmal nocturnal dyspnea, frothy pink

sputum

Congestive heart failure, left ventricular

dysfunction, mitral valve stenosis

Fever, productive cough Upper respiratory infection, acute sinusitis, acute

bronchitis, pneumonia, lung abscess

History of breast, colon, or renal cancers Endobronchial metastatic disease of lungs

History of chronic lung disease, recurrent

lower respiratory track infection, cough

with copious purulent sputum

Bronchiectasis, lung abscess

HIV, immunosuppression Neoplasia, tuberculosis, Kaposi’s sarcoma

Nausea, vomiting, melena, alcoholism,

chronic use of nonsteroidal anti-

inflammatory drugs

Gastritis, gastric or peptic ulcer, esophageal

varices

Pleuritic chest pain, calf tenderness Pulmonary embolism or infarction

Tobacco use Acute bronchitis, chronic bronchitis, lung

cancer, pneumonia

Travel history Tuberculosis, parasites (e.g., paragonimiasis,

schistosomiasis, amebiasis, leptospirosis),

biologic agents (e.g., plague, tularemia, T2

26

Clinical clues Suggested diagnosis*

mycotoxin)

Weight loss Emphysema, lung cancer, tuberculosis,

bronchiectasis, lung abscess, HIV

1.5 DIAGNOSIS

Hal utama yang penting adalah memastikan apakah darah benar- benar bukan dari

muntahan dan tidak berlangsung saat perdarahan hidung. Hemoptisis sering mudah dilacak

dari riwayat. Dapat ditemukan bahwa pada hematemesis darah berwarna kecoklatan atau

kehitaman dan sifatnya asam. Darah dari epistaksis dapat tertelan kembali melalui faring dan

terbatukkan yang disadari penderita serta adanya darah yang memancar dari hidung. 

Untuk menegakkan diagnosis, seperti halnya pada penyakit lain perlu dilakukan urutan-

urutan dari anamnesis yang teliti hingga pemeriksaan fisik maupun penunjang sehingga

penanganannya dapat disesuaikan.

1) Anamnesis

Untuk mendapatkan riwayat penyakit yang lengkap sebaiknya diusahakan untuk

mendapatkan data-data :

- Jumlah dan warna darah

- Lamanya perdarahan

- Batuknya produktif atau tidak

- Batuk terjadi sebelum atau sesudah perdarahan

- Sakit dada, substernal atau pleuritik

- Hubungannya perdarahan dengan : istirahat, gerakan fisik, posisi badan dan batuk

- Wheezing

- Riwayat penyakit paru atau jantung terdahulu. 

- Perdarahan di tempat lain serempak dengan batuk darah

- Perokok berat dan telah berlangsung lama

- Sakit pada tungkai atau adanya pembengkakan serta sakit dada

- Hematuria yang disertai dengan batuk darah.

Untuk membedakan antara batuk darah dengan muntah darah dapat digunakan

petunjuk sebagai berikut  :

Keadaan Hemoptoe Hematemesis

27

1. Prodromal Rasa tidak enak di

tenggorokan, ingin batuk

Mual, stomach distress

2. Onset Darah dibatukkan, dapat

disertai batuk

Darah dimuntahkan

dapat disertai batuk

3. Penampilan darah Berbuih Tidak berbuih

4. Warna Merah segar Merah tua

5. Isi Lekosit, mikroorganisme,

makrofag, hemosiderin

Sisa makanan

6. Reaksi Alkalis (pH tinggi) Asam (pH rendah)

7. Riwayat Penyakit

Dahulu

Menderita kelainan paru Gangguan lambung,

kelainan hepar

8. Anemi Kadang-kadang Selalu

9. Tinja Warna tinja normal

Guaiac test (-)

Tinja bisa berwarna

hitam, Guaiac test (-)

2. Pemeriksaan fisik

Pada pemeriksaan fisik dicari gejala/tanda lain di luar paru yang dapat

mendasari terjadinya batuk darah, antara lain : jari tabuh, bising sistolik

dan opening snap, pembesaran kelenjar limfe, ulserasi septum nasalis,

teleangiektasi. 

3. Pemeriksaan penunjang

Foto toraks dalam posisi AP dan lateral hendaklah dibuat pada setiap penderita

hemoptisis masif. Gambaran opasitas dapat menunjukkan tempat perdarahannya.

4. Pemeriksaan bronkoskopi

Sebaiknya dilakukan sebelum perdarahan berhenti, karena dengan demikian

sumber perdarahan dapat diketahui.

Adapun indikasi bronkoskopi pada batuk darah adalah :

1. Bila radiologik tidak didapatkan kelainan

2. Batuk darah yang berulang – ulang

3. Batuk darah masif : sebagai tindakan terapeutik 

Tindakan bronkoskopi merupakan sarana untuk menentukan diagnosis,

lokasi perdarahan, maupun persiapan operasi, namun waktu yang tepat untuk

28

melakukannya merupakan pendapat yang masih kontroversial, mengingat bahwa

selama masa perdarahan, bronkoskopi akan menimbulkan batuk yang lebih

impulsif, sehingga dapat memperhebat perdarahan disamping memperburuk fungsi

pernapasan. Lavase dengan bronkoskop fiberoptic dapat menilai bronkoskopi

merupakan hal yang mutlak untuk menentukan lokasi perdarahan.

Dalam mencari sumber perdarahan pada lobus superior, bronkoskop serat

optik jauh lebih unggul, sedangkan bronkoskop metal sangat bermanfaat dalam

membersihkan jalan napas dari bekuan darah serta mengambil benda asing,

disamping itu dapat melakukan penamponan dengan balon khusus di tempat

terjadinya perdarahan. 

Penanganan

Pada umumnya hemoptoe ringan tidak diperlukan perawatan khusus dan biasanya

berhenti sendiri. Yang perlu mendapat perhatian yaitu hemoptisis yang masif.

Tujuan pokok terapi ialah :

1. Mencegah tersumbatnya saluran napas oleh darah yang beku

2. Mencegah kemungkinan penyebaran infeksi

3. Menghentikan perdarahan

Sasaran-sasaran terapi yang utama adalah memberikan suport kardiopulmaner dan

mengendalikan perdarahan sambil mencegah asfiksia yang merupakan penyebab utama

kematian pada para pasien dengan hemoptisis masif. 

Masalah utama dalam hemoptoe adalah terjadinya pembekuan dalam saluran napas

yang menyebabkan asfiksi. Bila terjadi afsiksi, tingkat kegawatan hemoptoe paling tinggi dan

menyebabkan kegagalan organ yang multipel. Hemoptoe dalam jumlah kecil dengan refleks

batuk yang buruk dapat menyebabkan kematian. Dalam jumlah banyak dapat menimbukan

renjatan hipovolemik. 

Pada prinsipnya, terapi yang dapat dilakukan adalah :

- Terapi konservatif 

- Terapi definitif atau pembedahan. 

1. Terapi konservatif

29

Pasien harus dalam keadaan posisi istirahat, yakni posisi miring (lateral

decubitus).  Kepala lebih rendah dan miring ke sisi yang sakit untuk mencegah

aspirasi darah ke paru yang sehat.

Melakukan suction dengan kateter setiap terjadi perdarahan.

Batuk secara perlahan – lahan untuk mengeluarkan darah di dalam saluran saluran

napas untuk mencegah bahaya sufokasi.

Dada dikompres dengan es – kap, hal ini biasanya menenangkan penderita.

Pemberian obat – obat penghenti perdarahan (obat – obat hemostasis), misalnya

vit. K, ion kalsium, trombin dan karbazokrom.

Antibiotika untuk mencegah infeksi sekunder.

Pemberian cairan atau darah sesuai dengan banyaknya perdarahan yang terjadi.

Pemberian oksigen

Tindakan selanjutnya bila mungkin :

Menentukan asal perdarahan dengan bronkoskopi

Menentukan penyebab dan mengobatinya, misal aspirasi darah dengan

bronkoskopi dan pemberian adrenalin pada sumber perdarahan.

2. Terapi pembedahan

Reseksi bedah segera pada tempat perdarahan merupakan pilihan.

Tindakan operasi ini dilakukan atas pertimbangan :

a. Terjadinya hemoptisis masif yang mengancam kehidupan pasien.

b. Pengalaman berbagai penyelidik menunjukkan bahwa angka kematian pada

perdarahan yang masif menurun dari 70% menjadi 18% dengan tindakan

operasi.

c. Etiologi dapat dihilangkan sehingga faktor penyebab terjadinya hemoptoe

yang berulang dapat dicegah.

Busron (1978) menggunakan pula indikasi pembedahan sebagai berikut :

1. Apabila pasien mengalami batuk darah lebih dari 600 cc / 24 jam dan dalam

pengamatannya perdarahan tidak berhenti.

2. Apabila pasien mengalami batuk darah kurang dari 600 cc / 24 jam dan tetapi lebih

dari 250 cc / 24 jam jam dengan kadar Hb kurang dari 10 g%, sedangkan batuk

darahnya masih terus berlangsung.

30

3. Apabila pasien mengalami batuk darah kurang dari 600 cc / 24 jam dantetapi lebih

dari 250 cc / 24 jam dengan kadar Hb kurang dari 10 g%, tetapi selama pengamatan

48 jam yang disertai dengan perawatan konservatif batuk darah tersebut tidak

berhenti.

Sebelum pembedahan dilakukan, sedapat mungkin diperiksa faal paru dan dipastikan asal

perdarahannya, sedang jenis pembedahan berkisar dari segmentektomi, lobektomi dan

pneumonektomi dengan atau tanpa torakoplasti.

Penting juga dilakukan usaha-usaha untuk menghentikan perdarahan. Metode yang mungkin

digunakan adalah :

- Dengan memberikan cairan es garam yang dilakukan dengan bronkoskopi serat lentur

dengan posisi pada lokasi bronkus yang berdarah. Masukkan larutan NaCl fisiologis

pada suhu 4°C sebanyak 50 cc, diberikan selama 30-60 detik. Cairan ini kemudian

dihisap dengan suction.

- Dengan menggunakan kateter balon yang panjangnya 20 cm penampang 8,5 mm.

Penatalaksanaan hemoptisis masif memerlukan penanganan khusus agar tidak

berakibat fatal dengan angka mortaliti hemoptisis masif 75 % disebabkan oleh asfiksia.

Pasien dengan hemoptisis masif seharusnya dirawat di unit perawatan intensif untuk

memonitor status hemodinamik dan penilaian jumlah darah yang hilang. Penatalaksanaan

dilakukan melalui tiga tahap:

1. Proteksi jalan napas dan stabilisasi pasien

2. Lokalisasi sumber perdarahan dan penyebab perdarahan

3. Terapi spesifik

Tahap 1 adalah mempertahankan jalan napas yang adekuat, pemberian

suplementasi oksigen, koreksi koagulapati, resusitasi cairan, dan berusah melokalisir

sumber perdarahan.

Tahap 2 setelah pasien dalam keaadan stabil perlu dilakukan

pemeriksaan lebih lanjut mencari sumber perdarahan dan penyebab perdarahan.

Pemeriksaan yang dapat dilakukan antara lain : foto toraks,CT scann toraks,

angiografi, bronkoskopi ( BSOL atau bronkoskop kaku ).

Tahap 3 adalah menghentikan perdarahan dan mencegah perdarahan

berulang. Terapi ini dibagi 2 yaitu ( a ) dengan bronkoskop antara lain melakukan

bilasan garam fisiologis , epinefrin , pemberian trombin fibrinogen , tamponade

dengan balon., ( b ) tanpa bronkoskop antara lain pemberian obat dan antifibrinolitik

pengobatan penyakit primernya.

31

- Embolisasi arteri bronkialis dan pulmoner

Teknik ini pertama kali dilakukan oleh Remy dkk pada tahun 1973. Teknik ini

adalah melakukan oklusi pembuluh darah yang menjadi sumber perdarahan dengan

embolisasi transkateter. Embolisasi ini dapat dilakukan pada arteri bronkialis dan

sirkulasi pulmoner. Teknik ini terutama dipilih untuk penderita dengan kelaina paru

bilateral, fungsi paru sisa yang minimal, menolak operasi ataupun memiliki

kontraindikasi tindakan operasi. Terapi ini dapat diulang beberapa kali untuk

mengontrol perdarahan. Embolisasi memiliki angka keberhasilan dalam mengontrol

perdarahan (jangka pendek) antara 64-100%. Pada evaluasi lanjut selama 3-5 tahun,

Rabkin dkk mengamati terjadinya rekurensi perdarahan pada 23% penderita.

Komplikasi yang dapat terjadi yaitu akibat oklusi arteri bronkialis yaitu nyeri dada,

demam maupun emboli ektopik.

- Pembedahan

Terapi definitif hemoptisis adalah pembedahan. Tindakan bedah dilakukan

bila pasien memenuhi persyaratan sebagai berikut : a. diketahui jelas sumber

perdarahan, . b. tidak ada kontra indikasi medik, c. setelah dilakukan pembedahan sisa

paru masih mempunyai fungsi yang adekuat ( faal paru adekuat ), d. pasien bersedia

dilakukan tindakan bedah.

1.6. KOMPLIKASI

Komplikasi yang terjadi merupakan kegawatan dari hemoptoe, yaitu ditentukan oleh

tiga faktor :

1. Terjadinya asfiksia oleh karena terdapatnya bekuan darah dalam saluran pernapasan.

2. Jumlah darah yang dikeluarkan selama terjadinya hemoptoe dapat menimbulkan

renjatan hipovolemik.

3. Aspirasi, yaitu keadaan masuknya bekuan darah maupun sisa makanan ke dalam

jaringan paru yang sehat bersama inspirasi.

1.7. PROGNOSIS

Pada hemoptoe idiopatik prognosisnya baik kecuali bila penderita mengalami hemoptoe yang

rekuren.

Sedangkan pada hemoptoe sekunder ada beberapa faktor yang menentukan prognosis :

1) Tingkatan hemoptoe : hemoptoe yang terjadi pertama kali mempunyai prognosis yang

lebih baik.

32

2) Macam penyakit dasar yang menyebabkan hemoptoe.

3) Cepatnya kita bertindak, misalnya bronkoskopi yang segera dilakukan untuk

menghisap darah yang beku di bronkus dapat menyelamatkan penderita.(1,14)

B. BRONKITIS

2.1 DEFINISI

Paru – paru merupakan salah satu organ vital bagi kehidupan manusia yang berfungsi

pada sistem pernapasan manusia. Bertugas sebagai tempat pertukaran oksigen yang

dibutuhkan manusia dan mengeluarkan karbondiksida yang merupakan hasil sisa proses

pernapasan yang harus dikeluarkan dari tubuh, sehingga kebutuhan tubuh akan oksigen

terpenuhi. Udara sangat penting bagi manusia, tidak menghirup oksigen selama beberapa

menit dapat menyebabkan kematian. Itulah peranan penting paru – paru. Cabang trakea yang

berada dalam paru – paru dinamakan bronkus, yang terdiri dari 2 yaitu bronkus kanan dan

bronkus kiri. Organ yang terletak di bawah tulang rusuk ini memang mempunyai tugas yang

berat, belum lagi semakin tercemarnya udara yang kita hirup serta berbagai bibit penyakit

yang berkeliaran di udara. Ini semua dapat menimbulkan berbagai penyakit paru – paru.

Salah satunya adalah penyakit yang terletak di bronkus yang dinamakan bronchitis. Bronkitis

(Bronkitis inflamasi-Inflamation bronchi) digambarkan sebagai inflamasi dari pembuluh

bronkus. Inflamasi menyebabkan bengkak pada permukaannya, mempersempit pembuluh dan

menimbulkan sekresi dari cairan inflamasi. Bronkitis adalah suatu penyakit yang ditandai

adanya dilatasi (ektasis) bronkus lokal yang bersifat patologis dan berjalan kronik. Perubahan

bronkus tersebut disebabkan oleh perubahan-perubahan dalam dinding bronkus berupa

destruksi elemen-elemen elastis dan otot-otot polos bronkus. Bronkus yang terkena umumnya

33

bronkus kecil (medium size), sedangkan bronkus besar jarang terjadi. Hal ini dapat memblok

aliran udara ke paru-paru dan dapat merusaknya.

2.2 ETIOLOGI

Secara umum penyebab bronkitis dibagi berdasarkan faktor lingkungan dan faktor

host/penderita. Penyebab bronkitis berdasarkan faktor lingkungan meliputi polusi udara,

merokok dan infeksi. Infeksi sendiri terbagi menjadi infeksi bakteri (Staphylococcus,

Pertusis, Tuberculosis, mikroplasma), infeksi virus (RSV, Parainfluenza, Influenza, Adeno)

dan infeksi fungi (monilia). Faktor polusi udara meliputi polusi asap rokok atau uap/gas yang

memicu terjadinya bronkitis. Sedangkan faktor penderita meliputi usia, jenis kelamin, kondisi

alergi dan riwayat penyakit paru yang sudah ada.

a) Bronkitis infeksiosa Brokitis infeksiosa disebabkan oleh infeksi bakteri atau virus,

terutama Mycoplasamapneumoniae dan Chlamydia. Serangan bronkitis berulang bisa

terjadi pada perokok dan penderita penyakit paru dan saluran pernapasan menahun.

Infeksi berulang bisa merupakan akibat dari :

Sinusitis kronik

Bronkiektasis

Alergi

Pembesaran amandel dan adenoid pada anak-anak

34

b) Bronkitis iritatif Bronkitis iritatif adalah bronkitis yang disebabkan alergi terhadap

sesuatu yang dapat menyebabkan iritasi pada daerah bronkus. Bronkitis iritatif bisa

disebabkan oleh berbagai jenis debu, asap dari asam kuat, amonia, beberapa pelarut

organik klorin, hidrogen sulfida, sulfur dioksida, dan bromine, polusi udara yang

menyebabkan iritasi ozon dan nitrogen dioksida, tembakau dan rokok lainnya. Faktor

etiologi utama adalah zat polutan.

2.3 PATOLOGI

Kelainan utama pada bronkus adalah hipertensi kelenjar mukus dan menyebabkan

penyempitan pada saluran bronkus, yang mengakibatkan diameter bronkus menebal lebih

dari 30-40% dari tebalnya didinding bronkus normal, dan akan terjadi sekresi mukus yang

berlebihan dan kental. Sekresi mukus menutupi cilia, karena lapisan dahak menutupi cilia,

sehingga cilia tidak mampu lagi mendorong dahak keatas, satu-satunya cara mengeluarkan

dahak dari bronki adalah dengan batuk.

2.4 PATOFISIOLOGI

Temuan utama pada bronkitis adalah hipertropi kelenjar mukosa bronkus dan

peningkatan jumlah sel goblet dengan infiltasi sel-sel radang dan edema pada mukosa sel

bronkus. Pembentukan mukosa yang terus menerus mengakibatkan melemahnya aktifitas

silia dan faktor fagositosis dan melemahkan mekanisme pertahananya sendiri. Pada

penyempitan bronkial lebih lanjut terjadi akibat perubahan fibrotik yang terjadi dalam saluran

napas.

2.5 GEJALA KLINIS

Gejala umum bronkitis akut maupun bronkitis kronik adalah:

Batuk dan produksi sputum adalah gejala yang paling umum biasanya terjadi setiap

hari. Intensitas batuk, jumlah dan frekuensi produksi sputum bervariasi dari pasien ke

pasien. Dahak berwarna yang bening, putih atau hijaukekuningan.

Dyspnea (sesak napas) secara bertahap meningkat dengan tingkat keparahan penyakit.

Biasanya, orang dengan bronkitis kronik mendapatkan sesak napas dengan aktivitas

dan mulai batuk.

35

Gejala kelelaha, sakit tenggorokan , nyeri otot, hidung tersumbat, dan sakit kepala

dapat menyertai gejala utama.

Demam dapat mengindikasikan infeksi paru-paru sekunder virus atau bakteri.

Pada bronkitis akut, batuk terjadi selama beberapa minggu. Sesorang didiagnosis

bronkitis kronik ketika mengalami batuk berdahak selama paling sedikit tiga bulan selama

dua tahun berturut-turut. Pada bronkitis kronik mungkin saja seorang penderita mengalami

bronkitis akut diantara episode kroniknya, dan batu mungkin saja hilang namun akan muncul

kembali.

2.6 KLASIFIKASI

Bronkitis akut

Adalah batuk yang tiba-tiba terjadi karena infeksi virus yang melibatkan jalan napas

yang besar. Bronkitis akut pada umumnya ringan. Berlangsung singkat (beberapa hari

hingga beberapa minggu), rata-rata 10-14 hari. Meski ringan, namun adakalanya

sangat mengganggu, terutama jika disertai sesak, dada terasa berat, dan batuk

berkepanjangan.

Bronkitis kronik

Bronkitis kronik merupakan penyakit saluran napas yang sering didapat di

masyarakat. Penyakit ini menjadi masalah kesehatan oleh karena sifatnya yang

kronik, persisten dan progresif. Infeksi saluran napas merupakan masalah klinis yang

sering dijumpai pada penderita bronkitis kronik yang dapat memperberat penyakitnya.

Eksaserbasi infeksi akut akan bronkitis kronik yang dapat memperberat penyakitnya.

Eksaserbasi infeksi akut akan mempercepat kerusakan yang telah terjadi, disamping

itu kuman yang menyebabkan eksaserbasi juga berpengaruh terhadap morbiditas

penyakit ini. Penyakit ini berlangsung lebih lama dibandingkan bronkitis akut, yaitu

berlangsung selama 1 tahun dengan frekuensi batu produktif 3 bulan selama 2 tahun

berturut-turut.

2.6 KOMPLIKASI

Komplikasi dari bronkitis tidak terlalu besar, yaitu antara lain:

Bronkitis Akut yang tidak ditangani cenderung menjadi Bronkitis Kronik.

36

Pada orang yang sehat jarang terjadi komplikasi, tetapi pada anak dengan gizi kurang

dapat terjadi Othitis Media, Sinusitis dan Pneumonia.

Bronkitis Kronik menyebabkan mudah terserang infeksi.

Bila sekret tetap tinggal, dapat menyebabkan atelektasis atau Bronkietaksis.

2.7 PENCEGAHAN

Pencegahan Primer

Pencegahan tingkat pertama merupakan upaya untuk mempertahankan orang yang

sehat agar tetap sehat atau mencegah orang yang sehat agar tidak sakit. Menurut

Soegito (2007), untuk mengurangi gangguan tersebut perlu diusahakan agar batuk

tidak bertambah parah.

a. Membatasi aktifitas/kegiatan yang memerlukan tenaga yang banyak

b. Tidak tidur di kamar yang ber AC dan menggunakan baju hangat kalau bisa

hingga sampe leher

c. Hindari makanan yang merangsang batuk seperti: gorengan, minuman dingin

(es), dll.

d. Jangan memandikan anak terlalu pagi atau terlalu sore, dan memandikan anak

dengan air hangat.

e. Jaga kebersihan makanan dan biasakan cuci tangan sebelum makan

f. Menciptakan lingkungan udara yang bebas polusi.

Pencegahan Sekunder

Pencegahan sekunder merupakan upaya untuk membantu orang yang telah sakit agar

sembuh, menghambat progresifitas penyakit, menghindarkan komplikasi, dan

mengurangi ketidakmampuan. Pencegahan ini dapat dilakukan dengan:

a. Diagnosis

Diagnosis dari bronkitis dapat ditegakkan bila pada anamnesa pasien

mempunyai gejala batuk yang timbul tiba-tiba dengan atau tanpa sputum dan

37

tanpa adanya bukti pasien menderita pneumonia, common cold, asma akut dan

eksaserbasi akut. Pada pemeriksaan fisik pada stadium awal biasanya tidak

khas. Dapat ditemukan adanya demam, gejala rinitis sebagai manifestasi

pengiring, atau faring hiperemis. Sejalan dengan perkembangan serta

progresivitas batuk, pada auskultasi dapat terdengar ronki, wheezing,

ekspirium diperpanjang atau tanda obstruksi lainnya. Bila lendir banyak dan

tidak terlalu lengket akan terdengar ronki basah. Dalam suatu penelitian

terdapat metode untuk menyingkirkan kemungkinan pneumonia pada pasien

dengan batuk disertai dengan produksi sputum yang dicurigai menderita

bronkitis, yang antara lain bila tidak ditemukan keadaan sebagai berikut:

• Denyut jantung > 100 kali per menit

• Frekuensi napas > 24 kali per menit

• Suhu badan > 380 C

• Pada pemeriksaan fisik paru tidak terdapat focal konsolidasi dan

peningkatan suara napas.

b. Pemeriksaan fisik

• Keadaan umum baik: tidak tampak sakit berat dan kemungkinan ada

nasofaringitis.

• Keadaan paru : ronki basah kasar yang tidak tetap (dapat hilang atau

pindah setelah batuk, wheezing dan krepitasi)

c. Pemeriksaan laboratorium

• Pemeriksaan dahak dan rontgen dilakukan untuk membantu

menegakkan diagnosa dan untuk menyingkirkan diagnosa penyakit

lain. Bila penyebabnya bakteri, sputumnya akan seperti nanah. Untuk

pasien anak yang diopname, dilakukan dengan tes C-reactive protein,

kultur pernapasan, kultur darah, kultur sputum, dan tes serum aglutinin

untuk membantu mengklasifikasikan penyebab infeksi apakah dari

bakteri atau virus. Jumlah leukositnya berada > 17.500 dan

38

pemeriksaan lainnya dilakukan dengan cara tes fungsi paru-paru dan

gas darah arteri.

d. Pengobatan

Antibiotika

• Penisilin

Mekanisme kerja antibiotik golongan penisilin adalah dengan

perlekatan pada protein pengikat penisilin yang spesifik (PBPs) yang

berlaku sebagai reseptor pada bakteri, penghambat sintesis dinding sel

dengan menghambat transpeptidasi dari peptidoglikan, dan pengaktifan

enzim autolitik di dalam dinding sel, yang menghasilkan kerusakan

sehingga akibatnya bakteri mati. Antibiotik golongan penisilin yang

biasa digunakan adalah amoksisilin.

• Quinolon

Golongan quinolon merupakan antimikrobial oral memberikan

pengaruh yang dramatis dalam terapi infeksi. Dari prototipe awal yaitu

asam nalidiksat berkembang menjadi asam pipemidat, asam oksolinat,

cinoksacin, norfloksacin. Generasi awal mempunyai peran dalam

terapi gram-negatif infeksi saluran kencing. Generasi berikutnya yaitu

generasi kedua terdiri dari pefloksasin, enoksasin, ciprofloksasin,

sparfloksasin, lemofloksasin, fleroksasin dengan spektrum aktifitas

yang lebih luas untuk terapi infeksi community-acquired maupun

infeksi nosokomial. Lebih jauh lagi ciprofloksasin, ofloksasin,

peflokasin tersedia sebagai preparatparenteral yang memungkinkan

penggunaanya secara luas baik tunggal maupun kombinasi dengan

agen lain.

Mukolitik dan Ekspektoran

Bronkitis dapat menyebabkan produksi mukus berlebih. Kondisi ini

menyebabkan peningkatan penebalan mukus. Perubahan dan

39

banyaknya mukus sukar dikeluarkan secara alamiah, sehingga

diperlukan obat yang dapat memudahkan pengeluaran mukus. Mukus

mengandung glikoprotein, polisakarida, debris sel, dan cairan/eksudat

infeksi.

• Mukolitik

bekerja dengan cara memecah glikoprotein menjadi molekulmolekul

yang lebih kecil sehingga menjadi encer. Mukus yang encer akan

mendesak dikeluarkan pada saat batuk, contoh mukolitik adalah

asetilsistein.

• Ekspektoran

Ekspektoran bekerja dengan cara mengencerkan muku dalam bronkus

sehingga mudah dikeluarkan, salah satu contoh ekspektoran adalah

guaifenesin. Guaifenesin bekerja dengan cara mengurangi viskositas

dan adhesivitas sputum sehingga meningkatkan efektivitas mukociliar

dalam mengeluarkan sputum dari saluran pernapasan.

Pencegahan Tersier

Pencegahan ini dimaksudkan untuk mengurangi ketidakmampuan penderita

bronkitis dengan terapi-terapi yang dapat membantu pernapasan. Pencegahan tersier

untuk penderita bronkitis dapat ditolong dengan terapi farmakologi dan terapi

nonfarmakologi yaitu:

a. Terapi Farmakologi

• Bronkodilatori

Bronkodilator mempunyai aksi merelaksasi otot-otot polos pada

saluran pernapasan. Ada tiga jenis bronkodilator yaitu :

Simpatomimetika, metilsantin, dan antikolinergik.

• Beta-2 agonis (Simpatomimetika)

Obat-obat simpatomimetika merupakan obat yang mempunyai aksi

serupa dengan aktifitas simpatis. Sistem saraf simaptis memgang

40

peranan penting dalam menentukan ukuran diameter bronkus. Ujung

saraf simpatis yang menghasilkan norephinepherin, epinefrin dan

isoproterenol disebut adrenergik (Dipiro, et al., 2008). Adrenergik

memiliki dua reseptor yaitu alfa dan beta. Reseptor beta terdiri beta 1

dan beta 2. Beta 1 adrenergik terdapat pada jantung, beta 2 adrenergik

terdapat pada kelenjar dan otot halus bronkus. Adrenergik

menstimulasi reseptor beta 2 sehingga terjadi bronkodilatasi.

• Metilxantin Teofilin

merupakan golongan metil santin yang banyak digunakan, disamping

kafein dan dyphylline. Kafein dan dyphylline kurang paten

dibandingkan dengan teofilin. Obat golongan ini menghambat produksi

fosfodiesterase. Dengan penghambatan ini penguraian cAMP menjadi

AMP tidak terjadi sehingga kadat cAMP seluler meningkat.

Peningkatan ini menyebabkan bronkodilatasi. Obat-obat metilsantin

antara lain aminofilin dan teofilin.

b. Terapi Non-farmakologi.

Terapi non-farmakologi dapat dilakukan dengan cara :

• Pasien harus berhenti merokok

• Kalau timbul kesulitan dalam pernapasan atau dadanya bagian tengah

sangat sesak, biarlah dai menghirup uap air tiga kali sehari.

• Taruhlah kompres uap di atas dada pasien dua kali sehari, dan taruhlah

kompres lembab di atas dada sepanjang malam sambil menjaga

tubuhnya jangan sampai kedinginan.

• Rehabilitasi paru-paru secara komprehensif dengan olahraga dan

latihan pernapasan sesuai yang diajarkan tenaga medis.

• Istirahat yang cukup.

41

C. DIABETES MELITUS

3.1 DEFINISI

Diabetes Mellitus adalah suatu kumpulan gejala yang timbul pada seseorang yang

disebabkan oleh karena peningkatan kadar glukosa darah akibat penurunan sekresi

insulin yang progresif dilatar belakangi oleh resistensi insulin (Soegondo dkk, 2009).

Diabetes Mellitus adalah kondisi abnormalitas metabolisme karbohidrat yang

disebabkan oleh defisiensi (kekurangan) insulin, baik secara absolute (total) maupun

sebagian (Hadisaputro. Setiawan, 2007).

3.2 EPIDEMIOLOGI

Pada tahun 2000 menurut WHO diperkirakan sedikitnya 171 orang diseluruh

dunia menderita Diabetes Melitus, atau sekitar 2.8% dari total populasi, insidennya

terus meningkat dengan cepat dan diperkirakan tahun 2030 angka ini menjadi 366 juta

jiwa atau sekitar 4.4% dari populasi dunia, DM terdapat diseluruh dunia, 90% adalah

jenis Diabetes Melitus tipe 2 terjadi di negara berkembang, peningkatan prevalensi

terbesar adalah di Asia dan di Afrika , ini akibat tren urbanisasi dan perubahan gaya

hidup seperti pola makan yang tidak sehat, di Indonesia sendiri, berdasarkan hasil

Riskesdas (2007) dari 24417 responden berusia > 15 tahun, 10,2% mengalami toleransi

glukosa tergangggu (kadar glukosa 140-200 mgdl setelah puasa selama 4 jam diberikan

beban glucosa sebanyak 75 gram), DM lebih banyak ditemukan pada wanita dibanding

dengan pria, lebih sering pada golongan tingkat pendidikan dan status sosial yang

42

rendah, daerah dengan angka penderita DM yang tertinggi adalah Kalimantan Barat dan

Maluku Utara, yaitu 11.1% sedangkan kelompok usia terbanyak DM adalah 55-64

tahun yaitu 13.5%, beberapa hal yang dihubungkan dengan faktor resiko DM adalah

Obesitas, hipertensi, kurangnya aktivitas fisik dan rendahnya komsumsi sayur dan

buah (Riskesdas, 2007).

Prevalensi nasional DM berdasarkan pemeriksaan gula darah pada penduduk usia

>15 tahun diperkotaan 5,7%, prevalensi kurang makan buah dan sayur sebesar 93,6%,

dan prevalensi kurang aktifitas fisik pada penduduk >10 tahun sebesar 48,2%

disebutkan pula bahwa prevalensi merokok setiap hari pada penduduk >10 tahun

sebesar 23,7% (Depkes, 2008).

Hasil penelitian epidemiologi yang dilakukan pada tahun 1993 di Jakarta daerah

urban membuktikan adanya peningkatan prevalensi DM dari 1.7% pada tahun 1982

menjadi 5.7% kemudian tahun 2001 di Depok dan didaerah Jakarta Selatan menjadi

12.8%, demikian juga di Ujung Pandang daerah urban meningkat dari 1.5% pada tahun

1981 menjadi 3,5% pada tahun1998, kemudian pada akhir 2005 menjadi 12.5%, di

daerah rural yang dilakukan oleh Arifin di Jawa Barat 1,1% didaerah terpencil, di

tanah Toraja didapatkan prevalensi DM hanya 0,8% dapat dijelaskan perbedaan

prevalensi daerah urban dan rural (Soegondo dkk, 2009).

3.3 KLASIFIKASI

Klasifikasi DM yang dianjurkan oleh Perkeni adalah yang sesuai dengan anjuran

klasifikasi DM American Diabetes Association (ADA), klasifikasi etiologi Diabetes

Mellitus, menurut ADA (2007) adalah dapat dilihat pada tabel dibawah ini:

Tabel 2.1. Klassifikasi Etiologis Diabetes Mellitus

43

Kecurigaan adanya DM perlu dipikirkan apabila trdapat keluhan klasik DM

seperti tersebut di bawah ini:

a. Keluhan klasik DM berupa : banyak minum, banyak makan, banyak buang air

kecil dan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya.

b. Keluhan lain dapat berupa : lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur disfungsi

ereksi pada pria, serta pruritus vulvae (gatal didaerah kemaluan) pada wanita.

Diabetes karena dampak kehamilan ditegakkan hasil pemeriksaan TTGO,

dilakukan dengan memberikan beban 75 g glukosa setelah berpuasa 8 – 14 jam.

Kemudian dilakukan pemeriksaan glukosa darah puasa, 1 jam dan 2 jam setelah beban.

DMG ditegakkan apabila ditemukan hasil pemeriksaan glukosa darah puasa ≥ 95

mg/dl, 1 jam setelah beban ≥ 180 mg/dl dan 2 jam setelah beban ≥ 155 mg/dl.

Apabila hanya dapat dilakukan 1 kali pemeriksaan glukosa darah maka lakukan

pemeriksaan glukosa 2 jam setelah pembebanan, bila didapatkan hasil glukosa darah ≥

155 mg/dL, sudah dapat didiagnosis Diabetes Gestasional (Perkeni, 2006).

Insulin

Insulin adalah salah satu hormon didalam tubuh manusia yang dihasilkan atau

diproduksi oleh sel beta pulau langerhans di dalam kelenjar pangkreas, Insulin

merupakan suatu polipeptida (protein) dalam keadaan normal, jika kadar glukosa darah

naik, kelenjar pangkreas akan mengeluarkan insulin dan masuk ke dalam aliran darah,

oleh darah insulin disalurkan ke reseptor hati sebesar 50 % ginjal 1020%, sel darah,

otot, jaringan lemak 30-40%, apabila kadar insulin cukup atau fungsinya tidak

terganggu, kelebihan gula dalam darah akan segera diubah dan disimpan untuk

metabolisme tubuh (Soewondo, 2006).

44

Gula darah merupakan bahan bakar utama yang akan diubah menjadi energi dan

akan merangsang sel beta pulau langerhans untuk mengeluarkan insulin, selama tidak

ada insulin, gula darah tidak dapat masuk kedalam sel-sel jaringan tubuh lainnya seperti

otot dan jaringan lemak, insulin merupakan kunci yang membuka pintu sel jaringan,

memasukkan gula ke dalam sel dan menutup pintu kembali, di dalam sel, gula dibakar

menjadi energi yang berguna untuk aktivitas (Soegondo, 2004).

3.4 DIAGNOSIS

Dapat ditegakkan melalui tiga cara dengan melihat dari tabel dibawah ini :

Tabel 2.2 Kriteria Diagnosis Diabetes Melitus

Cara pemeriksaan TTGO (Test Toleransi Glukosa Oral) sesuai dengan Perkeni

(2006)

a. Tiga hari sebelum pemeriksaan tetap makan seperti kebiasaan sehari- hari (dengan

karbohidrat yang cukup) dan tetap melakukan kegiatan jasmani seperti biasa.

b. Berpuasa paling sedikit 8 jam ( mulai malam hari) sebelum pemeriksaan minum air

putih tanpa gula tetap diperbolehkan.

c. Diperiksa kadar glukosa puasa

d. Diberikan glucosa, 75 gram pada orang dewasa atau 1,75 gram/kg BB anak-anak,

dilarutkan dalan 250ml dan diminum dalam waktu 5 menit.

e. Berpuasa kembali sampai pengambilan sampel darah untuk pemeriksaan 2 jam

setelah minum larutan glucosa selesai.

f. Diperiksa kadar glucosa 2 jam sesudah beban glucosa.

g. Selama proses pemeriksaan tidak merokok (Perkeni, 2006).

3.5 GEJALA

- Gejala Akut Penyakit Diabetes Mellitus

Gejala penyakit DM dari satu penderita ke penderita lain bervariasi

bahkan mungkin tidak menunjukkan gejala apa pun sampai saat tertentu.

1. Pada permulaan gejala yang ditunjukkan meliputi serba banyak (Poli),

yaitu:

45

a. Banyak makan (poliphagia).

b. Banyak minum (polidipsia).

c. Banyak kencing (poliuria).

2. Bila keadaan tersebut tidak segera diobati, akan timbul gejala:

a. Banyak minum.

b. Banyak kencing.

c. Nafsu makan mulai berkurang/ berat badan turun dengan cepat (turun 5

– 10 kg dalam waktu 2-4 minggu).

d. Mudah lelah.

e. Bila tidak segera diobati, akan timbul rasa mual, bahkan penderita akan

jatuh koma.

- Gejala Kronik Diabetes Mellitus

Gejala kronik yang sering dialami oleh penderita Diabetes Mellitus adalah

sebagai berikut:

1. Kesemutan.

2. Kulit terasa panas, atau seperti tertusuk-tusuk jarum.

3. Rasa tebal di kulit.

4. Kram.

5. Capai.

6. Mudah mengantuk.

7. Mata kabur, biasanya sering ganti kacamata.

8. Gatal di sekitar kemaluan terutama wanita.

9. Gigi goyah mudah lepas, kemampuan seksual menurun, impotensi.

10. Para ibu hamil sering mengalami keguguran atau kematian janin dalam

kandungan, atau dengan berat lahir lebih dari 4 kg (Jhonson, 1998).

- Keluhan Subjektif Diabetes Melitus

Keluhan subjektif adalah keluhan yang dirasakan oleh pasien sendiri,

adapun keluhannya adalah:

1. Poliuria (banyak buang air kecil)

2. Polidipsia (banyak minum)

3. Polifagia (banyak makan)

4. Kesemutan

5. Gatal didaerah kemaluan

6. Keputihan

46

7. Infeksi susah sembuh

8. Bisul hilang timbul

9. Penglihatan kabur

10. Mudah mengantuk (Perkeni, 2002).

3.6 PATOGENESIS

Patogenesis diabetes mellitus tipe 2 ditandai dengan adanya resistensi insulin

perifer, gangguan hepatic glucosa production (HGP) dan penurunan fungsi sel β,yang

akhirnya akan menuju kerusakan total sel β. Mula-mula timbul resistensi insulin

kemudian disusul oleh peningkatan sekresi insulin, untuk mengkompensasi (mengatasi

kekurangan) resistensi insulin agar kadar glukosa darah tetap normal.

Lama-kelamaan sel beta tidak sanggup lagi mengkompesasikan resistensi insulin

hingga kadar glukosa darah meningkat dan fungsi sel beta semakin menurun saat itulah

diagnosa diabetes ditegakkan ternyata penurunan fungsi sel beta berlangsung secara

progresif sampai akhirnya sama sekali tidak mampu lagi mengekresi insulin (ADA,

2007).

3.7 PENGENDALIAN

Tujuan pengendalian Diabetes Mellitus dibagi menjadi tujuan jangka panjang dan

tujuan tujuan jangka pendek yaitu menghilangkan gejala/keluhan dan mempertahankan

rasa nyaman dan tercapainya target pengendalian darah.

Tujuan jangka panjang yaitu:

1. Agar penyangdang diabetes dapat hidup lebih lama, karena kualitas hidup seseorang

menjadi kebutuhan, seseorang yang bertahan hidup tetapi dalam keadaan tidak sehat

akan mengganggu kebahagiaan dan kestabilan keluarga.

2. Untuk membantu penyandang diabetes agar mereka dapat membantu dirinya

sendiri, sehingga komplikasi yang mungkin timbul dapat dikurangi dan jumlah hari

sakit dapat ditekan.

3. Agar penyandang diabetes dapat produktif sehingga dapat berfungsi dan berperan

sebaik-baiknya didalam masyarakat.

4. Menekan biaya perawatan baik secara pribadi, asuransi maupun nasional.

3.8 FAKTOR RESIKO

- Faktor Resiko Tidak Dimodifikasi

1. Ras/etnik

47

Merupakan suatu kelompok manusia yang memiliki ciri fisik

bawaan yang sama, pada dasarnya ciri fisik manusia dikelompokkan atas

tiga golongan yaitu ciri fenotipe merupakan ciri-ciri yang tampak, ciri

fenotipe terdiri atas ciri kualitatif dan kuantitatif, ciri kualitatif antara lain

warna kulit, warna rambut, bentuk hidung, bentuk dagu dan bentuk bibir

sementara ciri kuantitatif antara lain tinggi badan dan ukuran bentuk

kepala, ciri filogenetif yaitu hubungan asal usul antara ras-ras dan

perkembangan sedangkan ciri getif yaitu ciri yang didasarkan pada

keturunan darah (Lanning, 2009).

Etnis berarti kelompok sosial dalam sistem sosial atau kebudayaan

yang mempunyai arti atau kedudukan tertentu karena keturunan, adat,

agama, bahasa, dan sebagainya, anggota-anggota suatu kelompok etnik

memiliki kesamaan dalam hal sejarah (keturunan), bahasa , sistem nilai,

serta adat-istiadat dan tradisi, penelitian yang dilakukan oleh NHANES

(National Health And Nutrition Examinations Surveys) dari 11.090 sampel,

didapati 880 yang menderita diabetes dengan sampel ras kulit hitam dan

putih usia 20- 70 tahun, wanita kulit hitam mempunyai 2 kali menderita

diabetes dibandingkan dengan wanita kulit putih (Lipton, 1993).

2. Riwayat Keluarga Dengan Diabetes (Anak penyandang diabetes )

DM tipe 2 merupakan penyakit multifaktorial dengan komponen

genetik yang akan mempercepat fenotipe diabetes, riwayat penyakit untuk

timbulnya DM tipe 2 terjadi interaksi antara predisposisi genetik dan

lingkungan, pada penelitian yang dilakukan oleh The Framingham offspring

of tipe 2 diabetes mendapatkan resiko DM tipe 2 yaitu 3,5 kali lebih tinggi

pada keturunan salah satu orang tua diabetes, dan 6 kali lebih tinggi pada

keturunan yang keduanya orang tua tersebut menderita diabetes (Meigs,

2000).

Pada penelitian epidemiologi prospektif nilai C reaktip protein dapat

digunakan untuk memprediksi DM tipe 2 Tan dalam penelitiannya dari

pasien yang non obesitas dengan gangguan toleransi glukosa mendapatkan

nilai C reaktip positif yang memprediksikan individu tersebut akan menjadi

DM (Wu T at all, 2002).

3. Umur

48

Perubahan metabolisme tubuh yang ditandai dengan penurunan

produksi hormon tertosteron untuk laki-laki dan oestrogen untuk

perempuan biasanya memasuki usia 45 tahun keatas, kedua hormon ini

tidak hanya berperan dalam pengaturan hormon seks, tetapi juga

metabolisme pengaturan proses metabolisme tubuh, salah satu fungsi dua

hormon tersebut adalah mendistribusikan lemak keseluruh tubuh akibatnya,

lemak menumpuk diperut, batasan lingkar perut normal untuk perempuan <

80cm dan untuk laki-laki < 90cm. Membesarnya lingkaran pinggang akan

diikuti dengan peningkatan gula darah dan kolesterol yang akan diikuti

dengan sindroma metabolik yakni terganggunya metabolisme tubuh dari

sinilah mulai timbulnya penyakit degeneratif (Tjokroprawiro, 1998).

4. Riwayat Melahirkan Bayi dengan Berat Badan Lahir >4000gram

atau Riwayat Pernah Menderita Diabetes Mellitus Gestasional (DMG)

Diabetes Mellitus Gestational (DMG) adalah suatu bentuk diabetes

yang berkembang pada beberapa wanita selama kehamilan, Diabetes

gestasional terjadi karena kelenjar pankreas tidak mampu menghasilkan

insulin yang cukup untuk mengkontrol gula darah ( glukosa ) wanita hamil

tersebut pada tingkat yang aman bagi dirinya maupun janin yang

dikandungnya (Jhonson, 1998).

Diagnosis ditegakkan berdasarkan pemeriksaan darah yang

menunjukkan wanita hamil tersebut mempunyai kadar gula yang tinggi

dalam darahnya dimana ia tidak pernah menderita diabetes sebelum

kehamilannya, Diabetes Mellitus Gestasional berbeda dengan diabetes

lainnya dimana gejala penyakit ini akan menghilang setelah bayi lahir,di

Indonesia insiden DMG sekitar 1,9 - 3,6% dan sekitar 40-60% wanita

yang pernah mengalami DMG pada pengamatan lanjut pasca persalinan

akan mengidap Diabetes Mellitus atau gangguan toleransi glukosa

(Soewondo, 2006).

5. Riwayat Lahir dengan Berat Badan Rendah Kurang dari 2500 gram

Bayi yang lahir dengan berat badan rendah tentunya memiliki organ

yang internal yang kecil. Organ internal akhirnya membuat si anak tidak

mampu memenuhi kebutuhan tubuhnya. Jika berat badan kecil maka

pankreasnya juga kecil dan tidak sempurna, sehingga tidak mampu

mencukupi kebutuhan insulin tubuh. Ketika anak ini bertumbuh dan dewasa

49

anak yang lahirnya kecil untuk jadi bertambah besar ketika sudah masuk

usia anak-anak dan remaja. Ini semakin membuat organ tidak mampu

mencukupi kebutuhan tubuhnya, akhirnya akan berisiko penyakit-penyakit

berbahaya seperti diabetes (Jhonson, 1998)

- Faktor Resiko Yang Bisa Dimodifikasi

1. Berat Badan Lebih (IMT ≥23 kg/m ²)

Penelitian yang dilakukan di USA pada 21.217 dokter US selama tahun

(kohort study) menemukan bahwa kasus DM tipe 2 lebih tinggi pada

kelompok

Berdasarkan Indeks Masa Tubuh (IMT) berat badan seseorang dibagi

menjadi 3 kelompok yaitu normal, overweight (kelebihan berat badan) dan

obesitas. Overweight dan obesitas merupakan sama-sama menunjukkan

adanya penumpukan lemak yang berlebihan didalam tubuh, ditandai dengan

peningkatan nilai masa indeks tubuh diatas normal, orang yang mengalami

penumpukan lemak yang lebih banyak dalam jangka waktu yang lama akan

menjadi risiko tinggi DM Indeks Massa Tubuh (IMT) dengan rumus:

Contoh : BB = 50 kg, TB = 160 cm, IMT = 50

50

Penelitian Hartati (2004) pada penderita DM tipe 2 di RSUD Tugurejo

Semarang menghasilkan tidak ada pengaruh IMT dengan kejadian DM tipe

2 dengan hasil p value > 0,005 sedangkan penelitian oleh National Health

and Nutrition Examinations Surveys (NHANES) tahun 1992-2002

didapatkan 80% dari responden dengan IMT ≥ 18,5 kg/m² menderita DM

dibanding dengan responden dengan IMT < 18,5 kg/m² (ADA, 2007).

Diabetes Mellitus tipe 2 cenderung meningkat seiring dengan peningkatan

lemak yang diukur dengan IMT, setiap peningkatan 1 kg berat badan

meningkatkan risiko sebesar 4,5% untuk menderita DM tipe 2 (Webber,

2004).

Penelitian Kaban, dkk (2005) hubungan obesitas dengan DM diperoleh

nilai p= (0,000) dengan nilai OR sebesar 4,6 yang artinya orang yang

obesitas kemungkinan 4,6 kali menderita DM tipe 2 dibandingkan dengan

yang tidak.

2. Aktifitas Fisik

Aktivitas fisik merupakan suatu kegiatan fisik yang dilakukan dengan

teren cana, terstruktur, berulang dan tujuannya memperbaiki atau

menjaga kesegaran jasmani, kesegaran jasmani berkaitan dengan

kesehatan mengacu pada beberapa aspek fungsi fisiologi dan psikologis

yang dipercaya memberikan perlindungan kepada seseorang dalam melawan

beberapa tipe penyakit degeneratif seperti penyakitjantung koroner, obesitas

dan kelainan muskuloskeletal (Ganlay. Sherman, 2000).

Yang melakukan aktivitas fisik kurang dari 1 kali perminggu dibanding

dengan kelompok yang melakukan olah raga 5 kali seminggu. Penelitian

lain yang dilakukan selama 8 tahun pada 87.535 perawat wanita yang

melakukan olah raga ditemukan penurunan resiko penyakit DM tipe 2

sebesar 33%, (Soegondo dkk, 2009).

Aktivitas fisik (olah raga) sangat bermanfaat untuk meningkatkan

sirkulasi darah, menurunkan berat badan dan memperbaiki sensitivitas

terhadap insulin,sehingga akan memperbaiki kadar glukosa darah. Dengan

kadar glukosa darah terkendali maka akan mencegah komplikasi kronik

Diabetes Mellitus (Niemann, 1995).

51

Olahraga menyebabkan sel-sel otot dan organ hati menjadi lebihsensitif

terhadap insulin, sebagai hasilnya dapat menyimpan dan menggunakan

glukosa dengan lebih efektif, sehingga dapat menurunkan kadar glukosa,

keadaan ini dapat berlanjut beberapa jam setelah melakukan olah raga.

Olahraga selama 30-40 menit dapat meningkatkan pemasukan glukosa

kedalam sel sebesar 7-20 kali lipat dibandingkan tanpa olah raga, olah raga

yang tepat untuk diabetes adalah jalan, jogging, renang, bersepeda, aerobik

(Soewondo, 2006). Hasil penelitian Wardani (2009), aktivitas fisik rendah

memiliki resiko DM tipe 2 sebanyak 3,2 kali lebih besar dari yang

melakukan aktivitas fisik yang baik

3. Hipertensi (≥ 140/90 mmhg)

Tekanan darah adalah desakan darah terhadap dinding- dinding arteri

ketika darah tersebut dipompa dari jantung kejaringan, tekanan darah

merupakan gaya yang diberikan darah pada dinding pembuluh darah,

tekanan ini paling tinggi ketika ventrikel berkontraksi (tekanan sistolik) dan

paling rendah ketika ventrikel berelaksasi (tekanan diastolik) (Hull, 1996).

Ketika jantung memompa darah melewati arteri, darah menekan

dinding pembuluh darah, mereka yang menderita hipertensi mempunyai

tinggi tekanan darah yang tidak normal, penyempitan pembuluh nadi atau

aterosklerosis merupakan gejala awal yang umum terjadi pada hipertensi,

karena arteri-arteri terhalang lempengan kolesterol dalam aterosklerosis,

sirkulasi darah melewati pembuluh darah menjadi sulit, ketika arteri-arteri

mengeras dan mengerut dalam aterosklerosis darah memaksa melewati jalan

yang sempit, sebagai hasilnya tekanan darah menjadi tinggi (Hull, 1996).

Menurut JNC 7 (Joint National Commite) (2003) bila tekanan darah ≥

140/90 mmhg dinyatakan sebagai hipertensi, hipertensi atau darah tinggi

adalah keadaan dimana seseorang mengalami peningkatan tekanan darah

diatas normal atau kronis, hipertensi merupakan kelainan yang sulit

diketahui oleh tubuh kita sendiri, satu-satunya cara untuk mengetahui

hipertensi adalah dengan mengukur tekanan darah kita secara teratur.

Penelitian yang dilakukan oleh Rahmawati (2009) dengan kasus kontrol

study, kontribusi hipertensi dengan terjadinya Diabetes Mellitus komplikasi

stroke diperoleh hasil OR 8,574.

52

JNC (Joint National Commite) membuat kategori tekanan darah

sebagai berikut.

Belum ada penelitian yang mengatakan penyebab langsung terjadinya

hipertensi terhadap DM namun masih merupakan faktor resiko yang

berpotensi terhadap tingginya kasus DM, hipertensi sebagai faktor resiko

DM artinya semakin tinggi angka hipertensi di suatu daerah maka semakin

besar resiko untuk menjadi penderita DM di daerah tersebut, seorang yang

memiliki hipertensi maka lebih beresiko dirinya mengalami DM dibanding

orang yang tidak hipertensi, arti lainnya juga bahwa tidak semua penderita

hipertensi akan menjadi penderita DM, belum ada teori yang benar-benar

tegas menerangkan bagaimana hipertensi membuat seseorang menjadi DM

karenanya hipertensi bukan faktor penyebab tetapi adalah faktor risiko.

Terjadinya hipertensi pada penderita DM dikaitkan dan hampir sama proses

terjadi keduanya yaitu melalui suatu keadaan yang disebut sindroma

metabolik satu penelitian memperoleh hasil dimana dari sejumlah total 427

pasien hipertensi yang diteliti, 46 persen diantaranya adalah pasien DM,

pasien cenderung berusia lebih tua, indeks massa tubuh yang lebih tinggi

dan hiperlipidemia, cenderung Prevalensi hipertensi pada penderita Diabetes

Mellitus secara keseluruhan adalah 70 %, Pada laki laki 32 %, wanita 45 %

pada masyarakat India Puma sebesar 49%, pada kulit putih sebanyak 37 %

dan pada orang asia sebesar 35%, hal ini menggambarkan bahwa hipertensi

pada DM akan sering ditemukan dibandingkan pada individu tanpa diabetes

(Weir et al. 1999). akan mengalami komplikasi kardiovaskular dan gagal

ginjal, opname lebih lama di RS (Weber, 2009).

Penelitian Kaban dkk (2005) disain kasus kontrol dengan sebanyak 45

responden yang diteliti hasil yang didapatkan tidak ada hubungan

53

hipertensi dengan kejadian DM dimana diperoleh nilai chi square nilai p =

0,073 (p> 0,05).

4. Dislipidemia (HDL < 35 mg/dl dan atau Trigliserida > 250 mg/dl)

Merupakan suatu keadaan dimana kadar lemak dalam darah

meningkat diatas batas normal, lemak yang mengalami peningkatan ini

meliputi kolesterol, trigliserida salah satu partikel yang mengangkut lemak

dari sekitar tubuh atau dapat keduanya, berbagai penelitian membuktikan

bahwa keadaan dislipidemia dan hiperglikemia yang berlangsung lama

merupakan faktor penting dalam terjadinya komplikasi PJK (Penyakit

Jantung Koroner) pada DM tipe 2, studi Finnish membuktikan bahwa

peningkatan kadar trigliserid dan rendahnya kolesterol HDL (High Density

Lypoprotein) merupakan faktor resiko PJK (Penyakit Jantung Koroner) pada

DM tipe 2 (Neamann, 1995).

5. Diet tidak Sehat (Unhealhty Diet) Diet dengan Tinggi Gula dan Rendah

Serat Merupakan Peningkatan Risiko Diabetes

Adanya serat memperlambat absorsi glukosa sehingga dapat ikut

berperan mengatur gula darah dan memperlambat kenaikan gula

darah, makanan yang cepat dirombak dan juga cepat diserap dapat

meningkatkan kadar gula darah, sedangkan makanan yang lambat dirombak

dan lambat diserap masuk ke aliran darah menurunkan gula darah

(Soegondo dkk, 2009).

Adapun manfaat dari serat salah satunya membuat waktu pengosongan

dilambung menjadi lebih lama, setelah konsumsi serat akan menyebabkan

chyme yang berasal dari lambung berjalan lebih lambat ke usus , hal ini

menyebabkan makanan lebih lama tertahan dilambung sehingga perasaan

akan kenyang setelah makan juga panjang, keadaan ini juga memperlambat

proses pencernaan karbohidarat dan lemak yang tertahan dilambung belum

dapat dicerna sebelum masuk ke usus (Tala, 2009) Hasil penelitian pada

hewan percobaan maupun pada manusia mengungkapkan bahwa kenaikan

kadar gula darah dapat ditekan jika karbohidrat dikonsumsi bersama serat

makanan, hal ini sangat bermanfaat bagi penderita diabetes (Nyoman,

2009).

The American Cancer Society, The American Heart Association dan

The American Diabetic Association menyarankan 25-35 g fiber/hari dari

54

berbagai bahan makanan seperti sayur-sayuran dan buah-buahan. Konsensus

nasional pengelolaan diabetes di Indonesia menyarankan 20 - 25 g/hari bagi

orang yang berisiko menderita DM ( Soegondo dkk, 2009).

Food and Drug Aministration (FDA) Amerika Serikat membatasi

konsumsi gula maksimal 10 sendok teh atau 40 gram per hari, Organisasi

Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO) maksimal 12 sendok

teh atau 48 gram perhari (Depkes, 2009). Penelitian Hartati (2004) yang

dilakukan di RSUD Tugurejo Semarang menjelaskan ada pengaruh asupan

serat makanan terhadap kadar gula darah DM tipe 2 dengan hasil nilai p

value < 0,005, hasil penelitian Riskesdas (2007) faktor risiko DM yang

makan buah dan sayur pada kelompok umur 25- 64 tahun responden

terhadap terjadinya DM mempunyai nilai odd rasio 1,04 kali dari yang tidak

makan buah dan sayur.

DAFTAR PUSTAKA

1. Dweik RA, Stoller JK. Role of bronchoscopy in massive hemoptysis. Clin Chest Med.

1992;20:80-105

2. Florees RJ. Sandur S. Massive Hemoptysis. Hospital Physician. 2006;37-43

3. Arif N. Batuk darah dalam pulmonologi klinik. Bagian pulmonologi FKUI; Jakarta :

1992, 179-183

55

4. Wihastuti R, Maria, Situmeang T, Yunus F. Profil penderita batuk darah yang

berobat ke bagian paru RSUP Persahabatan Jakarta. J Respir Indo 1999;19:54-9

5. Eddy JB. Clinical assesment and management of massive hemoptysis. Crit Care Med

2000 ; 28 (5) : 1642 – 7

6. http//www.pulmonologychannel. com/hemoptysis /treatment /shtml

7. http//www. endonurse.com/articles/07/aprfeat5.html

8. E, Jewetz, Mikrobiology Untuk Profesi Kesehatan edisi 16, Fransisico (terjemahan),

EGC, 2004: Jakarta.

9. Wilson, Price, Patofisiologi,Konsep-konsep Klinis Proses-Proses Penyakit, ed,4.

EGC, 2004: Jakarta.

10. Manik, Crysti, 2010. Bronkitis. http://www.id.wikipedia.com. Dikases tanggal 15

September 2012 pukul 14.00 WIB

11. Alsagaff, Hood, dkk., 2005. Dasar-dasar Ilmu Penyakit Paru. Cetakan Ketiga

Airlangga University Press, Surabaya.

12. Setiawati, L., Makmuri M.S., dan Asih, 2006. http://www.pediatrik.com/.htm ,

diakses tanggal 18 September 2012 pukul 16.00 WIB.

13. Rahmadani, R.Q., Marlina, R., 2011. Bronkitis pada Anak. Akademi Kebidanan

Padang Sidempuan, Sumatera Utara

14. Harrison, 2003. Prinsip-prinsip Ilmu Penyakit Dalam, edisi 13, volume ketiga, EGC,

Jakarta

15. Schiffman, George, 2004. Pulmo diseases and disorder respiratory, edisi 4, volume

kedua, EGC, Jakarta, halaman 123 sampai 139.

16. Harms, R.W., 2011. Bronchitis. http://www.mayoclinic.com, diakses tanggal 17

Oktober 2012 pukul 15.00 WIB.

17. Cooper, Robert, 2009. Bronkitis (akut dan kronik). http://www.Mayoclinic.com

diakses tanggal 15 September pukul 14.00 WIB

18. Soegito, 2004. Pengobatan Bronkitis Kronik Eksaserbasi Akut Dengan Ciprofloxacin

Dibandingkan dengan CO Amoxyclav. Bagian Ilmu Penyakit Paru, FK USU

56

57