26
PRESENTASI KASUS SEORANG ANAK LAKI-LAKI 3 TAHUN DENGAN MEGACOLON KONGENITAL Oleh : Agung Ismanuworo G99122010 Pembimbing : dr. Suwardi, Sp. BA

Presentasi Kasus Anak Megakolon Kongenital

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Presentasi Kasus Anak Megakolon Kongenital

Citation preview

Page 1: Presentasi Kasus Anak Megakolon Kongenital

PRESENTASI KASUS

SEORANG ANAK LAKI-LAKI 3 TAHUN DENGAN

MEGACOLON KONGENITAL

Oleh :

Agung Ismanuworo G99122010

Pembimbing :

dr. Suwardi, Sp. BA

KEPANITERAAN KLINIK SMF ILMU BEDAH

FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/RSUD DR MOEWARDI

SURAKARTA

2013

Page 2: Presentasi Kasus Anak Megakolon Kongenital

STATUS PASIEN

A. ANAMNESA

1. Identitas Pasien

Nama : An. WR

No RM : 011985557

Umur : 3 tahun

Jenis Kelamin : Laki-laki

Agama : Islam

Alamat : Gergunung RT/RW 01/02 Klaten

Masuk RS : 8 Juni 2013

Pemeriksaan : 11 Juni 2013

2. Keluhan Utama

Jarang buang air besar.

3. Riwayat Penyakit Sekarang

Kurang lebih sejak kecil pasien mengeluh jarang buang air besar. Pasien

buang air besar ± 1-2 minggu sekali. Pasien bisa BAB jika diberi pencahar

seperti microlax. Pasien juga mengeluh perutnya semakin lama semakin

membesar dan tegang. Pasien tidak mengeluhkan adanya muntah atau

demam. Karena keluhan biaya, pasien kemudian berobat ke RSDM.

4. Riwayat Penyakit Dahulu

R. Mondok : (-)

R. Operasi : (-)

R. Mekonium keluar : lebih dari 24 jam

5. Riwayat Penyakit keluarga

R. sakit serupa : (-)

6. Anamnesa Sistemik

Pemeriksaan dilakukan tanggal 11 Juni 2013

Keluhan utama : jarang buang air besar

2

Page 3: Presentasi Kasus Anak Megakolon Kongenital

Kepala : Pusing (-), nggliyer (-), jejas (-)

Mata : Pandangan kabur (-), mata kuning (-), pandangan

dobel (-), berkunang-kunang (-)

Hidung : Pilek (-), mimisan (-), hidung tersumbat (-)

Telinga : Pendengaran berkurang (-), keluar cairan (-),

berdenging (-)

Mulut : Mulut terasa kering (-), bibir biru (-), sariawan (-),

gusi berdarah (-), gigi berlubang (-), bibir pecah-

pecah (-)

Tenggorokan : Sakit telan (-), serak (-), gatal (-)

Respirasi : Sesak (-), batuk (-), dahak (-), batuk darah (-),

mengi (-)

Cardiovaskuler : Nyeri dada (-), pingsan (-), kaki bengkak (-),

keringat dingin (-), berdebar-debar (-)

Gastrointestinal : Mual (-), muntah (-), perut terasa panas (-),

kembung (-), perut terasa penuh (+), perut

membesar (+), muntah darah (-), BAB warna

hitam (-), BAB darah lendir (-), BAB sulit (+),

ambeien (-)

Genitourinaria : BAK warna seperti teh (-), BAK batu (-), BAK

panas (-), BAK warna merah (-), nyeri saat BAK

(-), kencing sedikit (-)

Muskuloskeletal : nyeri otot (-), nyeri sendi (-), bengkak sendi (-),

kesemutan (-)

Extremitas : atas : pucat (-/-), kebiruan (-/-), bengkak (-/-),

luka (-/-), terasa dingin (-/-)

bawah : pucat (-/-), kebiruan (-/-), bengkak (-/-),

luka (-/-), terasa dingin (-/-)

Kulit : kering (-), gatal (-), luka (-), pucat (-), kuning (-),

kebiruan (-)

B. PEMERIKSAAN FISIK

Keadaan umum : KU sedang, CM, gizi kesan kurang (BMI : 11/(0,87)2 =14,53)

3

Page 4: Presentasi Kasus Anak Megakolon Kongenital

Tanda vital:

a. Nadi : 80x / menit, ireguler, isi cukup, elastisitas cukup.

b. Respirasi : 24 x / menit

c. Suhu : 36,7 0 C (per axiller)

Kulit : Warna sawo matang, pucat (-), ikterik (-), petechie (-),

venectasi (-), spider nevi (-), turgor baik (+)

Kepala : Bentuk mesocephal, luka (-), rambut warna hitam dan tidak

mudah dicabut

Mata : Cekung (-/-), conjungtiva pucat (-/-), sklera ikterik (-/-),

reflek cahaya (+/+), pupil isokor (3mm/3mm), oedem palpebra

(-/-)

Telinga : Sekret (-/-), darah (-/-), nyeri tekan mastoid (-/-)

Hidung : Napas cuping hidung (-/-), sekret (-/-), epistaksis (-/-)

Mulut : Bibir kering (-), sianosis (-), stomatitis (-), mukosa pucat (-),

gusi berdarah (-), lidah kotor (-), lidah hiperemis (-), lidah

tremor (-), papil lidah atrofi (-)

Tenggorokan : Tonsil hipertrofi (-), faring hiperemis (-)

Leher : Simetris, trachea di tengah , JVP tidak meningkat, KGB

servikal membesar (-), tiroid membesar (-), nyeri tekan (-)

Thorax : Normochest, simetris, retraksi supraternal (-), spider nevi (-),

pernapasan tipe thoraco-abdominal

Jantung : Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak

Palpasi : Ictus cordis tidak kuat angkat

Perkusi : Batas jantung kesan tidak melebar

Auskultasi : BJ I-II intensitas normal, reguler, bising (-)

Paru : Inspeksi : Simetris statis dan dinamis

Palpasi : Fremitus raba kanan = kiri

Perkusi : Sonor / Sonor

Auskultasi : Suara dasar vesikuler (+/+), ST (-/-), wheezing

(-/-)

Abdomen : Inspeksi : Dinding perut sejajar tinggi dinding dada,

distended (+)

Auskultasi : Bising usus (+) normal

4

Page 5: Presentasi Kasus Anak Megakolon Kongenital

Perkusi : Timpani, pekak alih (-)

Palpasi : Supel, Nyeri Tekan (-), Hepar/Lien tidak teraba.

Extremitas : Atas : Pitting edem (-/-), akral dingin (-/-), luka (-/-),

clubbing finger (-/-)

Bawah : Pitting oedem (-/-), akral dingin (-/-),luka (-/-),

clubbing finger (-/-)

C. ASSESSMENT I

Susp. Megacolon Congenital

D. PLANNING I

MRS, IFVD NaCl 20 tpm, cek lab, colon in loop, rontgen thorax

E. PEMERIKSAAN PENUNJANG

1. Laboratoriu m

Hemoglobin : 11,0 g/dL

Hematokrit : 34,2 %

Jml eritrosit : 4,73 x 106 /uL

Jml leukosit :7,9 x 103 /uL

Jml trombosit : 327 x 103/uL

GDS : 96 mg/dl

Natrium : 138 mmol/L

Kalium :5,3 mmol/L

Clorida :108 mmol/L

5

Page 6: Presentasi Kasus Anak Megakolon Kongenital

2. Radiologis

Rontgen Thorax PA + Lat

Cor : besar dan bentuk normal

Pulmo : tampak patchy infiltrat di paracardial kanan

Sinus costophrenicus kanan kiri anterior posterior tajam

Retrosternal dan retrocardiac space dalam batas normal

Hemidiaphragma kanan kiri normal

Trakhea di tengah

Sistema tulang baik

Kesan: bronkopneumonia

6

Page 7: Presentasi Kasus Anak Megakolon Kongenital

Colon in Loop

Kaliber rectum terlebar lebih kecil dari kaliber colon sigmoid (R/S index < 1),

mengarah gambaran megacolon aganglionik.

F. ASSESMENT II

Megacolon Congenital

7

Page 8: Presentasi Kasus Anak Megakolon Kongenital

G. PLANNING II

IVFD D¼ NS 10 tpm

Inj. Cefotaxim 200 mg/12 jam

Inj. Metronidazole 100 mg/8 jam

Inj. Metamizole 100 mg/8 jam

Inj. Ranitidin 10 mg/12 jam

Cek DR3, albumin, elektrolit

Puasa

Pro TCS

8

Page 9: Presentasi Kasus Anak Megakolon Kongenital

TINJAUAN PUSTAKAMEGACOLON KONGENITAL

A. Definisi

Megakolon Kongenital adalah pembesaran abnormal atau dilatasi kolon

karena tidak adanya sel-sel ganglion myenterik pada usus besar segmen distal

(aganglionosis). Sel-sel ganglion bertanggung jawab atas kontraksi ritmik yang

diperlukan untuk mencerna makanan yang masuk. Hilangnya fungsi motorik dari

segmen ini menyebabkan dilatasi hypertropik massive kolon proximal yang

normal sehingga terjadi kesulitan defekasi dan feses terakumulasi menyebabkan

Megakolon. Kondisi ini dapat segera terlihat segera setelah lahir ditandai dengan

gagalnya penundaan pasase awal dari mekonium sehingga terjadi distensi

abdominal, yang disertai dengan muntah dalam waktu 48 jam sampai 72 jam.

Pada banyak kasus, segmen aganglionic terdapat pada rectum dan kolon

sigmoid. Ancaman terhadap hidup yang utama pada kelainan ini adalah

terjadinya enterocolitis, dengan gangguan cairan dan elektrolit serta perforasi

pada kolon yang membesar dan tegang atau pada apendiks dengan peritonitis.1,6,7

B. Etiologi

Sekitar 10% kasus penyakit Hirschsprung timbul secara herediter melalui

mutasi sporadik di dalam gen, angka ini dapat lebih tinggi pada pasien dengan

segmen penyakit yang lebih panjang. Sehingga dapat disimpulkan bahwa

seseorang dengan riwayat keluarga terpapar penyakit Hirschsprung beresiko

lebih tinggi.

Penyakit Hirschsprung ditemukan pada kelainan-kelainan Kongenital

sebagai berikut:

1. Sindroma Down

2. Sindroma Neurocristopathy

3. Sindroma Waardenburg-Shah

4. Sindroma buta-tuli Yemenite

5. Piebaldism

6. Sindroma Goldberg-Shprintzen

7. Neoplasia endokrin multiple tipe II

8. Sindroma hypoventilasi Kongenital terpusat

9. Cartilage-hair hypoplasia

9

Page 10: Presentasi Kasus Anak Megakolon Kongenital

10. Sindroma hypoventilasi entral primer (Ondine’s curse)

11. Penyakit Chagas, pada penyakit ini tripanosoma menginvasi langsung

dinding usus dan menghancurkan pleksus.

Penyakit Hirschsprung juga bisa timbul karena ibu polyhidramnion saat

hamil ; adanya obstruksi usus organik karena neoplasma dan penyempitan usus

karena inflammasi; toxic Megakolon komplikasi dari colitis ulceratif atau

penyakit Crohn ; dan gangguan psychosomatic fungsional. Kondisi-kondisi ini

tidak berhubungan dengan berkurangnya ganglia dinding usus.1

C. Patofisiologi

Penyakit Hirschsprung timbul karena adanya aganglioner Kongenital

pada saluran pencernaan bagian bawah. Aganglioner diawali dari anus, yang

merupakan bagian yang selalu terlibat, dan berlanjut ke arah proximal dengan

jarak yang bervariasi. Plexus myenterik (Auerbach) dan submucosal (Meissner)

yang tidak terbentuk mengakibatkan berkurangnya fungsi dan kemampuan usus

untuk melakukan gerakan peristaltik. Hingga saat ini, mekanisme pasti tentang

perkembangan penyakit Hirschsprung masih belum diketahui.7

Embriologi sel-sel ganglion enteric berasal dari neural crest, yang apabila

berkembang normal, akan ditemukan neuroblast di usus pada minggu ke 7

kehamilan dan mencapai usus besar pada minggu ke 12 kehamilan. Salah satu

etiologi penyakit Hirschsprung ini adalah adanya gangguan migrasi dari

neuroblast yang menuju ke distal usus. Adapun etiologi lain mengatakan bahwa

migrasi tersebut berjalan normal, namun ada kegagalan dari neuroblast untuk

bertahan, berproliferasi atau berdifferensiasi di bagian distal aganglionik

segmen. Distribusi abnormal menyebabkan usus dan komponen-komponennya

membutuhkan pertumbuhan dan perkembangan secara neuronal, seperti

fibronectin, laminin, neural cell adhesion molecule (NCAM), dan faktor-faktor

neurotropik.1

Tiga plexus neuronal yang menginervasi usus: plexus submucosal

(Meissner), plexus intermuscular (Auerbach) dan plexus mucosal yang lebih

kecil. Ketiga plexus ini akhirnya tergabung dan berpengaruh pada segala aspek

dari fungsi bowel, termasuk absorpsi, sekresi, motilitas dan aliran darah.

Gerakan usus yang normal, secara primer dikendalikan oleh neuron

intrinsic. Fungsi bowel tetap adequate, meskipun innervasi ekstrinsik hilang.

10

Page 11: Presentasi Kasus Anak Megakolon Kongenital

Ganglia ini mengendalikan kontraksi dan relaksasi otot polos, dengan dominasi

relaksasi. Pengendalian ekstrinsik utamanya melalui serat-serat kolinergik dan

adrenergik. Serat kolinergik menimbulkan kontraksi, dan serat adrenergik

utamanya menimbulkan inhibisi.

Pada pasien penyakit Hirschsprung, sel-sel ganglion tidak terbentuk,

sehingga terjadi peningkatan innervasi usus ekstrinsik. Kedua innervasi, baik

kolinergik maupun adrenergik berjalan 2-3 kali normal. Sistem adrenergik

(excitator) diduga lebih mendominasi dari pada sistem kolinergik (inhibitor)

sehingga terjadi peningkatan kerja otot polos. Dengan hilangnya nerves

inhibitory enteric intrinsic, kerja otot polos yang meningkat tidak tertanggulangi

dan menyebabkan ketidakseimbangan kontraktilitas otot polos, peristaltik yang

tidak terkoordinasi dan obstruksi fungsional.6

D. Klasifikasi

Menurut letak segmen aganglionik maka penyakit ini dibagi dalam :

1. Megakolon kongenital segmen pendek

Bila segmen aganglionik meliputi rektum sampai sigmoid (70-80%).

2. Megakolon kongenital segmen panjang

Bila segmen aganglionik lebih tinggi dari sigmoid (20%).

3. Kolon aganglionik total

Bila segmen aganglionik mengenai seluruh kolon (5-11%)

4. Kolon aganglionik universal

Bila segmen aganglionik meliputi seluruh usus sampai pylorus (5%)1

E. Manifestasi Klinis

Gambaran klinis penyakit Hirschsprung dapat kita bedakan berdasarkan

usia gejala klinis mulai terlihat :

Periode Neonatal

Ada trias gejala klinis yang sering dijumpai, yakni pengeluaran mekonium

yang terlambat, muntah hijau dan distensi abdomen. Pengeluaran mekonium

yang terlambat (lebih dari 24 jam pertama) merupakan tanda klinis yang

signifikan. Swenson (1973) mencatat angka 94% dari pengamatan terhadap 501

kasus, sedangkan Kartono mencatat angka 93,5% untuk waktu 24 jam dan

72,4% untuk waktu 48 jam setelah lahir. Muntah hijau dan distensi abdomen

11

Page 12: Presentasi Kasus Anak Megakolon Kongenital

biasanya dapat berkurang manakala mekonium dapat dikeluarkan segera.

Sedangkan enterokolitis merupakan ancaman komplikasi yang serius bagi

penderita penyakit Hirschsprung ini, yang dapat menyerang pada usia kapan

saja, namun paling tinggi saat usia 2-4 minggu, meskipun sudah dapat dijumpai

pada usia 1 minggu. Gejalanya berupa diarrhea, distensi abdomen, feces berbau

busuk dan disertai demam. Swenson mencatat hampir 1/3 kasus Hirschsprung

datang dengan manifestasi klinis enterokolitis, bahkan dapat pula terjadi meski

telah dilakukan kolostomi. 1,3,5

Anak

Pada anak yang lebih besar, gejala klinis yang menonjol adalah konstipasi

kronis dan gizi buruk (failure to thrive). Dapat pula terlihat gerakan peristaltik

usus di dinding abdomen. Jika dilakukan pemeriksaan colok dubur, maka feces

biasanya keluar menyemprot, konsistensi semi-liquid dan berbau tidak sedap.

Penderita biasanya buang air besar tidak teratur, sekali dalam beberapa hari dan

biasanya sulit untuk defekasi. Kasus yang lebih ringan mungkin baru akan

terdiagnosis di kemudian hari.3

Gambar 2.7 Foto pasien penderita Hirschsprung berusia 3 hari. Terlihat abdomen sangat distensi

F. Diagnosis

Diagnosis ditegakkan berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisik dan

penunjang.

Anamnesis

Pada neonatus :

1. mekonium keluar terlambat, > 24 jam

2. tidak dapat buang air besar dalam waktu 24-48 jam setelah lahir

3. perut cembung dan tegang

4. muntah

5. feses encer

Pada anak :

12

Page 13: Presentasi Kasus Anak Megakolon Kongenital

1. Konstipasi kronis

2. Failure to thrive (gagal tumbuh)

3. Berat badan tidak bertambah

4. Nafsu makan tidak ada (anoreksia)

Pemeriksaan Fisik

Pada inspeksi abdomen terlihat perut cembung atau membuncit

seluruhnya, didapatkan perut lunak hingga tegang pada palpasi, bising usus

melemah atau jarang. Pada pemeriksaan colok dubur terasa ujung jari terjepit

lumen rektum yang sempit dan sewaktu jari ditarik keluar maka feses akan

menyemprot keluar dalam jumlah yang banyak dan kemudian kembung pada

perut menghilang untuk sementara.

Pemeriksaan penunjang

1. Pemeriksaan Radiologi

Pemeriksaan radiologi merupakan pemeriksaan yang penting pada

penyakit Hirschsprung. Pada foto polos abdomen dapat dijumpai gambaran

obstruksi usus letak rendah, meski pada bayi sulit untuk membedakan usus

halus dan usus besar. Pemeriksaan yang merupakan standard dalam

menegakkan diagnosa Hirschsprung adalah barium enema, dimana akan

dijumpai 3 tanda khas :

a. Tampak daerah penyempitan di bagian rektum ke proksimal yang

panjangnya bervariasi;

b. Terdapat daerah transisi, terlihat di proksimal daerah penyempitan ke

arah daerah dilatasi;

c. Terdapat daerah pelebaran lumen di proksimal daerah transisi.1

Apabila dari foto barium enema tidak terlihat tanda-tanda khas

penyakit Hirschsprung, maka dapat dilanjutkan dengan foto retensi barium,

yakni foto setelah 24-48 jam barium dibiarkan membaur dengan feces.

Gambaran khasnya adalah terlihatnya barium yang membaur dengan feces

kearah proksimal kolon. Sedangkan pada penderita yang bukan Hirschsprung

namun disertai dengan obstipasi kronis, maka barium terlihat menggumpal di

daerah rektum dan sigmoid.

13

Page 14: Presentasi Kasus Anak Megakolon Kongenital

Gambar 2.8. Terlihat gambar barium enema penderita Hirschsprung. Tampak rektum yang mengalami penyempitan,dilatasi sigmoid dan daerah transisi yang melebar.

2. Manometri anus yaitu pengukuran tekanan sfingter anus dengan cara

mengembangkan balon di dalam rektum

3. Biopsi rektum menunjukkan tidak adanya ganglion sel-sel saraf.

G. Penatalaksanaan

1. Tindakan Non Bedah

Pengobatan non bedah dimaksudkan untuk mencegah serta

komplikasi-komplikasi yang mungkin terjadi atau untuk memperbaiki

keadaan umum penderita sampai pada saat operasi definitif dapat

dikerjakan. Pengobatan non bedah diarahkan pada stabilisasi cairan,

elektrolit, asam basa dan mencegah terjadinya overdistensi sehingga akan

menghindari terjadinya perforasi usus serta mencegah terjadinya sepsis.

Tindakan-tindakan nonbedah yang dapat dikerjakan adalah pemasangan

pipa nasogastrik, pemasangan pipa rektum, pemberian antibiotik, lavase

kolon dengan irigasi cairan, koreksi elektrolit serta pengaturan nutrisi.1

2. Tindakan Bedah.

a. Tindakan Bedah Sementara

Tindakan bedah sementara dimaksudkan untuk dekompresi

abdomen dengan cara membuat kolostomi pada kolon yang

mempunyai ganglion normal bagian distal. Tindakan dimaksudkan

14

Page 15: Presentasi Kasus Anak Megakolon Kongenital

guna menghilangkan obstruksi usus dan mencegah terjadinya

enterokolitis yang diketahui sebagai penyebab utama terjadinya

kematian pada penderita penyakit Hirschsprung. Manfaat lain dari

kolostomi adalah menurunkan angka kematian pada saat dilakukan

tindakan bedah definitif dan mengecilkan kaliber usus pada penderita

Hirschsprung yang telah besar sehingga memungkinkan dilakukan

anastomose.3,5

b. Tindakan Bedah Definitif

1. Prosedur Swenson

Prosedur ini adalah prosedur pertama untuk operasi

penyakit Hirschsprung dengan metode “pull-through”. Tehnik

ini diperkenalkan pertama kali oleh Swenson dan Bill pada

tahun 1948. Segmen yang aganglionik direseksi dan puntung

rektum ditinggalkan 2-4 cm dari garis mukokutan kemudian

dilakukan anastomosis  langsung diluar rongga peritoneal. Pada

prosedur ini enterokolitis masih dapat terjadi sebagai akibat

spasme puntung rektum yang ditinggalkan. Untuk mengatasi hal

ini Swenson melakukan sfingterektomi parsial posterior.

Prosedur ini disebut prosedur Swenson I.1, 9

Pada 1964 Swenson memperkenalkan prosedur Swenson

II dimana setelah dilakukan pemotongan segmen kolon yang

aganglionik, puntung rektum ditinggalkan 2 cm di bagian

anterior dan 0,5 cm di bagian posterior kemudian langsung

dilakukan sfingterektomi parsial langsung. Ternyata prosedur ini

sama sekali tidak mengurangi spasme sfingter ani dan tidak

mengurangi komplikasi enterokolitis pasca bedah dan bahkan

pada prosedur Swenson II kebocoran anastomosis lebih tinggi

dibanding dengan prosedur Swenson I. 1,9

Prosedur Swenson dimulai dengan approach ke intra

abdomen, melakukan biopsi eksisi otot rektum, diseksi rektum

ke bawah hingga dasar pelvik dengan cara diseksi serapat

mungkin ke dinding rektum, kemudian bagian distal rektum

diprolapskan melewati saluran anal ke dunia luar sehingga

15

Page 16: Presentasi Kasus Anak Megakolon Kongenital

saluran anal menjadi terbalik, selanjutnya menarik terobos

bagian kolon proksimal (yang tentunya telah direseksi bagian

kolon yang aganglionik) keluar melalui saluran anal. Dilakukan

pemotongan rektum distal pada 2 cm dari anal verge untuk

bagian anterior dan 0,5-1 cm pada bagian posterior, selanjunya

dilakukan anastomose end to end dengan kolon proksimal yang

telah ditarik terobos tadi. Anastomose dilakukan dengan 2 lapis

jahitan, mukosa dan sero-muskuler. Setelah anastomose selesai,

usus dikembalikan ke kavum pelvik / abdomen. Selanjutnya

dilakukan reperitonealisasi, dan kavum abdomen ditutup.1,5

Gambar 2.9 Prosedur Swenson

2. Prosedur Duhamel

Prosedur ini diperkenalkan Duhamel tahun 1956 untuk

mengatasi kesulitan diseksi pelvik pada prosedur Swenson.

Prinsip dasar prosedur ini adalah menarik kolon proksimal yang

ganglionik ke arah anal melalui bagian posterior rektum yang

aganglionik, menyatukan dinding posterior rektum yang

aganglionik dengan dinding anterior kolon proksimal yang

ganglionik sehingga membentuk rongga baru dengan

anastomose end to side.3

Prosedur Duhamel asli memiliki beberapa kelemahan,

diantaranya sering terjadi stenosis, inkontinensia dan

16

Page 17: Presentasi Kasus Anak Megakolon Kongenital

pembentukan fekaloma di dalam puntung rektum yang

ditinggalkan apabila terlalu panjang. Oleh sebab itu dilakukan

beberapa modifikasi prosedur Duhamel, diantaranya :

a. Modifikasi Grob (1959) : Anastomose dengan pemasangan 2

buah klem melalui sayatan endoanal setinggi 1,5-2,5 cm,

untuk mencegah inkontinensia;

b. Modifikasi Talbert dan Ravitch: Modifikasi berupa

pemakaian stapler untuk melakukan anastomose side to side

yang panjang;

c. Modifikasi Ikeda: Ikeda membuat klem khusus untuk

melakukan anastomose, yang terjadi setelah 6-8 hari

kemudian;

d. Modifikasi Adang: Pada modifikasi ini, kolon yang ditarik

transanal dibiarkan prolaps sementara. Anastomose

dikerjakan secara tidak langsung, yakni pada hari ke-7-14

pasca bedah dengan memotong kolon yang prolaps dan

pemasangan 2 buah klem; kedua klem dilepas 5 hari

berikutnya. Pemasangan klem disini lebih dititikberatkan

pada fungsi hemostasis.1

Gambar 2.10 Prosedur Duhamel

3. Prosedur Soave atau Endorectal Pull Through

17

Page 18: Presentasi Kasus Anak Megakolon Kongenital

Prosedur ini sebenarnya pertama sekali diperkenalkan

Rehbein tahun 1959 untuk tindakan bedah pada malformasi

anorektal letak tinggi. Namun oleh Soave tahun 1966

diperkenalkan untuk tindakan bedah definitif Hirschsprung.

Tujuan utama dari prosedur Soave ini adalah membuang

mukosa rektum yang aganglionik, kemudian menarik terobos

kolon proksimal yang ganglionik masuk kedalam lumen rektum

yang telah dikupas tersebut.3

4. Prosedur Rehbein

Prosedur ini tidak lain berupa deep anterior resection,

dimana dilakukan anastomose end to end antara usus

aganglionik dengan rektum pada level otot levator ani (2-3 cm

diatas anal verge), menggunakan jahitan 1 lapis yang dikerjakan

intraabdominal ekstraperitoneal. Pasca operasi, sangat penting

melakukan businasi secara rutin guna mencegah stenosis.3

18

Page 19: Presentasi Kasus Anak Megakolon Kongenital

DAFTAR PUSTAKA

1. Kartono D. Penyakit Hirschsprung : Perbandingan prosedur Swenson dan

Duhamel modifikasi. Disertasi. Pascasarjana FKUI. 1993.

2. Heikkinen M, Rintala R, Luukkonen. Longterm anal spincter performance after

surgery for Hirschsprung’s disease. J Pediatr Surg 1997; 32: 1443-6.

3. Fonkalsrud. Hirschsprung’s disease. In:Zinner MJ, Swhartz SI, Ellis H, editors.

Maingot’s Abdominal Operation. 10th ed. New York: Prentice-Hall

intl.inc.;1997.p.2097-105.

4. Swenson O. Hirschsprung’s disease : A Review. J Pediatr 2002;109:914-918.

5. Swenson O, Raffensperger JG. Hirschsprung’s disease. In: Raffensperger

JG,editor. Swenson’s pediatric surgery. 5th ed. Connecticut:Appleton & Lange;

1990: 555-77.

6. Farid Nur Mantu. Catatan Kuliah Ilmu Bedah Anak. Jakarta: EGC, 1993.

7. Sjamsuhidajat dan Wim de jong. Tindakan Bedah: organ dan sistem organ, usus

halus, apendiks, kolon, dan anorektum, Kelainan bawaan, In: Buku Ajar Ilmu

Bedah. Jakarta: EGC; 2004: 908-10.

8. Snell, Richard S. Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran. Jakarta: EGC,

2006.

9. Lee, Steven L, (2005), Hirschprung disease,

http://emedicine.medscape.com/article/178493-overview

19