18
Prasasti Widodaren: Suatu Kajian Epigrafi Oleh: Dewi Sinta A’isyah Debeturu Program Studi Arkeologi, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia Email: [email protected] Abstrak Penelitian ini merupakan kajian epigrafi terhadap Prasasti Widodaren. Penelitian ini menggunakan metode yang biasanya juga digunakan dalam penelitian sejarah. Metode tersebut diringkas menjadi tiga tahap, yaitu pengumpulan data (heuristik), pengolahan data (kritik), dan interpretasi. Prasasti Widodaren merupakan prasasti yang unik karena dibuat oleh kalangan cendikiawan, bukan berisi titah raja atau orang yang berkuasa sebagaimana biasanya prasasti dituliskan. Prasasti ini menyebutkan satu dari caturbhasmaṇḍala-empat maṇḍala utama yang dalam Nāgarakṛṭāgama disebutkan sebagai milwang atau tambahan- yaitu Maṇḍala Kasturi, yang oleh para ahli diidentifikasikan sebagai maṇḍala yang mewakili arah barat dan kira-kira berlokasi di Turen, Kabupaten Malang. Sesuai dengan perkiraan para ahli epigrafi serta penyebutannya dalam beberapa naskah klasik, prasasti ini ditemukan di Kecamatan Dampit yang berbatasan langsung dengan Kecamatan Turen Kabupaten Malang. Jika betul kesesuaian tersebut, maka penelitian ini dapat menjadi titik terang pencarian caturbhasmaṇḍala yang selama ini belum ditemukan. Kata kunci: prasasti, widodaren, maṇḍala, Kasturi, caturbhasmaṇḍala Abstract This research is an epigraphical study of Widodaren inscription. This research is using method that is usually used in history research. The history method was consist of four stage, but in this reseacrh has been compacted as needs of the research, which are heuristic, critics, and interpretation. Widodaren Inscription is a unique inscription that made by religious intellectual and not containing king’s command or people that hold the power at that time, that usually what inscription were for. This inscription mentioned one of caturbhasmamaṇḍala-four main maṇḍala that in Nāgarakṛṭāgama named “milwang” or addition- Maṇḍala Kasturi, that by experts indentified represent west aim located in Turen, Kabupaten Malang. Appropriate with those statements from the epigrapher experts and the mentioned of it in many Indonesian classic manuscripts, this inscription was found in Kecamatan Dampit, that directly border with Kecamatan Turen, Kabupaten Malang. If all the statements are true, it means this research can be the point of light of caturbhasmamaṇḍala’s trace that never been found in long time. Key Word: iscription, widodaren, maṇḍala, Kasturi, caturbhasmaṇḍala Prasasti Widodaren ..., Dewi Sinta A'isyah Debeturu, FIB UI, 2016

Prasasti Widodaren: Suatu Kajian Epigrafi

  • Upload
    others

  • View
    25

  • Download
    2

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Prasasti Widodaren: Suatu Kajian Epigrafi

Prasasti Widodaren: Suatu Kajian Epigrafi

Oleh: Dewi Sinta A’isyah Debeturu Program Studi Arkeologi, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia

Email: [email protected]

Abstrak

Penelitian ini merupakan kajian epigrafi terhadap Prasasti Widodaren. Penelitian ini

menggunakan metode yang biasanya juga digunakan dalam penelitian sejarah. Metode tersebut diringkas menjadi tiga tahap, yaitu pengumpulan data (heuristik), pengolahan data (kritik), dan interpretasi. Prasasti Widodaren merupakan prasasti yang unik karena dibuat oleh kalangan cendikiawan, bukan berisi titah raja atau orang yang berkuasa sebagaimana biasanya prasasti dituliskan. Prasasti ini menyebutkan satu dari caturbhasmaṇḍala-empat maṇḍala utama yang dalam Nāgarakṛṭāgama disebutkan sebagai milwang atau tambahan- yaitu Maṇḍala Kasturi, yang oleh para ahli diidentifikasikan sebagai maṇḍala yang mewakili arah barat dan kira-kira berlokasi di Turen, Kabupaten Malang. Sesuai dengan perkiraan para ahli epigrafi serta penyebutannya dalam beberapa naskah klasik, prasasti ini ditemukan di Kecamatan Dampit yang berbatasan langsung dengan Kecamatan Turen Kabupaten Malang. Jika betul kesesuaian tersebut, maka penelitian ini dapat menjadi titik terang pencarian caturbhasmaṇḍala yang selama ini belum ditemukan. Kata kunci: prasasti, widodaren, maṇḍala, Kasturi, caturbhasmaṇḍala

Abstract

This research is an epigraphical study of Widodaren inscription. This research is using

method that is usually used in history research. The history method was consist of four stage, but in this reseacrh has been compacted as needs of the research, which are heuristic, critics, and interpretation. Widodaren Inscription is a unique inscription that made by religious intellectual and not containing king’s command or people that hold the power at that time, that usually what inscription were for. This inscription mentioned one of caturbhasmamaṇḍala-four main maṇḍala that in Nāgarakṛṭāgama named “milwang” or addition- Maṇḍala Kasturi, that by experts indentified represent west aim located in Turen, Kabupaten Malang. Appropriate with those statements from the epigrapher experts and the mentioned of it in many Indonesian classic manuscripts, this inscription was found in Kecamatan Dampit, that directly border with Kecamatan Turen, Kabupaten Malang. If all the statements are true, it means this research can be the point of light of caturbhasmamaṇḍala’s trace that never been found in long time. Key Word: iscription, widodaren, maṇḍala, Kasturi, caturbhasmaṇḍala                                            

Prasasti Widodaren ..., Dewi Sinta A'isyah Debeturu, FIB UI, 2016

Page 2: Prasasti Widodaren: Suatu Kajian Epigrafi

Pendahuluan Penyusunan sejarah kuno memerlukan sumber yang dapat dipertanggungjawabkan. Salah

satu sumber primernya adalah prasasti. Menurut ahli epigrafi, yaitu Ninie Susanti (1986: 5), data utama penyusunan sejarah kuno merupakan data tertulis yang terdiri dari prasasti serta naskah-naskah dan dapat dilengkapi dengan artefak tak bertulis sebagai bukti sisa kehidupan manusia di masa lalu. Menurut Edi Sedyawati (1984: 1-2), ahli arkeologi dan epifgrafi, naskah adalah bidang-bidang yang memuat tulisan dan dapat digoreskan di mana saja, sedangkan prasasti adalah suatu maklumat atau peraturan yang dikeluarkan oleh raja yang berwenang. Penelitian naskah dan prasasti pada umumnya bersifat kualitatif dengan bekal utamanya mengamati huruf-huruf dan ejaan. Menurut J. W. M. Bakker, prasasti merupakan pangkal pengetahuan zaman sejarah Indonesia yang telah silam (1972: 29). Prasasti menyediakan data bagi arkeologi untuk mengungkap kebudayaan manusia di masa lalu, namun para ahli di masa terdahulu mengungkapkan bahwa prasasti merupakan hal-hal yang berkenaan dengan perintah raja atau yang berkenaan dengan suatu pemerintahan (Bakker, 1972: 30).

Aksara tidak hanya dipelajari oleh kalangan kerajaan saja, tapi juga cendikiawan yang sedang berguru di maṇḍala atau skriptoria yang jauh dari lingkungan keraton. Sehingga pengertian prasasti yang dikatakan sebagai maklumat raja-kecuali nisan- tentunya harus dikaji ulang akibat munculnya suatu jenis prasasti yang sering disebut sebagai prasasti bercorak khusus. Menurut ahli epigrafi L. C. Damais (1995: 11) sejak abad ke-11 Masehi, muncul tulisan tebal dan mirip tulisan Persegi Pāli. Aksara tersebut dikenal sebagai Persegi Kediri yang muncul di Jawa dan Bali dan tidak terdapat di Sumatera maupun Indocina. Kemudian berabad-abad setelahnya, yaitu abad ke-15 Masehi terdapat ragam tulisan yang tebal, kaku, dan tidak anggun sama sekali yang berasal dari kuil-kuil di pegunungan. Ragam aksara ini disebut dengan Jenis Sukuh. Menurut Ninie Susanti (2001:201), pada abad ke-15 terdapat aksara Jawa Kuno yang berkembang di Jawa Tengah dan Jawa Timur, yang dibedakan dari pembabakan aksara masa Majapahit. Pada masa itu dalam Nāgarakṛtāgama menyebutkan bahwa saat Prapañca singgah di pertapaan Darbaru, ia membaca prasasti yang bagus-bagus sehingga berkeinginan untuk memperlajarinya (Bakker, 1972:11). Jenis aksara inilah yang kemudian sering disebut sebagai aksara bercorak khusus oleh para ahli.

Skriptoria tempat belajar para cendikiawan yang menerbitkan prasasti dengan aksara bercorak khusus tersebut berkembang di lereng-lereng pegunungan. Lebih lanjut disebutkan oleh Agus Aris Munandar (2001: 101-109), pusat-pusat keagamaan tersebut jauh dari lingkungan keraton dan mengembangkan ajarannya tersendiri yang sedikit banyak berbeda dari apa yang ditemukan di dalam atau dekat keraton. Pada masa Majapahit terdapat empat maṇḍala utama yang menurut Nāgarakṛtagama disebut dengan caturbhasma, yaitu Mūla Sagara, Kukub, Sukayajña, dan Kasturi. Selain itu, terdapat beberapa karsyan atau tempat bersemayamnya para Rsi yang tersebar di lereng-lereng pegunungan di antaranya adalah Pegunungan Merapi-Merbabu, dan Gunung Penanggungan atau yang disebut Pawitra dalam Nāgarakṛtāgama1. Terdapat tujuh karsyan yang terkenal dan disebutkan dalam Nāgarakṛtāgama yaitu Sumpud, Rupit, Pilan, Pucaṅan, Jagaddhita, Pawitra dan Butun. Para Kawi atau cerdas cendikia yang belajar di sana, selain mempelajari agama juga menulis puisi atau naskah-naskah sastra dengan aksara khusus yang hanya dimengerti oleh kaum mereka, yaitu aksara Buda. Selain itu juga terdapat aksara Jawa, dengan bahasa Jawa Kuna berdialek Jawa Tengahan, bahasa Jawa, dan beberapa di antaranya sedikit menggunakan bahasa Sansekerta. Sumber lain yang menyebutkan kalangan Ṛṣi adalah kakawin Arjunawijaya dan naskah Darma Jati. Arjunawijaya menyebutkan bahwa kaum Ṛṣi adalah satu dari tiga agama yang diajukan untuk dirawat bangunan keagamaannya (Santiko, 1993: 19). Identifikasi mengenai karsyan juga terdapat pada naskah Darma Jati, yang menyebutkan bahwa saat berperang Darma Jati berhasil mengalahkan musuh-musuhnya dan membuat mereka beterbangan ke puncak kalasan, dan gunung-gunung menimpa lautan sehingga membuat ketakutan para rsi yang segera berlarian (Buduroh, 2006: 71).

Penelitian mengenai prasasti yang berasal dari kalangan luar keraton pernah dilakukan oleh beberapa ahli epigrafi di Indonesia. Pada tahun 1975, de Casparis yang merupakan seorang epigraf, melakukan penilitian pada prasasti-prasasti di Candi Sukuh dan prasasti Damaluŋ. Ia menyebutkan bahwa tulisan di Jawa mengalami perkembangan hingga menjadi tulisan jawa modern sekarang ini. Jauh sebelumnya, pada 1923 seorang peneliti lain yaitu Muusses melakukan pembacaan awal pada aksara prasasti di candi Sukuh, ia menyatakan bahwa prasasti Sukuh dituliskan dengan bahasa Kawi, namun tanpa penanda yang jelas sehingga terdapat kesulitan dalam pembacaannya.

                                                                                                                         1 bandingkan dengan Robson, 1995: 80-81. Hal ini disebutkan dalam naskah Nāgarakṛtagama yang telah

diterjemahkan oleh Robson.

Prasasti Widodaren ..., Dewi Sinta A'isyah Debeturu, FIB UI, 2016

Page 3: Prasasti Widodaren: Suatu Kajian Epigrafi

Seorang epigraf Machi Suhadi telah melakukan pendataan pada prasasti-prasasti yang berada di jawa Timur yang beberapa di antaranya merupakan prasasti bercorak khusus yang dikeluarkan oleh kalangan luar istana (Suhadi, 1996).

Penelitian mengenai agama Hindu-Buddha telah dilakukan oleh Sedyawati (2009a), dan seorang arkelog Hariani Santiko (1993). Sedangkan penelitian mengenai keagamaan di luar keraton baik yang berdasarkan prasasti bercorak khusus atau bukan telah dilangsungkan oleh seorang ahli arkeologi Agus Aris Munandar (2001:101-109), penelitian ini menggunakan data-data arkeologis yang terdapat di sekitar Jawa Timur dan beberapa karya sastra serta prasasti. Ia menyimpulkan bahwa karya sastra yang terdapat pada masa Majapahit akhir berasal dari orang yang mengerti Hindu-Buddha baik itu kaum agamawan yang tinggal jauh dari keraton, mau pun kalangan Kerajaan yang dapat berarti agamawan dan keluarga raja.

Penelitian-penelitian lain yang mengungkapkan-salah satunya- mengenai aspek keagamaan, dilakukan pada naskah-naskah yang berasal dari masa sezaman. Seorang ahli filologi, Noordyun (1982) meneliti mengenai topografi beberapa tempat yang terdapat pada sumber naskah Sunda Bujangga Manik. Penelitiannya mengungkap beberapa tempat yang disebutkan, termasuk diantaranya mandala-mandala di lereng-lereng gunung sekitar Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Kembali pada Prasasti Widodaren, prasasti tersebut memiliki keunikan tersendiri karena diasumsikan berasal dari kalangan bukan kerajaan. Prasasti ini menjadi penting sekali untuk dikaji karena merupakan satu dari sedikit bukti kegiatan kaum cendikiawan di luar keraton. Prasasti Widodaren sendiri telah dibaca dan diterjemahkan oleh Ninie Susanti dan tim pada tahun 1996 (2012: 30). Parasasti yang dapat dibaca hanyalah bagian recto dikarenakan keterbatasan data yang diperoleh.

Rumusan Masalah Pembacaan dan kajian ulang terhadap prasasti Widodaren sangat penting dilakukan

mengingat prasasti ini adalah prasasti bercorak khusus yang memuat keterangan yang lebih banyak dibandingkan prasasti bercorak khusus lainnya. Pada prasasti ini juga terdapat lambang wajra dan penyebutan maṇḍala Kasturi, salah satu dari empat caturbhasmamaṇḍala yang belum pernah ditemukan pada prasasti lain sebelumnya. Keterbatasan pembacaan pada penelitian sebelumnya serta terdapat satu sisi prasasti yang belum terbaca membuat kajian ulang terhadap keseluruhan aspek prasasti sangat penting dilakukan. Seluruh hal tersebut menyebabkan prasasti ini harus dikaji secara komprehensif demi mengetahui isi prasasti dan menempatkannya pada sejarah sezaman.

Tujuan Penelitian Telah disebutkan pada permasalahan mengenai pentingnya mengkaji Prasasti Widodaren.

Terdapat beberapa tujuan yang dapat diangkat berdasarkan permasalahan tersebut: 1. Melanjutkan dan mengoreksi penelitian sebelumnya

Uraian sebelumnya menyebutkan bahwa Prasasti Widodaren telah dibaca pada sisi recto. Pengamatan awal prasasti menunjukkan adanya indikasi kesalahan baca. Berdasarkan pernyataan tersebut, maka penelitian ini bertujuan untuk melanjutkan dan mengoreksi penelitian sebelumnya

2. Mengungkapkan keseluruhan kandungan prasasti dan latar belakang penyusunannya Pengungkapan keseluruhan tulisan dalam prasasti, termasuk apapun yang secara

eksplisit digambarkan dalam prasasti serta peristiwa yang melatarbelakangi pembuatannya.

3. Menempatkan isi prasasti pada sejarah kebudayaan sezaman Setelah kedua tujuan prasasti dapat terpenuhi, maka yang paling akhir dan utama

adalah penempatan isi prasasti pada sejarah kebudayaan sezaman. Pengungkapan keseluruhan isi prasasti kemudian perbandingan dengan data-data lain yang dinilai memiliki relasi dengan Prasasti Widodaren, nantinya akan mengungkapkan secara lebih luas mengenai letak dan peristiwa yang terjadi, yang menjadi latar belakang keberadaan prasasti di zaman itu.

Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan metode yang biasanya juga digunakan dalam penelitian

sejarah. Metode yang dimaksud terdiri dari empat tahap, yaitu pengumpulan data (heuristik), pengolahan data (kritik), interpretasi, dan tahap penulisan sejarah (historiografi) (Susanti, 1997: 172).

Pengumpulan data dilakukan melalui dua cara, yaitu dengan studi pustaka dan mengamati objek langsung atau studi lapangan. Studi pustaka dilakukan dengan membaca hasil bacaan dan

Prasasti Widodaren ..., Dewi Sinta A'isyah Debeturu, FIB UI, 2016

Page 4: Prasasti Widodaren: Suatu Kajian Epigrafi

penelitian pada prasasti Widodaren. Kemudian, berdasarkan keterangan hasil penelitian dapat ditelusuri keberadaan prasasti guna perekaman dan pengecekan ulang prasasti di lapangan.

Data yang telah terkumpul selanjutnya akan diolah dengan melakukan alih aksara dan terjemahan beserta catatannya. Kemudian dilakukan analisis kritik eksternal dan internal. Analisis eksternal berkenaan dengan fisik prasasti beserta aksara dan Bahasa yang digunakan, sedangkan analisis internal berkenaan dengan isi prasasti.

Dalam menginterpretasi prasasti akan digunakan data bantu berupa puluhan prasasti bercorak khusus lain yang tersebar Jawa Tengah dan Jawa Timur. Selain itu, juga akan digunakan naskah sezaman untuk mencapai tujuan penelitian yaitu pengungkapan unsur instrinsik dan ekstrinsik prasasti serta mengetahui lebih jauh mengenai komunitas pendukung prasasti.

Keseluruhan proses dan hasil yang dipaparkan merupakan upaya historiografi atau penyusunan sejarah, meskipun penyusunan sejarah agak sulit dilakukan mengingat prasasti ini, seperti prasasti dengan aksara bercorak khusus lainnya, tidak dapat merangkum banyak kejadian pada zaman tersebut. Penyusunan sejarah yang dimaksud bukan hanya mengurutkan kejadian berdasarkan waktu, namun penekanannya lebih kepada memberikan dasar relevansi kronologi terhadap interpretasi hal-hal yang dapat ditelusuri melalui Prasasti Widodaren sebagai suatu kejadian pada masa lampau.

Prasasti Widodaren ..., Dewi Sinta A'isyah Debeturu, FIB UI, 2016

Page 5: Prasasti Widodaren: Suatu Kajian Epigrafi

Prasasti Widodaren Prasasti Widodaren telah dibaca salah satu sisinya (sisi recto) oleh Ninie Susanti pada

tahun 1996. Pada saat itu Edhie Wurjantoro membawa 10 lembar foto prasasti yang tersimpan di Hotel Tugu Malang. Sepuluh lembar foto tersebut berasal dari tiga prasasti yang salah satunya merupakan Prasasti Widodaren, yang merupakan objek kajian penulisan ini. Kemudian dari foto tersebut, dibuatlah faksimil oleh I. Kuntara Wiryatamartana dan dialih-bahasakan oleh Ninie Susanti (Susanti, 2012: 29). Pada tahun 1996 pula, prasasti tersebut diinvetarisasikan oleh Balai Pelestarian Cagar Budaya Jawa Timur (laporan hasil inventarisasi di wilayah Malang, 1996).Sepuluh tahun sebelumnya, Ninie Susanti telah menerima faksimil prasasti yang sama dari Habib Mustopo yang mengidentifikasikan prasasti ini berasal dari Desa Widodaren, Dampit, Kab. Malang, Jawa Timur.

Prasasti Widodaren sama dengan kebanyakan prasasti bercorak khusus masa Majapahit akhir, yaitu merupakan batuan alam yang secara umum sepertinya tidak melalui proses pembentukan terlebih dahulu sebelum ditulis oleh citralekha, kecuali pada bagian kemuncak prasasti di bagian depan yang telihat ada upaya pembentukkan menyerupai stele meskipun belum sempurna. Batuan yang digunakan pada prasasti tersebut merupakan batu andesit berwarna hitam keabu-abuan. Secara umum Prasasti Widodaren berbentuk oval. Prasasti ini disanggah dengan cara dimasukkan ke dalam batu berlubang di bagian bawah agar tetap berdiri. Prasasti tersebut ditulisi pada kedua sisinya dengan pembacaan yang terpisah antara sisi depan dan sisi belakang. Penentuan sisi depan atau recto dan sisi belakang atau verso sulit dilakukan karena salah satu bagian sudah sangat aus dan sulit dibaca. Dikarenakan penentuan mesti dilakukan, untuk itulah penulis menggunakan terminologi recto untuk sisi yang telah dibaca oleh penulis sebelumnya dan masih sangat baik, serta menggunakan istilah sisi verso pada sisi yang belum pernah dibaca dengan keadaan yang sudah sangat aus. Sisi recto prasasti dengan sisi verso memiliki bentuk permukaan yang agak berbeda.

Permukaan sisi recto prasasti lebih rata namun terlihat sedikit melengkung. Pada bagian kanan bawah terdapat kulit batu yang terlepas, namun aksara tetap ditulis di atasnya. Sisi verso memiliki bentuk permukaan yang agak berbeda dibandingkan dengan bagian depan. Bentuk prasasti pada sisi verso menyerupai limas segitiga yang mana ukuran bagian kanan (jika menghadap ke prasasti) lebih lebar dibandingkan dengan bagian kiri. Bagian kiri kondisinya terlihat baik dan masih dapat dibaca dengan jelas aksaranya, sedangkan bagian tengah sudah aus dan tidak dapat dibaca sama sekali. Pada bagian kanan masih terdapat beberapa huruf yang masih dapat dikenali.

Prasasti Widodaren memiliki ukuran yang beragam di setiap sisinya. Pengukuran yang dilakukan menghasilkan tinggi tertinggi prasasti adalah 88 cm, lebar terlebar 41 cm, dan tebal tertebal 25 cm.

Aksara yang digunakan pada Prasasti Widodaren merupakan aksara Jawa Kuno bercorak khusus yang biasa digunakan dalam prasasti yang dituliskan oleh citralekha yang bukan berasal dari kerajaan. Aksara pada prasasti ini mirip sekali dengan aksara pada kelompok prasasti Pasrujambe, Damaluŋ, dan Gerba.

Bahasa yang digunakan pada Prasasti Widodaren merupakan bahasa Jawa Kuno dengan beberapa kosa kata yang tidak lazim digunakan dalam Prasasti Jawa Kuno. Beberapa kosa kata tersebut ada yang ditemukan dalam kamus bahasa Jawa Baru, ada juga yang tidak terlacak artinya. Penggunaan kata juga agak berbeda dari Prasasti Jawa Kuno yang dikeluarkan oleh citralekha resmi kerajaan. Hal ini dapat dilihat dari tidak adanya sisipan yang menunjukkan aktif atau pasifnya suatu kata.

foto tampak depan prasasti widodaren foto tampak samping

foto tampak belakang

Prasasti Widodaren ..., Dewi Sinta A'isyah Debeturu, FIB UI, 2016

Page 6: Prasasti Widodaren: Suatu Kajian Epigrafi

Alih Aksara dan Alih Bahasa Sebelum penelitian ini, dilakukan, seperti yang telah disebutkan sebelumnya, sisi recto

prasasti ini telah dialihaksara dan diterjemahkan. Alih aksara dan alih bahasa pada sisi recto prasasti Widodaren telah dilakukan oleh I. Kuntara Wiryatama dan Ninie Susanti (Susanti, 2012: 30). Kedua hasil bacaan prasasti ditampilkan agar bisa dibandingkan.

A. Alih aksara sisi recto prasasti oleh I. Kuntara Wiryatama a. salīmaḥ kas b. tari wīka cawīhha c. totohan d. dadiha kawula e. batursaputala f. mane samake g. muwah satībe

(Susanti, 2012: 30-31)

B. Alih Aksara Terbaru Alih Aksara Sisi Recto a. Salěmaḥ kas) b. turi wĕka cawĕḥha c. totohan) d. dadiha kawula e. batur saputula f. mane samake g. muwaḥ satĕbe Alih Aksara Sisi Verso a. wasana b. … … ya c. … … ta

d. oṃ r… … … … …i sa … e. tayada … … … … ri … f. i …i … … … … da …

g. rama … … … … … … 2 h. ratha … … … … … … … 3

Catatan Alih Aksara Setelah mengamati prasasti secara langsung dan membandingkannya dengan alih aksara

pada penelitian sebelumnya, maka diketahui terdapat sedikit kesalahan baca. Kesalahan baca adalah pada sisi recto baris kedua aksara pertama yang oleh pembaca sebelumnya dibaca ta, namun jika diamati terdapat garis lurus di bawah aksara tersebut yang menyebabkan aksara ini seharusnya berbunyi tu. Perbedaan persepsi aksara juga ditemukan pada vokalisasi ě yang oleh pembaca sebelumnya dibaca ī.

Pada sisi recto, selain ditemukan aksara juga ditemukan ornamen yang menghias di bagian atas dan bawah prasasti. Di bagian atas terdapat hiasan berbentuk dua sulur yang saling

Gambar Faksimile Prasasti Widodaren sisi recto

Gambar Faksimile Prasasti

Widodaren sisi verso

Prasasti Widodaren ..., Dewi Sinta A'isyah Debeturu, FIB UI, 2016

Page 7: Prasasti Widodaren: Suatu Kajian Epigrafi

berhadapan, serta di bagian bawah terdapat hiasan dua lingkaran pada kanan-kiri sisi recto prasasti.

Alih aksara sisi verso hanya bisa dilakukan pada sebagian kecil aksara yang masih dapat dibaca. Pada sisi verso terdapat delapan baris yang dipisahkan oleh bingkai dua garis menjadi tiga paragraf. Ornamen yang terdapat pada sisi ini adalah berupa wajra yang disematkan pada sisi kiri atas prasasti, tepatnya pada sebelah kiri di luar bingkai paragraf pertama.

Pada baris kedua paragraf pertama, hanya terdapat satu aksara yang dapat dibaca, yaitu aksara ya yang merupakan aksara ketiga. Pada baris ketiga paragraf pertama terdapat aksara ta yang merupakan aksara ketiga, kedua aksara lain tak dapat dibaca. Permukaan batu pada aksara telah terkikis pertama kedua pada baris kedua dan ketiga paragraf pertama, sehingga aksara sudah tidak dapat dikenali.

Pada baris pertama paragraf kedua, terdapat aksara oṃ yang biasanya diikuti oleh penyebutan nama dewa. Namun aksara selanjutnya tidak dapat dibaca, hanya terdapat r layar pada aksara kedua. Aksara ketiga hingga kelima, sudah tidak dapat dikenali lagi, bahkan hampir hilang sama sekali jejaknya. Aksara keenam tidak dapat dikenali, namun terdapat vokalisasi i di atasnya. Aksara ketujuh baris ini merupakan aksara sa namun aksara kedelapannya sudah tak dapat dibaca.

Pada baris kedua paragraf kedua, posisi aksara kedua tepat sejajar di bawah aksara pertama baris pertama paragraf kedua. Tiga aksara awal yang dapat dibaca adalah ta-ya-da. Empat aksara berikutnya tak dapat dikenali lagi, aksara kedelapan merupakan aksara ra dengan vokalisasi i di atasnya, serta aksara kesembilan yang tak dapat dibaca lagi.

Baris ketiga paragraf kedua dimulai dengan aksara pertama tepat berada di bawah aksara kedua baris kedua paragraf kedua. Aksara pertama ialah aksara i, aksara selanjutnya tak dapat dikenali lagi, namun terdapat vokalisasi i di atasanya. Empat aksara berikutnya sudah aus dan tak dapat dibaca kembali. Aksara ketujuh adalah aksara da, dan aksara terakhir tak dapat dikenali lagi.

Secara keseluruhan, keausan terjadi pada bagian tengah paragraf kedua, sehingga aksara yang terdapat di bagian tersebut tak dapat dibaca lagi.

Aksara pertama dan kedua paragraf ketiga baris pertama adalah aksara ra dan ma, dan kelima aksara setelahnya tak dapat dibaca lagi. Aksara terakhir pada baris ini adalah angka 2.

Aksara pertama dan kedua paragraf ketiga baris kedua adalah aksara ra dan tha, serta kelima aksara setelahnya tak dapat dikenali lagi. Aksara terakhir pada baris ini merupakan angka 3.

C. Alih Bahasa Sisi Recto oleh Ninie Susanti a. semua keengganan akan kekerasan b. menjadi anjuran untuk anak dari orang yang telah tiada c. karena yang menjadi taruhannya adalah d. menjadi hamba e. pelayan yang mematahkannya f. kecongkakan yang sama dengan g. juga menepuk diri sendiri

D. Alih Bahasa Terbaru

Alih Bahasa Sisi Recto a. Seluruh tanah Kas- b. turi (adalah milik) keturunan dari sang mati c. (jika tidak, maka) taruhannya (adalah) d. menjadi budak e. pembantu. Seluruh keputusan f. berlaku untuk semua (orang) g. dan saya sendiri.

Alih Bahasa Sisi Verso a. Wasana b. … c. … d. pujian e. tiada … … … … f. …. g. Bapak/Pemimpin … 2

Prasasti Widodaren ..., Dewi Sinta A'isyah Debeturu, FIB UI, 2016

Page 8: Prasasti Widodaren: Suatu Kajian Epigrafi

h. Kereta perang… … 3

Catatan Alih Bahasa Alih bahasa pada penelitian ini menggunakan beberapa kamus di antaranya Bausastra

Jawa-Indonesia karya Prawiroatmojo, kamus lengkap Jawa-Indonesia karya Sutrisno Sastro Utomo, kamus Jawa Kuna-Indonesia karya Zoetmulder.

Alih bahasa pada sisi recto lebih mudah dilakukan, karena sisi ini kondisinya masih sangat baik, sehingga keseluruhan aksara dapat dibaca dan diterjemahkan.

Pada baris pertama, alih bahasa sebelumnya memenggal aksara terakhir baris ini dengan aksara pertama baris kedua, sehingga kata salěmah tidak diartikan ‘seluruh tanah’. Pada pembacaan aksara telah menunjukkan kesalahan, sehingga aksara tersebut seharusnya dapat disatukan menjadi kata Kasturi, jadi, penerjemahan kata salěmah menjadi ‘seluruh tanah’ sangat relevan dilakukan.

Pemilihan kata tambahan yang berada dalam kurung, menggunakan kata yang relevan dan memiliki keterkaitan. Pada penerjemahan yang dilakukan oleh Ninie Susanti dan tim, secara keseluruhan belum dapat menggambarkan maksud dari Prasasti Widodaren.

Prasasti dan Kehidupan Keagamaan pada Masa Akhir Majapahit Prasasti Widodaren, sama seperti seluruh prasasti pembandingnya, dibuat pada abad ke-15

Masehi. Pada abad ini memang muncul tulisan seperti itu, yang berbeda dari apa yang dituliskan oleh citralekha kerajaan (Damais, 1995). Pada masa itu, masyarakat Majapahit merupakan masyarakat yang sudah beragam. Berbagai kelompok masyarakat telah ada pada masa itu.

Pada masa Majapahit terdapat pembagian kelas yang disebut dengan caturwarna. Istilah ini merupakan hiasan teoritis dalam literatur istana yang tidak semuanya ketat, karena beberapa di antaranya dapat ditembus oleh kelompok kelas yang lain. Mobilitas ini dapat berlangsung karena pembagian kelas didasarkan pada pembagian hak dan kewajiban serta perbedaan suku dan kebudayaan. Puncak struktur caturwarna ditempati oleh keluarga raja, kelas penguasa yang turun temurun. Kelompok ini seingkali tidak dimasukkan ke dalam sistem stratifikasi masyarakat, karena berdasarkan sistem kasta, kelas ini menempatkan dirisnya sebagai kelompok ‘dewa’. Setelah golongan keluarga raja, di bawahnya terdapat pegawai kerajaan yang mengurusi admisnistrasi kerajaan. Kaum agamawan juga termasuk ke dalam golongan elite politik (Santosa, 2001: 66-67).

Kelompok sosial di luar kelas penguasa dan elite politik adalah penduduk desa. Kelompok ini terdiri dari kaum agamawan atau apiŋhay (kaum putih); kaum tani atau anak thani; serta bangsawan daerah atau akuwu dan anden. Selain itu, juga terdapat golongan budak atau dalam sumber tertulis disebut dnegan berthya (Santoso, 2001: 67).

Pembagian kelompok agama memisahkan antara pejabat keagamaan kerajaan dan para bhujaŋga. Kelompok ini dibagi berdasarkan sektenya maupun pangkatnya dalam kerajaan. Kelompok agamawan yang bermukim di desa biasanya tinggal di maṇḍala dan pertapaan (Santoso, 2001: 67). Masyarakat yang jauh dari tradisi keraton ini, menjalankan kehidupan keagamaannya sangat berbeda dengan tradisi yang berlaku di dalam keraton. Hariani Santiko mengatakan bahwa pengaruh keIndiaan memang begitu kental dirasakan di dalam keraton karena adanya pertemuan budaya secara langsung, yaitu masuknya para Brahmana India ke dalam tembok kerajaan (2005c: 205). Di luar tembok istana, penduduk biasa, terutama para cendikiawan mengamalkan agama yang berunsur India namun dengan konsepsi lokal yang tak bisa dihilangkan. Naskah Taŋtu Paŋgělaran dan Rājapatiguṇḍala secara jelas menggambarkan bahwa para agamawan yang belajar dari skriptoria yang jauh dari keraton menggambarkan zat tertingginya berupa dewa lokal yang disebut dengan Bhaṭāra Guru dan Hyaŋ (Pigeaud, 1924:119; Pigeaud, 1960: 87).

Abad ke-15 merupakan masa Majapahit sedikit demi sedikit tenggelam dan pada beberapa waktu setelahnya mengalami kehancuran. Pada masa itu terjadi pemberontakan yang dilakukan oleh Bhre Wirabhumi yang menuntut tahta atas Suhita yang pada masa itu berkuasa. Suhita dibantu oleh ayahnya, Wikramawarddhana yang berkuasa di Kedaton Kidul melawan aksi pemberontakan yang dilakukan oleh Bhre Wirabhumi yang bertahta di Kedaton Wetan. Aksi yang dilancarkan Bhre Wirabhumi yang merupakan anak Hayam Wuruk dari salah satu selirnya ini kemudian membuat perang saudara berkecamuk, yang disebut dengan perang Paregreg (Sumadio, 1993: 440). Tahun-tahun setelah itu, Majapahit mengalami berbagai kemunduran hingga akhirnya dikalahkan oleh Demak dan berangsur-angsur menghilang dalam catatan sejarah. Hal ini membuat asumsi adanya kemunduran agama Hindu saiwa dan Buddha pada tahun-tahun selanjutnya. Djafar (1986: 256-262) menduga bahwa peran keagamaan pada akhir abad ke-15 menghilang. Hal ini disebabkan sedikitnya prasasti yang memuat nama-nama pejabat keagamaan pada masa itu. Ia juga menyebutkan adanya dugaan sinkretisme dan munculnya kembali

Prasasti Widodaren ..., Dewi Sinta A'isyah Debeturu, FIB UI, 2016

Page 9: Prasasti Widodaren: Suatu Kajian Epigrafi

pengaruh kebudayan asli Nusantara. Kacaunya kerajaan pada masa itu, menyebabkan hal-hal mengenai keagamaan banyak yang terbengkalai. Terlebih lagi, agama Kadewaguruan yang dipraktekan di tempat-tempat yang jauh dari tembok istana. Nāgarakṛṭāgama menuliskan bahwa kadewaguruan merupakan lembaga independen yang berdiri sendiri tanpa sokongan (Robson, 1995: 80). Jika yang dimaksud dengan ‘dimiliki secara penuh dan berdiri sendiri’ di sini berarti kerajaan tidak membiayai kegiatan keagamaan yang jauh dari istana, maka hal ini tidak menyangkut peperangan yang terjadi, karena Nāgarakṛṭāgama mencatatnya jauh saat Hayam Wuruk masih berkuasa. Caturbhasma maṇḍala sendiri telah muncul dalam catatan Prapañca. Berbagai gejala dinamisnya kebudayaan di luar keraton pada masa-masa selanjutnya, mungkin juga dikarenakan sibuknya pemerintahan Majapahit mengurusi perang saudara dan pemberontakan yang banyak terjadi sehingga nilai-nilai dalam praktik dan ajaran agama yang berbeda dari keraton dengan mudah berkembang.

Munculnya kembali unsur agama lokal, ternyata tak hanya terjadi di Majapahit, melainkan di beberapa tempat pula di Nusantara. Salah satu prasasti yang merupakan prasasti hasil skriptoria adalah prasasti Bhaṭāra Guru Tuha yang ditemukan di Lampung Tengah, Lampung. Prasasti ini menyebutkan mengenai peminjaman tanah dan menyebutkan pula tokoh-tokoh dewa yang lazim pada Kadewaguruan yaitu Bhaṭāra Guru Tuha dan Pañca Ṛṣi yang terdiri dari Saŋ Kusika, Saŋ Marəәga, Mit)ri, Kurus)siya dan Patan)jala. (Djafar, 2009: 40-43).

Keseluruhan struktur kemasyarakatan Majapahit diatur dalam berbagai kitab undang-undang yang keseluruhannya berdasar pada agama. Agama merupakan landasan dalam keberlangsungan hidup dan birokrasi masyarakat Majapahit (Santosa, 2001: 151). Kehidupan keagamaan di luar keraton Majapahit, selain menggunakan kitab-kitab resmi kerajaan, juga menggunakan kitab dan aturan yang ditetapkan tersendiri dalam ajaran mereka. Hal ini sangat dimungkinkan karena caturbhasma maṇḍala dalam kitab Nāgarakṛṭāgama disebut milwang dan diperkirakan menyelenggarakan kehidupannya terlepas dari Kerajaan Majapahit (Robson, 1995: 80), meskipun mengakui dan tinggal di dalamnya.

Angka Tahun pada Prasasti Widodaren Alih aksara Prasasti Widodaren pada sisi verso dua baris terakhir menunjukkan dua

aksara yang merupakan angka. Pada salah satu prasasti pembanding, yaitu Prasasti Damaluŋ terdapat penanggalan di akhir prasasti. Wibisono2 yang mengkaji unsur paleografis prasasti-prasasti dengan aksara bercorak khusus menyimpulkan bahwa Prasasti Widodaren menunjukkan pertanggalan relatif sebelum Prasasti Damaluŋ yaitu 1371 śaka. Jika angka 2 dan 3 yang berhasil diidentifikasi adalah benar, meskipun dituliskan secara vertikal dan dibatasi garis paragraf diantara keduanya, penulisan angka tahun 1323 śaka adalah mungkin. Perkiraan ini diperkuat dengan angka tahun yang terdapat pada prasasti Damaluŋ dan prasasti Pasrujambe yang terpaut rentang 20 tahun. Dalam kurun waktu 20 tahun belum banyak perubahan bentuk aksara yang terlihat. Hal ini dapat diamati dari penggunaan aksara sa pada prasasti Damaluŋ dengan aksara sa pada prasasti Pasrujambe keduanya memiliki bentuk yang serupa. Aksara pada prasasti Widodaren dapat diamati sedikit banyak berbeda dan terlihat lebih tua dibandingkan aksara dalam prasasti Pasrujambe dan Damaluŋ, aksara sa pada prasasti Widodaren merupakan bentuk awal dari sa pada prasasti Damaluŋ.

Pada tahun 1323 śaka atau tahun 1401 Masehi adalah masa dimana Suhita diketahui telah berkuasa. Suhita merupakan cucu dari Hayam Wuruk dan merupakan putri dari Wikramawarddhana, Raja yang merupakan menantu dari Hayam Wuruk. Pada masa ini diketahui terjadi pemberontakan Bhre Wirabumi yang merupakan putra Hayam Wuruk dari salah satu selirnya (Munandar, 2012).

Pada 1323 śaka juga terjadi perang Paregreg sebagai bentuk tuntutan Bhre Wirabhumi atas tahta Majapahit. Tahun-tahun selama perang Paregreg, Wikramawarddhana berkuasa di kedaton kulon melawan Bhre Wirabumi yang menguasai kedaton wetan (Munandar, 2012).

Lokasi Penemuan Prasati Widodaren dalam Hubungannya dengan Sumber-sumber Tertulis dan Artefak Prasasti merupakan salah satu benda arkeologis. Selain prasasti tentunya banyak benda

yang digunakan oleh manusia dalam kebudayaannya di masa lampau. Benda-benda arkeologis tersebut penting untuk menunjang data yang telah disebutkan dalam prasasti. Penelusuran temuan dapat dimulai dari lingkup yang paling kecil, yaitu dalam hal ini Desa tempat ditemukannya prasasti. Penulis agak sedikit kesulitan menemukan Desa yang dimaksud, karena terdapat beberapa Desa yang bernama Widodaren. Kemudian, karena peneliti kesulitan menelusurinya, penelusuran dilakukan pada temuan yang terdapat di Kecamatan Dampit. Pada kecamatan ini,

                                                                                                                         2 Diambil dari skripsi Anton Wibisono tahun 2006 halaman 128. Penulis menyetujui hal ini.

Prasasti Widodaren ..., Dewi Sinta A'isyah Debeturu, FIB UI, 2016

Page 10: Prasasti Widodaren: Suatu Kajian Epigrafi

terdapat temuan arkeologis berupa punden berundak. Punden berundak ini tepatnya berada di Desa Sumber Ayu Kecamatan Dampit Kabupaten Malang. Selain punden berundak, ditemukan pula fragmen bata kuno dan yoni di Desa Dawuhan pada Kecamatan yang sama (laporan registrasi dan informasi Kab. Malang, 1986).

Prasasti Widodaren menyebutkan kata Kasturi, yang dimaknai sebagai salah satu dari keempat Caturbhasma Maṇḍala yang disebutkan dalam Nāgarakṛtāgama pupuh 78. Menurut Santiko (2005a: 114-115) Caturbhasma Maṇḍala merupakan Maṇḍala utama yang mewakili empat mata angin dan Kasturi merupakan Maṇḍala yang mewakili mata angin barat yang diperkirakan berada di Turyan atau Turen di sebelah selatan Malang, yang berbatasan langsung dengan Kecamatan Dampit, tempat penemuan Prasasti Widodaren.

Pada naskah Taŋtu Paŋgělaran didapatkan hal yang sama. Naskah ini menyebutkan berbagai Maṇḍala bernama Kasturi. Kata kasturi merujuk pada golongan wiku kasturi yang tinggal di Tigaryyan, sebuah desa yang berubah nama menjadi Turyan dan kemudian menjadi Turen, pada sebuah Maṇḍala bernama Purwa Darma Kasturi Hantabapa atau yang berarti permulaan pokok ajaran golongan pertapa.

Maṇḍala Purwa Darma Kasturi Hantabapa merupakan Maṇḍala Kasturi pertama yang disebutkan dibuka dalam kitab Taŋtu Paŋgělaran. Dari Maṇḍala inilah kemudian muncul Maṇḍala- Maṇḍala di tempat lain yang bernama Kasturi dan memiliki ajaran yang kira-kira sama.

“Tinhěr ta wiku kasture ngaranya. Samangkana ta Bhaṭāra Iśwara supranāthaknira tā payung kuṇḍala mwang kalamni ri Bhaṭāra Waluh-Bāng; sira gumanti dewaguru ring Tigaryyan, tinhěr makapakṣa Kasturi. Bhaṭāra Iśwara mantuk maring swargganira”. (Pigeaud, 1924: 117-118)

Terjemahan: “Kemudian wiku kasturi (golongan pertapa) sebutannya. Walaupun demikian Bhaṭāra Iśwara menyerahkan payung, kundala, dan baju kepada Bhaṭāra Waluh-Bāng; ia mengganti sebagai kepala pertapa di Tigaryyan, lalu menjadi golongan Kasturi. Bhaṭāra Iśwara pulang ke surganya.”

“Mangkana ling Bhaṭāra Waluh-Bang; tah wihang sirāmpu Bharang mataruka ta sirā maṇḍala, tinhěr ta ngaran ing maṇḍala pūrwa ḍarmma-kasturi Hantabapa.” (Pigeaud, 1924: 118)

Terjemahan: “Demikian perkataan Bhaṭāra Waluh-Bang; Mpu Barang tidak menolak, ia membuka desa untuk Maṇḍala, kemudian (diberi) namanya Maṇḍala Purwa Darma Kasturi Hantabapa.”

Kutipan tersebut merupakan penyebutan Maṇḍala Kasturi untuk yang pertama kali pada kitab Taŋtu Paŋgělaran. Maṇḍala tersebut bernama Maṇḍala Purwa Darma Kasturi Bapa atau selanjutnya disebut sebagai Purwa Darma Kasturi Hantabapa yang bertempat di Tigaryyan atau selanjutnya disebut dengan Turyan, yang sangat mungkin bernama Turen saat ini. Kutipan ini jelas mendukung pernyataan penulis mengenai lokasi Kasturi yang berada di wilayah tempat Prasasti Widodaren ditemukan, yaitu di Dampit yang berbatasan langsung dan mungkin sebelumnya merupakan bagian dari Kecamatan Turen atau dalam naskah Taŋtu Paŋgělaran disebut Tigaryyan.

Selain menyebutkan pembukaan Maṇḍala Purwa Darma Kasturi Hantabapa, Taŋtu Paŋgělaran juga menyebutkan pembukaan beberapa Maṇḍala Kasturi lain setelahnya.

“Tinhör ta sira dewaguru ri Sang Hyang Maṇḍala Kasturi Śelagrahong. Sira ta sang apūrbhwā-taruka. Matangnyan Kasturi Palet ngaranya.” (Pigeaud, 1924: 120).

Terjemahan: “Kemudian Ia sebagai pertapa di Sang Hyang Maṇḍala Kasturi Śelagrahong. Ialah sang apūrbhwā-taruka (yang pertama membuka hutan), karena itu Kasturi Palet sebutannya; demikian diceritakannya Kasturi Palet.”

Beberapa penyebutan Maṇḍala bernama Kasturi pada naskah Taŋtu Paŋgělaran yaitu Kasturi Palet di timur Daha; Kasturi Genting di Gunung Kawi; Kasturi Botahi di pinggir jalan dekat Daha; Kasturi Dupaka di sebelah barat Mahameru; Kasturi Barang di utara lambung Hyang Wilis; Kasturi Sri Manggala di Laut Selatan; serta Lsung Burut Kasturi di desa Tigaryyan. Banyaknya nama Kasturi yang disebutkan dalam kitab Taŋtu Paŋgělaran dapat dilihat dalam tabel berikut: No. Maṇḍala Kasturi Letak 1. Purwa Darma Kasturi Hantabapa Tigaryyan/ Turyan/ Turen 2. Sang Hyang Maṇḍala Kasturi

Selagraharong Sebelah timur Daha

Prasasti Widodaren ..., Dewi Sinta A'isyah Debeturu, FIB UI, 2016

Page 11: Prasasti Widodaren: Suatu Kajian Epigrafi

3. Kasturi Genting Gunung Kawi 6. Maṇḍala -kasturi Dupaka Sebelah utara gunung Wilis 5. kasturi Barang Sebelah barat Turyan 6. kasturi Botahi Di pinggir jalan, di luar

Daha 7. Kasturi Jalagiri Gunung Wlahalu 8. Kasturi Sri-Manggala Pantai selatan 9. Kasturi Lsung Burut Tigaryan/ Turyan/ Turen

Tabel daftar letak Mandala Kasturi berdasarkan naskah Taŋtu Paŋgělaran

Pada tabel tersebut terungkap bahwa terdapat dua Maṇḍala Kasturi yang terdapat di wilayah Turyan atau Turen sekarang. Wilayah yang letaknya diperkirakan juga termasuk wilayah kecamatan Dampit, tempat Prasasti Widodaren ini ditemukan. Mengenai banyaknya nama Kasturi akan dijabarkan lebih lanjut pada subab berikutnya.

Selain penyebutan Kasturi yang dapat ditelusuri, dari Prasasti Widodaren juga didapat kata wasana yang merupakan kata pembuka pada bagian verso prasasti. Kata ini dapat memiliki makna kekekalan atau keabadian, namun ternyata juga dapat merujuk kepada nama suatu Maṇḍala yaitu Maṇḍala Waśana yang disebutkan dalam naskah Taŋtu Paŋgělaran.

“kunang ucapěn ta Kabhayan-Panglayar, tindakira sakěng Maṇḍaleng Waśana, ḍatang sira maring harggha Kalyāsem, samering lawan rākṣasa, mapengaran ki Maraṇak lawan ki Lěmah-Bāng…” (Pigeud, 1924: 113-114)

Terjemahan: “selanjutnya diceritakanlah Kabhayan-Panglayar, perginya dari Maṇḍala Wasana, datang ke puncak gunung Kalyasem, disertai oleh raksasa, bernama Ki Maranak dan Ki Lemah-Bang…”

Mengenai letak Maṇḍala Wasana memang tidak disebutkan secara gamblang dalam naskah Taŋtu Paŋgělaran. Hanya disebutkan bahwa Kabhayan-Panglayar membuka hutan untuk Maṇḍala di lereng Sang Hyang Mahameru dan Sang Hyang Brahma lalu dibuatlah Maṇḍala Andawar. Setelah itu dibabatlah Gunung Hyang dan dibukalah Maṇḍala Talun. Setelah membuka Maṇḍala Talun, selanjutnya Kabhayan Panglayar membuka Maṇḍala Wasana. Namun telah diungkap dalam naskah Taŋtu Paŋgělaran bahwa Kalyasem berada di puncak Gunung Hyang. Pada naskah tersebut juga dikemukakan bahwa Kabhayan pergi dari Wasana ke puncak gunung Kalyasem. Hal ini mengindikasikan bahwa jarak Kalyasem di Gunung Hyang tidak jauh dari Maṇḍala Wasana.

Jelas sudah kiranya, penelurusan geografis Prasasti Widodaren. Prasasti ini ditemukan di wilayah Kecamatan Dampit dan kini disimpan di Hotel Tugu, Kota Malang. Penelusuran mengenai kata Kasturi yang terdapat dalam Prasasti Widodaren dan kemudian diartikan sebagai Maṇḍala Kasturi, menghasilkan kesimpulan bahwa Maṇḍala Kasturi yang menjadi induk maṇḍala-maṇḍala Kasturi, Kasturi Hantabapa, berada di Kecamatan Turen, atau disebut dengan Tigaryyan pada masa lalu. Kecamatan Dampit dan Kecamatan Turen berbatasan secara langsung. Pada rentang waktu beberapa ratus tahun, pergeseran batas wilayah sangat dimungkinan terjadi. Hal inilah yang terjadi pada wilayah Turen masa lalu. Penemuan bukti arkeologis di kedua kecamatan tersebut mengindikasikan adanya pertalian antar-wilayah. Punden berundak dengan tumpukan fragmen bata yang ditemukan di Desa Sumber Ayu, Kecamatan Dampit merupakan bukti bahwa pada kecamatan itu dahulu juga telah dihuni dan terdapat kegiatan ritus keagamaan yang berhubungan dengan keagamaan kadewaguruan. Bahwa dengan banyaknya nama Maṇḍala Kasturi dengan lokasi yang berbeda disebutkan dalam naskah Taŋtu Paŋgělaran bukanlah menjadi opsi penelusuran geografis Prasasti Widodaren, namun dimungkinkan untuk penelitian selanjutnya mencari letak Maṇḍala Kasturi lain yang tertuang dalam naskah Taŋtu Paŋgělaran yang mungkin di kemudian hari ditemukan pula prasastinya. Menurut hemat penulis, beberapa nama Maṇḍala Kasturi merupakan Maṇḍala-maṇḍala yang dibuka dan ajarannya menginduk pada Maṇḍala Purwa Darma Kasturi Hantabapa.

Persoalan lain mengenai Wasana yang dicantumkan dalam sisi verso Prasasti Widodaren. Telah diketahui bahwa Maṇḍala Waśana yang dibuka di pinggir laut ini juga memiliki pertalian dengan Maṇḍala Kasturi. Penjelasan mengenai isi prasasti khususnya pada sisi verso agak sulit dilakukan mengingat pada sisi tersebut hanya bisa terbaca beberapa kata saja.

Gambaran Latar Belakang Keagamaan Prasasti Widodaren Prasasti Widodaren tidak terlalu gamblang menyebutkan keagamaan yang menjadi

latarbelakangnya, namun, terdapat beberapa keterangan yang merujuk pada nama atau gelar seseorang. Baris keempat bagian recto menyebutkan kata kawula yang berarti budak; baris kelima bagian recto menyebutkan kata batur yang bermakna sama yaitu hamba atau pembantu;

Prasasti Widodaren ..., Dewi Sinta A'isyah Debeturu, FIB UI, 2016

Page 12: Prasasti Widodaren: Suatu Kajian Epigrafi

baris ketujuh bagian verso menyebutkan kata rama yang berarti pemimpin suatu desa atau perkumpulan.

Kata-kata tersebut belum dapat diinterpretasi maknanya dalam struktur birokrasi Maṇḍala Kasturi. Disebutkan oleh Santiko (2005b: 132) bahwa terdapat beberapa orang-dengan jabatannya- yang menghuni suatu maṇḍala, yaitu: tapa atau tapawsi yang berarti petapa laki-laki; kaki yang berarti petapa wanita; serta ubwan dan manguyu. Menurut kakawin Sutasoma dan Arjunawijaya, dewaguru bertempat tinggal di tapowana atau pajaran, tempat tinggal sekaligus tempat mengajar murid-murid maṇḍala. Di sekitarnya terdapat pangubwan dan pamanguywan yang merupakan tempat tinggal ubwan dan manguyu. Di sekitarnya terdapat rumah para kaki dan endang yang banyak sehingga dapat dikatakan bahwa Maṇḍala tersebut merupakan suatu dukuh (Santiko, 2005b: 132).

Mengenai apa saja jabatan yang bertugas pada suatu maṇḍala, Taŋtu Paŋgělaran (Pigeuaud, 1924: 109) menyebutkan beberapa jabatan yang terdapat pada Maṇḍala Kukub, satu dari empat caturbhasma maṇḍala. Beberapa pejabat yang bertugas yaitu pangadyan yang berarti persetujuan; ulu kembang pakalpan atau pertapa yang halus; pwamah atau pembantu; pajanan yang berarti pegawai negeri; atanek yang dapat diartikan sebagai juru masak; abrih atau pekerja khusus; akarapa atau pengumpul akar-akaran; juru hamañjang hamañjing, sebuah golongan manusia yang berfungsi religius; kabhayan panglayar atau pejabat suruhan; kabhayan maṇḍala yang merupakan pejabat daerah; mahawanetha yang merupakan kedudukan tinggi khusus; bahudenda atau penghukum; but wiseśa atau pejabat kepercayaan; asanding among atau pemelihara dekat; serta kabhayan paṃkas yaitu nama pejabat terakhir.

Kemungkinan besar kata kawula dan batur terdapat pada jajaran pwamah yang berarti pembantu. Sedangkan, kata rama dalam Taŋtu Paŋgělaran juga disebutkan kata rama yang merujuk pada pemimpin suatu komunitas-kemungkinan besar desa.

Pada Nāgarakṛṭāgama disebutkan bahwa pada saat itu Prapañca melihat rumah-rumah yang teratur yang diberi pancāksara dan parab. Panca aksara yang dimaksud adalah NAMASIWAYA (Santiko, 2005: 115). Pada kelompok Prasasti Pasrujambe, dijumpai beberapa prasasti pendek yang berbunyi nama orang yang mendiami maṇḍala, di antaranya: Saṅanawa krndha; bagawan caci; dan bagawan citra gotra. Frasa-frasa tersebut mungkin sekali dahulu digunakan untuk menandai kediaman orang-orang yang namanya dituliskan pada inskripsi itu. Frasa yang pertama berarti sang pembawa keranda. Sangat mungkin dahulu digunakan di kediaman sang pembawa keranda di suatu Maṇḍala. Hal ini sejalan dengan cerita pada naskah Taŋtu Paŋgělaran yang menyebutkan bahwa Maṇḍala Sagara dibuka di atas pekuburan di Kalyasem, di puncak Gunung Hyang.

Pejabat Maṇḍala yang dapat ditelusuri lainnya adalah kabhayan panglayar yang dalam Taŋtu Paŋgělaran berasal dari Maṇḍala Wasana dan mendirikan Maṇḍala Sanggara atau Sagara. Ini dapat dikatakan sesuai dengan namanya kabhayan panglayar yang dapat diartikan sebagai pejabat suruhan (panglayar dapat berarti orang yang suka berlayar). Apalagi dalam Taŋtu Paŋgělaran, nama Maṇḍala Sagara didapat karena banyaknya harta yang diberikan kepada Maṇḍala tersebut dari seberang laut.

Melanjutkan mengenai apa saja yang terdapat dalam Maṇḍala, disebutkan dalam naskah Taŋtu Paŋgělaran (Pigeaud, 1924: 110) yaitu pertapaan, asrama, taman, pertapa, orang saleh, kepala petapa, ahli bangunan dan pertapa-pertapa.

Jika yang dimaksud dengan caturbhasmamaṇḍala memang merupakan kadewaguruan, maka sedikit yang telah diketahui mengenai ajarannya yang berhubungan dengan tantra dan abu, serta api. Kata bhasma berarti abu, biasanya merupakan abu pembakaran mayat. Hal ini disebutkan dalam naskah Rājapatiguṇḍala (Pigeaud, 1960: 131) terdapat pañca patapan yang mewakili bumi, air, api, angin, dan langit. Kaum yang berlatih ilmu agama di bumi merupakan alaku; yang melatih ilmu agamanya di air merupakan aměng- aměng; yang melatih diri dalam api adalah para yogīśwara dan dewaguru; yang melatih ilmu keagamaannya pada angin adalah tetegas; serta yang berlatih di langit adalah mangajar (pengajar keagamaan). Dengan demikian maka dewaguru erat kaitannya dengan api dan abu. Pada kitab Taŋtu Paŋgělaran (Pigeaud, 1924) disebutkan bahwa Mpu Palyat dan Mpu Barang tinggal di pertapaan Kalyasem yang mana dahulunya merupakan kuburan, sedangkan Mpu Waluhbang tinggal di Tigaryyan atau Turyan atau Turen sekarang. Ketiga pendeta ini memakan mayat manusia pada tengah malam. Pada prasasti Sukuh III juga disebutkan alabuh geni yang merupakan upacara pembakaran mayat. Pada prasasti Pasrujambe II juga menyebutkan ‘sang pembawa keranda’. Hal ini kemungkinan besar berhubungan dengan upacara tantris.

Mengenai Prasasti Pasrujambe II, dalam kitab Taŋtu Paŋgělaran pun disebutkan bahwa, “apa itu yang terletak di hadapannya?” “Kepala orang berikut kerandanya, tuan hamba.” (Pigeaud, 1924: 106)

Prasasti Widodaren ..., Dewi Sinta A'isyah Debeturu, FIB UI, 2016

Page 13: Prasasti Widodaren: Suatu Kajian Epigrafi

Dengan demikian ritual memakan mayat memerlukan orang untuk membawa mayat tersebut dengan keranda. Itulah kiranya tugas sang pembawa keranda yang namanya dipahatkan dalam Prasasti Pasrujambe II.

Kata abu atau bhasma, juga dijumpai dalam percakapan anjing sakti dengan penjagal bernama Drwyanak pada Taŋtu Paŋgělaran.

“lah, si kamu ḍak wikwani; kunang pangkwasangkwiri ko: pābhaṣma kita hawu; wnang ta kita tanpamūjabrata; sing pangan Tanana liniwatan; panakrabi kita; wnang ta wruh ring śastra; wna tanpajapāmantra. Ajana kita nawruhakěn hanak rabi. Away kita wanwāwiku waneh, apan papa-patakaning wiku. Mangkana pawngkasangkwiri ko.”(Pigeaud, 1924: 126)

Terjemahan: “lah, kamu akan kutasbihkan menjadi wiku; adapun pesanku kepadamu: ornamen mazhab kamu abu; kamu mempunyai kewenangan tanpa tapa; makan tidak ada yang dilewatkan; kamu mempunyai anak dan istri; mempunyai kewenangan tidak melihat kitab pelajaran; mempunyai kewenangan tanpa japa mantra.kamu diperbolehkan memiliki anak istri. Janganlah kamu bergaul dengan wiku lain, besar petakanya (bila bergaul dengan) wiku (lain itu). Itulah pesanku kepadamu. ”

Sejalan dengan itu, menurut Santiko (2005b: 132) ajaran tersebut merupakan Siva Tantra Vamachara hanya diperuntukkan bagi Sadhaka dari tingkatan Vira saja. Artinya, para Rsi yang dianggap memiliki tingkatan ilmu yang tinggi tidak melakukan ritual ini lagi.

Pada Rājapatiguṇḍala (Pigeaud, 2005c: 131) disebutkan bahwa wiku yang ilmunya telah tinggi dapat menjadi yogiśwara, serta pandita yang sempurna, yang patut dihormati karena kebijaksanaannya yang dalam dapat menjadi Dewaguru.

Dewaguru dianggap merupakan posisi yang sangat tinggi di masa lalu. Rājapatiguṇḍala (Pigeaud, 1960: 130) menyebutkan bahwa Putra dari seorang saiwa akan menjadi saiwa. Putra seorang Buddha akan menjadi Buddha. Putra seorang raja akan menjadi raja, begitu pula dengan seluruh kasta yang lain hanya akan melahirkan kasta yang sama, tetapi Dewaguru dapat mentasbihkan seseorang menjadi dewaguru, rsi, wasis, manguyu, angajar, babarus, ataupun agewe hayus.

Mengenai ajaran apa yang terdapat di Maṇḍala caturbhasma, Santiko (2005a:121) menyebutkan bahwa kemungkinan ajaran agama yang terdapat di sana merupakan agama Siwa Tantra. Hal ini sejalan dengan keterangan yang dimuat dalam Taŋtu Paŋgělaran yaitu agama saiwa yang menjadi agama para wiku di Maṇḍala. Sang wiku beralih dari agama Buddha ke saiwa. Hal ini mungkin selanjutnya dapat menjawab ornamen wajra yang merupakan ornamen kebuddhaan tetap digunakan pada Maṇḍala yang beraliran saiwa-tantrik.

“kahucapa bhaṭāra Waluh-Bang, mapakṣa ṛṣi mabadḍa sira, tuminggalakěn bhodḍapakṣa.”(Pigeaud, 1924: 117)

Terjemahan: “diceritakanlah Bhaṭāra Waluh-Bang, termasuk golongan Resi menggunakan destar, meninggalkan golongan kepercayaan Buda…”

“tinhěr ta wiku kasture ngaranya…”(Pigeaud, 1924: 117) Terjemahan:

“kemudian wiku Kasturi (golongan petapa) sebutannya…” “mantuk tang rāma hatūryyan, tinhör ta ngaraning deśa ring Tūryyan, yata

makamaṇḍala kasturi pūrwwa ḍarma hantabapa.” (Pigeaud, 1924: 118) Terjemahan:

“lalu namanya desa Turyyan maka menjadi maṇḍala-Kasturi Purwa-Darma dari Bapa”.

Kutipan di atas betul-betul menegaskan bahwa ajaran yang terdapat pada Maṇḍala Kasturi yang terletak di Turyyan atau Turen sekarang adalah ajaran Saiwa. Pendiri Maṇḍala Kasturi yaitu Bhaṭāra Waluh-Bang dahulunya merupakan pemeluk Buddha yang beralih ajaran menjadi golongan wiku kasturi yang beraliran Saiwa. Ornamen Wajra yang terdapat pada Prasasti Widodaren menyiratkan pernah adanya ajaran Buddha Vajrayana di wilayah itu.

Pada tinjauan geografis telah digambarkan beberapa nama Maṇḍala Kasturi yang terdapat di beberapa wilayah di tanah Jawa. Maṇḍala Kasturi yang pertama dibuat yaitu Maṇḍala Kasturi Hanta Bapa yang terdapat di Turyyan atau Turen sekarang, yang diperkirakan tempat ditemukannya Prasasti Widodaren. Keterangan ini erat kaitannya bahwa Maṇḍala Kasturi yang pertama ini masih membawa unsur kebuddhaan yang kemudian beralih menjadi ajaran Saiwa dan kemudian menyebar ke beberapa Maṇḍala Kasturi lain. Hal ini terlihat dari naskah Taŋtu Paŋgělaran yang menceritakan pembukaan beberapa maṇḍala dengan nama yang sama dibuka oleh orang-orang yang masih memiliki pertalian dengan Maṇḍala dengan nama yang sama sebelumnya.

Prasasti Widodaren ..., Dewi Sinta A'isyah Debeturu, FIB UI, 2016

Page 14: Prasasti Widodaren: Suatu Kajian Epigrafi

Pada Taŋtu Paŋgělaran disebutkan Dewa yang dipuja pada Maṇḍala-maṇḍala tersebut diperkirakan adalah Siwa sebagai Bhaṭāra Guru yang derajatnya lebih tinggi dari Siwa pada tataran Trimurti atau Trisamaya. Prasasti Pasrujambe juga mengindikasikan pemujaan Siwa, pada Prasasti Pasrujambe X menyebutkan Bhaṭāra Mahisora (Mahiswara); serta Prasasti Pasrujambe XI menyebutkan Bhaṭāra Mahadewa yang merupakan nama lain dari Siwa. Terdapat pula pemujaan terhadap kelima anak Bhaṭāra Guru yang lain yaitu: Kusika, Garga, Metri, Kurusa, dan Pratanjala. Hal ini selain disebutkan dalam Taŋtu Paŋgělaran juga dapat ditemukan dalam prasasti-prasasti Pasrujambe, yaitu: Parujambe XIV yang menyebutkan sang kurusya; dan Prasasti Pasrujambe yang menyebutkan sang kosika (Kusika).

Selain daripada yang telah disebutkan, diindikasikan juga adanya pemujaan terhadap dewa langit dan dewi bumi. Hal ini tercermin dari penyebutan Hyaṅ Akasa pada Prasasti Pasrujambe III; Bathari Prtiwi pada prasasti Pasrujambe IV; serta nasihat yang menggambarkan keduanya pada prasasti Pasrujambe XIX serta Prasasti Gerba.

Naskah Rājapatiguṇḍala menyebutkan gambaran mengenai realitas tertinggi yang agak berbeda. Disebutkan bahwa děwrya harus menghormati gusti-nya; gusti harus menghormati taṇḍa; taṇḍa harus menghormati mantri; mantri harus menghormati Ratu; Ratu harus menghormati wiku; wiku harus menghormati dewa; dewa harus menghormati Hyaṅ; Hyaṅ harus menghormati śūña (Pigeaud, 1960: 135). Ini menunjukkan bahwa di atas dewa-dewa Hindu, Hyaṅ yang merupakan ‘dewa’ lokal tetap memiliki kedudukan yang lebih tinggi, serta realitas tertinggi merupakan śūña atau ruang kosong dalam realitas tertinggi ajaran Buddha.

Sejalan dengan itu, Taŋtu Paŋgělaran (Pigeaud, 1924: 115-117) juga menyebutkan adanya perjalanan Mpu Bharang ke Jambudwipa (India), namun ia menolak untuk menyembah atau bersujud kepada Bhaṭāra Haricandana, karena ia merasa lebih tinggi berasal dari Yamadwipa. Dengan kesaktiannya, Mpu Bharang yang ditangkap oleh Brahmana India berhasil melepaskan diri bahkan menghancurkan arca Bhaṭāra Haricandana. Seketika para Brahmana India terkesiap dan menyembah pada kesaktian Bhaṭāra Mpu Barang. Cerita ini menunjukkan bahwa pada masa itu memang terdapat pemujaan kembali dewa-dewi lokal, yang bahkan dianggap lebih tinggi dibanding dewa-dewi dari India.

Berbicara mengenai realitas tertinggi, dalam naskah Taŋtu Paŋgělaran juga disebutkan bahwa:

“Haywa ta kita wanwa lawan wiku waneh, agöng patakaning wiku. Balik tkani sakarěpta; sing pangan tajana liniwatan; parabi; panganggo sahaning dṛwenta. Wnang kita mangasakārani hanak rabi, wnang tanpabantěn, wnang tanpamūjabrata, wnang tan wruh ing śastragama, wnang hanājāna kinawruhakěn. Bhaṭāra juga paněnggahakning hawakta.” (Pigeaud, 1924: 122)

Terjemahan: “janganlah kamu bergaul dengan wiku lain, besar malapetaka wiku. Sebaliknya segala kehendakmu akan tercapai; yang makanan orang dilewatkan; beristrilah; pakai semua yang ada dari milikmu. Kamu mempunai kewenangan menyucikan anak dan istri, mempunyai kewenangan tanpa kurban, mempunyai kewenangan tanpa memuja tapa, mempunyai kewenangan tidak melihat pelajaran agama, dapat tidak diketahui orang lain. Sebutan dirimu juga Bhaṭāra .”

Kewenangan tanpa kurban dan tanpa tapa mengindikasikan bahwa realitas tertinggi dalam pemujaan adalah kosong atau śūña yang telah disebutkan sebelumnya tercantum pada naskah Rājapatiguṇḍala. Meskipun begitu, terdapat beberapa keterangan mengani ritual yang dilakukan di maṇḍala dalam berbagai naskah. Yang pertama adalah terindikasi adanya ritual tolak bala yang dahulunya diceritakan dalam Taŋtu Paŋgělaran dilakukan oleh Bhaṭāra Trisamaya untuk mengembalikan Bhaṭāra Guru, ritual tersebut adalah ritual tari topeng dan bernyanyi yang disebut dengan upacara pagelaran‘ijohijo’. Kemungkinan besar Gunung Lawa yang dimaksud adalah Gunung Lawu yang terdapat di Jawa Tengah. Pada lereng gunung terdapat beberapa candi yang berbentuk seperti punden berundak, bahkan lebih mirip mungkin pentas sakral. Beberapa candi itu adalah Candi Sukuh, Candi Cetha, dan Candi Kethek. Candi-candi tersebut memiliki pentas sakral yang cukup luas sehingga mungkin sekali adanya praktik ritual pagelaran topeng dengan tari-tarian dan nyanyiannya. Apalagi pada candi Sukuh, terdapat relief yang menceritakan mengenai ruwatan yang sesuai dengan kisah yang melatarbelakangi ritual topeng tersebut yaitu dikutuknya Uma menjadi Durga dan Bhaṭāra Guru mengutuk dirinya sendiri menjadi Kalarudra.

Ritual lain yang terungkap adalah pentasbihan seseorang menjadi wiku yang akan diserahkan berbagai macam benda-benda. Benda tersebut antara lain payung, kundala, dan baju, namun tidak dengan ikat kepala karena ikat kepala tidak digunakan oleh wiku Kasturi yang beraliran saiwa. Selain itu juga terdapat ritual trisadyabrata, yaitu ritual mandi tiga kali pada siang hari dan tiga kali pada malam hari. Selain itu juga disebutkan adanya Karya Bojana pada

Prasasti Widodaren ..., Dewi Sinta A'isyah Debeturu, FIB UI, 2016

Page 15: Prasasti Widodaren: Suatu Kajian Epigrafi

bulan Asuji yang merupakan suatu upacara besar karena disebutkan dalam naskah Taŋtu Paŋgělaran dihadiri oleh Bhaṭāra Guru dan Bhaṭāra Trisamaya. Mengenai tata upacara tidak disebutkan, namun tata kelengkapan upacara disebut didapatkan saṅ kabhayan panglayar (Pejabat urusan luar maṇḍala) dengan cara meminta-minta. Maka didapatkanlah guci, krci, lembu liar, daging sapi, kerbau, sapi, celeng, anjing, bebek, ayam, dan bahkan wanita serta pria ingin menjadi wiku dan dipersembahkan kepada Bhaṭāra Guru (Pigeaud, 1924: 109).

Caturbhasma maṇḍala diperkirakan merupakan Maṇḍala utama disamping banyaknya Maṇḍala yang terdapat pada masa Majapahit akhir. Maṇḍala dan pertapaan tersebut disebutkan dalam Taŋtu Paŋgělaran yaitu: Bulon, Kupang, Huluwanwa, Pacira, Geger Katyagan, Tandes, Manik, Sarwasida, Sukawela, Hahah, Dingding, Geresik, Sunyagiri, Wasana, Sukayajna, Kukub, Kasturi, Sagara, dan lain-lain. Beberapa maṇḍala yang telah disebutkan merupakan maṇḍala yang paling banyak disebut dan diceritakan ‘memperbanyak titik’ di beberapa tempat, atau setidaknya sang wiku membuka maṇḍala lain yang masih berhubungan atau menginduk kepada empat caturbhasma maṇḍala.

Merangkum semua pernyataan, maka kiralah jelas sekarang bahwa ajaran yang dianut Maṇḍala Kasturi adalah Saiwa tantris, karena dibuka oleh seorang pendeta Buddha yang beralih kepercayaan menjadi saiwa tantrik yang suka melakukan upacara memakan mayat. Hal ini juga tercermin dari penyebutannya sebagai salah satu caturbhasma maṇḍala atau empat maṇḍala abu. Kata abu sendiri berhubungan dengan upacara pembakaran mayat, di mana dalam prasasti Pasrujambe II ditemukan adanya inskripsi yang berbunyi ‘sang pembawa keranda’. Dewa yang dipuja merupakan dewa-dewa Hindu dan dewa lokal dengan realitas tertingginya merupakan sunyata, hal ini jelas tergambar dalam naskah Taŋtu Paŋgělaran dan Rājapatiguṇḍala, serta penyebutan kata oṃ pada Prasasti Widodaren menyiratkan unsur agama Hindu, dengan tetap mempertahankan ciri kebuddhaan melalui ornamen wajra. Mungkin begitulah wiku kasturi. Jika betul apa yang dikatakan oleh Santiko (2005b: 132) bahwa praktik-praktik tantris seperti upacara memakan mayat hanya diperuntukkan bagi siva muda saja, maka sesuailah dengan naskah Taŋtu Paŋgělaran yang menyebutkan bahwa seseorang yang ditasbihkan menjadi wiku di suatu maṇḍala memiliki kewenangan untuk tidak melakukan tapa, mantra, dan melakukan ritual lain. Hal ini juga sesuai dengan realitas tertingginya yaitu sunya dalam naskah Rājapatiguṇḍala. Pada Nāgarakṛṭāgama dijelaskan bahwa caturbhasma maṇḍala merupakan golongan tempat yang tan pratistha. Lebih jauh Robson menambahkan (1995:137) bahwa kata prathista merujuk pada “sanctuary permanently consecrated to a god”.

Maṇḍala memiliki sistem birokrasi sendiri. Kemungkinan karena suatu maṇḍala begitu luas sehingga mesti memiliki organisasi yang mumpuni seperti yang diterangkan dalam naskah Taŋtu Paŋgělaran. Sistem ini termasuk di dalamnya pwamah atau pembantu yang dalam Prasasti Widodaren disebut sebagai kawula dan batur. Simpulan

Seperti yang telah dijelaskan pada penjabaran sebelumnya, maka dapat disimpulkan, bahwa: 1. Uraian sebelumnya menyebutkan bahwa Prasasti Widodaren telah dibaca pada sisi recto.

Pengamatan awal prasasti menunjukkan adanya indikasi kesalahan baca. Prasasti Widodaren ditemukan di Kecamatan Dampit dan kini disimpan di Hotel Tugu Malang. Pembacaan sebelumnya yang dilakukan oleh Ninie Susanti dan tim (2012: 29-36) hanya pada sisi recto saja karena keterbatasan data, yang hanya bersumber dari foto. Prasasti ini sebetulnya memiliki dua sisi meski pada sisi verso sudah aus dan hanya terbaca beberapa aksara saja. Menurut hemat penulis, prasasti ini merupakan prasasti yang dikeluarkan oleh kalangan cendikiawan yang jauh dari pengaruh keraton. Memerhatikan hal yang dikemukakan oleh Sedyawati (2001: 7) maka hal tersebut jelas dapat diamati dari parasasti ini. Terlebih, prasasti ini menyebutkan satu dari empat caturbhasma maṇḍala yaitu Maṇḍala Kasturi, yang oleh penelitian sebelumnya tidak menjadi perhatian karena terdapat kesalahan baca.

2. Prasasti Widodaren memuat keterangan mengenai kepemilikan tanah Maṇḍala Kasturi yang

merupakan milik keturunan sang mati. Sang mati di sini diperkirakan merupakan dewaguru yang pertama mendirikan maṇḍala dan telah meninggal. Jika keputusan mengenai kepemilikan ini tidak diakui maka jiwa orang tersebut dipertaruhkan untuk menjadi budak atau pembantu di Maṇḍala Kasturi. Sisi verso prasasti menyebutkan nama maṇḍala Wasana yang dalam Taŋtu Paŋgělaran disebutkan memiliki hubungan dengan Maṇḍala Kasturi. Sisi verso tidak dapat diinterpretasi banyak karena sudah sulit dibaca. Pada sisi ini terdapat beberapa aksara yang masih dapat dikenali dan katanya dapat diartikan, yaitu: (1) kata Wasana pada baris pertama yang diartikan

Prasasti Widodaren ..., Dewi Sinta A'isyah Debeturu, FIB UI, 2016

Page 16: Prasasti Widodaren: Suatu Kajian Epigrafi

sebagai Maṇḍala Wasana; (2) kata oṃ pada baris pertama paragraf kedua yang berarti pujian kepada dewa; (3) kata tayada pada baris kedua paragraf kedua yang berarti tiada; (4) kata rama yang berarti bapak atau pemimpin desa, serta angka dua, pada baris pertama paragraf terakhir; (5) kata ratha yang berarti kereta perang, serta angka tiga, pada baris terakhir paragraf terakhir. Interpretasi terhadap keseluruhan prasasti adalah mengenai penegasan kepemilikan tanah Maṇḍala Kasturi dan kesediaan untuk bertaruh bahkan berperang untuk menjaganya. Tentu saja prasasti ini berhubungan dengan Maṇḍala lain yaitu Maṇḍala Wasana, meskipun belum dapat diketahui keterlibatannya. Prasasti Widodaren menyebutkan bahwa yang tidak patuh terhadap ketentuan kepemilikan tanah Kasturi akan dijadikan budak. Stratifikasi masyarakat Majapahit atau yang disebut dengan caturwarna menyebutkan bahwa seseorang yang kalah perang akan dijadikan budak atau berthya (Santosa, 2001: 68). Merujuk pada hal yang telah disebutkan, kemungkinan besar prasasti ini juga memuat kecaman terhadap orang-orang yang tidak mengakui status kepemilikan tanah Kasturi dengan memeranginya, dan jika orang tersebut kalah, akan dijadikan budak bagi tanah atau Maṇḍala Kasturi. Hal ini diperkuat dengan adanya kata ratha yang berarti kereta perang pada sisi verso prasasti. Perintah untuk mematuhi status kepemilikan tanah Kasturi yang begitu kuat, juga dikarenakan bila perintah tersebut tidak dipatuhi, maka sang mati yang merupakan dewaguru di maṇḍala tersebut tidak dapat tentram di alam baka. Maṇḍala Kasturi yang berlokasi di Turyyan atau Turen masa kini merupakan maṇḍala induk, yang kemudian menyebarluaskan ajarannya dengan mendirikan maṇḍala-maṇḍala lain di beberapa tempat yang juga mengeluarkan prasasti menggunakan tanda atau simbol yang sama. Meninggalnya dewaguru Maṇḍala Kasturi Purwwa Darma Hantabapa yang menjadi induk mereka, ditambah dengan kondisi politik Majapahit pada saat itu yang sedang kacau, diperkirakan menjadi motif dikeluarkannya prasasti ini. Penggunaan tanda pada Prasasti Widodaren dan prasasti pembandingnya diperkirakan sebagai suatu simbol yang mengisyaratkan adanya hubungan antara beberapa maṇḍala yang mengeluarkan prasasti-prasasti tersebut. Munandar (2001: 105) menyebutkan para Kawi atau cerdas cendikia yang belajar di maṇḍala selain mempelajari agama juga menulis puisi atau naskah-naskah sastra dengan aksara khusus yang hanya dimengerti oleh kaum mereka, yaitu aksara Buda. Taŋtu Paŋgělaran beberapa kali menyebutkan bahwa seorang wiku dilarang bergaul dengan wiku lain karena besarnya malapetaka jika bergaul dengan wiku lain. Penggunaan tanda atau simbol ini kemungkinan dimaksudkan untuk menandai golongan mereka, para wiku, serta menjaga kerahasiaan dan eksklusivitas golongan Maṇḍala Kasturi. Prasasti Widodaren ditemukan di wilayah Kecamatan Dampit dan kini disimpan di Hotel Tugu, Kota Malang. Penelusuran mengenai kata Kasturi yang terdapat dalam Prasasti Widodaren dan kemudian diartikan sebagai Maṇḍala Kasturi, menghasilkan kesimpulan bahwa Maṇḍala Kasturi yang menjadi induk beberapa maṇḍala lain, berada di Kecamatan Turen, atau disebut dengan Tigaryyan pada masa lalu. Kecamatan Dampit dan Kecamatan Turen berbatasan secara langsung. Pada rentang waktu beberapa ratus tahun, pergeseran batas wilayah sangat dimungkinan terjadi. Hal inilah yang terjadi pada wilayah Turen masa lalu. Penemuan bukti arkeologis di kedua kecamatan tersebut mengindikasikan adanya pertalian antar-wilayah. Punden berundak dengan tumpukan fragmen bata yang ditemukan di Desa Sumber Ayu, Kecamatan Dampit merupakan bukti bahwa pada kecamatan itu dahulu juga telah dihuni dan terdapat kegiatan ritus keagamaan yang berhubungan dengan keagamaan kadewaguruan. Bahwa dengan banyaknya nama Maṇḍala Kasturi dengan lokasi yang berbeda yang disebutkan dalam naskah Taŋtu Paŋgělaran, bukanlah menjadi opsi penelusuran geografis Prasasti Widodaren, namun dimungkinkan untuk penelitian selanjutnya mencari letak Maṇḍala Kasturi lain yang tertuang dalam naskah Taŋtu Paŋgělaran yang mungkin di kemudian hari ditemukan pula prasastinya. Ajaran yang dianut Maṇḍala Kasturi adalah Saiwa tantris, karena menurut naskah Taŋtu Paŋgělaran, maṇḍala ini dibuka oleh seorang pendeta Buddha yang beralih kepercayaan menjadi saiwa tantrik yang suka melakukan upacara memakan mayat. Hal ini dapat dilihat dari penggunaan wajra yang menjadi ciri khas aliran Buddha Wajrayana pada sisi verso prasasti. Nāgarakṛṭāgama menyebutkan Maṇḍala Kasturi sebagai salah satu caturbhasma maṇḍala atau empat maṇḍala abu. Kata abu sendiri berhubungan dengan upacara pembakaran mayat, di mana dalam prasasti Pasrujambe II ditemukan adanya inskripsi yang berbunyi ‘sang pembawa keranda’. Dewa yang dipuja merupakan dewa-dewa Hindu dan dewa lokal dengan realitas tertingginya merupakan suñata, hal ini jelas tergambar dalam naskah Taŋtu Paŋgělaran dan Rājapatiguṇḍala, serta penyebutan kata oṃ pada Prasasti Widodaren menyiratkan unsur agama Hindu, dengan tetap mempertahankan ciri kebuddhaan melalui tanda wajra. Caturbhasma maṇḍala merupakan golongan tempat yang tan pratistha. Lebih jauh Robson menambahkan (1995: 137) bahwa kata prathista merujuk pada “sanctuary permanently

Prasasti Widodaren ..., Dewi Sinta A'isyah Debeturu, FIB UI, 2016

Page 17: Prasasti Widodaren: Suatu Kajian Epigrafi

consecrated to a god”, merujuk pada maṇḍala yang “secara permanen menyembah Tuhan” dan lepas dari campur tangan keraton, dengan kata lain independen.

3. Alih aksara Prasasti Widodaren pada sisi verso dua baris terakhir menunjukkan dua aksara yang merupakan angka. Pada salah satu kesimpulan penelitian3, secara paleografis Prasasti Widodaren menunjukkan pertanggalan relatif sebelum Prasasti Damaluŋ yaitu 1371 śaka. Jika angka 2 dan 3 yang berhasil diidentifikasi adalah benar, meskipun dituliskan secara vertikal dan dibasati garis paragraf diantara keduanya, penulisan angka tahun 1323 śaka adalah mungkin. Pada 1323 śaka atau 1401 Masehi suasana politik Majapahit sedang memanas dengan pecahnya perang Paregreg di masa kepemimpinan Suhitā yang pada saat itu masih dibantu oleh ayahnya, Wikramawarddhana.

DAFTAR REFERENSI Bakker, J. W. M. “Ilmu Prasasti Indonesia”. Yogyakarta: Jurusan Sejarah Budaya IKIP Sanata

Dharma, 1972. Buduroh, Mamlahatun. “Naskah Darma Jati: Edisi Teks dan Terjemahan disertai Tinjauan Isi

Aksara”. Tesis. Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2006. Damais, L. C. “Tulisan-tulisan asal India di Indonesia dan Asia Tenggara Daratan” dalam

Epigrafi dan Sejarah Nusantara, hlm. 3-26. Jakarta: EFEO dan Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, 1995.

de Casparis, J. G. “Indonesian Paleography: A History of Writing in Indonesia From the Beginning to c. A. D. 15000”. Leiden: KOLN / EJ. BRILL, 1975.

Departemen Pendidikan Nasional. “Kamus Besar Bahasa Indonesia: Edisi Ketiga”. Jakarta: Balai Pustaka, 2010.

Djafar, Hasan. “Beberapa Catatan Mengenai Keagamaan pada Masa Majapahit Akhir” dalam Pertemuan Ilmiah Arkeologi, hlm. 252-266. Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, 1986.

___________. “Giridrawarddhana Beberapa Masalah Majapahit Akhir”. Jakarta: Komunitas Bambu, 2009.

Munandar, Agus Aris. “Pusat Keagamaan Masa Jawa Kuna” dalam Sastra Jawa: Suatu Tinjauan Umum, hlm. 101-109. Jakarta: Balai Pustaka, 2001.

__________________Sadyakala ing Majapahit. Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2012.

Muusses, Martha A., “De Soekoeh-Opschriften” dalam “TBG LXII”, hlm. 496-514. Jakarta: Albrhcet & co, 1923.

Noorduyn, J. “Bujanggan Manik’s Journeys Through Java: Topographycal Data From an Old Sundanese Source” , hlm. 413-442 dalam Bijdragen tot de taal land en volkenkunde. Jakarta: KITLV, 1982.

Pigeaud, Theodoor Gauter Thomas. De Tantu Panggělaran. S- Gravenhage: Nederl Boek en Steendrukkerij Voorheen H.L. Smits. 1924.

____________________________. Java in the Fifteen Century. S- Gravenhage: Nederl Boek en

Steendrukkerij Voorheen H.L. Smits. 1960. ____________________________. Literature of Java. Vol I: Synopsis Of Javanese Literature,

900-1900 AD. The Hague: Martinus Nijjoff. Prawiroatmojo, S. “Bausastra jawa- indonesia”. Jakarta: Midas Suryo Grafindo, 1985. Robson, Stuart O. “Kajian Sastra-sastra Tradisional Indonesia” dalam Bahasa dan Sastra, No.

6 Tahun IV. Jakarta, 1978. _________________. Deśawarnana (Nāgaraḳṛtagama) by Mpu Prapanca. Leiden: KITLV

Press, 1995. Santiko, Hariani. Kedudukan Bhaṭārī Durgā di Jawa pada Abad X-XV Masehi. Disertasi. Jakarta:

Fakultas Sastra Universitas Indonesia, 1987. _____________.“Penilitian Awal Agama Hindu Saiwa pada Masa Majapahit”. Makalah

diajukan pada Simposium peringatan 700 tahun Majapahit, tanggal 3-5 Juli. Trawas Mojokerto, Jawa Timur. 1993.

_____________. “Mandala (Kadewaguruan) pada Masa Majapahit” dalam Hari-hara: Kumpulan Tulisan tentang Agama Veda dan Hindu di Indonesia abad VI-XVI Masehi hlm. 110-125. Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia. 2005a.

                                                                                                                         3  Kesimpulan  Skripsi  Anton  Wibisono,  2006.  Penulis  menyetujui  hal  ini.  

Prasasti Widodaren ..., Dewi Sinta A'isyah Debeturu, FIB UI, 2016

Page 18: Prasasti Widodaren: Suatu Kajian Epigrafi

_____________. “Kehidupan Beragama Golongan Rsi di Jawa” dalam Hari-hara: Kumpulan Tulisan tentang Agama Veda dan Hindu di Indonesia abad VI-XVI Masehi hlm. 126-139. Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia. 2005b.

_____________. “Dinamika Masyarakat Masa Majapahit dan Dampaknya pada Kehidupan Beragama: Sebuah Studi Kasus” dalam Hari-hara: Kumpulan Tulisan tentang Agama Veda dan Hindu di Indonesia abad VI-XVI Masehi hlm. 196-212. Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia. 2005c.

Santosa, Hery HB. Fungsi Agama dalam Pemerintahan pada Masa Kejayaan Majapahit (Abad Ke-14 Masehi). Tesis. Fakultas Sastra Universitas Indonesia, 2001.

Sedyawati, Edi . Analisis Naskah dan Prasasti. ……….. Jakarta, 1984. _____________. “Masalah Pusat dan Pinggiran” dalam “Sastra Jawa” dalam “Sastra Jawa:

Suatu Tinjauan Umum”. hlm. 25-29. Jakarta: Balai Pustaka, 2001. _____________. “Bhinneka Tunggal Ika Tan Hana Dharmma Mangrva: Sebuah Konsep yang

Dirumuskan di Zaman Majapahit Abad ke-14 M” dalam Śaiwa dan Bauddha di Masa Jawa Kuna. Hlm 28-33. Jakarta: Widya Dharma, 2009a.

Suhadi, Machi. “Laporan Penelitian Epigrafi di Wilayah Provinsi Jawa Timur”. Jakarta: Laporan Penelitian Pusat Penelitian Arkeologi Nasional dan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1996.

Poesponegoro, Marwati Djoened (Editor jilid). Sejarah Nasianal Indonesia II: Jaman Kuna. Jakarta: Balai Pustaka, 2008.

Susanti, Ninie. Prasasti Sebagai Data Sejarah Kuna. Depok: Fakultas Sastra Universitas Indonesia, 1986.

_____________. Pewarisan Nilai Sastra Jawa Antara Zaman: Tinjauan Sejarah Sastra. Depok: Fakultas Sastra, 1994.

_____________. “Aksara” dalam Sastra Jawa: Suatu Tinjauan Umum, hlm. 199-203.Jakarta: Balai Pustaka, 2001.

_____________. “Skriptoria Masa Majapahit Akhir: Identifikasi Berdasarkan Persebaran Prasasti”. Makalah dipresentasikan dalam “Seminar Pentarikhan Terpimpin dalam Arkeologi” 29 Desember 2010, Universitas Kebangsaan Malaysia di Kuala Lumpur Malaysia, 2010.

____________. “Prasasti Dari Desa Widodaren: Kajian Awal tentang Aksara” dalam Aksara dan Makna, hlm. 29-36.Jakarta: Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, 2012.

Tim Penulis Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala Jawa Timur. “Laporan Registrasi dan Informasi Kabupaten Malang”. Mojokerto: Balai Pelestarian Cagar Budaya Jawa Timur, 1986.

Utomo, Sutrisno Sastro. “Kamus Lengkap Jawa-Indonesia”. Yogyakarta: Kanisius, 2007. Zoetmulder, P. J. “Kamus Jawa Kuna Indonesia”. Jakarta: Gramedia, 1995.

Prasasti Widodaren ..., Dewi Sinta A'isyah Debeturu, FIB UI, 2016