9
30 | EDISI 02 • TAHUN XX • SEPTEMBER 2014 Foto: hukum.kompasiana.com PERENCANAAN & STRATEGI PEMBANGUNAN PERENCANAAN & STRATEGI PEMBANGUNAN BIDANG KEHUTANAN DAN KONSERVASI BIDANG KEHUTANAN DAN KONSERVASI SUMBER DAYA AIR SUMBER DAYA AIR Amor Rio Sasongko Fungsional Perencana Utama/Tim Analisa Kebijakan (TAK) Bappenas Abstrak U paya mempercepat pertumbuhan ekonomi harus dilakukan dengan tetap menjaga pengelolaan lingkungan hidup dengan baik, misalnya terhadap pengelolaan daerah aliran sungai (DAS). Untuk itu diperlukan kerangka kerja terpadu guna menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang Ɵmbul terutama untuk kegiatan-kegiatan pembangunan dalam rangka pertumbuhan ekonomi yang menggunakan sumberdaya alam sebagai input. Perencanaan pembangunan bidang kehutanan berhubungan langsung dengan konservasi sumber daya air yang berarƟ pula bagaimana mengelola DAS. Terkait pengelolaan DAS ini, maka akƟvitas-akƟvitasnya dapat berdimensi biosik misalnya pengendalian erosi, penghutanan kembali lahan-lahan kriƟs serta pengelolaan lahan pertanian konservaƟf. Selain dimensi biosik tersebut, pengelolaan DAS juga berdimensi kelembagaan yang menghasilkan insenƟf atau disinsenƟf sesuai dengan sisƟm ekonomi yang berkembang. Selanjutnya diƟnjau dari dimensi sosial maka pengelolaan DAS dilakukan dengan menyesuaikan kondisi sosial-budaya setempat, yang digunakan sebagai perƟmbangan dalam menyusun strategi pengelolaan DAS yang efekƟf dan esien. Rangkaian kegiatan dalam strategi tersebut harus mengarah pada usaha-usaha tercapainya keseimbangan antara pemenuhan kebutuhan manusia dengan kemampuan sumberdaya alam. Hal ini diperlukan agar kebutuhan manusia tersebut dapat dipenuhi secara berkesinambungan. Pengelolaan daerah hulu yang bersahabat dengan alam sangat diperlukan untuk menjaga kelangsungan ekonomi sumberdaya dan konservasi terhadap keanekaragaman hayaƟ (bio-diversity), terutama yang berhubungan dengan sistem hidrologi dan ekologi. Dengan perƟmbangan-perƟmbangan ini maka perencanaan pembangunan bidang kehutanan yang mendukung konservasi SDA perlu mencakup strategi pengelolaan DAS. Perencanaan ini disusun dan dilakukan dalam kerangka pengembangan ekosistem daerah hulu yang sesuai dengan kaidah-kaidah : (i). preservasi (preservaƟon), (ii). reservasi (reservaƟon), dan (iii). konservasi (conservaƟon). Kata Kunci : Kehutanan, Sumber Daya Air, DAS, Perencanaan Terpadu

PPERENCANAAN & STRATEGI …perpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/139217... · kehutanan yang mendukung konservasi SDA perlu mencakup strategi pengelolaan DAS. Perencanaan

Embed Size (px)

Citation preview

30 | EDISI 02 • TAHUN XX • SEPTEMBER 2014

Foto

: huk

um.k

ompa

siana

.com

PERENCANAAN & STRATEGI PEMBANGUNANPERENCANAAN & STRATEGI PEMBANGUNANBIDANG KEHUTANAN DAN KONSERVASIBIDANG KEHUTANAN DAN KONSERVASI

SUMBER DAYA AIRSUMBER DAYA AIRAmor Rio Sasongko

Fungsional Perencana Utama/Tim Analisa Kebijakan (TAK) Bappenas

Abstrak

Upaya mempercepat pertumbuhan ekonomi harus dilakukan dengan tetap menjaga pengelolaan lingkungan hidup dengan baik, misalnya terhadap pengelolaan daerah aliran sungai (DAS). Untuk itu diperlukan kerangka

kerja terpadu guna menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang mbul terutama untuk kegiatan-kegiatan pembangunan dalam rangka pertumbuhan ekonomi yang menggunakan sumberdaya alam sebagai input. Perencanaan pembangunan bidang kehutanan berhubungan langsung dengan konservasi sumber daya air yang berar pula bagaimana mengelola DAS. Terkait pengelolaan DAS ini, maka ak vitas-ak vitasnya dapat berdimensi biofi sik misalnya pengendalian erosi, penghutanan kembali lahan-lahan kri s serta pengelolaan lahan pertanian konserva f. Selain dimensi biofi sik tersebut, pengelolaan DAS juga berdimensi kelembagaan yang menghasilkan insen f atau disinsen f sesuai dengan sis m ekonomi yang berkembang. Selanjutnya di njau dari dimensi sosial maka pengelolaan DAS dilakukan dengan menyesuaikan kondisi sosial-budaya setempat, yang digunakan sebagai per mbangan dalam menyusun strategi pengelolaan DAS yang efek f dan efi sien. Rangkaian kegiatan dalam strategi tersebut harus mengarah pada usaha-usaha tercapainya keseimbangan antara pemenuhan kebutuhan manusia dengan kemampuan sumberdaya alam. Hal ini diperlukan agar kebutuhan manusia tersebut dapat dipenuhi secara berkesinambungan. Pengelolaan daerah hulu yang bersahabat dengan alam sangat diperlukan untuk menjaga kelangsungan ekonomi sumberdaya dan konservasi terhadap keanekaragaman haya (bio-diversity), terutama yang berhubungan dengan sistem hidrologi dan ekologi. Dengan per mbangan-per mbangan ini maka perencanaan pembangunan bidang kehutanan yang mendukung konservasi SDA perlu mencakup strategi pengelolaan DAS. Perencanaan ini disusun dan dilakukan dalam kerangka pengembangan ekosistem daerah hulu yang sesuai dengan kaidah-kaidah : (i). preservasi (preserva on), (ii). reservasi (reserva on), dan (iii). konservasi (conserva on).

Kata Kunci : Kehutanan, Sumber Daya Air, DAS, Perencanaan Terpadu

EDISI 02 • TAHUN XX • SEPTEMBER 2014 | 71

Log regional GDP/cap and MMR, Year 2007 Log regional GDP/cap and MMR, Year 2012

Years of Schooling and MMR, Year 2007 Years of Schooling and MMR, Year 2012

Percentage Woman Decision for Health Care in a Household and MMR, Year 2012

70 | EDISI 02 • TAHUN XX • SEPTEMBER 2014

APPENDIX

Table A1 : Summary Sta s cs

Variable Observa on Mean Std. Dev. Min Max

Maternal Mortality Rate 2007 17 306.1765 199.4036 95 828

Maternal Mortality Rate 2012 28 242.1786 208.196 63 804

Log regional GDP per cap 2007 33 7.329394 0.3022184 6.51 7.84

Log regional GDP per cap 2012 33 7.329394 0.2953275 6.8 8.05

Means Female Years of Schooling 2007 33 7.334242 0.9496777 5.73 9.89

Means Female Years of Schooling 2012 33 7.796061 0.8925663 5.84 10.14

Total Fer lity Rate 2007 33 2.860606 0.5419521 1.8 4.2

Total Fer lity Rate 2012 33 2.775758 0.4023605 2.1 3.7

Percentage Current Use of Contracep on 2007 33 58.06061 10.09641 34.1 74

Percentage Current Use of Contracep on 2012 33 43.00303 8.98723 16.2 54.6

Percentage receiving antenatal care from a skilled provider 2007 33 90.72727 6.929343 69 99.5

Percentage receiving antenatal care from a skilled provider 2012 33 93.22727 7.492508 57.8 99.3

Percentage receiving no postnatal care 2007 33 20.92727 14.04894 2 66

Percentage receiving no postnatal care 2012 33 15.60606 12.15877 1.1 53.9

Percentage delivered at a health facility 2007 33 20.92727 14.04894 2 66

Percentage delivered at a health facility 2012 33 15.60606 12.15877 1.1 53.9

Percentage delivered by a doctor 2007 33 1.257576 .7992302 0.3 3.2

Percentage delivered by a doctor 2012 33 1.284848 .9769599 0 3.5

Percentage delivered by a skilled provider 2007 33 38.75758 23.02212 8.6 90.8

Percentage delivered by a skilled provider 2012 33 52.88485 23.29773 16.7 98.4

Percentage decision on woman's own health care 2007 n.a. n.a. n.a. n.a. n.a.

Percentage decision on woman's own health care 2012 33 43.00303 8.98723 16.2 54.6

Table A2 : First Local Elec ons

Province First year of local elec on Province

First year of local elec on

ProvinceFirst year of local elec on

ProvinceFirst year of local elec on

West Java 2008 Jambi 2005 Lampung 2008 North Maluku 2009

Central java 2008 Maluku 2008 West Nusa Tenggara 2008 Gorontalo 2009

East Nusa Tenggara 2008 West Sumatera 2008 South Kalimantan 2005 Baangka Belitung 2007

Banten 2006 South East Sulawesi 2007 Aceh 2006 Riau Islands 2010

East Java 2008 North Sulawesi 2005 South Sumatera 2008 Bali 2008

North Sumatera 2008 West Papua 2006 Riau 2008 Bengkulu 2005

West Kalimantan 2009 Central Kalimantan 2005 East Kalimantan 2008 Jakarta 2007

South Sulawesi 2007 West Sulawesi 2006 Papua 2008 Yogyakarta 2008

Central Sulawesi 2006

EDISI 02 • TAHUN XX • SEPTEMBER 2014 | 31

PENDAHULUAN

Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 7 tahun 2004 tentang ”Sumber Daya Air” maka daerah aliran sungai

atau DAS didefi nisikan sebagai suatu wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungai, yang berfungsi menampung, menyimpan dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau atau ke laut secara alami. Dengan defi nisi ini maka pada dasarnya seluruh permukaan bumi dapat dibagi habis dalam berbagai daerah aliran sungai atau DAS. Pada era otonomi daerah ini maka DAS juga dipandang sebagai satu kesatuan bio-region yang terdiri dari beberapa daerah otonom yang secara ekologis dan ekonomis saling berkaitan. Dalam hal ini bio-region adalah kawasan atau lingkungan fi sik yang pengelolaannya dak ditentukan oleh batasan poli k dan administrasi, tetapi oleh batasan geografi , komunitas manusia serta sistem ekologi setempat.

Perencanaan pembangunan bidang kehutanan berkaitan dengan konservasi sumber daya air. Selanjutnya perencanaan sumber daya air dak dapat lepas dari perencanaan terpadu terhadap DAS. Atau sebaliknya, perencanaan terpadu terhadap DAS ini sangat diperlukan dalam kaitannya sebagai bagian dari sumber daya alam (SDA) dan lingkungan hidup (LH). Semua ini diperlukan dalam rangka mendukung kesinambungan kehidupan masyarakat yang sehat dan sejahtera. Sebagai contoh, apabila terjadi kerusakan SDA dan LH maka kerusakan yang terus menerus akan memicu krisis pangan, krisis air bahkan krisis energi yang berasal dari alam e.g. air terjun. Kerusakan SDA khususnya sumber daya air mengakibatkan kemampuan penyediaan pangan makin terbatas, ha ini karena dak meratanya ketersediaan air dibuk kan dengan turunnya debit air waduk maupun sungai. Menurunnya debit air sungai juga akan menyebabkan kapasitas power plant yang menghasilkan energi akan menurun. Contoh, power plant yang berada di atas Waduk Cirata akan menurun produk fi tasnya bila debit air sungai Citarum menurun. Dari contoh-contoh ini menunjukkan bahwa perencanaan pembangunan bidang kehutanan dan konservasi sumber daya air merupakan bagian yang dak dapat dilepaskan dari upaya memenuhi kebutuhan hidup manusia menuju masyarakat yang sejahtera.

Dukungan SDA cara penyediaan pangan atau energi harus terus dikelola secara berkesinambungan sehingga keseimbangan antara kebutuhan dan ketersediaan kebutuhan hidup masyarakat dapat terwujud. Ada 2 (dua) pendekatan untuk menjaga keseimbangan antara permintaan dan penyediaan SDA yaitu : (1) dengan cara menjaga kelestarian SDA atau (2) dengan meningkatkan cadangannya. Untuk menjaga kelestarian SDA (yang berar pula konservasi hutan atau sumber daya air) dapat dilakukan dengan : (a) efi siensi penggunaan SDA dalam proses produksi berbagai produk industri; (b) subs tusi penggunaan SDA misal energi dari air terjun beralih ke gas alam (diversifi kasi); dan (c) mengurangi kebocoran penggunaan atau pemanfaatan SDA akibat pencurian, illegal ac on, penyelundupan dan lain-lain. Sedangkan untuk meningkatkan cadangan SDA dapat dilakukan dengan : (a) rehabilitasi, replan ng, reklamasi, atau recycle. Untuk kelompok renewable ini dapat dilakukan, misalnya dengan reforesta on sehingga daya tangkap air meningkat dan selanjutnya ketersediaan air tersebut akan menambah debit air pada musim kemarau; (b) melaksanakan eksplorasi baru untuk yang non renewable. Secara keseluruhan, baik di njau dari penjagaan kelestarian maupun penambahan cadangan, diperlukan inovasi, kesiapan teknologi dalam mengelola alam, perbaikan tata kelola administrasi pemerintah pusat dan daerah, penyertaan masyarakat dan budaya setempat serta penguatan penegakan hukum.

Prinsip kebijakan perencanaan pembangunan bidang kehutanan dan konservasi sumber daya air adalah terpeliharanya hutan secara lestari sehingga konservasi sumber daya air terwujud. Menjaga hutan dari kerusakan akan meningkatkan daya tampung air di hulu sungai yang dimanfaatkan oleh masyarakat pada musim kemarau misalnya untuk irigasi ketahanan pangan. Selain itu fungsi hutan juga untuk menghindari adanya tanah longsor dan erosi oleh air hujan. Peningkatan kandungan lumpur pada air hujan yang mengalir ke sungai-sungai menyebabkan pendangkalan sungai-sungai yang meningkatan kerentanan terhadap banjir. Selain itu erosi juga menurunkan kualitas air akibatnya memerlukan biaya yang nggi apabila akan diproses oleh PAM menjadi air minum. Jadi in dari kebijakan adalah menjaga kelestarian hutan untuk penyediaan air kebutuhan masyarkat baik untuk irigasi ketahanan pangan maupun untuk air minum serta kebutuhan lainnya.

32 | EDISI 02 • TAHUN XX • SEPTEMBER 2014

STRATEGI PERENCANAAN PEMBANGUNAN BIDANG KEHUTANAN

DAS sebagai Fokus Kebijakan Seper disampaikan sebelumnya, hutan perlu

dijaga kelestariaannya karena hutan yang lestari berar mendukung konservasi sumber daya airPenebangan hutan yang dak terkendali mengakibatkan DAS menjadi kri s dan air dak cukup tersedia untuk kehidupan. Kekri san tersebut terjadi ke ka DAS yang secara biofi sik kondisinya telah mengalami kerusakan. Tanda-tanda kerusakan DAS tersebut adalah menurunnya kualitas dan kuan tas air, degradasi lahan, dan berkurangnya biodiversity secara signifi kan. Luas lahan kri s telah mencapai 30.196.800 Ha yang tersebar pada 282 DAS di Indonesia. Banyaknya lahan kri s di Indonesia tersebut dikelompokkan menjadi 2 (dua), yaitu kategori DAS kri s seluas 23.306.233 Ha, dan kategori DAS sangat kri s yaitu seluas 6.890.567 Ha. Berdasarkan data tahun 1984 terdapat 22 DAS kri s di Indonesia, kemudian meningkat pada tahun 1992 menjadi 39 DAS kri s. Kondisi pada dan tahun 2006 menjadi semakin parah di mana sebanyak 62 DAS sudah termasuk kategori kri s.

Untuk menyusun kebijakan konservasi sumber daya air di daerah aliran sungai perlu dikenali isu-isu pen ng terkait dengan permasalahan yang dihadapi (untuk mengurangi lahan kri s). Beberapa isu pen ng dalam pengelolaan DAS yang dapat diiden fi kasi adalah sebagai berikut : a. Terdapat persaingan kepen ngan dalam

pemanfaatan DAS (baik air maupun non air) untuk berbagai keperluan baik industri maupun rumah tangga. Persaingan tersebut semakin meningkat dalam pemanfaatan sumber daya yang berada di DAS untuk berbagai keperluan termasuk irigasi.

b. Pemanfaatan DAS untuk masyarakat seringkali pelaksanaannya dak sesuai dengan kepen ngan menjaga sumber kehidupan (air) karena dak ada strategi yang terpadu yang mensinergikan program-program antar sektor dan antar wilayah. Sinergitas seharusnya sudah dituangkan didalam perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi, serta audit yang reliable.

c. Diperlukan peran pemerintah yang kuat untuk menjaga DAS sehingga bermanfaat bagi kemaslahatan

seluruh rakyat. Pemerintah harus menyusun regulatory framework untuk mengakomodasikan kepen ngan semua sektor dan wilayah yang terkait dengan pemanfaatan DAS. Dalam mengembangkan regulatory framework tersebut, disusun berdasarkan sistem informasi dan database untuk se ap DAS termasuk kapasitas dan daya dukung lingkungan masing-masing DAS.

Berdasarkan beberapa isu DAS diatas, strategi pengelolaan DAS harus menggunakan pendekatan lintas sektor dan lintas wilayah, dimana perlu disusun perencanaan pembangunan di Bidang Kehutanan dan Sumber Daya Air secara terpadu. Dalam hal ini, pengelolaan DAS diterapkan berdasarkan prinsip bahwa Satu DAS mempunyai Satu Perencanaan dan Satu Pengelolaan (One watershed, One Plan, One Management). Strategi pengelolaan DAS terpadu ini dituangkan dalam kebijakan kehutanan dan konservasi sumber daya air yang terdiri dari : (a) keterpaduan dalam pengelolaan DAS; (b) peningkatan rehabilitasi hutan dan lahan; dan (c) peningkatan kualitas penataan ruang kawasan DAS.

Strategi Keterpaduan dalam pengelolaan DAS Pengelolaan DAS terpadu mencaqkup upaya : (i) lintas

sektor dan (ii) lintas wilayah, oleh karena itu diperlukan kebijakan yang berlandaskan one watershed, one plan dan one management. Pelaksanaan strategi yang terpadu ini dilakukan juga oleh satu lembaga pengelolaan DAS. Sebagai langkah awal perlu disusun rencana tata ruang kawasan DAS yang terintegrasi dengan rencana tata ruang wilayah (sebagai payung). Penentuan ini akan digunakan sebagai dasar untuk menyusun kebijakan, strategi, program, dan rencana aksi lintas sektor dan lintas wilayah. Dimensi waktu terdiri dari jangka pendek (tahunan), jangka menengah (5 tahunan), dan jangka panjang (20 tahunan). Prinsip dasar dalam menyusun strategi pengelolaan DAS terpadu adalah sesuai dengan konsep planning, organizing, actua ng and controlling (POAC).

Rincian dari strategi pengelolaan DAS terdiri dari ak vitas-ak vitas yang berdimensi biofi sik misalnya pengendalian erosi, rehabilitasi lahan-lahan kri s, pengelolaan lahan pertanian konserva f. Selain itu juga kegiatan-kegiatan berdimensi kelembagaan seper

EDISI 02 • TAHUN XX • SEPTEMBER 2014 | 69

To inves gate factors for maternal death, I propose panel data fi xed eff ects technique, with family planning as the interest variable. There are three poten al techniques : me fi xed eff ect, province fi xed eff ect, and both me and province fi xed eff ect. However, some weaknesses of this proposal are including : (1) maternal mortality rate at provincial level is es mated by hospitals/health facili es

records, not by survey; (2) women from rural areas isn’t covered by the data, because they are likely to delivering at houses – not health facili es; (3) the es ma on would lead to towards zero bias. It is an urge for government to es mate maternal mortality rate at provincial level – not only at na onal level, and thus appropriate policies could be formulated to decrease maternal death in the future.

REFERENCESBeegle, Kathleen, Elizabeth Frankenberg, and Duncan Thomas.”Bargaining power within couples and use of prenatal and

delivery care in Indonesia.”Studies in family planning 32, no. 2 (2001) : 130-146.Cutler, David M., Angus S. Deaton, and Adriana Lleras-Muney.The determinants of mortality.No. w11963.Na onal Bureau

of Economic Research, 2006.Deaton, Angus. Global pa erns of income and health : facts, interpreta ons, and policies. No. w12735.Na onal Bureau

of Economic Research, 2006.Hsio, W., and Peter Heller. What macroeconomists should know about health care policy.Vol. 7.Interna onal Monetary

Fund, 2007.KementerianKesehatan. Profi lKesehatan 2007. Jakarta : KementerianKesehatan.KementerianKesehatan. Profi lKesehatan 2012. Jakarta : KementerianKesehatan.Republic of Indonesia.“Data danInformasiKinerja Pembangunan 2004-2012.” Jakarta : Republic of Indonesia, 2013.

Available at : h p ://www.bappenas.go.id/fi les/6613/7890/Buku_Da n _Kinerja_Pembangunan_2004-2012.pdfShiff man, Jeremy. “Can poor countries surmount high maternal mortality?.” Studies in family planning 31, no. 4 (2000) :

274-289.Sta s cs Indonesia/BPS.Indonesia Health and Demographic Survey/SDKI 2007. Jakarta : BPS, 2008.Sta s cs Indonesia/BPS.Indonesia Health and Demographic Survey/SDKI 2012. Jakarta : BPS, 2013.Stock, James H., and Mark W. Watson.Introduc on to Econometrics Global Edi on.Pearson Educa on, 2012.Stover, John, and John Ross. “How increased contracep ve use has reduced maternal mortality.” Maternal and Child Health Journal 14, no. 5 (2010) : 687-695. Available at :

h p ://download.springer.com/sta c/pdf/805/art%253A10.1007%252Fs10995-009-0505-y. pdf?auth66=1400378312_6bec58c95d0a7b49c88a8aa9d9bf405e&ext=.pdfWorld Health Organiza on.“Maternal Mortality.”Fact Sheet No. 348, 2014. Available at : h p ://www.who.int/

mediacentre/factsheets/fs348/en/World Health Organiza on. “Fact Sheet : The Causes of Death.” 2008. Available at : h p ://www.who.int/mediacentre/

factsheets/fs310_2008.pdfWorld Health Organiza on.“Maternal, Newborn, Child and Adolescent Health.” Available at : h p ://www.who.int/

maternal_child_adolescent/topics/newborn/postnatal_care/en/World Bank.“Inves ng in Indonesia’s Health : Challenges and Opportunity for Future.”Health Public Expenditure Review.

Jakarta : World Bank, 2008.

68 | EDISI 02 • TAHUN XX • SEPTEMBER 2014

However, the number of observa on is a poten al weakness of the model. Recall that not all provincial government es mates maternal mortality rate. Further, the model is likely to lead a downward to zero bias, because maternal mortality rate is es mated based on health facili es, it wasn’t taken by survey. The data is unlikely es ma ng women in rural areas who delivered babies in their houses.

Year Fixed Eff ectIn order to study factors aff ect maternal death, I

propose to apply panel data with two me periods : before and a er comparisons (before and a er decentraliza on). When data for each state are obtained for T = 2 me periods, it is possible to compare values of the dependent variable in the second period to values in the fi rst period (Stock and Watson, 2012). My interest variable is family planning. The equa on can be wri en as follow :

MMR is maternal mortality rate year 2012 and 2007 at province i and FamilyPlanning is percentage female use contracep on year 2012 and 2007 at province i. I would also include other control variables.

MMRit is maternal mortality rate at year t and province i and FamilyPlanningit is percentage female use contracep on at year t and province i. Zit is control variable at year t and province i. Control variables are log regional GDP per capita, female years of schooling, percentage received antenatal care, percentage delivered at health facili es, percentage doctors help during delivery, and percentage trained health providers help during delivery.

Province Fixed Eff ectEn ty (province) fi xed eff ect could be applied to

control provinces that have high maternal mortality rates regardless the me. In other words, the unobserved variables are varies from one province to other, but they are unchanged over me. The interpreta on is based on state-specifi c compares to one province.

Let αiis β0 +β2Zior province fi xed eff ect. αi,….., αn

are treated as unknown intercepts to be es mated, one for each province. Thus, a province with high maternal mortality rate has diff erent eff ects with a low maternal death province.

Both Time and Province Fixed Eff ectThe combined province and me fi xed eff ects

regression model eliminate omi ed variables bias arising both from unobserved variables that are constant over me and from unobserved variables that are constant over

state (ibid). As there are only two me periods, me fi xed eff ect can be es mated using before and a er approach.The equa on can be wri en as

ConclusionSome studies have shown that causes of death

are shi ed when a country experiences higher incomes. Specifi cally, numbers of communicable diseases get lesser, while increase in non-communicable diseases. It is also known as epidemiological transi on. Indonesia is a middle income country with rising life expectancy for the last years. Death caused by non-communicable diseases has increased over me. While, death caused by communicable diseases show a decreasing trend. However, maternal mortality – categorized as a communicable disease – has been increased drama cally from 228 (per 100,000 live births) to 359, for period 2007-2012.

Poten al factors aff ect maternal death are income level (proxy : regional GDP per capita), female years of schooling, family planning (proxy current female use contracep on), percentage received antenatal care, percentage delivered at health facili es, percentage doctors help during delivery, and percentage trained health providers help during delivery. As the governmental system has been shi ed to decentraliza on since 2005, local governments tend to not priori ze family planning policy. It has been a decline female contracep ve use from 61.4% to 45.7%, for period 2007-2012. Family planning might be one signifi cant factor for maternal death. It might be a good policy for local governments and central government to re-implemen amily planning programs.

EDISI 02 • TAHUN XX • SEPTEMBER 2014 | 33

insen f dan peraturan-peraturan yang berkaitan dengan bidang ekonomi. Sedangkan kegiatan-kegiatan yang berdimensi sosial lebih diarahkan pada pemahaman kondisi sosial-budaya setempat dan menggunakan kondisi tersebut sebagai pe mbangan untuk merencanakan strategi ak vitas pengelolaan DAS tersebut. Keseluruhan rangkaian kegiatan dalam strategi ini dilakukan dalam upaya untuk tercapainya pemenuhan kebutuhan manusia yang seimbang dengan kemampuan sumberdaya alam secara berkesinambungan. Perlu diperha kan peran daerah hulu dalam menjamin kelangsungan ekonomi sumberdaya dan konservasi keanekaragaman haya (bio-diversity). Tujuan dari strategi ini adalah bagaimana sistem hidrologi dan ekologi menjadi lebih baik (dengan adanya pelaksanaan strategi ini). Untuk itu pemanfaatan DAS harus memper mbangkan pengembangan ekosistem daerah hulu dan sesuai dengan kaidah-kaidah preservasi, reservasi, dan konservasi. Harus juga dijaga hubungan daerah hulu dan hilir dalam suatu DAS yang mempunyai keterkaitan biofi sik. Sistem keterkaitan dalam satu DAS ditunjukkan dengan adanya daur hidrologi dan daur unsur hara di satu kesatuan DAS tersebut.

Ada 3 ( ga) hal yang pen ng untuk diperha kan dalam upaya pengelolaan DAS secara terpadu yaitu :1 Bahwa pengelolaan DAS merupakan bagian pen ng

dari kegiatan pembangunan di Indonesia, khususnya dalam rangka pemanfaatan sumberdaya hutan, tanah, dan air, sehubungan dengan perlindungan lingkungan.

2. Pada dasarnya pengelolaan DAS bersifat mul disiplin dan lintas sektoral sehingga keterpaduan (integrated) mutlak diperlukan agar diperoleh hasil yang maksimal.

3. Dalam pelaksanaan sistem perencanaan pengelolaan DAS terpadu, perlu diterapkan azas “Integrated Watershed Management Plan”. Untuk itu dalam se ap rencana pemanfaatan DAS seharusnya diformulasikan dalam bentuk paket perencanaan terpadu dengan memperha kan kejelasan keterkaitan antar sektor pada ngkat regional/wilayah dan nasional serta kesinambungannya.

Dengan memperha kan ke ga hal pokok tersebut di atas maka penyusunan strategi pengelolaan pembangunan DAS terpadu harus sesuai dengan tujuan pengelolaan

DAS yaitu untuk secara berkesinambungan mendapatkan air yang baik secara kualitas, kuan tas dan distribusi yang merata sepanjang tahun. Untuk mewujudkan tujuan tersebut, maka penyusunan perencanaannya harus didahului dengan melakukan iden fi kasi terhadap struktur DAS secara seksama karena masing-masing DAS mempunyai spesifi kasi sendiri-sendiri. Sedangkan prinsip-prinsip dasar pengelolaan terpadu sama dan dapat diaplikasikan ke semua DAS. Penerapan konsep one watershed, one plan, one management dalam pengelolaan DAS terpadu terutama adalah untuk memanfaatkan SDA dengan menghindari konfl ik antara para pemanfaatnya. Sumber daya alam adalah suatu sistem yang terjadi secara alamiah sesuai dengan kondisi bio-fi siknya sehingga dak dapat dipaksakan untuk memenuhi berbagai pihak

secara memuaskan. Jumlah yang terbatas menyebabkan konfl ik, dan konsep pengelolaan terpadu diterapkan untuk menghindari konfl ik-konfl ik tersebut.

Dalam pasal 3 Undang-Undang nomor 7 tahun 2004 tentang ”Sumber Daya Air” dinyatakan bahwa sumber daya air dikelola secara menyeluruh dan terpadu dan berwawasan lingkungan hidup. Dalam hal ini menandakan bahwa pada prinsipnya ada 3 ( ga) jenis pengelolaan, yaitu :a. Pengelolaan DAS (watershed management), yang

terdiri dari :• Perencanaan tata ruang wilayah,• Pengelolaan kawasan hutan,• Pengawasan penggunaan lahan,• Rehabilitasi lahan dan konservasi tanah,• Pelestarian dan pengelolaan daerah resapan air.Secara keluruhan, pengelolaan DAS juga dapat dikatakan sebagai konservasi sumber daya air.

b. Pengelolaan jaringan sumber air (water source management), terdiri dari :• Pengelolaan air rendah (kering),• Pengelolaan nggi (banjir),• Pengelolaan kualitas air,• Pengelolaan prasarana sumber air,• Pengelolaan sumber air dan lingkungan di sekitar

sumber air.c. Pengelolaan penggunaan air (water use management),

terdiri dari :• Pengelolaan sistem irigasi,• Pengelolaan sistem air minum dan sanitasi,• Pengendalian pencemaran air,

34 | EDISI 02 • TAHUN XX • SEPTEMBER 2014

• Penghematan penggunaan air,• Pengelolaan limbah cair dan sampah.

Selanjutnya penyusunan strategi konservasi sumber daya air juga harus fokus pada pengelolaan DAS yang dikelompokkan dalam 2 (dua) pendekatan yaitu pendekatan struktural, dan pendekatan non struktural. Untuk penekatan struktural juga dibagi dalam 2 (dua) bagian yaitu : (a) Bagian Hulu, yang mana jenis kegiatannya dapat terdiri dari pembangunan waduk, rehabilitasi situ, dan penghutanan; serta (b) Bagian Hilir, yang mana pembangunannya dapat terdiri dari pembangunan banjir kanal, bendung an sipasi air pasang, dan bangunan fi sik untuk pencegahan keretakan tanah (land subsidence). Sedangkan untuk pendekatan non struktural pada dasarnya hanya dibagi 1 (satu) bagian saja yaitu Bagian Hilir. Kegiatan yang termasuk Bagian Hilir-Non Struktural ini terdiri dari : (i). konservasi DAS (rehabilitasi dan reboisasi), (ii). pengendalian tata ruang, (iii). peningkatan kesadaran masyarakat, (iv). sistem peringatan dini, (v). pemetaan daerah rawan banjir, dan (vi). sistem tanggap darurat.

Kebijakan dasar pengelolaan DAS terpadu mengacu pada 2 (dua) hal prinsip. Pertama, pengelolaan DAS harus dilakukan secara holis k, terencana, dan berkelanjutan. Hal ini dilakukan guna memenuhi kebutuhan masyarakat serta menjaga kelestarian lingkungan. Kedua, pengelolaan DAS dilakukan secara desentralisasi yang mana pendekatan DAS diposisikan sebagai satuan wilayah pengelolaan sumber daya alam yang dikelola secara menyeluruh (komprenhensif) oleh berbagai pihak yang bertanggung jawab yaitu pemerintah pusat, pemerintah propinsi, pemerintah kabupaten/kota, masyarakat/LSM, akademisi dan dunia usaha. Selain itu dalam penyusunan perencanaanya juga harus memper mbangkan norma dan kearifan lokal yang ada sehingga perencanaan tersebut dak hanya bersifat dari atas ke bawah (top-down) tetapi

juga dari bawah ke atas (bo om-up).

Konsep pengelolaan secara terpadu menunjukkan pen ngnya perencanaan untuk satu DAS. Konsep dari one plan ini dapat dijelaskan sebagai berikut :a. Satu sungai dalam penger an DAS merupakan

kesatuan wilayah hidrologi yang dapat mencakup beberapa wilayah administra f yang ditetapkan sebagai satu kesatuan wilayah pengelolaan yang

dak dapat dipisah-pisahkan;b. Dalam satu sungai hanya berlaku satu rencana kerja

yang terpadu, menyeluruh, berkelanjutan, dan berwawasan lingkungan;

c. Dalam satu sungai diterapkan satu sistem pengelolaan yang dapat menjamin keterpaduan kebijakan, strategi perencanaan, dan operasionalisasi kegiatan dari hulu sampai hilir.

Konservasi terhadap Daerah Aliran Sungai (DAS) dilakukan dalam satu kesatuan sistem pelestarian ekosistem alam yang mana DAS dalam ekosis m tersebut fungsinya adalah penghasil air untuk berbagai kebutuhan. Dengan meningkatnya kebutuhan air akibat bertambahnya penduduk, perkembangan industri serta irigasi pertanian diiku dengan perubahan cuaca yang dak menentu menyebabkan ketersediaan air menjadi semakin rentan. Untuk itu mbul upaya untuk menghargai air yang wajar, dalam ar memberi nilai ekonomi kepada air. Perkembangan atas semakin langkanya air dan mengarah air sebagi produk ekonomi telah mengubah pandangan bahwa air sebagai fungsi social menjadi fungsi sosial ekonomi. Peran hutan di daerah hulu sangat pen ng, berkurangnya luas dan alih fungsi hutan akan lingkungan yang mana fungsi hidrologis hulu DAS mengalami penurunan kapasitas untuk menghasilkan air. Di samping itu, kerusakan hulu DAS akan mendorong adanya erosi permukaan tanah sehingga sedimen di sungai meningkat yang berdampak pada penurunan kualitas air dan fl uktuasi debit. Untuk menjamin terpeliharanya fungsi kelestarian lingkungan pada daerah hulu DAS tersebut perlu disusun kebijakan perencanaan pembangunan bidang kehutanan yang dikaitkan dengan konservasi sumber daya air. Kebijakan juga diarahkan untuk mencegah mbulnya konfl ik pemanfaatan DAS karena pekembangan yang memperlakukan air dak lagi hanya sebagai fungsi sosial tetapi juga ekonomi sebagimana disinggung sebelumnya.

Peningkatan Rehabilitasi Hutan dan LahanTermasuk dalam upaya melestarikan hutan untuk

konservasi air, maka harus di ngkatkan kepedulian dan komitmen terhadap pengelolaan DAS. Khususnya pada wilayah hutan di bagian hulu (upstream) sungai. Dalam hal ini peningkatan rehabilitasi hutan dan lahan dilakukan dengan memperha kan bagaimana sinergi peran

EDISI 02 • TAHUN XX • SEPTEMBER 2014 | 67

The more literate the female popula on is likely to reduce maternal mortality rate. In Indonesia, a nega ve correla on between female years of schooling and maternal mortality rate for both period 2007 and 2012.More educated women are likely to take ac ons that benefi t their life (Shiff man, 2012).

Due to limita on data, I only show one period (2012) correla on. The dataset shows no correla on between woman’s own decision for health care and maternal mortality rate TFR of Indonesia has been unchanged for the last 5 years (2007-2012), 2.6. However, varia on changes of TFR among provinces. There is anopposite pa ern between current use of family planning and TFR. A province that experienced a lower TFR for period 2007-2012 has a higher contracep on use. Further, it has beena reversed correla on between contracep on use and maternal mortality rate. As of 2007, contracep on use is posi vely correlated with maternal mortality. It became a nega ve correla on as of 2012. A er decentraliza on, contracep on use at na onal level declined from 58.1% (2007) to 43% (2012). Provincial governments tend to not priori ze family planning policy. In all provinces, percentage of current use contracep on has been declined.

Antenatal care has a direct eff ect for maternal deaths. Pregnant women that have antenatal care are likely to have lower possibility for maternal death. For period 2007-2012, at na onal level, percentage of receiving antenatal care has increased, from 93.3% to 95.7%. As of 2007, the line of correla on between antenatal care and maternal mortality is rela vely fl at and slightly nega ve. However, as of 2012, the correla on became clearly nega ve. A province with higher percentage of antenatal care recipients had a lower maternal mortality rate.

Minister of Health men oned that one cause for high maternal mortality rate in Indonesia is many women deliver babies at homes – not at a health facility. For period 2007-2012, at na onal level, percentage of a woman delivered at a health facility increased from 46.1% to 63.2%. In both periods, it has been a posi ve correla on between percentage a woman delivered at a health facility and maternal mortality rate. However, on the average, it has been a decreasing percentage a woman delivered at a health facility. Furthermore, percentage doctors help during delivery is s ll low. For period 2007 and 2012, it has

been unchanged 1% at na onal level. In both periods, it has been a nega ve correla on between doctor providing assistance during delivery and maternal mortality rate. It might be a good sugges on for the government to provide more doctors to assistance women during delivery. However, one big challenge in Indonesia is that “dual prac ce” of government’s medical staff s. The government has allowed its staff to engage in “dual prac ce” since the 1970s in recogni on of the low level of public salaries (World Bank, 2008). They perform diff erently between public and private health services, and in most cases, they perform more slower in public health services. Therefore, it is important to improve supply side of health sector.

Further, at na onal level, percentage delivered by a skilled provider increased from 73% to 83.1%, for period 2007-2012. As of 2007, there was no correla on between percentage delivered by a skilled provider and maternal mortality rate. It became a posi ve correla on.

Among poten al causes of maternal death, a higher family planning (current females use contracep on) is associated with a lower maternal mortality rate. However, a er decentraliza on system was applied, local governments tend to neglect family planning policy. Na onal Popula on and Family Planning Board (abbreviate : BKKBN) is not func oned in all provincial levels. Furthermore, according to SDKI 2012, at na onal level, among ever-married women age 15-49 who are not using contracep on, only 5.2% women who were visited by fi eldworker who discussed family planning. In other words, local governments are not ac vely promo ng family planning. It is likely that women in rural areas have lesser access on informa on for family planning. In this proposal, I propose family planning as the interest variable to aff ect maternal mortality.

METHODOLOGYIn this proposal, I use panel dataset for two periods,

2007 and 2012, and dataset at provincial level. Indonesia has 33 provinces, but due to limita on data I only use 17 provinces datasets for period 2007 and 28 provinces dataset for period 2012. I propose three poten al methodologies to apply.

66 | EDISI 02 • TAHUN XX • SEPTEMBER 2014

Figure 1 : Maternal Mortality Rate Indonesia (per 100,000 live births)

Source : SDKI 1992, 1997. 2002, 2007, 2012

Maternal mortality in rich countries is very low, comparing to lower income countries. Income level is likely to aff ect maternal mortality rate, because low access to health facili es (WHO, 2014). Further, female educa on and wife’s bargain power in a household aff ect maternal mortality (Shiff man, 2000,.Beegle et al, 2000).More educated women are likely to take ac ons that benefi t their life, more likely to engage in healthful life when they are pregnant (Shiff man, 2000). Bargain power possessed by a wife aff ects prenatal and delivery decision (Beegle et al, 2000).

Besides that, family planning aff ects maternal death through total fer lity rate (TFR). Family planning – birth spacing and contracep ves use - declines TFR and high-risk births, and eventually reduces maternal mortality rate (Stover and Ross, 2009).According to WHO, access to antenatal, deliver at a health facility and provide trained health providers contribute to sustain decline of maternal mortality rate. A unique cause that might aff ect maternal mortality rate in Indonesia is a decentraliza on system, because it is related with health policies taken by the provincial government.

MATERNAL MORTALITY RATE BY PROVINCES

Data SourcesPeriods of data that I use in this proposal are 2007

and 2012, in-line with SDKI dataset. Survey is taken in every fi ve years. Moreover, the decentraliza on started in 2005, but there was a diff erent mes for local elec ons. Thus, in order to analyze diff erent pa ern caused by decentraliza on, it is be er to use the 2007 and 2012

datasets. Indonesia has not collected data of maternal mortality rate on provincial level. However, majority of local governments es mates the rate. It is es mated by using hospitals/health centers records. Na onal maternal mortality rate, however, is es mated by surveys. There are three poten al shortcomings of the dataset : (1) Not all local governments es mate maternal mortality rate; (2) Women from rural areas are unlikely to deliver in a health center. It might be unavailable record about them and thus the maternal mortality rate es ma on tends to be lower; and (3) Each local government has diff erent human capital developments. In this paper, I use maternal mortality rate es mated by provincial governments. Data available at Profi l Kesehatanon each province.

I use data for regional GDP per capita and female years of schooling published by BPS. Further, data of TFR, percentage of wife bargain power, number of current use of family planning, percentage received antenatal and postnatal care, percentage delivered at a health center, and percentage delivered provided by trained health providers are sourced from SDKI.

Current Condi ons In provincial level, there is a big varia on of maternal

mortality rate, as of 2012. A very high maternal mortality rate in West Java Province, which was 804, comparing to na onal’s rate 359. However, Province Jakarta had a very low maternal mortality rate, 97. The condi on in 2007 was similar, West Java Province was the highest maternal mortality rate, and Jakarta was the lowest.

Poten al Causes of Maternal Mortality In Indonesia, income inequality is moderately high

with Gini Coeffi cient of 0.41 as of 2012, according to BPS. As of 2012, the richest province is Jakarta with per capita income of IDR112,142,000(around USD11,214), and the poorest province is North Maluku with per capita income of IDR6,367,000 (around USD6,367). The data show a nega ve correla on between log regional GDP per capita and maternal mortality rate both in the period 2007 and 2012. A wealthier provincecan aff ord to provide be er health facili es than a rela vely poorer province. As such, skilled health providers are more available in Jakarta, than North Maluku.

EDISI 02 • TAHUN XX • SEPTEMBER 2014 | 35

pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Par sipasi masyarakat sekitarnya mempunyai peran yang besar dalam merehabilitasi hutan dan lahan selain itu good governance pengawasan pembangunan akan berjalan dengan baik. Sebagai mana disampaikan sebelumnya, strategi rehabilitasi hutan dan lahan meni kberatkan kepada kegiatan terkait dengan monitoring, evaluasi, dan audit pelaksanaanya. Beberapa program yang sudah dijalankan adalah perlindungan tanaman pertanian (conserva on agriculture), perputaran tanaman (crop rota ons), dan menjaga permukaan tanah yang stabil (permanent soil cover) pada kawasan pertanian.

Isu strategis peningkatan fungsi dan daya dukung DAS yang selama ini telah teriden fi kasi adalah : (a) meningkatnya jumlah DAS kri s dibuk kan dengan meningkatnya frekwensi kejadiaan tanah longsor, serta banjir; dan (b) belum dijadikannya DAS sebagai basis dalam penyusunan rencana tata ruang wilayah dan pengembangan wilayah. Untuk itu arah kebijakannya adalah peningkatan fungsi daya dukung DAS dengan indikator rencana pengelolaan DAS prioritas secara terpadu dan rehabilatasi hutan. Adapun sasaran yang akan dicapai yaitu :a. Rencana pengelolaan DAS terpadu pada 108 unit

DAS prioritas;b. Penanaman areal rehabilitasi hutan dan lahan

serta fasilitasi penanaman lahan kri s dengan arel tanaman seluas 2,5 juta Ha;

c. Tersedianya areal pengolahan hutan kemasyarakatan seluas 2 juta Ha;

d. Pembangunan penyedia bibit di ap regional.

Berdasarkan pelaksanaan kebijakan pembangunan bidang Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup (SDA-LH) yang selama ini telah berjalan, maka peningkatan konservasi dan rehabilitasi sumber daya hutan diprioritaskan pada (a) pemantapan kawasan hutan; (b) konservasi, keanekaragaman haya , dan perlindungan hutan; (c) peningkatan fungsi dan daya dukung DAS; (d) pengembangan peneli an dan iptek sektor kehutanan. Khusus untuk peningkatan fungsi dan daya dukung DAS terdapat beberapa kegiatan yang juga telah dijalankan yaitu : (i) penyelenggaraan rehabilitasi hutan dan lahan, dan reklamasi hutan di DAS prioritas; (ii) pengembangan perhutanan sosial; (iii) pengembangan perbenihan tanaman hutan; (iv) pembinaan penyelenggaraan

pengelolaan DAS. Meskipun demikian, untuk menyusun kebijakan ke depan perlu memper mbankan semakin langkanya air dan berkembang menjadi fungsi ekonomi serta adanya perubahan cuaca.

Sementara itu, upaya konservasi dan pemanfaatan lingkungan hidup diperlukan untuk mendukung pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan yang berkelanjutan, disertai penguasaan dan pengelolaan resiko bencana untuk mengan sipasi perubahan iklim. Arah kebijakannya melipu : (1) peningkatan kualitas informasi iklim, cuaca dan bencana alam, serta peningkatan adaptasi dan mi gasi terhadap perubahan iklim; (2) pengintegrasian mi gasi bencana dalam perencanaan pembangunan; (3) peningkatan kemampuan tanggap darurat; dan (4) percepatan pemulihan di wilayah pasca bencana. Sedangkan kegiatan prioritasnya terdiri dari : (1) penyelenggaraan rehabilitasi hutan dan lahan, dan reklamasi hutan di DAS prioritas; (2) pembinaan penyelenggaran pengelolaan DAS; (3) pengembangan perhutanan sosial; dan (4) pengendalian kebakaran hutan.

Kebijakan lintas bidang yang perlu dilakukan untuk mengan sipasi dampak dan mengendalikan laju perubahan iklim ke depan, yang melipu : (a) meningkatkan upaya mi gasi terutama di sektor kehutanan dan energi; (b) meningkatkan upaya adaptasi pada sektor pertanian dan perikanan terutama pengamanan produksi pangan; (c) meningkatkan pemahaman dan kapasitas terutama di daerah-daerah; dan (d) menyusun kelengkapan instrumen dan peraturan emisi gas rumah kaca.

Terkait dengan prioritas sumber daya alam dan lingkungan hidup maka arah kebijakannya adalah peningkatan ketahanan pangan dan revitalisasi pertanian, perikanan, dan kehutanan. Secara terinci hal ini melipu : (a) peningkatan produksi dan produk vitas pangan, pertanian, perikanan, dan kehutanan untuk mendukung peningkatan ketersediaan pangan dan bahan baku indutri; (b) peningkatan nilai tambah, daya saing, dan pemasaran produk pertanian, perikanan, dan kehutanan; (c) peningkatan kapasitas masyarakat pertanian, perikanan, dan kehutanan. Selanjutnya peningkatan konservasi dan rehabilitasi sumber daya hutan, maka arah kebijakan percepatan penyelesaian persoalan pembangunan hutan, terdiri dari : (i) peningkatan kualitas dan ketersediaan data

36 | EDISI 02 • TAHUN XX • SEPTEMBER 2014

Foto

: noe

rdbl

og.w

ordp

ress

.com

serta informasi potensi sumber daya hutan; (ii) percepatan beroperasinya Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) yang profesional; dan (iii) percepatan pengukuhan dan pemantapan kawasan hutan. Sedanngkan arah kebijakan peningkatan konservasi dan rehabilitasi sumber daya hutan, terdiri dari : (a). eningkatan konservasi keanekaragaman haya dan perlindungan hutan; (b). Peningkatan fungsi daya dukung DAS; dan (c). Pengembangan peneli an dan iptek sektor kehutanan.

Peningkatan kualitas air dan penataan ruang kawasan DAS

Dalam menyusun strategi peningkatan kualitas air, perlu per mbangkan kecukupan hak se ap individu atas air. Hal ini dak dapat diterjemahkan secara sempit, yang dipahami hanya sebatas pada kuan tas atau volume air. Selain itu air juga harus dipandang sebagai barang sosial (dan budaya), dak semata-mata sebagai barang ekonomi. Tingkat kualitas dan kecukupan air merupakan upaya yang harus dilakukan pemerintah untuk memenuhi hak atas air. Kondisi yang diharapkan adalah sebagai berikut : (a). Ketersediaan air (supply) untuk masyarakat harus mencukupi dan berkelanjutan dalam rangka pemenuhan kebutuhan individu dan rumah tangga; (b). Kualitas air untuk se ap orang atau rumah tangga harus aman, bebas dari micro-organism, unsur kimia dan radiologi, dak mengancam kesehatan manusia.

Selanjutnya air dan fasilitas air juga harus mudah diakses dan pelayanannya bagi se ap orang tanpa diskriminasi. Hal ini mencakup beberapa faktor, yaitu : (i). Mudah diakses

secara fi sik. Air dan fasilitas air dan pelayanannya harus dapat dijangkau secara fi sik bagi seluruh golongan yang ada di dalam suatu populasi; (ii). Terjangkau secara ekonomi. Air dan fasilitas air dan pelayanannya harus terjangkau untuk semuanya. Biaya yang mbul, baik secara langsung maupun dak langsung dan biaya lain yang berhubungan dengan air

harus terjangkau; (iii). Non-diskriminasi. Air dan fasilitas air dan pelayanannya harus dapat diakses oleh semua, termasuk kelompok rentan atau marjinal, dalam hukum maupun keadaan nyata lapangan tanpa diskriminasi.; (iv). Akses informasi. Akses atas air juga termasuk hak untuk mencari, menerima dan bagian dari informasi sehubungan dengan air.

Upaya untuk meningkatkan kualitas air seper disampaikan di atas, dapat dilakukan bila penyusunan perencanaan pembangunan bidang kehutanan untuk pengelolaan DAS disusun dengan secara konsekuen mengacu pada UU Penataan Ruang. Kebijakan UU Nomor 26 tahun 2007 tentang ”Penataan Ruang”, khususnya pasal 17 ayat 5, mengamanatkan bahwa kawasan lindung nasional harus dikembangkan (termasuk juga kawasan DAS) dengan cara : (a). Memelihara dan melestarikan kawasan lindung; dan (b). Mencegah dampak nega f kegiatan manusia yang dapat menimbulkan kerusakan kawasan lindung. Kedua pendekatan ini sangat pen ng dilakukan untuk memelihara dan melestarikan kawasan lindung nasional sehingga kualitas dan kuan tas air terjaga. Selanjutnya UU nomor 26 tahun 2007 pasal 17 ayat 5 juga mengamanatkan bahwa untuk memelihara dan melestarikan kawasan lindung diperlukan upaya-upaya menetapkan kawasan lindung nasional. Penetapan

EDISI 02 • TAHUN XX • SEPTEMBER 2014 | 65

CLASSIFICATION OF CAUSES OF DEATH IN INDONESIA

Life expectancy in Indonesia has been increasing for the last years. According to World Bank, life expectancy at birth for males has increased from 68 to 69 for year 2009-2012, and from 72 to 73 for female in the same period. In general, there are three groups of cause of deaths, namely group 1 : communicable diseases, group 2 : non communicable diseases, and groups 3 : injuries. Group 1 : Communicable Diseases

Children and infant mortality in Indonesia has a decreasing trend over me even though it is s ll considered high. According to Popula on Reference Bureau (PRB), as of 2013, infant mortality in Indonesia is 32 (per 1,000 live births). One leading cause of high infant mortality rate is mothers give birth in their houses, instead in health facili es (Ministry of Health, 2013). Further, for the last years, the country has reduced its rate of malnutri on, stun ng and underweight cases (Unicef, April 2013).There is a very high maternal mortality rate in Indonesia. According to Sta s cs Indonesia (abbreviate : BPS), as of 2012, maternal mortality rate is 359 (per 100,000 live births). This number has jumped hugely from 228, as of 2007. Causes of maternal mortality can be analyzed from supply and demand sides (Ministry of Health, 2011). HIV/AIDS is not a big threat in Indonesia, comparing to African countries. The global burden is dominated by countries in sub-Saharan Africa : the Democra c Republic of the Congo and Nigeria (WHO, 2012). As of 2012, according to the World Bank, 0.4% of people ages 15-49 are infected with HIV. However, tropical disease is a challenge in Indonesia. As of 2011, there are 388 deaths caused by malaria, according to World Health Organiza on (WHO). A very low access to medical treatments of infected malaria pa ents is considered the major cause.

Group 2 : Non Communicable Diseases Recall that the number of middle class in Indonesia has been increasing for the last years, because of a stronger economic growth. There has been changed in dietary behavior of

Indonesians middle class. Therefore, like other middle income countries (MICs), numbers of non-communicable diseases are increasing.According to the Ministry of Health, death caused by NCDs has increased over me. Moreover, in the next decades, according to the WHO predic on, cancers pa ents in Indonesia will be increased more than doubled. The implica ons of these changes in the demand for healthcare are important for decisions regarding health fi nancing and alloca on of resources (World Bank, 2008).

Group 3 : InjuriesAccording to the Ministry of Health, as of 2013, prevalence of injuries in Indonesia is 8.2%. The number has increased from 7.5%, as of 2007. Of all cases, motorcycles accident is the major cause of injuries. The number of motorcycles in Indonesia has been increasing for the last decades. Further, the number of injuries due to land transporta on accidents has been rising from 25.9% to 47.7% for period 2007-2013.

MATERNAL MORTALITY RATE IN INDONESIA

Although communicable diseases have been decreasing, maternalmortality rate is s ll one big health threats in Indonesia. According to WHO, maternal mortality rate is the death of a woman while pregnant or within 42 days of termina on of pregnancy, irrespec ve of the dura on and site of the pregnancy, from any cause related to or aggravated by the pregnancy or its management but not from accidental or incidental causes.

A er experienced a decreasing trend, maternal mortality rate increased enormously in the last fi ve years. According to the Indonesian Demographic and Health Survey (abbreviate : SDKI), maternal mortality rate has increased from 228 to 359 (per 100,000 live births), for period 2007-2012. Indonesia has the highest maternal mortality rate in the region South East Asia. The government has set a target of, in-line with Millennium Development Goals (MDGs), 102 maternal mortality rate by the year 2015.

64 | EDISI 02 • TAHUN XX • SEPTEMBER 2014

try to explore about maternal mortality rate in Indonesia.Specifi cally, I a empt to answer the ques on of what factors aff ect high maternal mortality rate.

The proposal is organized as follows. In the fi rst sec on, I discuss theore cal framework. In the second sec on, I describe ins tu onal framework. In the third sec on, I describe classifi ca on of causes of death in Indonesia. In the fourth sec on, I lay out maternal mortality rate in Indonesia and studies of factors for maternal mortality rate. In the fi h sec on, I discuss maternal mortality rate by provinces, including data sources and poten al causes of maternal death. In the sixth sec on, I describe a poten al methodology to evaluate maternal mortality rate. I conclude with highlights of key policy recommenda ons.

Theore cal FrameworkThree groups of causes of deaths are group 1 :

communicable diseases, group 2 : non-communicable diseases, and group 3 : injuries. First, by defi ni on, communicable diseases, also known as infec ous, spreads from a person to another person or from an animal to a person. Children mortality and maternal death are included in communicable diseases. Second, non-communicable diseases also known as chronic diseases, are not passed from person to person, such as diabetes, heart disease and cancers. Last, accidents or uninten onally injuries are included in group 3.

Life expectancy in industrialized countries is longer than developing countries. Numbers of evidence have shown that there is a posi ve rela onship between income and life expectancy. The Preston curve in 2000 (Cutler et al, 2006) displays a massive increase in life expectancy for developing countries – economies with GPD per capita lower than $10,000. For industrialized countries – life expectancy is already long, there is a moderate increase of life expectancy as the income grows. The causes of mortality between industrialized and developing countries are diff erent. In industrialized countries, since 1960, cardiovascular disease is a dominant cause for mortality. Medical treatment improvement has been upgraded, and it aff ects a decline cardiovascular mortality by over 50% (ibid). Besides that, industrialized countries have experienced a reduced infant mortality.

As the income goes up, low income countries are expected to experience epidemiological transi ons, during which infec ous diseases, which mostly kill children, give way to chronic diseases, such as cancers and heart diseases, which mostly kill elderly people (Deaton 2006).

Ins tu onal FrameworkIn the year 1998, a er 32 years of ruling, the new order

under President Soeharto stepped down. During Soeharto era, Indonesia was on a centralizedand authoritarian regime, in the sense that all policies were decided by central government. A er 1998, all next administra ons a empted to change centralized to become decentralized regime, in the hope that local governments know more about what is important for local development than central government.

Since 2005, Indonesia has been shi ed its poli cal system from a very centralized government to a decentralized local government. By defi ni on, decentraliza on is delega ng authori es from central government to local governments to operate governmental func ons under Republic of Indonesia’s system. Thus, the central government transfers budget to the province governments, and they have their power to set priori es. However, in many cases, the priori es are not in alignment with central government’s na onal level goals.

In order to implement decentraliza on system, elec ons are applied in all local government. Although decentraliza on system started in 2005, diff erent province has diff erent fi rst me for local elec ons - year 2005 was the fi rst ones and year 2010 was the latest. South Kalimantan, North Sulawesi, Central Kalimantan, and Bengkulu were provinces that implemented local elec on in the year 2005. Meanwhile, Province of Riau Islands was the last one executed the fi rst local government in year 2010.

It is appropriate to compare maternal mortality rate for period 2007 and 2012 to inves gate whether or not decentraliza on has impacts on higher maternal death in year 2012.

EDISI 02 • TAHUN XX • SEPTEMBER 2014 | 37

kawasan lindung dalam satu area ini paling sedikit 30% ( ga puluh persen) dari luas DAS.

Dalam menyusun perencanaan untuk mendapatkan kualitas air yang baik dak hanya mengacu pada UU Penataan Ruang tersebut di atas1, tetapi harus tersusun dalam suatu perencanaan pengelolaan DAS terpadu. Perencanaan terpadu diperlukan karena pemanfaatan DAS menyangkut beberapa pihak yang terkait (stakeholders), seper pengelola air, pengelola ruang, pengelola hutan, pengelola DAS kabupaten/ kota, pengelola penegakan hukum (law informent) dan seterusnya. Untuk itu diperlukan regulasi seper perda provinsi/ kebupaten/ kota yang mengatur pelaksanaan UU Penataan Ruang dan Pengelolaan DAS terpadu. Kerja sama dan koordinasi antara pemerintah dan masyarakat akan mendorong terciptanya sungai yang bersih, sehat, dan produk f yang pada akhirnya membawa manfaat yang berkesinambangun bagi seluruh masyarakat di daerah aliran sungai tersebut.

KESIMPULAN DAN REKOMENDASIBerdasarkan paparan yang disampaikan dalam

paper ini maka kesimpulan yang dapat diambil adalah :a. Daerah Aliran Sungai (DAS) perlu dipandang sebagai

satu kesatuan bio-region yang melipu beberapa daerah otonom yang secara ekologis dan ekonomis akan saling berkaitan.

b. Untuk memenuhi kebutuhan air, misalnya untuk irigasi pertanian, maka langkanya ketersediaan air dapat menyebabkan turunnya debit air sungai dan waduk. Hal ini dapat mengancam ketahanan pangan. Bahkan kebutuhan air untuk energi yang bersumber dari air (air terjun) juga akan terganggu.

c. Kebutuhan air (demand) akan semakin meningkat searah dengan peningkatan jumlah penduduk

1 Dalam undang-undang nomor 25 tahun 2004 tentang ”Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional”, disebutkan bahwa dokumen perencanaan seper RKP, Renja-KL disusun untuk dijadikan acuan bagi pengalokasian anggaran dalam RAPBN. Untuk itu perencanaan pembangunan dalam bidang kehutanan perlu mensyaratkan adanya analisis wilayah berdasarkan tata ruang. Dalam implementasinya juga harus taat pada peraturan perundang-undangan yang terkait dengan DAS seper Undang-Undang nomor 26 tahun 2007 tentang ”Penataan Ruang”, yang mana pada pasal 17 ayat 5 mengatakan bahwa dalam rangka pelestarian lingkungan, maka dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) proporsi luas kawasan hutan paling sedikit 30% dari luas DAS.

sebaliknya dari sisi ketersediaan (supply) maka kualitas dan kuan tas air cenderung menurun. Hal ini antara lain disebabkan kurangnya perlindungan daerah hulu (hutan) sebagai sumber air dan penghijauan pada kawasan lindung DAS di hilir.

d. Hutan perlu dijaga kelestariaannya karena hutan yang lestari terkait dengan konservasi sumber daya air. Selain itu hutan juga dapat menangkap air hujan sehingga dak terjadi bencana. Sebagai conoth, penebangan hutan menyebabkan hutan gundul sehingga ke ka hujan, akan terjadi erosi tanah dan dapat menimbulkan bencana tanah longsor.

e. Dalam rangka menyusun perencanaan pembangunan di bidang kehutanan maka strateginya diarahkan untuk konservasi sumber daya air di wilayah DAS. Pengelolaan DAS dilakukan secara terpadu dalam rangka konservasi sumber daya air yang efek f. Untuk itu diperlukan : (i) komitmen dari kepemimpinan (pemerintah) pusat dan daerah; (ii) konsistensi dalam kebijakan pusat dan daerah; (iii) keberpihakan pembangunan kepada rakyat; (iv) peran ak f seluruh pihak yang terkait (stakeholders) dalam pengelolaan DAS;

f. Dalam menyusun perencanaan DAS terpadu maka harus konsisten pada UU Penataan Ruang dan disusun rencana tata ruang kawasan DAS. Perencanaan ini mencakup bagaimana pengelolaan DAS yang terintegrasi dengan rencana tata ruang wilayah.

RekomendasiDalam menyusun kebijakan terkait dengan kehutanan

dan konservasi sumber daya air (yang diwujudkan dengan pengelolaan DAS terpadu) maka harus dilakukan secara konsisten berdasarkan pada prinsip perencanaan. Sebagaimana diketahui, perencanaan merupakan suatu proses untuk menentukan ndakan masa depan yang tepat, melalui urutan pilihan, dengan memperhitungkan sumber daya yang tersedia melalui sistem perencanaan yang juga tepat baik untuk jangka panjang, jangka menengah, dan tahunan. Perencanaan ini dilaksanakan oleh unsur penyelenggara negara dan masyarakat di ngkat Pusat dan Daerah.

Perencanaan tersebut harus sesuai dengan Undang-

38 | EDISI 02 • TAHUN XX • SEPTEMBER 201433333333888888888333333333338888838383883333333888888833333338838888833333333383883838333333338383883838383333338388838383333333333338838333333338333383333388338388333 EEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEDIDDDDDIDIDIDIDIDDDDDIDIDDIDDDDDIDIDIDIIDIIDDDIIIIDDIDD SSSSSSSISSSSSIIISSSSSSSSIIISSSSIIISSSSISIISIIISSSSSSIISISSSIIISSSSSSSIIISSSSSISSSSSSSSSSISSSSSSS 00000000000000000000000000000000000000000000000000022222222222222222222222222222222222222222222222222222222222 •••••••••••••••••••••••••••••••••••••• TATTATTTTATATATATATATTATATATATATAATTTAAAATTTTATAAAATATATTTAATATATAATAATTAAATTTAATTAAATTAATTTTAAATTTTTAATTTTAHHHUUUUHHHHUUUUUHUUUUHHHHUUUUUHHHHHHUUUUUHHHHHHHUUUUHHHHHHUUUUHHHHUHHHHHUUUUHHHHHHHUUUUHHHHUUUUUHHHHUUUUUHHHUUUNNNNNNNNNNNNNNNNNNNNNNNNNNNNNNNNN XXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXX •••••••••• SSSSSSSSSSSSSSSSSSEPEEEEPEPEPEPPEEEEPPPPPPEPEPPPEPEEEPPPPPPEEEPPPEEEEEEPPPPPPEPEPPPEEEPPPPPPPEEPPPPPPEPPPPPPPPPTTTTETETEETETTTETTTETTTETTEETTTETTETTTTEEETETTTTEEEETTTTEETTEEETTEEETTTEETTTTEETTTTTEET MMMMBMBMBMBMBMBBMBMBMBMBMBMMMMMMBMMBMBMBMMMMMBMBMBBMBMBBMMMMMBBBMBBBMBMMMBBMBBBMBMMBBBMMBBBBBBBBBMBBBBBMMBBMBBBBBBMMBBBBBEREEEREREREERRRRRRRRRRERERERERRERRRRRREEEEERRRRRRRRRREEEEEERRRRRREREEEEEEERRRRRREEEEEERERRRRRREEEERERRRRRRREEERRREERRRRERRRRRRRRRRREERRRR 222222222222222222222222222222222222222222222222222222222222222222222200000011110000010111111000000111101001001011000011011110001001110010001110010001111101000001111101100011011110014444444444444444444444444444444444444444444444444444

Foto

: war

isand

ayak

.blo

gspo

t.com

Undang No. 25 Tahun 2004 tentang “Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN)” yang ditujukan untuk : (a) mendukung koordinasi antarpelaku pembangunan; (b) menjamin terciptanya integrasi, sinkronisasi, dan sinergi baik antar Daerah, antarruang, antarwaktu, antarfungsi pemerintah maupun antara Pusat dan Daerah; (c) menjamin keterkaitan dan konsistensi antara perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, dan pengawasan; (d) mengop malkan par sipasi masyarakat; dan (e) menjamin tercapainya penggunaan sumber daya secara efi sien, efek f, berkeadilan, dan berkelanjutan.

Selanjutnya, perumusan perencanaan dan strategi nasional atas pembangunan bidang kehutanan dan sumber daya air dalam paper ini perlu dilengkapi dengan rencana aksi nasional yang didasarkan pada konsep pembangunan berbasis kerakyatan yang menempatkan manusia sebagi pelaku pembangunan. Pembangunan berbasis rakyat ini merupakan hak dasar manusia di alam demokrasi.

DAFTAR PUSTAKA

Pasaribu, H. S. 1999. “DAS sebagai Satuan Perencanaan Terpadu Dalam Kaitannya dengan Pengembangan Wilayah dan Pengembangan Sektoral Berbasiskan Konservasi Tanah dan Air.”, Bahan Seminar Sehari PERSAKI : DAS sebagai Satuan Perencanaan Terpadu dalam Pengelolaan Sumberdaya Air. 21 Desember 1999. Jakarta.

Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 5 tahun 2010 tentang “Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2010-2014”. Jakarta

Undang-Undang Dasar 1945. Jakarta.

Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang “Kehutanan”. Jakarta

Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang “Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional.” Jakarta

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang “Sumber daya Air”. Jakarta

Undang-Undang Republik Indonesia No. 26 Tahun 2007 tentang “Penataan Ruang.” Jakarta

38 | EDISI 02 • TAHUN XX • SEPTEMBER 2014 EDISI 02 • TAHUN XX • SEPTEMBER 2014 | 63

Poten al Causes of Maternal Mortality in Indonesia1

Anna Rahmawaty2

Abstract

As the income level of poor countries increase, the causes of death shi – lower infec ous diseases and higher chronic diseases, or it is also known as epidemiological transi on. Indonesia is no longer categorized a low income

country, with an increased trend of life expectancy. The number of infec ous diseases decreases, and chronic diseases, such as diabetes, heart disease and cancers, increase. Yet, interes ngly that maternal mortality rate in Indonesia is s ll high, in fact it has increased. A unique cause that might aff ect maternal mortality rate in Indonesia is a decentraliza on system, because it is related with health policies taken by the provincial government. To inves gate decentralized system impacts maternal mortality rate, I propose panel data fi xed eff ects technique, with family planning as the interest variable. There are three poten al techniques : me fi xed eff ect, province fi xed eff ect, and both me and province fi xed eff ect.

1 The research proposal is prepared for Popula on Economics Class (Econ 380/510)

2 The author is a Center for Development Economics (CDE) fellow, Williams College, Class Year 2014

BACKGROUND

Numbers of studies have shown that the causes of death are diff erent between developed and

developing countries. Among others, medical technologies and healthy lifestyle, as such smoking habit, are becoming important factors for longer life expectancy in developed countries. Infec ous diseases can be detected and treated. On the other hand, in low income countries, infec ous diseases and malnutri on are leading diseases. As the income level of poor countries increase, the causes of death also shi – lower infec ous diseases, or it is also known as epidemiological transi on.

Indonesia is no longer categorized a low income country. Indonesia is now included in a lower middle income countries group, with an increased life expectancy in the last years. Thus it is likely that the country is experiencing an epidemiological transi on. On one hand, children and infant mortality, and malaria infec ous have

been declined. Further, number of HIV/AIDS infec ous is not considered high, comparing to Sub-Saharan Africa. On the other hand, chronic diseases, such as diabetes, heart disease and cancers, are increasing. Yet, interes ngly that maternal mortality rate in Indonesia is s ll high, in fact it has increased. According to Indonesian Demographic and Health Survey (abbreviate : SDKI), as of 2012, maternal mortality rate is 359 (per 100,000 live births), or it has increased enormously from 228 as of 2007. It is likely that Indonesia doesn’t follow the pa ern of “epidemiological transi on.”

Poten al indirect factors of maternal mortality are income level, female educa on level, and wife bargain power within households. Direct factors of maternal mortality are supply side, including numbers of health facili es and trained medical providers, and demand side, including antenatal and postnatal care. In this proposal, I