Upload
lekhanh
View
233
Download
1
Embed Size (px)
Citation preview
POTENSI PROPOLIS MENGATASI PENURUNAN TITER
ANTIBODI AKIBAT PEMBERIAN CEKAMAN PANAS DAN
METILPREDNISOLON PADA PUYUH
(Coturnix coturnix Japonica)
RAYHAN DIKA ARFAN
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2018
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Potensi Propolis
Mengatasi Penurunan Titer Antibodi Akibat Pemberian Cekaman Panas dan
Metilprednisolon pada Puyuh (Coturnix Coturnix Japonica) adalah benar karya
saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa
pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip
dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2018
Rayhan Dika Arfan
NIM B04140073
* Pelimpahan hak cipta atas karya tulis dari penelitian kerja sama dengan pihak
luar IPB harus didasarkan pada perjanjian kerja sama yang terkait.
ABSTRAK
RAYHAN DIKA ARFAN. Potensi Propolis Mengatasi Penurunan Titer Antibodi
Akibat Pemberian Cekaman Panas dan Metilprednisolon pada Puyuh (Coturnix
Coturnix Japonica). Dibimbing oleh ELOK BUDI RETNANI dan KOEKOEH
SANTOSO.
Propolis mengandung beberapa senyawa seperti flavonoid, asam ester fenolat,
terpenoid, dan steroid yang berpotensi mempengaruhi respon kekebalan tubuh
sebagai imunostimulan. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari potensi propolis
mengatasi penurunan titer antibodi akibat pemberian cekaman panas dan pemberian
metilprednisolon pada puyuh. Penelitian ini menggunakan 64 ekor puyuh betina
pada dua cekaman, yaitu perlakuan cekaman panas (umur 7-8 minggu) dan
pemberian Metilprednisolon (umur 16-20 minggu). Semua puyuh tersebut dibagi
menjadi empat perlakuan, yaitu cekaman panas 35⁰C dengan antigen ND, cekaman
panas 35⁰C dengan antigen sel darah merah domba (SDMD) 1%, Pemberian
Metilprednisolon jangka pendek dengan antigen ND, dan Pemberian
Metilprednisolon jangka panjang dengan anitgen SDMD 1%. Masing-masing
perlakuan dibagi lagi berdasarkan kelompok dosis propolis yang terdiri dari 4 ekor
puyuh, yaitu kelompok yang hanya diberi cekaman (Cekaman panas/
Metilprednisolon) dan kelompok dengan propolis dosis bertingkat dimulai dari 1x
dosis, 2x dosis, dan 4x dosis. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa pemberian
propolis secara signifikan (P<0.05) meningkatkan pembentukan antibodi terhadap
antigen SDMD 1% pada perlakuan Metilprednisolon jangka panjang dengan
kelompok dosis propolis 2.32 mg/0,16 kgbb. Sedangkan pada ketiga perlakuan
lainya menunjukan peningkatan pembentukan antibodi secara tidak signifikan
(P>0.05). Berdasarkan penelitian ini, dapat disimpulkan pemberian propolis dapat
meningkatkan respon pembentukan antibodi pada puyuh yang mengalami stres
akibat cekaman.
Kata kunci: antibodi, cekaman panas, metilprdnisolon, propolis.
ABSTRACT
RAYHAN DIKA ARFAN. Potention of Propolis to Resolved Decreases Antibodies
Titer Due to Heat Stress and Methylprednisolone On Japanese Quail (Coturnix
Coturnix Japonica). Supervised by ELOK BUDI RETNANI and KOEKOEH
SANTOSO.
Propolis contains some compounds such as flavonoids, phenolic acid esters,
terpenoids, and steroids which potentially affect the immune response as
immunostimulants. This study aims to learn about potentiality of propolis to
overcome the decline of antibody titer due to provision of heat stress and
methylprednisolone in quail. This study used 64 female quails on two stressors,
treated with heat stress (aged 7-8 weeks) and treated with methylprednisolone
(aged 16-20 weeks). All these quail were divided into four treatments, heat stress
(35⁰C) with ND antigen, heat stress (35⁰C) with Sheep red blood cells (SRBC) 1%
antigen, Short-term Methylprednisolone with ND antigen, and Long-Term
Methylprednisolone with SRBC 1% antigen. Each treatment was subdivided based
on propolis dose groups consisting of 4 quails, which are: the group that were given
stress (heat stress/ methylprednisolone) and the group with propolis multilevel
doses starting from dose 1x, dose 2x, and dose 4x. Results of this research showed
that propolis significantly (P<0.05) increased antibody formation against SRBC
1% antigen on long-term Metilprednisolone treatment with propolis dose group
2.32 mg/0,16 kgbw. While in the other three treatments showed an increased
formation of antibodies were not significant (P>0.05). Based on this research
results, it can be concluded that propolis treatment can improve the response of
formation antibodies in the quail who run into stress due to stressors.
Keywords: antibody, heat stress, methylprednisolone, propolis.
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan
pada
Fakultas Kedokteran Hewan
POTENSI PROPOLIS MENGATASI PENURUNAN TITER
ANTIBODI AKIBAT PEMBERIAN CEKAMAN PANAS DAN
METILPREDNISOLON PADA PUYUH
(Coturnix coturnix Japonica)
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2018
RAYHAN DIKA ARFAN
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Februari 2018 ini ialah
Potensi Propolis Mengatasi Penurunan Titer Antibodi Akibat Pemberian Cekaman
Panas dan Metilprednisolon Puyuh (Coturnix Coturnix Japonica).
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr. Drh. Elok Budi Retnani, MS
dan Dr. Drh. Koekoeh Santoso selaku pembimbing atas segala bimbingan,
pengarahan, dukungan, nasihat, serta kesabarannya selama penelitian sampai akhir
penulisan skripsi ini. Seluruh staf Laboratorium Fisiologi Departemen Anatomi
Fisiologi dan Farmakologi, Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor
yang telah membantu selama pengumpulan data. Penulis mengungkapan terima
kasih sebesar-besarnya kepada keluarga tercinta, Bapak Tridadi dan Ibu Karniti,
beserta kakak Azhar Hasna Rany atas segala dukungan, doa, dan kasih sayang yang
diberikan. Teman-teman bimbingan penelitian Riky, Nanda, Jeni, Inda, Ratu, Risna,
Odi, dan Faldy atas dukungan, bantuan, dan kerjasamanya selama penelitian
berlangsung. Teman penyemangat selama masa perkuliahan Deanty Chairunnisa,
Egi, Yusa, Argo, Irwan, Meme, Riya, JSH Community dan seluruh angkatan FKH
51 yang bersedia membantu dan menemani perjalanan saat masa perkuliahan. Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat dan berguna bagi Penulis dan Pembaca, serta
untuk kemajuan di bidang kedokteran hewan..
Bogor, Agustus 2018
Rayhan Dika Arfan
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL ix
DAFTAR GAMBAR ix
PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Tujuan Penelitian 2
Manfaat Penelitian 2
TINJAUAN PUSTAKA 2
Puyuh dan Immunitas Unggas 2
Immunosupresi dan stres pada Unggas 3
Propolis 3
METODE 4
Waktu dan Lokasi Penelitian 4
Bahan dan Alat 4
Prosedur Penelitian 4
Analisis Data 7
HASIL DAN PEMBAHASAN 7
Respon Pembentukan Antibodi pada Pemberian Cekaman Panas 35⁰C 7
Respon Pembentukan Antibodi pada Pemberian Metilprednisolon 10
SIMPULAN DAN SARAN 12
Simpulan 12
Saran 12
DAFTAR PUSTAKA 12
RIWAYAT HIDUP 16
DAFTAR TABEL
1 Titer antibodi terhadap ND pada puyuh yang diberi cekaman panas
35⁰C dan propolis 8 2 Titer antibodi terhadap SDMD 1% pada puyuh yang diberi cekaman
panas 35⁰C dan propolis 8
3 Titer antibodi terhadap ND pada puyuh yang diberi metilprednisolon
jangka pendek dan propolis 10 4 Titer antibodi terhadap SDMD 1% pada puyuh yang diberi
metilprednisolon jangka panjang dan propolis 10
DAFTAR GAMBAR
1 Desain penelitian untuk pengambilan sampel 5
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Puyuh (Coturnix coturnix Japonica) merupakan salah satu jenis unggas yang
dimanfaatkan daging dan telur menjadi sumber protein hewani. Puyuh memiliki
kemampuan produktifitas yang tinggi, pemeliharaan yang singkat, dan investasi
rendah dalam pemeliharaannya (Wuryadi 2013). Puyuh mudah mengalami stres
akibat kemampuan produktifitasnya yang tinggi. Kondisi stres pada puyuh dapat
dipengaruhi oleh lingkungan seperti perubahan cuaca, pemindahan kandang dan
kepadatan populasi. Stres merupakan gangguan yang berdampak negatif pada
kesejahteraan hewan dan mempengaruhi respon biologis serta mengganggu
homestasis tubuh hewan. Tingginya suhu lingkungan adalah salah satu stres yang
dapat mengakibatkan penurunan imunitas pada unggas (Niu et al. 2009). Beberapa
organ limfoid pada unggas mengalami penurunan bobot akibat suhu lingkungan
yang tinggi, sehingga produksi limfosit mengalami penurunan mengakibatkan
jumlah antibodi yang dihasilkan oleh limfosit menjadi lebih rendah (Kusnadi 2009).
Selain itu, peningkatan kadar hormon stres yang muncul akibat stres seperti hormon
glukokortikoid pada unggas berpengaruh buruk pada kesehatan dan pertumbuhan
unggas (Nesheim et al. 2005), karena dapat menggangu fungsi kekebalan dan
jaringan limfoid (Virden & Kidd 2009). Metilprednisolon diketahui merupakan
kortikosteroid sintetik yang dapat menginduksi terjadinya stres oksidatif lewat
aktivitasnya yang berikatan dengan reseptor glukorikortikoid pada sel hewan
(Dharma et al. 2015)
Antibodi merupakan efek nyata dari respon kekebalan humoral yang
berinteraksi spesifik terhadap antigen. Antibodi akan meningkat dengan aktivitas
sel fagosit untuk menangkap dan memusnahkan antigen, mencegah perlekatan
antigen pada sel agar tidak terjadi infeksi (Baratawidjaja 2014). Gangguan pada
lemahnya sistem imun akibat imunosupresan berpengaruh terhadap penurunan
produktivitas dari unggas. Kondisi imunosupresan akibat efek pemberian cekaman
panas dan kortikosteroid sintetik pada unggas diduga dapat dipulihkan dengan
bahan tambahan pakan yang bersifat imunostimulan seperti propolis. Menurut
Custadio et al. (2003), aktivitas propolis dapat digunakan sebagai antimikroba,
antiviral, antiinflamasi, antitumor, hepatoprotektor dan imunostimulan. Propolis
berpotensi sebagai antioksidan sebab dapat menangkap radikal hidroksi dan
superoksida kemudian menetralkannya. Propolis melindungi sel dan
mempertahankan keutuhan struktur sel dan jaringan serta dapat melindungi
membran lipid terhadap reaksi radikal bebas yang merusak (Cottica et al. 2011).
Saat ini informasi terkait cara meningkatkan sistem imunitas unggas masih terbatas
terutama pada respon pembentukan antibodi. Oleh karena itu, penelitian ini sangat
penting dilakukan untuk mempelajari potensi propolis sebagai sediaan
imunostimulan terhadap cekaman yang diberikan pada puyuh.
2
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan menentukan potensi propolis untuk mengatasi
penurunan titer antibodi pada puyuh melalui:
1. Respon pembentukan antibodi terhadap ND pada pemberian cekaman panas
35⁰C dan Metilprednisolon, serta
2. Respon pembentukan antibodi terhadap SDMD pada pemberian cekaman panas
35⁰C dan metilprednisolon.
Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah memberikan informasi tentang potensi
propolis untuk mengatasi penurunan titer antibodi akibat pemberian cekaman pada
puyuh.
TINJAUAN PUSTAKA
Puyuh dan Immunitas Unggas
Secara ilmiah burung puyuh dikenal dengan nama Coturnix-coturnix
Japonica. C. Japonica ditemukan pada abad ke-delapan di jepang dengan sebutan
burung jepang liar (Wuryadi 2013). Puyuh (Coturnix coturnix Japonica)
merupakan salah satu jenis unggas dengan ukuran tubuh yang relatif kecil. Vali
(2008) burung puyuh betina dan jantan dapat dibedakan dengan melihat warna bulu
yang dimilikinya. Puyuh betina dewasa memiliki bulu dengan warna yang pucat
dengan bitnik-bintik gelap, sedangkan puyuh jantan dewasa memiliki warna bulu
yang gelap dan seragam pada bagian dada serta pipi. Puyuh sama seperti unggas
lainnya yang dapat terserang penyakit infeksius dan penyakit non infeksius.
Penyakit non infeksius adalah penyakit bukan dari agen infeksi misalnya akibat
defisiensi nutrisi, defisiensi vitamin, defisiensi mineral dan keracunan pakan
(Triakoso 2009). Penyakit infeksius disebabkan oleh agen infeksius antara lain
koryza (Snot), tetelo (Newcastle Disease), berak putih (Pullorum), Avian Influenza
(AI), dan Quail bronchitis (Abidin dan Mulyono 2005).
Organ limfoid dapat dibedakan menjadi limfoid primer dan sekunder (Liu
et al. 2009). Unggas dewasa memiliki dua organ limfoid primer, yaitu timus dan
bursa fabricius. Bursa fabricius merupakan tempat diferensiasi dan pematangan sel
limfosit B (Letran et al. 2011). Sistem kekebalan unggas dibagi menjadi sistem
kekebalan non-spesifik dan kekebalan spesifik. Sistem kekebalan non-spesifik,
yaitu barrier fisik dan kimia (bulu, kulit, mukosa); sel fagosit (makrofag, NK,
neutrofil, heterofil ); protein komplemen dan mediator peradangan dan sitokin dapat
menimbulkan respon kekebalan yang bersifat cepat dan paling awal dalam
pertahanan terhadap infeksi mikroorganisme (Ferdous et al. 2008). Menurut
Mazengia et al. (2009), sistem kekebalan spesifik merespon antigen secara spesifik
melalui reaksi antigen dan antibodi, membentuk sel T dan sel B memori terhadap
antigen pemaparnya. Limfosit B tetap dalam keadaan tidak aktif di dalam jaringan
limfoid. Antigen masuk ke dalam tubuh akan mengaktifkan makrofag yang terdapat
dalam jaringan limfoid untuk melakukan fagositosis dan membawanya ke limfosit
3
B didekatnya. Antigen tersebut juga mengaktifkan sel T-helper pada saat yang
bersamaan. Sel limfosit B yang sudah terpapar antigen dalam organ limfoid
sekunder akan berdiferensiasi dan berproliferasi menjadi sel plasma penghasil
immunoglobulin (antibodi) sebagai sistem kekebalan humoral (Wibawan dan
Soejoedono 2003).
Immunosupresi dan stres pada Unggas
Imunosupresi adalah suatu kondisi melemahnya sistem pertahanan tubuh
yang ditandai dengan penurunan respon pembentukan antibodi akibat kerusakan
organ limfoid. Imunosupresi dapat disebabkan oleh kelainan respon imun bawaan,
infeksi virus, malnutrisi, penggunaan obat-obatan kortikosteroid yang bersifat
sitotoksik, dan penyakit tumor (Radji 2010). Penurunan jumlah antibodi dalam
tubuh menyebabkan agen penyakit akan lebih mudah masuk dan menginfeksi tubuh
sehingga terjadi gangguan pertumbuhan dan produksi. Tanda-tanda terjadinya
kasus imunosupresi adalah penurunan performa produksi, penurunan bobot tubuh,
tingginya konversi pakan, banyaknya ayam kerdil, dan kematian yang tinggi dalam
flock peternakan (Tetty 2002).
Paparan stressor dapat mengaktivasi hypothalamicpituitary-adrenal
system/ HPA axis, sehingga merangsang hipotalamus untuk mensekresikan
corticotrophin releasing hormone (CRH). CRH akan memberi sinyal kepada
kelenjar hipofise untuk memproduksi adreno-corticotropic hormone (ACTH), yang
kemudian merangsang korteks adrenal untuk menseksresikan hormon
kortikosteroid. Kortisol adalah kortikosteroid yang paling utama pada mamalia,
sedangkan kortikosteron adalah kortikosteroid utama pada bangsa aves (Virden &
Kidd 2009). Menurut Mashaly et al. (2004), cekaman panas dapat menganggu
pembentukan sel-sel imun, hal ini disebabkan karena meningkatnya pembentukan
hormon-hormon stres. Peningkatan hormon dalam tubuh adalah kortikosteron dan
kortisol, sedangkan penurunan hormon adalah adrenalin dan tiroksin dalam darah
(Sohail et al. 2010). Kortisol dan kortikosteron merupakan adrenal cortical
hormone major yang tergolong glucocorticoids yang berfungsi dalam proses
glycolysis, gluconeogenesis, dan lipolysis. Kortikosteroid sintetik yang digunakan
sebagai obat antiinflamasi dapat mengakibatkan terjadinaya penurunan sistem
immunitas tubuh. Metilprednisolon adalah kortikosteroid sintetik yang dapat
digunakan untuk menginduksi terjadinya stres. Aktivitas dari metilprednisolon
akan menyebabkan kematian sel akibat ikatannya dengan resptor glukokortikoid
pada sel hewan (Dharma et al. 2015).
Propolis
Propolis merupakan suatu zat yang dihasilkan lebah madu. Propolis adalah
sejenis resin yang karena teksturnya lengket seperti lem disebut sebagai lem lebah
(bee glue) (Hasan 2010). Resin dikumpulkan dari kuncup, kulit atau bagian lain
dari tumbuhan, kemudian resin dicampur dengan saliva dan enzim pada lebah
sehingga menjadi resin baru yang berbeda dengan resin asalnya (Pereira et al. 2002).
Sifat aktivitas biologis dari propolis berhubungan dengan asal tumbuhan (Salatino
et al. 2005). Propolis merupakan produk hasil hewan tetapi memiliki komponen
penyusun yang sebagian besar merupakan turunan dari tumbuhan. Kumazawa et al.
4
(2004) mengemukakan bahwa flavonoid pada propolis dipastikan memiliki asal
usul sebagaimana flavonoid pada tumbuhan. Senyawa kimia lain yang terdapat
pada propolis diantaranya, asam ester fenolat, terpenoid, dan steroid. Propolis
mengandung karbohidrat, asam amino, mineral dan vitamin. Mineral yang
terkandung dalam propolis adalah Ca, Mg, Na, Fe, Mn, Cu, dan Zn (Bankova et al.
2000). Vitamin yang terkandung dalam propolis adalah B1, B2, B6, A, C, E, asam
nikotinik dan asam pantotenik.
Resin mengandung flavonoid, fenol, dan berbagai asam. Flavonoid yang
terkandung dalam propolis selain bersifat sebagai antioksidan yang dapat mencegah
infeksi, juga bersifat menumbuhkan jaringan. Flavonoid juga memberikan efek
antibiotik alami yang kuat. Hal inilah yang dapat menyembuhkan atau mengurangi
rasa sakit, menghentikan peradangan, menetralkan racun, dan memperkuat sistem
kekebalan tubuh. Caffeic acid phenethyl ester (CAPE) adalah komponen biologis
aktif dari propolis yang memegang peranan penting dalam pertahanan tubuh
(imunostimulan) dan memililiki kesamaan struktur dengan flavonoid (Siregar et al.
2011). Kandungan asam amino yang terbanyak yaitu arginin dan prolin (45.8%).
Zat besi dan kalsium merupakan mineral terbanyak yang terkandung dalam propolis,
berfungsi sebagai pembentuk kekebalan tubuh (Wade 2005). Propolis juga
mengandung beberapa komponen organik, seperti keton, lakton, quinon, steroid,
asam benzoat, ester, vitamin (A, B1, B2, B6, D, dan E), serta gula (Siregar et al.
2011)
METODE
Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari 2018 sampai April 2018.
Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Fisiologi Departemen Anatomi, Fisiologi
dan Farmakologi Fakultas Kedoteran Hewan Institut Pertanian Bogor.
Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan dalam melaksanakan penelitian adalah Sel Darah
Merah Domba (SDMD) 1%, sel darah merah puyuh (SDM) 1%, PBS, antigen ND
aktif LaSota (Medivac®, MEDION), sampel plasma darah, akuades, dan alkohol.
Alat yang digunakan untuk pengambilan dan pengujian sampel darah puyuh
adalah tabung EDTA, spoit 1 ml, spoit 5 ml, kapas beralkohol, kapas kering, pipet
tetes, tabung mikro, sentrifus, spidol, microplate 96-well dengan dasar berbentuk
V, micropipette multichannel 2550µl, micropipette singlechannel 25200 µl dan
inkubator.
Prosedur Penelitian
Rancangan Penelitian
Sampel yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari puyuh (Coturnix
coturnix Japonica) betina sebanyak 64 ekor. Penelitian ini menggunakan dua bentuk
cekaman, yaitu cekaman panas (umur 7-8 minggu) dan metilprednisolon (umur16-
20 minggu). Perlakuan dalam penelitian ini dibagi menjadi empat, yaitu cekaman
5
panas 35⁰C dengan injeksi antigen sel darah merah domba (SDMD) 1%, cekaman
panas 35⁰C dengan vaksin ND aktif LaSota, metilprednisolon jangka panjang
dengan injeksi antigen SDMD 1% dan metilprednisolon jangka pendek dengan
vaksin ND aktif LaSota. Empat perlakuan ini dibagi lagi menjadi empat kelompok
dosis masing-masing terdiri dari 4 ekor.
Pembagian kelompok untuk cekaman panas 35⁰C dengan injeksi suspensi
SDMD 1% adalah sebagai berikut :
CD0 : Cekaman Panas (35 oC)
CD1 : Cekaman Panas (35 oC) + Propolis 0.58 mg/0.16 kgbb
CD2 : Cekaman Panas (35 oC) + Propolis 1.16 mg/0.16 kgbb
CD3 : Cekaman Panas (35 oC) + Propolis 2.32 mg/0.16 kgbb.
Pembagian kelompok untuk cekaman panas 35⁰C dengan vaksin ND aktif
LaSota adalah sebagai berikut :
CN0 : Cekaman Panas (35 oC)
CN1 : Cekaman Panas (35 oC) + Propolis Dosis 0.58 mg/0.16 kgbb
CN2 : Cekaman Panas (35 oC) + Propolis Dosis 1.16 mg/0.16 kgbb
CN3 : Cekaman Panas (35 oC) + Propolis Dosis 2.32 mg/0.16 kgbb
Pembagian kelompok untuk metilprednisolon jangka panjang dengan injeksi
suspensi SDMD 1% adalah sebagai berikut :
MP0 : Metilprednisolon 0.70 ml/0.16 kgbb
MP1 : Metilprednisolon 0.67 ml/0.16 kgbb + Propolis 0.58 mg/0.16 kgbb
MP2 : Metilprednisolon 0.67 ml/0.16 kgbb + Propolis 1.16 mg/0.16 kgbb
MP3 : Metilprednisolon 0.67 ml/0.16 kgbb + Propolis 2.32 mg/0.16 kgbb
Pembagian kelompok untuk metilprednisolon jangka pendek dengan vaksin
ND aktif LaSota adalah sebagai berikut :
MS0 : Metilprednisolon 0.70 ml/0.16 kgbb
MS1 : Metilprednisolon 0.67 ml/0.16 kgbb + Propolis Dosis 0.58 mg/0.16 kgbb
MS2 : Metilprednisolon 0.67 ml/0.16 kgbb + Propolis Dosis 1.16 mg/0.16 kgbb
MS3 : Metilprednisolon 0.67 ml/0.16 kgbb + Propolis Dosis 2.32 mg/0.16 kgbb
Burung puyuh diberikan perlakuan cekaman panas 35⁰C dan
metilprednisolon selama 4 hari, kecuali pada perlakuan metilprednisolon jangka
panjang tetap diberikan sampai hari terakhir pengamatan. Setelah 4 hari, burung
puyuh kemudian diberi propolis yang dilakuakn secara per oral. Pengambilan
sampel darah diambil pada hari ke-12 terhitung dari dilakukannya vaksinasi dengan
pemberian antigen (SDMD1% dan ND aktif LaSota). Selanjutnya sampel darah
akan diambil plasmanya.
Gambar 1 Desain penelitian untuk pengambilan sampel
H : Pengambilan darah
V : Vaksinasi SDMD 1% dan ND
: Pemberian cekaman panas 35⁰C dan metilprednisolon jangka pendek
: Pemberian metilprednisolon jangka panjang
: Pemberian propolis
H V 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
6
Penyiapan Antigen
Sel darah merah domba 1% (SDMD 1%) digunakan sebagai antigen untuk
menggertak sistem imun burung puyuh melalui injeksi intraperitoneal dan
digunakan dalam pengujian titer antibodi. Suspensi sel darah merah domba 1%
dibuat dari darah domba segar. Darah domba segar disentrifugasi dengan kecepatan
3000rpm selama 10 menit hingga terpisah antara plasma dan endapan sel darah
merahnya. Cairan plasma dibuang dengan menggunakan pipet. Sel-sel darah merah
yang tertinggal dicampur dengan NaCl 0.9% sebanyak 1:1, kemudian disentrifugasi
lagi hingga mengendap. Langkah pencucian tersebut diulang sebanyak dua kali.
Setelah pencucian kedua, endapan sel darah merah dicampur dengan NaCl 0.9%
sebanyak 1:1 (50%). Selanjutnya, suspensi tersebut dapat diencerkan dengan NaCl
0.9% untuk mendapatkan SDMD 1%.
Antigen lain dalam penelitian ini yang digunakan untuk menggertak sistem
imun burung puyuh adalah antigen ND aktif LaSota (Medivac®, MEDION) yang
diberikan melalui rute intranasal pada usia 1 hari Day Old Quail (DOQ) dan dilakukan
imunisasi ulang pada usia 6 minggu dan 16 minggu melalui intramuscular dengan dosis
mengikuti intruksi yang tertera, yaitu 0,2 ml per ekor. Selain itu, antigen ND ini
digunakan juga dalam pengujian titer antibodi dengan standar titer yang dipakai
sebasar 4 HAU (OIE 2012).
Pembuatan Plasma Darah
Proses pembuatan plasma yaitu sampel darah dimasukkan ke dalam tabung
dengan antikoagulan. Kemudian darah disentrifus selama 15 menit dengan
kecepatan 3.000 rpm. Supernatan dikoleksi sebagai plasma dan disimpan di dalam
microtube pada suhu -20 oC.
Pengujian Titer Antibodi
Titer antibodi pada sampel plasma puyuh yang diinduksi dengan vaksin ND
aktif LaSota ditentukan menggunakan prosedur Haemagglutination Inhibition
Assay sesuai petunjuk OIE (2012). Pengujian dimulai dengan 25 µl PBS dipipet dan
dimasukkan ke dalam sumur kolom 1 sampai 12. Kemudian setiap 25 µl sampel
serum/plasma dipipet dan dimasukkan ke dalam kolom 1. Pada sumur kolom 1
dengan menggunakan pipet multichannel di homogenkan ± 5 kali lalu diambil
sebanyak 25 µl dan dimasukkan ke dalam sumur kolom 2. Dengan tips yang sama
pada kolom 2 di homogenkan ± 5 kali lalu diambil sebanyak 25 µl untuk
dimasukkan ke kolom 3. Prosedur kemudian diulang hingga kolom 10 kemudian
tips dengan 25 µl cairan dilepaskan dari pipet. Sebanyak 25 µl antigen standar (4
HAU) ditambahkan ke dalam setiap sumur kecuali pada sumur 10 dan 12. Sumur
kolom 12 ditambahkan 25 µl PBS. Kemudian microplate mikro diinkubasi selama
30 menit pada suhu ruang. Setelah diinkubasi, 25 µl sel darah merah (SDM) 1%
dipipet ke dalam seluruh sumur. Plate diinkubasi selama 30 menit pada suhu ruang
atau 60 menit pada suhu 4oC. Sumur-sumur pada kolom 11 adalah kontrol negatif,
hasil yang diharapkan adalah aglutinasi. Sedangkan sumur-sumur pada kolom 10
adalah kontrol positif, hasil yang diharapkan adalah pengendapan. Setelah
diinkubasi, hasil siap dibaca apabila SDM pada baris kontrol positif (kolom 10)
telah mengendap sempurna. Serum/plasma uji dinyatakan positif antibodi apabila
pada sumur uji terjadi pengendapan SDM yang artinya terjadi hambatan aglutinasi
7
sel darah merah. Nilai titer antibodi berdasarkan pengenceran terakhir yang masih
menunjukkan hambatan aglutinasi sel darah merah (OIE 2012).
Titer antibodi pada sampel plasma puyuh yang diinduksi dengan SDMD 1%
ditentukan oleh aglutinasi dengan mengacu pada prosedur Leshchinsky dan Klasing
(2001) serta Bovenhuis et al. 2002). Serum/plasma diencerkan secara bertingkat
yaitu dari pengenceran yang pertama dipipet 50 µl dan diencerkan dengan PBS 50
µl menjadi pengenceran 2× (1/2), dari pengenceran yang kedua dipipet 50 µl dan
diencerkan dengan PBS 50 µl menjadi pengenceran 4× (1/4). Pengenceran
dilanjutkan dengan cara yang sama menjadi 8× (1/8), 16× (1/16), 32× (1/32), 64×
(1/64), 128× (1/128), 256× 1/256), dan 512× (1/512). Selanjutnya ke dalam tiap
sumur ditambahkan 50 µl suspensi SDMD 1% lalu diaduk rata (digoyang-goyang)
selama 5 menit, kemudian diinkubasi pada suhu 37°C selama 60 menit dan
didiamkan semalam pada suhu kamar. Titer antibodi diukur terhadap SDMD
dinyatakan sebagai log2 kebalikan dari plasma pengenceran tertinggi yang
memberikan aglutinasi lengkap (Bovenhuis et al. 2002).
Analisis Data
Data titer antibodi yang diperoleh dari pengujian dianalisis menggunakan
metode one way, analysis of variant (ANOVA) dan dilanjutkan dengan uji Tukey
untuk melihat adanya perbedaan nyata (P<0.5).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Respon Pembentukan Antibodi pada Pemberian Cekaman Panas 35⁰C
Keadaan suhu lingkungan yang cukup tinggi dalam pemeliharaan unggas
akan menybabkan terjadinya cekaman panas yang berdampak pada penurunan
produksi dan imunitas ternak. Hewan-hewan ukuran kecil mudah terpengaruh
dengan suhu lingkungan yang tinggi, alasan dari fakta ini adalah bahwa ukuran
permukaan tubuh memainkan peran penting dalam kehilangan suhu melalui cara
radiasi dan konveksi (Ozbey dan Ozcelik 2004). Menurut Mashaly et al. (2004),
cekaman panas (heat stress) yang terjadi menyebabkan gangguan terhadap
pertumbuhan pada unggas karena pengeluaran panas tubuh memerlukan pengaturan
yang membutuhkan sebagian besar energi tubuh. Cekaman panas juga berperan
dalam terganggunya sel-sel imun, bobot relatif thymus dan limpa relatif lebih
rendah, berkurangnya respon antibodi, serta mengurangi kemampuan fagositik
makrofag (Niu et al. 2009). Hal ini disebabkan oleh adanya peningkatan hormon-
hormon stres yaitu glukokortikoid. Menurut Virden dan Kidd (2009) cekaman
panas yang menyebabkan stres pada unggas akan mengaktifkan sistem neurogenik
(fase alarm). Gagalnya upaya unggas pada fase alarm akan mengaktifkan
hypothalamicpituitary-adrenal system (HPA) dan sympathetic–adrenal medullar
(SAM) yang merupakan jalur utama di mana respon imun dapat diubah (Lara dan
Rorstagno 2013). Akibat aktifitas HPA akan dihasilkan corticotrophin releasing
factor oleh hipotalamus yang merangsang pituitari untuk melepaskan adreno-
corticotropic hormone (ACTH), sehingga sel-sel jaringan korteks adrenal
8
berproliferasi mengeluarkan kortikosteroid. Kelebihan jumlah kortikosteroid dalam
tubuh unggas dapat mengganggu fungsi kekebalan tubuh dan jaringan limfoid
(Virden dan Kidd 2009).
Ratan titer antibodi dalam plasma terhadap vaksin ND aktif dengan
pemberian cekaman panas 35⁰C disajikan pada Tabel 1, sedangkan rataan titer
antibodi dalam plasma terhadap sel darah domba (SDMD) 1% dengan pemberian
cekaman panas 35⁰C disajikan pada Tabel 2.
Table 1 Titer antibodi terhadap ND pada puyuh yang diberi cekaman panas 35⁰C
dan propolis
Kelompoka Perlakuan GMT
(Log2)±SEb
Titer Antibodi per
Individu (Log2)
1 2 3 4
CN0 Cekaman Panas (35⁰C ) 1.25 ± 0.50a 2 1 1 1
CN1 Propolis Dosis 0.58 mg/0.16 kgbb 1.5 ± 0.58a 1 2 1 2
CN2 Propolis Dosis 1.16 mg/0.16 kgbb 1.75 ± 0.96a 1 2 1 3
CN3 Propolis Dosis 2.32 mg/0.16 kgbb 2.25 ± 0.96a 1 2 3 3
Keterangan: a Jumlah sampel plasma dari tiap kelompok dosis berbeda adalah 4 ekor b Rataan titer antibodi ditampilkan sebagai geometric mean titer (GMT) dalam log2
± standard error p Superscript yang sama pada kolom GMT±SE tidak menunjukkan perbedaan yang
nyata (p>0.05) antar kelompok pada tingkat kepercayaan 95%
Table 2 Titer antibodi terhadap SDMD 1% pada puyuh yang diberi cekaman panas
35⁰C dan propolis
Kelompok Perlakuan GMT
(Log2)±SE
Titer Antibodi per
Individu (Log2)
1 2 3 4
CD0 Cekaman Panas (35⁰C ) 2.75 ± 0.50a 3 2 3 3
CD1 Propolis Dosis 0.58 mg/0.16 kgbb 3.5 ± 1.29a 3 2 5 4
CD2 Propolis Dosis 1.16 mg/0.16 kgbb 3.5 ± 1.00a 4 2 4 4
CD3 Propolis Dosis 2.32 mg/0.16 kgbb 4.5 ± 0.58a 5 4 4 5
Keterangan: p Superscript yang sama pada kolom GMT±SE tidak menunjukkan perbedaan yang
nyata (p>0.05) antar kelompok pada tingkat kepercayaan 95%
Hasil uji hemaglutinasi inhibisi menunjukan titer antibodi ND pada puyuh
yang diberi cekaman panas 35⁰C (Tabel 1) di tiap kelompok dosis memiliki titer
antibodi yang rendah. Titer antibodi dianggap protektif terhadap antigen ND
spesifik apabila menunjukan nilai 26 hemaglutination inhibition unit (HIU) atau
lebih (OIE 2012). Titer antibodi ND tertinggi pada klompok CN3 sebesar 22.25 ± 0.96
HIU dengan dosis propolis 2.32 mg/0,16 kgbb, sedangkan titer antibodi terendah
pada kelompok CN0 sebesar 21.25 ± 0.50 HIU dengan tanpa pemberian propolis.
Penelitian perlakuan cekaman panas pada Tabel 1 menggunakan cekaman panas
35⁰C yang diberikan selama 4 hari dengan usia puyuh 7-8 minggu mengakibatkan
tidak munculnya respon adaptif. Gunawan dan Sihombing (2004) menjelaskankan
bahwa unggas akan kesulitan melakukan adaptasi terhadap perubahan suhu
lingkungan terutama unggas yang telah berusia diatas tiga minggu. Rataan titer
antibodi yang rendah pada tabel 1 tetap memperlihatkan peningkatan sesuai dengan
penambahan dosis propolis yang diberikan namun tidak berbeda nyata (P>0,05).
Zulkifi et al. (2000) dalam penelitiannya menyatakan bahwa suhu lingkungan yang
tinggi dapat menyebabkan penurunan produksi antibodi pada ayam muda.
9
Tabel 2 menunjukan pengaruh utama pemberian propolis dan cekaman panas
pada pembentukan antibodi terhadap SDMD 1%. Puyuh yang diberikan dosis
propolis 2.32 mg/0.16 kgbb memiliki rataan titer antibodi SDMD 1% tirtinggi
sebesar 4.5 ± 0.58 log2, sedangkan puyuh tanpa pemberian propolis memiliki rataan
titer terendah sebesar 2.75 ± 0.50 log2. Mashaly et al. (2004) dalam penelitiannya
menybutkan bahwa ayam petelur yang mengalami cekaman panas menghasilkan
antibodi SDMD sebesar 3.08 log2 setelah 1 minggu injeksi SDMD. Penelitian lain
pada ayam pedaging dengan perlakuan cekaman panas menunjukan hasil titer
antibodi SDMD sebesar 4.78 log2 setelah 1 minggu injeksi SDMD 7% melalui rute
intravena (Niu et al. 2009). Data hasil pemeriksaan menunjukan adanya
peningkatan pada penambahan dosis propolis namun tidak berbeda nyata dengan
P>0.05 yang artinya perbedaan dosis yang digunakan tidak menunjukan hasil
spesifik pemberian propolis. Bartlett dan Smith (2003) mengamati bahwa ayam
pedaging yang terkena tekanan panas memiliki tingkat antibodi sirkulasi yang lebih
rendah, serta menurunkan kadar IgM dan IgG spesifik, baik selama respon humoral
primer dan sekunder.
Kondisi lingkungan yang penuh tekanan pada unggas mengakibatkan
terbentuknya radikal bebas / Reactive Oxygen Species (ROS) di saat tubuh berusaha
mempertahankan homeostasis thermal (Lara dan Rorstagno 2013). Sebagai
akibatnya, tubuh memasuki tahap stres oksidatif dan mencoba untuk melindungi
diri dari efek seluler radikal bebas yang merusak dengan diaktifkannya
Hipothalamicpituitary-Adrenal System /HPA axis (Virden dan Kidd 2009).
Menurut Sohail et al. (2010), tindakan pencegahan cekaman panas ini secara tidak
langsung menurunkan hormon adrenalin dan tiroksin, dan meningkatkan hormon
kortikosteron dan kortisol dalam darah. Produksi glukokostikoid yang berlebihan
dapat menyebabkan gangguan pembentukan berbagai sitokin yang diperlukan
untuk respon imunitas. Cekaman panas dapat mengganggu pembentukan T-helper
2 cytokines, yang sangat penting untuk pembentukan antibodi (Wang et al. 2001).
Penelitian ini menunjukan bahwa kelompok CN0 dan CD0 dengan tanpa
pemberian propoilis menghasilkan nilai titer paling rendah. Berbeda dengan
kelompok CN3 dan CD3 dengan adanya pemberian propolis menunjukan nilai titer
yang lebih tinggi. Hal ini dapat dikatakan dengan adanya penambahan propolis
mampu meningkatkan proses pembentukan antibodi terhadap ND dan SDMD 1%,
meskipun tidak berbeda nyata (P>0.05). Beberapa studi mengenai aktivitas propolis
pada imunitas humoral ayam diketahui bahwa suplementasi diet dengan propolis
dapat menginduksi titer antibodi yang lebih tinggi terhadap avian influenza,
Newcastle disease (ND), and vaksin infecctious bursal disease (IBD) (Taheri et al.
2005). Sifat antioksidan, sitostik, anti-mutagenik, dan imunomodulator propolis
didasarkan atas kandungan isinya yang kaya akan flavonoid, phenolic acid dan
terpenoid (Seven et al. 2008). Penelitian yang dilakukan Utami (2017), menemukan
bahwa kandungan flavonoid, Zn, vitamin C dan E dalam propolis sebagai
antioksidan dalam melumpuhkan radikal bebas dapat menghambat aktivitas HPA
axis akibat stres oksidatif. Antioksidan berperan dalam melindungi bursa fabricius
sebagai organ limfoid dari pengaruh hormon adrenal korteks berupa glukokortikoid
dan kortikosteron selama ayam broiler dalam kondisi cekaman (Bikrisima et al.
2013).
10
Respon Pembentukan Antibodi pada Pemberian Metilprednisolon
Metilpredinsolon termasuk ke dalam kelompok adrenokortikosteroid
sintetik yang memiliki struktur mirip dengan hormon alami yang dihasilkan oleh
kelenjar adrenal. Obat golongan kortikosteroid seperti metilprednisolon ini dapat
mengakibatkan terjadinya immunosupresi. Kortikosteroid akan menekan sistem
kekebalan tubuh sehingga akan membuat puyuh lebih mudah terpapar agen
penyakit. Upaya pencegahan yang dapat dilakukan terhadap infeksi penyakit pada
puyuh adalah dengan melakukan vaksinasi. Vaksinasi merupakan tindakan
memasukkan antigen berupa virus atau agen penyakit yang telah dilemahkan ke
dalam tubuh yang sehat dengan tujuan merangsang pembentukan kekebalan
(Wibawan dan Soejoedono 2003). Kekebalan tubuh unggas dipengaruhi oleh
beberapa faktor seperti jenis, umur, tipe vaksin, dosis, dan rute vaksinasi yang akan
memengaruhi hasil dan proses dari antigen oleh sel kekebalan tubuh individu hewan
(Swayne 2008).
Ratan titer antibodi dalam plasma terhadap vaksin ND aktif dengan
pemberian metilprednisolon jangka pendek disajikan pada Tabel 3, sedangkan
rataan titer antibodi dalam plasma terhadap SDMD 1% dengan pemberian
metilprednisolon jangka panjang disajikan pada Tabel 4.
Table 3 Titer antibodi terhadap ND pada puyuh yang diberi metilprednisolon
jangka pendek dan propolis
Kelompoka Perlakuan GMT
(Log2)±SEb
Titer Antibodi per
Individu (Log2)
1 2 3 4
MS0 Metilprednisolon 0.70 mg/0.16 kgbb 8.25 ± 0.96p 8 7 9 9
MS1 Propolis Dosis 0.58 mg/0.16 kgbb 8.5 ± 1.00p 7 9 9 9
MS2 Propolis Dosis 1.16 mg/0.16 kgbb 8.75 ± 0.50p 9 8 9 9
MS3 Propolis Dosis 2.32 mg/0.16 kgbb 9.0 ± 0.00p 9 9 9 9
Keterangan: a Jumlah sampel plasma dari tiap kelompok dosis berbeda adalah 4 ekor b Rataan titer antibodi ditampilkan sebagai geometric mean titer (GMT) dalam log2
± standard error p Superscript yang sama pada kolom GMT±SE tidak menunjukkan perbedaan yang
nyata (p>0.05) antar kelompok pada tingkat kepercayaan 95%
Table 4 Titer antibodi terhadap SDMD 1% pada puyuh yang diberi
metilprednisolon jangka panjang dan propolis
Kelompoka Perlakuan GMT
(Log2)±SEb
Titer Antibodi per
Individu (Log2)
1 2 3 4
MP0 Metilprednisolon 0.70 mg/0.16 kgbb 1 ± 0.00p 1 1 1 1
MP1 Propolis Dosis 0.58 mg/0.16 kgbb 2.25 ± 0.50pq 2 2 2 3
MP2 Propolis Dosis 1.16 mg/0.16 kgbb 3 ± 1.414pq 3 2 2 5
MP3 Propolis Dosis 2.32 mg/0.16 kgbb 4 ± 1.414q 3 3 6 4
Keterangan: p,q Superscript yang berbeda pada kolom GMT±SE menunjukkan adanya perbedaan
yang nyata (p < 0,05) antar kelompok pada tingkat kepercayaan 95%
Hasil pemeriksaan titer antibodi ND dengan uji HI pada Tabel 3 menunjukan
bahwa terjadi peningkatan titer antibodi yang dihasilkan seiring dengan
peningkatan dosis propolis. Hasil rataan titer antibodi ND pada plasma yang
tertinggi dihasilkan pada kelompok MS3 sebesar 29.0 ± 0.00 HIU yang diberi propolis
dengan dosis 2.32 mg/0,16 kgbb, dan rataan titer antibodi ND terendah dihasilkan
11
pada kelompok MS0 sebesar 28.25 ± 0.96 (Tabel 3). Menurut Office International
Epizootic (2012) titer antibodi dianggap protektif terhadap antigen ND spesifik
apabila menunjukan nilai 26 HIU atau lebih. Berdasarkan rataan titer antibodi ND
semua kelompok mencapai nilai protektif terhadap infeksi ND 26 HIU. Perbedaan
jumlah titer antibodi ND yang dihasilkan pada pemberian metilpredinsolon jangka
pendek antar kelompok dosis propolis tidak menunjuakan hasil yang bebeda nyata
(P>0.05). Hal ini dapat diartikan bahwa propolis mampu memberikan efek
perbaikan terhadap sistem imunitas setelah pemberian metilprednisolon jangka
pendek, namun tidak signifikan. Metillprednisolon yang diberikan dengan jangka
pendek tidak dapat menyebabkan penurunan antibodi dikarenakan daya kerjanya
yang termasuk dalam short acting dengan waktu paruh antar 8 – 12 jam (Gupta dan
Bhatia 2008).
Pemeriksaan jumlah titer antibodi terhadap SDMD 1% dengan uji
hemaglutinasi pada Tabel 4 menunjukan bahwa terjadi pembentukan antibodi
terhadap SDMD 1%. Nilai tertinggi yang didapat dari pemeriksaan sebesar 4 ±
1.414 Log2 pada kelompok MP3 dan nilai terendah pada kelompok MP0 sebesar 1
± 0.00 Log2. Boa-Amponsem et al.(2002) menyatakan bahwa titer antibodi
terhadap SDMD yang dihasilkan pada ayam di hari 10 induksi 0.25% SDMD adalah
2.0 Log2 dengan rute inokulasi intramuscular. Penelitian lain yang dilakukan pada
mencit yang diinduksi dengan dosis SDMD 5% dan rute inokulasi intraperitonial
menunjukan rataan titer antibodi SDMD sebesar 3 Log2 (Emelda et al. 2015). Hasil
rataan titer antibodi SDMD 1% yang dihasilkan dalam penelitian ini meningkat
sejalan dengan dilakukannya penambahan dosis propolis. Peningkatan yang terjadi
pada perlakuan metilprednisolon jangka panjang antar kelompok dosis propolis
menunjukan perbedaan yang nyata (P<0.05). Hal ini dapat menunjukan bahwa
peningkatan yang terjadi pada kelompok dengan dosis propolis 2.32 mg/0.16 kgbb
secara signifikan mampu mengatasi terjadinya gangguan sistem imun selama
pemberian metilprednisolon jangka panjang. Perlakuan metilprednisolon jangka
panjang secara individu (Tabel 4) menghasilkan nilai titer antibodi SDMD 1% yang
rendah. Menurut Franchini et al. (2004) efek pemberian kortikosteroid dosis tinggi
dalam jangka panjang berupa lepasnya heterofil dari sumsum tulang, menurunkan
sirkulasi monosit dan makrofag, penurunan jumlah limfosit, atrofi organ timus dan
apoptosis prekursor sel limfosit T dan B.
Antibodi berperan sebagai efektor respon humoral dengan cara berikatan
dengan antigen dan menetralisir atau memfasilitasi proses eliminasi antigen yang
lebih mudah difagositosis oleh makrofag (Dashputre dan Naikwade 2010). Rataan
titer antibodi antar kelompok dosis propolis baik pada titer antibodi ND (Tabel 3)
dan titer antibodi SDMD 1% (Tabel 4) mengalami peningkatan. GMT yang
meningkat memperlihatkan pengaruh penting peningkatan dosis propolis yang
digunakan pada pembentukan antibodi. Hasil ini sejalan dengan pendapat Kalsum
et al. (2017) yang menyatakan bahwa pemberian propolis mampu merangsang
pembentukan antibodi secara signifikan melalui peningkatan potensi respon imun
humoral. Peningkatan titer antibodi menunjukkan bahwa adanya stimulasi terhadap
limfosit B, limfosit T dan makrofag (Faradilla dan Iwo 2014). Senyawa caffeic acid
phenethyl ester (CAPE) yang terkandung dalam propolis bersifat imunostimulan
yang mampu meningkatkan nilai titer antibodi disemua dosis pemberian propolis.
Penelitian Park et al. (2004) mengemukakan bahwa pemberian CAPE (20 mg/kg)
dari ekstraksi propolis dapat meningkatkan produksi IL-2, IL-4 dan IFN-γ. Menurut
12
Baratawidjadja (2014), diferensiasi dan proliferasi limfosit B dalam pembentukan
antibodi secara bersama-sama didorong oleh senyawa IL-6 yang dihasilkan oleh
makrofag dan IL-2 yang dihasilkan oleh sel T (limfosit T). Secara tidak langsung
pemberian propolis dapat meningkatkan aktivasi sel B menjadi sel plasma yang
selanjutnya akan menghasilkan antibodi terhadap bahan asing.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pemberian propolis meningkatan
respon pembentukan antibodi pada puyuh yang mengalami stres akbat cekaman.
Propolis secara signifikan (P<0.05) meningkatkan pembentukan antibodi terhadap
SDMD 1% pada perlakuan metilprednisolon jangka panjang dengan kelompok
dosis propolis 2.32 mg/0.16 kgbb (MP3). Tiga perlakuan lainnya menunjukan hasil
peningkatan titer antibodi yang tidak signifikan (P>0.05) antar kelompok dosis
propolis.
Saran
Perlu dilakukan penelitian lanjutan mengenai konsentrasi dan dosis propolis
yang lebih tinggi untuk mempelajari pengaruhnya terhadap pembentukan antibodi
pada puyuh yang mengalami cekaman. Selain itu, pengukuran antibodi dapat
dilakuakan dengan metode ELISA yang memiliki tingkat sensitivitas dan
sepesifisitas tinggi agar didapatkan hasil yang lebih signifikan.
DAFTAR PUSTAKA
Abidin Z, Mulyono. 2005. Meningkatkan Produktivitas Puyuh: Si Kecil yang Penuh
Potensi. Jakarta (ID): Agromedia Pustaka.
Bankova VS, de Castrob SL dan Marcuccic MC. 2000. Propolis: recent advances
in chemistry and plant origin. Apidologie. 31:3-15.
Baratawidjadja KG. 2014. Imunologi dasar edisi 11. Jakarta (ID) : Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.
Bartlett JR dan Smith MO. 2003. Effects of different levels of zinc on the
performance and immunocompetence of broilers under heat stress. Poult. Sci.
82: 1580–1588.
Bikrisima SHL, Mahfudz LD dan Suthama N. 2013. Ketahanan Tubuh Ayam
Broiler pada Kondisi Tropis yang Diberi Jambu Biji Merah (Psidium
Guajava) Sebagai Sumber Antioksidan. Agromedia. 31(2): 42-57.
Boa-Amponsem K, Price SEH, Dunnington EA dan Siegel PB. 2001. Effect of
Route of Inoculation on Humoral Immune Response of White Leghorn
Chickens Selected for High or Low Antibody Response to Sheep Red Blood
Cells. Poult. Sci. 80:1073–1078.
13
Bovenhuis H, H. Bralten, M. G. B. Nieuwland dan H. K. Parmentier. 2002. Genetic
Parameters for Antibody Response of Chickens to Sheep Red Blood Cells
Based on a Selection Experiment. Poult. Sci. 81: 309–315.
Custadio A.R., M.M.C. Ferreira, G. Negri, and A. Salatino. 2003. Clustering of
comb and propolis waxes based on the distribution of aliphatic constituents.
J. Braz. Chem. Soc. 14 (3): 354-357.
Cottica SM, Sawaya ACHF, Eberlin MN, Franco SL, Zeoula LM dan Jesuí V.
Visentainer. 2011. Antioxidant Activity and Composition of Propolis
Obtained by Different Methods of Extraction. J. Braz. Chem. Soc. 22 (5):
929-935.
Dashputre NL, Naikwade. 2010. Immunomodulatory activity of abutilon indicum
linn on albino mice. IJPSR. 1 (3):178-84.
Dharma IGBS, Berata IK, dan Samsuri. 2015. Studi Histopatologi Pankreas Tikus
Putih (Rattus Novergicus) yang Diberi Deksametason dan Suplementasi
Vitamin E. Ind. Med. Vet. 4(3): 257-266.
Emelda A, Rahman S dan Hardianti. 2015. Efek Imunostimulan Infus Buah
Mahkota Dewa (Phaleria Macrocarpa (Scheff.) Boerl.) Asal Kab. Sidrab
Sulawesi Selatan Terhadap Sekresi Antibodi Tikus Putih (Rattus Norvegicus)
Jantan Dengan Teknik Hemaglutinasi. J. Trop. Pharm. Chem. 3 (1): 37-41.
Faradilla M dan Iwo MM. 2014. Efek Imunomodulator Polisakarida Rimpang
Temu Putih [Curcuma zedoaria(Christm.) Roscoe)]. JIFI. 12 (2): 273-278.
Ferdous F, Maurice D dan Scott T. 2008. Broiler chick thrombocyte response to
lipopolysaccharide. Poult Sci. 87:61-63.
Franchini A, Marchesini E, Ottaviani E. 2004. Corticosterone 21-acetate In Vivo
Induces Acute Stres in Chicken Timus Cell Proliferation, Apoptosis and
Cytokine Responses. Hitol Hispathol. 19 (3): 693-699.
Gunawan dan Sihombing DTH. 2004. Pengaruh Suhu Lingkungan Tinggi Terhadap
Kondisi Fisiologis Dan Produktivitas Ayam Buras. WARTAZOA. 14 (1): 31-
38.
Gupta P dan Bhatia V. 2008. Corticosteroid Physiology and Principles of Therapy.
Indan J. Pediatr. 75: 1039-1044.
Hasan AEZ. 2010. Sehat dan Cantik dengan Propolis. Bogor (ID): IPB Pr.
Kalsum N, Sulaeman A, Setiawan B dan Wibawan IWT. 2017. Efek Propolis Cair
Trigona Spp. Terhadap Respons Imun Tikus Sprague dawley Yang Diinfeksi
Sthapylococcus aureus. J. Gizi Pangan. 12 (1): 23-30
Kumazawa S, Taniguchi M, Suzuki Y, Shimura M, Kwon MS, Nakayama T. 2002.
Antioxidant activity of polyphenols in carob pods. J. Agri. Food. Chem.
50:373–377.
Kusnadi E. 2009. Perubahan malondialdehida hati, bobot relatif bursa fabricius dan
rasio heterofil/limfosit (H/L) ayam broiler yang diberi cekaman panas. Media
Petern. 32(2): 8187.
Lara LJ dan Rostagno MH. 2013. Impact of Heat Stress on Poultry Production.
Animals. 3: 356-369.
Leshchinsky TV dan Klasing KC. 2001. Relationship Between the Level of Dietary
Vitamin E and the Immune Response of Broiler Chickens. Poult. Sci.
80:1590–1599
14
Letran SE, Lee SJ, Atif SM, Uematsu S, Akira S, McSorley SJ. 2011. TLR5
functions as an endocytic receptor to enhance flagellin-specific adaptive
immunity. Eur. J. Immunol. 41:29-38.
Liu K, Victora GD, Schwickert TA, Guermonprez P, Meredith MM, Yao K, Chu
FF, Randolph GJ, Rudensky AY, dan Nussenzweig M. 2009. In vivo analysis
of dendritic cell development and homeostasis. Science. 324:392-397.
Mashaly MM, Hendricks GL, Kalama M, Gehad AE, Abbas AO dan Patterson PH.
2004. Effect of heat stress on production parameters and immune responses
of commercial laying hens. Poult. Sci. 83:889-894.
Mazengia H, Gelaye E dan Nega M. 2009. Evaluation of newcastle disease antibody
level after different vaccination regimes in three districts of Amhara Region,
Northwestern Ethiopia. J. Infect. Dis. Immun. 1:1619.
Nesheim MT, Nassem S, Younus M, Zafar ICH, Amir GH, Asim A dan Akhter S.
2005. Effects of potassium chloride and sodium bicarbonate supplementation
on thermotolerance of broiler exposed to heat stress. Int. J. Poult. Sci. 4:891-
895.
Niu ZY, Liu FZ, Yan QL dan Li WC. 2009. Effects of different levels of vitamin E
on growth performance and immune responses of broilers under heat stress.
Poult. Sci. 88, 2101–2107
[OIE] Office International des Epizootis World Organization (FR). 2012.
Terresterial Manual. Chapter 2.3.14.Newcastle Disease.Pp 119[internet].
[diunduh 11 Februari 2018]. Tersedia pada: www.oie.int.
Ozbey O dan Ozcelik M. 2004. The Effect of High Environmental Temperature on
Growth Performance of Japanese Quails with Different Body Weights. Int. J.
Poult. Sci. 3: 468-470.
Park JH, Lee JK, Kim HS, Chung ST, Eom JH, Kim KA, Chung SJ, Paik SY, Oh
HY. 2004. Immunomodulatory effect of caffeic acid phenethyl ester in Balb/c
mice. Int Immunopharmacol 4 (3):429-436.
Pereira ADS, Seixas FRMS, Aquino NFR, 2002. Própolis: 100 years of research
and future perspectives. Quím Nova 25:321–326.
Radji M. 2010. Imunologi dan Virologi. Jakarta (ID): PT ISFI Penerbitan.
Salatino A, Érica WT, Giuseppina N dan Dejair M. 2005. Origin and Chemical
Variation of Brazilian Propolis. eCAM. 2 (1): 33-38.
Seven PT, Seven I, Yılmaz M dan Simsek UG. 2008. The effects of Turkish
propolis on growth and carcass characteristics in broilers under heat stress.
Animal Feed Science and Technology. 146 : 137–148.
Siregar H, Fuah AM dan Octavianty Y. 2011. Propolis. Seminar Nasional
Peternakan dan Veteriner. Bogor (ID): 42-45.
Sohail MU, Ijaz A, Yousaf MS, Ashraf K, Zaneb H, Aleem M dan Rehman H. 2010.
Alleviation of cyclic heat stress in broilers by dietary supplementation of
mannanoligosaccaride and Lactobacillusbased probiotic : Dynamics of
cortisol, thyroid hormones, cholesterol, C-reactive protein, and humoral
immunity. Poult Sci. 89 : 19341938.
Swayne DE. 2008. Newcastle Disease. USA : Blackwell Publishing. Wibowo SE,
Asmara W, Wibowo MH, Sutrisno B. 2013. Perbandingan tingkat proteksi
program vaksinasi Newcastle Disease pada Broiler. J. Sain Vet. 31(1): 1626.
15
Taheri, H.R., Rahmani, H.R., Pourreza, J., 2005. Humoral immunity of broilers is
affected by oil extracted propolis (OEP) in the diet. Int. J. Poult. Sci. 4, 414–
417.
Tetty. 2002. Puyuh Si Mungil Penuh Potensi. Jakarata (ID): Agro Media Pustaka.
Triakoso, N. 2009. Aspek Klinik dan Penularan pada Pengendalian Penyakit
Ternak. Surabaya (ID): Departemen Klinik Veteriner FKH Universitas
Airlangga.
Utami NR. 2017. Potensi Propolis Sebagai Imunostimulan pada Burung Puyuh
(Coturnix coturnix Japonica) yang Diberi Metilprednisolon. [Skripsi]. Bogor
(ID): Institut Pertananian Bogor.
Vali N. 2008. The japanese quail: A Review. Int. J. Poult. Sci. 7 (9): 925-931.
Virden WS dan Kidd MT. 2009. Physiological stress in broilers: ramifications on
nutrient digestibility and responses. J Appl Poult Res. 18:338-347.
Wang S, Xu W dan Cao Q. 2001. The influence of stress inhibition on the plasma
levels of LPS, pro-inflammatory and Th1/Th2 cytokines in severely scalded
rats. Zhonghua Shao Shang Za Zhi. 17:177–180.
Wade, C. 2005. Can Be Propolis Rejuvenate The Immune System [Internet].
[diunduh 19 Februari 2018]. Tersedia pada:
www.thenaturalshopper.com/buy-bee-supplement/article.htm
Wibawan IWT dan Soejoedono RD. 2003. Imunologi. Bogor (ID): Fakultas
Kedokteran Hewan – Intitut Pertanian Bogor.
Wuryadi S. 2013. Beternak Puyuh. Jakarta (ID): Agro Media Pustaka. Pg. 68.
Zulkifi I, Norma MT, Israf DA dan Omar AR. 2000. The effect of early age feed
restriction on subsequent response to high environmental temperatures in
female broiler chickens. Poult. Sci. 79:1401–1407.
16
RIWAYAT HIDUP
Rayhan Dika Arfan lahir di Pekalongan, 08 Agustus 1996 dari ayah Tridadi
dan ibu Karniti. Penulis adalah anak kedua dari dua bersaudara, dengan kakak
bernama Azhar Hasna Rany. Penulis menyelesaikan studinya di SDN 01
Petukangan, SMPN 13 Pekalongan, dan SMAN 01 Pekalongan. Tahun 2014
penulis diterima di Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor melalui
program Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN). Selama
mengikuti perkuliahan, penulis pernah menjadi asisten mata kuliah Anatomi
Veteriner 1 pada tahun ajaran 2015/2016, Parasitologi Veteriner : Ektoparasit pada
tahun ajaran 2016 dan Fisiologi Veteriner I tahun ajaran 2017. Selain itu, penulis
juga aktif menjadi anggota dan pengurus di Dewan Perwakilan Mahasiswa (DPM)
FKH IPB periode 2015/2016 dan 2016/2017, serta Himpunan Minat Profesi
Ornithologi dan Unggas FKH IPB.