29
104 POTENSI DAN PERMASALAHAN PENGEMBANGAN KAPAS NASIONAL 1 Pada dasarnya bahan baku yang digunakan dalam industri tekstil dapat dibedakan menjadi dua, yaitu bahan baku alam dan sintetis (Sulistiyo dan Mawarni, Bambang Rahmanto, Adimesra Djulin, Wahyuning K. Sejati, Kurnia Suci, dan Nizwar Syafa’at Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian Jl. A. Yani 70 Bogor 16161 PENDAHULUAN Peranan industri tekstil dalam perekonomian Indonesia sangat dominan. Hal itu ditandai dengan besar sumbangan ekspor tekstil dan produk tekstil (TPT) sebagai penghasil devisa utama sektor nonmigas dan bahkan menempati urutan pertama dari kelompok komoditas ekspor hasil industri. Pangsa nilai ekspor TPT pada tahun 1995 terhadap nilai ekspor nasional dan nilai ekspor seluruh komoditas hasil industri masing- masing mencapai 13 dan 20,6 persen. Bahan baku utama tekstil adalah serat tekstil, di mana serat kapas menempati posisi yang sangat strategis karena memiliki keunggulan-keunggulan tertentu yang belum dapat digantikan sepenuhnya oleh bahan-bahan baku nonkapas. Satu di antara sifat serat kapas yang khas adalah mudah menyerap keringat atau bersifat hygroskopis (Sulistiyo dan Mawarni, 1991). Sejalan dengan peningkatan permintaan TPT yang dipacu oleh pertambahan kebutuhan domestik dan target ekspor, maka kebutuhan nasional terhadap serat kapas akan terus mengalami peningkatan. Menurut proyeksi Ali (1998), kebutuhan serat kapas nasional pada tahun 2000 akan mencapai 746,73 ribu ton, meningkat sebesar 275,87 ribu ton dibandingkan dengan tahun 1995. Artinya, laju peningkatan kebutuhan kapas itu secara rata-rata mencapai sekitar 9,7 persen per tahun. Kenaikan permintaan serat kapas tersebut tidak diimbangi dengan peningkatan kemampuan pasok serat kapas produksi dalam negeri. Sebaliknya, selama beberapa tahun terakhir, produksi kapas domestik cenderung mengalami penurunan. Bertolak dari kondisi tersebut, artikel ini mencoba memberikan telaah terhadap pengembangan komoditas kapas nasional dengan fokus pada upaya peningkatan produksi yang terkait dengan kondisi yang ada dari sistem usahatani kapas rakyat. PERANAN SERAT KAPAS DALAM INDUSTRI TEKSTIL 1 Makalah disampaikan pada Seminar Rutin Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonoi Pertanian, tanggal 4 Juli 2003 di Bogor.

POTENSI DAN PERMASALAHAN PENGEMBANGAN KAPAS …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/monograph_24_2004_bab-8.pdf · dahulu kala menghasilkan bahan baku bagi pembuatan kain tenun

  • Upload
    lehanh

  • View
    303

  • Download
    13

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: POTENSI DAN PERMASALAHAN PENGEMBANGAN KAPAS …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/monograph_24_2004_bab-8.pdf · dahulu kala menghasilkan bahan baku bagi pembuatan kain tenun

104

POTENSI DAN PERMASALAHAN PENGEMBANGAN KAPAS NASIONAL1

Pada dasarnya bahan baku yang digunakan dalam industri tekstil dapat dibedakan menjadi dua, yaitu bahan baku alam dan sintetis (Sulistiyo dan Mawarni,

Bambang Rahmanto, Adimesra Djulin, Wahyuning K. Sejati, Kurnia Suci, dan Nizwar Syafa’at

Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian

Jl. A. Yani 70 Bogor 16161

PENDAHULUAN

Peranan industri tekstil dalam perekonomian Indonesia sangat dominan. Hal itu

ditandai dengan besar sumbangan ekspor tekstil dan produk tekstil (TPT) sebagai penghasil devisa utama sektor nonmigas dan bahkan menempati urutan pertama dari kelompok komoditas ekspor hasil industri. Pangsa nilai ekspor TPT pada tahun 1995 terhadap nilai ekspor nasional dan nilai ekspor seluruh komoditas hasil industri masing-masing mencapai 13 dan 20,6 persen.

Bahan baku utama tekstil adalah serat tekstil, di mana serat kapas menempati posisi yang sangat strategis karena memiliki keunggulan-keunggulan tertentu yang belum dapat digantikan sepenuhnya oleh bahan-bahan baku nonkapas. Satu di antara sifat serat kapas yang khas adalah mudah menyerap keringat atau bersifat hygroskopis (Sulistiyo dan Mawarni, 1991).

Sejalan dengan peningkatan permintaan TPT yang dipacu oleh pertambahan kebutuhan domestik dan target ekspor, maka kebutuhan nasional terhadap serat kapas akan terus mengalami peningkatan. Menurut proyeksi Ali (1998), kebutuhan serat kapas nasional pada tahun 2000 akan mencapai 746,73 ribu ton, meningkat sebesar 275,87 ribu ton dibandingkan dengan tahun 1995. Artinya, laju peningkatan kebutuhan kapas itu secara rata-rata mencapai sekitar 9,7 persen per tahun. Kenaikan permintaan serat kapas tersebut tidak diimbangi dengan peningkatan kemampuan pasok serat kapas produksi dalam negeri. Sebaliknya, selama beberapa tahun terakhir, produksi kapas domestik cenderung mengalami penurunan.

Bertolak dari kondisi tersebut, artikel ini mencoba memberikan telaah terhadap pengembangan komoditas kapas nasional dengan fokus pada upaya peningkatan produksi yang terkait dengan kondisi yang ada dari sistem usahatani kapas rakyat.

PERANAN SERAT KAPAS DALAM INDUSTRI TEKSTIL

1 Makalah disampaikan pada Seminar Rutin Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonoi Pertanian,

tanggal 4 Juli 2003 di Bogor.

Page 2: POTENSI DAN PERMASALAHAN PENGEMBANGAN KAPAS …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/monograph_24_2004_bab-8.pdf · dahulu kala menghasilkan bahan baku bagi pembuatan kain tenun

105

1991). Yang tergolong serat sintetis adalah polyester, polyacrylic, filamen polyester dan fila-men nylon, sedangkan yang termasuk bahan baku alam adalah serat kapas, sutera, dan rami.

Pemakaian bahan baku sintetis cukup pesat, tetapi sampai saat ini serat kapas masih tetap merupakan bahan baku yang paling banyak digunakan dalam industri san-dang. Dalam Soeripto (1998) dikemukakan adanya indikasi penurunan proporsi kon-sumsi serat kapas dunia, di mana porsi penggunaan serat kapas mengalami penurunan dari 68,3 persen pada tahun 1960 menjadi 45,0 persen pada proyeksi tahun 2000.

Serat yang digunakan dalam pembuatan tekstil di Indonesia dapat digolongkan menjadi tiga macam, yaitu serat kapas, rayon viscosa/rayon asetat, dan serat buatan (synthetic). Serat rayon (artificial cellulosic fibre) mempunyai sifat yang paling mendekati sifat kapas, sebab kedua-duanya sellulosa. meskipun demikian rayon tidak dapat menggantikan kapas, karena keduanya memiliki fungsi dan sifatnya masing-masing Soeripto (1998). Di Indonesia pemakaian serat-serat tersebut berkembang dengan perbandingan yang berubah-ubah, di mana porsi serat kapas berkisar antara 35,5 - 46,4 persen (Tabel 1). Tabel 1. Proporsi Penggunaan Serat Tekstil di Indonesia, 1975-1994

Tahun Serat kapas (%) Rayon (%) Sintetik (%) 1975 39,3 1,5 59,2 1976 45,0 15,5 39,4 1977 35,5 10,3 54,2 1978 44,7 9,0 46,3 1979 42,7 12,8 44,4 1980 40,3 10,3 49,4 1981 38,9 11,7 49,4 1982 38,5 10,5 51,0 1983 41,1 12,6 46,3 1984 35,9 10,6 53,4 1985 39,7 12,1 48,2 1986 39,8 13,1 47,0 1987 39,5 13,1 47,4 1988 40,1 12,8 47,1 1989 46,1 10,6 43,3 1990 46,4 9,5 44,0 1991 45,7 11,8 42,5 1992 42,7 12,3 45,0 1993 38,3 12,5 49,2 1994 36,7 15,0 48,2

Sumber: ICAC. Dikutip dari Soeripto (1998)

Page 3: POTENSI DAN PERMASALAHAN PENGEMBANGAN KAPAS …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/monograph_24_2004_bab-8.pdf · dahulu kala menghasilkan bahan baku bagi pembuatan kain tenun

106

PERMINTAAN DAN PENAWARAN SERAT KAPAS DOMESTIK Selaras dengan perkembangan industri tekstil dan produk tekstil (TPT) nasional

yang relatif cepat, maka permintaan serat kapas di Indonesia juga mengalami pening-katan pesat. Berdasarkan Tabel 2, konsumsi kapas sejak tahun 1970 hingga tahun 1999 terus mengalami peningkatan dari sekitar 20,0 ribu ton menjadi 523,0 ribu ton atau secara rata-rata meningkat dengan laju 11,5 persen per tahun.

Peningkatan konsumsi serat kapas tidak didukung oleh peningkatan pasokan kapas dalam negeri secara konsisten. Tabel 2 menunjukkan bahwa selama tahun 1980-1987 produksi serat kapas domestik mengalami peningkatan yang cukup signifikan, yaitu sebesar 4,5-8,7 ribu ton dibandingkan dengan produksi tahun 1969-1979 yang hanya mencapai sekitar 0,3-2,2 ribu ton. Tetapi kemudian pada tahun 1989-1994 produksi serat kapas dalam negeri mengalami stagnasi dengan kisaran 4,0-4,9 ribu ton, dan selanjutnya pada tahun 1995 terus mengalami penurunan mendekati kondisi tahun 1969-1979. Kenyataan yang demikian mengakibatkan industri tekstil nasional tidak terlepas ketergantungannya pada pasokan kapas impor yang terus meningkat dari 18,8 ribu ton pada tahun 1970 menjadi 456,1 ribu ton pada tahun 1999. Proporsi pasokan kapas impor terhadap konsumsi dalam negeri umumnya mencapai lebih dari 95 persen tiap tahunnya.

PROGRAM PENGEMBANGAN KAPAS NASIONAL

Kartohadikoesoemo (1987), Sulistiyo dan Mawarni (1991), Sutijah (1994), dan

Wagimun (1998) menyebutkan bahwa upaya pengembangan dan penelitian kapas di Indonesia telah dilakukan sejak zaman Pemerintahan Belanda (lihat Diagram 1). Pe-ngembangan tanaman kapas dilakukan dengan mengintroduksikan berbagai varietas dari mancanegara. Kegagalan demi kegagalan dialami karena berbagai faktor berikut: (i) tanaman kapas cukup peka terhadap pengaruh iklim, (ii) daya saing tanaman kapas kurang kompetitif dibanding komoditas lain, (iii) jenis-jenis kapas impor tidak menghasil-kan produksi seperti yang diharapkan, sedangkan jenis lokal produksinya berfluktuasi, (iv) risiko serangan hama tinggi, dan (v) adanya fluktuasi harga di pasar internasional.

Sejak awal kemerdekaan hingga sekarang, pemerintah Indonesia tidak henti-hentinya melakukan upaya pengembangan kapas nasional melalui pembentukan lem-baga yang mengalami berkali-kali perubahan struktur organisasi dan sistem pengelola-annya (Tabel 3). Organisasi-organisasi perkapasan tersebut pada kenyataannya belum menunjukkan hasil seperti yang diharapkan. Tabel 4 menunjukkan bahwa meskipun terjadi indikasi peningkatan luas areal tanam kapas selama MT 1969/1970 - 1975/1976, tetapi produktivitasnya cenderung menurun.

Page 4: POTENSI DAN PERMASALAHAN PENGEMBANGAN KAPAS …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/monograph_24_2004_bab-8.pdf · dahulu kala menghasilkan bahan baku bagi pembuatan kain tenun

107

Tabel 2. Perkembangan Produksi, Ekspor, Impor, dan Konsumsi Serat Kapas Indonesia, 1969-1999

Tahun Produksi 1) Impor

(ton) 1) Ekspor

(ton) 1) Konsumsi

(ton) 2) Proporsi

impor

(ton) *) 1969 1.100 tad 184 tad tad 1970 1.085 18.811 28 19.868 95 1971 749 24.372 146 24.975 98 1972 667 16.677 150 17.214 97 1973 914 25.689 193 26.409 97 1974 2.184 tad 409 tad tad 1975 1.803 tad 91 tad tad 1976 927 68.488 343 69.072 99 1977 548 68.731 650 68.629 100 1978 316 92.322 35 92.603 99 1979 1.821 152.118 341 153.598 99 1980 4.907 119.735 468 124.174 96 1981 5.432 99.143 2.450 102.125 97 1982 4.509 113.294 1.150 116.654 97 1983 4.958 115.661 2.285 118.334 98 1984 8.476 125.390 2.333 131.535 95 1985 8.758 129.614 1.563 157.000 83 1986 6.633 171.438 4.262 172.000 99 1987 6.384 211.728 5.189 190.000 111 1988 2.535 196.058 1.468 241.000 81 1989 4.608 265.881 2.918 280.000 95 1990 4.046 344.338 4.061 325.000 106 1991 4.705 357.025 7.049 380.000 94 1992 4.435 434.578 5.028 420.000 103 1993 4.820 416.662 9.655 450.000 92 1994 4.991 443.657 4.797 460.000 96 1995 2.637 452.760 6.587 468.000 96 1996 2.699 500.341 5.336 474.000 105 1997 2.443 465.526 4.561 493.000 94 1998 1.868 453.675 2.735 512.000 89 1999 1.414 456.183 3.119 523.000 87

Sumber: 1) BPS, dikutip dari Direktorat Jendral Bina Produksi Perkebunan (2001): data awal dalam bentuk kapas berbiji, kemudian dikonversi 35% sebagai serat kapas.

2) Data tahun 1969 - 1984 perkiraan konsumsi = produksi + impor - ekspor Data tahun 1985 - 1995 Wardhani (1998) Data tahun 1996 - 1999 perkiraan/proyeksi dalam Soeripto (1998) Keterangan: tad = tidak tersedia data *) Proporsi impor terhadap konsumsi , dalam satuan persentase

Page 5: POTENSI DAN PERMASALAHAN PENGEMBANGAN KAPAS …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/monograph_24_2004_bab-8.pdf · dahulu kala menghasilkan bahan baku bagi pembuatan kain tenun

108

Tabel 3. Sejarah Pengembangan Tanaman Kapas pada Zaman Pra Kemerdekaan

Tahun Deskripsi 1670 • Zaman VOC: Hasil kapas yang diperoleh tidak memadai 1808 • Zaman Daendles: Kapas dikembangkan di Jawa. Petani di daerah menanam

kapas pada musim kemarau diharuskan menanam kapas seluas 1/5 bagian areal yang dimiliki. Jenis kapas: Bourbon. Mengalami kegagalan.

1831 - 1839 • Pengembangan jenis kapas: Bourbon, Nanking, Sea Island, Pernambuco, dan Benggali. Dihentikan karena mengalami kegagalan

1840 - 1847 • Di wilayah Cirebon didirikan perkebunan kapas. Jenis kapas dari Suriname, Carolina Selatan, dan New Orleans. Mutu cukup baik, tetapi produksi rendah

• Di Palembang dilakukan percobaan penanaman kapas oleh Perserikatan Dagang Belanda (Nederlansche Handel Maatschappi). Jenis New Orleans tidak mampu menghasilkan kapas, sedangkan jenis lokal produksinya berfluktuasi.

1850 • Didirikan kebun-kebun percobaan kapas di wilayah Sumatera Selatan, Kali-mantan Selatan, dan Jawa. Jenis kapas berasal dari Dacca, Pernambuco, New Orleans, Siam, China, dan Mesir. Tidak memberikan hasil yang menggem-birakan.

1860 • Laporan Teysmann menyebutkan bahwa jenis-jenis kapas impor selama 30 tahun tidak ada hasilnya, kecuali di Semarang, yang berhasil adalah jenis kapas New Orleans seluas 131 hektar.

1861 • Didirikan suatu badan hukum yang bertugas mengelola kapas, yaitu N.V. Nederlans Indische Katoen Maatschappij. Tahun 1984 dianggap tidak meng-untungkan, meskipun saat itu harga kapas tinggi.

1900 - 1920 • Di Jawa, terutama di Semarang percobaan penanaman kapas diteruskan • Tahun 1905 didirikan Departemen Pertanian, Kerajinan dan Perdagangan.

Penelitian ilmiah di bidang pertanian memasuki periode baru, termasuk kapas. • Tahun 1910 perhatian dialihkan pada penanaman kapas di wilayah Timor, yang

dahulu kala menghasilkan bahan baku bagi pembuatan kain tenun ikat Timor. Kepulauan Flores pernah menjadi daerah Cotton Belt di Indonesia. Jenis kapas Caravonika Flores memberikan hasil yang begitu baik sehingga tahun 1915 pihak swasta mendidirkan sindikat di Flores dengan nama Syndicaat ter Bevordeing van de Katoencultur op Flores. Sindikat ini membangun instalasi pengolahan kapas dan kebun benih .

• Tahun 1917 sindikat tersebut menjadi badan hukum dengan nama N.V. Amsterdam Soenda Compagnie yang memiliki hak monopoli.

• Tahun 1914 - 1918 harga kapas terus meningkat tinggi • Tahun 1924 N.V. Amsterdam Soenda Compagnie ditutup karena sejak tahun

1921 harga kapas turun, biaya ekspor tinggi, dan areal tanam kapas penduduk turun akibat serangan hama kutu pada kapas Caravonika Flores.

1926 • Diperkenalkan jenis kapas Watt’s Long Staple, Paradeniya, dan Cambodya. Jenis-jenis ini, terutama Paradeniya memiliki kekebalan terhadap hama kutu dan pertumbuhannya cukup baik.

1935-1938 • Prof. W. Amons telah melakukan penelitian mutu serat kapas dalam negeri • Tahun 1938, hasil percobaan di Jawa dan Madura menunjukkan bahwa daerah

Pantura Jawa dari Pasuruan sampai Banyuwangi cukup baik untuk penanaman kapas, sedangkan di Jawa Barat tidak mendatangkan hasil.

1942 - 1944 • Usaha Jepang meluaskan areal tanam kapas dilakukan dengan paksaan. Di Asembagus, petani diharuskan tanam kapas seluas 0,25 - 0,5 dari luas tanahnya untuk tanam kapas. Luas areal tanam kapas mencapai 2.000 ha.

Page 6: POTENSI DAN PERMASALAHAN PENGEMBANGAN KAPAS …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/monograph_24_2004_bab-8.pdf · dahulu kala menghasilkan bahan baku bagi pembuatan kain tenun

109

Tabel 3. Lanjutan

Tahun Deskripsi 1946 • Dibentuk Badan Tekstil Nasional (BTN) di Jogyakarta. Dalam usaha mendapatkan

kapas untuk tekstil, BTN menyewa tanah dari rakyat dan memberi insentif berupa pembagian bahan pakaian bagi pemilik tanah yang bersedia menyewakan lahannya dan pemberian lisensi pembelian pakaian bagi petani yang bersedia menjual kapasnya ke BTN. Areal kapas hingga tahun 1948 mencapai 21.000 ha.

• Upaya BTN gagal karena ribuan ton hasil panen tahun 1947 - 1948 dan mesin-mesin yang ada dibumihanguskan akibat Clash II

1951 • Penelitian sifat-sifat kapas mulai digiatkan di Balai Penyelidikan Tekstil Bandung

1955 • Dibentuk Panitia Serat dengan SK Mentan no 89/UM/ 55

1956 • Dibentuk Panitya Negara Urusan Industri dan Pertanian Tekstil (Panitex) dengan Keppres no 144/56

• Upaya perluasan tanaman kapas digalakkan kembali, karena areal kapas sejak tahun 1950 hingga tahun 1956 menurun drastis dari 22.167 ha menjadi hanya sekitar 2.333 ha.

• Jenis kapas yang berhasil baik adalah jenis Cambodya, ditanam secara besar-besaran di Asembagus dan Kediri, Jawa Timur. Penanaman di Kediri dilaksanakan oleh NV. Kapas Tani Gotongroyong.

1957-1958 • Di Asembagus didirikan Pabrik Pengupasan Kapas (sawgin) untuk tanaman kapas seluas 3.000 - 4.000 ha dan kebun penelitian kapas

• Percobaan pembuatan benang mulai dilakukan

1960 • Pemerintah memprogramkan pembangunan perkapasan secara mekanis di Nusa Tenggara dan Asembagus dengan sasaran areal seluas 734.000 ha. Usaha itu gagal karena lemahnya perencanaan

1967 • Dilakukan persetujuan antara Pemerintah Indonesia dan Nederland mengenai “grant” pembiayaan penelitian kapas dan penyelenggaraan kebun-kebun peragaan di Lombok Timur dan Lombok Barat.

1969 • Kebun percobaan mendapat bantuan dari anggaran pembangunan (proyek survei kapas) dan bantuan dari Nederland (Agriculture Development Project Lombok).

• Studi pengembangan kapas di daerah lain seperti Jawa Tengah dan Sulawesi Selatan dilakukan dengan bantuan dana dari Bank Dunia disebut National Cotton Study.

1970 • Dibentuk Badan Urusan Kapas (BUK) dengan Keppres no. 56/70

1973 • Berdasarkan PP No. 37/73 BUK mendirikan Perusahaan Umum Kapas Indonesia sebagai gabungan dari proyek kapas Nusa Tenggara dan kebun kapas Asembagus, bekas kesatuan usaha dari PNP XXVI Jember.

1978 • Berdasarkan Kepmentan no. 605/Kpts/Um/10/1978 aktivitas Perum Kapas dihentikan, karena terus menerus menderita kerugian.

• Sebagai gantinya dilaksanakanlah program Intensifikasi Kapas Rakyat (IKR) hingga sekarang.

Page 7: POTENSI DAN PERMASALAHAN PENGEMBANGAN KAPAS …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/monograph_24_2004_bab-8.pdf · dahulu kala menghasilkan bahan baku bagi pembuatan kain tenun

110

Tabel 4. Perkembangan Luas Areal, Produksi dan Produktivitas Kapas Berbiji di Indonesia, MT 1969/1970 - MT 1976/1977

Musim Tanam Luas areal (ha) Produksi (ton) Produktivitas (kg/ha)

1969/1970 925 925 1.000 1970/1971 1.438 994 691 1971/1972 1.502 1.362 872 1972/1973 1.779 1.772 968 1973/1974 5.416 1.531 279 1974/1975 6.402 3.490 542 1975/1976 7.346 2.633 358 1976/1977 3.925 1.825 464

Sumber: Sulistiyo dan Mawarni (1991)

Pada tahun 1978, pemerintah menetapkan kebijakan pengembangan kapas melalui sistem intensifikasi tanaman kapas rakyat (IKR). Program IKR dilakukan di Provinsi Jawa Tengah, Jawa Timur, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur. Untuk mendukung terlaksananya program IKR ditunjuk tiga PTP (BUMN) dan dua perusahaan swasta yang bertindak sebagai perusahaan pengelola. Instansi BUMN tersebut adalah PTP XVIII yang berkantor pusat di Semarang, serta PTP XXIII dan PTP XXVI yang berkantor pusat di Surabaya. Dua perusahaan swasta yang ditunjuk adalah PT. Kapas Indah Indonesia yang berkantor pusat di Sulawesi Tenggara dan pabrik rokok Sukun Kudus di Jawa Tengah. Sejalan dengan penugasan tersebut dibangun pabrik pengupasan kapas (ginnery) sebanyak tujuh unit dengan total kapasitas 86 ribu ton kapas berbiji (Tabel 5). Karena berbagai kendala, PTP tidak melanjutkan tugasnya sebagai perusahaan pengelola, yang kemudian digantikan oleh tiga perusahaan tekstil swasta, yaitu PT Nusafarm Intiland, PT. Iratex, dan PT. Garuda putih (Ditjen Perkebunan, 1998). PT Nusafarm Intiland mengadakan penambahan mini ginnery sebanyak 13 unit dengan kapasitas 500 ton/unit/tahun.

Dalam sistem IKR terdapat ketentuan-ketentuan yang mengatur hak dan kewajiban antara petani dan perusahaan pembimbing, yaitu: (i) perusahaan pembimbing melaksanakan rintisan proyek pengendalian hama terpadu, (ii) perusahaan wajib membeli dan mengolah kapas berbiji dari petani. Harga kapas berbiji ditentukan sesuai dengan petunjuk pelaksanaan Ditjen Perkebunan, sedangkan proses pemasaran serat kapas produksi IKR diatur bersama antara Ditjen Perdagangan Dalam Negeri, Ditjen Perkebunan, dan Ditjen Aneka Industri, (iii) Petani diwajibkan menjual semua kapas berbiji yang dihasilkan kepada perusahaan pembimbing.

Pembiayaan usahatani dalam program IKR pada awalnya bersumber dari dana kredit KMKP dengan bunga satu persen per bulan selama jangka waktu enam bulan yang disediakan oleh Bank Ekspor Impor Indonesia (BEII). Dengan keluarnya Pakjan 1990, pembiayaan program IKR hanya tersedia dalam bentuk kredit umum dengan suku

Page 8: POTENSI DAN PERMASALAHAN PENGEMBANGAN KAPAS …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/monograph_24_2004_bab-8.pdf · dahulu kala menghasilkan bahan baku bagi pembuatan kain tenun

111

bunga tinggi. Untuk mengatasi masalah pembiayaan usahatani kapas tersebut, pemerintah menyediakan dana APBN melalui kegiatan Proyek Pengembangan Perkebunan Wilayah Khusus (P2WK) pada tahun 1990/1991-1993/1994. Tahun-tahun berikutnya, pembiayaan program IKR diarahkan untuk memanfaatkan skim Kredit Koperasi Primer untuk Anggota (KKPA), dana PUK atau Pengusaha Gabungan Ekonomi Lemah (PEGEL)/BUMN, swadaya petani, atau swadana perusahaan pengelola (kemitraan). Tabel 5. Pembangunan Fasilitas Ginnery Menurut Lokasi dan Kapasitasnya

Provinsi Lokasi Yang membangun Kapasitas (ton) 1. Jawa Tengah Kudus PTP XVIII 8.000 2. Jawa Timur Asembagus PTP XXVI 8.000 3. NTB Puyung PTP XXVI 10.000 4. NTT Maumere PTP XXVI 10.000 5. Sulawesi Selatan Jeneponto PTP XXIII 10.000 Bulukumba PTP XXIII 20.000 6. Sulawesi Tenggara Kendari PT. KII 20.000

Total 86.000 Sumber: Direktorat Jenderal Perkebunan (1998)

PERMASALAHAN DALAM PENGEMBANGAN KAPAS NASIONAL

Tabel 6 menunjukkan bahwa upaya pemerintah untuk mengembangkan luas areal pertanaman kapas dalam program IKR pun mengalami kesulitan dan tidak sustainable. Selama Pelita IV program IKR berhasil meningkatkan luas areal tanam kapas nasional dari rata-rata 17.119 ha/tahun (Pelita III) menjadi 37.125 ha/tahun. Tetapi setelah itu, luas areal tanam kapas kembali mengalami stagnasi pada tingkat 30 ribuan ha/tahun, kemudian mulai tahun 1997 menunjukkan kecenderungan penurunan. Hampir di semua provinsi produsen kapas, kecuali di Sulawesi Selatan, kecenderungan penurunan areal tanam kapas sudah tampak sejak awal-awal periode Pelita VI. Dengan kondisi pola areal tanam yang demikian, dan dibarengi dengan tingkat produktivitas yang rendah, maka kinerja produksi kapas rakyat ibarat “panggang jauh dari api”, artinya belum bisa diharapkan dapat memenuhi kebutuhan industri Tekstil dalam negeri.

Kesulitan program IKR dalam memenuhi target areal tanam, seperti terlihat pada Tabel 7, disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain disebutkan dalam Sulistiyo dan Mawarni (1991) terkait dengan permasalahan berikut: (a) taraf hidup petani yang subsisten, yang masih mementingkan food security; (b) daya saing komoditas kapas di tingkat petani relatif rendah sebagai akibat produktivitasnya yang rendah, sehingga kurang mampu berkompetisi dengan komoditas lain; (c) luas garapan sempit di mana kebanyakan petani berstatus penggarap; dan (d) pembayaran hasil jual kapas oleh pengelola kepada petani sering tidak tepat waktu.

Page 9: POTENSI DAN PERMASALAHAN PENGEMBANGAN KAPAS …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/monograph_24_2004_bab-8.pdf · dahulu kala menghasilkan bahan baku bagi pembuatan kain tenun

112

Page 10: POTENSI DAN PERMASALAHAN PENGEMBANGAN KAPAS …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/monograph_24_2004_bab-8.pdf · dahulu kala menghasilkan bahan baku bagi pembuatan kain tenun

113

Pembayaran yang tidak tepat waktu tersebut sebagian terkait dengan masalah kelancaran arus pemasaran serat kapas dari pihak pengelola kepada pabrik pemin-talan, khususnya pabrik pemintalan BUMN. Permasalahannya tidak terletak pada aspek kemampuan daya serapnya, tetapi terkait dengan persoalan kecocokan harga, di mana harga pokok serat kapas dari pihak pengelola relatif lebih tinggi dibandingkan dengan harga serat kapas impor. Hal ini disebabkan tidak tercapainya areal tanam dan produksi yang mampu memenuhi kapasitas pengolahan optimal gennery, sehingga biaya pengolahan kapas berada di atas titik impas. Akibatnya harga pokok serat kapas menjadi mahal.

Persoalan itu menyebabkan berbagai kesulitan bagi pihak pengelola, antara lain: (a) kesulitan dalam menyimpan kapas yang belum terjual, (b) kesulitan PTP dalam memperoleh kredit op koop dari bank untuk tahun berikutnya karena likuiditas pengem-balian kredit tersendat, dan (c) kondisi butir b menjadi ancaman bagi kelancaran pem-belian kapas berbiji dari petani, sebab kredit op koop sesungguhnya dipakai untuk itu.

Akibat harga pokok serat kapas yang tinggi tadi, baik pengelola maupun pabrik pemintalan mengalami kerugian. Dalam Sulistiyo dan Mawarni (1991) dilaporkan keru-gian yang dialami pihak pengelola (PTP) maupun pabrik pemintalan pada tahun 1985 masing-masing mencapai Rp 2,3 milyar dan Rp 169 juta. Di sisi lain, Kasryno dkk. (1998) mengemukakan bahwa rasio harga kapas berbiji petani terhadap harga gabah (KUD) dan harga pupuk terus mengalami penurunan dari masing-masing 2,29 dan 3,20 pada tahun 1986 menjadi 1,67 dan 2,27 pada tahun 1996. Tabel 7. Rencana dan Realisasi Areal Tanam Kapas IKR di NTT dan NTB, 1982/83 - 1987/88

Tahun Nusa Tenggara Timur Nusa Tenggara Barat

Rencana (ha)

Realisasi (ha)

Realisasi (%) Rencana

(ha) Realisasi

(ha) Realisasi

(%) 1982/83 2.000 1.050 52,5 5.000 4.943 98,9 1983/84 3.400 2.175 63,9 11.000 3.792 34,5 1984/85 5.300 2.542 47,9 15.000 3.519 23,5 1985/86 4.000 4.307 107,7 10.000 5.872 58,7 1986/87 5.000 2.276 45,5 4.000 2.968 74,2 1987/88 4.500 1.904 42,31 6.000 3.507 58,4

Sumber: Sulistiyo dan Mawarni (1991)

Permasalahan dalam pengembangan kapas pada program IKR tidak terlepas dengan persoalan manajemen antarinstansi terkait, di mana dalam Sulistiyo dan Mawarni (1991) disebutkan sebagai berikut: (a) Manajemen program tidak sepenuhnya berada pada satu tangan. Pengambilan keputusan tersebar di beberapa instansi, akibatnya ketidakserasian antarkeputusan sering terjadi; (b) Banyaknya instansi yang terlibat dalam pengambilan keputusan yang dibarengi dengan koordinasi yang kurang rapi menyebabkan prosedur administrasi menjadi bertele-tele, dan (c) Tidak menyatunya

Page 11: POTENSI DAN PERMASALAHAN PENGEMBANGAN KAPAS …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/monograph_24_2004_bab-8.pdf · dahulu kala menghasilkan bahan baku bagi pembuatan kain tenun

114

instansi-instansi pengambil keputusan dalam satu lokasi menyebabkan prosedur administrasi menjadi panjang dan memakan waktu.

Sementara itu Kasryno et al. (1998) menyoroti faktor kelembagaan pendukung program IKR ini dari sisi model pengembangannya, di mana model PIR perkebunan tidak sesuai untuk pengembangan kapas, karena ketidakpastian (fluktuasi) luas kebun plasma yang diusahakan oleh petani telah menyebabkan ketidakpastian ketersediaan bahan baku, sehingga ginnery kapas yang tersedia bekerja di bawah kapasitasnya. Disarankan agar pengusaha pengelola mengusahakan 60-70 persen dari luas areal kapas sebagai perkebunan inti, sedangkan sisanya 30-40 persen diusahakan petani sebagai kebun plasma, sehingga ginnery yang tersedia bisa bekerja dengan kapasitas di atas 70 persen per tahun. Model yang demikian tentu menghendaki pemberian hak guna usaha (HGU) untuk perusahaan-perusahaan yang akan memproduksi kapas.

Selain masalah mengenai luas areal, persoalan lain yang cukup penting adalah masalah tingkat produktivitas kapas yang tidak cukup memberikan keuntungan yang layak. Persoalan ini sangat terkait dengan berbagai faktor berikut: (a) kualitas sumber-daya manusia dan ketersediaan modal di tingkat petani rendah, (b) intensitas penyu-luhan kurang, (c) kondisi sarana infrastruktur di sebagian daerah pengembangan kurang kondusif, (d) karakteristik sumberdaya lahan dan agroklimat di sebagian besar daerah pengembangan kurang sesuai, dan (e) Inovasi teknologi anjuran tidak secara utuh dikuasi dan diterapkan dalam praktek usahatani di tingkat petani.

Pelaku usahatani kapas pada umumnya terdiri dari petani-petani penggarap atau petani yang berlahan sempit, tingkat pendidikan rendah, dan kemampuan finansial yang terbatas. Kondisi yang demikian memerlukan dukungan yang kuat, baik dari segi permodalan maupun peningkatan pengetahuan dan keterampilan dalam mengadopsi teknologi intensifikasi usahatani kapas. Dukungan kredit yang diberikan kepada petani dalam program IKR terbukti telah meningkatkan partisipasi petani dalam penanaman kapas. Tetapi, begitu dukungan kredit tersebut berkurang, maka luas areal penanaman kapas mengalami penurunan drastis.

Persoalan penyaluran dan penggunaan kredit sering terjadi dalam usahatani kapas. Dari sisi penyaluran, kredit yang berbentuk sarana produksi sering terlambat diterima petani, sedangkan dari sisi penggunaan, tidak sedikit petani yang memanfa-atkan sebagian paket saprodi itu untuk tanaman pangan. Buruknya kondisi infrastruktur menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam memberikan andil terjadinya keterlam-batan penyaluran saprodi, di samping masalah-masalah yang bersifat manajerial.

Rendahnya tingkat pendidikan petani berpengaruh terhadap kemampuannya dalam menerima inovasi-inovasi teknologi. Untuk itu diperlukan metode penyuluhan yang tepat, intensitas penyuluhan dan pengawalan yang memadai. Banyaknya beban tugas pengusaha pengelola dalam program IKR, termasuk di dalamnya adalah pena-nganan pelayanan perkreditan, menyebabkan terpecahnya konsentrasi perusahaan pembimbing, sehingga intensitas bimbingan teknis kepada petani menjadi berkurang (Sulistiyo dan Mawarni, 1991).

Page 12: POTENSI DAN PERMASALAHAN PENGEMBANGAN KAPAS …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/monograph_24_2004_bab-8.pdf · dahulu kala menghasilkan bahan baku bagi pembuatan kain tenun

115

SISTEM USAHATANI KAPAS

Selain persoalan-persoalan yang bersifat nonteknis, masih cukup banyak masalah teknis yang dihadapi dalam pengembangan kapas di Indonesia. Akibatnya, produktivitas kapas nasional yang dibudidayakan oleh rakyat umumnya masih sangat rendah, tidak mencapai 1,0 ton/ha. Kondisi yang demikian perlu penelahaan terhadap kelemahan dan kekurangan yang terjadi untuk tujuan perbaikan teknik budidaya kapas, sejak pemilihan lahan hingga pasca panen.

Karakteristik Sumberdaya Lahan dan Agroklimat

Sampai saat ini 80 persen tanaman kapas di Indonesia masih dikembangkan sebagai kapas tadah hujan atau rainfed cotton (Sastrosupadi dan Sahid, 1998). Di beberapa daerah wilayah timur seperti NTB, NTT, dan Sulawesi Selatan, pengembangan kapas banyak yang dilaksanakan di daerah lahan kering marjinal, di mana ketersediaan air kurang, tingkat kesuburan tanah rendah, daya pegang air kurang, kahat hara, dan erosi yang sudah lanjut terutama di wilayah berkelerengan curam (Kasryno et al., 1998).

Curah hujan, temperatur kelembaban udara, dan lamanya penyinaran matahari merupakan unsur-unsur iklim yang mempengaruhi budidaya kapas (Waddle, 1984; Hasnam et al., 1989; Djaenuddin et al., 1994; dan Hariyono et al., 1998). Unsur-unsur iklim tersebut berpengaruh terhadap proses fisiologi tanaman dan kehidupan organisme pengganggu tanaman (OPT). Kriteria kesesuain lahan dan agroklimat untuk tanaman kapas telah dikemukakan dalam Djaenuddin et al. (1994).

Penanaman kapas di daerah yang musim hujannya kacau (erratic), sehingga sering kekurangan air merupakan penyebab kegagalan panen di daerah pengem-bangan kapas. Pada musim tanam 1990/1991-1994/1995, rata-rata luas areal panen kapas yang dapat terealisir hanya mencapai 69,2 persen dari yang ditargetkan (Rizal et al.., 1998). Sedangkan Kanro dan Nappu (1998) melaporkan terjadinya kasus kegagalan panen di Sulawesi Selatan pada tahun 1995/1996 yang mencapai 49,35 persen.

Banyak risiko yang dihadapi jika mengusahakan kapas pada lahan marjinal. Oleh karena itu sejak Pelita V, pengembangan kapas mulai dianjurkan pada areal lahan sawah, di mana kapas ditanam setelah padi pertama, yang kondisi airnya tidak mencu-kupi pertanaman padi kedua.

Praktek Budidaya Pengolahan Tanah

Kapas adalah tanaman yang berakar dalam. Pengolahan tanah yang kurang sempurna menyebabkan dangkalnya perakaran sehingga tanaman kapas sangat rentan

Page 13: POTENSI DAN PERMASALAHAN PENGEMBANGAN KAPAS …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/monograph_24_2004_bab-8.pdf · dahulu kala menghasilkan bahan baku bagi pembuatan kain tenun

116

terhadap kekeringan (Hariyono et al., 1998). Penanaman kapas tanpa olah tanah dapat menurunkan hasil sebesar 15 persen dibandingkan dengan cara pengolahan tanah sempurna (Asmin et al.,1992).

Dalam program IKR terdapat ketentuan bahwa pengolahan tanah harus dilaku-kan dengan kedalaman 20-25 cm, tanah harus gembur dan rata, serta bersih dari gulma (Sulistiyo dan Mawarni, 1991). Dalam pelaksanaannya, ketentuan tersebut tidak dapat dilakukan secara penuh oleh petani, sehingga di berbagai daerah terjadi ketidak-seragaman cara pengolahan tanah. Di Sulawesi Selatan, pengolahan tanah dilakukan secara minimum tillage (Kanro dan Nappu, 1998), sedangkan di Lamongan, Jawa Timur, penanaman kapas bersama kedelai di lahan sawah dilakukan tanpa pengolahan tanah (Wahyuni et al., 1998).

Faktor-faktor yang berpengaruh dalam penentuan pengolahan tanah anjuran adalah: (a) ketersediaan tenaga kerja di wilayah pengembangan, baik tenaga kerja manusia, ternak, atau traktor, (b) kemampuan petani dalam menyediakan tenaga kerja keluarga, dan (c) kemampuan finansial petani untuk membayar tenaga kerja upahan.

Penanaman Waktu, Cara, dan Pola Tanam

Faktor-faktor yang perlu diperhatikan dalam tahap penanaman kapas meliputi dua hal, yaitu waktu tanam dan cara tanam. Untuk pertanaman kapas di lahan kering/tadah hujan, penanaman secara serempak dan tepat waktu adalah sangat penting. Makin lambat waktu tanam, makin berat serangan hama dan semakin berat kerusakan tanaman. Hasil penelitian Soebandrijo dan Mustofa (1994) di lahan kering Probolinggo menunjukkan bahwa dengan tanam beruntun setiap dua minggu, produk-tivitas kapas mengalami penurunan rata-rata sebesar 41,8 persen setiap dua minggunya.

Kapas umumnya ditanam secara tumpangsari atau tumpanggilir dengan pala-wija, antara lain dengan jagung, kedelai, atau kacang hijau. Pola tanam campuran ter-sebut menurut Sulistyowati dan Hasnam (1991) dapat menurunkan produktivitas kapas rata-rata 25,06 persen dibandingkan dengan pertanaman monokultur, tetapi pandapatan petani meningkat.

Petani pada umumnya kurang memperhatikan jarak tanam. Kasus di Sulawesi Selatan, penanaman kapas dilakukan dalam alur mata bajak sebagai barisan tanaman kapas. kondisi ini menyebabkan ada pertanaman yang rapat, yang menyebabkan kanopi tanaman saling menaungi. Akibatnya, proses pembentukan buah berlangsung tidak optimal (Kanro dan Nappu,1998). Demikian pula di Lamongan, Jawa Timur, penanaman kedelai yang dilakukan dengan cara disebar menyebabkan jarak tanam antara kedelai dan kapas terlalu rapat. Hal ini mengakibatkan pertumbuhan kapas terhambat sampai dengan kedelai panen (Wahyuni et al., 1998).

Page 14: POTENSI DAN PERMASALAHAN PENGEMBANGAN KAPAS …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/monograph_24_2004_bab-8.pdf · dahulu kala menghasilkan bahan baku bagi pembuatan kain tenun

117

Tanaman kapas yang tumbuh di bawah naungan tanaman palawija umumnya mengalami etiolasi, umur lebih panjang, keguguran kuncup bunga dan buah, serta rentan terhadap hama dan penyakit (Hariyono et al., 1998). Hasil penelitian menunjuk-kan bahwa semakin tinggi tingkat penaungan dan semakin lama penaungan, maka hasil kapas akan menurun. Tanaman kapas yang ternaungi 50 persen selama partumbuhan-nya akan menurunkan hasil sekitar 29 persen (Sahid, 1989). Untuk mengatasi hal tersebut telah dikembangkan pola strip cropping antara kapas dan palawija yang mempertimbangkan kemudahan pengelolaan dan pencapaian produktivitas yang tinggi untuk tanaman kapas (Soebandrijo et al., 1998; Hasnam et al., 1990; dan Hariyono et al., 1994).

Penggunaan Benih dan Varietas

Benih yang digunakan dalam program IKR adalah benih berkabu-kabu, yaitu benih yang masih mengandung serat. Dengan benih berkabu-kabu sulit untuk mela-kukan sortasi benih, karena benih tertutup serat. Benih berkabu-kabu memiliki daya berkecambah rendah, yaitu sekitar 40-50 persen (Kanro dan Nappu, 1998), sehingga petani seringkali melakukan penyulaman berulang-ulang, karena populasi tanaman yang tumbuh sangat kurang. Hal ini selain menambah biaya, juga menyulitkan pengendalian hama dan menurunkan produktivitas. Persoalan benih lainnya adalah masalah pena-nganan penyimpanan benih dan kemurnian benih (Sulistiyo dan Mawarni, 1991).

Kesenjangan (gap) produktivitas kapas antara hasil di tingkat petani dengan potensinya (hasil penelitian) masih cukup tinggi. Produktivitas kapas di tingkat peneliti-an dapat mencapai di atas 1.500 kg/ha kapas berbiji (Tabel 8), sebaliknya produktivitas kapas di tingkat petani hanya mencapai kurang dari 1.000 kg/ha (Tabel 9).

Penggunaan benih delinted merupakan prasyarat dalam upaya meningkatkan produktivitas kapas rakyat. Menurut Kasryno et al. (1998), teknik memproduksi benih kapas yang bermutu (delinted seed) telah disediakan Balittas, tetapi karena selisih harga benih dan tidak tersedianya subsidi untuk benih kapas, akibatnya benih yang disalurkan kepada petani oleh pengelola intensifikasi adalah benih berkabu-kabu.

Perbaikan varietas merupakan prioritas penting lainnya dalam upaya pening-katan produktivitas kapas nasional, terutama ditujukan untuk meningkatkan ketahanan kapas terhadap hama yang menjadi kendala produksi utama di Indonesia. Selama Pelita V dan VI , Balittas telah berhasil melepas tujuh varietas unggul kapas, yaitu Kanesia 1, Kanesia 2, dan LRA 5166 yang dilepas tahun 1990 serta Kanesia 3,4,5, dan 6 yang dilepas tahun 1993. Varietas-varietas tersebut lebih tahan terhadap hama S. biguttula dan memiliki mutu serat cukup bagus. Kanesia 3 dan Kanesia 4 juga toleran untuk ditumpangsarikan dengan palawija. Produktivitas Kanesia 1 - 4 di lokasi pengujian dapat mencapai 1,77 – 2,92 ton/ha kapas berbiji (Kasryno et al., 1998).

Page 15: POTENSI DAN PERMASALAHAN PENGEMBANGAN KAPAS …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/monograph_24_2004_bab-8.pdf · dahulu kala menghasilkan bahan baku bagi pembuatan kain tenun

118

Tabel 8. Produktivitas Kapas di Tingkat Penelitian

Sumber Jenis percobaan Tipe lahan Pola tanam Hasil

(kg/ha) Sahid et al., 1989 populasi

tanaman sawah tumpangsari 1.060 - 1.760

Kadarwati et al., 1992 pengairan sawah tumpangsari 1.676 - 1.896 Cholid et al., 1996 tata tanam

pengairan Sawah monokultur

tumpangsari 1.689 - 2.007

835 - 1.647 Riajaya dan Kadarwati., 1995

pengairan sawah monokultur tumpangsari

1.554 878 - 1.015

Sahid et al., 1995 pemupukan lahan kering tumpangsari 947 - 1.810 Kadarwati et al., 1994 pemupukan sawah monokultur 1.400 - 2.497 Trisyono et al., 2001 uji multilokasi lahan kering monokultur *)

1. Kanesia 2. Bollgard **) 3. Deltapine

576 - 3.019

1.378 - 3.661 977 - 3.094

Keterangan: *) percobaan dengan 30 plot /petakan, masing-masing berukuran (10 x 15) cm, jarak antar plot 2 m, jarak tanam 100 x 15 cm, 1 tanaman/lubang **) kapas transgenik Tabel 9. Produktivitas Kapas di Tingkat Petani

Sumber Lokasi tipe lahan Polatanam Hasil

(kg/ha) Wahyuni et al., (1998) Lamongan, Jatim STH Kapas + kedelai 504 - 799 Kanro dan Nappu (1998) Sulawesi Selatan LK - 131 - 838 Ditjen Perkebunan Indonesia, 1985-1999 - - 210 - 670

Pemeliharaan Tanaman Penjarangan, Penyulaman, dan Pengairan

Penjarangan dan penyulaman tanaman dimaksudkan untuk memperoleh perta-naman yang mempunyai kepadatan populasi merata dan optimum agar pertumbuhan tanaman seragam. Penjarangan sebaiknya dilakukan sebelum umur 15 HST (Hariyono et al., 1998), sedangkan penyulaman dilakukan apabila persentase tanaman yang tumbuh kurang dari 80 persen atau dalam suatu areal pertanaman terdapat beberapa tempat terbuka akibat benih yang ditanam tidak tumbuh (Sulistiyo dan Mawarni, 1991; dan Sutijah, 1991).

Dalam prakteknya, cara tanam petani yang kurang memperhatikan jarak tanam menunjukkan bahwa teknik penjarangan dan penyulaman tidak dilakukan dengan baik, karena akan menyebabkan penambahan penggunaan tenaga kerja yang cukup banyak.

Page 16: POTENSI DAN PERMASALAHAN PENGEMBANGAN KAPAS …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/monograph_24_2004_bab-8.pdf · dahulu kala menghasilkan bahan baku bagi pembuatan kain tenun

119

Pengembangan kapas nasional yang umumnya dilakukan di lahan tanah hujan yang curah hujannya tidak teratur (erratic) menyebabkan tingkat produktivitas kapas domestik rendah. Kekurangan air, terutama pada periode kritis pertumbuhan tanaman kapas dapat mengurangi pembentukan cabang generatif, meningkatkan keguguran kuncup bunga dan bunga, dan pada gilirannya menurunkan hasil kapas berbiji (Cholid dkk., 1998; dan Sutijah, 1991).

Kelebihan air akibat curah hujan di atas normal dapat menyebabkan partum-buhan vegetatif lebih dominan daripada pertumbuhan generatif. Hal ini disebabkan karakteristik habits tanaman kapas yang bersifat inditerminate, yaitu pertumbuhan vegetatif dan generatif yang terjadi secara simultan (Mauney, 1986; Zarecor dan Scohott, 1988 dalam Sastrosupadi dan Sahid, 1998). Akibatnya pembentukan kuncup bunga terhambat atau gugur (Sastrosupadi dan Kartono., 1982). Selain itu, akibat tingginya kelembaban kanopi, terutama kanopi bagian bawah dapat menimbulkan serangan cendawan dan hawar bakteri (Ibrahim, 1994). Konsekuensi dari kedua akibat tersebut dapat menyebabkan kegagalan panen atau berkurangnya hasil kapas berbiji.

Pengendalian Gulma

Gulma merupakan salah satu penyebab penurunan hasil kapas yang cukup besar, di samping hama dan penyakit (McMillan, 1988). Persaingan dengan gulma ter-besar terjadi sebelum kapas berumur delapan minggu (Haryono et al., 1998). Penundaan pengendalian gulma melewati batas waktu tersebut dapat menurunkan hasil kapas sekitar 35 – 89 persen. Pengendalian gulma dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut (Hasnam et al., 1990; Haryono et al., 1998; dan Cholid et al., 1998): (a) pemberian mulsa setebal 3-5 cm, (b) penyiangan dua kali pada umur tiga dan enam minggu setelah tanam, (c) herbisida, dan (d) kultur teknis, yaitu penanaman kacang hijau di antara barisan kapas.

Pada umumnya petani kurang intensif dalam melakukan penyiangan. Di Sulawesi Selatan, petani lebih menyukai penggunaan herbisida daripada penyiangan. Pengendalian gulma dengan semata-mata menggunakan herbisida tanpa pengolahan tanah akan menghambat pertumbuhan akar. Kondisi yang demikian juga berpengaruh terhadap rendahnya produktivitas (Kanro dan Nappu, 1998). Pemupukan

Jenis pupuk yang diberikan dalam paket IKR mencakup pupuk Urea (N) 100 kg/ha, ZA (N dan S) 100 kg/ha, TSP (P) 100 kg/ha, dan KCl (K) 50-100 kg/ha (Sahid dan Sastrosupadi, 1998). Dikhawatirkan penggunaan pupuk P dalam program tersebut melebihi jumlah hara P yang diperlukan tanaman, mengingat tingkat efisiensi serapan hara P sangat rendah. Pemupukan P setiap musim tanam tidak efisien (Kadarwati et al., 1995), karena akan menyebabkan peningkatan residu P dalam tanah yang tidak termanfaatkan oleh tanaman secara optimal. Machfud et al. (1998) menganjurkan agar

Page 17: POTENSI DAN PERMASALAHAN PENGEMBANGAN KAPAS …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/monograph_24_2004_bab-8.pdf · dahulu kala menghasilkan bahan baku bagi pembuatan kain tenun

120

pemupukan P tidak dilakukan pada lahan yang berkadar P tanah tinggi, sedangkan pada kondisi ketersediaan P tanah rendah, batas pemupukan P pada kapas adalah sebesar 33,75 kg/ha P2O5

• Pengendalian secara budidaya

setara dengan 75 kg TSP atau 107 SP-36. Menurut Kanro dan Nappu (1998) jumlah dan jenis pupuk tidak menjadi

masalah karena telah tersedia dalam paket kredit, yang perlu diperbaiki adalah teknik pemberian pupuk. Tetapi, setelah fasilitas kredit ditiadakan, pemakaian pupuk dari tahun ke tahun mengalami penurunan. Secara nasional rata-rata penggunaan pupuk untuk kapas pada tahun 1992/93 hanya mencapai 69 persen dari anjuran. Selanjutnya terus mengalami penurunan dari 62 persen pada tahun 1993/1994 menjadi 54 persen pada tahun 1994/1995 (Ditjen Perkebunan, 1998). Pengendalian Hama dan Penyakit

Kehilangan hasil kapas di Indonesia karena gangguan serangga hama diperkirakan mencapai 50 persen (Hadiyani et al., 1998). Menurut FAO terdapat sekitar 38 spesies serangga menyerang tanaman kapas di Indonesia, dari umur muda sampai sesudah panen dan penyimpanan di gudang (FAO, 1990). Semua bagian tanaman tidak luput dari serangan hama kapas, dari akar, batang, daun, pucuk, kuncup bunga, bunga, buah, dan biji (Sutijah, 1991).

Hama utama tanaman kapas di antaranya adalah (Kalshoven, 1981; Bindra, 1986; Soebandrijo, 1986; Gothama dan Soebandijo, 1987; Bindra dan Nurindah, 1988; Fredrik et al., 1990; Soebandijo dan Subiyakto, 1992; Rizal et al., 1998; dan Hadiyani et al., 1998): (a) Wereng kapas pengisap daun Sundapteryx biguttula; (b) penggerek bunga dan buah Helicoverpa armigera (Hubner), Pectinophora gossypiella; dan Earias vittella; dan (c) ulat grayak Spodoptera Litura F. Selain itu, terdapat penyakit yang sering menyerang tanaman kapas di antaranya adalah hawar bakteri yang disebabkan oleh bakteri Xanthomonas campestris dan berbagai penyakit lainnya (Sutijah, 1991).

Untuk mencegah terjadinya serangan hama dan penyakit yang merugikan, di-anjurkan kepada petani untuk melaksanakan sistem Pengelolaan Tanaman Terpadu atau sistem Pengendalian Hama Terpadu (PHT), yang meliputi aspek-aspek berikut:

Pemilihan varietas yang adaptif dengan lingkungan setempat Penggunaan varietas yang tahan terhadap hama/penyakit utama

seperti hama S. biguttula, H. armigera, dan penyakit busuk buah Penggunaan benih delinted. Dilakukan seed treatment (perlakuan benih) sebelum benih ditanam Sanitasi (pemusnahan sisa-sisa tanaman tahun sebelumnya) Tanam serentak dan tepat waktu Menggunakan tanaman perangkap untuk mengendalikan ulat buah

kapas (H. armigera). Misalnya penanaman varietas jagung yang

Page 18: POTENSI DAN PERMASALAHAN PENGEMBANGAN KAPAS …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/monograph_24_2004_bab-8.pdf · dahulu kala menghasilkan bahan baku bagi pembuatan kain tenun

121

berumur genjah, tengahan, dan dalam sesuai dengan fluktuasi populasi hama H. armigera dan masa kritis kapas terhadap hama tersebut

Pengaturan polatanam kapas secara strip cropping dengan palawija. Pengolahan tanah yang baik, penyiangan tepat waktu, dan

pengaturan pemupukan nitrogen sesuai kebutuhan tanaman

• Pengendalian secara mekanik Mengambil langsung dan memusnahkan kelompok telur, larva, atau

serangga dewasa bersama dengan bagian tanaman yang terserang Pengendalian pertumbuhan vegetatif dengan pemangkasan pucuk Penggunaan alat penyiang yang dapat menekan penggunaan tenaga

kerja manusia.

• Pengendalian secara hayati Penggunaan musuh alami (agensia hayati) dengan predator,

parasitoid, maupun patogen Penggunaan pestisida nabati, seperti larutan serbuk biji mimba (Azadi-

rachta indica) kering.

• Pengendalian secara kimiawi Penyemprotan dengan bahan-bahan kimiawi berdasarkan hasil

pemanduan hama kapas (scouting) Aplikasi insektisida berjadwal rapat Pemanfaatan feromoid (feromon seks tiruan) Aplikasi herbisida untuk pengendalian gulma.

Penerapan rekomendasi PHT di tingkat petani masih dilakukan secara parsial, dan teknik yang digunakan bervariasi antar daerah. Menurut Gothama et al. (1990), dan Soebandrio et al. (1993), usaha pengendalian hama kapas di tingkat petani masih mengandalkan penggunaan insektisida kimia, sehingga di antara komponen biaya usahatani kapas, biaya pengendalian hama cukup tinggi, yaitu mencapai sekitar 60 persen. Di Sulawesi Selatan, sekitar 62,5 persen petani telah menerapkan teknik pengggunaan tanaman jagung sebagai perangkap hama (Kanro dan Nappu,1998). Sementara itu, di Lamongan - Jawa Timur dan di Boyolali - Jawa tengah, pengendalian hama secara kimiawi masih banyak dilakukan petani dengan sistem panduan dan jadwal (Wahyuni et al., 1998; Wahyuni et al., 1993)

Penggunaan insektisida kimiawi secara intensif dapat menimbulkan berbagai dampak negatif. Oleh sebab itu, penelitian dan pengembangan pemanfaatan pengen-dalian secara hayati menjadi bioinsektisida perlu dilakukan secara intensif, baik tek-nologi aplikasinya maupun teknik produksinya secara masal.

Page 19: POTENSI DAN PERMASALAHAN PENGEMBANGAN KAPAS …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/monograph_24_2004_bab-8.pdf · dahulu kala menghasilkan bahan baku bagi pembuatan kain tenun

122

Pemungutan dan Penanganan Hasil Buah kapas siap dipanen bila telah merekah sempurna dan panen dimulai bila

50-60 persen buah merekah. Penundaan panen akan menurunkan mutu serat karena proses pelapukan dan gangguan mikro organisme (Hasnam dan Adisarwanto, 1993). Tinggi rendahnya harga kapas sangat ditentukan oleh mutu serat kapasnya, karena mutu serat kapas berpengaruh terhadap kemampuan daya pintal dan kualitas benang.

Kriteria penentuan mutu serat kapas yang utama dalam perdagangan kapas mencakup unsur-unsur berikut (Ali, 1998, dan Wagimun, 1998): (a) penampakan (grade) kapas: warna, kotoran, dan preparasi, (b) panjang serat, (c) kehalusan serat, (d) kekuatan serat, (e) kedewasaan serat, dan (e) kontaminasi.

Dalam program IKR, petani dianjurkan melakukan penjemuran kapas berbiji yang dipanen sehingga mencapai tingkat kekeringan tertentu, yaitu kadar air ± 8 persen (Sulistiyo dan Mawarni, 1991). Untuk mengetahui tingkat kekeringan yang dikehendaki itu, dalam praktek, petani melakukan dengan cara menggigit biji kapas. Bila berbunyi nyaring berarti tingkat kekeringan telah terpenuhi.

Menurut BBPPIT (1982) dalam Sahid dan Sastrosupadi (1998), kondisi mutu serat kapas dari beberapa daerah sentra kapas adalah sebagai berikut: (a) Grade serat berkisar antara midling sampai spotted, dan masih dapat ditingkatkan dengan cara perbaikan saat petik, penjemuran yang baik, dan prosesing penyeratan yang akurat; (b) panjang, mikronair, dan kekuatan serat telah memenuhi syarat untuk konsumsi industri tekstil dalam negeri, tetapi perlu diperbaiki bila kelak digunakan mesin tekstil berkecepatan tinggi, dan (c) kedewasaan serat kurang dari 70 persen, serat rapuh mudah putus, persentase serat pendek dan waste bertambah saat pemintalan. Kurangnya kedewasaan serat dapat diatasi dengan pemilihan varietas, memberikan kondisi tumbuh yang layak, dan mencegah petik muda.

Tingkat Pendapatan Usahatani Kapas

Beberapa hasil penelitian mengenai usahatani kapas di tingkat petani pada Tabel 10 menunjukkan bahwa pendapatan dari kapas bervariasi antardaerah dan di beberapa daerah memperlihatkan perolehan dari usahatani kapas cenderung negatif. Informasi yang diberikan Sulistiyo dan Mawarni (1991) menggambarkan bahwa secara agregat usahatani kapas di Jawa Tengah memberikan tingkat pendapatan tertinggi dan berbeda cukup signifikan dibandingkan dengan di daerah-daerah pengembangan lain-nya. Kondisi yang demikian karena didukung oleh faktor-faktor ekologi, agronomi, dan sosial ekonomi. Ada beberapa perbedaan yang mencolok yang sangat berpengaruh bagi keberhasilan IKR di wilayah Jawa Tengah, khususnya jika dibandingkan dengan wilayah di NTT dan NTB, yaitu: (a) musim penghujan di Jawa Tengah relatif lebih pan-jang, sehingga mampu melakukan tiga kali tanam. Perbedaan kondisi fisik agronomis ini memberikan warna berbeda dalam sistem usahatani dan taraf subsistensinya, (b) tenaga kerja pertanian di Jawa Tengah relatif tersedia, (c) kemampuan finansial petani

Page 20: POTENSI DAN PERMASALAHAN PENGEMBANGAN KAPAS …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/monograph_24_2004_bab-8.pdf · dahulu kala menghasilkan bahan baku bagi pembuatan kain tenun

123

Page 21: POTENSI DAN PERMASALAHAN PENGEMBANGAN KAPAS …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/monograph_24_2004_bab-8.pdf · dahulu kala menghasilkan bahan baku bagi pembuatan kain tenun

124

di Jawa Tengah relatif lebih baik, sehingga perhatian dalam pemeliharaan tanaman kapas dapat dilakukan lebih intensif, (d) petani peserta IKR di Jawa Tengah selalu menerima paket kredit saprotan dan COL dalam jumlah dan waktu yang relatif tepat, (e) adanya program Bimas padi/palawija di Jawa Tengah yang relatif mapan.

Dari hasil-hasil pengujian di tingkat peneliti yang disajikan pada Tabel 12 me-nunjukkan bahwa usahatani kapas memiliki potensi yang cukup besar untuk dikem-bangkan dalam kerangka peningkatan pendapatan petani.

PELUANG PENGEMBANGAN KAPAS NASIONAL

Kapas merupakan komoditas strategis, karena termasuk sebagai komponen

bahan baku utama dalam industri teksil. Saat ini dan pada masa datang, sektor industri tekstil tidak saja berperan sebagai pemasok kebutuhan pokok rakyat berupa sandang, tetapi telah berkembang menjadi sumber devisa negara, karena kedudukannya sebagai komoditas ekspor nonmigas yang cukup penting. Selain itu, sektor industri tekstil juga berperan nyata dalam penyerapan tenaga kerja.

Prospek pasar komoditas kapas cukup cerah, baik di tingkat internasional maupun domestik. Kebutuhan dan permintaan serat kapas di pasar internasional akan semakin meningkat seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk dan tingkat penda-patan masyarakat dunia. International Cotton Advisory Committee (ICAC) dalam Kasryno et al. (1998) memproyeksikan bahwa dalam jangka panjang konsumsi kapas dunia akan meningkat rata-rata 2,2 persen per tahun. Sementara itu, tingkat produksi kapas dunia berfluktuasi, bahkan data tahun 1991-1995 menunjukkan gejala penurunan dengan rata-rata empat persen per tahun.

Dengan laju kenaikan produksi yang terbatas, berfluktuasi, dan adanya kebijak-an negara-negara produsen kapas untuk memenuhi kebutuhan industri tekstilnya sendiri, maka dapat diperkirakan bahwa ketersediaan kapas yang diperdagangkan akan semakin berkurang. Sejak tahun 1993, Indonesia mulai kesulitan untuk mendapatkan kapas karena berkurangnya volume kapas yang diperdagangkan di pasar internasional. Naiknya harga kapas dan kesulitan dalam mendapatkan bahan baku kapas sudah dirasakan akibatnya di dalam negeri, yaitu dengan turunnya daya saing tekstil Indonesia, yang berakibat terjadinya penumpukan produksi tekstil dan PHK di sejumlah pabrik tekstil. Menilik dari kondisi yang demikian, maka untuk menjaga keberlang-sungan industri tekstil Indonesia diperlukan antisipasi dengan mempersiapkan semak-simal mungkin kebutuhan bahan baku kapas tersebut dapat diproduksi di dalam negeri.

Potensi pengembangan kapas di Indonesia masih cukup terbuka dilihat dari sisi perkembangan inovasi teknologi dan ketersediaan sumberdaya lahan yang mampu meningkatkan produksi kapas domestik. Dari aspek inovasi teknologi, institusi penelitian di dalam negeri maupun luar negeri telah berhasil menciptakan varietas-varietas unggul yang memiliki daya hasil tinggi, baik itu yang dihasilkan dengan cara persilangan

Page 22: POTENSI DAN PERMASALAHAN PENGEMBANGAN KAPAS …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/monograph_24_2004_bab-8.pdf · dahulu kala menghasilkan bahan baku bagi pembuatan kain tenun

125

konvensional, hibrida, maupun transgenik, Di samping berbagai teknik budidaya lainnya yang tersedia dan secara terus menerus disempurnakan untuk meningkatkan produktivitas dan kualitas serat kapas.

Dari aspek sumberdaya lahan, potensi areal pengembangan kapas di Indonesia masih cukup tersedia. Tabel 11 menunjukkan bahwa luas areal yang memiliki potensi tinggi untuk tanaman kapas mencapai lebih dari 1,2 juta hektar yang tersebar di enam provinsi, terutama Provinsi Sulawesi Selatan yang memiliki potensi terbesar. Menurut Kadarwati et al. (1998), luas lahan yang cukup sesuai dikembangkan untuk tanaman kapas di Jawa Tengah dengan mempertimbangkan berbagai hal, di antaranya kompe-tisi dengan komoditas lain, tingkat produktivitas, dan keterdiaan sumber pengairannya adalah seluas 43.435 hektar. Kabupaten Grobogan memiliki potensi areal pengem-bangan tertinggi, yaitu mencapai 17.538 hektar, kemudian diikuti oleh Kabupaten Jepara (8.198 ha), Blora (8.093 ha), Demak (5.723 ha), Rembang, dan Tegal. Tabel 11. Potensi Areal Kapas di Indonesia

Provinsi Potensi tinggi (ha) Potensi sedang (ha) Jawa Timur 178.042 15.000 Jawa Tengah 296.900 21.200 Nusa Tenggara Barat 175.500 53.500 Sulawesi Selatan 455.800 - Sulawesi Tenggara 177.900 50.900 Sulawesi Tengah 13.900 178.800

Total 1.298.042 319.400 Sumber: Kasryno et al. (1998)

Dari sejarah pengembangan kapas di Indonesia diperoleh gambaran bahwa usaha-usaha telah dilakukan untuk meningkatkan produksi kapas nasional. Meskipun demikian hasil yang diperoleh belum sesuai dengan harapan, karena sampai saat ini produksi kapas dalam negeri masih sangat rendah, sehingga kebutuhan kapas untuk industri tekstil dan produk tekstil (TPT) nasional masih sangat bergantung pada pasokan serat kapas impor.

Bertolak dari permasalahan-permasalahan yang terkait dengan persolan pe-ningkatan produksi kapas domestik yang telah diuraikan secara rinci pada pembahasan sebelumnya, maka untuk pengembangan kapas nasional pada masa depan diperlukan penyempurnaan-penyempurnaan yang mencakup hal-hal sebagai berikut:

• Pemilihan lokasi pengembangan kapas harus ditentukan berdasarkan kriteria kesesuaian lahan dan agroklimat secara cermat, tepat dan tegas, mengingat usahatani kapas memiliki risiko tinggi terhadap kondisi lingkungannya. Lokasi pengembangan hendaknya dipilih di daerah-daerah yang memiliki potensi hasil

Page 23: POTENSI DAN PERMASALAHAN PENGEMBANGAN KAPAS …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/monograph_24_2004_bab-8.pdf · dahulu kala menghasilkan bahan baku bagi pembuatan kain tenun

126

kapas berbiji minimal 1.500 kg/ha, produktivitas stabil tidak berfluktuasi, dan kualitas hasil memenuhi standar mutu yang ditentukan.

• Untuk menjamin kemantapan pengadaan bahan baku dan peningkatan efisiensi kerja ginnery, seyogyanya pengelola intensifikasi kapas memiliki kebun inti sekitar 60-70 persen dari luas areal optimal untuk satu ginnery, sisanya 30-40 persen merupakan kebun plasma yang dikelola oleh petani peserta. Dalam hal ini peran serta pemerintah daerah sangat diperlukan dalam menyediakan lahan perkebunan inti dengan sistem HGU, sedangkan pihak perusahaan pengelola berkewajiban menjamin pemanfaatan lahan seoptimal mungkin.

• Pendekatan pola kemitraan antara usaha kecil dengan usaha besar perlu dikembangkan dengan prinsip-prinsip sebagai berikut: Kemitraan memiliki kepentingan komersial bersama, dimana terdapat

saling ketergantungan dalam hal keuntungan ekonomi antara perusahaan inti dan plasmanya.

Kemitraan harus melibatkan unit pengembangan usaha kecil, khususnya koperasi, agar petani/anggota koperasi dapat meningkat-kan aksesnya dalam memperoleh kredit perbankan.

Kemitraan memberikan daya tarik bagi bank untuk berperan aktif dalam penyaluran kredit, khususnya kredit usaha kecil, dengan meningkatkan kelayakan usaha kecil yang didukung oleh perusahaan inti dan kopersi sebagai unit pengembangan usaha di tingkat petani.

Aspek pemasaran harus mempunyai kepastian, sedangkan aspek pro-duksi harus menunjukkan kontinuitas dari segi kuantitas maupun kualitas. Penetapan harga kapas berbiji hendaknya dilakukan secara bersama antara pelaku bisnis kapas dengan menerapkan azas keadilan. Perjanjian kerjasama antara perusahaan inti dengan petani plasma harus jelas, saling menguntungkan, adil, dan transparan.

• Paket teknologi anjuran hendaknya bersifat spesifik lokasi, efisien, dan tidak menyulitkan dalam penerapannya, sehingga petani dapat secara utuh mengadopsinya. Usahatani hendaknya dilakukan dengan sistem pengelolaan tanaman terpadu (PTT).

• Bimbingan, penyuluhan, dan pengawalan dilakukan dengan metode yang tepat dengan intensitas yang memadai dan dilaksanakan oleh tenaga yang terlatih.

• Manajemen usaha dilakukan secara efisien, terkoordinasikan, dan tidak berorientasi proyek.

• Pemerintah daerah berperan aktif sebagai fasilitator, baik dalam hal perizinan, penyediaan prasarana, pembinaan dan pengawasan.

Page 24: POTENSI DAN PERMASALAHAN PENGEMBANGAN KAPAS …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/monograph_24_2004_bab-8.pdf · dahulu kala menghasilkan bahan baku bagi pembuatan kain tenun

127

DAFTAR PUSTAKA Ali, F. 1998. Kebutuhan Industri Tekstil Nasional terhadap Bahan Baku Kapas. Dalam: Hasnam

dkk (eds). Prosiding Diskusi Kapas Nasional. Balai Penelitian Tembakau dan Tanaman Serat, Malang.

Asmin, M.Z. Kanro, M.B. Nappu, dan F.T. Kadarwati. 1992. Teknik Irigasi dan Minimum Tillage pada Kapas Tumpangsari dengan Kedelai di Lahan Sawah Sesudah Padi di Bontolaksana, Gowa, Sulawesi Selatan. Laporan Sub Balittas Bajeng 1991/1992.

Bindra and Nurindah. 1988. Pest of Cotton in Indonesia. Workshop on Cotton IPM Research, Malang 10-11 August 1986. 39 p.

Bindra, O.S. 1986. Utilization of Natural Enemies of Pest in The Integrated Cotton Pest Management Programme in Indonesia. FAO Project for Development of Integrated Cotton Pest Control Programme in Indonesuia. AG: DP/INS/83/025. Field Doc. 1. 37 p.

Cholid, M., M. Yusron, dan P.D. Riajaya. 1998. Anjuran Agronomi Usahatani Kapas dengan Kedelai di Lahan Sawah. Dalam: Hasnam dkk (eds). Prosiding Diskusi Kapas Nasional. Balai Penelitian Tembakau dan Tanaman Serat, Malang.

Direktorat Jenderal Perkebunan. 1998. Peluang dan Program Pengembangan Kapas di Indonesia. Dalam: Hasnam dkk (eds). Prosiding Diskusi Kapas Nasional. Balai Penelitian Tembakau dan Tanaman Serat, Malang.

Djaenuddin, D., Basuni, S. Hardjowigeno, H. Subagyo, M.Sukardi, Ismangun, Marsudi Ds, N.Suharta, L. Hakim, Widagdo, J. Dai, V. Suwandi, S. Bachri, dan E.R. Jordens. 1994. Kesesuaian Lahan untuk Tanaman Pertanian dan Kehutanan. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Bogor.

FAO. 1990. Development of Cotton Integrated Pest Control Programme in Indonesia: Project Findings and Recommendations. UNDP-FAO AG:DP/INS/83/025. Terminal Report. 23 p.

Fredrik, M. Sjafaruddin, M. Rizal, dan Luqmiaty. 1990. Inventarisasi Hama, Musuh Alami, dan Uji Komponen PHT di Lahan Sawah Bero. Prosiding Seminar Budi daya Kapas di Lahan Sawah. Balittas, Malang.

Gothama, A.A.A., dan Soebandrijo. 1987 Hama Tanaman Kapas. Lokakarya Penelitian Pengendalian Hama Kapas Secara Terpadu. Balittas, Malang.

Gothama, A.A.A., Soebandrijo, dan S. Sudarmo. 1990. Usaha-usaha Mengurangi Pemakaian Insektisida dalam Pengendalian Hama Kapas. Dalam: Hobir dkk (eds). Prosiding Simposium I Hasil Penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri: Tanaman Serat Buah. Buku V. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri.

Hadiyani, S., Subiyakto, Tukimin, dan D. Winarno. 1998. Peranan Bahan Kimia dalam Pengendalian Serangga Hama Kapas. Dalam: Hasnam dkk (eds). Prosiding Diskusi Kapas Nasional. Balai Penelitian Tembakau dan Tanaman Serat, Malang.

Hariyono, B., I. Gunarto, Hasnam, dan E.O. Momuat. 1994. Pola Tanam Kapas dengan Palawija di Kabupaten Sikka. Publikasi Wilayah Kering 1(2): 81-88.

Page 25: POTENSI DAN PERMASALAHAN PENGEMBANGAN KAPAS …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/monograph_24_2004_bab-8.pdf · dahulu kala menghasilkan bahan baku bagi pembuatan kain tenun

128

Hariyono, B., M. Machfud, dan P.D. Riajaya. 1998. Sistem Tanam Kapas di Lahan Tadah Hujan. Dalam: Hasnam dkk (eds). Prosiding Diskusi Kapas Nasional. Balai Penelitian Tembakau dan Tanaman Serat, Malang.

Hasnam, dan S.H. Isdijoso. 1991. Hasil-hasil Penelitian Kapas untuk Nusa Tenggara. Prosiding Pertemuan Teknis Program Penelitian dan Pengembangan Sistem Usahatani di Nusa Tenggara. Yogyakarta 29-30 Juni 1990. Proyek P3NT.

Hasnam, dan T. Adisarwanto. 1993. Budidaya Kapas+Kedelai di Lahan Sawah Sesudah Padi. Dalam: Hasnam dkk (eds). Prosiding diskusi panel Budidaya Kapas + Kedelai. Balai Penelitian Tembakau dan Tanaman Serat, Malang.

Hasnam, P.D. Riajaya, Machfudz, M. Sahid, dan Darmono. 1989. Beberapa Anjuran Agronomi untuk Meningkatkan Produktivitas Kapas Rakyat. Prosiding Lokakarya Teknologi Kapas Tepat Guna. No.1. Balittas, Malang.

Hasnam, Soebandrijo, S.E. Harjono, N. Ibrahim, dan F.T. Kadarwati. 1990. Paket Teknologi Kapas untuk Nusa Tenggara. Proyek P3NT.

Ibrahim, N. 1994. Pengendalian Serangan Penyakit pada Tanaman Kapas. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian XIII(2): 59-64.

Indrayani, I.G.A.A., D.A. Sunarto, S. Hadiyani, dan D. Winarno. 1998. Pengendalian Hayati: Prospek dan Tantangan di Masa Depan. Dalam: Hasnam dkk (eds). Prosiding Diskusi Kapas Nasional. Balai Penelitian Tembakau dan Tanaman Serat, Malang.

Kadarwati, F.T., Djumali, M. Machfud, B. Hariyono, M.Cholid, dan Sudarto. 1998. Kesesuaian Lahan untuk Kapas dan Kedelai di Jawa Tengah. Dalam: Hasnam dkk (eds). Prosiding Diskusi Kapas Nasional. Balai Penelitian Tembakau dan Tanaman Serat, Malang.

Kadarwati. F.T., M. Yusron, M.Machfud, dan G. Kustiono. 1995. Pengaruh Pemupukan P Padi dan Kapas Setelah Padi terhadap Pertumbuhan dan Hasil Kapas. Penelitian Tanaman Tembakau dan Serat 10(1): 67-76.

Kalshoven, L.G.E. 1981. Pest of Crops in Indonesia. Rev. and Trans. by P.A. Van Der Laan. PT. Ichtiar Baroe Van Hoeve. Jakarta. 701 pp.

Kanro, M.Z., dan M.B. Nappu. 1998. Penerapan Teknologi pada Beberapa Daerah Pengembangan Kapas di Sulawesi Selatan. Dalam: Hasnam dkk (eds). Prosiding Diskusi Kapas Nasional. Balai Penelitian Tembakau dan Tanaman Serat, Malang.

Kartohadikoesoemo, N. 1987. Bercocok Tanam Kapas di Indonesia. Lembaga Pendidikan Perkebunan, Yogyakarta.

Kasryno, F., T. Sudaryanto, dan Hasnam. 1998. Peranan Penelitian dalam Mendukung Peningkatan Produksi Kapas Nasional. Dalam: Hasnam dkk (eds). Prosiding Diskusi Kapas Nasional. Balai Penelitian Tembakau dan Tanaman Serat, Malang.

Machfud, M., M. Sahid, dan F.T. Kadarwati. 1998. Pemupukan P Kapas yang Ditumpangsarikan dengan Kedelai di Lahan Sawah. Dalam: Hasnam dkk (eds). Prosiding Diskusi Kapas Nasional. Balai Penelitian Tembakau dan Tanaman Serat, Malang.

Mauney, R.J. 1986. Vegetative Growth and Development of Truiting Sites. The Cotton Foundation Publisher, Memphis, Tennessee, USA.

Page 26: POTENSI DAN PERMASALAHAN PENGEMBANGAN KAPAS …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/monograph_24_2004_bab-8.pdf · dahulu kala menghasilkan bahan baku bagi pembuatan kain tenun

129

McMillan, M.G. 1988. Weed control in cotton. Agfact. P.7.2.2, 1st ed. NSW Agriculture and fisheries. 12 p.

Riajaya, P.D., M. Yusron, dan M. Cholid. 1998. Strategi Pengelolaan Air Kapas di Lahan Sawah. Dalam: Hasnam dkk (eds). Prosiding Diskusi Kapas Nasional. Balai Penelitian Tembakau dan Tanaman Serat, Malang.

Rizal, M., D.A. Sunarto, M. S. Harun-Djainah, Tukimin, dan B. Sulistiono. 1998. Status dan Pengendalian Hama Ulat Buah Kapas di Indonesia. Dalam: Hasnam dkk (eds). Prosiding Diskusi Kapas Nasional. Balai Penelitian Tembakau dan Tanaman Serat, Malang.

Sahid, M. 1989. Pengaruh Tingkat dan Lama Naungan terhadap Pertumbuhan dan Hasil Tanaman Kapas (Gossypium hirsutum L.). Penelitian Tembakau dan Tanaman Serat (4)2: 59-68.

Sahid, M., dan A. Sastrosupadi. 1998. Pengaruh Unsur Hara (N, P, K, dan S) terhadap Mutu Serat Kapas. Dalam: Hasnam dkk (eds). Prosiding Diskusi Kapas Nasional. Balai Penelitian Tembakau dan Tanaman Serat, Malang.

Saroso, B. 1998. Manfaat Hasil Samping Tanaman Kapas. Dalam: Hasnam dkk (eds). Prosiding Diskusi Kapas Nasional. Balai Penelitian Tembakau dan Tanaman Serat, Malang.

Sastrosupadi, A., dan G. Kartono. 1982. Pengaruh Penyemprotan Zat Pengatur Tumbuh PIX (Mepiquat Chloride) pada Pertumbuhan dan Hasil Kapas Berbiji. Pemberitaan LPTI 8(44): 21-27.

Sastrosupadi, A., dan M. Sahid. 1998. Pengendalian Pertumbuhan Vegetatif pada Tanaman Kapas. Dalam: Hasnam dkk (eds). Prosiding Diskusi Kapas Nasional. Balai Penelitian Tembakau dan Tanaman Serat, Malang.

Soebandrijo dan Subiyakto. 1992. Usaha Pencegahan Serangan Penggerek Buah Merah Jambu Kapas, Pectinophora gossypiella (Saunders) pada kapas. Makalah Diskusi Panel Budidaya Kapas+Kedelai, Malang, 10 Desember 1992. Balittas.

Soebandrijo dan N. Mustofa. 1994. Observasi Kerusakan Tanaman Kapas karena Serangga Hama pada Berbagai Kategori Waktu Tanam di Lahan IKR Probolinggo. Laporan Penelitian Balittas, Malang.

Soebandrijo, Sri-Hadiyani, Nurindah, IG. A.A. Indriyani, Subiyakto, G. Kartono, S.A. Wahyuni, Nurheru, dan T. Basuki. 1993. Peningkatan Produktivitas Kapas dengan Efisiensi Pengendalian Hama Terpadu terhadap Helicoverpa armigera (Hubner) dan Sudapterix biguttula (Ishida). Laporan Hasil Penelitian Balai Penelitian Tembakau dan Tanaman Serat, Malang.

Soebandrijo, Subiyakto, A.M. Amir, dan M.S. Harun-Djainah. 1998. Peranan Budi Daya Tanaman dalam Pengendalian Serangga Hama Kapas di Indonesia. Dalam: Hasnam dkk (eds). Prosiding Diskusi Kapas Nasional. Balai Penelitian Tembakau dan Tanaman Serat, Malang.

Soebandrijo. 1986. Hama Tanaman Kapas di Indonesia. FAO Workshop on Integrated Cotton Pest Mangement., Malang, 16-18 December. AG: DP/INS/83/025. Field Doc. 3: 69-83.

Page 27: POTENSI DAN PERMASALAHAN PENGEMBANGAN KAPAS …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/monograph_24_2004_bab-8.pdf · dahulu kala menghasilkan bahan baku bagi pembuatan kain tenun

130

Soeripto. 1998. Preferensi Industri Pemintalan Nasional dalam Menggunakan Produksi Kapas Dalam Negeri. Dalam: Hasnam dkk (eds). Prosiding Diskusi Kapas Nasional. Balai Penelitian Tembakau dan Tanaman Serat, Malang.

Sosromarsono, S. 1988. Tinjauan Hama Cengkeh, Kapas, Kelapa, dan Lada dari Segi Pemuliaan Tanaman untuk Ketahanan terhadap Serangga Hama. dalam: Alimin Djisbar dan A. Darwis (eds). Prosiding Lokakarya Pemuliaan Tanaman Cengkeh, Lada, Kapas, dan Kelapa. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri, Bogor.

Sulistiyo dan A. Mawarni. 1991. Kapas: Kajian Sosial-Ekonomi. Penerbit Aditya Media, Yogyakarta.

Sulistyowati, E., dan Hasnam. 1991. Tumpangsari Kapas dan Kacang-kacangan pada Lahan Sawah Sesudah Padi di Jawa Timur. Penelitian Tembakau dan Tanaman Serat (6)2: 77-85.

Sumartini, S. 1998. Pengaruh Beberapa Konsentrasi Asam Sulfat pada Proses Delinting terhadap Mutu Benih Kapas. Dalam: Hasnam dkk (eds). Prosiding Diskusi Kapas Nasional. Balai Penelitian Tembakau dan Tanaman Serat, Malang.

Sutijah. 1994. Budi Daya Kapas. Pusat Perpustakaan Pertanian dan Komunikasi Penelitian, Bogor.

Waddle, B.A. 1984. Crop Growing Practices. In: R.J. Kohel and C.F. Lewis (eds). Cotton. ASA-CSSA-SSSA. Madison. Wisconsin, USA. p. 233-263.

Wagimun. 1998. Mutu Serat Kapas Dalam Negeri. Dalam: Hasnam dkk (eds). Prosiding Diskusi Kapas Nasional. Balai Penelitian Tembakau dan Tanaman Serat, Malang.

Wahyuni, S.A., Mukani, T. Basuki, dan A. Kartamidjaja. 1998. Analisis Teknis dan Sosial Ekonomi serta Kendala-kendala Produksi Kapas pada Lahan Sawah di Kabupaten Lamongan. Dalam: Hasnam dkk (eds). Prosiding Diskusi Kapas Nasional. Balai Penelitian Tembakau dan Tanaman Serat, Malang.

Wahyuni, S.A., Soebandrijo, dan S.H. Isdijoso. 1993. Penerapan Teknologi Kapas Tepat Guna pada Lahan Petani di Kabupaten Boyolali. Penelitian Tanaman Tembakau dan Serat 8(1): 58-66.

Wardhani, A. 1998. Pemberdayaan Ekonomi Rakyat melalui Pengembangan Agrobisnis Kapas. Dalam: Hasnam dkk (eds). Prosiding Diskusi Kapas Nasional. Balai Penelitian Tembakau dan Tanaman Serat, Malang.

Yulianti, T., dan N. Ibrahim. 1998. Penyakit Hawar Bakteri pada Kapas. Dalam: Hasnam dkk (eds). Prosiding Diskusi Kapas Nasional. Balai Penelitian Tembakau dan Tanaman Serat, Malang.

Yusron, M., B. Hariyono, dan M. Cholid. 1998. Variasi Respon Kapas terhadap Pemupukan Nitrogen. Dalam: Hasnam dkk (eds). Prosiding Diskusi Kapas Nasional. Balai Penelitian Tembakau dan Tanaman Serat, Malang.

Zarecor, D., and P.T. Schott. 1988. U.U. Cotton Production and Physiology. BASF Agricultural News, Limburgerhof, Federal Republic of Germany.

Page 28: POTENSI DAN PERMASALAHAN PENGEMBANGAN KAPAS …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/monograph_24_2004_bab-8.pdf · dahulu kala menghasilkan bahan baku bagi pembuatan kain tenun

Tabel 6. Luas Areal, Produksi dan Produktivitas Kapas Domestik Menurut Provinsi Produsen dan Periode Waktu

Provinsi Uraian Rataan Pelita 1991/ 1992

1992/ 1993

1993/ 1994

1994/ 1995 1996 1997 1998 1999 III IV V

Jawa Tengah Areal (ha) 3076 5196 6776 7180 5688 3475 3558 2534 2433 3359 2743 Produksi (ton) 1215 2551 5260 4866 3297 951 1144 1375 1831 757 1238 Produktivitas (kg/ha) 782 945 431 610 Jawa Timur Areal (ha) 3483 6788 3563 3140 3285 2139 1166 1285 1324 1492 1540 Produksi (ton) 1490 3816 1736 1425 1284 392 450 643 993 1441 843 Produktivitas (kg/ha) 500 750 1025 547 NTB Areal (ha) 1947 4675 3481 5341 4371 4515 4251 2303 4643 3628 1970 Produksi (ton) 823 2214 994 1012 740 531 332 418 1381 363 162 Produktivitas (kg/ha) 394 364 189 152 NTT Areal (ha) 943 3408 2720 2869 3915 2223 3293 1413 3448 807 2776 Produksi (ton) 271 1204 511 328 624 217 181 83 82 45 161 Produktivitas (kg/ha) 275 36 149 58 Sulsel Areal (ha) 4970 14173 10232 13523 19883 18.223 18913 25426 11876 9169 8370 Produksi (ton) 3902 6147 4517 4684 7714 6371 5024 4890 2490 2663 1605 Produktivitas (kg/ha) 402 419 472 295 Sultra Areal (ha) 2700 2885 1332 1581 2010 1229 941 1041 1967 639 150 Produksi (ton) 1249 1940 581 391 349 288 163 301 183 58 30 Produktivitas (kg/ha) 396 209 90 200 Lainnya Areal (ha) - - - 10 200 500 544 - 850 - - (Aceh + Sulut) Produksi (ton) - - - 7 11 43 62 - 20 - - Produktivitas (kg/ha) - - - - - - Total Areal (ha) 17119 37125 28126 33644 39352 32304 32622 34002 25691 19094 17549 Produksi (ton) 8950 17872 13599 12713 14019 8793 7373 7710 7810 5327 4039 Produktivitas (kg/ha)

Page 29: POTENSI DAN PERMASALAHAN PENGEMBANGAN KAPAS …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/monograph_24_2004_bab-8.pdf · dahulu kala menghasilkan bahan baku bagi pembuatan kain tenun

Tabel 10. Keragaan Pendapatan Usahatani Kapas di Tingkat Petani dan Peneliti Menurut Berbagai Sumber Kajian

Sumber kajian Tahun Lokasi Pola- tanam

Komo-ditas

Hasil (kg/ha)

Penerimaan (000 Rp/ha)

Biaya (000 Rp/ha)

Pendapatan (000 Rp/ha)

Penelitian usahatani di tingkat petani Wahyuni dkk (1998) 1994 Lamongan, Jatim tumpang-

sari kapas 504-799 298 - 519 373 - 559 - 40 ∼ - 80 kedelai 815-1.425 692 - 991 474 - 805 190 ∼ 525

Wahyuni dkk (1990) 1986/87 Jeneponto, Sulsel monokultur kapas 174 69,6 103,2 - 33,6

Sulistiyo dan Mawarni 1986/87 Jateng monokultur kapas 903,4 361,3 101,4 259,9 (1991) NTB monokultur kapas 557,0 222,7 98,7 124,0 Sultra monokultur kapas 686,7 274,6 151,7 122,9 Jatim monokultur kapas 503,7 201,4 109,3 92,1 Sulsel monokultur kapas 350,7 140,0 93,4 46,6 NTT monokultur kapas 197,9 79,2 93,4 - 14,2 Penelitian Usahatani di tingkat peneliti Kadarwati dkk (1995) 1994/95 Jawa Timur tumpang-

sari kapas - 1.028 231 797 kedelai - 1.602 650 952

Hasnam dan Adisarwanto (1990)

- Lamongan, Jatim tumpang- sari

kapas 1.000 650 981,2 788,8 kedelai 1.400 1.120

Kasryno dkk (1998) - Probolinggo, Jatim

Perc. PHT tumpang-

sari kapas 1.420 923 186,3 *) 911,7 jagung 700 175

Probolinggo, Jatim sistem jadwal

tumpang- sari

kapas 1.020 663 164,4 *) 672,5 jagung 700 175

Keterangan: *) biaya proteksi