Politik Kyai

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Makalah ini berisi penjelasan tentang posisi strategis Kyai di dalam percaturan politik di Indonesia. Meskipun mereka bukan pemain langsung di lapangan, namun pengaruhnya sangat besar dalam menentukan arah politik masyarakat

Citation preview

  • Makalah Politik Kyai: Kuasa Kyai atas Wacana Politik Pesantren

    0

  • Makalah Politik Kyai: Kuasa Kyai atas Wacana Politik Pesantren

    1

    BAB I PENDAHULUAN

    LATAR BELAKANG

    Political science is the study of the state, its aims and purposes the

    institutions by which these are going to be realized, its relations with is

    individual members, and other states Roger F. Soltau (1961: 4). Berangkat

    dari konsep Soltau, makalah ini akan berusaha menganalisis praktik-praktik

    politik yang terjadi belakangan ini, dan bahkan sebenarnya merupakan

    praktik lama. Praktik-praktik yang dimaksud adalah praktik politik yang

    dimainkan para Kyai1 dalam kancah perpolitikan nasional. Melalui kajian

    ilmu politik, Politik Kyai akan menjadi bahasan yang menarik.2

    Kyai menempati posisi strategis sebagai agen sosialisasi politik, terlebih,

    Kyai bagi umat Islam merupakan tokoh panutan. Kyai merupakan sosok

    yang berpengaruh cukup signifikan bagi kehidupan sosial suatu masyarakat.

    Bahkan, kemashyuran atau keterkenalan pesantren biasanya tidak dapat

    dilepaskan dari pengaruh dan peran Kyai sebagai orang yang menguasai

    dan mengajarkan ilmu agama di pesantren kepada para santri.

    Kepemimpinan Kyai di pesantren diakui cukup efektif untuk meningkatkan

    citra pesantren tersebut dimata masyarakat luas. Ketenaran pesantren

    biasanya berbanding lurus dengan nama besar Kyai-nya terutama Kyai

    pendiri pesantren tersebut. Sosok Kyai di pesantren tidak hanya selaku guru

    yang mengajarkan agama tetapi juga menjadi figur pemimpin yang mampu

    mengarahkan para santri dan pengikut atau pendukungnya dalam

    1 Secara terminologi, menurut Manfred Ziemnek (dalam Moch. Eksan, 2000), pengertian Kyai adalah pendiri atau pemimpin sebuah pesantren, sebagai muslim terpelajar yang telah membaktikan hidupnya demi Allah serta menyebarluaskan dan mendalami ajaran-ajaran dan pandangan Islam melalui kegiatan pendidikan Islam. Namun pada umumnya di masyarakat kata kyai disejajarkan pengertiannya dengan ulama dalam khazanah Islam. 2 Pemikiran ini muncul setelah penulis mengikuti beberapa kegiatan politik di Jawa Tengah saat Pilgub Jateng 2013.

  • Makalah Politik Kyai: Kuasa Kyai atas Wacana Politik Pesantren

    2

    menempuh jalan hidup dan kehidupan mereka sehari-harinya. Kyai

    merupakan pemimpin sekaligus tokoh masyarakat yang menjadi panutan

    umat di lingkungan bahkan simptisan dan pendukung kyai bisa menembus

    batas wilayah pesantren (Musnandar, 2011).

    Efektivitas kepemimpinan Kyai di pesantren jika ditinjau dari teori

    kepemimpinan paling tidak memiliki 2 pendekatan yakni (1) power-pengaruh

    dan (2) pendekatan sifat (trait theory). Yukl dalam Sonhaji (2003)

    mengungkapkan keefekteifan kepemimpinan berdasarkan pendekatan yang

    pertama itu ditentukan oleh besarnya power yang dimiliki pemimpin (Kyai).

    Power seorang Kyai merupakan kekuatan yang diakui oleh pengikutnya

    menjadi suatu hal yang dapat mempengaruhi mereka. Power ini dapat

    berupa kedalaman ilmu sang kyai dalam agama serta otoritas yang dimiliki

    kyai terhadap pesantrennya. Sedangkan pendekatan sifat sering disebut

    sebagai pendekatan karismatik yakni atribuit-atribut personal yang dimiliki

    Kyai misalnya sorotan mata Kyai, penampilan, ucapan, intonasi suara sang

    Kyai. Kedua pendekatan ini seandainya terkombinasi secara baik akan

    menjadikan sang Kyai tersebut sosok berkarisma atau sering disebut

    pemimpin yang berkarismatik (Musnandar, 2011).

    Kepemimpinan karismatik Kyai tak pelak menimbulkan simpati masyarakat.

    Kyai merupakan tokoh yang menurut masyarakat saat ini dapat dipercaya.

    Kyai merupakan oase yang melegakan masyarakat di tengah teriknya

    kehidupan yang penuh dengan krisis kepercayaan. Kyai, setidaknya telah

    memperoleh kepercayaan dari masyarakat. Posisi Kyai menjadi superioritas

    karena ia dianggap tokoh yang dekat dengan Tuhan, memiliki ilmu agama

    yang baik, sehingga otomatis perangainya dalam kehidupan sehari-hari pun

    akan baik. Implikasinya, Kyai merupakan tokoh yang memiliki massa besar.

    Hal ini sudah umum dikenali masyarakat. Pengaruh kyai yang kuat

    "dimanfaatkan" atau menjadi incaran para politisi untuk mendulang suara.

  • Makalah Politik Kyai: Kuasa Kyai atas Wacana Politik Pesantren

    3

    Berbagai taktik dan strategi kampanye politik yang dijalankan partai politik

    biasanya tidak melupakan akan arti penting peran kyai sebagai "vote getter"

    terdepan dalam mengumpulkan suara pemilih. Apalagi, semenjak

    bergulirnya reformasi banyak partai mengusung azas Islam sebagai platform

    dan landasan ideologis partai. Hal ini tampak sejalan dengan aktivitas kyai

    yang menyebarluaskan ajaran Islam. Tentu tidak dapat dihindari terjadi

    "pemanfaatan" kepemimpinan kyai di pesantren oleh para politisi baik yang

    mengusung azas Islam maupun nasionalis (Musnandar, 2011).

    Satu hal yang terjadi, sejumlah Kyai turut andil dalam politik praktis, secara

    langsung maupun tidak langsung. Kyai dihadapkan pada politik praktis yang

    sarat dengan kepentingan. Pertanyaan yang kemudian muncul adalah:

    apakah salah jika Kyai berpolitik? jawabannya adalah tidak salah. Mahfud

    MD (2013) menjelaskan bahwa:

    Melarang kyai dan ulama berpolitik sama saja dengan melarang mereka ikut sunnah Nabi Muhammad SAW. Sebab sebagian besar sejarah Nabi adalah sejarah prjuangan politik untuk menegakkan keadilan dan membangun pemerintahan yang bersih dan adil, dan itu sunnah. Namun demikian, berpolitik itu bukan hanya berparpol, tapi meluruskan keadaan. Intinya prinsip utama dalam politik adalah be-ramar makruf nahi munkar (menyuruh kebaikan dan melarang kemungkaran), bukan ber-amar munkar (menyuruh kemunkaran) dan ber-nahi makruf (melarang kebaikan) dengan ikut-ikutan korupsi.

    Fakta-fakta ini menarik untuk dikaji lebih jauh, tentang bagaimana

    sebenarnya status dan peran Kyai di dalam pesantren? Dan bagaimana

    wacana politik dikonstruksi oleh Kyai di dalam pesantren? Berdasarkan

    pertanyaan-pertanyaan ini kiranya tesis Foucault tentang Discourse and

    Power akan dipertanyakan. Benarkah kekuasaan dapat merekonstruksi

    pengetahuan? Dalam hal ini kuasa Kyai dalam rekonstruksi wacana politik di

    lingkungan pesantren.

  • Makalah Politik Kyai: Kuasa Kyai atas Wacana Politik Pesantren

    4

    RUMUSAN MASALAH

    Berdasarkan latar belakang di atas, masalah yang dapat dirumuskan dalam

    penelitian ini adalah:

    1. Bagaimana posisi dan peran Kyai di dalam pesantren?

    2. Bagaimana wacara politik dikonstruksi oleh Kyai di dalam pesantren?

    TUJUAN PENELITIAN

    Tujuan penelitian ini adalah:

    1. Menganalisis tentang status dan peran Kyai di dalam pesantren.

    2. Menganalisis wacara politik yang dikonstruksi oleh Kyai di dalam

    pesantren.

    MANFAAT PENELITIAN

    Manfaat penelitian ini meliputi dua ranah, yakni:

    1. Manfaat Teoretis

    a. Penelitian ini bermanfaat untuk memperkaya khasanah keilmuan

    tentang politik yang dijalankan Kyai di lingkungan pesantren.

    b. Sebagai bahan informasi dan referensi bagi peneliti berikutnya

    yang akan melakukan studi lanjut berkaitan dengan politik yang

    dijalankan Kyai di lingkungan pesantren.

    c. Sebagai bahan informasi yang memiliki validitas ilmiah (keilmuan)

    bagi pembaca mengenai politik yang dijalankan Kyai di lingkungan

    pesantren.

    2. Manfaat Praktis

    a. Bagi pemerintah, hasil penelitian ini bermanfaat sebagai masukan

    dan bahan pertimbangan untuk pengambilan kebijakan terkait

    kebijakan-kebijakan politik.

  • Makalah Politik Kyai: Kuasa Kyai atas Wacana Politik Pesantren

    5

    b. Bagi pembaca, hasil penelitian ini bermanfaat sebagai tambahan

    wawasan tentang politik yang dijalankan Kyai di lingkungan

    pesantren.

    c. Bagi peneliti, penelitian ini merupakan ajang uji kompetensi atas

    ilmu pengetahuan yang telah diperoleh selama mengikuti

    perkuliahan. Selain itu penelitian ini juga merupakan momen

    untuk mengasah sense of research.

  • Makalah Politik Kyai: Kuasa Kyai atas Wacana Politik Pesantren

    6

    BAB II LANDASAN TEORI

    TEORI STATUS dan PERAN SOSIAL

    Peran berarti laku, bertindak. Di dalam kamus besar bahasa Indonesia

    peran ialah perangkat tingkah laku yang diharapkan dimiliki oleh orang yang

    berkedudukan di masyarakat (E.St. Harahap, dkk, 2007: 854) Sedangkan

    makna peran yang dijelaskan dalam status, kedudukan dan peran dalam

    masyarakat, dapat dijelaskan melalui beberapa cara, yaitu pertama

    penjelasan histories. Menurut penjelasan historis, konsep peran semula

    dipinjam dari kalangan yang memiliki hubungan erat dengan drama atau

    teater yang hidup subur pada zaman yunani kuno atau romawi. Dalam hal

    ini, peran berarti karakter yang disandang atau dibawakan oleh seorang

    actor dalam sebuah pentas dengan lakon tertentu. Kedua, pengertian peran

    menurut ilmu sosial.

    Peran dalam ilmu sosial berarti suatu fungsi yang dibawakan seseorang

    ketika menduduki jabatan tertentu, seseorang dapat memainkan fungsinya

    karena posisi yang didudukinya tersebut.. Dalam pengertian sederhana,

    guru adalah orang yang memberikan ilmu pengetahuan kepada anak didik.

    Guru dalam pandangan masyarakat adalah orang yang melaksanakan

    pendidikan ditempat-tempat tertentu, tidak mesti lembaga pendidikan formal,

    tetapi juga bisa di masjid, surau/mushola, di rumah, dan sebagainya (Syaiful

    Bahri Djamarah, 1997: 31).

    Jadi, dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa pengertian peran guru

    adalah perangkat tingkah laku atau tindakan yang dimiliki seseorang dalam

    memberikan ilmu pengetahuan kepada anak didik. Seseorang dikatakan

    menjalankan peran manakala ia menjalankan hak dan kewajiban yang

    merupakan bagian yang tak terpisahkan dari status yang disandangnya.

  • Makalah Politik Kyai: Kuasa Kyai atas Wacana Politik Pesantren

    7

    Dalam kaitannya dengan peran, tidak semuanya mampu untuk menjalankan

    peran yang melekat dalam dirinya. Oleh karena itu, tidak jarang terjadi

    kekurang berhasilan dalam menjalankan perannya. Ada beberapa faktor

    yang menentukan kekurang berhasilan ini. Dalam ilmu sosial, ketidak

    berhasilan ini terwujud dalam kegagalan peran, disensus peran dan konflik

    peran.

    Kegagalan peran terjadi ketika seseorang enggan atau tidak melanjutkan

    peran individu yang harus dimainkannya. Implikasinya, tentu saja

    mengecewakan terhadap mitra perannya. Orang yang telah mengecewakan

    mitra perannya akan kehilangan kepercayaan untuk menjalankan perannya

    secara maksimal, termasuk peran lain, dengan mitra yang berbeda pula,

    sehingga stigma negatif akan melekat pada dirinya.

    Disensus peran ialah mitra peran tidak setuju dengan apa yang diharapkan

    dari salah satu pihak atau kedua-duanya. Ketidak setujuan tersebut terjadi

    dalam proses interaksi untuk menjalankan aktifitas yang berkaitan dengan

    perannya. Disini, persoalan bisa berasal dari aktor, bisa juga berasal dari

    mitra yang berkaitan dengan aktifitas menjalankan peran. Konflik peran

    terjadi manakala seseorang dengan tuntutan yang bertentangan melakukan

    peran yang berbeda.

    Biasanya seseorang menangani konflik peran dengan memutuskan secara

    sadar atau tidak peran mana yang menimbulkan konsekuensi terburuk, jika

    diabaikan kemudian memperlakukan peran itu lebih dari yang lain. Konflik

    peran yang berlangsung sering terjadi apabila si individu dihadapkan

    sekaligus pada kewajiban-kewajiban dari dua atau lebih peranan yang

    dipegangnya. Pemenuhan kewajiban-kewajiban dari peranan tertentu sering

    berakibat melalaikan yang lain.

  • Makalah Politik Kyai: Kuasa Kyai atas Wacana Politik Pesantren

    8

    TEORI DISKURSUS dan KEKUASAAN (MICHEL

    FOUCAULT)

    Teori yang relevan digunakan untuk menganalisis permasalahan ini adalah

    teori yang dikemukakan oleh Michel Foucault. Ada dua ide inti metodologi

    Foucault, yakni arkeologi ilmu pengetahuan dan genealogi kekuasaan.

    Konsep kebenaran berhubungan langsung dengan genealogi kekuasaan,

    karena menurut Foucault pegetahuan dan kekuasaan saling berkaitan.

    Genealogi kekuasaan memperhatikan hubungan antara pengetahuan dan

    kekuasaan dalam ilmu kemanusiaan dan praktik-praktiknya yang

    berhubungan dengan regulasi tubuh, peraturan perilaku, dan pembentukan

    diri. Genealogi menjalankan serangkaian analisis kritis terhadap diskursus

    historis dan hubungannya dengan isu-isu yang menjadi perhatian dunia

    kontemporer.

    Dalam genealogi kekuasaan, Foucault membahas bagaimana orang

    mengatur diri sendiri dan orang lain melalui produksi pengetahuan. Di

    antaranya, ia melihat pengetahuan menghasilkan kekuasaan dengan

    mengangkat orang menjadi subjek dan kemudian memerintah subjek

    dengan pengetahuan.

    Foucault amat memusatkan kritiknya pada pengetahuan, pengetahuan

    dikritik secara bertingkat (hierarkisasi pengetahuan). Hal ini karena bentuk

    tingkatan tertinggi pengetahuan mempunyai kekusaan terbesar.

    Sejarah kemanusiaan dilihatnya sebagai proses yang bergerak maju dengan

    tiba-tiba dari suatu sistem dominasi (berdasarkan pengetahuan) ke sistem

    dominasi yang lain.

  • Makalah Politik Kyai: Kuasa Kyai atas Wacana Politik Pesantren

    9

    Foucault memperhatikan cara-cara tubuh diatur, cara pengaturan perilaku,

    dan cara di mana diri (self) dibentuk.

    Gagasan berikutnya adalah mengenai genealogi yang diterbitkan dengan

    judul Discourse on Language. Gagasan tersebut muncul untuk melengkapi

    analisis tentang aspek diskursus yang mirip-sistem dengan suatu analisis

    bagaimana aspek tersebut dapat terbentuk. Namun genealogi justru

    menggantikan peran arkeologi. Tugas genealogi kekuasaan sesungguhnya

    berfungsi untuk menganalisis silsilah pengetahuan, pembedaan Nietzsche

    antara asal-usul dan silsilah adalah pembedaan antara presentasi sejarah

    sebagai terbentangnya suatu gagasan secara jelas serta sebagai fenomena

    yang murni kebetulan. Di samping itu gagasan Nietzschean tentang

    kemunculan untuk menunjukkan bahwa mode-mode pengetahuan memiliki

    erat dengan meluapnya berbagai kekuatan. Dengan demikian Foucault

    sampai pada gagasan tentang pasangan kekuasaan-pengetahuan: suatu

    pasangan yang secara dramatis menggambarkan terikatnya diskursus

    secara erat pada relasi antara kekuatan dan kekuasaan, maupun

    mengekspresikan kapasitas produktif kekuasaan untuk menciptakan

    diskursus.

    Semua pengetahuan memungkinkan dan menjamin beroperasinya

    kekuasaan. Kehendak untuk mengetahui menjadi proses dominasi terhadap

    objek-objek dan terhadap manusia. Pengetahuan adalah cara bagaimana

    kekuasaan memaksakan diri kepada subjek tanpa memberi kesan bahwa ia

    datang dari subjek tertentu karena kriteria keilmiahan seakan-akan mandiri

    terhadap subjek. Padahal, klaim ini merupakan bagian dari strategi

    kekuasaan.3

    3 Haryatmoko. Foucault dan Kekuasaan dalam majalah. Basis. No.01-02, Thn ke-51, Januari-Februari 2002. Hal 12. Yogyakarta.

  • Makalah Politik Kyai: Kuasa Kyai atas Wacana Politik Pesantren

    10

    Foucault mendefinisikan strategi kekuasaan sebagai yang melekat pada

    kehendak untuk mengetahui. Melalui wacana, kehendak untuk mengetahui

    terumus dalam pengetahuan. Bahasa menjadi alat untuk mengartikulasikan

    kekuasaan pada saat kekuasaan harus mengambil bentuk pengetahuan,

    karena ilmu-ilmu terumus dalam bentuk pernyataan-pemyataan.

    Kekuasaan-pengetahuan terkonsentrasi di dalam kebenaran pernyataan-

    pernyataan ilmiah. Oleh karena itu semua masyarakat berusaha

    menyalurkannya, mengontrol dan mengatur wacana mereka agar sesuai

    dengan tuntutan ilmiah. Wacana macam ini dianggap mempunyai otoritas.

    Pengetahuan tidak bersumber pada subjek, tetapi dalam hubungan

    hubungan kekuasaan. kekuasaan menghasilkan pengetahuan... kekuasaan

    dan pengetahuan saling terkait... tidak ada hubungan kekuasaan tanpa

    pembentukan yang terkait dengan bidang pengetahuan dan tidak

    pengetahuan yang tidak mengandaikan serta tidak membentuk hubungan

    kekuasaan.

    Semua pengetahuan adalah politik karena syarat syarat kemungkinannya

    besumber pada relasi kekuasaan. Anatomi politik menunjukan bahwa teknik

    kekuasaan, produksi, dan pengetahuan lahir dari sumber yang sama.

    Memang anatomi politik tidak menciptakan pengetahuan, tetapi genealogi.

    Dengan metode genealogi ditunjukkan bahwa kebenaran yang mengambil

    bentuk objektivitas ilmu hanya ilusi. Setiap pengetahuan terkait dengan

    objek kekuasaan: orang gila, kriminal, anak remaja, orang sakit, buruh.

    Kaitanya terletak pada kemampuan pengetahuan mendefinisikan realitas

    objek tersebut. Dengan mendefinisikan realitas, akibatnya pengetahuan

    merubah konstelasi sosial. Sedangkan dengan metode arkeologis Foucault

    menemukan bahwa semua wacana mempunyai pretensi objektivitas ilmu

    yaitu wacana sesorang yang mempunyai kekuasaan. Cara psikiatri

    mendefinisikan adanya penyakit jiwa membawa pemisahan antara orang

    gila dan orang normal. Definisi yang diberikan dokter tentang penyakit

    membawa pemisahan yang dilembagakan dalam bentuk perbedaan orang

  • Makalah Politik Kyai: Kuasa Kyai atas Wacana Politik Pesantren

    11

    sehat dengan orang sakit, lalu diciptakan rumah sakit. Kriminolog merubah

    konstelasi masyarakat dengan memisahkan antara orang baik-baik dengan

    penjahat, yang dicurigai dan tidak terlibat. Diciptakannya penjara berakibat

    kekuasaan yang dijalankan polisi semakin besar.4

    Kekuasaan bagi Foucault tidak tercipta dalam bentuk tunggal. Kekuasaan

    hadir dimana-mana, ada didalam semua relasi sosial dan dilaksanakan pada

    titik-titik yang tidak terkira banyaknya dalam bentuk bentuk yang heterogen.5

    Kuasa tidak selalu bekerja melalui penindasan dan represi, tetapi terutama

    melalui normalisasi dan regulasi. Kuasa tidak bekerja secara negatif dan

    represif, melainkan dengan cara positif dan produktif. Salah satu bidang

    normalisasi adalah tubuh. Senam dan latihan-latihan militer, kelincahan, dan

    keluwesan yang menyangkut tingkah laku serta gerak gerik, mengikuti

    norma tentang keadaan tubuh (langsing, gemuk, kurus dll), cara berpakaian

    dan kesehatan: dalam semuanya itu berlangsung normalisasi dan dengan

    itu juga strategi kuasa. Contoh lain yang lebih jelas tentang strategi kuasa

    adalah seluruh wilayah yang menyangkut kesehatan badani dan psikis

    dengan norma-normanya untuk menyatakan seseorang sakit atau sehat.

    Juga aturan-aturan yang mengiringi cara kita berbicara dengan ketentuan-

    ketentuan tentang lafalan dan ejaan merupakan contoh normalisasi.

    Secara sederhana pemikiran Foucault dapat dideskripsikan sebagai berikut,

    kekuasaan tidak bertumpu pada satu titik sentral termasuk tidak hanya pada

    pihak-pihak yang dominan, melainkan tersebar di seluruh masyarakat (tidak

    ada seorang pun yang memilikinya). Kuasa bukanlah milik raja, presiden,

    atau pejabat, tetapi dalam bentuk strategi. Kekuasaan tidak bekerja melalui

    penindasan atau represi, melainkan melalui normalisasi yang positif dan

    produktif, yaitu melalui wacana. Salah satu subjek penting yang diamati

    4 Haryatmoko. Ibid. Hal 13. 5 Ritzer & Smart. Handbook Teori Sosial. 2012. Hal 649. bandung.

  • Makalah Politik Kyai: Kuasa Kyai atas Wacana Politik Pesantren

    12

    Foucault menyangkut kekuasaan adalah tubuh, karena baginya untuk

    menunjukkan bagaimana kuasa melakukan normalisasi dan menyebar,

    maka haruslah melihat dari tubuh manusia. Bahkan bagi Foucault tubuh

    telah menjadi pertarungan wacana terus menerus.

    POLITIK

    Menurut Alan C. Isaak di dalam bukunya yang berjudul Scope and Methods

    of Political Science (1975), politik sering diartikan sama dengan

    pemerintahan (government), pemerintahan atas dasar hukum (legal

    government), atau negara (state). Selain itu politik juga sering diartikan

    sama dengan kekuasaan power),kewenangan (authority) dan atau

    perselisihan (conflict) (Isaak, 1975: 15).

    Bagi mereka yang mengartikan politik sama dengan pemerintahan akan

    melihat politik sebagai apa yang erjadi di dalam badan pembuat undang-

    undang negara, atau kantor Walikota. Alfred de Grazia menyatakan bahwa

    politik (politics atau political) "meliputi peristiwa-peristiwa yang terjadi di

    sekitar pusat-pusat pembuatan keputusan pemerintah" (Isaak, 16). Charles

    Hyneman sebagaimana dikutip oleh Alan C. Isaak mengartikan politik

    sebagai "pemerintahan atas dasar hukum" (Isaak, 16). "Titik pusat perhatian

    ilmu politik Amerika adalah bagian dari masalah-masalah kenegaraan yang

    berpusat di pemerintahan, dan macam atau bagian pemerintahan yang

    berbicara melalui undang-undang". Dengan demikian ada dua versi yang

    mendefinisikan politik sama dengan pemerintahan: versi pertama hanya

    membicarakan tentang pemerintahan, sedangkan versi kedua yang

    dibicarakan tidak hanya pemerintahan akan tetapi juga undang-undang.

    Sekarang apa yang dimaksud dengan pemerintahan (government) itu? Alan

    C. Isaak mengartikan pemerintahan sebagai "lembaga dari suatu

  • Makalah Politik Kyai: Kuasa Kyai atas Wacana Politik Pesantren

    13

    masyarakat yang didasarkan pada hukum atau undang-undang yang

    bertugas untuk membuat keputusan yamg mengikat secara hukum" (the

    legally based institutions of a society which make legally binding decisions)

    (Isaak, 16). Apakah politik diartikan sebagai pemerintahan atau

    pemerintahan yang berdasar hukum yang jelas keduanya memusatkan

    perhatiannya pada lembaga-lembaga formal.

    Definisi yang mempersamakan politik dengan pemerintahan menurut

    banyak ilmuwan politik dikatakan sebagai memiliki keterbatasan dalam

    penerapannya atau secara tidak realistik bersifat terbatas. Sebagai contoh

    apakah keputusan yang mengikat masyarakat yang dibuat oleh pemimpin-

    pemimpin atau ketua-ketua suku diklasifikasikan sebagai bersifat non-politik

    dan oleh karena itu berada di luar ruang lingkup ilmuwan politik?

    Ilmuwan politik yang mengritik definisi politik sebagai sama dengan

    pemerintahan memformulasikan suatu definisi alternatif yang

    mempersamakan politik dengan "kekuasaan" (power), "kewenangan"

    (authority) atau "perselisihan/pertikaian" (conflict). William Bluhm

    sebagaimana dikutip oleh Alan C. Isaak menyatakan bahwa "politik

    merupakan proses sosial yang diikuti oleh kegiatan yang melibatkan

    permusuhan dan kerjasama dalam menjalankan kekuasaan, dan mencapai

    puncaknya pada pembuatan keputusan bagi suatu kelompok" (Isaak, 18).

    Politik dijumpai di manapun hubungan kekuasaan ataupun situasi konflik

    terjadi, ini artinya ilmuwan politik dapat juga dengan secara sah mempelajari

    politik dari serikat buruh, perusahaan atau suku-suku di Afrika, dan juga apa

    saja yang terjadi di dalam badan pembuat undang-undang atau administrasi.

    Definisi ini lebih menekankan pada jenis kegiatan (action) atau perilaku

    (behaviour)daripada pada jenis kelembagaan (institution) tertentu.

    Definisi politik yang didasarkan pada pemerintahan pada sesungguhnya

    merupakan versi definisi yang didasarkan pada kekuasaan (power), yaitu

  • Makalah Politik Kyai: Kuasa Kyai atas Wacana Politik Pesantren

    14

    kekuasaan atau power yang dijalankan didalam dan oleh lembaga

    pemerintahan. Dengan demikian sesungguhnya semua definisi tentang

    politik didasarkan pada gagasan tentang proses atau konflik. Max Weber

    mengartikan politik sebagai "usaha untuk membagi kekuasaan atau usaha

    untuk mempengaruhi distribusi kekuasaan, baik di antara negara-negara

    ataupun di antara kelompok-kelompok yang ada di dalam negara" (Isaak,

    18).

    Definisi berikutnya mempersamakan politik atau sistem politik sebagai

    "penjatahan nilai-nilai bagi suatu masyarakat dengan secara sah" (the

    authoritative allocation of societal values). Definisi ini dikemukakan oleh

    David Easton dan lebih menekankan pada aktifitas atau kegiatan daripada

    pada lembaga. Menurut Easton "penjatahan nilai-nilai secara sah"

    merupakan jenis kegiatan yang menarik bagi kita dengan alasan karena

    setiap nilai masyarakat dibutuhkan oleh setiap orang, bahwa orang-orang

    memiliki kepentingan atau tujuan yang berbeda-beda dan kepentingan atau

    tujuan yang berbeda-beda ini harus dialokasikan, dibagi-bagikan oleh

    seseorang atau oleh sesuatu, dan inilah yang disebut situasi power atau

    konflik" (Isaak, 20). Setiap masyarakat, kata Easton, memiliki sistem politik

    yang didefinisikan sebagai suatu sistem yang secara sah menjatahkan atau

    mengalokasikan nilai-nilai, tetapi sistem-sistem ini memiliki bentuk yang

    berbeda-beda.

    Dengan demikian, definisi ini tidaklah membatasi kita hanya pada

    mempelajari pemerintahan yang sah (atau atas dasar hukum), akan tetapi

    kita juga dapat mempelajari sistem politik atau kebudayaan lainnya secara

    obyektif tanpa pandangan-pandangan tentang struktur dan perilaku politik

    yang dipertimbangkan sebelumnya. Selain itu ketika kita mempelajari sistem

    politik pada lembaga formal pemerintahan, seperti kongres atau parlemen,

    kita dapat memasukkan juga kelompok-kelompok kepentingan, partai politik,

  • Makalah Politik Kyai: Kuasa Kyai atas Wacana Politik Pesantren

    15

    dan pengaruh-pengaruh lainnya yang kurang begitu jelas terhadap

    keputusan-keputusan yang sah.

    Meskipun demikian definisi Easton tidaklah meliputi semua situasi

    kekuasaan atau pemilihan keputusan, akan tetapi hanya keputusan-

    keputusan yang mengikat masyarakat saja yang relevan bagi ilmuwan

    politik. Menurut Easton "suatu kebijakan itu sah (authoritative) apabila rakyat

    yang dikenai kebijakan itu atau mereka yang dipengaruhi oleh kebijakan itu

    menganggap bahwa mereka harus atau seharusnya mematuhinya" atau

    dengan kata lain kebijakan itu dianggap mengikat mereka.

    Perbedaan antara Harold Laswell yang mendefinisikan politik sebagai "Who

    Gets What When How?" dengan Easton adalah bahwa apabila Laswell

    menekankan pada peranan power dalam proses distribusi, maka Easton

    menekankan pada hubungan antara apa yang masih ada di dalam sistem

    (tumbuhan) dan apa yang keluar dari sistem (keputusan). Atau dengan kata

    lain Easton memusatkan perhatiannya pada keseluruhan sistem politik,

    sementara Laswell memusatkan perhatiannya hanya pada individu yang

    memiliki pengaruh paling besar pada proses distribusi, yaitu mereka yang

    memiliki power.

  • Makalah Politik Kyai: Kuasa Kyai atas Wacana Politik Pesantren

    16

    BAB III PEMBAHASAN

    STATUS dan PERAN KYAI DI PESANTREN

    Kyai merupakan tokoh kunci di pesantren, bahkan tidak hanya itu, di

    masyarakat pun ia memiliki status yang tinggi. Di pesantren, Kyai dapat

    diibaratkan sebagai menara mercusuar, keberadaannya mutlak ada sebagai

    tokoh panutan, penunjuk arah, pencipta fatwa, tempat pengaduan dan

    referensi bagi hukum Islam, sumber nilai, penceramah, pencerah, sumber

    pedoman hidup, dan bahkan dianggap sebagai wakil Tuhan di dunia.

    Di dalam masyarakat Islam, Kyai merupakan salah satu elit yang

    mempunyai kedudukan sangat terhormat dan berpengaruh besar pada

    perkembangan masyarakat tersebut. Kyai menjadi salah satu elit strategis

    dalam masyarakat karena ketokohannya sebagai figur yang memiliki

    pengetahuan luas dan mendalam mengenai ajaran Islam. Lebih dari itu,

    secara teologis ia juga dipandang sebagai sosok pewaris para Nabi

    (waratsat al-anbiya). Tidak mengherankan jika Kyai kemudian menjadi

    sumber legitimasi dari berbagai keagaman, tapi juga hampir dalam semua

    aspek kehidupannya (Faridl, 2007: 239).

    Kyai, karena bekal ilmu pengetahuan tentang agama Islam, menjadi sosok

    yang amat dikagumi dan menjadi suri teladan bagi orang-orang di

    sekelilingnya. Perkataan, perilaku, dan kebiasaan-kebiasaan Kyai dalam

    kehidupan sehari-hari acap kali menjadi model bagi santri. Santri melakukan

    imitasi, identifikasi atas segala hal tentang Kyai, yang kemudian ini

    dibiasakan dan diinternalisasi menjadi bagian dari dirinya.

    Hal-hal di atas sudah berlangsung dalam waktu yang cukup lama. Jika

    menilik sisi historis Kyai, dengan melihat fenomena yang berkembang paling

  • Makalah Politik Kyai: Kuasa Kyai atas Wacana Politik Pesantren

    17

    tidak sejak dekade 1980-an, kyai sendiri ditempatkan dalam ruang sosial

    yang sedang berkembang di Indonesia. Dalam kerangka seperti itu,

    persepsi teologis kyai diletakkan dalam dua ruang yang saling

    mempengaruhi: ruang ekstern masyarakat Indonesia dan ruang intern diri

    masing-masing individu (Faridl, 2007: 239).

    Dalam ruang ekstern, nama besar Kyai di dalam pesantren menyeruak ke

    permukaan karena pengetahuan agamanya. Pengetahuan-pengetahuan

    agama ini kemudian mengantarkan sosok Kyai pada kekuatan yang lebih

    besar dari sebelumnya. Hal inilah apa yang dikatakan Foucault sebagai

    pengetahuan yang memberi kekuasaan, dan kekuasaan juga merupakan

    media untuk memproduksi pengetahuan. Kedua hal ini merupakan

    dialektika sebab akibat yang tidak bisa dipinggirkan. Keduanya saling kait

    mengkait.

    Ruang intern dari persepsi teologis berada pada diri masing-masing individu,

    yakni bagaimana dalam hal ini para santri menciptakan perspektif atas

    sosok Kyai panutannya. Perspektif inilah yang kemudian menciptakan rasa

    hormat, kagum, patuh, dan sikap-sikap positif lainnya atas Kyai.

    Status sebagai Kyai dilekati oleh peran-peran tertentu, yakni segala peran

    yang berkaitan dengan peran-peran keagamaan. Kyai, sebagai tokoh

    spiritual di pesantren menjalankan perannya sebagai pendidik, inspirator,

    kreator, inovator, motivator, suksesor, pemberi doktrin, dan peran-peran

    lainnya.

    Peran-peran Kyai di pesantren mewujud dalam kegiatan-kegiatan, di

    antaranya: kegiatan pembelajaran di kelas, pengajian, ceramah keagamaan,

    kegiatan ekstrakurikuler, kegiatan Kyai di luar pesantren, dan kegiatan

    keteladanan dalam kehidupan sehari-hari.

  • Makalah Politik Kyai: Kuasa Kyai atas Wacana Politik Pesantren

    18

    Kegiatan-kegiatan sebagaimana disebutkan di atas sekaligus merupakan

    media untuk menanamkan legitimasi Kyai di hadapan para santri. Dalam

    kesempatan inilah, kekuasaan Kyai bekerja untuk memproduksi

    pengetahuan para santri. Secara sederhana, bisa dikatakan jika Kyai

    mengatakan A, semua santri secara otomatis juga mengatakan A. Hal ini

    bukannya tanpa alasan, Kyai dengan segala keistimewaannya

    merupakan tokoh nomor satu di pesantren.

    Meminjam identifikasi Geertz, kyai dan santri merupakan bagian dari

    kelompok masyarakat Islam khususnya di pulau Jawa yang memiliki

    kesadaran keislaman yang lebih utuh dan lurus dibanding dua kelompok

    lainnya, abangan dan priyayi. Komunitas santri sendiri diidentifikasi Geertz

    merupakan bentukan komunitas Kyai, khususnya melalui lembaga

    pesantrennya. Meski lekat dengan tradisi-tradisi mistis-asketik khas Hindu

    Jawa mereka termasuk kelompok penganut Islam yang taat dalam

    menjalankan syariah Islam.

    Clifford Geertz6 juga menyatakab bahwa:

    Kyais (traditional Islamic boarding school leaders) are significant cultural brokers in Indonesian rural Muslims. They have transformed modern values into their religious community.Therefore, for Muslims, Kyais and their pesantrens are important factor in response to modern ideologies, cultures and politics.

    Tergambar jelas betapa Geertz mendeskripsikan bahwa Kyai merupakan

    penentu kebudayaan bagi masyarakat, Kyai juga merupakan tokoh kunci

    dalam menanggapi berbagai fenomena-fenomena sosial seperti ideologi

    modern, budaya, dan politik. Bahkan Horikoshi lebih tegas mengatakan

    bahwa Kyai tidak hanya sebagai cultural brokers tetapi juga adalah agen

    perubahan.

    6 dalam Sholeh: Pesantren, Peace Building, and Empowerment: A Case Study Community Based Peace Building Initiative. Jurnal Al-Jamiah,Vol. 43, No. 2, 2005/1426 H

  • Makalah Politik Kyai: Kuasa Kyai atas Wacana Politik Pesantren

    19

    Horikoshi, based on his finding in pesantrenof Garut, West Java in 1970s, asserted that kyai and pesantren community are more than just a broker but an agent of transformation.

    Antara santri dan kyai terdapat sebuah pola relasi emosional layaknya

    tradisi feodal, tetapi tanpa struktur dan tingkatan politis yang sofistikatif

    seperti galibnya tradisi serupa dalam pemerintahan kerajaan. Kyai dan

    keluarganya memiliki posisi sosial dan kultural yang tinggi dibanding

    kebanyakan kaum santri. Menurut Irsan sebagaimana diulas Marijan, tradisi

    tersebut bertumpu pada tiga pilar utama. Pila-pilar tersebut terdiri dari basis

    massa yang merupakan pola struktur sosialnya, basis ulama yang

    merepresentasikan struktur kepemimpinan serta basis tradisi yang secara

    kultural menjadi semacam sistem budaya yang mengikat visi keilmuan

    maupun belbagai etiket keislaman yang mereka anut.

    Sistem budaya tersebut pada dasarnya merupakan pelembagaan tradisi

    yang membentuk struktur khas. Basis massa komunitas Kyai dan santri

    bertumpu pada pesantren dan pedesaan di mana kyai menempati posisi

    sentral dalam perikehidupan sosialnya. Hal ini menjadikan kepemimpinan

    kyai di kalangan masyarakat santri sejak awalnya mengakar secara kultural.

    Kyai merupakan kelompok elite secara kultural, sosial, politik maupun

    ekonomi. Mereka merupakan pengajar agama (preacher) yang rata-rata

    sekaligus pemilik tanah yang luas.

    Kyai merupakan pemimpin kultural yang lebih fleksibel dalam menghadapi

    tradisi lokal. Menurut Geertz, fleksibilitas tersebut diakibatkan oleh

    pandangan mereka yang realistik mengenai apa yang yang sebenarnya

    bersifat Islam dan bukan. Kalaupun bukan termasuk ajaran Islam, mereka

    mampu menempatkannya sebagai sesuatu yang tidak membahayakan

    untuk dilakukan ataupun merusak keagamaan masyarakat muslim. Di antara

    fenomena budaya menonjol dalam hal ini tampak pada islamisasi tradisi

    selamatan yang lebih menonjolkan unsur Islamnya dibanding non-

  • Makalah Politik Kyai: Kuasa Kyai atas Wacana Politik Pesantren

    20

    Islam. Bagi sebagian masyarakat, tradisi tersebut bahkan sudah diterima

    sebagai bagian dari tradisi Islam, di mana kyai sering kali justeru memiliki

    peran sentral dalam pelaksanaannya.

    Pada banyak kasus, peran kyai dalam masyarakat pedesaan tidak hanya

    terbatas pada persoalan-persoalan yang menyangkut keagamaan. Di

    tengah kebudayaan yang didominasi ketokohan kyai, berbagai masalah

    sehari-hari menyangkut urusan rumah tangga, perjodohan, perekonomian,

    bahkan pengobatan sering menempatkan kyai sebagai tumpuan. Hal ini

    tentu saja melahirkan hubungan emosional yang diliputi ketergantungan

    dengan tingkat kepercayaan yang tidak perlu dipertanyakan. Masyarakat

    Islam di sekitar Kyai dengan sendirinya akan senantiasa berusaha

    menyesuaikan pandangan hidup dan perilakunya dengan ketokohan Kyai.

    Kyai menjadi pemimpin informal yang lebih didengar petuah dan

    keputusannya dibanding tokoh manapun.

    Status Kyai yang tinggi menjadikannya tidak perlu direpotkan oleh pekerjaan

    sebagai petani karena pengabdian yang tinggi dari para abdi dan

    masyarakat yang mengerjakan tanahnya. Meski secara formal mereka

    bukan pejabat pemerintah, namun status sosial mereka cenderung dominan

    secara kultural. Mereka lebih dihormati dan didengar pendapatnya dibanding

    aparat pemerintahan, seperti lurah atau kepala desa.

    Persoalannya pada generasi Kyai era belakangan, status yang demikian

    tampak mulai memudar. Kyai yang demikian memang banyak dijumpai era

    1950-an sampai dengan 1980-an. Namun demikian, pada generasi

    sesudahnya semakin banyak kyai yang tidak mewarisi penuh pola pikir,

    posisi sosial, kultural maupun keahlian leluhurnya. Beberapa kyai dan tokoh

    pesantren memang masih mewarisi wibawa pendahulunya, tetapi

    tampaknya tidak demikian pada sebagian besar.

  • Makalah Politik Kyai: Kuasa Kyai atas Wacana Politik Pesantren

    21

    Perluasan sektor perekonomian di kalangan masyarakat muslim menjadikan

    ketergantungan ekonomi mereka pada kyai melemah. Rasionalitas berfikir

    mereka juga menjadikan peran kyai dalam penyelesaian masalah-masalah

    rumah tangga, perjodohan serta pengobatan berkurang drastis, meski bukan

    berarti hilang sama sekali. Situasi ini sedikit banyak menjadikan relasi kyai-

    santri semakin berjarak dibanding masa-masa sebelumnya. Kyai masih

    diperlukan dalam acara-acara seremonial, seperti hajatan dan forum-forum

    pengajian, tetapi bukan dalam kapasitas pengendali dan pengarah seremoni

    sebegaimana di masa lalu. Peningkatan perekonomian masyarakat yang

    sebagian sangat mungkin telah melampaui status sosial ekonomi kyai kurun

    belakangan menjadikan relasi tersebut menjadi semakin formalistik. Kyai

    memang masih diperlukan dalam masalah-masalah tertentu, tetapi bukan

    lagi segala-galanya.

    Perkembangan pelembagaan sebagian pesantren besar pada kurun

    mutakhir juga memperlihatkan kecenderungan pemisahan institusi ini dari

    lingkungan sekitarnya. Bila sebelumnya Kyai secara independen menjadi

    pihak yang menghidupi pesantren, dalam perkembangannya mereka

    melibatkan masyarakat luas dalam penggalangan dananya. Tuntutan

    pengembangan lembaga menjadikan kemampuan kyai secara sendirian

    tidak lagi memadai untuk menopang tegaknya lembaga yang dikelola.

    Belajar di pesantren yang sebelumnya sekaligus merupakan satu bentuk

    pengabdian, bekerja pada kyai dengan imbalan kesempatan belajar agama

    di pesantren berubah ke arah kontrak kerja yang semakin rasional karena

    persyaratan administratif dan pembiayaan yang harus ditanggung oleh santri

    sendiri. Perkembangan ini tentunya tidak dapat diabaikan pengaruhnya

    terhadap perubahan pola relasi antara kyai dan santri yang mestinya tidak

    dapat lagi dipahami dalam konteks hubungan sebagaimana idealitas

    penggambaran para pengkaji kyai dan pesantren pada masa sebelumnya.

  • Makalah Politik Kyai: Kuasa Kyai atas Wacana Politik Pesantren

    22

    Keterlibatan sebagian kyai, tokoh pesantren dan para mantan santri dalam

    partai politik juga tidak menutup kemungkinan terjadinya persaingan politik

    antara kyai dan santri yang secara kebetulan berada pada kelompok politik

    berbeda. Paling tidak, perbedaan afiliasi dan sepak-terjang politik Kyai dan

    tokoh pesantren tampak telah menimbulkan beragam apresiasi, baik dalam

    rupa respon yang apresiatif, sinis atau sekedar pasif. Keterlibatan Kyai

    dalam satu kepentingan politik, termasuk dukungannya terhadap calon

    tertentu dalam pemilihan umum, kepala negara ataupun kepala daerah

    bukan referensi umum kalangan santri. Kalaupun masih ada sebagian yang

    masih menempatkan Kyai sebagai acuan dalam mengambil keputusan atau

    sikap politik, dapat dipastikan hal itu menuntut kondisi-kondisi tertentu.

  • Makalah Politik Kyai: Kuasa Kyai atas Wacana Politik Pesantren

    23

    KUASA KYAI ATAS WACANA POLITIK PESANTREN

    Indonesia memang negara yang amat sangat plural. Apapun ada; orang

    yang berkulit putih, sawo matang, hitam, bermata besar, mata sipit, rambut

    lurus, rambut keriting, rambut warna hitam, rambut berwarna pirang, orang

    dari yang berbahasa Aceh, Jawa, Sunda, Kalimantan, Sulawesi, Nusa

    Tenggara, Maluku, dan bahkan Papua, orang yang ibadahnya di masjid,

    gereja, wihara, pura, kuil, dan kelenteng. Yang, semuanya ini menempati

    17.508 pulau yang tersebar di seluruh Indonesia. Yang semuanya ini

    terdaftar ke dalam 1.128 suku bangsa yang tersebar di seluruh Indonesia.

    Dan berbicara dalam 546 bahasa daerah yang tersebar di seluruh

    Indonesia.7

    Berdasarkan karakteristik di atas, ada jumlah yang menarik dicermati, yakni

    70% penduduk Indonesia beragama Islam. Berdasar atas pluralitas

    keislaman di Indonesia, maka dapat menjadikan setiap kelompok

    keagamaan dalam Islam dapat dimanfaatkan sebagai basis pendukung

    setiap kepentingan politik. Hal ini ditandai dengan pesatnya pertumbuhan

    partai-partai politik Islam secara kuantitatif untuk memperebutkan pengaruh

    pada lahan politik yang sama. Keterwakilan umat Islam bukan lagi dalam

    kapasitas perbedaan platform ideologis atau bermakna pembelaan

    kepentingan umat Islam. Dalam konteks ini, pragmatisme politik praktis

    bahkan cenderung menjadi lebih menonjol dibanding usaha pembelaan

    kepentingan komunitas dan agama (Syam, 2011).

    Di kalangan NU, di mana Kyai dan tokoh pesantren menjadi pilar kultural

    utamanya, muncul beberapa partai politik yang masing-masing mengklaim

    sebagai representasi politik komunitas ini. Masing-masing juga berupaya

    7 Dihimpun dari berbagai sumber. Data ini sewaktu-waktu dapat berubah sesuai tingkat perkembangan masyarakat

  • Makalah Politik Kyai: Kuasa Kyai atas Wacana Politik Pesantren

    24

    menempatkan beberapa kyai dan tokoh pesantren sebagai motor penggerak

    ataupun sekedar legitimasi.8

    Faridl (2007) telah melakukan kajian terhadap Peran Sosial Politik Kyai di

    Indonesia, setidaknya penelitian ini menjadi acuan dalam penyusunan

    makalah ini. Sebelum lebih jauh berbicara tentang Kuasa Kyai atas Wacana

    Politik Pesantren, lebih dulu perlu dianalisis bahasan di bawah ini.

    ....di samping medan politik, masih ada fungsi lain yang ikut mempengaruhi kehidupan sosial politik suatu masyarakat, yaitu ajaran Islam dan simbolisasinya. Artinya, ruang kehidupan politik itu pada praktiknya terus-menerus mendapat perimbangan dari nilai ideal dan moral ajaran Islam yang telah dihayati masyarakat dalam waktu lama. Hal ini merujuk pada temuan Mohammed Arkoun pada masyarakat Mesir. Dalam kesimpulannya, Arkoun menyebutkan bahwa bagi masyarakat beragama, perubahan sosial yang dilakukannya senantiasa berkaitan dengan simbol-simbol keagamaan yang dimilikinya. Simbolisme keagamaan sendiri bagi kaum beragamamerupakan hal yang sangat penting, karena ia merupakan tempat keterbukaan psikologis yang asing dan mengantarkan perilaku-perilaku pribadi yang khusus.

    Dari studi yang pernah saya lakukan, ditemukan beberapa hal yang tampaknya berbeda dari apa yang diramalkan Arkoun. Pertama, walaupun tetap menggunakan pemikiran agama Islam dengan corak pemikiran abad pertengahan, namun kyai terbukti melakukan sejumlah penafsiran ulang demikepentingan kondisi sosial yang dihadapinya. Apa yang digariskanulama abad pertengahan, tidak diterimabegitu saja, tetapiditafsir ulang sesuai dengan kepentingan kondisi sosial yang dihadapinya. Tafsir yang dilakukan kyai memang tidak merupakan kritik pada esensi yang ditawarkan ulama abad pertengahan, juga tidak langsung pada al-Quran ataupun Hadits, tetapi dengan cara melakukan tafsir sosial dan tekstual melalui metode berpikir Usl al-Fiqh yang dipinjam dari ulama abad pertengahan. Dengan berdasar pada kaidah usl al-fiqh al-muhafazhatu ala al-qodim al-shalih wa al-akhdzu bi al-jadidi al-aslah, misalnya, para kyai menjadi sangat akomodatif pada perubahan baru yang ditawarkan

    8 Hal ini karena orang-orang politik sadar betul, bahwa Kyai menempati posisi strategis sebagai vote getter karena memiliki banyak santri.

  • Makalah Politik Kyai: Kuasa Kyai atas Wacana Politik Pesantren

    25

    alampikiran modern atau alampikiran yang didominasi tradisi lokal yang ada.

    Kedua, secara umum seluruh kyai memusatkan perhatiannya pada dunia pendidikan. Hal ini pada awalnya didasarkan pada prinsip meminjamistilah Syiah,takiyah menyembunyikan kekuatan pada saat kondisi tidak memungkinkan untuk berkembang. Strategi takiyah ini dikemukakan sebagai jawaban atas kondisi politikyang tidak kondusif. namun selanjutnya, strategi pemusatan perhatian pada pendidikan ini dijadikan sebagai satu-satunya cara yang mereka tempuh. Urusan sosial politik akhirnya cenderung ditelantarkan. Hal ini tercermin, salah satunya, pada materi yang diajarkan, yang masih terbatas hanya pada materi-materi disekitaribadah privat dan menafikan tidak memberikan perhatian serius urusan ibadah publik. Sehingga, ketika arus reformasi pertama kali merabak ke permukaan, banyak kyai diantaranya yang tampak gagap dalam menanggapinya.

    Hal yang juga menarik berkaitan dengan peran sosial kyai adalah adanya indikasi bahwa, ada hubungan antara persepsi teologis dengan perilaku sosial politik kyai. Perbedaan persepsiteologis para kyai memperlihatkan adanyaperbedaan perilaku sosial politik yang diperankannya. Hubungan-hubungan tersebut selanjutnya dapat diamati pada beberapa hal seperti: 1) di tengah perubahan sosio-kultural masyarakat Indonesia khususnya dalamusaha merespon momentum reformasi secara euforia, perilaku sosial politik diperankan pada kyai memperlihatkan adanya perbedaan kognisi yang dimilikinya; 2) Jika teori kasb dipersepi sebagai pemberian porsi lebih bersar terhadap qadariyah, maka perilaku sosial kyai meninggi, demikian pula sebaliknya; 3) Persepsi teologis serta perilaku sosial politik kyai tertentu tidak secara otomatis menghasilkan peran perubahan pada masyarakat sekitarnya. Kenyataan ini terutama lebih diakibatkan oleh karena adanya pertentangan antara medan politik dalam diri kyai dan medan politik yang berkembang diluar diri kyai (masyarakat).

    Secara spesifik, perbedaan perilaku sosial politik kyai terlihat juga pada kelenturan sikap politik yang diperankannya. Kyai dengan latar sosioreligius kelompok modernis seperti Persis dan SI, misalnya, memiliki sikap yang cenderung tertutup dengan mendasarkan argumentasinya pada pemahaman tekstual atas pesan-pesan wahyu baik yang bersumber pada al-Quran maupun Hadits. Sementara kyai dengan latar sosioreligius kelompok tradisionalis seperti NU, pada umumnyalebih mendasarkan argumentasinya pada pemaknaan terhadap konteks secara lebih bebas sehingga memiliki sikapyang cenderung lentur dan terbuka. Dikalangan kyai NU, misalnya, dengan

  • Makalah Politik Kyai: Kuasa Kyai atas Wacana Politik Pesantren

    26

    mendasarkan pada kaidah Taghayyur al-Ahkambi al-Taghayyur al-Azminati wa al-Amkinati wa al-Ahwali, pernah lahir sejumlah ijtihadpolitik sebagai produk dari sikap lenturnya terhadap perubahan-perubahan yang terjadi, seperti sikap penerimaan Pancasila sebagai satu-satunya asa, pemberian gelar Walyyul amri ad-daruri bisy-Syaukah kepada Soekarno.

    Kecenderungan-kecenderungan tersebut pada dasarnya merupakan implikasi dari perbedaan persepsi teologis yang dianutnya, meskipun dalambanyak hal memiliki akar teologis yang relatif sama. Bekaitan dengan terjadinya perubahan-perubahan situasional menyangkut pilihan-pilihan dan kecenderungan politik yang terjadi, secara umum dapat dikemukaan ada dua model kyai. Pertama, model yang memilih diam ketika menghadapai berbagai perubahan sosial politik. Mereka biasanya memilih untuk lebih memperhatikan lembaga pendidikan (dakwah) yang dimilikinya, ketimbang ikut terlibat dalam urusan sosial politik yang sewaktu-waktu dapat mengakibatkan kehancuran lembaga dakwah tersebut. Kyai tipe ini, sering teramat hati-hati dalam menanggapi perubahan sosial politik. Kedua, model yang cepat tanggap terhadap berbagai perubahan sosial politik yang terjadi. Perubahan bagi mereka merupakan tawaran nilai dari sesuatu yang baru, yang mungkin saja mengandung hal yang lebih baik dari nilai lama. Dengan demikian, ia bisa dikompromikan untuk diterima. Sikap ini membuat mereka lebih berani untuk terjun pada perubahan sosial politik yang terjadi sambil mentrasformasikan nilai-nilai lama. Perubahan sosial politik dengan cara ini bisatetap berjalan dalamjalur yang aman, tidak bersitegang dengan tradisi yang telah berkembang. Kyai tipe ini cenderung agresif, termasuk ikut terlibat dalam membidani kelahiran partai-partai.

    Berdasarkan bahasan di atas, hal yang belum coba di bahas oleh Faridl

    adalah bagaimana kekuasaan yang dimiliki oleh Kyai dimanfaatkan untuk

    memproduksi pengetahuan politik di kalangan pesantren, khususnya

    terhadap para santri. Makalah ini mencoba menyajikan masalah tersebut

    secara komprehensif.

    Foucault mengatakan bahwa kekuasaan menghasilkan pengetahuan,

    kekuasaan dan pengetahuan saling terkait, tidak ada hubungan kekuasaan

    tanpa pembentukan yang terkait dengan bidang pengetahuan dan tidak

  • Makalah Politik Kyai: Kuasa Kyai atas Wacana Politik Pesantren

    27

    pengetahuan yang tidak mengandaikan serta tidak membentuk hubungan

    kekuasaan.

    Kecenderungan tersebut tampaknya juga terjadi pada arena politik lokal,

    daerah. Dalam kasus-kasus pemilihan kepala daerah, kyai dan tokoh

    pesantren banyak terlibat dalam upaya membangun dukungan politik bagi

    calon-calon tertentu. Para calon kepala daerah sendiri, bupati ataupun

    gubernur, juga tak henti berupaya melakukan hal yang sama sebagaimana

    dilakukan para politisi partai. Terbelahnya dukungan politik kyai tak

    terhindarkan lagi dalam meloloskan calon tertentu dalam proses pilkada.

    Dalam hal ini kedekatan atau keberhasilan masing-masing calon meraih

    dukungan kyai atau tokoh-tokoh pesantren tertentu menjadi penentu afiliasi

    dukungan, yang mengakibatkan dukungan politik kyai terbelah kepada

    beberapa calon berbeda. Dalam beberapa kasus hal ini bahkan diwarnai

    ketegangan politik antara tokoh-tokoh partai berbasis NU dengan mereka

    yang berada pada jajaran pengurus Ormas.

    Kecenderungan menarik dukungan kyai dan tokoh-tokoh pesantren tersebut

    memperlihatkan bahkan nilai politik kyai di hadapan para politisi dalam

    upaya mereka membangun basis dukungan ataupun sekedar legitimasi bagi

    kepentingan politiknya masih cukup tinggi. Komunitas elit keagamaan ini,

    meminjam istilah Masdar, masih dipercaya mampu memberikan sumbangan

    signifikan bagi sukses tidaknya sebuah misi politik kelompok politik maupun

    perorangan. Padahal terbelahnya afiliasi politik kyai pada politik partisan

    tentunya menimbulkan persoalan berkenaan dengan sikap kaum santri yang

    sebelumnya dikenal memiliki respektasi dan ketaatan tinggi pada Kyai.

    Kembali pada pokok persoalan, dalam wacana politik di Indonesia, peran

    Kyai sangat strategis tetapi juga dilematis. Sebagai elit politik, sesuai

    dengan paham Sunni, kiyai wajib mentaati pemerintah. Sebagai elit agama,

    kiyai mempunyai kewajiban untuk menegakkan nilai-nilai agama dengan

  • Makalah Politik Kyai: Kuasa Kyai atas Wacana Politik Pesantren

    28

    cara amar makruf nahi munkar. Pada saat yang sama, kiyai sebagai

    interpreteter ajaran agama yang pandangan dan pemikirannya menjadi

    referensi. Sebagai elit sosial, kiyai menjadi panutan dan sekaligus pelindung

    masyarakat dari tindakan kesewenang-wenangan pemerintah. Multi peran

    seperti inilah yang seringkali menjadikan kiyai bersikap serba salah dan

    dilematis. Peran dan tanggung jawab kiyai terhadap agama, negara dan

    masyarakat secara bersamaan, tidak jarang menimbulkan benturan

    kepentingan yang menjadikan pada posisi sulit. Pada saat hubungan

    pemerintah dengan rakyat tidak harmonis, di mana dominasi negara sangat

    kuat, kiyai yang tidak membela dan memperjuangkan kepentingan

    masyarakat akan dijauhi oleh masyarakat dan santrinya. Hal ini berarti kiyai

    akan kehilangan sumber otoritas, kewibawaan dan legitimasi sebagai kiyai,

    yang apabila tidak dimanaj dengan baik, kiyai akan kehilangan posisi daya

    tawarnya, tidak hanya di hadapan pemerintah, tetapi di hadapan

    masyarakat. Meski tidak sekeras fragmentasi politik era 1950-an, sikap

    partisan kyai dan tokoh-tokoh pesantren dalam politik praktis telah

    memetakan masyarakat Islam ke dalam beberapa kelompok politik yang

    tidak sepaham. Pada era 1950-an peran kyai masih sangat berpengaruh

    dalam menentukan sikap politik pengikutnya dari kalangan santri. Masih

    menyatunya misi politik mereka vis a vis kelompok politik komunis ataupun

    nasionalis menjadikan sentimen politik dan ideologis sekaligus dapat

    dengan mudah dieksploitasi tokoh-tokoh keagamaan dengan dalih

    memperjuangkan misi politik Islam. Kuatnya imperasi situasi politik yang

    diliputi kentalnya kepentingan ideologis menempatkan kyai dan tokoh-tokoh

    pesantren sebagai acuan sikap politik ataupun sumber opini bagi kalangan

    Islam.

    Situasi tersebut tentunya banyak mengalami perubahan dengan yang terjadi

    pasca bubarnya Orde Baru. Perubahan sosial yang sedemikian pesat akhir-

    akhir ini sedikit banyak tentu mempengaruhi kultur keagamaan di kalangan

    umat Islam. Perubahan menonjol tampak pada polarisasi sekat ideologis

  • Makalah Politik Kyai: Kuasa Kyai atas Wacana Politik Pesantren

    29

    yang tampak potensial tergantikan kepentingan politik praktis. Sekat

    tersebut tidak hanya terjadi antara kyai satu dengan yang lain, melainkan

    juga dengan beberapa kelompok masyarakat Islam yang tidak separtai.

    Perkembangan sosial dan politik negeri ini juga memperlihatkan bahwa

    masyarakat Islam semakin independen dalam menentukan pilihan afiliasi

    politiknya. Selain mereka potensial untuk tetap taat pada kyai dan tokoh-

    tokoh pesantren, mereka juga potensial mengikuti jejak oportunisme politik

    yang tengah berkembang. Mereka dapat saja mengikuti arah politik kyai

    ataupun membangunbergaining sendiri demi masa depan politik bagi pribadi

    ataupun komunitas baru yang berhasil dibangun.

    Perbedaan afiliasi politik kyai juga bukan mustahil menimbulkan respon

    beragam dari komunitas masyarakat yang sebelumnya menempatkan kyai

    sebagai opinion leader ataupun referensi utama pengambilan keputusan

    yang harus ditaati. Situasi ini potensial menjadikan kyai dalam konotasi dan

    lingkup pengaruh kulturalnya yang khas, sebagaimana identifikasi Mastuhu,

    Zamakhsyari Dhofir ataupun Bruinessen, berubah dari sebelumnya. Bahkan

    bukan mustahil sebagian masyarakat yang semula senatiasa

    menggantungkan sikap politiknya pada kehendak kyai telah kehilangan

    respektasinya karena perbedaan sikap politik. Apalagi sudah jamak

    diketahui bahwa dalam beberapa kasus afiliasi politik kyai sering kali disertai

    dengan fasilitas tertentu yang lebih banyak dinikmati kyai dan keluarganya,

    sementara manfaat yang sama kurang dinikmati para pengikutnya.

    Berbeda dengan pendapat tersebut di atas, Saripudin (2012)

    mengemukakan bahwa Kyai pada saat-saat menjelang pemilihan kepala

    desa misalnya dukungan dari Kyai sangat mempengaruhi pendapatan

    suara. Calon yang tidak memperoleh dukungan salah satu Kyai yang ada, ia

    akan merasa kurang pantas. Terkadang hal ini menyebabkan terjadinya

    calon tunggal didalam sebuah pemilihan kepala desa, kadang calon yang

  • Makalah Politik Kyai: Kuasa Kyai atas Wacana Politik Pesantren

    30

    tidak mendapat restu dari kyai memilih mundur sebelum diadakannya

    pemilihan.

    Sudah menjadi jargon, yang menyatakan masyarakat yang ikut apa kata

    Kyai maka ia akan selamat. Budaya ini belum tergerus oleh perkembangan

    zaman walaupun pergeseran-pergeseran nilai terus terjadi setiap masa.

    Kharisma kyai merupakan senjata paling mujarab untuk mendapatkan

    pengaruh dimasyarakat, dan masyarakatpun secara sadar menerima.

    Ketaatan terhadap Tuhan, cita-cita umah, komunitas politik keagamaan

    rupanya dijadikan insvestasi untuk mendapatkan atribut-atribut

    transendental dan keselamatan.

    Politik yang membawa nama besar seorang kyai sudah menjadi budaya

    yang begitu kental. Meski sudah ada batasan bahwa kyai hanya bertugas

    mengurus umat dan tidak mau terlibat kedalam politik praksis. Keberadaan

    kharismanya masih dimanfaatkan untuk kepentingan politik.

    Setelah menjadi pemimipin, budaya sungkem terhadap kyai tidak pernah

    ditingalkan, hal ini rupanya untuk melatenkan kekuasaan. Agar dukungan

    dari kyai tidak lepas, berapa upayapun dilakukan. Bahkan lawan politik tidak

    jarang yang mempengaruhi kyai untuk mengalihkan dukungannya. Untuk

    melangengkan kekuasaan maka seorang pemimimpin berusaha meminta

    nasihat yang akan dijalankan didalam kebijakan politiknya.

    Kebijakan-kebijakan kepala desa misalkan, ia akan mengutamakan

    beberapa program yang berkaitan dengan keagamaan. Semakin banyak

    dukungan terhadap kepentingan kyai maka semakin strategis mendapatkan

    simpati masyarakat. Hal ini pernah terjadi dan saya saksikan, Singkat cerita

    pada pemilihan wakil daerah pemilu tahun lalu seorang anggota fraksi dari

    partai PKB memberikan sedekah buat pembangunan masjid didesa kami.

    Sepontan kharisma dimasyarakat sangat kuat sehingga mendominasi

  • Makalah Politik Kyai: Kuasa Kyai atas Wacana Politik Pesantren

    31

    perolehan suaradi TPS kami. Selain itu Ada beberapa kesan yang tidak bisa

    dilupakan begitu saja, persepsi-persepsi yang menilai kader tersebut

    dermawan dan dekat dengan tokoh kharismatik memungkinkan menjadi

    alasan kemenangan yang mutlak.

  • Makalah Politik Kyai: Kuasa Kyai atas Wacana Politik Pesantren

    32

    BAB IV SIMPULAN DAN SARAN

    SIMPULAN

    Kyai, status yang melekat pada individu, mengandung konsekuensi peran-

    peran yang harus dimainkan oleh individu tersebut. Di Indonesia, Kyai

    memiliki peran utama sebagai ahli agama, guru agama, dan/atau ahli

    spiritual. Namun, dalam kehidupan di masyarakat Kyai tidak hanya

    menjalankan fungsi-fungsi keagamaan. Kyai juga kerap kali memainkan

    fungsi-fungsi sosial, budaya, ekonomi, dan fungsi politik.

    Berdasarkan hal tersebut, dan berdasarkan perkembangan modernisasi

    yang semakin masif, peran Kyai dapat dibedakan ke dalam dua dikotomi

    yakni peran pusat dan pinggiran. Kyai memiliki legitimasi tinggi ketika ia

    memainkan peran pusatnya sebagai tokoh agama. Namun, Kyai justru akan

    memiliki sedikit apresiasi ketika dia memainkan peran-peran pinggiran,

    terlebih ketika memainkan peran politik praktis.

    Kyai, sebagai tokoh sentral di dalam lingkungan pondok pesantren, memiliki

    andil besar sebagai pencipta wacana politik. Kyai, yang memiliki legitimasi

    tinggi di mata para santri mengundang para politisi untuk memanfaatkan

    situasi. Kyai-Kyai dilibatkan dalam politik praktis untuk sebagai vote getter

    atau guna mendulang masa, setidaknya suara para santri, dan bahkan

    masyarakat luas.

    Kyai telah jauh memainkan peranannya sebagai pelaku politik praktis. Tidak

    ada salah dengan semua ini. Semua warga negara Indonesia memiliki hak

    untuk dipilih dan memilih.

  • Makalah Politik Kyai: Kuasa Kyai atas Wacana Politik Pesantren

    33

    SARAN

    Relasi kyai, santri dan politik memang telah mengalami perubahan. Dewasa

    ini sekurang-kurangnya sudah terdapat kesadaran di dalam kerangka

    referensi yang menempatkan Kyai dalam tataran fungsi khusus. Memang

    semakin rasional sebuah masyarakat akan semakin menempatkan dirinya di

    dalam mindset diferensiasi struktur spesialisasi fungsi. Penempatan Kyai

    pun telah menggunakan logika seperti itu. Kyai dengan fungsi utamanya

    adalah sebagai guru spiritual dan pembimbing umat di dalam kehidupan

    keagamaan maka posisi Kyai juga ditempatkan di situ. Jika kyai kemudian

    memasuki kawasan dunia politik, maka posisi utama kyai pun berubah ke

    arah tersebut.

    Jika menggunakan konsepsi pusat-pinggiran, maka perubahan posisi

    tersebut akan menempatkan perubahan posisi kyai dari posisi pusat

    sebagai guru spiritual ke arah pinggiran yang disebabkan posisi pusat

    telah ditempati oleh posisioning-nya sebagai politisi. Makanya tidak

    mengherankan jika kemudian terdapat perubahan kepatuhan ketika seorang

    kyai berubah posisinya tersebut. Dalam hal ini, maka posisi Kyai akan tetap

    ditaati ketika Kyai dimaksud berada di dalam posisi pusat sebagai guru

    spiritual dan kurang atau bahkan tidak ditaati ketika posisi tersebut berubah

    menjadi pinggiran. Kyai yang memasuki dunia politik berarti telah

    meminggirkan posisinya dalam kawasan keagamaan dan kemudian posisi

    sentralnya digantikan oleh dunia politik.

    Jika seorang kyai kembali menempatkan dunia guru spiritual sebagai pusat

    setalah sekian lama meminggirkannya, maka ada dua kemungkinan, yaitu

    bisa diterima kembali oleh masyarakat dalam posisinya tersebut dan bisa

    juga ditolak. Semuanya tergantung pada bagaimana kyai posisioning kyai

  • Makalah Politik Kyai: Kuasa Kyai atas Wacana Politik Pesantren

    34

    pada saat yang bersangkutan menapaki dunia politik yang oleh masyarakat

    sangat profan.

  • Makalah Politik Kyai: Kuasa Kyai atas Wacana Politik Pesantren

    35

    DAFTAR PUSTAKA Faridl, Miftah. 2007. Peran Sosial Politik Kyai di Indonesia. Jurnal

    Sosioteknologi Edisi 11 Tahun 6. Munandar, Aries. 2011. Mengkritisi Peran Kyai dalam Politik Praktis.

    Diunduh dari http://www.uin-malang.ac.id/index.php?option=com _content&view=article&id=2538:mengkritisi-peran-kyai-dalam-politik-praktis&catid=35:artikel&Itemid=210

    Ritzer, Goerge dan Goodman, Douglas J. 2007.Teori Sosiologi Modern.

    Jakarta: Kencana. Ritzer, George dan Smart, Barry. 2012. Handbook Teori Sosial. Jakarta:

    Nusa Media. Saripudin. 2011. Budaya Kharisma Politik Kyai. Diunduh dari http://rizal-

    gas.blogspot.com/2012/04/budaya-kharisma-politik-kyai.html Sholeh, Badrus. 2011. Pesantren, Peace Building, and Empowerment: A

    Case Study Community Based Peace Building. Journal. Al-Jamiah, Vol. 43, No. 2, 2005/1426 H.

    Syam, Nur. 2011. Kyai, Santri, dan Politik. Diunduh dari

    http://nursyam.sunan-ampel.ac.id/?p=17

  • Makalah Politik Kyai: Kuasa Kyai atas Wacana Politik Pesantren

    36