108
POLITIK KRIMINAL PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA PADA ERA REFORMASI SKRIPSI Diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman Disusun oleh: Dwiki Oktobrian NIM. E1A009106 KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS HUKUM 2013

POLITIK KRIMINAL PENANGGULANGAN TINDAK …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/BRIAN SERJANA HUKUM.pdf · Pengertian dan Ruang Lingkup……………………………………………

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: POLITIK KRIMINAL PENANGGULANGAN TINDAK …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/BRIAN SERJANA HUKUM.pdf · Pengertian dan Ruang Lingkup……………………………………………

POLITIK KRIMINAL PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA

KORUPSI DI INDONESIA PADA ERA REFORMASI

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Sarjana Hukum

pada Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman

Disusun oleh:

Dwiki Oktobrian

NIM. E1A009106

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN

UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN

FAKULTAS HUKUM

2013

Page 2: POLITIK KRIMINAL PENANGGULANGAN TINDAK …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/BRIAN SERJANA HUKUM.pdf · Pengertian dan Ruang Lingkup……………………………………………

ii

SKRIPSI

POLITIK KRIMINAL PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA KORUPSI DI

INDONESIA PADA ERA REFORMASI

Oleh

Dwiki Oktobrian

E1A009106

Disusun untuk meraih gelar Sarjana Hukum

Pada Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman

Diterima dan disahkan

Pada tanggal 21 Februari 2013

Para Penguji / Pembimbing

Penguji I / Pembimbing I

Dr. H. Kut Puji Prayitno, S.H., M.Hum.

NIP. 19650829 199002 1002

Penguji II / Pembimbing II

Dr. Noor Aziz Said, S.H., M.S.

NIP. 19540426 198003 1004

Penguji III

Dr. Setya Wahyudi, S.H., M.H.

NIP. 19610527 198702 1001

Mengetahui,

Dekan Fakultas Hukum

Universitas Jenderal Soedirman

Dr. Angkasa, S.H., M.Hum.

NIP. 19640923 198901 1 001

Page 3: POLITIK KRIMINAL PENANGGULANGAN TINDAK …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/BRIAN SERJANA HUKUM.pdf · Pengertian dan Ruang Lingkup……………………………………………

iii

SURAT PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul:

POLITIK KRIMINAL PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA KORUPSI DI

INDONESIA PADA ERA REFORMASI

Adalah benar merupakan hasil karya saya sendiri dan semua sumber data serta informasi

yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.

Bila pernyataan ini tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi termasuk pencabutan

gelar kesarjanaan yang telah saya peroleh.

Purwokerto, 21 Februari 2013

Dwiki OktobrianE1A009106

Page 4: POLITIK KRIMINAL PENANGGULANGAN TINDAK …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/BRIAN SERJANA HUKUM.pdf · Pengertian dan Ruang Lingkup……………………………………………

iv

ABSTRAK

Kejahatan merupakan permasalahan sosial, terlebih apabila kejahatan tersebut adalah korupsi yang merupakan kejahatan luar biasa. Tindak pidana korupsi oleh karenanya perlu ditanggulangi agar statistik kriminalnya menurun. Upaya penanggulangan tersebut dinamakan dengan politik kriminal. Politik kriminal penanggulangan tindak pidana korupsi di Indonesia mendapatkan perhatian khusus sejak era reformasi pada tahun 1998. Berbagai peraturan perundang-undangan dibentuk sebagai wujud penyerapan aspirasi masyarakat terhadap tuntutan pemberantasan korupsi, peraturan perundang-undangan tersebut merumuskan upaya penal dan upaya non penal dalam menanggulangi tindak pidana korupsi. Meningkatnya kriminalitas korupsi menunjukan bahwa sebenarnya terdapat permasalahan dalam politik kriminalnya. Penelitian terhadap perumusan upaya penal dan upaya non penal dalam perundang-undangan di bidang korupsi dilakukan dalam rangka menemukan jawaban atas dugaan tersebut. Melalui penelitian yuridis normatif dengan pendekatan perundang-undangan, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui politik kriminal penanggulangan tindak pidana korupsi di Indonesia pada era reformasi. Berdasarkan penelitian diketahui bahwa politik kriminal penanggulangan tindak pidana korupsi di Indonesia pada era reformasi dilakukan melalui berbagai pembentukan peraturan perundang-undangan. Politik kriminal tersebut masih terfokus kepada upaya penal sehingga mengesampingkan upaya non penal yang sesungguhnya merupakan upaya paling strategis dalam menanggulangi kejahatan.

Kata kunci: politiki kriminal dan korupsi.

Page 5: POLITIK KRIMINAL PENANGGULANGAN TINDAK …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/BRIAN SERJANA HUKUM.pdf · Pengertian dan Ruang Lingkup……………………………………………

v

ABSTRACT

Crime is a social problem , especially if the crime is corruption crime which is an extraordinary crime. Corruption therefore need to be addressed in order to decrease crime statistics. Countermeasures efforts is called a criminal policy. Criminal policy corruption crime in Indonesia special attention since the reform era in 1998. Various laws and regulations established as a form of absorption aspirations towards the eradication of corruption charges, the legislation is an attempt to formulate penal and non- penal efforts in tackling corruption. Increased corruption crime shows that there are actually problems in the criminal policy. Research on formulation efforts penal and non- penal efforts in legislation in the field of corruption conducted in order to find answers to these allegations. Through research normative regulatory approach, this study aims to determine the response of criminal policy corruption crime in Indonesia during the reform era. Based on the research note that criminal policy establishment through various legislations. Criminal policy corruption crime are still focused on the efforts that penal non penal override effort which is really a most strategic efforts in countermeasures crime.

Keywords : criminal policy and corruption.

Page 6: POLITIK KRIMINAL PENANGGULANGAN TINDAK …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/BRIAN SERJANA HUKUM.pdf · Pengertian dan Ruang Lingkup……………………………………………

vi

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat, karunia-

Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan SKRIPSI yang berjudul “POLITIK KRIMINAL

PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA PADA ERA

REFORMASI”. Penulis menyadari sepenuhnya, bahwa penulisan skripsi masih jauh dari

sempurna, mengingat keterbatasan pengetahuan, waktu dan terbatasnya literatur. Oleh karena

itu, semua kritik dan saran akan diterima dengan ketulusan dan keikhlasan hati.

Dalam proses penulisan ini, penulis banyak menerima bantuan dari berbagai pihak

secara langsung ataupun tidak langsung. Oleh karena itu, selain dalam kesempatan ini penulis

akan menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan yang sedalam-dalamnya kepada:

1. Bapak Dr. Angkasa, S.H., M.Hum. selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Jenderal

Soedirman Purwokerto.

2. Bapak Dr. H. Kuat Puji Prayitno, S.H., M.Hum. selaku Dosen Pembimbing I yang telah

memberikan arahan dan bimbingan penuh kesabaran sehingga penulis dapat

menyelesaikan skripsi ini.

3. Bapak Dr. Noor Aziz Said, S.H., M.S. selaku Dosen Pembimbing II yang telah

memberikan arahan dan bimbingan penuh kesabaran sehingga penulis dapat

menyelesaikan skripsi ini.

4. Bapak Dr. Setya Wahyudi, S.H., M.H. selaku Dosen Penguji pada seminar artikel ilmiah

dan pendadaran.

5. Bapak Trusto Subekti, S.H., M.Hum. selaku Pembimbing Akademik yang telah berkenan

memberikan bimbingan sejak awal perkuliahan.

6. Seluruh Dosen Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman.

7. Seluruh staf akademik Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman.

Page 7: POLITIK KRIMINAL PENANGGULANGAN TINDAK …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/BRIAN SERJANA HUKUM.pdf · Pengertian dan Ruang Lingkup……………………………………………

vii

8. Semua aktivis Unit Kegiatan Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Jenderal

Soedirman.

9. Semua mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman khususnya angkatan

2009.

Purwokerto, 21 Februari 2013

Penulis

Page 8: POLITIK KRIMINAL PENANGGULANGAN TINDAK …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/BRIAN SERJANA HUKUM.pdf · Pengertian dan Ruang Lingkup……………………………………………

viii

HALAMAN MOTTO

∑ Proses dan hasil bukanlah sesuatu yang parsial, proses dan hasil ibarat upaya penal

dan upaya non penal dalam politik kriminal yang dilaksanakan dengan pendekatan

integral berdasarkan asas keseimbangan.

∑ Orang yang pesimis memandang permasalahan sebagai rintangan, sedangkan

orang yang optimis memandang permasalahan sebagai suatu tantangan yang

didalamnya pasti atau setidak-tidaknya terdapat kemungkinan keberhasilan.

Page 9: POLITIK KRIMINAL PENANGGULANGAN TINDAK …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/BRIAN SERJANA HUKUM.pdf · Pengertian dan Ruang Lingkup……………………………………………

ix

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL……………………………………………………………………. i

HALAMAN PENGESAHAN………………………………………………………….. ii

SURAT PERNYATAAN……………………………………………………………….. iii

ABSTRAK…………………………………………………………………………….…. iv

ABSTRACT……………………………………………………..……………………….. v

KATA PENGANTAR………………………………………………….……………….. vi

HALAMAN MOTTO…………………………………………………………………… viii

DAFTAR ISI…………………………………………………………………………….. ix

BAB I: PENDAHULUAN

A. Latar Belakang…………………………………………………………...……….. 1

B. Perumusan Masalah………………………………………………………………. 6

C. Tujuan Penelitian………………………………………………………………..... 6

D. Kegunaan Penelitian……………………………………………………………… 6

BAB II: TINJAUAN PUSTAKA

A. Poltik Kriminal

1. Pengertian dan Ruang Lingkup……………………………………………… 8

2. Pendekatan………………………………………………………………….... 13

B. Tindak pidana korupsi

1. Tindak Pidana………………………………………………………………… 21

2. Korupsi……………………………………………………………………….. 28

BAB III: METODE PENELITIAN

A. Tipe Penelitian…………………………………………………………………… 33

B. Pendekatan Penelitian…………………………………………………………... 33

C. Bahan Hukum…………………………………………………..………………… 33

Page 10: POLITIK KRIMINAL PENANGGULANGAN TINDAK …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/BRIAN SERJANA HUKUM.pdf · Pengertian dan Ruang Lingkup……………………………………………

x

D. Metode Pengumpulan Bahan Hukum…………………………………………. 34

E. Metode Analisis Bahan Hukum………………………………………………... 35

BAB IV: HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Peraturan Perundang-Undangan Yang Digunakan Untuk Menanggulangi Tindak Pidana Korupsi Pada Era Reformasi

1. Tap MPR TAP MPR No. XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme………………………………………………………………… 36

2. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme………………………………………………………………… 38

3. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi…………………………………………………………………… 44

4. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi..………………………………………………………………………...... 59

5. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan United Nation Convention Against Corruption, 2003 (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi, 2003)……..………………………………………………… 64

6. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Korupsi..………………..………………………. 68

7. Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi…………………………………………………………………… 74

B. Upaya-Upaya Yang Dilakukan Untuk Menanggulangi Tindak Pidana Korupsi Pada Era Reformasi

1. Upaya Penal………………………………………………………………. 79

2. Upaya Non Penal…………………………………………………………. 84

BAB V: PENUTUP

1. Kesimpulan……………………………………………………………….. 93

2. Saran……………………………………………………………………… 94

DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………….……... 95

Page 11: POLITIK KRIMINAL PENANGGULANGAN TINDAK …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/BRIAN SERJANA HUKUM.pdf · Pengertian dan Ruang Lingkup……………………………………………

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Korupsi merupakan salah satu dari sekian istilah yang kini telah akrab

di telinga masyarakat Indonesia, hampir setiap hari media massa

memberitakan berbagai kasus korupsi yang dilakukan oleh aparatur negara

baik pegawai negeri ataupun pejabat negara. Dalam kepustakaan kriminologi,

korupsi merupakan salah satu kejahatan jenis “white collar crime” atau

kejahatan kerah putih. Akrabnya istilah korupsi di kalangan masyarakat telah

menunjukkan tumbuh suburnya perhatian masyarakat terhadap korupsi,

“white collar crime” mampu menarik perhatian masyarakat karena para

pelakunya adalah orang-orang yang dipersepsikan oleh masyarakat sebagai

orang-orang terkenal atau cukup terpandang namun merekalah yang membuat

kemelaratan dalam masyarakat.1

Timbulnya kejahatan jenis seperti ini menunjukan bahwa sudah tidak

hanya kemiskinan saja yang menjadi penyebab timbuknya kejahatan,

melainkan faktor kemakmuran dan kemewahan merupakan faktor pendorong

orang-orang melakukan kejahatan.2 Edwin Sutherland mengemukakan bahwa

kejahatan-kejahatan yang dilakukan oleh kalangan atas (upper class)

1Teguh Sulista dan Aria Zurnetti, Hukum Pidana: Horizon Baru Pasca Reformasi, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2011, ha l 63.

2 J. E. Sahetapy, Kapita Selekta Kriminologi, Alumni, Bandung, 1979, hal 68 -69.

Page 12: POLITIK KRIMINAL PENANGGULANGAN TINDAK …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/BRIAN SERJANA HUKUM.pdf · Pengertian dan Ruang Lingkup……………………………………………

2

merupakan kejahatan yang tidak kalah merugikannya dari kejahatan yang

dilakukan oleh kalangan bawah (lower class).3

Beberapa pernyataan tersebut ini nampak mulai terbukti di Indonesia,

hingga 16 Mei 2012, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan bahwa

ada indikasi perampokan uang rakyat yang merata di semua instansi

pemerintahan lewat perjalanan dinas, ditemukan penyelewengan sebesar 30 –

40 % dari biaya perjalanan dinas 18 triliun selama setahun. Di Arisp

Nasional RI ditemukan bukti pertanggungjawaban perjalanan dinas sebesar

139 juta rupiah tidak sah dan 275 juta rupiah tidak dapat diyakini

kebenarannya.

Selain itu, di Badan Nasional Penanggulangan Bencana ditemukan

realisasi biaya perjalanan dinas 565 juta rupiah diragukan kebenarannya dan

terdapat kelebihan pembayaran perjalanan dinas sebesar 236 juta. Di

Kementerian Komunikasi dan Informatika, laporan perjalanan dinas yang

terdapat selisih sebesar 99,6 juta rupiah, perjalanan dinas fiktif sebesar 610

juta rupiah. Di Kementerian Sosial ditemukan pengelolaan penerimaan negara

bukan pajak belum tertib dan terdapat pungutan 712 juta rupiah, biaya belanja

perjalanan dinas 10 Milyar yang tidak didukung dengan bukti yang sah,

kemudian pengadaan barang dan jasa tahun 2010 yang tidak hemat sebesar

469 juta rupiah dan yang tidak tepat sasaran 224 juta rupiah, selain itu

3 Edwin H. Sutherland, White Collar Crime, Rinehart and Winston, New York, 1961, hal 405 – 417.

Page 13: POLITIK KRIMINAL PENANGGULANGAN TINDAK …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/BRIAN SERJANA HUKUM.pdf · Pengertian dan Ruang Lingkup……………………………………………

3

ditemukan pula aset tanah senilai 66 Milyar yang belum bersertifikat dan

senilai 532 juta rupiah masih bersengketa dengan pihak lain.4

Tumbuh suburnya korupsi di Indonesia tentu perlu dilakukan upaya

penanggulangan yang sangat serius melalui politi kriminal baik melalui upaya

penal yang bersifat menanggulangi setelah terjadinya kejahatan (represif),

upaya non penal yang bersifat mencegah terjadinya kejahatan (preventif),

ataupun gabungan keduanya.5 Sangat perlu diingat bahwa kini korupsi sudah

bukan sekedar kejahatan luar biasa atau “extra ordinary crime”, melainkan

korupsi kini telah menjadi kejahatan kemanusiaan atau “crime against

humanity”.6

Dalam konteks sejarah, perhatian masyarakat Indonesia terhadap

upaya pemberantasan tindak pidana korupsi mengalami episode khusus pada

tahun 1998 yang bertepatan dengan reformasi politik di Indonesia. Pada masa

itu masyarakat dari berbagai elemen serentak turun ke jalan untuk menuntut

perbaikan nasib perekonomian negara karena masyarakat berkeyakinan

bahwa penguasa melakukan korupsi, kolusi, dan nepotisme7 sehingga krisis

moneter yang terjadi tidak bisa diselesaikan dan berdampak melonjaknya

harga-harga barang. Hal tersebut nampak dalam enam tuntutan rakyat dalam

reformasi yakni:

1. Penegakan supremasi hukum;

4Dalam Harian Kompas tanggal 16 Mei 2012, Mental Korupsi Sudah Merata.5Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana dalam

Penanggulangan Kejahatan, Kencana, Jakarta, 2008, hal 77 – 78.6Moh Hatta, Kebijakan Politik Kriminal: Penegakan Hukum dalam rangka

Penanggulangan Kejahatan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2010, hal 61.7 Disampaikan oleh Effendy Choiry, Anggota Komsiis I DPR RI , Sabtu 19 mei 2012

dalam Kompas.com, Agenda Reformasi Dikhianati, diunduh tanggal 21 Mei 2012.

Page 14: POLITIK KRIMINAL PENANGGULANGAN TINDAK …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/BRIAN SERJANA HUKUM.pdf · Pengertian dan Ruang Lingkup……………………………………………

4

2. Pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme;

3. Pengadilan mantan presiden Soeharto dan kroninya;

4. Amandemen konstitusi;

5. Pencabutan dwifungsi ABRI;

6. Pemberian otonomi daerah seluas-luasnya.8

Menarik untuk diteliti mengenai politik kriminal penanggulangan

tindak pidana korupsi di Indonesia pada era reformasi, hal ini dikarenakan

bahwa selama tiga belas tahun agenda reformasi dijalankan namun tuntutan

pemberantasan korupsi tidak mengalami keberhasilan yang signifikan bahkan

pelaku-pelaku korupsi saat ini melibatkan para penggerak reformasi pada saat

itu.9 Selain daripada itu, setelah sekian instrumen hukum telah diterbitkan

pertama kali berupa Peraturan Penguasa Militer tahun 1957 sampai saat ini

tercatat berjumlah sekitar dua puluh undang-undang, peraturan pemerintah /

penguasa militer dan penindakan oleh aparat penegak hukum terus dilakukan

terhadap para koruptor, namun praktik-praktik Korupsi dalam era reformasi

ini tetap marak, masif, dan tidak kalah ganasnya dengan masa tiga puluh

tahun Orde Baru memerintah.10

Dari hal tersebut, nampak terdapat permasalahan dalam perundang-

undangan pemberantasan korupsi. Permasalahan tersebut dapat berupa

permasalahan dalam rumusan perundang-undangnya atau permasalahan

pelaksanaan perundang-undangnya yang belum optimal. Penelitian ini akan

8Situs Vivapemuda43a, 6 Tuntutan Reformasi, d iunduh tanggal 23 April 2012.9 Effendy Choiry, Anggota Komsiis I DPR RI , sabtu 19 mei 2012 dalam Kompas.com,

Agenda Reformasi Dikhianati, diunduh tanggal 21 Mei 2012.10Moh. Hatta, Op. Cit, hal 198.

Page 15: POLITIK KRIMINAL PENANGGULANGAN TINDAK …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/BRIAN SERJANA HUKUM.pdf · Pengertian dan Ruang Lingkup……………………………………………

5

lebih mengkaji aspek perundang-undangan pemberantasan tindak pidana

korupsi, karena perumusan undang-undang pemberantasan tindak pidana

korupsi nampak belum mampu untuk mencegah terjadinya tindak pidana

korupsi. Nampak bahwa prinsip cost benefit principle dalam kriminalisasi

tindak pidana korupsi melalui formulasi perundang-undangan belum begitu

berhasil. Menurut Ryaas Rasyid, Biaya yang dihabiskan dalam pembuatan

satu undang-undang di DPR bisa mencapai Rp 1-2 miliar.11 Sedangkan

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyebutkan, dalam kurun waktu

tujuh tahun atau terhitung 2004-2011, negara harus menanggung kerugian Rp

39,3 triliun akibat tindak pidana korupsi. Angka tersebut cukup signifikan

jika dikonversi untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat. Wakil Ketua

KPK Busyro Muqoddas mengatakan total kerugian negara akibat korupsi itu

setidaknya dapat digunakan untuk membangun 393 unit rumah atau

membangun 311 unit ruang sekolah dasar. Bahkan dapat memberikan 68 juta

anak SD sekolah gratis.12

Moh. Hatta mengungkapkan bahwa ada sekitar dua puluhan undang-

undang pemberantasan tindak pidana korupsi, terlihat bahwa politik kriminal

penanggulangan tindak pidana korupsi nampak lebih mengedepankan sarana

penal padahal dalam politik kriminal atau kebijakan kriminal, pada prinsipnya

terdapat dua sarana dalam menanggulangi kejahatan yakni sarana penal dan

sarana non penal. dan keduanya harus diintegralkan atau dilaksanakan

11 Jejaringnews.com, Pembuatan Undang-Undang Sering Abaikan Spirit Penghematan, diunduh tanggal 9 nopember 2011.

12 merdeka.com, Negara Rugi Rp 39 Triliun Akibat Korupsi, diunduh tanggal 4 Desember 2012.

Page 16: POLITIK KRIMINAL PENANGGULANGAN TINDAK …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/BRIAN SERJANA HUKUM.pdf · Pengertian dan Ruang Lingkup……………………………………………

6

dengan keterpaduan. Sudarto mengemukakan bahwa tidak adanya

keterpaduan dalam politik kriminal akan mengakibatkan politik kriminal itu

sendiri akan menimbulkan faktor kriminogen (menyebabkan timbulnya

kejahatan) dan faktor victimogen (menimbulkan korban kejahatan).13

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan dalam pendahuluan maka

disusunlah permasalahan: “Bagaimana politik kriminal penanggulangan

tindak pidana korupsi di Indonesia pasca reformasi?”

Mengingat permasalahan tersebut disusun dengan rumusan yang luas,

maka perlu adanya perincian yang bersifat membatasi sebagai berikut:

1. Peraturan perundangan apa saja yang digunakan untuk menanggulangi

tindak pidana korupsi pada era reformasi?

2. Upaya apa saja yang digunakan untuk menanggulangi tindak pidana

korupsi pada era reformasi?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui politik kriminal

Penanggulangan Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia pada era reformasi.

D. Kegunaan Penelitian

Penelitian ini memiliki kegunaan yang meliputi kegunaan teoritis dan

kegunaan praktis sebagai berikut:

13 Soedarto, 1986, Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni, Bandung, hal 96.

Page 17: POLITIK KRIMINAL PENANGGULANGAN TINDAK …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/BRIAN SERJANA HUKUM.pdf · Pengertian dan Ruang Lingkup……………………………………………

7

1. Keguanaan Teoritis

Memberikan kontribusi dalam perkembangan ilmu hukum pidana khusus

dalam bidang tindak pidana korupsi.

2. Kegunaan Praktis

a. Sebagai masukan bagi lembaga penegak hukum dalam sistem

peradilan pidana dalam menyusun politik kriminal pemberantasan

tindak pidana korupsi.

b. Sebagai salah satu acuan kepustakaan hukum pidana khusus yang

terkait dengan politik kriminal pemberantasan tindak pidana korupsi

di Indonesia.

c. Sebagai salah satu acuan bagi penelitian yang serupa.

Page 18: POLITIK KRIMINAL PENANGGULANGAN TINDAK …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/BRIAN SERJANA HUKUM.pdf · Pengertian dan Ruang Lingkup……………………………………………

8

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Politik Kriminal

1. Pengertian dan Ruang Lingkup Politik Kriminal

Apabila melihat berbagai kepustakaan ilmu hukum pidana dan

turunan ilmunya, politik kriminal diistilahlainkan dengan kebijakan

kriminal. Politik kriminal mempunyai keterikatan dengan politik sosial,

yakni usaha dari masyarakat atau negara untuk meningkatkan

kesejahteraan warganya.14 Beberapa pakar hukum pidana baik di tingkat

nasional maupun internasional telah mencoba memberikan pengertian

tentang apa yang dimaksud dengan politik kriminal.

Menurut Marc Ancel15, criminal policy is the rational

organization of the control of crime by society. Apabila diterjemahkan ke

dalam bahasa Indonesia pengertian tersebut menjadi politik kriminal

adalah organisasi rational untuk mengontrol kejahatan dalam masyarakat.

IS. Heru Permana mengatakan bahwa kebijakan kriminal adalah usaha

rasional dan terorganisasi dari suatu masyarakat untuk menanggulangi

kejahatan.16

14 Dalam IS. Heru Permana, 2011, Politik Kriminal, Universitas Atma Jaya, Yogyakarta, , hal 1.

15 Barda Nawawi Arief, 1996, Bunga Rampai Kebikjakan Hukum Pidana, Cit ra Aditya Bakti, Bandung, hal 2.

16 IS Heru Permana, Op. Cit, hal 9.

Page 19: POLITIK KRIMINAL PENANGGULANGAN TINDAK …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/BRIAN SERJANA HUKUM.pdf · Pengertian dan Ruang Lingkup……………………………………………

9

Pandangan lain disampaikan oleh Hoefnagels17, bahkan ia

memberikan lebih dari satu pengertian daripada politik kriminal.

Berbagai pengertian tersebut adalah:

a. Criminal policy is the rational organization of the social reaction to

crime (politik kriminal adalah organsasi rasional dari reaksi sosial

terhadap kejahatan) ;

b. Criminal policy is the science of crime prevention (politik kriminal

adalah ilmu pengetahuan mengenai pencegahan kejahatan);

c. Criminal policy is a policy of designating behavior as a crime

(politik krimjnal adalah kebijakan dalam rangga menandai perilaku

sebagai suatu kejahatan);

d. Criminal policy is a rational total of response to crime (politik

kriminal adalah total rasional dari respon terhadap kejahatan).

Mulder mengemukakan bahwa kebijakan hukum pidana ialah

garis kebijakan yang mentukan:

a. Seberapa jauh ketentuan-ketentuan pidana yang berlaku perlu diubah

atau diperbaharui;

b. Apa yang dapat diperbuat untuk mencegah terjadinya tindak pidana;

c. Cara bagaimana penyidikan, penuntutan, peradilan, dan pelaksanaan

pidana harus dilakukan18.

Sudarto membagi pengertian politik kriminal dalam tiga

pengertian. Pertama, dalam pengertian sempit, politik kriminal adalah

17 Dalam Widiada Gunakaya dan Petrus Irianto, 2012, Kebijakan Kriminal Penanggulangan Tindak Pidana Pendidikan, Alfabeta, Bandung, hal. 10.,

18Barda Nawawi Arief, Op. Cit, hal 28 – 29.

Page 20: POLITIK KRIMINAL PENANGGULANGAN TINDAK …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/BRIAN SERJANA HUKUM.pdf · Pengertian dan Ruang Lingkup……………………………………………

10

keseluruhan asas dan metode yang menjadi dasar dari reaksi terhadap

pelanggaran hukum yang berupa pidana. Kedua, dalam pengertian lebih

luas, politik kriminal adalah keseluruhan fungsi dari aparatur penegak

hukum, termasuk cara kerja pengadilan dan polisi. Ketiga, dalam

pengertian paling luas, politik kriminal adalah keseluruhan kebijakan

yang dilakukan melalui peraturan perundang-undangan dan badan resmi

yang bertujuan untuk menegakkan norma-norma sentral dari masyarakat.

Selain itu, Sudarto memberikan pengertian secara praktis, menurutnya

politik kriminal adalah segala usaha yang rasional dari masyarakat untuk

menanggulangi kejahatan.19 Menurutnya usaha rasional merupakan

konsekuensi logis karena didalam melaksanakan politik, orang

mengadakan penilaian dan melakukan pemilihan dari sekian banyak

alternatif yang dihadapi.20

Politik kriminal pada hakikatnya merupakan bagian integral dari

upaya perlindungan masyarakat (Social Defence) dan upaya mencapai

kesejahteraan masyarakat (Social Welfare) dan oleh karena itu dapat

dikatakan bahwa tujuan akhir atau tujuan utama dari dari politik kriminal

adalah perlindungan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan

masyarakat. Hubungan yang demikian diilustrasikan oleh Barda Nawawi

Arief dengan skema demikian21:

19 IS. Heru Permana. Op. Cit,, hal 5.20 Sudarto, 1986, Hukum dan Hukum Pidana, Alumni, Bandung, hal 153.21 Dalam IS Heru Permana, Op. Cit, hal 7

Page 21: POLITIK KRIMINAL PENANGGULANGAN TINDAK …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/BRIAN SERJANA HUKUM.pdf · Pengertian dan Ruang Lingkup……………………………………………

11

Gambar 1.1Skema Politik Kriminal menurut Barda Nawawi Arief

Dalam skema tersebut, Barda Nawawi Arief menjelaskan bahwa

perlu adanya pendekatan integral atau integrated approach. Integral

merupakan istilah resapan dari bahasa Inggris yang berarti melengkapi.22

Dari skema tersebut, pendekatan integral dapat dilakukan dengan dua

cara. Pertama, keterpaduan antara politik kriminal dengan politik sosial,

dan kedua, keterpaduan antara sarana penal dan sarana non penal. Dalam

keterpaduan pertama, Sudarto mengemukakan bahwa tidak adanya

keterpaduan antara politik kriminal dan politik sosial maka akan

mengakibatkan politik kriminal itu sendiri akan menimbulkan faktor

kriminogen (menyebabkan timbulnya kejahatan) dan faktor victimogen

(menimbulkan korban kejahatan).23 Keterpaduan kedua diperlukan untuk

menekan atau mengurangi faktor- faktor potensial untuk tumbuh suburnya

kejahatan, keterpaduan ini diharapkan social defence planning benar-

benar dapat berhasil.24

22 John M. Echols dan Hassa Shadily, 1995, Kamus Inggris Indonesia, Gramed ia, Jakarta, hal 326.

23 Soedarto, 1986, Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni, Bandung, hal 96.24 Muladi dan Barda Nawawi Arief, Op. Cit, hal 160.

Social Welfare Policy

Social Defence Policy

Criminal Policy

Penal

TUJUAN

Social Policy

Non Penal

Page 22: POLITIK KRIMINAL PENANGGULANGAN TINDAK …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/BRIAN SERJANA HUKUM.pdf · Pengertian dan Ruang Lingkup……………………………………………

12

Selanjutnya G. Peter Hoefnagel mengemukakan bahwa:

“Criminal policy as science of policy is part of larger policy: the law

enforcement policy. The legislative and enforcement policy is in turn part

of social policy”.25 Pendapatnya tersebut secara skematis digambarkan

sebagai berikut26 :

Gambar 1.2Skema Politik Kriminal menurut G.P. Hoefnagels

25 G. Peter Hofnagel da lam Widiada Gunakaya, Op. Cit, hal 1826 G. Peter Hoefnagels dalam Barda Nawawi A rief, 2008, Bunga Rampai, Kebijakan

Hukum Pidana, Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru , hal 39 & 40.

Influencing view of

society on crime and

punishment (mass media)

Criminal law application (practical criminology)

∑ Administration of criminal justice in narrow sense:ß Criminal

legislation;ß Criminal

jurisprudence;ß Criminal, proses in

wide sense;ß sentencing

∑ Forensic psychiatry and psychology;

∑ Forensic social work;∑ Crime, sentence

execution and policy statistic

Prevention without punishment

∑ Social policy;∑ Community

planning mental helath;

∑ Mental health social, work, child welfare;

∑ Admin istrative and civil law

Social Policy

Law Enforcement Policy

Criminal Policy

Page 23: POLITIK KRIMINAL PENANGGULANGAN TINDAK …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/BRIAN SERJANA HUKUM.pdf · Pengertian dan Ruang Lingkup……………………………………………

13

Dari skema tersebut, usaha untuk menanggulangi kejahatan dalam

politik kriminal dapat dijabarkan melalui:

a. Penerapan hukum pidana (criminal law application);

b. Pencegahan tanpa pidana (prevention without punishment); dan

c. Mempengaruhi pandangan masyarakat mengenai kejahatan dan

pemidanaan lewat media massa (influencing view of society on crime

and punishment).

2. Pendekatan dalam Politik Kriminal

Bekerjanya politik kriminal dalam menanggulangi suatu

kejahatan dapat dilakukan dengan beberapa strategi atau beberapa

pendekatan. Dengam melihat skema yang dirancang oleh Barda Nawawi

Arief dan Hoefnagels pada bahasan sebelumnya dapat disimpulkan

bahwa secara garis besar upaya penanggulangan dapat dilakukan dengan

dua cara yakni pendekatan penal dan pendekatan non penal. Kesimpulan

tersebut didasarkan pada pandangan bahwa pembagian Hoefnagels

mengenai pencegahan tanpa pidana dan media massa menurut Barda

Nawawi Arief dapat dimasukan dalam kelompok non penal.27

a. Pendekatan Penal

Pendekatan penal merupakan cara yang dipergunakan dengan

memanfaatkan sarana pidana atau sanksi pidana, pendekatan ini

merupakan pendekatan yang paling tua dalam pidana. Dikatakan

paling tua karena pendekatan ini menurut Gene Kassebaum umurnya

27 Ibid.

Page 24: POLITIK KRIMINAL PENANGGULANGAN TINDAK …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/BRIAN SERJANA HUKUM.pdf · Pengertian dan Ruang Lingkup……………………………………………

14

setua peradaban manusia itu sendiri, sehingga ia mengatakan bahwa

sarana penal merupakan “older philosophy of crime control”.28

Penggunaan sarana pidana berarti mengggunakan upaya paksa yang

dimiliki hukum pidana melalui sistem peradilan pidana. Menurut

Mardjono Reksodiputro, sistem peradilan pidana adalah sistem

pengendalian kejahatan yang terdiri dari lembaga kepolisian,

kejaksaan, pengadilan, dan pemasyarakatan.29 Barda Nawawi Arief

berpandangan bahwa sistem peradilan pidana pada hakikatnya

identik dengan sistem penegakan hukum pidana ataupun sistem

kekuasaan kehakiman di bidang hukum pidana, terpadu

diimplementasikan dalam 4 (empat) sub-sistem kekuasaan, yaitu

kekuasaan penyidikan, kekuasaan penuntutan, kekuasaan mengadili /

menjatuhkan pidana, dan kekuasaan eksekusi / pelaksanaan pidana.30

Langkah- langkah operasionalisasi politik kriminal dengan

menggunakan sarana penal yang baik, dilakukan melalui:

1) Penetapan kebijakan perundang-undangan (dapat juga disebut

kebijakan legislasi) yang didalamnya berisikan penetapan

kebijkan mengenai:

a) Perbuatan apa yang seharusnya dijadikan tindak pidana

(kebijakan kriminalisasi);

28 Dalam Muladi dan Barda Nawawi Arief, 1984, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Alumni, Bandung, hal 149.

29 Mardjono Reksodiputro, 1993, Sistem Peradilan Indonesia (Melihat Kepada Kejahatan Dan Penegakan Hukum Dalam Batas-Batas Toleransi), Pidato Pengukuhan Guru Besar Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, hal 1.

30 Barda Nawawi Arief, 2007, Kapita Selekta Hukum Pidana, Universitas Diponegoro, Semarang, hal 9.

Page 25: POLITIK KRIMINAL PENANGGULANGAN TINDAK …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/BRIAN SERJANA HUKUM.pdf · Pengertian dan Ruang Lingkup……………………………………………

15

b) Sanksi apa yang sebaiknya digunakan atau dikenakan kepada

si pelanggar (kebijakan penalisasi / kebijakan pemidanaan).

2) Penerapan pidana oleh badan pengadilan (disebut juga kebijakan

yudikasi).

3) Pelaksanaan pidana oleh aparat pelaksana pidana (disebut juga

kebijakan eksekusi).31

Dalam pendekatan ini, Muladi32 berpandangan bahwa

terdapat dua masalah sentral yakni masalah penentuan:

1) Perbuatan apa yang seharusnya dijadikan tindak pidana, dan

2) Sanksi apa yang sebaiknya digunakan atau dikenakan kepada si

pelanggar.

Permasalahan yang pertama adalah masalah yang berkaitan

dengan kriminalisasi, menurut Sudarto33 kiranya diperhatikan hal-hal

yang pada intinya sebagai berikut:

1) Penggunaan hukum pidana harus memperhatikan tujuan

pembangunan nasional yaitu mewujudkan masyarakat adil

makmur yang merata materiil dan spirituil berdasarkan

Pancasila; sehubungan dengan ini maka (penggunaan) hukum

pidana bertujuan untuk menanggulangi kejahatan dan

mengadakan pengugeran terhadap tindakan penanggulangan itu

sendiri, demi kesejahteraan dan pengayoman masyarakat;

31 Widiada Gunakaya, Op. Cit, hal 14.32 Muladi dan Barda Nawawi Arief, Op. Cit, hal 160.33 Sudarto, 1977, Hukum dan Hukum Pidana, Yayasan Sudarto, Semarang, hal 44-48.

Page 26: POLITIK KRIMINAL PENANGGULANGAN TINDAK …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/BRIAN SERJANA HUKUM.pdf · Pengertian dan Ruang Lingkup……………………………………………

16

2) Perbuatan yang diusahakan untuk dicegah atau ditanggulangi

dengan hukum pidana harus merupakan “perbuatan yang tidak

dikehendaki” yaitu perbuatan yang mendatangkan kerugian

(materiil dan atau spirituil) atas warga masyarakat;

3) Penggunaan hukum pidana harus pula memperhitungkan prinsip

“biaya dan hasil”. (cost – benefit principle);

4) Penggunaan hukum pidana harus pula memperhatikan kapasitas

atau kemampuan daya kerja dari badan-badan penegak hukum,

yaitu jangan sampai ada kelampauan beban tugas (overblsating).

Bassiouni34 berpendapat bahwa keputusan untuk melakukan

kriminalisasi dan dekriminalisasi harus didasarkan pada faktor-faktor

kebijakan tertentu yang mempertimbangkan berbacam faktor,

termasuk:

1) Keseimbangan sarana-sarana yang digunakan dalam

hubungannya dengan hasil yang dicari atau yang ingin dicapai;

2) Analisa biaya terhadap hasil-hasil yang diperoleh dalam

hubungannya dengan tujuan-tujuan yang dicari;

3) Penilaian atau penaksiran tujuan-tujuan yang dicari itu dalam

kaitannya dengan prioritas-prioritas lainnya dalam

pengalokasian sumber-sumber tenaga manusia;

34 M. Cherif Bassioni, 1973, Substantive Criminal Law, Charles C. Thomas Publiser, USA, hal 82.

Page 27: POLITIK KRIMINAL PENANGGULANGAN TINDAK …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/BRIAN SERJANA HUKUM.pdf · Pengertian dan Ruang Lingkup……………………………………………

17

4) Pengaruh sosial dari kriminalisasi dan dekriminalisasi yang

berkenaan dengan (dipandang dari segi) pengaruh-pengaruhnya

yang sekunder.

Permasalahan yang kedua merupakan permasalahan yang

berkenaan dengan pemidanaan atau yang dalam bahasa Belanda

disebut “wordt gestraft”. Istilah pemidanaan merupakan istilah yang

berasal dari pidana, istilah pidana sendiri dalam bahasa Belanda

disebut “straf”35. Beberapa sarjana mengemukakan pengertian

pidana seperti Sudarto yang menyatakan bahwa pidana adalah

penderitaan yang sengaja dibebankan kepada orang yang melakukan

perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu. Sedangkan Roeslan

Saleh menyatakan bahwa apa yang dimaksud dengan pidana adalah

reaksi atas delik, dan ini berwujud suatu nestapa yang dengan

sengaja ditimpakan pada negara pada pembuat delik itu36.

Muladi berpandangan bahwa unsur-unsur pidana adalah:

1) Pidana itu pada hakikatnya merupakan suatu pengenaan

penderitaan atau nestapa atau akibat-akibat lain yang tidak

menyenangkan;

2) Pidana itu diberikan dengan sengaja oleh orang atau badan yang

mempunyai kekuasaan (oleh yang berwenang);

3) Pidana itu dikenakan kepada seseorang yang telah melakukan

tindak pidana menurut undang-undang;

35 Muladi dan Barda Nawawi Arief, Op. Cit, hal 1.36 Ibid, hal 2.

Page 28: POLITIK KRIMINAL PENANGGULANGAN TINDAK …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/BRIAN SERJANA HUKUM.pdf · Pengertian dan Ruang Lingkup……………………………………………

18

Masih terkait dengan sanksi apa yang sebaiknya dikenakan,

perlu sangat diperhatikan bahwa tidak terkendalinya perkembangan

kriminalitas yang semakin meningkat, justru dapat disebabkan oleh

tidak tepatnya jenis sanksi yang dipilih dan ditetapkan. Setidak-

tidaknya perumusan pidana di dalam undang-undang yang kurang

tepat dapat menjadi faktor timbul dan berkembangnya kriminalitas37.

b. Pendekatan Non Penal

Dalam politik kriminal, upaya untuk menanggulangi

kejahatan tidak hanya diperlukan dengan sarana penal namun juga

dapat dilakukan dengan sarana non penal. Sarana non penal ini

berkaitan dengan pencegahan sebelum terjadinya kejahatan, berbeda

dengan sarana penal yang dilakukan setelah terjadinya kejahatan.

Barda Nawawi Arief menyampaikan bahwa pendekatan ini memiliki

tujuan utama untuk memperbaiki kondisi-kondisi sosial tertentu,

namun secara tidak langsung mempunyai pengaruh preventif

terhadap kejahatan. Dengan demikian menuurut Barda Nawawi

Arief, pendekatan non penal dalam politik kriminal memiliki posisi

yang sangat startegis dan memegang posisi kunci yang harus

diintensifkan dan diefektifkan, apabila pendekatan ini mengalami

kegagalan dalam penggarapannya justru akan berakibat fatal bagi

usaha menanggulangi kejahatan.38

37 Ibid, hal 98.38 Ibid, hal 159.

Page 29: POLITIK KRIMINAL PENANGGULANGAN TINDAK …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/BRIAN SERJANA HUKUM.pdf · Pengertian dan Ruang Lingkup……………………………………………

19

Upaya preventif kejahatan menurut kongres PBB mengenai

“the prevention of crime and the treatment of offenders” dilakukan

dengan dasar penghapusan sebab-sebab kondisi-kondisi yang

menyebabkan timbulnya kejahatan, upaya penghapusan sebab-sebab

dan kondisi-kondisi yang dimikian harus merupakan strategi pokok /

mendasar dalam upaya pencegahan kejahatan (the basic crime

prevention strategy).39

Selain daripada itu, perlu dipahami bahwa sarana penal

memiliki keterbatasan yang telah banyak diungkapkan oleh para

sarjana antara lain:

1) Rubin, menyatakan bahwa pemidanaan (apapun hakikatnya

apakah dimaksudkan untuk menghukum atau memperbaiki)

sedikit atau tidak mempunyai pengaruh terhadap masalah

kejahatan;

2) Karl O. Christiansen, menyatakan bahwa kita mengetahui

pengaruh pidana penjara terhadap si pelanggar, tetapi pengaruh-

pengaruhnya terhadap masyarakat secara keseluruhan (general

prevention) merupakan “terra incognita”, suatu wilayah yang

tidak diketahui (unknown territory).

3) S. R. Brody, menyatakan bahwa dari Sembilan penelitian

mengenai pemidanaan, lima diantaranya menyatakan bahwa

39 A. Widiada, Op. Cit, hal. 36.

Page 30: POLITIK KRIMINAL PENANGGULANGAN TINDAK …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/BRIAN SERJANA HUKUM.pdf · Pengertian dan Ruang Lingkup……………………………………………

20

lamanya waktu yang dijalani d dalam penjara tampaknya tidak

berpengaruh pada adanya penghukuman kembali (reconviction)

4) Bassiouni pernah menegaskan bahwa kita tidak tahu atau tidak

pernah tahu secara pasti metode-metode tindakan (treatment)

apa yang paling efektif untuk mencegah dan memperbaiki atau

kita pun tidak mengetahui seberapa jauh efektivitas setiap

tindakan itu untuk dapat menjawab masalah-masalah secara

pasti, kita harus mengetahui sebab-sebab kejahatan dan untuk

mengetahui hal ini kita memerlukan pengetahuan yang lengkap

mengenai etiologi tingkah laku manusia.40

Berbagai ungkapan tersebut meninjau keterbatasan

kemampuan hukum pidana dari sudut hakikat berfungsinya atau

bekerjanya hukum (sanksi) pidana itu sendiri. Dilihat dari kejahatan

sebagai masalah sosial, banyak faktor yang menyebabkan terjadinya

kejahatan. Faktor penyebab terjadinya kejahatan tersebut sangat

kompleks dan berada di luar jangkauan hukum pidana. Wajarlah

hukum pidana mempunyai keterbatasan kemampuan untuk

menanggulangi karena seperti pernah dikemukakan Sudarto bahwa

penggunaan hukum pidana merupakan penanggulangan sesuatu

gejala (Kuren am Symton) dan bukan suatu penyelesaian dengan

menghilangkan sebab-sebabnya41.

40 Widiada Gunakaya, Op. Cit, hal 19 – 22.41 IS. Heru Permana, Op. Cit, hal 47.

Page 31: POLITIK KRIMINAL PENANGGULANGAN TINDAK …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/BRIAN SERJANA HUKUM.pdf · Pengertian dan Ruang Lingkup……………………………………………

21

Pencegahan kejahatan pada dasarnya merupakan tujuan

utama politik kriminal. Sekalipun demikian, harus diakui bahwa

konsep dan definisinya masih terlalu lemah sehingga orang

cenderung untuk membicarakan pencegahan kejahatan dalam

kerangka pendekatan dan model. Secara tradisional, tujuan sistem

peradilan pidana bersifat represif dan berkaitan erat dengan

pencegahan kejahatan setelah suatu kejahatan terjadi (after on

offfence has already occurred). Konsep pencegahan kejahatan

sendiri memfokuskan diri pada campur tangan sosial, ekonomi, dan

pelbagai area kebijakan publik, dengan maksud mencegah kejahatan

sebelum kejahatan dilakukan (to prevent crime before an offence has

been committed).42

B. Tindak Pidana Korupsi

1. Tindak Pidana

a. Pengertian

Tindak pidana pada hakikatnya merupakan istilah yang

berasal dari terjemahan kata strafbaarfeit dalam bahasa Belanda.

Kata strafbaarfeit kemudian diterjemahkan dalam berbagai

terjemahan dalam bahasa Indonesia. Beberapa kata yang

dipergunakan untuk menterjemahkan strafbaarfeit oleh sarjana-

42 Ibid, hal 89.

Page 32: POLITIK KRIMINAL PENANGGULANGAN TINDAK …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/BRIAN SERJANA HUKUM.pdf · Pengertian dan Ruang Lingkup……………………………………………

22

sarjana di Indonesia antara lain: tindak pidana43, delict44, perbuatan

pidana45.

Menurut P.A.F. Lamintang, pembentuk undang-undang tidak

memberikan suatu penjelasan mengenai apa yang sebenarnya yang

dimaksud dengan “stafbaaar feit”, maka timbulah di dalam doktrin

berbagai pendapat tentang apa yang sebenarnya yang dimaksud

dengan “strafbaar feit” tersebut.46 Dari sekian banyak pandangan

mengenai istilah apa yang paling tepat untuk “strafbaar feit”,

pembentuk undang-undang akhirnya menyatakan bahwa istilah yang

cocok untuk“strafbaar feit” tersebut adalah tindak pidana. Alasan

yang mendasari hal tersebut adalah aspek socio-yuridis, dimana

hampir semua perundang-undangan pidana memakai istilah tindak

pidana.47

Berkaitan dengan pengertian tindak piidana, dikenal dua

pandangan, yaitu pandangan monistis dan pandangan dualistis48.

Pandangan monistis menjelaskan bahwa didalam pengertian

perbuatan pidana / tindak pidana sudah tercakup didalamnya

perbuatan yang dilarang (criminal act) dan pertanggungjawaban

pidana / kesalahan (criminal responsibility). Sedangkan dalam

43 Sudarto, Hukum Pidana Jilid I A-B, FH Undip, Semarang, 1975, hal 31.44 Satochid Kartanegara, Hukum Pidana Kumpulan Kuliah, Balai Lektur Mahasiswa,

tanpa tahun, hal 74.45 Sudarto, Op. Cit, hal 30.46 P.A.F. Lamintang, 1997, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, Cetakan Ketiga, Citra

Aditya Bakti, Bandung, hal 181.47 Tim Penerjemah Badan Pembinaan Hukum Nasional, 1983, Kitab Undang-Undang

Hukum Pidana Terjemahan Resmi, Sinar Harapan, Jakarta, hal. 10. Dalam Widiada Gunakaya, Op. Cit, hal 44.

48 Ibid, hal 31 -32.

Page 33: POLITIK KRIMINAL PENANGGULANGAN TINDAK …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/BRIAN SERJANA HUKUM.pdf · Pengertian dan Ruang Lingkup……………………………………………

23

pandangan dualistis, memberikan pandangan bahwa dalam tindak

pidana hanya terdapat perbuatan yang dilarang (criminal act), dan

pertanggungjawaban pidana / kesalahan (criminal responsibility)

tidak menjadi unsur tindak pidana.49

Sarjana yang menganut paham monisme adalah Simons,

menurutnya yang dimaksud dengan tindak pidana adalah tindakan

melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun

tidak dengan sengaja oleh seseorang yang dapat

dipertanggungjawabkan atas tindakannya dan yang oleh undang-

undang telah dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat dihukum.

Dengan mendasarkan pada pengertian tersebut, unsur-unsur yang

harus dipenuhi untuk adanya suatu tindak pidana adalah:

1) Perbuatan manusia, baik dalam arti perbuatan positif (berbuat)

maupun perbuatan negatif (tidak berbuat);

2) Diancam dengan pidana;

3) Melawan hukum;

4) Dilakukan dengan kesalahan;

5) Oleh orang yang mampu bertanggungjawab.50

Lain dengan Simons, J. Baumann51 mengatakan bahwa tindak

pidana adalah perbuatan yang memenuhi rumusan delik, bersifat

melawan hukum, dan dilakukan dengan kesalahan. Sedangkan

49 Tongat, Op. Cit, hal 105 -106.50 P. A. F. Lamintang, Op. Cit, hal 185.51 Sudarto, Op. Cit, hal 31-32.

Page 34: POLITIK KRIMINAL PENANGGULANGAN TINDAK …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/BRIAN SERJANA HUKUM.pdf · Pengertian dan Ruang Lingkup……………………………………………

24

Wiryono Prodjodikoro52 berpandangan tindak pidana adalah suatu

perbuatan yang pelakunya dapat dipidana.

Sarjana yang menganut paham dualisme adalah Moeljatno,

menurutnya yang dimaksud dengan perbuatan pidana adalah

perbuatan yang diancam dengan pidana, barangsiapa melangggar

larangan tersebut. Dengan mendasarkan pada pengertian tersebut,

unsur-unsur yang harus dipenuhi untuk adanya suatu tindak pidana

adalah:

1) Adanya perbuatan (manusia);

2) Yang memenuhi rumusan dalam undang-undang (hal ini

merupakan syarat formil, terkait dengan berlakunya Pasal 1 ayat

(1) KUHP;

3) Bersifat melawan hukum (hal ini merupakan syarat materiil,

terkait dengan diikutinya ajaran sifat melawan hukum materiil

dalam fungsinya yang negatif).53

Selain Moeljatno, sarjana lain yang tergolong menganut

pandangan dualism adalah Pompe. Menurut Pompe, dalam hukum

positif stafbaarfeit tidak lain feit (tindakan) yang diancam pidana

dalam ketentuan undang-undang. Menurutnya, dalam hukum positif

sifat melawan hukum dan kesalahan bukanlah syarat mutlak untuk

adanya tindak pidana54.

52 Dalam Tongat, Op. Cit, hal. 106.53 Ibid, hal 107.54Ibid.

Page 35: POLITIK KRIMINAL PENANGGULANGAN TINDAK …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/BRIAN SERJANA HUKUM.pdf · Pengertian dan Ruang Lingkup……………………………………………

25

Jika dicermati secara seksama, terdapat persamaan dalam

pandangan monisme dan dualisme. Baik pandangan monisme dan

dualisme, keduanya mengharuskan bahwa untuk adanya pidana

harus terdapat tindak pidana (criminal act) dan pertanggungjawaban

pidana (criminal responsibility). Adapun perbedaannya telah

dijelaskan pada penjelasan sebelumnya.

b. Sifat Melawan Hukum

Sifat melawan hukum merupakan unsur yang mendapat

perhatian khusus dalam tindak pidana, keberadaan unsur sifat

melawan hukum dalam pengertian tindak pidana bahkan tidak

terpengaruh terhadap apakah pengertian tersebut dihasilkan oleh

sarjana yang menganut aliran monisme ataupun dualisme

sebagaimana dapat dilihat dalam bahasan tindak pidana sebelumnya.

Urgensi sifat melawan hukum bertolak dari kenyataan bahwa yang

menjadi perhatian hukum pidana adalah perbuatan-perbuatan yang

bersifat melawan hukum saja, perbuatan-perbuatan tersebutlah yang

kemudian dalam hukum pidana dilarang dan diancam dengan

pidana.55 Terdapat dua ajaran mengenai sifat melawan hukum yakni

ajaran sifat melawan hukum secara formil dan ajaran sifat melawan

hukum secara meteriil.

55 Moeljatno, 1992, Asas-Asas Hukum Pidana, Bumi A ksara, Jakarta, ha l. 130.

Page 36: POLITIK KRIMINAL PENANGGULANGAN TINDAK …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/BRIAN SERJANA HUKUM.pdf · Pengertian dan Ruang Lingkup……………………………………………

26

1) Ajaran Sifat Melawan Hukum Secara Formil

Dalam ajaran sifat melawan hukum secara formil

dikatakan bahwa bersifat melawan hukum apabila perbuatan itu

diancam pidana dan dirumuskan sebagai delik (tindak pidana)

dalam undang-undang.56 Mencermati hal tersebut, terkandung

makna bahwa suatu perbuatan dikatakan melawan hukum

apabila perbuatan tersebut telah mencocoki larangan undang-

undang.57

Ajaran ini dalam hukum pidana Indonesia tercermin

dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP atau yang lebih dikenal dengan

asas legalitas. Ajaran ini memiliki dua pemahaman:

a) Perbuatan dikatakan bersifat melawan hukum apabila

perbuatan tersebut sudah dirumuskan dalam undang-undang

sebagai perbuatan yang diancam pidana.

b) Hal yang dapat menghapus sifat melawan hukumnya

perbuatan hanyalah dapat dilakukan melalui pencabutan

oleh undang-undang (dekriminalisasi secara formil).58

2) Ajaran Sifat Melawan Hukum Secara Materiil

Dalam ajaran sifat melawan hukum secara materiil

dikatakan bahwa sifat melawan hukumnya suatu perbuatan tidak

hanya didasarkan pada undang-undang saja tapi juga didasarkan

pada nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat atau hukum tidak

56 Sudarto,Op. Cit, hal 62.57 Moeljatno, Loc. Cit.58 Tongat, Op. Cit, hal 196

Page 37: POLITIK KRIMINAL PENANGGULANGAN TINDAK …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/BRIAN SERJANA HUKUM.pdf · Pengertian dan Ruang Lingkup……………………………………………

27

tertulis.59 Moeljatno lebih lanjut mengatakan bahwa dalam

ajaran yang materiil, belum tentu suatu perbuatan yang telah

mencocoki rumusan delik itu adalah bersifat melawan hukum,

sebab perbuatan itu selain mencocoki perumusan delik juga

perbuatan harus betul-betul dirasakan oleh masyarakat sebagai

perbuatan yang tak boleh atau tak patut dilakukan.60 Ajaran sifat

melawan hukum secara materiil terbagi menjadi dua ajaran lagi,

ajaran sifat melawan hukum secara meteriil dalam fungsinya

yang negatif dan ajaran sifat melawan hukum secara materiil

dalam fungsinya secara positif.

Pada fungsi yang negatif, nilai-nilai yang hidup dalam

masyarakat hanya diakui sebagai hal yang dapat menghapus

sifat melawan hukumnya perbuatan. Sedangkan pada fungsi

yang positif, nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat diakui

sebagai sumber hukum positif. Artinya, sekalipun suatu

perbuatan tidak diformulasikan secara positif (dalam peraturan

perundang-undangan) sebagai suatu tindak pidana, tetapi apabila

perbuatan itu bertentangan dengan nilai-nilai yang hidup dalam

masyarakat, maka perbuatan itu berdasarkan nilai-nilai yang

hidup dalam masyarakat dapat dipositifkan menjadi suatu tindak

pidana61. Ajaran sifat melawan hukum secara materiil

59 Ibid.60 Moeljatno dalam W idiada Gunakaya, Op. Cit, hal. 47.61 Tongat, Op. Cit, 202-203.

Page 38: POLITIK KRIMINAL PENANGGULANGAN TINDAK …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/BRIAN SERJANA HUKUM.pdf · Pengertian dan Ruang Lingkup……………………………………………

28

merupakan ajaran yang kini dianut para sarjana di Indonesia62

dan ajaran sifat melawan hukum materiil yang dianut adalah

ajaran sifat melawan hukum secara materiil dan fungsi negatif. 63

2. Korupsi

a. Pengertian

Ditinjau dalam sudut pandang etimologi, korupsi merupakan

istilah asing yang diserap dalam bahasa Indonesia, Dalam Webster

Studen Dictionary, Korupsi merupakan istilah yang berasal dari

bahasa latin corruptio atau corruptus. Selanjutnya disebutkan bahwa

corruptio itu berasal pula dari kata asal corrumpere, suatu kata

dalam bahasa latin yang lebih tua. Dari bahasa latin itulah turun ke

banyak bahasa Eropa seperti Inggris, yaitu corruption, corrupt;

Perancis, yaitu corruption; dan Belanda, yaitu corruptie (korruptie),

dapat atau patut diduga istilah korupsi berasal dari bahasa Belanda

dan menjadi bahasa Indonesia, yaitu “korupsi”64.

Di dalam Black’s Law Dictionary, korupsi adalah suatu

perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk memberikan suatu

keuntungan yang tidak sesuai dengan kewajiban resmi dan hak-hak

dari pihak lain, secara salah menggunakan jabatannya atau

karakternya untuk mendapatkan suatu keuntungan untuk dirinya

62 Sudarto, Op. Cit, hal 66. 63 Ibid.64Ermansjah Djaja, 2009, Memberantas Korupsi bersama KPK, Sinar Grafika, Jakarta,

hal 6.

Page 39: POLITIK KRIMINAL PENANGGULANGAN TINDAK …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/BRIAN SERJANA HUKUM.pdf · Pengertian dan Ruang Lingkup……………………………………………

29

sendiri atau untuk orang lain, bersamaan dengan kewajibannya dan

hak-hak dari pihak lain.65

Pengertian korupsi secara harafiah menurut John M. Echols

dan Hassan Shadaly66, berarti jahat atau busuk, sedangkan menurut

A. I. N. Kramer SR67 mengartikan kata korupsi sebagai: busuk, rusak

atau dapat disuap. Arti korupsi yang telah diterima dalam

perbendaharaan kata bahasa Indonesia, disimpulkan oleh

Poerwadarminta bahwa korupsi adalah perbuatan yang buruk seperti

penggelapan uang, penerimaan uang sogok dan sebagainya68.

Beberapa pengertian dalam sudut pandang etimologi tersebut

pada akhirnya nampak bahwa korupsi memiliki pengertian yang

sangat luas. Sependapat dengan ini adalah pengertian dari

Encyclopedia Americana, dimana korupsi adalah suatu hal yang

sangat buruk dengan bermacam ragam artinya, bervariasi menurut

waktu, tempat, dan bangsa.69

Beberapa sarjana mencoba mendefinisakan korupsi,

Baharudin Lopa mengutip pendapat dari David M. Chalmer,

menguraikan arti istilah korupsi dari berbagai bidang, yakni yang

menyangkut masalah penyuapan, yang berhubungan dengan

65 Henry Campbell Black, 1990, Blac’k Law Dictionary, 6th Edition, West Publishing, St. Paul Minesota dalam Marwan Effendy, 2012, SIstem Peradilan Pidana: Tinjauan terhadap Beberapa Perkembangan Hukum Pidana, Referensi, Jakarta, hal. 80.

66 Wijowasito, 1999, Kamus Umum Belanda Indonesia, Ikhtiar Baru, Jakarta, hal 128.67John M. Echols dan Hassan Shadaly, 1997, Kamus Inggris Indonesia, Gramedia

Pustaka Utama, Jakarta, hal 149. 68 W. J. S. Poerwadarminta, 1976, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka,

Jakarta, hal. 524.69 Dalam Andi Hamzah, 2005, Pemberantasan Korupsi melalui Hukum Pidana Nasional

dan Internasional, Rajagrafindo Persada, Jakarta, hal. 6.

Page 40: POLITIK KRIMINAL PENANGGULANGAN TINDAK …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/BRIAN SERJANA HUKUM.pdf · Pengertian dan Ruang Lingkup……………………………………………

30

manipulasi di bidang ekonomi, dan yang menyangut bidang

kepentingan umum.70 Sudarto menjelaskan pengertian korupsi dari

unsur-unsurnya sebagai berikut:

1) Melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri, orang lain atau

suatu badan.

2) Perbuatan itu bersifat melawan hukum.

3) Perbuatan itu secara langsung atau tidak langsung merugikan

keuangan negara dan / atau perekonomian negara, atau

perbuatan itu diketahui atau patut disangka oleh si pembuat

bahwa merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.71

Selain itu, perlu diperhatikan mengenai pernyataan dari

World Bank berdasarkan hasil penelitiannya yang menjelaskan

bahwa korupsi adalah “An Abuse Of Public Power For Private

Gains” atau penyalahgunaan kewenangan atau kekuasaan untuk

kepentingan pribadi.72 Dalam sudut pandang normatif, pengertian

korupsi dapat dilihat dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999

Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dalam Pasal 2 ayat

(1) dan Pasal 3 dijelaskan pengertian korupsi melalui unsur-unsur

dari tindak pidana korupsi. unsur-unsur tindak pidana korupsi dalam

Pasal 2 ayat (1) adalah:

1) Melawan hukum,

70 Dalam Evi Hartanti, 2007, Tindak Pidana Korupsi, Ediisi Kedua, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 9.

71 Dalam Ibid, hal. 18.72 World Bank, 1997, World Development Report – The State in Changing World,

Washington DC dalam Marwan Effendy, Op. Cit, hal. 81.

Page 41: POLITIK KRIMINAL PENANGGULANGAN TINDAK …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/BRIAN SERJANA HUKUM.pdf · Pengertian dan Ruang Lingkup……………………………………………

31

2) Memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi,

3) Dapat merugikan keuangan negara atau perekomian negara.

Sedangkan unsur-unsur tindak pidana korupsi dalam Pasal 3

adalah:

1) Menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi,

2) Menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada

padanya karena jabatan atau kedudukan,

3) Dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.

b. Sebab-Sebab Tindak Pidana Korupsi

Korupsi merupakan suatu perbuatan, oleh karenanya terdapat

alasan-alasan atau sebab-sebab mengapa orang melakukan perbuatan

korupsi. Andi Hamzah membuat hipotesis mengenai sebab-sebab

korupsi sebagai berikut:

1) Kurangnya gaji atau pendapatan pegawai negeri dibandingkan

dengan kebutuhan yang makin hari makin meningkat;

2) Latar belakang kebudayaan atau kultur Indonesia;

3) Manajemen yang kurang baik dan control yang kurang efektif dan

efisien;

4) Modernisasi73

Marwan Effendy turut mengambil bagian dalam menemukan

jawaban dari sebab-sebab korupsi, dengan berangkat dari pengertian

korupsi yang disampaikan oleh Sheldon S. Steinberg dan David T.

73 Andi Hamzah, Op.Cit, hal. 13 – 23.

Page 42: POLITIK KRIMINAL PENANGGULANGAN TINDAK …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/BRIAN SERJANA HUKUM.pdf · Pengertian dan Ruang Lingkup……………………………………………

32

Ausytern yang menyatakan bahwa korupsi adalah perbuatan tidak

etis yang merusak sendi-sendi pemerintahan yang baik maka dapat

disimpulan bahwa sebab-sebab korupsi adalah:

1) Minimnya integritas,

2) Sistem karier dan penggajian yang tidak berbasis kinerja serta

standar pelayanan minimal,

3) Perilaku masyarakat yang serba instan dalam setiap urusan.74

Patrick Glynn, Stephen J. Korbin, dan Moise Naim

berpandangan bahwa korupsi disebabkan sebagai akibat dari

perubahan politik secara sistematis, sehingga memperlemah atau

mengahancurkan tidak saja lembaga sosial dan politik, tetapi juga

hukum.75 Pendapat mereka tersebut nampak terbukti, sebelum

reformasi atau ketika orde baru, korupsi menjadi sistemik dan

hierarkis. Kemudian dengan jatuhnya orde baru yang kemudian

munculnya pengenalan sistem pemilihan umum yang baru di tahun

1999 dan implementasi desentralisasi di tahun 2001 membuat pola

korupsi era orde baru menyusut, tetapi dalam perkembangannya

justru korupsi dalam skala kecil semakin meningkat karena pemain

lama yakni para pejabat kakap sudah absen. Meningkatnya korupsi

dalam skala kecil ini melah ternyata telah membuat suatu budaya

yang dapat memaklumi keikutsertaan dalam korupsi.76

74 Marwan Effendy, Op. Cit, hal 83-84.75 Kimberly Ann Elliot, 1999, Corruption and The Global Economy, Edisi Pertama,

terjemahan Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, hal 11 dalam Marwan Effendy, Loc. Cit.76 Ibid.

Page 43: POLITIK KRIMINAL PENANGGULANGAN TINDAK …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/BRIAN SERJANA HUKUM.pdf · Pengertian dan Ruang Lingkup……………………………………………

33

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Tipe Penelitian

Tipe penelitian dalam penelitian ini adalah normatif, dimana

penelitian normatif adalah penelitian hukum yang dilakukan dengan cara

meneliti bahan pustaka atau data sekunder.77 Metedo pendekatan normatif

juga dikenal dengan nama penelitian hukum atau legal research.78

B. Pendekatan Penelitian

Pendekatan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah

pendekatan perundang-undangan, pendekatan perundang-undangan (statute

approach) dilakukan dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi

yang bersangkut paut dengan isu hukum yang ditangai79, isu hukum yang

ditangani dalam penelitian ini adalah tindak pidana korupsi.

C. Bahan Hukum

Bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah:80

1. Bahan hukum primer

Bahan hukum primer adalah bahan-bahan hukum yang mengikat,

dan terdiri dari:

77 Soerjono Soekanto dan Sri Pamuji, Penelitian Hukum Normatif, Raja Grafindo Persada, Jakarta, Cetakan ket iga, 2011, hal 14.

78 Ronny Hanit ijo Soemitro, Metodologi Penelitian, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1982, hal 10.

79 Peter Mahmud Marzuki, 2010, Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta, hal 93.80 Ibid, hlm.113 -114.

Page 44: POLITIK KRIMINAL PENANGGULANGAN TINDAK …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/BRIAN SERJANA HUKUM.pdf · Pengertian dan Ruang Lingkup……………………………………………

34

a. Norma atau kaidah dasar, yaitu Pembukaan Undang-Undang Dasar

1945;

b. Peraturan dasar, yaitu batang tubuh UUD 1945;

c. Peraturan Perundang-undangan:

d. Bahan hukum yang tidak dikodifikasikan, misalnya hukum adat;

e. Yurisprudensi;

f. Traktat;

g. Bahan hukum dari zaman penjajahan yang hingga kini masih

berlaku, seperti KUHP (Wetboek van Strafrecht).

2. Bahan hukum sekunder

Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang memberikan

penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti Rancangan Undang-

Undang (RUU), Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP), hasil penelitian

hukum, hasil karya ilmiah, dan sebagainya.

3. Bahan hukum tersier

Bahan hukum tersier adalah bahan-bahan yang memberi petunjuk

maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum

sekunder, seperti kamus.

D. Metode Pengumpulan Bahan Hukum

Metode pengumpulan bahan hukum yang digunakan dalam penelitian

ini adalah studi pustaka atau kepustakaan, yakni kegiatan mengumpulkan dan

memeriksa atau menelusuri dokumen-dokumen atau kepustakaan yang dapat

memberikan informasi atau keterangan yang dibutuhkan oleh peneliti.

Page 45: POLITIK KRIMINAL PENANGGULANGAN TINDAK …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/BRIAN SERJANA HUKUM.pdf · Pengertian dan Ruang Lingkup……………………………………………

35

Penggunaan metode pengumpulan ini merupakan konsekuensi logis dari

penggunaan bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.81

E. Metode Analisis Bahan Hukum

Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode

analisis kualitatif yakni analisis yang menekankan pada proses penyimpulan

deduktif dan induktif serta pada dinamika hubungan antar fenomena yang

diamati dengan menggunakan logika ilmiah.82 Penyimpulan dalam penelitian

ini menggunakan logika deduktif yankni logika yang berangkat dari hal yang

bersifat umum ke hal yang bersifat khusus. Penggunaan metode analisis data

kualitatif ini merupakan konsekuensi logis dari pengaplikasian penelitian

dengan tipe normatif.83

81 M. Syamsyudin, Operasionalisasi Penelitian Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007hal 101-102.

82 Ibid, hal 133.83 Bambang Waluyo, Op. Cit, hal 78.

Page 46: POLITIK KRIMINAL PENANGGULANGAN TINDAK …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/BRIAN SERJANA HUKUM.pdf · Pengertian dan Ruang Lingkup……………………………………………

36

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Peraturan perundangan yang digunakan untuk menanggulangi tindak

pidana korupsi pada era reformasi

Semenjak era reformasi berjalan di Indonesia pada tahun 1998, ada

banyak peraturan perundang-undangan yang dirumuskan dalam rangka

menanggulangi tindak pidana korupsi. Perumusan peraturan perundang-

undangan ini merupakan manifestasi aspirasi masyarakat dalam tuntutan

reformasi, salah satu tuntutan reformasi tersebut adalah pemberantasan

korupsi. Hingga tahun 2013, terhitung sudah empat belas tahun masyarakat

Indonesia merasakan reformasi dan dari empat belas tahun tersebut sudah

pula negara ini merumuskan berbagai peraturan perundang-undangan untuk

memenuhi harapan masyarakat Indonesia yang gerah akan predikat negara

korup.

1. TAP MPR No. XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang

Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme

TAP MPR No. XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara

yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme yang

ditetapkan pada tanggal 13 Nopember 1998 merupakan tindak lanjut atas

ketidaksesuaian lagi Undang-Undang Nomor 3 tahun 1971 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dengan perkembangan dan

kebutuhan hukum mengenai tindak pidana korupsi. Dikatakan tidak

sesuai lagi karena setelah diberlakukan selama 28 (dua puluh delapan)

Page 47: POLITIK KRIMINAL PENANGGULANGAN TINDAK …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/BRIAN SERJANA HUKUM.pdf · Pengertian dan Ruang Lingkup……………………………………………

37

tahun berlaku ternyata telah terjadi perkembangan tindak pidana korupsi,

kolusi, dan nepotisme yang melibatkan para penyelenggara negara

dengan para pengusaha.84 Sebuah Aide Memorie Bank Dunia yang

diterbitkan pada Oktober 1998 menyatakan bahwa benar terjadi korupsi

pada proyek-proyek di Indonesia yang didanai Bank Dunia dan dana

bantuan dari lembaga- lembaga internasional lainnya sehingga

disimpulkan bahwa korupsi di Indonesia sudah melembaga.85

Dalam konsideransnya ada dua pertimbangan pokok lahirnya

TAP MPR ini:

a) Bahwa dalam penyelenggaraan negara telah terjadi praktik-praktik

usaha yang lebih menguntungkan sekelompok tertentu yang

menyuburkan korupsi, kolusi, dan nepotisme yang melibatkan para

pejabat negara dengan para pengusaha sehingga merusak sendi-sendi

penyelenggara negara dalam berbagai aspek kehidupan nasional;

b) Bahwa dalam rangka rehabilitasi seluruh aspek kehidupan nasional

yang berkeadilan, dibutuhkan penyelenggara negara yang dapat

dipercaya melalui usaha pemeriksaan harta kekayaan para pejabat

negara dan mantan pejabat negara serta keluarganya yang diduga

berasal dari praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme, dan mampu

membebaskan diri dari praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme.

84 Ermasyarah Djaja, 2009, Memberantas Korupsi bersama KPK, Cetakan Kedua, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 9.

85 Dalam Artidjo Alkostar, 2008, Korupsi Politik di Negara Modern , FH UII Press, Yogyakarta, hal. 85.

Page 48: POLITIK KRIMINAL PENANGGULANGAN TINDAK …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/BRIAN SERJANA HUKUM.pdf · Pengertian dan Ruang Lingkup……………………………………………

38

TAP MPR ini bertujuan untuk memfungsikan secara proporsional

dan benar lembaga- lembaga negara yang ada, sehingga penyelenggaraan

negara dapat berlangsung sesuai dengan UUD 1945. Penyelenggara

negara pada lembaga- lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif harus

melaksanakan fungsinya dengan baik dan bertanggungjawab kepada

masyarakat, bangsa, dan negara dengan sikap jujur, adil, terbuka, dan

terpercaya serta mampu membebaskan diri dari praktik korupsi, kolusi,

dan nepotisme.86 Dari TAP MPR ini, lahirlah Undang-Undang Nomor 28

Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari

Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme yang ditetapkan pada tanggal 19 Mei

1999.

2. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara

Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.

Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara

Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme

disahkan pada tanggal 19 Mei 1999, sebagaimana dijelaskan sebelumnya

bahwa undang-undang ini dirumuskan karena undang-undang ini

diamanatkan secara langsung oleh TAP MPR No. XI/MPR/1998 tentang

Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan

Nepotisme. Dalam undang-undang ini sangat rinci merumusakan fokus

upaya tata kelola negara yang bebas dari KKN antara lain melalui

definisi penyelenggara negara, penyelenggaraan negara yang bersih,

86 Ermansyah Djaja, Op. Cit, hal 16 – 17.

Page 49: POLITIK KRIMINAL PENANGGULANGAN TINDAK …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/BRIAN SERJANA HUKUM.pdf · Pengertian dan Ruang Lingkup……………………………………………

39

korupsi, kolusi, dan nepotisme dalam Pasal 1 secara berututan87. Adapun

bunyi Pasal 1 tersebut adalah berikut:

Pasal 1Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan:1. Penyelenggara Negara adalah Pejabat Negara yang menjalankan

fungsi eksekutif, legislatif, atau yudikatif, dan pejabat lain yang funsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

2. Penyelenggara Negara yang bersih adalah Penyelenggara Negara yang menaati asas-asas umum penyelenggaraan negara dan bebas dari praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme, serta perbuatan tercela lainnya.

3. Korupsi adalah tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang tindak pidana korupsi.

4. Kolusi adalah permufakatan atau kerjasama secara melawan hukum antar-Penyelenggara Negara atau antara Penyelenggara Negara dan pihak lain yang merugikan orang lain, masyarakat dan atau negara.

5. Nepotisme adalah setiap perbuatan Penyelenggara Negara secara melawan hukum yang menguntungkan kepentingan keluarganya dan atau kroninya di atas kepentingan masyarakat, bangsa, dan negara.

Selain itu, undang-undang ini dalam Pasal 2 nya secara tegas

merumuskan siapa-siapa saja yang terkategori sebagai penyelenggara

negara, adapun bunyi pasal 2 tersebut adalah sebagai berikut:

Pasal 2Penyelenggara Negara meliputi:1. Pejabat Negara pada Lembaga Tertinggi Negara;2. Pejabat Negara pada Lembaga Tinggi Negara3. Menteri;4. Gubernur;5. Hakim;6. Pejabat negara lain yang sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan yang berlaku; dan

87 Servas Pandur, 2011, Testimoni Antasari Azhar Untuk Hukum dan keadilan , Laras indra Semesta, Jakarta, hal. 365.

Page 50: POLITIK KRIMINAL PENANGGULANGAN TINDAK …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/BRIAN SERJANA HUKUM.pdf · Pengertian dan Ruang Lingkup……………………………………………

40

7. Pejabat lain yang memilki fungsi strategis dalam kaitannya dengan penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Undang-undang ini mewajibkan kepada penyelenggara untuk

melakukan pemeriksaan kekayaan dalam rangka pencegahan praktek

KKN bagi penyelenggara negara. Kewajiban pemeriksaan kekayaan

tersebut dapat dilihat dalam Pasal 5.

Pasal 5Setiap Penyelenggara Negara berkewajiban untuk:1. mengucapkan sumpah atau janji sesuai dengan agamanya sebelum

memangku jabatannya;2. bersedia diperiksa kekayaannya sebelum, selama, dan setelah

menjabat;3. melaporkan dan mengumumkan kekayaan sebelum dan setelah

menjabat;

Selanjutnya pelaksanaan kewajiban pemeriksaan kekayaan bagi

penyelenggara negara dilaksanakan melalui Peraturan Pemerintah Nomor

65 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pemeriksaan Kekayaan Penyelenggara

Negara. Undang-undang ini memungkinkan untuk adanya peluang peran

serta masyarakat dalam mewujudkan penyelenggara negara yang bebas

dari KKN. Peluang tersebut diberikan undang-undang ini dalam Pasal 8,

kemudian dalam Pasal 9 ayat (1) peran serta masyarakat diwujudkan

dalam beberapa bentuk sebagaimana bunyi pasal tersebut sebagai

berikut:

Pasal 9(1)Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8

diwujudkan dalam bentuk:a. Hak mencari, memperoleh, dan memberikan informasi tentang

penyelenggaraan negara;

Page 51: POLITIK KRIMINAL PENANGGULANGAN TINDAK …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/BRIAN SERJANA HUKUM.pdf · Pengertian dan Ruang Lingkup……………………………………………

41

b. Hak untuk memperoleh pelayanan yang sama dan adil dari Penyelenggara Negara;

c. Hak menyampaikan suatu saran dan pendapat secara bartanggungjawab terhadap kebijakan Penyelenggara Negara; dan

d. Hak untuk memperoleh pelrindungan hukum dalam hal:1) Melaksanakan haknya sebagaimana dimaksud dalam bentuk a,

b, dan c;2) Diminta hadir dalam proses penyelidikan, penyidikan, dan di

sidang pengadilan sebagai saksi pelapor, saksi, dan saksi ahli, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pelaksanaan peran serta masyarakat tersebut dilaksanakan melalui

Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 1999 tentang Tata Cara

Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat Dalam Penyelenggaraan Negara.

Pasal 10 Peraturan Pemerintah ini memberikan perlindungan hukum bagi

masyarakat dalam melaksanakan bentuk-bentuk peran serta masyarakat

tersebut dengan ketentuan melakukan pemberitahuan baik secara tertulis

maupun lisan kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia atau instansi

yang berwenang. Agar undang-undang ini dapat dijalankan sebagai

mestinya, undang-undang ini mengamanatkan kepada Presiden untuk

membentuk Komisi Pemeriksa.

Komisi Pemeriksa yang dimaksud adalah Komisi Pemeriksa

Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN) KPKPN merupakan lembaga

independen yang didirikan oleh Presiden sehingga oleh karenanya

KPKPN bertanggungjawab secara langsung kepada Presiden. Fungsi

KPKPN diatur dalam Pasal 12 ayat (1) Undang-Undang Nomor 28

Tahun 1999, dalam pasal tersebut dinyatakan bahwa KPKPN berfungsi

Page 52: POLITIK KRIMINAL PENANGGULANGAN TINDAK …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/BRIAN SERJANA HUKUM.pdf · Pengertian dan Ruang Lingkup……………………………………………

42

untuk mencegah praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme dalam

penyelenggaraaan negara. kedudukan KPKPN sendiri berada di ibukota

negara.

Terkait dengan stuktur organisasinya, KPKPN terdiri dari terdiri

dari seorang ketua merangkap anggota dan sekurang-kurangnya 20 (dua

puluh) orang Anggota yang terbagi dalam 4 (empat) Sub Komisi yang

terdiri dari:

a) Sub Komisi Eksekutif;

b) Sub Komiis Legislatif;

c) Sub Komisi Yudikatif; dan

d) Sub Komisi Badan Usaha Milik Negara / Badan Usaha Milik

Daerah.

Tugas dan wewenang KPKPN diatur dalam Pasal 17 UU No. 28

Tahun 1999, dalam pasal tersebut dinyatakan bahwa KPKPN mempunyai

tugas dan wewenang untuk melakukan pemeriksaan terhadap kekayaan

penyelenggara negara. pemeriksaan tersebut dilakukan sebelum, selama,

dan sesudah penyelenggara negara menjabat. Bentuk tugas dan

wewenang yang dimiliki KPKPN adalah sebagai berikut:

a) Melakukan pemantauan dan klarifikasi atas harta kekayaan

Penyelenggara Negara;

b) Meneliti laporan atau pengaduan masyarakat, lembaga swadaya

masyarakat, atau instansi pemerintah tentang dugaan adanya korupsi,

kolusi, dan nepotisme dari para Penyelenggara Negara;

Page 53: POLITIK KRIMINAL PENANGGULANGAN TINDAK …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/BRIAN SERJANA HUKUM.pdf · Pengertian dan Ruang Lingkup……………………………………………

43

c) Melakukan Penyelidikan atas inisiatif sendiri mengenai harta

kekayaan Penyelenggara Negara berdasarkan petunjuk adanya

korupsi, kolusi, dan nepotisme terhadap Penyelenggara Negara yang

bersangkutan;

d) Mencari dan memperoleh bukti-bukti, menghadirkan saksi-saksi

untuk Penyelidikan Penyelenggara Negara yang diduga melakukan

korupsi, kolusi, dan nepotisme atau meminta dokumen-dokumen dari

pihak-pihak yang terkait dengan penyelidikan harta kekayaan

Penyelenggara Negara yang bersangkutan;

e) Jika dianggap perlu, selain meminta bukti kepemilikan sebagian atau

Seluruh harta kekayaan Penyelenggara Negara yang diduga

diperoleh dari Korupsi, kolusi, atau nepotisme selama menjabat

sebagai Penyelenggara Negara, juga meminta pejabat yang

berwenang membuktikan dugaan tersebut sesuai dengan ketentuan

peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Dari undang-undang ini, kemudian lahirlah empat peraturan

pemerintah yakni: Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 1999 tentang

Tata Cara Pemeriksaan Kekayaan Penyelenggara Negara, Peraturan

Pemerintah Nomor 66 Tahun 1999 tentang Persyaratan Dan Tata Cara

Pengangkatan Serta Pemberhentian Anggota Komisi Pemeriksa,

Peraturan Pemerintah Nomor 67 Tahun 1999 tentang Tata Cara

Pemantauan Dan Evaluasi Pelaksanaan Tugas Dan Wewenang Komisi

Pemeriksa, dan Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 1999 tentang

Page 54: POLITIK KRIMINAL PENANGGULANGAN TINDAK …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/BRIAN SERJANA HUKUM.pdf · Pengertian dan Ruang Lingkup……………………………………………

44

Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat Dalam Penyelenggaraan

Negara.

3. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi merupakan undang-undang yang menggantikan

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi, dalam considerans Undang-Undang Nomor 31 Tahun

1999 dinayatakan bahwa Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 sudah

tidak sesuai lagi dengan perkembangan kebutuhan hukum dalam

masyarakat sehingga perlu diganti dengan Undang-Undang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang baru sehingga diharapkan

lebih efektif dalam mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi.

Sisi penting Undang-Undang ini adalah mengakui bahwa tindak

pidana korupsi sangat merugikan keuangan negara atau perekonomian

negara dan menghambat pembangunan nasional sehingga harus

diberantas dalam rangka mewujudkan masyarakat adil dan makmur

berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Sedangkan

risiko korupsi yang terjadi selama in di Negara RI adalah:

a) merugikan keuangan negara atau perekonomian negara;

b) menghambat pertumbuhan dan kelangsungan negara pembangunan

nasional yang menuntut efisiensi tinggi.88

88 Ibid , hal 366.

Page 55: POLITIK KRIMINAL PENANGGULANGAN TINDAK …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/BRIAN SERJANA HUKUM.pdf · Pengertian dan Ruang Lingkup……………………………………………

45

Dalam undang-undang ini terdapat beberapa perubahan yang

bersifat fundamental, diantaranya adalah sebagai berikut:

a) Perumusan Tindak Pidana Korupsi

Tindak pidana korupsi dalam undang-undang ini dirumuskan

dalam dua kelompok yakni:

1) Kelompok tindak pidana dalam Bab II yang berjudul Tindak

Pidana Korupsi yang dimulai dari Pasal 2 hingga Pasal 20; dan

2) Kelompok tindak pidana dalam Bab II yang berjudul Tindak

Pidana Lain Yang Berkaitan Dengan Tindak Pidana Korupsi yang

dimulai dari Pasal 21 hingga Pasal 24.

Tindak pidana korupsi dirumuskan dalam berbagai macam

bentuk, dalam undang-undang ini hanya dibahas dua bentuk yakni

kerugian keuangan negara dan gratifikasi atau pemberian hadiah

karena bentuk lainnya seperti penyuapan, penggelapan, dan

sebagainya sudah diubah dengan berlakunya Undang-Undang Nomor

20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31

tahyun 1999 tentang Pemberantasn Tindak Pidana Korupsi.

Tindak pidana korupsi dalam bentuk kerugian keuangan

negara dirumuskan dalam Pasal 2 ayat (1) sebagai berikut:

“Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara,…”

Dari pasal tersebut dapat dilihat bahwa terdapat tiga unsur

dalam tindak pidana korupsi yakni:

Page 56: POLITIK KRIMINAL PENANGGULANGAN TINDAK …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/BRIAN SERJANA HUKUM.pdf · Pengertian dan Ruang Lingkup……………………………………………

46

1) Melawan hukum;

2) Memperkaya diri sendiri, orang lain atau suatu korporasi;

3) Dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.

Berkaitan dengan unsur melawan hukum, penjelasan Pasal 2

ayat (1) menyatakan secara tegas bahwa melawan hukum dalam

undang-undang ini adalah melawan hukum secara formil dan materiil.

Adapun bunyi penjelasan Pasal 2 ayat (1) tersebut adalah berikut:

“Yang dimaksud dengan “secara melawan hukum” dalam Pasal ini mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun dalam arti materiil, yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perudang-undangan, namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana.”

Ketentuan perumusan ini merupakan ketentuan yang

menguntungkan bagi Penuntut Umum karena mempermudah dalam

menjerat terdakwa karena tidak perlu membuktian bahwa perbuatan

yang didakwakan telah melanggar ketentuan pasal yang mana. Dalam

perkembangannya, ketentuan sifat melawan hukum materiil berhenti

diterapkan sejak tahun 2006 karena ketentuan ini dinyatakan

bertentangan dengan UUD 1945 oleh Mahkamah Konsitusi karena

digugat oleh Ir. Dawud Djatmiko dalam Putusan Mahkamah

Konstitusi Nomor 003/PUU-IV/2006.

Peristiwa digugatnya perumusan tersebut nampaknya

merupakan suatu kewajaran karena ajaran sifat melawan hukum

materiil yang dianut di Indonesia adalah ajaran sifat melawan hukum

Page 57: POLITIK KRIMINAL PENANGGULANGAN TINDAK …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/BRIAN SERJANA HUKUM.pdf · Pengertian dan Ruang Lingkup……………………………………………

47

secara materiil dalam fungsi negatif.89 Sedangkan perumusan

penjelasan Pasal 2 ayat (1) tersebut menganut ajaran sifat melawan

hukum materil dalam fungsi yang positif.

Berkaitan dengan unsur memperkaya diri sendiri, orang lain

atau suatu korporasi, nampak bahwa unsur ini merupakan tujuan dari

korupsi. Istilah “memperkaya” sebagai suatu unsur (bestanddeel)

merupakan istilah yang baru dalam hukum pidana di Indonesia

mengingat bahwa dalam KUHP tidaklah dikenal istilah demikian.90

Secara harafiah, istilah “memperkaya” mengandung makna

mempunyai banyak harta (uang dan sebagainya), pengertian istilah

“memperkaya” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah

menjadikan orang yang belum kaya menjadi kaya, atau orang yang

sudah kaya menjadi bertambah kaya.91

Berkaitan dengan unsur terakhir yakni dapat merugikan

keuangan negara atau perekonomian negara, undang-undang ini

memberikan makna dalam penjelasan dalam Pasal 2 ayat (1) sebagai

berikut:

Dalam ketentuan ini, kata “dapat” sebelum frasa “merugikan keuangan atau perekonomian negara” menunjukkan bahwa tindak pidana korupsi merupakan delik formil, yaitu adanya tindak pidana korupsi cukup dengan dipenuhinya unsur-unsur perbuatan yang sudah dirumuskan bukan dengan timbulnya akibat.

89 Sudarto, Loc. Cit.90 Andi Hamzah, 2005, Pemberantasan Korupsi melalui Hukum Pidana Nasional dan

Internasional, Rajawali Press, Jakarta, hal 174.91 Ibid, hal 174 – 175..

Page 58: POLITIK KRIMINAL PENANGGULANGAN TINDAK …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/BRIAN SERJANA HUKUM.pdf · Pengertian dan Ruang Lingkup……………………………………………

48

Tindak pidana formil adalah tindak pidana yang perumusannya

dititikberatkan pada perbuatan yang dilarang, dengan kata lain dapat

dikatakan bahwa tindak pidana formil adalah tindak pidana yang telah

dianggap terjadi atau selesai dengan telah dilakukannya perbuatan

yang dilarang dalam undang-undang.92 Konsekuensi logis dari

klasifikasi tindak pidana korupsi menjadi tindak pidana formil dapat

dilihat dalam Pasal 4 yang menyatakan bahwa:

“Pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara tidak menghapuskan dipidananya pelaku tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3.”

Pengertian korupsi dalam bentuk kerugian keuangan negara

juga dirumuskan dalam Pasal 3.

Pasal 3“Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara”

Dari rumusan pasal tersebut, diketahui beberapa unsur dalam

pengertian tindak pidana korupsi sebagaimana dirumuskan dalam

Pasal 3, adapun unsur-unsur dalam Pasal 3 tersebut adalah sebagai

berikut:

1) Menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi,

2) Menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada

padanya karena jabatan atau kedudukan,

92 Tongat, Op. Cit, hal 118 – 119.

Page 59: POLITIK KRIMINAL PENANGGULANGAN TINDAK …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/BRIAN SERJANA HUKUM.pdf · Pengertian dan Ruang Lingkup……………………………………………

49

3) Dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.

Perumusan dalam ketentuan Pasal 3 ini memiliki perbedaan

dengan perumusan dalam ketentuan dalam Pasal 2 ayat (1). Perbedaan

pertama dalam Pasal 3 ini adalah tidak mencantumkan unsur sifat

melawan hukum secara eksplisit, unsur sifat melawan hukum dalam

pasal ini lebih bersifat implisit dimana apabila semua unsur dalam

pasal ini dapat dipenuhi maka hal tersebut secara otomatis telah

membuktikan adanya sifat melawan hukum. Logika yang demikian

pada hakikatnya mudah dipahami oleh karena setiap tindak pidana

pada hakikatnya selalu dianggap bersifat melawan hukum, dimana

justru karena perbuatan itu dianggap bersifat melawan hukum maka

perbuatan itu dirumuskan sebagi perbuatan pidana.93

Perbedaan kedua dalam perumusan Pasal 3 ini adalah

pencantuman unsur “menguntungkan”, berbeda dengan perumusan

dalam Pasal 2 ayat (1) yang mencantumkan unsur “memperkaya”.

Kedua perbedaan ini menunjukan peluang kemudahan bagi Penuntut

Umum karena kedua unsur tersebut relatif lebih mudah dibuktikan,

dimana unsur pertama tidak perlu membuktikan sifat melawan

hukumnya perbuatan dan unsur kedua tidak perlu membuktikan

apakah ada peningkatan harta kekayaan.

Dalam prakteknya, perumusan tindak pidana korupsi dalam

Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999

93 Ibid, hal 214.

Page 60: POLITIK KRIMINAL PENANGGULANGAN TINDAK …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/BRIAN SERJANA HUKUM.pdf · Pengertian dan Ruang Lingkup……………………………………………

50

merupakan perumusan yang paling banyak diterapkan dalam

formulasi surat dakwaan oleh penuntut umum dimana “semestinya”

Pasal 2 ayat (1) dikualifikasikan sebagai dakwaan primair dan pasal 3

dikulifikasikan sebagai dakwaan subsiadair.94

Pengertian korupsi dalam bentuk pemberian hadiah atau

gratifikasi dirumuskan dalam Pasal 13.

Pasal 13Setiap orang yang memberi hadiah atau janji kepada pegawai negeri dengan mengingat kekuasaan atau wewenang yang melekat pada jabatan atau kedudukannya, atau oleh pemberi hadiah atau janji dianggap melekat pada jabatan atau kedudukan tersebut, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan atau denda paling banyak 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah).

Dari rumusan tersebut nampak bahwa unsur-unsur korupsi

dalam bentuk pemberian hadiah atau gratifikasi adalah:

1) Setiap orang;

2) Memberi hadiah atau janji;

3) Kepada pegawai negeri;

4) Dengan mengingan kekuasaan atau wewenang yang melekat pada

jabatan atau kedudukan pegawai negeri yang bersangkutan; atau

oleh pemberi hadiah atau janji melekat pada jabatan atau

kedudukan pegawai negeri tersebut.95

b) Ancaman Pidana

94 Andi Hamzah, Op. Cit, hal 191.95 Surachmin dan Suhandi Cahaya, 2011, Strategi Dan Teknik Korupsi: Mengetahui

Untuk Mencegah, Cetakan Kedua, Sinar Grafika, Jakarta, hal 30.

Page 61: POLITIK KRIMINAL PENANGGULANGAN TINDAK …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/BRIAN SERJANA HUKUM.pdf · Pengertian dan Ruang Lingkup……………………………………………

51

Dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 dirumuskan

beberapa perubahan dalam ancaman pidana bagi pelaku tindak pidana

korupsi. Dalam undang-undang ini dikenal ancaman pidana mati

sebagaimana tercantum dalam Pasal 2 ayat (2) yang bunyinya sebagai

berikut:

Pasal 2(2) Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam

ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.

Istilah “keadaaan tertentu” tersebut diberikan makna dalam

penjelasan Pasal 2 ayat (1) sebagai berikut:

Yang dimaksud dengan “keadaan tertentu” dalam ketentuan ini dimaksudkan sebagai pemberatan bagi pelaku tindak pidana korupsi apabila tindak pidana tersebut dilakukan pada waktu negara dalam keadaan bahaya sesuai dengan undang-undang yang berlaku, pada waktu terjadi bencana alam nasional, sebagai pengulangan tindak pidana korupsi, atau pada waktu negara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter.

Dengan adanya ancaman pidana mati ini, Undang-Undang

Nomor 31 Tahun 1999 merupakan undang-undang yang paling keras

dan berat di ASEAN.96 Dalam perkembangannya, penjelasan ini

dinyatakan tidak berlaku karena Undang-Undang Nomor 20 tahun

2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999

tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi telah merumuskan

baru penjelasan pasal tersebut.

Perubahan ancaman pidana selain ancaman pidana mati adalah

ancaman pidana minimum baik untuk pidana penjada ataupun denda,

96Ibid, hal 73.

Page 62: POLITIK KRIMINAL PENANGGULANGAN TINDAK …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/BRIAN SERJANA HUKUM.pdf · Pengertian dan Ruang Lingkup……………………………………………

52

konsep ancaman pidana minimum ini merupakan konsep baru yang

tidak dikenal dalam KUHP. Menurut Barda Nawawi Arief, rumusan

ancaman pidana minimum ini terdapat kekurangan yakni tidak

merumuskan pedoman pemidanaan untuk menerapkan ancaman

pidana minimum ini. Seharusnya undang-undang khusus di laur

KUHP membuat aturan tersendiri untuk penerapannya, karena ini

merupakan konsekuensi logis dari Pasal 103 KUHP.97

Tanpa adanya pedoman pemidanaan pidana minimal ini maka

tidak dapat ditentukan apakah pidana minimal dapat diperingan atau

dapat diperberat. Kejanggalan lain nampak dalam pola pidana

minimalnya, ada delik yang diancam dengan pidana maksimalnya 20

tahun penjara dan pidana minimalnya pidana 4 tahun penjara seperti

dalam Pasal 2 dan Pasal 12. Sedangkan ada delik yang diancam

dengan pidana maksimalnya 20 tahun penjara namun ancaman pidana

minimalnya 1 tahun penjara seperti dalam Pasal 3. Padahal untuk

delik lainnya, pidana minimal 1 tahun diancam dengan pidana

maksimal 5 tahun penjara seperti dalam Pasal 9 dan Pasal 11.98

Barda Nawawi Arief juga mengkritik konsep sistem

perumusan kumulatif dan sistem perumusan kumulatif alternatif

dalam ancaman pidana undang-undang ini. Menurutnya konsep yang

dipergunakan tidaklah jelas karena konsep tersebut menimbulkan

pertanyaan sederhana yang paling mendasar yakni mengapa delik

97 Barda Nawawi Arief, 2008, Masalah Penegakan Hukum Dan Kebijakan Hukum Pidana Dalam Penanggulangan Kejahatan , Kencana, Jakarta, hal. 149.

98 Ibid, hal 150

Page 63: POLITIK KRIMINAL PENANGGULANGAN TINDAK …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/BRIAN SERJANA HUKUM.pdf · Pengertian dan Ruang Lingkup……………………………………………

53

korupsi berupa memperkaya diri dalam Pasal 2 diancam dengan

pidana secara kumulatif sedangkan menyalahgunakan kewenangan

dalam Pasal 3 diancamn dengan pidana secara kumulatif alternatif.

Padahal kedua delik ini ancaman pidana maksimumnya sama dan

bobot / kualitas deliknya juga sama.99

Menurutnya secara teoritis, delik yang diancam dengan pidana

kumulatif lebih berat daripada yang diancam dengan kumulatif

alternatif. Ini berarti pembentuk undang-undang menganggap delik

memperkaya diri dipandang lebih berat daripada delik

menyalahgunakan kewenangan. Padahal dilihat dari sudut pandang

masyarakat dan sudut pandang hakikat korupsi sebagai delik jabatan,

perbuatan menyalahgunakan kewenangan dirasakan lebih berat atau

lebih jahat daripada memperkaya diri atau setidak-tidaknya kedua

delik tersebut sama berat atau sama jahatnya. Patut perlu dicatat pula

menurutnya, bahwa konsep kumulatif mengandung kelemahan karena

bersifat imperatif dan kaku apabila dilihat dari sudut pandang

kebijakana operasionalisasi pidana.100

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pembentuk

undang-undang masih belum tepat merumuskan sanksi pidana dalam

tindak pidana korupsi sehingga wajar apabila pada era reformasi ini

tindak pidana korupsi masih merajalela. Sebagaimana dikatakan oleh

Muladi dan Barda Nawawi Arief bahwa tidak terkendalinya

99 Ibid.100 Ibid, 150 – 151.

Page 64: POLITIK KRIMINAL PENANGGULANGAN TINDAK …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/BRIAN SERJANA HUKUM.pdf · Pengertian dan Ruang Lingkup……………………………………………

54

perkembangan kriminalitas yang semakin meningkat, justru dapat

disebabkan oleh tidak tepatnya jenis sanksi yang dipilih dan

ditetapkan. Setidak-tidaknya perumusan pidana di dalam undang-

undang yang kurang tepat dapat menjadi faktor timbul dan

berkembangnya kriminalitas.101

c) Korporasi Menjadi Subjek

Undang-undang pemberantasan tindak pidana ini

memungkinkan dilakukannya pemidanaan tidak hanya untuk orang

(naturlijk person) saja, melainkan juga korporasi. Korporasi yang

dirumuskan dalam undang-undang ini pun tidak dibatasi bagi

korporasi yang berbadan hukum (recht person) saja melainkan pula

korporasi yang tidak berbadan hukum sebagaimana undang-undang

ini merumuskan pengertian korporasi dalam Pasa 1 angka 1:

“Korporasi adalah kumpulan orang dan atau kekayaan yang terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum.”

Adapun ketentuan dalam undang-undang ini yang

memungkinkan dilakukannya pemidanaan terhadap suatu korporasi

terdapat dalam Pasal 20 ayat (1):

Pasal 20(1) Dalam hal tindak pidana korupsi dilakukan oleh atau atas nama

suatu korporasi, maka tuntutan dan penjatuhan pidana dapat dilakukan terhadap korporasi dan atau pengurusnya.

101 Muladi dan Barda Nawawi Arief, Loc. Cit..

Page 65: POLITIK KRIMINAL PENANGGULANGAN TINDAK …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/BRIAN SERJANA HUKUM.pdf · Pengertian dan Ruang Lingkup……………………………………………

55

Kemudian apabila korporasi ini dituntut pidana maka yang

menurut Pasal 20 ayat (3), yang mewakili korporasi tersebut adalah

pengurusnya.

Pasal 20(3) Dalam hal tuntutan pidana dilakukan terhadap suatu korporasi,

maka korporasi tersebut diwakili oleh pengurus.

Terkait dengan pidana apa yang dijatuhkan bagi korporasi

yang melakukan tindak pidana, korporasi tersebut dikenai pidana

berupa denda yang besarnya sesuai dengan ketentuan maksimum

pidana ditambah sepertiga sebagaimana hal tersebut diatur dalam

Pasal 20 ayat (7).

Pasal 20(7) Pidana pokok yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi hanya

pidana denda, dengan ketentuan maksimum pidana ditambah 1/3 (satu pertiga).

Mengenai pemidaan terhadap korporasi, Muladi

menyampaikan bahwa pemidanaan terhadap korporasi hendaknya

memperhatikan korporasi untuk mengendalikan perusahaan, melalui

kebijakan pengurus atau para pengurus (corporate executing officers)

yang memiliki kekuasaan untuk memutus (power of decision) dan

keputusan tersebut telah diterima oleh korporasi tersebut. Penerapan

sanksi pidana terhadap korporasi tidak menghapuskan kesalahan

perorangan.102

102 Muladi, Prinsip-Prinsip Dasar Hukum Pidana Lingkungan Dalam Kaitannya Dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997, dalam Jurnal Hukum Pidana dan Kriminolog, Volume 1/No.1/1998, hal 9, dalam Marwan Effendy, 2012, Sistem Peradilan Pidana (Tinjauan Terhadap Beberapa Perkembangan Hukum Pidana) , Referensi, Jakarta, hal. 87.

Page 66: POLITIK KRIMINAL PENANGGULANGAN TINDAK …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/BRIAN SERJANA HUKUM.pdf · Pengertian dan Ruang Lingkup……………………………………………

56

d) Peran Serta Masyarakat

Peran serta masyarakat yang diatur dalam undang-undang ini

diatur secara khusus dalam BAB V yang terdiri dari Pasal 41 dan

Pasal 42. Masyarakat diberikan peluang oleh undang-undang ini untuk

berperan serta, adapun bentuk peran serta tersebut diatur dalam Pasal

41 ayat (2). Urgensi diakomodirnya peran serta masyarakat dalam

penanggulangan tindak pidana korupsi dapat dilihat dalam Deklarasi

Manila yang dihasilkan oleh “The Asian Regional Ministerial Meeting

of Transnational Crime” pada 23 – 25 Maret 1998, urgensi peran serta

masyarakat dalam deklarasi tersebut adalah untuk melibatkan peran

masyarakat secara aktif dalam memberantas korupsi, khususnya dalam

mengembangkan tindakan pencegahan dan pengawasan yang

memajukan “a culture of accountability and transparency” atau

budaya pertanggungjawaban dan keterbukaan.103

Adapun bentuk peran serta masyarakat dalam udang-undang

ini merupakan bentuk peran serta yang mirip diatur dalam Pasal 9

ayat (1) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang

Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN.

Pasal 41 ayat (2)Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diwujudkan dalam bentuk :a. hak mencari, memperoleh, dan memberikan informasi adanya

dugaan telah terjadi tindak pidana korupsi;b. hak untuk memperoleh pelayanan dalam mencari, memperoleh

dan memberikan informasi adanya dugaan telah terjadi tindak

103 Dalam Barda Nawawi Arief, Loc. Cit.

Page 67: POLITIK KRIMINAL PENANGGULANGAN TINDAK …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/BRIAN SERJANA HUKUM.pdf · Pengertian dan Ruang Lingkup……………………………………………

57

pidana korupsi kepada penegak hukum yang menangani perkara tindak pidana korupsi;

c. hak menyampaikan saran dan pendapat secara bertanggung jawab kepada penegak hukum yang menangani perkara tindak pidana korupsi;

d. hak untuk memperoleh jawaban atas pertanyaan tentang laporannya yang diberikan kepada penegak hukum dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari;

e. hak untuk memperoleh perlindungan hukum dalam hal :1) melaksanakan haknya sebagaimana dimaksud dalam huruf a,

b, dan c;2) diminta hadir dalam proses penyelidikan, penyidikan, dan di

sidang pengadilan sebagai saksi pelapor, saksi, atau saksi ahli, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Berbeda dengan ketentuan peran serta masyarakat dalam

Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999, peran serta masyarakat

dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 memberikan amanat

bagi pemerintah untuk memberikan penghargaan kepada masyarakat

yang berjasa membantu upaya menanggulangi tindak pidana korupsi

dimana ketentuan tersebut dapat dilihat dalam pasal 42 ayat (1):

Pemerintah memberikan penghargaan kepada anggota masyarakat yang telah berjasa membantu upaya pencegahan, pemberantasan, atau pengungkapan tindak pidana korupsi.

Peran serta serta pemberian penghargaan tersebut selanjutnya

diatur kemudian melalui Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2010

tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat Dan

Pemberian Penghargaan Dalam Pencegahan dan Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi.

Page 68: POLITIK KRIMINAL PENANGGULANGAN TINDAK …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/BRIAN SERJANA HUKUM.pdf · Pengertian dan Ruang Lingkup……………………………………………

58

e) Pembentukan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Agar undang-undang ini dapat dilaksankan sebagaimana

mestinya, pembentuk Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999

mengamanatkan agar dibentuk lembaga baru yang dinamakan dengan

Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. amanat ini termaktub

dalam Pasal 43, dimana dalam Pasal 43 ayat (2) dinyatakan bahwa

Komisi tersebut mempunyai tugas dan wewenang melakukan

koordinasi dan supervisi, termasuk melakukan penyelidikan,

penyidikan, dan penuntutan.

Pasal 43(1) Dalam waktu paling lambat 2 (dua) tahun sejak Undang-undang

ini mulai berlaku, dibentuk Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

(2) Komisi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mempunyai tugas dan wewenang melakukan koordinasi dan supervisi, termasuk melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 disahkan pada tanggal

16 Agustus 1999. Melihat ketentuan dalam Pasal 43 ayat (2) tersebut

nampak bahwa dengan hadirnya Komisi yang dimaksud akan merubah

sistem peradilan pidana, karena selama ini penyidikan dan penuntutan

dilakukan oleh polisi sedangkan penuntutan dilakukan oleh jaksa.

Dengan kata lain, hadirnya Komisi tersebut akan menghadirkan pula

sistem peradilan pidana khusus tindak pidana korupsi.

Page 69: POLITIK KRIMINAL PENANGGULANGAN TINDAK …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/BRIAN SERJANA HUKUM.pdf · Pengertian dan Ruang Lingkup……………………………………………

59

4. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 disahkan pada tanggal 21

Nopember 2001, undang-undang ini merubah beberapa ketentuan dalam

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, dalam considerans menimbang

huruf b dinayatkan bahwa perubahan undang-undang dilakukan untuk

lebih menjamin kepastian hukum, menghindari keragaman penafsiran

hukum dan memberikan perlindungan terhadap hak-hak sosial dan

ekonomi masyarakat, serta perlakuan secara adil dalam memberantas

tindak pidana korupsi.

Beberapa perubahan secara mendasar dalam memberantas tindak

pidana korupsi dilakukan dalam undang-undang ini. Perubahan pertama

adalah pengkualifikasian tindak pidana korupsi sebagai tindak pidana

luar biasa (extra ordinary crime) karena tindak pidana korupsi dipandang

tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga telah merupakan

pelanggaran hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas yang

dilakukan secara sistematis.104 Kualifikasi korupsi sebagai tindak pidana

luar biasa berimplikasi bahwa penanggulangan tindak pidana korupsi

harus dilakukan dengan cara luar biasa pula, sebagaimana dinyatakan

dalam considerans menimbang huruf a yang menyatakan:

“bahwa tindak pidana korupsi yang selama ini terjadi secara meluas, tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga telah

104 Marwan Effendy, Op.Cit, hal 89.

Page 70: POLITIK KRIMINAL PENANGGULANGAN TINDAK …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/BRIAN SERJANA HUKUM.pdf · Pengertian dan Ruang Lingkup……………………………………………

60

merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas, sehingga tindak pidana korupsi perlu digolongkan sebagai kejahatan yang pemberantasannya harus dilakukan secara luar biasa.”

Perubahan kedua dalam undang-undang ini adalah perumusan

bentuk-bentuk tindak pidana korupsi. Dalam Undang-Undang Nomor 31

Tahun 1999, bentuk korupsi hanya disebutkan kerugian keuangan negara,

sedangkan dalam undang-undang ini bentuk-bentuk korupsi selain

kerugian keuangan negara adalah sebagai berikut105:

a) Tindak pidana korupsi penyuapan, diatur dalam Pasal 5 ayat (1) dan

ayat (2) dan Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2);

b) Tindak pidana korupsi yang berkaitan dengan pembangunan,

leveransir, dan rekanan. Diatur dalam Pasal 7 ayat (1) dan ayat (2);

c) Tindak pdiana korupsi penggelapan, diatur dalam Pasal 8, Pasal 9,

Pasal 10, Pasal 11, Pasal 12 huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d;

d) Tindak pidana korupsi kerakusan (knevelarij), daitur dalam Pasal 12

huruf e, huruf f, huruf g, dan huruf I;

e) Tindak pidana korupsi tentang Gratifikasi, diatur dalam Pasal 12 B.

Perubahan ketiga adalah dimungkinkannya penerapan pembuktian

terbalik, dalam Penjelasan Umum Paragraf kedua Undang-Undang

Nomor 20 Tahun 2001 dinyatakan bahwa permbuktian terbalik adalah

pembuktian yang dibebankan kepada terdakwa. Andi Hamzah

berpandangan bahwa undang-undang ini merumuskan dua jenis

ketentuan pembuktian terbalik. Pembuktian terbalik jenis pertama

105 Dalam Surach min dan Suhandi Cahaya, Op. Cit, hal 18 – 30.

Page 71: POLITIK KRIMINAL PENANGGULANGAN TINDAK …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/BRIAN SERJANA HUKUM.pdf · Pengertian dan Ruang Lingkup……………………………………………

61

menyangkut pemberian gratifikasi yang nilainya diatas Rp. 10.000.000,-

(sepuluh juta rupiah).106 Jenis pembutkian terbalik ini dapat dilihat Pasal

12 B ayat (1).

Pasal 12 B(1) Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara

dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, dengan ketentuan sebagai berikut:a. yang nilainya Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) atau

lebih, pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi;

b. yang nilainya kurang dari Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah), pembuktian bahwa gratifikasi tersebut suap dilakukan oleh penuntut umum.

Pembuktian terbalik jenis kedua menyangkut perampasan harta

benda terdakwa yang diperoleh setelah melakukan perbuatan korupsi

yang didakwakan, sehingga harta yang diperoleh sesudah melakukan

perbuatan korupsi yang dibuktikan dengan pembuktian biasa, dianggap

diperoleh juga dari perbuatan korupsi sampai dibuktikan sebaliknya.107

Jenis kedua pembutkian terbalik ini dapat dilihat Pasal 37 A.

Pasal 37 A(1) Terdakwa wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta

bendanya dan harta benda istri atau suami, anak, dan harta benda setiap orang atau korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang didakwakan.

(2) Dalam hal terdakwa tidak dapat membuktikan tentang kekayaan yang tidak seimbang dengan penghasilannya atau sumber penambahan kekayaannya, maka keterangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) digunakan untuk memperkuat alat bukti yang sudah ada bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana korupsi.

106 Andi Hamzah, Loc. Cit.107 Ibid, hal 74 -75.

Page 72: POLITIK KRIMINAL PENANGGULANGAN TINDAK …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/BRIAN SERJANA HUKUM.pdf · Pengertian dan Ruang Lingkup……………………………………………

62

Dalam Penjelasan Umum Paragraf Ketujuh Undang-Undang

Nomor 20 Tahun 2001 dijelaskan bahwa pembuktian terbalik ini perlu

dirumuskan sebagai ketentuan yang bersifat premium remedium dan

prevensi khasus. Premium remidium merupakan kebalikan dari ultimum

remidium, dimana apabila ultimum remedium memandang pidana

sebagai obat yang baru akan digunakan manakala obat diluar hukum

pidana sudah tidak efektif lagi digunakan108, sehingga dengan kata lain

dapat disimpulkan bahwa premium remidium memandang pidana sebagai

obat pertama dalam menghadapi tindak pidana. Sedangkan prevensi

khusus mengandung makan bahwa pidana bertujuan agar si terpidana

berubah menjadi orang yang lebih baik dan berguna bagi masyarakat.109

Perubahan keempat dalam undang-undang ini adalah perubahan

penjelasan keadaan tertentu yang mengakibatkan terdakwa dapat dijatuhi

pidana mati. Perubahan tersebut tercantum dalam Penjelasan Pasal 2 ayat

(2).

Yang dimaksud dengan "keadaan tertentu" dalam ketentuan ini adalah keadaan yang dapat dijadikan alasan pemberatan pidana bagi pelaku tindak pidana korupsi yaitu apabila tindak pidana tersebut dilakukan terhadap dana-dana yang diperuntukkan bagi penanggulangan keadaan bahaya, bencana alam nasional, penanggulangan akibat kerusuhan sosial yang meluas, penanggulangan krisis ekonomi dan moneter, dan pengulangan tindak pidana korupsi.

Perubahan kelima dalam undang-undang ini berkaitan dengan alat

bukti yang terkait dengan petunjuk, petunjuk merupakan salah satu jenis

alat bukti yang sah yang dianut dalam Pasal 184 (1) KUHAP. Pengertian

108 Tongat, Op. Cit, hal 26.109 Muladi dan Barda Nawawi Arief, Op. Cit, hal 18.

Page 73: POLITIK KRIMINAL PENANGGULANGAN TINDAK …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/BRIAN SERJANA HUKUM.pdf · Pengertian dan Ruang Lingkup……………………………………………

63

petunuuk sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 188 ayat (1) adalah

perbuatan, kejadian atau keadaan, yang karena persesuaiannya, baik

antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu

sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa

pelakunya. Dalam Pasal 188 (2) KUHAP pun diatur bahwa alat bukti

petunjuk dapat diperoleh dari keterangan ahli, surat, dan keterangan

terdakwa.

Pasal 26 A Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 merubah

ketentuan ini, dengan adanya ketentuan ini mengakibatkan perubahan

ketentuan darimana saja alat bukti petunjuk diperoleh khusus untuk

perkara tindak pidana korupsi.

Pasal 26 AAlat bukti yang sah dalam bentuk petunjuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 188 ayat (2) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, khusus untuk tindak pidana korupsi juga dapat diperoleh dari :a. alat bukti lain yang berupa informasi yang diucapkan, dikirim,

diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu; dan

b. dokumen, yakni setiap rekaman data atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain kertas, maupun yang terekam secara elektronik, yang berupa tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka, atau perforasi yang memiliki makna.

Perubahan keenam dalam undang-undang ini adalah

dimungkinkannya bagi negara untuk mengajukan gugatan perdata,

gugatan perdata ini dilakukan ketika masih ada harta benda milik

terpidana yang berasal dari tindak pidana korupsi yang belum dikenai

Page 74: POLITIK KRIMINAL PENANGGULANGAN TINDAK …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/BRIAN SERJANA HUKUM.pdf · Pengertian dan Ruang Lingkup……………………………………………

64

perampasan. Perampasan merupakan salah satu jenis pidana tambahan

dalam perkara tindak pidana korupsi. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 38

C.

Pasal 38 CApabila setelah putusan pengadilan telah memperoleh kekuatan hukum tetap, diketahui masih terdapat harta benda milik terpidana yang diduga atau patut diduga juga berasal dari tindak pidana korupsi yang belum dikenakan perampasan untuk negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 B ayat (2), maka negara dapat melakukan gugatan perdata terhadap terpidana dan atau ahli warisnya.

Perubahan ketujuh dalam undang-undang ini adalah

dihapuskannya ketentuan ancaman minimum pidana baik pidana penjara

ataupun pidana denda, penghapusan ketentuan ini hanya dibatasai pada

tindak pidana korupsi yang nilainya kurang dari Rp. 5.000.000,- (lima

juta rupiah). Dalam Penjelasan Umjum Paragraf Kedelapan dijelaskan

bahwa tujuan dari dirumuskannya ketentuan ini adalah untuk

menghilangkan rasa kekurangadilan bagi pelaku tindak pidana korupsi,

dalam hal nilai yang dikorup relatif kecil.

5. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan United

Nation Convention Against Corruption, 2003 (Konvensi

Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi, 2003)

Pada tanggal 18 Desember 2003 di Markas Besar Perserikatan

Bangsa-Bangsa, Pemerintah Republik Indonesia telah ikut

menandatangani Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Anti

Korupsi yang diadopsi oleh Sidang ke-58 Majelis Umum melalui

Resolusi Nomor 58/4 pada tanggal 31 Oktober 2003. Tiga tahun

Page 75: POLITIK KRIMINAL PENANGGULANGAN TINDAK …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/BRIAN SERJANA HUKUM.pdf · Pengertian dan Ruang Lingkup……………………………………………

65

setelahnya, pada tanggal 18 April 2006 konvensi ini diratifikasi melalui

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006.

Ratifikasi konvensi ini dipandang perlu karena selama ini

pelaksanaan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi di

Indonesia melalui peraturan perundangundangan sejak tahun 1957 tetap

saja belum efektif dan dipandang belum memadai karena belum adanya

kerja sama internasional dalam masalah pengembalian hasil tindak

pidana korupsi. Sebagaimana diungkapkan oleh Andi Hamzah bahwa

kekurangan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto Undang-

Undang Nomor 20 Tahun 2001 adalah belum diaturnya ketentuan

masalah kerjasama internasional dalam penanggulangan tindak pidana

korupsi, kerja sama tersebut termasuk pula pendidikan dan pelatihan para

penegak hukum yang disponsori oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa

(PBB).110

Dengan diratifikasinya konvensi ini, maka terbukalah jembatan

antara sistem hukum yang berbeda-beda dari masing-masing negara

terkait dengan tindak pidana korupsi yang pelakunya melarikan diri ke

luar negeri dan hasil korupsinya diinvestasikan ke luar negeri pula.

Draft Konvensi ini dirancang oleh Ad Hoc Committee (Komite

Ad Hoc) yang dibentuk oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa

dalam jangka waktu dua tahun. Konvensi tersebut miliki beberapa tujuan,

antara lain:

110 Andi Hamzah, Op. Cit, hal 219.

Page 76: POLITIK KRIMINAL PENANGGULANGAN TINDAK …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/BRIAN SERJANA HUKUM.pdf · Pengertian dan Ruang Lingkup……………………………………………

66

a) Meningkatkan dan memperkuat upaya-upaya untuk mencegah dan

memberantas korupsi secara lebih efisien dan efektif;

b) Meningkatkan, memfasilitasi, dan mendukung kerja sama

internasional dan bantuan teknis dalam pencegahan dan

pemberantasan korupsi, termasuk dalam pengembalian aset;

c) Meningkatkan integritas, akuntabilitas, dan pengelolaan yang baik

urusan-urusan publik dan kekayaan publik.

Arti penting ratifikasi konvensi ini dijelaskan dalam penjelasan

umum Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006, arti penting tersebut

adalah bukti dari komitmen nasional untuk meningkatkan citra bangsa

Indonesia dalam percaturan politik internasional. Arti penting lainnya

dari ratifikasi Konvensi tersebut adalah:

a) Untuk meningkatkan kerja sama internasional khususnya dalam

melacak, membekukan, menyita, dan mengembalikan aset-aset basil

tindak pidana korupsi yang ditempatkan di luar negeri;

b) Meningkatkan kerja sama internasional dalam mewujudkan tata

pemerintahan yang baik;

c) Meningkatkan kerja sama internasional dalam pelaksanaan

perjanjian ekstradisi, bantuan hukum timbal balik, penyerahan

narapidana, pengalihan proses pidana, dan kerja sama penegakan

hukum;

d) Mendorong terjalinnya kerja sama teknik dan pertukaran informasi

dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi di

Page 77: POLITIK KRIMINAL PENANGGULANGAN TINDAK …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/BRIAN SERJANA HUKUM.pdf · Pengertian dan Ruang Lingkup……………………………………………

67

bawah payung kerja sama pembangunan ekonomi dan bantuan teknis

pada lingkup bilateral, regional, dan multilateral; dan

e) Harmonisasi peraturan perundang-undangan nasional dalam

pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi sesuai dengan

konvensi ini.

Konvensi ini diratifikasi oleh Pemerintah Republik Indonesia

melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 dengan syarat

(reservation) terhadap Pasal 66 ayat (2) yang berkaitan dengan

penyelesaian sengketa. Dalam persyaratan tersebut dinyatakan bahwa

Pemerintah Republik Indonesia menyatakan tidak terikat ketentuan Pasal

66 ayat (2) Konvensi dan berpendirian bahwa apabila terjadi perselisihan

akibat perbedaan penafsiran atau penerapan isi Konvensi, yang tidak

terselesaikan melalui jalur sebagaimana diatur dalam ayat (2) pasal

tersebut, dapat menunjuk Mahkamah Internasional hanya berdasarkan

kesepakatan para Pihak yang berselisih.

Adapun isi dari Pasal 66 ayat (2) konvensi tersebut adalah

sebagai berikut:

Article 66Settlement of disputes

2. Any dispute between two or more States Parties concerning the interpretation or application of this Convention that cannot be settled through negotiation within a reasonable time shall, at the request of one of those States Parties, be submitted to arbitration. If, six months after the date of the request for arbitration, those States Parties are unable to agree on the organization of the arbitration, any one of those States Parties may refer the dispute to the International Court of Justice by request in accordance with the Statute of the Court.

Page 78: POLITIK KRIMINAL PENANGGULANGAN TINDAK …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/BRIAN SERJANA HUKUM.pdf · Pengertian dan Ruang Lingkup……………………………………………

68

Pasal 66111

Penyelesaian sengketa2. Sengketa antara dua atau lebih Negara Pihak mengenai penafsiran

atau penerapan Konvensi ini yang tidak dapat diselesaikan melaluiperundingan dalam waktu yang wajar wajib, atas permintaan salah satu Negara Pihak, diajukan ke arbitrase. Jika dalam waktu enam bulan setelah permintaan pengajuan ke arbitrase, Negara-Negara Pihak itu tidak dapat bersepakat mengenai struktur arbitrase, salah satu Negara Pihak dapat mengajukan sengketa itu kepada Mahkamah Internasional dengan permintaan sesuai dengan Statuta Mahkamah Internasional.

6. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Korupsi

Undang-undang ini merupakan undang-undang yang dimanatkan

langsung oleh Pasal 43 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Komisi Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi (KPK) diamanatkan oleh Pasal 43 ayat (1) untuk

didirikan dalam waktu paling lambat dua tahun setelah Undang-Undang

Nomor 31 Tahun 1999 resmi disahkan. Pada prakteknya, komisi ini baru

bisa berdiri tiga tahun kemudian dengan disahkannya Undang-Undang

Nomor 32 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi pada tanggal 27 Desember 2002.

Penting untuk dipahami bahwa alasan terpenting mengapa KPK

berdiri sebagaimana dalam considerans menimbang huruf b, bahwa

dalam considerans menimbang huruf b tersebut dinyatakan bahwa

lembaga pemerintah yang menangani perkara tindak pidana korupsi

belum berfungsi secara efektif dan efisien dalam memberantas tindak

111 Terjemahan diambil dari Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, 2006, Kumpulan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Edisi Pertama, hal 83. Diunduh dari kpk.go.id

Page 79: POLITIK KRIMINAL PENANGGULANGAN TINDAK …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/BRIAN SERJANA HUKUM.pdf · Pengertian dan Ruang Lingkup……………………………………………

69

pidana korupsi. Adapun lembaga pemerintah yang dimaksud adalah

POLRI dan Kejaksaan.

Tugas KPK dirumuskan dalam Pasal 6 UU No. 30 Tahun 2002,

adapun bunyi pasal tersebut adalah sebagai berikut:

Pasal 6Komisi Pemberantasan Korupsi mempunyai tugas:a. koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan

pemberantasan tindak pidana korupsi;b. supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan

pemberantasan tindak pidana korupsi;c. melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap

tindak pidana korupsi;d. melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi;

dane. melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan

negara.

Agar dapat melaksanakan kelima tugas tersebut, KPK diberikan

beberapa wewenang, untuk dapat melaksanakan tugas pertama yakni

koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan

tindak pidana korupsi, KPK diberikan wewenang yang diatur dalam

Pasal 7 UU No. 32 Tahun 2002.

Pasal 7Dalam melaksanakan tugas koordinasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf a, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang a. Mengkoordinasikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak

pidana korupsi;b. Menetapkan sistem pelaporan dalam kegiatan pemberantasan tindak

pidana korupsi;c. Meminta informasi tentang kegiatan pemberantasan tindak pidana

korupsi kepada instansi yang terkait;d. Melaksanakan dengar pendapat atau pertemuan dengan instansi yang

berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi; dane. Meminta laporan instansi terkait mengenai pencegahan tindak pidana

korupsi.

Page 80: POLITIK KRIMINAL PENANGGULANGAN TINDAK …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/BRIAN SERJANA HUKUM.pdf · Pengertian dan Ruang Lingkup……………………………………………

70

Untuk dapat melaksanakan tugas kedua yakni supervisi terhadap

instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana

korupsi, KPK diberikan dua wewenang:

a) Melakukan pengawasan, penelitian, atau penelaahan terhadap

instansi yang menjalankan tugas dan wewenangnya yang berkaitan

dengan pemberantasan tindak pidana korupsi, dan instansi yang

dalam melaksanakan pelayanan publik. Wewenang ini diatur dalam

Pasal 8 ayat (1) UU No. 30 Tahun 2002;

b) Mengambil alih penyidikan atau penuntutan terhadap pelaku tindak

pidana korupsi yang sedang dilakukan oleh kepolisian atau

kejaksaan. Wewenang ini diatur dalam Pasal 8 ayat (2) UU No. 30

Tahun 2002.

Terkait dengan wewenang kedua, KPK dapat menjalankannya

dengan beberapa alasan yang diatur dalam Pasal 9 UU No. 30 Tahun

2002.

Pasal 9Pengambilalihan penyidikan dan penuntutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi dengan alasan:a. Laporan masyarakat mengenai tindak pidana korupsi tidak

ditindaklanjuti;b. Proses penanganan tindak pidana korupsi secara berlarut-larut atau

tertunda-tunda tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan;c. Penanganan tindak pidana korupsi ditujukan untuk melindungi pelaku

tindak pidana korupsi yang sesungguhnya;d. Penanganan tindak pidana korupsi mengandung unsur korupsi;e. Hambatan penanganan tindak pidana korupsi karena campur tangan

dari eksekutif, yudikatif, atau legislatif; atauf. Keadaan lain yang menurut pertimbangan kepolisian atau kejaksaan,

penanganan tindak pidana korupsi sulit dilaksanakan secara baik dan dapat dipertanggungjawabkan.

Page 81: POLITIK KRIMINAL PENANGGULANGAN TINDAK …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/BRIAN SERJANA HUKUM.pdf · Pengertian dan Ruang Lingkup……………………………………………

71

Untuk dapat melaksanakan tugas ketiga yakni melakukan

penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana

korupsi, KPK diberikan wewenang untuk melakukan penyelidikan,

penuntutan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang:

a) Melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan orang

lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang

dilakukan oleh aparat penegak hukum atau penyelenggara negara;

b) Mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat; dan/atau

c) Menyangkut kerugian negara paling sedikit rp. 1.000.000.000,00

(satu milyar rupiah).

Tiga wewenang tersebut diatur dalam Pasal 11 UU No. 30 Tahun

2002, dengan demikian penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan yang

tidak memenuhi keadaan yang dimaksud Pasal 11 tersebut dilakukan oleh

Kepolisian dan Kejaksaan. Kemudian, pembentuk undang-undang juga

memberikan 10 (sepuluh) wewenang tambahan agar KPK dapat

melaksanakan tugas ketiganya. Wewenang tambahan tersebut diatur

dalam Pasal 12 UU No. 30 Tahun 2002.

Pasal 12Dalam melaksanakan tugas penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf c, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang :a. melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan;b. memerintahkan kepada instansi yang terkait untuk melarang

seseorang bepergian ke luar negeri;c. meminta keterangan kepada bank atau lembaga keuangan lainnya

tentang keadaan keuangan tersangka atau terdakwa yang sedang diperiksa;

Page 82: POLITIK KRIMINAL PENANGGULANGAN TINDAK …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/BRIAN SERJANA HUKUM.pdf · Pengertian dan Ruang Lingkup……………………………………………

72

d. memerintahkan kepada bank atau lembaga keuangan lainnya untuk memblokir rekening yang diduga hasil dari korupsi milik tersangka, terdakwa, atau pihak lain yang terkait;

e. memerintahkan kepada pimpinan atau atasan tersangka untuk memberhentikan sementara tersangka dari jabatannya;

f. meminta data kekayaan dan data perpajakan tersangka atau terdakwa kepada instansi yang terkait;

g. menghentikan sementara suatu transaksi keuangan, transaksi perdagangan, dan perjanjian lainnya atau pencabutan sementara perizinan, lisensi serta konsesi yang

h. dilakukan atau dimiliki oleh tersangka atau terdakwa yang diduga berdasarkan bukti awal yang cukup ada hubungannya dengan tindak pidana korupsi yang sedang diperiksa;

i. meminta bantuan Interpol Indonesia atau instansi penegak hukum negara lain untuk melakukan pencarian, penangkapan, dan penyitaan barang bukti di luar negeri;

j. meminta bantuan kepolisian atau instansi lain yang terkait untuk melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan dalam perkara tindak pidana korupsi yang sedang ditangani.

Untuk dapat melaksanakan tugas keempat yakni melakukan

tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi, KPK diberikan

wewenang sebagaimana diatur dalam Pasal 13 UU No. 30 Tahun 2002.

Wewenang tersebut adalah sebagai berikut:

a) melakukan pendaftaran dan pemeriksaan terhadap laporan harta

kekayaan penyelenggara negara;

b) menerima laporan dan menetapkan status gratifikasi;

c) menyelenggarakan program pendidikan antikorupsi pada setiap

jenjang pendidikan;

d) merancang dan mendorong terlaksananya program sosialisasi

pemberantasan tindak pidana korupsi;

e) melakukan kampanye antikorupsi kepada masyarakat umum;

Page 83: POLITIK KRIMINAL PENANGGULANGAN TINDAK …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/BRIAN SERJANA HUKUM.pdf · Pengertian dan Ruang Lingkup……………………………………………

73

f) melakukan kerja sama bilateral atau multilateral dalam

pemberantasan tindak pidana korupsi.

Dan untuk dapat melaksanakan tugas kelima, yakni melakukan

monitoring terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara, KPK

diberikan beberapa wewenang sebagimana diatur dalam Pasal 14 UU No.

30 Tahun 2002. Adapun beberapa wewenang tersebut adalah:

a) Melakukan pengkajian terhadap sistem pengelolaan administrasi di

semua lembaga negara dan pemerintah;

b) Memberi saran kepada pimpinan lembaga negara dan pemerintah

untuk melakukan perubahan jika berdasarkan hasil pengkajian,

sistem pengelolaan administrasi tersebut berpotensi korupsi;

c) Melaporkan kepada presiden republik indonesia, dewan perwakilan

rakyat republik indonesia, dan badan pemeriksa keuangan, jika saran

komisi pemberantasan korupsi mengenai usulan perubahan tersebut

tidak diindahkan.

Masih berbicara kewenangan, pembentuk undang-undang

ternyata tidak hanya memberikan wewenang, melainkan juga tidak

memberikan wewenang kepada KPK. Wewenang yang tidak diberikan

KPK adalah wewenang mengelurkan surat perintah penghentian

penyidikan dan penuntutan atau yang lebih akrab dikenal dengan istilah

SP3. Ketentuan ini nampak dalam pasal 40 UU No. 30 Tahun 2002.

Dilihat dalam sudut pandang hukum acara pidana, ketidakwenangan ini

merupakan suatu penyimpangan dari Pasal 109 ayat (2) KUHAP yang

Page 84: POLITIK KRIMINAL PENANGGULANGAN TINDAK …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/BRIAN SERJANA HUKUM.pdf · Pengertian dan Ruang Lingkup……………………………………………

74

mengatur penghentian penyidikan dan Pasal 140 ayat (2) KUHAP yang

mengatur penghentian penuntutan.

7. Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak

Pidana Korupsi

Pengadilan tindak pidana korupsi (tipikor) merupakan pengadilan

baru dalam kekuasaan kehakiman atau yudikatif. Pada mulanya,

pengadilan ini muncul berdasarkan Pasal 53 Undang-Undang Nomor 30

Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

sebelum Pasal 53 tersebut dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi

berdasarkan Putusan Nomor 012-016-019/PUU-IV/2006 tanggal 19

Desember 2006 dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar

1945 khususnya Bab Kekuasaan Kehakiman karena pengadilan khusus

pada hakikatnya hanya dapat dibentuk dalam salah satu lingkungan

peradilan umum yang dibentuk dengan undang-undang tersendiri.

Karena landasan hukum yang tidak kuat tersebut, pembentuk

undang-undang akhirnya merumuskan dan mengesahkan landasan

hukum pengadilan tipikor, landasan hukum tersebut adalah Undang-

Undang Nomor 46 tahun 20009 tentang Pengadilan Tindak Pidana

Korupsi. Dengan lahirnya undang-undang ini, semakin melengkapi

jajaran penegak hukum dalam sistem peradilan pidana dalam perkara

tindak pidana korupsi.

Pengadilan tipikor merupakan satu-satunya pengadilan yang

berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tindak pidana

Page 85: POLITIK KRIMINAL PENANGGULANGAN TINDAK …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/BRIAN SERJANA HUKUM.pdf · Pengertian dan Ruang Lingkup……………………………………………

75

korupsi termasuk yang dilakukan oleh Warga Negara Indonesia di luar

wilayah negara Republik Indonesia. Kewenangan terhadap tindak pidan

korupsi yang dilakukan oleh WNI di luar wilayah negara RI merupakan

penerapan dari asas nsaional aktif dalam hukum pidana Indonesia, asas

nasional aktif mengandung prinsip bahwa peraturan pidana Indonesia

berlaku bagi setiap WNI yang melakukan tindak pidana di luar (wilayah)

Indonesia.112

Selain tindak pidana korupsi, ada dua perkara lain yang termasuk

dalam wewenag pengadilan tipikor yakni tindak pidana pencucian uang

yang tindak pidana asalnya adalah tindak pidana korupsi dan tindak

pidana yang secara tegas dalam undang-undang lain ditentukan sebagai

tindak pidana korupsi. Berkaitan dengan kedudukannya, pengadilan

tipikor berkedudukan di setiap ibukota kabupaten/kota namun dengan

pembentukan pertama kalinya di setiap ibukota provinsi.

Terkait dengan hukum acaranya, pengadilan tipikor pada

prinsipnya menggunakan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang

Hukum Acara Pidana kecuali ditentukan lain dalam undang-undang

pengadilan tipikor. Beberapa pengecualian tersebut akan diuraikan

sebagai berikut. Pertama, komposisi majelis hakim dalam pengadilan

tipikor terdiri dari hakim karier dan hakim ad hoc. Adapaun kedua hakim

tersebut diberikan definisi secara tegas dalam Pasal 1 undnag-undang

tipikor.

112 Tongat, Op. Cit, hal 81.

Page 86: POLITIK KRIMINAL PENANGGULANGAN TINDAK …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/BRIAN SERJANA HUKUM.pdf · Pengertian dan Ruang Lingkup……………………………………………

76

Pasal 1Hakim Karier adalah hakim pada pengadilan negeri, pengadilan tinggi, dan Mahkamah Agung yang ditetapkan sebagai hakim tindak pidana korupsi.Hakim ad hoc adalah seseorang yang diangkat berdasarkan persyaratan yang ditentukan dalam undang-undang ini sebagai hakim tindak pidana korupsi.

Urgensi dari hakim ad hoc termuat dalam Penjelasan Umum

Undang-Undang Pengadilan Tipikor, dinyatakan bahwa hakim ad hoc

diperlukan karena keahliannya sejalan dengan kompleksitas perkara

tindak pidana korupsi, baik yang menyangkut modus operandi,

pembuktian, maupun luasnya cakupan tindak pidana korupsi antara lain

di bidang keuangan dan perbankan, perpajakan, pasar modal, pengadaan

barang dan jasa pemerintah.

Kedua, terdapat jangka waktu penyelesaian pemeriksaan perkara

tindak pidana korupsi pada setiap pemeriksaan. Di dalam KUHAP,

jangka waktu suatu perkara tindak pidana pada masing-masing tingkat

pengadilan untuk diperiksa, diadili, dan diputus tidak ditentukan. Jangka

waktu penyelesaian pemeriksaan untuk masing-masing tingkat

pemeriksaan diatur dalam Pasal 29 hingga Pasal 32 Undang-Undang

Pengadilan Tipikor.

Jangka waktu untuk tingkat pertama adalah paling lama 120

(seratus dua puluh) hari terhitung sejak perkara dilimpahkan ke

pengadilan tipikor sebagaimana diatur dalam Pasal 29. Jangka waktu

untuk tingkat banding adalah paling lama 60 (enam puluh) hari terhitung

sejak tanggal perkara diterima ke pengadilan tinggi sebagaimana diatur

Page 87: POLITIK KRIMINAL PENANGGULANGAN TINDAK …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/BRIAN SERJANA HUKUM.pdf · Pengertian dan Ruang Lingkup……………………………………………

77

dalam Pasal 30. Jangka waktu untuk tingkat kasasi adalah paling lama

120 (seratus dua puluh) hari terhitung sejak tanggal perkara diterima ke

Mahkamah Agung sebagaimana diatur dalam Pasal 31. Sedangkan

jangka waktu untuk permintaan oeninjauan kembali adalah paling lama

60 (enam puluh) hari terhitung sejak tanggal perkara diterima ke

pengadilan tinggi sebagaimana diatur dalam Pasal 32.

Seperti diuraikan sebelumnya bahwa adanya pengadilan tipikor

membuat semakin melengkapi jajaran penegak hukum dalam sistem

peradilan pidana dalam perkara tindak pidana korupsi. Dengan kata lain,

hadirnya pengadilan tipikor membuat hanya tinggal satu sub kekuasaan

lagi sehingga terciptalah sistem peradilan pidana tindak pidana korupsi

yang utuh, sub sistem tersebut adalah sub sistem pemasyarakatan. Hingga

saat ini, lembaga pemasyarakatan khusus bagi narapidana tindak pidana

korupsi yang dasarnya adalah undang-undang belum didirikan.

Sekalipun demikian, hal ini tidak perlu dikhawatirkan karena

berdasarkan Pasal 12 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahuyn 1985

tentang Pemasyarakatan dinyatakan bahwa pembinaan terhadap

narapidana di Lembaga Pemasyarakatan dilakukan penggolongan atas

dasar umur, jenis kelamin, lama pidana yang dijatuhkan, jenis kejahatan,

dan kriteria lain sesuai dengan kebutuhan atau perkembangan

pembinaan. Dengan demikian, narapidana perkara tindak pidana korupsi

akan ditempatkan dengan sesamanya di dalam lembaga pemasyarakatan.

Page 88: POLITIK KRIMINAL PENANGGULANGAN TINDAK …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/BRIAN SERJANA HUKUM.pdf · Pengertian dan Ruang Lingkup……………………………………………

78

B. Upaya-upaya yang digunakan untuk menanggulangi tindak pidana

korupsi pada e ra reformasi

Politik kriminal adalah segala usaha yang rasional dari masyarakat

untuk menanggulangi kejahatan113 yang secara garis besar upaya

penanggulangannya dapat dilakukan dengan dua cara yakni pendekatan penal

dan pendekatan non penal. Politik kriminal “criminal policy” tidak terlepas

dari kebijakan yang lebih luas yakni kebijakan sosial “social policy” yang

terdiri dari kebijakan kesejahteraan sosial “social welfare policy”dan

kebijakan perlindungan masyarakat “social defence policy”. 114

Politik kriminal yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari

politik sosial menimbulkan dua konsekuensi logis terhadap pelaksanaan

upaya penal dan upaya non penal, konsekuensi logis tersebut terkait dengan

integralitas pelaksanaan politik kriminal terhadap politik sosial. Menurut

Barda Nawawi Arief, dua konsekuensi logis adalah sebagai berikut:

1. Penggunaan sarana penal dan sarana non penal harus menunjang goal

yakni kesejahteraan sosial dan perlindungan sosial;

2. Penggunaan sarana penal dan sarana non penal harus dilakukan dengan

pendekatan integral yang menunjukan keseimbangan.115

Akan dibahas lebih lanjut dalam penelitian ini terkait dengan masing-

masing upaya tersebut yang meliputi upaya penal dan upaya non penal

sekaligus pelaksanaan penggunaannya.

113Lihat pengertian politik criminal secara praktis dalam IS. Heru Permana. Op. Cit, hal 5.

114 Dalam IS Heru Permana, Loc. Cit.115 Barda Nawawi A rief, 2008, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana

dalam Penanggulangan Kejahatan, Cetakan Kedua, Kencana, Jakarta, hal 77 – 78.

Page 89: POLITIK KRIMINAL PENANGGULANGAN TINDAK …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/BRIAN SERJANA HUKUM.pdf · Pengertian dan Ruang Lingkup……………………………………………

79

1. Upaya Penal

Upaya penal merupakan upaya penanggulangan terhadap

kejahatan yang mempergunakan sarana pidana, agar dapat

dioperasionalkan dengan baik maka upaya tersebut dilakukan melalui

tahapan berikut116:

a) Penetapan kebijakan perundang-undangan (dapat juga disebut

kebijakan legislasi) yang didalamnya berisikan penetapan kebijkan

mengenai:

1) Perbuatan apa yang seharusnya dijadikan tindak pidana

(kebijakan kriminalisasi);

2) Sanksi apa yang sebaiknya digunakan atau dikenakan kepada si

pelanggar (kebijakan penalisasi / kebijakan pemidanaan).

Penerapan tahapan-tahapan tersebut adalah sebagai berikut:

1) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999:

i. Kolusi yang dilakukan oleh penyelenggara negara atau

anggota komisi pemeriksa dalam Pasal 21 dipidana dengan

pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama

12 (dua belas) tahun dan denda paling sedikit Rp.

200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.

1.000.000.000,- (satu milyar rupiah);

ii. Nepotisme yang dilakukan oleh penyelenggara negara atau

anggota komisi pemeriksa dalam Pasal 22 dipidana dengan

116 Widiada Gunakaya, Loc. Cit.

Page 90: POLITIK KRIMINAL PENANGGULANGAN TINDAK …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/BRIAN SERJANA HUKUM.pdf · Pengertian dan Ruang Lingkup……………………………………………

80

pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama

12 (dua belas) tahun dan denda paling sedikit Rp.

200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.

1.000.000.000,- (satu milyar rupiah).

2) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto Undang-Undang

Nomor 20 Tahun 2001

I. Korupsi jenis kerugian keuangan negara karena memperkaya

diri dalam Pasal 2 dipidana dengan pidana penjara minimal 4

(empat) tahun dan maksimal 20 (dua puluh) tahun dan denda

minimal Rp. 200.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan denda

maksimal Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah), dalam

hal tertentu, dipidana dengan pidana mati. Kemudian korupsi

jenis kerugian keuangan negara karena menyalahgunakan

kewenangan dalam Pasal 3 dipidana dengan pidana penjara

seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu)

tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda

paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan

paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah);

II. Korupsi jenis suap kepada pegawai negeri atau

penyelenggaran negara dalam Pasal 5 dipidana dengan pidana

penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima)

tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00

(lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp

Page 91: POLITIK KRIMINAL PENANGGULANGAN TINDAK …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/BRIAN SERJANA HUKUM.pdf · Pengertian dan Ruang Lingkup……………………………………………

81

250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah). kemudian

korupsi jenis suap kepada hakim atau advocat dalam Pasal 6

dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun

dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda

paling sedikit Rp 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta

rupiah) dan paling banyak Rp 750.000.000,00 (tujuh ratus

lima puluh juta rupiah);

III. Korupsi jenis tindak pidana korupsi yang berkaitan dengan

pembangunan, leveransir, dan rekanan atau perbutaan curang

dalam Pasal 7 dipidana dengan pidana penjara paling singkat

2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan atau pidana

denda paling sedikit Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah)

dan paling banyak Rp 350.000.000,00 (tiga ratus lima puluh

juta rupiah);

IV. Korupsi jenis penggelapan dalam Pasal 8 dipidana dengan

pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama

15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp

150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling

banyak Rp 750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta

rupiah);

V. Korupsi jenis kerakusan dalam Pasal 12 huruf e, f, g, h, dan i

dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana

penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20

Page 92: POLITIK KRIMINAL PENANGGULANGAN TINDAK …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/BRIAN SERJANA HUKUM.pdf · Pengertian dan Ruang Lingkup……………………………………………

82

(dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp

200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp

1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah);

VI. Korupsi jenis gratifikasi dalam Pasal 12 B dipidana dengan

pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling

singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun

dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua

ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00

(satu miliar rupiah).

Sangat disayangkan bahwa terdapat kekurangan dalam

perumusan kebijakan penalisasi / kebijakan pemidanaannya

yakni tidak merumuskan pedoman pemidanaan untuk

menerapkan ancaman pidana minimum. Seharusnya undang-

undang khusus di laur KUHP membuat aturan tersendiri untuk

penerapannya, karena ini merupakan konsekuensi logis dari

Pasal 103 KUHP.117 Tanpa adanya pedoman pemidanaan pidana

minimal ini maka tidak dapat ditentukan apakah pidana minimal

dapat diperingan atau dapat diperberat.

Kejanggalan lain nampak dalam pola pidana

minimalnya, ada delik yang diancam dengan pidana

maksimalnya 20 tahun penjara dan pidana minimalnya pidana 4

tahun penjara seperti dalam Pasal 2 dan Pasal 12. Sedangkan ada

117 Barda Nawawi Arief, 2008, Masalah Penegakan Hukum Dan Kebijakan Hukum Pidana Dalam Penanggulangan Kejahatan , Kencana, Jakarta, hal. 159.

Page 93: POLITIK KRIMINAL PENANGGULANGAN TINDAK …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/BRIAN SERJANA HUKUM.pdf · Pengertian dan Ruang Lingkup……………………………………………

83

delik yang diancam dengan pidana maksimalnya 20 tahun

penjara namun ancaman pidana minimalnya 1 tahun penjara

seperti dalam Pasal 3. Padahal untuk delik lainnya, pidana

minimal 1 tahun diancam dengan pidana maksimal 5 tahun

penjara seperti dalam Pasal 9 dan Pasal 11118. Kesalahan

demikian menurut Muladi dan Barda Nawawi Arief

mengakibatkan tidak terkendalinya perkembangan kriminalitas

yang semakin meningkat karena kesalahan inilah yang menjadi

faktor timbul dan berkembangnya kriminalitas.119

b) Penerapan pidana oleh badan pengadilan (disebut juga kebijakan

yudikasi). Penerapan kebijakan ini dilakukan melalui Undang-

Undang Nomor 46 tahun 20009 tentang Pengadilan Tindak Pidana

Korupsi yang merupakan satu-satunya pengadilan yang berwenang

memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tindak pidana korupsi

termasuk yang dilakukan oleh Warga Negara Indonesia di luar

wilayah negara Republik Indonesia.

c) Pelaksanaan pidana oleh aparat pelaksana pidana (disebut juga

kebijakan eksekusi). Penerapannya dilakukan oleh Lembaga

Pemasyarakatan dan Balai Pemasyarakatan dengan didasarkan pada

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.

Kebijakan ini juga dilaksanakan oleh Penuntut Umum berdasarkan

Pasal 54 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang

118 Ibid, hal 150.119 Ibid, hal 98.

Page 94: POLITIK KRIMINAL PENANGGULANGAN TINDAK …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/BRIAN SERJANA HUKUM.pdf · Pengertian dan Ruang Lingkup……………………………………………

84

Kekuasaan Kehakiman juncto Pasal 30 ayat (1) Undang-Undang

Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejakasaan.

2. Upaya non penal

Upaya non penal merupakan upaya dalam menanggulangi

kejahatan tanpa mempergunakan sarana pidana, cakupan sarana ini

adalah pencegahan kejahatan. Pencegahan kejahatan adalah segala

tindakan yang memilki tujuan khusus untuk membatasi meluasnya

kekerasan dan kejahatan, baik melalui pengurangan potensial maupun

melalui masyarakat umum.120

Inventarisasi upaya non penal dalam perundang-undangan yang

berkaitan dengan tindak pidana korupsi yang dirumuskan pada era

reformasi nampak sebagai berikut:

a. Program Anti Korupsi

Program anti korupsi nampak dalam Pasal 13 Undang-

Undang Nomor 30 Tahun 2002 KPK berwenang untuk:

1) Menyelenggarakan program pendidikan antikorupsi pada setiap

jenjang pendidikan;

2) Merancang dan mendorong terlaksananya program sosialisasi

pemberantasan tindak pidana korupsi;

3) Melakukan kampanye antikorupsi kepada masyarakat umum.

b. Kewajiban pemeriksaan dan publikasi kekayaan bagi penyelenggara

negara

120 IS. Heru Permana, Loc. CIt.

Page 95: POLITIK KRIMINAL PENANGGULANGAN TINDAK …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/BRIAN SERJANA HUKUM.pdf · Pengertian dan Ruang Lingkup……………………………………………

85

Pemberian kewajiban ini nampak dalam Pasal 5 Undang-

Undang Nomor 28 Tahun 1999 yang memberikan kewajiban bagi

penyelenggara negara untuk:

1) Mengucapkan sumpah atau janji sesuai dengan agamanya

sebelum memangku jabatannya;

2) Bersedia diperiksa kekayaannya sebelum, selama, dan setelah

menjabat;

3) Melaporkan dan mengumumkan kekayaan sebelum dan setelah

menjabat;

Pemberian kewajiban tersebut awalnya dilakukan oleh

Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN)

berdasarkan Pasal 17 ayat (1) Undang-Undang Nomor 28 Tahun

1999.

Pasal 17(1) Komisi Pemeriksa mempunyai tugas dan wewenang untuk

melakukan pemeriksaan terhadap kekayaan Penyelenggara Negara.

Lahirnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berimplikasi

terhadap keberadaan KPKNP. Berdasarkan Pasal 69 ayat (1)

dinyatakan bahwa dengan terbentuknya KPK maka KPKPN menjadi

bagian bidang pencegahan pada KPK. Meleburnya KPKPN kepada

KPK berimplikasi juga bahwa kewenangan pemeriksaan kekayaan

penyelenggara negara yang dimiliki KPKPN harus pula dimiliki oleh

lembaga KPK. Mencermati ketentuan Pasal 13 Undang-Undang

Page 96: POLITIK KRIMINAL PENANGGULANGAN TINDAK …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/BRIAN SERJANA HUKUM.pdf · Pengertian dan Ruang Lingkup……………………………………………

86

Nomor 30 tahun 2002, nampak bahw KPK memilkki kewenangan

untuk melakukan pendaftaran dan pemeriksaan terhadap laporan

harta kekayaan penyelenggara negara.

c. Peran Serta Masyarakat

Peran serta masyarakat dalam upaya pencegajan tindak

pidana korupsi memilki urgensi sebagaimana tercantum dalam

Deklarasi Manila yang dihasilkan oleh “The Asian Regional

Ministerial Meeting of Transnational Crime” pada 23 – 25 Maret

1998. Urgensi peran serta masyarakat dalam deklarasi tersebut

adalah untuk melibatkan peran masyarakat secara aktif dalam

memberantas korupsi, khususnya dalam mengembangkan tindakan

pencegahan dan pengawasan yang memajukan “a culture of

accountability and transparency” atau budaya pertanggungjawaban

dan keterbukaan.121 Penerapan peran serta masyarakat dalam

penanggulangan tindak pidana korupsi pada era reformasi ini terlihat

dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 dan Undang-Undang

Nomor 31 Tahun 1999.

Pasal 9 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999(1)Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8

diwujudkan dalam bentuk:a. Hak mencari, memperoleh, dan memberikan informasi tentang

penyelenggaraan negara;b. Hak untuk memperoleh pelayanan yang sama dan adil dari

Penyelenggara Negara;c. Hak menyampaikan suatu saran dan pendapat secara

bartanggungjawab terhadap kebijakan Penyelenggara Negara; dan

121 Dalam Barda Nawawi Arief, Loc. Cit.

Page 97: POLITIK KRIMINAL PENANGGULANGAN TINDAK …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/BRIAN SERJANA HUKUM.pdf · Pengertian dan Ruang Lingkup……………………………………………

87

d. Hak untuk memperoleh pelrindungan hukum dalam hal:1) Melaksanakan haknya sebagaimana dimaksud dalam

bentuk a, b, dan c;2) Diminta hadir dalam proses penyelidikan, penyidikan, dan

di sidang pengadilan sebagai saksi pelapor, saksi, dan saksi ahli, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pelaksanaan peran serta masyarakat tersebut dilaksanakan

melalui Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 1999 tentang Tata

Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat Dalam Penyelenggaraan

Negara. Pasal 10 Peraturan Pemerintah ini memberikan perlindungan

hukum bagi masyarakat dalam melaksanakan bentuk-bentuk peran

serta masyarakat tersebut dengan ketentuan melakukan

pemberitahuan baik secara tertulis maupun lisan kepada Kepolisian

Negara Republik Indonesia atau instansi yang berwenang.

Adapun bentuk peran serta masyarakat dalam udang-undang

Nomor 31 Tahun 1999 ini merupakan bentuk peran serta yang mirip

diatur dalam Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999

tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN.

Pasal 41 ayat (2) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999(2)Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)

diwujudkan dalam bentuk :a. hak mencari, memperoleh, dan memberikan informasi adanya

dugaan telah terjadi tindak pidana korupsi;b. hak untuk memperoleh pelayanan dalam mencari, memperoleh

dan memberikan informasi adanya dugaan telah terjadi tindak pidana korupsi kepada penegak hukum yang menangani perkara tindak pidana korupsi;

c. hak menyampaikan saran dan pendapat secara bertanggung jawab kepada penegak hukum yang menangani perkara tindak pidana korupsi;

Page 98: POLITIK KRIMINAL PENANGGULANGAN TINDAK …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/BRIAN SERJANA HUKUM.pdf · Pengertian dan Ruang Lingkup……………………………………………

88

d. hak untuk memperoleh jawaban atas pertanyaan tentang laporannya yang diberikan kepada penegak hukum dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari;

e. hak untuk memperoleh perlindungan hukum dalam hal :1) melaksanakan haknya sebagaimana dimaksud dalam huruf

a, b, dan c;2) diminta hadir dalam proses penyelidikan, penyidikan, dan

di sidang pengadilan sebagai saksi pelapor, saksi, atau saksi ahli, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Sekalipun demikian, peran serta masyarakat dalam Undang-

Undang Nomor 31 Tahun 1999 memilki perbedaan dengan peran serta

masyarakat dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999. Peran

serta masyarakat dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999

memberikan amanat bagi pemerintah untuk memberikan penghargaan

kepada masyarakat yang berjasa membantu upaya menanggulangi

tindak pidana korupsi sebagaimana tercantum dalam pasal 42 ayat (1):

Pasal 42(1)Pemerintah memberikan penghargaan kepada anggota masyarakat

yang telah berjasa membantu upaya pencegahan, pemberantasan, atau pengungkapan tindak pidana korupsi.

Peran serta serta pemberian penghargaan tersebut selanjutnya

diatur kemudian melalui Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2000

tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat Dan

Pemberian Penghargaan Dalam Pencegahan dan Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi. Dalam Pasal 7 ayat (2)Peraturan Pemerintah

tersebut, penghargaan yang diberikan pemerintah dapat berupa piagam

atau premi. Adapun besar premi yang diberikan sebesar 2^ (dua

Page 99: POLITIK KRIMINAL PENANGGULANGAN TINDAK …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/BRIAN SERJANA HUKUM.pdf · Pengertian dan Ruang Lingkup……………………………………………

89

permil) dari nilai kerugian keuangan negara yang dikembalikan

sebagaimana diatur dalam Pasal 9.

Menurut Kongres PBB mengenai “the prevention of crime and

the treatment of offenders”, pencegahan kejahatan dilakukan dengan

dasar penghapusan sebab-sebab kondisi-kondisi yang menyebabkan

timbulnya kejahatan, upaya penghapusan sebab-sebab dan kondisi-

kondisi yang dimikian harus merupakan strategi pokok / mendasar dalam

upaya pencegahan kejahatan (the basic crime prevention strategy).122

Marwan Effendy menyimpulan bahwa sebab-sebab korupsi adalah:

a) Minimnya integritas,

b) Sistem karier dan penggajian yang tidak berbasis kinerja serta

standar pelayanan minimal,

c) Perilaku masyarakat yang serba instan dalam setiap urusan.123

Terkait dengan sebab korupsi pertama yakni minimnya integritas,

upaya non penal yang dipergunakan untuk menghapus sebab ini dapat

dilihat dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999. yang

memberikan kewajiban bagi penyelenggara negara untuk:

a) Mengucapkan sumpah atau janji sesuai dengan agamanya sebelum

memangku jabatannya.

b) Bersedia diperiksa kekayaannya sebelum, selama, dan setelah

menjabat.

122 A. Widiada, Loc. Cit.123 Marwan Effendy, Loc. Cit.

Page 100: POLITIK KRIMINAL PENANGGULANGAN TINDAK …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/BRIAN SERJANA HUKUM.pdf · Pengertian dan Ruang Lingkup……………………………………………

90

c) Melaporkan dan mengumumkan kekayaan sebelum dan setelah

menjabat;

Pemberian kewajiban pertama membuat penyelenggara negara

akan lebih mawas diri dengan selalu menjaga tingkah lakunya karena

sumpah atau janji yang ia ucapkan merupakan sumpah atau janji

langsung kepada Tuhan yang sudah tentu selalu melihat dan tahu

perbuatan yang dilakukan oleh penyelenggara negara. Pemberian

kewajiban kedua dan ketiga membuat penyelenggara negara semakin

kehilangan kesempatan untuk melakukan korupsi karena secara berkala

penyelenggara negara akan diperiksa harta kekayaannya secara berkala.

Dengan demikian ketiga kewajiban tersebut dapat menjaga integritas

daripada penyelenggara negara.

Terkait dengan sebab kedua yakni sistem karier dan penggajian

yang tidak berbasis kinerja serta standar pelayanan minimal, kita akan

menemui kebuntuan mencari penanggulangannya dalam perundang-

undangan tindak pidana korupsi karena dalam perundang-undangan

tersebut tidak diatur mengenai sistem karier dan penggajian. Untuk

mengetahuinya kita dapat meninjau Undang-Undang Nomor 43 Tahun

1999 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974

tentang Pokok-Pokok Kepegawaian. Terkait dengan sistem karier, Dalam

Pasal 17 ayat (2) dinyatakan bahwa Pengangkatan Pegawai Negeri Sipil

dalam suatu jabatan dilaksanakan berdasarkan prinsip profesionalisme

sesuai dengan kompetensi, prestasi kerja, dan jenjang pangkat yang

Page 101: POLITIK KRIMINAL PENANGGULANGAN TINDAK …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/BRIAN SERJANA HUKUM.pdf · Pengertian dan Ruang Lingkup……………………………………………

91

ditetapkan untuk jabatan itu serta syarat obyektif lainnya tanpa

membedakan jenis kelamin, suku, agama, ras, atau golongan. Terakit

dengan penggajian, dalam Pasal 7 ayat (1) dinyatkan bahwa Setiap

Pegawai Negeri berhak memperoleh gaji yang adil dan layak sesuai

dengan beban pekerjaan dan tanggung jawabnya, kemudian dalam ayat

(2) dinyatakan bahwa gaji yang diterima oleh Pegawai Negei harus

mampu memacu produktivitas dan menjamin kesejahteraannya. Dengan

demikian, upaya non penal yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor

43 Tahun 1999 sudah mampu meniadakan sebab dalam undang-undang

tersebut menjelaskan bahwa sistem karier dan penggajian dilaksanakan

dengan berbasis kinerja dan berstandar pelayanan minimal.

Terkait dengan sebab korupsi yang ketiga yakni perilaku

masyarakat yang serba instan dalam setiap urusan, upaya non penal yang

dipergunakan adalah kewenangan KPK dalam Pasal 13 Undang-Undang

Nomor 30 Tahun 2002. Dalam pasal tersebut dinyatakan bahwa KPK

berwenang untuk melakukan program anti korupsi pada setiap jenjang

pendidikan dan masyarakat umum. Melalui kewenangan ini, masyarakat

dapat diarahkan dan dibimbing agar perilaku masyarakat tidak menjadi

serba instan dalam setiap urusan. Perilaku demikian sebenarnya

merupakan perilaku korup, sehingga masyarakat tergerak untuk

menghindari perilaku serba instan tersebut.

Mencermati semua upaya non penal tersebut, sebenarnya dapat

dilihat suatu kekurangan atau kelemahan. Kekurangan atau kelemahan

Page 102: POLITIK KRIMINAL PENANGGULANGAN TINDAK …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/BRIAN SERJANA HUKUM.pdf · Pengertian dan Ruang Lingkup……………………………………………

92

nampak bahwa pelaksana upaya non penal tersebut adalah KPK.

Kewenangan untuk menyelenggarakan program anti korupsi dan

pemeriksaan kekayaan penyelenggara negara hanya dimiliki oleh KPK.

Lebih dari itu, tugas koordinasi dan supervisi yang dimilkiki KPK

hanyalah terbatas pada upaya pemberantasan yang jelas tentu masuk

ranah upaya penal bukan upaya non penal.

KPK sebagai suatu lembaga negara, tentu memilki keterbatasan

sumber daya manusia. Hingga saat ini KPK belum mendirikan

perwakilan di daerah sekalipun dalam Pasal 19 ayat (2) Undang-Undang

Nomor 30 Tahun 2002 dinyatakan bahwa KPK dapat membentuk

perwakilan di daerah provinsi. Dengan demikian, sebetulnya kita dapat

melihat bahwa upaya non penal dalam penanggulangan tindak pidana

korupsi belum menjadi fokus utama bagi pembentuk undang-undang.

Pembentuk undang-undang nampak masih fokus berfikir bagaimana

menjerat koruptor dengan kriminalisasi berbagai perbuatan yang

dianggap korupsi ataupun dengan penalisasi berbagai ancaman pidana

baru. Sangat disayangkan hal demikian terjadi, padahal upaya non penal

merupakan upaya yang sangat strategis dalam menanggulangi

kejahatan.124 Kegagalan dalam penggarapannya justru akan berakibat

fatal bagi usaha menanggulangi kejahatan125, terlebih pencegahan

kejahatan pada dasarnya merupakan tujuan utama dari politik kriminal.126

BAB IV

124 Muladi dan Barda Nawawi Arief, Op. Cit, hal 159.125 Ibid.126 IS. Heru Permana, Loc. Cit.

Page 103: POLITIK KRIMINAL PENANGGULANGAN TINDAK …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/BRIAN SERJANA HUKUM.pdf · Pengertian dan Ruang Lingkup……………………………………………

93

PENUTUP

A. Kesimpulan

Politik kriminal penanggulangan tindak pidana korupsi di Indonesia

pada era reformasi dilakukan melalui:

1. Pembentukan peraturan perundangan-undangan yakni: Tap MPR Nomor

XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih Dan Bebas

Korupsi, Kolusi, Dan Nepotisme, Undang-Undang Nomor 28 Tahun

1999 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih Dan Bebas Dari

Korupsi, Kolusi, Dan Nepotisme, Undang-Undang Nomor 31 Tahun

1999 juncto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang Nomor 30

Tahun 2002 tentang Komisi Pembetrantasan Tindak Pidana Korupsi,

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan United

Nations Convention Against Corruption, 2003, Undang-Undang Nomor

46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.

2. Upaya-upaya penanggulangan yang diantaranya:

1) Upaya penal melalui:

a) Kebijakan formulasi melalui kriminalisasi terhadap kolusi dan

nepotisme bagi penyelenggara negara dan penggolongan tindak

pidana korupsi menjadi kerugian keuangan negara, penyuapan,

kecurangan, penggelapan, kerakusan, dan gratifikasi. Kebijakan

ini dilakukan juga melalui perumusan ancaman pidana berupa

pidana mati dan pidana minimal. Namun disayangkan perumusan

Page 104: POLITIK KRIMINAL PENANGGULANGAN TINDAK …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/BRIAN SERJANA HUKUM.pdf · Pengertian dan Ruang Lingkup……………………………………………

94

ancaman pidananya tidak merumuskannya ketentuan pelaksanaan

pidana minimal dan pola pemidanaan antara pidana minimal dan

pidana maksimalnya tidak proporsional.

b) Kebijakan aplikasi melalui pengadilan tindak pidana korupsi.

c) Kebijakan eksekusi melalui lembaga pemasyarakatan, balai

pemasyaraktan, dan penuntut umum.

2) Upaya non penal yang meliputi program anti korupsi, pemberian

kewajiban pemeriksaan dan publikasi kekayaan bagi penyelenggara

negara, dan peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan negara

serta peran serta masyarakat dalam penanggulangan tindak pidana

korupsi.

B. Saran

a. Ancaman pidana dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 dan

Undang-Undang Nopmor 31 Tahun 1999 juncto Undang-Undang Nomor

20 Tahun 2001 perlu direvisi dengan merumuskan ketentuan pelaksanaan

pidana minimal dan perumusan pola pemidanaan antara pidana minimal

dengan pidana maksimal yang lebih proporsional.

b. Komisi Pemberantasan Korupsi sebagai lembaga yang memiliki

kewenangan dalam pencegahan tindak pidana korupsi melakukan

kerjasama dengan instansi di daerah atau dengan organisasi masyarakat

untuk mengoptimalkan upaya pencegahan mengingat hingga saat ini

Komisi Pemberantasan Korupsi belum memilki perwakilan di daerah.

Page 105: POLITIK KRIMINAL PENANGGULANGAN TINDAK …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/BRIAN SERJANA HUKUM.pdf · Pengertian dan Ruang Lingkup……………………………………………

95

DAFTAR PUSTAKA

Literatur:

Campbell Black, Henry, et.al., 1979, Blak’ Law Dictionary, fith edition, St.

Paulminn West Publicing C. O.

Djaja, Ermansjah, 2009, Memberantas Korupsi bersama KPK, Jakarta: Sinar

Grafika.

Hanitijo Soemitro, Ronny, Metodologi Penelitian, Jakarta: Ghalia Indonesia.

Hatta, Moh, 2010, Kebijakan Politik Kriminal: Penegakan Hukum dalam rangka

Penanggulangan Kejahatan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Heru Permana, IS, 2011, Politik Kriminal, Yogyakarta: Universitas Atma Jaya.

Kartanegara, Satochid, Hukum Pidana Kumpulan Kuliah, Balai Lektur

Mahasiswa.

Lamintang, P. A. F., 1997, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, , Bandung:

Citra Aditya Bakti.

M. Echols, John dan Shadaly, Hassan, 1977, Kamus Inggris Indonesia, Jakarta:

Gramedia Pustaka Utama.

Mahmud Marzuki, Peter, 2011, Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana.

Muladi dan Nawawi Arief, Barda, 1992, Teori-Teori dan Kebijakan Hukum

Pidana, Bandung: Alumni.

Nawawi Arief, Barda, 2008, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum

Pidana dalam Penanggulangan Kejahatan, Jakarta: Kencana.

Nawawi Arief, Barda, 1966, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Bandung:

Citra Aditya Bakti.

Page 106: POLITIK KRIMINAL PENANGGULANGAN TINDAK …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/BRIAN SERJANA HUKUM.pdf · Pengertian dan Ruang Lingkup……………………………………………

96

Poerwadarminta, 1979, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka.

Sahetapy, 1979, Kapita Selekta Kriminologi, Bandung; Alumni.

Soekanto, Soerjono dan Pamuji, Sri, 2011, Penelitian Hukum Normatif, Jakarta:

Raja Grafindo Persada.

Sudarto, 1983, Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat, Sinar Baru.

Sudarto, 1977, Hukum dan Hukum Pidana, Bandung: Alumni.

Sudarto, 1975, Hukum Pidana Jilid I A-B, Semarang: FH Undip.

Sunggono, Bambang, 1997, Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Raja Grafindo

Persada.

Sulista, Teguh dan Zurnetti, Aria, 2001, Hukum Pidana: Horizon Baru Pasca

Reformasi, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada

Surachimn dan Cahaya, Suhandi, 2011, Stategi dan Teknik Korupsi: Mengetahui

untuk Mencegah, Jakarta: Sinar Grafika.

Sutherland, Edwin H, 1961, White Collar Crime, New York: Rinehart and

Winston.

Syamsyudin, M., 2007, Operasionalisasi Penelitian Hukum, Jakarta: Raja

Grafindo Persada.

Tongat, 2009, Dasar-Dasar Hukum Pidana dalam Perspektif Pembaharuan.,

Malang: UMM Press.

Waluyo, Bambang, 2002, Penelitian Hukum Dalam Praktek , Jakarta: Sinar

Grafika.

Wijowasito, 1999, Kamus Umum Belanda Indonesia, Jakarta: Ikhtiar Baru.

Page 107: POLITIK KRIMINAL PENANGGULANGAN TINDAK …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/BRIAN SERJANA HUKUM.pdf · Pengertian dan Ruang Lingkup……………………………………………

97

Wisnubroto, Aloysius, 1999, Kebijakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan

Penyalahgunaan Komputer, Yogyakarta: Universitas Atma Jaya.

Peraturan Perundang-Undangan:

Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor XI/MPR/1998 tentang

Penyelenggara Negara Yang Bersih Dan Bebas Korupsi, Kolusi, Dan

Nepotisme.

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi.

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pemasyarakatan.

Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara Yang

Bersih Dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi, Dan Nepotisme.

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi.

Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas Undang-Undang

Nomor 8 Tahun 1974 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang

Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik

Indonesia.

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi.

Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia.

Page 108: POLITIK KRIMINAL PENANGGULANGAN TINDAK …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/BRIAN SERJANA HUKUM.pdf · Pengertian dan Ruang Lingkup……………………………………………

98

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan United Nations

Convention Against Corruption, 2003 (Konvensi Perserikatan Bangsa-

Bangsa Anti Korupsi, 2003).

Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana

Korupsi.

Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 003/PUU-IV/2006

Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pemeriksaan

Kekayaan Penyelenggara Negara.

Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 1999 Tentang Tata Cara Pelaksanaan

Peran Serta Masyarakat Dalam Penyelenggaraan Negara.

Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pelaksanaan

Peran Serta Masyarakat Dan Pemberian Penghargaan Dalam Pencegahan

Dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Lain-lain

Harian Kompas tanggal 16 Mei 2012, Mental Korupsi Sudah Merata.

http://vivapemuda43a.wordpress.com/2012/04/23/6-tuntutan-reformasi-tahun-

1998/, diunduh tanggal 23 April 2012.

Kompas.com, Agenda Reformasi Dikhianati, diunduh tanggal 21 Mei 2012.

Jejaringnews.com, Pembuatan Undang-Undang Sering Abaikan Spirit

Penghematan, diunduh tanggal 9 nopember 2011.

merdeka.com, Negara Rugi Rp 39 Triliun Akibat Korupsi, diunduh tanggal 4

Desember 2012.