17
1 POLITIK HUKUM PIDANA DALAM PENEGAKAN HUKUM DI BIDANG KEHUTANAN (Dipublikasikan dalam Jurnal”Negara dan Keadilan”, Program Pascasarjana Unisma Malang, ISSN: 2302-7010, Vol. 3 No. 4, Agustus 2014, h. 18-30) Abdul Rokhim 1 Abstrak Penanggulangan kejahatan dengan menggunakan hukum pidana (kebijakan kriminalisasi) merupakan cara yang paling tua, setua peradaban manusia itu sendiri. Dalam menegakkan hukum ada tiga unsur tujuan hukum yang selalu harus diperhatikan, yakni; kepastian hukum, kemanfaatan dan keadilan. Orientasi kebijakan dalam penegakan hukum di bidang kehutanan adalah pemberian sanksi pidana diharapkan akan dapat menimbulkan efek jera (deterent effect) bagi pelanggarnya. Kata Kunci: Politik Hukum Pidana; Penegakan Hukum; Kehutanan 1. Pendahuluan Istilah “politik” dalam bahasa Belanda “politiek” dan bahasa Inggris “policy” artinya siasat atau kebijakan. Hans Kelsen membagi konsep politik menjadi dua, yaitu (1) politik sebagai etik artinya memilih dan menentukan tujuan kehidupan bermasyarakat yang harus diperjuangkan, (2) politik sebagai teknik, artinya memilih dan menentukan cara dan sarana untuk mencapai tujuan yang telah dipilih dan ditentukan oleh politik sebagai etik tersebut. Kemudian, pengertian “hukum” adalah seperangkat ketentuan tentang tingkah laku manusia dalam masyarakat. 2 Politik dan hukum itu merupakan pasangan. Hukum pasti didasari oleh politik, karena hukum itu dibentuk oleh negara sebagai lembaga politik yang tertinggi. Sebaliknya, politik baru mempunyai wujud bilamana sudah dirumuskan dalam bentuk hukum. Hubungan antara keduanya adalah timbal balik, bilamana politik itu adalah lambang kekuasaan (macht) dan rumusan norma-norma itu dilambangkan dengan hukum (recht), maka hubungan antara keduanya itu adalah seperti yang dilukiskan dalam ungkapan “politiklah yang membentuk hukum dan hukumlah yang memberikan bentuk pada politik(machtbildende wirkung des recht, das rechtbildende wirkung des macht). 3 Berdasarkan pendapat tersebut, maka dapat dipahami bahwa antara politik dan hukum merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan, dua bagian yang saling berkaitan dan saling mendukung. Politik hukum merupakan bagian dari ilmu hukum yang meneliti perubahan hukum yang berlaku yang harus dilakukan untuk memenuhi tuntutan 1 Dr. H. Abdul Rokhim, S.H., M.H., dosen Program Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Islam Malang. 2 Sukardi, Illegal Loging dalam Perspektif Politik Hukum Pidana (Kasus Papua), Penerbitan Universitas Atma Jaya, Yogyakarta, 2005, h. 28. 3 Ibid.

POLITIK HUKUM PIDANA DALAM PENEGAKAN HUKUM DI …infodiknas.com/wp-content/uploads/2016/01/Hukum-Pidana-dalam-Penegakan... · Politik hukum merupakan bagian dari ilmu hukum yang meneliti

  • Upload
    others

  • View
    27

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

1

POLITIK HUKUM PIDANA DALAM PENEGAKAN HUKUM

DI BIDANG KEHUTANAN

(Dipublikasikan dalam Jurnal”Negara dan Keadilan”, Program Pascasarjana Unisma

Malang, ISSN: 2302-7010, Vol. 3 No. 4, Agustus 2014, h. 18-30)

Abdul Rokhim1

Abstrak

Penanggulangan kejahatan dengan menggunakan hukum pidana (kebijakan

kriminalisasi) merupakan cara yang paling tua, setua peradaban manusia itu sendiri.

Dalam menegakkan hukum ada tiga unsur tujuan hukum yang selalu harus diperhatikan,

yakni; kepastian hukum, kemanfaatan dan keadilan. Orientasi kebijakan dalam

penegakan hukum di bidang kehutanan adalah pemberian sanksi pidana diharapkan akan

dapat menimbulkan efek jera (deterent effect) bagi pelanggarnya.

Kata Kunci: Politik Hukum Pidana; Penegakan Hukum; Kehutanan

1. Pendahuluan

Istilah “politik” dalam bahasa Belanda “politiek” dan bahasa Inggris “policy”

artinya siasat atau kebijakan. Hans Kelsen membagi konsep politik menjadi dua, yaitu (1)

politik sebagai etik artinya memilih dan menentukan tujuan kehidupan bermasyarakat

yang harus diperjuangkan, (2) politik sebagai teknik, artinya memilih dan menentukan

cara dan sarana untuk mencapai tujuan yang telah dipilih dan ditentukan oleh politik

sebagai etik tersebut. Kemudian, pengertian “hukum” adalah seperangkat ketentuan

tentang tingkah laku manusia dalam masyarakat.2

Politik dan hukum itu merupakan pasangan. Hukum pasti didasari oleh politik,

karena hukum itu dibentuk oleh negara sebagai lembaga politik yang tertinggi.

Sebaliknya, politik baru mempunyai wujud bilamana sudah dirumuskan dalam bentuk

hukum. Hubungan antara keduanya adalah timbal balik, bilamana politik itu adalah

lambang kekuasaan (macht) dan rumusan norma-norma itu dilambangkan dengan hukum

(recht), maka hubungan antara keduanya itu adalah seperti yang dilukiskan dalam

ungkapan “politiklah yang membentuk hukum dan hukumlah yang memberikan bentuk

pada politik” (machtbildende wirkung des recht, das rechtbildende wirkung des macht).3

Berdasarkan pendapat tersebut, maka dapat dipahami bahwa antara politik dan

hukum merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan, dua bagian yang saling

berkaitan dan saling mendukung. Politik hukum merupakan bagian dari ilmu hukum yang

meneliti perubahan hukum yang berlaku yang harus dilakukan untuk memenuhi tuntutan

1 Dr. H. Abdul Rokhim, S.H., M.H., dosen Program Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana

Universitas Islam Malang. 2 Sukardi, Illegal Loging dalam Perspektif Politik Hukum Pidana (Kasus Papua), Penerbitan

Universitas Atma Jaya, Yogyakarta, 2005, h. 28. 3 Ibid.

2

baru dalam kehidupan masyarakat. Dengan demikian dapatlah dikatakan bahwa politik

hukum membahas perubahan hukum yang berlaku untuk memenuhi perubahan kehidupan

dalam masyarakat.

Pendapat tersebut menggambarkan bahwa politik hukum merupakan suatu upaya

penyesuaian aturan hukum terhadap perkembangan kehidupan masyarakat melalui

perubahan-perubahan terhadap hukum. Aturan hukum yang ada tidak dapat lagi

mengakomodasi perkembangan kehidupan masyarakat, sehingga membutuhkan suatu

aturan hukum baru yang sesuai, oleh karena itu perlu dilakukan perubahan-perubahan

terhadap hukum yang ada.

Dalam kaitannya dengan politik kriminal (criminal policy), politik hukum bertugas

meneliti perubahan mana yang perlu diadakan terhadap hukum yang ada agar memenuhi

kebutuhan baru dalam kehidupan masyarakat. Politik hukum tersebut meneruskan arah

perkembangan tertib hukum dari ius constitutum (hukum positif) menuju ius

constituendum (hukum yang dicita-citakan). Politik hukum tidaklah berhenti setelah

dikeluarkannya undang-undang, tetapi justru di sinilah mulai timbul persoalan, baik yang

sudah diperkirakan sejak semula atau masalah-masalah lain yang timbul dengan tidak

diduga-duga. Tiap undang-undang memberikan jangka waktu yang lama untuk dapat

memberikan kesimpulan seberapa jauh tujuan politik hukum undang-undang tersebut telah

dicapai. Jika hasilnya sulit untuk dicapai, apakah perlu diadakan perubahan atau

penyesuaian seperlunya. Kemudian dengan pertimbangan bahwa apalah artinya

terbentuknya suatu undang-undang tanpa adanya aplikasi dan review. Dengan adanya

aplikasi dan review tujuan dari pembuatan undang-undang itu akan dapat dicapai, karena

politik hukum adalah suatu proses pencapaian tujuan masyarakat melalui undang-undang.

Berdasarkan pendapat di atas maka dapat disimpulkan bahwa dalam politik hukum

terdapat unsur-unsur, yaitu:

(1) ada aturan hukum yang berlaku (ius constitutum);

(2) ada perkembangan masyarakat yang tidak dapat diakomodir oleh ketentuan hukum

yang ada; dan

(3) ada hukum yang diharapkan atau yang dicita-citakan (ius constituendum), yaitu

perubahan hukum yang diperlakukan untuk memenuhi kebutuhan perkembangan

masyarakat tersebut.

Persoalannya adalah penggunaan sarana hukum pidana (kebijakan kriminalisasi)

dalam peraturan perundang-undangan di bidang kehutanan, khususnya kebijakan

kriminalisasi atau politik hukum pidana dalam penegakan hukum terhadap praktik

penebangan kayu secara liar (illegal logging) dan kegiatan pertambangan tanpa izin

(illegal mining) yang dilakukan di kawasan hutan?

2. Konsep Politik Hukum Pidana

Politik hukum pidana atau yang juga lazim disebut dengan istilah “kebijakan

hukum pidana” (penal policy; criminal policy) adalah suatu ilmu sekaligus seni yang pada

akhirnya mempunyai tujuan praktis untuk memungkinkan peraturan hukum positif

dirumuskan secara lebih baik dan untuk memberi pedoman tidak hanya kepada pembuat

3

undang-undang, tetapi juga kepada pengadilan yang menerapkan undang-undang dan

kepada para penyelenggara atau pelaksana putusan pengadilan.4

Penal Policy, menurut Marc Ancel, merupakan salah satu komponen dari modern

criminal science di samping komponen lain seperti criminology dan criminal law.

Selanjutnya, Marc Ancel mengatakan:

Di antara studi mengenai faktor-faktor kriminologis di satu pihak dan studi

mengenai teknik perundang-undangan di lain pihak, ada tempat bagi suatu ilmu

pengetahuan yang mengamati dan menyelidiki fenomena legislatif dan bagi suatu

seni yang rasional, dimana para sarjana dan praktisi, para ahli kriminologi dan

sarjana hukum dapat bekerja sama tidak sebagai pihak yang saling berlawanan atau

saling berselisih, tetapi sebagai kawan sekerja yang terikat dalam tugas bersama,

yaitu terutama untuk menghasilkan suatu kebijakan pidana yang realistik, humanis,

dan berpikiran maju (progresif) lagi sehat.5

Berdasarkan pendapat tersebut di atas, Barda Nawawi Arief mengatakan bahwa

pada hakikatnya masalah politik atau kebijakan hukum pidana bukanlah semata-mata

pekerjaan teknik perundang-undangan yang dapat dilakukan secara yuridis normatif dan

sistematik dokmatik. Di samping pendekatan yuridis normatif, kebijakan hukum pidana

juga memerlukan pendekatan yuridis faktual yang dapat berupa pendekatan sosiologis,

historis dan komparatif, bahkan memerlukan pula pendekatan komprehensif dari berbagai

disiplin sosial lainnya serta pendekatan integral dengan kebijakan sosial dan pembangunan

nasional pada umumnya.6

Selanjutnya, menurut Sudarto, politik hukum adalah kebijakan dari negara melalui

badan-badan yang berwenang untuk menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki

yang diperkirakan bisa digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam

masyarakat dan untuk mencapai apa yang dicita-citakan.7 Bertolak dari pendapat ini,

politik hukum pidana, menurut Barda Nawawi Arief, berarti “mengadakan pemilihan

untuk mencapai hasil perundang-undangan pidana yang paling baik dalam arti memenuhi

syarat keadilan dan daya guna”.8 Dengan demikian, melaksanakan politik hukum pidana

berarti usaha mewujudkan peraturan perundang-undangan pidana yang sesuai dengan

keadaan dan situasi pada suatu waktu dan untuk masa-masa yang akan datang.

Selanjutnya, menurut A. Mulder, pengertian politik hukum pidana (strafrechts-

politiek) ialah garis kebijakan untuk menentukan: pertama, seberapa jauh ketentuan-

ketentuan pidana yang berlaku perlu diubah atau diperbaharui; kedua, apa yang dapat

diperbuat untuk mencegah terjadinya tindak pidana; dan ketiga, bagaimana cara

penyidikan, penuntutan, peradilan dan pelaksanaan pidana harus dilaksanakan.9

Usaha dan kebijakan untuk membuat peraturan hukum pidana yang baik, menurut

Barda Nawawi Arief, pada hakikatnya tidak dapat dilepaskan dari tujuan penanggulangan

4 Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung,

Bandung, 1996, h. 23 5 Ibid., h. 23-24

6 Ibid., h. 24

7 Sudarto, Hukum dan Perkembangan Masyarakat, Sinar Baru, Bandung, 1983, h. 20

8 Barda Nawawi Arief, op. cit., h. 27-28

9 Dwidja Priyatno, Kebijakan Legislasi tentang Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di

Indonesia, CV Utomo, Bandung, 2004, h. 150

4

kejahatan. Jadi, kebijakan atau politik hukum pidana juga merupakan bagian dari politik

kriminal. Dengan perkataan lain, dilihat dari sudut politik kriminal maka politik hukum

pidana identik dengan pengertian “kebijakan penanggulangan kejahatan dengan hukum

pidana”. Usaha penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana pada hakikatnya juga

merupakan bagian dari penegakan hukum pidana. Oleh karena itu, sering pula dikatakan

bahwa politik atau kebijakan hukum pidana merupakan bagian pula dari kebijakan

penegakan hukum (law enforcement policy).10

Persoalan hukum yang tidak kalah pentingnya dalam membicarakan kebijakan

kriminal dengan menggunakan sarana hukum pidana adalah penentuan sanksi apa yang

sebaiknya digunakan atau dikenakan kepada korporasi. Sebagai contoh, adanya kelemahan

dalam kebijakan legislasi terhadap sanksi pidana korporasi, yaitu tidak adanya ketentuan

khusus mengenai sanksi pidana bagi korporasi untuk delik yang hanya diancamkan

dengan pidana penjara, dan tidak adanya aturan tentang pidana pengganti apabila denda

tidak dibayar oleh korporasi. Kelemahan-kelemahan tersebut dalam rangka pembaharuan

hukum pidana harus diperbaharui. Karena berbicara tentang sistem pertanggungjawaban

pidana korporasi dalam perspektif kebijakan hukum pidana berarti mengadakan pemilihan

untuk mencapai hasil peraturan perundang-undangan pidana yang paling baik, dalam arti

memenuhi syarat keadilan dan dayaguna, sesuai dengan keadaan pada suatu waktu dan

untuk masa-masa yang akan datang.11

3. Beberapa Pendekatan dalam Penggunaan Hukum Pidana

Mengenai masalah arah kebijakan pembangunan di bidang hukum, dalam Garis-

garis Besar Haluan Negara (GBHN) berdasarkan Ketetapan Majelis Permusyawaratan

Rakyat Republik Indonesia Nomor IV/MPR/1999, antara lain ditegaskan bahwa:

(1) Mengembangkan budaya hukum di semua lapisan masyarakat untuk terciptanya

kesadaran dan kepatuhan hukum dalam kerangka supremasi hukum dan tegaknya

negara hukum;

(2) Menata sistem hukum nasional yang menyeluruh dan terpadu dengan mengakui dan

menghormati hukum agama dan hukum adat serta memperbaharui perundang-

undangan warisan kolonial dan hukum nasional yang diskriminatif, termasuk

ketidakadilan gender dan ketidaksesuaiannya dengan tuntutan reformasi melalui

program legislasi;

(3) Menegakkan hukum secara konsisten untuk lebih menjamin kepastian hukum,

keadilan dan kebenaran, supremasi hukum, serta menghargai hak asasi manusia.

Ada dua masalah sentral (central issues) dalam kebijakan kriminal dengan

menggunakan sarana penal (hukum pidana), yakni masalah: (1) perbuatan apa yang

seharusnya dijadikan tindak pidana; dan (2) sanksi apa yang sebaiknya digunakan atau

dikenakan kepada si pelanggar.12

Analisis terhadap dua masalah sentral ini tidak dapat dilepaskan dari konsepsi

integral antara kebijakan kriminal dengan kebijakan sosial atau kebijakan pembangunan

nasional. Ini berarti pemecahan masalah-masalah di atas harus pula diarahkan untuk

10

Barda Nawawi Arief, op. cit., h. 29 11

Dwidja Priyatno, op. cit., h. 153 12

Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, Alumni, Bandung, 1992, h.

160

5

mencapai tujuan-tujuan tertentu dari kebijakan sosial politik yang telah ditetapkan.

Dengan demikian, kebijakan hukum pidana, termasuk pula kebijakan dalam menangani

masalah sentral di atas, harus pula dilakukan dengan pendekatan yang berorientasi pada

kebijakan (policy oriented approach). Sudah barang tentu kebijakan yang integral ini tidak

hanya dalam bidang hukum pidana, tetapi juga pada pembangunan hukum pada

umumnya.

Berdasarkan pendekatan kebijakan tersebut, Sudarto berpendapat bahwa dalam

rangka menghadapi masalah sentral yang pertama di atas, yang sering disebut masalah

“kriminalisasi” harus memperhatikan hal-hal yang pada intinya sebagai berikut:13

a. Penggunaan hukum pidana harus memperhatikan tujuan pembangunan nasional, yang

mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang merata material spiritual berdasarkan

Pancasila;

b. Perbuatan yang diusahakan untuk dicegah atau ditanggulangi dengan hukum pidana

harus merupakan perbuatan yang tidak dikehendaki, yaitu perbuatan yang

mendatangkan kerugian (material dan spiritual) atas warga masyarakat;

c. Penggunaan hukum pidana harus pula memperhatikan prinsip biaya dan hasil (cost and

benefit principle);

d. Penggunaan hukum pidana harus pula memperhatikan kapasitas atau kemampuan daya

kerja dari badan-badan penegak hukum yaitu jangan sampai ada kelampauan beban

tugas (overbelasting).

Pendekatan yang berorientasi pada kebijakan sosial terlihat pula dalam Simposium

Pembaharuan Hukum Pidana Nasioanl pada tanggal 28-30 Agustus 1980 di Semarang,

dalam laporannya poin 2.2 dikatakan: “Masalah kriminalisasi dan dekriminalisasi atas

suatu perbuatan haruslah sesuai dengan politik kriminal yang dianut oleh bangsa

Indonesia, yaitu sejauh mana perbuatan tersebut bertentangan atau tidak bertentangan

dengan nilai-nilai fundamental yang dianggap patut atau tidak patut dihukum dalam

rangka penyelenggaraan masyarakat”.

Untuk menetapkan suatu perbuatan itu sebagai tindakan kriminal, perlu

memperhatikan kriteria umum sebagai berikut:14

1. Apakah perbuatan itu tidak disukai atau dibenci oleh masyarakat karena merugikan,

atau dapat merugikan, mendatangkan korban atau dapat mendatangkan korban?

2. Apakah biaya mengkriminalisasikan seimbang dengan hasilnya yang akan dicapai,

artinya cost pembuatan undang-undang, pengawasan dan penegakan hukum, serta

beban yang dipikul oleh korban pelaku dan pelaku kejahatan itu sendiri harus seimbang

dengan situasi tertib hukum yang akan dicapai?

3. Apakah akan makin menambah beban aparat penegak hukum yang tidak seimbang atau

nyata-nyata tidak dapat diemban oleh kemampuan yang dimilikinya?

4. Apakah perbuatan-perbuatan itu menghambat itu menghambat atau menghalangi cita-

cita bangsa, sehingga merupakan bahaya bagi keseluruhan masyarakat?

Mengingat sulitnya menentukan sesuatu perbuatan sebagai delik (tindak pidana)

atau bukan delik sebagai akibat perubahan sosial dan pandangan yang berbeda-beda di

13

Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1981, h. 44 14

Dwidja Priyatno, op. cit., h. 155-156

6

antara golongan atau suku bangsa Indonesia, maka untuk menyatakan kriminalisasi atau

dekriminalisasi suatu perbuatan perlu diidentifikasi dan dinventarisasi bentuk-bentuk

perbuatan yang dianggap delik atau bukan delik. Dalam hal ini perlu diperhatikan

kecenderungan mengkriminalisasikan dan mendekriminalisasikan suatu perbuatan sebagai

akibat kemajuan teknologi dan perubahan sosial.15

Menurut Bassiouni, keputusan untuk melakukan kriminalisasi atau dekriminalisasi

harus didasarkan pada faktor-faktor kebijakan tertentu yang mempertimbangkan berbagai

faktor, termasuk:16

1. The proportionality of the means used in relationship to the outcome obtained

(keseimbangan sarana-sarana yang digunakan dalam hubungannya dengan hasil yang

dicari atau yang ingin dicapai);

2. The cost analysis of the outcome in relationship to the objectives sought (analisis biaya

terhadap hasil-hasil yang diperoleh dalam hubungannya dengan tujuan-tujuan yang

dicari);

3. The appraisal of the objectives sought in relationship to other priorities in the

allocation of resources of human power (penilaian terhadap tujuan-tujuan yang dicari

dalam kaitannya dengan prioritas-prioritas lainnya dalam pengalokasian sumber-

sumber tenaga manusia);

4. The social impact of criminalization and decriminalization in term of its secondary

effects (pengaruh sosial dari kriminalisasi dan dekriminalisasi yang berkenaan dengan

pengaruh-pengaruh sekunder).

Proses kriminalisasi yang berlangsung terus tanpa suatu evaluasi mengenai

pengaruhnya terhadap keseluruhan sistem hukum pidana mengakibatkan timbulnya: (1)

krisis kelebihan kriminalisasi (the crisis of over-criminalization); dan (2) krisis

kelampauan batas dari hukum pidana (the crisis of overreach of the criminal law). Krisis

pertama mengenai banyaknya atau melimpahnya jumlah kejahatan dan perbuatan-

perbuatan yang dikriminalisasikan, dan krisis kedua mengenai pengendalian perbuatan

dengan tidak menggunakan sanksi yang efektif.17

Pendekatan kebijakan seperti yang dikemukakan di atas merupakan pendekatan

yang rasional, karena karakteristik dari suatu politik kriminal yang rasional tidak lain

daripada penerapan metode-metode rasional. Menurut G.P. Hoefnagels, suatu politik

kriminal harus rasional, kalau tidak demikian tidak sesuai dengan definisinya sebagai “a

rational total of the responses to crime”. Di samping itu, konsepsi mengenai kejahatan

dan kekuasaan atau proses untuk melakukan kriminalisasi sering ditetapkan secara

emosional.18

Pendekatan yang rasional memang merupakan pendekatan yang seharusnya

melekat pada setiap langkah kebijakan. Hal ini merupakan konsekuensi logis, karena

dalam melaksanakan politik (kebijakan) orang mengadakan penilaian dan melakukan

pemilihan dari sekian banyak alternatif yang dihadapi. Ini berarti suatu politik kriminal

15

Ibid. 16

M. Cherif Bassiouni, Substantive Criminal Law, Charles C. Thomas Publisher, Illionis, USA,

1978, h. 82 17

Barda Nawawi Arief, op. cit., h. 36-37 18

Dwidja Priyatno, op. cit., h. 158

7

dengan menggunakan kebijakan hukum pidana harus merupakan suatu usaha atau

langkah-langkah yang dibuat dengan sengaja dan sadar. Ini berarti untuk memilih dan

menetapkan hukum pidana sebagai sarana untuk menanggulangi kejahatan harus benar-

benar telah memperhitungkan semua faktor yang dapat mendukung berfungsinya atau

bekerjanya hukum pidana itu dalam kenyataannya. Jadi, diperlukan pula pendekatan yang

fungsional, dan inipun merupakan pendekatan yang melekat (inherent) pada setiap

kebijakan yang rasional.

Hukum pidana hendaknya dipertahankan sebagai salah satu sarana untuk

perlindungan masyarakat (social defence). Pemilihan pada konsepsi perlindungan

masyarakat inipun membawa konsekuensi pada pendekatan yang rasional, sebagaimana

dikemukakan oleh Johannes Andenaes sebagai berikut:

Apabila orang mendasarkan hukum pidana pada konsepsi perlindungan masyarakat

(social defence), maka tugas selanjutnya adalah mengembangkan serasional

mungkin. Hasil-hasil maksimum harus dicapai dengan biaya yang minimum bagi

masyarakat dan minimum penderiataan bagi individu. Dalam tugas yang demikian,

orang harus mengandalkan pada hasil-hasil penelitian ilmiah mengenai sebab-

sebab kejahatan dan efektivitas dari bermacam-macam sanksi.19

Mengacu pada pernyataan J. Andenaes tersebut di atas, jelaslah bahwa pendekatan

kebijakan yang rasional erat pula hubungannya dengan pendekatan ekonomi. Dengan

pendekatan ekonomi di sini tidak hanya dimaksudkan untuk mempertimbangkan antara

biaya atau beban yang ditanggung masyarakat (dengan digunakannya hukum pidana)

dengan hasil yang ingin dicapai, tetapi juga dalam arti mempertimbangkan efektivitas dari

sanksi pidana itu sendiri. Sehubungan dengan itu, Ted Honderich berpendapat bahwa

suatu pidana dapat disebut sebagai alat pencegah yang ekonomis (economical detterents)

apabila dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut:20

a. Pidana itu sungguh-sungguh mencegah;

b. Pidana itu tidak menyebabkan timbulnya keadaan yang lebih berbahaya atau merugikan

dari pada yang akan terjadi apabila pidana itu tidak dikenakan;

c. Tidak ada pidana lain yang dapat mencegah secara efektif dengan bahaya atau kerugian

yang lebih kecil.

Selanjutnya, menurut Bassiouni, dalam melakukan kebijakan hukum pidana

diperlukan pendekatan yang berorientasi pada kebijakan (policy oriented approach) yang

lebih bersifat pragmatis dan rasional, dan juga pendekatan yang berorientasi pada nilai

(value judgement approach). Antara pendekatan kebijakan dan pendekatan yang

berorientasi pada nilai jangan terlalu dilihat sebagai suatu “dichotomy”, karena dalam

pendekatan kebijakan sudah seharusnya juga dipertimbangkan faktor-faktor nilai.

Kebijakan kriminal tidak dapat sama sekali dilepaskan dari masalah nilai, karena seperti

dikatakan oleh Christiansen: “the conception of problem crime and punishment is an

essential part of the culture of any society”.21

Terlebih bagi bangsa Indonesia yang

berdasarkan Pancasila dan garis kebijakan pembangunan nasionalnya bertujuan

19

Barda Nawawi Arief, op. cit., h. 38 20

Ibid., h. 39 21

Ibid., h. 41-42

8

membentuk manusia Indonesia seutuhnya. Apabila pidana akan dipergunakan sebagai

sarana untuk mencapai tujuan tersebut, maka pendekatan humanistik harus pula

diperhatikan. Hal ini mengingat pada hakikatnya kejahatan itu merupakan masalah

pelanggaran terhadap kemanusiaan, tetapi juga karena pada hakikatnya pidana itu sendiri

mengandung unsur penderitaan yang dapat menyerang kepentingan atau nilai yang paling

berharga bagi kehidupan manusia.

Pendekatan humanistik dalam penggunaan sanksi pidana tidak hanya berarti

bahwa pidana yang dikenakan kepada si pelanggar harus sesuai dengan nilai-nilai

kemanusiaan yang beradab, tetapi juga harus dapat membangkitkan kesadaran si

pelanggar akan nilai-nilai kemanusiaan dan pergaulan hidup bermasyarakat.

4. Kebijakan Kriminalisasi dalam Penegakan Hukum di Bidang Kehutanan

Penanggulangan kejahatan dengan menggunakan hukum pidana (kebijakan

kriminalisasi) merupakan cara yang paling tua, setua peradaban manusia itu sendiri.22

Pidana merupakan istilah yang lebih khusus dari “hukuman” yang menurut Sudarto ialah

penderitaan yang sengaja dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan yang

memenuhi syarat-syarat tertentu.23

Hukum merupakan sarana perlindungan, agar

kelestarian kemampuan yang dimiliki oleh hutan dapat tetap terjaga maka hukum harus

dilaksanakan atau ditegakkan.

Menurut Sudikno Mertokusumo, pelaksanaan hukum dapat berarti menjalankan

hukum tanpa ada sengketa atau pelanggaran. Ini meliputi pelaksanaan hukum oleh setiap

warga negara setiap hari yang tidak disadarinya dan juga oleh aparat negara, seperti

misalnya polisi yang berdiri di perempatan jalan mengatur lalu lintas. Di samping itu,

pelaksanaan hukum dapat terjadi kalau ada sengketa, yaitu yang dilaksanakan oleh hakim.

Ini sekaligus merupakan penegakan hukum (law enforcement).24

Lebih lanjut, Sudikno Mertokusumo mengatakan bahwa dalam menegakkan

hukum ada tiga unsur tujuan hukum yang selalu harus diperhatikan, yaitu; kepastian

hukum (rechtsicherkeit), kemanfaatan (zweckmassigkeit) dan keadilan (gerechtigkeit).

Kepastian hukum merupakan perlindungan bagi pencari keadilan (yustisiabel) terhadap

tindakan sewenang-wenang, yang berarti bahwa seseorang akan dapat memperoleh

sesuatu yang diharapkan dalam keadaan tertentu. Penegakan hukum harus dilaksanakan,

“meskipun dunia ini akan runtuh” (fiat justitia et pareat mundus). Sebaliknya, masyarakat

mengharapkan manfaat dari pelaksanaan atau penegakan hukum. Demikian juga keadilan

adalah hal yang harus diperhatikan dalam penegakan hukum yang harus dapat

memberikan keadilan bagi masyarakat. 25

Ada tiga aliran atau teori dalam ilmu pengetahuan pidana yang memberikan dasar

bagi penjatuhan pidana oleh penguasa atau wewenang penguasa untuk menjatuhkan

pidana, yaitu:26

22

Muladi dan Barda Nawawi Arif, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, Alumni, Bandung, 1998, h.

149. 23

Ibid., h. 2. 24

Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum: Sebuah Pengantar, Liberty, Yogyakarta, 1996, h. 36. 25

Sudikno Mertokusumo (1999), Op. Cit., h. 145-146. 26

Hermien Hadiati Koeswadji, Perkembangan Macam-macam Pidana dalam Rangka

Pembangunan Hukum Pidana, Citra Aditya Bhakti, Bandung, 1995, h. 7-12; Lihat juga Muladi dan Barda

Nawawi Arif (1998), Op. Cit., h. 10-24.

9

a. Teori absolut atau “vergeldings theorie” yang mempunyai ajaran bahwa yang

dianggap sebagai dasar pemidanaan adalah sifat “pembalasan” (vergelding atau

vergeltung). Di antara penganut teori ini adalah Immanuel Kant yang memandang

pidana sebagai “kategorische imperatief” yakni seseorang harus dipidana oleh hakim

karena ia telah melakukan kejahatan, dan Hegel berpendapat bahwa pidana merupakan

keharusan logis sebagai konsekuensi dari adanya kejahatan.

Menurut Andenaes, tujuan utama (primair) dari pidana menurut teori absolut ini

adalah untuk memuaskan tuntutan keadilan (to satisfy the claims of justice), sedangkan

pengaruh-pengaruhnya yang menguntungkan adalah sekunder.27

Aliran ini

berpendapat bahwa pidana adalah pembalasan, pemberian pidana dapat dibenarkan,

karena telah terjadi suatu kejahatan yang telah menggoncangkan masyarakat.

Kejahatan adalah perbuatan yang menimbulkan penderitaan anggota masyarakat

lainnya, sehingga untuk mengembalikan keadaan seperti semula, maka penderitaan itu

harus dibalas dengan penderitaan pula yaitu terdiri dari pidana (nestapa) terhadap

pelakunya.

b. Teori relatif atau teori tujuan (doel theorie). Menurut teori ini, pidana dijatuhkan

bukan “karena orang membuat kejahatan” (quia peccatum est), melainkan “supaya

orang jangan melakukan kejahatan” (ne peccetur). Salah seorang penganut teori ini

adalah Seneca yang terkenal dengan ucapannya “nemo prudens punit quia peccatum

est, sed ne peccetur”, atau “no reasonable man punishes because there has been a

wrong doing, but in order that there should be no wrong-doing” (tidak seorang

normal-pun dipidana karena telah melakukan suatu perbuatan jahat, tetapi ia dipidana

agar tidak ada perbuatan jahat). Johanes Andenaes menyebut teori ini sebagai teori

pelindung masyarakat.28

Aliran ini menafsirkan tujuan pokok dari pemidanaan, yaitu:29

1) Untuk mempertahankan ketertiban masyarakat (de handhaving van de

maatschappelijke orde);

2) Untuk memperbaiki kerugian yang diderita oleh masyarakat sebagai akibat dari

terjadinya kejahatan (het herstel van het door de misdaad onstane

maatschappelijke nadeel);

3) Untuk memperbaiki si penjahat (verbetering van de dader);

4) Untuk membinasakan si penjahat (onschadelijk maken van de misdadiger);

5) Untuk mencegah kejahatan (ter voorkoming van de misdaad).

c. Teori gabungan antara teori absolut dan teori relatif. Teori ini menggunakan kedua

teori tersebut di atas sebagai dasar pemidanaan, dengan pertimbangan bahwa kedua

teori tersebut memiliki kelemahan-kelemahan, yaitu:30

1) Kelemahan teori absolut adalah menimbulkan ketidakadilan karena dalam

penjatuhan hukuman perlu mempertimbangkan bukti-bukti yang ada dan

pembalasan yang dimaksud tidak harus negara yang melaksanakannya.

27

Muladi dan Barda Nawawi Arif (1998), Op. Cit., h. 11. 28

Ibid., h. 16. 29

Hermien Hadiati Koeswadji, Op. Cit., h. 12. 30

Ibid., h. 11-12.

10

2) Kelemahan teori relatif yaitu dapat menimbulkan ketidakadilan karena pelaku

tindak pidana ringan dapat dijatuhi hukuman berat; kepuasan masyarakat; dan

mencegah kejahatan dengan menakut-nakuti sulit dilaksanakan.

Dalam konteks tindak pidana kehutanan, urgensi perlindungan hutan dalam

perundang-undangan pidana terhadap kejahatan di bidang kehutanan, termasuk kejahatan

penebangan liar (illegal logging) dan pertambangan di kawasan hutan tanpa izin (illegal

mining), adalah perlindungan terhadap fungsi pokok dari hutan itu sendiri. Baik fungsi

ekologi, ekonomi maupun sosial-budaya yang dampaknya tidak hanya dirasakan oleh

masyarakat yang tinggal di dalam dan di sekitar hutan dan masyarakat secara nasional.

Nampaknya teori gabungan sebagaimana tersebut di atas relevan sebagai dasar

pelaksanaan pidana terhadap pelaku tindak pidana di bidang kehutanan, mengingat

pertimbangan-pertimbangan kelemahan dari kedua teori lainnya.

Orientasi kebijakan pidana dalam Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang

Kehutanan sebagaimana ditegaskan dalam paragrap 18 Penjelasan Umumnya adalah

bahwa pemberian sanksi pidana dan administrasi yang berat diharapkan akan dapat

menimbulkan efek jera (deterent effect) bagi pelanggar hukum di bidang kehutanan. Hal

ini berarti bahwa Undang-undang Kehutanan pada dasarnya menganut tujuan pemidanaan

berdasarkan teori relatif, yaitu:

a) algemene atau generale preventie, yaitu pencegahan yang ditujukan secara umum

kepada masyarakat, sehingga dengan demikian sifat pencegahannya bersifat umum;

dan

b) bijzondere atau speciale preventie yaitu pencegahan yang ditujukan kepada si penjahat

itu sendiri (pencegahan khusus)”.31

Menurut pandangan ini, tujuan pemidanaan adalah untuk menakut-nakuti orang

banyak dan si penjahat sendiri dengan memberikan sanksi yang berat, sehingga dengan

penerapan sanksi yang berat itu baik pelaku maupun orang lain akan jera melakukan

perbuatan yang dimaksud.

Penegakan hukum terhadap kejahatan di bidang kehutanan ini tidak lepas dari

konsep penegakan hukum terhadap lingkungan hidup. Hal ini merupakan konsekuensi

logis bahwa hutan merupakan salah satu unsur lingkungan hidup. Penegakan hukum

lingkungan di Indonesia, menurut Silalahi, mencakup penaatan dan penindakan

(compliance and enforcement) yang meliputi bidang hukum administrasi negara, bidang

hukum perdata dan bidang hukum pidana.32

Selanjutnya, menurut Jaro Mayda, sanksi

pidana dalam proteksi lingkungan hidup dipergunakan sebagai ultimatum remedium

(sebagai senjata terakhir), akhir dari suatu mata rantai dengan maksud untuk

menghapuskan akibat-akibat yang merugikan terhadap lingkungan hidup.33

Artinya,

bahwa sanksi pidana dalam bidang lingkungan, termasuk kehutanan, hanya merupakan

penunjang saja bagi sanksi lainnya, seperti sanksi administrasi dan sanksi perdata.

31

Ibid., h. 9. 32

Daud Silalahi, Hukum Lingkungan dalam Sistem Penegakan Hukum Lingkungan Indonesia,

Alumni, Bandung, 2001, h. 215. 33

Abdurrahman, Pengantar Hukum Lingkungan Indonesia, Citra Aditya Bhakti, Bandung, 1990, h.

109.

11

Fungsi sanksi pidana dalam hukum lingkungan termasuk kehutanan, menurut

Rangkuti telah berubah dari ultimatum remedium menjadi instrumen penegakan hukum

yang bersifat premium remedium.34

Lebih lanjut dikatakan bahwa ketentuan tentang

sanksi pidana dalam undang-undang lingkungan hidup tentang tugas pemerintah

menggariskan kebijakan dan melakukan tindakan yang mendorong ditingkatkannya upaya

pelestarian lingkungan hidup yang serasi dan seimbang. Artinya, ada keseimbangan antara

pemanfaatan maupun perlindungan terhadap hutan yang terintegrasi dalam satu konsep

pembangunan. Dengan demikian, perusak hutan perlu diberi penyuluhan, bimbingan serta

insentif dan disinsentif, sehingga benar-benar menyadari kewajibannya dan bagi yang

sengaja dan alpa mentaati ketentuan itu, dikenakan sanksi sebagai tindak lanjut.

Terkait dengan perkembangan hukum pidana lingkungan, yang menurut

Koeswadji telah ditandai dengan lahirnya aliran modern pada abad ke-19 yang hakikatnya

mendasarkan ajarannya pada:35

(1) Tujuan utama hukum pidana adalah perjuangan melawan kejahatan, karena

kejahatan dianggap sebagai gejala masyarakat;

(2) Ilmu pengetahuan hukum pidana dan perundang-undangan hukum pidana

harus memperhitungkan hasil studi yang diadakan oleh antropologi,

sosiologi dan ekonomi;

(3) Hukum pidana hanya merupakan salah satu penyelesaian yang ditentukan

oleh negara dalam memerangi kejahatan. Pidana bukan merupakan satu-

satunya sarana untuk memberantasnya, oleh karena itu pidana harus

dijatuhkan dalam kombinasinya dengan peraturan-peraturan

kemasyarakatan sosial lainnya (maatregel, treatment), terutama yang

bersifat preventif.”

Selanjutnya, menurut Koesnadi Hardjasumantri, penyidikan serta pelaksanaan

sanksi administrasi atau sanksi pidana merupakan bagian akhir (sluitstuk) dari penegakan

hukum. Yang perlu ada terlebih dahulu adalah penegakan preventif, yaitu pengawasan dan

pelaksanaan peraturan. Pengawasan preventif ini ditujukan kepada pemberian pelarangan

dan saran serta upaya meyakinkan seseorang dengan bijaksana agar beralih dari suasana

pelanggaran ke tahap pemenuhan ketentuan peraturan. Hal ini sesuai dengan teori relatif

tentang tujuan pemidanaan yaitu ada upaya perbaikan bagi pelaku, dan yang terutama

adalah bagaimana mengembalikan kerusakan hutan ke dalam kondisi semula.36

Mengacu pada pendapat tersebut di atas maka dapatlah diketahui pentingnya

kedudukan hukum pidana dalam fungsinya sebagai “penegak” atau “penguat” sanksi di

antara beberapa sanksi yang dapat dijatuhkan dalam konteks perlindungan terhadap hutan.

Penegakan hukum pidana sebagai ultimatum remedium adalah upaya untuk menjaga

kelestarian fungsi hutan. Pengoptimalan penggunaan pidana dalam bidang lingkungan

34

Siti Sundari Rangkuti, Hukum Lingkungan dan Kebijaksanaan Lingkungan Nasional, Airlangga

University Press, Surabaya, 2000, h. 323-324. 35

Hermien Hadiati Koeswadji, Hukum Pidana Lingkungan, Citra Aditya Bhakti, Bandung, 1993, h.

85. 36

Koesnadi Hardjasumantri, Hukum Tata Lingkungan, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta,

2002, h. 376.

12

hidup pada umumnya dan kehutanan khususnya sejalan dengan perkembangan yang

terjadi dalam hukum pidana.

Mengingat penggunaan sanksi pidana dalam penegakan hukum lingkungan,

termasuk bidang kehutanan, bersifat istimewa, dalam arti sifat hukum kehutanan yang

sangat istimewa karena menyangkut aspek perlindungan hutan untuk pendayagunaan

sumber daya alam menuju pembangunan berkelanjutan (sustainable development), untuk

pelestarian dan pengembangan kemampuan lingkungan hidup, adanya hubungan timbal

balik antara manusia dan lingkungan, sehingga perusakan hutan yang berarti perusakan

terhadap lingkungan dapat berakibat pada terganggunya daya dukung lingkungan yang

memerlukan beban atau biaya sosial yang tinggi untuk pemulihannya. Oleh karena itu,

sanksi pidana sangat diperlukan sebagai “senjata terakhir” (ultimum remedium) dalam

penegakan hukum kehutanan.

Implikasi dari perkembangan tindak pidana di bidang kehutanan, seperti halnya

praktik penebangan liar (illegal logging) dan kegiatan pertambangan di kawasan hutan

yang dilakukan tanpa izin (illegal mining), bukan hanya penegakan hukum dalam upaya

preventif saja yang tidak dapat berjalan dengan baik, akan tetapi upaya represif dalam

bentuk penegakan hukum pidana juga tidak lagi efektif. Ketentuan pidana kehutanan

sebagai lex specialis (hukum kekhususan) atau pengecualian dari peraturan perundang-

undangan yang berkaitan dengan tindak pidana di bidang kehutanan, yaitu Undang-

undang Nomor 5 Tahun 1990 dan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1985 maupun

peraturan perundang-undangan lain sebagai lex generali (ketentuan umum) seperti Kitab

Undang-undang Pidana (KUHP), Undang-undang Nomor 32 tentang Perlindungan dan

Pengelolan Lingkungan Hidup, Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)

maupun ketentuan hukum pidana lainnya yang terkait tidak dapat mengakomodasi

perkembangan tindak pidana di bidang kehutanan, sehingga diperlukan politik hukum

pidana untuk memenuhi kebutuhan perkembangan kejahatan tersebut.

Peraturan pidana yang dibuat pada suatu masa tentu dimaksudkan agar sesuai

dengan kebutuhan akan penegakannya pada masa itu, akan tetapi ketika kejahatan itu

sendiri telah berkembang, maka peraturan pidana itu tidak lagi sesuai dengan kebutuhan

penegakannya seiring dengan perkembangan masa dan perkembangan kejahatan itu

sendiri. Oleh karena itu diperlukan perubahan dan penyesuaian dengan kondisi pada masa

sekarang. Ketika praktik-praktik penebangan liar (illegal logging) dan pertambangan di

kawasan hutan tanpa izin (illegal mining) berkembang sedemikian rupa, sementara

peraturan pidana yang dapat diterapkan untuk kejahatan itu tidak lagi dapat memenuhi

rasa keadilan masyarakat atau tidak efektif lagi, maka di sinilah dibutuhkan suatu politik

hukum pidana agar kejahatan illegal logging dan illegal mining dapat ditanggulangi

dengan peraturan pidana yang telah diubah atau disesuaikan dengan kebutuhan dalam

rangka penegakan hukum pidana tersebut.

Kejahatan sebagai “a human and social problem” menurut Ancel, tidak begitu saja

mudah dipaksakan untuk dimasukkan ke dalam suatu perumusan suatu peraturan undang-

undang.37

Ini tidak berarti bahwa hakim pidana tidak memutus berdasar undang-undang

dan harus menolak pidana. Digunakannya hukum pidana sebagai sarana untuk

menanggulangi kejahatan merupakan bagian dari kebijakan atau politik hukum di

37

Muladi dan Barda Nawawi Arif (1998), Op. Cit., h. 155.

13

Indonesia tidak lagi dipersoalkan. Yang menjadi masalah adalah garis-garis kebijakan atau

pendekatan bagaimanakah yang sebaiknya ditempuh dalam menggunakan hukum pidana

itu? Dalam hubungan ini, Muladi dan Arief mengatakan:

Tujuan akhir dari kebijakan kriminal ialah “perlindungan masyarakat” untuk

mencapai tujuan utama yang sering disebut dengan berbagai istilah misalnya

“kebahagiaan warga masyarakat/penduduk” (happiness of the citizens);

“kehidupan kultural yang sehat dan menyegarkan” (a wholesome and

cultural living), “kesejahteraan masyarakat” (social welfare) atau untuk

mencapai “keseimbangan” (equality).38

Kejahatan penebangan liar (illegal logging) dan pertambangan liar (illegal mining)

di kawasan hutan yang semakin berkembang dan semakin rumit untuk diberantas saat ini

dapat juga dikaji dari aspek aturan pidana yang ada terutama dalam pasal 50 dan 75

Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan sebagai lex specialis dari

kejahatan di bidang kehutanan. Pemerintah sampai saat ini bahkan dinilai tidak mampu

untuk memberantas tindak pidana di bidang kehutanan tersebut. Pemerintah sejauh ini

hanya melontarkan gagasan untuk memberantas penebangan liar (illegal logging) maupun

perdagangan kayu liar (illegal trading), tetapi tidak mempunyai konsep apalagi strategi

konkrit untuk memberantas penebangan liar.39

Terlepas dari aspek moralitas dalam sistem

penegakan hukum maka perlu dikaji peraturan perundang-undangan, khususnya aspek

pidana terhadap kejahatan illegal logging dan illegal mining di kawasan hutan. Terkait

dengan hal tersebut maka dipandang perlu adanya suatu perubahan-perubahan terhadap

konsep pidana dalam rangka memenuhi atau mengakomodasi perkembangan unsur-unsur

kejahatan illegal logging dan illegal mining sesuai dengan kebutuhan dalam rangka

penanggulangan kejahatan tersebut.

5. Kesimpulan

Berdasarkan uraian tersebut di atas maka dapat disimpulkan bahwa penegakan

hukum terhadap kejahatan di bidang kehutanan, baik illegal logging maupun illegal

mining, tidak lepas dari konsep penegakan hukum terhadap lingkungan hidup. Hal ini

mengingat hutan merupakan salah satu unsur lingkungan hidup. Sanksi pidana dalam

perlindungan lingkungan hidup dipergunakan sebagai ultimatum remedium (senjata

pamungkas), artinya bahwa sanksi pidana dalam bidang lingkungan, termasuk kehutanan,

hanya merupakan penunjang saja bagi sanksi lainnya seperti sanksi administrasi dan

sanksi perdata.

Berdasarkan prinsip tersebut di atas, maka penyelesaian terhadap suatu kasus yang

diduga melanggar ketentuan pidana dalam peraturan perundang-undangan di bidang

kehutanan, misalnya kasus izin pertambangan batubara di kawasan kehutanan, terlebih

dahulu harus diselesaikan secara administratif dengan cara mengajukan gugatan terhadap

keabsahan terhadap izin tersebut di pengadilan tata usaha negara. Dengan perkataan lain,

seorang atau badan hukum perdata yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan izin

tidak bisa begitu saja dipidanakan oleh penegak hukum (polisi, jaksa, dan hakim) dengan

dalih izinnya melanggar peraturan perundang-undangan, tanpa terlebih dahulu

38

Ibid., h. 158. 39

Kompas, 31-1-2004.

14

mengajukan gugatan pembatalan kepada pengadilan tata usaha negara. Penegakan hukum

yang dilakukan dengan cara melanggar hukum termasuk dalam kategori melakukan

tindakan sewenang-wenang atau menyalahgunakan wewenang (kekuasaan).

6. Rekomendasi

Mengingat izin merupakan keputusan dari organ atau pejabat tata usaha negara

yang (semestinya) dibuat berdasarkan peraturan perundang-undangan, maka keabsahan

dari sebuah izin antara lain ditentukan oleh kewenangan dari organ atau pejabat yang

menerbitkannya. Apabila ada pihak ketiga yang merasa dirugikan terkait izin tersebut atau

instansi penegak hukum yang mendalihkan bahwa izin tersebut melanggar peraturan

perundang-undangan, maka hendaknya mereka mengajukan keberatan terlebih dahulu

kepada organ atau pejabat yang menerbitkannya atau mengajukan gugatan pembatalan

terhadap keabsahan izin tersebut kepada pengadilan tata usaha negara. Khusus bagi

penegak hukum, hendaknya tidak melakukan upaya kriminalisasi terhadap seseorang atau

badan hukum yang melakukan aktivitas usaha berdasarkan izin yang diberikan oleh

pejabat yang berwenang, sebelum ada pencabutan izin oleh pejabat yang berwenang

berdasarkan keberatan pihak ketiga yang merasa dirugikan atau sebelum ada putusan

Pengadilan Tata Usaha Negara yang menyatakan bahwa izin tersebut tidak sah atau batal

karena melanggar Undang-undang Kehutanan misalnya.

15

DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman, Pengantar Hukum Lingkungan Indonesia, Citra Aditya Bhakti, Bandung,

1990

Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti,

Bandung, Bandung, 1996

Cherif Bassiouni, M., Substantive Criminal Law, Charles C. Thomas Publisher, Illionis,

USA, 1978

Daud Silalahi, Hukum Lingkungan dalam Sistem Penegakan Hukum Lingkungan

Indonesia, Alumni, Bandung, 2001

Dwidja Priyatno, Kebijakan Legislasi tentang Sistem Pertanggungjawaban Pidana

Korporasi di Indonesia, CV Utomo, Bandung, 2004

Hermien Hadiati Koeswadji, Hukum Pidana Lingkungan, Citra Aditya Bhakti, Bandung,

1993

---------, Perkembangan Macam-macam Pidana dalam Rangka Pembangunan Hukum

Pidana, Citra Aditya Bhakti, Bandung, 1995

Koesnadi Hardjasumantri, Hukum Tata Lingkungan, Gadjah Mada University Press,

Yogyakarta, 2002

Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, Alumni, Bandung,

1998

Siti Sundari Rangkuti, Hukum Lingkungan dan Kebijaksanaan Lingkungan Nasional,

Airlangga University Press, Surabaya, 2000

Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1981

---------, Hukum dan Perkembangan Masyarakat, Sinar Baru, Bandung, 1983

Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum: Sebuah Pengantar, Liberty, Yogyakarta, 1996

Sukardi, Illegal Loging dalam Perspektif Politik Hukum Pidana (Kasus Papua),

Penerbitan Universitas Atma Jaya, Yogyakarta, 2005

Kompas, 31-1-2004.

16

17