Upload
yudiant
View
6.853
Download
4
Embed Size (px)
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Undang Undang Dasar 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945) Pasal
33 ayat (3) sebagaimana yang dinyatakan dalam Undang Undang Nomor
5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (selanjutnya
disebut UUPA) Pasal 2 ayat (1), yaitu menyatakan “Atas dasar ketentuan
Pasal 33 ayat (2) UUD 1945 dan hal-hal sebagai yang dimaksud dalam
Pasal 1, bumi, air dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh negara,
sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat”.
UUD 1945 Pasal 33 ayat (3) merupakan landasan konstitusional bagi
pembentukan politik dan Hukum Agraria nasional, yang berisi perintah
kepada negara agar bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya yang diletkkan dalam penguasaan negara itu digunakan untuk
mewujudkan sebesar-besarnya kemakmuran seluruh rakyat Indonesia.
Tanah merupakan sarana vital bagi hidup dan kehidupan manusia.
Oleh karena itu, tanah telah diatur di dalam UUPA Pasal 9 ayat (2) yang
menyatakan bahwa tiap-tiap warga negara baik pria maupun wanita
mempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh sesuatu hak atas
2
tanah serta untuk mendapatkan manfaat dan hasilnya bagi diri sendiri
maupun keluarganya.
Politik hukum berhubungan dengan kebijaksanaan untuk
menentukan kaidah-kaidah hukum yang sesuai dengan ideologi
penguasa. Oleh karena itu banyak istilah yang digunakan untuk politik
hukum seperti: pembangunan hukum, pembaharuan hukum,
pembentukan hukum dan perubahan hukum. Sedangkan masalah yang
dikaji dalam politik hukum menurut Rahardjo : a) tujuan yang hendak
dicapai; b) cara apa yang dipakai untuk mencapai tujuan tersebut dan
cara mana yang paling baik untuk mencapai tujuan tersebut; c) mengapa
hukum itu perlu diubah dan apa dampaknya; d) cara bagaimanakah
perubahan itu sebaiknya dilakukan.
Politik hukum pertanahan merupakan kebijakan pemerintah di bidang
pertanahan yang ditujukan untuk mengatur penguasaan/pemilik tanah,
peruntukan dan penggunaan tanah untuk lebih menjamin perlindungan
hukum dan peningkatan kesejahteraan serta mendorong kegiatan
ekonomi melalui pemberlakuan undang-undang pertanahan dan peraturan
pelaksanaannya. Jadi politik hukum pertanahan harus dilandasi dengan
itikad baik pemerintah dan pejabat/aparatnya untuk mencapai tujuan yang
baik pula, baik pada saat ini maupun pada saat mendatang.
3
Dengan diundangkannya UUPA, terjadi perombakan Hukum Agraria
di Indonesia, yaitu penjebolan Hukum Agraria kolonial dan pembangunan
Hukum Agraria nasional. Dengan diundangkannya UUPA, Bangsa
Indonesia telah mempunyai Hukum Agraria yang sifatnya nasional, baik
ditinjau dari segi formal maupun dari segi materilnya.
Sifat nasional UUPA dari segi formalnya dapat dilihat dalam
Konsiderannya di bawah perkataan “menimbang” yang menyebutkan
tentang keburukan dan kekurangan dalam Hukum Agraria yang berlaku
sebelum UUPA. Segi materiilnya, Hukum Agraria yang baru harus bersifat
nasional pula, artinya berkenan dengan tujuan, asas-asas dan isinya
harus sesuai dengan kepentingan nasional. Dalam hubungan ini UUPA
menyatakan pula dalam Konsiderannya di bawah perkataan
“berpendapat” salah satunya yakni bahwa Hukum Agraria yang baru harus
didasarkan atas hukum adat tentang tanah.
Dengan dicabutnya peraturan dan keputusan agraria kolonial, maka
tercapailah unifikasi (kesatuan) Hukum Agraria yang berlaku di Indonesia,
yang sesuai dengan kepribadian dan persatuan Bangsa Indonesia. Dalam
rangka mewujudkan unifikasi hukum tersebut, Hukum Adat tentang tanah
dijadikan dasar pembentukan Hukum Agraria nasional. Hukum Adat
dijadikan dasar dikarenakan hukum tersebut dianut oleh sebagian besar
rakyat Indonesia sehingga Hukum Adat tentang tanah mempunyai
kedudukan yang istimewa dalam pembentukan Hukum Agraria nasional.
4
Hukum Adat sebagai dasar pembentukan Hukum Agraria nasional
memang menghadapi kesulitan-kesulitan tertentu. Kesulitan tersebut
berkaitan dengan sifat pluralisme Hukum Adat itu sendiri, masing-masing
masyarakat hukum adat mempunyai Hukum Adatnya sendiri-sendiri yang
tentunya terdapat perbedaan.
Perbedaan tersebut kesimpangsiuran pemahaman mengenai posisi
hukum-hukum dan hak-hak adat kelompok-kelompok penduduk asli atas
tanah dan sumber-sumber agraria secara tidak langsung telah
menghambat penentuan sikap di kalangan penduduk asli setempat
mengenai sengketa-sengketa penguasaan tanah yang melibatkan
kepentingan mereka. Salah satu bentuk kebimbangan yang mereka
nyatakan selama ini, misalnya: apa bedanya tanah-tanah hak adat dan
tanah Negara.
Erat hubungannya dengan apa yang dipaparkan sebelumnya, maka
dalam pembahasan makalah ini kami tertarik untuk membahas mengenai
PERSPEKTIF POLITIK HUKUM TANAH TERHADAP HAK NEGARA DAN
HAK ADAT ATAS TANAH.
B. Rumusan Masalah
Untuk menghindari tejadinya pembahasan yang simpang siur dan
guna memberikan pemecahan pokok masalah dari uraian teori secara
sistematis sebagai suatu konsepsi yang utuh dalam suatu pemahaman
5
tentang materi pokok dari kajian ini, maka kami membatasi rumusan
masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana bentuk sengketa yang timbul sebagai akibat pertentangan
hak adat dengan hak negara atas tanah?
2. Bagaimana cara penyalesaian sengketa yang timbul sebagai akibat
pertentangan hak adat dengan hak negara atas tanah?
C. Tujuan dan Kegunaan Penulisan
Sebagaimana layaknya suatu karya ilmiah, maka makalah ini pun
mempunyai tujuan dan kegunaan yang ingin dicapai, sehingga dalam
pembahasannya menjadi sistematis dan terpola.
1. Penulisan ini dilakukan dengan tujuan sebagai berikut:
a. Untuk mengetahui bentuk sengketa yang timbul sebagai akibat
pertentangan hak adat dengan hak negara atas tanah.
b. Untuk mengetahui cara penyalesaian sengketa yang timbul sebagai
akibat pertentangan hak adat dengan hak negara atas tanah.
2. Kegunaan penulisan diharapkan dapat memberikan sumbangsi antara
lain:
6
a. Sebagai referensi bagi pihak yang membutuhkan dan yang
berkepentingan dalam disiplin ilmu hukum yang menyangkut tentang
pertanahan.
b. Sebagai perbandingan dalam melakukan analisis terhadap masalah
pertanahan di Indonesia khususnya mengenai perspektif politik
hukum tanah terhadap hak negara dan hak adat atas tanah.
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian Politik Hukum Nasional
1. Politik
Menurut Black politik adalah hal-hal yang berhubungan dengan
kebijakan atau administrasi pemerintah, Negara dan bangsa, atau juga
hal-hal yang berhubungan dengan penyelenggaraan pelaksanaan
fungsi-fungsi penyelenggaraaan pemerintah, atau mengatur urusan
pemerintah.
Menurut Badudu-Zain dalam “Kamus Umum Bahasa Indonesia”
politik didefinisikan dengan segala macam urusan ketatanegaraan yang
menyangkut pengaturan pemerintahan yang di dalamnya termasuk
system, kebijaksanaan, serta siasat baik terhadap urusan dalam negeri
maupun luar negeri
2. Hukum
Definisi hukum memiliki banyak arti. Namun dalam kaitannya
dengan masalah ini, Prof. Purnadi Purbacaraka dan Prof. Dr. Soerjono
Soekanto S.H.,M.H., antara lain mengemukakan bahwa: a) Hukum
sebagai kaidah atau norma; b) Hukum sebagai tindak yang ajeg atau
teratur.
8
Ter Haar Bzn dalam teorinya yakni “beslissingenleer”
mengemukakan bahwa hukum sebagai keputusan penguasa.
CJM Schuyt memberikan definisi hukum sebagai jalinan nilai-nilai.
Menurut Prof. Dr. Mertokusumo, S.H., berbicara hukum pada
umumnya yang daimaksudkan adalah
keseluruhan kumpulan peraturan atau kaidah dalam suatu kehidupan bersama. Keseluruhan peraturan tentang tingkah laku yang berlaku dalam suatu kehidupan bersama. Hukum bukanlah sebagai tujuan, tetapi sarana atau alat untuk mencapai tujuan yang sifatnya non-yuridis dan berkembang karena rangsangan dari luar hukum.
3. Tanah Nasional
Dalam lingkup agraria, tanah merupakan bagian dari bumi. Tanah
yang dimaksudkan disini bukan mengatur dalam segala aspeknya,
melainkan hanya mengatur salah satu aspeknya, yaitu tanah dalam
pengertian yuridis yang disebut hak. Tanah sebagai bagian dari bumi
disebutkan dalam Pasal 4 ayat (1) UUPA dinyatakan bahwa “hak
menguasai negara dalam Pasal 2 ditentukan adanya macam-macam
hak atas permukaan bumi, yang disebut tanah, yang dapat diberikan
kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupun bersama-
sama dengan orang-orang lain serta badan-badan hukum”. Dengan
demikian, jelaslah bahwa tanah dalam pengertian yuridis adalah
permukaan bumi, sedangkan hak atas tanah adalah hak atas sebagian
9
tertentu permukaan bumi, yang berbatas, berdimensi dua dengan
ukuran panjang dan lebar. Urip Santoso ( 2005:10).
Boedi Harsono (2003:18) menjelaskan:
mengenai hak atas tanah, yang berarti hak atas sebagian tertentu permukaan bumi, yang berbatas, berdimensi dua dengan ukuran panjang dan lebar. Tanah diberikan kepada dan dipunyai oleh orang dengan hak-hak yang disediakan oleh UUPA, adalah untuk digunakan dan dimanfaatkan. Kemudian dalam Pasal 4 ayat (2) UUPA dinyatakan, bahwa hak-hak atas tanah bukan hanya memberikan wewenang untuk mempergunakan sebagian tertentu permukaan bumi yang bersangkutan, yang disebut tanah, tetapi juga tubuh bumi yang ada di bawahnya dan air serta ruang yang ada di atasnya.
4. Politik Hukum Tanah nasional
Menurut
B. Hukum Adat
1. Pengertian
Menurut Maria R. Ruwiastuti (…) menyatakan bahwa Hukum Adat
adalah hukum tidak tertulis yang hidup dalam masyarakat, tumbuh dari
kesadaran hukum, menjelmakan rasa hukum yang nyata dari rakyat
serta pembentukan norma tidak bergantung pada penguasa rakyat.
2. Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat
UUPA Pasal 3 (Urip Santoso, 2005:79)menyatakan bahwa:
10
Dengan mengingat ketentuan-ketentuan Pasal 1 dan Pasal 2 pelaksanaan hak ulayat dan pelaksanaan hak-hak serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang kenyataan masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi.
Boedi Harsono (2005: 185-186) mengatakan bahwa yang
dimaksud dengan hak ulayat masyarakat hukum adat adalah
serangkaian wewenang dan kewajiban suatu masyarakat hukum adat,
yang berhubungan dengan tanah yang terletak dalam lingkungan
wilayahnya.
C. Tanah Negara
Menurut Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan
Nasional Nomor 9 Tahun 1999 Tentang Tata cara Pemberian Dan
Pembatalan Hak Atas Tanah Negara Dan Hak Pengelolaan, Pasal 1
Angka (2) menyebutkan bahwa Tanah Negara adalah tanah yang
langsung dikuasai oleh negara sebagaimana dimaksud dalam UUPA.
11
BAB III
PEMBAHASAN
A. Bentuk Sengketa Yang Timbul Sebagai Akibat Pertentangan Hak
Adat Dengan Hak Negara Atas Tanah
Istilah "Masyarakat Hukum Adat" dan "Hak Ulayat" untuk pertama
kali digunakan oleh Pembuat Undang-undang pada 1960 dalam UUPA
Pasal 3. Inti dari UUPA Pasal 3 adalah bahwa pelaksanaan Hak Ulayat
atau hak-hak serupa itu dari Masyarakat Hukum Adat harus sesuai
dengan kepentingan bangsa dan negara. Tidak ada penjelasan mengenai
apa yang dimaksud dengan "Masyarakat Hukum Adat" baik dalam UUPA
Pasal 3 maupun Penjelasan Umum/Khusus yang merupakan tafsir resmi
dari Pembuat Undang-undang.
Mengenai Hak Ulayat dikatakan bahwa yang dimaksud adalah apa
yang selama ini dikenal sebagai "beschikkingsrecht" dalam kepustakaan
hukum Adat.
Artinya dalam hal inipun Pembuat Undang-undang tidak
menciptakan istilah baru melainkan hanya menerjemahkan kata
"beschikkingsrecht" ke dalam sebuah kata Indonesia: Hak Ulayat. Di
kemudian hari pengambilalihan konsep "beschikkingsrecht" ke dalam
UUPA itu menimbulkan masalah sebab, walaupun oleh Van Vollenhoven
dikatakan bahwa konsep "beschikkingsrecht" dikenal luas hampir di
12
semua tempat di seluruh Nusantara, belum tentu pernyataan itu cocok
dengan kenyataan di lapangan.
Suatu beschikkingsrecht meliputi berbagai kewenangan seperti:
mengambil hasil-hasil alami dari hutan, berburu binatang-binatang liar,
mengambil untuk memiliki pohon-pohon tertentu dalam hutan, dan
membuka tanah dalam hutan dengan izin kepala persekutuan hukum
Adat. Dalam rangka “beschikkingsrecht” dapat terjadi hak-hak perorangan
atas tanah-tanah yang sudah dibuka dan diusahakan terus-menerus; tapi
ketika tanah itu ditelantarkan maka hak-hak perorangan itu akan lenyap
dan tanahnya kembali menjadi “beschikkingsrecht” persekutuan.
Pembuat UUPA sendiri tidak menyediakan jawaban dalam tafsir
resminya yang termuat dalam Penjelasan Umum/Khusus, tapi praktik
sehari-hari Pemerintah selaku Pelaksana Undang-undang telah memukul
rata penamaan "Hak Ulayat" itu terhadap semua hak-hak Adat yang
terdapat pada kelompok-kelompok Penduduk Asli setempat. Dalam
praktik, semua tanah dan sumber-sumber agraria yang dikuasai secara
bersama-sama dalam kelompok (entah klan entah gabungan dari
beberapa klan) dianggap sebagai tanah-tanah Hak Ulayat. Penganggapan
adanya Hak Ulayat oleh Pemerintah mengandung konsekuensi tertentu
yang sulit dipahami oleh kelompok-kelompok Penduduk Asli setempat
karena tanah-tanah yang dianggap sebagai tanah Hak Ulayat itu secara
otomatis masuk kategori tanah-tanah Negara.
13
Mengenai hal ini Aparatus Pemerintah sering berlindung di balik
ketentuan UUD 1945 Pasal 33 ayat (3) dan menyimpulkan bahwa dengan
demikian maka semua tanah di seluruh negeri ini adalah tanah negara,
termasuk disitu tanah-tanah Hak Ulayat.
Iman Soetiknjo, salah seorang tokoh pemrakarsa UUPA,
mengatakan bahwa Hak Ulayat (beschikkingsrecht) sendiri merupakan
hak-hak yang bersifat publik yang dimiliki oleh Persekutuan-persekutuan
Hukum Adat sebagai satuan-satuan politik terkecil yang terdapat di
wilayah Negara. Dengan kata lain Hak Ulayat merupakan Hak Negara
sehingga tanah-tanah yang dikuasai berdasarkan hak ini statusnya sama
dengan tanah-tanah negara.
Dalam tafsir resminya Pembuat Undang-undang mengatakan bahwa
di atas tanah-tanah Hak Ulayat itu Pemerintah berwenang menerbitkan
hak-hak baru seperti HGU.
Padahal suatu HGU hanya bisa diberikan di
atas tanah-tanah yang langsung dikuasai oleh Negara (atau disebut tanah
negara).
Berarti bahwa tanah-tanah Hak Ulayat dianggap sama nilainya
dengan tanah-tanah negara. Jelas hal ini merupakan kerugian bagi
kelompok-kelompok Penduduk Asli setempat kalau tanah-tanah mereka
dikategorikan sebagai tanah-tanah negara.
Menurut Boedi Harsono, pakar hukum agraria, kelompok-kelompok
Penduduk Asli yang tanahnya diserahkan kepada pemegang HGU tidak
selalu harus menyerahkan Hak Ulayatnya kepada Negara. Artinya, Hak
14
Ulayat mereka bisa tetap hidup di atas tanah-tanah yang telah dibebani
HGU itu.
Keterangan semacam ini hanya ingin menghindar secara halus
dari persoalan yang sesungguhnya. Bagaimanapun, di atas areal tanah
yang sama tidak mungkin hidup dua hak sekaligus yaitu Hak Ulayat dan
HGU, kecuali kalau Hak Ulayat itu dianggap sama nilainya dengan Hak
Negara.
Kalau Hak Ulayat sama harganya dengan Hak Negara maka
kelompok-kelompok Penduduk Asli setempat yang dianggap mempunyai
Hak Ulayat tersebut akan dirugikan sebab dengan demikian mereka akan
kehilangan semua hak-hak Adatnya untuk mengurus dan mengatur
pemanfaatan tanah-tanah dan sumber-sumber agraria tersebut. Dengan
menganggap bahwa tanah-tanah Penduduk Asli setempat itu adalah
tanah-tanah Hak Ulayat yang masuk kategori tanah negara, maka negara
mengambil alih semua wewenang untuk mengatur, mengurus dan
mengadakan hubungan-hubungan hukum (antara lain membuat
perjanjian-perjanjian penggunaan tanah) dengan pihak ketiga. Dapat
dipastikan bahwa sengketa-sengketa struktural penguasaan tanah yang
telah terjadi di kalangan Penduduk Asli setempat selama ini merupakan
akibat logis dari penganggapan bahwa tanah-tanah kelompok Penduduk
Asli setempat itu adalah tanah-tanah Hak Ulayat.
Berikut ini beberapa contoh yang dapat dilihat. Kemarahan orang-
orang Asmat di Sawa Erma terhadap praktik PT. Artika Optima Inti yang
15
mengambil kayu-kayu di dusun-dusun sagu mereka tanpa izin para
pemilik dusun membuktikan tiadanya otonomi untuk berunding dengan
pihak perusahaan.
Begitu pula dengan tuntutan-tuntutan orang-orang
Amungme di Kwamki Lama untuk diikutsertakan dalam perundingan dan
pembuatan perjanjian penyewaan tanah dengan PT. Freeport Indonesia,
dengan jelas menunjukkan bukti bagaimana otonomi mereka untuk
membuat hubungan-hubungan hukum dengan pihak ketiga mengenai
penggunaan tanah-tanah dan sumber-sumber agraria sesungguhnya telah
beralih (tanpa mereka sadari) kepada negara.
Strategi membatasi dan mengurangi tidak pernah berubah
sungguhpun kemudian ditambahkan kata pemanis "diakui" dalam
Penjelasan Umum undang-undang itu, sebab pengakuan semacam itu
tidak punya implikasi juridis apapun manakala Pembuat undang-undang
sendiri dalam tafsir resminya secara tersirat menempatkan Hak Ulayat
senilai dengan hak negara.
Selain mengakui Hak Ulayat agar dapat memasukkannya ke dalam
kategori hak negara, Pembuat UUPA mengakui juga adanya suatu Hak
Milik Adat sebagai hak-hak perdata biasa yang dapat dipunyai oleh
Penduduk Asli setempat. Istilah "Hak Milik Adat" secara tersurat tidak
digunakan dalam teks undang-undang itu, tapi secara tak langsung
rumusan Pasal II Ketentuan-ketentuan Konversi itu mengisyaratkan
adanya pengakuan tersebut: "Hak-hak atas tanah yang memberi
16
wewenang sebagaimana atau mirip dengan Hak Milik yang dimaksud oleh
undang-undang ini, seperti: Hak Agrarisch Eigendom, Milik, Yasan,
Andarbeni, Druwe, Druwe Desa, Pesini dan lain-lain hak dengan nama
apapun yang akan ditegaskan lebih lanjut oleh Menteri Agraria, sejak saat
diberlakukannya undang-undang ini akan dikonversi menjadi Hak Milik...".
Istilah "Hak Milik Adat" digunakan untuk menyebut bermacam-
macam hak milik atas tanah baik yang timbul dari tindakan membuka
hutan yang diakui dan dijamin dalam hukum-hukum Adat setempat, yang
diberikan oleh Penguasa-penguasa Pribumi setempat maupun yang
diciptakan oleh Penguasa Hindia Belanda bagi Penduduk Asli dan orang-
orang Timur Asing.
Pengakuan tak langsung akan adanya Hak Milik yang timbul dari
pembukaan hutan primer yang dijamin oleh hukum-hukum Adat setempat
dapat diketahui dari rumusan pasal 22 UUPA. Nama Hak Yasan hanyalah
salah satu contoh yang sudah dikenal oleh Pembuat Undang-undang.
Dalam tradisi masyarakat desa di Jawa Tengah, kalau petani-petani Jawa
membuka hutan primer untuk berladang disitu maka mereka akan
memperoleh Hak Milik atas tanah-tanah yang dibukanya; inilah yang
mereka sebut Hak Yasan.
Pembuat UUPA memberi kesempatan bagi setiap orang yang
memegang Hak Milik Adat di seluruh Indonesia untuk mendaftarkan
haknya dan akan memperoleh sertifikat Hak Milik melalui prosedur
17
Konversi Hak Adat.
Di pulau Jawa, prosedur Konversi Hak Adat
dilaksanakan sebagaimana mestinya hingga saat ini. Tapi hal ini tidak lagi
diindahkan sesudah tahun 1990 di daerah-daerah luar Jawa seperti di
Tinombo, Tomini dan Galela.
Dalam keadaan tanpa keterangan-keterangan tertulis maka perlu
dilakukan suatu tahapan yang disebut "Pengakuan Hak Adat"
yang
partisipatif mendahului prosedur Konversi Hak Adat tersebut. Praktis,
tahapan "Pengakuan Hak Adat" itu selain makan waktu juga memerlukan
kesungguhan, rasa hormat, ketelitian, keahlian dan partisipasi
masyarakat; enam faktor yang biasanya tidak disukai oleh pegawai-
pegawai BPN.
Dari segi kualitas dan nilai hak yang diterima sepintas lalu memang
tidak ada perbedaan antara "Hak Milik Adat" dan "Hak Milik yang berasal
dari tanah Negara". Tapi sebaliknya, dari segi otonomi kelompok yang
semula dijamin oleh hukum-hukum Adat setempat sesungguhnya telah
terjadi pencabutan yang sangat mendasar. Karena bukan saja kelompok-
kelompok Penduduk Asli setempat tidak lagi berkuasa mengurus
penggunaan sumber-sumber agraria yang selama berabad-abad mereka
akui sebagai miliknya, tapi lebih dari itu negara lalu mendapatkan
kewenangan yang luas untuk mengatur penggunaan sumber-sumber
agraria di situ, termasuk wewenang untuk memberikan izin bagi orang-
orang luar seperti perusahaan-perusahaan bermodal besar untuk
18
membuka hutan dengan luasan yang berlipat ganda dari yang mampu
dilakukan oleh penduduk Asli setempat sendiri.
Melihat implikasinya yang mengancam masa depan kehidupan sosial
ekonomi penduduk Asli setempat, patut diduga bahwa ketentuan UUPA
Pasal 22 itu secara sistemik berkait dengan UUPA Pasal 3, yang intinya
melalui undang-undang itu dibuka peluang terjadinya proses yang sah
bagi beralihnya kekuasaan atas tanah dan sumber-sumber agraria dari
Rakyat kepada Negara. Walaupun diakui dan diberi kesempatan untuk
didaftarkan secara resmi sebagai Hak Milik menurut undang-undang,
ancaman hukum yang diarahkan kepada tanah-tanah Hak Milik Adat
relatif besar dan membahayakan karena melalui UUPA suatu Hak Milik
dianggap berakhir bilamana tanahnya ditelantarkan. Walaupun Pembuat
Undang-undang hanya menentukan bahwa sebidang tanah disebut
telantar bilamana dengan sengaja tidak dipergunakan sesuai dengan
keadaan, sifat dan tujuan haknya namun praktik Pemerintah (c.q. BPN)
menganggap perlu adanya suatu pegangan yang lebih riil untuk dapat
menentukan kapan atau setelah berapa lama hak atas tanah-tanah
demikian dapat dianggap hapus. Untuk itu Pemerintah memegang
keputusan Pengadilan, pendapat Penguasa dan Ahli sebagai pedoman.
19
B. Cara Penyalesaian Sengketa Yang Timbul Sebagai Akibat
Pertentangan Hak Adat Dengan Hak Negara Atas Tanah
Keputusan Pengadilan Negeri Padang Lawas di Sumatera Barat
menetapkan bahwa sesuai tradisi setempat sawah-sawah yang
ditinggalkan selama satu tahun akan kembali menjadi Hak Ulayat.
Menurut hukum Adat Sulawesi Selatan, tanah-tanah sawah yang
ditinggalkan selama sepuluh tahun atau lebih, atau bilamana semua
pematang maupun tanda-tandanya telah hilang seluruhnya, dianggap
sudah menjadi tanah liar; sungguhpun demikian kepada orang yang
membukanya pertama diberikan prioritas untuk mengerjakannya kembali
dalam waktu satu tahun. Pegangan yang dibutuhkan oleh Pelaksana
Undang-undang umumnya mengacu pada kebiasaan-kebiasaan
masyarakat setempat yang biasanya telah diatur pula dalam hukum-
hukum Adat di tempat-tempat itu. Selain itu, kebutuhan setempat yang
sifatnya sangat khas juga bisa dijadikan pedoman. Namun praktik
Pemerintah (c.q. BPN) di lapangan, terutama di daerah-daerah luar Jawa,
membuktikan lain. Secara pukul rata BPN Sulawesi Tengah menentukan
bahwa tanah-tanah pertanian yang ditinggalkan selama dua tahun
berturut-turut akan diambil alih menjadi tanah-tanah Negara. Penentuan
batas waktu dua tahun, yang di daerah-daerah dimana masyarakatnya
hidup dalam tradisi persawahan beririgasi dan padat penduduknya
20
dianggap wajar, akan menjadi bumerang bagi masyarakat yang hidup
dalam tradisi perladangan berputar.
Dalam tradisi masyarakat perladangan berputar dikenal suatu sistem
penyuburan alamiah dimana tanah-tanah ladang "dibiarkan/ditinggalkan
untuk beberapa tahun lamanya". Jumlah tanah-tanah yang semula ladang
itu pasti jauh lebih besar dibandingkan ladang-ladang yang tengah
dikerjakan.
Dengan tuduhan menelantarkan tanah dan a-sosial, berjuta-juta
hektar tanah-tanah bekas ladang milik kelompok-kelompok Penduduk Asli
setempat yang tengah disuburkan itu telah beralih secara sah menjadi
tanah-tanah Negara, nyaris tanpa perlawanan. Perlawanan, kalaupun ada,
mungkin baru dimulai manakala diatas tanah-tanah "terlantar" itu diberikan
hak-hak baru seperti HPHTI kepada perusahaan-perusahaan. Sengketa-
sengketa struktural penguasaan tanah yang melibatkan kelompok-
kelompok Penduduk Asli di Lelobatan, Biloe, Gamlaha dan Umaa Telivaq
adalah beberapa contoh dari jenis ini.
Hanya dengan membaca sepintas lalu rumusan UUPA Pasal 5,
banyak orang mempercayai bahwa hukum-hukum Adat tetap diakui
bahkan dijadikan dasar bagi pembentukan UUPA. Sebenarnya
kepercayaan itu sudah ada dan akan tetap ada, juga sekiranya tidak
terdapat rumusan apapun dalam undang-undang, sebab pada dasarnya
masyarakat awam mempercayai itikad baik dari Pembuat Undang-undang.
21
Pada masyarakat yang religius sekaligus naif seperti masyarakat
Indonesia, hukum masih diyakini sebagai sakral dan perpanjangan
perintah Tuhan, sehingga yang bernama hukum dengan sendirinya adil
dan baik. Kekeliruan yang selama ini kita lakukan adalah menafsirkan
kata-kata dalam undang-undang sesuai keinginan dan keyakinan sendiri.
Pembuat Undang-undang bahwa pertumbuhan hukum Adat tidak
terlepas dari pengaruh politik dan masyarakat kolonial yang kapitalistik
dan masyarakat Swapraja yang feodal, Kalau demikian maka hukum-
hukum Adat yang dihidupkan oleh kelompok-kelompok Penduduk Asli
setempat, seperti misalnya hukum Adat Asmat, yang tidak memenuhi
persyaratan terpengaruh politik kolonial, kapitalistik dan feodalistik, tidak
masuk dalam kategori ini.
Umumnya sengketa-sengketa struktural di atas dapat "diselesaikan"
dengan pendekatan-pendekatan khas oleh Pemerintah Daerah dalam
bentuk-bentuk: himbauan kepada perusahaan supaya lebih bermurah hati,
penyadaran kepada masyarakat agar mereka lebih berpartisipasi dalam
pembangunan, janji-janji akan diikutsertakannya mereka ke dalam
perusahaan dan lain-lain, yang intinya mengalihkan perhatian masyarakat
setempat dari pokok persoalannya. Praktis tidak pernah terjadi
penyelesaian sengketa dalam arti kata sebenarnya.
22
BAB IV
PENUTUP
A. KESIMPULAN
1. Bentuk sengketa yang timbul sebagai akibat pertentangan hak adat
dengan hak negara atas tanah adalah sengketa struktural dimana
kelompok-kelompok Penduduk Asli setempat berhadapan dengan
kekuasaan Negara baik sebagai pelaku maupun penjamin (pemberi
hak). Bahwa sengketa-sengketa struktural penguasaan tanah yang
telah terjadi di kalangan Penduduk Asli setempat selama ini merupakan
akibat logis dari penganggapan bahwa tanah-tanah kelompok
Penduduk Asli setempat itu adalah tanah-tanah Hak Ulayat.
2. Cara penyalesaian sengketa yang timbul sebagai akibat pertentangan
hak adat dengan hak negara atas tanah, umumnya “diselesaikan"
dengan pendekatan-pendekatan khas oleh Pemerintah Daerah dalam
bentuk-bentuk: himbauan kepada perusahaan supaya lebih bermurah
hati, penyadaran kepada masyarakat agar mereka lebih berpartisipasi
dalam pembangunan, janji-janji akan diikutsertakannya mereka ke
dalam perusahaan dan lain-lain, yang intinya mengalihkan perhatian
masyarakat setempat dari pokok persoalannya. Praktis tidak pernah
terjadi penyelesaian sengketa dalam arti kata sebenarnya.
23
DAFTAR PUSTAKA
Harsono, Boedi. 2005. Hukum Agraria Indonesia. Penerbit Djambatan.
Jakarta
Sutedi, Adrian. 2009 Tinjauan Hukum Pertanahan. Penerbit Pradnya
Paramita.Jakarta
Sutedi, Adrian. 2007 Peralihan Hak Atas Tanah dan Pendaftarannya.
Penerbit Sinar Grafika. Jakarta
R, Subekti dan Trjitrosudibio, R. 1999. Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata. Penerbit PT. Pradnya Peramita. Jakarta
________. 1994, Hukum Agraria Indonesia (Himpunan Peraturan –
peraturan Hukum Tanah). Djambatan. Jakarta
Santoso Urip. 2005. Hukum Agraria & Hak-Hak Atas Tanah. Prenada
Media. Jakarta
24