23
1. Politik Etis Politik Etis atau Politik Balas Budi adalah suatu pemikiran yang menyatakan bahwa pemerintah kolonial memegang tanggung jawab moral bagi kesejahteraan pribumi . Pemikiran ini merupakan kritik terhadap politik tanam paksa . Munculnya kaum Etis yang di pelopori oleh Pieter Brooshooft (wartawan Koran De Locomotief ) dan C.Th. van Deventer (politikus) ternyata membuka mata pemerintah kolonial untuk lebih memperhatikan nasib para pribumi yang terbelakang. Pada 17 September 1901 , Ratu Wilhelmina yang baru naik tahta menegaskan dalam pidato pembukaan Parlemen Belanda, bahwa pemerintah Belanda mempunyai panggilan moral dan hutang budi (een eerschuld) terhadap bangsa pribumi di Hindia Belanda. Ratu Wilhelmina menuangkan panggilan moral tadi ke dalam kebijakan politik etis, yang terangkum dalam program Trias Van deventer yang meliputi: 1. Irigasi (pengairan), membangun dan memperbaiki pengairan- pengairan dan bendungan untuk keperluan pertanian 2. Emigrasi yakni mengajak penduduk untuk bertransmigrasi 3. Edukasi yakni memperluas dalam bidang pengajaran dan pendidikan Banyak pihak menghubungkan kebijakan baru politik Belanda ini dengan pemikiran dan tulisan-tulsian Van Deventer yang diterbitkan beberapa waktu sebelumnya, sehingga Van Deventer kemudian dikenal sebagai pencetus politik etis ini. Kebijakan pertama dan kedua disalahgunakan oleh Pemerintah Belanda dengan membangun irigasi untuk perkebunan-perkebunan Belanda dan emigrasi dilakukan dengan memindahkan penduduk ke daerah perkebunan Belanda untuk dijadikan pekerja rodi . Hanya pendidikan yang berarti bagi bangsa Indonesia. Pengaruh politik etis dalam bidang pengajaran dan pendidikan sangat berperan sekali dalam pengembangan dan perluasan dunia

Politik Etis

Embed Size (px)

DESCRIPTION

tgs

Citation preview

Page 1: Politik Etis

1. Politik EtisPolitik Etis atau Politik Balas Budi adalah suatu pemikiran yang menyatakan bahwa pemerintah kolonial memegang tanggung jawab moral bagi kesejahteraan pribumi. Pemikiran ini merupakan kritik terhadap politik tanam paksa.

Munculnya kaum Etis yang di pelopori oleh Pieter Brooshooft (wartawan Koran De Locomotief) dan C.Th. van Deventer (politikus) ternyata membuka mata pemerintah kolonial untuk lebih memperhatikan nasib para pribumi yang terbelakang.

Pada 17 September 1901, Ratu Wilhelmina yang baru naik tahta menegaskan dalam pidato pembukaan Parlemen Belanda, bahwa pemerintah Belanda mempunyai panggilan moral dan hutang budi (een eerschuld) terhadap bangsa pribumi di Hindia Belanda. Ratu Wilhelmina menuangkan panggilan moral tadi ke dalam kebijakan politik etis, yang terangkum dalam program Trias Van deventer yang meliputi:

1. Irigasi (pengairan), membangun dan memperbaiki pengairan-pengairan dan bendungan untuk keperluan pertanian

2. Emigrasi yakni mengajak penduduk untuk bertransmigrasi3. Edukasi yakni memperluas dalam bidang pengajaran dan pendidikan

Banyak pihak menghubungkan kebijakan baru politik Belanda ini dengan pemikiran dan tulisan-tulsian Van Deventer yang diterbitkan beberapa waktu sebelumnya, sehingga Van Deventer kemudian dikenal sebagai pencetus politik etis ini.

Kebijakan pertama dan kedua disalahgunakan oleh Pemerintah Belanda dengan membangun irigasi untuk perkebunan-perkebunan Belanda dan emigrasi dilakukan dengan memindahkan penduduk ke daerah perkebunan Belanda untuk dijadikan pekerja rodi. Hanya pendidikan yang berarti bagi bangsa Indonesia.

Pengaruh politik etis dalam bidang pengajaran dan pendidikan sangat berperan sekali dalam pengembangan dan perluasan dunia pendidikan dan pengajaran di Hindia Belanda. Salah seorang dari kelompok etis yang sangat berjasa dalam bidang ini adalah Mr. J.H. Abendanon (1852-1925) yang Menteri Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan selama lima tahun (1900-1905). Sejak tahun 1900 inilah berdiri sekolah-sekolah, baik untuk kaum priyayi maupun rakyat biasa yang hampir merata di daerah-daerah.

Sementara itu, dalam masyarakat telah terjadi semacam pertukaran mental antara orang-orang Belanda dan orang-orang pribumi. Kalangan pendukung politik etis merasa prihatin terhadap pribumi yang mendapatkan diskriminasi sosial-budaya. Untuk mencapai tujuan tersebut, mereka berusaha menyadarkan kaum pribumi agar melepaskan diri dari belenggu feodal dan mengembangkan diri menurut model Barat, yang mencakup proses emansipasi dan menuntut pendidikan ke arah swadaya.

Page 2: Politik Etis

Penyimpangan

Pada dasarnya kebijakan-kebijakan yang diajukan oleh van Deventer tersebut baik. Akan tetapi dalam pelaksanaannya terjadi penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan oleh para pegawai Belanda. Berikut ini penyimpangan penyimpangan tersebut.

Irigasi

Pengairan hanya ditujukan kepada tanah-tanah yang subur untuk perkebunan swasta Belanda. Sedangkan milik rakyat tidak dialiri air dari irigasi.

Edukasi

Pemerintah Belanda membangun sekolah-sekolah. Pendidikan ditujukan untuk mendapatkan tenaga administrasi yang cakap dan murah. Pendidikan yang dibuka untuk seluruh rakyat, hanya diperuntukkan kepada anak-anak pegawai negeri dan orang-orang yang mampu. Terjadi diskriminasi pendidikan yaitu pengajaran di sekolah kelas I untuk anak-anak pegawai negeri dan orang-orang yang berharta, dan di sekolah kelas II kepada anak-anak pribumi dan pada umumnya.

Migrasi

Migrasi ke daerah luar Jawa hanya ditujukan ke daerah-daerah yang dikembangkan perkebunan-perkebunan milik Belanda. Hal ini karena adanya permintaan yang besar akan tenaga kerja di daerah-daerah perkebunan seperti perkebunan di Sumatera Utara, khususnya di Deli, Suriname, dan lain-lain. Mereka dijadikan kuli kontrak. Migrasi ke Lampung mempunyai tujuan menetap. Karena migrasi ditujukan untuk memenuhi kebutuhan akan tenaga kerja, maka tidak jarang banyak yang melarikan diri. Untuk mencegah agar pekerja tidak melarikan diri, pemerintah Belanda mengeluarkan Poenale Sanctie, yaitu peraturan yang menetapkan bahwa pekerja yang melarikan diri akan dicari dan ditangkap polisi, kemudian dikembalikan kepada mandor/pengawasnya.

Dari ketiga penyimpangan ini, terjadi karena lebih banyak untuk kepentingan pemerintahan Belanda.

Kritik

Pelaksanaan politik etis bukannya tidak mendapat kritik. Kalangan Indo, yang secara sosial adalah warga kelas dua namun secara hukum termasuk orang Eropa merasa ditinggalkan. Di kalangan mereka terdapat ketidakpuasan karena pembangunan lembaga-lembaga pendidikan hanya ditujukan kepada kalangan pribumi (eksklusif). Akibatnya, orang-orang campuran tidak dapat masuk ke tempat itu, sementara pilihan bagi mereka untuk jenjang pendidikan lebih tinggi haruslah pergi ke Eropa, yang biayanya sangat mahal.

Ernest Douwes Dekker termasuk yang menentang ekses pelaksanaan politik ini karena meneruskan pandangan pemerintah kolonial yang memandang hanya orang pribumilah yang

Page 3: Politik Etis

harus ditolong, padahal seharusnya politik etis ditujukan untuk semua penduduk asli Hindia Belanda (Indiers), yang di dalamnya termasuk pula orang Eropa yang menetap (blijvers).

2. Pers Membawa Kemajuan

Perkembangan Pers Pada Era Kolonial

A.         Perkembangan Media Massa Pers pada Abad ke-19 .

Pada awal abad ke-19, media massa yang pertama kali muncul pada Era Kolonial Belanda adalah

Bataviasche Kolonial Courant, tetapi pada massa Pemerintahan Inggris diganti dengan surat kabar yang

berbahasa Inggris yaitu Java Government Gazette. Akan tetapi setelah diadakannya Konvensi London

dan Belanda berhasil mendapatkan kembali daerah Koloninya tersebut, surat kabar itu berubah lagi

menjadi Javasche Courant, yang tetap membawa suara

Pemerintah Hindia Belanda.

W. Bruining dari Rotterdam adalah Orang yang pertama kali membawa alat percetakan ke

Indonesia. Pada 1851, Ia berhasil menerbitkan surat kabar mingguan Het Bataviasche Advertentie Blad,

sesuai dengan namanya mingguan itu hanya berisi iklan dan berita-berita umum lain yang dikutip dari

penerbitan resmi yang terbit di Nederland (Staatscourant) dan untuk berita di daerah jajahan dari

Javasche Courant.

Pada tahun 1852, di Betawi muncul surat kabar Java Bode sebagai pengganti Het Bataviasche

Advertentie Blad. Pendirinya adalah W. Bruining dengan bantuan H.M Van Dorp, Van Hazen Noman dan

Kolf. Pada tahun 1857, seluruh perusahaan diambil alih olehVan Dorp, yang mengusahakan edisi

Istimewa untuk diedarkan

di Nederland. Pada akhir tahun 1869, Java Bode menjadi harian.

Saingan Java Bode yang pertama kali ialah Het Algemeen Dagblad voor Nederlandsch Indie yang

didirikan oleh Coenraad Busken Huet, mantan pegawai yang telah habis masa kontraknya dengan Java

Bode.

Adapun surat kabar yang berkembang pada abad ke-19 adalah:

Page 4: Politik Etis

No

.

Daerah Tahun Terbit Surat Kabar

1. Semarang 1851 De Locomotief.

2. Surabaya 1852 Soerabajaasch Handelsblad.

Soerabaja Courant.

3.

Surakarta

1871

Vorstenlanden.

4.

Cirebon

1883

Tjiremai.

5.

Batawi

-

Bataviaasch Nieuwsblad.

Thiemes Adverstentieblad.

6.

Bandung

1895

Page 5: Politik Etis

De Preanger Bode.

7.

Sumatera

1884

1889

Deli Courant.

Sumatra Post.

9.

Palembang

1898

Nieuws en Advertentie blad voor de Residentie Palembang.

Djambi en Banka.

Dari perkembangan pers tersebut, pada mulanya pers terbit sebagai bagian usaha Orang

Belanda dan kemudian menjadi pembawa kepentingan perusahaan perkebunan dan Industri minyak.

Isinya belum mencerminkan persoalan-persoalan politik masa itu, karena memang sejak semula

Pemerintah Hindia Belanda mengatur berita-berita yang tidak berbahaya bagi pemerintahan sendiri.

Pers Belanda sendiri sejak semula merupakan “Pers Resmmi” karena isinya harus disetujui oleh

Pemerintah.

Secara umum dapat dikatakan, isi surat kabar dan Majalah Hindia Belanda berhaluan

Politik Netral. Namun, sejak akhir abad ke-19 mulai kelihatan adanya mingguan yang bercorak dan

berdasar suatu program Politik. Karangan-karangan di Surat Kabar pun mulai bersikap kritis terhadap

politik kolonial Belanda di Indonesia.

Diantara Majalah yang mulai berpolitik antara lain Bondsblad, terbit pertama kali pada tahun

1897. Sebagai pembawa suara Indische Bond, yaitu perkumpulan kaum Indo-Belanda yang

memperjuangkan Hindia Belanda sebagai

Page 6: Politik Etis

Tanah Airnya dan mengusahakan perlakuan yang sama dalam bidang politik bagi Mereka.

B.     Perkembangan Media Massa Pers pada Awal Abad ke-20.

Di Jakarta, pada waktu itu ada Java Bode yang merupakan surat kabar resmi, dan selalu membela

kebijaksanaan Pemerintah. Untuk itu, Java Bode mendapat berita-berita Pemerintah secara khusus,

sehingga merupakan lembaran penerangan bagi apa saja yang terjadi di kalangan Pemerintah tentang

Pengangkatan dan Pemindahan Pegawai, rencana-rencana peraturan Pemerintah,dll.

Pada tahun 1907, E.F.E. Douwes Dekker diangkat menjadi Redaktur Bataviasche Nieuwsblad

menggantikan F.K.H. Zaalberg. Ia seorang Politikus terkemuka sampai masa Republik Indonesia. Douwes

Dekker seorang Wartawan berbakat, Ia memiliki Pikiran yang tajam dan dapat mengolah kesan-kesan

dengan cepat.

Begitu juga dengan Zaalberg, Ia juga merasa Sakit Hati terhadap Negeri Belanda dan

Belanda di Jawa Timur. Pandangannya reaksioner terhadap tumbuhnya pergerakan Nasional. Ia melakukan kritik tajam terhadap kebikaksanaan politik Gubernur Jenderal Idenburg

Orang-Orang Belanda. Pengalamannya di dalam Locomotief memperdalam pengetahuan dan

pengertiannya, dan kesimpulannya bahwa penyebab kemelaratan Kaum Indo ialah tata susunan

Eksploitasi modal kolonial. Oleh karena itu, hubungan kolinial harus dihancurkan.

Pada tahun 1912, Ia mendirikan Indische Partij di Bandung, yang merumuskan program kerja

sama Penduduk Bumiputra dengan kaum Indo dan golongan-golongan lain untuk membina “Bangsa

Hindia” (Indiers).

Sebagai Wartawan, kemampuannya dibuktikan dengan laporannya tentang Pemberontakan Petani

Tanggerang, yang berlatar belakang adanya ketidakadilan dan penindasan di tanah-tanah Partikelir.

Sebab-sebab pemberontakan Petani itu terletak pada tata susunan milik atas tanah-tanah Partikelir

dengan Penduduknya, yang sejak abad ke-18 dijual oleh Gubernur Jenderal Van Imhoff kepada pihak

Partikelir.

Kota kedua yang penting bagi perkembangan Pers Belanda ialah Surabaya tempat terbit Het

Soerabajaasch Handelsblad, yang terutama didukung oleh kaum pengusaha Pabrik Gula

Page 7: Politik Etis

banyak berisi berita-berita yang berasal dari Telegram.

Pada Zaman Gubernur Jenderal J.B. Van Heutsz (1904-1909) pernah didirikan suatu kantor berita

setengah resmi yang berada di dalam sekretariat Umum. Karena sifatnya yang resmi maka kantor berita

itu tidak lama bertahan.

Pada 1 April 1917, di tengah-tengah kecamuk Perang Dunia I, D.W. Beretty Mantan Pegawai

Kantor Telegrap dan pernah bekerja untuk Bataviaasch Nieuwsblad dan Java Bode mendirikan kantor

berita ANETA (Algemeen Nieuws En Telegraaf Agentschap= Keagenan Berita Umum dan Telegraf).

ANETA dalam waktu singkat berkembang menjadi kantor berita atau biro pers yang besar dan

modern, sebagai pusat pengirim dan penerima berita dari berbagai penjuru Dunia. Pada tahun 1920,

ANETA telah mempunyai kantor bertingkat berlantai tiga (kini ditempati Kantor Berita ANTARA) dan

pada tahun 1924 membuka sendiri stasiun Radionya.

ANETA juga menjadi pemegang monopoli dalam penyebaran dan pembagian berita-

Sosialisme merencanakan berbagai Program perbaikan dan perluasan Kota. Kehidupan Politik di Kota itu

memberi warna-wajah surat kabar di Kota itu, baik Surat Kabar Belanda, Melayu-Tionghoa maupun

Indonesia. Dilihat dari sudut perkembangan Pers pada umumnya, proses antar hubungan ketiga Pranata

Komunikasi Masyarakat itu pun sangat penting bagi kesinambungan perkembangan Pers di Indonesia.

C.         Lahirnya Kantor Berita “ANETA” .

Salah satu segi kegiatan penting yang berhubungan dengan surat kabar ialah kehidupan lalu lintas

Telegram. Surat-surat kabar Belanda makin lama makin

berita, terutama karena kedudukannya disokong sepenuhnya oleh Pemerintah Hindia Belanda.

, yang dengan simpatik memperhatikan tumbuhnya Budi Utomo, Sarekat Islam dan Indische Partij.

Kota ketiga yang penting bagi kelahiran Pers Belanda ialah Semarang. Pada awal abad ke-20,

kehidupan Orang-orang Belanda terpusat pada masalah bagaimana membangun Kota Semarang. Kota

Page 8: Politik Etis

Semarang didalam Sejarah Indonesia dikenal pula sebagai tempat lahirnya gagasan Sosialisme. Melalui

kegiatannya dalam Dewan Kotapraja, wakil-wakil penganjur

Perkembanan pers di Indonesia

PERKEMBANGAN PERS DI INDONESIA Oleh: Hendi Harefa

Perkembangan pers di indonesia ini saya ambil dari berbagai sumber yang dapat di percaya Komunikasi merupakan kebutuhan kodrati manusia, sehingga komunikasi cenderung menjadi persyaratan mutlak bagi kemajuannya, baik sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat. Makin maju suatu masyarakat, makin berkembanglah lalu lintas komunikasi.Tatap muka sebagai medium komunikasi tingkat rendah, dirasakan tidak lagi memadai akibat perkembangan masyarakat. Akibat perkembangan itu pula, masyarakat berusaha menemukan instrumen lain untuk media komunikasinya dan di antara media komunikasi itu adalah pers. Menurut Rachmadi bahwa pers lahir dari kebutuhan rohaniah manusia, produk dari kehidupan manusia, produk kebudayaan manusia, adalah hasil dari perkembangan manusia.Keberadaan pers di Indonesia tidak dapat dipisahkan dari hubungan bangsa Indonesia dengan Eropa, khususnya dengan bangsa Belanda. Melalui hubungan itulah, berbagai anasir kebudayaan Barat dapat dikenal di Indonesia termasuk pers. Pengiriman dan penyebaran informasi dalam bentuk jurnal awalnya digunakan oleh VOC untuk menyalurkan dan atau mendapat berita, baik dari Eropa maupun dari pos-pos perdagangan Belanda yang tersebar di Nusantara yang menurut Von Veber telah berlangsung sejak tahun 1615.Hal ini dipertegas oleh Muhtar Lubis dengan mengatakan bahwa pada tahun 1615, J.P. Coen menerbitkan Memorie de Nouvelles, sebuah jurnal cetak yang pertama di Indonesia, memuat berita dan informasi tentang VOC.Sementara surat kabar pertama yang terbit di Indonesia adalah Bataviase Nouvelles tahun 1744 oleh J.E. Jordens.Perancis dan Inggris yang pernah menyelingi kekuasaan pemerintah kolonial Belanda di Indonesia, turut pula menerbitkan surat kabar. Perancis di bawah Daendels menerbitkanBataviasche Zoloniale Courant. Sementara pada masa kekuasaan Inggris menerbitkan surat kabar dengan nama The Java Government Gazette.Setelah kekuasaan Inggris berakhir (1816) di Indonesia, maka surat kabar yang terbit menjadi organ resmi pemerintah Belanda adalah Bataviasche

Courant yang kemudian digantikan olehJavasche Courant.Sampai dengan terbitnya surat kabar ini ada kenampakan bahwa usaha penerbitan masih didominasi oleh pemerintah yang berkuasa. Isinya pun dapat diduga, yaitu hanya memuat berita mengenai kegiatan pemerintah. Memasuki pertengahan abad ke-19, sudah semakin banyak surat kabar terbit di Indonesia. Bahkan kaum Indo-Belanda sudah mengusahakan penerbitan yang diperuntukkan buat kaum pribumi dan peranakan Tionghoa. Sehingga pada masyarakat kolonial sudah dikenal adanya pers yang berbahasa Melayu dan bahasa daerah. Surat kabar pertama berbahasa daerah adalahBromartani yang terbit di Surakarta pada tahun 1855. Selanjutnya surat kabar pertama berbahasa Melayu adalah Soerat Kabar Bahasa Melajoe yang terbit di Surabaya pada tahun 1856.8) Di samping itu, dikenal pula surat kabar yang berbahasa Tionghoa yang menggunakan bahasa campuran antara bahasa

Page 9: Politik Etis

Melayu rendahan dengan dialek Hokkian.Seiring dengan pemberlakuan politik kolonial liberal atau dikenal sebagai politik pintu terbuka (open door policy) tahun 1970, maka dinamika persuratkabaran di Indonesia juga semakin kompleks. Kaum swasta asing Eropa (pengusaha-pengusaha penanam modal di Indonesia) semakin banyak menerbitkan surat kabar. Dalam dekade ini pula (menjelang berakhirnya abad ke-19), terdapat kemajuan di bidang jurnalistik. Kemajuan yang dimaksud adalah semakin banyaknya orang-orang pribumi dan orang-orang peranakan Tionghoa yang terlibat dalam penerbitan pers. Dengan demikian sudah lahir wartawan-wartawan pribumi (Indonesia) yang pertama. Kedudukan orang-orang ini kelak menjadi sangat penting terhadap kelahiran pers nasional. Sementara itu, timbulnya kesadaran kebangsaan (nasionalisme) Indonesia yang dimanifestasikan melalui perjuangan pergerakan nasional, telah memperjelas dan mempertegas adanya surat kabar yang mempunyai wawasan dan orientasi informasi untuk kepentingan perjuangan pergerakan. Surat kabar-surat kabar itulah yang pada gilirannya dikenal sebagai pers nasional atau pers pergerakan. Didalam UU 1945 pasal 6 tahun 1999 tentang pers disebutkan bahwa : 1. Memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui, menegakkan nilai-nilai

dasar demokrasi mendorong terwujudnya kebebasan dan hak asasi manusia serta menghormati ke bhinekaan. 2. Mengungkapkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat dan benar. 3. Melakukan kritik, koreksi dan saran terhadap hal-hal benar dengan kepentingan umum memperjuangkan keadilan Tahap – Tahap Perkembangan PERS di Indonesia 1. Masa Penjajahan Pada masa penjajahan, surat kabar yang dikeluarkan oleh bangsa Indonesia berfungsi sebagai alat perjuangan pers yang menyuarakan kepedihan penderitaan dan merupakan refleksi dari isi hati bangsa yang terjajah. a. Masa Pendudukan Belanda Pada tahun 1615 atas perintah Jan Pieterzoon Coen, yang kemudian pada tahun 1619 menjadi Gubernur Jenderal VOC, diterbitkan “Memories der Nouvelles”, yang ditulis dengan tangan. Dengan demikian, dapatlah dikatakan bahwa “surat kabar” pertama di Indonesia ialah suatu penerbitan pemerintah VOC. Pada Maret 1688, tiba mesin cetak pertama di Indonesia dari negeri Belanda. Atas intruksi pemerintah, diterbitkan surat kabar tercetak pertama dan dalam nomor perkenalannya dimuat ketentuan-ketentuan perjanjian antara Belanda dengan Sultan Makassar. Setelah surat kabar pertama kemudian terbitlah surat kabar yang diusahakan oleh pemilik percetakan-percetakan di beberapa tempat di Jawa. Surat kabar tersebut lebih berbentuk koran iklan Ciri-Ciri pers pada masa belanda : Dibatasi dan Diancam dengan Kitab Undang- Undang Hukum Pidana Persbreidel Ordonantie Haatzai Artikelen Kontrol yang Keras Terhadap Pers b. Masa Pendudukan Jepang Pada masa ini, surat kabar-surat kabar Indonesia yang semula berusaha dan berdiri sendiri dipaksa bergabung menjadi satu, dan segala bidang usahanya disesuaikan dengan rencana-rencana serta tujuan-tujuan tentara Jepang untuk memenangkan apa yang mereka namakan “Dai Toa

Senso” atau Perang Asia Timur Raya. Dengan demikian, di zaman pendudukan Jepang pers merupakan alat Jepang. Kabar-kabar dan karangan-karangan yang dimuat hanyalah pro-Jepang semata. Ciri-Ciri Pers pada Masa Jepang : Penekanan Terhadap Pers Indonesia Bersifat fasis memanfaatkan instrumen untuk menegakan kekusaan pemerintahannya C. Masa Revolusi Fisik Peranan yang telah dilakukan oleh pers kita di saat-saat proklamasi kemerdekaan dicetuskan, dengan sendirinya sejalan dengan perjuangan rakyat Indonesia. Bahkan tidak sedikit dari para wartawan yang langsung

Page 10: Politik Etis

turut serta dalam usaha-usaha proklamasi. Semboyan “Sekali Merdeka Tetap Merdeka” menjadi pegangan teguh bagi para wartawan. Periode tahun 1945 sampai 1949 yang biasa dinamakan periode “revolusi fisik”, membawa coraknya tersendiri dalam sifat dan fungsi pers kita. Dalam periode ini pers kita dapat digolongkan ke dalam dua kategori, yaitu pertama, pers yang terbit dan diusahakan di daerah yang dikuasai oleh pendudukan sekutu, kemudian Belanda, dan kedua pers yang terbit diusahakan di daerah yang dikuasai oleh RI yang kemudian turut bergerilya. Ciri-Ciri Pers Masa Revolusi: Hubungan Pemerintah dan Pers Terjalin Baik Pers Harus Menjaga Kepentingan Publik Pembatasan Pers 2. Masa Revolusi (17 Agustus 1945-1949) Pada masa itu pers dibagi menjadi 2 golongan yaitu pers yang diterbitkan dan di usahakan oleh tentara pendudukan sekutu dan belanda yang selajutnya dinamakan Pers NIKA. Pers yang diterbitkan dan diusahakan oleh bangsa Indonesia yang dinamakan Pers Republik. 3. Masa Demokrasi Liberal (1949-1959)

Pers Nasional saat itu sesuai dengan alam liberal yang sangat menikmati kebebasan Pers. Fungsi Pers pada masa ini adalah sebagai perjuangan kelompok partai atau aliran politik. Dalam aksi-aksi ini peranan yang telah dilakukan oleh pers republik sangat besar. Republik Indonesia Serikat yang tidak sesuai dengan keinginan rakyat akhirnya bubar dengan terbentuknya kembali Negara Kesatuan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1950. Pada masa ini untuk memperoleh pengaruh dan dukungan pendapat umum, pers kita yang pada umumnya mewakili aliran-aliran politik yang saling bertentangan, menyalahgunakan kebebasan pers (freedom of the press), yang kadang-kadang melampaui batas-batas kesopanan. Ciri-Ciiri per Masa Demokrasi Liberal Memberi Perlindungan yang Keras Terhadap Pers Namun dalam Prakteknya Tidak Pembatasan Terhadap Pers Adanya Tindakan Antipers 4. Masa Demokrasi Terpimpin (1959-1966) Pada masa ini, pers menganut konsep Otoriter Pers di beri tugas menggerakkan aksi-aksi masa yang revolusioner dengan jalan memberikan penerangan membangkitkan jiwa dan kehendak masa agar mendukung pelaksanaan manipol dan ketetapan pemerintah lainya. Periode yang terjadi pada masa demokrasi terpimpin sering disebut sebagai zaman Orde Lama. Periode ini terjadi saat terbentuknya Kabinet Kerja yang dipimpin oleh Presiden Soekarno, sebagai tindak lanjut dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 hingga meletusnya Gerakan 30 September 1965. Ciri-Ciri Pers Masa Demokrasi Terpimpin Tidak Adanya Kebebasan Pers Adanya Ketegasan Terhadap Pers Pemerintah Mengontrol Setiap Kegiatan Pers 5. Orde Baru (1966-21 Mei 1998) Pers masa orde baru di kenal dengan istilah Pers Pancasila dan di tandai dengan di keluarkannya undang-undang pokok Pers no 11 tahun 1966. Ketika alam Orde Baru ditandai dengan kegiatan pembangunan di

segala bidang, kehidupan pers kita pun mengalami perubahan dengan sendirinya karena pers mencerminkan situasi dan kondisi dari kehidupan masyarakat di mana pers itu bergerak. Pers sebagai sarana penerangan/komunikasi merupakan salah satu alat yang vital dalam proses pembangunan. Pada masa Orde Baru, ternyata tidak berarti kehidupan pers mengalami kebebasan yang sesuai dengan tuntutan dan aspirasi masyarakat. Terjadinya pembredelan pers pada masa-masa ini menjadi penghalang bagi rakyat untuk menyampaikan aspirasi dan memperjuangkan hak-hak asasinya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Ciri-Ciri Pers Masa Orde Baru Kebebasan Terhadap Pers Pers Masa itu Sangat Buram Berkembangnya Dunia Pers 6. Masa Reformasi (21 Mei 1998-sekarang) Di Era Reformasi, pemerintah mengeluarkan berbagai

Page 11: Politik Etis

undang- undang yang benar-benar menjamin kebebasan Pers. Salah satu jasa pemerintahan B.J. Habibie pasca Orde Baru yang harus disyukuri ialah pers yang bebas. Pemerintahan Presiden Habibie mempunyai andil besar dalam melepaskan kebebasan pers, sekalipun barangkali kebebasan pers ikut merugikan posisinya sebagai presiden. Ciri-Ciri Pers Masa Reformasi Kebebasan Mengeluarkan Pendapat (Pers adalah Hak Asasi Manusia) Wartawan Mempunyai Hak Tolak Penerbit Wajib Memiliki SIUPP Perusahaan Pers Tidak Lagi Melibatkan Diri ke Departemen Penerangan untuk Mendapat SIUPP Kesimpulan: Komunikasi merupakan kebutuhan kodrati manusia, sehingga komunikasi cenderung menjadi persyaratan mutlak bagi kemajuannya, baik sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat. Makin maju suatu masyarakat, makin berkembanglah lalu lintas komunikasi. Akibat perkembangan itu pula, masyarakat berusaha menemukan instrumen lain

untuk media komunikasinya dan di antara media komunikasi itu adalah pers. Dan perkembangan pers di Indonesia dibagi dalam 6 Masa, yaitu: 1. Masa penjajahan 2. Masa Revolusi 3. Masa Demokrasi Liberal 4. Masa Demokrasi Terpimpin 5. Masa Orde Baru 6. Masa reformasi Dan dalam pelaksanaanya memiliki beberapa perbedaan yang disesuaikan dengan ketekntuan dan peraturan yang berlaku.

modernisme dan reformasi islam

Poros Reformisme dan Modernisme Islam di Indonesia

Oleh Dr. H. Shofwan Karim, BA., Drs., MA.       

            Gerakan reformisme dan modernisme Islam abad ke-19, di antaranya  Jamaludin al-Afghani (1839 – 1897), Muhammad Abduh (1849 – 1905) dan Rasyid Ridla (1856 – 1935), hakikatnya merupakan kelanjutan tajdid atau pembaruan  pra-modern sebelumnya seperti  Taqiyudin Ibnu Taimiyah (1263 -1328), Muhammad bin Abdul Wahab (1703 – 1787) Syah Waliyullah (1703 – 1762). Kecuali Syah Waliyullah dari India, semua tokoh tadi, dari  Al-Afghani hingga Abdul Wahab, berada di MENA (Middle East and North Africa). Syah Waliyullah di India.

Modernisme Islam yang timbul di Timur Tengah pada abad ke- 19 tadi, secara umum merupakan reaksi terhadap tantangan Barat sebagai rangsangan ekternal dan kebutuhan objektif internal ummat Islam untuk mengubah kualitas diri untuk kemajuan yang sesuai dengan nilai Islami yang kokoh. Cirinya adalah pencarian nilai-nilai yang dianggap lebih sesuai dengan zaman modern. Reformasi yang bersifat rasionalistis. Percaya pada kemajuan dan pengetahuan. Hidup dengan bekerja rajin dinilai positif. Fatalisme serta pertapaan ditolak. Kaum reformis berusaha membersihkan agama dari segala macam ajaran bid’ah yang dimasukkan  selama berabad-abad dan telah menjadi ketentuan agama yang tetap. Mereka menuntut bagi perorangan hak untuk meneliti tradisi secara kritis menurut wahyu asalnya. Kembali kepada Quran adalah semboyan yang banyak didengungkan. Juga diusahakan dalam kalangan reformis penghayatan  agama yang lebih pribadi daripada upacara agama formal yang telah menjadi kebiasaan.

Page 12: Politik Etis

 

Antara lain diusahakan hal ini tercapai dengan menggantikan penggunaan bahasa Arab dengan bahasa daerah sebagai bahasa peribadatan. Sang reformis  dalam menghadapi kalangan mereka yang berkeyakinan lain senantiasa memperlihatkan toleransi. Reformisme Islam dapatlah dianggap sebagai gerakan emansipasi keagamaan. Sang reformis menginginkan agar agamanya dihargai sepenuhnya oleh Barat (Korver, 1985-2-3), dan tentu saja dapat mengangkat harkat dan martabat umat Islam serta menegakkan Islam yang sesuai dengan setiap wilayah dan zaman.

            Cita-cita reformasi Islam tadi masuk ke Indonesia akhir abad 19 dan awal abad ke-20, secara umum paling tidak  melalui lima poros (jalur). Pertama, melalui masyarakat Arab  yang bermukim di Indonesia. Sekitar tahun 1900, mereka baru sekitar 18 ribu orang. Mereka kebanyakan berasal dari Hadramaut. Sebagian mereka yang datang dari India disebut juga “orang Arab”. Umumnya mereka adalah kaum pedagang. Melalui perkawinan dengan warga Indonesia, mereka menjadi akrab dengan bangsa ini terutama karena kaitan agama. Meskipun begitu dekat dengan masyarakat Indonesia, tetapi mereka tetap mempunyai ikatan kerohanian yang kental dengan negeri asalnya, Arab. Surat-surat kabar dan majalah dari negeri-negeri Timur Tengah banyak dibaca. Demikian pulalah pemikiran-pemikiran reformis Timur Tengah memasuki masyarakat Arab di sini. Di dalam kelompok ini timbul aliran reformis yang berpendapat bahwa kedudukan kaum muslimin harus diperbaiki dan hal ini dapat terjadi dengan baik melalui perbaikan pendidikan.

            Kecenderungan internal memperbaiki kualitas diri melalui pendidikan diiringi pula sentimen kebencian orang Arab itu terhadap sekolah-sekolah rendah Belanda di Indonesia. Emosi instinktif dan faktor eksternal itu semakin mengkristal, maka pada tahun 1905 di Jakarta terbentuk perkumpulan Jamiat Khair (JK) oleh antara lain  dua tokoh, Abubakar bin Ali Syahab dan Idrus bin Ahmad Syahab ditandai dengan berdirinya sebuah sekolah dasar untuk masyarakat Arab.

Perkumpulan ini juga mengirimkan anak-anaknya ke negeri-negeri di Timur Tengah untuk melanjutkan pendidikan. JK adalah organisasi moderen untuk kala itu dengan mempunyai anggaran dasar, anggota yang terdaftar, pengurus yang dipilih dan melakukan pertemuan berkala dengan program kerja yang jelas. Keanggotaan JK  terbuka untuk semua muslim , tetapi tentu saja seperti telah disebutkan, sebagian besar anggotanya adalah orang Arab.

            Sekolah JK ini bersifat modern, mempunyai daftar pelajaran tetap dan bersistem kelas-kelas dan jenjang tahunan. Di samping agama, diajarkan pelajaran-pelajaran “modern” seperti berhitung, sejarah dan ilmu bumi. Guru-gurunya sebagian besar berasal dari Timur Tengah . Akan hal-halnya anak-anak Indonesia, juga dibolehkan bersekolah di sini . Belakangan, JK juga didirikan di luar Jakarta. (Noer, 1980:68-73).

Oleh karena JK, oleh sebagian  masyarakat Arab dianggap terlalu elit dan lebih dominan tergambar sebagai komunitas para habib, maka lahir pula jaringan masyarakat Arab yang lebih egaliter yang menamakan gerakannya dengan al-Irsyad. Perhimpunan Al-Irsyad Al-Islamiyyah (Jam’iyat al-Islah wal Irsyad al-Islamiyyah) berdiri pada 6 September 1914 (15 Syawwal 1332 H). Tanggal itu mengacu pada pendirian Madrasah Al-Irsyad Al-Islamiyyah yang pertama, di

Page 13: Politik Etis

Jakarta. Pengakuan hukumnya sendiri baru dikeluarkan pemerintah Kolonial Belanda pada 11 Agustus 1915. Tokoh sentral pendirian Al-Irsyad adalah Al-’Alamah Syeikh Ahmad Surkati Al-Anshori, seorang ulama besar Mekkah yang berasal dari Sudan.

 

            Kedua, reformisme Islam masuk melalui Minangkabau. Di antara printisnya adalah Syekh Taher Jalaluddin yang sebagian besar usianya di habiskan di luar Sumbar: Timur Tengah dan Malaysia. Majalah bulanannya al-Imam, yang terbit  di Singapura antara 1905-1910, besar pengaruhnya kepada kalangan reformis Minangkabau.  Al- Imam memuat karangan-karangan tentang soal-soal keagamaan, masalah-masalah ilmiah populer, dan peristiwa-peristiwa penting dunia. Majalah itu mempropagandakan perlunya kemajuan masyarakat muslim. Kaum muslim didesak untuk tidak ketinggalan dalam bersaing dengan Barat. Al-Imam dibaca pula di bagian-bagian lain Indonesia. Di Jawa, agen-agen majalah ini terdapat di Jakarta, Semarang dan Surabaya.

            Berikutnuya, tokoh reformis Minangkabau yang banyak terpengaruh oleh Jalaluddin adalah H. Abdullah Ahmad, ia pun aktif dalam bidang pendidikan. Di samping memberikan pelajaran-pelajaran agama, pada tahun 1909 ia mendirikan sekolah dasar di Padang, yaitu sekolah Adabiyah. Sekolah ini terutama dikunjungi oleh anak-anak kaum pedagang Sumatera yang tidak mendapat tempat di sekolah pemerintah. Seperti juga sekolah Jamiat Khair di Jakarta, sekolah Adabiyah bersifat moderen. Selain aktif di bidang pendidikan, Abdullah Ahmad juga giat sebagai penulis. Ia mendirikan majalah Al-Munir (yang diterangi) yang terbit antara 1910-1916 di Padang . Al-Munir bertujuan menyebarkan agama yang “sesungguhnya”, menambah pengetahuan para pembacanya, dan mempertahankan Islam terhadap serangan-serangan luar. Majalah ini memuat karangan-karangan tentang keagamaan. Dikemukakannya pentingnya pengetahuan, manfaat surat kabar dan pentingnya arti perkumpulan serta organisasi. Ia menaruh perhatian kepada peristiwa-peristiwa penting di dunia. Kemudian Abdullah Ahmad pun menjadi redaktur sebuah majalah keagamaan yang dikeluarkan oleh SI (Noer, 1980:4-47, 51-52) .

Berikutnya adalah Syekh Abdul Karim Amarullah atau Haji Rasul (1879-1945) mendirikan organisasi Sendi AmanTiang Selamat (SATS)  di Maninjau sekitar 1915, yang kemudian setelah membawa Muhammadiyah ke Minangkabau, oleh karena idenya banyak yang bersamaan, maka SATS itu tidak aktif lagi seakan melebur menjadio Muhyammadiyah. Tokoh ini kemudian membuka halaqah di Surau jembatan Besi Padangpanjang, kemudian mendirikan Madrasah Thawalib Padangpanjang. Dari situ beliau menggerakan kecintaan ummat kepada Islam dan menggesa ummat untuk memurnikan akidah serta mendorong berfgikir bebas di bawah naungan Quran.

Begitu pula tokoh Syekh  Jamil Jambek, tokoh berikutnya yang lebih giat berdakwah serta menjadi pelanjut Syekh Thaher Jalaluddin dalam keahliannya di dalam ilmu falak. Syekh Muhammad Djamil Djambek (1860 – 1947), adalah satu dari empat  ulama pelopor pembaruan Islam dari Sumatra Barat di awal abad ke-20.

            Ketiga, sejalan dengan arus di atas, cita-cita reformisme dan modernisme masuk ke Indonesia dan selanjutnya dikembangkan oleh organisasi dan persyarikatan masyarakat warga

Page 14: Politik Etis

Indonesia di Jawa seperti Muhammadiyah dan Sarekat Islam (SI). Muhammadiyah didirikan pada 18 November 1912 , 8 Zulhijah 1330 di Yogyakarta oleh H. A Dahlan. Sementara SI didirikan 11 November 1912 di Solo oleh Cokroaminoto. Ahmad Dahlan beberapa lama belajar di Mekah dan di sana ia berkenalan dengan pemikiran reformis Islam yang berkembang di Timur Tengah terutama Mesir, Saudi Arabia dan Turki.

Muhammadiyah bergerak di bidang pendidikan, sosial dan keagamaan. SI bergerak di bidang, agama,  ekonomi,  sosial  dan  politik. Meskipun Muhammadiyah pada masa awal tidak mencampuri urusan politik, tetapi Ahmad Dahlan sendiri di samping pendiri dan penggerak Muhammadiyah juga menjadi anggota Pengurus Besar SI serta berhubungan erat dengan Boedi Oetomo (BO). BO adalah organisasi kebangsaan netral agama yang berdiri pada 20 Mei 1908 oleh para siswa STOVIA yang didorong dan diilhami oleh gagasan dokter Wahidin Sudirohosodo. Keterlibatan Ahmad Dahlan di dalam SI dan BO lebih kepada upaya untuk melanggengkan dakwah Islam yang menjadi dasar gerakan Muhammadiyah. Salah satu kegiatan awal Muhammadiyah adalah mendirikan sekolah dasar modern dalam gaya sekolah JK dan sekolah Adabiyah di Padang . Sesudah tahun 1917 Muhammadiyah meluas ke luar Jawa dan berangsur-angsur tumbuh menjadi satu organisasi yang terbesar di Indonesia (Korver, 1985:5) .

Kempat, kelanjutan dari jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII & XVIII. Teorinya merupakan pembahasan oleh Azyumardi Azra. Selanjutnya, jaringan Ulama di Nusantara Abad ke-19. Banyak ulama berpengalaman yang hidup di abad XIX, yang berjuang mengembangkan Islam di Indonesia. Ahmad Khatib Al-Minangkabawi misalnya. Imam Besar Masjid al-Haram ini merupakan inspirator semua ulama baik yang belakangan disebut kaum modernisme maupun tradisionalisme. Semua tokoh  gerakan modern Islam di Minangkau di atas merupakan muridnya. Begitu pula di Jawa, Ahmad Dahlan  yang melahirkan Muhammadiyah dan Hasyim Asy’ari yang mendirikan Nahdhatul Ulama. Yang lain,  Muhammad Nawawi (Banten); Diponegoro, Ahmad Rifa’I (Jawa Tengah)’ Khalil (Madura); dan Arsyad al-Banjari (Kalimantan).

 

Sebagaimana jaringan ulama pada abad sebelumnya, maka jaringan ulama pada sekitar abad ke-19 pun tak bisa dilepaskan dari peran timur tengah seperti Mekah di Jazirah Arab dan Mesir mengingat adanya keterkaitan yang erat antara pemikiran para ulama di wilayah tersebut dengan murid muridanya dari nusantara yang belajar di wilayah tersebut.

Kelima, interaksi antara masyarakat dan dunia media cetak dan buku-buku. Di peralihan abad 19 ke 20, lalu lintas bacaan itu cukup intensif masuk ke Indonesia. Bahkan bukan saja dari Timur Tengah, sewaktu Abduh berada di Paris, Majalah Al-Urwatul Wustqa juga masuk ke Indonesia. Penerbitan buku dan jurnal dari Timur Tengah, melalui jaringan ulama di atas tadi dan orang-rang pulang dari ibadah haji, diperkirakan pula membawanya ke Indonesia. Adanya surat dari Abdullah Ahmad kepada Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi pada tahun 1903 yang mempertanyakan Tarikat Nasqsyabandiyah dan masalah-masalah lain yang berkembang di Indonesia, dijawab oleh Ahmad Khatib dengan jurnal dan buku. Di Minangkabau waktu itu banyak penerbitan lain selain Al-Munirul Manar yang menyebar dan menjadi bacaan di berbagai

Page 15: Politik Etis

wilayah Nusantara. Ini tak kalah pentingnya di dalam menggesa reformisme dan modernism Indonesia.

 Dari kelima poros reformisme dan modernisme tadi, maka perkembangan pemikiran moderen Islam di Indonesia tumbuh dan berkembang ke berbagai wilayah dan merambah ke berbagai aspek Islam dan modernisme. Sebagai basis kawasan tetap saja di Minangkabau dan Jawa . Sementara aspek substantif gerakan,  seakan terjadi keterpaduan antara gerakan keagamaan, sosial, pendidikan, politik dan ekonomi. Bersamaan dengan itu respon dari golongan yang  merasa tidak nyaman dengan reformisme tadi, terutama reformisme bidang keagamaan mengakibatkan muncul pula  golongan yang mapan yang menyatu ke dalam pelapisan sosial keagamaan yang disebut oleh Deliar Noer sebagai golongan tradisional. Yaitu mereka yang memegang teguh tradisi keagamaan sebagaimana yang telah turun temurun dari para ulama klasik serta para imam mazhab secara umum baik dari segi teologis, tasawuf, tarekat,  syariat dan fikih.

            Maka di ladang panorama perkembangan pemikiran Islam di Indonesia bagai air bah menjalar ke mana-mana  dalam dua poros yaitu poros modernisme dan poros tradisionalisme. Pada poros tradisionalisme lahir Nahdatul Ulama (NU)  di Surabaya tahun  1926. Di Sumatera lahir Persatuan Tarbiyah Islamiah 30 Mei 1928 di Bukittinggi. Kemudian Jamaah Alwashliyah di Medan. Tentu saja tak bisa dilupakan, kaum penganut Tarekat berbagai aliran terutama Syatariayh dan Naqsyabandiyah serta bebeberapa aliran lain tetap eksis di berbagai wilayah. Respon terhadap modernisme tadi bukan saja datang dari kalangan tradisionalis, tetapi juga dari kalangan lain yang melihat bahwa SI, Muhamadiyah dan JK tidak cukup sebagai kancah gerakan. Boleh jadi karena ketiga komponen tadi kurang reformis dan kurang murni kembali kepada al-Quran dan sunnah, atau karena menganggap bahwa memunculkan yang baru lebih afdhal dari pada menggunakan kapal lama untuk gerakannya. Di Minangkabau, misalnya, sebelum Muhammadiyah masuk ke sini tahun 1925, sudah ada gerakan pemurnian Islam yang reformistis yang membelah  wacana intelektual dan sosio-religius dalam dikhotomis gerakan Kaum Muda dan Kaum Tua . Di Jawa setelah JK yang dianggap lebih dominan dikemudikan oleh kalangan Sayid, mengakibatkan kalangan lain yang bukan Sayid mendirikan  Jami’at al-Islam wa Al-Irsyad al-Arabiya disingkat Al-Irsyad pada tahun 1913 di Jakarta oleh Ahmad Syurkati (lh. 1872) (Noer, Ibid: 73-74). Kemudian berdiri pula Persyarikatan Ulama di Majalengka, Jawa Barat  th 1911 atas inisiatif Haji Abdul Halim (lh. 1887) (Noer, Ibid: 80)Sebuah organisasi yang lebih ketat di dalam soal kembali kepada Qur’an dan Sunnah shahihah  berdiri pula di Bandung tahun 1923 dengan nama Persatuan Islam (Persis) oleh dua orang pedagang yang mempunyai pengatehuan  agama luas Haji Zamzami  dan Haji Muhammad Yunus. (Noer, Ibid: 96)

KEPUSTAKAAN

Korver, APE. 1985. Sarekat Islam Gerakan Ratu Adil. Jakarta: Grafiti pers.

Nagazumi, Akira. 1989. Bangkitnya Nasionalisme Indonesia: Budi Utomo 1908-1918.

Jakarta: Grafitipers.

Page 16: Politik Etis

Noer, Deliar. 1980. Gerakan Moederen Islam di Indonesia 1900-1942. Jakarta: LP3ES.

Sejak akhir 1940-an tanggal 20 Mei diperingati sebagai hari kebangkitan nasional. Hal itu telah menimbulkan polemik pro dan kontra.  Prof. Dr. Harsya W Bachtiar, salah seorang di antaranya menganggap hari lahir BO itu tidak laik dijadikan dasar untuk Hari Kebangkitan Nasional. Sebab, menurut Harsya, BO lebih ditujukan untuk menaikkan taraf hidup orang jawa dan Madura dari pada mewujudkan Kesatuan Indonesia (Nagazumi, 1989: v).