Upload
duongkhanh
View
223
Download
9
Embed Size (px)
Citation preview
1
POLA PENGELOLAAN HUTAN RAKYAT PADA LAHAN KRITIS (Studi Kasus di Kecamatan Pitu Riawa Kabupaten Sidrap Sulawesi Selatan)
Oleh :
Nur Hayati
Ringkasan
Penelitian ini dilakukan terhadap anggota Kelompok Tani Hutan ”Bulu Dua” yang mengelola hutan rakyat di Desa Lasiwala, Kecamatan Pitu Riawa Provinsi Sulawesi Selatan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pola pengelolaan lahan kritis bersama masyarakat pada areal hutan rakyat. Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara langsung dengan menggunakan kuisioner. Data yang telah dikumpulkan kemudian ditabulasi, dianalisis dan dibahas dengan metode analisis deskriptif kualitatif dan kuantitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pola pengelolaan hutan rakyat dilakukan dalam bentuk monokultur tanpa tanaman pendamping. Anggota kelompok tani pada umumnya mempunyai kebun di luar kawasan hutan Gmelina yang dikelola secara terpisah berupa kebun coklat, jambu mete dan kelapa. Untuk menambah sumber pendapatan selain dari sektor kehutanan, rata-rata petani memiliki lahan pertanian atau empang ikan yang dikelola secara terpisah di luar kawasan hutan rakyat atau bekerja di luar sektor kehutanan dan pertanian. Struktur organisasi kelompok tani termasuk dalam kategori organisasi modern. Adanya wadah kelompok tani ini semakin mempermudah pemerintah daerah, dalam hal ini Dinas Kehutanan Kabupaten Sidrap, BP DAS Jeneberang Walanae dan LSM Yagrobitama, untuk melakukan koordinasi dengan para petani khususnya dalam melakukan pembinaan. Dampak lingkungan yang dirasakan oleh masyarakat dengan adanya program hutan rakyat adalah lingkungan (iklim mikro) yang lebih baik, tidak ada tanah gersang dan lahan kering yang berupa alang-alang, erosi dan tanah longsor.
Kata kunci : pengelolaan, hutan rakyat, lahan kritis
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Terjadinya eksploitasi yang berlebihan terhadap sumberdaya hutan menyebabkan
sumberdaya hutan tidak mampu memberikan manfaat yang optimal, karena kerusakan
dan menurunnya produktifitas. Salah satu alternatif pemecahannya adalah melakukan
pembangunan hutan tanaman di dalam kawasan hutan yang tidak produktif, atau
pembangunan hutan rakyat. Hutan rakyat atau hutan hak adalah hutan alam atau hutan
tanaman yang berada di luar kawasan hutan negara yang telah dibebani hak milik secara
sah sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku (Bupati Sidrap, 2003).
2
Hutan rakyat mempunyai peran positip baik secara ekonomi maupun secara
ekologi. Secara ekonomi hutan rakyat dapat meningkatkan pendapatan, penyediaan
lapangan kerja, dan memacu pembangunan daerah. Sedangkan dari aspek ekologi hutan
rakyat mampu berperan positip dalam mengendalikan erosi dan limpasan permukaan,
memperbaiki kesuburan tanah, dan menjaga keseimbangan tata air.
Program hutan rakyat jenis Gmelina di Sulawesi Selatan khususnya yang dilakukan
di Dusun Makkoring Desa Lasiwala Kecamatan Pitu Riawa Kabupaten Sidrap merupakan
inisiatif pemerintah melalui program pengembangan hutan rakyat pada lahan kritis. Hal
ini disebabkan di wilayah tersebut terdapat hampir 250 hektar lahan kritis yang terletak
di hulu DAS Bila. Melihat kenyataan tersebut, perlu kiranya mengetahui pola
pengelolaan hutan rakyat bersama masyarakat pada lahan kritis yang dianggap telah
berhasil sehingga dapat dijadikan acuan dan pembelajaran dalam rangka menghijaukan
kembali lahan-lahan kritis di Indonesia.
B. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pola pengelolaan hutan rakyat pada
lahan kritis bersama masyarakat.
II. METODE PENELITIAN
A. Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian dilaksanakan pada bulan Desember 2003 di Desa Lasiwala, Kecamatan
Pitu Riawa, Kabupaten Sidrap Sulawesi Selatan. Lokasi ini merupakan lahan marjinal
yang dikelola atas inisiatif masyarakat. Penentuan lokasi penelitian dilakukan dengan
cara disengaja (purposive). Kriteria lokasi yang dipilih adalah kecamatan/desa yang
mempunyai areal hutan di luar kawasan negara.
3
B. Pengumpulan Data
Data yang dikumpulkan adalah data primer dan data sekunder. Data primer
diperoleh melalui observasi dan wawancara langsung dengan warga masyarakat, tokoh
masyarakat, aparat desa dan lain-lain. Pengambilan sampel responden dilakukan secara
acak terhadap anggota kelompok tani Bulu Dua. Sedangkan data sekunder diperoleh dari
Dinas Kehutanan Kabupaten Sidrap, kantor BPS Sidrap, kecamatan Pitu Riawa dan desa
Lasiwala, dan beberapa literatur yang relevan dengan penelitian ini.
C. Pengolahan Data
Data yang telah dikumpulkan kemudian ditabulasi, dianalisis dan dibahas dengan
metode analisis deskriptif kualitatif dan kuantitatif. Analisis deskriptif kualitatif adalah
analisis penjelasan untuk data-data kualitatif. Sedangkan analisis deskriptif kuantitatif
adalah analisis penjelasan untuk data-data yang bersifat kuantitatif dengan cara tabulasi
sesuai dengan tujuan penelitian yang ingin dicapai.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Letak dan Luas
Desa Lasiwala merupakan salah satu desa di Kecamatan Pitu Riawa Kabupaten
Sidrap, Propinsi Sulawesi Selatan. Desa ini terletak kira-kira 18 km dari ibukota
kabupaten dengan luas wilayah 11,17 Km2. Kondisi topografi kecamatan Pitu Riawa 53%
keadaan tanahnya datar, 35% berbukit dan bergunung 12%. Di Desa Lasiwala
topografinya 75% datar dan 25% berbukit dengan ketinggian < 500 meter dpl. Luas
kawasan hutan rakyat di kecamatan Pitu Riawa seluas 8.013,1 Ha. Sedangkan luas lahan
kritis di luar kawasan hutan di kecamatan Pitu Riawa sebesar 2.210 Ha. Lokasi desa ini
bertipe iklim F (kering), dengan bulan basah terjadi antara bulan Oktober – Januari,
sedang bulan kering terjadi antara bulan Februari – Agustus. Curah hujan lokasi ini
adalah 76,8 mm/th.
4
2. Sarana dan Prasarana
Sarana transportasi angkutan yang ada di Desa Lasiwala yaitu mobil penumpang
umum, mobil angkutan umum, sepeda motor dan sepeda. Alat tranportasi yang umum
digunakan 80% adalah sepeda. Selain itu transportasi menuju desa ini juga cukup sulit.
Sarana jalan di Dusun Makkoring desa Lasiwala sepanjang 4 km yang berupa jalan tanah
setapak. Jadi sarana jalan tergolong sangat kurang. Namun fasilitas lainnya agak baik,
karena terdapat sekolah dasar, tempat ibadah, sarana olah raga dan sarana kesehatan.
3. Kependudukan
Desa Lasiwala termasuk dalam klasifikasi desa swakarya yang dihuni sebanyak
1.226 orang, dengan kepadatan 110 per km2. Tingkat pendidikan masyarakat cukup baik
karena 42,2% (517 orang) lulus SD, 231 orang (18,8%) lulus SMP, 4,8% (59 orang)
tamat SLTA atau sederajat, 0,04% (4 orang) tamat perguruan tinggi dan 33,8% (415
orang) belum sekolah/tidak tamat SD.
Mata pencaharian masyarakat desa ini sebagian besar 50,1% bekerja sebagai
petani, 1,7% peternak, 34,7% sektor perkebunan, 2,9% pedagang, 1,8% bekerja di sektor
industri, 1,7% transportasi, 3,5% pegawai negeri dan 3,8% bekerja di sektor lainnya.
Jumlah rata-rata tanggungan keluarga yang mengelola hutan rakyat sebanyak tiga orang.
4. Sejarah Hutan Rakyat
Areal tanaman ini semula berupa padang alang-alang yang merupakan lahan Hak
Guna usaha (HGU) yang tidak dikelola. Pada tahun 1996 seorang tokoh masyarakat
berinisiatif untuk mengelola lahan tersebut untuk dijadikan lahan perkebunan dengan cara
mengajak masyarakat sekitar untuk mau menghijaukan lahan tersebut. Setelah melihat
keberhasilan tokoh masyarakat tersebut dalam mengubah lahan ilalang menjadi lahan
yang lebih produktif, maka pemerintah dalam hal ini BRLKT pada tahun 1999
memberikan bantuan bibit Gmelina untuk areal seluas 148 ha. Bibit tanaman tersebut
ditanam oleh masyarakat pada tahun 2000. Salah satu syarat agar masyarakat dapat
menggarap lahan negara ini adalah harus ada suatu kelembagaan yang berbentuk
kelompok tani. Maka pada bulan September 2000 dibentuklah Kelompok Tani.
5
Bantuan yang diberikan berupa bibit Gmelina sebanyak 200.000 batang, jambu
serta bibit tanaman lain seperti mete, sukun, mangga, coklat, gamal dan palawija yang
diserahkan kepada kelompok tani desa Lasiwala. Setiap anggota berhak mengelola lahan
seluas maksimal 1 hektar/KK. Masyarakat beranggapan bahwa lahan tersebut akhirnya
akan menjadi hak milik, sehingga mereka datang ke lokasi tersebut untuk ikut
berpartisipasi, walaupun sebenarnya mereka bukan penduduk setempat. Karena hutan
Gmelina yang dikelola oleh rakyat baru berumur 3 tahun dan belum bisa dipetik hasilnya,
maka sumber mata pencaharian utama adalah berladang di sawah sendiri atau bekerja di
sektor lain di luar lokasi hutan rakyat Gmelina ini. Dengan demikian perekonomian
mereka sudah tercukupi, dan hutan Gmelina mereka anggap sebagai tabungan di masa
depan.
Dampak lingkungan dengan adanya program hutan rakyat ini adalah masyarakat
merasakan lingkungan (iklim mikro) yang lebih baik, tidak ada tanah gersang dan lahan
kering yang berupa alang-alang, erosi dan tanah longsor. Disamping itu keberadaan hutan
rakyat ini mengakibatkan terciptanya sumber-sumber air yang dimanfaatkan oleh
penduduk untuk mencukupi kebutuhan air setiap harinya dan biasa digunakan untuk
memelihara ikan.
5. Pola Pengelolaan Hutan Rakyat
Sistem penanaman Gmelina (Gmelina arborea) yang dilakukan adalah dengan
cara menamam ulang semua tanaman dengan tanaman baru. Metode penanaman
beraturan dengan jarak 3 x 3 m. Jenis tanaman pokok yang diusahakan adalah Gmelina
(Gmelina arborea). Pengelolaan hutan rakyat di Desa Lasiwala dilakukan dalam bentuk
monokultur tanpa tanaman pendamping. Umur pengelolaan lahan hutan Gmelina di desa
Lasiwala ini hampir 7 tahun sedangkan umur pengelolaan Gmelina sendiri baru berumur
tiga tahun dengan keliling pohon masih relatif kecil berkisar antara 20 cm – 40 cm.
Sehingga dari segi finansial petani belum memperoleh pendapatan dari penjualan
tanaman Gmelina ini. Umur produktif daur dari hutan Gmelina sekitar 10 – 15 tahun
sudah masak tebang dan bisa dipakai untuk bahan baku kayu pertukangan maupun
bangunan, sedangkan pada umur kurang lebih 8 tahun sangat baik digunakan sebagai
bahan baku pulp dan kertas.
6
Anggota kelompok tani pada umumnya mempunyai kebun di luar kawasan hutan
Gmelina yang dikelola secara terpisah berupa kebun coklat, jambu mete dan kelapa.
Untuk menambah sumber pendapatan selain dari sektor kehutanan, rata-rata petani
memiliki lahan pertanian atau empang ikan yang dikelola secara terpisah di luar kawasan
hutan rakyat atau bekerja di luar sektor kehutanan dan pertanian (misalnya : pedagang,
pegawai negeri, buruh pabrik dan lain-lain). Hal ini disebabkan tanaman kehutanan
memiliki daur produksi yang cukup lama yaitu berkisar antara 8 – 15 tahun dan ini
merupakan tabungan (saving) jangka panjang yang diharapkan (espected value) diperoleh
oleh masyarakat.
Hasil yang dikelola di luar hutan rakyat ini umumnya untuk dikonsumsi sendiri
(subsisten) sedangkan hasil dari tanaman tahunan umumnya dijual ke pasar (komersial)
untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Dari segi ekonomi tanaman tahunan seperti
coklat yang sudah berumur 4 tahun dalam sebulan dapat dipanen dua kali dengan hasil
sebesar 300 kg per panen dan harga jual Rp. 10.000/kg. Sedangan jambu mete yang
berumur 7 tahun dapat dipanen tiga kali setahun dengan hasil 60 kg per panen dan harga
jual Rp. 6000/kg. Berikut ini beberapa jenis-jenis tanaman semusim yang dibudidayakan
oleh masyarakat dan merupakan bantuan dari BP DAS Jeneberang Walanae pada tahun
2001-2002 :
kakkao55%
lombok8%
pisang33%
kacang hijau0%
jagung1%
ubi kayu3%
Gambar 1. Jenis tanaman sela
7
Rata-rata pemilikan lahan berkisar antara 0,5 - 4 Ha. Berikut ini komposisi luas
kepemilikan lahan anggota kelompok tani :
< 1 Ha20%
>2 Ha4%
1 - 2 Ha76%
Gambar 2. Komposisi kepemilikan lahan
Dari gambar tersebut diketahui bahwa rata-rata luas kepemilikan lahan anggota
kelompok tani berkisar antara 1-2 hektar. Sedangkan tataguna lahan di Kecamatan Pitu
Riawa menunjukkan bahwa 38% lahan digunakan untuk hutan rakyat dan 29%
merupakan tanah sawah. Berikut ini komposisi tataguna lahan yang terdapat di
Kecamatan Pitu Riawa :
19%
6% 38%
29% 4%
0%
2% 2%
Tanah sawah Tegalan PekaranganPerkebunan Padang Rumput Kolam TambakHutan Rakyat Lainnya
Gambar 3. Komposisi tataguna lahan di Kecamatan Pitu Riawa
8
Jumlah keluarga yang terlibat dalam kegiatan hutan rakyat Gmelina ini sebanyak
100 KK dari 271 jumlah KK (37%). Mayoritas usia anggota kelompok tani yang terlibat
dalam kelompok tani Bulu Dua merupakan usia produktif dengan kisaran usia responden
antara 20– 70 tahun. Prosentase penduduk dengan pendidikan minimal populasi sebesar
5% (63 orang lulusan SMU). Dari hasil wawancara 90% responden merupakan penduduk
asli setempat sedangkan sisanya merupakan pendatang. Rata-rata jumlah tanggungan
keluarga tiga orang. Berikut komposisi umur anggota kelompok tani yang terlibat dalam
pengelolaan lahan hutan rakyat tersebut :
36-50 th27%
20-35 th50%
>66 th8%51-65 th
15%
Gambar 4. Komposisi umur anggota Kelompok Tani Bulu Dua
6. Kelembagaan
Kelembagaan untuk mengelola hutan rakyat Gmelina di Desa Lasiwala yaitu
Kelompok Pelestarian Sumber Daya Alam “ Bulu Dua” dengan jumlah anggota pada
awal berdirinya tahun 2000 sebanyak 84 orang sedangkan sekarang sudah bertambah
menjadi sekitar 100 orang. Kelompok tani ini dibentuk dengan tujuan untuk mencari
jalan keluar yang cepat dan tepat dalam memecahkan permasalahan, kesepakatan
bersama dalam mengatasi masalah bersama, serta berbagi pengalaman mengenai
masalah pertanian secara umum maupun kehutanan.
Struktur organisasinya termasuk dalam kategori organisasi modern. Tata
hubungan antar pengurus dan anggota kurang berfungsi karena kesibukan masing-masing
dalam mengurus lahan pertaniannya (sawah). Anggota kelompok tani adalah penduduk
9
sekitar dan di dalam hutan yang masuk secara aktif dengan melakukan pendaftaran.
Berikut ini bagan struktur organisasi Kelompok Tani Bulu Dua :
Gambar 5. Struktur organisasi Kelompok Tani Bulu Dua
Pergantian pengurus dalam kelompok tani belum pernah terjadi, karena dianggap
bahwa pengurus belum ada penggantinya. Aturan organisasi bersifat formal karena aturan
dan sanksi-sanksi sudah tertulis, dengan peran dan tanggungjawab yang jelas. Adapun
peran dari masing-masing pengurus adalah sebagai berikut : (a) pelindung berperan
melindungi organisasi, yang bertindak sebagai pelindung adalah Dinas Kehutanan Sidrap,
(b) pembina berperan melaksanakan pembinaan terhadap kelompok tani baik teknik
maupun non teknis, yang bertindak sebagai pembina adalah BP DAS Jeneberang dan
LSM Yagrobitama, (c) ketua berperan mengkoordinasi kegiatan-kegiatan kelompok,
dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya ketua kelompok dibantu oleh
sekretaris dan bendahara kelompok. Selain itu ada peraturan tidak tertulis yang telah
Ketua
Pembina
Pelindung
Sekretaris Bendahara
Anggota
10
disepakati, yaitu apabila lahan hutan tidak dikelola dengan baik selama tiga bulan maka
luas lahan tersebut dikurangi 0,5 ha. Kemudian bila masih tidak dikelola, petani tersebut
dikeluarkan dari keanggotaan dan dicabut hak pengelolaannya. Sebaliknya apabila petani
mampu mengelola lahan hutannya dengan baik dalam jangka waktu tiga bulan maka luas
lahan yang diberikan kepadanya, dapat ditambah menjadi dua hektar atau sesuai
kemampuannya.
Adanya wadah kelompok tani semakin mempermudah pemerintah daerah, dalam
hal ini adalah Dinas Kehutanan Kabupaten Sidrap, BP DAS Jeneberang Walanae dan
LSM Yagrobitama, untuk melakukan koordinasi dengan para petani khususnya dalam
kegiatan pembinaan. Disamping itu dari segi sosial budaya adanya kelompok tani
mampu menciptakan suasana ”gotong-royong” diantara anggotanya secara intern dan
dengan warga desa secara ekstern.
Pengembangan kelompok tani dilakukan melalui kegiatan pelatihan/kursus
pengelolaan hutan rakyat yang diselenggarakan oleh instansi terkait (lebih dari satu kali
dalam setahun). Pertemuan rutin kelompok tani dilaksanakan dua kali dalam sebulan
untuk membahas pelaksanaan, perkembangan hutan rakyat, evaluasi kendala-kendala
yang dihadapi masyarakat secara langsung di lapangan, dan didiskusikan bersama-sama
untuk mencari solusi yang tepat. Pemerintah daerah mendukung pengembangan hutan
rakyat, melalui pemberian bibit unggul setempat seperti Gmelina dalam pelaksanaan
program penangananan lahan kritis.
Hutan rakyat di Kabupaten Sidrap telah diatur dalam PERDA No. 3 tahun 2003
tentang izin pengelolaan/ pemanfaataan hutan rakyat. Izin pengelolaan hutan rakyat
dimaksudkan sebagai upaya untuk melindungi dan mengembangkan hutan rakyat sesuai
dengan fungsinya. Sedangkan izin ini bertujuan untuk memberikan wewenang kepada
pemegang izin untuk melaksanakan eksploitasi kayu yang meliputi penebangan,
penyaradan, pengumpulan dan pengangkutan. Disamping itu setiap pemegang izin
dilarang :
1) menebang atau memungut kayu melebihi target dan waktu yang ditentukan dalam
izin;
2) memungut atau menerima kayu dari luar areal yang telah ditentukan dalam izin dan
11
3) menebang pohon pada areal yang dilindungi sebagaimana yang diatur dalam
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Desa Lasiwala mempunyai aturan tertulis (legal) maupun tidak tertulis yang
merupakan hasil kesepakatan (konvensi) warga masyarakatnya. Semua peraturan itu
mendukung pelaksanaan hutan rakyat desa tersebut. Sedangkan beberapa program
diantaranya program Pengembangan Rehabilitasi Hutan dan Lahan (Program Reboisasi)
pemerintah yang berkaitan dengan bidang kehutanan sangat mendukung program
penghijauan lahan kritis yang ada di desa Lasiwala.
IV. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
1. Jenis tanaman pokok yang diusahakan di hutan rakyat desa Lasiwala adalah
Gmelina (Gmelina arborea) dengan pola monokultur tanpa tanaman pendamping.
2. Organisasi kelompok tani memiliki struktur organisasi modern. Adanya wadah
kelompok tani ini semakin mempermudah Dinas Kehutanan Kabupaten Sidrap, BP
DAS Jeneberang Walanae dan LSM Yagrobitama, untuk melakukan koordinasi
dengan petani khususnya dalam melakukan pembinaan.
3. Dampak lingkungan yang dirasakan oleh masyarakat dengan adanya program hutan
rakyat adalah terciptanya lingkungan (iklim mikro) yang lebih baik, tidak ada tanah
gersang dan lahan kering berupa alang-alang, erosi dan tanah longsor, tercipta
sumber-sumber air yang dimanfaatkan oleh penduduk untuk mencukupi kebutuhan
air setiap harinya dan digunakan untuk memelihara ikan.
B. Saran
1. Perlunya upaya penanaman kembali lahan-lahan kritis (lahan tidur) yang belum
dimanfaatkan oleh masyarakat melalui pendekatan social forestry sehingga dapat
meningkatkan pendapatan masyarakat dan hutan lestari.
2. Perlunya pemberdayaan masyarakat (empowering) melalui Kelompok Tani Hutan
sehingga sumberdaya yang ada dapat dimanfaatkan secara optimal.
12
DAFTAR PUSTAKA
Bupati Sidrap, 2003. Peraturan Daerah Kabupaten Sidenreng Rappang Nomor 3 tahun 2003 tentang Izin pengelolaan/pemanfaatan hutan rakyat. Sidrap.
BPS. 2003. Kabupaten Sidrap dalam angka 2002. Sidrap. BPS. 2003. Kecamatan Pitu Riawa dalam angka 2002. Sidrap.