PJBL KEL 4 KITA

Embed Size (px)

DESCRIPTION

PJBL kelompok kita cetar ulala

Citation preview

75

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Manusia sebagai pribadi maupun makhluk sosial akan saling berkomunikasi dan saling mempengaruhi satu sama lain dalam hubungan yang beraneka ragam, dengan gaya dan cara yang berbeda pula. Komunikasi merupakan dasar dari seluruh interaksi antar manusia . Interaksi manusia baik antara perorangan, kelompok maupun organisasi tidak mungkin terjadi tanpa komunikasi. (Jean, 2007) Begitupun dalam interaksi keluarga, baik antar pribadi anggota keluarga, orang tua dengan anak maupun dengan keluarga yang lain sebagai perorangan, kelompok maupun sebagai keluarga itu sendiri.

Berdasarkan uraian diatas maka perlu adanya pemahaman lebih lanjut terkait penerapan komunikasi yang baik dalam keluarga, didukung dengan pengetahuan tentang sumber kekuatan dan penanaman nilai untuk mewujudkan keluarga sehat secara utuh serta mekanisme koping yang efektif dalam penyelesaian masalah. Pembahasan inilah yang dituangkan dalam materi pengajaran blok Family Health and Illness.

1.2 Rumusan Masalah

Identifikasi dan jelaskan topik-topik sebagai berikut:1. Pola dan proses komunikasi dalam kelurga

a. Definisi komunikasi

b. Elemen komunikasi keluarga

c. Prinsip-prinsip komunikasi keluarga

d. Saluran komunikasi keluarga

e. Proses komunikasi keluarga yang baik

f. Proses komunikasi keluarga yang tidak baik

g. Pola komunikasi dalam keluarga yang baik

h. Pola komunikasi dalam keluarga yang tidak baik

i. Faktor yang mempengaruhi pola komunkasi dalam keluarga

j. Proses keperawatan (pengkajian(intervensi)

2. Kekuatan dan pengambilan keputusan dalam kelurga

a. Konsep kekuatan dalam keluarga

b. Variable yang mempengaruhi kekuatan dalam keluarga

c. Klasifikasi struktur kekuatan keluarga

d. Kekuatan dalam kelurga sehat

e. Kekuatan dalam keluarga tidak sehat

f. Proses keperawatan (pengkajian(intervensi)

3. Nilai-nilai dalam keluarga

a. Pengertian nilai

b. Macam-macam sistem nilai

c. Nilai umum keluarga

d. Faktor yang mempengaruhi nilai keluarga

e. Proses keperawatan (pengkajian(intervensi)

4. Stres, koping, dan adaptasi keluarga

a. Konsep dasar stres dan koping

b. Tahapan stres dan strategi koping

c. Stresor dalam keluarga

d. Strategi koping keluarga

e. Koping disfungsional dalam keluarga

f. Faktor yang mempengaruhi koping keluarga

g. Proses keperawatan (pengkajian(intervensi)

1.3 Tujuan

Mengidentifikasi dan menjelaskan topik-topik sebagai berikut:

2. 1. Pola dan proses komunikasi dalam kelurga

a. Definisi komunikasi

b. Elemen komunikasi keluarga

c. Prinsip-prinsip komunikasi keluarga

d. Saluran komunikasi keluarga

e. Proses komunikasi keluarga yang baik

f. Proses komunikasi keluarga yang tidak baik

g. Pola komunikasi dalam keluarga yang baik

h. Pola komunikasi dalam keluarga yang tidak baik

i. Faktor yang mempengaruhi pola komunkasi dalam keluarga

j. Proses keperawatan (pengkajian(intervensi)

2. Kekuatan dan pengambilan keputusan dalam kelurga

a. Konsep kekuatan dalam keluarga

b. Variable yang mempengaruhi kekuatan dalam keluarga

c. Klasifikasi struktur kekuatan keluarga

d. Kekuatan dalam kelurga sehat

e. Kekuatan dalam keluarga tidak sehat

f. Proses keperawatan (pengkajian(intervensi)

3. Nilai-nilai dalam keluarga

a. Pengertian nilai

b. Macam-macam sistem nilai

c. Nilai umum keluarga

d. Faktor yang mempengaruhi nilai keluarga

e. Proses keperawatan (pengkajian(intervensi)

4. Stres, koping, dan adaptasi keluarga

h. Konsep dasar stres dan koping

i. Tahapan stres dan strategi koping

j. Stresor dalam keluarga

k. Strategi koping keluarga

l. Koping disfungsional dalam keluarga

m. Faktor yang mempengaruhi koping keluarga

n. Proses keperawatan (pengkajian(intervensi)

1.4 Manfaat

a. Bagi keluarga

Mengetahui dan memahami cara berkomunikasi dalam keluarga yang baik, kekuatan keluarga untuk membentuk keluarga yang sehat, penanaman nilai-nilai dalam keluarga, dan mekanisme koping yang tepat dalam penyelesaian masalah dalam keluarga.

b. Bagi pemerintah

Memberikan rekomendasi untuk mengoptimalkan program pemerintah dalam mewujudkan keluarga sehat secara utuh baik secara fisik maupun psikis.

c. Bagi penulis

Memaksimalkan peran penulis sebagai mahasiswa yang merupakan agent of change yang berusaha memberikan respon terhadap permasalahan di masyarakat salah satunya dalam komunitas keluarga. Selain itu juga dapat meningkatkan pengetahuan dan pemahaman terhadap materi kuliah dalam blok The Family in Health and Illness.BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pola Dan Proses Komunikasi Dalam Kelurga2.1.1 Definisi KomunikasiMenurut Rae Sedwig (1985), komunikasi keluarga adalah suatu pengorganisasian yang menggunakan kata-kata, sikap tubuh (gesture), intonasi suara, tindakan untuk menciptakan harapan image, ungkapan perasaan serta saling membagi pengertian (Dikutip dari Achdiat, 1997).

Menurut Mc Cubbin dan Dahl (1985), komunikasi adalah proses tukar menukar perasaan, keinginan, kebutuhan-kebutuhan dan opini-opini.

Menurut Galvin dan Brommel (1986), komunikasi keluarga sebagai suatu proses simbolik transaksional untuk menciptakan dan mengungkapkan pengertian dalam keluarga.

Komunikasi adalah proses penyampaian gagasan, harapan dan pesan yang disampaikan melalui lambang tertentu yang mengandung arti ,dilakukan oleh penyampai pesan (sumber, komunikator sendiri) ditujukan kepada penerima pesan (receiver,komunikan, audience). Komunikasi dalam interaksi keluarga penyampai pesan dapat ayah, ibu, orang tua, anak , suami, isteri , mertua, kakek, nenek. Begitupun sebagai penerima pesan. Pesan yang disampaikan dapat berupa informasi, nasihat, petunjuk, pengarahan, meminta bantuan .Komunikasi yang terjadi dalam keluarga merupakan komunikasi yang unik. Komunikasi yang terjadi dalam keluarga melibatkan paling sedikit dua orang yang mempunyai sifat, nilai-nilai, pendapat, sikap, pikiran dan perilaku yang khas dan berbeda-beda (Friedman, 1998).Dengan demikian, komunikasi dapat diartikan sebagai segala perilaku yang berupa proses pertukaran, simbolik transaksional, atau berbagi makna melalui berbagai upaya untuk menyampaikan pesan.

2.1.2 Elemen Komunikasi Keluarga Source (sumber)

Source atau sumber adalah seseorang yang membuat keputusan untuk berkomunikasi. Sering disebut juga pengirim (sender), penyandi (encoder), komunikator, pembicara (speaker).

The message (pesan)

Pesan adalah apa yang dikomunikasikan oleh sumber kepada penerima. Pesan merupakan seperangkat simbol verbal maupun nonverbal yang berisi ide, sikap dan nilai komunikator. Pesan mempunyai tiga komponen yaitu 1) makna, 2) simbol yang digunakan untuk menyampaikan makna, dan 3) bentuk atau organisasi pesan.

The channel (saluran)

Saluran adalah alat atau wahana yang digunakan sumber untuk menyampaikan pesannya kepada penerima.

The receiver (penerima)

The receiver atau penerima adalah orang yang menerima pesan. Penerima sering juga disebut sasaran/tujuan (destination), komunikate (communicatee), penyandi-balik (decoder) atau khalayak (audience), pendengar (listener), atau penafsir (interpreter).

Barriers (hambatan)

Hambatan adalah faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya kesalahan pemaknaan pesan yang komunikator sampaikan kepada penerima. Hambatan ini bisa berasal dari pesan, saluran, dan pendengar. Beberapa buku menggunakan istilah noise untuk menyebut elemen pengganggu, yang diartikan sebagai gangguan (disturbance/ interference) dalam proses komunikasi. External noise meliputi latar belakang pembicaraan, lingkungan, dan teknis saluran. Sedangkan internal noise meliputi aspek psikologi peserta komunikasi maupun aspek semantik. Misalnya sebuah kata yang mengandung arti ambiguitas.

Hambatan komunikasi :

Perbedaan Persepsi

Permasalahan Bahasa

Kurang mendengarkan

Perbedaan Emosional

Perbedaan latar belakang

FeedbackFeedback adalah reaksi dan respons pendengar atas komunikasi yang komunikator lakukan. Feedback bisa dalam bentuk komentar langsung atau tertulis, surat, atau public opinin polling. Feedback juga berperan sebagai pengatur (regulator). Feedback mengontrol atau mengatur aksi komunikasi kita. Feedback negatif misalnya berupa kritikan, atau penolakan. Contohnya, Bisakah Anda diam?. Feedback positif misalnya berupa pujian.

The situation (situasi)

Situasi adalah salah satu elemen paling penting dalam proses komunikasi pidato (speech communication). Situasi atau keadaan selama komunikasi berlangsung berpengaruh terhadap mood pembicara maupun pendengar, saluran/ media yang dipakai, dan feedback audience.

Menurut Liliweri (2007) menjelaskan bahwa komunikasi sebagai aktifitas memiliki beberapa unsur diantaranya :

a. Pengiriman (sender) atau sumber (resource) yaitu individu, kelompok, atau organisasi yang berperan untuk mengalihkan (transferring) pesan. b. Encoding, pengalihan gagasan ke dalam pesan. c. Pesan (message), gagasan yang dinyatakan oleh pengirim kepada orang lain. d. Saluran (media), merupakan tempat dimana sumber menyalurkan pesan kepada penerima, misalnya melalui gelombang suara, cahaya atau halaman cetak. e. Decoding, pengalihan pesan kedalam gagasan. f. Penerima (receiver), individu atau kelompok yang menerima pesan.g. Umpan balik (feed back), reaksi terhadap pesan. h. Gangguan (noise), efek internal atau eksternal akibat dari peralihan pesan. i. Bidang pengalaman (field of experience), bidang atau ruang yang menjadi latar belakang informasi dari pengiriman maupun penerima. j. Pertukaran makna (shared meaning), bidang atau ruang pertemuan (tumpang tindih) yang tercipta karena kebersamaan. k. Lingkungan komunikasiLingkungan komunikasi memiliki 3 dimensi, yaitu :

1) Fisik, adalah ruang dimana komunikasi berlangsung di ruang yang nyata atau berwujud.

2) Sosial-psikologis, meliputi, misalnya tata hubungan status di antara mereka yang terlibat, peran yang dijalankan orang, serta aturan budaya masyarakat dimana mereka berkomunikasi.

3) Temporal (waktu), mencakup waktu dalam hitungan jam, hari, atau sejarah dimana komunikasi berlangsung.2.1.3 Prinsip-Prinsip Komunikasi Keluarga

Watzlawick dan rekan (1967), dalam tulisan seminar mereka tentang komunikasi keluarga, Pragmatis of Human Communication, menetapkan enam prinsip komunikasi yang menjadi dasar untuk memahami proses komunikasi. Prinsip-prinsip komunikasi tersebut adalah:

1. Prinsip pertama dan yang paling terpenting

Yaitu suatu pernyataan bahwa tidak mungkin untuk tidak berkomunikasi, karena semua prilaku adalah komunikasi. Pada setiap situasi ketika terdapat dua orang atau lebih, individu mungkin atau tidak mungkin berkomunikasi secara verbal. Dalam konteks ini, komunikasi nonverbal merupakan ekspresi tanpa bahasa seperti membalikkan badan atau mengerutkan kening, tapi bukan merupakan bahasa isyarat.

2. Prinsip kedua

Komunikasi mempunyai dua tingkat yaitu informasi (isi) dan perintah (instruksi). Isi yaitu apa yang sebenarnya sedang dikatakan (bahasa verbal) sedangkan instruksi adalah menyampaikan maksud dari pesan (Goldenberg,2000). Isi suatu pesan dapat saja berupa pernyataan sederhana, tetapi mempunyai meta-pesan atau instruksi bergantung pada variabel seperti emosi, dan alur bicara, gerakan dan posisi tubuh serta nada suara

3. Prinsip ketiga

Berhubungan dengan pemberian tanda baca (pungtuasi) atau rangkaian komunikasi. Komunikasi melibatkan transaksi, dan dalam pertukaran tiap respon berisi komunikasi berikutnya, selain riwayat hubunbgan sebelumnya (Hartman & Laird, 1983). Komunikasi melayani sebagai suatu organisasi yang mempunyai tujuan dan proses penataan diri dalam keluarga.

4. Prinsip keempat

Diuraikan oleh Watzlick dan rekannya (1979) yaitu terdapat dua tipe komunikasi yaitu digital dan analogik. Komunikasi digital adal;ah komunikasi verbal ( bahasa isyarat) yang pada dasrnya menggunakan kata dengan pemahaman arti yang sama. Jenis komunikasi yang kedua, analogik yaitu ide atau suatu hal yang dikomunikasikan, dikirim secara nonverbal dan sikap yang representative (Hrtman & Laird, 1983). Komunikasi analogik dikenal sebagai bahasa tubuh, ekspresi tubuh, ekspresi wajah, irama dan nada kata yang diucapkan (isyarat) berbagai manifestasi nonverbal lainnya (non-bahasa) yang dapat dilakukanolehseseorang. 5. Prinsip kelima

Diuraikan oleh kelompok yang sama dari beberapa ahli teori komunikasi keluarga (Watzlick, Beavin, & Jackson, 1967) yang disebut prinsip redundasi (kemubaziran). Prinsip ini merupakan dasr pengembangan penelitian keluarga yang menggunakan keterbatasan pengamatan interaksi keluarga sehingga dapat memberikan penghayatan yang valid kedalampolaumumkomunikasi6. Prinsip keenam

Diuraikan oleh Batson dan rekan (1963) adalah semua interaksi komunikasi yang simetris atau komplementer. Pola komunikasi simetris, prilaku pelaku bercermin pada prilaku pelaku interaksi yang lainnya. Dalam komunikasi komplementer, prilaku seorang pelaku interksi melengkapi prilaku pelaku interaksi lainnya. Jika satu dari dua tipe komunikasi tersebut digunakan secara konsisten dalam hubungan keluarga, tipe komunikasi ini mencerminkan nilai dan peran serta pengaturan kekuasaan keluarga.

2.1.4 Saluran Komunikasi KeluargaMenurut cara penyampaian informasi dapat dibedakan menjadi (Widjaja,H.A.W,2000), yaitu:a. Komunikasi lisan

Komunikasi lisan adalah komunikasi yang terjadi secara langsung dan tidak dibatasi oleh jarak, dimana dua belah pihak dapat bertatap muka, Misalnya dialog dua orang, wawancara maupun rapat dan sebagainya. Komunikasi tersebut terjadi secara tidak langsung karena dibatasi oleh jarak, misalnya komunikasi lewat telepon clan sebagainya.

b. Komunikasi Tertulis

Komunikasi Tertulis adalah komunikasi yang dilaksanakan dalam bentuk surat dan dipergunakan untuk menyampaikan berita yang sifatnya singkat, jelas tetapi dipandang perlu untuk ditulis dengan maksud-maksud tertentu. Contoh-contoh komunikasi tertulis ini antara lain:

1) Naskah, yang biasanya dipergunakan untuk menyampaikan berita yang bersifat komplek.

2) Blangko-blangko, yang dipergunakan untuk mengirimkan berita dalam suatu daftar.

3) Gambar clan foto, karena tidak dapat dilukiskan dengan kata-kata atau kalimat.

4) Spanduk, yang biasa dipergunakan untuk menyampaikan informasi kepada banyak orang.

Saluran / alur / rute yang digunakan oleh informasi untuk mencapai penerima. Beberapa faktor yang mempengaruhi :

Lingkungan

Media

Human error

Time (waktu)2.1.5 Proses Komunikasi Keluarga Yang BaikMenurut sebagian besar terpi keluarga, komunikasi fungsional dipandang sebagia landasan keberhasilan, keluarga yang sehat (Watzlick & Goldberg, 2000) dan komunikasi fungsional didefinisikan sebagai pengiriman dan penerima pesan baik isi maupun tingkat instruksi pesan yang lansung dan jelas (Sells,2003), serta sebagai sasaran antara isi dan tingkat instruksi. Dengan kata lain komunikasi fungsional dan sehat dalam suatu keluarga memerlukan pengirim untuk mengirimkan maksud pesan melalui saluran yang reltif jelas dan penerima pesan mempunyai pemahaman arti yang sama dengfan apa yang dimaksud oleh pengirim (Sells, 2003). Proses komunikasi fungsional terdiri dari beberapa unsur, antara lain :1. Pengiriman FungsionalSatir (2007) menjelaskan bahwa pengiriman yang berkomunikasi secara fungsional dapat menyatakan maksudnya dengan tegas dan jelas, mengklarifikasi dan mengualifikasi apa yang ia katakan, meminta umpan balik dan terbuka terhadap umpan balik.a. Menyatakan kasus dengan tegas dan jelasSalah satu landasan untuk secara tegas menyatakan maksud seseorang adalah penggunaan komunikasi yang selaras pada tingkat isi dan instruksi (Satir,2007).b. Intensitas dan keterbukaan.Intensitas berkenaan dengan kemampuan pengirim dalam mengkomunikasikan persepsi internal dari perasaan, keinginan,dan kebutuhan secara efektif dengan intensitas yang sama dengan persepsi internal yang dialaminya. Agar terbuka, pengirim fungsional menginformasikan kepada penerima tentang keseriusan pesan dengan mengatakan bagaimana penerima seharusnya merespon pesan tersebut.c. Mengklarifikasi dan mengualifikasi pesanKarakteristik penting kedua dari komunikasi yang fungsional menurut Satir adalah pernyataan klarifikaasi daan kualifikaasi. Pernyataan tersebut memungkinkan pengirim untuk lebih spesifik dan memastikan persepsinya terhadap kenyataan dengan persepsi orang lain.d. Meminta umpan balikUnsur ketiga dari pengirim fungsional adalah meminta umpan balik, yang memungkinkan ia untuk memverifikasi apakah pesan diterima secara akurat, dan memungkinkan pengirim untuk mendapatkan informasi yang diperlukan untuk mengklarifikasi maksud.e. Terbuka terhadap umpan balikPengirim yang terbuka terhadap umpan balik akan menunjukkan kesediaan untuk mendengarkan, bereaksi tanpa defensive, dan mencoba untuk memahami. Agar mengerti pengirim harus mengetahui validitas pandangan penerima. Jadi dengan meminta kritik yang lebih spesifik atau pernyataan memastikan, pengirim menunjukkan penerimaannya dan minatnya terhadap umpan balik.2. Penerima FungsionalPenerima fungsional mencoba untuk membuat pengkajian maksud suatu pesa secara akurat. Dengan melakukan ini, mereka akan lebih baik mempertimbangkan arti pesan dengan benar dan dapat lebih tepat mengkaji sikap dan maksud pengirim, serta perasaan yang diekspresikan dalam metakomunikasi. Menurut Anderson (2002), penerima fungsional mencoba untuk memahami pesan secara penuh sebelum mengevaluasi.ini berarti bahwa terdapat analisis motivasi dan metakomunikasi, serta isi. Informasi baru, diperiksa dengan informasi yang sudah ada, dan keputusan untuk bertindak secara seksama dioertimbangkan. Mendengar secara efektif, member umpan balik, dan memvalidasi tiga tekhnik komunikasi yang memungkinkan penerima untuk memahami dan merespons pesan pengirim sepenuhnya.a. Mendengarkan (aktif/pasif)

Kemampuan untuk mendengar secara efektif merupakan kualitas terpenting yang dimiliki oleh penerima fungsional. Mendengarkan secara efektif berarti memfokuskan perhstisn penuh pada seseorang terhadap apa yang sedang dikomunikasikannya dan menutup semua hal yang aakan merusak pesan. Penerima secara penuh memperhatikan pesan lengkap dari pengirim bukan menyalahartikan arti dari suatu pesan.

Pendengar pasif merespons dengan ekspresi datar dan tampak tidak peduli sedangkan pendengar aktif dengan sikap mengomunikasikan secara aktif bahwa ia mendengarkan. Mengajukan pertanyaan merupakan bagian penting dari mendengarkan aktif (Gottman, Notarius, Gonso dan Markman, 1977). Mendengarkan secara aktif berarti menjadi empati, berpikir tentang kebutuhan, dan keinginan orang lain, serta menghindarkan terjadinya gangguan alur komunikasi pengirim.

b. Memberikan umpan balik

Karakteristik utam kedua dari penerima funbgsional adalah memberikan umpan balik kepada pengirim yang memberitahu pengirim bagaimana penerima menafsirkan pesan. Pernyataan ini mendorong pengirim untuk menggali lebih lengkap. Umpan balik juga dapat melalui suatu proses keterkaitan, yaitu penerima membuat suatu hubungan antara pengalaman pribadi terdahulu (Gottman et.al, 1877) atau kejadian terkait dengan komunikasi pengirim.

c. Memberi validasiDalam menggunakan validasi penerima menyampaikan pemahamannya terhadap pemikiran dan perasaan pengirim. Validasi tidak berarti penerima setuju dengan pesan yang dikomunikasikan pengirim, tetapi menunjukan penerimaan atas pesan tersebut berharga.2.1.6 Proses Komunikasi Keluarga Yang Tidak Baik1. Pengirim DisfungsionalKomunikasi pengirim disfungsional sering tidak efektif pada satu atau lebih karakteristik dasar dari pengirim fungsional. Dalam menyatakan kasus, mengklarifikasi dan mengkulifikasi, dalam menguraikan dan keterbukaan terhadap umpan balik. Penerima sering kali ditinggalkan dalam kebingungan dan harus menebak apa yang menjadi pemikiran atau perasaan pengirim pesan. Komunikasi pengirim disfungsional dapat bersifat aktif atau defensif secara pasif serta sering menuntut untuk mendapatkan umpan balik yang jelas dari penerima. Komunikasi yang tidak sehat terdiri dari :a. Membuat asumsiKetika asumsi dibuat, pengim mengandalkan apa yang penerima rasakan atau pikiran tentang suatu peristiwa atau seseorang tanpa memvalidasi persepsinya. Pengirim disfungsional biasanya tidak menyadari asumsi yang mereka buat, ia jarang mengklarifikasi isi atau maksud pesaan sehingga dapat terjadi distorsi pesan. Apabila hal ini terjadi, dapat menimbulkan kemarahan pada penerima yang diberi pesan, yang pendapat serta perasaan yant tidak dianggap.b. Mengekspresikan perasaan secara tidak jelasTipe lain dari komunikasi disfungsional oleh pengirim adalah pengungkapan perasaan tidak jelas, karena takut ditolak, ekspresi perasaan pengirim dilakukan dengan sikap terselubung dan sama sekali tertutup. Komunikasi tidak jelas adalah sangat beralasan (Satir, 1991) apabila kata-kata pengirim tidak ada hubunganya dengan apa yang dirasakan. Pesan dinyatakan dengan cara yang tidak emosional. Berdiam diri merupakan kasus lain tentang pengungkapan perasaan tidak jelas. Pengirim merasa mudah tersinggung terhadap penerima yang tetap tidak mengungkapkan kemarahannya secara terbuka atau mengalihkan perasaannya ke orang atau benda lain.c. Membuat respon yang menghakimiRespon yang menhakimi adalah komunikasi disfungsional yang ditandai dengan kecenderungan untuk konstan untuk menbgevaluasi pesan yang menggunakan system nilai pengirim. Pernyataan yang menghakimi selalu mengandung moral tambahan. Pesan pernyataan tersebut jelas bagi penerima bahwa pengirim pesan mengevaluasi nilai dari pesan orang lain sebagai benar, atau salah, baik atau buruk, normal atau tidak normal.d. Ketidakmampuan untuk mendefinisikan kebutuhan sendiriPengirim disfungsional tidak hanya tidak mampu untuk menekspresikan kebutuhangnya. Namun juga karena takut ditolak menjadi tidak mampu mendefenisikan prilaku yang ia harapkan dari penerima untuk memenuhi kebutahan mereka.sering kali pengirim disfungsiopnal tidak sadar merasa tidak berharga, tidak berhak untuk mengungkapkan kebutuhan atau berharap kebutuhan pribadinya akan dipenuhi.e. Komunikasi yang tidak sesuaiPenampilan komunikasi yang tidak sesuai merupakan jenis komunikasi yang disfungsional dan terjadi apabila dua pesan yang bertentangan atau lebih secara serentak dikiri (Goldenberg, 2000). Penerima ditinggalkan dengan teka-teki tentang bagaimana harus merespon. Dalam kasus ketidaksesuaian pesan verbal dan nonverbal, dua atau lebih pesan literal dikirim secara secara serentak bertentangan satu sama lain. Pada ketidaksesuaian verbal nonverbal pengirim mengkomunikasikan suatu pesan secara verbal, namun melakukan metakomunikasi nonverbalyang bertentangan dengan pesan verbal. Ini biasanya diketahuinsebagai pesan campuran, misalnya saya tidak marah pada anda diucapakan dengan keras, nada suara tinggi dengan tangan menggempal.2. Penerima DisfungsionalJika penerima disfungsional, terjadi komunikasi yang terputus karena pesan tidak diterima sebagaimana dimaksud, karena kegagalan penerima untuk mendengarkan, atau menggunakan diskualifikasi. Merespon secara ofensif, gagal menggali pesan pengirim, gagal memvalidasipesan, merupakan karakterstik disfungsional lainnya.a. Gagal untuk mendengarkanDalam kasus gagal untuk mendengarkan, suatu pesan dikirim, namun penerima tidak memperhatikan atau mendengarkan pesan tersebut. Terdapat beberapa alasan terjadinya kegagalan untuk mendengarkan, berkisar dari tidak ingin memerhatikan hingga tidak memiliki kemampuan untuk mendengarkan. Hal ini biasanya terjadi karena distraksi, seperti bising, waktu yang tidak tepat, kecemasan tinggi, atau hanya karena gangguan pendengaran.b. Menggunakan diskualifikasiPenerima disfungsional dapat menerapkan pengelakkan untuk mendiskualifikasi suatu pesan dengan menghindari isu penting. Diskualifikasi adalah respon tidak langsung yang memungkinkan penerima untuk tidak menyetujui pesan tanpa memungkinkan penerima untuk tidak menyetujui pesan tanpa benar-benar tidak menyetujuinya.c. MenghinaSikap ofensif komunikasi menunjukkan bahwa penerima pesan bereaksi secara negatif, seperti sedang terancam. Penerima tampak bereaksi secara defensif terhadap pesan yang mengasumsikan sikap oposisi dan mengambil posisi menyerang. Pernyataan dan permintaan dibuat dengan konsisten dengan sikap negatif atau dengan harapan yang negatif.d. Gagal menggali pesan pengirimUntuk mengklarifikasi maksud atau arti dari suatu pesan, penerima fungsional mencari penjelasan lebih lanjut. Sebaliknya, penerima disfungsional menggunkan respon tanpa menggali, seperti membuata asumsi , memberikan saran yang prematur, atau memutuskan komunikasi.e. Gagal memvalidasi pesanValidasi berkenaan dengan penyampaian penerimaan penerima. Oleh karena itu, kurangnya validasi menyiratkan bahwa penerima dapat merespon secara netral atau mendistorsi dan menyalahtafsirkan pesan. Mengasumsikan bukan mengklarifikasi pemikiran pengirim adalah suatu contoh kurangnya validasi.3. Pengirim dan Penerima DisfungsionalDua jenis urutan interaksi komunikasi yang tidak sehat, melibatkan baik pengirim maupun penerima, juga secara luas didiskusikan dalam literatur komunikasi. Komunikasi yang tidak sehat merupakan kominikasi yang mencerminkan pembicaraan parallel yang menunjukan ketidakmampuan untuk memfokuskan pada suatu isu.Dalam pembicaran parallel, setiap individu dalam interaksi secara konstan menyatakan kembali isunya tanpa betul-beetul mendengarkan pandangan orang lain atau mengenali kebutuhan orang lain. Orang yang berinteraksi disfungsional, mungkin tidak mampu untuk memfokuskan pada satu isu. Tiap individu melantur dari satu isu ke isu lain bukannya menyelesaikan satu masalah atau meminta suatu pengungkapan.2.1.7 Pola Komunikasi Dalam Keluarga Yang Baik1. Berkomunikasi Secara Jelas dan SelarasPola sebagian keluarga yang sehat, terdapat keselarasan komunikasi diantara anggota keluarga. Keselarasan merupakan bangunan kunci dalam model komunikasi dan pertumbuhan menurut satir. Keselarasan adalah suatun keadaan dan cara berkomunikasi dengan diri sendiri dan orang lain. Ketika keluarga berkomunikasi dengan selarad terdapat konsistensi dengan selaras terdapat konsistensi anatara tingkat isi dan instruksi kominikasi. Apa yang sedang diucapkan, sama dengan isi pesan. Kat-kata yang diucapkan, perasaan yang kita ekspresikan, dan prilaku yang kita tampilkan semuanya konsisten. Komunikasi pada kelurga yang sehat merupakan suatu proses yang sangat dinamis dan saling timbal balik. Pesan tidak hanya dikirim dan diterima.2. Komunikasi EmosionalKomunikasi emosional berkaitan dengan ekspresi emosi dan persaan dari persaan marah, terluka, sedih, cemburu hingga bahagia, kasih sayingdan kemesraan (Wright & Leahey, 2000). Pada keluarga fungsional perasaan anggota keluarga ddiekspresikan. Komunikasi afektif pesan verbal dan nonverbal dari caring, sikapfisik sentuhan, belaian, menggandeng dan memandang sangat penting, ekspresi fisik dari kaisih saying pada kehidupan awal bayi dan anak-anak penting untuk perkembangan respon afektif yang normal. Pola komunikasi afeksi verbal menjadi lebih nyata dalam menyampaikan pesan afeksional, walaupun pola mungkin beragam dengan warisan kebudayaan individu.3. Area Komunikasi Yang Terbuka dan Keterbukaan diriKeluarga dengan pola komunikasi fungsional menghargai keterbukaan, saling menghargai perasaan, pikiran, kepedulian, spontanitas, autentik dan keterbukaan diri. Selanjutnya keluarga ini mampu mendiskusikan bidang kehidupan isu personal, social, dan kepedulian serta tidak takut pada konflik. Area ini disebut komunikasi terbuka. Dengan rasa hormat terhadap keterbukaan diri. Satir (1972) menegaskan bahwa anggota keluarga yant terus terang dan jujur antar satu dengan yang lainnya adalah orang-orang yang merasa yakin untuk mempertaruhkan interaksi yang berarti dan cenderung untuk menghargai keterbukaan diri (mengungkapkan keterbukaan pemikiran dan persaan akrab).4. Hirarki Kekuasaan dan Peraturan KeluargaSistem keluarga yang berlandaskan pada hirarki kekuasaan dan komunikai mengandung komando atau perintah secara umum mengalir kebawah dalam jaringan komunikasi keluarga. Interaksi fungsional dalam hirarki kekuasaan terjadi apabila kekuasaan terdistribusi menurut kebutuhan perkembangan anggota keluarga (Minuchin, 1974). Apabila kekuasaan diterpkan menurut kemampuan dan sumber anggota keluarga serta sesuai dengan ketentuan kebudayaan dari suatu hubungan kekuasaan keluarga.5. Konflik dan Resolusi Konflik KeluargaKonflik verbal merupakan bagian rutin dalam interaksi keluarga normal. Literature konflik keluarga menunjukkan bahwa keluraga yang sehat tanpak mampu mengatasi konflik dan memetik mamfaat yang positif, tetapi tidak terlalu banyak konflik yang dapat mengganggu hubungan keluarga. Resolusi konflik merupakan tugas interaksi yang vital dalam suatu keluarga (Vuchinich,1987). Orang dewasa dalam kelurga perlu belajar untuk mengalami konflik konstruktif. Walaupun orang dewasa menyelesaikan konflik dengan berbagai cara , resolusi konflik yang fungsional terjadi apabila konflik tersebut dibahas secara terbuka dan strategi diterpkan untuk menyelesaikan konflik dan ketika orang tua secara tepat menggunakan kewenangan mereka untuk mengakhiri konflik.2.1.8 Pola Komunikasi Dalam Keluarga Yang Tidak Baik

Komunikasi disfungsional didefinisikan sebagai transmisi tidak jelas atau tidak langsung serta permintaan dari salah satu keluarga. Isi dan instruksi deari pesan dan ketidaksesuaian antara tingkat isi dan instruksi dari pesan. Transmisi tidak lansung dari suatu pesan berkenaan dari pesan yang dibelokkan dari saran yang seharusnya kepada orang lain dalam keluarga. Transmisi langsung dari suatu pesan berarti pesan mengenai sasaran yang sesuai. Tiga pola komunikasi yang terkait terus menerus menyebabkan harga diri rendah adalah egasentris, kebutuhan akan persetujuan secara total dan kurangnya empati.1. EgosentrisIndividu memfokuskan pada kebutuhan diri sendiri dan mengabaikan kebutuhan orang lain, perasaan atau perspektif yang mencirikan komunikasi egosentris. Dengan kata lain, anggota keluarga yang egosentris mencari sesuatu dari orang lain untuk memenuhu kebutuhan mereka. Apabila individu tersebut harus memberikan sesuatu, maka mereka akan melakukan dengan keengganan, dan rasa permusuhan,defensive atau sikap pengorbanan diri, jadi tawar-menawar atau negosiasi secara efektif sulit dilakukan, karena seseorang yang egosentris meyakini bahwa mereka tidak boleh kalah untuk sekecil apapun yang mereka berikan.2. Kebutuhan Mendapatkan Persetujuan TotalNilai keluarga tentang mempertahankan persetujuan total dan menghindari konflik berawal ketika seseorang dewasa atau menikah menetukan bahwa mereka berada satu sama lain, walaupun perbedaan yang pasti mungkin sulit untuk dijelaskan seperti yang diekspresikan dalam pendapat, kebiasaan, kesukaan atauhrapan mungkin terlihat sebagai ancaman kerena ia dapat mengarah pada ketidaksetujuan dan kesadaran bahwa mereka merupakan dua individu yang terpisah3. Kurang EmpatiKeluarga yang egosentris tidak dapat menteloransi perbedaan dan tidak akan mengenal akibat dari pemikiran, persaan dan perilaku mereka sendiri terhadap anggota keluarga yang lain. Mereka sangat terbenam dalam pemenuhan kebutuhan mereka sendiri saja bahwa mereka tidak mampu untuk berempati. Dibalik ketidakpedulian ini, individu dapat menderia akibat perasaan tidak berdaya. Tidak saja mereka tidak menghargai diri mereka sendiri tapi mereka juga tidak menghargai oaring lain. Hal ini menimbulakan suasana tegang, ketakutan atau menyalahkan. Kondisi ini terlihat pada komunikasi yang lebih membingungkan, samar, tidak langsung, terselubung dan defensif bukan memperlihatkan keterbukaan, kejelasan dan kejujuran.4. Area Komunikasi Yang TertutupKeluarga yang fungsional memiliki area komunikasi yang terbuka, keluarga yang sedikit fungsional sering kali menunjukkan area komunikasi yang semakin tertutup. Keluarga tidak mempunyai peraturan tidak tertulis tentang subjek apa yang disetujui atau tidak disetujui untuk dibahas. Peraturan tidak tertulis ini secara nyata terlihat ketika anggota keluarga melanggar peraturan dengan membahas subjek yang tidak disetujui atau mengungkapkan perasaan yang terlarang.2.1.9 Faktor Yang Mempengaruhi Pola Komunikasi Dalam KeluargaFactor-faktor yang mempengaruhi komunikasi dalam keluarga dikenal dengan tujuh C (Taufik, 2007 serta Cangara 2008), yaitu:

a. Credibility (Kredibilitas atau kepercayaan)

b. Content (isi atau muatan)

c. Context (pertalian atau hubungan)

d. Clarify (kejelasan)

e. Continuity dan Consistency (berkesinambungan dan konsisten)

f. Channels (saluran)

g. Capability of The Audience (Kemampuan pendengar)

Pendapat lain dari Widjaja (2000) faktor yang dapat mempengaruhi komunikasi interpersonal agar menjadi lebih efektif adalah:

a. Keterbukaan

Sifat keterbukaan menunjukkan paling tidak dua aspek tentang komunikasi interpersonal. Aspek pertama yaitu, bahwa kita harus terbuka pada orang-orang yang berinteraksi dengan kita. Dari sini orang lain akan mengetahui pendapat, pikiran dan gagasan kita. Sehingga komunikasi akan mudah dilakukan. Aspek kedua dari keterbukaan merujuk pada kemauan kita untuk memberikan tanggapan terhadap orang lain dengan jujur dan terus terang segala sesuatu yang dikatakannya, demikian sebaliknya.

b. Empati

Empati adalah kemampuan seseorang untuk menempatkan dirinya pada peranan atau posisi orang lain. Mungkin yang paling sulit dari faktor komunikasi adalah kemampuan untuk berempati terhadap pengalaman orang lain. Karena dalam empati, seseorang tidak melakukan penilaian terhadap perilaku orang lain tetapi sebaliknya harus dapat mengetahui perasaan, kesukaan, nilai, sikap dan perilaku orang lain.

c. Perilaku Sportif

Komunikasi interpersonal akan efektif bila dalam diri seseorang ada perilaku sportif, artinya seseorang dalam menghadapi suatu masalah tidak bersikap bertahan (defensif).

Menurut Lunandi (1994), faktor-faktor yang mempengaruhi komunikasi dalam keluarga adalah sebagai berikut :

a. Citra diri

Manusia belajar menciptakan citra diri melalui hubungan dengan orang lain di lingkungan. Melalui komunikasi dengan orang lain seseorang akan mengetahui apakah dirinya dibenci, dicinta, dihormati, diremehkan, dihargai atau direndahkan.

b. Lingkungan fisik

Perbedaan tempat akan mempengaruhi pola komunikasi yang dilakukan cara untuk menyampaikan pesan, isi, informasi disesuaikan dengan tempat dimana komunikasi itu dilakukan karena setiap tempat mempunyai aturan, norma atau nilai-nilai sendiri.

c. Lingkungan sosial

Penting untuk dipahami, sehingga pihak-pihak yang terlibat dalam komunikasi dalam keluarga memiliki kepekaan terhadap lingkungan sosial. Lingkungan sosial dapat berupa lingkungan masyarakat, lingkungan kerja, dan lingkungan keluarga.2.1.10 Proses Keperawatan 1. PengkajianArea PengkajianPernyataan berikut ini harus dipertimbangkan ketika menganalisis pola komunikasi keluarga.a. Dalam mengobservasi keluarga secara utuh atau serangkaian hubungan keluarga, sejauh mana pola komunikasi fungsional dan disfungsional yang digunakan ?. diagram pola komunikasi sirkular yang terjadi berulang. Selain membuat diagram pola komunikasi sirkular, prilaku spesifik berikut ini harus dikaji:

1) Seberapa tegas dan jelas anggota menyatakan kebutuhan dan perasaan interaksi?

2) Sejauh mana anggota menggunakan klerifikasi dan kualifikasi dalam interaksi?

3) Apakah anggoata keluarga mendapatkan dan merespon umpan balik secara baik, atau mereka secara umum tidak mendorong adanya umpan balik dan penggalian tentang suatu isu?

4) Seberapa baik anggota keluarga mendengarkan dan memperhatikan ketika berkomunikasi?

5) Apakah anggota mencari validasi satu sama lain?

6) Sejauh mana anggota menggunakan asumsi dan pernyataan yang bersifat menghakimi dalam interksi?

7) Apakah anggota berinteraksi dengan sikap menghina terhadap pesan?

8) Seberapa sering diskualifikasi digunakan?

b. Bagimana pesan emosional disampaikan dalam keluarga dan subsistem keluarga?

1) Seberapa sering pesan emosional disampaikan?2) Jenis emosi apa yang dikirimkan ke subsistem keluarga? Apakah emosi negatif, positif, atau kedua emosi yang dikirimkan?c. Bagaimana frekuensi dan kualitas komunikasi didalam jaringan komunikasi dan rangkaian hubungan kekeluargaan?

1) Bagaimana cara/sikap anggota kelurga (suami-istri, ayah-anak,anak-anak) saling berkomunikasi?

2) Bagaimana pola pesan penting yang biasanya? Apakah terdapat perantara?

3) Apakah pesan sesuai dengan perkembangan usia anggota?d. Apakah pesan penting keluarga sesuai dengan isi instruksi ? apabila tidak, siapa yang menunjukkan ketidaksesuaian tersebut?

e. Jenis proses disfungsional apa yang terdapat dalam pola komunikasi keluarga?f. Apa isu penting dari personal/keluarga yang terbuka dan tertutup untuk dibahas?g. Bagaimana faktor-faktor berikut mempengaruhi komunikasi keluarga?1) Konteks/situasi

2) Tahap siklus kehidupan kelurga

3) Latar belakakang etnik kelurga

4) Bagaimana gender dalam keluarga

5) Bentuk keluarga

6) Status sosioekonomi keluarga

7) Minibudaya unik keluarga

2. Diagnosa Keperawatan KeluargaMasalah komunikasi keluarga merupakan diagnosis keperawatan keluarga yang sangat bermakna, North American Nursing Diagnosis Assosiation (NANDA) belum mengidentifikasi diagnosis komunikasi yang berorientasi keluarga. NANDA menggunakan perilaku komunikasi sebagai bagian dari pendefisian karakteristik pada beberapa diagnosis mereka; seperti proses berduka disfungsional salah satu diagnosis keperawatn yang terdapat dalam daftar NANDA adalah hambatan komunikasi verbal, yang berfokus pada klien individu yang tidak mampu untuk berkomunikasi secara verbal. Giger & Davidhizar (1995) menegaskan bahwa hambatan komunikasi verbal tidak mempertimbangkan kebudayaan klien sehingga secara kebudayaan tidak relevan dengan diagnosis keperawatan.Berbicara diluar diagnosa NANDA, diagnosa keperawatan dalam komunikasi keperawatan keluarga dapat meliputi : Komunikasi keluarga disfungsional Komunikasi orang tua-anak, saudara kandung, rekan dewasa, pasangan hidup disfungsional (jika masalah utamanya terletak pada subsistem). Hambatan komunikasi keluarga atau masalah komunikasi keluarga.3. Intervensi Keperawatan KeluargaIntervensi keperawatn keluarga dalam keluarga dalam area komunikasi terutama melibatkan pendidikan kesehatan dan konseling, serta kolaborasi sekunder, membuat kontrak, dan merujuk ke kelompok swa-bantu, organisasi komunitas, dan klinik atau kantor terapi keluarga. Model peran juga berperan tipe pemberian pendidikan kesehatan yang penting. Model peran melalui observasi anggota keluarga mengenai tenaga kesehatan keluarga dan bagaimana mereka berkomunikasi selam situasi interaksi yang berbeda bahwa mereka belajar meniru perilaku komunikasi yang sehat.

Konseling dibidang komunikasi keluarga melibatkan dorongan dan dukungan keluarga dalam upaya mereka untuk meningkatkan komunikasi diantara mereka sendiri. Perawat keluarga adalah sebagai fasilitator proses kelompok dan sebagi narasumber. Wright dan Leahey (2000) menklasifikan tentang tiga intervensi keluarga secara lansung (berfokus pada tingkat kognitif, afektif, dan perilaku dari fungsi) membantu dalam pengorganisasian srategi komunikasi spesifik yang dapat diterapkan, strategi intervensi dalam masing-masing ketiga domain meliputi pendidikan kesehatan dan konseling.

a. Intervensi keperawatan keluarga dengan focus kognitif memberikan atau ide baru tentang komunikasi. Informasi adalah opendidikan yang dirancang untuk mendorong penyelesaian masalah keluarga. Apakah anggota mengubah perilaku komunikasi mereka pertama sangat bergantung pada bagiamana mereka mempersepsikan masalah. Wright & Laehey (2000) menegaskan peran penting dari persepsi dan keyakinan.b. Intervensi dalam area afektif diarahkan pada perubahan ekspresi emosi anggota keluarga baik dengan meningkatkan maupun menurunkan tingkat komunikasi emosional dan modifikasi mutu komunikasi emosional. Tujuan keperawatan spesifik didalam konteks kebudayaan keluarga, membantu anggota keluarga mengekspresikan dan membagi perasaan mereka satu sama lain sehingga:

1) Kebutuhan emosi mereka dapat disampaikan dan ditanggapi dengan lebih baik.2) Terjadi komunikasi yang lebih selaras dan jelas.3) Upaya penyelesaian masalah keluarga difasilitasi.

c. Intervensi keperawatan keluarga berfokus pada perilaku, perubahan perilaku menstimulasi perubahan dalam persepsi realitas anggota keluarga dan persepsi menstimulasi perubahan perilaku (proses sirkular, rekursif). Oleh karena itu, ketika perawat keluarga menolong anggota keluarga belajar cara komunikasi yang lebih sehat. Ia juga akan membantu anggota keluarga untuk mengubah persepsi mereka atau membangun realitas tentang suatu situasi. Intervensi pendidikan kesehatan dan konsling dirancang untuk mengubah komunikasi keluarga meliputi;

1) Mengidentifikasi keinginan perubahan perilaku spesifik anggota keluarga dan menyusun rencana kolaboratif untuk suatu perubahan2) Mengakui, mendukung, dan membimbing anggota keluarga ketika mereka mulai mencoba untuk berkomunikasi secar jelas dan selaras.3) Memantau perubahan perilaku yang telah menjadi sasran sejak pertemuan terdahulu. Tanyakan bagimana perilaku komunikassi yang baru, apakah ada masalah yang terjadi, serta jika mereka mempunyai pertanyaan atau hal penting tentang perubahan tersebut.2.2 Kekuatan Dan Pengambilan Keputusan Dalam Keluarga2.2.1 Konsep kekuatan dalam keluargaKekuatan Keluarga

Kekuatan keluarga, sebagai suatu karakterisik dari sistem keluarga, merupakan kemampuan, baik potensial maupun aktual, dari anggota individu untuk merubah perilaku anggota keluarga yang lain (Olson dan Cromwell, 1975).

Autoritas (kekuasaan)

Autoritas (kekuasaan) merupakan suatu istilah lain yang berhubungan dengan kepercayaan pada anggota keluarga yang didasarkan pada budaya dan norma serta memperlakukan anggota keluarga sebagaimana haknya untuk membuat keputusan dan berlaku layaknya dalam posisi pemimpin. Komponen Kekuasaan Keluarga

Pengaruh : tingkat penggunaan tekanan formal maupun informal oleh seorang anggota keluarga terhadap orang lain dan berhasil dalam memaksakan pandangan orang tersebut

Pengambilan keputusan : proses pencapaian persetujuan dan komitmen anggota keluarga untuk melakukan serangkaian tindakan/ status quo dengan kata lain sebagai alat untuk menyelesaikan segala sesuatu.

Dasar Kekuatan

Cromwell dan Olson (1975) mengidentifikasi 3 domain dalam kekuatan keluarga, yaitu :

Dasar kekuatan (power bases)

Hasil kekuatan (power outcome)

Proses pengambilan keputusan (decision making processes)

Raven dkk (1975) dan Safilios-Rothschild (1976) mengidentifikasi berbagai tipe dasar kekuatan yang umum diamati dalam keluarga

a. Legitimate power/authority atau kekuasaan /wewenang yang sah (hak untuk mengontrol)

Disebut juga sebagai wewenang primer yang merujuk pada kepercayaan bersama dan persepsi dari anggota keluarga bahwa satu orang mempunyai hak untuk mengontrol tingkah laku anggota keluarga yang lain. Kekuasaan ini didukung oleh peran, posisi, hak-hak secra budaya atau tradisi seperti orang tua terhadap anak.

b. Helpass or powerless power atau kekuasaan yang tidak berdaya atau putus asa.

Tipe kekuasaan ini merupakan suatu bentuk penting dari kekuasaan yang sah yang didasarkan pada hak yang diterima secar umum dari mereka yang membutuhkan atau dari mereka yang tidak berdaya yang mengharapka dari mereka ynag mempunyai posisi untuk memberikan bantuan. Seperti kekuasaan orang yang sedang sakit, cacat atau lanjut usia.

c. Referent Power (Seseorang Yang Ditiru)

Kekuasaan yang dimiliki orng-orang tertentu terhadap orang lain karena identifikasi positif terhadap mereka, seperti identifikasi positif seorang anak dengan orang tua (sebagai role model).

d. Resorce or expert power atau kekuasaan sumber atau ahli (pendapat ahli)

Kekuasaan sumber adalah tipe dasar kekuasaan yang datangnya dari sumber-sumber berharga dalam jumlah yang lebih banyak dalam suatu hubungan seperti penggunaan teknik antar pribadi. Kekuasaan ahli adalah sumber kekuasaan yang ada dalam suatu hubungan jika seorang ynag sedang dipengarihi merasa bahwa orang lain (ahli) memiliki pengetahuan khusus, ketrampilan/keahlian, atau pengalaman.

e. Reward power atau kekuasaan penghargaan

Pengaruh kekuasaan karena adanya harapan yang akan diterima oleh seorang dari orang yang mempunyai pengaruh karena kepatuhan seseorang. Seperti ketaatan anak terhadap orang tua.

f. Coercive power atau kekuasaan paksaan atau dominasi.

Sumber kekuasaan mempunyai kemampuan untukmenghukum dengan paksaan, ancaman atau kekerasan bila mereka tidak mau taat.

g. Informational power atau kekuasaan informational

Dasar kekuasaan ini adalah melalui persuasi. Tipe kekuasaan ini sama dengan kekuasaan ahli tetapi lingkupnya lebih sempit.

h. Effective power atau kekuasaan afektif

Kekuasaan yang diberikan melalui manipulasi dengan memberikan afeksi atau kehangatan, cinta kasih misalnya hubungan sexual pasangan suami-istri.

i. Tension management power atau kekuasaan managemen ketegangan

Tipe dasar kekuasaan ini diturunkan dari kontrol yang dicapai oleh satupasangan dengan mengatasi ketegangan dan konflik yang ada dalam keluarga melalui perdebatan, ketidaksepakatan dalam memasukkan anggota keluarga untuk mengalah.

Hasil Kekuatan

Kekuasaan ditentukan oleh hasil, hasil menentukan kekuasaan. Siapa yang membuat keputusan akhir atau yang memiliki kendali utama sesuai dengan kata siapa yang menang atau yang menyatakan terakhir (Cromwell dan Olson (1975), Szinovacz 1987).

Proses Pengambilan Keputusan

Hasil dari kekuatan tersebut yang akan mendasari suatu proses dalam pengambilan keputusan dalam keluarga seperti :

1. KonsensusTindakan tertentu secara bersama disetujui oleh semua yang terlibat. Terdapat tanggung jawab seimbang pada keputusan serta kepuasan, oleh anggota keluarga.2. Akomodasi

Suatu perjanjian untuk setuju menggunakan keputusan umum dalam menghadapi perbedaan yang tidak dapat disatukan.Akomodasi meliputi tawar menawar (bargaining), kompromi, paksaan.

3. De-facto

Hasil perdebatan dimana tidak terdapat resolusi bila isu tidak dibawa dan didiskusikan. Keputusan ini, kemudian dibuat dengan tak ada aktivitas daripada dengan perencanaan.

2.2.2 Variable Yang Mempengaruhi Kekuatan Dalam Keluarga1. Hirarki kekuasaan keluarga

Dalam keluarga inti tradisional dan keluarga inti masa kini, struktur keluarga jelas merupakan sebuah hierarki yang berarti struktur kekuatan keluarga tersebut mengikat dan diturunkan. Laki-laki mempertahankan kekuatannya dari perempuan, begitu juga orang tua terhadap anaknya.

2. Tipe bentuk keluarga (orang tua tunggal, keluarga campuran, keluarga inti dua orang tua tradisional)

Bentuk keluarga merupakan faktor lain yang dapat mempengaruhi dinamika kekuatan dalam sebuah keluarga.

3. Pembentukan koalisi

Koalisi adalah salah satu aliansi sementara yang didasarkan isu atau aliansi jangka panjang untuk membentuk dominansi dari satu atau lebih anggota keluarga. Pembentukan koalisi anggota keluarga bisasnya didasarkan pada hubungan kekuatan masing-masing individu.. koalisi dalam keluarga merupakan hal yang paling menyehatkan untuk menaikkan derajat kekuatannya.

4. Jaringan komunikasi keluarga

Jaringan komunikasi ini berhubungan dengan stuktur kekuatan. Umurm usia, personalitas anggota keluarga secara alami mempengaruhi jariangan komunikasi keluarga dan intensitasnya.

5. Perbedaan gender

6. Kelas social

a. Lower class families

Laki-laki dalam keluarga miskin lebih cenderung melakukan proclaim kekuaasaan untuk mendapatkan pengakuan atas kekuasan istrinya. Sedangkan istri cenderung lebih merasa bertanggungjawab dibandingkan dengan istri dari kelas sosial yang lain. Biasanya mereka lebih bertangungjawab dalam mengatur keuangan yang diberikan suami.

b. Working class families

Edukasi dalam keluarga merupakan faktor penting dalam struktur kekuatan dan kekuasaan dalam keluraga ini. Biasanya suami lebih dominan karena merasa mendapatkan pendidikan yang lebih baik.

c. Middle class families

Dalam keluarga ini biasanya mendasarkan pada perasaan atau egalitarian. Suami biasanya banyak memberikan waktu untuk berbagi dan bersikap penuh perasaan kepada istrinya.

7. Tahap perkembangan keluarga

8. Latar belakang budaya dan religious

.2.2.3 Klasifikasi Struktur Kekuatan KeluargaKlasifikasi kekuasaan dalam subsistem perkawinan (Herbert 1945) :

Pola kekuasaan otokrasi/ otoriter

Apabila keluarga didominasi oleh satu orang anggota keluarga saja

Pola kekuasaan sinkratis

Apabila keputusan termasuk perkawinan dan keluarga, dilakukan oleh kedua pasangan menikah.

Pola kekuasaan otonom

Apabila kedua pasangan berfungsi secara mandiri satu sama lain, baik dalam pengambilan keputusan maupun aktivitas mereka.

Tipe Keluarga Khusus (Friedman, 1998) :

Keluarga merupakan salah satu bagian dari bidang garap dunia keperawatan, oleh karena itu agar perawat bisa memberikan asuhan keperawatan dengan tepat, perawat harus memahami tipe keluarga yang ada. Beberapa diantaranya:

1. Patriakal, keluarga tradisional

Yang dominan dan memegang kekuasaan dalam keluarga adalah pihak ayah.

2. Egalitarian, demokratis, keluarga modern

Semua orang sederajat/ mengakui adanya persamaan

Telah terjadi perubahan yang berlangsung secara perlahan-lahan dari keluarga tradisional, patriakal menuju struktur keluarga demokratis, egalitarian. Temuan peneliti mengatakan bahwa keterlibatan wanita dalam bidang ketenagakerjaan dan prestasi dalam pendidikan tinggi telah memberikan kekuasaan dalam keluarga.

Lewis, dkk 1976 mengembangkan model yang komprehensif untuk meringkas struktur kekuasaan sebuah keluarga yang meliputi :

1. Keluarga kaotis (berantakan)

Menunjuk pada keluarga tanpa pemimpin, di mana tidak ada anggota keluarga yang memiliki kemampuan yang memadai untuk membuat otonomi.

2. Egalitarian (sinkratik/otonomik)

Keputusan dan kekuasaan dipikul secara bersama-sama dalam keluarga. dalam keluarga bentuk sinkratik keputusan dibut bersama-sama. sedangkan dalam keluarga dalam bentuk otonomik keputusan dibuat secara mandiri.

3. Dominasi atau kekuasaan

Terdapat kontrol absolut dari seorang individu dan tidak ada negosiasi, di mana ada kecenderungan dominasi dan ketaatan tapi kebanyakan keputusan dicapai lewat negosiasi satu sama lain dan juga negosiasi bersama.2.2.4 Kekuatan Dalam Keluarga Sehat1. Dukungan Informasional

Aspek-aspek dalam dukungan ini adalah nasehat, usulan, saran, petunjuk, dan pemberian informasi. Dukungan ini dapat menekan munculnya stressor negatif. Selain itu juga dapat mengklarifikasi dan menyelesaikan permasalahan.2. Dukungan Penilaian

Keluarga bertindak sebagai sebuah bimbingan umpan balik, membimbing dan menengahi pemecahan masalah, sebagai sumber dan validator identitas anggota keluarga dinataranya memberikan support, penghargaan dan perhatian.

3. Dukungan Instrumental

Keluarga merupakan sebuah sumber pertolongan praktis dan konkret, diantaranya: kesehatan penderita dalam hal kebutuhan makan dan minum, istirahat, terhindarnya penderita dari kelelahan.

4. Dukungan Emosional

Keluarga sebagai tempat yang aman dan damai untuk istirahat dan pemulihan serta membantu penguasaan terhadap emosi. Aspek-aspek dari dukungan emosional meliputi dukungan yang diwujudkan dalam bentuk afeksi, adanya kepercayaan, perhatian, mendengarkan dan didengarkan.

2.2.5 Kekuatan Dalam Keluarga Tidak SehatTeori kekerasan keluarga (Steinmetz, 1995)

Sudut pandang Intraindividu

Sudut pandang ini berfokus pada karakteristik personal dari pelaku dan korban sebagai penyebab kekerasan dalam keluarga.

Sudut pandang sosiobudaya

Faktor sosiobudaya, berhubungan dengan perbedaan sosial dan budaya dalam memandang kekerasan sebagai suatu cara menyelesaikan masalah keluarga.

Sudut pandang sosial-psikologis

Sudut pandang ini menjelaskan kekerasan keluarga sebagai suatu fungsi yang berhubungan antara individu dan masyarakat berkaitan dengan isu kekuatan, kontrol, kelas sosial (kemiskinan), kesempatan kerja, dan peralihan menuju kemiskinan.

Kekerasan dalam keluarga (Friedman, 1998) meliputi:

1. Partner Abuse

Melakukan sebuah pukulan kepada pasangan saat ini akan sangat mudah diketahui oleh media massa dan para professional dan merupakan sebuah masalah sosial yang sangat signifikan terjadi. Straus (1990) menggunakan taktik untuk mengatasi frustasi dan stressor melalui kisah perjalanan yang telah dilalui. Biasanya wanita yang menjadi korban, akan tetapi laki-laki juga bisa menjadi korban, tetapi dianggap lebih biasa oleh masyarakat.

Kekerasan didefinisikan oleh Wallace sebagai tindakan yang disengaja atau tindakan yang berkelanjutan yang menyebabkan cedera pada pasangan. Bolton dan Bolton (1987) menemukan hubungan karakteristik personal dalam hubungan suami/istri dengan pelaku tindak kekerasan yaitu dibutuhkannya control terhadap kebiasaan suami/istri pelaku tindak kekerasan. Pengontrolan tersebut merupakan hal yang absolute harus dilakukan ketika berada di rumah.

Wallace (1996) mempercayai bahwa abuse pada pasangan dikarenakan karena banyak penyebab dari masyarakat, seperti stress sosial, perbedaan kekuatan dalam pernikahan, kemandiarian istri, penggunaan alcohol oleh suami, kehamilan, ijin pernikahan, rendahnya penghargaan diri, masalah financial, dan lain-lain

2. Child Abuse

Peningkatan kejadian ini pada anak-anak akhir-akhir ini meningkat secara drastic, para peneliti mempercayai bahwa KDRT tidak begitu saja terjadi secara dramatikal, namun sudah ada sejak lama dalam keluarga, akan tetapi ksesadaran public dan penurunan toleransi pada kejadian ini meningkat pada akhir-akhir ini.

Child abuse dapat berupa fisik, emosi, seksual, atau kombinasi. Kekerasan fisik didefinisikan sebagai tindakan yang dapat menghasilkan cedera fisik oleh seseorang yang melakukan penjagaan atau mengontrol seorang anak. Kekerasan ini banyak terjadi pada semua status sosial, ras, dan bentuk keluarga baik laki-laki maupun perempuan. Kebiasaan orang tua yang berhubungan dengan kekerasan fisik antara lain stress hidup, kesepian, depresi, kecemasan, kebiasaan dan tingkah laku buruk orang tua, konflik pernikahan dan penggunaan alcohol yang berlebih.

Kekerasan seksual yang dilakukan orang tua biasanya dikarenakan oleh kondisi sosial dan masalah psikologis. Anak-anak dengan kondisi ini biasanya berubah melakukan kekerasan dalan kehidupan sehari-harinya. Perasaan bersalah, rasa malu, takut, marah biasanya ditunjukkan dalam kehidupannya di sekolah sebagai pelampiasannya.

3. Sibling Abuse

Kekerasan terhadap saudara kandung didefinisikan sebagai berbagai macam bentuk kekerasan fisik, mental, atau seksual yang dilakukan oleh anak dalam unit keluarga kepada anak yang lain. Biasanya dilakukan oleh anak yang lebih tua, kekerasan terhadap saudara yang banyak dilaporkan adalah kekerasan fisik (menggertak, memukul, dan menendang), kekerasan emosional (panggilan jelek, memberikan ketakutan berulang, menghancurkan harapan personal, mengejek), dan kekerasan seksual.

4. Parent Abuse

Kekerasan terhadap orang tua banyak dilakukan oleh remaja untuk menunjukkan kemarahannya.

5. Elder Abuse

Kekerasan dan pengabaian lansia meningkat akhir-akhir ini yang didefinisikan sebagai tingkah laku yang menghasilkan cedera fisik, psikologis, material yang menyebabkan kerugian, penyia-nyiaan pada lansia.

2.2.6 Proses Keperawatan1. PengkajianBagamana perawat mengukur kekuatan dalam sebuah keluarga? Ini merupakan pertanyaan kunci. Studi tentang kekuatan keluarga masih dibawah kritik karena ketidaksepahaman bagaimana cara mengukur kekuatan keluarga dalam metodelogi yang sangat terbatas. Namun, sekarang ini telah dipercaya bahwa kombinasi interaksi keluarga dengan pelaporan diri oleh anggota keluarga mungkin bisa didapatkan data yang valid mengenai kekuatan keluarga.

Saffilos-rothschild (1976) menuliskan salah satu pasangan dalam keluarga mungkin memegang kekuatan mengatur, sedangkan yang lain mempunyai kekuatan untuk mengimplementasikannya. Sehingga dalam membuat keputusa dalam keluarganya didasarkan pada tahap perkembangan keluarga tersebut dan karakteristik dari keluarga itu sendiri.

a. Hasil kekuatan

Siapa yang mengatakan terakhir atau sipa yang menang. Siapa yang membuat keputusan. Bagaimana pentingnya pengambikan keputusan atau isu dalam keluarga. Kemudian dilanjutkan dengan pertanyaan yang lebih spesifik dan diikuti validasi dan observasi bila memungkinkan. Pertanyaan spesifik yang mungkin membantu antara lain:

i. Financial : siapa yang membuat budget, membayar bill dan bagaimana menyisihkan uang

ii. Sosial : siapa yang memutuskan bagaimana menghabiskan malam atau siapa teman atau hubungan

iii. Keputusan utama : siapa yang memutuska perubahan pekerjaaan dan tempat tinggal

iv. Membesarkan anak : siapa yang membuat aturan dan memutuskan kegiatan anak

b. Proses pengambilan keputusan

Apa teknik yang digunakan untuk mengambil keputusan dan seberapa luas keputusan tersebut

i. Consensus

ii. Akomodasi : tawar menawar, kompromi, paksaan

iii. De facto

c. Dasar kekuatan

Sumber-sumber kekuatan antara lain;

i. Kekuatan legitimasi/kewenanga

ii. Helpless atau powerless power

iii. Referent power

iv. Resourse and expert power

v. Reward power

vi. Coercive power

vii. Informational power direct and indirect

viii. Affective power

ix. Tension management power

Pertanyaan yang diajukan didasarkan pada sumber-sumber tersebut dan pertanyaan spesifik lainnya dalam membuat keputusan

d. Variable yang mempengaruhi kekuatan keluarga

Multiple variable dalam kekuatan keluarga, antara lain

i. Hierarki kekuatan keluarga

ii. Bentuk keluarga

iii. Koalisi

iv. Jaringan komunikasi keluarga

v. Perbedaan gender

vi. Usia dan tahap perkembangan keluarga

vii. Budaya dan interpersonal

viii. Kelas sosial

Mengenali pengaruh yang berkembang dalam keluarga dapat membantu perawat memberikan intervensi dan interpretasi pada keluarga

e. Sistem keluarga secara menyeluruh dan subsistem kekuatan

Setelah melakukan pengkajian dalam area yang luas, perawat mungki bisa mengenali karakteristik mana yang lebih mendominasi seperti anggota keluarga yang dewasa, anak, atau kakek nenek, seperti egalitarian, sinkratik atau otonomi, seperti kurangnya kemampuan memimpin atau chaotic

Untuk mengkaji pola kekuatan, bisa ditanyakan pertanyaan terbuka. Subsistem juga perlu dikaji melalui observasi interaksi orang dewasa, orangtua anak dan wawancara emngenai karakteristik kekuatan subsistem keluarga.

2. Diagnosa Keperawatan Keluarga

Diagnosa keperawatan yang sesuai seperti konflik keputusan Menurut klasifikasi NANDA 2009-2011, domain 7 (hubungan peran) : Ketidakmampuan menjadi orang tua Kesiapan meningkatkan menjadi orang tua

Risiko ketidakmampuan menjadi orang tua

Risiko gangguan perlekatan

Konflik peran menjadi orang tua

Kesiapan meningkatkan hubungan

Ketidakefektifan performa peran

Disfungsi proses keluarga

Gangguan proses keluarga

Kesiapan meningkatkan proses keluarga

3. Intervensi KeperawatanIntervensi keperawatan keluarga dalam keluarga dalam area struktur kekuatan terutama melibatkan pendidikan kesehatan dan konseling, serta kolaborasi sekunder, membuat kontrak, dan merujuk ke kelompok swa-bantu, organisasi komunitas, dan klinik atau kantor terapi keluarga. Model peran juga berperan tipe pemberian pendidikan kesehatan yang penting. Model peran melalui observasi anggota keluarga mengenai tenaga kesehatan keluarga dan bagaimana mereka berkomunikasi selama situasi interaksi yang berbeda bahwa mereka belajar meniru perilaku penerapan strukstur kekuatan yang tepat untuk mewujudkan keluarga sehat.a. Intervensi keperawatan keluarga dengan focus kognitif memberikan atau ide baru tentang identifikasi struktur kekuatan dalam keluarga. Hal ini bertjuan untuk menegaskan peran penting dari persepsi masing-masing anggota keluarga.b. Intervensi dalam area afektif diarahkan pada perubahan ekspresi emosi anggota keluarga baik dengan meningkatkan maupun menurunkan tingkat keterlibatan peran dalam kekuatan keluarga. Tujuan keperawatan spesifik didalam konteks kebudayaan keluarga, membantu anggota keluarga mengekspresikan dan membagi perasaan mereka satu sama lain sehingga:1) Kebutuhan emosi mereka dapat disampaikan dan ditanggapi 2) Terjadi komunikasi yang lebih selaras dan jelas3) Upaya penyelesaian masalah keluarga difasilitasi.c. Intervensi keperawatan keluarga berfokus pada perilaku, perubahan perilaku menstimulasi perubahan dalam persepsi realitas anggota keluarga dan persepsi menstimulasi perubahan perilaku (proses sirkular, rekursif). Oleh karena itu, ketika perawat keluarga menolong anggota keluarga belajar menerapkan peran sesuai dengan struktur kekuatan, maka Ia juga akan membantu anggota keluarga untuk mengubah persepsi mereka atau membangun realitas tentang suatu situasi. 2.3 Nilai-Nilai Dalam Keluarga2.3.1 Pengertian NilaiMenurut Friedman, 1998

Nilai merupakan suatu sistem, sikap dan kepercayaan yang secara sadar atau tidak, mempersatukan anggota keluarga dalam satu budaya (Friedman, 1998). Nilai keluaarga juga merupakan suatu pedoman bagi perkembangan norma dan praturan. Norma adalah pola perilaku yang baik, menurut masyarakat berdasarkan sistem nilai dalam keluarga. Budaya adalah kumpulan dari pola perilaku yang dapat dipelajari, dibagi dan ditularkan dengan tujuan untuk menyelesaikan masalah.

Menurut Parad dan Caplan, 1965

Nilai-nilai keluarga didefinisikan sebagai suatu sistem ide, sikap, dan kepercayaan tentang nilai suatu keseluruhan atau konsep yang secara sadar maupun tidak sadar mengikat bersama-sama seluruh anggota keluarga dalam suatu kebudayaan lazim

2.3.2 Macam-Macam Sistem Nilai

Menurut Tilman (2004) terdapat tiga jenis nilai, yaitu:1. Nilai Luhur

Nilai luhur adalah nilai-nilai yang ideal dan abstrak seperti demokrasi, keadilan, kemakmuran, persamaan, kesejahteraan, kemerdekaan, perdamaian, kemajuan sosial, determinasi diri, dan kebebasan.

2. Nilai Antara

Kualitas keberfungsian seseorang

Keluarga yang baik

Masyarakat yang baik

3. Nilai Instrumen berisikan karakteristik lembaga-lembaga:

Pemerintah

Para ahli

Organisasi

Orang-orang professional

Menurut Atienza (2002), ada berbagai macam nilai antara lain:

1. Nilai spiritual

Penekanan tentang kepercayaan dan keyakinan sebagai pedoman dalam kehidupan. Nilai ini menanamkan bahwa ada kekuatan lain yang mengatur kehidupan ini dan ada kehidupan lain setelah dunia ini.2. Nilai Sosial Budaya

Membina sosialisasi dan interaksi dengan masyarakat

Menekankan manusia sebagai makhluk sosial yang saling membutuhkan

Membentuk norma-norma tingkah laku

Mengintegrasikan budaya dalam kehidupan masyarakat

3. Nilai Kasih Sayang

Memberikan cinta kasih dan rasa aman

Saling memberikan perhatian

Saling memahami dan menghargai

Saling menjaga dan melindungi

4. Nilai Ekonomi

Mencari sumber-sumber penghasilan untuk memenuhi kebutuhan

Pengaturan penggunaan penghasilan untuk kebutuhan yang diprioritaskan

Menabung untuk kebutuhan di masa datang

Manajemen pemasukan harus lebih besar daripada pengeluaran (menghindari deficit)

5. Nilai Politik

Usaha untuk memperoleh jabatan

Manajemen penghimpunan massa

Advokasi kebijakan

6. Nilai Pertahanan dan Keamanan

Mempertahankan diri dari segala bentuk ancaman

Menentukan batasan dalam perlindungan

2.3.3 Nilai Umum Keluarga

Menurut Friedman (1998), bentuk dari nilai keluarga merupakan orientasi nilai dari keluarga tersebut, meliputi:a. Prestasi individu dan produktivitas

Prestasi dan produktivitas individu telah diidentifikasi secara konsisten sebagai nilai-nilai kunci dari sebuah keluarga. Keberhasilan dan prestasi, hasil-hasil menyangkut produktif yang masih diragukan, merupakan nilai-nilai sosial. Dikalangan kelas menengah, prestasi pribadi sangat ditekankan, khususnya prestasi menyangkut pencapaian pekerjaan

b. Individualisme

Kebebasan memilih dari seorang individu merupakan salah satu nilai sosial sentral dalam masyarakat barat.

c. Materialisme atau etika konsumsi

Pemilikan uang dan barang tidak hanya menjadi sebuah penilaian essensial sebagai seorang yang produktif melainkan juga merupakan sebuah nilai sentral dalam dan dari masyarakat itu sendiri. Nilai ini merujuk pada materialism.

d. Etika kerja

Meskipun etika kerja telah kehilangan banyak potensinya, namun etika masih menjadi bagian yang dominan dari sebuah kebudayaan. Dan dipegang teguh oleh institusi-institusi kemasyarakatan. Keberhasilan Negara-negara industri masih tetap bergantung pada individu-individu yang berorientasi pada pekerjaan.

e. Pendidikan

Pendidikan dipandang oleh kalangan kelas menengah sebagai alat untuk mencapai produktivitas, dan dari sebab itu nilai yang diberikan pada pendidikan sangat berhubungan erat dengan etika kerja, materialism, individualisme dan kemajuan. Meskipun pendidikan jauh lebih ditekankan dikalangan kelas menengah dan kelas atas, namun nilainya juga sudah mulai menonjol dalam kalangan kelas pekerja.

f. Persamaan hak

Persamaan nilai-nilai kebudayaan yang dominan dalam hubungan-hubungan pribadi jauh lebih banyak daripada kebudayaan-kebudayaan lain. Sebuah penelitian menyatakan bahwa anak-anak tidak puas dengan penggunaan kekuasaan yang sewenang-wenang atau kekuasaan paksa, perasaan-perasaan yang berasal dari nilai-nilai menyokong suatu struktur kekuasaan berdasarkan egalitarianism, dan juga harapan-harapan yang berasal dari partisipasi orang, kemandirian, dan otonomi.

g. Kemajuan dan Penguasaan terhadap Lingkungan Seseorang

Kekuatan-kekuatan alam dipandang sebagai hal-hal yang perlu diatasi, dikuasai, dimanfaatkan oleh manusia.

h. Orientasi Masa Depan

Semua masyarakat harus berhadapan dengan tiga dimensi: waktu masa lalu, masa sekarang, dan masa depan. Hal ini penekanannya pada masa depan dengan antisipasi secara optimis, akan lebih besar dan lebih baik.

i. Efisiensi, Ketentraman, dan Kepraktisan

Pada masyarakat yang paling depan, bersikap praktis, belajar berimprovisasi dan menggunakan sumber-sumber yang dimiliki seseorang sebaik mungkin yang sangat terikat dengan kelangsungan hidup.

j. Rasionalitas

Agar bisa efisien, teratur, progresif, produktif, dan praktis, orang harus rasional dan harus mampu bereaksi dengan memecahkan masalah dan berpikir secara logis lewat situasi dan tujuan yang dimiliki oleh seseorang.

k. Kualitas Hidup dan Pemeliharaan Kesehatan

Perbaikan gaya hidup, seperti berhenti merokok, membuat perubahan-perubahan diet, ikut serta mengurangi stress atas usaha sendiri dan ikut serta dalam program-program kesehatan .

l. Melakukan Orientasi

Suatu tindakan dalam hubungannya dengan penyelesaian sesuai dengan (standar-standar kemasyarakatan).

m. Toleransi Terhadap Perbedaan

Meningkatkan toleransi terhadap perbedaan gaya hidup dan bentuk-bentuk keluarga yang telah berlangsung.

BKKBN (Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional, 1996) menerapkan dan membudayakan keluarga di Indonesia untuk Norma Keluarga Kecil Bahagia dan Sejahtera (NKKBS), meliputi: Norma jumlah anak yang sebaiknya dimiliki adalah dua anak

Norma jenis kelamin anak, laki-laki atau perempuan sama saja. Norma saat yang tepat seorang wanita untuk melahirkan, umur 20-30 tahun.

Norma pemakaian alat kontrasepsi untuk mencegah kehamilan. Norma usia yang tepat untuk menikah, untuk wanita, 20 tahun. Norma menyusui anaknya sampai umur 2 tahun.Perkembangan dan pembudayaan NKKBS memerlukan strategi yang tepat dengan memperhatikan tipologi budaya dan karakteristik masyarakat sasaran. NKKBS ini bertujuan untuk mengendalikan laju pertumbuhan penduduk, karena jika tidak dikendalikan pada batas tertentu dan tidak diimbangi pertumbuhan ekonomi yang memadai maka akan terjadi penurunan kualitas hidup manusia (Bryan, 2007).2.3.4 Faktor Yang Mempengaruhi Nilai KeluargaAspek-aspek yang mempengaruhi penerapan nilai dalam keluarga, antara lain: (Zein, 2000)1. Keterbukaan

Sikap terbuka yang dimiliki anggota keluarga akan memudahkan penanaman nilai dalam keluarga secara berkesinambungan dapat diwujudkan nilai-nilai tersebut dalam perilaku sehari-hari.

2. Konsisten

Penanaman nilai yang dilakukan secara berulang-ulang dan konsisten akan mudah diingat oleh setiap anggota keluarga sehingga lebih mudah untuk diterapkan.

3. Keteladanan

Disinilah peran orang tua sebagai promotor penanaman nilai pada anak-anaknya sehingga nilai tidak hanya diucapkan tetapi juga dipahami, diyakini, dan diimplementasikan.

4. Sarana Pendukung

Dukungan media fasilitas, maupun seumber daya bagi baik secara materiil maupun moriil turut serta mempermudah pemahaman dalam penanaman nilai di keluarga.BKKBN mengemukakan faktor-faktor yang mempengaruhi penanaman nilai NKKBS, yaitu:

a. Alasan Agama.

Bagi para pemeluk agama merencanakan jumlah anak adalah menyalahi kehendak Tuhan. Kita tidak boleh mendahului kehendak Tuhan apalagi mencegah kelahiran anak dengan menggunakan alat kontrasepsi supaya tidak hamil. Langkah utama untuk mengatasi hal ini adalah menemui tokoh-tokoh atau ulama dari agama tersebut untuk menjelaskan bahwa merencanakan keluarga untuk membantu Keluarga Kecil adalah tidak bertentangan dengan Agama.

b. Sosial Ekonomi.

Anak dipandang sebagai tenaga kerja yang dapat membantu meningkatkan ekonomi keluarga sehingga mempunyai banyak anak akan banyak tambahan pendapatan yang akan diperoleh. Hal ini memang suatu kenyataan dan benar, tetapi belum diperkirakan nasib anak itu sendiri apakah anak itu memang bisa diharapkan pendidikannya dan masa depannya. Kadang hal ini dipertimbangkan, mempunyai banyak anak malah menjadi beban dan masalah.

c. Adat lstiadat.

Adat kebiasaan atan adat dari suatu masyarakat yang memberikan nilai anak laki-laki lebih dari anak perempuan atau sebaliknya. Hal ini akan memungkinkan satu keluarga mempunyai banyak anak Bagaimana kalau keinginan untuk mendapatkan anak laki-laki atau perempuan tidak terpenuhi mungkin akan menceraikan istrinya dan kawin lagi agar terpenuhi keinginan memiliki anak laki-laki ataupun anak perempuan. Disini norma adat istiadat perlu diluruskan karena tidak banyak menguntungkan bahkan banyak bertentangan dengan kemanusiaan.

2.3.5 Proses Keperawatan 1. Pengkajiana. Struktur Nilai Keluarga

i. Kesesuaian antara nilai-nilai keluarga dengan kelompok atau komunitasyang lebih luas

ii. Pentingnya nilai-nilai yang dianut bagi keluarga

iii. Apakah nilai-nilai ini dianut secara sadar atau tidak sadar

iv. Konflik nilai yang menonjol dalam keluarga

v. Kelas sosial keluarga, latar balakang kebudayaan mempengaruhi nilai-nilaikeluarga

vi. Bagaimana nilai-nilai mempengaruhi kesehatan keluarga

b. Data Lingkungan

i. Karakteristik Rumah

Gambaran tipe tempat tinggal (rumah, apartemen, sewa kamar, dll). Apakahkeluarga memiliki rumah ini sendiri atau menyewa?

Gambaran kondisi rumah (baik interior maupun ekterior rumah). Interior rumahmeliputi jumlah kamar dan tipe kamar (kamar tamu, kamar tidur, dll), penggunaankamar tersebut dan bagaimana kamar tersebut diatur. Bagaimana kondisi dankecukupan perabot. Penerangan, ventilasi, lantai, tangga, susunan dan kondisi bangunan.

Dapur: suplai air minum, pengunaan alat-alat masak, pengamanan untuk kebakaran.

Kamar mandi: sanitasi, air, fasilitas toilet, ada tidaknya sabun dan handuk.

Mengkaji pengaturan tidur di dalam rumah. Apakah peraturan tersebut memadai bagi anggota keluarga, dengan pertimbangan usia mereka, hubungan dankebutuhan-kebutuhan khusus mereka lainnya.

Mengkaji keadaan umum kebersihan dan sanitasi rumah. Apakah ada serbuanserangga-serangga kecil (khususnya di dalam) dan/ atau masalah-masalah sanitasiyang disebabkan oleh kehaduran binatang piaraan.

Mengkaji perasaan-perasaan subjektif keluarga terhadap rumah. Apakah keluargamenganggap rumahnya memadai bagi mereka.

Evaluasi pengaturan privasi dan bagaimana keluarga keluarga merasakan privasimereka memadai. Evaluasi ada dan tidak bahaya-bahaya terhadap keamanan rumah/ lingkungan.

Evaluasi adekuasi pembuangan sampah.

Kaji perasaan puas/ tidak puas dari anggota keluarga secara keseluruhan dengan pengaturan/ penataan rumah.

ii. Karakteristik Lingkungan dan Komunitas Tempat Tinggal

Tipe keluarga/ komunitas (desa, kota, subkota, kota).

Tipe tempat tinggal (hunian, industri, campuran hunian dan industri kecil, agraris)di lingkungan.

Keadaan tempat tinggal dan jalan raya (terpelihara, rusak, tidak terpelihara,semantara/ diperbaiki).

Sanitasi jalan, rumah (kebersihan, pengumpulan sampah dll).

Adanya dan jenis-jenis industri di lingkungan (kebisingan, masalah-masalah polusiair dan udara).

Bagaimana karakteristik demografis dari lingkungan dan komunitas?

Kelas sosial dan karakteristik etnis penghuni.

Perubahan-perubahan secara demografis yang berlangsung belakangan ini dalamlingkungan/ komunitas.

Pelayanan-pelayanan kesehatan dan pelayanan sosial apa yang ada dalamlingkungan dan komunitas?

Fasilitas-fasilitas ekonomi (warung, took, apotek, pasar).

Lembaga-lembaga kesehatan (klinik-klinik, rumah sakit, dan fasilitas gawatdarurat).

Lembaga-lembaga pelayanan sosial (kesejahteraan, konseling, pekerjaan)

Bagaimana mudahnya sekolah-sekolah dilingkungan atau komunitas?

Fasilitas-fasilitas rekreasi yang dimiliki daerah ini.

Tersedianya transportasi umum.

Bagaimana insiden kejahatan dilingkungan dan komunitas? Apakah adakeselamatan yang serius?

iii. Mobilitas Geografi Keluarga

Lama keluarga tinggal didaerah ini.

Apakah sering berpindah-pindah tempat tinggal?

iv. Hubungan Keluarga dan Fasilitas-fasilitas Kesehatan Dalam Komunitasa.

Anggota keluarga yang sering menggunakan fasilitas pelayanan kesehatan dantempat pelayanan kesehatannya.

Seberapa sering keluarga menggunakan fasilitas pelayanan kesehatan?

v. Sistem pendukung keluarga

Fasilitas-fasilitas yang dimiliki keluarga yang dapat dimanfaatkan untuk pemeliharaan kesehatan.

Sumber pendukung keluarga pada saat keluarga membutuhkan bantuan, (orang tua,keluarga dekat, teman-teman dekat, tetangga, lembaga: pemerintah maupunswasta/ LSM).

Jaminan pemeliharan kesehatan yang dimiliki keluarga.

2. Diagnosa KeperawatanSalah satu diagnosa keperawatan keluarga tentang nilai keluarga adalah konflik nilai. Jika diagnosa konflik nilai ditegakkan maka sistem yang terlibat harus dispesifikan, seperti konflik nilai antara kakek dan cucu, serta mencakup identifikasi karakteristik dan faktor yang berhubungan (Friedman, 1998).Menurut klasifikasi NANDA, 2009-2011, domain 10 (prinsip-prinsip hidup), diagnosa keperawatan keluarga meliputi: Distres moral

Ketidakpatuhan

Hambatan religiositas

Kesiapan meningkatkan religiositas

Risiko hambatan religiositas Kesiapan meningkatkan harapan

Kesiapan meningkatkan kesejahteraan spiritual

Distres spiritual

Risiko distres spiritual

3. Intervensi KeperawatanIntervensi keperawatan keluarga dalam keluarga dalam area penanaman nilai terutama melibatkan pendidikan kesehatan dan konseling, serta kolaborasi sekunder, membuat kontrak, dan merujuk ke kelompok swa-bantu, organisasi komunitas, dan klinik atau kantor terapi keluarga. Model peran juga berperan tipe pemberian pendidikan kesehatan yang penting. Model peran melalui observasi anggota keluarga mengenai tenaga kesehatan keluarga dan bagaimana mereka berkomunikasi selama situasi interaksi yang berbeda bahwa mereka belajar meniru perilaku penerapan penerepan nilai yang tepat untuk mewujudkan keluarga sehat.a. Intervensi keperawatan keluarga dengan focus kognitif memberikan atau ide baru tentang aplikasi penanaman nilai dalam keluarga. Hal ini bertujuan untuk menegaskan peran penting dari persepsi masing-masing anggota keluarga.b. Intervensi dalam area afektif diarahkan pada perubahan ekspresi emosi anggota keluarga baik dengan meningkatkan maupun menurunkan tingkat keterlibatan peran dalam penanaman nilai di keluarga. Tujuan keperawatan spesifik didalam konteks kebudayaan keluarga, membantu anggota keluarga mengekspresikan dan membagi perasaan mereka satu sama lain sehingga:1) Kebutuhan emosi mereka dapat disampaikan dan ditanggapi 2) Terjadi komunikasi yang lebih selaras dan jelas3) Upaya penyelesaian masalah keluarga difasilitasi.c. Intervensi keperawatan keluarga berfokus pada perilaku, perubahan perilaku menstimulasi perubahan dalam persepsi realitas anggota keluarga dan persepsi menstimulasi perubahan perilaku (proses sirkular, rekursif). Oleh karena itu, ketika perawat keluarga menolong anggota keluarga belajar menerapkan peran sesuai dengan penanaman nilai, maka Ia juga akan membantu anggota keluarga untuk mengubah persepsi mereka atau membangun realitas tentang suatu situasi. 2.4 Stres, Koping, Dan Adaptasi Keluarga2.4.1 Konsep Dasar Stres Dan Koping Stimulus dengan intensitas berlebihan yang tidak disukai berupa respon fisiologis, prilaku, dan subjektif terhadap stres, konteks yang menjembatani pertemuan antara individu dengan stimulus yang membuat stres, semua sebagai suatu sistem (WHO, 2003) Hans Selye (2001) mendefinisikan stress sebagai respon tubuh yang sifatnya non spesifik terhadap setiap tuntutan beban atasnya. Stres adalah keadaan atau respon ketegangan yang disebabkan oleh stressor atau oleh tuntutan aktual yang dirasakan yang tetap tidak teratasi (Antonovsky, 1979; Burr, 1973). Stres adalah ketegangan dalam diri seseorang atau system sosial (keluarga) dan merupakan reaksi terhadap situasi yang menimbulkan tekanan (Burgess, 1978). Agen pemerkasa atau presipitasi yang mengaktifkan proses sters disebut stressor (Burr et al, 1993; Chrisman & Fowler, 1980). Agen presipitasi yang mengaktifkan stress dalam keluarga adalah peristiwa hidup atau kejadian yang cukup kuat untuk menyebabkan perubahan dalam system keluarga (Hill, 1949). Stressor keluarga dapat berupa peristiwa atau pengalaman pinterpersonal (didalam atau diluar keluarga), lingkungan, ekonomi atau social budaya. Akumulasi dan stressor dalam kehidupan keluarga memberikan perkiraan jumlah stress yang dialami keluarga (Alson et al, 1983). Teori stress keluarga Hill (1999) klasik merupakan model yang paling singkat dan fasih dalam menguraikan factor-faktor yang menyebabkan krisis dalam keluarga. Berdasarkan perpisahan dan penyatuan, ia menyusun teori stress keluarga yang disebut ABCX yaitu mengidentifikasi kumpulan variabel besar (factor A, B, C,D dan X) dan hubungan yang menyebabkan krisis/bukan krisi keluarga. Secara teoritis diuraikan proses penyesuaian roller coaster pasca krisi yang dilewati keluarga. Dua bagian kerangka teoritis masih tetap jelas tidak berubah selam 50 tahun terakhir. Kerangka ABCX ini memilki dua bagian, antara lain: a. Pernyataan yang berhubunagan dengan penentu krisis keluarga: A (peristiwa dan kesuliatan yang terkait) yang berinteraksi dengan B ( sumber berhadapan dengan krisis keluarga) yang berinteraksi dengan C ( definisi yang dibuat keluarga mengenia peristiwa tersebut) menghasilkan X (krisis) (Hill,1965). b. Pernyataan yang lebih berorientasi proses terkait dengan jalannya penyesuaian secara krisis. Hill (1965) menjelaskan bahwa perjalanan penyesuaian keluarga setelah sebuah krisis meliputi periode disorganisasi, sudut pemulihan, reorganisasi dan tingkat baru fungsi keluarga. Persepsi anggota keluarga adalah interpretasi anggota keluarga secara tunggal atau secara kolektif atau menyusun pengalaman mereka. Persepsi mewarnai sifat dan signifikasi stressor keluarga yang mungkin, karena keluarga bereaksi tidak hanya terhadap stressor aktual, tetapi juga terhadap pereistiwa saat keluarga merasakan atau menginterpretasikannya (Friedman, 1998)

Koping didefinisikan sebagai respon (kognitif perilaku atau persepsi) terhadap ketegangan hidup eksternal yang berfungsi untuk mencegah, menghindari, mengandalkan distress emosional. Koping adalah sebuah istilah yang terbatas pada perilaku atau kognisi aktual yang ditampilkan seseorang, bukan pada sumber yang mungkin mereka gunakan (Menaghan, 1983). Koping keluarga didefinisikan sebagai proses aktif saat keluarga memamfaatkan sumber yang ada dan mengembangkan perilaku serta sumber baru yang akan memperkuat unit keluarga dan mengurangi dampak peristiwa hidup penuh stress (McCubbin,1979).

Krisis keluarga adalah kondisi kekacauan, tidak teratur, atau ketidakmampuan dalam sistem keluarga yang berlangsung terus menerus. Krisi terjadi ketika sumber dan strategi adaptif keluarga tidak efektif dalam mengatasi stressor (Burn, 1973)

Adaptasi merupakan proses manajemen stressor melalui penggunaan kekuatan, koping, dan strategi pemecahan masalah (Burgess, 1978).

Adaptasi keluarga adalah suatu proses saat keluarga terlibat dalam respon langsung terhadap tuntutan stressor yang ekstensif, dan menyadari bahwa perubahan sistemik dibutuhkan dalam unit keluarga, untuk memperbaiki stabilitas fungsional dan memperbaiki kepuasaan dan kesejahteraan keluarga (McCubbin, 1993). Koheren keluarga merupakan kunci sumber ketahanan alami dari individu dan keluarga. Hal ini berpengaruh pada promosi kesehatan dan kesejahteraan (McCubbin et al., 1998)

Resilience keluarga merupakan proses adaptasi dalam sistem keluarga. Pendekatan resilience keluarga guna bekerja dengan keluarga dibentuk atas kompetensi dan kekuatan anggota keluarga yang memungkinkan penyediaan layanan kesehatan bergeser dari model potogenik ke model berbasis kekuatan yaitu kita melihat keluarga ditantang, bukan hancur, karena kemalangan (Walsh, 1998).2.4.2 Tahapan Stress Dan Strategi Koping

TAHAPAN STRESSSelye (dalam Munandar, 2001) mengidentifikasikan 3 tahap dalam respon sistemik tubuh terhadap kondisi-kondisi penuh stres, yang diistilahkan General Adaptation Syndrome (GAS), yaitu : a. Alarm Reaction Organisme berorientasi pada tuntutan yang diberikan oleh lingkungannya dan mulai menghayatinya sebagai ancaman.

b. Resistance (perlawanan) Organisme memobilisasi sumber- sumbernya supaya mampu menghadapi tuntutan.

c. Exhaustion Jika tuntutan berlangsung lama, maka sumber-sumber penyesuaian ini mulai habis dan organisme akan kehabisan tenaga. Jika reaksi badan tidak cukup, berlebihan, atau salah, maka reaksi badan itu sendiri dapat menimbulkan penyakit (diseases of adptation)

Seyle membagi stress menjadi dua:

Stress yang positif (eustress): konstruktif dan menghasilkan sesuatu yang positif

Stress yang negatif (distress): destrukftif dan menghasilkan sesuatu yang negatif

Menurut Reiss, Streinglass & Howe, 1993, tahapan stres meliputi:1. Periode Antrestres

Periode stress sebelim benar-benar melawan stressor, antisipasi kadang mungkin terjadi, terdapat kesadaran terhadap bahaya yang mengancan atau ancaman situasi yang dirasakan. Jika keluarga atau orang yang membantu dapat mengidentifikasi stressor yang akan dating, bimbingan antispasi serta strategi koping pencegahan dapat dicari atau diberikan untuk memperlemah atau mengurangi dampak stressor.

2.Periode Stres Aktual

Strategi koping selama periode stress biasanya berbeda intensitas dan jenisnya dari strategi yang digunakan sebelum awitan stressor dan stress. Mungkin terdapat stratergi defensive dan bertahan yang sangat dasar digunakan selama periode ini jika stress dalam keluarga sangat berat. Dengan energi yang luar biasa besar yang dikeluarkan dalam menangani stressor dan stre, banyak fungsi keluarga (beberapa dapat penting bagi kesehatan keluarga) sering kali diabaikan atau dilakukan secara tidak adekuat sampai keluarga memiliki sumber untuk mengatasi stressor dan stress. Respon koping yang paling membantu selama periode stress sering kali interkeluarga dan mencari sumber dukungan spiritual.

3.Periode Pascastres

Strategi koping yang diterpkan setelah periode stress akut, disebut fase pascatruama yang terdiri dari satrategi untuk mengembalikan keluarga ke keadaan homeostasis yang seimbang. Untuk meningkatkan kesejatreaan kel;uarga selam fase ini, keluarga perlu saling bekerja sama, saling mengungkapkan perasaan dan memecahkan masalah atau mencari atau memamfaatkan dukungan keluarga untuk memperbaiki situasi penuh stress. Empat kemungkinan hasil akhir pascatrauma antar lain;

a.Keluarga berfungsi pad tingkat yang lebih tinggi dibandingkan sebelumnya.

b.Keluarga berfungsi pada tingkat yang lebih rendah dari pada sebelumnya

c.Keluarga berfungsi pada tingkat yang sama dengan prastres

d.Perpecahan keluarga (seperti: perpisahan, perceraian dan pengabaian).

Ketika keluarga mengakhiri fungsinya pada tingkat kesejahteraan rendah atau dalam keadaan perpecahan keluarag, anggota keluarga sering kali membutuhkan bantuan professional untuk membantu keluarga meningkatkan rangkaian strategi koping yang efektif

Seseorang yang stres akan mengalami beberapa tahapan stres. Menurut Amberg (1979), sebagaimana dikemukakan oleh Dadang Hawari (2001) bahwa tahapan stres adalah sebagai berikut:

a. Stres tahap pertama (paling ringan), yaitu stres yang disertai perasaan nafsu bekerja yang besar dan berlebihan, mampu menyelesaikan pekerjaan tanpa memperhitungkan tenaga yang dimiliki, dan penglihatan menjadi tajam.

b. Stres tahap kedua, yaitu stres yang disertai keluhan, seperti bangun pagi tidak segar atau letih, cepat lelah pada saat menjelang sore, mudah lelah sesudah makan, tidak dapat rileks, lambung dan perut tidak nyaman (bowel discomfort), jantung berdebar, otot tengkuk dan punggung tegang. Hal tersebut karena cadangan tenaga tidak memadai.

c. Stres tahap ketiga, yaitu tahapan stres dengan keluhan seperti defekasi tidak teratur, otot semakin tegang, emosional, insomnia, mudah terjaga dan susah tertidur lagi, bangun terlalu pagi dan sulit tidur lagi, koordinasi tubuh terganggu, akan jatuh pingsan.

d. Stres tahap keempat, yaitu tahapan stres dngan keluhan, seperti tidak mampu bekerja sepanjang hari, aktivitas pekerjaan terasa sulit dan menjenuhkan, respon tidakadekuat, kegiatan rutin terganggu, gangguan pola tidur, sering menolak ajakan, konsentrasi dan daya ingat menurun, serta timbul ketakutan dan kecemasan.

e. Stres tahap kelima, yaitu tahapan stres yang ditandai dengan kelelahan fisik dan mental, ketidakmampuan menyelesaikan pekerjaan yang sederhana dan ringan, gangguan pencernaan berat, meningkatnya rasa takut dan cemas, bingung dan panik.

f. Stres tahap keenam (paling berat), yaitu tahapan stres dengan tanda- tanda, seperti jantung berdebar keras, sesak napas, badan gemetar, dingin dan banyak keluar keringat, lemah, serta pingsan.

Sementara menurut Holmes & Rehe (1976) dan Wiebe & Williams (1992), tahapan stres dibagi menjadi tiga yaitu:

a. Stres ringan Adalah stresor yang dihadapi seseorang secara teratur, kemacetan lalu lintas, kritikan dari orang lain. Situasi ini biasanya berlangsung beberapa menit atau jam.

b. Stres sedang Berlangsung lebih lama dari beberapa jam sampai beberapa hari, seperti perselisihan dengan teman

c. Stres berat Adalah situasi kronis yang dapat berlangsung beberapa minggu sampai beberapa tahun, seperti perselisihan perkawanan terus menerus, penyakit fisik jangka panjang. Berdasarkan tahapan stres diatas, maka harus dipahami pula tentang bagaimana cara mengatasi stres.

STRATEGI KOPINGStrategi koping berdasarkan penggolongannya dibagi menjadi tiga (Stuart dan Lansia, 2005), yaitu:1. Koping yang berpusat pada masalah (Problem Focused Coping Mechanisms)Mekanisme koping berpusat pada masalah diarahkan untuk mengurangi tuntutan-tuntutan situasi yang menimbulkan stress atau mengembangkan sumber daya untuk mengatasinya.Hal-hal yang harus diperhatikan antara lain:

Koping konfrontasi: menggambarkan usaha-usaha untuk mengubah keadaan atau masalah secara agresif, juga menggambarkan tingkat kemarahan serta pengambilan risiko.

Isolasi: individu berusaha menarik diri dari lingkungan atau tidak mau tahu