139

Pilkada Serentak - Quo Vadis Kedaulatan Rakyat

  • Upload
    vutuong

  • View
    239

  • Download
    5

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Pilkada Serentak - Quo Vadis Kedaulatan Rakyat
Page 2: Pilkada Serentak - Quo Vadis Kedaulatan Rakyat

i

Quo Vadis Kedaulatan RakyatPILKADA SERENTAK

Mukhtar Sarman

Page 3: Pilkada Serentak - Quo Vadis Kedaulatan Rakyat

ii

Pilkada Serentak

Pilkada Serentak: Quo Vadis Kedaulatan Rakyat© Mukhtar Sarman

viii + 130 hal, 14,5 x 21 cmISBN : 978-602-73740-0-3Layout / Cover : Ahmat

Edisi khusus: Desember 2015

Diterbitkan oleh:Program Magister Sains Administrasi PembangunanUniversitas Lambung Mangkurat

Hak penerbitan pertama kali berada padaProgram Magister Sains Administrasi PembangunanUniversitas Lambung Mangkurat (MSAP UNLAM)Website: www.msap-unlam.ac.idE-mail: [email protected]

Dicetak oleh:PT. LKiS Printing CemerlangSalakan Baru No 1 Sewon BantulJl. Parangtritis Km 4,4 YogyakartaTelp : (0274) 387194, 082242697136email : [email protected]

Page 4: Pilkada Serentak - Quo Vadis Kedaulatan Rakyat

iii

“Hendak pergi ke mana kalian ini?”(QS 81:26)

“Ada jalan yang disangka lurus, tetapi ujungnya menuju maut”.(Amsal 14:12)

Page 5: Pilkada Serentak - Quo Vadis Kedaulatan Rakyat

iv

Pilkada Serentak

Untuk para anak bangsa,

yang bermimpi ingin jadi pemimpin.

Janganlah lupa,

bahwa pemimpin itu memanggul beban masalah mereka yang

dipimpin.

Page 6: Pilkada Serentak - Quo Vadis Kedaulatan Rakyat

v

Kata Pengantar

Karena sebuah kerisauan, buku kecil ini sengaja saya tulis. Saya risau karena reformasi politik telah memberikan euforia demokrasi yang menyebabkan munculnya

pengharapan yang berlebihan, sehingga banyak orang yang lupa bahwa mengapa rezim Orde Baru dikecam lantaran ulah penguasa dan para politisinya yang tidak begitu hirau dengan aspirasi rakyat yang tertindas dan diperlakukan hanya sebagai obyek. Saya risau karena kalangan akademisi sedikit banyak berperan serta dalam sejumlah sesat pikir tentang konsep demokrasi politik dan pemerintahan yang ditawarkan untuk bangsa ini melalui berbagai kajian akademis mereka. Saya risau karena rakyat, yang diidealkan punya hak kedaulatan atas negara, ternyata masih juga berada dalam posisi sebagai pihak yang terpinggirkan.

Kerisauan saya mungkin ditafsirkan sebagai suatu kesadaran yang sia-sia, karena tidak akan berpengaruh terhadap pihak-pihak yang menjadi penentu kebijakan yang merancang skenario percaturan politik. Atau boleh jadi juga kerisauan saya itu ditanggapi dengan cibiran sinis, misalnya karena saya dianggap tidak mendapatkan bagian keuntungan dari dinamika politik nasional dan lokal yang sedang terjadi. Apapun reaksi yang diberikan, dan akan saya terima dengan lapang dada, tidak mengurangi semangat saya untuk berbagi kerisauan. Harapan saya, siapa tahu kerisauan saya ini dapat menjadi virus yang menularkan kesadaran bahwa

Page 7: Pilkada Serentak - Quo Vadis Kedaulatan Rakyat

vi

Pilkada Serentak

praksis demokrasi politik kita masih ada harapan untuk menjadi lebih baik. Asalkan semua pihak mau berpikir sejenak, bahwa kita semua seperti tersesat dalam labirin masalah politik yang terlalu mementingkan aspek prosedural administratif daripada substansi politik demokratis.

Semoga buku kecil ini ada manfaatnya. Selamat membaca, dan boleh marah-marah apabila ada hal yang tidak sependapat dengan pemikiran saya.

Medio Desember 2015

MUKHTAR SARMAN

Page 8: Pilkada Serentak - Quo Vadis Kedaulatan Rakyat

vii

Daftar Isi

Kata Pengantar ~ [v]

Daftar Isi ~ [vii]

Prolog ~ [1]

Bagian Pertama

Demokrasi dan Demokratisasi ~ [11]

�� 3UDNVLV�'HPRNUDVL�\DQJ�'LLPSLNDQ�~�[12 ]

�� 3URVHV�'HPRNUDWLVDVL�\DQJ�%HOXP�6HOHVDL�~ [ 18]

�� 3LONDGD�%HUNHGDXODWDQ�5DN\DW�~�[27]

Bagian Kedua

Habitus dan Habituasi Demokrasi ~ [31]

�� +DELWXV�'HPRNUDVL�\DQJ�'LED\DQJNDQ�~ [31]

�� 3RNRN�3HUVRDODQQ\D�DGDODK�'R[D��~ [42]

�� $MDQJ�3HUWDUXQJDQ�3HPLOLN�0RGDO�~ [46]

Page 9: Pilkada Serentak - Quo Vadis Kedaulatan Rakyat

viii

Pilkada Serentak

Bagian Ketiga

Skenario yang Tak Rancak ~ [51]

�� %HUPXOD�GDUL�.HVDODKNDSUDKDQ�3DUD�(OLW��~ [51]

�� .RQVWHODVL�3ROLWLN�\DQJ�7DN�7HUDQWLVLSDVL�~ [60]

�� .HWLND�+DO�1RUPDWLI�'LJXJDW�~ [67]

Bagian Keempat

Memahami Kontestasi Politik di Ranah Lokal ~ [73]

�� 0HGDQ�3HUWDUXQJDQ�\DQJ�5DZDQ�.RQÀLN�~ [74]

�� 3HUWDUXQJDQ�6LPEROLN�$WDV�1DPD�'HPRNUDVL�~ [80]

�� 0DVDODK�/DWHQ�\DQJ�-DGL�3DUDGRNV�'HPRNUDVL��~ [85]

Bagian Kelima

Pelajaran dari Pilkada Kalimantan Selatan ~ [91]

�� 3HUVRDODQQ\D�$GDODK�5DVLRQDOLWDV�(OLW��~ [91]

�� 7ULN�.DPSDQ\H�0HPEDQJXQ�6LPSDWL�0DVVD�~ [99]

�� 3DGD� $NKLUQ\D� 3HPHQDQJQ\D� $GDODK� ³$QWL� .OLPDNV´� ~ [104]

Epilog ~ [115]

Daftar Rujukan ~ [119]

Lampiran ~ [127]

Page 10: Pilkada Serentak - Quo Vadis Kedaulatan Rakyat

1

Prolog

Mencermati praksis demokrasi di Indonesia, nampaknya dibutuhkan kehati-hatian ekstra, karena boleh jadi kita akan terjebak pada sejumlah

kesalahkaprahan yang tak perlu. Hal itu tidak terkecuali apabila kita mencermati kasus perhelatan politik dalam rangka pemilihan Kepala Daerah (Pilkada).1

Pemilihan Kepala Daerah secara Langsung (Pilkada Langsung) oleh rakyat di daerah tertentu diandaikan sebagai pengejawantahan kaidah demokrasi, yang memuliakan hak kedaulatan rakyat. Namun demikian, wacana tentang “demokrasi” dan “kedaulatan rakyat” itu rupanya ditafsirkan sendiri-sendiri oleh kalangan elit yang terlibat dalam praktik politik yang mengatasnamakan sistem politik demokratis. Hal itu terlihat dalam praksis yang seringkali tidak berkesesuaian dengan aspek teoritisnya.

1 Ada proses transformasi akronim “pemilihan kepala daerah” itu di ranah publik, mulai dari Pilkada, kemudian Pilkadal, dan Pemilukada. Semua akronim itu sebenarnya tidak ada dalam teks Undang-Undang. Suatu saat banyak pihak (termasuk KPU) lebih memilih akronim Pemilukada, karena istilah Pilkada dianggap berkonotasi pada Pemilihan Kepala Daerah (secara tidak langsung) yang menjadi kewenangan DPRD; sedangkan Pemilukada dinilai selalu bermakna dilibatkannya secara langsung seluruh rakyat yang memiliki hak pilih dalam proses Pemilihan Kepala Daerah. Untuk menghindari salah kaprah, saya lebih cenderung menggunakan istilah “Pilkada Langsung”, yang dapat dimaknai sebagai Pemilihan Kepala Daerah secara langsung oleh warga daerah tertentu. Artinya, Pilkada Langsung itu berbeda makna dari Pilkada (yang tidak langsung) yang cara pemilihannya dilakukan oleh anggota DPRD.

Page 11: Pilkada Serentak - Quo Vadis Kedaulatan Rakyat

2

Pilkada Serentak

Secara generik, demokrasi adalah sebuah bentuk pemerintahan yang didasarkan pada kedaulatan rakyat. Rakyat adalah pemegang hak kedaulatan atas negara, dan untuk mengaktualisasikan hal itu sebagai sebuah budaya politik dibutuhkan proses demokratisasi, yang antara lain bisa merujuk pada model-model demokrasi politik tertentu yang paling sesuai dengan kondisi sosial yang tersedia dan kondusif untuk maksud tersebut.2 Sungguhpun demikian, bagaimana konstruksi riil peran rakyat dalam menunjukkan hak kedaulatannya sebenarnya tergantung pada kata sifat yang dilekatkan pada istilah demokrasi itu sendiri,3 sehingga model praksis demokrasi tentu saja bermacam ragam. Dengan kata lain, wacana demokrasi sebenarnya hanya sebuah metafora dari pentingnya peran rakyat dalam tatanan bernegara,4 sedangkan bagaimana praksis demokrasi dengan segala implikasinya harus dilihat kasus per kasus dan tergantung pada kondisi-kondisi obyektif yang mendukungnya.5

Dalam khasanah teori politik yang berorientasi pada penjelasan tentang peran rakyat sebagai pemegang kedaulatan, sistem politik menyangkut ihwal bagaimana suatu pemerintahan menganut dan mempraktikkan kaidah demokrasi. Dalam realitasnya, kaidah demokrasi politik itu acapkali dikaitkan dengan sistem pemerintahan, yang bisa dikategorikan, apakah berpola ROLJDUNKL, atau (meminjam istilah Dahl) sebenarnya tak lain dari bentuk SROLDUNKL. Pemahaman itu didasarkan pada tesis bahwa demokrasi politik itu manakala diimplementasikan dalam bentuk perwakilan (baca: demokrasi representatif) menghendaki adanya proses pemilihan secara umum untuk mendapatkan wakil rakyat

2 Lihat Georg Sorensen, 2008. Democracy and Democratization: Processes and Prospects in a Changing World. (Westview Press. Colorado). Lihat juga David Held, 2006. Models of Democracy. (Polity Press Ltd, Cambridge). Bandingkan dengan Robert A. Dahl, 1989. Democracy and Its Critics. (Yale University Press).

3 Lihat John S. Dryzek, 2004. “Democratic Political Theory”, dalam G.F. Gaus dan C. Kukathas (eds), Handbook of Political Theory. (SAGE Publications, London). Dryzek bahkan mencatat ada 54 kata sifat yang dapat dilekatkan pada istilah “demokrasi” dan menjadikan kategori demokrasi itu demikian luas dan beragam jumlahnya.

4 Lihat Roland Axtmann, 2007. Democracy: Problem and Perspectives. (Edinburgh University Press, Edinburgh).

5 Lihat Frank Cunningham, 2002. Theory of Democracy: A Critical Introduction. (Routledge, London).

Page 12: Pilkada Serentak - Quo Vadis Kedaulatan Rakyat

3

atau pemimpin formal di ranah publik. Karena itu, demokrasi dibayangkan sebagai bentuk pemerintahan yang sesuai dengan prinsip kesetaraan warga negara, yang kebetulan menjadi bagian dari sebuah kesatuan politik yang sama dan melalui proses hukum memberikan kekuasaan publik kepada sebuah entitas yang disebut pemerintah.6

Dari beragam argumentasi yang pernah muncul, secara XPXP� FHQGHUXQJ� GLVHSDNDWL� EDKZD� VDODK� VDWX� GH¿QLVL� WHQWDQJ�demokrasi adalah sistem pemerintahan yang mengakomodir adanya kesetaraan dalam hukum, ekonomi, dan politik bagi VHOXUXK� UDN\DW�� .DUHQD� LWX�� VHFDUD� ¿ORVR¿V� WHUPD demokrasi selalu dipahami sebagai suatu bentuk pemerintahan dari rakyat (GHPRV�FUDWLHQ) atau ”UXOH�E\�WKH�SHRSOH” (Yunani: GHPRNUDWLD). Masalahnya adalah, siapa gerangan yang dimaksud dengan istilah ”rakyat” (SHRSOH) dalam konteks demokrasi itu. Apakah ia menyangkut semua orang (tanpa kecuali), atau harus dikaitkan dengan status dan strata sosialnya, atau malah mensyaratkan jumlah terbesar penduduk. Apakah yang dimaksud dengan ”rakyat” dianggap nir-kepentingan atau penuh kepentingan dalam keterlibatan mereka di ranah politik.7 Bahkan persoalannya akan menjadi semakin rumit manakala ia dikaitkan dengan sistem demokrasi macam apa yang paling cocok untuk diterapkan dalam suatu komunitas seluas negara, apakah model demokrasi pluralis, atau demokrasi langsung, atau demokrasi liberal, atau demokrasi representatif, dan seterusnya.8 6 Lihat Alain de Benoist, “Democracy: Representative and Participatory”, dalam The

Occidental Quarterly. Vol.2, No.2, Summer 2008. 7 Merujuk pada Warren, sesungguhnya ada pembatas konseptual tentang apa

yang dimaksud dengan rakyat (people) itu dalam konteks politik demokratis, dan pembatas dimaksud berkaitan dengan status moral yang dimiliki oleh individu dalam kerangka kolektivitasnya sebagai warga negara (lihat Mark E. Warren, 2006. “Democracy and the State”, dalam John S. Dryzek, et.al., (eds), The Oxford Handbook of Political Theory. [Oxford University Press); dan ketika rakyat itu dalam posisi sebagai warga negara yang punya hak pilih, mereka justru mengutamakan apa yang paling menjadi perhatian mereka untuk menetapkan pilihan politiknya (lihat Russell J. Dalton dan Hans-Dieter Klingemann, 2007, “Citizens and Political Behavior”, dalam The Oxford Handbook of Political Behaviour. [Oxford University Press], halaman 10).

8 Lihat Frederick C. Schaffer, 1998. Democracy in Translation: understanding politics in an unfamiliar culture. (Cornell University Press, Sage House, New York), terutama halaman 3.

Prolog

Page 13: Pilkada Serentak - Quo Vadis Kedaulatan Rakyat

4

Pilkada Serentak

Pemilihan umum (pemilu), sebagai wujud demokrasi representatif, adalah bentuk standar dari implementasi demokrasi politik di negara-negara demokratis modern. Dalam sebuah pemilu, rakyat yang memilki hak pilih (baca: konstituen) adalah subyek yang paling menentukan siapa yang akan menang dan yang harus kalah dalam sebuah kontestasi politik. Itulah sebabnya dalam doktrin klasik muncul pemahaman tentang demokrasi sebagai “pemerintahan oleh rakyat” (JRYHUQPHQW�E\�WKH�SHRSOH); dan menurut Schumpeter hal itu kurang tepat, karena yang lebih masuk akal adalah “pemerintahan yang disetujui oleh rakyat” (JRYHUQPHQW�DSSURYHG�E\�WKH�SHRSOH).9 Dan saya cenderung lebih suka bermakmum kepada pendapat Schumpeter itu karena dua perkara. 3HUWDPD, retorika tentang pemerintahan oleh rakyat sebenarnya bisa menyesatkan bagi “rakyat” yang mengira bahwa mereka punya kuasa untuk mengambil alih kekuasaan negara. Sama halnya kesalahkaprahan dengan istilah uang yang dimiliki negara dan ada di kas negara itu adalah ‘uang rakyat’, sehingga lalu VHMXPODK�RUDQJ��\DQJ�PHQJLGHQWL¿NDVLNDQ�GLULQ\D�VHEDJDL�UDN\DW��merasa paling berhak untuk mendapatkan uang tersebut ~ tentu saja menurut persepsinya masing-masing. .HGXD, kaidah bahwa demokrasi itu adalah pemerintahan yang disetujui oleh rakyat, pada dasarnya jauh lebih realistik ~ karena bisa saja sekelompok rakyat tidak mendukung suatu pemerintahan tetapi karena menjadi bagian dari kelompok minoritas terpaksa harus tunduk pada kehendak mayoritas (sebagai prinsip demokrasi politik) dan ketika mereka tetap berusaha menjadi warga negara yang baik lalu tampak seolah-olah ‘bersetuju’ dengan rezim yang berkuasa.

Suatu bentuk pemerintahan pada dasarnya tergantung sudut pandang tertentu untuk menilainya demokratis atau tidak ~ ketika dikaitkan dengan konstelasi sosiopolitik yang mendukungnya. Dalam kaitan itu persoalannya acapkali tergantung pada ihwal bagaimana caranya pemerintah atau penguasa atau elit politik memanipulasi agar persetujuan dari rakyat itu bisa diperoleh untuk mendukung legitimasi kekuasaannya di ranah publik. Salah 9 Lihat Joseph A. Schumpeter, 1943. Capitalism, Socialism and Democracy, (Allen

and Unwin, London), halaman 246.

Page 14: Pilkada Serentak - Quo Vadis Kedaulatan Rakyat

5

satu pintu masuk untuk mendapatkan legitimasi politik itu adalah melalui pemilu.10

7HWDSL��NXDOL¿NDVL�SHPLOX�GDODP�NRQWHNV�SHUXEDKDQ�SROLWLN�GL�level nasional, misalnya untuk memilih Presiden, tidaklah dapat disetarakan komplikasinya dengan pemilu di level lokal untuk memilih seorang Kepala Daerah seperti Gubernur atau Bupati dan Walikota.11 Bahkan teori-teori politik yang mendukung keabsahan teoritik sebuah pemilu nasional, seperti misalnya teori tentang pluralitas kelompok pemilih, boleh jadi tidak relevan untuk digunakan buat menganalisis fenomena politik di ajang kontestasi pemilihan Kepala Daerah. Ada keunikan tersendiri sehingga sebuah “pemilu” dalam rangka memilih Kepala Daerah seharusnya disikapi sebagai sebuah fenomena yang masih banyak menyisakan ‘ruang kosong diskursif’, dan memberikan kesempatan hadirnya pemahaman teoritik alternatif, yang belum termaknai dalam teori-teori politik yang sudah tersedia.

Terlepas dari pro-kontra manfaat substantif Pilkada bagi warga masyarakat Indonesia, Pilkada Langsung adalah sebuah model demokrasi politik lokal yang dibayangkan mampu menghasilkan terpilihnya seseorang aktor menjadi pemimpin formal yang kredibel di suatu daerah, karena melibatkan sebagian besar penduduk di daerah dalam proses pemilihannya. Adanya pelibatan sebagian besar penduduk dalam Pilkada jelas 10� 0HPLQMDP� GH¿QLVL� 6DUWRUL�� GHPRNUDVL� DGDODK� VHEXDK� VLVWHP� SROLWLN� GLPDQD�

rakyat dapat melakukan suatu tindakan untuk mengganti pemimpin formalnya, seperti misalnya gubernur, namun tidak berarti bahwa mereka dapat mengambil alih fungsi gubernur (Giovanni Sartori, 1962. Democratic Theory. [Wayne State University Press, Detroit], halaman 66); sehingga fungsi pemilu lebih pada mekanisme untuk meminta persetujuan rakyat pemilih agar boleh berkuasa di ranah publik.

11 Sebagai perbandingan dapat dilihat tulisan Bowler yang membahas tentang sistem pemilu, yang mendiskusikan bagaimana sistem pemilu sebagai lembaga politik, bukan hanya berkaitan dengan pilihan sistem proporsional atau bukan, tetapi juga menimbang pentingnya peran partai politik dalam perhelatan sebuah pemilu; dan ia berimplikasi pada kualitas representativitas serta akuntabilitas pemerintahan yang terpilih (lihat Shaun Bowler, “Electoral Systems”, dalam R.A.W. Rhodes et.al., 2008. The Oxford Handbook of Political Institutions. [Oxford University Press], halaman 577-594); dan hal semacam itu tidak selalu relevan untuk kasus Pilkada di Indonesia yang cenderung mengutamakan siapa pemenang kontestasi, tidak peduli dari mana partainya, dan apakah ia sungguh-sungguh merepresentasikan kehendak rakyat pemilih atau tidak.

Prolog

Page 15: Pilkada Serentak - Quo Vadis Kedaulatan Rakyat

6

Pilkada Serentak

dimaksudkan sebagai tafsir bahwa demikianlah seharusnya politik yang demokratis. Bahkan ada asumsi bahwa RXWSXW-nya niscaya akan lebih baik daripada sistem pemilihan yang secara eksklusif dilakukan oleh DPRD, seperti yang berlaku di masa Orde Baru. Asumsi itu didasarkan pada fakta bahwa siapa saja boleh mencalonkan diri sebagai kandidat kepala daerah (baca: sebagai implementasi hak politik untuk dipilih), sehingga dalam Pilkada /DQJVXQJ� WHUDNRPRGLU�SULQVLS� LQNOXVL¿WDV�\DQJ�PHQJJDPEDUNDQ�kuatnya nilai demokrasi politik yang berorientasi pada prinsip kesetaraan. Mestinya, dengan demikian maka yang terpilih DGDODK�¿JXU�\DQJ� WHUEDLN�GDQ�PHPDQJ�GLSHUFD\D�ROHK�PD\RULWDV�konstituen.

Sungguh pun demikian, barangkali perlu dipertanyakan, apakah rakyat pemilih sendiri memahami hak kedaulatan yang melekat secara inheren pada diri mereka? Sejatinya, rakyat jelata boleh jadi cukup sadar atas hak kedaulatan politik mereka sebagai warga negara merdeka; namun, apakah mereka dapat memahami wacana politik demokratis adalah hal lain. Wacana politik demokratis itu bukan hanya sekadar sebuah bahan gunjingan, tetapi ia merupakan sebuah hasil dialog rasional dan konstruktif tentang bagaimana seharusnya posisi penting rakyat dalam kapasitasnya sebagai pemilik hak suara, untuk memilih pemimpinnya di ranah publik. Oleh karena itu bukan mustahil kelompok terbesar rakyat yang merupakan bagian dari masyarakat lapis bawah sangat tidak mengerti apa yang dimaksud dengan kaidah politik demokratis. Bahkan bagi kelompok elit, pemahaman tentang politik demokratis itu pun boleh jadi berbeda tafsir di kalangan mereka sendiri, karena tergantung pada alasan kepentingannya. Kelompok pertama adalah mereka yang mungkin pro pada sistem politik demokratis dalam konteks demokrasi menurut gagasan liberal, tetapi mereka tidak peduli bagaimana efek samping pemilihan umum yang boleh jadi negatif, seperti misalnya munculnya kekisruhan sosial karena kelompok pendukung salah satu kandidat tidak siap untuk berbeda pendapat dalam hal pilihan politik. Kelompok kedua adalah mereka yang sebenarnya sepaham dengan ide demokrasi, namun karena pertimbangan rasionalitas kepentingan lalu bersikap lebih pragmatis dan cenderung pro pada

Page 16: Pilkada Serentak - Quo Vadis Kedaulatan Rakyat

7

kondisi VWDWXVTXR. Sedangkan kelompok lainnya, meskipun tidak peduli dengan substansi demokrasi, tetapi dengan alasan khusus yang sifatnya ideologis, boleh jadi sangat mendukung perhelatan politik yang disebut pemilihan umum itu dalam rangka pergantian sebuah rezim secara legal.

Itulah sebabnya, ketika dipertanyakan apakah rakyat memiliki kedaulatan untuk memilih pemimpin formalnya di ranah publik, pokok persoalannya bukan pada ihwal apakah rakyat bisa terlibat (atau tidak terlibat) dalam sebuah pemilihan umum secara sadar dan bertanggung jawab. Pokok persoalannya adalah, apakah rakyat memang merasa berkepentingan untuk berpartisipasi dalam perhelatan politik yang disebut pemilihan umum karena alasan-alasan rasional mereka. Partisipasi politik adalah kehendak bebas berdasarkan kesadaran sebagai warga negara; dan karena itu sungguh keliru apabila keterlibatan rakyat dalam pemilihan umum diskenariokan tanpa syarat-syarat logis seperti pengetahuan yang memadai tentang politik dan kemampuan untuk memilah (VHOHFWLRQ) sebelum melakukan sebuah pilihan (HOHFWLRQ).

Pemikiran John Locke tentu saja dapat dirujuk dalam konteks bahwa seharusnya hak kedaulatan politik itu melekat dan ada begitu saja pada rakyat sehingga mestinya yang eksis adalah pemerintahan sipil dan bukan sebuah monarkhi.12 Tetapi kalau sepakat dengan pemikiran Hobbesian,13 jelaslah bahwa tidak mungkin ada kesepakatan politik tanpa didahului dengan kesadaran bahwa para pihak yang terlibat dalam politik telah ”bersepakat” untuk mengikat kontrak sosial dan mengakui konsekuensi dari disepakatinya kontrak sosial tersebut. Kontrak sosial dalam konteks politik tidak harus seperti kontrak sosial dalam kaidah sosiokultural yang prosesnya bisa memakan waktu hingga satu generasi. Kontrak sosial dalam konteks politik bukan saja sangat elastis dan cair, tetapi juga bisa tidak permanen, dan barangkali tidak menimbulkan sangsi sosial yang cukup berarti apabila

12 Lihat Geraint Parry, 2003. John Locke. (Routledge, London), halaman 66. Lihat juga Julian H. Franklin, 1981. John Locke and the Theory of Sovereignty. (Cambridge University Press), terutama halaman 43.

13 Lihat misalnya Jean Hampton, 1988. Hobbes and the Social Contract Tradition. (Cambridge University Press), terutama halaman 142.

Prolog

Page 17: Pilkada Serentak - Quo Vadis Kedaulatan Rakyat

8

Pilkada Serentak

dilanggar secara sepihak di kemudian hari. Persoalannya, apakah untuk membuktikan bahwa rakyat memiliki hak kedaulatan politik lalu harus diwujudkan dalam bentuk memilih pemimpinnya secara demokratis? Dalam konteks pemilu lokal, pokok pertanyaannya adalah, apakah masyarakat memang membutuhkan mekanisme demokratis berpola kontestasi politik melalui ajang Pilkada?

Pilkada sebagai perhelatan politik, sejatinya merupakan sebuah panggung yang mempertunjukkan sebuah dramaturgi.14 Masalahnya, rakyat sebagai pemilik kedaulatan politik demokratis tidaklah membutuhkan dramaturgi yang memposisikan mereka hanya sekadar sebagai penonton pasif.15 Pilkada itu diidealkan harus adil, dan asas keadilan dimaksud bukan hanya dalam kerangka tidak ada pilih kasih dari pihak penyelenggara, tetapi juga harus adil dalam memperlakukan rakyat sebagai pemegang kedaulatan.16 Secara teoritis, guna memahami substansi sebuah 14 Lihat Abner Cohan, 1981. The Politics of Elit Culture. (University of California

Press, Berkeley). Istilah dramaturgi politik ini merujuk pada model Goffman (Erving Goffman, 1959. The Presentation of Self in Everyday Life. Anchor Books), dan ketika dipadankan dengan dialektika Hobbesian, ia dipahami sebagai model masyarakat yang secara sadar memiliki rasa kebersamaan untuk dan menjadi bagian dari lainnya sehingga menggerus keakuannya yang eksklusif (lihat Larry T. Reynold & Nancy J.H. Kinnery (eds), 2003. Handbooks of Simbolic Interactionism. [AltaMira Press], terutama halaman 160).

15 Atau dalam istilah Derrida, sebagai “budak interpretif”. Derrida membandingkan konsep ini dengan teater tradisional yang menurutnya didominasi oleh sistem EHUSLNLU� \DQJ� PHUHÀHNVLDQ� ³WHDWHU� NHNHMDPDQ´� �theatre of cruelty). Derrida menulis, “Pentas bersifat teologis selama strukturnya, tradisinya, berperilaku menuruti unsur berikut: penulis-penulis (sutradara) yang tak hadir di pentas dengan naskah di tangan, tetap mengawasi, mengumpulkan, mengatur waktu dan makna peran yang dimainkan… Ia membiarkan representasi mewakili dirinya melalui aktor atau sutradara representatif, penafsir yang diperbudak… yang… kurang lebih secara langsung menggambarkan pemikiran sang “pencipta”. Budak interpretif (interpretive slave) secara tepat melaksanakan rencana yang sudah “ditakdirkan tuannya”. Terakhir, panggung teologis menyesuaikan dengan publik yang duduk pasif, publik pengamat, konsumen, dan penikmat.” (Jacques Derrida, 1978. Writing and Difference. (Routledge and Kegan Paul, London).Halaman 235)

16 Saya merujuk pada kerangka konsep John Rawls tentang teori keadilan yang seharusnya menyertai perhelatan politik karena berasumsi bahwa setiap warga negara mestinya mengetahui dan memahami gagasan-gagasan tentang hak-hak dasar dan kebebasan sebagai warga negara ketika harus mengambil keputusan untuk terlibat dalam kegiatan politik demokratis (Lihat Samuel Freeman, 2007. Justice and the Social Contract: essays on Rawlsian Political Philosophy. (Oxford University Press, New York). Lihat juga John Rawls & Samuel Freeman, 2008.

Page 18: Pilkada Serentak - Quo Vadis Kedaulatan Rakyat

9

dramaturgi politik berbasis keadilan itu barangkali bisa dilakukan melalui kerangka analisis ”JDPH� WKHRU\”, bahwa seseorang individu senantiasa memiliki pertimbangan-pertimbangan tertentu yang berkaitan dengan RXWFRPHV dari pilihan politiknya, dan apa yang menjadi preferensinya.17 Masalahnya adalah, alasan rasional semacam itu bisa saja berbeda orientasinya antara yang berlaku di kalangan elit politik dengan yang menjadi preferensi di kalangan pemilih yang termasuk dalam kelompok masyarakat awam. Pada akhirnya, pokok pertanyaan akan merujuk pada isu: untuk apa gerangan diselenggarakannya sebuah Pilkada Langsung? Apabila Pilkada Langsung dikaitkan dengan kaidah demokrasi, pertanyaannya apakah masyarakat Indonesia memang membutuhkan demokrasi, terutama dalam konteks memilih pemimpin formalnya di ranah lokal?

Paparan berikut dan penjelasan teoritis pada Bab-Bab selanjutnya dimaksudkan untuk mendiskusikan hal itu.

Lectures on the History of Political Philosophy. (Harvard University Press), terutama halaman 5).

17 Lihat Peter C. Ordeshook, 1995. Game Theory and Political Theory: An Introduction. (Cambridge University Press), terutama halaman 495.

Prolog

Page 19: Pilkada Serentak - Quo Vadis Kedaulatan Rakyat

10

Pilkada Serentak

Page 20: Pilkada Serentak - Quo Vadis Kedaulatan Rakyat

11

Bagian Pertama

Demokrasi dan Demokratisasi

Dalam percakapan awam, demokrasi dianggap sebagai ³NHEHEDVDQ´��6LPSOL¿NDVL�NRQVHS�GHPRNUDVL�ELVD�VDMD�dikategorikan sebagai salah kaprah berjamaah. Namun

demikian, pertanyaannya, mengapa hal itu sampai terjadi? Kalau ditelisik dengan cermat, asal muasal kesalahkaprahan itu boleh jadi lantaran kalangan awam hanya mendengar konsep itu sepotong-potong. Atau mendapatkan pengetahuan tentang demokrasi itu dari sumber yang tidak kompeten. Tetapi yang hampir pasti, sosialisasi konsep demokrasi itu pertama-tama tentunya berasal dari kalangan elit. Sebab, yang paling berkepentingan terhadap praksis demokrasi itu adalah kalangan elit. Dan yang paling tahu tentang teori demokrasi itu (seharusnya) adalah kalangan elit pula. Dengan alasan tersebut, saya ingin berargumen bahwa yang paling bertanggung jawab atas munculnya kesalahkaprahan tentang makna dan hakihat demokrasi itu niscaya adalah kalangan elit. Dengan argumentasi itu pula saya ingin berasumsi, bahwa yang pantas dituntut perannya dalam proses penyadaran kalangan awam untuk mampu mengaktualisasikan nilai-nilai demokrasi dalam tata kehidupan sosial bangsa ini, adalah kaum elit juga kiranya.

Dalam konteks Pilkada, sebagai praksis demokrasi politik, diskusi berikut ini dimaksudkan untuk memindai hal yang ideal (GDV� VROOHQ) dengan hal yang senyatanya ada (GDV� VHLQ) dalam realitas politik.

Page 21: Pilkada Serentak - Quo Vadis Kedaulatan Rakyat

12

Pilkada Serentak

1. Praksis Demokrasi yang Diimpikan

Jika prinsip dasar demokrasi adalah mengutamakan kaidah-kaidah nilai yang mengutamakan kesetaraan dan kebebasan, dan adanya jaminan keadilan karena setiap orang setara ketika berada di bawah hukum, maka salah satu tipe ideal negara demokrasi barangkali adalah Amerika Serikat masa kini.1 Suka atau tidak, wacana tentang model demokrasi modern yang merujuk pada standar Amerika Serikat itu juga mewarnai pemikiran konseptual serta praksis demokrasi politik di Indonesia,2 bahkan sejak awal republik ini berdiri.3 Obsesi tentang model negara demokratis “serupa dengan Amerika Serikat” itu tampaknya semakin terpateri dalam benak para elit “pro-demokrasi” yang membayangkan masa depan Republik Indonesia pasca Orde Baru.4 Para perancang perubahan sistem politik itu kemudian melihat urgensi tersedianya aturan-aturan perundangan yang dibutuhkan untuk mereformasi politik di republik ini. Ada asumsi, dalam kondisi transisi menuju demokrasi, payung hukum adalah syarat utama untuk tegaknya aturan main dan terciptanya habituasi demokratisasi. Dengan adanya aturan hukum itulah rakyat dimungkinkan untuk terlibat aktif dalam proses mempengaruhi keputusan-keputusan publik (SXEOLF�SROLF\), sebagaimana yang terjadi di negara-negara Barat yang telah matang politik demokrasinya. Dan untuk mencapai kondisi tersebut, maka secara struktural ia harus dimulai

1 Lihat Leonardo Morlino, 2002. What is a “Good” Democracy? Theory and Empirical Analysis. (Makalah pada Conference on “The European Union, Nations State, and the Quality of Democracy, Lesson from Southern Europe”: October 31-November 2, 2002. University of California, Berkeley).

2� /LKDW�7DX¿N�$EGXOODK�� ������ Indonesia Toward Democracy. (ISEAS Publishing, Institute of Southeast Asian Studies, Singapore).

3 Lihat Yudi Latif, 2011. Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila. (PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta).

4 Pada tahun 2000 International IDEA melalui Forum untuk Reformasi Demokratis telah menawarkan sejumlah rekomendasi untuk demokratisasi Indonesia dengan merujuk pada negara-negara demokratis yang lebih maju (lihat IDEA, 2000. Penilaian Demokrasi di Indonesia, [terutama pada Bab “Institusionalisme dan Aturan Hukum”], halaman 53-60). Meskipun tidak semua rekomendasi lembaga tersebut diikuti dengan seksama, namun tampaknya kerangka besar rekomendasi IDEA itu akhirnya diadopsi dalam sejumlah kebijakan politik rezim pasca Orde Baru. Misalnya bagaimana caranya menjamin hak rakyat untuk memilih pemerintahannya melalui pemilihan umum yang periodik yang bebas dan adil, sebagai hak demokratis paling dasar (halaman 58).

Page 22: Pilkada Serentak - Quo Vadis Kedaulatan Rakyat

13

dari partisipasi politik dalam pemilu, karena orde demokrasi menghendaki hak kedaulatan rakyat diformulasikan seperti itu.5

Dengan preferensi reformasi politik demokratis semacam itu lahirlah sejumlah Undang-Undang,6 yang mengerangkakan liberalisme sebagai ideologi untuk mengatur tertib sosial dan kaidah berpolitik di ranah publik di Indonesia.7 Dengan mengacu pada preferensi semacam itu pula sejak tahun 2005 di Indonesia dikondisikan sebuah prosedur demokratis yang baru untuk mengganti dan mengisi jabatan Kepala Daerah, yang secara konseptual disebut “Pilkada”. Dalam skenarionya dibayangkan bahwa warga masyarakat membutuhkan Pilkada. Melalui Pilkada itu penduduk di suatu daerah dapat dengan bebas merdeka mendukung seseorang untuk menjadi Kepala Daerah, sesuai dengan aspirasinya yang beragam, dan mestinya dengan rasionalitasnya masing-masing. Dalam kaitan itu setiap aktor yang menjadi kandidat lalu dituntut harus membuat komitmen politik, sebagai tafsir lain dari pentingnya ‘kontrak sosial’, untuk memperjuangkan aspirasi rakyat ~ yang isu pokoknya biasanya tidak jauh dari persoalan kesejahteraan rakyat dan rasa keadilan sosial. Komitmen politik itu dibuat dan disampaikan di masa kampanye oleh kandidat dalam bentuk visi dan misi program 5 Lihat misalnya Afan Gaffar, 1999. Politik Indonesia: Transisi Menuju Demokrasi.

(Pustaka Pelajar, Yogyakarta). Bandingkan dengan Saiful Muzani dkk, 2011. Kuasa Rakyat: Analisis tentang Perilaku Memilih dalam Pemilihan Legislatif dan Presiden Indonesia Pasca-Orde Baru. (Mizan Publika, Jakarta). Lihat juga William Liddle, 2012. Memperbaiki Mutu Demokrasi di Indonesia: Sebuah Perdebatan. (Yayasan Paramadina, Jakarta).

6 Pada awal “reformasi politik” tahun 1999, lahir paket undang-undang tentang kepolitikan yang antara lain menyangkut Undang-Undang tentang Pemerintah Daerah; UU tentang Partai Politik; dan UU tentang Pemilu. Semua UU itu praktis tidak pernah berstatus mapan untuk jangka panjang karena selalu mengalami revisi dan pergantian redaksional sesuai dengan tuntutan kelompok penekan dan kelompok kepentingan yang ada di lingkaran kekuasaan; sehingga dari titik LWX�LD�PHQMXVWL¿NDVL�EHOXP�VHOHVDLQ\D�SURVHV�GHPRNUDWLVDVL�GL�,QGRQHVLD��

7 Dalam prosesnya, warna liberalisme itu menjadi sempurna dalam sistem kepolitikan di Indonesia ketika Mahkamah Konstitusi menetapkan bahwa syarat kemenangan seseorang kandidat dalam Pemilu [legislatif] tahun 2009 adalah “suara terbanyak”, dan bukan didasarkan pada pilihan konstituen atas partai politik dari para kandidat, sebagaimana yang berlaku sebelumnya. Dengan sistem “suara terbanyak” itu hak individu dimuliakan, dan itulah pencirian sejati dari demokrasi liberal sebagaimana yang berlaku dalam kultur Barat seperti di Amerika Serikat.

�ĞŵŽŬƌĂƐŝ�ĚĂŶ��ĞŵŽŬƌĂƟƐĂƐŝ

Page 23: Pilkada Serentak - Quo Vadis Kedaulatan Rakyat

14

Pilkada Serentak

kebijakan, yang biasanya berorientasi pada janji-janji perbaikan kesejahteraan rakyat, dan komitmen politik itu [dibayangkan] dapat ditagih di kemudian hari ketika sang kandidat sudah terpilih sebagai penguasa.8

Kalau dilacak ke masa awal kemerdekaan, Indonesia sejak diproklamasikan sebagai negara merdeka secara konstitusional sudah mengandaikan demokrasi sebagai paham bernegara.9 Persoalannya adalah, rezim yang berkuasa selalu memiliki tafsir sendiri tentang praksis dari konsep demokrasi itu. Pada masa Orde Lama (1945-1965) Indonesia sempat mencoba model demokrasi liberal yang dipraktikkan dalam bentuk sistem pemerintahan parlementer (1949-1959),10 dan kemudian mengusung konsep “Demokrasi Terpimpin” (1959-1965). Selama masa “uji coba” sistem parlementer itu tampuk pemerintahan sangat tidak stabil, karena status jabatan Perdana Menteri [sebagai pelaksana pemerintahan] seringkali berganti-ganti sangat cepat sesuai dengan partai politik yang dominan di parlemen.11 Ketidakstabilan

8 Secara teoritik, sebenarnya tidak ada hubungan antara prosedur Pemilu (dan Pilkada) sebagai ajang kontestasi politik demokratis dengan upaya memberikan kesejahteraan bagi rakyat; karena prinsip pemilu adalah [sekadar] bagaimana rakyat pemilik suara dapat terlibat sebagai pemilih dan yang bersangkutan dapat memberikan dukungan suaranya secara bebas dengan tujuan, antara lain, dapat diupayakannya pergantian rezim (lihat misalnya Charles Derber, 2004. Regime Change Begins at Home. [Berrett-Koehler Publishers, Inc. San Fransisco, California], halaman 59). Bahwasanya perbaikan kesejahteraan rakyat bisa tercapai pasca Pemilu (atau Pilkada) sebenarnya adalah hal lain. Tetapi dalam tafsir politik di Indonesia, diam-diam ada tuntutan bahwa produk sebuah Pemilu (dan terutama Pilkada) seharusnya dikaitkan dengan persoalan perbaikan kesejahteraan rakyat (lihat UU Nomor 32/2004 pasal 27); dan bagi saya, hal itu merupakan pencirian unik yang tidak boleh diabaikan untuk memahami demokratisasi di Indonesia.

9 Konstitusi Repubik Indonesia, yakni UUD 1945 pasal 1 (2) menegaskan bahwa “Kedaulatan ada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut undang-undang dasar”.

10 Republik Indonesia sampai tahun 1949 relatif belum stabil, karena agresi Belanda (yang tidak ikhlas melepaskan tanah jajahannya), sampai terbentuknya Republik Indonesia Serikat (RIS) tahun 1949. (Lihat M.C. Ricklefs, 2001. A History of Modern Indonesia Since c.1300. Stanford University Press, Stanford).

11 Sistem pemerintahan parlementer itu antara lain didasarkan pada UUD Sementara 1950, dan sistem parlementer memposisikan pemerintahan negara di bawah DPR. Padahal DPR sendiri keberadaannya tergantung pada dukungan partai-partai politik yang memiliki kursi di parlemen, yang dalam realitasnya penuh friksi.

Page 24: Pilkada Serentak - Quo Vadis Kedaulatan Rakyat

15

politik di parlemen itulah yang memicu munculnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959, yang praktis menegasikan partai politik sebagai pilar demokrasi, dan sejak itu pula lahirlah sistem “Demokrasi Terpimpin” di Indonesia.12 Masalahnya, selama diterapkannya Demokrasi Terpimpin, realitas politik dalam negeri menunjukkan kehadiran otoritarianisme penguasa (karena kekuasaan lembaga-kembaga pemerintahan hampir sepenuhnya berada di tangan Presiden Sukarno),13 sehingga saat Presiden Suharto tampil sebagai penguasa rezim Orde Baru (1967-1998), obsesi politik rezim baru ini adalah menghadirkan proses demokratisasi yang lebih baik.14

Sejarah mencatat, rezim Orde Baru di bawah kendali Presiden Suharto kemudian menawarkan konsep “Demokrasi Pancasila”, sebagai pilihan ideologi bernegara. Namun dalam praksisnya model “Demokrasi Pancasila” juga dinilai sekadar jubah untuk menutupi perilaku rezim yang otoritarian,15 dan korup. Rezim Orde Baru dianggap “gagal” menghadirkan sistem demokrasi seperti model demokrasi yang berlaku di negara Barat;16 dan “kegagalan” itu 12 Salah satu titik berangkat Demokrasi Terpimpin adalah dibubarkannya parlemen,

dan dibentuknya MPRS (Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara) sebagai lembaga negara tertinggi (meskipun sebenarnya lembaga itu di bawah kendali presiden Sukarno, sebagai pemimpin besar revolusi dan presiden seumur hidup).

13 Banyak rujukan yang dapat disebut untuk menjelaskan sejarah jatuh bangunnya model “Demokrasi Terpimpin” di era Sukarno; dan salah satu di antaranya bisa dilihat pada buku yang diedit oleh David Bourchier dan Vedi R. Hadiz, 2003. Indonesian Politics and Society: A Reader. (Routledge Curzon, London). Lihat juga Herbert Feith, (1962) 2007. The Decline of Constitutional Democray in Indonesia. (Equinox Publishing (Asia) Pte, Ltd. Singapore).

14 Paling tidak, setelah lima tahun berkuasa (tahun 1971) rezim Orde Baru kemudian melaksanakan Pemilu pertama, dan terus melakukannya secara reguler lima tahun sekali hingga di penghujung era rezim tersebut. Terlepas dari persoalan kualitasnya, pelaksanaan Pemilu secara rutin menunjukkan bahwa rezim Orde Baru tidak pernah menolak demokrasi berbasis partai politik seperti yang terjadi di era Orde Lama.

15 Lihat misalnya Adam Schwarz, 2000. A Nation in Waiting: Indonesia’s Search for Stability. (Westview Press. Colorado and Oxford).

16 Dari perspektif kaidah demokrasi liberal, salah satu penciri pemerintahan Suharto dianggap sebagai rezim otoritarian karena menutup peluang hadirnya kelompok “oposisi” ala Barat. Karena dalam konsep “Demokrasi Pancasila” itu segala hal bisa dimusyawarahkan untuk mencapai mufakat; dan Suharto diketahui menuntut komitmen yang utuh untuk hadirnya loyalitas, termasuk dari mereka yang mencoba berada dalam posisi sebagai “oposan” (Lihat Edward Aspinall,

�ĞŵŽŬƌĂƐŝ�ĚĂŶ��ĞŵŽŬƌĂƟƐĂƐŝ

Page 25: Pilkada Serentak - Quo Vadis Kedaulatan Rakyat

16

Pilkada Serentak

dinilai sempurna dengan maraknya korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) di lingkaran pusat pemerintahan.17 Oleh kelompok “pro-demokrasi”, lantaran “kegagalan” itulah rezim Orde Baru dianggap perlu untuk ditumbangkan,18 dan lahirlah kemudian rezim baru, yang oleh sebagian pengamat disebut sebagai “Orde Reformasi”.19 Agenda utama “Orde Reformasi” itu adalah melaksanakan proses “re-demokratisasi” di bidang politik,20 sebagai tafsir atas VLJQL¿NDQVL� WHRUL� WUDQVLVL� GHPRNUDVL� GDODP�PHQDWDNHOROD� QHJDUD�yang baru terbebas dari rezim otoritarian.21

Istilah “transisi demokrasi” pada dasarnya netral, tetapi ketika menyangkut konteks perubahan politik di Indonesia pasca Orde Baru istilah tersebut mengandung konotasi seolah-olah bangsa Indonesia tidak pernah memiliki pengalaman berdemokrasi. Konotasi itu sangat kentara dalam wacana yang

2005. Opposing Suharto: Compromise, Resistance, and Regime Change in Indonesia. [Stanford University Press, California]).

17 Lihat Richard Robison and Vedi R. Hadiz, 2004. Reorganizing Power in Indonesia: The Politics of Oligarchy in an Age of Markets. (RoutledgeCurzon, London and New York).

18 Lihat misalnya Kevin O’Rourke, 2002. Reformasi: The Struggle for Power in Post-Soeharto Indonesia. (Allen & Unwin, New South Wales). Lihat juga Thomas B. Pepinsky, 2009. Economic Crises and the Breakdown of Authoritarian Regimes: Indonesia dan Malaysia in Comparative Perspective. (Cambridge University Press, Cambridge, UK).

19 Saya cenderung tidak sepakat dengan istilah “Orde Reformasi”, karena dalam realitasnya kondisi politik pasca Orde Baru itu (hingga rezim Presiden Susilo Bambang Yudhoyono) baru pada taraf proses pergantian rezim yang sebenarnya belum mapan, alias masih dalam proses transisi yang serba canggung, sehingga mungkin lebih tepat apabila disebut “Orde Transisi Pasca Orde Baru”. Lihat dan bandingkan dengan Harold Crouch, 2010. Political Reform in Indonesia After Soeharto. (ISEAS Publishing, Singapore).

20 Istilah “re-demokratisasi” ini dianggap lebih tepat, karena pada awal Orde Baru pun sudah ada usaha demokratisasi untuk membangun demokrasi politik, meskipun akhirnya rezim ini terperangkap pada pola otoritarianisme baru.

21 Saya cenderung sepakat dengan Vatikiotis, bahwa yang terjadi setelah lengser-nya Presiden Suharto adalah sekadar “Orde Baru minus Suharto”. Presiden Suharto memang tidak lagi berkuasa, tetapi rezim Orde Baru sebenarnya masih tetap kukuh bertahan, dan mengatur kehidupan sosial politik negeri ini, antara lain melalui institusi birokrasi yang pernah dibentuknya, dan orang-orang yang menjadi birokrat, teknokrat, serta para politisi (mantan Golkar) yang pada akhirnya terlibat sebagai pengurus partai-partai politik baru yang lahir di era reformasi (lihat M.R.J. Vatikiotis, 2003. Indonesian Politics Under Suharto: The Rise and Fall of the New Order. (Routledge, London and New York). Karena itu makna “terbebas dari rezim otoritarian” menurut opini saya agak mereduksi fakta sejarah politik di republik ini.

Page 26: Pilkada Serentak - Quo Vadis Kedaulatan Rakyat

17

berkembang di forum-forum seminar, dan kajian hasil penelitian yang dilakukan oleh peneliti demokrasi di Indonesia. Kerangka pikir semacam itu boleh jadi diinspirasi pemikiran Huntington tentang “transisi menuju demokrasi” yang dirumuskannya sebagai *HORPEDQJ�.HWLJD�'HPRNUDVL.22 Huntington membangun tesisnya dengan membayangkan bahwa tidak mungkin sebuah kondisi pemerintahan yang otoritarian akan mengubah dirinya sendiri menjadi kondisi demokratis. Niscaya ada desakan dari luar dan [seharusnya] adanya negara panutan yang bisa dicontoh untuk berdemokrasi. Desakan dari luar itupun sebenarnya harus berkesesuaian dengan kondisi dalam negeri yang digambarkan antara lain adanya tuntutan masyarakat terhadap perbaikan status kehidupan sosial ekonomi dan pendidikan, dan juga karena lahirnya kelompok menengah baru yang lebih kritis yang didukung oleh kelompok masyarakat lapis atas yang menginginkan perubahan. Itulah sebabnya, Huntington juga membayangkan gelombang ketiga demokrasi bukan hanya berarti bahwa suatu negara itu ingin lebih demokratis, melainkan [boleh jadi] juga karena terimbas pada pola perubahan global ~ bagai “efek bola salju” ~ yang menghendaki adanya proses demokratisasi di negara-negara seluruh dunia. Meskipun tidak berhubungan langsung sebagai proses sebab akibat, gelombang ketiga demokrasi itu [diasumsikan] tidak bisa dipisahkan dari adanya pertarungan peradaban dari bangsa-bangsa yang mengusung kebudayaan demokratis dan rezim-rezim pemerintahan yang menganut paham otoritarian untuk mengelola negara.23

22 Lihat Samuel Huntington, 1991. The Third Wave: Democratization in the Late Twentieth Century. (University of Oklahoma Press). Dalam bukunya ini Huntington berhasil melahirkan wacana tentang pentingnya demokrasi perwakilan, dan pengawasan yang kritis atas rezim yang berkuasa. Sistem demokrasi perwakilan itu lebih lanjut dipahami sebagai pentingnya pemilihan umum yang melibatkan seluruh rakyat secara demokratis, untuk menjamin akuntabilitas. Tapi secara akademis tesis Huntington ini menjadi bahan perdebatan, minimal dalam bentuk kritik, dari mereka yang melihat praktik demokrasi dengan merujuk pada akar sejarah satu negara (Lihat Putnam, 1993. Making Democracy Work; dan Yashar, 1997. Demanding Democracy), atau demokrasi dalam kaitan budaya suatu bangsa (Lihat Schaffer, 1998. Democracy in Translation; dan Saine, 2009. The Paradox of Third-Wave Democratization in Africa).

23 Lihat Samuel P. Huntington, 1993. The Clash of Civilization? [Foreign Affairs. Summer 1993, p. 22-49]. Lebih lanjut dapat dilihat pada Samuel P. Huntington, 2003. The Clash of Civilization and the Remaking of World Order. (Simon & Schuster Paperbacks, New York).

�ĞŵŽŬƌĂƐŝ�ĚĂŶ��ĞŵŽŬƌĂƟƐĂƐŝ

Page 27: Pilkada Serentak - Quo Vadis Kedaulatan Rakyat

18

Pilkada Serentak

Dengan membayangkan demokratisasi sebagai proses menjadi matang dalam berdemokrasi, khususnya bagi masyarakat bangsa Indonesia masa kini, saya sangat menyadari adanya fakta bahwa niscaya ada jurang kultural dan epistemologis yang penting antara “teori demokrasi” [yang berbasis pada kultur Barat] dan “praksis demokrasi” yang mungkin dapat ditunjukkan oleh masyarakat bangsa Indonesia dalam perilaku politiknya. Praksis demokrasi, seperti yang berlaku di Amerika Serikat, membayangkan rakyat yang berdaulat atas kebebasannya bersekutu mengusung model demokrasi karena adanya kebutuhan untuk merasa setara secara sosial politik; dan karena sudah melampaui proses panjang demokratisasi, masyarakatnya cenderung bersepakat untuk mengutamakan nilai-nilai kebajikan sebagai pengikat perilaku mereka di ranah publik, sehingga pada akhirnya nilai-nilai normatif telah menjadi sistem sosial kewarganegaraan.24 Sedangkan praksis politik demokrasi di Indonesia cenderung masih mencari bentuk, bahkan hingga pasca Orde Baru,25 meskipun secara diam-diam para perumus kebijakan nampaknya cenderung bersepakat mengikuti teori Huntington tentang transisi menuju demokrasi. Seturut dengan gejala tersebut, saya justru melihat isu kultur bukanlah agenda utama bagi perumus kebijakan demokratisasi di Indonesia, karena fokus perhatian mereka terutama tertuju pada isu struktural. Ada fakta yang sangat jelas mendukung asumsi struktural itu, karena para perumus kebijakan tampak bersikukuh PHQJXEDK� 8QGDQJ�8QGDQJ� JXQD� PHQMXVWL¿NDVL� DWXUDQ� PDLQ�kontestasi yang lebih demokratis, namun [sayangnya] tidak peduli bagaimana proses sosialisasinya di masyarakat.

2. Proses Demokratisasi yang Belum Selesai

Kondisi aktual politik pasca Orde Baru menunjukkan bahwa proses awal transisi demokrasi di Indonesia telah dilakukan dengan 24 Lihat Alan Wolfe, 2006. Does American Democracy Still Work? (Yale University

Press. New Haven and London). Lihat juga Bruce Miroff, et.al., 2012. Debating Democracy: A Reader in American Politics. (Wadsworth, Boston, USA). Bandingkan dengan James T. Kloppenberg, 2012. Reading Obama: Dreams, Hope, and the American Political Tradition. (Princeton University Press. Princeton, New Jersey).

25 Lihat Sediono MP Tjondronegoro (ed), 2007. Membangun Negara dan Mengembangkan Demokrasi. (Komisi Ilmu-Ilmu Sosial, Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia, Jakarta).

Page 28: Pilkada Serentak - Quo Vadis Kedaulatan Rakyat

19

mendelegitimasi peran rezim otoritarian dalam menafsirkan makna demokrasi politik, antara lain termasuk melaksanakan Pilkada sebagai proses demokratisasi politik di ranah lokal. Sungguhpun demikian, tafsir transisi menuju demokrasi itu tampaknya masih terbatas pada skenario bahwa yang penting adalah mengganti aktor dan selanjutnya aktor itulah yang diasumsikan akan memperbaiki situasi dan kondisi yang [seharusnya] mendukung terjadinya proses demokratisasi. Hal itu sangat jelas tersirat dalam aturan perundangan yang mengatur mekanisme pemilihan kepala daerah, yang kemudian disebut Pilkada. Undang-Undang yang menyangkut Pilkada terutama hanya memberikan rujukan tentang bagaimana prosedur mengganti dan mengisi jabatan publik di tingkat Daerah “secara demokratis”,26� WHWDSL� WLGDN�VHFDUD�VSHVL¿N�membicarakan persoalan bagaimana [seharusnya] keterlibatan warga masyarakat dalam proses tersebut ~ sebagai bukti bahwa prosedur dimaksud merupakan pengejawantahan prinsip-prinsip demokrasi berbasis pada kedaulatan rakyat.

Pilkada sebagai model kontestasi politik dalam rangka memilih kepala daerah secara demokratis memiliki aturan main dan prosedur tersendiri, yang telah diatur sedemikian rupa dalam berbagai aturan perundang-undangan. Ditilik dari aspek prosedurnya, kegiatan Pilkada di Indonesia itu sebenarnya dapat dikategorikan dalam ranah administrasi dan ranah politik. Ranah DGPLQLVWUDVL� WHUXWDPD� PHQ\DQJNXW� SURVHV� SUDNXDOL¿NDVL� EDNDO�kandidat sampai menjadi kandidat yang diijinkan (oleh KPUD) bertarung dalam kontestasi Pilkada, dan kelak kemudian setelah pemungutan suara usai dilangsungkan perhitungan suara dan penetapan kandidat yang keluar sebagai pemenang kontestasi. Di luar urusan administrasi itu adalah ranah politik.

Namun, merujuk pada aturan perundangan yang ada,27 tampak sekali bahwa mekanisme pergantian Kepala Daerah itu tidak melihat pentingnya peran rakyat pemilih sebagai pemilik

26 Lihat misalnya Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.

27 Aturan perundangan dimaksud antara lain adalah Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008, yang dipergunakan sebagai payung hukum untuk penyelenggaraan Pilkada tahun 2005 dan 2010.

�ĞŵŽŬƌĂƐŝ�ĚĂŶ��ĞŵŽŬƌĂƟƐĂƐŝ

Page 29: Pilkada Serentak - Quo Vadis Kedaulatan Rakyat

20

Pilkada Serentak

kedaulatan. Bahkan dalam proses dukungan kandidat pun, KPUD sebagai institusi penyelenggara Pilkada hanya menghargai secara eksklusif peran pengurus partai politik, dan bukan konstituennya, untuk mengusung seseorang sebagai kandidat; sementara itu partai politik juga tidak diwajibkan untuk mendengarkan aspirasi rakyat sebelum menetapkan siapa yang layak diusung sebagai kandidat.28 Sedangkan untuk kasus kandidat perseorangan,29 meskipun harus ada dukungan publik sekian persen dari jumlah penduduk, tetapi juga tidak bisa ditafsirkan sebagai adanya pelibatan rakyat pemilih ~karena yang dituntut hanya dukungan simbolik berupa fotocopy kartu tanda penduduk.

Itulah sebabnya, proses pencalonan seseorang untuk dapat menjadi kandidat yang boleh bertarung dalam ajang kontestasi politik yang disebut Pilkada itu pada akhirnya juga berpeluang untuk diwarnai kecurangan politik. Kecurangan politik di saat pra-pendaftaran kandidat di KPUD bisa terjadi ketika pengurus parpol terjebak pada praktik “politik dagang sapi”,30 dan setiap orang yang ingin diusung sebagai kandidat harus membayar sejumlah dana tertentu sebagai kompensasi dukungan politik, biasanya GHQJDQ�LVWLODK�LVWLODK�NKXVXV�\DQJ�PHPEHULNDQ�MXVWL¿NDVL�EDKZD�LD�bukanlah bentuk “politik uang”. Sedangkan untuk kasus kandidat perseorangan, kecurangan politiknya terjadi ketika kandidat yang bersangkutan justru “membeli” salinan kartu tanda penduduk dari para “perantara pengumpul” (broker) yang bergerilya dari rumah ke rumah penduduk. Kecurangan politik untuk kandidat perseorangan itu menjadi sempurna manakala yang bersangkutan terlibat dalam praktik manipulasi dukungan, dan dia lolos karena NHOHPDKDQ�.38'�GDODP�PHODNXNDQ�YHUL¿NDVL�GDWD��

28 Lihat Pasal 56 dan Pasal 57 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004. 29 Hak kandidat dari jalur non-partai (jalur independen) itu dimuat dalam Putusan

Mahkamah Konstitusi Nomor 5/PUU-V/2007, yang merupakan gugatan atas Pasal 56, Pasal 59, dan Pasal 60 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004. Dan kandidat yang pertama kali diuntungkan dengan Putusan MK itu adalah pasangan Aceng Fikri dan Dicky Chandra yang memenangi Pilkada di Kabupaten Garut tanggal 21 Desember 2008 (sumber, KPU).

30 Istilah “politik dagang sapi” adalah ungkapan publik yang merujuk pada metafora bahwa para elit politik memperdagangkan kuasanya atas dukungan politik yang dimilikinya seperti orang memperjualbelikan ternak sapi, dan siapa yang paling tinggi penawarannya akan diberikan hak untuk mendapatkan sapi itu.

Page 30: Pilkada Serentak - Quo Vadis Kedaulatan Rakyat

21

Dengan fokus pada siapa kontributor utama yang dapat memberi warna pada sebuah kontestasi politik semacam Pilkada, maka sulit diingkari bahwa peran aktor politik sangatlah penting adanya. Meskipun prosedurnya telah dirancang sedemikian rupa agar Pilkada dapat diselenggarakan secara jujur dan adil dengan merujuk pada kaidah-kaidah demokrasi politik yang ideal, dan untuk itu bahkan dikondisikan adanya peran lembaga Pengawas Pilkada (baca: Bawaslu), namun tetap saja ada peluang munculnya kecurangan politik dalam mekanisme Pilkada. Kecurangan politik itu sudah berpeluang muncul dalam tahapan awal penetapan kandidat yang boleh bertarung dalam Pilkada, baik melalui jalur partai politik maupun melalui jalur perseorangan. Aturan perundangan yang ada praktis tidak mengatur bagaimana caranya menyaring sedemikian rupa agar dalam proses penetapan kandidat itu steril dari tindakan-tindakan curang dan praktik politik kotor. Demikian pula pada tahapan kampanye dan pemungutan suara, meskipun ada lembaga Pengawas Pilkada, sebenarnya tidak ada garansi bahwa tahapan tersebut bebas dari kecurangan dan manipulasi politik, baik dilakukan sendiri oleh kandidat yang bersangkutan, atau melalui Tim Suksesnya.

Suka atau tidak, dinamika politik yang ditunjukkan dalam kontestasi Pilkada potensial dengan paradoks demokrasi,31 yang menyebabkan praksis politik demokratis cenderung seperti pura-pura (SVHXGR� GHPRFUDF\);32 atau menjadi sekadar demokrasi formal namun sesungguhnya penuh ketidakjujuran. Dalam kasus Pilkada, para aktor yang akan jadi kandidat sangat tergantung pada kebaikan hati pengurus parpol yang berhak mengusung kandidat. Padahal karena ingin mendapatkan peluang lebih besar 31 Istilah paradoks demokrasi lebih dimaksudkan sebagai tidak sesuainya gagasan

tentang demokrasi dengan realitas politik yang ada dan ia tidak bisa didamaikan (Lihat Alan Keenan, 2003. Democracy in Question: democratic opennes in a time of political clossure. [Standford University Press], halaman 202).

32 Salah satu sisi negatif ‘pseudo democracy’ adalah munculnya sistem politik yang memungkinkan penyelenggaraan pemilu sebatas dalam kadar nominal, dan dengan demikian niscaya gagal untuk menyelenggarakan pemilu yang berkualitas, karena peserta pemilu dapat melakukan kecurangan-kecurangan dan penyuapan atau bahkan intimidasi (lihat David Sciulli, 2010. “Democracy, Professions and Societal Constitutionalism”, dalam Kevin T. Leicht & J.C. Jenkins (eds), Handbook of Politics; State and Society in Global Perspective. [Springer. New York], terutama halaman 93-95).

�ĞŵŽŬƌĂƐŝ�ĚĂŶ��ĞŵŽŬƌĂƟƐĂƐŝ

Page 31: Pilkada Serentak - Quo Vadis Kedaulatan Rakyat

22

Pilkada Serentak

memenangkan kontestasi politik, elit pemangku parpol bukan mustahil akan lebih mendukung kandidat petahana atau inkumban (LQFXPEHQW) yang ditengarai hampir pasti menang, meskipun yang bersangkutan bukan kader parpol yang bersangkutan. Hal itu bisa dialaskan pada argumentasi bahwa pengurus parpol harus mempertimbangkan kredibilitas parpol mereka atas hasil akhir Pilkada. Dengan demikian, rasionalisasi politik para pemain utama dalam Pilkada lalu memberikan kesan kuat hadirnya sebuah paradoks demokrasi. Secara teoritik, munculnya paradoks demokrasi itu sebenarnya lebih karena perspektif analisis, dan bagaimana hasil analisisnya. Fenomena Pilkada itu bisa dilihat dari perspektif egalitarianisme, atau utilitarianisme. Dua pendekatan itu mestinya valid, namun karena alur pikirnya berbeda, maka prakondisi dan konsekuensinya pun berbeda.

Bahwasanya model Pilkada itu menggambarkan egalitarianisme,33 tampaknya memang cukup valid. Dari perspektif egalitarianisme, siapa pun orang per orang berhak untuk terlibat dalam kegiatan politik yang disebut Pilkada, entah sebagai pemilih (konstituen) atau sebagai fasilitator dan pendukung utama (tokoh lokal dan para elit), atau bahkan sebagai kandidat yang bertarung dalam kontestasi politik di ranah lokal tersebut. Masalahnya adalah, skenario Pilkada akan menghadapi ancaman yang serius apabila elit parpol pengusung kandidat cenderung menganut budaya parokhial yang mereduksi peran warga masyarakat sekadar sebagai pendukung pasif dan tak peduli bagaimana kualitas partisipasi masyarakat dalam dinamika politik lokal. Apabila politik parokhialisme itu sangat dominan, maka Pilkada itu hampir niscaya tidak lebih dari sekadar model demokrasi pura-pura.

33 Egalitarianisme di sini merujuk pada konsepsi umum tentang kesetaraan politik dalam pengertian kebebasan mengeskpresikan aspirasi dan kepuasan karena kebutuhan berekspresi diri terpenuhi (Lihat Nils Holtug & Kasper Lippert-Rasmussen, 2007. Egalitarianism: new essays on the nature and value of equality. [Oxford University Press]. Bandingkan dengan Brian Feltham, 2009. Justice, Equality and Constructivism. [John Wiley and Sons], terutama halaman 96).

Page 32: Pilkada Serentak - Quo Vadis Kedaulatan Rakyat

23

Dari perspektif utilitarianisme,34 dasar pijaknya adalah pada asumsi bahwa kontestasi politik lokal yang disebut Pilkada itu seharusnya mampu memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi warga masyarakat luas,35 terlepas dari persoalan apakah sejumlah warga telah berpartisipasi atau tidak dalam kegiatan Pilkada. Masalahnya adalah, skenario Pilkada semacam itu akan mengalami ancaman apabila ada suatu entitas kekuatan di luar VWDNHKROGHUV yang mampu ”mengatur Pilkada” agar sesuai dengan kehendaknya; GDQ�HQWLWDV�GLPDNVXG�GLLGHQWL¿NDVLNDQ�VHEDJDL�XQVXU�/HYLDWKDQ.36 Apabila kekuatan /HYLDWKDQ itu sangat dominan, maka niscaya Pilkada yang diselenggarakan tidak akan sepenuhnya demokratis, dan bahkan boleh jadi hanya sampai pada taraf demokrasi semu (TXDVL�GHPRFUDF\).

Dengan demikian, semua skenario itu sebenarnya hanya soal pilihan (WUDGH�Rɣ) tentang model demokrasi politik macam apa yang ingin dikembangkan dan dilaksanakan dalam konteks Pilkada. Sungguhpun demikian, ada asumsi bahwa demokrasi itu hanya bisa tumbuh kembang di tanah subur masyarakat yang cenderung egalitarian. Asumsi itu boleh jadi benar, namun kualitas 34 Secara teoritik, utilitarianisme adalah bentuk lain dari liberalisme. Tetapi dalam

sejarahnya, liberalisme klasik, yang lahir selama masa Renaisans dan mencapai puncaknya selama abad ke-19, memang berbeda coraknya dengan liberalisme masa kini. Karakteristik pokok dalam liberalisme klasik adalah penekanannya pada individu. Merujuk pada Herbert Spencer (1820-1903), dalam masyarakat manusia, hanya yang paling kuat (WKH� ¿WWHVW) yang bisa bertahan hidup; dan negara tidak boleh berusaha ikut campur dalam tatanan sosial dan politik (Lihat H.J. Schmandt, 2002. Filsafat Politik. [Edisi Bahasa Indonesia. Diterbitkan Pustaka Pelajar, Yogyakarta] terutama halaman 467-469).

35 Azas manfaat demokrasi ini memang jadi perdebatan, seharusnya dilihat dari perspektif apa, dan apakah tidak menimbulkan bias politik. Tetapi dengan merujuk pada kasus Amerika Latin, manfaat demokrasi yang dihajatkan rakyat sebagai konstituen adalah perbaikan kesejahteraan dan pentingnya asas keadilan ditegakkan (Lihat misalnya Manuel Antonio Garreton, 2003. Incomplete Democracy: Political Democration in Chile and Latin America. The University of North Carolina Press).

36 Istilah Leviathan di sini merujuk pada retorika konseptual yang dibuat oleh Thomas Hobbes dan diikuti oleh Hobbesian, tentang sebuah kekuatan dahsyat beraura jahat bagai makhluk pemangsa dari laut dalam yang luar biasa besarnya, dan keberadaannya dianggap bisa mengganggu tatanan ideal sebuah sistem sosial seperti halnya masyarakat demokratis (Lihat David Johnston, 1989. The Rhetoric of Leviathan: Thomas Hobbes and the Politics of Cultural [Princeton University Press]; dan lihat juga lanjut Peter J. Steinberger, 2004. The Idea of State [Cambridge University Press], terutama halaman 234).

�ĞŵŽŬƌĂƐŝ�ĚĂŶ��ĞŵŽŬƌĂƟƐĂƐŝ

Page 33: Pilkada Serentak - Quo Vadis Kedaulatan Rakyat

24

Pilkada Serentak

politik demokratis sesungguhnya banyak ditentukan oleh mereka yang paham substansi demokrasi dan mampu melihat manfaat dari dipraktikkannya kaidah-kaidah demokrasi dalam pergaulan sosial masyarakat. Pertanyaannya kemudian adalah, apakah para elit (dan sebenarnya termasuk para akademisi atau ilmuwan politik yang dimintai bantuan kepakarannya oleh penguasa rezim) yang merancang skenario kontestasi politik melalui ajang Pilkada itu hirau dengan persoalan kualitas demokrasi? Tampaknya tidak ada jawaban pasti yang dapat dirujuk, karena persoalan tersebut sedikit banyak berkaitan dengan hegemoni negara.

Gramsci, sebagai pencetus konsep hegemoni, telah memprediksi hal itu dengan berteori bahwa para penguasa rezim, sebagai pemangku hegemoni negara, pada dasarnya selalu berusaha untuk melestarikan dominasinya.37 Ada kalanya hegemoni itu mengalami krisis, namun para penguasa, atau pemegang otoritas politik negara, senantiasa berusaha untuk melakukan kerjasama dan aliansi baru, guna menjamin dominasinya. Dan untuk itu para elit bisa melakukan strategi “perang posisi” (ZDU�RI�SRVLWLRQ), yang juga bisa ditafsirkan sebagai sebuah proses dialektis yang berkesinambungan antara masyarakat politik (Negara) dan masyarakat sipil yang mengarah pada proses jangka panjang untuk membentuk apa yang disebut “VRFLHWD�UHJROD” (“aturan konstitusi baru”).38

Merujuk pada kerangka pikir Gramsci, hegemoni mempunyai dimensi nasional kerakyatan, di samping dimensi kelas, dan hal itu menjadi dasar mengapa strategi “perang posisi” dipilih oleh penguasa untuk mengamankan dominasinya. Hegemoni memerlukan penyatuan berbagai kekuatan sosial yang berbeda ke dalam sebuah aliansi yang luas yang mengungkapkan kehendak kolektif rakyat, sehingga masing-masing kekuatan ini bisa mempertahankan otonominya sendiri. Dengan kata lain, strategi “perang posisi” sengaja dilakukan untuk membangun

37 Lihat Walter L. Adamson, 1980. Hegemony and Revolution: A Study of Antonio Gramsci’s Political and Cultural Theory. (University of California Press, California), halaman 174.

38 Lihat Richard Howson and Kylie Smith (eds), 2008. Hegemony: Studies and Concensus and Coercion. (Routledge, New York), halaman 55.

Page 34: Pilkada Serentak - Quo Vadis Kedaulatan Rakyat

25

sebuah konsepsi yang sama, pada berbagai kekuatan sosial yang ada, tentang dunia ideal yang seharusnya dapat diterima oleh semua pihak. Tersebab karena kelompok penguasa ingin diterima kehendaknya tanpa perlawanan dari rakyat, maka strategi yang biasa dipraktikkan oleh kelompok penguasa itu adalah apa yang disebut Gramsci sebagai “revolusi pasif” (SDVVLYH� UHYROXWLRQ),39 yakni gerakan sosial dengan menggunakan agen-agen perubahan ~ yang dalam konteks model negara konstitusional berbasis demokrasi seperti Indonesia, biasanya diperankan oleh para elit birokrasi serta para kader partai politik pemenang pemilu.40

Meminjam teori “perang posisi” ala Gramsci itu sekurang-kurangnya dapat dijelaskan mengapa elit politik di Jakarta berdaya upaya untuk selalu berada dalam posisi menang, supaya bisa terus berkuasa, dan untuk itu strategi yang mereka lakukan adalah meyakinkan kepada publik bahwa mereka adalah bagian dari sebuah rezim yang pro rakyat. Strategi itu dilakukan ketika rezim Orde Baru di awal masa kekuasaannya; dan secara diam-diam diperagakan pula oleh rezim yang berkuasa setelah Orde Baru tumbang, terutama untuk membuktikan bahwa mereka jauh lebih demokratis, tidak sentralistik, dan pro rakyat. Bukti bahwa rezim baru itu lebih demokratis adalah dengan terbitnya sejumlah Undang-Undang baru yang menghargai hak-hak sipil dan hak asasi manusia. Bukti bahwa rezim baru pasca Orde Baru itu tidak sentralistik, ada perubahan paradigma tata kelola pemerintahan menjadi lebih menghargai prinsip-prinsip otonomi daerah. Dan bukti bahwa rezim baru ini pro rakyat, sekurang-kurangnya dapat dilihat dari sejumlah program pembangunan yang dibuat oleh Pemerintah sangat jelas berorientasi pada pemberdayaan masyarakat.

39 Lihat Adamson, 1980. Op.cit, halaman 227. Lihat juga Richard Paul Bellamy & Darrow Schecter, 1993. Gramsci and the Italian State. (Manchester University Press, Manchester, UK), halaman 148.

40 Praktik model “revolusi pasif” ini cukup jelas diperagakan oleh rezim Orde Baru melalui kaki tangannya di birokrasi, ketika ingin memaksakan kaidah-kaidah demokrasi berasas tunggal Pancasila, dan tampaknya cukup berhasil karena semua partai politik lainnya yang ada, kala itu, tidak menunjukkan sikap lain yang berbeda.

�ĞŵŽŬƌĂƐŝ�ĚĂŶ��ĞŵŽŬƌĂƟƐĂƐŝ

Page 35: Pilkada Serentak - Quo Vadis Kedaulatan Rakyat

26

Pilkada Serentak

Pertanyaannya kemudian, apakah Pilkada juga merupakan bukti dari sikap politik rezim penguasa yang lebih demokratis, tidak sentralistik, dan pro rakyat? Dari perspektif legalistik, terutama merujuk pada produk Undang-Undang yang dihasilkan, barangkali membenarkan pertanyaan itu. Namun tafsir politik belum tentu dapat menerimanya tanpa wasangka.

Dari perspektif teori hegemoni, Pilkada boleh jadi bukanlah sebuah bukti kesadaran para elit politik di Jakarta untuk menghargai kedaulatan rakyat ~ dalam pengandaian bahwa rakyat itulah yang akan menentukan siapa penguasa di daerah. Hal itu pertama-tama dapat dilihat dari isi Undang-Undang yang berkaitan dengan Pilkada, nyaris tidak pernah mempertimbangkan kondisi aktual sosiokultural masyarakat yang sejatinya akan berperan sebagai pemilih dan penentu kemenangan seseorang kandidat di ajang kontestasi Pilkada. Semua warga masyarakat yang cukup syarat administratif berdasarkan data kependudukan dianggap siap dan pasti mampu berpartisipasi dalam Pilkada, tanpa kecuali. Bahkan komunitas tribal, seperti pada banyak suku asli di Papua, pun dianggap memiliki kemampuan intelektual setara penduduk terpelajar yang tinggal di Jakarta. Pada akhirnya, demokrasi politik lokal hanya mampu mempertunjukkan mekanisme demokrasi prosedural tetapi secara substansial cenderung tidak bermanfaat sama sekali bagi sebagian mereka yang terlibat sebagai pemilih ~ sebab, mereka tidak dikondisikan untuk paham mengapa harus mendapatkan peran sebagai pemilih.

Pilkada, apabila memang dibutuhkan oleh rakyat, sesungguhnya merupakan pelimpahan kekuasaan memilih Kepala Daerah kepada penduduk yang tinggal di daerah pemilihan, tanpa ada campur tangan penguasa rezim atau peran kooptatif elit politik di Jakarta. Tetapi, ada “aturan main” yang tak dapat dibantah, bahwa barang siapa ingin dicalonkan oleh suatu partai politik atau gabungan partai politik menjadi kandidat yang akan bertarung dalam kontestasi Pilkada, maka orang yang bersangkutan harus mendapatkan “restu” dari pengurus parpol di atas jenjangnya, hingga sampai restu dari ketua umum partai yang beralamat di Jakarta. Dalam kasus ekstrim, meskipun seluruh pengurus parpol

Page 36: Pilkada Serentak - Quo Vadis Kedaulatan Rakyat

27

di suatu daerah pemilihan menghajatkan seseorang oknum untuk dicalonkan, apabila tidak ada restu dari pengurus parpol di tingkat atasnya, maka jangan harap oknum yang dihajatkan itu akan memperoleh izin menggunakan parpol itu sebagai kendaraan politiknya. Dan sebaliknya, kendati para pengurus parpol di suatu daerah pemilihan tidak suka dengan seseorang oknum, tetapi manakala oknum tersebut sudah mendapatkan restu dari pengurus pusat parpol di Jakarta, maka biasanya oknum yang beruntung itu diwajibkan untuk diusung dan didukung oleh seluruh kader parpol yang ada di daerah pemilihan. Itulah sebabnya, adanya aturan yang memperbolehkan seseorang kandidat menggunakan jalur perseorangan, alias kandidat non parpol, adalah solusi cerdas dari perangkap “politik oligarkhi” yang mungkin terjadi dalam proses Pilkada. Masalahnya, secara konseptual hadirnya calon independen dari jalur perseorangan itu sebenarnya menegasikan peran penting partai politik dalam skenario Pilkada yang berorientasi pada demokrasi representatif (UHSUHVHQWDWLYH�GHPRFUDF\). Dengan kata lain, ada fakta bahwa dinamika politik yang terjadi sesungguhnya menggambarkan betapa tidak konsistennya aturan main yang berkaitan dengan mekanisme pencalonan kandidat yang ingin bertarung dalam ajang kontestasi Pilkada, apakah ingin menganut sistem representatif atau tidak.

Alhasil, model Pilkada itu secara teoritik masih bisa diperdebatkan dalam konteks peran negara yang mestinya berkewajiban memberikan pendidikan politik yang baik kepada setiap warga negara. Pendidikan politik dianggap penting agar setiap warga negara dapat mengaktualisasikan hak politiknya untuk memilih dan dipilih melalui ajang kontestasi politik yang disebut Pilkada itu secara demokratis dan bertanggung jawab.

3. Pilkada Berkedaulatan Rakyat

Kalau dibaca bunyi UU Nomor 32 Tahun 2004 yang mendasari penyelenggaraan Pilkada Langsung pertama kali, tidak ada keraguan bahwa Pilkada Langsung dimaksudkan sebagai tafsir bahwa kedaulatan rakyat itu ingin dilaksanakan.41 Tetapi bagaimana prosedur pelaksanaan dari kedaulatan rakyat 41 Lihat UU 32/2004 pasal 56 ayat (1).

�ĞŵŽŬƌĂƐŝ�ĚĂŶ��ĞŵŽŬƌĂƟƐĂƐŝ

Page 37: Pilkada Serentak - Quo Vadis Kedaulatan Rakyat

28

Pilkada Serentak

itu, ternyata aturan perundangan yang ada tidak memberikan tuntunan yang jelas.42 Dalam UU Nomor 32 Tahun 2004, meskipun secara eksplisit disebutkan bahwa pemilihan calon kepala daerah dilaksanakan secara demokratis, yang kemudian ditafsirkan harus dilakukan secara langsung dan melibatkan seluruh penduduk yang memenuhi syarat untuk menjadi kelompok pemilih; namun sebenarnya tidak ada ketentuan bahwa rakyat pemilih memiliki wewenang untuk menentukan sendiri calon dimaksud. Bahkan UU tersebut menyatakan bahwa pasangan calon (harus) diajukan oleh partai politik atau gabungan partai politik.43 Dengan demikian, seolah-olah ada asumsi (dari para perancang UU) bahwa hanya partai politik yang dapat melakukan rekrutmen dan menyediakan kader yang layak jadi pemimpin, termasuk calon kepala daerah. Padahal dengan adanya ketentuan tersebut bisa ditafsir sebagai PHQD¿NDQ�KDN�PHPLOLK�UDN\DW���

Para perancang Undang-Undang nampaknya menyerahkan hal itu kepada lembaga penyelenggara Pilkada (baca: KPU/D), dan para politisi yang mengelola partai politik.

KPUD, sebagai bagian dari KPU, menurut UU adalah lembaga independen.44 Sebagai lembaga yang independen, KPUD diharapkan bekerja optimal untuk menyelenggarakan pemilihan kepala daerah secara demokratis, sebagai perwujudan dari adanya kedaulatan rakyat. Namun, hasil evaluasi terhadap peran KPU(D) dalam tugas penyelenggaraan Pilkada Langsung, dapat dicatat beberapa kelemahan lembaga tersebut, terutama dalam hal independensinya. 3HUWDPD, KPUD (provinsi dan kabupaten/kota) hanya sebagai pelaksana aturan yang dibuat dan ditetapkan oleh KPU (Pusat), sehingga KPUD tidak ada kewenangan untuk menciptakan aturan main yang merupakan “kreasi baru”, meskipun dengan alasan bahwa kondisi obyektif daerah (asas ORNDOLWDV��VDQJDW�VSHVL¿N�GDQ�WLGDN�WHUDNRPRGLU�GDODP�DWXUDQ�\DQJ�42 Termasuk Undang-Undang yang lahir kemudian, seperti UU Nomor 23 Tahun

2014, yang merupakan revisi UU Nomor 34 Tahun 2004; dan UU Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan atas undang-undang nomor 1 tahun 2015 tentang penetapan peraturan pemerintah pengganti undang-undang nomor 1 tahun 2014 tentang pemilihan gubernur, bupati, dan walikota menjadi undang-undang.

43 Lihat UU Nomor 32 Tahun 2004 Pasal 56 ayat (2). 44 Lihat Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007.

Page 38: Pilkada Serentak - Quo Vadis Kedaulatan Rakyat

29

(yang tercantum dalam UU dan ditafsirkan dalam aturan yang dibuat KPU). .HGXD, dalam penyelenggaraan Pilkada Langsung, KPUD sangat tergantung pada Pemerintah Daerah dalam hal pendanaan. Dana Pilkada Langsung itu dianggarkan dalam APBD, dan rancangan APBD ditentukan oleh Gubernur bersama dengan DPRD. .HWLJD, KPUD sebenarnya tidak memiliki sumberdaya (SDM) yang mandiri. Pegawai dan karyawan yang bertugas membantu aktivitas komisioner biasanya berasal dari PNS Pemerintah Daerah yang ditugaskan ke KPUD. Kualitas kinerja KPUD tergantung pada kualitas SDM yang diberikan kepada lembaga tersebut.

Sedangkan fungsi partai politik, diidealkan sebagai sarana pendidikan politik bagi anggotanya dan masyarakat luas agar menjadi warga negara Republik Indonesia yang sadar akan hak dan kewajibannya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.45 Tetapi bagaimana membangun kesadaran warga negara akan hak dan kewajibannya dalam konteks demokrasi, tidaklah ada penjelasannya. Rupanya semua terpulang pada tafsir partai politik yang diwajibkan melakukan pendidikan politik, dan bagaimana inisiatif warga negara untuk memahami sendiri kaidah-kaidah demokrasi dimaksud. Dalam praktiknya, partai politik di Indonesia lebih mewujud sebagai lembaga berhimpunnya para oligark.

Oleh karena itu, ketika gagasan Pilkada Langsung diasumsikan sebagai manifestasi prinsip hak kedaulatan rakyat untuk berpolitik dan bernegara, patut dipertanyakan, apakah kenyataan empirisnya PHQGXNXQJ�JDJDVDQ�WHUVHEXW��3HQ\HOHVDLDQ�NRQÀLN�VHSXWDU�3LONDGD�Langsung yang sering berlarut-larut dan persoalannya menyebar kemana-mana adalah salah satu bukti faktual bahwa masih banyak hal yang harus diperbaiki dalam sistem pemilihan kepala daerah. Sangat penting untuk dicatat di sini bahwa fenomena yang muncul ke permukaan adalah seperti mengandaikan masalah terpokok bagi sebuah perubahan politik demokratis di Indonesia hanya terdapat pada negara �VWDWH���dan bukan pada masyarakat

45 Lihat UU Nomor 31 Tahun 2002 Pasal 7 ayat (a). Sama persis dengan bunyi UU Nomor 2 Tahun 1999 Pasal & ayat (a).

�ĞŵŽŬƌĂƐŝ�ĚĂŶ��ĞŵŽŬƌĂƟƐĂƐŝ

Page 39: Pilkada Serentak - Quo Vadis Kedaulatan Rakyat

30

Pilkada Serentak

politik �FLYLO�VRFLHW\�. Kekuasaan yang korup, sentralistik, dan abai terhadap hak-hak sipil dan politik rakyat, misalnya, dipandang sebagai sumber utama dari berbagai persoalan di Indonesia. Kalau untuk mendukung transisi demokrasi itu dipersyaratkan lembaga-lembaga politik yang stabil, maka fakta menunjukkan masalah serius yang dihadapi oleh masyarakat politik di Indonesia adalah tiadanya partai-partai politik yang berakar. Sangat sulit untuk dibantah bahwa untuk waktu yang lama, tiadanya partai politik yang efektif di Indonesia telah mengakibatkan berbagai kesulitan yang luar biasa untuk melembagakan sebuah pola perubahan yang secara politik tidak saja terlembaga namun juga demokratis.46

46 Lihat Daniel Sparringa, “Partai Politik dan Transisi Demokrasi”. Kata Pengantar untuk buku Thomas Meyer, 2012. Peran Partai Politik dalam Sebuah Sistem Demokrasi: Sembilan Tesis. (Friedrich-Ebert-Stiftung (FES), Kantor Perwakilan Indonesia, Jakarta).

Page 40: Pilkada Serentak - Quo Vadis Kedaulatan Rakyat

31

Bagian Kedua

Habitus dan Habituasi Demokrasi

Dalam realitasnya, Pilkada Langsung bukan hanya ajang pertarungan para kandidat yang berhasrat jadi Kepala Daerah. Sebab, Pilkada Langsung acapkali

melibatkan banyak orang, banyak kubu, dan banyak kepentingan; sehingga kontestasi politik itu begitu ramai dan kadangkala mengundang kisruh karena semua pihak cenderung ingin memaksakan kemenangannya. Gagasan Pilkada Langsung sebagai ajang kontestasi politik yang demokratis pun menjadi tanda tanya. Apakah mereka yang terlibat dalam ajang pertarungan, EDLN� VHEDJDL� SHPDLQ� XWDPD� DWDX� FXPD� VHNDGDU� VHEDJDL� ¿JXUDQ��memahami substansi kontestasi politik secara demokratis? Untuk melacak perihal tersebut, penggunaan teori habitus kiranya dapat membantu menjelaskan bagaimana logika tindakan para aktor sehingga memilih sesuatu tindakan tertentu, dan bukannya tindakan yang lain.

1. Habitus Demokrasi yang Dibayangkan

Demokratisasi adalah proses perubahan struktur yang memungkinkan nilai-nilai demokrasi dapat aktual sebagai ideologi bermasyarakat bagi mayoritas penduduk sebuah negeri. Dalam konteks proses menuju kondisi kehidupan sosial yang lebih demokratis itu demokratisasi bermakna sebagai ‘proses menjadi’ yang tidak pernah selesai. Itulah sebabnya tidak ada tolok ukur yang dapat digunakan untuk menilai apakah suatu negara telah mencapai titik tertinggi dari kesempurnaan sebuah

Page 41: Pilkada Serentak - Quo Vadis Kedaulatan Rakyat

32

Pilkada Serentak

model pemerintahan demokratis. Sistem pemerintahan yang demokratis hanya bisa dinilai apakah cukup berkualitas (atau tidak), apabila mampu menunjukkan kemanfaatannya sebagai ideologi sosial untuk membangun masyarakat yang egaliter dan berkeadilan sosial, atau lebih dari itu. Bahkan tidak jarang kualitas demokrasi itu dikaitkan dengan aspek kesejahteraan penduduk sebagai dampak ikutannya; meskipun tidak ada jaminan bahwa suatu negara yang demokratis lalu berarti penduduknya pasti lebih sejahtera dibandingkan negara yang secara politik kurang demokratis.

Isu utama demokratisasi politik adalah persoalan bagaimana praksis politik demokratis dipertunjukkan oleh para elite dan massa pendukungnya di ranah publik. Pilkada sebagai “proyek demokratisasi” adalah sebuah panggung politik yang mempertunjukkan pertarungan antar kandidat yang terlibat dalam kontestasi untuk mendapatkan dukungan terbanyak rakyat pemilih. Sebagai panggung politik demokratis tentu saja ada aturan main yang harus ditaati oleh para petarung. Persoalannya adalah, apakah ada sanksi bagi petarung yang melakukan pelanggaran aturan main? Saya ingin berargumen, manakala proses demokratisasi itu telah menjadi sebuah kebiasaan [baca: sebagai hasil proses habituasi], maka tidak ada pilihan lain bagi para kandidat yang terlibat dalam sebuah kontestasi politik demokratis kecuali mengikuti aturan main yang tersedia. Atau dengan istilah lain, struktur niscaya akan mengerangka tindakan seseorang di ranah publik. Oleh karena itu, jika ada petarung (kandidat) yang [berani] melanggar aturan main dan ternyata tidak mendapatkan hukuman dan sanksi sosial, maka secara sosiologis aturan main politik demokratis itu sebenarnya belum menjadi sebuah habitus.

Merujuk pada Bourdieu,1 habitus adalah mekanisme yang menggabungkan atau menginternalisasi secara tidak disadari 1 Pierre Bourdieu (1930 – 2002) dikenal sebagai pendukung aliran struktural.

Sebagai seorang strukturalis, Bourdieu menyusun analisis di berbagai bidang pengetahuan dan aktivitas sosial berpusat pada persoalan praktik-praktik untuk merekonstruksi teori dari bawah ke atas, mencapai kesimpulan-kesimpulan tentang regularitas dan struktur sosial berdasarkan penelitian empiris (Lihat misalnya Pierre Bourdieu, 1977. Outline of a Theory of Practice. (Translated by Richard Nice. Cambridge University Press, Cambridge).

Page 42: Pilkada Serentak - Quo Vadis Kedaulatan Rakyat

33

norma-norma sosial atau model-model perilaku dan tindakan tertentu dari suatu kelompok atau fraksi kelas ke dalam suatu formasi yang menjadi bagian dari kehidupan sosial melalui proses sosialisasi.2 Habitus serupa dengan seperangkat norma; karena tindakan sosial yang sifatnya berulang secara rutin dan dapat diterima oleh masyarakat sebagai sesuatu hal yang niscaya, juga adalah sebuah habitus. Dalam pandangan Bourdieu, struktur obyektif itu merupakan produk dari praktik historis yang terus menerus direproduksi dan diubah oleh praktik historis yang prinsip produksinya merupakan produk dari struktur yang direproduksinya.3 Atau dengan kata lain, kehidupan sosial itu secara inheren berulang-ulang; sehingga yang dimaksud dengan konsep habitus itu tidak lain adalah deskripsi tentang kebiasaan yang sama-sama dilakukan oleh kelompok atau komunitas aktor.

Dalam membangun teorinya, Bourdieu antara lain dipengaruhi oleh Sartre dan eksistensialisme dan Levi-Strauss dan strukturalisme. Juga tiga pendiri sosiologi, Marx, Weber, dan Durkheim. Dari Marx dia menaruh minatnya dalam memahami tindakan (SUDFWLFH) dalam konteks konsep struktur dan agensi. Dari Weber dia mengambil ide-ide tentang gaya hidup dan status, VHEDJDL� SHUOXDVDQ� GDUL� PRGHO� SDVDU� \DQJ� VSHVL¿N� PHQ\DQJNXW�bidang analisis ekonomi dan ruang sosial, yang digunakan Bourdieu untuk menjelaskan ranah (¿HOG). Sedangkan pengaruh Durkheim GDSDW�GLOLKDW�GDUL�VXPEHU�SHQJNODVL¿NDVLDQ�VRVLDO��6HODLQ�LWX��GXD�penulis lainnya juga dianggap turut memberikan pengaruh dalam SHQJHPEDQJDQ�WHRUL�%RXUGLHX��\DNQL�:LWWJHQVWHLQ�GDQ�*RɣPDQ��Dari Wittgenstein peran bahasa dalam konstitusi dunia sosial menjadi dasar baginya untuk menjelaskan pengalaman hidup; GDQ�LQWHUDNVLRQLVPH�GDUL�*RɣPDQ�PHZDUQDL�SHPLNLUDQ�%RXUGLHX�dalam menjelaskan strategi permainan-peran.4

Menurut Bourdieu,5 komponen-komponen habitus itu adalah: (1) cara berpikir atau cara bertingkahlaku, (2) kebiasaan-2 Bourdieu, 1977, halaman 95. 3 Bourdieu, 1977, halaman 83. 4 Lihat Craig Calhoun, (2000) 2003. “Pierre Bourdieu”, dalam George Ritzer, (ed).

The Blackwell Companion to Major Contemporary Social Theorists. (Blackwell Publishing Ltd, Malden, USA).

5 Bourdieu, 1977, terutama halaman 61-69 dan 78-86.

Habitus dan Habituasi Demokrasi

Page 43: Pilkada Serentak - Quo Vadis Kedaulatan Rakyat

34

Pilkada Serentak

NHELDVDDQ� ¿VLN�� GDQ� ���� FLWD�UDVD� \DQJ� PHQ\DQJNXW� VXND� DWDX�tidak suka. Tetapi, substansi habitus sebenarnya menyangkut modal (FDSLWDO) yang dimiliki seseorang (aktor) dan ranah (¿HOG) dimana habitus itu diperagakan. Modal adalah sumberdaya yang dimiliki seseorang untuk bisa eksis di ranah publik, dan ia terutama menyangkut modal ekonomi (sumberdaya uang dan properti) dan modal kultural (status sosial). Dalam merumuskan teorinya Bourdieu melihat kultur masyarakat Prancis tahun 1960-an, dia membayangkan adanya perbedaan kelas masyarakat dalam kemampuan memproduksi priviles, antara kelompok elite dan bukan-elite. Dalam pandangan Bourdieu, habitus yang diperagakan oleh seseorang praktis menunjukkan pada kelas mana yang bersangkutan posisinya berada, apakah pada kelas pekerja atau kelas menengah. Pada kelompok elite, mereka memiliki kekuasaan kultural yang diperagakan dalam bentuk cita-rasa dan gaya hidup yang menggambarkan kualitas paling hebat (WKH�EHVW) dalam bentuk idiom-idiom seperti “VRSKLVWLFDWHG”, “UH¿QHG”, “WDVWHIXO”. Dengan kata lain, setiap habitus yang ditunjukkan oleh seseorang sebenarnya menggambarkan pada posisi mana kelasnya EHUDGD��GDQ�%RXUGLHX�PHQJNODVL¿NDVLNDQQ\D�VHEDJDL�EHULNXW������kelas pekerja rendah biasanya menunjukkan kepemilikan modal yang paling sedikit, (2) kelas pekerja atas mampu menunjukkan kepemilikan beberapa modal sekaligus, (3) kelas menengah rendah menunjukkan kepemilikan modal yang lebih banyak, dan (4) kelas menengah atas menunjukkan kepemilikan modal paling banyak. Dan ketika dikaitkan dengan gaya hidup serta cita-rasa dalam berperilaku, pengkelasan sosial itu pun menjadi pembeda antara mereka yang bercita-rasa tinggi (pada kelas menengah atas), bercita-rasa sedang (pada kelas menengah bawah), dan bercita-rasa paling rendah (pada kelas pekerja).6

Dengan konsep habitus, kita mestinya dapat memahami tindakan aktor di ranah publik, baik sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat. Sebab, konsep habitus dipahami sebagai sebuah kecenderungan sosial untuk berpikir atau bertindak dalam cara-cara tertentu. Ia adalah bentuk-bentuk yang 6 Piere Bourdieu, 1984. Distinction: a social critique of the judgment of taste.

(Translated by Richard Nice. Harvard University Press).

Page 44: Pilkada Serentak - Quo Vadis Kedaulatan Rakyat

35

diinternalkan dari kondisi sosial tempat masyarakat bertindak. Tiap-tiap habitus berkesesuaian dengan rangkaian hubungan sosial tertentu ~ kondisi kelas, gender, dan seterusnya. Perolehan sebuah habitus adalah konsekuensi langsung dari keterlibatan dalam hubungan sosial tertentu yang berulang-ulang. Sebuah habitus mewujudkan prinsip struktural di seputar pengorganisasian hubungan sosial dan menjamin reproduksi dari hubungan-hubungan ini oleh individu yang berhabituasi. Ini adalah sebuah sarana penghubung aspek-aspek sistematis dari struktur sosial dengan aliran dari agensi individual. Dengan mengambil dari pengalaman bersama, masyarakat membangun skema konseptual sehingga mereka dapat terus bertindak berdasarkan pengalaman.

Dalam pandangan Bourdieu, struktur yang mencakup habitus-habitus tersebut diasumsikan dibangun di dalam sikap dan teknik yang otomatis dari tubuh sosial, dan bekerja di bawah kesadaran, di luar jangkauan pengamatan dan pengendalian oleh kemauan.7 Ia mencakup bentuk-bentuk ‘pengetahuan praktis’ non-diskursif yang mengimplementasikan representasi dan aturan kolektif dengan memberikan masyarakat sebuah rasa praktis tentang apa yang harus dilakukan dalam situasi-situasi tertentu dan bagaimana menjalankannya. Ia adalah prinsip-prinsip generatif yang memungkinkan masyarakat untuk bertindak seolah-olah mereka secara sadar mengikuti aturan. 8

Merujuk pada deskripsi Bourdieu, kekuatan modal (ekonomi, kultural, sosial, simbolik) dalam menunjukkan posisi agen di ranah (¿HOG) politik jelas sangatlah penting. Bourdieu bahkan menggunakan perbandingan kekuatan militer untuk melukiskan lingkungan (¿HOG), dan menyebutkan sebuah area “benteng strategis untuk dipertahankan dan direbut dalam lingkungan perjuangan”.9 Adalah modal yang memungkinkan orang untuk mengendalikan nasibnya sendiri maupun nasib orang lain. Penghuni posisi dalam lingkungan menggunakan berbagai strategi

7 Bourdieu, 1984, Distinction: A Social Critique of the Judgment of Taste. (Harvard University Press), halaman 466.

8 Lihat Bourdieu & Wacquant, 1989. The State Nobility (Polity Press, Cambridge), halaman 2.

9 Lihat Pierre Bourdieu, 1984, halaman 244.

Habitus dan Habituasi Demokrasi

Page 45: Pilkada Serentak - Quo Vadis Kedaulatan Rakyat

36

Pilkada Serentak

untuk mempertahankan posisinya.10 Melalui strategi itulah “penghuni posisi itu berupaya secara individual atau kolektif melindungi atau meningkatkan posisi mereka dan berupaya memaksakan prinsip penjenjangan yang paling menguntungkan terhadap tujuan mereka sendiri. Dengan kata lain, strategi agen tergantung pada posisi mereka dalam lingkungan.”11

Dalam pandangan Bourdieu, kehidupan sosial sebenarnya tidak ubahnya bagai sebuah rangkaian permainan (VHULHV�RI�JDPHV). Siapapun membutuhkan kepemilikan keterampilan untuk bisa berhasil dalam permainan itu. Keterampilan adalah modal yang dimiliki seseorang; dan peran seseorang dalam kehidupan sosial sesungguhnya ditentukan oleh faktor modal yang dipunyainya. Masalahnya, beberapa orang memiliki modal yang lebih banyak daripada yang lainnya. Dalam konteks modal simbolik, ia biasanya hadir sebagai bentuk kelebihan dalam penguasaan ilmu yang didapat melalui proses pendidikan; dan dalam realitasnya, hanya pada kelompok elite pula modal simbolik itu tampaknya dapat dimiliki dan dipertunjukkan sebagai kepemilikan modal pelengkap setelah modal ekonomi, modal kultural, dan modal sosial. Hal itu sebenarnya merupakan sebuah siklus dimana kelompok elite biasanya mampu menggunakan modal kultural untuk mendapatkan sejumlah besar peluang pendidikan yang berkualitas, terutama bagi anak-anaknya, dibanding mereka yang bukan kelompok elite; dan pada gilirannya anak-anak dari kelompok itu pun kemudian menjadi kelompok elite pula karenanya.

Oleh karena itu, kalau kita mengikuti alur berpikir Bourdieu, tesis utamanya terletak pada pentingnya reproduksi sosial (VRFLDO�UHSURGXFWLRQ) dalam konteks modal kultural. Modal kultural yang 10 Tetapi, yang dimaksud dengan strategi itu tidak mengacu pada “tujuan dan

rencana untuk mengejar tujuan yang sudah diperhitungkan… Melainkan, mengacu pada perkembangan aktif “garis tindakan” yang diarahkan secara obyektif yang menaati aturan dan membentuk pola yang koheren dan secara sosial dapat dipahami. Meskipun tak mengikuti aturan yang ditetapkan secara sadar atau tertuju pada tujuan yang diterapkan sebelumnya oleh seorang penyusun strategi”. (Loic J. D. Wacquant, 1992. “Toward a Social Praexeology: The Structure and Logic of Bourdieu’s Sociology.” Dalam P. Bourdieu and L.J.D. Wacquant (eds). $Q� ,QYLWDWLRQ� WR� 5HÀH[LYH� 6RFLRORJ\. (University of Chicago Press, Chicago, pp. 2-59), halaman 25).

11 Pierre Bourdieu & Loic J.D.Wacquant, 1992. Halaman 101.

Page 46: Pilkada Serentak - Quo Vadis Kedaulatan Rakyat

37

besar akan membuka akses bagi si pemiliknya untuk mendapatkan lapangan kerja yang baik, dan karena itu lalu berimplikasi pada kemakmuran hidup (HFRQRPLF� FDSLWDO). Hal itulah yang berlaku pada kelas menengah atas yang memiliki keuntungan membangun status sosial bagi anak-anaknya yang dimulai dari akses untuk mendapatkan sekolah yang terbaik buat mereka. Bourdieu menjelaskan dialektika habitus adalah “produk internalisasi struktur” dunia sosial;12 sehingga kita dapat membayangkan habitus itu juga sebagai “struktur sosial yang diinternalisasikan yang diwujudkan”.13 Habitus mencerminkan pembagian obyektif dalam struktur kelas, seperti kelompok dan kelas sosial. Habitus diperoleh sebagai akibat dari lamanya posisi dalam kehidupan sosial diduduki. Dalam pengertian ini habitus dapat pula menjadi fenomena kolektif. Habitus merupakan produk historis yang menciptakan tindakan individu dan kolektif dan karenanya sesuai dengan pola yang ditimbulkan oleh sejarah.14 Karena itu, kalau sepakat dengan Bourdieu, kita tentunya tidak berasumsi bahwa kehidupan tertentu bisa dipaksakan seragam kepada seluruh agen. Karena habitus menghasilkan, dan dihasilkan oleh, kehidupan sosial. Habitus adalah struktur yang menstruktur (VWUXFWXULQJ�VWUXFWXUH) kehidupan sosial. Di sisi lain, habitus adalah struktur yang distrukturisasi (VWUXFWXUHG� VWUXFWXUH) oleh dunia sosial. Dengan kata lain, habitus tidak lain adalah “dialektika internalisasi dari eksternalitas dan eksternalisasi dari internalitas”.15

Dalam menjelaskan habitus sebagai sebuah KRPRORJLHV (kesamaan ciri dan karakteristik dari berbagai kejadian yang berbeda),16 Bourdieu selalu menggambarkannya sebagai sebuah siklus kehidupan.17 Dari siklus kehidupan itu tergambar bahwa sebuah kegiatan ketika menjadi sebuah kebiasaan (KDELW) adalah 12 Lihat Pierre Bourdieu, 1989. “Social Space and Symbolic Power.” Sociology

Theory 7:14-25, halaman 18. 13 Bourdieu, 1984, halaman 486. 14 Lihat Bourdieu, 1977, halaman 82. 15 Pierre Bourdieu, 1977, halaman 72. 16�'H¿QLVL� ODLQ� WHQWDQJ� LVWLODK� KRPRORJLV� LWX� GLUXPXVNDQ� 0LGGOHWRQ�� EDKZD�

“homologies are ‘structural ‘resonances’….between the different elements making up a socio-cultural whole.” (Lihat Richard Middleton, 1990. Studying Popular Music. [Open University Press, Philadelphia], halaman 9).

17 Bourdieu, 1977, halaman 143-157.

Habitus dan Habituasi Demokrasi

Page 47: Pilkada Serentak - Quo Vadis Kedaulatan Rakyat

38

Pilkada Serentak

karena berbagai tindakan yang inheren dalam kegiatan itu selalu dilakukan berulang dan berulang sampai menjadi sesuatu yang rutin, seperti halnya ritual perkawinan, atau aktivitas perempuan dalam siklus memasak, atau kalender pertanian sejak persemaian bibit hingga memanen hasil, dan bahkan struktur yang terjadi dalam siklus terjadinya saat siang dan malam yang diantarai oleh pagi dan sore. Semua seolah-olah terjadi begitu saja tanpa disadari, karena memang tidak ada hal yang dianggap aneh sehingga menjadi semacam anomali.

Dengan kata lain, habitus tidak mungkin muncul tiba-tiba begitu saja, dan tanpa wasangka bagi komunitas yang menerimanya. Ada kejadian berulang, dan selalu terulang sebagai tindakan yang nyaris tidak disadari mengapa harus diulang. Ada proses panjang sehingga sebuah rangkaian tindakan dianggap sebuah rutinitas yang tidak lagi mengundang tanya. Ada nilai-nilai tertentu yang seolah-olah telah disepakati bersama sehingga nilai-nilai tersebut menjadi semacam petunjuk teknis bagaimana sebaiknya orang-orang berperilaku di ranah sosial. Namun demikian, dalam memaknai tindakan aktor di ranah publik, Bourdieu menegaskan bahwa habitus sesungguhnya berhubungan dengan diperolehnya pengakuan sosial yang menjadikan tindakan aktor itu sebagai bagian dari skema makna yang sudah tersedia.18 Pengakuan sosial itu diperoleh dari proses internalisasi sosial dan material dari “kondisi-kondisi kehidupan” (FRQGLWLRQV� RI� H[LVWHQFH) dimana kondisi-kondisi tersebut disesuaikan dengan kelas sosial aktor yang bersangkutan dan menyangkut skema apresiasi, persepsi dan kehendak aktor. Pada gilirannya, habitus ~ dalam pengertian norma-norma sosial dan model-model perilaku ~ menentukan tindakan sosial aktor.19

Saya ingin berargumen, bahwa demokratisasi pun sebenarnya merupakan sebuah proses habituasi ketika nilai-nilai demokrasi kemudian diterima sebagai sebuah keniscayaan perilaku sosial, terlepas dari persoalan apakah perilaku sosial dimaksud sesuai, atau tidak sesuai, dengan nilai-nilai dasar demokrasi yang dicita-18 Bourdieu, 1977, halaman 72-95. 19 Pierre Bourdieu, 1984, Distinction: a social critique of the judgment of taste.

(Translated by Richard Nice. Harvard University Press), halaman 197.

Page 48: Pilkada Serentak - Quo Vadis Kedaulatan Rakyat

39

citakan. Teori habitus tidaklah relevan untuk digunakan buat menilai kebaikan atau keburukan suatu tindakan sosial ~ karena fungsinya memang bukan untuk tujuan semacam itu. Teori habitus lebih bermanfaat apabila dimaksudkan untuk mengurai dan menjelaskan tingkah laku politik, dan karena faktor apa tingkah laku politik itu sampai diterima sebagai sebuah norma sosial. Oleh karena itu saya ingin berargumen lebih lanjut bahwa pendekatan teori habitus sebenarnya dapat digunakan untuk memahami dan menjelaskan mengapa suatu perilaku politik yang mungkin semula tidak terpuji kemudian akhirnya menjadi sebuah keniscayaan sosial. Contohnya, mengapa politik uang sampai menjadi sebuah keniscayaan untuk meraih kemenangan dalam kontestasi politik seperti Pilkada, dan mengapa ia ternyata tidak dianggap sebagai sebuah anomali oleh warga masyarakat yang kebetulan terlibat dalam tindakan politik tersebut.

Oleh karena itu sesungguhnya masih dapat didiskusikan, apakah demokrasi telah menjadi habitus dalam masyarakat politik di Indonesia. Karena banyak fakta yang menunjukkan bahwa para pelaku kontestasi politik nampaknya tidak begitu hirau dengan kaidah-kaidah demokratis dalam tindakan politiknya, dan pihak lain (partai-partai politik, dan termasuk juga lembaga penyelenggara pemilu/pilkada) kelihatan tidak mampu (atau lebih tepat barangkali tidak berminat) untuk mengkondisikan hal itu terjadi. Saya ingin berargumen, hal itu sedikit banyak merupakan indikasi bahwa proses habituasi demokratisasi bukan hanya belum selesai, tetapi juga belum cukup dipahami oleh para pemain utama yang terlibat dalam kontestasi politik. Meskipun kalau kita sepakat dengan konsep habitus, hal itu mestinya melekat begitu saja dalam tindakan sosial para pelaku politik ~ dan bukan hanya sekadar diwacanakan atau sesuatu hal yang diskursif.

Sungguh pun demikian, saya ingin berpendapat bahwa teori habitus Bourdieu itu dianggap relevan untuk menjelaskan anomali praksis demokrasi lokal. 3HUWDPD, dalam ranah politik, nyaris semua aktor yang terlibat dalam kontestasi akan mengerahkan seluruh “modal” yang dimilikinya agar bisa tampil sebagai pemenang kontestasi politik. Dalam kontestasi politik semacam

Habitus dan Habituasi Demokrasi

Page 49: Pilkada Serentak - Quo Vadis Kedaulatan Rakyat

40

Pilkada Serentak

Pilkada, pola pengerahan segala sumberdaya di ranah politik itu lazim terjadi, dan celakanya adalah ketika kemudian seseorang aktor ternyata harus kalah bertarung dan yang bersangkutan tidak siap untuk menerima kekalahan tersebut. Muasal dari segala sengketa Pilkada biasanya adalah karena ketidaksiapan seseorang kandidat menerima kekalahan dengan latar semacam itu.

.HGXD, ada pemahaman yang lugas tentang di mana ranah dari habitus itu berfungsi, yakni “ruang sosial” (VRFLDO�VSDFH) ~ meskipun sebenarnya hanya metafora ~ untuk menjelaskan distribusi sifat-VLIDW�VRVLDO�PDV\DUDNDW�GLOLKDW�GDUL�DVSHN�JHRJUD¿VQ\D���%RXUGLHX�menggunakan istilah “jarak” (GLVWDQFH) antara obyek yang satu dengan yang lainnya ketika dia ingin menggambarkan adanya perbedaan (GLVWLQFWLRQ) antara kelompok yang ‘serupaku’ (OLNH�PH) dan yang ‘tidak serupaku’ (QRW�OLNH�PH).20 Penjelasan semacam itu dapat menjawab mengapa ada kelompok-kelompok yang saling berseteru, tentu saja dengan segala rasionalitasnya. Atau pada kasus tindakan politik banal, ada aktor yang memilihnya sebagai tindakan rasional, dan ada pula aktor lainnya yang sama sekali tidak berminat untuk melakukannya karena menilainya sebagai tindakan yang DEVXUG.

.HWLJD, dalam teori habitus ada pola dan ada aksi. Bourdieu menjelaskan hal itu dengan menggunakan kerangka obyektivitas dan subyektivitas yang saling melengkapi.21 Ada pertimbangan-pertimbangan obyektif dan sekaligus subyektif sehingga sebuah habitus dapat diperagakan di ruang publik, dan setiap aktor menjadi bagian dari peragaan pola aksi tersebut.

Dengan demikian, ruang sosial yang merupakan ranah tempat berinteraksi antar manusia sesungguhnya ditentukan oleh modal yang dimiliki oleh para aktor, dan bahkan ketika dikaitkan dengan tindakan politik, kepemilikan dan pemanfaatan modal itu bisa mengarahkan pola habituasi masyarakat dalam memaknai sebuah kontestasi politik yang “demokratis”. Dengan kata lain, sebuah tindakan politik yang diperagakan oleh kelompok elit, mestinya

20 Bourdieu, Pierre, 1990. The Logic of Practice. (Stanford University Press, California), halaman 271.

21 Bourdieu, 1990, halaman 41-49.

Page 50: Pilkada Serentak - Quo Vadis Kedaulatan Rakyat

41

bisa saja menjadi sebuah “habitus” apabila direkayasa sedemikian rupa agar menjadi hal yang lumrah di mata konstituennya, dan pada akhirnya dapat diterima pula oleh masyarakat sebagai sebuah keniscayaan sosial. Sebagai contoh ilustrasi, pemberian bantuan uang dan barang dari para politisi kepada kaum miskin, boleh jadi telah menjadi kebiasaan yang lazim terjadi di musim pemilu, entah sejak kapan kebiasaan itu terjadi. Di satu pihak para politisi perlu menunjukkan perilaku dermawan untuk menarik simpati massa, agar massa tersebut mendukungnya. Di lain pihak, kelompok miskin memang butuh bantuan dari siapapun yang punya kemampuan untuk menolong mereka dari kesulitan hidup.

Konsep habitus memang tidak menentukan tindakan agen sebagai ‘operator praktis pengkonstruksian obyek’.22 Ini adalah tindakan prasadar yang dikembangkan melalui struktur obyektif GDQ�VHMDUDK�SULEDGL��'H¿QLVL�\DQJ�EHURULHQWDVL�SDGD�WLQJNDW�PLNUR�ini memungkinkan habitus menyesuaikan dan mengakomodasi struktur tingkat meso yang dinamis yang melibatkan aktor-aktor lain dalam disposisi yang tahan lama. Dalam pernyataan Bourdieu sendiri, habitus semata-mata ‘mengusulkan’ apa yang sebaiknya dipikirkan orang dan apa yang sebaiknya mereka pilih untuk dilakukan. Dalam menentukan pilihan, aktor menggunakan pertimbangan mendalam berdasarkan kesadaran, meski proses pembuatan keputusan ini mencerminkan berperannya habitus. Habitus menyediakan prinsip-prinsip yang dengan prinsip itu aktor membuat pilihan dan memilih strategi yang digunakan dalam kehidupan sosial. Aktor bertindak menurut cara yang ‘masuk akal’ (UHDVRQDEOH). Mereka mempunyai perasaan dalam bertindak, dan ada logikanya untuk apa bertindak; itulah yang disebut “logika tindakan”.23

Oleh karena itu, dari perspektif teori habitus, akan terjelaskan (nanti) mengapa aktor kandidat misalnya sampai melakukan kecurangan politik, dan mengapa pula seseorang aktor memilih tindakan politik uang. Dua hal tersebut, kecurangan dan praktik politik uang, diketahui merupakan pokok masalah dari

22 Lihat Bourdieu, 1990a, halaman 13. 23 Lihat Bourdieu, 1990a, halaman 14.

Habitus dan Habituasi Demokrasi

Page 51: Pilkada Serentak - Quo Vadis Kedaulatan Rakyat

42

Pilkada Serentak

kerumpangan Pilkada Langsung yang sedikit banyak mencederai maksud diadakannya sistem pemilihan kepala daerah dengan melibatkan seluruh rakyat di daerah.

2. Pokok Persoalannya Adalah Doxa

Untuk dapat memahami aplikasi konsep habitus itu seyogyanya dibutuhkan pemahaman lebih lanjut tentang GR[D.24 'R[D merupakan kesesuaian antara struktur obyektif dan mental. Menurut Bourdieu, GR[D mengacu pada skema-skema pemikiran dan persepsi yang dihasilkan oleh struktur-struktur obyektif. 'R[D� WHUEHQWXN� GDUL� VHPXD� VLVWHP� NODVL¿NDVL� \DQJ�PHQHWDSNDQ�batasan-batasan pola kesadaran individu, sekaligus menghasilkan kesalahmengertian atas fakta sosial yang berubah-ubah yang menjadi dasar yang diserap mereka sebagai sistem sosial.25 Pemahaman tentang GR[D itu penting sekali dalam kaitan ketaatan dan penyimpangan yang mungkin terjadi dalam persepsi aktor yang mempengaruhi kesadaran dan kesalahmengertiannya atas sistem yang berlaku. Bourdieu menggunakan istilah ortodoksi dan heterodoksi untuk menggambarkan fenomena tersebut.26 Dalam konteks kontestasi politik, hal itu boleh jadi terungkap dalam kasus-kasus “anomali politik demokrasi” yang menampilkan perilaku-perilaku aktor yang mungkin menyimpang dari aturan main yang ada.

24 Dalam pandangan Bourdieu, doxa digunakan untuk memaknai dunia dan tempat NLWD�EHUDGD��\DQJ�GLLGHQWL¿NDVLNDQ�EHUXSD�NHSHUFD\DDQ�GDQ�QLODL�QLODL�WDN�VDGDU��berakar secara mendalam, yang dianggap sudah terbukti dengan sendirinya (self-evident) dan lumrah (taken-for-granted), untuk mendukung pengaturan sosial tertentu pada ranah (¿HOG) tertentu. Doxa ini lebih mendasar daripada “ortodoksi”, atau keyakinan yang didasarkan pada kesadaran yang ditegakkan atas dasar kepercayaan. Tetapi makna doxa tergantung pada masyarakatnya, dan bisa berbeda permaknaannya dalam satu masyarakat yang satu dengan masyarakat lainnya. Atau dalam deskripsi Bourdieu, “Practical faith is the FRQGLWLRQ�RI�HQWU\� WKDW�HYHU\�¿HOG� WDFLWO\� LPSRVHV��QRW�RQO\�E\�VDQFWLRQLQJ�DQG�debarring those who would destroy the game, but by so arranging things, in practice, that the operations of selecting and shaping new entrants (rites of passage, examinations, etc,) are such as to obtain from them that undisputed, SUH�UHÀH[LYH��QDwYH��QDWLYH�FRPSOLDQFH�ZLWK�WKH�IXQGDPHQWDO�SUHVXSSRVLWLRQV�RI�WKH�¿HOG�ZKLFK�LV�YHU\�GH¿QLWLRQ�RI�GR[D.” (Bourdieu, 1990a, halaman 68).

25 Lihat Bourdieu, 1990, halaman 68; dan Bourdieu, 1998, halaman 56-7. 26 Ortodoksi (orthodoxy) adalah ketaatan pada peraturan resmi, sedangkan

heterodoksi (heterodoxy) adalah penyimpangan dari aturan resmi tersebut, dan ia berhubungan dengan doxa (Lihat Bourdieu, 1977, halaman 172-175).

Page 52: Pilkada Serentak - Quo Vadis Kedaulatan Rakyat

43

Sebagai contoh ilustrasi, mengapa politik uang sampai menjadi sebuah keniscayaan untuk meraih kemenangan dalam kontestasi politik seperti Pilkada, dan mengapa ia ternyata tidak dianggap sebagai sebuah anomali oleh warga masyarakat yang kebetulan terlibat dalam tindakan politik tersebut. Dalam kaitan itu EROHK�MDGL�NRQWHVWDVL�SROLWLN�\DQJ�WHUMDGL�WLGDN�ODLQ�GDUL�VLPSOL¿NDVL�dari pertarungan antar pemilik modal. Siapa yang menguasai (memiliki) modal paling banyak, dialah yang terkuat, dan berpeluang untuk memenangkan kontestasi politik. Bekerjanya modal relatif tidak tergantung pada nasib peruntungan seseorang kandidat. Sebab, kelompok pemilih juga harus diasumsikan bukanlah ‘orang-orang bodoh’ yang tidak mampu menilai kualitas personal seseorang kandidat menurut kriteria-kritera ideal tertentu. Kecuali kelompok konstituen itu sengaja dibuat ‘buta tuli’, NDUHQD�WLGDN�PHPSHUROHK�LQIRUPDVL�IDNWXDO�WHQWDQJ�¿JXU�NDQGLGDW�yang mesti dipilih, seperti yang terjadi pada kelompok pemilih yang tinggal di daerah pedalaman. Kecuali kelompok pemilih itu dikondisikan apatis dengan keberadaan aktor-aktor politik yang terlibat dalam kontestasi, sehingga tidak merasa berkepentingan atas kelangsungan kontestasi yang terjadi. Hal terakhir itulah yang ditengarai terjadi pada kelompok “Golput” (golongan putih) yang cenderung tidak hirau dengan segala kegiatan Pemilu (dan Pilkada).

Kelompok elit dan aktor yang terlibat dalam kontestasi Pilkada diandaikan hanya sekadar melakukan transformasi atau mereproduksi struktur yang sudah ada. Artinya, mereka sebenarnya bisa melakukan pilihan bebas untuk terlibat atau tidak terlibat dalam kontestasi; namun manakala sudah terlibat, mereka harus mengikuti aturan main yang berlaku, sehingga dibutuhkan rasionalitas tertentu untuk bertindak. Logika tindakan elit dan aktor, mestinya, hanya dipengaruhi oleh faktor ortodoksi atau heterodoksi, yakni cenderung taat pada aturan main tersebut atau berkecenderungan menyimpang. Tindakan politik yang menunjukkan gejala anomali dari politik demokrasi, mestinya, merupakan tindakan yang didasari heterodoksi. Sebagai contoh, apabila kelompok elit dan aktor kandidat misalnya mengakomodir NHFXUDQJDQ� GDQ� SROLWLN� XDQJ�� EROHK� MDGL� XQWXN� PHQMXVWL¿NDVL�

Habitus dan Habituasi Demokrasi

Page 53: Pilkada Serentak - Quo Vadis Kedaulatan Rakyat

44

Pilkada Serentak

tindakannya itu lalu mereka berdalih macam-macam, yang VHEHQDUQ\D�PHUHÀHNVLNDQ�UDVLRQDOLWDV�\DQJ�GLSDNVDNDQ�EHODND�

Dalam ranah kontestasi Pilkada, harus diakui bahwa yang paling berperan penting atas terjadinya perubahan struktural adalah kelompok elit politik. Mereka itulah yang pertama kali menawarkan gagasan perubahan dan merekayasanya untuk menentukan tindakan sosial yang semestinya ada dalam kontestasi. Sedangkan kelompok konstituen, karena ‘status marjinalnya’, praktis hanya menjadi kelompok pengikut yang loyal; atau, kalau WLGDN�PHUHND�VHNDGDU�PHQMDGL�¿JXUDQ�GDODP�SRVLVL�SHUDQ�VHEDJDL�obyek. Walaupun di tataran ideal, seharusnya kelompok pemilih itu perlu terlibat aktif dalam menyumbangkan saran-saran tindakan politik yang layak menjadi acuan. Termasuk memberikan masukan tentang apa yang patut dan apa yang tidak patut dilakukan dalam pertarungan para kandidat yang terlibat dalam kontestasi politik. Kepatutan dimaksud dasar pijaknya adalah hukum normatif yang berlaku dalam masyarakat.

Sebagaimana kasus penggunaan uang dalam kontestasi politik ~ yang kemudian dikenali sebagai PRQH\�SROLWLFV�a hadir dalam suatu lingkaran kebutuhan, dimana ada saling eksploitasi antara aktor dengan elit. Dalam kasus politik uang (jual beli dukungan) itu aktor/kandidat dan elit/konstituen sebenarnya sekadar melakukan transaksi ilegal, dan boleh jadi tidak merasa penting untuk menelisik keabsahan transaksi mereka itu apakah berkesesuaian atau bertentangan dengan norma, karena ia dilakukan semata-mata atas pertimbangan pilihan rasional. Dalam pertukaran kepentingan itu aktor sebagai pihak yang membutuhkan dukungan boleh jadi akan dengan ikhlas memberikan uang, baik VHFDUD�KDU¿DK�DWDX�VLPEROLN��\DQJ�GLODNXNDQ�VHFDUD�ODQJVXQJ�DWDX�tidak langsung kepada elit atau konstituen atau kelompok pemilih. Di lain pihak, elit politik atau konstituen dengan berbagai dalih GDQ� MXVWL¿NDVL�� EDUDQJNDOL� PHPDQJ� PHPEXWXKNDQ� XDQJ� VHFDUD�tunai, atau berupa bantuan tunai, atau tidak butuh uang namun merasa berhutang budi karena diberi hadiah barang, dan boleh jadi juga merasa dihargai karena diberi asuransi sosial oleh seseorang kandidat yang berkepentingan atas dukungannya sebagai pemilih.

Page 54: Pilkada Serentak - Quo Vadis Kedaulatan Rakyat

45

Pertanyaannya kemudian, apakah model siklus semacam itu juga dapat dimanfaatkan untuk menjelaskan faktor-faktor tersembunyi dari terjadinya praktik politik uang dalam kontestasi politik seperti Pilkada? Tindakan politik uang itu jelas bukan hanya menyangkut pertimbangan rasional. Pertanyaan tersebut penting untuk diajukan, mengingat dalam sejumlah kasus ternyata pengeluaran dana untuk politik uang itu sungguh ‘tidak masuk akal’, atau melampaui batas-batas perhitungan rasional. Dalam kaitan itu diajukan asumsi, bahwa hal yang paling menentukan sehingga politik uang yang ‘tidak masuk akal’ itu sampai terjadi adalah karena dipicu oleh rasionalisasi yang dipaksakan. Deskripsi tentang tindakan sosial yang didasarkan pada rasionalisasi yang dipaksakan itu hanya bisa dipahami apabila dlihat dari perspektif ortodoksi dan heterodoksi.

Dalam konteks praksis politik demokratis di Indonesia, pokok pertanyaannya kemudian adalah, bagaimanakah rumusan tentang “GR[D demokrasi politik” itu, jika memang ia ada. Sebatas pengamatan saya atas berbagai wacana yang berkembang di ruang publik, nampaknya “GR[D” dalam konteks konsep demokrasi politik di Indonesia tidak bisa dilacak, apa rumusannya. Para analis dan akademisi ramai berdebat tentang “ortodoksi” demokrasi ala Indonesia, tetapi tak pernah disepakati apa rumusan umum yang layak diperjuangkan untuk dipraktikkan dalam ranah politik yang melibatkan para elit dan politisi. Demikian pula dengan “heterodoksi” demokrasi, tak kurang banyaknya diskusi dan seminar yang dilakukan untuk mengkritik dan bahkan mengecam praktik politik demokratis yang diperagakan para elit dan politisi. Namun sebagaimana perdebatan soal ortodoksi demokrasi ala Indonesia, rupanya masih terjebak dalam labirin panjang, dan belum menemukan titik terang yang memungkinkan dapat GLIRUPXODVLNDQQ\D�VHEXDK�GH¿QLVL�NRQVHSWXDO�WHQWDQJ�GHPRNUDVL�yang paling akseptabel dengan budaya masyarakat Indonesia.

Dalam hubungan itu saya ingin berargumen, bahwa kalau di tataran diskursif saja konsep demokrasi politik yang paling akseptabel dari sudut pandang budaya masyarakat Indonesia itu masih belum begitu jelas dipahami, apalagi di tataran praksisnya

Habitus dan Habituasi Demokrasi

Page 55: Pilkada Serentak - Quo Vadis Kedaulatan Rakyat

46

Pilkada Serentak

yang tergambar dalam pola tindakan sehari-hari. Hal itu terutama kalau kita amati perilaku dan tindakan politik yang diperagakan oleh para politisi dan pejabat publik yang mewarnai jagat politik Indonesia, baik dengan status dirinya sebagai politisi di DPR, atau pengurus partai di tingkat DPP, atau pejabat penyelenggara negara, dan lain-lain sebagainya.

3. Ajang Pertarungan Pemilik Modal Dinamika demokrasi lokal dalam bentuk kontestasi

Pilkada Langsung menunjukkan pentingnya peran modal yang dipertaruhkan oleh para petarung (kandidat) untuk memenangkan kontestasi. Tidak ada kandidat yang berhasil menang dalam Pilkada tanpa mengandalkan keunggulan pada modal yang dimilikinya. Semua kandidat barangkali memiliki semua jenis modal, tetapi selalu ada kandidat yang paling dominan kepemilikannya atas sesuatu jenis modal tertentu, dan keunggulan itulah yang menyebabkan kemenangan berpihak pada diri yang bersangkutan. Kalaupun seseorang tidak memiliki sendiri sesuatu jenis modal yang amat penting untuk memenangkan pertarungan, yang bersangkutan bisa “meminjam” modal tersebut, atau yang bersangkutan menampilkan diri seolah-olah memilikinya.

Namun demikian, bentuk kepemilikan “modal” yang dibutuhkan dalam kontestasi politik acapkali tergantung pada kultur dari kelompok masyarakat yang berperan sebagai konstituen dalam Pilkada tersebut. Pada masyarakat yang masih terikat dengan kultur yang agak berbau feodal, modal penting [harus] dimiliki oleh kandidat yang bertarung dalam kontestasi Pilkada barangkali adalah modal kultural dan modal sosial.Yang dimaksud dengan modal kultural di sini antara lain menyangkut pemilikan “kuasa” yang berbau spiritual,27 dan “kharisma” yang menyangkut kewibawaan personal seseorang. Sedangkan modal sosial adalah budi baik yang diketahui atau dikenal orang lain melekat pada diri seseorang, sehingga setiap kandidat yang bertarung dalam sebuah Pilkada senantiasa berusaha keras menunjukkan kedermawanan

27 Bandingkan dengan penjelasan Anderson tentang “kuasa” dalam kultur Jawa (lihat Benedict Anderson, 2000. Kuasa Kata: Jelajah Budaya-Budaya Politik di Indonesia. [terjemahan] Mata Bangsa, Yogyakarta).

Page 56: Pilkada Serentak - Quo Vadis Kedaulatan Rakyat

47

sosialnya secara optimal kepada khalayak yang akan diincar sebagai massa pendukungnya kelak.

Secara umum, modal utama yang paling penting dimiliki oleh seseorang kandidat untuk bisa menang dalam Pilkada di Indonesia adalah modal ekonomi (baca: dana politik). Ketika seseorang memiliki kekuatan modal ekonomi biasanya akan dapat mengkondisikan kepemilikan modal jenis lainnya. Seseorang kandidat yang sebenarnya tidak memiliki modal simbolik, misalnya tingkat pendidikan yang disimbolkan dengan gelar akademis, dapat dengan mudah “membeli gelar” setingkat Master atau Doktor, terlepas dari persoalan apakah rakyat pemilih percaya atau tidak dengan keabsahan gelar tersebut. Hal serupa bisa terjadi ketika seseorang ‘membeli’ kesalehan sosial dengan merangkul kelompok tokoh agama agar mendukung dirinya, dan menampilkan dirinya di ruang publik sangat akrab dengan penguasa-penguasa spiritual tersebut, meskipun sejatinya aktor yang bersangkutan adalah jenis manusia yang patut dikutuk karena penuh dosa. Karena memiliki modal ekonomi itu pula seseorang dapat dengan mudah menunjukkan kepemilikan modal sosialnya dan sekaligus kepemilikan modal kulturalnya, meskipun kepemilikan modal-modal dimaksud barangkali palsu atau sekadar tipu daya belaka.

Mencermati dinamika politik lokal di berbagai daerah di Indonesia, saya mendapat kesan bahwa hal ihwal tentang pentingnya pemilikan dan pemanfaatan modal itu sedikit banyak sudah banyak dipahami oleh mereka yang bertarung dalam kontestasi Pilkada. Terutama pada mereka yang termasuk dalam kelompok inkumban. Kandidat inkumban biasanya telah mempersiapkan segala modal yang dibutuhkan untuk memenangkan kontestasi, termasuk modal politik.28 Modal politik relatif mudah diperolehnya, karena dengan statusnya sebagai Kepala Daerah biasanya cukup terbuka baginya untuk menjalin hubungan baik dengan pengurus partai-partai politik di tingkat lokal, atau bahkan menjadi bagian dari kepengurusan partai politik itu sendiri.

28�3HU�GH¿QLVL��PRGDO�SROLWLN�DGDODK�VXPEHUGD\D�\DQJ�GLPLOLNL�ROHK�VHRUDQJ�DNWRU�politik sehingga ia mendapatkan akses kekuasaan dalam struktur lembaga politik atau sistem politik.

Habitus dan Habituasi Demokrasi

Page 57: Pilkada Serentak - Quo Vadis Kedaulatan Rakyat

48

Pilkada Serentak

Akan tetapi magnet kekuasaan rupanya bisa menarik hati semua orang. Apalagi jikalau Pilkada yang akan dilangsungkan diketahui tidak melibatkan kandidat inkumban, misalnya karena Kepala Daerah yang bersangkutan sudah menjabat dua kali, sehingga dibatasi peraturan tidak boleh ikut dalam kontestasi Pilkada di daerah yang sama. Dalam kasus Pilkada yang tidak melibatkan kandidat inkumban, semua orang merasa berpeluang untuk dapat memenangkan kontestasi. Boleh jadi karena itu, sejumlah orang seperti berlomba-lomba meraih peluang menjadi bakal-kandidat, tentu saja dengan pelbagai alasan rasionalnya masing-masing.

Dalam kaitan itu saya ingin berargumen, bahwa apapun rasionalisasi yang disampaikan oleh aktor politik yang ikut dalam kontestasi Pilkada, sebenarnya didasarkan pada adanya peluang yang terbuka untuk berkuasa. Dari hasil pengamatan di lapangan, GDSDW�GLLGHQWL¿NDVL�DGD�WLJD�MHQLV�RUDQJ�\DQJ�NHPXGLDQ�NHSLQFXW�ingin bertarung dalam kontestasi Pilkada. 3HUWDPD, ada orang yang sadar dan pandai menghitung peluang dan mengkalkulasi untung ruginya, sehingga maju (atau tidak maju) dalam kontenstasi Pilkada sudah diperhitungkan dengan cermat. Orang semacam ini tidak muncul mendadak. Kalaupun sampai kalah bertarung, biasanya karena kondisi yang tidak bisa diprediksi.

.HGXD, ada orang yang sadar peluangnya kurang bagus, tapi dia merasa yakin bisa merekayasa peluangnya menjadi lebih besar melalui tindakan politik tertentu. Pilihan rasionalnya adalah berjuang dengan segala macam cara. .HWLJD, ada orang yang tidak sadar akan peluang riil yang dimilikinya, tapi karena punya hasrat berlebih atas kekuasaan, dia tidak merasa perlu perhitungan cermat atas peluang yang dimilikinya. Jenis oknum dengan pencirian terakhir itu apabila tampil dalam kontestasi Pilkada, pada akhirnya hanya akan dipermalukan oleh kelompok konstituen.

Dalam realitasnya kemudian, sistem Pilkada Langsung sedikit banyak memakan “korban” orang-orang dari kategori kedua dan ketiga. Sebab, mereka ini adalah orang-orang yang cenderung terjebak dalam euforia demokratisasi politik di ranah lokal, yang

Page 58: Pilkada Serentak - Quo Vadis Kedaulatan Rakyat

49

terobsesi menjadi Kepala Daerah, tetapi sebenarnya tidak cukup memiliki modal bertarung yang memadai. Namun demikian, justru karena kehadiran para pecundang itulah panggung Pilkada Langsung menjadi ramai dan riuh bak pertunjukan srimulat ~ grup lawak yang pernah amat terkenal karena menampilkan cerita yang seringkali ironis, tetapi amat “lucu”.

Habitus dan Habituasi Demokrasi

Page 59: Pilkada Serentak - Quo Vadis Kedaulatan Rakyat

50

Pilkada Serentak

Page 60: Pilkada Serentak - Quo Vadis Kedaulatan Rakyat

51

Bagian Ketiga

Skenario yang Tak Rancak

Barangkali hanya terjadi di Indonesia, sejumlah Kepala Daerah (baca: Gubernur/Bupati/Walikota) yang tersebar di seantero negeri dalam jumlah ratusan,

secara serentak pada tanggal dan hari yang sama dipilih oleh warga daerahnya masing-masing. Istilah “Pilkada Serentak” sedikit banyak mengudang waham. Betapa tidak, pelibatan rakyat secara “nasional” dalam perhelatan sebuah kontestasi politik dikenal dalam khasanah teori politik sebagai “pemilihan umum” (JHQHUDO� HOHFWLRQV). Tetapi karena dalam kasus ini yang dipilih adalah Kepala Daerah, maka secara teoritis hal itu termasuk dalam pemilihan daerah (ORFDO�HOHFWLRQV�. Tersebab karena itu, ada sejumlah orang yang kemudian terperangkap pada pemahaman salah kaprah, bahwa yang terjadi adalah Pilkada (pemilihan umum kepala daerah), dengan asumsi bahwa pemilihan Kepala Daerah itu dilaksanakan dalam bentuk pemilu. Tetapi apa hendak dikata, Pilkada Langsung yang dilaksanakan serentak memang cenderung pilihan politik yang sarat dengan salah kaprah.

1. Bermula dari Kesalahkaprahan Para Elit

Sistem pemilihan Kepala Daerah secara langsung merupakan buah dari reformasi politik. Diasumsikan, apabila pemilihan Kepala Daerah dilakukan secara langsung oleh rakyat di suatu daerah, maka hal itu akan menjamin asas demokrasi dapat diwujudkan di ranah lokal. Berdasarkan UU Nomor 32 Tahun 2004, sejak tahun

Page 61: Pilkada Serentak - Quo Vadis Kedaulatan Rakyat

52

Pilkada Serentak

2005 dimulailah sistem pemilihan Kepala Daerah secara langsung itu diselenggarakan di Indonesia. Sistem Pilkada Langsung itu dirancang berulang dilaksanakan setiap lima tahun sekali.

Selama dua kali periodisasi pelaksanaan Pilkada Langsung itu dilaksanakan, kontestasi politik di ranah lokal itu tak pernah sepi dari sengketa, yang dipicu oleh kecurangan salah satu pihak yang berkontestasi. Tersebab karena hal itulah, sistem Pilkada Langsung itu digugat oleh rezim Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), dengan asumsi bahwa sistem tersebut lebih banyak mudaratnya.

Kementerian Dalam Negeri, sebagai lembaga yang berwenang dalam urusan politik dalam negeri, telah mengevaluasi pelaksanaan sistem Pilkada Langsung, dan selama 10 tahun terakhir pelaksanaannya ditengarai memberikan dampak buruk sebagai berikut:

1. Sistem Pilkada Langsung menyebabkan demokrasi mahal, dan ia harus ditanggung negara;

2. Kontestasi politik antar kandidat cenderung berbiaya tinggi, karena adanya praktik “politik uang”;

3. Kepala Daerah yang terpilih melalui Pilkada Langsung banyak yang tersangkut masalah hukum, karena terindikasi melakukan tindak pidana korupsi;

4. �$GDQ\D�NRQÀLN�KRUL]RQWDO�DNLEDW�VHQJNHWD�3LONDGD�/DQJVXQJ�yang melibatkan massa pendukung kandidat yang berbeda; dan,

5. Adanya ekses lanjutan menyangkut PNS di lingkungan Pemda yang tidak mendukung salah satu kandidat, yang kebetulan memenangkan kontestasi Pilkada Langsung, akhirnya dipindahtugaskan oleh Kepala Daerah yang memenangkan kontestasi. Disebutkan sebagai contohnya adalah PNS di Pemda Palembang.1

1 Kompilasi dari argumentasi yang disampaikan oleh Dirjen Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri dalam pelbagai seminar dan kesempatan wawancara dengan wartawan.

Page 62: Pilkada Serentak - Quo Vadis Kedaulatan Rakyat

53

Semua argumentasi Kemendagri tentang mudarat sistem Pilkada Langsung itu dapat dibantah, dan dibuktikan sebagai rasionalisasi yang dipaksakan. Sistem Pilkada Langsung memang menyebabkan besarnya biaya yang ditanggung oleh Pemerintah, apabila tidak dilakukan perbaikan sistem pelaksanaannya. Berdasarkan data Kemendagri hingga Desember 2012, Indonesia terdiri dari 410 kabupaten dan 98 kota yang tersebar di 34 provinsi. Dengan kata lain, bisa terjadi 542 pemilihan Kepala Daerah, atau minimal rata-rata 108 Pilkada Langsung per tahun, atau sekitar dua Pilkada Langsung setiap minggu. Hitungannya, kalau biaya rata-rata satu Pilkada Langsung itu misalkan 3 milyar rupiah, berapa triliun rupiah yang harus dikeluarkan oleh Pemerintah. Tetapi banyak pihak sudah menawarkan jalan keluar. 3HUWDPD, Pilkada Langsung dapat dilaksanakan secara serentak. Hal itu diduga dapat memangkas biaya penyelenggaraan. .HGXD, BPPT (Badan Pengkajian dan Pengembangan Teknologi) telah menyatakan bahwa H�YRWLQJ (apabila dilaksanakan, dan secara teknis bisa dilaksanakan) dapat menghemat anggaran Pilkada Langsung hingga 50%. Mengapa tidak mempertimbangkan opsi H�YRWLQJ saja, daripada mengganti sistem pemilihan konvensional (berbasis kertas suara) dengan sistem serupa yang dinilai sebagai pemborosan(?) itu.

Argumentasi tentang sistem Pilkada Langsung menyebabkan munculnya praktik “politik uang” juga dapat dibantah. Argumentasi tersebut jelas mereduksi masalah, dan tidak memahami substansi masalah “politik uang” sebagai pilihan rasional bagi kandidat yang tidak ingin kalah dalam kontestasi. Pengalaman tahun 1999, ketika DPRD diberi otoritas untuk memilih Kepala Daerah, cenderung melegalkan praktik suap-menyuap di kalangan anggota Dewan dengan kandidat yang ingin dipilih jadi Kepala Daerah. Dengan kata lain, “politik uang” dalam arti suap-menyuap politik itu terjadi tidak ada kaitannya dengan penerapan sistem pemilihan, melainkan terutama menyangkut rasionalitas pelakunya.

Argumentasi bahwa sistem Pilkada Langsung menyebabkan banyak Kepala Daerah tersangkut masalah tindak pidana korupsi, juga bisa disebut sebagai argumentasi yang dibuat-buat. Memang

Skenario yang Tak Rancak

Page 63: Pilkada Serentak - Quo Vadis Kedaulatan Rakyat

54

Pilkada Serentak

data Kemendagri menyebutkan bahwa pada periodisasi 2004 – 2012 ada 290 kasus korupsi yang menjerat Kepala Daerah. Tetapi menurut komisioner KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), kasus korupsi yang diduga punya hubungan ‘agak langsung dengan Pilkada Langsung’, biasanya yang berkaitan dengan kasus penyuapan. Misalnya, kasus Yesaya Sombuk dari Biak Numfor yang disuap. “Dalam data KPK, 81 persen kasus korupsi Kepala Daerah berkaitan dengan perbuatan melawan hukum dan penyalahgunaan kewenangan sesuai Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi”.2 Artinya, tidak berhubungan langsung dengan Pilkada Langsung.

$UJXPHQWDVL� WHQWDQJ� DGDQ\D� NRQÀLN� KRUL]RQWDO� DNLEDW�sengketa Pilkada Langsung yang melibatkan massa pendukung, juga dibantah oleh banyak pengamat, tidak terkecuali oleh 7KH� +DELELH� &HQWHU. Memang benar kontestasi politik harus diimplementasikan secara damai sebagai hal penting bagi kelangsungan kehidupan demokrasi di suatu negara. Akan tetapi, hal itu bukan lantas berarti diandaikan dengan meniadakan sama VHNDOL� SRWHQVL� NRQÀLN� KRUL]RQWDO��+DO� \DQJ� SDOLQJ� SHQWLQJ� KDUXV�GLSDKDPL� WHUNDLW� NRQÀLN� EXNDQ� EDJDLPDQD� FDUD� PHPXVQDKNDQ�NRQÀLN�� WDSL� EDJDLPDQD� FDUD�PHQJHOROD� NRQÀLN� WHUVHEXW��.RQÀLN�sebagai konsekuensi dari gesekan kepentingan dalam sebuah kontestasi politik bukanlah hal yang tabu. Yang terpenting EDJDLPDQD�NRQÀLN�LWX�KDUXV�GLWXQWDVNDQ�VHFDUD�WHUOHPEDJD��EXNDQ�melalui cara-cara kekerasan. 7KH� +DELELH� &HQWHU menyebutkan tidak ada satu data penelitian pun yang menunjukkan sistem Pilkada Langsung memberikan kontribusi paling besar terhadap WHUMDGLQ\D� NRQÀLN� KRUL]RQWDO� GL� ,QGRQHVLD�� .RQÀLN� GL� VHMXPODK�daerah yang pernah muncul selama 10 tahun pelaksanaan sistem Pilkada Langsung lebih cenderung bersifat elitis. Belum pernah DGD�NRQÀLN�GL�WLQJNDW�DNDU�UXPSXW��JUDVV�URRW), yang disebabkan kasus Pilkada Langsung, yang menjadi ancaman besar bagi kelangsungan integrasi bangsa.

Sedangkan adanya ekses lanjutan menyangkut karir PNS di lingkungan Pemda yang tidak mendukung salah satu kandidat, 2 Wawancara JPNN dengan Bambang Widjojanto, Wakil Ketua KPK, tanggal 25

September 2014 (JPNN.Com. 26 September 2014).

Page 64: Pilkada Serentak - Quo Vadis Kedaulatan Rakyat

55

yang kebetulan memenangkan kontestasi Pilkada Langsung, harus dibaca sebagai gejala terbatas yang kasuistis. Kendati demikian, saya ingin berargumen, bahwa solusinya adalah jangan diizinkan pejabat inkumban ikut dalam kontestasi Pilkada Langsung. Hanya kandidat yang berstatus inkumban yang berpeluang untuk mengintimidasi kalangan PNS Pemda setempat. Oleh karena itu saya berpendapat, lebih tepat untuk mengatasi kemungkinan hal itu terjadi adalah dengan dibuatnya aturan bahwa jabatan Kepala Daerah itu cukup satu periode saja.

Namun realitas politik rupanya berpihak pada gagasan Pemerintah yang melihat dampak negatif dari Pilkada Langsung tersebut. Bermula dari kekalahan pasangan Probowo-Hatta Rajasa dalam Pemilu Presiden 2014, yang menyebabkan partai-partai politik pengusungnya, yang tergabung dalam Koalisi Merah Putih (KMP),3 merapatkan barisan agar tidak mengalami “kekalahan dua kali”.4 Kelompok KMP kemudian berhasil menguasai kelengkapan parlemen ~ walaupun sebelumnya sempat terjadi kisruh politik.5 Dengan target ingin menguasai pemerintahan di Daerah,6 kelompok KMP kemudian bersepakat pula mendukung gagasan Pemerintah untuk menegasikan Pilkada Langsung, dengan menyetujui draf RUU yang dirancang oleh rezim SBY, menjadi UU 3 Koalisi Merah Putih merupakan gabungan dari partai-partai pendukung Prabowo-

Hatta, terdiri dari 5 partai politik (Partai Golkar, Partai Gerindra, PAN, PKS dan PPP). Belakangan PPP keluar dari KMP dan menyeberang ke Koalisi Indonesia Hebat (KIH) yang mendukung Joko Widodo dan Jusuf Kalla.

4 Salah satu hal yang dianggap krusial adalah, memutuskan agar sistem pemilihan Kepala Daerah tidak lagi langsung oleh rakyat, tapi harus melalui DPRD sebagai represtasi rakyat. Menurut pengamat, dengan menguasai DPRD, koalisi partai pendukung Prabowo-Hatta itu berasumsi akan dapat menguasai sejumlah Kepala Daerah. Dengan kata lain, boleh saja kubu lawan menguasai Pemerintah Pusat, tetapi Pemerintah Daerah akan dikuasai kubu mereka.

5 Pergumulan kekuasaan yang “agak memalukan “dalam rangka menguasai parlemen sempat dipertontonkan oleh fraksi-fraksi yang ada di DPR RI. Dalam siaran langsung (oleh stasiun televisi swasta) rapat-rapat paripurna DPR RI, terlihat dan dapat didengar oleh publik, betapa anggota parlemen Indonesia bersitegang urat leher, bahkan sampai membalikkan meja sidang, karena tersulut emosi yang tak terkendali ketika beradu argumen.

6 Hitung-hitungan politik ini didasarkan pada: (1) apabila sistem pemilihan dikembalikan ke DPRD, maka partai politik dominan dapat dipastikan akan memenangkan pemilihan Kepala Daerah, padahal (2) partai-partai politik yang tergabung dalam KMP menguasai 31 dari 33 DPRD se Indonesia. DPRD provinsi yang dikuasai oleh KIH hanya Bali dan Kalimantan Barat (Majalah Tempo, 5 Oktober 2014).

Skenario yang Tak Rancak

Page 65: Pilkada Serentak - Quo Vadis Kedaulatan Rakyat

56

Pilkada Serentak

Nomor 22 Tahun 2014 tentang Pemilihan Kepala Daerah.7 Padahal di masa sidang-sidang sebelumnya partai politik yang akhirnya tergabung dalam KMP cenderung menolaknya.

Arkian, tarik ulur Undang-Undang yang mengatur tentang sistem pemilihan Kepala Daerah itu nampaknya harus melewati sekian babak. Entah karena disadarkan oleh protes publik yang menolak keras UU Nomor 22 Tahun 2014, Presiden Yudhoyono yang mengaku sebagai demokrat sejati, mengaku risau dengan perkembangan terakhir dari pergelaran drama RUU Pilkada. Konon dengan pertimbangan demi kelangsungan demokrasi di Indonesia yang sudah mencapai kemajuan sedemikian rupa, Presiden Yudhoyono akhirnya menggunakan hak konstitusionalnya, yakni mengeluarkan Perppu (Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang) untuk menganulir Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2014 tentang Pilkada.8 Pada tanggal 2 Oktober 2014, Presiden Yudhoyono menandatangani Perppu nomor 1 tahun 2014 tentang tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota (Perppu Pilkada) dan Perppu nomor 2 tahun 2014 tentang Perubahan UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Perppu Pemda).

Berikut substansi penting dari Perppu Pilkada:

1. Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota langsung oleh rakyat (Pasal 1 angka 1 dan Pasal 2);

2. Mencabut dan menyatakan tidak berlaku UU No. 22 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota, yang mengatur pelaksanaan Pilkada secara tidak langsung oleh DPRD (Pasal 205);

7 Kemenangan kelompok KMP ini ada hubungannya dengan sikap Fraksi Partai Demokrasi yang menyatakan “walk out” dari persidangan. Dengan tidak adanya Fraksi Partai Demokrasi yang mempunyai kekuatan 150 kursi (hasil Pemilu legislatif tahun 2009), kelompok KMP pun akhirnya memenangi pemungutan suara yang menggunakan sistem voting, dengan kekuatan dengan dukungan 226 suara melawan 135 orang yang pro pada sistem Pilkada Langsung (parpol kelompok Koalisi Indonesia Hebat alias partai-partai pendukung Pemerintah).

8 Dalam hal ini publik boleh jadi dibuat bingung dengan sikap Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Di satu pihak rezim pemerintahannyalah yang mengusulkan agar sistem Pilkada Langsung diubah (diganti), tetapi di lain pihak Yudhoyono, sebagai Presiden yang berkuasa, justru kemudian menganulir usulan tersebut.

Page 66: Pilkada Serentak - Quo Vadis Kedaulatan Rakyat

57

3. Adanya uji publik calon kepala daerah agar dapat mencegah calon yang integritasnya buruk dan kemampuannya rendah. (Pasal 1 angka 2, Pasal 3 ayat (2), Pasal 5 ayat (3) huruf b, dan Pasal 7 huruf d);

4. Penghematan atau pemotongan anggaran Pilkada secara VLJQL¿NDQ��3DVDO����3DVDO����D\DW�����KXUXI�F��G��H��I��VHUWD�D\DW�(2), dan Pasal 200);

5. Pembatasan kampanye terbuka agar menghemat biaya dan PHQFHJDK�NRQÀLN�KRUL]RQWDO��3DVDO�����

6. Pengaturan akuntabilitas penggunaan dana kampanye (Pasal 74, Pasal 75 dan Pasal 76);

7. Larangan politik uang dan biaya sewa parpol pengusung yang dapat berdampak pada tindakan penyalahgunaan wewenang (Pasal 47);

8. /DUDQJDQ�NDPSDQ\H�KLWDP�\DQJ�GDSDW�PHQLPEXONDQ�NRQÀLN�horizontal (Pasal 68 huruf c);

9. Larangan pelibatan aparat birokrasi yang menyebabkan Pilkada tidak netral (Pasal 70);

10. Larangan mencopot jabatan aparat birokrasi pasca Pilkada karena dianggap tidak mendukung calon (Pasal 71);

11. Pengaturan yang jelas, akuntabel dan transparan terkait penyelesaian sengketa hasil Pilkada (Bab XX Pasal 136 sd 159);

12. Pengaturan tanggung jawab calon atas kerusakan yang dilakukan oleh pendukung (Pasal 69 huruf g, Pasal 195);

13. Pilkada serentak (Pasal 3 ayat (1));

14. Pengaturan ambang batas bagi Parpol atau gabungan Parpol yang akan mendaftarkan calon di KPU (Pasal 40, Pasal 41);

15. Penyelesaian sengketa hanya 2 tingkat, yaitu Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung (Pasal 157);

16. Larangan pemanfaatan program/kegiatan di daerah untuk kegiatan kampanye petahana (Pasal 71 ayat (3));

Skenario yang Tak Rancak

Page 67: Pilkada Serentak - Quo Vadis Kedaulatan Rakyat

58

Pilkada Serentak

17. Gugatan perselisihan hasil Pilkada ke Pengadilan Tinggi/Mahkamah Agung hanya dapat diajukan apabila mempengaruhi KDVLO� SHQHWDSDQ� SHUROHKDQ� VXDUD� ROHK�.38� VHFDUD� VLJQL¿NDQ�(Pasal 156 ayat (2).

Jagat politik nasional pun kembali bergolak menyikapi Perppu yang dikeluarkan Presiden SBY. Perppu itu harus dikritisi oleh anggota parlemen, kalau tidak ia akan otomatis menjadi Undang-Undang. Partai Golkar (baca: ketua umumnya, Aburizal Bakrie), yang merupakan unsur pimpinan KMP, tiba-tiba menyatakan mendukung Perppu.9 Padahal, dalam keputusan Munas Bali yang diselenggarakan pada 30 November-3 Desember 2014, Ical secara tegas menolak partainya memberi dukungan pada Perppu Pilkada karena ingin mekanisme Pilkada itu dilakukan lewat DPRD.

Pada tanggal 20 Januari 2015, Rapat Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat (hasil Pemilu 2014) resmi menyetujui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota (Perppu Pilkada) dan Perppu Nomor 2 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Sebanyak 442 anggota Dewan yang menghadiri Rapat Paripurna menetapkan aturan yang dibuat pada masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono itu menjadi Undang-Undang.10

9 Menurut rumor politik yang beredar di kalangan jurnalis, hal itu berkaitan deal politik, partai politik yang tergabung dalam koalisi KMP akan “memperoleh posisi apa”, dan Demokrat juga “dapat apa”, dalam konteks pembagian kekuasaan di parlemen --- yang konon disepakati tanggal 1 Oktober 2014 di kediaman SBY di Cikeas, Bogor. Sebab, sebelumnya, melalui akun Twitter-nya, Ical (Aburizal Bakrie) mengatakan akan mendukung pengesahan Perppu Pilkada menjadi UU.

10 Hal itu tidak dapat dipisahkan dari dinamika politik yang terjadi menjelang penetapan Perppu itu menjadi UU. Partai Golkar (baca: ketua umumnya, Aburizal Bakrie) tiba-tiba menyatakan mendukung Perppu. Hal itu berkaitan deal politik, partai politik yang tergabung dalam koalisi KMP akan “memperoleh posisi apa”, dan Demokrat juga “dapat apa”, dalam konteks pembagian kekuasaan di parlemen --- yang konon disepakati tanggal 1 Oktober 2014 di kediaman SBY di Cikeas, Bogor. Sebab, sebelumnya, melalui akun Twitter-nya, Ical (Aburizal Bakrie) mengatakan akan mendukung pengesahan Perppu Pilkada menjadi UU. Padahal, dalam keputusan Munas Bali yang diselenggarakan pada 30 November-3 Desember 2014, Ical secara tegas menolak partainya memberi dukungan pada Perppu Pilkada karena ingin mekanisme Pilkada itu dilakukan lewat DPRD.

Page 68: Pilkada Serentak - Quo Vadis Kedaulatan Rakyat

59

Tetapi, pengesahan Perppu nomor 1 Tahun 2014 menjadi UU nomor 1 Tahun 2015 itu baru awal dari drama politik selanjutnya. Sebab, Pada 17 Februari 2015 Sidang Paripurna DPR akhirnya mengesahkan RUU tentang Perubahan atas UU No. 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU No. 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Guburnur, Bupati, Wali Kota (UU Pilkada). Hal itu terjadi karena berbagai fraksi di DPR nampaknya ‘belum puas’ dengan UU nomor 1 tahun 2015. DPR mengusulkan perubahan lagi, yakni merevisi UU nomor 1 Tahun 2015 dalam sebuah RUU yang dianggap lebih akomodatif. RUU itu disetujui secara aklamasi oleh DPR pada Selasa 17 Maret 2015, dan ditandatangani menjadi Undang-Undang nomor 8 Tahun 2015 oleh Presiden Joko Widodo pada Rabu 18 Maret 2015. Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 disebutkan, Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota dilaksanakan setiap 5 tahun sekali secara serentak di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. "Pemilihan diselenggarakan melalui dua tahapan, yaitu tahapan persiapan dan tahapan penyelenggaraan," demikian bunyi Pasal 5 Ayat (1).

Diterakan dalam UU ini aturan pemilihan serentak sebagai berikut: pemilihan gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta wali kota dan wakil walikota yang masa jabatannya berakhir pada tahun 2015 dan bulan Januari sampai dengan bulan Juni 2016 dilaksanakan pada tanggal dan bulan yang sama pada bulan Desember tahun 2015. Kemudian, pemungutan suara serentak dalam pemilihan gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta wali kota dan wakil walikota yang masa jabatannya berakhir pada bulan Juli sampai dengan bulan Desember 2016 dan yang masa jabatannya berakhir pada tahun 2017 dilaksanakan pada tanggal dan bulan yang sama pada bulan Februari 2017. Pasal 201 Ayat (7) UU tersebut menegaskan, bahwa “Pemungutan suara serentak nasional dalam pemilihan gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta wali kota dan wakil walikota di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dilaksanakan pada tanggal dan bulan yang sama tahun 2027,” demikian bunyi pasal 201 ayat (7) UU itu.11 Sedangkan 11 Tapi masalahnya, apakah tidak akan ada perubahan UU lagi tentang pemilihan

Skenario yang Tak Rancak

Page 69: Pilkada Serentak - Quo Vadis Kedaulatan Rakyat

60

Pilkada Serentak

untuk pembiayaan Pilkada akan didukung dana APBD dan dibantu APBN.

2. Konstelasi Politik yang Tak Terantisipasi

Salah satu alasan pelaksanaan Pilkada Langsung perlu GLODNVDQDNDQ� VHUHQWDN� GL� ,QGRQHVLD� DGDODK� XQWXN� H¿VLHQVL�12 Diasumsikan, dengan Pilkada Serentak itu maka diperkirakan DNDQ� WHUMDGL� H¿VLHQVL�� NDUHQD�� SHUWDPD, rakyat tidak perlu lagi membuang waktu untuk terlibat dalam banyak kali pemilu. .HGXD, pemerintah tidak perlu menganggarkan dana untuk menyelenggarakan berbagai macam pemilu. .HWLJD, pihak penyelenggara pemilu (KPU) tidak perlu disibukkan dengan penyelenggaraan pemilu yang terlalu sering terjadi.

Sepintas lalu kebijakan Pilkada Serentak itu adalah solusi GDUL�PDVDODK�NHWLGDNH¿VLHQDQ�SHQ\HOHQJJDUDDQ�SHPLOLKDQ�NHSDOD�daerah sebelumnya. Tetapi jikalau dicermati dengan seksama, sesungguhnya ada gejala rasionalisasi yang dipaksakan. Paling tidak, ada dua hal yang menyangkut hal itu. 3HUWDPD, tidak ada jaminan bahwa dengan Pilkada serentak itu niscaya akan berimbas SDGD�WHUFDSDLQ\D�H¿VLHQVL�ELD\D�GDQ�ZDNWX��.HGXD, apabila terjadi kasus sengketa Pilkada di berbagai daerah, apakah Mahkamah Konstitusi dapat menyelesaikan seluruh perkara secara tuntas dan memuaskan, padahal waktu yang disediakan untuk menyelesaikan perkara itu terkendala dengan waktu yang amat terbatas.

Dinamika politik mutakhir menunjukkan fakta bahwa SHQ\HOHQJJDUDDQ�3LONDGD�VHUHQWDN�LWX�GLZDUQDL�SXOD�GHQJDQ�NRQÀLN�internal Partai Golkar dan PPP yang berdampak pada aturan tidak bisa mengusung kandidat kepala daerah, kecuali kepengurusan SDUWDL� \DQJ�EHUNRQÀLN� LWX�PHQJXVXQJ�RNQXP�\DQJ� VDPD��8QWXN�kasus kepengurusan ganda, solusi yang ditawarkan oleh KPU (atas persetujuan DPR) jelas sangat dipengaruhi oleh pertimbangan administratif. Seolah-olah apabila syarat administrasi terpenuhi,

kepala daerah. Banyak pengamat meragukan skenario yang dibuat dalam UU nomor 8 Tahun 2015 itu, karena tabiat pembuat UU adalah berganti rezim berubah pula peraturan perundangan yang ada.

12�'HPLNLDQ�VDODK�VDWX�MXVWL¿NDVL�VHKLQJJD�GLVHWXMXLQ\D�Pasal 5 Ayat (1) UU nomor 8 Tahun 2015, yang menetapkan bahwa Pilkada Langsung itu diselenggarakan secara serentak dalam waktu yang bersamaan di seluruh Indonesia.

Page 70: Pilkada Serentak - Quo Vadis Kedaulatan Rakyat

61

maka syarat hukum dan politik bisa diabaikan. Betapa tidak, undang-undang yang berlaku hanya menganggap sah partai politik yang diakui oleh Kementerian Hukum dan HAM, tidak ada yang lain. Dari sudut pandang politik, masalahnya lebih parah lagi, bagaimana mungkin seorang kandidat yang ingin mencalonkan diri sebagai kepala daerah terpaksa berdamai dengan para elit politik yang saling berkubu. Padahal sebagai konsekuensinya ongkos perdamaian harus ditanggung oleh kandidat tersebut, suka atau tidak.

)HQRPHQD�NRQÀLN�SDUWDL�\DQJ�EHUNXEX��VHSHUWL�KDOQ\D�3DUWDL�Golkar dan PPP itu, bisa melahirkan kandidat ganda. Siapa yang rugi? Tentu saja kandidat yang menggunakan kendaraan politik dari partai yang berseteru. Sebab, KPUD sebagai penyelenggara Pilkada, sesuai dengan PKPU Nomor 12 Tahun 2015, akan menolak dukungan yang tidak solid dari pengurus partai yang berseteru.

Perkembangan mutakhir (yang sebenarnya dapat diduga) ternyata lebih memperumit masalah, yakni munculnya “kandidat bayangan”. Kandidat bayangan itu hanya akal-akalan agar Pilkada Langsung tetap dapat dilaksanakan, ketika sebenarnya hanya satu pasangan kandidat yang sangat kuat, sementara kontestasi Pilkada mensyaratkan minimal harus ada dua pasangan yang maju dalam kontestasi Pilkada.

Munculnya kandidat bayangan merupakan skenario politik salah kaprah yang lahir dari rasionalisasi dipaksanakan. Ihwalnya biasanya disebabkan oleh dua perkara. 3HUWDPD, kandidat sangat kuat itu, biasanya petahana yang sangat populer, tidak punya lawan yang sebanding dan cukup nekat untuk mau bertarung KHDG� WR� KHDG. Karena tidak ada lawan yang bersedia turun ke gelanggang, maka partai pendukungnya lalu merekayasa kandidat bayangan, sekadar memenuhi prosedur kontestasi politik demokratis. .HGXD, kandidat sangat kuat itu, biasanya adalah oknum yang memiliki modal ekonomi luar biasa, “memborong” partai pendukung dan tidak menyisakan lagi untuk kandidat lain yang potensial. Kandidat bayangan dimunculkan untuk memenuhi syarat kontestasi Pilkada, dan dipastikan “kandidat boneka” itu pasti kalah tarung.

Skenario yang Tak Rancak

Page 71: Pilkada Serentak - Quo Vadis Kedaulatan Rakyat

62

Pilkada Serentak

Fenomena kandidat bayangan itu, meskipun latar belakangnya boleh jadi berbeda, adalah bentuk dari rasionalisasi yang dipaksakan juga adanya. Ketika fenomena itu menjadi niscaya, maka tak pelak lagi semangat politik demokratis yang mestinya menjadi ruh dari praktik demokrasi di ranah lokal seolah-olah dikhianati.

Masalah politik, betapapun rumitnya, niscaya selalu ada jalan keluar. Hal itu sesuai dengan jargon bahwa hakikat politik itu adalah kompromi. Namun untuk menyiasati masalah yang menyangkut komplikasi kepentingan yang mewarnai aturan pelaksanaan dan penyelenggaraan Pilkada itu paling tidak butuh dua pertimbangan pemikiran jernih, yang bebas dari kepentingan sesaat. Saya pernah mengusulkan solusi masalah tersebut,13 yakni: 3HUWDPD, perlu ada amandemen tentang pasal perundangan yang menetapkan ketentuan bahwa seorang pejabat kepala daerah boleh mencalonkan diri kembali untuk periode kedua. Jabatan kepala daerah itu sebaiknya satu kali alias hanya untuk satu periode saja. Hal itu untuk mencegah kandidat inkumban tidak ada lawan yang mau berkontestasi dengannya. Juga untuk membuka ruang yang lebih luas bagi setiap warga daerah untuk jadi kandidat dan berkontestasi dalam kondisi setara. Bahwasanya pejabat kepala daerah itu ingin bertarung kembali, hanya diperbolehkan apabila telah melampaui jeda satu periode.

.HGXD, perlu ada ketentuan bahwa dukungan partai politik terhadap seseorang kandidat itu ada batas maksimalnya. Ketentuan perundangan selama ini hanya memberikan batas minimal dukungan partai politik atau gabungan partai politik, tetapi tidak ada batas maksimalnya. Hal itu untuk mencegah kandidat tertentu mengangkangi seluruh dukungan partai politik. Juga untuk mencegah seluruh partai politik cenderung bersepakat mendukung seseorang kandidat tertentu saja, entah apapun alasannya.

13 Tetapi sebagaimana nasib saran yang diberikan oleh pengamat lain, ia nampaknya tak berimbas apa-apa jikalau tidak dibicarakan para politisi yang berada di kompleks parlemen Senayan, Jakarta.

Page 72: Pilkada Serentak - Quo Vadis Kedaulatan Rakyat

63

Betapapun Pilkada Langsung itu punya potensi masalah, tetapi para perumus kebijakan sudah menetapkan Pilkada Langsung itu harus dilaksanakan secara serentak. Diajukannya argumentasi, bahwa Pilkada Serentak itu agar tidak terjadi pemborosan waktu, tenaga, dan biaya; sepintas lalu juga cukup logis, terutama ditinjau dari perspektif pekerjaan rutin yang harus jadi beban KPU. Namun jikalau dicermati dengan seksama, argumentasi tersebut PHUXSDNDQ�MXVWL¿NDVL�VDODK�NDSUDK�\DQJ�PHUXSDNDQ�LQGLNDVL�GDUL�rasionalisasi yang dipaksakan. Betapa tidak. 3HUWDPD, Pilkada Langsung adalah pemilihan lokal yang hanya melibatkan penduduk di satu daerah tertentu saja. Walaupun di Indonesia dalam satu tahun ada seratus kali Pilkada Langsung, hal itu tidak bisa dibaca bahwa seluruh penduduk negeri ini akan terlibat dalam Pilkada Langsung sebanyak seratus kali pula. .HGXD, kontestasi Pilkada Langsung itu ajang pertarungan para kandidat Kepala Daerah yang menganut sistem tarung bebas yang menghasilkan hanya satu pemenang (]HUR�VXP�JDPHV), dan para pemainnya telah menyadari aturan main semacam itu. Oleh karena itu tidak sepatutnya KPUD mengambil alih semua pengadaan properti Pilkada dan dengan biaya APBD pula. .HWLJD, adalah kesalahkaprahan yang fatal apabila pelaksanaan suatu kontestasi politik demokratis harus GLWLPEDQJ�GHQJDQ�DVDV�H¿VLHQVL��(¿VLHQVL�LWX�NDLGDK�PDQDMHPHQ��dan demokrasi politik menyangkut hak kedaulatan rakyat yang WLGDN�ELVD�GLXNXU�GHQJDQ�QLODL�QLODL�H¿VLHQVL��

Asumsi bahwa Pilkada Serentak akan menghasilkan H¿VLHQVL� GDODP� KDO� ZDNWX�� WHQDJD� GDQ� ELD\D� DNKLUQ\D� VHSHUWL�mereduksi persoalan, bahwa seakan-akan yang lebih dipentingkan dalam perhelatan politik di ranah lokal itu adalah kelancaran prosedur dan administrasi penyelenggaraan. Padahal paradigma administrasi itu tidak ada hubungannya dengan prinsip demokrasi politik yang memuliakan kedaulatan rakyat. Bahkan, berawal dari persoalan administratif, muncullah rentetan komplikasi masalah menyangkut eksistensi KPUD dan kepastian hukum para kandidat yang bertarung dalam rangka kontestasi Pilkada.

Sebagai contoh, kasus Pilkada Langsung Provinsi Kalimantan Tengah, yang bermula dari tidak cermatnya KPUD menerapkan

Skenario yang Tak Rancak

Page 73: Pilkada Serentak - Quo Vadis Kedaulatan Rakyat

64

Pilkada Serentak

aturan bahwa kandidat yang ingin maju bertarung dalam kontestasi Pemilukada harus didukung oleh dua kubu yang berseteru ~ MLNDODX�SDUWDL�SROLWLN�GLPDNVXG�VHGDQJ�PHQJDODPL�NRQÀLN�LQWHUQDO�dalam hal kepengurusan partai. KPUD Kalimantan Tengah diketahui meloloskan pencalonan Ujang Iskandar dan Jawawi dengan dukungan empat partai politik (Nasdem, PKPI, Hanura, dan PPP). Dalam perjalanan waktu kemudian, pencalonan Ujang-Jawawi tersebut dianggap bermasalah, karena hanya “didukung” oleh PPP kubu Romahurmuziy (ketua umum PPP versi Muktamar Surabaya), dan karenanya dukungan PPP itu harus diabaikan, sehingga prosentasi jumlah dukungan partai tidak terpenuhi. 14 Tersebab karena itu KPU Pusat, atas rekomendasi DKPP (Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu) menggugurkan pencalonan pasangan Ujang-Jawawi; dan ternyata Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara di Jakarta mengabulkan sementara gugatan keberatan Ujang Iskandar dan Jawawi terkait Surat Keputusan KPU RI Nomor 196 tentang pembatalan pasangan calon Ujang-Jawawi.15 Akibat dari keputusan yang saling tumpang tindih menjelang hari pemungutan suara dalam rangka Pilkada Serentak itu suasana politik di Palangkaraya memanas. Sebab, pendukung Ujang-Jawawi ~ antara lain kelompok yang mengatasnamakan Aliansi Rakyat Menggugat ~ hampir saban hari berunjuk rasa di depan kantor KPUD, menuntut agar penyelenggaraan Pilkada Gubernur Kalimantan Tengah ditunda hingga permasalahan hukum yang menimpa pasangan Ujang-Jawawi itu tuntas dan bisa ikut serta dalam kontestasi Pilkada.

Tersebab karena kinerjanya dianggap bermasalah dalam hal etika, sejumlah anggota KPU dan Paswaslu di berbagai daerah diberhentikan oleh DKPP. Hal itu menimpa anggota .38�%DOLNSDSDQ�� NDUHQD� NLQHUMD�PHUHND� GDODP� SURVHV� YHUL¿NDVL�berkas ijazah salah satu calon wakil walikota Balikpapan, yang

14 Sengkarut prosedur dukung mendukung itu terjadi karena kubu Djan Faridz (Ketua umum PPP versi Muktamar Jakarta) menyatakan tidak pernah menandatangani formulir dukungan kepada Ujang-Jawawi. Sedangkan Tim Pemenangan Pasangan Ujang-Jawawi merasa sudah memenuhi prosedur yang diminta oleh DPP PPP di dua kubu untuk mendaftaran (Harian Kompas, 22/11/2015).

15 Harian Kompas, 3 Desember 2015.

Page 74: Pilkada Serentak - Quo Vadis Kedaulatan Rakyat

65

ditengarai palsu karena hanya menyampaikan berkas fotopian.16 Juga menimpa anggota KPU Labuanbatu Selatan, dan seorang komisioner Panwaslu Lamongan (Jawa Timur).17

Adanya kasus pemecatan anggota KPUD dan Paswaslu di berbagai daerah sebenarnya adalah puncak gunung es dari masalah laten skenario Pilkada Serentak. Persoalan yang lebih mendasar adalah, bagaimana dengan aspek kedaulatan rakyat. Rakyat nampaknya hanya disuguhi pertunjukan yang berkaitan drama politik yang menyangkut kepentingan para elit. Padahal dalam konteks demokrasi politik dalam rangka aktualisasi hak kedaulatan rakyat seyogyanya pokok perhatian ditujukan persoalan, apakah kontestasi politik yang melibatkan elit politik itu linear dengan kepentingan rakyat. Dan KPU/D nampaknya kurang berurusan dengan perkara tersebut.

Barangkali karena alasan serupa itulah KPU segera menterjemahkan UU Nomor 8 Tahun 2015 dalam berbagai keputusan KPU (PKPU), dengan maksud agar pelaksanaan Pilkada Langsung secara serentak taat asas dan lancar. Salah satu PKPU yang mengubah pelaksanaan Pilkada Serentak agak berbeda dengan Pilkada-Pilkada Langsung sebelumnya adalah PKPU Nomor 7 Tahun 2015, yang mengatur aturan main tentang pola kampanye gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, dan/atau walikota/wakil walikota. Dari 84 pasal PKPU tersebut, pasal yang paling urgen adalah yang mengatur tentang alat peraga kampanye (APK). Intinya, pada Pilkada Langsung tahun 2015 ini, semua APK disediakan oleh KPUD atas beban biaya APBD. Para kandidat tidak bisa lagi untuk membuat dan memasang APK bebas sekehendak hatinya, walaupun dia secara ¿QDQVLDO�PDPSX�PHPEXDWQ\D��7XMXDQQ\D��VHFDUD�LPSOLVLW��DGDODK�untuk menciptakan rasa keadilan di antara sesama kandidat yang bertarung dalam kontestasi Pilkada. Dan tujuan eksplisitnya DGDODK�XQWXN�H¿VLHQVL�

Namun demikian, apakah alasan normatif PKPU itu bisa diimplementasikan di lapangan tanpa ekses terhadap asas 16 Harian Kompas, 4 Desember 2015. 17 Harian Kompas, 19 November 2015.

Skenario yang Tak Rancak

Page 75: Pilkada Serentak - Quo Vadis Kedaulatan Rakyat

66

Pilkada Serentak

keadilan dan prinsip demokrasi lainnya? Barangkali, tidak juga. Dengan adanya kebijakan pengadaan APK ditanggung APBD mengakibatkan jumlah APK cukup terbatas, tetapi sesungguhnya tidak berarti biaya yang dikeluarkan oleh masing-masing kandidat ikut mengecil. Bahkan sebaliknya, gara-gara APK disediakan oleh KPUD itu terbatas jumlahnya, memberikan dampak ikutan berupa makin agresifnya kandidat melakukan “blusukan”. Itu artinya, perlu biaya ekstra untuk biaya menjamu kelompok konstituan yang harus dijumpai kandidat. Bayangkan kalau untuk satu kali pertemuan silaturahmi dengan kelompok konstituen sebanyak 50 orang saja menghabiskan biaya Rp 5 juta. Dalam satu hari bisa sampai delapan kali pertemuan serupa atau setara Rp 40 juta, dengan jumlah konstituen hanya sekitar 400 orang. Sedangkan kelompok yang disasar oleh kandidat seringkali ditargetkan ratusan ribu orang. Padahal dalam pertemuan silaturahmi politik itu juga dibutuhkan “buah tangan”, berupa kerudung, sarung, atau sajadah berharga murah. Persoalannya bukan hanya masalah biaya, tetapi kesulitan kandidat untuk mencapai target menyapa konstituennya.18

Bahkan kebijakan pengadaan APK ditanggung dengan dana APBD mengandung ironi. 3HUWDPD� pemerintah memberi kesan lebih mengutamakan kepentingan para elit yang sedang bertarung untuk mendapatkan jabatan publik. Padahal tanggung jawab pemerintah menyediakan fasilitas publik seringkali belum terpenuhi, misalnya jembatan yang menghubungkan antar desa yang nyaris ambruk. Padahal dana APBD itu adalah “uang rakyat”. .HGXD, di antara para elit yang bertarung sebagai kandidat dalam rangka Pilkada itu tidak ada jaminan merupakan orang-orang yang amanah. Apa lacur yang terjadi kalau sekiranya yang terpilih adalah kandidat yang ternyata berjiwa korup atau tidak becus mengelola Pemerintah Daerah. Betapa sialnya rakyat di daerah yang bersangkutan, karena dana yang seyogyanya untuk 18 Keluhan dari para kandidat yang melakukan “blusukan” adalah, tidak cukup

tersedianya waktu untuk mengunjungi kelompok konstituennya yang tersebar di banyak titik yang banyak sekali jumlahnya. Padahal “blusukan” itu penting dilakukan untuk menjaring simpati massa; dan karena APK yang disediakan KPUD terbatas jumlahnya, maka kampanye tatap muka itu mau tak mau harus dilakukan.

Page 76: Pilkada Serentak - Quo Vadis Kedaulatan Rakyat

67

pembangunan itu malah habis begitu saja untuk memfasilitasi pemimpin daerah yang tidak amanah.

3. Ketika Hal Normatif Digugat

Walaupun Undang-Undang tentang Pilkada Serentak sudah ditetapkan, tidak berarti aturan perundangan tersebut diterima semua pihak. Beberapa pasal dianggap mengganggu “nalar politik”, dan karenanya pantas ditolak, atau paling tidak perlu digugat keberadaannya. Hal-hal yang dianggap mengganggu nalar politik antara lain adalah: soal politik dinasti, status mantan narapidana, prasyarat kandidat harus berhenti dari jabatannya sebagai penyelenggara negara dan PNS, adanya gagasan tentang batas maksimal dukungan partai politik kepada salah satu kandidat, dan perihal menyangkut kasus kandidat tunggal.

Ketika UU Nomor 8 Tahun 2015 diundangkan, ia dianggap mengandung banyak kontroversi. Salah satunya adalah pasal “politik dinasti”. Pasal dimaksud adalah pasal 7 Huruf r yang PHQ\DWDNDQ�WLGDN�PHPLOLNL�NRQÀLN�NHSHQWLQJDQ�GHQJDQ�SHWDKDQD�bagi calon kepala daerah dan calon wakil kepala daerah (gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta walikota dan wakil walikota) dengan penjelasan, yaitu yang memiliki ikatan perkawinan dan darah lurus ke atas, ke bawah, dan ke samping. Yang termasuk dalam persyaratan tersebut adalah suami/istri, orangtua, mertua, paman, bibi, anak, menantu, adik, kakak, dan ipar kecuali jeda satu periode (lima tahun). Pasal yang menyangkut politik dinasti ini sempat jadi wacana yang menyita perhatian dalam sidang DPR RI dan dibumbui dengan pendapat para pakar dan pengamat yang ramai berpendapat di media massa.

Ada dua kubu yang saling berseberangan. Di satu pihak, ada kubu yang menolak politik dinasti, karena memperhitungkan dampak buruknya bagi kelangsungan demokrasi lokal. Mereka yang mendukung gagasan ini berpedoman pada fakta bahwa persoalan politik dinasti tersebut telah mencederai prinsip demokrasi itu sendiri. Bahkan ada pengamat yang mengatakan bahwa bahwa WUHQ politik kekerabatan atau politik dinasti itu sebagai gejala QHRSDWULPRQLDOLVWLN. Benihnya sudah lama berakar secara

Skenario yang Tak Rancak

Page 77: Pilkada Serentak - Quo Vadis Kedaulatan Rakyat

68

Pilkada Serentak

tradisional, yakni berupa sistem patrimonial, yang mengutamakan regenerasi politik berdasarkan ikatan genealogis ketimbang PHULW�V\VWHP, dalam menimbang prestasi. Dipihak lain ada kubu yang berpendapat bahwa pasal tersebut dinilai membatasi hak politik seseorang untuk menjadi calon kepala daerah atau calon wakil kepala daerah, baik di level provinsi maupun kabupaten/kota, dan melanggar konstitusi terutama Pasal 28D Ayat (3) UUD Negara RI Tahun 1945 yang menyebutkan bahwa setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan. Dan rupanya, majelis hakim MK cenderung bersetuju kepada kubu yang menggugat pasal tersebut. Keputusan MK akhirnya mengabulkan permohonan agar pasal yang membatasi hak politik seseorang untuk menjadi calon kepala daerah atau calon wakil kepala daerah, lantaran ada hubungan darah dengan inkumban, dicabut.19

Hal lain yang sempat mencuat ke permukaan adalah adanya status mantan narapidana, apakah boleh terlibat dalam kontestasi Pilkada Langsung. Boleh atau tidak boleh dalam hal ini sebenarnya menyangkut etika sosial. Tetapi hakim MK yang berpikir atas dasar asas konstitusional rupanya berpikiran lain. Menurut majelis hakim MK, mantan narapidana tidak boleh kehilangan hak politiknya karena semata-mata pernah dihukum penjara. Oleh karena itu, siapapun orangnya, berhak untuk ikut bertarung dalam kontestasi Pilkada, walaupun dia mantan narapidana, asalkan yang bersangkutan secara jujur mengakui kepada publik bahwa dia adalah mantan narapidana.20 Dan dengan bekal putusan MK tersebut, sejumlah mantan narapidana korupsi lalu ambil bagian sebagai kandidat dalam kontestasi Pilkada Langsung.21

Adapun perihal status PNS diharapkan netralitasnya dalam politik, sebenarnya sudah ada aturannya sejak tahun 1999.22

19 Lihat amar putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU-XIII/2015. 20 Lihat amar putusan Mahkamah Konstitusi (MK) nomor 42/PUU-XIII/2015. 21 Tercatat, sebagai orang pertama yang memanfaatkan Keputusan MK itu adalah

Soemarmo Hadi Saputro, mantan Walikota yang tersandung kasus suap RAPBD Kota Semarang dan dipecat oleh Mendagri tahun 2012. Soemarmo Sempat ditahan di LP Cipinang sejak akhir Maret 2012. Pada tahap Peninjauan Kembali, Soemarmo divonis 2,5 tahun. Sedangkan tongkat pemerintahan berpindah ke wakilnya, Hendrar Prihadi (DetikNews. 28 Juli 2015).

22 Lihat PP Nomor 5 Tahun 1999 dan UU Nomor 43 Tahun 1999.

Page 78: Pilkada Serentak - Quo Vadis Kedaulatan Rakyat

69

Diasumsikan netralitas PNS itu penting, agar kontestasi politik dapat terlaksana secara adil dan demokratis.23 Akan tetapi merujuk pada UU Nomor 8 Tahun 2015 pasal Pasal 7 huruf r dan Pasal 7 huruf s, larangan kepada PNS itu dianggap tidak adil dan diskriminitif, karena anggota DPR/D tidak dikenakan aturan yang sama. Mengapa penyelenggara negara seperti anggota DPR/D tidak harus berhenti pula, ketika berkontestasi politik dalam rangka Pilkada. Hakim MK rupanya berpendapat bahwa diskriminasi itu harus dihapuskan, dan keluarlah putusan MK bahwa anggota DPR/D pun, tanpa kecuali, harus melepaskan statusnya dan mengundurkan diri sebagai anggota DPR/D ketika berniat akan bertarung dalam kontestasi Pilkada Langsung. Sama dengan para PNS yang akan mencoba peruntungan jadi Kepala Daerah.24

Dari perspektif hukum positif, segala keputusan Mahkamah .RQVWLWXVL� EHUVLIDW� ¿QDO� GDQ� KDUXV� GLODNVDQDNDQ�� $UWLQ\D�� WLGDN�perlu dipersoalkan lagi. Namun dari perspektif logika politik, keputusan Mahkamah Konstitusi itu bukan berarti dapat diterima begitu saja. Sebagai contoh, keputusan MK tentang pembatasan dukungan maksimal partai politik kepada kandidat, dan kasus kandidat tunggal. Mahkamah Konstitusi menolak gagasan pembatasan maksimal dukungan partai politik atau gabungan partai politik terhadap pasangan calon gubernur, bupati dan/atau walikota. Argumentasinya, pembatasan dukungan itu belum tentu mempengaruhi suara rakyat untuk memilih pasangan calon kepala daerah yang bertarung dalam pemilihan.25

23 Saya kira, salah satu musabab keluarnya aturan tersebut lebih pada fakta bahwa ketika masa Orde Baru berkuasa para PNS telah diperalat oleh rezim yang berkuasa (baca: Golkar) untuk mendukung kepentingannya. Tetapi meskipun ada peraturan semacam itu, bukan berarti PNS, terutama di daerah, tidak dapat “dimanfaatkan” oleh Kepala Daerah (biasanya inkumban yang mencalonkan diri) untuk kepentingan politik yang menguntungkan dirinya.

24 Saya ingin berpendapat, aturan yang menetapkan PNS dan penyelenggara negara (seperti anggota DPR/D) itu harus melepaskan jabatannya akan terasa lebih adil apabila dikenakan pasca terpilihnya pemenang kontestasi politik. Sebab, bagi mereka yang kalah, akan mengalami dua kali kerugian, yakni kalah kontestasi dan hilang jabatan. Menurut saya, setiap kandidat yang berstatus sebagai PNS atau penyelenggara negara itu mestinya cukup mendapatkan cuti ketika terlibat dalam kontestasi Pilkada.

25 Harian Kompas, 12 November 2015.

Skenario yang Tak Rancak

Page 79: Pilkada Serentak - Quo Vadis Kedaulatan Rakyat

70

Pilkada Serentak

Hakim MK rupanya tidak sependapat untuk mengabulkan permohonan untuk mengubah pasal Pasal 40 ayat (1) dan (4) berisi ketentuan, partai politik atau gabungan partai dapat mengajukan calon jika memiliki minimal 20 persen jumlah kursi atau 25 persen akumulasi suara pemilihan legislatif daerah. Hakim MK berpendapat bahwa pasal tersebut justru menjamin persamaan kesempatan bagi setiap partai mengajukan calon.26 Dalam hubungan itu, hakim MK rupanya kurang mempertimbangkan realitas politik dalam konteks Pilkada Langsung yang sangat mungkin dipengaruhi oleh kekuasaan para pemilik modal untuk menguasai partai politik lokal. Ketika partai-partai politik di ranah lokal itu telah “dibeli” oleh sebuah kekuatan ekonomi (yang berada di tangan pengusaha), dan kemudian diarahkan untuk hanya mendukung kemenangan seorang kandidat tertentu saja, maka dapat ditebak demokrasi politik dalam bentuk kontestasi Pilkada hanya panggung sandiwara belaka. Sebab, pemborong partai politik lokal itu bisa merekayasa ajang kontestasi dengan menampilkan “kandidat boneka”, agar terpenuhi asas kontestasi politik demokratis.

Hal serupa terjadi dalam memaknai pentingnya asas kontestasi politik dalam kasus kandidat tunggal. Hakim MK berargumen bahwa diakomodirnya kandidat tunggal itu adalah dalam rangka menjamin hak konstitusional kandidat yang ingin mencalonkan diri, dan hak konstitusional warga masyarakat untuk memilih.27 Saya termasuk orang yang menolak logika hakim Mahkamah Konstitusi, bahwa apabila hak konstitusional yang dijadikan argumentasi diperbolehkannya kandidat tunggal dalam Pilkada Langsung; bagaimana dengan hak konstitusional warga daerah yang menghendaki adanya pertarungan antar kandidat sebagai wujud adanya kontestasi politik yang demokratis. Bagaimana pula 26 Lihat amar putusan 105/PUU-XIII/2015. Tetapi Keputusan MK itu tidak bulat,

karena diketahui bahwa empat hakim dari sembilan hakim yang memutuskan perkara mengajukan disenting atau berbeda pendapat dalam putusan uji materi Undang-undang nomor 8 tahun 2015 tentang Pemilihan Kepala Daerah dalam perkara nomor 105/PUU-XIII/2015. Keempat hakim yaitu Anwar Usman, Patrialis Akbar, Wahiduddin Adams, dan Suhartoyo, yang berpendapat perlu adanya aturan batas jumlah dukungan maksimal dari gabungan partai yang mengajukan pasangan calon (Tempo.co. 11 November 2015)

27 Lihat amar putusan Mahkamah Konstitusi No. 100/PUU-XIII/2015.

Page 80: Pilkada Serentak - Quo Vadis Kedaulatan Rakyat

71

dengan hak konstitusional warga daerah yang tidak setuju dengan model kandidat tunggal itu. Solusi berupa pilihan “ya” dan “tidak” pada kertas suara, mengadopsi model referendum atau plebisit, menurut saya adalah logika yang didasarkan rasionalitas yang dipaksakan, yang mengindikasikan adanya salah kaprah dalam memahami makna demokrasi politik di ranah lokal. Referendum sejatinya adalah jajak pendapat yang melibatkan masyarakat yang memiliki hak pilih, dan bersifat “mengikat” kepada Pemerintah, bukan kepada warga masyarakat yang memberikan pendapat. Sedangkan plebisit (SOHELVFLWH) dianggap sah jika semua pemilih yang berhak mendapatkan kesempatan untuk berpartisipasi di dalam plebisit itu terbukti ikut serta semua. Bagaimana jikalau tidak semua warga daerah turut berpartisipasi di dalamnya?

Di sisi lain, apabila Pilkada Langsung itu dimaknai sebagai pertarungan politik antar kandidat, maka keputusan Mahkamah Konstitusi yang mengijinkan dilaksanakannya Pilkada Langsung dengan kandidat tunggal adalah wujud dari sesat pikir yang fatal. Betapa tidak, dasar logika apa yang dapat digunakan untuk “merasionalisasikan” kandidat tunggal dapat terlibat dalam sebuah kontestasi politik? Kontestasi politik, lazimnya, membutuhkan sekurang-kurangnya dua kontestan ~ supaya terjadi kontestasi yang normal. Apabila kandidat tunggal dipaksakan untuk terlibat dalam sebuah kontestasi Pilkada Langsung, maka yang terjadi kemudian adalah sebuah pertunjukan sandiwara politik dengan skenario “abnormal”. Abnormalitas politik itu terasa makin DEVXUG�ketika diberi label “demokrasi”.28

Memang hakim MK tak dapat dipersalahkan apabila hanya mengambil keputusan berdasarkan logika hukum dengan merujuk pada Konstitusi. Akan tetapi, saya cenderung ingin bertanya, apakah kontestasi politik seperti Pilkada Langsung itu merupakan ranah politik atau ranah hukum? Apabila Pilkada Langsung itu merupakan ranah politik, maka seyogyanya logika yang digunakan untuk merancang aturan mainnya adalah logika politik. Dalam logika politik (apalagi yang jelas-jelas menganut liberalisme, 28 Dalam perhelatan Pilkada Serentak tahun 2015, tercatat ada tiga daerah yang

hanya diikuti oleh pasangan kandidat tunggal, yaitu Kabupaten Tasikmalaya, Blitar, dan Timor Tengah Utara.

Skenario yang Tak Rancak

Page 81: Pilkada Serentak - Quo Vadis Kedaulatan Rakyat

72

Pilkada Serentak

seperti halnya Pilkada Langsung) tidak pada tempatnya apabila hak kebebasan seseorang dibatasi, hanya lantaran dia berstatus misalnya sebagai PNS. Saya berpendapat, PNS tidak mesti harus steril dalam politik ~ karena niscaya sebagai manusia normal biasa, hal itu tak mungkin terjadi. Kalau misalnya seorang PNS berbuat curang atau merugikan negara, karena keterlibatannya dalam politik, hukumlah dia sesuai dengan aturan perundang-undangan yang ada. Tersebab karena itu, saya ingin berpendapat, bahwa keputusan hakim MK yang melarang PNS “berpolitik praktis” cenderung agak berlebihan ~ untuk tidak mengatakannya bertentangan dengan hak demokrasi individu. Apalagi makna berpolitik praktis itu misalnya dalam rangka mencalonkan diri sebagai Kepala Daerah, atau berpihak pada kandidat yang merupakan tipikal idaman ~ yang dapat dimaknai sebagai cita-cita ideal seseorang warga daerah.

Page 82: Pilkada Serentak - Quo Vadis Kedaulatan Rakyat

73

Bagian Keempat

Memahami Kontestasi Politik di Ranah Lokal

Kontestasi Pilkada tak ubahnya bagai arena pertarungan simbolik, karena di situ para kandidat bersaing untuk meraih kekuasaan melalui perang wacana dan politik

pencitraan. Bourdieu menjelaskan hal itu sebagai praktik sosial yang merupakan interaksi dialektis antara pasar linguistik dengan habitus linguistik. Pasar linguistik adalah arena dimana wacana-wacana termanifestasikan. Sedangkan habitus, dalam hal itu, adalah kecenderungan praktik-praktik linguistik yang dimiliki oleh pelaku sosial.1 Tersebab karena itu, Pilkada Langsung pada dasarnya berbeda nuansanya dengan Pemilu pada umumnya, semisal Pemilu Presiden. Hal itu bukan hanya menyangkut aspek lokalitasnya, tetapi juga aspek sosiokultural masyarakat yang terlibat dalam kontestasi politik tersebut. Dalam Pilkada Langsung, masyarakat pemilih (baca: konstituen) boleh jadi sangat terikat secara emosional dengan aktor kandidat tertentu, dan karena alasan tersebut lalu agak tidak rasional lagi untuk membela sang kandidat ketika misalnya berseteru dengan kandidat lainnya. Karena faktor subyektivitas yang amat tinggi, boleh jadi kelompok konstituen tertentu mengabaikan rekam jejak kandidat yang bersangkutan.

1 Lihat Pierre Bourdieu, 1991. Languange and Symbolic Power. (Harvard University Press, Massachusetts), Halaman 17.

Page 83: Pilkada Serentak - Quo Vadis Kedaulatan Rakyat

74

Pilkada Serentak

���0HGDQ�3HUWDUXQJDQ�\DQJ�5DZDQ�.RQÀLNDiasumsikan, Pemilu yang bebas dan adil itu menuntut suatu

‘lapangan bermain yang rata’ bagi kontestan politik.2 Artinya, para kandidat harus mendapat peluang yang sama dalam rangka kontestasi, untuk memenangkannya. Dengan kata lain, tidak ada yang boleh mendapatkan priviles atau perlakuan khusus.

Namun kalau kita merujuk pada Bourdieu, asumsi tentang “lapangan bermain yang rata” itu sebenarnya tidak logis. Dalam permainan yang terjadi di ruang sosial atau bidang yang kompetitif, yang melibatkan berbagai agen sosial, aktor menggunakan strategi yang berbeda untuk memelihara atau meningkatkan posisi mereka. Yang dipertaruhkan di lapangan adalah akumulasi modal ~ yang dalam prosesnya modal-modal itu kemudian menciptakan ranah atau lingkungan tempat agen sosial itu mempertaruhkan segala miliknya. Namun, tidak seperti permainan di lapangan sepak bola yang tergantung bagaimana kondisi lapangan, tidak ada tingkat permainan di ranah sosial ~ karena pemain yang mulai dengan bentuk-bentuk tertentu dari modal yang dimilikinya diuntungkan sejak awal. Dengan kata lain, lapangan permainan tergantung pada modal yang dimiliki serta diproduksi pemain. Pemain beruntung tersebut dapat menggunakan keuntungan modal mereka untuk mengumpulkan lebih banyak dan lebih maju (lebih berhasil) lagi dari yang lain.3

Mengikuti pandangan Bourdieu, konsep modal itu penting sekali peranannya dalam konteks ranah tempat modal itu bekerja untuk memberikan posisi kepada aktor. Peran modal dalam UDQDK� SROLWLN� GDSDW� PHQMHODVNDQ� GLQDPLND� SHUVDLQJDQ�� NRQÀLN�dan perebutan kekuasaan antara aktor dan agensi dalam bidang permainan yang berbeda. Di ranah ini “kelas” dibangun dan, di

2 Lihat Patrick Merloe, 1999. “Pemilihan Umum Demokratis”. (USIS, Jakarta, halaman 6). Bandingkan dengan Ingrid van Biezen, 2003. Financial Political Parties and Election Campaigns: Guidelines. (Council of Europe Publishing, Strasbourg Cedex, terutama halaman 44). Lihat juga Anthony King (ed), 2002. Leaders’ Personalities and the Outcomes of Democratic Elections. (Oxford University Press, New York).

3 Lihat Derek Robbins, “Theory of Practice’. Dalam Michael Grenfell (ed), 2008. Pierre Bourdieu: Key Concepts. (Acumen Publishing Limited, Durham), terutama halaman 69.

Page 84: Pilkada Serentak - Quo Vadis Kedaulatan Rakyat

75

sini juga proses konstruksi dibentuk oleh logika lingkungan sosial. Pemilikan modal memang bisa menjadi sebab seseorang berada pada lapis mana, dan selanjutnya ia memberikan konsekuensi logis pada perilaku orang bersangkutan dalam melakukan suatu tindakan sosial di ranah publik. Dalam konteks itu, dipercaya bahwa ranah atau arena politik dikuasai oleh mereka yang menguasai modal, dan membentuk habitus berkekuasaan.

Mencoba membaca fakta sosial itu dari perspektif teori habitus Bourdieu, perlu digarisbawahi bahwa posisi individu (terutama aktor yang terlibat dalam kontestasi politik) di ruang sosial yang WLGDN� WHUGH¿QLVLNDQ� ROHK� NHODV�� 3RVLVL� DNWRU� LWX� GLDVXPVLNDQ�lebih ditentukan oleh jumlah modal yang dimilikinya, dengan berbagai jenisnya, dan oleh jumlah relatif modal sosial, ekonomi, dan budaya yang bisa dipertanggungjawabkannya. Meminjam pembacaan Bourdieu, dalam masyarakat modern terdapat dua sistem hararkis yang berbeda, yaitu sistem ekonomi dimana posisi dan kuasa ditentukan oleh uang dan harta dan sistem budaya atau simbolik. Dalam sistem tersebut status seseorang akan ditentukan oleh banyaknya modal simbolik atau budaya yang dimilikinya sebagai sumber dominasi. Seluruh tindakan manusia terjadi di dalam ranah sosial yang merupakan arena bagi perjuangan sumberdaya. Individu, institusi, dan agen lainnya, mencoba untuk membedakan dirinya dari yang lain dan mendapatkan modal yang berguna untuk merebut perhatian di arena tersebut. Semua hal itu merupakan kondisi struktural yang bersifat aktual terjadi dalam ruang sosial dimana berbagai individu saling berinteraksi dan saling mempengaruhi eksistensi masing-masing.

Para perancang Undang-Undang yang berkaitan dengan kontestasi Pilkada Langsung agaknya kurang menyadari kondisi struktural tersebut. Betapa tidak, segala macam aturan yang seharusnya mengerangkai tindakan para aktor politik (dan kandidat yang akan berkontestasi) cenderung tidak mengantisipasi anomali dari praksis politik demokratis, yang dalam kasus umum di Indonesia dapat berimplikasi pada tindak kekerasan politik di tingkat akar rumput. Sebagai contoh, perusakan kantor KPUD Kabupaten Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur oleh massa

DĞŵĂŚĂŵŝ�<ŽŶƚĞƐƚĂƐŝ�WŽůŝƟŬ�Ěŝ�ZĂŶĂŚ�>ŽŬĂů

Page 85: Pilkada Serentak - Quo Vadis Kedaulatan Rakyat

76

Pilkada Serentak

yang marah, karena kandidat mereka jagokan ditolak KPUD pencalonannya.4 Atau kasus amuk ribuan pendukung calon wakil bupati yang berunjuk rasa di depan kantor KPUD kabupaten Simalungun, Sumatera Utara, karena protes atas pembatalan pencalonan pasangan JR Saragih-Amran Sinaga. 5

Kasus unjuk kemarahan massa pendukung kandidat yang ditolak juga terjadi di Kota Manado. Kasusnya bermula dari keinginan Jimmy Rimba Rogi mau dalam Pilkada Kota Manado bersama dengan Bobby Daud. Masalahnya, Jimmy Rimba Rogi yang diusung PAN itu ingin maju dalam kontetasi Pilkada itu terkendala dengan statusnya sebagai narapidana korupsi, dan hanya menerima pembebasan bersyarat. KPUD Sulawesi Utara menafsirkan “bebas bersyarat” tidak sama dengan “telah dibebaskan” yang maknanya sama dengan mantan narapidana. Artinya Jimmy Rimba Rogi, yang mantan Walikota Manado yang terjerat korupsi dana APBD Kota Manado tahun 2006 dan 2007 tersebut dinilai tidak cukup syarat untuk maju dalam kontestasi Pilkada. Keputusan KPUD Sulawesi Utara itu diamini oleh Bawaslu dan KPU Pusat;6 tetapi tentu saja ditolak keras oleh massa pendukung kandidat, dan mereka melakukan unjuk rasa di depan kantor KPUD Kota Manado dan KPUD Sulawesi Utara.7

Saya ingin berargumentasi, bahwa para perancang UU agaknya mengandaikan para bakal-kandidat yang akan bertarung dalam Pilkada Langsung itu adalah orang-orang yang jujur dan taat azas semua. Hal itu barangkali tidak salah, tetapi adalah keliru jikalau mengandaikan kontestasi politik yang sangat boleh jadi melibatkan orang-orang yang tidak memahami kaidah demokrasi tidak perlu diantisipasi dengan aturan main yang jelas, dan jelas pula apa sangsi bagi si pelanggar atutran main tersebut. Sebagai

4 Berita Metro TV, 28 Juli 2015. 5 Pasangan JR Saragih-Amran dibatalkan dari pencalonan setelah KPUD

Simalungun menerima salinan putusan Mahkamah Agung (MA) yang menjatuhkan vonis penjara kepada calon wakil bupati Simalungun Amran Sinaga. Dalam putusan MA tertanggal 12 September 2014 itu, Amran dinyatakan bersalah atas penerbitan izin pemanfaatan hutan saat dia menjabat Kepala Dinas Kehutanan Pemkab Simalungun tahun 2009 (Kompas, 7 Desember 2015).

6 Harian Media Indonesia, 28 September 2015. 7 Tribun Manado, 2 Desember 2015.

Page 86: Pilkada Serentak - Quo Vadis Kedaulatan Rakyat

77

contoh misalnya adalah aturan yang mewajibkan para kandidat yang bertarung dalam kontestasi Pilkada Langsung harus melaporkan dana kampanyenya. Mekanisme pelaporan itu didasarkan pada prinsip akuntabilitas dan dan transparansi untuk mengukur kejujuran kandidat. Namun, Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) mengunduh laporan awal dana kampanye (LADK) dari 541 pasangan calon; dan ternyata sebanyak 173 pasangan calon (33 persen) melaporkan dana awal kampanyenya hanya berkisar antara Rp 0 hingga Rp 10 juta. Bahkan ada pasangan kandidat ynng menunjukkan absurditasnya dengan hanya melaporkan dana kampanyenya hanya sebesar Rp 100 ribu atau kurang (Lihat Tabel 1). Celakanya, KPU/D sebagai lembaga penyelenggara agaknya tak EHJLWX�KLUDX�GHQJDQ�KDO�LWX��GHQJDQ�MXVWL¿NDVL�\DQJ�GLDODVNDQ�SDGD�aturan perundangan tidak mewajibkan adanya uji validitas atas laporan keuangan yang disampaikan oleh kandidat.

Tabel 1. Dana Awal Kampanye Kandidat di Berbagai Daerah

No Pilkada Pasangan Kandidat Dana Kampanye

1 Kabupaten Lima puluh Kota

Asyirwan Yunus-Ilson Cong Rp 100.000

2 Kabupaten Lebong Rosjonsyah- Wawan Fernandes Rp 50.000

3 Kabupaten Bengkulu Selatan

Abidin Merahli-Syaripudin Sabana Rp 100.000

4 Kabupaten Kendal Mirna Annisa-Masrur Masykur Rp 100.000

5 Kabupaten Klaten 0XVWD¿G�)DX]DQ�Sri Harmanto Rp 50.000

6 Kabupaten Ponorogo Amin-Agus Widodo Rp 100.000

7 Kota Blitar Mochsin-Dwi Sumardianto Rp 100.000

8 Kota Blitar Muh.Samanhudi Anwar-Santoso Rp 100.000

9 Kabupaten Konawe Selatan

Rusmin Abdul Gani-Muhlis M Rp 100.000

10 Kota Bitung MJ.Lomban-Maurits Mantiri Rp 0

Sumber: Harian .RPSDV, 22 September 2015.

DĞŵĂŚĂŵŝ�<ŽŶƚĞƐƚĂƐŝ�WŽůŝƟŬ�Ěŝ�ZĂŶĂŚ�>ŽŬĂů

Page 87: Pilkada Serentak - Quo Vadis Kedaulatan Rakyat

78

Pilkada Serentak

Pada sisi lain pihak penyelenggara Pilkada Langsung cenderung mencari jalan aman dalam menafsirkan aturan main yang berakibat pada pemberian sanksi. Sebagai contoh misalnya aturan main yang berkaitan dengan kewajiban kandidat melaporkan harta kekayaan pribadi dan sumber dana politiknya. Aturan ini nyaris tak pernah dipraktikkan tuntas dan tidak pernah dikenakan penalti apabila sampai dimanipulasi asal-usulnya.8 Pihak penyelenggara Pilkada Langsung cenderung terlampau lemah untuk menegakkan aturan main, dan tidak berani memberikan sanksi kepada kandidat yang melanggarnya, sehingga aturan main berdasarkan Undang-Undang itu acapkali hanya ditafsirkan sebagai aturan formalitas belaka.

Pendekatan legalistik berbasis rezim administratif itu pada akhirnya seperti semacam ironi ketika aturan perundangan yang ada hanya dibaca secara tekstual. Hal itu terjadi dalam kasus persyaratan dukungan politik bagi bakal-kandidat sebelum menjadi kandidat, baik yang menempuh jalur partai politik atau jalur dukungan publik (kandidat perseorangan).

Aturan yang dimuat dalam Undang-Undang hanya menyebutkan bahwa dukungan partai politik diberikan dalam bentuk dukungan tertulis yang disahkan oleh pimpinan partai politik yang bersangkutan.9 Sepintas lalu memang tidak ada yang salah dengan aturan semacam itu. Tetapi, dalam praksisnya, aturan administratif itu seringkali menjadi hulu masalah politik uang. Betapa tidak, dukungan politik yang secara administratif hanya berupa selembar kertas itu bisa diperjualbelikan. Tidak ada pihak lain yang dapat mencegah dukungan politik itu hanya akan diberikan kepada oknum yang disukai oleh pengurus partai politik, dan tidak peduli massa pendukung partai politik yang EHUVDQJNXWDQ�PLVDOQ\D�VDQJDW�WLGDN�VHWXMX�GHQJDQ�¿JXU�NDQGLGDW�yang diusung. Tidak ada pula pihak yang dapat menghukum jika 8 KPUD Kalimantan Selatan, misalnya, menerima laporan kekayaan salah satu

kandidat hanya sebesar Rp 400 juta; padahal yang bersangkutan dikenal sebagai seorang pengusaha batubara, dan tentu saja sebenarnya dia kaya raya (Banjarmasin Post, 11 November 2015).

9 Yang dimaksud “pimpinan partai politik” adalah Ketua dan Sekretaris. Lihat Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik (terutama pasal 27, 28, 29 dan 30).

Page 88: Pilkada Serentak - Quo Vadis Kedaulatan Rakyat

79

sekiranya elit partai politik memberikan dukungannya kepada seseorang, dan bukan kepada seseorang lainnya; misalnya lantaran karena para elit partai itu sebelumnya mendapatkan pemberian dana tertentu, atau apapun pemberian sesuatu lainnya yang layak dikategorikan sebagai bentuk transaksi politik, dari kandidat yang didukung tersebut. Aturan main yang tersedia dalam Undang-Undang kebetulan tidak mengatur mekanisme politik yang seharusnya ada untuk menyeleksi bakal-kandidat sampai menjadi kandidat. Dengan kata lain, proses seleksi bakal-kandidat itu boleh jadi miskin dengan sentuhan nilai-nilai demokratis.

Ihwal serupa, dan terasa lebih ironis, menimpa proses dukungan publik untuk kandidat yang menempuh jalur perseorangan untuk bisa bertarung dalam kontestasi Pilkada Langsung. Sepintas lalu aturan yang memungkinkan jalur alternatif itu menguntungkan siapapun yang tidak sudi dipermainkan oleh elit politisi busuk yang memperjualbelikan dukungan partai politiknya kepada siapa saja penawar tertinggi sebagai tiket masuk dalam kontestasi Pilkada Langsung. Tetapi, aturan yang dirumuskan dalam Undang-Undang itu sebenarnya menjebak pengguna jalur tersebut dalam perangkap administrasi yang melelahkan dan buang-buang biaya. Betapa tidak, sesungguhnya bukanlah perkara gampang untuk mengumpulkan dukungan publik sebanyak sekian persen jumlah penduduk dalam waktu singkat.10 Karena kendala waktu, jalan pintas yang terbuka kemudian adalah memanfaatkan jasa para broker fotocopy KTP ~ dan manakala hal itu terjadi, maka sia-sialah maksud dibuatnya aturan main yang antara lain sebagai bukti bahwa sang kandidat memang “dikenal oleh masyarakatnya”.

Walhasil, pendekatan administratif yang sifatnya legalistik dalam penyelenggaraan Pilkada Langsung tampaknya justru

10 Lihat Pasal 41 ayat 1 dan 2 UU Nomor 8 Tahun 2015. Dalam Pasal 41 ayat 1 dan 2, dijelaskan bahwa syarat pencalonan kepala daerah bagi calon perseorangan yaitu, mendapat dukungan paling sedikit 10 persen bagi daerah dengan jumlah penduduk sampai dengan 2.000.000 jiwa. Kemudian, dukungan 8,5 persen bagi daerah dengan jumlah penduduk 2.000.000 sampai 6.000.000 jiwa. Kemudian, provinsi dengan jumlah penduduk lebih dari 6.000.000 jiwa sampai dengan 12.000.000 jiwa harus didukung paling sedikit 7,5 persen. Selanjutnya, provinsi dengan jumlah penduduk lebih dari12.000.000 jiwa harus didukung paling sedikit 6,5 persen.

DĞŵĂŚĂŵŝ�<ŽŶƚĞƐƚĂƐŝ�WŽůŝƟŬ�Ěŝ�ZĂŶĂŚ�>ŽŬĂů

Page 89: Pilkada Serentak - Quo Vadis Kedaulatan Rakyat

80

Pilkada Serentak

merupakan cacat bawaan bagi sebuah kontestasi politik di Indonesia, dan menyebabkan banyak masalah yang menyertainya.

2. Pertarungan Simbolik Atas Nama Demokrasi

Bagi setiap kandidat, kampanye politik sejatinya lebih dimaksudkan untuk membangun citra positif agar publik menaruh simpati dan kemudian nantinya akan bersedia memberikan dukungan di hari pemungutan suara. Seharusnya, setiap orang kandidat memiliki modal JHQXLQH untuk “dijual” kepada publik, dan berharap massa pemilih akan terpukau dengan modal tersebut.

Barangkali sadar akan keterbatasan modal politik yang dimilikinya, beberapa kandidat berupaya mencari jalan pintas untuk mendapatkan popularitas guna menjaring simpati massa. Disadari atau tidak, mereka kemudian terperangkap dalam ‘pertarungan simbolik’11 yang menekankan upaya pencitraan GLUL� \DQJ� VDQJDW� DUWL¿VLDO�� 6HMXPODK� NDQGLGDW� EHUORPED�ORPED�menampilkan foto dirinya yang paripurna dan menggembar-gemborkan visi misi serta program kerjanya yang bikin bulu kuduk merinding. Pada Pilkada tahun 2015, nyaris tidak ada satu kandidat pun yang foto wajahnya tidak tersentuh SKRWRVKRS. Di baliho-baliho yang tersebar di seluruh penjuru mata angin, bertebaran wajah-wajah nan tampan dan cantik dari para kandidat yang bertarung dalam kontestasi Pilkada, menyaingi bintang iklan obat jerawat. Saya kadangkala agak bersyukur, alangkah murah hatinya Tuhan telah mengaruniai kandidat-kandidat kepala daerah itu wajah yang rupawan, sehingga “enak dilihat”, walaupun tidak perlu sebegitu amat.

Dalam rangka politik pencitraan, beberapa kandidat mengadopsi pola yang seringkali dipraktikkan oleh politisi di era Orde Baru. Mereka menggandeng alim ulama dan pengasuh pondok pesantren, untuk mencitrakan bahwa dirinya akrab dengan kalangan orang-orang saleh. Mereka juga melakukan laku 11 Pertarungan simbolik adalah sebuah persaingan untuk kekuasaan atas

perilaku sosial yang lain, atas eksistensinya, pandangan dunia (world view), dan perbedaan nilai-nilai. Pertarungan tersebut bertujuan untuk mendapatkan kekuasaan memproduksi dan menunjukkan pandangan dunia yang paling diakui, yang paling dianggap benar, yang memiliki legalitas (lihat Bourdieu, 1991, halaman 62 dan 69).

Page 90: Pilkada Serentak - Quo Vadis Kedaulatan Rakyat

81

dermawan dan pencinta kaum dhuafa. Harapannya tentu saja agar massa pemilih, yang umumnya merupakan kalangan awam, menaruh simpati kepadanya, dan lalu mendukung dirinya kelak dalam pemungutan suara.

Politik pencitraan juga terlacak dalam visi misi yang dibuat oleh masing-masing kandidat. Kalau dicermati dengan seksama, tidak ada kandidat yang menawarkan visi misi yang tidak berpihak pada pembangunan dan kesejahteraan rakyat. Perbedaan di antara kandidat hanya dalam hal redaksi visi misi, dan program unggulan apa yang ingin dijualnya dalam kampanye. Karena keseragaman isu yang ditawarkan dalam visi misi itu saya menilai sebenarnya agak sia-sia untuk memperdebatkan visi misi dan program antar kandidat. Akan tetapi, hal yang sia-sia itu dilakukan juga oleh KPUD dalam acara “Debat Kandidat”12 ~ yang dalam praktiknya tidak lebih dari acara seremonial yang hambar, karena yang terperagakan bukanlah “debat” antar kandidat yang sebenarnya. Semula saya membayangkan acara Debat Kandidat yang diselenggarakan oleh KPUD itu seperti acara debat kandidat Presiden AS. Tetapi rupanya saya bermimpi di siang bolong.

Upaya mempengaruhi persepsi massa bukanlah hal yang tabu dalam kampanye politik. Namun demikian, politik pencitraan sedikit banyak agak menjerumuskan kandidat dalam “dusta sosial”. Betapa tidak, seorang kandidat barangkali telah melakukan penipuan bahwa dirinya tampan atau cantik, padahal senyatanya tidak demikian, meskipun juga tidaklah buruk rupa amat. Kandidat juga mungkin telah berperilaku pura-pura dermawan dan punya empati yang tinggi terhadap nasib kaum dhuafa, padahal dalam kesehariannya tidaklah demikian. Dan kandidat tersebut, kalau terpilih jadi Kepala Daerah, apakah akan selalu konsisten untuk memperjuangkan visi misi dan program yang ditawarkannya semasa kampanye? Rasanya, tidak.

Kandidat pada umumnya agak mengabaikan hakikat kampanye politik, dan mereduksinya sebagai kampanye dalam rangka Pilkada belaka. Padahal kampanye politik seyogyanya 12 Alasan KPUD, acara “Debat Kandidat” itu adalah perintah UU yang diformulasikan

dalam Peraturan KPU Nomor 7 Tahun 2015.

DĞŵĂŚĂŵŝ�<ŽŶƚĞƐƚĂƐŝ�WŽůŝƟŬ�Ěŝ�ZĂŶĂŚ�>ŽŬĂů

Page 91: Pilkada Serentak - Quo Vadis Kedaulatan Rakyat

82

Pilkada Serentak

dilakukan sepanjang waktu, selama pelaku politik itu dituntut pertanggungjawaban moralnya untuk memperjuangkan aspirasi konstituennya. Pemahaman sempit tentang kampanye politik ini (yang mereduksinya sebagai kampanye Pilkada) membuat semua kandidat memfokuskan diri pada masa kampanye yang dijadwalkan pihak KPU/D (di mana rentang waktunya amat terbatas). Semua usaha, pendanaan, perhatian, dan energi dipusatkan untuk mempengaruhi dan memobilisasi pemilih menjelang pemungutan suara. Setelah Pilkada usai, aktivitas politik dilupakan. Para kandidat hanya melihat bahwa aktivitas politik adalah aktivitas untuk membuat pemilih mencoblos, lalu terjadi pengabaian atas keberpihakan serta semangat dalam membantu memecahkan permasalahan daerah yang dihimpit oleh masalah-masalah struktural berkaitan dengan kesulitan hidup lapisan termiskin warga di daerah pasca-Pilkada. Padahal masyarakat dalam mengevaluasi kualitas kandidat juga melihat apa saja yang telah dilakukan di masa lalu. Pengamatan masyarakat tercurah pada semua aktivitas partai dan kandidat individu, bukannya dipusatkan pada masa kampanye Pilkada saja. Melihat kampanye Pilkada sebagai kampanye politik sangat tidak sesuai dengan apa yang diharapkan masyarakat pada umumnya.

Namun demikian, apakah politik pencitraan (yang kadangkala berbau omong kosong) yang dilakukan oleh para kandidat dalam kontestasi Pilkada Langsung itu suatu tindakan tercela dan jahat? Kalau kita pinjam konsep teori Bourdieu untuk memahami fenomena tersebut, nampaknya hal itu merupakan keniscayaan belaka dari sebuah kontestasi dalam rangka kekuasaan. Konsultan politik dan Tim Sukses kandidat niscaya berupaya agar kandidat jagoannya dapat memenangkan kontestasi politik, dengan pertaruhan apapun dan dengan cara apa saja, termasuk (kalau boleh, dan biasanya dilakukan juga dengan cara-cara terselubung) mendiskreditkan lawan politik yang menjadi saingan. Hal yang disebut terakhir itu ada hubungannya dengan mekanisme ‘kekerasan simbolik’. Kekerasan simbolik adalah bentuk lain dari upaya berusaha meraih kekuasaan simbolik, dengan cara mereproduksi nilai-nilai yang dianggap paling benar, sehingga

Page 92: Pilkada Serentak - Quo Vadis Kedaulatan Rakyat

83

secara tak sadar orang-orang yang disasarnya terdominasi.13 Meskipun mekanisme yang ditempuh adalah berbentuk kekerasan simbolik dengan menekankan bentuk pelestarian nilai-nilai yang dianggap luhur, seperti misalnya menekankan bahwa kandidat tertentu adalah yang paling amanah, sehingga berkonotasi bahwa kandidat lainnya “tidak amanah”. Atau seseorang kandidat PHPEDQJXQ� FLWUD� VHEDJDL� ¿JXU� SXWHUD� GDHUDK� DVOL� a� \DQJ� ELVD�berkonotasi bahwa kandidat lainnya “tidak asli” dan boleh jadi tindak pantas jadi Kepala Daerah.

Dari perspektif teori Bourdieu, pertarungan wacana itu merupakan hal yang wajar terjadi. Sebab, lingkungan (¿HOG� merupakan sebuah arena pertarungan,14 apalagi arena yang dimaksud dalam rangka pertarungan demi kekuasaan. Struktur lingkunganlah yang “menyiapkan dan membimbing strategi yang digunakan penghuni posisi tertentu (secara individual atau kolektif) yang mencoba melindungi atau meningkatkan posisi mereka untuk prinsip penjenjangan sosial yang paling menguntungkan bagi tujuan mereka sendiri”.15 Lingkungan adalah sejenis pasar kompetisi di mana berbagai jenis modal (ekonomi, kultural, sosial, simbolik) digunakan dan disebarkan. Lingkungan juga adalah ajang politik (kekuasaan) yang sangat penting; dimana hubungan kekuasaan di dalam lingkungan politik membantu menata semua lingkungan yang lain.

Sungguhpun demikian, pokok persoalannya adalah, apakah sesuatu hal yang normal ditinjau dari keniscayaan tindakan

13 Meminjam penjelasan Bourdieu, untuk mendapatkan dominasi itu dibutuhkan mekanisme obyektif, yaitu mekanisme yang membuat kelompok yang didominasi secara tidak sadar masuk ke dalam lingkaran dominasi dan menjadi patuh. Mekanisme ini oleh Bourdieu disebut kekerasan simbolik yang bekerja dengan mekanisme mecoinnaissance atau penyembunyian kekerasan menjadi sesuatu yang “memang seharusnya demikian”. (lihat Pierre Bourdieu, 1991. Language and Symbolic Power. (Harvard University Press, Massachusetts). Editor’s introduction, halaman 23).

14� /LKDW� 3LHUUH�%RXUGLHX�� /RLF� -�'�:DFTXDQW�� ������ ³7KH�3XUSRVH� RI�5HÀH[LYH�Sociology (The Chicago Workshop),” dalam P. Bourdieu & L.J.D. Wacquant (eds), $Q�,QYLWDWLRQ�WR�5HÀH[LYH�6RFLRORJ\� (University of Chicago Press, Chicago) pp.61-215 (halaman 101).

15�%RXUGLHX��GLNXWLS�GDODP�/RLF�-�'�:DFTXDQW��������³7RZDUGV�D�5HÀH[LYH�6RFLRORJ\��A Workshop with Pierre Bourdieu.” Sociological Theory 7:26-63, (halaman 40).

DĞŵĂŚĂŵŝ�<ŽŶƚĞƐƚĂƐŝ�WŽůŝƟŬ�Ěŝ�ZĂŶĂŚ�>ŽŬĂů

Page 93: Pilkada Serentak - Quo Vadis Kedaulatan Rakyat

84

Pilkada Serentak

rasional kandidat itu bertentangan dengan prinsip demokrasi politik. Diskusi tentang hal itu sedikit banyak menghatarkan kita pada kesadaran bahwa demokrasi di Indonesia, terutama dalam rangka Pilkada Serentak, seolah-olah mengalami paradoks dalam praksisnya.

Sebagai contoh ilustrasi, para kandidat berusaha keras untuk meniru pola ‘silaturahmi politik’, yang pernah sangat populer di zaman Orde Baru, dan terbukti masih efektif untuk menjalin hubungan emosional sesaat dengan kelompok-kelompok masyarakat marjinal. Demikian pula dengan ‘politik sedekah’ dalam bentuk pemberian hadiah dan bantuan sosial kepada kelompok-kelompok miskin, barangkali adalah pilihan paling rasional bagi para kandidat untuk mendapatkan simpati publik. Diasumsikan, kelompok miskin itu butuh santunan, dan para kandidat (menurut logika mereka) mampu memposisikan dirinya sebagai pemberi santunan yang murah hati dan sangat empatif.16 Semua itu dilakukan oleh para kandidat karena pertimbangan rasional, bahwa: PHUHND� WLGDN� SXQ\D�ZDNWX� \DQJ� FXNXS� XQWXN�PHPEDQJXQ� LQWHUDNVL� VRVLDO� \DQJ� VROLG� GDQ� EHUVLIDW� SHUVRQDO�NHSDGD� NKDOD\DN� \DQJ� EHJLWX� OXDV� GDQ� EHUDJDP� SHQFLULDQ�VRVLDOQ\D.17

Rasionalitas kandidat itu bisa dilacak pada “habitus” demokrasi politik yang dipahami mereka. Selama era Orde Baru, praksis demokrasi politik diperagakan hanya dalam bentuk mobilisasi massa, dengan asumsi kuantitas dukungan massa tersebut merupakan gambaran dari dukungan terhadap entitas partai politik pada saat pemungutan suara. Dengan kata lain, aspek RXWSXW menjadi tolok ukur satu-satunya dalam melihat efektivitas suatu kampanye politik. Tidak menjadi soal bagaimana kualitas dukungan massa itu. Tidak masalah pula bahwa dukungan massa 16 Secara kultural, strategi yang dilakukan oleh kandidat itu sebenarnya merupakan UHÀHNVL� GDUL� DGDQ\D� NXOWXU� SDWURQ�NOLHQ� \DQJ� GLDVXPVLNDQ� ROHK� SLKDN� NDQGLGDW�masih berlaku dalam interaksi sosial masyarakat tradisional di Indonesia pada umumnya. Dalam hubungan itu, kandidat berupaya memposisikan dirinya sebagai “patron” yang baik.

17 Hal itu terutama menjadi alasan rasional bagi kandidat yang tidak punya rekam jejak sebagai pejabat publik atau tokoh masyarakat yang telah lama bergaul dengan kelompok-kelompok konstituen.

Page 94: Pilkada Serentak - Quo Vadis Kedaulatan Rakyat

85

itu sebenarnya hanya persoalan angka-angka yang melegitimasi kemenangan sebuah kontestasi politik, tetapi hampa makna apabila dikaitkan dengan substansi politik demokratis.18 Saya ingin berargumentasi dalam hubungan itu, apapun yang terjadi, sebagai imbas dari rasionalitas kandidat yang bertarung kontestasi Pilkada itu, adalah bukti empiris yang menunjukkan bahwa para elit dan pelaku politik belum mempraktikkan ~ untuk tidak menyebutkannya “tidak memahami” ~ esensi berpolitik secara demokratis. Mereka memang terlibat dalam kontestasi politik yang diberi bungkus demokrasi. Tetapi tak lebih dari demokrasi seolah-olah (SVHXGR�GHPRFUDF\).

3. Masalah Laten yang Jadi Paradoks Demokrasi Demokratisasi adalah proses perubahan struktur yang

memungkinkan nilai-nilai demokrasi dapat aktual sebagai ideologi bermasyarakat bagi mayoritas penduduk sebuah negeri. Hal itu diasumsikan dimulai dari proses pembiasaan perilaku sosial yang merupakan pengejawantahan nilai-nilai demokrasi, sehingga akhirnya ia menjadi kebiasaan di kalangan masyarakat. Proses pembiasaan itulah yang bisa dimaknai sebagai rekayasa sosial, yang ketika mencapai puncak prosesnya tidak akan disadari lagi oleh subyeknya sebagai hal yang diinternalisasikan dalam budayanya. Dalam lingkungan politik, proses internalisasi itulah yang dibayangkan perlahan-lahan merasuk dalam perilaku dan tindakan para elit dan aktor politik, dan kemudian disusul dengan peniruan massal oleh anggota masyarakat. Dalam hal itu diasumsikan kelompok pemilih, yang merupakan kelompok massa awam, tidak mungkin memulai proses perubahan yang terjadi. Sebab, dalam realitasnya masyarakat perlu teladan dari kaum elitnya yang berada dalam posisi sebagai aktor.

Persoalannya, apakah kalangan elit dapat diharapkan untuk memberikan suri tauladan tentang bagaimana perilaku yang menggambarkan prinsip-prinsip demokrasi. Saya kira, hal itulah pokok masalah yang kalau kita diskusikan tidak akan ada habisnya, karena menyangkut kondisi paradoksal yang sifatnya laten.18 Bandingkan misalnya dengan kajian Paul J. Carnegie, 2010. The Road from

Authorianism to Democratization in Indonesia. (Palgrave Macmillan, New York).

DĞŵĂŚĂŵŝ�<ŽŶƚĞƐƚĂƐŝ�WŽůŝƟŬ�Ěŝ�ZĂŶĂŚ�>ŽŬĂů

Page 95: Pilkada Serentak - Quo Vadis Kedaulatan Rakyat

86

Pilkada Serentak

Pilkada Langsung secara normatif berhasil mengkondisikan kebebasan memilih dan hak dipilih pada setiap warga negara, tapi di lain pihak akibat dari permainan kepentingan para elit penguasa partai politik menyebabkan tidak setiap bakal kandidat yang potensial dapat bertarung dalam kontestasi Pilkada. Kasus monopoli partai politik pengusung oleh satu orang bakal kandidat adalah fakta yang tak terbantahkan, sebagai bukti anomali politik demokratis yang menggambarkan paradoks tersebut. Peran partai politik dianggap penting dalam demokrasi perwakilan. Pilkada Langsung pun mengadopsi wacana itu dengan memposisikan partai politik lokal sebagai pintu masuk bagi kandidat yang akan bertarung dalam kontestasi politik. Tetapi di sisi lain, tidak dapat disangkal bahwa partai politik lebih banyak diisi oleh orang-orang yang berwatak padagang dan oportunis, yang tanpa merasa bersalah memposisikan partai politik bagai perusahaan untuk mengeruk keuntungan pribadi. Hal inilah yang merupakan anomali politik demokratis, yakni makin menonjolnya fungsi partai politik lokal bagai sebuah oligarki. Oleh karena itu, saya lebih cenderung berpendapat, bahwa dukungan partai politik itu harus ada batas maksimalnya, misalnya paling banyak 30% untuk setiap pasangan kandidat.

Pilkada Langsung pada dasarnya membuka seluas-luasnya arena kontestasi politik yang dapat diikuti oleh banyak kandidat, namun di lain pihak adanya fakta di beberapa daerah hanya diikuti oleh calon tunggal adalah anomali demokrasi berikutnya. Hanya ada sepasang calon yang berani maju dalam kontestasi, bukan berarti bakal kandidat lainnya tidak berminat menjadi Kepala Daerah. Hal itu terjadi lebih karena pertimbangan rasional, untuk apa maju dan bersaing dalam kontestasi politik apabila pasti akan kalah. Calon tunggal itu biasanya muncul dari fenomena kandidat inkumban yang terlalu populer, dan diperkirakan tingkat elektabilitasnya sangat tinggi pula. Contohnya seperti Walikota Surabaya, Tri Rismaharini, yang semula terancam menjadi calon tunggal karena tidak ada kandidat berani melawannya dalam Pilkada Langsung Kota Surabaya.19 Tersebab karena itu, saya 19 Akhirnya Pilkada Langsung Kota Surabaya tahun 2015 dapat dilaksanakan

dengan dua pasangan kandidat, setelah pasangan Rasiyo-Lucy Kurniasari maju

Page 96: Pilkada Serentak - Quo Vadis Kedaulatan Rakyat

87

tak pernah lelah untuk mengajukan pendapat, bahwa pejabat inkumban itu sebaiknya dilarang saja untuk mencalonkan diri kembali, kecuali yang bersangkutan telah melewati jeda satu periode Pilkada. Hal itu agar terkondisi para kontestan bertarung sama-sama berangkat dari titik nol, sehingga kontestasi politik menjadi lebih adil.

Pilkada Langsung, suka atau tidak, memungkinkan setiap orang yang berambisi menjadi Kepala Daerah akan mendapatkan akses yang seluas-luasnya untuk mewujudkan ambisi politiknya, asalkan memenuhi prasyarat yang ditentukan oleh UU. Akan tetapi dalam perkembangan terakhir,20 ketentuan UU yang amat longgar berkaitan dengan syarat-syarat personal, menyebabkan siapa saja, tanpa kecuali, boleh bertarung dalam kontestasi Pilkada Langsung. Padahal rakyat pemilih tidak begitu piawai untuk menelisik (dalam rangka proses VHOHFWLRQ) calon sampai ke tahap memilih (dalam rangka proses HOHFWLRQ), dan yang bersangkutan karena ketidaktahuannya sangat mudah pula dimanipulasi dan diintimidasi oleh pihak-pihak tertentu, sehingga segala kondisi tersebut akan menyebabkan terpilihnya orang-orang yang secara moral tidak layak menjadi pemimpin daerah karena menyandang “cacat sosial”. Tersebab karena itu, saya termasuk orang yang menyesalkan keputusan hakim Mahkamah Konstitusi yang memperbolehkan, misalnya, mantan narapidana korupsi boleh bertarung dalam kontestasi Pilkada Langsung, apapun argumentasinya.

Skenario Pilkada Langsung ingin menampilkan prosedur politik demokratis, dan hal itu cukup teruji dengan baik dalam pelaksanaannya. Akan tetapi, di sisi lain prosedur kontestasinya tidak bisa menepis stigma bahwa tanpa menggunakan uang (yang

bertarung untuk berkontestasi dengan pasangan Tri Rismaharini-Whisnu Sakti Buana. Tapi seperti yang banyak dugaan pengamat, pasangan Rasiyo-Lucy Kurniasari mengalami kekalahan telak, karena pemilih Kota Surabaya rupanya masih mengidolakan Tri Rismaharini sebagai walikotanya. Menurut hasil exit poll yang dilakukan oleh Lembaga Survei Surabaya Consulting Group (SCG), pasangan Tri-Wisnu meraih suara 81%, sementara pasangan Rasiyo-Lucy Kurniasari meraih 19% (Liputan 6, 09 Desember 2015 pukul 15.29 WIB).

20 Sedikit banyak karena campur tangan Mahkamah Konstitusi, yang mengakomodir beberapa gugatan terhadap UU Nomor 8 Tahun 2015.

DĞŵĂŚĂŵŝ�<ŽŶƚĞƐƚĂƐŝ�WŽůŝƟŬ�Ěŝ�ZĂŶĂŚ�>ŽŬĂů

Page 97: Pilkada Serentak - Quo Vadis Kedaulatan Rakyat

88

Pilkada Serentak

banyak) tidak mungkin seseorang dapat memenangkan kontestasi yang diikutinya. Saya ingin berargumen bahwa uang politik itu sebenarnya harus dibedakan dengan “politik uang”. Adagium dalam politik, tidak ada makan siang gratis, adalah sebuah keniscayaan bahwa tanpa uang tidak mungkin bisa bersaing dalam kontestasi politik. Uang politik adalah dana yang harus disediakan untuk membiayai segala urusan yang berkaitan dengan kelancaran politik, termasuk misalnya untuk membiayai kampanye. Tetapi, tentu saja, adalah termasuk mengkhianati demokrasi jikalau kandidat sampai mempraktikan politik uang ~ yang secara secara DNDGHPLV� ELVD� GLLGHQWL¿NDVL� VHEDJDL� SROLWLN� WUDQVDNVLRQDO� GDQ�pembelian suara (YRWH�EX\LQJ).

Politik uang (PRQH\� SROLWLFV), yang secara awam dipahami sebagai “suap politik”, adalah pemberian uang (dan barang) kepada kelompok pemilih, agar memilih kandidat tertentu saja. Berapa nilai uang yang diberikan(?) dan bagaimana caranya uang itu diberikan, inilah yang jadi perdebatan. Secara konseptual, politik uang dalam arti membeli suara membutuhkan suatu akad yang jelas. Padahal dalam praktiknya, hal itu tidak pernah terjadi antara kelompok konstituen dengan kandidat atau Tim Suksesnya. Kelompok pemilih umumnya tidak membayangkan suaranya “dijual”. Andaikata kelompok konstituan sangat yakin dengan “nilai jual” hak suaranya, niscaya mereka akan menawarkannya kepada calon pembeli yang berani membayar dengan harga tertinggi. Adapun kiat yang diperagakan oleh para kandidat yang membutuhkan dukungan publik juga tidak menggambarkan bahwa ingin “membeli” suara pemilih. Pada umumnya kandidat lebih banyak “meminta”, dan bahkan “memohon” atas dukungan para pemilih.

Dengan kata lain, Pilkada Langsung telah memperagakan bahwa rakyat pemilih ternyata mampu mengikuti ritual demokrasi sesuai dengan skenario pihak penyelenggara. Akan tetapi, sayangnya, kelompok pemilih tertentu digiring oleh pemikiran pragmatis para elit dan aktor politik yang tidak ingin kalah dalam kontestasi politik untuk mengkhianati semangat politik demokratis itu sendiri. Praktik politik uang adalah contoh kasus

Page 98: Pilkada Serentak - Quo Vadis Kedaulatan Rakyat

89

dari hal itu. Fenomena itu sampai terjadi, saya duga, lebih banyak karena didasarkan rasionalisasi tindakan para kandidat yang tidak ingin kalah, dan apabila menang dalam kontestasi Pilkada ada pengharapan bahwa “modal yang dikeluarkannya” bisa kembali, dengan kiat dan strategi tertentu.

Kita tahu mengapa aktor-aktor berkontestasi, yakni ingin berkuasa. Tetapi cara untuk meraih kekuasaan itu disikapi mereka dengan rasionalitas yang dipaksakan. Barangkali tidak bisa dijelaskan dengan nalar sehat, mengapa seseorang kandidat berani (dan mau) mengeluarkan dana politik sedemikian luar biasa besar, bahkan lebih besar daripada dana Pilkada Langsung yang mesti ditanggung oleh penyelenggara pemilihan daerah. Aktor kandidat tanpa sadar terjebak dalam labirin imajinasi kekuasaan yang koruptif, sehingga tidak mampu lagi berpikir jernih tentang apa substansi kekuasaan yang dikejarnya: apakah untuk mengabdi (seperti yang dihajatkan oleh rakyat banyak) atau menjadi tapak pertama baginya untuk menguasai sumber-sumberdaya kekayaan di daerah kekuasaannya. Agaknya inilah paradoks berikutnya, sebagai anomali praktik politik demokratis di ranah lokal dalam konteks Pilkada Langsung.

DĞŵĂŚĂŵŝ�<ŽŶƚĞƐƚĂƐŝ�WŽůŝƟŬ�Ěŝ�ZĂŶĂŚ�>ŽŬĂů

Page 99: Pilkada Serentak - Quo Vadis Kedaulatan Rakyat

90

Pilkada Serentak

Page 100: Pilkada Serentak - Quo Vadis Kedaulatan Rakyat

91

Bagian Kelima

Pelajaran dari Pilkada Kalimantan Selatan

Tak syak lagi, demokrasi politik itu gampang diucapkan, dan menarik untuk diperbincangkan. Tapi sesungguhnya demokrasi politik itu dalam praksisnya,

apalagi di Indonesia, lebih banyak menyangkut urusan kepentingan mereka yang punya kuasa atau memiliki akses terhadap kekuasaan. Di luar kelompok elit, adalah kelompok massa yang tidak punya akses terhadap kekuasaan. Kelompok massa tak lebih sekadar penonton, atau kalau pun dilibatkan dalam pusaran politik, mereka biasanya diperalat para elit untuk meraih kekuasaan. Tersebab karena itu, untuk memahami praksis demokrasi politik, suka tidak suka, haruslah rela untuk mencermati perilaku para elit politik, yang dalam perkembangan mutakhir direcoki pula oleh kepentingan para pengusaha yang berminat jadi penguasa. Pilkada Langsung di Kalimantan Selatan sedikit banyak dapat menegaskan ihwal bahwa kontestasi politik tidak hanya sebatas permainan para elit politik, tetapi juga elit ekonomi; dan kelompok oportunis lainnya yang merasa perhelatan Pilkada Langsung itu memberi peluang untuk mengambil keuntungan pribadi.

1. Persoalannya Adalah Rasionalitas Elit Dukungan partai politik adalah modal dasar untuk bisa

maju dalam kontestasi politik ~ karena peraturan perundangan mensyaratkan hal itu. Tetapi, sejak keluarnya Keputusan

Page 101: Pilkada Serentak - Quo Vadis Kedaulatan Rakyat

92

Pilkada Serentak

Mahkamah Konstitusi Nomor 5/PUU-V/2007,1 kandidat yang ingin ikut kontestasi Pilkada Langsung bisa pula memilih jalur non-partai alias jalur independen. Hanya saja, jalur independen itu rupanya masih dianggap pilihan kedua oleh para bakal kandidat. Banyak bakal kandidat lebih tertarik untuk minta dukungan partai politik daripada berusaha memperoleh dukungan langsung dari rakyat yang kelak akan menjadi pemilih. Hal itu diduga karena mereka berpikir, dengan didukung partai politik maka kemungkinan menang dalam Pilkada Langsung lebih terjamin.2 Mereka (seharusnya) dapat mendayagunakan mesin partai, yang punya kader dan pengurus sampai tingkat ranting di desa-desa.

Dalam kontestasi Pilkada Langsung, modal awal tertentu wajib dimiliki oleh seseorang yang akan terjun dalam arena. Modal awal tersebut berbeda-beda bentuk, jenis, dan ukurannya untuk tiap orang. Sebab, ia melekat pada status personalnya, sebagai apa, dan dalam bidang pekerjaan apa. Fungsi modal awal itu terutama adalah untuk menunjukkan posisi tawar yang bersangkutan terhadap partai politik pengusung, yang QRWD�EHQH merupakan “kendaraan politik” untuk menghantarkan dirinya kelak menjadi kandidat dan bisa bertarung dalam arena Pilkada Langsung. Kendati tidak pernah terungkap terang-terangan, tetapi (elit) partai politik tidak akan mengusung seseorang untuk menggunakan partai politik mereka sebagai kendaraan politik jika diperkirakan tidak akan menguntungkan (mereka). Maksudnya, ¿JXU� GLPDNVXG� ELVD� EHUVDLQJ� NRPSHWLWLI� NDUHQD� NDSDELOLWDV�personalnya, dan akhirnya memenangkan kontestasi politik. Atau, ia bisa juga direduksi sebagai memberi manfaat secara ekonomi bagi kelompok elit partai politik yang bersangkutan.

Dalam Pilkada Kalimantan Selatan tahun 2015 dalam rangka memilih gubernur hal itu jelas sekali terlihat dalam promosi sejumlah tokoh populer agar didukung partai politik. Dapat 1 Keputusan Mahkamah Konstitusi itu menjadi dasar diamandemennya UU

32/2004 menjadi Undang-Undang Nomor 12 tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas UU Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, terutama pasal 59 ayat (1) dan ayat (2a); dan kemudian diakomodir pula dalam UU Nomor 8 Tahun 2015 (Pasal 41 ayat 1 dan 2).

2 Pengalaman Pilkada tahun 2010, memang tidak ada satupun kandidat independen di Kalimantan Selatan yang memenangkan kontestasi.

Page 102: Pilkada Serentak - Quo Vadis Kedaulatan Rakyat

93

Pelajaran dari Pilkada Kalimantan Selatan

dicatat, setidak-tidaknya sembilan orang yang diketahui berambisi didukung oleh partai politik untuk bisa maju dalam kontestasi Pilkada (lihat Tabel 2). Hal itu berbeda dengan bakal kandidat yang sedari awal memilih jalur independen. Terbukti hanya dua orang yang berminat mengambil jalur non-partai tersebut, yaitu Muhidin dan Nor Wahidah. Muhidin adalah Walikota Banjarmasin periode 2010-2015. Sedangkan Nor Wahidah yang statusnya adalah Direktur Akademi Kebidanan Marta Berlian Husada Martapura, Kabupaten Banjar, sempat populer sebagai “Galuh Pahuluan”. Nor Wahidah sebagai Ketua Laskar Galuh Pahuluan konon berambisi mendobrak kelompok mapan dalam peta politik lokal.

Tabel 2. Tokoh Populer yang Mengincar Dukungan Partai Politik*)

No Nama Status Aktual

1 AdriansyahAnggota DPR RI dan unsur Pimpinan DPD PDIP Kalimantan Selatan; mantan Bupati Tanah Laut

2 Gusti Iskandar Mantan anggota DPR RI dari Partai Golkar

3 Khairul Saleh Bupati Banjar periode 2010-2015

4 Muhammad Rosehan

Unsur Pimpinan DPD PDIP Kalimantan Selatan; dan mantan Wakil Gubernur Kalimantan Selatan periode 2005-2010

5 Rudy Resnawan Wakil Gubernur Kalimantan Selatan periode 2010-2015

6 Sahbirin Noor Pengusaha batubara

7 Sjachrani MatajaUnsur Pimpinan DPW Partai Gerindra Kalimantan Selatan; dan Mantan Bupati Kotabaru

8 Syaifullah Tamliha

Anggota DPR RI; dan Wakil Sekretaris Jenderal DPP PPP.

9 Zairullah AzharAnggota DPR RI; dan Ketua DPW PKB Kalimantan Selatan; mantan Bupati Tanah Bumbu

*) Tanda-tanda yang bersangkutan berambisi adalah memasang sejumlah baliho jauh hari sebelum masa pecalonan kandidat oleh partai politik; dan sebagian di antaranya terang-terangan mohon dukungan masyarakat untuk menjadi bakal kandidat Gubernur Kalimantan Selatan 2016-2021.

Page 103: Pilkada Serentak - Quo Vadis Kedaulatan Rakyat

94

Pilkada Serentak

Namun, dalam perjalanan dinamika politik lokal menjelang Pilkada Langsung di Kalimantan Selatan, sesuatu hal yang tidak masuk akal ternyata bisa saja terjadi. Figur yang punya popularis PRQFHU belum tentu menarik minat elit partai politik untuk mendukungnya. Hal itu misalnya dialami oleh Adriansyah dan Sjachrani Mataja. Adriansyah bahkan mengalami nasib tragis, karena di saat sedang menjajaki dukungan PDIP, justru dia tersangkut masalah suap perizinan tambang dan tertangkap tangan oleh aparat KPK pada tanggal 9 April 2015 saat yang bersangkutan menghadiri Kongres PDIP di Bali.3 Sedangkan Sjachrani Mataja, konon, tidak mendapatkan “restu” dari DPP Partai Gerindra, dan terpaksa menarik diri dari bursa bakal kandidat gubernur.

Adapun Muhammad Rosehan, menurut banyak pengamat lokal, seperti terlalu percaya diri dengan popularitasnya. Rosehan yang pernah gagal dalam Pilkada tahun 2010, ketika berpasangan dengan Saiful Rasyid (Bupati Hulu Sungai Tengah kala itu), rupanya tak pernah putus harapan untuk didukung partai politik. Bahkan ketika belum ada kepastian dukungan partai-partai politik, Rosehan dengan gagah berani memasang baliho besar di mana-mana, seolah-olah mendapatkan dukungan PDIP dan Partai Nasdem. Hal itu terbaca dari baliho yang menampilkan dirinya berpasangan dengan Zaiful Aswat (sekretaris DPW Partai Nasdem Kalimantan Selatan). Namun, rupanya langkah politik pasangan Rosehan dan Zaiful itu rupanya tak direstui oleh para petinggi partai masing-masing. Bahkan Zaiful Aswat akhirnya dipecat sebagai Sekretaris DPW Partai Nasdem Kalimantan Selatan. Sedangkan Syaifullah Tamliha lain lagi nasibnya. Upaya promosi yang dilakukan oleh politisi kawakan ini rupanya “tidak bersahut” dengan keinginan para petinggi DPW PPP Kalimantan Selatan.4 3 Atas dakwaan menerima suap Rp 1 milyar lebih dari Andrew Hidayat (bos PT

Mitra Maju Sukses), Adriansyah akhirnya divonis hukuman 3 tahun penjara oleh majelis hakim pengadilan Tipikor (Tindak Pidana Korupsi) Jakarta (Banjarmasin Post, 24 November 2015).

4 Entah mengapa nampaknya Syaifullah Tamliha tidak begitu disukai oleh DPW PPP Kalimantan Selatan. Padahal Syaifullah Tamliha pernah menjabat 6HNUHWDULV� 8PXP� '3:� 333�� NHWLND� NHWXDQ\D� GLSHJDQJ� ROHK� � 5XG\� $ULI¿Q��Gubernur Kalimantan Selatan 2010-2015. Hal itu misalnya terlihat dalam kasus “penolakan” DPW PPP Kalimantan Selatan atas lamaran Syaifullah Tamliha untuk menjadi bakal calon gubernur, dengan alasan masa pendaftaran sudah ditutup (Banjarmasin Post, 2 April 2015).

Page 104: Pilkada Serentak - Quo Vadis Kedaulatan Rakyat

95

Pelajaran dari Pilkada Kalimantan Selatan

Padahal Syaifullah Tamliha diketahui sudah memasang baliho besar di tempat-tempat strategis untuk minta restu masyarakat Kalimantan Selatan menjadi bakal kandidat Gubernur Kalimantan Selatan dengan latar belakang warna hijau (PPP); serta menggarap jaringan pendukung di berbagai daerah.5

1DPXQ� GL� DQWDUD� ¿JXU� SRSXOHU� \DQJ� JDJDO� PHQGDSDWNDQ�dukungan partai politik, dan terasa pahit sekali, adalah dialami oleh Khairul Saleh. Bupati Banjar yang juga dikenal sebagai Sultan .HVXOWDQDQ�%DQMDU�LWX��EDUDQJNDOL�¿JXU�SDOLQJ�SRSXOHU�GDUL�VHOXUXK�tokoh lokal yang berambisi jadi gubernur. Sekitar dua tahun sebelum masa pendaftaran kandidat gubernur, Khairul Saleh sudah melakukan berbagai persiapan dan sosialiasi bahwa dirinya DGDODK�¿JXU�\DQJ�SDOLQJ�OD\DN�MDGL�*XEHUQXU�.DOLPDQWDQ�6HODWDQ�yang akan datang. Bahkan gelar Sultan Banjar dan upayanya untuk menghidupkan kembali situs Kerajaan Banjar yang sudah punah diduga banyak pihak adalah persiapan dalam rangka ambisi politik tersebut.6 Popularitas Khairul Saleh ternyata kemudian diimbangi pula dengan tingkat keterpilihan (elektabilitas) yang tinggi, jikalau diadakan Pilkada Langsung saat itu.7 Tapi apa lacur yang terjadi, ternyata tidak ada satu partai politik besar pun yang pada akhirnya menyatakan dukungan kepadanya untuk menjadi kandidat gubernur Kalimantan Selatan.8 Satu-satunya partai politik yang secara terang-terangan mendukungnya adalah Partai

5 Lihat berita harian Banjarmasin Post tanggal 21 Mei 2015. 6 Sejak tahun 2000 Khairul Saleh, yang mengaku keturunan Kerajaan Banjar, telah

merintis upaya membangkitkan kembali citra Kesultanan Banjar yang sudah punah. Hal itu dimulai dengan pengakuan atas status dirinya sebagai “Pangeran”, peningkatan dari status Gusti yang disandangnya sejak lahir. Status Pangeran itu pun meningkat menjadi Raja Muda pada tahun 2010. Dan pada tahun 2013, melalui acara ritual yang meriah, Khairul Saleh ditahbiskan jadi Sultan. Sebagai Bupati Kabupaten Banjar, dia dengan cukup mudah menyelenggarakan acara-acara seremonial yang melibatkan aparat pegawai Pemda Kabupaten Banjar. Bahkan dalam perkembangan mutakhir, sejumlah Kepala Daerah (terutama bupati di kawasan Banua Anam) diberinya gelar bangsawan Banjar; yang dapat ditafsirkan sebagai upaya membangun jejaring sosial.

7 Terlepas dari bagaimana kredibilitas lembaga survai yang mengadakan jajak pendapat, tingginya tingkat elektabilitas Khairul Saleh cukup masuk akal, sehubungan dengan begitu gencarnya sosialisasi yang telah dilakukan selama jangka waktu dua tahun terakhir masa jabatannya.

8 Harian Banjarmasin Post, 29 Juli 2015.

Page 105: Pilkada Serentak - Quo Vadis Kedaulatan Rakyat

96

Pilkada Serentak

Bulan Bintang (PBB). Tetapi PBB adalah partai gurem yang tidak punya kursi di DPRD Kalimantan Selatan.

Fenomena politik lokal yang mencerminkan adanya anomali itu ternyata berfokus pada satu fakta, bahwa sejumlah elit yang memimpin partai politik rupanya semacam bersepakat untuk “QJOXUXN” memberi dukungan kepada Sahbirin Noor.9 Kecuali PKB, Partai Nasdem dan Partai Demokrat, seluruh elit pengurus partai politik yang mempunyai kursi di DPRD Kalimantan Selatan menyatakan mendukung pengusaha batubara tersebut.10 0DFDP�PDFDP� DOLEL� XQWXN� PHQMXVWL¿NDVL� GXNXQJDQ� SROLWLN� LWX��Ada elit politik lokal yang beralibi bahwa dukungan terhadap Sahbirin Noor telah ditentukan oleh pihak DPP, dan mereka yang berada di tingkat DPW/DPD harus manut. Tetapi ada pula yang memberikan alasan bahwa Sahbirin Noor yang berpasangan GHQJDQ�5XG\�5HVQDZDQ�LWX�DGDODK�¿JXU�WHUEDLN�\DQJ�EHUSHOXDQJ�lebih besar untuk memenangkan kontestasi Pilkada.11 Namun apapun alasan dan jawaban yang diberikan oleh para politisi yang mengurus partai politik itu, nyaris semua pengamat politik lokal bertanya-tanya, apa gerangan “faktor X” yang dimiliki Sahbirin Noor sehingga dia mampu “memborong” partai politik.

Pertunjukkan drama dukung mendukung bakal kandidat yang akan bertarung dalam Pilkada Langsung di Kalimantan Selatan mencapai klimaksnya ketika masuk dalam tahapan pendaftaran kandidat di kantor KPU. Pasangan yang pertama kali mendaftar

9 Sahbirin Noor adalah Direktur PT Jhonlin Sasangga Banua yang bergerak di bidang jasa pengamanan (security services) yang berkaitan langsung dengan PT. Jhonlin Baratama yang bergelut di bidang usaha pertambangan batubara. Group Usaha Jhonlin sendiri diketahui dimiliki H. Syamsuddin atau H. Isam, pengusaha yang beralamat di kabupaten Tanah Bumbu.

10 Suka atau tidak suka, Sahbirin Noor memberi kesan “memborong partai” (Lihat Borneo News, 15 Juli 2015.

11�6D\D�JDJDO�SDKDP�NHWLND�PHQFRED�PHPDKDPL�LVWLODK�³¿JXU�WHUEDLN´�GHQJDQ�NULWHULD�tingkat pendidikan dan pengalaman kerja di birokrasi daerah, atau bahkan rekam jejaknya sebagai politisi. Sahbirin Noor seperti termuat data Riwayat Hidupnya, hanya pernah menjadi lurah dan sekretaris kecamatan di Banjarmasin; dan tidak pernah jadi pengurus partai politik. Bandingkan dengan bakal kandidat lainnya yang pernah jadi bupati atau bahkan wakil gubernur dan menjadi elit pengurus partai. Jadi, parameter apa yang digunakan untuk menunjukkan Sahbirin Noor “lebih baik” daripada bakal kandidat yang lain, yang juga berminat didukung partai politik yang sama. Menurut saya, tidak jelas.

Page 106: Pilkada Serentak - Quo Vadis Kedaulatan Rakyat

97

Pelajaran dari Pilkada Kalimantan Selatan

adalah pasangan Zairullah Azhar dan Muhammad Sapii. Zairullah Azhar pernah bertarung dalam kontestasi Pilkada Kalimantan Selatan tahun 2010, ketika berpasangan dengan Habib Aboebakar, GDQ� NDODK�PHODZDQ� NDQGLGDW� LQNXPEDQ� �5XG\� $ULɤQ�� NDOD� LWX��Kali ini Zairullah Azhar menggandeng Muhammad Sapii, mantan bupati Hulu Sungai Selatan dua periode. Pasangan ini diketahui didukung PKB, Partai Nasdem, dan Partai Demokrat. Pasangan ini berhak mendaftar setelah pada detik-detik terakhir mendapatkan kepastian dukungan dari Partai Demokrat, karena sebelumnya dikabarkan tidak mencukupi syarat akibat dukungan dari Partai Hanura batal diperoleh, sehingga jumlah minimal dukungan partai politik tidak terpenuhi.12

Pendaftar kedua dapat ditebak adalah pemborong partai politik, yakni Sahbirin Noor yang berpasangan dengan Rudy Resnawan, Wakil Gubernur inkumban. Pilihan rasional Rudy Resnawan banyak tidak dipahami publik. Bagaimana mungkin seorang Wakil Gubernur inkumban kembali bertarung jadi kandidat Wakil Gubernur? Lagipula dia sekarang bertarung untuk posisi menjadi wakil dari Sahbirin Noor, yang tidak memiliki rekam jejak memadai di bidang birokrasi pemerintahan daerah. Namun kalau argumentasi Rudy Resnawan berkaitan dengan alasan rasional, misalnya: GDULSDGD� WLGDN� GDSDW� PHQFDORQNDQ�GLUL�VDPD�VHNDOL��NDUHQD�IDNWDQ\D�VHOXUXK�SDUWDL�VXGDK�GLNXDVDL�RUDQJ�ODLQ; mungkin akan memberi kesan bahwa dia adalah orang oportunis yang haus kekuasaan belaka.13

Sedangkan pendaftar ketiga adalah pasangan Muhidin dan Gusti Farid Hasan Aman, anggota DPD RI dari Kalimantan Selatan. Gusti Farid pernah mencalonkan diri sebagai Wakil Gubernur pada Pilkada tahun 2010 bersama dengan Sjachrani Mataja, dan

12 Zairullah Azhar pada mulanya sudah mendapatkan kepastian dukungan DPD Partai Hanura, bahkan konon sampai ke tingkat DPP di Jakarta (Banjarmasin Post, 8 Juni 2015); tapi entah mengapa, tiba-tiba dukungan Partai Hanura itu berpindah ke Sahbirin Noor (Banjarmasin Post, 27 Juli 2015).

13 Lihat misalnya “curahan hati” Rudy Resnawan yang dimuat harian Banjarmasin Post tanggal 15 Juli 2015. Saya tidak sempat bertemu dengan Rudy Resnawan, NDUHQD� LWX� WLGDN� GDSDW� PHPEXDW� NODUL¿NDVL� PHQJDSD� GLD� EHUVHGLD� MDGL� ZDNLO�Sahbirin Noor. Saya asumsikan, biarlah hanya Tuhan dan dia sendiri yang tahu alasannya.

Page 107: Pilkada Serentak - Quo Vadis Kedaulatan Rakyat

98

Pilkada Serentak

gagal menang. Bersama dengan Muhidin, kali ini Gusti Farid menempuh jalur independen. Pasangan Muhidin-Gusti Farid ini dengan percaya diri maju dalam kontestasi Pilkada Langsung dan mengusung WDJ� OLQH “Asli Dukungan Rakyat”. Muhidin berbeda nasib dengan Noor Wahidah, yang gagal maju dalam kontestasi Pilkada Kalimantan Selatan karena “ditipu” oleh para broker pengepul suara.14 Kasusnya sempat jadi insiden di KPUD Kalimantan Selatan, karena tim sukses Galuh Pahuluan sempat bersikeras ingin menarik kembai berkas yang telah disetorkan.15

Pilihan Muhidin untuk menempuh jalur independen sebenarnya merupakan gejala anomali, kalau dikaitkan dengan latar belakang politik Walikota Banjarmasin itu. Sebelum jadi Walikota Banjarmasin, Muhidin lebih dikenal sebagai pengusaha batubara yang sukses. Itulah sebabnya dia didapuk jadi ketua DPW Partai Bintang Reformasi (PBR), karena partai baru itu butuh tokoh yang mampu menghidupi partai di masa awal berdirinya. Sempat jadi anggota DPRD Kota Banjarmasin, mewakili PBR, pada Pilkada tahun 2010 Muhidin berhasil memenangkan kontestasi, dan menjadi Walikota Banjarmasin periode 2010-2015. Di saat menjabat Walikota Banjarmasin itu Muhidin dapat mengambil alih kepemimpinan DPW PAN Kalimantan Selatan, yang sempat bermasalah karena kasus Pilkada Kalimantan Selatan.16 Tapi Muhidin tidak terlalu lama menjabat sebagai ketua DPW PAN, dan mengundurkan diri dari DPW PAN Kalimantan Selatan. Sejak 14 Nor Wahidah resmi “mengundurkan diri” sebagai calon Gubernur Kalimantan

Selatan, setelah dinyatakan tidak memenuhi syarat kandidat independen oleh KPUD Kalimantan Selatan (Banjarmasin Post, 16 Juni 2015); padahal yang bersangkutan sudah mengikuti tes kesehatan dan tes bebas narkoba (lihat berita di harian Banjarmasin Post tanggal 11 Juni 2015).

15 Galuh Pahuluan ini rencananya akan berpasangan dengan Hasrudin HN, seorang pengusaha. Mereka mengaku sudah menyerahkan berkas dukungan sebanyak 352.463 fotokopi KTP. Ternyata yang dilaporkan sebagai fotocopy KTP itu sebagian besar hanya berupa kertas HVS kosong, yang jumlahnya mencapai 100 rim ukuran A4 (Banjarmasin Post, 13 Juni 2015).

16 Ketua DPW PAN Kalimantan Selatan saat itu adalah Yudhi Wahyudi, Walikota Banjarmasin periode 2005-2010. Tetapi kepemimpinan Yudhi Wahyuni “dibekukan” oleh DPP PAN, karena dianggap berani melangkahi kekuasaan DPP dalam pencalonan Sjachrani Mataja sebagai kandidat gubernur yang diusung PAN, ketika itu. Sejak kasus tersebut, DPW PAN Kalimantan Selatan dipimpin oleh caretaker, sampai akhirnya Muhidin terpilih sebagai pemimpin DPW PAN yang baru.

Page 108: Pilkada Serentak - Quo Vadis Kedaulatan Rakyat

99

Pelajaran dari Pilkada Kalimantan Selatan

saat itulah Muhidin nampaknya alergi berhubungan dengan partai politik, dan mungkin tersebab karena itu dia lalu memilih jalur independen.

Ketika masa pendaftaran bakal kandidat nyaris ditutup, tiba-tiba muncul pasangan kandidat dadakan yang kemunculannya di luar perkiraan banyak pengamat lokal. Pasangan yang mendaftar terakhir itu adalah Gusti Iskandar dan Karyono Ibnu Ahmad (seorang guru besar pendidikan dari Universitas Lambung Mangkurat, yang dikenal juga sebagai penceramah kondang). Pasangan ini mencoba maju bertarung dengan mengandalkan dukungan DPP Partai Golkar versi musyawarah nasional Ancol.17 Tetapi, oleh pihak KPUD Kalimantan Selatan, hasrat politik pasangan ini rupanya tidak ditanggapi positif dengan alasan, KPUD hanya bisa menerima pendaftaran yang didukung oleh DPP dua kubu partai yang berseteru.18 Alasan KPUD itu tentu saja tidak diterima oleh pihak Gusti Iskandar yang mencoba menggugat KPUD Kalimantan Selatan ke Bawaslu.19 Tapi apalah daya seorang bakal kandidat ketika yang punya kuasa menentukan persyaratan bersikukuh untuk taat pada aturan tertulis. Padahal Gusti Iskandar sudah mendapatkan “dukungan” kalangan pondok pesantren,20 dan pada baliho besar yang banyak dipajang di lokasi-lokasi strategis sudah menyampaikan WDJ� OLQH yang sangat provokatif, karena berbunyi: “Harapan Baru Kalimantan Selatan”.

2. Trik Kampanye Membangun Simpati Massa

Pilkada Langsung adalah kontestasi politik yang menganut sistem pertarungan terbuka dimana para pihak sebenarnya dimungkinkan untuk mengerahkan segala sumberdaya yang dimiliki dan dapat diaksesnya untuk memenangkan kontestasi. Tersebab karena itu, para kandidat harus pandai-pandai bersiasat 17 Seperti diketahui umum, Partai Golkar terbelah antara Partai Golkar hasil

musyawarah nasional Bali yang mengesahkan kepemimpinan Aburizal Bakri, dan Partai Golkar hasil musyawarah nasional Ancol yang mengesahkan kepemimpinan Agung Laksono. Kubu Agung Laksono kemudian mendapatkan OHJDOLWDV� GDUL� 0HQNXP� +$0�� 7DSL� NRQÀLN� LQWHUQDO� 3DUWDL� *RONDU� WHUXV� EHUJXOLU�hingga masa pendaftaran kandidat Pilkada Langsung.

18 Lihat harian Banjarmasin Post, 29 Juli 2015. 19 Lihat harian Banjarmasin Post, 31 Juli 2015. 20 Lihat misalnya berita di harian Banjarmasin Post, 2 Juli 2015.

Page 109: Pilkada Serentak - Quo Vadis Kedaulatan Rakyat

100

Pilkada Serentak

agar jangan sampai salah langkah. Apalagi, sedikit banyak disadari, bahwa kontestasi Pilkada Langsung tahun 2015 dinilai lebih berat daripada Pilkada-Pilkada sebelumnya. Ada tiga perkara yang menyebabkan Pilkada kali ini lebih berat di mata kandidat. 3HUWDPD, nyaris semua kandidat mengetahui belaka semua trik politik untuk merayu konstituen, sehingga boleh jadi tidak ada kandidat yang unggul dalam hal penguasaan trik. Hal itu terjadi karena masing-masing kandidat belajar dari pengalaman kandidat yang bersaing dalam Pilkada sebelumnya. Mereka juga biasanya punya tim sukses yang sudah berpengalaman “mensukseskan” kandidat yang bertarung dalam kontestasi politik lokal.

.HGXD, para kandidat menghadapi kelompok konstituen yang relatif sudah lebih pintar membaca kampanye politik para kandidat. Walaupun barangkali belum dapat dikategorikan sebagai “melek politik”, umumnya kelompok konstituen tidak mudah lagi dirayu, tanpa rasionalitas tertentu. Padahal untuk itu dibutuhkan siasat yang berkaitan dengan pilihan rasional konstituen: NHXQWXQJDQ�DSD� \DQJ� PHUHND� GDSDWNDQ� GDSDELOD� PHQGXNXQJ� VHVHRUDQJ�NDQGLGDW��GDQ�WLGDN�PHQGXNXQJ�NDQGLGDW�ODLQQ\D�

.HWLJD, diam-diam para kandidat menyadari kelemahan masing-masing dalam hal menanam budi sosial kepada masyarakat pemilih. Faktanya, tidak ada seorang pun kandidat yang benar-benar dipuja sebagai pemimpin masyarakat, dan kelompok masyarakat itu dengan suka rela mendukungnya jadi Kepala Daerah.

Tersebab karena alasan obyektif itulah beberapa kandidat lalu berupaya habis-habisan dengan cara mengerahkan segala modal (ekonomi, sosial, kultural, dan simbolik) yang dimiliki untuk memenangkan kontestasi. Dalam hal modal ekonomi, telah dikerahkan sejak mereka berusaha jadi bakal kandidat, baik yang menempuh jalur partai politik maupun jalur independen. Bagi kandidat yang memilih jalur partai politik, mereka terpaksa harus membayar “mahar” yang diistilahkan dalam bahasa Banjar dengan sebutan “jukung politik”.21 Namun, tidak ada kandidat yang secara 21 Menurut sumber informasi yang layak dipercaya, harga “jukung politik” itu berkisar

antara Rp 5 milyar hingga Rp 10 milyar sebagai konversi harga satu kursi DPRD

Page 110: Pilkada Serentak - Quo Vadis Kedaulatan Rakyat

101

Pelajaran dari Pilkada Kalimantan Selatan

terang-terangan mengaku, berapa “mahar” yang dibayarnya untuk mendapatkan dukungan partai politik. Apalagi para elit yang jadi pengurus partai politik, dengan wajah tak berdosa umumnya menampik ada mahar, dan berujar bahwa dukungan politik partainya tanpa EDUWHU tertentu.

Sedangkan bagi bakal kandidat yang menampuh jalur independen, bukan berarti bebas biaya dukungan politik. Memang massa pendukung tidak meminta mahar seperti para politisi pengurus partai politik. Tetapi, melalui para EURNHU�fotocopy KTP, bakal kandidat harus menyediakan juga dana untuk biaya fotocopy KTP.22 Dan jumlah dana yang harus disediakan lumayan besar, meskipun jelas lebih rendah daripada kalau harus membayar mahar kepada partai politik.

Para kandidat juga mendayagunakan modal sosial masing-masing.23 Muhidin diuntungkan dengan statusnya sebagai Walikota Banjarmasin. Lima tahun sebagai walikota, Muhidin cukup pandai untuk menjalin hubungan baik dengan kelompok konstituen. Sedangkan Zairullah Azhar, mungkin belajar dari pengalamannya kalah dalam Pilkada tahun 2010, sengaja membangun jejaring sosial dengan menjadi ketua DPW PKB Kalimantan Selatan dan menjadi anggota DPR RI. Adapun Sahbirin Noor, sengaja membuat LSM Gema-KMS (Gerakan Masyarakat Kalsel Maju Sejahtera). Gema KMS mulai dipopulerkan sejak dua tahun menjelang Pilkada Langsung tahun 2015 dengan mensponsori banyak kegiatan sosial dan keagamaan. Bahkan bulan ramadhan tahun 2015 Gema KMS bekerja sama dengan Partai Keadilan Sejahtera menyelenggarakan

Provinsi, tergantung negosiasi. Celakanya, karena ”mahar politik” itu biasanya bukanlah transaksi terbuka, sehingga ada kasus beberapa kandidat yang sudah membayar “uang muka” tetapi tetap juga tidak mendapatkan dukungan politik dan uang yang disetorkan tidak bisa ditarik kembali. Uang muka tidak mungkin ditarik kembali, dan tidak ada bukti tanda terimanya.

22 Kandidat yang menempuh jalur independen rata-rata harus mengeluarkan biaya sebesar Rp 50 ribu untuk biaya satu fotocopy KTP. Biaya tersebut diberikan kepada broker atau pengepul yang sudah dipercaya untuk menjadi perantara kandidat dengan penduduk di daerah tertentu.

23 Modal sosial adalah jejaring sosial yang dapat dibangun oleh seseorang yang mempengaruhi pandangan orang-orang lainnya tentang eksistensi dirinya di ranah publik.

Page 111: Pilkada Serentak - Quo Vadis Kedaulatan Rakyat

102

Pilkada Serentak

“Pasar Murah Paman Birin” di seluruh Kabupaten/Kota di Kalimantan Selatan.24

Dalam hal modal kultural, seluruh kandidat diketahui punya kelemahan dan kelebihan masing-masing. Modal kultural adalah sumberdaya yang mencakup pengetahuan dan pengalaman seseorang atau citra kultural tertentu, dan status yang didasarkan DWDV� NXDOL¿NDVL� IRUPDO� GL� ELGDQJ� SHQGLGLNDQ�� 6HPXD� NDQGLGDW�rata-rata berpendidikan sarjana, kecuali Muhammad Sapii yang nampaknya lebih tinggi dari kandidat lainnya, karena bergelar doktor. Muhidin, sebagai walikota Banjarmasin, berhasil menunjukkan prestasinya sebagai seorang Kepala Daerah. Prestasi yang diandalkan Muhidin misalnya membangun siring sungai Martapura, sungai yang membelah Kota Banjarmasin. Juga membangun “Menara Pandang”, sebuah bangunan megah di tepian sungai Martapura.25 Bahkan di penghujung masa jabatannya, Muhidin bisa berbangga hati dapat menyelesaikan pembangunan terminal kota di KM 6 yang sudah lama terkatung-katung sejak periode pejabat walikota sebelum dia. Dan puncaknya adalah diberikannya penghargaan Piala Adipura untuk Kota Banjarmasin. Sedangkan Zairullah Azhar masih mengandalkan citra sebagai pengayom anak yatim, dermawan dan dekat dengan kaum ulama. Apalagi dengan statusnya sebagai ketua DPW PKB, yang merupakan partainya para ulama NU.

Sedangkan dalam hal modal simbolik,26 rata-rata semua kandidat mengandalkan pengaruh Tuan Guru. Kharisma Tuan Guru sengaja mereka eksploitasi untuk merayu para jamaah Tuan Guru yang bersangkutan, dan kelompok konstituen yang fanatik

24 “Pasar Murah Paman Birin” itu sengaja menjual murah paket sembako bernilai Rp 50 ribu hanya seharga Rp 20 ribu, dan disebarkan sebanyak 75.000 paket (lihat advetorial di harian Banjarmasin Post, 29 Juni 2015).

25 Sekadar catatan: saya terus terang tak begitu paham, apa fungsinya Menara Pandang itu. Karena kalau bangunan tersebut dimaksudkan untuk menikmati pemandangan Kota Banjarmasin, saya tidak dapat menemukan sudut kota mana dari Kota Banjarmasin yang enak dipandang. Pusat Kota Banjarmasin masih dipenuhi oleh bangunan beratap seng dari lingkungan slum area.

26�3HU�GH¿QLVL��PRGDO�VLPEROLN�DGDODK�OHJLWLPDVL�\DQJ�GLPLOLNL�ROHK�VHVHRUDQJ�NDUHQD�adanya diferensiasi sosial dan pemahaman kategoris bahwa ada kelebihan QLU¿VLN� SDGD� GLUL� VHVHRUDQJ� GDULSDGD� \DQJ� ODLQQ\D�� GDQ� NDUHQD� OHJLWLPDVL� LWX�seseorang dapat menunjukkan dominasinya.

Page 112: Pilkada Serentak - Quo Vadis Kedaulatan Rakyat

103

Pelajaran dari Pilkada Kalimantan Selatan

terhadap dengan kharisma Tuan Guru. Para kandidat, tanpa kecuali, lalu mencitrakan dekat dengan para Tuan Guru yang merupakan pemimpin alim ulama ~ yang secara umum dikategorikan sebagai orang shaleh yang selayaknya dimuliakan. Misal bahwa kandidat yang dekat dengan Tuan Guru itu sebenarnya bajingan, adalah hal lain.

Dalam konteks modal simbolik, pasangan Sahbirin Noor dan Rudy Resnawan boleh jadi selangkah lebih maju dalam menafsirkannya, yakni dengan mencoba mengeksploitasi sentimen etnisitas berupa WDJ� OLQH “Nyata Asli Urang Banua”27 ~ mungkin dengan maksud ingin mengulang kisah sukses pasangan Dua Rudy yang pada Pilkada tahun 2010 menggunakan WDJ�OLQH “Asli Urang Banua”. Dengan menggunakan WDJ�OLQH tersebut, pasangan Sahbirin dan Rudy Resnawan seakan-akan menyatakan bahwa hanya dirinya yang patut disebut sebagai pasangan yang mewakili penduduk asli Kalimantan Selatan, dan karena itu layak dipilih.

Semua pencitraan politik itu pada dasarnya palsu, dan cenderung menipu konstituen. Tetapi kalau kita merujuk pada Bourdieu, hal yang agak absurd itu adalah merupakan tindakan rasional dari para kandidat juga adanya. Bagi kebanyakan kandidat, apa yang mungkin “tidak normal” menurut norma sosial akan diambil sebagai tindakan politik apabila ia dapat menyebabkan kemenangan berpihak pada dirinya.28 Bahkan diam-diam ada kesadaran akan pentingnya pencitraan politik, sebab beberapa kandidat merasakan tingkat popularitasnya meningkat pesat, walaupun tidak berarti tingkat elektabilitasnya juga demikian.

27�$UWL�KDU¿DKQ\D�DGDODK�³%HQDU�EHQDU�$VOL�2UDQJ�%DQMDU´��6D\D�LQJLQ�EHUSHQGDSDW��bahwa bunyi tag line itu sebenarnya sebuah contoh salah kaprah. Betapa tidak, apa tolok ukur dari “keaslian” etnis Banjar? Siapa yang lebih asli di antara pasangan yang berkontestasi? Siapa yang kurang asli, atau mungkin termasuk kategori palsu. Bahkan bunyi tag line itu bisa dikategorikan mengandung unsur SARA. Tapi sayangnya pihak Bawaslu tidak menegur pasangan yang menggunakan tag line tersebut.

28 Bourdieu mendeskripsikan gejala tersebut dengan istilah hysteresis. Yaitu suatu situasi atau kondisi yang ‘terpaksa’ diterima seseorang kendati tidak berkesesuaian dengan norma atau nilai sosial yang berlaku (Lihat Bourdieu, 1977, halaman 83; juga Bourdieu, 1984, halaman 142).

Page 113: Pilkada Serentak - Quo Vadis Kedaulatan Rakyat

104

Pilkada Serentak

3. Pada Akhirnya Pemenangnya Adalah “Anti Klimaks”

Ada keganjilan dalam penyelenggaraan Pilkada Langsung di tahun 2015, jika dibandingkan dengan Pilkada Langsung periode sebelumnya, misalnya tahun 2010 dan 2005. Kalau dalam Pilkada tahun 2005 dan 2010, segala lapisan masyarakat nampak antusias sekali menyambut acara “pesta demokrasi” tersebut,29 maka kondisi yang kontras terjadi dalam Pilkada tahun 2015. Pilkada Langsung tahun 2015 cenderung “adem ayem”. Hal itu terlihat sekali dari tidak adanya mobilisasi massa pendukung kandidat. Juga tidak ada kampanye di panggung terbuka yang (sebelumnya) seringkali dimeriahkan oleh pertunjukan musik dengan mengundang artis terkenal dari Ibukota. Dan yang paling mencolok adalah tidak ada lagi perang baliho, yang pada Pilkada sebelumnya acapkali memenuhi segala sudut kota. Satu-satunya media komunikasi yang menunjukkan kehebohan Pilkada Langsung adalah “medsos” alias media sosial seperti IDFHERRN��WZLWWHU��%%0��:KDWV$SS, dan lain-lain sejenisnya. Melalui PHGVRV tersebut, para pendukung saling “perang kata-kata” dan gambar yang memojokkan lawan politiknya. Tetapi, persoalannya, berapa banyak pengikut medsos itu; dan sebenarnya belum teruji kecanggihan komunikasi politik melalui teknologi maya tersebut sebagai wahana kampanye.

Akibat dari kebijakan KPU yang membatasi kampanye dan alat peraga kampanye hanya boleh digunakan yang difasilitasi oleh KPUD, “kemeriahan” Pilkada Langsung tahun 2015 jelas tereduksi menjadi acara yang serius dan hambar. Suka atau tidak, keseriusan muncul karena para kandidat yang melakukan “EOXVXNDQ” harus hati-hati dalam berkampanye agar tidak kena semprit Bawaslu yang punya kaki tangan petugas Panwas Pilkada di tingkat kecamatan. Sedangkan suasana jadi hambar karena dalam setiap kali acara “tatap muka” antara kandidat dengan kelompok konstituen ~ misalnya dalam acara selamatan atau sekadar silaturahmi ~ jumlah yang hadir seringkali di bawah seratusan 29 Lihat dinamika politik lokal ketika Pilkada Kalimantan Selatan tahun 2005 dan

2010 dalam Mukhtar Sarman, 2005. Menuju Puncak Kekuasaan: Catatan Ringan dari Pilkada Kalimantan Selatan Tahun 2005; dan Mukhtar Sarman, 2010. Pemilukada-Kada: Waham Seputar Pilkada Kalsel 2010. (Pusat Kajian Kebijakan Pembangunan Daerah Universitas Lambung Mangkurat).

Page 114: Pilkada Serentak - Quo Vadis Kedaulatan Rakyat

105

Pelajaran dari Pilkada Kalimantan Selatan

orang. Umumnya konstituen yang hadir manggut-manggut, seolah menyimak sepatah dua patah kata kandidat yang menyampaikan visi misinya, tetapi sebenarnya mereka sekadar menunggu amplop yang akan diberikan kemudian setelah acara selesai.

Apakah pemberian amplop (baca: uang hadir) oleh kandidat (dan atau Tim Suksesnya) pada acara silaturami politik itu dapat dikategorikan praktik politik uang? Saya ingin berpendapat, tidak. Sebab, secara kultural sudah sepatutnya seseorang yang mengundang memberikan sekadar uang sebagai tanda terima kasih kepada mereka yang hadir dalam suatu acara pertemuan, dan hadirin pun tidak tercela untuk menerima uang pemberian itu. Lalu bagaimana dengan kasus pemberian uang kepada konstituen sebelum hari pemungutan suara? Saya punya penjelasan sebagai berikut: apabila pemberian uang tersebut hanya sekadar pemberian uang agar seseorang mau datang ke tempat pemungutan suara (TPS), tidaklah dapat dikategorikan sebagai praktik politik uang. Namun, apabila pemberian uang tersebut dengan prasyarat bahwa yang menerimanya harus memilih kandidat tertentu, maka pemberian uang tersebut jelas adalah tindakan suap yang termasuk dalam kategori praktik politik uang.

Sungguh pun demikian, tentu saja kandidat (dan atau Tim Suksesnya) tidak begitu tolol untuk memberikan uang begitu saja tanpa pesan tertentu yang dapat ditafsirkan sebagai permintaan tolong agar (hanya) memilih kandidat tertentu saja. Dalam hal itu, saya ingin berpendapat: apabila konstituen yang menerima uang tidak memenuhi permintaan yang memberi uang agar (hanya) memilih kandidat tertentu, maka pemberian uang tersebut tidak bisa dikategorikan sebagai praktik politik uang. Pokok masalahnya adalah, yang menerima uang jelas tidak bermoral, dan yang memberikan uang mengalami semacam delik penipuan. Itu saja.

Saya ingin berpendapat lebih lanjut, bahwa masalah moral adalah persoalan baik dan buruk. Ia berbeda perspektifnya dengan aturan hukum yang berdasarkan logika benar dan salah. Jikalau ada aturan, seseorang kandidat dilarang menjanjikan atau memberikan uang agar konstituen hanya memilih dirinya dalam pemungutan suara; maka barang siapa melanggar ketentuan

Page 115: Pilkada Serentak - Quo Vadis Kedaulatan Rakyat

106

Pilkada Serentak

aturan tersebut dapat dikenai hukuman bersalah dan dapat dikenakan sanksi. Akan tetapi kalau pemberian (dan penerimaan) “uang politik” dilihat dari perspektif normatif, baik dan buruk, saya berpendapat hal itu adalah tindakan yang buruk. Kandidat yang melakukan hal itu tidak sepatutnya dipilih. Dan yang menerima pemberian uang suap itu bukan hanya tidak bermoral, tapi juga berdosa ~ karena menerima uang yang tidak halal, atau sekurang-kurangnya “V\XEKDW” (hal yang sebaiknya dihindari).

Tersebab karena itu, saya berpendapat apa yang terjadi dalam kasus seorang Ketua RT di Kota Banjarmasin yang tertangkap tangan oleh tim Bawaslu usai membagikan sejumlah amplop berisi uang Rp 100 ribu kepada warga di RT-nya, tidak bisa dikategorikan sebagai praktik politik uang; kecuali ada DNDG (pernyataan) bahwa yang menerima uang itu berjanji (hanya) akan memilih kandidat yang dipromosikan oleh ketua RT tersebut.30 Hal serupa dapat ditafsirkan pada kasus pembagian uang kepada kelompok-kelompok konstituen yang dilakukan oleh oknum Tim Sukses sejumlah pasangan yang berkontestasi di tingkat kabupaten dan kota di Kalimantan Selatan.31

30 Dalam kasus pemberitaan, setiap warga yang menerima amplop berisi uang tersebut, maka rumahnya langsung dipasang stiker dengan gambar pasangan calon gubernur dan wakil gubernur yang terlibat dalam kontestasi Pilkada Langsung Kalimantan Selatan (Lihat berita harian Banjarmasin Post tanggal 8 Desember 2015, halaman 14).

31 Saya mendapatkan informasi dari sumber yang layak dipercaya, bahwa sejumlah kandidat yang berkontestasi dalam rangka menjadi bupati di beberapa daerah pemilihan di Kalimantan Selatan pun melakukan praktik bagi-bagi uang, menjelang tanggal pemungutan suara. Uang yang dibagikan oleh Tim Sukses itu rata-rata senilai Rp 100 ribu. Bahkan seorang kandidat bupati ditengarai telah menyiapkan dana hingga Rp 3 milyar untuk melakukan tindakan bagi-bagi uang menjelang hari pemungutan suara. Namun hal yang terang benderang itu tidak pernah menyebabkan kandidat yang bersangkutan dikenai penalti oleh Bawaslu, misalnya dianulir keikutsertaannya dalam Pilkada Langsung. Rupanya pihak Bawaslu kerepotan membuktikan, bahwa pemberian uang kepada kelompok konstituen itu apakah termasuk kategori praktik politik uang yang terlarang dalam kontestasi Pilkada Langsung, atau tidak.

Page 116: Pilkada Serentak - Quo Vadis Kedaulatan Rakyat

107

Pelajaran dari Pilkada Kalimantan Selatan

Tabel 3. Hasil Pilkada Langsung Kalimantan Selatan Tahun 2015

No Pasangan Kandidat

Hasil 4XLFN�

&RXQW (*)

Hasil 5HDO�&RXQW

(**)

Daerah Pemilihan yang

Unggul (**)

1

Zaurullah Azhar – Muhammad Sapii

18,01%18,60%

(334.712 suara)

�� Tanah Bumbu

2Sahbirin Noor – Rudy Resnawan

40,96%41,09%

(739.588 suara)

�� Banjarbaru

�� Balangan

�� Barito Kuala

�� Tanah Laut

�� Kotabaru

�� Hulu Sungai Selatan

�� Hulu Sungai Utara

�� Tabalong

3Muhidin – Gusti Farid Hasan Aman

41,03%40,31%

(725.585 suara)

�� Banjarmasin

�� Banjar

�� Tapin

�� Hulu Sungai Tengah

Jumlah 100,00%100,00%

(1.799.885 suara)

Sumber: (*) 0HWUR�79, 9 Desember 2015.

(**) KPUD Provinsi Kalimantan Selatan.

Terlepas dari anomali praksis demokrasi politik di ranah lokal itu, Pilkada Langsung membutuhkan sang pemenang. Berdasarkan hasil perhitungan cepat (TXLFN�FRXQW) 0HWUR�79 yang mengambil

Page 117: Pilkada Serentak - Quo Vadis Kedaulatan Rakyat

108

Pilkada Serentak

sampel 250 TPS, diketahui yang unggul dalam pemilihan kepala daerah tahun 2015 adalah pasangan Muhidin-Gusti Farid (Lihat Tabel 3). Kemenangan tipis pasangan kandidat independen itu tentu saja membuat heboh, karena sungguh di luar dugaan banyak pihak, termasuk pengamat politik lokal yang biasanya jeli melihat peluang kemenangan kandidat. Ketika masa kampanye Pilkada sampai tahapan Debat Kandidat, yang diperkirakan bakal bersaing ketat adalah pasangan Zairullah Azhar-Muhammad Sapii dengan Sahibirin Noor-Rudy Resnawan. Pasangan Zairullah-Sapii diperkirakan akan meraih banyak suara lantaran nama Zairullah sudah dikenal luas, karena telah pernah mencalonkan diri dalam kontestasi Pilkada tahun 2010; sedangkan Sapii sebagai pasangan Zairullah diperkirakan akan mendapatkan dukungan suara pemilih di daerah Hulu Sungai, karena pernah menjabat Bupati Hulu Sungai Selatan dua periode. Namun fakta politik menunjukkan hal yang jauh dari prediksi tersebut. Kecuali di Kabupaten Tanah Bumbu, dimana Zairullah Azhar pernah jadi Bupati, perolehan suara pasangan Zairullah Azhar-Muhammad Sapii ini MHEORN di sejumlah daerah pemilihan.

Adapun pasangan Sahbirin Noor-Rudy Resnawan, sejak awal diprediksi bakal menerima dukungan banyak kelompok konstituen. Hal itu didasarkan pada upaya keras yang dilakukan oleh Sahibirin Noor, sejak satu tahun terakhir, dalam melakukan politik pencitraan guna menjaring simpati massa. Akan tetapi, adanya fakta bahwa pasangan tersebut “dikalahkan” oleh pasangan Muhidin-Gusti Farid ~ walaupun hanya dalam TXLFN�FRXQW lembaga survai bertaraf nasional ~ sungguh di luar prediksi banyak pihak. Pasalnya, belum pernah kandidat independen dapat memenangkan kontestasi Pilkada.32 Rupanya “operasi senyap” yang dilakukan Tim Sukses Muhidin-Gusti Farid berhasil bergerilya di tingkat masyarakat akar rumput, dan kurang menjadi perhatian Tim Sukses kandidat lainnya.

32 Pada Pilkada Kalimantan Selatan tahun 2010, pasangan independen yang ikut kontestasi kala itu, yaitu Khairil Wahyuni dan Alwi Sahlan, hanya memperoleh suara sebesar 3,36% dari suara sah (55.742 pemilih). Pasangan kandidat independen itu meraih peringkat kelima dari lima pasangan yang bertarung dalam kontestasi Pilkada Kalimantan Selatan.

Page 118: Pilkada Serentak - Quo Vadis Kedaulatan Rakyat

109

Pelajaran dari Pilkada Kalimantan Selatan

Hasil TXLFN�FRXQW disikapi pihak yang kalah sebagai informasi yang belum bisa dipercaya. Namun hasil UHDO�FRXQW yang bersumber dari perhitungan KPUD-KPUD di tingkat kabupaten/kota pun tetap saja kurang bisa diterima sebagai parameter yang sah oleh kandidat yang kalah. Itulah yang terjadi ketika proses UHDO�FRXQW mulai diumumkan dalam laman KPUD dan dipublikasikan media cetak di Kalimantan Selatan. Tim hukum pasangan Sahbirin-Rudy kabarnya sudah menyiapkan opsi RɣHQVLYH� (maksudnya “melawan”) apabila sampai mengalami kekalahan di kubunya.33

Selama sepuluh hari sejak pemungutan suara tanggal 9 Desember 2015, masyarakat awam di Kalimantan Selatan agaknya ikut tegang mengikuti proses perhitungan suara yang dilakukan oleh KPUD, dan dimuat dalam laman KPUD serta dipublikasikan oleh media massa lokal. Ketegangan itu muncul karena perolehan suara Muhidin-Gusti Farid dan Sahbirin-Rudy saling kejar dan saling menyalip. Dan, pada tanggal 19 Desember 2015 pukul 13.00 WITA, KPUD Kalimantan Selatan rupanya sudah selesai mengadakan sidang pleno menyangkut perihal perhitungan surat suara, yang mengindikasikan bahwa kemenangan ada di kubu Sahbirin Noor-Rudy Resnawan. Hasil UHDO�FRXQW tersebut ternyata merupakan kebalikan dari hasil TXLFN� FRXQW. Dalam UHDO� FRXQW, perolehan suara pasangan Sahbirin-Rudy ternyata tidak berbeda jauh dengan perolehan suara pasangan Muhidin-Gusti Farid, yakni hanya berbeda 14.003 suara (0,78%) dari 1.799.885 suara sah.34 Perbedaan perolehan suara yang “sangat tipis” itu sebenarnya (atau mungkin lebih tepat, “biasanya”) digugat oleh kubu yang kalah, dengan alasan misalnya telah terjadi kecurangan yang dilakukan oleh pihak lawan. Apakah kubu Muhidin-Gusti Farid menggugat kekalahannya? Ternyata tidak. Bahkan Jum’at malam, yakni 15 jam sebelum KPUD mengumumkan hasil perhitungan akhir UHDO�FRXQW, pasangan Muhidin-Gusti Farid menggelar konferensi pers di rumah pribadi Muhidin di Banjarmasin, dan disiarkan langsung oleh Duta TV, sebuah stasiun televisi lokal. Secara tersirat Muhidin 33 Banjarmasin Post, 16 Desember 2015. 34 Perlu dicatat bahwa partisipasi pemilih dalam Pilkada Langsung provinsi

Kalimantan Selatan itu hanya 61,67%, dan angka tersebut merupakan rekor baru; karena pada Pilkada Langsung tahun 2005 angka partisipasi pemilih mencapai 63,65%, dan pada Pilkada Langsung tahun 2010 sebesar 63.32%.

Page 119: Pilkada Serentak - Quo Vadis Kedaulatan Rakyat

110

Pilkada Serentak

(karena Gusti Farid tidak memberikan pendapat) seperti mengakui “kekalahannya”. Bahkan Muhidin mengeluarkan pernyataan tidak akan menggugat kalau dia kalah; dan menghimbau simpatisannya agar tidak turun ke jalan atau melakukan tindakan anarkis sebagai reaksi dari kekalahan tersebut.

Tidak ada yang tahu apa isi benak Muhidin ketika berbicara dalam konferensi pers. Tetapi konferensi pers sebelum pengumuman resmi KPUD itu cukup aneh, mengapa sampai dilakukan oleh Muhidin. Kontestasi Pilkada Langsung belumlah diketahui siapa pemenangnya. Paling tidak, pasangan Muhidin-Gusti Farid atau Sahbirin-Rudy masih sama-sama punya peluang menang, karena perhitungan suara sedang berlangsung, sementara perbedaan perolehan suara di antara dua pasangan itu sangat tipis. Oleh karena itu, berbagai opini liar pun segera berseliweran menanggapi aksi mantan Walikota Banjarmasin tersebut. Ada yang menduga Muhidin sudah dapat bocoran tentang hasil akhir perhitungan suara, entah dari mana. Ada pula yang berspekulasi Muhidin boleh jadi sudah melihat “penampakan” sosok gubernur Kalimantan Selatan hasil Pilkada Langsung, yang membuat dia tidak bernafsu lagi untuk memperjuangkan peluangnya. Dan yang paling aneh adalah asumsi bahwa Muhidin barangkali telah mendapatkan “bisikan ghaib”, yang menjadi musabab mengapa dia nampak begitu lapang dada menerima kekalahan, kalau sekiranya memang mengalami kekalahan dalam kontestasi politik. Semua argumentasi tersebut layak dikemukakan, dan boleh jadi benar adanya, tersebab dari sudut kebiasaan peserta kontestasi politik pada umumnya tidak mudah menyerah, dan bahkan cenderung memperjuangkan peluang kemenangannya sampai titik keringat penghabisan. Dengan kata lain, apa yang dilakukan oleh Muhidin itu sesungguhnya tidak lazim terjadi, dan menurut saya menunjukkan gejala anomali politik.

Terlepas dari sikap dan tindakan politik Muhidin yang cenderung unik itu, dari hasil UHDO� FRXQW, sebenarnya dapat dipetakan suara pemilih berpihak kepada siapa dalam Pilkada Langsung di Kalimantan Selatan. Pasangan Sahbirin Noor-Rudy Resnawan boleh jadi adalah pasangan kandidat yang paling

Page 120: Pilkada Serentak - Quo Vadis Kedaulatan Rakyat

111

Pelajaran dari Pilkada Kalimantan Selatan

populer, yang bisa dilihat dari kemenangannya di hampir seluruh kota dan kabupaten; kecuali Kota Banjarmasin, Kabupaten Banjar, Kabupaten Tapin, Kabupaten Hulu Sungai Tengah, dan Kabupaten Tanah Bumbu. Namun tingkat popularitas itu bukan satu-satunya variabel yang menentukan kemenangan pasangan kandidat. 3DVDQJDQ�0XKLGLQ�*XVWL�)DULG��GLNHWDKXL�XQJJXO�VDQJDW�VLJLQL¿NDQ�di Kota Banjarmasin (55,81%) dibanding perlehan suara Sahbirin-Rudy yang hanya 27,17% dari suara sah. Demikian pula dengan perolehan suara Muhidin-Gusti Farid di Kabupaten Banjar, yang mencapai 48,13% berbanding 35,65% dari jumlah suara sah yang diperoleh pasangan Sahbirin-Rudy. Bahkan di Kabupaten Tapin, sebagai basis utama pendukung Muhidin, diketahui dukungan terhadap pasangan Muhidin-Gusti Farid mencapai 75,98% suara sah dibanding hanya 19,44% suara yang diperoleh oleh pasangan Sahbirin-Rudy. Perolehan suara dua pasangan ini yang “agak imbang” hanya terjadi di Kabupaten Hulu Sungai Tengah, yakni pasangan Muhidin-Gusti Farid mendapatkan 44,65% suara berbanding 44,43% untuk pasangan Sahbirin-Rudy.

Sesungguhnya, kondisi perolehan suara “agak berimbang” antara pasangan Muhidin-Gusti Farid dan Sahbirin-Rudy itu tidak hanya terjadi di Kabupaten Hulu Sungai Tengah, tetapi juga di Hulu Sungai Selatan, karena selisih perolehan suara dua pasangan tersebut di bawah kisaran 4%. Selebihnya, di lima daerah pemilihan, terutama di Kabupaten Kotabaru, Tanah Bumbu (yang sebenarnya dikuasai oleh pasangan Zairullah-Sapii), Tabalong, Tanah Laut dan Kota Banjarbaru perolehan pasangan Sahbirin 1RRU�5XG\�5HVQDZDQ� VDQJDW� VLJQL¿NDQ�GLEDQGLQJNDQ�SHUROHKDQ�suara Muhidin-Gusti Farid.35

Akan tetapi perlu digarisbawahi, kendati pasangan Sahbirin-Rudy menang telak di lima daerah pemilihan dibandingkan pasangan Muhidin-Gusti Farid yang hanya menang telak di tiga daerah pemilihan; jumlah pemilih di Kota Banjarmasin dan Kabupaten Banjar sesungguhnya hampir separoh dari jumlah pemilih di provinsi Kalimantan Selatan. Kendati tingkat partisipasi pemilih di dua daerah tersebut hanya 61,32% (Kota Banjarmasin)

35 Lihat Tabel Perolehan Suara pada Lampiran buku ini.

Page 121: Pilkada Serentak - Quo Vadis Kedaulatan Rakyat

112

Pilkada Serentak

dan 61,03% (Kabupaten Banjar), tetapi angka partisipasi riilnya masih jauh lebih besar dari gabungan beberapa daerah pemilihan lainnya.

Itulah penjelasan mengapa pasangan Sahbirin-Rudy Resnawan kendati secara sebaran daerah dapat unggul di banyak daerah, tetapi secara proporsional pasangan Muhidin-Gusti Farid dapat menguasai daerah yang merupakan lumbung suara pemilih di provinsi Kalimantan Selatan, yakni Kota Banjarmasin dan Kabupaten Banjar. Padahal yang penting dalam Pilkada Langsung adalah tingkat elektabilitas yang dikumulasikan dalam bentuk total dukungan nyata dari kelompok pemilih.

Bagi saya, siapapun yang memenangkan kontestasi Pilkada Langsung tidak masalah, karena itulah kehendak mayoritas rakyat pemilih. Namun, adanya fakta bahwa untuk bisa bertarung dalam kontestasi Pilkada Langsung itu membutuhkan dana politik yang sangat besar, sedikit banyak membuat saya risau dalam konteks QDZDLWX kandidat. Semua pasangan kandidat diketahui memiliki modal ekonomi luar biasa dan mengeluarkan dana politik yang agak di luar logika normal, karena rata-rata di atas Rp 100 milyar per pasangan kandidat.36 Pengeluaran dana politik yang demikian besar itu diduga berkorelasi positif dengan perolehan suara kandidat, tapi tentunya bukan satu-satunya variabel yang berpengaruh terhadap pilihan publik. Paling tidak ada dua variabel lainnya yang juga penting. 3HUWDPD, kemampuan Tim Sukses untuk meyakinkan kelompok pemilih, bahwa pasangan kandidat mereka adalah orang yang dapat dipercaya untuk menanggung beban amanah. Pesan tersebut biasanya dikemas dalam bentuk LQIRUPDVL� EDKZD� SDVDQJDQ� NDQGLGDW� PHUHND� DGDODK� ¿JXU� RUDQJ�baik, dermawan, dan agak jujur. .HGXD, kemampuan Tim Sukses PHPEDQJXQ�FLWUD�¿JXU�\DQJ�GLVHQDQJL�ROHK�NHORPSRN�NRQVWLWXHQ��'DUL�KDVLO�SHQJDPDWDQ�VD\D�GL�ODSDQJDQ��DGD�NHFHQGHUXQJDQ�¿JXU�36 Menurut sumber informasi yang dapat dipercaya, Sahbirin Noor memang yang

paling tajir, karena ditengarai mengalokasikan dana hingga Rp 500 milyar lebih untuk dana politik. Sedangkan Muhidin, dana politiknya diketahui sedikit lebih kecil dari Sahbirin Noor, yakni “hanya” sekitar Rp 300 milyar. Adapun Zairullah Azhar (bersama dengan Muhammad Sapii) jauh lebih kecil lagi, diperkirakan mengalokasikan dana politik sekitar Rp Rp 150 milyar untuk bertarung dalam kontestasi Pilkada.

Page 122: Pilkada Serentak - Quo Vadis Kedaulatan Rakyat

113

yang disenangi oleh kalangan masyarakat Banjar kelas menengah ke bawah, yang merupakan mayoritas pemilih dalam Pilkada Langsung di Kalimantan Selatan, adalah kandidat yang murah senyum dan rendah hati. Sekurang-kurangnya, tidak menunjukkan SLQD�PXVWL atau SDUDJDK�SDPLQWDUQ\D.

7DQSD� PHQD¿NDQ� XVDKD� GDUL� 7LP� 6XNVHV� ³PHPEXQJNXV´�kandidat dengan berbagai politik pencitraan, dukungan publik kepada kandidat yang bertarung dalam kontestasi Pilkada /DQJVXQJ� GL� .DOLPDQWDQ� 6HODWDQ� PHQXQMXNNDQ� VLJQL¿NDQVL�teori habitus Bourdieu yang berkaitan dengan pentingnya peran modal untuk menguasai suatu medan pertarungan kekuasaan. Betapa tidak, fakta yang tersingkap dari kondisi di lapangan itu menunjukkan bahwa kelompok pemilih cenderung tidak peduli dengan konsep demokrasi politik yang ingin diimplementasikan dalam Pilkada Langsung. Para pemilih cenderung tidak memilih berdasarkan pertimbangan atas visi misi yang ditawarkan oleh para kandidat. Bahkan kelompok pemilih tidak sungguh-sungguh mengetahui rekam jejak kandidat. Berdasarkan pengamatan di lapangan, saya sangat yakin bahwa KPU/D harus bertanggung jawab atas hal itu. Dengan adanya aturan bahwa masing-masing kandidat tidak boleh membuat dan memasang sendiri alat peraga kampanye sendiri, kecuali yang disetujui dan dibuat oleh KPUD, maka banyak kelompok konstituen yang tidak cukup memperoleh LQIRUPDVL� WHQWDQJ�PLVL� GDQ�PLVL� VHUWD�SUR¿O� NDQGLGDW��.DQGLGDW��karena keterbatasan waktu dan tenaga untuk mengunjungi dan menyapa kelompok konstituen di setiap titik yang begitu banyak jumlahnya, boleh jadi berakibat pada minimnya pengetahuan kelompok konstituen tentang perhelatan Pilkada Langsung dan hal ihwal yang berkaitan kontestasi politik di ranah lokal tersebut.

Seturut dengan hal itu, tak dapat dipungkiri bahwa ³VHUDQJDQ� IDMDU´� WHQWXODK� SXQ\D� SHQJDUXK� \DQJ� DPDW� VLJQL¿NDQ��Tetapi seperti yang saya bahas sebelumnya, bagi-bagi uang dalam rangka merayu (atau menyuap) kelompok konstituen itu tentulah tidak bisa disikapi sebagai hal yang melanggar norma, apabila para pihak yang terlibat tidak menganggapnya sebagai perbuatan yang tercela. Dalam ungkapan seorang teman, “6XDS�

Pelajaran dari Pilkada Kalimantan Selatan

Page 123: Pilkada Serentak - Quo Vadis Kedaulatan Rakyat

114

Pilkada Serentak

SROLWLN� LWX� WHUJDQWXQJ� SDGD� NDGDU� LPDQ�PDVLQJ�PDVLQJ� XQWXN�PHQHULPD�DWDX�PHQRODNQ\D”. Saya ingin berargumen, kalau hal itu telah menjadi salah satu trik kandidat yang paling efektif untuk menyuap konstituen, mestinya pihak Bawaslu lebih pintar untuk menangkalnya sejak dini. Namun, rupanya pihak Bawaslu sangat tidak berdaya dalam hal itu. Tersebab karena itu, saya mencoba untuk unjuk saran sebagai berikut. Karena “politik uang” dalam arti suap menyuap itu ada kaitannya dengan penerimaan “uang haram” atau sekurang-kurangnya V\XEKDW, maka mestinya para Tuan Guru berinistiatif untuk mencegahnya. Tuan Guru bisa mencarikan KDGLWV yang VKDKLK, misalnya yang berkaitan dengan fatwa: “%DUDQJ�VLDSD�PHPEHUL�DWDX�PHQHULPD�XDQJ�VXDS�GDODP�UDQJND� NRQWHVWDVL� 3LONDGD� /DQJVXQJ��PDND� KDUDP� KXNXPQ\D��GDQ�KDQ\D�QHUDND�EDODVDQQ\D�” Saya bukan ahli KDGLWV, karena itu terserahlah pada para Tuan Guru, bagaimana rumusan KDGLWV yang bisa bikin insaf para pelaku politik uang.

Page 124: Pilkada Serentak - Quo Vadis Kedaulatan Rakyat

115

Epilog

Kalaulah rakyat pemilih boleh berkehendak, barangkali mereka tidak akan mau terlibat dalam Pilkada Langsung. Betapa tidak, apa manfaatnya Pilkada

Langsung itu buat mereka?

Di tataran konsep, Pilkada Langsung adalah merupakan UHÀHNVL� GDUL� SHPDKDPDQ� EDKZD� NHGDXODWDQ� UDN\DW� LWX� ELVD�diimplementasikan dalam bentuk pelibatan rakyat dalam proses pengambilan keputusan di ranah publik, termasuk dalam hal memilih pemimpin formalnya. Secara teoritis, hal itu selanjutnya mesti dikondisikan dalam bentuk pembiasaan perilaku dan tindakan demokratis. Rakyat, sebagai pemilik kedaulatan, mesti mengetahui hak dan kewajibannya dalam konteks keterlibatan mereka dalam pengambilan keputusan di ranah publik. Sedangkan para elit yang merupakan aktor utama dalam semua kontestasi politik, juga harus mengetahui hak dan kewajibannya sembari taat asas atas hak dan kewajiban tersebut.

Di tataran praksis, apa yang diidealkan ternyata masih jauh dari harapan, karena para elit cenderung tidak punya komitmen untuk menghargai adanya hak kedaulatan rakyat. Dalam hal kontestasi Pilkada Langsung, perilaku para elit dan kandidat yang terlibat dalam kontestasi politik itu seolah-olah melulu memperjuangkan kepentingannya belaka, tetapi atas nama demokrasi dan demi kesejahteraan warga daerah. Diakui atau

Page 125: Pilkada Serentak - Quo Vadis Kedaulatan Rakyat

116

Pilkada Serentak

tidak, para elit dan kandidat hanya bertarung untuk memenangkan kontestasi. Segala sumberdaya modal mereka kerahkan. Karena itu, tidak mungkin mereka membayangkan kekalahan menimpa dirinya. Kalaupun kemudian mereka mengalami kekalahan, tidak serta merta para kandidat rela begitu saja menerima vonis itu tanpa memperjuangkannya, kalau bisa kekalahannya itu dianulir. Fenomena itu di satu sisi menunjukkan para elit dan kandidat yang terlibat dalam kontestasi politik nampaknya belum siap mempraktikkan pertarungan politik yang demokratis. Alih-alih GDODP� UDQJND� UHÀHNVL� DGDQ\D� SHQJKDUJDDQ� WHUKDGDS� NHGDXODWDQ�rakyat. Pada sisi lain, perhelatan Pilkada Langsung masih juga menganggap warga daerah (baca: rakyat) sebagai obyek belaka, yang digiring pergi ke tempat pemungutan suara untuk menunjukkan bahwa partisipasi politik warga sudah sangat baik dan pantas dibanggakan.

Pilkada Langsung ditengarai tak bebas dari kecurangan dan praktik politik uang. Tetapi jarang dipahami (untuk tidak mengatakan tak pernah diakui), bahwa yang bertindak curang itu adalah kalangan elit politik yang terlibat dalam kontestasi politik. Demikian pula dengan praktik politik uang, para pelakunya berlindung di balik simbol-simbol kultural, seperti dalam rangka membangun silaturahmi dan unjuk kedermawanan yang sebenarnya palsu. Bahkan yang kemudian dipersalahkan adalah kelompok pemilih yang menerima “uang recehan” dari kaum broker yang jadi perantara para kandidat.

Dengan mengambil kasus praksis demokrasi politik Pilkada Langsung yang dilaksanakan serentak di Indonesia, suka atau tidak, mekanisme pelibatan rakyat dalam perhelatan politik di ranah lokal itu sama sekali tidak menggambarkan adanya prinsip kedaulatan rakyat dihargai. Partisipasi politik rakyat, dalam bentuk kelompok konstituen yang memberikan suaranya di tempat-tempat pemungutan suara, bukanlah bukti bahwa kedaulatan rakyat telah ditegakkan. Sebab, kedaulatan rakyat dalam konteks Pilkada Langsung semestinya (atau lebih tepat, sekurang-kurangnya) memberikan kewenangan warga di daerah untuk mengusulkan siapa saja yang dapat bercalon sebagai kandidat

Page 126: Pilkada Serentak - Quo Vadis Kedaulatan Rakyat

117

Kepala Daerah yang akan bertarung. Karena itu, tidak sepantasnya mereka hanya “terima bersih” siapa saja aktor yang akan terlibat dalam kontestasi, misalnya karena telah ditentukan oleh partai politik pengusung. Seturut dengan hal itu kandidat independen pun tidak sepantasnya “membeli dukungan publik”, dengan cara mengumpulkan fotocopy KTP tanpa sepengetahuan warga yang bersangkutan. Warga daerah yang mendukung kandidat independen haruslah mengenal betul sosok yang didukungnya. Tersebab karena itu, saya cenderung ingin mengusulkan bahwa syarat formal kandidat independen itu jangan lebih sulit dari syarat mendirikan partai politik. Kalau untuk mendirikan partai politik hanya dibutuhkan syarat dibentuk oleh paling sedikit 50 orang warga negara Indonesia yang telah berusia 21 tahun, mengapa untuk syarat menjadi kandidat dari jalur independen harus lebih berat? Memang partai politik yang diakui eksistensinya dipersyaratkan lagi harus memiliki kepengurusan paling sedikit di 25% jumlah kecamatan yang ada. Analog dengan syarat kandidat independen, boleh saja dipersyaratkan harus didukung oleh misalnya minimal 50 orang di 25% jumlah kecamatan suatu daerah. Syarat maju sebagai kandidat independen, yang dipermudah itu, boleh jadi akan mengakibat kan ledakan jumlah kandidat. Tapi, jangan lupa, bahwa untuk memenangkan kontestasi politik harus memiliki syarat pemilikan segala modal (ekonomi, sosial, kultural, dan simbolik). Tidak mungkin kandidat yang miskin modal akan selamat bertarung dan memenangkan kontestasi politik. Apalagi hanya dengan modal nekad. Kandidat bermodal nekad itu jelas merupakan orang tolol yang hanya akan mempermalukan dirinya sendiri. Dan rakyat pemilih tentulah bukan kumpulan orang-orang bodoh yang akan memilih kandidat tolol semacam itu.

Mengambil contoh kasus Pilkada Langsung di Kalimantan Selatan, terbukti bahwa kontestasi politik di ranah lokal itu pada kenyataannya tidak murah. Bahkan bukan hanya tidak murah, tetapi juga yang terpilih sebagai Kepala Daerah (pemenang Pilkada Langsung) boleh jadi bukanlah kandidat yang terbaik. Alih-alih sebagai pemimpin yang memenuhi kriteria ideal yang akan mampu memecahkan masalah kehidupan masyarakat warga di daerah.

Epilog

Page 127: Pilkada Serentak - Quo Vadis Kedaulatan Rakyat

118

Pilkada Serentak

Dalam konteks masalah itu, ijinkanlah saya berpendapat bahwa hal ihwal yang berujung pada kerumpangan politik demokratis di ranah lokal itu sebenarnya berpangkal dari aturan main yang mengerangkai tindakan politik para elit dan kandidat. Ada kesalahkaprahan dalam membuat aturan main. Aturan main yang ada cenderung terperangkap pada aspek prosedural administratif untuk menatakelola agar kontestasi politik yang dihajatkan berpola demokratis itu “aman dan lancar”. Padahal gara-gara hal itu, hakikat demokrasi dalam praktik politik yang ditampilkan oleh para pihak yang berkepentingan dalam kontestasi Pilkada Langsung menjadi hampa makna. Kontestasi politik dalam Pilkada Langsung akhirnya sekadar sarana untuk mewujudkan sirkulasi kekuasaan di antara para elit. Bahkan, pada tataran tertentu boleh jadi kontestasi politik yang terjadi sekadar ajang para elit menang-menangan dalam pertarungan yang berorientasi pada upaya memelihara kepentingannya masing-masing.

Tersebab karena itu, saya kira tidak pantas kiranya kalau kita membangga-banggakan pola Pilkada Serentak sebagai solusi terbaik pembangunan demokrasi lokal di Indonesia. Masih banyak hal yang perlu diperbaiki, agar praksis demokrasi politik menggambarkan adanya penghargaan terhadap hak kedaulatan rakyat di daerah.***

Page 128: Pilkada Serentak - Quo Vadis Kedaulatan Rakyat

119

Daftar Rujukan

$EGXOODK�� 7DX¿N�� ������ ,QGRQHVLD� 7RZDUG� 'HPRFUDF\. (ISEAS Publishing, Institute of Southeast Asian Studies, Singapore).

Adamson, Walter L., 1980. +HJHPRQ\�DQG�5HYROXWLRQ��$�6WXG\�RI� $QWRQLR� *UDPVFL¶V� 3ROLWLFDO� DQG� &XOWXUDO� 7KHRU\� (University of California Press, California).

Anderson, Benedict, 2000. .XDVD� .DWD�� -HODMDK� %XGD\D�%XGD\D� 3ROLWLN� GL� ,QGRQHVLD. (Terjemahan. Mata Bangsa, Yogyakarta).

Aspinall, Edward, 2005. 2SSRVLQJ� 6XKDUWR�� &RPSURPLVH��5HVLVWDQFH�� DQG� 5HJLPH� &KDQJH� LQ� ,QGRQHVLD. [Stanford University Press, California).

Axtmann, Roland, 2007. 'HPRFUDF\��3UREOHP�DQG�3HUVSHFWLYHV. (Edinburgh University Press, Edinburgh)

%HOODP\��5LFKDUG�3DXO��'DUURZ�6FKHFWHU��������*UDPVFL�DQG�WKH�,WDOLDQ� 6WDWH. (Manchester University Press, Manchester, UK).

%RXUFKLHU��'DYLG��9HGL�5��+DGL]��������,QGRQHVLDQ�3ROLWLFV�DQG�6RFLHW\��$�5HDGHU. (Routledge Curzon, London).

Bourdieu, Pierre, 1977. 2XWOLQH�RI�D�7KHRU\�RI�3UDFWLFH. (Translated by Richard Nice. Cambridge University Press, Cambridge).

Page 129: Pilkada Serentak - Quo Vadis Kedaulatan Rakyat

120

Pilkada Serentak

Bourdieu, Pierre, 1984. 'LVWLQFWLRQ�� $� 6RFLDO� &ULWLTXH� RI� WKH�-XGJPHQW�RI�7DVWH. (Translated by Richard Nice. Harvard University Press).

Bourdieu, Pierre, 1998. 3UDFWLFDO�5HDVRQ��2Q�WKH�7KHRU\�RI�$FWLRQ. (Stanford University Press, Stanford, California).

Bourdieu, Pierre, 1989. “Social Space and Symbolic Power.” 6RFLRORJ\�7KHRU\ 7:14-25.

Bourdieu, Pierre, 1990a. 7KH�/RJLF�RI�3UDFWLFH� (Stanford University Press, California).

Bourdieu, Pierre, 1990b. ,Q�2WKHU�:RUG��(VVD\V�7RZDUG�D�5HÀH[LYH�6RFLRORJ\. (Standford University Press, California).

Bourdieu, Pierre, 1991. /DQJXDJH�DQG�6\PEROLF�3RZHU. (Harvard University Press, Massachusetts).

Bourdieu, Pierre, 1993��6RFLRORJ\�LQ�4XHVWLRQ. (SAGE, London).

Bourdieu, Pierre, 1993. 7KH�)LHOG�RI�&XOWXUDO�3URGXFWLRQ��(VVD\�RQ�$UW�DQG�/LWHUDWXUH. (Columbia University Press).

Bourdieu, Pierre, 1998. 3UDFWLFDO�5HDVRQ:�2Q�WKH�7KHRU\�RI�$FWLRQ� (Stanford University Press, Stanford, California).

Bourdieu, Pierre, 2003. “Participant Objectivation”. -RXUQDO�RI�WKH�5R\DO�$QWKURSRORJLFDO�,QVWLWXWH 9(2):281-294.

Bourdieu, Pierre, (1961) 2008. 3ROLWLFDO� ,QWHUYHQWLRQV�� 6RFLDO�6FLHQFH�DQG�3ROLWLFDO�$FWLRQ� (Verso, London).

%RXUGLHX��3LHUUH��-HDQ�&ODXGH�3DVVHURQ��������5HSURGXFWLRQ�LQ�(GXFDWLRQ��6RFLHW\�DQG�&XOWXUH. SAGE, London.

%RXUGLHX��3LHUUH���/RLF�-�'�:DFTXDQW��������7KH�6WDWH�1RELOLW\��(OLWH�6FKRROV�LQ�WKH�)LHOG�RI�3RZHU. (Polity Press, Cambridge).

%RXUGLHX��3LHUUH��-DPHV�6��&ROHPHQ��HGV��� ������6RFLDO�7KHRU\�IRU�&KDQJLQJ�6RFLHW\. (Russell Sage Publication, New York).

Page 130: Pilkada Serentak - Quo Vadis Kedaulatan Rakyat

121

%RXUGLHX�� 3LHUUH� � /RLF� -�'�:DFTXDQW�� ������ ³7KH� 3XUSRVH� RI�5HÀH[LYH� 6RFLRORJ\� �7KH� &KLFDJR� :RUNVKRS��´� GDODP 3�� %RXUGLHX� � /�-�'�� :DFTXDQW� �HGV��� $Q� ,QYLWDWLRQ� WR�5HÀH[LYH�6RFLRORJ\� (University of Chicago Press, Chicago).

Bourdieu, Pierre et.al., 1999. 7KH�:HLJKW� RI� WKH�:RUOG. (Polity, Cambridge).

Bowler, Shaun, “Electoral Systems”, dalam R.A.W. Rhodes et.al., 2008. 7KH� 2[IRUG� +DQGERRN� RI� 3ROLWLFDO� ,QVWLWXWLRQV. (Oxford University Press).

Calhoun, Craig, (2000) 2003. “Pierre Bourdieu”, GDODP George Ritzer, (ed). 7KH� %ODFNZHOO� &RPSDQLRQ� WR� 0DMRU�&RQWHPSRUDU\�6RFLDO�7KHRULVWV� (Blackwell Publishing Ltd, Malden, USA).

Carnegie, Paul J., 2010. 7KH� 5RDG� IURP� $XWKRULDQLVP� WR�'HPRFUDWL]DWLRQ� LQ� ,QGRQHVLD� (Palgrave Macmillan, New York).

Cohan, Abner, 1981. 7KH� 3ROLWLFV� RI� (OLW� &XOWXUH. (University of California Press, Berkeley).

Crouch, Harold, 2010. 3ROLWLFDO� 5HIRUP� LQ� ,QGRQHVLD� $IWHU�6RHKDUWR. (ISEAS Publishing, Singapore).

Cunningham, Frank, 2002. 7KHRU\� RI� 'HPRFUDF\�� $� &ULWLFDO�,QWURGXFWLRQ. (Routledge, London).

Dahl, Robert A., 1989. 'HPRFUDF\�DQG�,WV�&ULWLFV. (Yale University Press).

Dalton, Russell J. dan Hans-Dieter Klingemann, 2007, “Citizens and Political Behavior”, dalam 7KH� 2[IRUG� +DQGERRN� RI�3ROLWLFDO�%HKDYLRXU. [Oxford University Press).

de Benoist, Alain, “Democracy: Representative and Participatory”, dalam 7KH� 2FFLGHQWDO� 4XDUWHUO\. Vol.2, No.2, Summer 2008.

Derber, Charles 2004. 5HJLPH�&KDQJH�%HJLQV�DW�+RPH. (Berrett-Koehler Publishers, Inc. San Fransisco, California).

�ĂŌĂƌ�ZƵũƵŬĂŶ

Page 131: Pilkada Serentak - Quo Vadis Kedaulatan Rakyat

122

Pilkada Serentak

'HUULGD�� -DFTXHV�� ������:ULWLQJ�DQG�'LɣHUHQFH. (Routledge and Kegan Paul, London).

Dryzek, John S., 2004. “Democratic Political Theory”, dalam G.F. Gaus dan C. Kukathas (eds), +DQGERRN�RI�3ROLWLFDO�7KHRU\. (SAGE Publications, London).

Feith, Herbert, (1962) 2007. 7KH� 'HFOLQH� RI� &RQVWLWXWLRQDO�'HPRFUD\� LQ� ,QGRQHVLD�� �(TXLQR[� 3XEOLVKLQJ� �$VLD�� 3WH��Ltd. Singapore).

Feltham, Brian, 2009. -XVWLFH��(TXDOLW\�DQG�&RQVWUXFWLYLVP. (John Wiley and Sons).

Franklin, Julian H., 1981. -RKQ� /RFNH� DQG� WKH� 7KHRU\� RI�6RYHUHLJQW\. (Cambridge University Press).

Freeman, Samuel, 2007. -XVWLFH�DQG�WKH�6RFLDO�&RQWUDFW��HVVD\V�RQ�5DZOVLDQ�3ROLWLFDO�3KLORVRSK\. (Oxford University Press, New York).

*DɣDU��$IDQ��������3ROLWLN�,QGRQHVLD��7UDQVLVL�0HQXMX�'HPRNUDVL. (Pustaka Pelajar, Yogyakarta).

*RɣPDQ��(UYLQJ��������7KH�3UHVHQWDWLRQ�RI�6HOI��LQ�(YHU\GD\�/LIH� (Anchor Books).

Garreton, Manuel Antonio, 2003. ,QFRPSOHWH�'HPRFUDF\��3ROLWLFDO�'HPRFUDWLRQ�LQ�&KLOH�DQG�/DWLQ�$PHULFD. (The University of North Carolina Press).

Grenfell, Michael (ed), 2008. 3LHUUH� %RXUGLHX�� .H\� &RQFHSWV. (Acumen Publishing Limited, Durham).

Hampton, Jean, 1988. +REEHV�DQG�WKH�6RFLDO�&RQWUDFW�7UDGLWLRQ. (Cambridge University Press)

Held, David, 2006. 0RGHOV� RI� 'HPRFUDF\� (Polity Press Ltd, Cambridge).

+ROWXJ��1LOV��.DVSHU�/LSSHUW�5DVPXVVHQ��������(JDOLWDULDQLVP��QHZ� HVVD\V� RQ� WKH� QDWXUH� DQG� YDOXH� RI� HTXDOLW\. (Oxford University Press).

Page 132: Pilkada Serentak - Quo Vadis Kedaulatan Rakyat

123

+RZVRQ��5LFKDUG��.\OLH�6PLWK��HGV���������+HJHPRQ\��6WXGLHV�DQG�&RQFHQVXV�DQG�&RHUFLRQ. (Routledge, New York).

Huntington, Samuel, 1991. 7KH� 7KLUG� :DYH�� 'HPRFUDWL]DWLRQ�LQ� WKH� /DWH� 7ZHQWLHWK� &HQWXU\. (University of Oklahoma Press).

Huntington, Samuel P., 2003. 7KH�&ODVK� RI�&LYLOL]DWLRQ�DQG� WKH�5HPDNLQJ�RI�:RUOG�2UGHU���6LPRQ��6FKXVWHU�3DSHUEDFNV��New York).

Johnston, David, 1989. 7KH� 5KHWRULF� RI� /HYLDWKDQ�� 7KRPDV�+REEHV� DQG� WKH� 3ROLWLFV� RI� &XOWXUDO (Princeton University Press).

Keenan, Alan, 2003. 'HPRFUDF\�LQ�4XHVWLRQ��GHPRFUDWLF�RSHQQHV�LQ�D�WLPH�RI�SROLWLFDO�FORVVXUH. (Standford University Press).

King, Anthony (ed), 2002. /HDGHUV¶�3HUVRQDOLWLHV�DQG�WKH�2XWFRPHV�RI� 'HPRFUDWLF� (OHFWLRQV. (Oxford University Press, New York).

Kloppenberg, James T., 2012. 5HDGLQJ�2EDPD��'UHDPV��+RSH��DQG�WKH�$PHULFDQ�3ROLWLFDO�7UDGLWLRQ��(Princeton University Press. Princeton, New Jersey).

Latif, Yudi, 2011. 1HJDUD�3DULSXUQD��+LVWRULVLWDV��5DVLRQDOLWDV��GDQ� $NWXDOLWDV� 3DQFDVLOD. (PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta).

Liddle, William 2012. 0HPSHUEDLNL�0XWX�'HPRNUDVL�GL�,QGRQHVLD��6HEXDK�3HUGHEDWDQ. (Yayasan Paramadina, Jakarta).

Merloe, Patrick, 1999. “Pemilihan Umum Demokratis”. (USIS, Jakarta).

Middleton, Richard, 1990. 6WXG\LQJ� 3RSXODU� 0XVLF. (Open University Press, Philadelphia).

0LURɣ�� %UXFH�� HW�DO��� ������ 'HEDWLQJ� 'HPRFUDF\�� $� 5HDGHU� LQ�$PHULFDQ�3ROLWLFV. (Wadsworth, Boston, USA).

�ĂŌĂƌ�ZƵũƵŬĂŶ

Page 133: Pilkada Serentak - Quo Vadis Kedaulatan Rakyat

124

Pilkada Serentak

Morlino, Leonardo, 2002. What is a “Good” Democracy? Theory and Empirical Analysis. (Makalah pada &RQIHUHQFH� RQ�³7KH� (XURSHDQ� 8QLRQ�� 1DWLRQV� 6WDWH�� DQG� WKH� 4XDOLW\�RI� 'HPRFUDF\�� /HVVRQ� IURP� 6RXWKHUQ� (XURSH”: October 31-November 2, 2002. University of California, Berkeley).

Muzani, Saiful dkk, 2011. .XDVD� 5DN\DW�� $QDOLVLV� WHQWDQJ�3HULODNX�0HPLOLK�GDODP�3HPLOLKDQ�/HJLVODWLI�GDQ�3UHVLGHQ�,QGRQHVLD�3DVFD�2UGH�%DUX. (Mizan Publika, Jakarta).

Ordeshook, Peter C., 1995. *DPH�7KHRU\�DQG�3ROLWLFDO�7KHRU\��$Q�,QWURGXFWLRQ. (Cambridge University Press).

O’Rourke, Kevin, 2002. 5HIRUPDVL�� 7KH� 6WUXJJOH� IRU� 3RZHU� LQ�3RVW�6RHKDUWR� ,QGRQHVLD�� �$OOHQ� � 8QZLQ�� 1HZ� 6RXWK�Wales).

Parry, Geraint, 2003. -RKQ�/RFNH. (Routledge, London),

Pepinsky, Thomas B., 2009. (FRQRPLF�&ULVHV�DQG�WKH�%UHDNGRZQ�RI� $XWKRULWDULDQ� 5HJLPHV�� ,QGRQHVLD� GDQ� 0DOD\VLD� LQ�&RPSDUDWLYH� 3HUVSHFWLYH. (Cambridge University Press, Cambridge, UK).

Putnam, Robert, 1993. 0DNLQJ� 'HPRFUDF\� :RUN; dan Yashar, 1997. 'HPDQGLQJ�'HPRFUDF\).

5DZOV��-RKQ��6DPXHO�)UHHPDQ��������/HFWXUHV�RQ�WKH�+LVWRU\�RI�3ROLWLFDO�3KLORVRSK\. (Harvard University Press),

5H\QROG��/DUU\�7��1DQF\�-�+��.LQQHU\��HGV���������+DQGERRNV�RI�6LPEROLF�,QWHUDFWLRQLVP. (AltaMira Press).

Ricklefs, M.C., 2001. $�+LVWRU\�RI�0RGHUQ�,QGRQHVLD�6LQFH�F�����. (Stanford University Press, Stanford).

5RELVRQ��5LFKDUG��9HGL�5��+DGL]��������5HRUJDQL]LQJ�3RZHU�LQ�,QGRQHVLD��7KH�3ROLWLFV�RI�2OLJDUFK\�LQ�DQ�$JH�RI�0DUNHWV. (RoutledgeCurzon, London and New York).

Saine, Abdoulaye, 2009. 7KH�3DUDGR[�RI�7KLUG�:DYH�'HPRFUDWL]DWLRQ�LQ�$IULFD. (Lexington Books. Playmouth, UK).

Page 134: Pilkada Serentak - Quo Vadis Kedaulatan Rakyat

125

Sarman, Mukhtar, 2005. 0HQXMX� 3XQFDN� .HNXDVDDQ�� &DWDWDQ�5LQJDQ� GDUL� 3LONDGD� .DOLPDQWDQ� 6HODWDQ� 7DKXQ� � ������(Pusat Kajian Kebijakan Pembangunan Daerah Universitas Lambung Mangkurat).

Sarman, Mukhtar, 2010. 3HPLOXNDGD�.DGD�� :DKDP� 6HSXWDU�3LONDGD�.DOVHO�����. (Pusat Kajian Kebijakan Pembangunan Daerah Universitas Lambung Mangkurat).

Sartori, Giovanni, 1962. 'HPRFUDWLF� 7KHRU\. (Wayne State University Press, Detroit).

6FKDɣHU�� )UHGHULFN� &��� ������ 'HPRFUDF\� LQ� 7UDQVODWLRQ��XQGHUVWDQGLQJ� SROLWLFV� LQ� DQ� XQIDPLOLDU FXOWXUH� (Cornell University Press, Sage House, New York).

Schwarz, Adam, 2000. $�1DWLRQ� LQ�:DLWLQJ��,QGRQHVLD¶V�6HDUFK�IRU�6WDELOLW\. (Westview Press. Colorado and Oxford).

Schmandt, H.J., 2002. )LOVDIDW�3ROLWLN. (Edisi Bahasa Indonesia. Diterbitkan Pustaka Pelajar, Yogyakarta).

Schumpeter, Joseph A., 1943. &DSLWDOLVP�� 6RFLDOLVP� DQG�'HPRFUDF\, (Allen and Unwin, London).

Sciulli, David, 2010. “Democracy, Professions and Societal &RQVWLWXWLRQDOLVP´�� GDODP� .HYLQ� 7�� /HLFKW� � -�&�� -HQNLQV�(eds), +DQGERRN� RI� 3ROLWLFV�� 6WDWH� DQG� 6RFLHW\� LQ� *OREDO�3HUVSHFWLYH. [Springer. New York], terutama halaman 93-95).

Sorensen, Georg, 2008. 'HPRFUDF\� DQG� 'HPRFUDWL]DWLRQ��3URFHVVHV�DQG�3URVSHFWV�LQ�D�&KDQJLQJ��:RUOG. (Westview Press. Colorado).

Sparringa, Daniel, “Partai Politik dan Transisi Demokrasi”. Kata Pengantar untuk buku Thomas Meyer, 2012. 3HUDQ�3DUWDL�3ROLWLN�GDODP�6HEXDK�6LVWHP�'HPRNUDVL�� 6HPELODQ�7HVLV. (Friedrich-Ebert-Stiftung (FES), Kantor Perwakilan Indonesia, Jakarta).

Tjondronegoro, Sediono MP., (ed), 2007. 0HPEDQJXQ� 1HJDUD�GDQ� 0HQJHPEDQJNDQ� 'HPRNUDVL. (Komisi Ilmu-Ilmu Sosial, Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia, Jakarta).

�ĂŌĂƌ�ZƵũƵŬĂŶ

Page 135: Pilkada Serentak - Quo Vadis Kedaulatan Rakyat

126

Pilkada Serentak

van Biezen, Ingrid, 2003. )LQDQFLDO�3ROLWLFDO�3DUWLHV�DQG�(OHFWLRQ�&DPSDLJQV�� *XLGHOLQHV. (Council of Europe Publishing, Strasbourg Cedex).

Vatikiotis, M.R.J., 2003. ,QGRQHVLDQ�3ROLWLFV�8QGHU�6XKDUWR��7KH�5LVH� DQG�)DOO� RI� WKH�1HZ�2UGHU� (Routledge, London and New York).

:DFTXDQW�� /RLF� -�� '��� ������ ³7RZDUG� D� 6RFLDO� 3UDH[HRORJ\�� 7KH�Structure and Logic of Bourdieu’s Sociology.” 'DODP P. %RXUGLHX� DQG� /�-�'�� :DFTXDQW� �HGV��� $Q� ,QYLWDWLRQ� WR�5HÀH[LYH�6RFLRORJ\. (University of Chicago Press, Chicago).

:DFTXDQW�� /RLF� -�'��� ������ ³7RZDUGV� D� 5HÀH[LYH� 6RFLRORJ\�� $�Workshop with Pierre Bourdieu.” 6RFLRORJLFDO�7KHRU\��������,

Warren, Mark E., 2006. “Democracy and the State”, dalam John S. Dryzek, et.al., (eds), 7KH�2[IRUG�+DQGERRN� RI� 3ROLWLFDO�7KHRU\. [Oxford University Press]);

Wolfe, Alan, 2006��'RHV�$PHULFDQ�'HPRFUDF\�6WLOO�:RUN" (Yale University Press. New Haven and London).

Page 136: Pilkada Serentak - Quo Vadis Kedaulatan Rakyat

127

Lampiran

Pilkada Serentak tanggal 9 Desember 2015

No Pilkada Jumlah Pilkada yang ditunda pelaksanaannya

1 Tingkat Propinsi 9 buah Provinsi Kalimantan Tengah

2 Tingkat Kabupaten 224 buah

�� Kabupaten Fakfak, Papua

�� Kabupaten Simalungun, Sumut

3 Tingkat Kota 36 buah

�� Kota Manado, Sulawesi Utara

�� Kota Pematangsiantar, Sumut

Jumlah 269 buah 5 daerah pemilihan

Sumber: Komisi Pemilihan Umum

Page 137: Pilkada Serentak - Quo Vadis Kedaulatan Rakyat

128

Pilkada Serentak

Kontestan Pilkada Serentak tanggal 9 Desember 2015No Status Dukungan Jumlah

1 Dukungan partai politik/gabungan partai politik 690 pasangan

2 Non-parpol/Jalur Independen 136 pasangan

3 Pertarungan inkumban di 150 daerah

4 Inkumbam/Petahana 278 orang

5 Petahana sebagai Kepala Daerah 150 orang

6 Petahana sebagai Wakil Kepala Daerah 128 orang

7 Petahana Gubernur 5 orang

8 Petahana Wakil Gubernur 5 orang

9 Petahana Bupati 118 orang

10 Petahana Wakil Bupati 103 orang11 Petahana Walikota 27 orang12 Petahana Wakil Walikota 20 orang

Sumber: Komisi Pemilihan Umum

Page 138: Pilkada Serentak - Quo Vadis Kedaulatan Rakyat

129

Perolehan Suara Kandidat dalam Pilkada Kalimantan Selatan 2015

No Daerah PemilihanPasangan Kandidat

Suara SahNo. 1 No.2 No.3

1 Kota Banjarmasin 46.298 73.321 150.600 269.835

2 Kota Banjarbaru 15.099 47.991 24.884 86.432

3 Kabupaten Barito Kuala 18.433 64.581 56.451 139.465

4 Kabupaten Banjar 40.188 88.332 119.240 247.760

5 Kabupaten Tapin 4.868 20.820 81.452 107.170

6 Kabupaten Hulu Sungai Selatan 20.918 47.361 43.300 111.579

7 Kabupaten Hulu Sungai Tengah 15.107 59.831 60.122 134.665

8 Kabupaten Hulu Sungai Utara 15.712 54.391 33.614 103.828

9 Kabupaten Balangan 9.811 28.543 21.949 60.061

10 Kabupaten Tabalong 15.480 52.203 36.756 104.439

11 Kabupaten Tanah Laut 20.858 81.761 37.467 139.584

12 Kabupaten Tanah Bumbu 15.480 42.375 31.997 135.045

13 Kabupaten Kotabaru 50.847 77.079 27.022 154.948

Jumlah 334.712 739.588 725.585 1.799.885

Jumlah DPT 2.918.581

% DPT 61,67

Keterangan:

No.1: Zairullah Azhar-Muhammad Sapii

No.2: Sahbirin Noor-Rudy Resnawan

No.3: Muhidin-Gusti Farid Hasan Aman

Sumber: 5HDO�&RXQW KPUD Kalimantan Selatan

>ĂŵƉŝƌĂŶ

Page 139: Pilkada Serentak - Quo Vadis Kedaulatan Rakyat