2
Pikiran Rakyat """'""""'-~~~~~ o Jan 0 Peb 0 Mar 0 Apr 0 Me; 0 Jun 0 Jut 0 Ags 0 Sep 0 Okt • Nov 0 Des Llosa, Sastra, Politik, dan No el "F IKSI itu sama pentingnya dengan realitas. lmajinasi dan fantasi membantu manusiamemahami hidupnya. Tan- pa yang fiksi, hidup manusia akan membosankan, monoton, dan ke- labu." Begitulah pendapat Mario Vargas Llosa, penerima Nobel di bidang sastra tahun ini. Lahir di Arequipa, Peru pada 28 Maret 1936, ia dikenal sebagai salah seorang dari generasi "Latin Ameri- can Booming", bersama sahabat yang -- setelah tengkar yang beru- jung pukulan dan foto mata lebam -- kemudian menjadi seterunya, Gabriel Garcia Marquez. Sejak kecil, ia sudah terpikat kepa- da sastra, salah satu bacaannya adalah Jules Verne. la pun mulai menulis puisi. Karena ayahnya menganggap menulis puisi adalah kesibukan yang kurang lelaki, ia mengirim Mario remaja ke Akademi Militer Leoncio Prado, tempat yang ia sebut sebagai neraka. "Itu adalah pengalaman traumatis yang dalam banyak hal menandai berakhirnya masa kecilku," katanya. "Penemuan kembali negeriku sebagai lingkungan yang keras, penuh dengan kepahi- tan, membuat faksi sosial, budaya, dan rasial selalu berada dalam posisi saling bertentangan dan terkadang menyulut perkelahian sengit. Kukira pengalaman itu memberi satu pe- ngaruh besar padaku; satu hal yang pasti itu memberiku kebutuhan mendesak untuk berkreasi, untuk menciptakan sesuatu." Sesuatu itu, kelak ia sebut sebagai "hasrat obsesif untuk menulis". Ma- ka, menulislah ia sebagai jurnalis un- tuk La Industria, sebagai co-editor jurnal sastra Cuadernos de Conver- sacion, Literatura, juga jurnalis un- . tuk radio Pan Americana dan La Cr6nica. Pada 1955,Mario menikahi saudara ipar pamannya, Julia Urqui- di. Ketika itu usianya masih sembi- lan belas tahun dan sang tante (istrinya) tiga belas tahun lebih tua darinya. Pernikahan ini berumur sembilan tahun, yang seluruh kenangannya terungkap dalam novel Aunt Julia and The Scriptuiriter (1973). Novel ini pernah diadaptasi dalam film Hollywood, ''Tune in To- morrow". Setahun setelah bercerai dari Julia, ia menikahi sepupunya, Patricia Llosa, yang memberinya dua putra dan seorang putri. ** PADA 1958, Mario Vargas Llosa mendapat gelar Ph.D. dari Com- plutense University of Madrid Spanyol. la pergi ke Prancis untuk melanjutkan studi, tetapi ternyata permohonan beasiswanya ditolak. la tetap memutuskan untuk tinggal di Prancis dan bekerja sebagai guru ba- hasa Spanyol, penyiar radio, dan menulis secara profesional. Mario tak kembali ke Peru karena meski pada 1960-an teIjadi Latin American Booming, tetapi penerbit-penerbit di Peru tidak memungkinkan para penulis untuk memperoleh peng- hasilan yang cukup. Debutnya dimulai saat Llosa "meminjamkan" pengalaman pahit- nya di Leoncio Prado pada novel per- tamanya, The Time of The Hero (1963). Di Spanyol, Mario mendapat penghargaan Premio de la Critica Es- pafiola karena teknik penulisan dan pendalamannya. Akan tetapi ironis- nya, di tanah airnya, Peru, seribu kopi novel itu dibakar di lapangan upacara oleh perwira militer sambil menuding Mario dibayar oleh Ekuador untuk menjatuhkan militer Peru. Meski menerima hujan hujatan dari militer Peru, novel itu menge- nalkan nama Mario Vargas Llosa ke publik sastra dunia -- khususnya pa- da pemakai bahasa Spanyol-- seba- gai novelis muda yang genial. Po- sisinya makin mantap setelah ia menulis novel The Green House (1966), yang mengisahkan per- jalanan seorang gadis biara menjadi pelacur paling ternama, dan Conver- sation in The Cathedral (1969) yang merupakan salah satu karya ter- baiknya. Llosa terns bereksperimen, terma- suk membuat parodi atas karyanya sendiri, The Green House, dalam Captain Pantoja and The Special Service, yang diilhami saat ia mene- mukan pelacur-pelacur sewaan un- tuk tentara yang berdinas di hutan. la kembali disambut tepuk tangan meriah saat menulis The War of the End of the World -- yang ia sebut karya favoritnya -- novel mengambil latar pemberontakan di Brasil pada abad ke-to oleh gerakan mesianik. Uosajuga mengangkat Alejandro Mayta dalam The Real Life of Ale- jandro Mayta. Seorang revolusioner Trotskyis, potret dari seorang pe- megang teguh ideologi kiri revolu- sioner di Amerika Latin. Seorang ro- mantik, pemuja Tuhan dan Marx dengan kadar ketaatan yang setara. Si revolusioner yang memanipulasi kamerad muda dan idealis yang jatuh karena didorong oleh utopia Kliping Humas Unpad 2010 dan faksionalisme. Sementara Feast of the Goat (2000), merupakan novel yang mengangkat kejatuhan diktator R~ publik Dominika, Rafael Trujillo. P - da karyanya yang lain, The Way to Paradise (2002) Llosa menyoroti seorang feminis-sosialis, Flora Trisl tan dan cucunya pelukis Paul Gau- guin, dan mendapat sambutan be- ragam. Sebagian menganggapnya se- bagai novel yang menarik, sebagi berpendapat novel itu gagal menangkap spirit dari Flora dan Paul. Setidaknya, novel itu tidak se- cerlang karya Llosa terdahulu. Pada 2006, Llosa menulis ulang karya Gustave Flaubert, Madame Bovary dalam The Bad Girl. Secar keseluruhan, kiranya klaim dari Komite Nobel bahwa ia memiliki "kemampuan untuk memetakan struktur kekuasaan dan mata yang tajam dalam memotret perlawan , pemberontakan, dan kekalahan manusia" tidaklah berlebihan. Dari tiga puluh karyanya, Uosaj - ga menulis esai, naskah drama, dan kritik sastra. la menulis The Perpe- tual Orgy yang membahas keterkai- tan antara dirinya dan Gustave Flaubert, juga La Utopia Arcaica ih- wal perkembangan sastra di Peru. Disertasidoktoralnyatentang Gabriel Garcia Marquez dib dan pada 2007, Llosa mengizinkan bagian dari buku itu sebagai bagian dari edisi khusus 40 tahun One Hun- dred Years of Solitude. Konon, itu menandai rekonsiliasi, tetapi beb pa sastrawan Amerika Latin berpe - dapat, mereka tak akan pernah ke - bali rujuk seperti dahulu, sebesar apa pun harapan melihat itu terja , i, Sebagaimana halnya penulis lai di Amerika Latin, Mario Vargas Llosa menceburkan dirinya dalam kegiatan politik. "Sastra adalah ek- spresi kehidupan, dan Anda tak bi a mengenyahkan politik dari kehid - pan." ltulah yang ia yakini. Nam , berlainan dengan kawan-kawan Amerika Latin, ia mengalami pe- rubahan-perubahan ekstrem dal perjalanan politiknya. Bermula d kiri yang berapi-api, dan ia segera: kecewa pada Fidel Castro setelah presiden Kuba itu memenjarakari penyair Herberto Padilla. Sejak i secara bertahap ia beranjak ke kanan, memercayai liberalisme da pasar bebas. . KarierpolitiknyasempatgoyaH saat ia ditunjuk sebagai bagian d Investigatory Commision pada 1 3, 1-

PikiranRakyat - pustaka.unpad.ac.idpustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2010/11/pikiranrakyat... · menulis puisi.Karenaayahnya ... Meskimenerima hujan hujatan ... (2000), merupakan

Embed Size (px)

Citation preview

Pikiran Rakyat"""'""""'-~~~~~

o Jan 0 Peb 0 Mar 0 Apr 0Me; 0 Jun 0 Jut 0 Ags 0 Sep 0 Okt • Nov 0 Des

Llosa, Sastra, Politik, dan No el"F IKSI itu sama pentingnya

dengan realitas. lmajinasidan fantasi membantu

manusiamemahami hidupnya. Tan-pa yang fiksi, hidup manusia akanmembosankan, monoton, dan ke-labu." Begitulah pendapat MarioVargas Llosa, penerima Nobel dibidang sastra tahun ini.Lahir di Arequipa, Peru pada 28

Maret 1936, ia dikenal sebagai salahseorang dari generasi "Latin Ameri-can Booming", bersama sahabatyang -- setelah tengkar yang beru-jung pukulan dan foto mata lebam --kemudian menjadi seterunya,Gabriel Garcia Marquez.Sejak kecil, ia sudah terpikat kepa-

da sastra, salah satu bacaannyaadalah Jules Verne. la pun mulaimenulis puisi. Karena ayahnyamenganggap menulis puisi adalahkesibukan yang kurang lelaki, iamengirim Mario remaja ke AkademiMiliter Leoncio Prado, tempat yangia sebut sebagai neraka. "Itu adalahpengalaman traumatis yang dalambanyak hal menandai berakhirnyamasa kecilku," katanya. "Penemuankembali negeriku sebagai lingkunganyang keras, penuh dengan kepahi-tan, membuat faksi sosial, budaya,dan rasial selalu berada dalam posisisaling bertentangan dan terkadangmenyulut perkelahian sengit. Kukirapengalaman itu memberi satu pe-ngaruh besar padaku; satu hal yangpasti itu memberiku kebutuhanmendesak untuk berkreasi, untukmenciptakan sesuatu."Sesuatu itu, kelak ia sebut sebagai

"hasrat obsesif untuk menulis". Ma-ka, menulislah ia sebagai jurnalis un-tuk La Industria, sebagai co-editorjurnal sastra Cuadernos de Conver-sacion, Literatura, juga jurnalis un- .tuk radio Pan Americana dan LaCr6nica. Pada 1955,Mario menikahisaudara ipar pamannya, Julia Urqui-di. Ketika itu usianya masih sembi-lan belas tahun dan sang tante(istrinya) tiga belas tahun lebih tuadarinya. Pernikahan ini berumursembilan tahun, yang seluruhkenangannya terungkap dalam novelAunt Julia and The Scriptuiriter(1973). Novel ini pernah diadaptasidalam film Hollywood, ''Tune in To-morrow". Setahun setelah berceraidari Julia, ia menikahi sepupunya,Patricia Llosa, yang memberinya duaputra dan seorang putri.

**PADA 1958, Mario Vargas Llosa

mendapat gelar Ph.D. dari Com-

plutense University of MadridSpanyol. la pergi ke Prancis untukmelanjutkan studi, tetapi ternyatapermohonan beasiswanya ditolak. latetap memutuskan untuk tinggal diPrancis dan bekerja sebagai guru ba-hasa Spanyol, penyiar radio, danmenulis secara profesional. Mariotak kembali ke Peru karena meskipada 1960-an teIjadi Latin AmericanBooming, tetapi penerbit-penerbit diPeru tidak memungkinkan parapenulis untuk memperoleh peng-hasilan yang cukup.Debutnya dimulai saat Llosa

"meminjamkan" pengalaman pahit-nya di Leoncio Prado pada novel per-tamanya, The Time of TheHero(1963). Di Spanyol, Mario mendapatpenghargaan Premio de la Critica Es-pafiola karena teknik penulisan danpendalamannya. Akan tetapi ironis-nya, di tanah airnya, Peru, seribu kopinovel itu dibakar di lapangan upacaraoleh perwira militer sambil menudingMario dibayar oleh Ekuador untukmenjatuhkan militer Peru.Meski menerima hujan hujatan

dari militer Peru, novel itu menge-nalkan nama Mario Vargas Llosa kepublik sastra dunia -- khususnya pa-da pemakai bahasa Spanyol-- seba-gai novelis muda yang genial. Po-sisinya makin mantap setelah iamenulis novel The Green House(1966), yang mengisahkan per-jalanan seorang gadis biara menjadipelacur paling ternama, dan Conver-sation in The Cathedral (1969) yangmerupakan salah satu karya ter-baiknya.Llosa terns bereksperimen, terma-

suk membuat parodi atas karyanyasendiri, The Green House, dalamCaptain Pantoja and The SpecialService, yang diilhami saat ia mene-mukan pelacur-pelacur sewaan un-tuk tentara yang berdinas di hutan.la kembali disambut tepuk tanganmeriah saat menulis The War of theEnd of the World -- yang ia sebutkarya favoritnya -- novel mengambillatar pemberontakan di Brasil padaabad ke-to oleh gerakan mesianik.Uosajuga mengangkat AlejandroMayta dalam TheReal Life of Ale-jandro Mayta. Seorang revolusionerTrotskyis, potret dari seorang pe-megang teguh ideologi kiri revolu-sioner di Amerika Latin. Seorang ro-mantik, pemuja Tuhan dan Marxdengan kadar ketaatan yang setara.Si revolusioner yang memanipulasikamerad muda dan idealis yangjatuh karena didorong oleh utopia

Kliping Humas Unpad 2010

dan faksionalisme.Sementara Feast of the Goat

(2000), merupakan novel yangmengangkat kejatuhan diktator R~publik Dominika, Rafael Trujillo. P -da karyanya yang lain, The Way toParadise (2002) Llosa menyorotiseorang feminis-sosialis, Flora Trisltan dan cucunya pelukis Paul Gau-guin, dan mendapat sambutan be-ragam. Sebagian menganggapnya se-bagai novel yang menarik, sebagiberpendapat novel itu gagalmenangkap spirit dari Flora danPaul. Setidaknya, novel itu tidak se-cerlang karya Llosa terdahulu.Pada 2006, Llosa menulis ulang

karya Gustave Flaubert, MadameBovary dalam TheBad Girl. Secarkeseluruhan, kiranya klaim dariKomite Nobel bahwa ia memiliki"kemampuan untuk memetakanstruktur kekuasaan dan mata yangtajam dalam memotret perlawan ,pemberontakan, dan kekalahanmanusia" tidaklah berlebihan.Dari tiga puluh karyanya, Uosaj -

ga menulis esai, naskah drama, dankritik sastra. la menulis The Perpe-tual Orgy yang membahas keterkai-tan antara dirinya dan GustaveFlaubert, juga La Utopia Arcaica ih-wal perkembangan sastra di Peru.DisertasidoktoralnyatentangGabriel Garcia Marquez dibdan pada 2007, Llosa mengizinkanbagian dari buku itu sebagai bagiandari edisi khusus 40 tahun One Hun-dred Years of Solitude. Konon, itumenandai rekonsiliasi, tetapi bebpa sastrawan Amerika Latin berpe -dapat, mereka tak akan pernah ke -bali rujuk seperti dahulu, sebesarapa pun harapan melihat itu terja ,i,Sebagaimana halnya penulis lai

di Amerika Latin, Mario VargasLlosa menceburkan dirinya dalamkegiatan politik. "Sastra adalah ek-spresi kehidupan, dan Anda tak bi amengenyahkan politik dari kehid -pan." ltulah yang ia yakini. Nam ,berlainan dengan kawan-kawanAmerika Latin, ia mengalami pe-rubahan-perubahan ekstrem dalperjalanan politiknya. Bermula dkiri yang berapi-api, dan ia segera:kecewa pada Fidel Castro setelahpresiden Kuba itu memenjarakaripenyair Herberto Padilla. Sejak isecara bertahap ia beranjak kekanan, memercayai liberalisme dapasar bebas. .KarierpolitiknyasempatgoyaH

saat ia ditunjuk sebagai bagian dInvestigatory Commision pada 1 3,

1-

komisi yang dibentuk pemerintahuntuk menginvestigasi kematian de-lapanjurnalis di Uchuraccay. Hasilinvestigasi yang menyebut bahwapenduduk aslilah yang bertanggungjawab atas insiden itu segera dijawabdengan kecaman oleh media massadan para antropolog. Media massamenyebut komisi itu menyembu-nyikan operasi militer yang di-jalankan pemerintah, danantropolog menuduh Mario VargasLlosa memakai kacamata Barat-modem untuk mengamati priburnidesa itu. Mario menangkis semuatuduhan dan balik menyerang mere-ka dengan mengatakan mereka se-mua berpaling dari kenyataan bahwabanyak penduduk yang meninggaldunia di tangan gerilya. Pada 1993,satu novel yang terinspirasi dari insi-den ini lahir, Death in the Andes.

Puncak gerakan politiknya adalahsaat ia, mewakili partai Fredemo,maju dalam pencalonan Presiden

Peru. Proposal ekonominya yang ne-olib tentu saja tak populer untukrakyat Peru, dan ia kalah telak dariAlberto Fujimori. "Aku dulu sangatdungu. Dengan naif aku percayabahwa aku bisa membawa Peru kearah yang lebih baik," katanya dalamwawancara tentang keputusan poli-tiknya kala itu. la menuangkan pen-galamannya selama pencalonanpresiden itu dalam memoar, Fish inthe Water (2002).

Llosa tetap aktif menyuarakanpendapat politiknya, seperti yang ialakukan saat diundang bicara di tele-visi Meksiko oleh Octavio Paz. lamelontarkan satu kalimat yang nan-tinya menjadi adagium, "Meksikoadalah kediktatoran yang sempur-na," karena tersamar dan seolah-olah demokratis. Pada 1993, iamenerima kewarganegaraan Spanyolsebagai bentuk kekecewaan pada pe-merintahan Fujimori yang mem-bekukan kongres pada 1992. Di

Spanyol, Llosa kemudian be antihaluan dari tengah-kanan menjaditengah-kiri. la mengambiljalan te-ngah dan mengutarakan penenta-ngannya terhadap ekstrem kananataupun ekstrem kiri. "Aku menen-tang pemerintahan yang otoriter,baik itu kiri maupun kanan,"katanya.

Selain menjadi sastrawan danpolitisi, ia juga intelektual. Sejakakhir 1960-an, ia telah memberi ku-liah di berbagai universitas temama.Kamis pagi, saat panitia Nobelmenelefon apartemennya di Man-hattan, ia sedang mempersiaPpkanmateri kuliah, dan hendak berjalan-jalan dengan istrinya. Kini, ia masihmengajar di Princeton, kajian Ameri-ka Latin dengan fokus pada JorgeLuis Borges.***

PRADEWI TRI CHATAMI,penyair, belajar antropologi di

Unpad.

MARIO Vargas Llosa. *