13
Pidana Adat Tinjauan Kasus Adat di Bali Studi Kasus Pidana Adat Tinjauan Studi Hukum dan Masyarakat Universitas Udayana Denpasar Bali 23 Maret 2010. Keberadaan peradilan adat di Indonesia sudah berlangsung untuk kurun waktu yang cukup lama. Menurur Prof Hilman Hadikusuma, jauh sebelum agama Islam masuk di Indonesia, negri yang serba ragam penduduknya ini sudah lama melaksanakan tata tertib peradilan menurut hukum adat (Hadikusuma, 1989;“orang Indonesia asli“ berhadap dengan apa yang dinamakan“gouvernement rechtsspraak“ (peradilan gouvernement) terutama didaerah-daerah yang dikuasai oleh Belanda. Secara historis hukum adat dipandang sangat demokratis karena is lahir melalui proses dan seleksi yang panjang. Kemakmuran dan kepentingan serta kelangsungan hidup masyarakat adalah prioritas utama dalam hukum adat. Hukum adat memberikan keadilan dan rasa keamanan pada siapapun, selagi mentaati dan mematuhi ketentuan yang berlakudalam masyarakat hukum adat. Persoalanya, kenapa sekarang diantara masyarakat mulai meninggalkan hukum adat dan memilih hukum negara dalam menyelesaikan persoalan yang mereka hadapi? Padahal kewenangan untuk menyelesaikan perkara, apakah itu pada tingkat peradilan adat atau peradilan negara, merupakan menjadi tanggung jawab pihak yang bersengketa. Pertanyaan ini semangkin penting, bahwa pada kenyataannya peradilan negara juga bukan merupakan jaminan bagi menyelesaikan substansi persoalan yang mereka hadapi. Problematika peradilan adat. Problematika yang dihadapi oleh peradilan adat pada saat sekarang adalah pertama, di satu pihak masyarakat adat memaknai peradilan adat sebagai satu bagian yang terintegrasi utuh dengan sistem nilai dan sistem sosial yang mereka anut. Pada bagian lain, negara hadir dengan sistem nilai dan sistem sosialnya sendiri yang seringkali mengatasi, mendominasi, bahkan merepresi keberadaan masyarakat adat beserta sistem-sistem kehidupan mereka. Ini yang dikenal sebagai peminggiran atau penghancuran sistemis terhadap komunitas-komunitas masyarakat adat. Kedua, sebagai bagian dari masyarakat global, masyarakat adatpun tidak lepas dari pengaruh interaksi dengan dunia luarnya. Implikasi dari interaksi ini adalah penyerapan atau pemaksaan berlakunya sistem- sistem yang datang dari luar. Dalam hubungannya dengan sistem peradilan negara, peradilan adat menghadapi tantangan dan upaya penyeragaman sistem hukum, termasuk sistem peradilan. Ketiga, jurang pengetahuan dan kepedulian yang dalam antar generasi tua dan generasi muda masyarakat

Pidana adat tinjauan kasus adat di bali

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Pidana adat tinjauan kasus adat di bali

Pidana Adat Tinjauan Kasus Adat di Bali

Studi Kasus Pidana Adat Tinjauan Studi Hukum dan Masyarakat

Universitas Udayana Denpasar Bali 23 Maret 2010.

Keberadaan peradilan adat di Indonesia sudah berlangsung untuk kurun waktu yang

cukup lama. Menurur Prof Hilman Hadikusuma, jauh sebelum agama Islam masuk di

Indonesia, negri yang serba ragam penduduknya ini sudah lama melaksanakan tata tertib

peradilan menurut hukum adat (Hadikusuma, 1989;“orang Indonesia asli“ berhadap dengan

apa yang dinamakan“gouvernement rechtsspraak“ (peradilan gouvernement) terutama

didaerah-daerah yang dikuasai oleh Belanda.

Secara historis hukum adat dipandang sangat demokratis karena is lahir melalui

proses dan seleksi yang panjang. Kemakmuran dan kepentingan serta kelangsungan hidup

masyarakat adalah prioritas utama dalam hukum adat. Hukum adat memberikan keadilan dan

rasa keamanan pada siapapun, selagi mentaati dan mematuhi ketentuan yang berlakudalam

masyarakat hukum adat. Persoalanya, kenapa sekarang diantara masyarakat mulai

meninggalkan hukum adat dan memilih hukum negara dalam menyelesaikan persoalan yang

mereka hadapi?

Padahal kewenangan untuk menyelesaikan perkara, apakah itu pada tingkat peradilan

adat atau peradilan negara, merupakan menjadi tanggung jawab pihak yang bersengketa.

Pertanyaan ini semangkin penting, bahwa pada kenyataannya peradilan negara juga bukan

merupakan jaminan bagi menyelesaikan substansi persoalan yang mereka hadapi.

Problematika peradilan adat. Problematika yang dihadapi oleh peradilan adat pada

saat sekarang adalah pertama, di satu pihak masyarakat adat memaknai peradilan adat

sebagai satu bagian yang terintegrasi utuh dengan sistem nilai dan sistem sosial yang mereka

anut. Pada bagian lain, negara hadir dengan sistem nilai dan sistem sosialnya sendiri yang

seringkali mengatasi, mendominasi, bahkan merepresi keberadaan masyarakat adat beserta

sistem-sistem kehidupan mereka. Ini yang dikenal sebagai peminggiran atau penghancuran

sistemis terhadap komunitas-komunitas masyarakat adat. Kedua, sebagai bagian dari

masyarakat global, masyarakat adatpun tidak lepas dari pengaruh interaksi dengan dunia

luarnya. Implikasi dari interaksi ini adalah penyerapan atau pemaksaan berlakunya sistem-

sistem yang datang dari luar.

Dalam hubungannya dengan sistem peradilan negara, peradilan adat menghadapi

tantangan dan upaya penyeragaman sistem hukum, termasuk sistem peradilan. Ketiga, jurang

pengetahuan dan kepedulian yang dalam antar generasi tua dan generasi muda masyarakat

Page 2: Pidana adat tinjauan kasus adat di bali

adat tentang berbagai sistem sosial, budaya, politik, hukum dan peradilan adat, ekonomi dan

kepercayaan yang menyertai keberadaan masyarakat adat. Keempat, sebagian dari

masyarakatnya dan tidak lagi mempercayai keputusan dari peradilan adat yang sudah

diputuskan melalui peradilan adat, dan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap orang yang

memutuskan perkara tersebut, sehingga sebagian dari masyarakatnya yang tetap membawa

kasusnya diselesaikan ditingkatkan peradilan negara.

Peluang ini juga pontesial sebagai salah satu upaya untuk mengurangi penumpukan

perkara di pengadilan negara. Disamping itu, peradilan negara juga harus kreatif memberikan

dan menciptakan peluang bagi masyarakat yang berperkara untuk menemukan upaya

perdamaian.

Pidana Pemenuhan Kewajiban Adat Dalam RUU KUHP Tahun 2008

Pada asasnya, secara substansial sistem hukum pidana adat berlandaskan pada nilai-nilai

yang terkandung dalam suatu masyarakat dengan bercirikan asas kekeluargaan, religius

magis, komunal dengan bertitik tolak bukan atas dasar keadilan individu akan tetapi keadilan

secara bersama. Konsekuensi logis dimensi demikian maka penyelesaian dalam suatu

masyarakat adat berlandaskan pada dimensi penyelesaian yang membawa keselarasan,

kerukunan dan kebersamaan. Tegasnya, hukum pidana adat lebih mengkedepankan eksistensi

pemulihan kembali keadaan terguncang akibat pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku.

Soepomo menyebutkan dalam sistem hukum pidana adat tujuan dijatuhkannya sanksi adat

sebagaimana berlaku dan dipertahankan pada suatu masyarakat adat bukanlah sebagai suatu

pembalasan agar pelanggar menjadi jera akan tetapi adalah untuk memulihkan perimbangan

hukum yang terganggu dengan terjadinya suatu pelanggaran adat. Perimbangan hukum itu

meliputi pula perimbangan antara dunia lahir dengan dunia gaib.

Penjatuhan pidana yang dijatuhkan hakim adalah sebuah proses mengadili dengan

bertitik tolak alat bukti, proses pembuktian, hukum pembuktian dan ketentuan hukum acara

pidana. Pada proses ini hakim memegang peranan penting untuk mengkonkritkan sanksi

pidana yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dengan penjatuhan pidana

terhadap pelaku melalui putusan. Penjatuhan pidana oleh hakim mempertimbangkan segala

aspek baik perbuatannya, pelakunya (daad-dader strafrecht), tujuan pemidanaan serta

mempertimbangkan keseimbangan kepentingan antara pelaku, bangsa dan negara, korban,

ilmu hukum dan demi keadilan berdasarkan ketuhanan yang maha esa.

Pada asasnya, konsep RUU KUHP Tahun 2008 merumuskan tujuan pemidanaan. Aspek

dan dimensi ini merupakan sebuah kemajuan yang cukup representatif dalam hukum pidana

Indonesia. Ketentuan Pasal 54 ayat (1) huruf c RUU KUHP menentukan, “pemidanaan

Page 3: Pidana adat tinjauan kasus adat di bali

bertujuan menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan

keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat”, sehingga agar dapat

terpenuhinya dimensi ini secara konkrit pada praktik penegakan hukum telah ditentukan pula

adanya eksistensi pidana tambahan sebagaimana ketentuan Pasal 67 ayat (1) huruf e

berupa, “pemenuhan kewajiban adat setempat dan/atau kewajiban menurut hukum yang

hidup dalam masyarakat”. Asasnya, hakim menjatuhkan pidana “pemenuhan kewajiban adat

setempat dan/atau kewajiban menurut hukum yang hidup dalam masyarakat” apabila pelaku

telah memenuhi ketentuan Pasal 1 ayat (3), (4) RUU KUHP yang disebut sebagai tindak

pidana adat. Kemudian, penjatuhan pidana tambahan ini dapat dijatuhkan bersama-sama

dengan pidana pokok, sebagai pidana yang berdiri sendiri atau dapat dijatuhkan bersama-

sama dengan pidana tambahan yang lain.

Konsepsi pidana tambahan berupa pemenuhan kewajiban adat setempat dan/atau

kewajiban menurut hukum yang hidup dalam masyarakat atau pencabutan hak dapat

dijatuhkan walaupun tidak tercantum dalam perumusan tindak pidana. Eksistensi adanya

penjatuhan pidana tambahan dimaksudkan untuk menambah pidana pokok yang dijatuhkan

dan pada dasarnya bersifat fakultatif. Tegasnya hakim bebas dalam menentukan pidana

tambahan baik bersama dengan pidana pokok atau sebagai pidana berdiri sendiri atau juga

dijatuhkan bersama-sama dengan pidana tambahan lain, meskipun tidak dicantumkan sebagai

ancaman dalam rumusan tindak pidana.

Apabila dikaji secara intens, detail dan terperinci sebagai dasar kewenangan hakim untuk

menjatuhkan sanksi adat berupa pemenuhan kewajiban adat setempat dan/atau kewajiban

menurut hukum yang hidup dalam masyarakat”ditegaskan oleh ketentuan Pasal 100 ayat (1)

RUU yang menentukan, “dengan memperhatikan ketentuan Pasal 1 ayat (4) hakim dapat

menetapkan pemenuhan kewajiban adat setempat dan/atau kewajiban menurut hukum yang

hidup dalam masyarakat”, kemudian jika perbuatan pelaku merupakan tindak pidana adat

sebagaimana ketentuan Pasal 1 ayat (3) maka penjatuhan pidana oleh hakim berupa

pemenuhan kewajiban adat setempat dan/atau kewajiban menurut hukum yang hidup dalam

masyarakat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan pidana pokok atau yang

diutamakan.

Konsekuensi logis dimensi konteks di atas dapat disebutkan bahwa apabila hakim

mengadili tindak pidana adat maka agar pidana yang dijatuhkan bersifat proporsional dan

dapat diterima dan dipahami dengan baik oleh masyarakat maupun pelaku, hakim harus

mempertimbangkan pedoman pemidanaan dan tujuan pemidanaan.

Page 4: Pidana adat tinjauan kasus adat di bali

Ketentuan Pasal 55 ayat (1) RUU KUHP Tahun 2008 tentang pedoman pemidanaan dimana

disebutkan dalam pemidanaan wajib mempertimbangkan:

1. kesalahan pembuat tindak pidana;

2. motif dan tujuan melakukan tindak pidana;

3. sikap batin pembuat tindak pidana;

4. apakah tindak pidana dilakukan dengan berencana;

5. cara melakukan tindak pidana;

6. sikap dan tindakan pembuat sesudah melakukan tindak pidana;

7. pengaruh pidana terhadap masa depan pembuat tindak pidana;

8. pengaruh tindak pidana terhadap korban atau keluarga korban;

9. pemaafan dari korban dan/atau keluarganya; dan/atau

10. pandangan masyarakat terhadap tindak pidana yang dilakukan.

Kemudian ketentuan Pasal 54 ayat (1) menentukan tujuan pemidanaan bertujuan:

1. mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi

pengayoman mesyarakat;

2. memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadi

orang yang baik dan berguna;

3. menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan

keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat; dan

4. membebaskan rasa bersalah pada terpidana.

Pedoman pemidanaan khususnya yang berupa pandangan masyarakat terhadap tindak

pidana yang dilakukan dan tujuan pemidanaan khususnya berupa menyelesaikan konflik yang

ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai

dalam masyarakat adalah dimensi yang harus diperhatikan hakim dalam menjatuhkan

putusan. Apabila anasir ini diperhatikan maka putusan hakim juga secara menyeluruh

mempertimbangkan dimensi legal justice, moral justice dan social justice.

Pidana berupa pemenuhan kewajiban adat setempat dan/atau kewajiban menurut hukum

yang hidup dalam masyarakat dianggap setara atau sebanding dengan pidana denda Kategori

I dengan besaran sejumlah Rp. 1. 500.000, 00 (satu juta lima ratus ribu rupiah) dan jikalau

pidana berupa pemenuhan kewajiban adat setempat dan/atau kewajiban menurut hukum yang

hidup dalam masyarakat tidak dilaksanakan terpidana maka dapat dikenakan pidana

pengganti untuk pidana denda yang dapat berupa pidana pengganti kerugian. Barda Nawawi

Arief menyebutkan bahwa pidana tambahan berupa pemenuhan kewajiban adat setempat

dan/atau kewajiban menurut hukum yang hidup dalam masyarakat di dalam konsep RUU

KUHP merupakan salah satu aspek perlindungan terhadap korban dimana jenis pidana ini

pada dasarnya dapat juga dilihat sebagai bentuk pemberian ganti rugi kepada korban. Hanya

saja yang menjadi korban di sini adalah masyarakat adat.

Page 5: Pidana adat tinjauan kasus adat di bali

Konsekuensi logis diakui dan adanya dasar hukum yang tegas eksistensi hukum yang

hidup (hukum pidana adat) akan memberikan tugas, tanggung jawab dan beban relatif lebih

berat kepada hakim untuk lebih dapat memahami dan menggali nilai-nilai hukum yang hidup

dalam masyarakat. Hakim harus benar-benar memahami perasaan masyarakat, keadaan

masyarakat, terlebih masyarakat Indonesia yang majemuk dengan pelbagai macam adat

istiadat, tradisi dan budaya yang berbeda-beda yang tetap dipertahankan sebagai hukum yang

hidup. Soedarto menyebutkan bahwa mata, pikiran dan perasaan hakim harus tajam untuk

dapat menangkap apa yang sedang terjadi dalam masyarakat, agar supaya keputusannya tidak

kedengaran sumbang. Hakim dengan seluruh kepribadiannya harus bertanggung jawab atas

kebenaran putusannya baik secara formal maupun materiil.

Ada beberapa sanksi adat yang dikenal dalam hukum adat Bali, seperti danda arta

(denda), sangaskara danda (melaksanakan upacara tertentu) dan kasepekang (diberhentikan

dan dikucilkan sebagai warga desa pakraman). Diantara beberapa sanksi adat yang dikenal,

sanksi adat kasepekang dapat dikatakan paling terkenal. Kenyataan ini disebabkan oleh

beberapa hal, seperti: adanya larangan penguburan jenasah, munculnya konflik intern desa

dan munculnya wacana pro dan kontra di media massa, segera setelah sanksi kasepekang

dijatuhkan.

Sanksi dan Hukum

Mengutip pendapat L. Pospisil (1956) dalam disertasinya yang berjudul The Kapauku

Papuans and Their Law, Koentjaraningrat (1984: 22) mengemukakan bahwa hukum adalah

suatu aktivitas di dalam rangka suatu kebudayaan yang mempunyai fungsi pengawasan

sosial. Untuk membedakan suatu aktivitas itu dan aktivitas-aktivitas kebudayaan lain yang

mempunyai fungsi serupa dalam sesuatu masyarakat, seseorang peneliti harus mencari akan

adanya empat ciri dari hukum, atau attributes of law, yaitu: (1) Attribute yang terutama

disebut atributte of law authority (keputusan-keputusan melalui suatu mekanisme yang diberi

kuasa dan pengaruh dalam masyarakat). (2) Attribute yang kedua disebut attribute of

intention of universal application (keputusan-keputusan dari pihak yang berkuasa itu harus

dimaksudkan sebagai keputusan-keputusan yang mempunyai jangka waktu panjang dan yang

harus dianggap berlaku juga terhadap peristiwa-peristiwa yang serupa dalam masa yang akan

datang. (3) Attribute yang ketiga disebut attribute of obligation (keputusan-keputusan dari

pemegang kuasa itu harus mangandung perumusan dari kewajiban pihak ke satu terhadap

pihak kedua, tetapi juga hak dari pihak kedua yang harus dipenuhi oleh pihak kesatu). (4)

Attribute yang keempat disebut attribute of sanction (keputusan-keputusan dari pihak

berkuasan harus dikuatkan dengan sanksi dalam arti seluas-luasnya).

Page 6: Pidana adat tinjauan kasus adat di bali

Dengan demikian jelaslah kalau hukum dan sanksi seperti satu paket. Hukum selalu

disertai sanksi yang dapat dikenakan kepada pihak yang mengingkari hukum yang dimaksud.

Oleh para ahli ilmu sosial sanksi ini diberi arti yang lebih luas dari penggunaannya dalam

hukum. Radcliffe-Brown menguraikan sanksi menjadi dua yaitu: sanksi negatif dan sanksi

positif. Sanksi negatif diberikan bagi orang yang berlaku tidak sesuai dengan aturan hukum.

Sedangkan sanksi positif (pujian) bagi orang yang berlaku taat, tanpa merinci siapa yang

memberi pujian ataupun hukuman. (Ihromi, 1984: 60). Jadi sanksi adalah perangkat aturan-

aturan yang mengatur bagaimana lembaga-lembaga hukum mencapuri suatu masalah untuk

dapat memelihara suatu sistem sosial sehingga memungkinkan warga masyarakat hidup

dalam sistem itu secara tenang dan dalam cara-cara yang dapat diperhitungkan.

Mengacu pada pendapat Radcliffe-Brown, dapat dikemukakan bahwa yang disebut

sanksi negatif - dari sudut hukum pidana - disebut “hukuman” atau “pidana” . Dimaksudkan

dengan hukuman (pidana) dalam pengertian Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)

ialah : “Suatu perasaan tidak enak (sengsara) yang dijatuhkan oleh hakin dengan ponis

kepada orang yang telah melanggar undang-undang hukum pidana. (Soesilo, 1976: 30) .

Sedangkan sanksi negatif dikalangan masyarakat tradisional atau masyarakat adat, dikenal

dengan “sanksi adat”, “koreksi adat”, “reakasi adat” atau dalam bahasa Emile Durkheim

(1976: 502) disebut “reaksi sosial”. Untuk di Bali, sanksi adat (koreksi adat, reaksi adat atau

reaksi sosial), umumnya disebut “danda”, “pamidanda”. Kena danda, berarti dikenakan

sanksi.

Sampai disini, ada baiknya diketahui pendapat Emile Durkheim (1976: 502), yang

mengatakan bahwa reaksi sosial yang berupa penghukuman atau sanksi itu sangat perlu

dilakukan, sebab mempunyai maksud untuk mengadakan perawatan agar tradisi-tradisi

kepercayaan adat menjadi tidak goyah sehingga kestabilan masyarakat dapat terwujud.

Dengan mengikuti pandangan tersebut, dapat dikemukakan bahwa sanksi adat (reaksi adat,

koreksi adat) merupakan bentuk tindakan ataupun usaha-usaha untuk mengembalikan

ketidak-seimbangan termasuk pula ketidak seimbangan yang bersifat magis akibat adanya

gangguan yang merupakan pelanggaran adat.

Terkait dengan alam pikiran Indonesia yang bersifat kosmis, Soepomo (1979: 112)

mengemukakan bahwa yang penting ialah adanya pengutamaan terhadap terciptanya suatu

keseimbangan antara dunia lahir dan dunia gaib, antara golongan manusia seluruhnya dan

orang seorang, antara persekutuan dan teman masyarakatnya. Segala perbuatan yang

menganggu perimbangan tersebut merupakan pelanggaran hukum dan petugas hukum wajib

mengambil tindakan-tindakan yang perlu guna memulihkan kembali perimbangan hukum.

Page 7: Pidana adat tinjauan kasus adat di bali

Dengan demikian sanksi adat mempunyai fungsi dan berperan sebagai stabilitasator untuk

mengembalikan keseimbangan antara dunia lahir dengan dunia gaib. Sanksi dalam fungsi

tersebut, mempunyai peranan penting di dalam kehidupan masyarakat adat di Bali. Demikan

pentingnya sehingga terhadap tindak pidana (kejahatan dan pelanggaran) biasapun

adakalanya dibebani sanksi adat meskipun pelakunya sudah dipidana sesuai dengan hukum

positif (KUHP).

Kasus Adat

Berdasarkan data hingga akhir 2011 di Kabupaten Gianyar sekitar 4 tapal batas desa

yang masih dalam tahap penyelesaian. akan segera menyelesaikannya.

-Tapal Desa Ketewel – Desa Guwang

-Tapal Desa Buruan – Desa Bedulu

-Tapal Desa Keramas – Desa Medahan

-Tapal Desa Singapadu – Desa Celuk.

ANALISIS:

Dalam kehidupan sehari – hari, pada masyarakat adat tercermin sifat religious, social,

kekeluargaan, dan hubungan yang harminis sesame warga masyarakat. Dalam kehidupan

bermasyarakat, kerukunan menjadi dasar ikatan. Setiap warga masyarakat ,merasa bangga

ketika dapat mengabdi untuk kepentingan masyarakatnya.

Dalam dinamika masyarakat yang ditandai dengan pesatnya ilmu pengatuan dan

teknolpgi, maka pada masyarakat adat timbul kesadaran untuk meningkatkan diri, untuk

mengikuti perkembangan kehidupan masyarakat yang semakin maju. Hal ini menyebabkan

terjadinya perubahan social, yang berpengaruh pada pergeseran nilai budaya masyarakat.

Nilai – nilai yang telah mapan dalam kehidupan masyarakat mengalami perubahan, antara

lain terjadinya pergeseran nilai sacral berubah menjadi profane, dan nilai agama bergeser

menjadi nilai ekonomi. Dengan terjadinya perubahan nilai dalam masyarakat, maka timbulah

kepentingan pribadi yang dapat berbenturan dengan kepentingan masyarakat, sehingga

melahirkan konflik adat.

Dalam sistem adat Bali, tapal batas desa merupakan sebuah konsep tata kelola untuk

pemanfaatan dalam merumuskan, menterjemahkan hak dan kewajiban masyarakat selaku

krama yang berkaitan dengan kahyangan tiga. Tapal batas desa terdapat pada konsep

palemahan yang dipertegas dengan awig-awig dan pararem. Artinya setiap desa pekraman

meski mempunyai batas desa yang jelas. Terhadap kepemilikan tapalbatas desa, bisa saja satu

Page 8: Pidana adat tinjauan kasus adat di bali

tapal batas desa dimiliki satu desa pekraman, dan satu tapal batas desa dipergunakan bersama

oleh dua desa pekraman berbeda. Tergantung perjalanan sejarah dan kesepakatan dari para

tetua mereka. Namun, perkembangan jaman disertai dengan terjadinya degradasi budaya dan

mental, masalah adu gengsi, harga diri, serta pola argumentasi, konsensus yang sebelumnya

dibuat oleh para pendahulu mereka kini diabaikan begitu saja. Sehingga muncul pertikaian

berujung pada konflik rebutan atau pengklaiman tapal batas desa. Konflik yang menjadikan

tapal batas desa sebagai objek sengketa memunculkan opini bahwa masyarakat Bali untuk

tapal batas desa saja susah. Karena lahan tapal batas desa dengan adanya konflik harus

dilewati dengan persoalan yang cukup berat. Berikut beberapa hal yang akan diuraikan dari

kasus diatas:

a. Faktor Penyebab Konflik Adat:

Konflik adat terjadi antara warga desa dengan sesamanya, antara warga desa dengan

atau kelompok dengan desa. Hal yang berpotensi sebagai faktor penyebab munculnya konflik

di desa pakraman adalah: Pertama, warga desa (krama desa) belum memiliki persepsi yang

sama mengenai tujuan (patitis) desa pakraman. Akibatnya, upacara agama yang dilaksanakan

sering melampaui kemampuan desa pakraman penyelenggara, terutama dalam hubungan

dengan dana dan tenaga yang diperlukan. Kedua, sebagian besar institusi di luar desa

pakraman, belum sepenuhnya memahami tugas pokok dan fungsi (tupoksi) desa pakraman.

Sebagai organisasi sosial religius, desa pakraman dibangun untuk menciptakan kedamaian

(kasukertan) desa. Maka dari itu, segala program kerja yang disusun oleh perangkat pimpinan

(prajuru) desa, awig-awig dan sanksi adat yang dibuat, dan upacara agama yang dilaksanakan

di Pura Kayangan Tiga atau Kayangan Desa, sepatutnya diformat sedemikian rupa, sehingga

dapat menciptakan kedamaian desa. Kalau ada program kerja, awig-awig, dan upacara agama

yang melampaui kondisi ekonomi, sehingga menimbulkan permasalahan bagi warga desa

pakraman, patut ditinjau dan disesuaikan dengan tujuan (patitis) yang ingin dicapai yaitu

kedamaian (kasukertan) desa. Apabila tidak demikian adanya, lama kelamaan warga desa

dapat berubah bentuk menjadi “katak” dan desa pakraman akan menjadi “tempurungnya”.

Disisi lain, sebagian besar institusi di luar desa pakraman, belum sepenuhnya memahami

tugas pokok dan fungsi (tupoksi) desa pakraman. Akibatnya, mereka cendrung menganggap

desa pakraman penghambat kemajuan. Atas nama kemajuan, lalu mereka datang ke desa.

Maksud hati menjadi motivator atau investor, yang muncul justru provokator.

b. Mencegah Konflik di Desa Pekraman:

Page 9: Pidana adat tinjauan kasus adat di bali

Untuk mencegah munculnya konflik di desa pakraman, ada beberapa hal yang perlu

diperhatikan, sebagai berikut. Pertama, sanksi adat yang telah terbukti menjadi sorotan

berbagai pihak karena dianggap tidak sesuai dengan perkembangan zaman dan hak azasi

manusia (HAM) seperti sanksi adat kasepekang, sebaiknya ditinggalkan dan diganti dengan

jenis sanksi lainnya yang lebih menjamin tercapainya tujuan pengenaan sanksi adat, yaitu

Azas mengembalikan keseimbangan dalam masyarakat dan Azas menciptakan kasukertan

sekala niskala (kedamaian lahir batin). Kedua, prajuru desa perlu mengadakan perubahan

orientasi dalam menegakkan hukum adat (awig-awig desa). Penegakan awig-awig tidak lagi

harus bersikukuh pada interpretasi teks, melainkan lebih berorientasi pada konteks ruang dan

waktu serta Azas manfaat yang didapat. Dalam hubungan dengan usaha menciptakan

kasukertan (kedamaian) desa, hal ini mengandung arti bahwa dalam mengambil keputusan,

perangkat pimpinan desa pakraman (prajuru desa) tidak semata-mata harus berpegang pada

suara terbanyak (briuk siyu), melainkan patut meperhatikan Azas kepatutan yang berlaku

umum.

c. Menyelesaikan Konflik

Desa Pakraman merupakan kesatuan masyarakat hukum Adat yang mempunyai satu

kesatuan tradisi dan tata krama pergaulan hidup masyarakat umat Hindu secara turun

temurun, dalam ikatan Khayangan tiga, atau Khayangan Desa, yang mempunyai wilayah dan

harta kekayaan sendiri serta berhak mengurus rumah tangganya sendiri. Karakteristik

masyarakat adat bersifat social religious yang ditandai oleh adanya unsure tradisi dan agama

Hindu yang dimanifestasikan dalan suatu aturan yang disebut awig – awig. Oleh karena itu,

awig – awig menjadi landasan bagi desa pekraman dalam penyelenggaraan pemerintahan,

guna mewujudkan ketertiban dan ketentraman masyarakat.

Hukum adat memberi peluang untuk menempuh beberapa jalan dalam menyelesaikan

konflik yang melibatkan desa pakraman. Pertama, diselesaikan sendiri oleh desa pakraman.

Kedua, dimintakan bantuan pihak ketiga sebagai penengah. Ketiga, diserahkan kepada pihak

yang berwenang (sang rumawos).

Cara paling tradisional dan mudah dimengerti, untuk menyelesaikan konflik yang

melibatkan desa pakraman adalah diselesaikan sendiri oleh desa pakraman dan pihak-pihak

yang terlibat dalam konflik tersebut. Cara ini dikatakan murah karena memang tidak

membutuhkan biaya dan waktu yang terlalu banyak. Syaratnya, masing-masing pihak yang

terlibat konflik benar-benar memahami hakikat obyek yang menjadi sumber pemicu konflik

dan masing-masing pihak juga benar-benar bermaksud menciptakan kedamaian bersama.

Masalahnya, sering kali pihak yang terlibat konflik, kurang mengerti hakikat objeknya,

Page 10: Pidana adat tinjauan kasus adat di bali

sehingga yang muncul sebenarnya adalah pertarungan gengsi. Kalau masing-masing

kemudian bertahan pada gengsi dan ketidatahuannya, maka konflik adat yang sebenarnya

murah, menjadi tidak mudah diselesaikan.

Kalau cara pertama berakhir buntu, disebabkan karena para pihak bertahan pada

keinginannya masing-masing, dapat dipilih cara kedua, dimintakan bantuan pihak ketiga

sebagai penengah. Dalam lalu lintas hukum, cara ini dikenal dengan istilah Alternatif Dispute

Resolution (ADR). Pihak ketiga yang mempunyai pengetahuan dan pengalaman sebagai

penengah menyelesaikan konflik, akan mengambil beberapa langkah awal sebelum

memberikan beberapa alternatif penyelesaian. Pertama-tama akan dijelaskan beberapa

termimologi yang berkaitan dengan penyebab munculnya konflik tersebut. Sesudah para

pihak memiliki persepsi yang sama, barulah diberikan beberapa pilihan untuk

menyelesaikannya. Pada akhirnya yang menentukan pilihan adalah pihak-pihak yang terlibat

konflik. Cara ini memang lebih mudah dari cara pertama, tetapi tidak murah. Perlu disiapkan

sejumlah dana untuk pihak ketiga yang membantu penyelesaian konflik adat yang dimaksud,

sebagai honor atau uang jasa, terlepas dari kenyataan apakah yang bersangkutan berhasil

menyelesaikan konflik adat tersebut atau tidak.

Cara paling murah dan relatif mudah untuk menyelesaikan konflik yang melibatkan

desa pakraman adalah dengan cara menyerahkan kepada pihak yang berwenang (sang

rumawos). Yang dimaksud pihak berwenang dalam hal ini adalah pemerintah Kabupaten di

Bali atau pemerintah Provinsi Bali. Selanjutnya, pihak yang berwenang akan berkoordinasi

dengan orang yang ahli dan organisasi lainnya yang memiliki kewenangan dibidang hukum

adat Bali, seperti Majelis Desa Pakraman (MDP) Bali dan Parisada Hindu Dharma Indonesia

(PHDI), dalam menyelesaikan konflik yang dihadapi, dengan harapan lebih mudah

menemukan penyelesaian yang menyejukkan.

Cara penyelesaian konflik ini mengandung beberapa keuntungan, antara lain: (1)

Dominani desa pakraman dan banjar pakraman dapat dikurangi, sehingga pemanfaatan suara

dominan (suryak siu atau beriuk siuk), dapat dihindari; (2) memungkinkan untuk

memperluas penafsiran terhadap awig-awig, dengan memperhatikan konteks disamping teks

awig-awig; (3) dapat mengatasi ketidakjelasan hukum acara yang selama ini ada pada awig-

awig desa.

Apabila cara ketiga ini yang dipilih, berarti segala biaya yang diperlukan (honor, dll),

dalam usaha menyelesaikan konflik yang dihadapi, menjadi tanggungjawab pihak

berwenang. Demikian pula halnya kalau pihak berwenang merasa perlu memanggil pihak

tertentu (yang dianggap ahli) untuk memberikan bantuan, maka segala biaya yang diperlukan

Page 11: Pidana adat tinjauan kasus adat di bali

menjadi tanggungjawab pihak berwenang. Itu sebabnya penyelesaian dengan cara ini

dikatakan “murah”. Pihak-pihak yang terlibat konflik juga tidak perlu pusing memikirkan

alternatif penyelesaiannya. Tugas utama yang harus dilaksanakan adalah menyerahkan fakta,

data, dan daftar keinginan. Sesudah itu, pihak yang berwenanglah yang memikirkan

penyelesaian terbaik bagi para pihak yang terlibat konflik. Sesudah konflik diselesaikan dan

keputusan ditetapkan, tidak ada hak bagi pihak yang terlibat dalam konflik tersebut, untuk

mendiskusikan kembali putusan yang telah diambil. Tugas masing-masing pihak hanya satu,

melaksanakan keputusan pihak berwenang secara tulus ihlas dengan penuh tanggung jawab.

Simpulan

Berdasarkan pembahasan yang telah diuraikan diatas maka dapat disimpulkan bahwa

kasus sengketa batas desa yang terjadi di Desa di Banjar Semana, Desa Pakraman Demayu,

Desa Adat Singekerta, dengan Banjar Ambengan, Desa Adat Sayan, Kecamatan Ubud,

Kabupaten Gianyar, adalah dikarenakan konflik ini dipicu oleh beberapa hal yaitu: warga

desa (krama desa) belum memiliki persepsi yang sama mengenai tujuan (patitis) desa

pakraman, sebagian besar institusi di luar desa pakraman, belum sepenuhnya memahami

tugas pokok dan fungsi (tupoksi) desa pakraman. Melihat keadaan tersebut maka

penyelesaian dari kasus adat ini dapat diselesaikan dengan beberapa cara: Pertama,

diselesaikan sendiri oleh desa pakraman. Kedua, dimintakan bantuan pihak ketiga sebagai

penengah. Ketiga, diserahkan kepada pihak yang berwenang (sang rumawos).

Dalam hukum adat, substansi hukum dan procedural hukum tidak terpisah secara

tegas, namun dapat dibedakan secara teoritis. Kehidupan masyarakat berdasarkan hukum adat

dilandasi oleh hidup bersama dan warga masyarakat tidak mempunyai keinginan terjadinya

konflik adat. Oleh karena itu, dalam hukum adat aturan hukum materiil jauh lebih banyak

dibandingakan dengan hukum acaranya.

Awig – awig desa merupakan hukum adat yang berbentuk tertulis juga tidak tertulis,

substansi awig – awig meliputi tata Parhyangan, tata pawongan, dan tata palemahan, yang

bersumber dari Tri Hita Karana. Namun hukum acaranya hanya meliputi indik wicara dan

tidak diatur secara rinci, melainkan hanya ditentukan oleh siapa yang berwewenang

menyelesaikan konflik adat, dan bagaimana sipak pejabat yang bersangkutan dalam

menyelesaikan konflik adat tersebut.

Namun demikian penyelesaian konflik adat dengan menggunakan hukum adat,

berarti menggali nilai – nilai yang hidup di masyarakat kemudian menerapkannya secara adil

dan bijaksana. Dalam penyelesaian konflik adat tidak ada yang menang atau kalah, melainkan

Page 12: Pidana adat tinjauan kasus adat di bali

diupayakan agar keseimbangan yang terganggu pulih kembali, dan para pihak yang

bersengketa dapat berhubungan secara harmonis sehingga dapat tercipta keselarasan dengan

memperhatikan kenyataan dan perasaan yang hidup dalam masyarakat, yang telah tertanam

menjadi tradisi secara turun temurun.

Saran

Hambatan yang biasanya dihadapi dalam menyelesaikan konflik yang melibatkan

desa apkraman antara lain: Pada umumnya pihak yang terlibat konflik tidak memiliki sikap

yang tegas, mengenai cara mana yang akan dipilih dalam menyelesaikan konflik yang

dihadapi. Apakah mereka akan menyelesaikan sendiri, menggunakan pihak ketiga sebagai

penengah atau menyerahkan kepada pihak yang berwenang. Selain itu, mereka juga tidak

siap menerima konsekwensi yang menyertai masing-masing cara penyelesian konflik

tersebut. Dengan kata lain, sikap mereka sebenarnya ingin menang sendiri. Inilah yang

menyebabkan konflik yang melibatkan desa pakraman menjadi tidak murah dan tidak mudah

diselesaikan, institusi manapun yang diminta untuk menyelesaikannya. Oleh karena itu

disarankan agar sikap ingin menang sendiri dalam menyelesaikan konflik, segera diubah

menjadi sikap ingin menang bersama. Dengan demikian diharapkan, Bali yang dulu pernah

dijuluki “The Last Paradise”, tidak berubah menjadi “The Lost Paradise”.

Berkembangnya dan pesatnya ilmu dan teknologi yang mempengaruhi umat manusia

tidak terkecuali masyarakat Hukum Adat menjadikan persolan batas desa yang perlu

pengaturannya secarta jelas dan tepat dengan memanfaatkan teknologi topografi dan

pemetaan batas desa yang akurat diharapkan mampu mengurangi permasalahan yang timbul

dikemudian hari.

DAFTAR BACAAN

Astiti, TIP, 1997. Pemberdayaan Hakim Perdamaian Desa dalam Menyelesaikan Kasus Adat di Luar

Pengadilan. Pidato Pengenalan Jabatan Guru Besar tetap dalam Bidang Ilmu Hukum Adat,

Fakultas Hukum Universitas Udayana, tanggal 30 Arpil1997.

Ayatrohaedi, 1986. Keperibadian Budaya bangsa (Local Genius). Jakarta, Pustaka Jaya.

Griadhi, I Ketut Wirta, 2005. “Konflik Adat di Bali Suatu Studi Hukum dan Perubahan Sosial”. Tesis pada

Program Studi Ilmu Hukum, Program Pascasarjana Universitas Udayana. Paramita.

Windia, Wayan P, 2000. “Kasepekang Ditengah-tengah Transformasi Budaya. (Studi Kasus di

Desa Adat Tengkulak Kaja, Gianyar, Bali)”. Tesis pada Program S2 Kajian Budaya, Unud,

Denpasar.

Page 13: Pidana adat tinjauan kasus adat di bali

Sirtha, Nyoman, 2008. ”Aspek Hukum Dalam Konflik Adat di Bali”, Denpasar, Udayana

University Press

Powell, Hickman, 1989. The Last Paradise. An American’s ‘discovery’ of Bali in the 1920s. Singapure,

Oxford University Press, Oxford, New York.

Ter Haar. 1991. Azas-azas dan Susunan Hukum Adat. Jakarta: Pradnya

______________, 2008. ”Konflik Adat dan Sanksi Kasepekang di Desa Adat Bungaya, Kabupaten

Karangasem. Perspektif Kajian Budyaya”. Disertasi pada Program S3 Kajian Budaya, Unud,

Denpasar.