31
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sejak zaman prasejarah, penduduk kepulauan Indonesia dikenal sebagai pelayar-pelayar yang sanggup mengarungi lautan lepas. Sejak awal abad masehi sudah ada rute-rute pelayaran dan perdagangan antara kepulauan Indonesia dengan berbagai daerah di daratan Asia Tenggara. Wilayah barat Nusantara dan sekitar Malaka sejak masa kuno merupakan wilayah yang menjadi titik perhatian, terutama karena hasil bumi yang di jual di sana menarik bagi para pedagang dan menjadi daerah lintasan penting antara Cina dan India. Pelabuhan-pelabuhan penting Sumatera dan Jawa antara abad ke-1 dan ke-7 sering disinggahi pedagang asing, seperti Lamuri ( Aceh ), Barus dan Palembang di Sumatera, Sunda Kelapa dan Gresik di Jawa. Mereka yang datang ke Indonesia bertujuan berdagang sekaligus menyebarkan agama yang mereka anut yaitu Islam. Ruslan Abdulgani berkomentar bahwa Islam datang ke Indonesia tidak dalam keadaan vakum kultural/peradaban, karena di situ sudah ada kerajaan besar baik kerajaan Hindu maupun kerajaan Budha. 1 Oleh karena itu, wajarlah jika terjadi akulturasi dalam bidang budaya dan sinkretisme dalam bidang akidah. Bersamaan dengan itu, datang pula para pedagang yang berasal dari Timur Tengah. Mereka tidak hanya membeli dan menjajakan barang dagangan, tetapi ada juga yang berupaya 1 Roeslan abdulgani, sejarah perkembangan islam di indonesia ( jakarta: pustaka antar kota, 1983), hlm. 20 1

Pertumbuhan Dan Perkembangan Islam Di Indonesia

  • Upload
    ahm

  • View
    28

  • Download
    0

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Pertumbuhan dan Perkembangan Islam

Citation preview

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sejak zaman prasejarah, penduduk kepulauan Indonesia dikenal sebagai

pelayar-pelayar yang sanggup mengarungi lautan lepas. Sejak awal abad masehi

sudah ada rute-rute pelayaran dan perdagangan antara kepulauan Indonesia dengan

berbagai daerah di daratan Asia Tenggara. Wilayah barat Nusantara dan sekitar

Malaka sejak masa kuno merupakan wilayah yang menjadi titik perhatian, terutama

karena hasil bumi yang di jual di sana menarik bagi para pedagang dan menjadi

daerah lintasan penting antara Cina dan India. Pelabuhan-pelabuhan penting Sumatera

dan Jawa antara abad ke-1 dan ke-7 sering disinggahi pedagang asing, seperti Lamuri

( Aceh ), Barus dan Palembang di Sumatera, Sunda Kelapa dan Gresik di

Jawa. Mereka yang datang ke Indonesia bertujuan berdagang sekaligus menyebarkan

agama yang mereka anut yaitu Islam. Ruslan Abdulgani berkomentar bahwa Islam

datang ke Indonesia tidak dalam keadaan vakum kultural/peradaban, karena di situ

sudah ada kerajaan besar baik kerajaan Hindu maupun kerajaan Budha.1 Oleh karena

itu, wajarlah jika terjadi akulturasi dalam bidang budaya dan sinkretisme dalam

bidang akidah.

Bersamaan dengan itu, datang pula para pedagang yang berasal dari Timur

Tengah. Mereka tidak hanya membeli dan menjajakan barang dagangan, tetapi ada

juga yang berupaya menyebarkan agama Islam. Dengan demikian, agama Islam telah

ada di Indonesia ini bersamaan dengan kehadiran para pedagang Arab tersebut.

Meskipun belum tersebar secara intensif ke seluruh wilayah Indonesia.

B. Rumusan Masalah

1. Proses Masuknya Islam di Indonesia Serta Sosio Kultural Masyarakat

2. Bagaimana Pendidikan Islam masa permulaan di Indonesia

3. Pertumbuhan dan perkembangan pendidikan Islam pada kerajaan di sumatera

1 Roeslan abdulgani, sejarah perkembangan islam di indonesia ( jakarta: pustaka antar kota, 1983), hlm. 20

1

BAB II

PEMBAHASAN

A. Proses Masuknya Islam di Indonesia Serta Sosio Kultural Masyarakat

1. Penyebaran Islam di Indonesia

Berbagai teori perihal masuknya Islam ke Indonesia terus muncul sampai

saat ini.Fokus diskusi mengenai kedatangan Islam di Indonesia sejauh ini berkisar

pada tiga temautama, yakni tempat asal kedatangannya, para pembawanya, dan

waktu kedatangannya. Mengenai tempat asal kedatangan Islam yang menyentuh

Indonesia, di kalangan parasejarawan terdapat beberapa pendapat. Ahmad Mansur

Suryanegara mengikhtisarkannya menjadi tiga teori besar. Pertama, teori Gujarat,

India. Islam dipercayai datang dari wilayah Gujarat – India melalui peran para

pedagang India muslim pada sekitar abad ke-13 M.   Kedua, teori Makkah. Islam

dipercaya tiba di Indonesia langsung dari Timur Tengah melalui jasa para

pedagang Arab muslim sekitar abad ke-7 M. Ketiga, teori Persia. Islam tiba di

Indonesia melalui peran para pedagang asal Persia yang dalam

perjalanannyas inggah ke Gujarat sebelum ke nusantara sekitar abad ke-13

M,Melalui Kesultanan Tidore yang juga menguasai Tanah Papua, sejak abad ke-

17 M, jangkauan terjauh penyebaran Islam sudah mencapai

Semenanjung Onindi Kabupaten Fakfak, Papua Barat.

Jikalau Ahli Sejarah Barat beranggapan bahwa Islam masuk di Indonesia

mulai  abad 13 adalah tidak benar, Hamka berpendapat bahwa pada tahun 625 M

sebuah naskah Tiongkok mengkabarkan bahwa menemukan kelompok bangsa

Arab yang telah bermukimdi pantai Barat Sumatra (Barus).

Pada saat nanti wilayah Barus ini akan masuk kewilayah kerajaan

Sriwijaya. Pada tahun 674 M, semasa pemerintahan Khilafah Islam Utsman bi

Affan, memerintahkan mengirimkan utusannya (Muawiyah bin Abu Sufyan) ke

tanah Jawa yaitu ke Jepara (pada saat itu namanya Kalingga). Hasil kunjungan

duta Islam ini adalah raja Jay Sima putra ratu Sima dari Kalingga masuk

Islam. Pada tahun 718 M, Raja Srivijaya Sri Indravarman setelah kerusuhan

Kanton juga masuk Islam pada masa kholifah Umar binAbdul Aziz (Dinasti

Umayyah).

Masuknya Islam ke Indonesia menurut ahli sejarawan mempunyai tiga

teori dan di dukung dengan bukti tentang munculnya metode tersebut. Berikut

2

bukti tiga metode itu tersebut sebagai bukti bahwa islam sudah masuk ke

Indonesia.

1. Teori Gujarat

Teori berpendapat bahwa agama Islam masuk ke Indonesia pada abad

13 dan pembawanya berasal dari Gujarat (Cambay), India. Dasar dari teori ini

adalah: Kurangnya fakta yang menjelaskan peranan bangsa Arab dalam

penyebaran Islam di Indonesia. Hubungan dagang Indonesia dengan India

telah lama melalui jalur Indonesia –Cambay – Timur Tengah – Eropa. Adanya

batu nisan Sultan Samudra Pasai yaitu Malik Al Saleh tahun 1297 yang

bercorak khas Gujarat. Batu nisan makam Malik Ibrahim di Gresik, Jawa

Timur, bertahun 1419 M; batu nisan tersebut diduga diimpor dari Cambay,

Gujarat, India.

2. Teori Makkah

Teori Makkah, Islam yang masuk dan berkembang di Indonesia

berasal dari Jazirah Arab atau bahkan dari Makkah pada abad ke-7 M,

pada abad pertama Hijriah. Pendapat ini adalah pendapat Hamka, salah

seorang tokoh yang pernah dimiliki Muhammadiyah dan mantan ketua

MUI periode 1977-1981. Hamka yang sebenarnya bernama Haji Abdul

Malik bin Abdil Karim mendasarkan pendapatnya ini pada fakta bahwa

mazhab yang berkembang di Indonesia adalah mazhab Syafi’i.

Menurutnya, mazhab Syafi’i berkembang sekaligus dianut oleh

penduduk di sekitar Makkah. Selain itu, yang tidak boleh diabaikan adalah

fakta menarik lainnya bahwa orang-orang Arab sudah berlayar mencapai Cina

pada abad ke-7 M dalam rangka berdagang. Hamka percaya, dalam perjalanan

inilah, mereka singgah di kepulauan Nusantara saat itu.

3. Teori Persia

Dasar teori ini adalah kesamaan budaya Persia dengan budaya

masyarakat Islam Indonesia seperti:

a. Peringatan 10 Muharram atau Asyura atas meninggalnya Hasan dan Husein

cucu Nabi Muhammad, yang sangat di junjung oleh orang Syiah/Islam Iran.

Di Sumatra Barat peringatan tersebut disebut dengan upacara Tabuik/Tabut.

Sedangkan di pulau Jawa ditandai dengan pembuatan bubur Syuro. Dasar

Teori Persia Teori ini berpendapat bahwa Islam masuk ke Indonesia abad

13 M, dan pembawanya berasal dari Persia (Iran).

3

b. Kesamaan ajaran Sufi yang dianut Syaikh Siti Jennar dengan sufi dari Iran

yaitu Al – Hallaj.

c. Penggunaan istilah bahasa Iran dalam sistem mengeja huruf Arab untuk

tanda-tanda bunyi Harakat.

d. Ditemukannya makam Maulana Malik Ibrahim tahun 1419 di Gresik.

e. Adanya perkampungan Leren/Leran di Giri daerah Gresik. P.A. Hussein

Jayadiningrat. salah satu Pendukung teori ini yaitu Umar Amir Husen dan

P.A. Hussein Jayadiningrat. 

Ketiga teori tersebut, pada dasarnya masing-masing memiliki kebenaran

dan kelemahannya. Maka itu berdasarkan teori tersebut dapatlah disimpulkan

bahwa Islam masuk ke Indonesia dengan jalan damai pada abad ke – 7 dan

mengalami perkembangannya pada abad 13. Sebagai pemegang peranan dalam

penyebaran Islam adalah bangsa Arab, bangsa Persia dan Gujarat (India).

2. Akulturasi,  Asimilasi dan Kebudayaan  di Indonesia

a. Kebudayaan  

Pada umumnya, kebanyakan orang, mengartikan kebudayaan dengan

kesenian atau hasil karya manusia. Seperti seni tari, seni suara, seni lukis, dan

seni drama. Bahkan karya manusia sperti candi borobudur, masjid demak,

istana raja dan relief candi. Demikian juga tingkah laku manusia yang

dilakukan dalam lingkup yang luas juga dikatakan kebudayaan. Jadi

kebudayaan dalam pengertian umum,seperti ini, lebih bersifat material.2

Untuk memperjelas pengertian kebudayaan tersebut mari kita lihat

definisi-definisi berikut:

1. Menurut koentjaraningrat ( 1981 ), kebudayaan merupakan keseluruhan

kegiatan yang meliputi tindakan,perbuatan, tingkah laku manusia, dan

hasil karyanya yang didapat dari belajar

2. Menurut selo soemardjan ( 1979 ) kebudayaan merupakan semua hasil

karya, rasa dan cipta masyarakat.

3. Menurut E.B. Taylor, kebudayaan merupakan sesuatu yang kompleks

yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, moral, hukum adat istiadat,

kesenian, dan kemampuan-kemampuan lain serta yang didapat oleh

manusia sebagai anggota masyarakat.

b. Akulturasi

2 Islam dan budaya lokal,pokja akademik uin sunan kalijaga,yogyakarta:2005,hlm.7-8

4

Arti kata akulturasi menurut kamus psikologi adalah proses mengenai

adat, kepercayaan, ideologi dan tatanan dengan peralihan tingkah laku dari

satu kebudayaan menuju budya yang lain, seperti dua kelompok sosial yang

bebas bertemu dan bergabung.3 Dalam kamus bahasa, akulturasi bearti, 1.

Proses pencampuran dua kebudayaan atau lebih yang saling bertemu dan

saling mempengaruhi,4 2. Proses menuju pengaruh kebudayaan 2. Proses

menuju pengaruh kebudayaan asing terhadap suatu masyarakat, sebagai

penyerap secara selektif, sedikit, atau banyak unsur kebudayaan asing itu, dan

sebagian berusaha menolak pengaruh itu, 3. Proses atau hasil pertemuan

kebudayaan/bahasa di antara anggota-anggota dua masyarakat bahasa, ditandai

oleh bilingualisasi. Akulturasi menurut kamus Antropologi ( Aryono,1985 )

adalah pengambilan atau penerimaan satu atau beberapa unsur kebudayaan

yang berasal dari pertemuan dua atau beberapa kebudayaan yang saling

berhubungan atau saling bertemu.5 Istilah akulturasi, atau acculturation atau

culture contact, istilah sebutan para Antropolog Inggris, memiliki berbagai arti

di antara Para Antropolog. Tetapi semua pendapat, konsep itu mengenai

proses sosial yang timbul bila suatu kelompok manusia dengan suatu

kebudayaan tertentu dihadapkan dengan unsur-unsur dari suatu kebudayaan

asing dengan sedemikian rupa, sehingga unsur-unsur kebudayaan asing lambat

laun diterima dan diolah dalam kebudayaan sendiri tanpa menyebabakan

hilangnya kepribadian kebudayaan itu sendiri.6  Dalam konsep akulturasi ini

Islam di posisikan sebagai kebudayaan asing dam masyarakat lokal sebagai

penerima kebudayaan asing tersebut. Misalnya masyarakat jawa yang

memiliki tradisi “slametan” yang cukup kuat, ketika islam datang maka tradisi

tersebut masih tetap jalan dengan mengambil unsur-unsur islam terutama

dalam do’a-do’a yang dibaca. Wadah slametanya masih ada teapi isinya

mengambil ajaran islam.

3 A. Budiardjo, Kamus Psikologi ,(Semarang: Dahara Press), hlm. 114 Peter salim dan Yenny Salim, Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer,( Jakarta: Modern English

Press)1990, hlm.365 Pokja akademik,Islam Dan Budaya Lokal, Pokja Akademik UIN Sunan Kalijaga: Yogyakarta,2005,

hlm.16 Karim, Dr. M. Abdul, Double M.A, Islam Nusantara,(Yogyakarta: Pustaka Book

Publisher),2007,hlm. 128

5

Dalam mengkaji proses akulturasi ini, perlu diperhatikan beberapa hal

yang terkait dengan proses tersebut. Menurut koentjaraningrat (1981) ada lima

hal :

1. Keadaan masyarakat penerima, sebelum proses akulturasi mulai berjalan.

2. Individu-individu ysng membawa unsur kebudayaan asing itu.

3. Saluran-saluran yang dipakai oleh unsur kebudayaan asing untuk masuk

ke  dalam kebudayaan penerima

4. Bagian-bagian masyarakat penerima terkena pengaruh unsur kebudayaan

asing tadi.

5. Reaksi dari individu yang terkena kebudayaan asing.

c. Asimilasi

Asimilasi (assimilation) merupakan proses sosial yang timbul bila ada

golongan-golongan manusia dengan latar belakang kebudayaan yang berbeda-

beda saling bergaul langsung secara intensif untuk waktu yang lama, sehingga

budaya-budaya golongan-golongan tadi masing-masing berubah sifatnya yang

khas, dan juga unsur-unsurnya masing-masing berubah wujudnya menjadi

unsur-unsur kebudayaan campuran.

Asimilasi merupakan perpaduan dua atau lebih dari

kebudayaan,kemudian menjadi suatu kebudayaan baru tanpa adanya unsur-

unsur paksaan (Aryono,1985). Asimilasi merupakan proses sosial yang

timbul  bila ada kelompok-kelompok masyarakat yang berlatarbelakang

kebudayaan berbeda. Saling bergaul secara itensif dalam waktu yang lama.

Sehingga, masing-masing kebudayaan tadi berubah bentuknya dan

membentuk kebudayaan baru. Dari berbagai proses asimilasi yang diteliti oleh

para ahli, terbukti bahwa dengan pergaulan yang intensif dalam waktu yang

lama belum tentu bisa terjadi proses asimilasi. Asimilasi terjadi bila masing-

masing kelompok memiliki sikap toleransi dan simpati kepada yang lainnya.

Biasanya, masyarakat yang tersangkut dalam proses asimilasi, terdiri

dari golongan mayoritas dan minoritas. Dalam hal ini, golongan minoritaslah

yang mengubah kebudayaan, untuk menyesuaikan dengan kebudayaan

mayoritas, sehingga lambat laun masuk kedalam kebudayaan mayoritas.

Adapun yang menghambat proses asimilasi ini adalah:

1. Kurang pengetahuan mengenai kebudayaan yang dihadapi.

2. Sifat takut kepada kekuatan kebudayaan lain.

6

3. Perasaan superioritas dari individu-individu terhadap kebudayaan lain.

B. Pendidikan Islam Masa Permulaan di Indonesia

Pendidikan merupakan salah satu perhatian sentral masyarakat Islam baik

dalam Negara mayoritas maupun minoritas. Dalam ajaran agama Islam pendidikan

mendapat posisi yang sangat penting dan tinggi. Karenanya, umat Islam selalu

mempunyai perhatian yang tinggi terhadap pelaksanaan pendidikan untuk

kepentingan masa depan umat Islam.7

Besarnya arti pendidikan, kepentingan Islamisasi mendorong umat Islam

melaksanakan pengajaran Islam kendati dalam system yang sederhana, peengajaran

diberikan dengan sistem halaqahyang dilakukan di tempat-tempat ibadah semacam

masjid, musallah bahkan juga di rumah-rumah ulama. Kebutuhan terhadap pendidikan

mendorong masyarakat Islam di Indonesia mengadopsi dan mentransfer lembaga

keagamaan dan sosial yang sudah ada (indigeneous religious and social institution) ke

dalam lembaga pendidikan Islam di Indonesia. Di Jawa, umat Islam mentransfer

lembaga keagamaan Hindu-Budha menjadi pesantren; di Minangkabau

mengambil Surau sebagai peninggalan adat masyarakat setempat menjadi lembaga

pendidikan Islam; demikian halnya di Aceh dengan mentransfer

lembaga meunasah sebagai lembaga pendidikan Islam.

Menurut Manfred, Pesantren berasal dari masa sebelum Islam serta

mempunyai kesamaan dengan Budha dalam bentuk asrama. Bahwa pendidikan agama

yang melembaga berabad-abad berkembang secara pararel.8 Pesantren berarti tempat

tinggal para santri. Sedangkan istilah santri berasal dari bahasa Tamil, yang berarti

guru mengaji. Menurut Robson, kata santri berasal dari bahasa Tamil “sattiri” yang

diartikan sebagai orang yang tinggal di sebuah rumah miskin atau bangunan

keagamaan secara umum. Meskipun terdapat perbedaan dari keduanya, namun

keduanya perpendapat bahwa santri berasal dari bahasa Tamil.

Santri dalam arti guru mengaji, jika dilihat dari penomena santri. Santri adalah

orang yang memperdalam agama kemudian mengajarkannya kepada umat Islam,

mereka inilah yang dikenal sebagai “guru mangaji”. Santri dalam arti orang yang

tinggal di sebuah rumah miskin atau bangunan keagamaan, bisa diterima karena

rumusannya mengandung cirri-ciri yang berlaku bagi santri. Ketika memperdalam

7 Hanun Asrohah, Sejarah Pendidikan Islam (Cet. II; Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2001), h. 1438 Manfred Ziemek, Pesantren dalam Perubahan Sosial, diterjemah oleh Butche B. Soendjojo (Jakarta:

P3M, 1983), h. 17

7

ilmu agama, para santri tinggal di rumah miskin, ada benarnya. Kehidupan santri

dikenal sangat sederhana. Sampai Tahun 60-an, pesantren dikenal dengan nama

pondok, karena terbuat dari bambu.

Pada abad ke XV, pesantren telah didirikan oleh para penyebar agama Islam,

diantaranya Wali Songo. Wali Songo dalam menyebarkan agama Islam mendirikan

masjid dan asrama untuk santri-santri. Di Ampel Denta, Sunan Ampel telah

mendirikan lembaga pendidikan Islam sebagai tempat ngelmu ataungaos pemuda

Islam. Sunan Giri telah ngelmu kepada Sunan Ampel mendirikan lembaga pendidikan

Islam di Giri. Dengan semakin banyaknya lembaga pendidikan Islam pesantren

didirikan, agama Islam semakin tersebar sehingga dapat dikatakan bahwa lembaga-

lembaga ini merupakan ujung tombak penyebaran Islam di Jawa.

Peran Wali Songo tidak terlepas dari sejarah pendidikan Islam di Nusantara.

Wali Songo melalui dakwahnya berhasil mengkombinasi metoda aspek spiritual dan

mengakomodasi tradisi masyarakat setempat dengan cara mendirikan pesantren,

tempat dakwah dan proses belajar mengajar.

Wali songo melakukan proses Islamisasi dengan menghormati dan

mengakomodasi tradisi masyarakat serta institusi pendidikan dan keagamaan

sebelumnya, padepokan. Padepokan diubah secara perlahan, dilakukan perubahan

sosial secara bertahap, mengambil alih pola pendidikan dan mengubah bahan dan

materi yang diajarkan dan melakukan perubahan secara perlahan mengenai tata nilai

dan kepercayaan masyarakat, perubahan sosial, tata nilai, dan kepercayaan. Hal ini

menciptakan alkulturisasi budaya termasuk pedoman hidup masyarakat, pemenuhan

kebutuhan hidup, dan operasionalisasi kebudayaan melalui pranata-pranata sosial

yang ada di masyarakat, yaitu pedoman moral atau hidup, etika, estetika, dan nilai

budaya (adanya simbol-simbol dan tanda-tanda).

Di Sumatera Barat, pendidikan Islam tradisional di sebut Surau. Di

Minangkabau, Surau telah ada sebelum datangnya Islam, adalah merupakan tempat

yang dibangun untuk tempat ibadah orang Hindu-Budha. Raja Aditiwarman telah

mendirikan kompleks Surau disekitar bukit Gombak, Surau digunakan sebagai tempat

berkumpul pemuda-pemuda untuk belajar ilmu agama sebagai alat yang ideal untuk

memecahkan masalah-masalah sosial.

Menurut Sidi Gazalba, sebelum Islam datang di Minagkabau, Surau adalah

bagian dari kebudayaan masyarakat setempat yang juga disebut “uma galang-

galang”, adalah bangunan pelengkap rumah gadang. Surau dibangun oleh Indu,

8

bagian dari suku, untuk tempat berkumpul, rapat dan tempat tidur bagi pemuda-

pemuda, kadang-kadang bagi mereka yang sudah kawin, dan orang-orang tua yang

sudah uzur.

Kedatangan Islam tidak merubah fungsi Surau sebagai tempat penginapan

anak-anak bujang, tetapi fungsinya diperluas seperti fungsi masjid, yaitu sebagai

tempat belajar membaca al-Qur’an dan dasar-dasar agama dan tempat ibadah. Namun,

dari segi fungsi Surau lebih lebih luas daripada fungsi Masjid. Masjid hanya

digunakan untuk shalat lima waktu, shalat jum’at, shalat ‘id. Sedangkan Surau juga

digunakan shalat lima waktu, sebagai tempat belajar agama, mengaji, bermediatsi dan

upacara-upacara, di samping sebagai tempat semacam asrama anak-anak bujang.

Lebih lanjut Surau digunakan sebagai lembaga pendidikan Islam yang memiliki sisten

yang teratur, ini dapat dibuktikan dengan didirikannnya Surau sebagai lembaga

pendidikan Islam oleh Syekh Burhanuddin (1646-1691) setelah berguru kepada Syekh

Abdurrauf bin Ali.9 Dengan demikian Surau telah berubah fungsi sebagai lembaga

pendidikan dan pengajaran Islam.

Meunasah semula adalah salah satu tempat ibadah yang terdapat dalam setiap

kampung di Aceh. Selanjutnya mengalami perkembangan fungsi baik sebagai tempat

ibadah juga sebagai tempat pendidikan, tempat pertemuan, tempat transaksi jual-beli,

dan tempat menginap para musafir, tempat membaca hikayat, dan tempat

mendamaikan jika ada warga kampung yang bertikai.10 Sedangkan dayah adalah

lembaga pendidikan yang terdapat hampir di tiap-tiap uleebalang, seperti halnya di

tiap-tiap kampung harus ada meunasah. Setiap dayah memiliki sebuah balai utama

sebagai tempat belajar dan salat berjama’ah. Dilihat dari mata pelajaran yang

diajarkan, dayah mengkaji materi pelajaran yang  lebih tinggi daripada di meunasah.

Lembaga-lembaga pendidikan semacam Pesantren, Surau, Meunasah dan

Dayah memiliki peran penting dalam mengajarkan nilai-nilai Islam, terjadi transfer

ilmu, transfer nilai dan transfer perbuatan (transfer of knowledge, transfer of value,

transfer of skill) sehingga mampu mencetak intelektual muslim Nusantara yang patut

diperhitungkan dalam era peta pemikiran Islam.

9 Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan di Indonesia (Jakarta: Mutiara Sumber Widya, 1992), h. 1810 Taufik Abdullah (Ed.), Agama dan Perubahan Sosial (Jakarta: CV. Rajawali, 1983), h. 120

9

C. Pertumbuhan dan Perkembangan Pendidikan Islam pada Kerajaan Islam di

Sumatera

1. Zaman Kerajaan Samudra Pasai

Kerajaan Islam pertama di Indonesia adalah kerajaan Samudra Pasai, yang

didirikan pada abad ke-10 M dengan raja pertamanya Malik Ibrahim bin

Mahdum. Yang kedua bernama Al-Malik Al-Shaleh dan yang terakhir bernama

Al-Malik Sabar Syah (tahun 1444 M/ abad ke-15 H). Pada tahun 1345, Ibnu

Batutah dari Maroko sempat singgah di Kerajaan Pasai pada zaman pemerintahan

Malik Az-Zahir, raja yang terkenal alim dalam ilmu agama dan bermazhab

Syafi’i, mengadakan pengajian sampai waktu sholat Ashar dan fasih berbahasa

Arab serta mempraktekkan pola hidup yang sederhana.

Keterangan Ibnu Batutah tersebut dapat ditarik kesimpulan pendidikan

yang berlaku di zaman kerajaan Pasai sebagai berikut:

1. Materi pendidikan dan pengajaran agama bidang syari’at adalah Fiqh

mazhab Syafi’i.

2. Sistem pendidikannya secara informal berupa majlis ta’lim dan halaqoh.

3. Tokoh pemerintahan merangkap tokoh agama.

4. Biaya pendidikan bersumber dari negara.

Pada zaman kerajaan Samudra Pasai mencapai kejayaannya pada abad ke-

14 M, maka pendidikan juga tentu mendapat tempat tersendiri. Mengutip

keterangan Tome Pires, yang menyatakan bahwa “di Samudra Pasai banyak

terdapat kota, dimana antar warga kota tersebut terdapat orang-orang

berpendidikan”.

Menurut Ibnu Batutah juga, Pasai pada abad ke-14 M, sudah merupakan

pusat studi Islam di Asia Tenggara, dan banyak berkumpul ulama-ulama dari

negara-negara Islam. Ibnu Batutah menyatakan bahwa Sultan Malikul Zahir

adalah orang yang cinta kepada para ulama dan ilmu pengetahuan. Bila hari

jum’at tiba, Sultan sembahyang di Masjid menggunakan pakaian ulama, setelah

sembahyang mengadakan diskusi dengan para alim pengetahuan agama, antara

lain: Amir Abdullah dari Delhi, dan Tajudin dari Ispahan. Bentuk pendidikan

dengan cara diskusi disebut Majlis Ta’lim atau halaqoh. Sistem halaqoh yaitu

para murid mengambil posisi melingkari guru. Guru duduk di tengah-tengah

lingkaran murid dengan posisi seluruh wajah murid menghadap guru.

10

2. Zaman Kerajaan Perlak

Kerajaan Islam kedua di Indonesia adalah Perlak di Aceh. Rajanya yang

pertama Sultan Alaudin (tahun 1161-1186 H/abad 12 M). Antara Pasai dan Perlak

terjalin kerja sama yang baik sehingga seorang Raja Pasai menikah dengan Putri

Raja Perlak. Perlak merupakan daerah yang terletak sangat strategis di Pantai

Selat Malaka, dan bebas dari pengaruh Hindu.

Kerajaan Islam Perlak juga memiliki pusat pendidikan Islam Dayah Cot

Kala. Dayah disamakan dengan Perguruan Tinggi, materi yang diajarkan yaitu

bahasa Arab, tauhid, tasawuf, akhlak, ilmu bumi, ilmu bahasa dan sastra Arab,

sejarah dan tata negara, mantiq, ilmu falaq dan filsafat. Daerahnya kira-kira dekat

Aceh Timur sekarang. Pendirinya adalah ulama Pangeran Teungku Chik

M.Amin, pada akhir abad ke-3 H, abad 10 M. Inilah pusat pendidikan pertama.

Rajanya yang ke enam bernama Sultan Mahdum Alaudin Muhammad Amin yang

memerintah antara tahun 1243-1267 M, terkenal sebagai seorang Sultan yang arif

bijaksana lagi alim. Beliau adalah seorang ulama yang mendirikan Perguruan

Tinggi Islam yaitu suatu Majlis Taklim tinggi dihadiri khusus oleh para murid

yang sudah alim. Lembaga tersebut juga mengajarkan dan membacakan kitab-

kitab agama yang berbobot pengetahuan tinggi, misalnya kitab Al-Umm karangan

Imam Syafi’i. Dengan demikian pada kerajaan Perlak ini proses pendidikan Islam

telah berjalan cukup baik.

3. Zaman Kerajaan Aceh Darussalam

Proklamasi kerajaan Aceh Darussalam adalah hasil peleburan kerajaan

Islam Aceh di belahan Barat dan Kerajaan Islam Samudra Pasai di belahan

Timur. Putra Sultan Abidin Syamsu Syah diangkat menjadi Raja dengan Sultan

Alaudin Ali Mughayat Syah (1507-1522 M). Bentuk teritorial yang terkecil dari

susunan pemerintahan Kerajaan Aceh adalah Gampong (Kampung), yang

dikepalai oleh seorang Keucik dan Waki (wakil). Gampong-gampong yang

letaknya berdekatan dan yang penduduknya melakukan ibadah bersama pada hari

jum’at di sebuah masjid merupakan suatu kekuasaan wilayah yang disebut

mukim, yang memegang peranan pimpinan mukim disebut Imeum mukim.

Jenjang pendidikan yang ada di Kerajaan Aceh Darussalam diawali

pendidikan terendah Meunasah (Madrasah). Yang berarti tempat belajar atau

sekolah, terdapat di setiap gampong dan mempunyai multi fungsi antara lain:

1. Sebagai tempat belajar Al-Qur’an.

11

2. Sebagai Sekolah Dasar, dengan materi yang diajarkan yaitu menulis dan

membaca huruf Arab, Ilmu agama, bahasa Melayu, akhlak dan sejarah

Islam.

Fungsi lainnya adalah sebagai berikut:

1. Sebagai tempat ibadah sholat 5 waktu untuk kampung itu.

2. Sebagai tempat sholat tarawih dan tempat membaca Al-Qur’an di bulan

puasa.

3. Tempat kenduri Maulud pada bulan Mauludan.

4. Tempat menyerahkan zakat fitrah pada hari menjelang Idhul Fitri atau bulan

puasa.

5. Tempat mengadakan perdamaian bila terjadi sengketa antara anggota

kampung.

6. Tempat bermusyawarah dalam segala urusan.

7. Letak meunasah harus berbeda dengan letak rumah, supaya orang segera

dapat mengetahui mana yang rumah atau meunasah dan mengetahui arah

kiblat sholat.

Selanjutnya sistem pendidikan di Dayah (Pesantren) seperti di Meunasah

tetapi materi yang diajarkan adalah kitab Nahu, yang diartikan kitab yang dalam

Bahasa Arab, meskipun arti Nahu sendiri adalah tata bahasa (Arab). Dayah

biasanya dekat masjid, meskipun ada juga di dekat Teungku yang memiliki dayah

itu sendiri, terutama dayah yang tingkat pelajarannya sudah tinggi. Oleh karena

itu orang yang ingin belajar nahu itu tidak dapat belajar sambilan, untuk itu

mereka harus memilih dayah yang agak jauh sedikit dari kampungnya dan tinggal

di dayah tersebut yang disebut Meudagang. Di dayah telah disediakan pondok-

pondok kecil mamuat dua orang tiap rumah. Dalam buku karangan Hasbullah,

Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, istilah Rangkang merupakan madrasah

seringkat Tsanawiyah, materi yang diajarkan yaitu bahasa Arab, ilmu bumi,

sejarah, berhitung, dan akhlak. Rangkang juga diselenggarakan disetiap mukim.

Bidang pendidikan di kerajaan Aceh Darussalam benar-benar menjadi

perhatian. Pada saat itu terdapat lembaga-lembaga negara yang bertugas dalam

bidang pendidikan dan ilmu pengetahuan yaitu:

1. Balai Seutia Hukama, merupakan lembaga ilmu pengetahuan, tempat

berkumpulnya para ulama, ahli pikir dan cendikiawan untuk membahas dan

mengembangkan ilmu pengetahuan.

12

2. Balai Seutia Ulama, merupakan jawatan pendidikan yang bertugas

mengurus masalah-masalah pendidikan dan pengajaran.

3. Balai Jama’ah Himpunan Ulama, merupakan kelompok studi tempat para

ulama dan sarjana berkumpul untuk bertukar fikiran membahas persoalan

pendidikan dan ilmu pendidikannya.

Aceh pada saat itu merupakan sumber ilmu pengetahuan dengan sarjana-

sarjanaya yang terkenal di dalam dan luar negeri. Sehingga banyak orang luar

datang ke Aceh untuk menuntut ilmu, bahkan ibukota Aceh Darussalam

berkembang menjadi kota Internasional dan menjadi pusat pengembangan ilmu

pengetahuan.

Kerajaan Aceh telah menjalin suatu hubungan persahabatan dengan

kerajaan Islam terkemuka di Timur Tengah yaitu kerajaan Turki. Pada masa itu

banyak pula ulama dan pujangga-pujangga dari berbagai negeri Islam yang

datang ke Aceh. Para ulama dan pujangga ini mengajarkan ilmu agama Islam

(Theologi Islam) dan berbagai ilmu pengetahuan serta menulis bermacam-macam

kitab berisi ajaran agama. Karenanya pengajaran agama Islam di Aceh menjadi

penting dan Aceh menjadi kerajaan Islam yang kuat di nusantara. Diantara para

ulama dan pijangga yang pernah datang ke kerajaan Aceh antara lain Muhammad

Azhari yang mengajar ilmu Metafisika, Syekh Abdul Khair Ibn Syekh Hajar ahli

dalam bidang pogmatic dan mistik, Muhammad Yamani ahli dalam bidang ilmu

usul fiqh dan Syekh Muhammad Jailani Ibn Hasan yang mengajar logika.

Tokoh pendidikan agama Islam lainnya yang berada di kerajaan Aceh

adalah Hamzah Fansuri. Ia merupakan seorang pujangga dan guru agama yang

terkenal dengan ajaran tasawuf yang beraliran wujudiyah. Diantara karya-karya

Hamzah Fansuri adalah Asrar Al-Aufin, Syarab Al-Asyikin, dan Zuiat Al-

Nuwahidin. Sebagai seorang pujangga ia menghasilkan karya-karya, Syair si

burung pungguk, syair perahu. Ulama penting lainnnya adalah Syamsuddin As-

Samathrani atau lebih dikenal dengan Syamsuddin Pasai. Ia adalah murid dari

Hamzah Fansuri yang mengembangkan paham wujudiyah di Aceh. Kitab yang

ditulis, Mir’atul al-Qulub, Miratul Mukmin dan lainnya. Ulama dan pujangga lain

yang pernah datang ke kerajaan Aceh ialah Syekh Nuruddin Ar-Raniri. Ia

menentang paham wujudiyah dan menulis banyak kitab mengenai agama Islam

dalam bahasa Arab maupun Melayu klasik. Kitab yang terbesar dan tertinggi

mutu dalam kesustraan Melayu klasik dan berisi tentang sejarah kerajaan Aceh

13

adalah kitab Bustanul Salatin. Pada masa kejayaan kerajaan Aceh, masa Sultan

Iskandar Muda (1607-1636) oleh Sultannya banyak didirikan masjid sebagai

tempat beribadah umat Islam, salah satu masjid yang terkenal Masjid Baitul

Rahman, yang juga dijadikan sebagai Perguruan Tinggi dan mempunyai 17 daars

(fakultas).

Dengan melihat banyak para ulama dan pujangga yang datang ke Aceh,

serta adanya Perguruan Tinggi, maka dapat dipastikan bahwa kerajaan Aceh

menjadi pusat studi Islam. Karena faktor agama Islam merupakan salah satu

faktor yang sangat mempengaruhi kehidupan masyarakat Aceh pada periode

berikutnya. Menurut B.J. Boland, bahwa seorang Aceh adalah seorang Islam.

4. Kerajaan Langkat

Berdasarkan data yang didapatkan bahwa sebelum tahun 1900, kerajaan

Langkat belum memiliki lembaga pendidikan formal. Pendidikan yang

dilaksanakan masih dengan pendidikan non formal, yaitu dengan belajar kepada

guru-guru agama ataupun ahli-ahli dalam bidang tertentu. Bagi keluarga kerajaan

juga diberikan pendidikan yang seperti ini. Para guru-guru itu diundang ke istana

untuk memberikan ceramah dan pengajaran kepada raja beserta keluarganya.

Ketika itu dinamika intelektual khususnya dalam bidang pendidikan belum

menjadi fokus perhatian para sultan. Nampaknya mereka masih sibuk dengan

masalah politik yang terjadi, yaitu berkaitan dengan perluasan wilayah kekuasaan

dan lain sebagainya. Hal tersebut menjadikan dinamika intelektual di Langkat

tidak berkembang dengan baik dan kurang mendapat perhatian. Baru, setelah

sultan Abdul Aziz menjadi sultan Langkat, lembaga pendidikan formal yang

dinamakan maktab (baca: madrasah) dapat berdiri dan menjadi pusat pendidikan

agama  bagi masyarakat Langkat.

Dengan berdirinya madrasah Al-masrullah tahun 1912, madrasah Aziziah

pada tahun  1914 dan madrasah Mahmudiyah tahun 1921, maka Langkat menjadi

salah satu dari tempat yang dituju oleh pencari-pencari ilmu dari berbagai daerah.

Disebutkan bahwa selain dari masyarakat Langkat yang belajar pada kedua

maktab tersebut, maka banyak pelajar-pelajar yang datang dari dalam dan luar

pulau Sumatera, seperti Riau, Jambi, Tapanuli, Kalimantan Barat, Malaysia,

Brunei dan lain sebagainya.

Pada awalnya madrasah (maktab) ini hanya disediakan untuk anak-anak

keturunan raja dan bangsawan saja, namun pada perkembangannya maktab ini

14

memberikan kesempatan kepada siapa saja untuk dapat belajar dan menuntut

ilmu. Beberapa tokoh nasional yang pernah belajar di maktab ini antara lain

adalah Tengku Amir Hamzah dan  Adam Malik (mantan wakil presiden RI).

Dalam biografinya Adam Malik meyebutkan bahwa madrasah Al-

masrullah termasuk lembaga yang mempunyai bangunan bagus dan modern

menurut ukuran zaman tersebut. Di mana masing-masing anak dari keluarga

berada (kaya) mendapat kamar-kamar tersendiri. Sistem pendidikan yang

dijalankan pada sekolah ini sama seperti sistem sekolah umum di Inggris, di mana

anak laki-laki usia 12 tahun mulai dipisahkan dari orang tua mereka untuk tinggal

di kamar-kamar tersendiri dalam suasana yang penuh disiplin. Fasilitas-fasilitas

olah raga juga disediakan di sekolah tersebut seperti lapangan untuk bermain bola

dan kolam renang milik kesultanan Langkat.

Ketiga lembaga pendidikan tersebut didirikan oleh sultan Abdul Aziz

yang kemudian diberi nama dengan perguruan Jama’iyah Mahmudiyah. Pada

tahun 1923 perguruan Jama’iyah Mahmudiyah telah memiliki 22 ruang belajar,

12 ruang asrama, disamping berbagai fasilitas lainnya seperti 2 buah Aula, sebuah

rumah panti asuhan untuk yatim piatu, kolam renang, lapangan bola dan

sebagainya. Untuk meningkatkan mutu pendidikan pada perguruan Jama’iyah

Mahmudiyah, maka tenaga pengajarnya  sebagian besar merupakan guru-guru

yang pernah belajar ke Timur tengah seperti Mekkah, Medinah dan Mesir.

Mereka semua dikirim atas biaya Sultan setelah sebelumnya diseleksi terlebih

dahulu, hingga sekitar tahun 1930 siswa-siswa yang belajar di perguruan ini

sekitar 2000 orang yang berasal dari berbagai macam daerah.

Selanjutnya sultan Abdul Azis kemudian mendirikan lembaga pendidikan

umum bagi masyarakat Langkat yaitu sekolah HIS dan Sekolah Melayu, yang

banyak memberikan materi-materi pelajaran umum. Mengenai gaji-gaji guru dan

biaya perawatan bangunan semuanya ditanggung oleh pihak kesultanan Langkat,

dalam hal ini dapat dikatakan bahwa segala biaya yang berkaitan dengan fasilitas-

fasilitas pendidikan di Langkat ditanggung sepenuhnya oleh pemerintahan

kerajaan.

15

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Masuknya Islam ke Indonesia menurut ahli sejarawan mempunyai tiga teori

dan di dukung dengan bukti tentang munculnya metode tersebut. Berikut bukti tiga

metode itu tersebut sebagai bukti bahwa islam sudah masuk ke Indonesia. Yaitu :

Teori Gujarat, Teori Makkah, Teori Persia.

Besarnya arti pendidikan, kepentingan Islamisasi mendorong umat Islam

melaksanakan pengajaran Islam kendati dalam system yang sederhana, peengajaran

diberikan dengan sistem halaqah yang dilakukan di tempat-tempat ibadah semacam

masjid, musallah bahkan juga di rumah-rumah ulama. Kebutuhan terhadap pendidikan

mendorong masyarakat Islam di Indonesia mengadopsi dan mentransfer lembaga

keagamaan dan sosial yang sudah ada (indigeneous religious and social institution) ke

dalam lembaga pendidikan Islam di Indonesia.

Pertumbuhan dan Perkembangan Pendidikan Islam pada Kerajaan Islam di

Sumatera Yaitu :

1. Zaman Kerajaan Samudra Pasai

Kerajaan Islam pertama di Indonesia adalah kerajaan Samudra Pasai, yang

didirikan pada abad ke-10 M dengan raja pertamanya Malik Ibrahim bin

Mahdum. Yang kedua bernama Al-Malik Al-Shaleh dan yang terakhir bernama

Al-Malik Sabar Syah (tahun 1444 M/ abad ke-15 H). Pada tahun 1345, Ibnu

Batutah dari Maroko sempat singgah di Kerajaan Pasai pada zaman pemerintahan

Malik Az-Zahir, raja yang terkenal alim dalam ilmu agama dan bermazhab

Syafi’i, mengadakan pengajian sampai waktu sholat Ashar dan fasih berbahasa

Arab serta mempraktekkan pola hidup yang sederhana.

2. Zaman Kerajaan Perlak

Kerajaan Islam Perlak juga memiliki pusat pendidikan Islam Dayah Cot

Kala. Dayah disamakan dengan Perguruan Tinggi, materi yang diajarkan yaitu

bahasa Arab, tauhid, tasawuf, akhlak, ilmu bumi, ilmu bahasa dan sastra Arab,

sejarah dan tata negara, mantiq, ilmu falaq dan filsafat. Daerahnya kira-kira dekat

Aceh Timur sekarang. Pendirinya adalah ulama Pangeran Teungku Chik M.Amin,

pada akhir abad ke-3 H, abad 10 M.

16

3. Zaman Kerajaan Aceh Darussalam

Jenjang pendidikan yang ada di Kerajaan Aceh Darussalam diawali

pendidikan terendah Meunasah (Madrasah). Yang berarti tempat belajar atau

sekolah, terdapat di setiap gampong dan mempunyai multi fungsi antara lain:

a. Sebagai tempat belajar Al-Qur’an.

b. Sebagai Sekolah Dasar, dengan materi yang diajarkan yaitu menulis dan

membaca huruf Arab, Ilmu agama, bahasa Melayu, akhlak dan sejarah Islam.

4. Kerajaan Langkat

Berdasarkan data yang didapatkan bahwa sebelum tahun 1900, kerajaan

Langkat belum memiliki lembaga pendidikan formal. Pendidikan yang

dilaksanakan masih dengan pendidikan non formal, yaitu dengan belajar kepada

guru-guru agama ataupun ahli-ahli dalam bidang tertentu. Bagi keluarga kerajaan

juga diberikan pendidikan yang seperti ini. Para guru-guru itu diundang ke istana

untuk memberikan ceramah dan pengajaran kepada raja beserta keluarganya.

17

DAFTAR PUSTAKA

A. Budiardjo, Kamus Psikologi ,(Semarang: Dahara Press)

Hanun Asrohah, Sejarah Pendidikan Islam (Cet. II; Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2001)

Islam dan budaya lokal,pokja akademik uin sunan kalijaga,yogyakarta:2005

Karim, Dr. M. Abdul, Double M.A, Islam Nusantara,(Yogyakarta: Pustaka Book

Publisher),2007

Manfred Ziemek, Pesantren dalam Perubahan Sosial, diterjemah oleh Butche B. Soendjojo

(Jakarta: P3M, 1983)

Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan di Indonesia (Jakarta: Mutiara Sumber Widya, 1992)

Peter salim dan Yenny Salim, Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer,( Jakarta: Modern

English Press)1990

Pokja akademik,Islam Dan Budaya Lokal, Pokja Akademik UIN Sunan Kalijaga:

Yogyakarta,2005,

Roeslan abdulgani, sejarah perkembangan islam di indonesia ( jakarta: pustaka antar kota,

1983)

Taufik Abdullah (Ed.), Agama dan Perubahan Sosial (Jakarta: CV. Rajawali, 1983)

18