Upload
nguyenthuy
View
235
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
1
PERTUMBUHAN DAN KANDUNGAN AJMALISIN PADA KULTUR
KALUS DAUN TAPAK DARA (Catharanthus roseus (L.) G. Don.)
DENGAN PEMBERIAN KINETIN DAN CEKAMAN ASAM
Naskah Publikasi
Skripsi
Untuk memenuhi sebagian persyaratan
guna memperoleh gelar Sarjana Sains
Oleh : Wiwin Andrias
M0404016
JURUSAN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2009
2
PERSETUJUAN
Naskah Publikasi
SKRIPSI
PERTUMBUHAN DAN KANDUNGAN AJMALISIN PADA KULTUR
KALUS DAUN TAPAK DARA (Catharanthus roseus (L.) G. Don.)
DENGAN PEMBERIAN KINETIN DAN CEKAMAN ASAM
Oleh : Wiwin Andrias
M0404016
Telah disetujui untuk dipublikasikan
Surakarta, Januari 2009
Menyetujui,
Mengetahui,
Ketua Jurusan Biologi
Dra. Endang Anggarwulan, M.Si. NIP. 130 676 864
Pembimbing I
Pembimbing II
Dra. Endang Anggarwulan, M.Si. NIP. 130 676 864
Widya Mudyantini, M.Si. NIP. 132 240 172
ii
3
THE GROWTH AND AJMALICINE CONTENT OF LEAF CALLUS OF
Catharanthus roseus (L.) G. Don. ON THE VARIATION OF
KINETIC AND ACID STRESS TREATMENT
WIWIN ANDRIAS Department of Biology, Faculty of Mathemathics and Natural Science,
Sebelas Maret University, Surakarta.
ABSTRACT The aim of this research is to study the effect of variation of kinetic and acid stress on growth and ajmalicine content on leaf callus culture Catharanthus roseus (L.) G. Don.
The research methods used in this research is factorial experiment 4x4. The first factor is HCl treatment at 4 level of acidity, they are pH 2,9; 3,9; 4,9; and 5,9 as a control. The second factor is variation of kinetic consentration each 0 mg/L as a control; 50 mg/L; 100 mg/L; and 150 mg/L. Each treatment (pH and kinetic combinations) consist of 3 levels. The collected data consist of qualitative data (callus morphology) presented descriptively and quantitative data (fresh weight callus, growht rapid callus, and dry weight callus). The ajmalicine compound tested qualitatively with thin layer chromatography (TLC), then followed the quantitatively test with thin layer chromatography-scanner. Analysis the quantitative data with Analysis of Varian (Anava) then Tamhane research level 5%. The result of research showed that variation of kinetic consentration influence fresh weight callus and growth rapid callus, but didn’t influence dry weight callus. Variation of pH didn’t influence fresh weight callus, growht rapid callus, and dry weight callus. The highest ajmalicine content in callus culture Catharanthus roseus (L.) G. Don., didn’t syncronize with the highest variation of pH consentration and kinetic treatment. The highest ajmalicine content product were in the Murashige Skoog (MS) medium with influence pH 5,9 and kinetic consentration 100 mg/L. Key Word: Growth, Catharanthus roseus, ajmalicine, kinetic, acid stress
iii
1
PENDAHULUAN
Senyawa–senyawa kimia yang digunakan dalam industri kimia, sebagian
besar merupakan metabolit sekunder yang berasal dari tumbuhan (Mukarlina
dkk., 2006). Senyawa metabolit sekunder dari tumbuhan tinggi telah lama
diketahui mempunyai banyak manfaat bagi manusia, diantaranya sebagai senyawa
pewarna, pestisida, pewangi, bahan kosmetik, dan obat. Salah satu jenis tanaman
obat yang banyak dimanfaatkan untuk kepentingan manusia adalah Catharanthus
roseus (L.) G. Don. Tanaman Catharanthus roseus secara tradisional sering
dimanfaatkan antara lain sebagai obat malaria, diabetes, kanker, dan menurunkan
tekanan darah tinggi (Eisai Indonesia, 1995; Radji, 2005).
Sebagai metabolit sekunder, alkaloid disintesis dalam tubuh tumbuhan
dalam jumlah yang sangat terbatas dibanding metabolit primer, seperti
karbohidrat dan lemak. Senyawa metabolit ini seringkali dihasilkan sebagai
respon adanya serangan dari luar seperti infeksi bakteri patogen, stres lingkungan,
UV, ataupun penambahan prekursor (Briskin, 2000). Meski disintesis dalam
jumlah yang relatif sedikit, dinyatakan bahwa ajmalisin banyak terdapat di dalam
akar (Kulkarni dan Ravinda, 1988). Namun demikian, Esyanti dan Muspiah
(2006) dalam penelitiannya berhasil mengetahui pola produksi ajmalisin dari
kultur agregat sel Catharanthus roseus (L.) G. Don., dalam bioreaktor airlift
(yaitu bioreaktor tipe airlift reactors yang memberikan kontrol lebih baik untuk
produksi senyawa bioaktif skala besar pada kultur suspensi sel dan
memungkinkan pengaturan kondisi secara konstan pada setiap fase) dengan
menggunakan eksplan daun tersebut untuk induksi pembentukan kalusnya. Hal ini
membuktikan bahwa ajmalisin tidak hanya dijumpai di akar tetapi juga dijumpai
di daun. Meskipun sintesis ajmalisin di daun lebih sedikit daripada di akar.
Kebutuhan senyawa obat semakin tinggi sementara lahan dan plasma
nutfah semakin menyusut, oleh karena itu diperlukan alternatif pemecahan.
Teknik kultur jaringan tumbuhan dapat dimanfaatkan untuk mengatasi
permasalahan tersebut. Melalui teknik ini, metabolit sekunder yang dihasilkan
dalam jaringan tanaman utuh dapat dihasilkan juga dalam sel-sel yang dipelihara
pada medium buatan secara aseptik (Fitriani, 2003).
2
Penelitian untuk meningkatkan kandungan metabolit sekunder pada
Catharanthus roseus (L.) G. Don., telah banyak dilakukan, antara lain dengan
cara transformasi akar (Ciau-Uitz et al., 1994), stress lingkungan (Sukarman dkk.,
2000), pengasaman dan penambahan triptofan (Pitoyo, 2002), penambahan
elisitor (Fitriani, 2003), serta kultur suspensi dengan bioreaktor airlift (Esyanti
dan Muspiah, 2006). Serupa dengan penelitian yang dilakukan oleh Pitoyo
(2002) menggunakan eksplan daun Catharanthus roseus (L.) G. Don., bahwa
dalam penelitian ini juga ditambahkan HCL untuk memberikan suasana asam
pada media, bedanya pada penelitian Pitoyo (2002) penambahan HCL disertai
dengan pemberian triptofan sebagai pemacu ajmalisin, sedangkan pada penelitian
ini penambahan HCL disertai dengan penambahan kinetin sebagai pemacu
ajmalisin. Perbedaan lain dari penelitian Pitoyo (2002) terletak pada metode uji.
Pitoyo (2002) menggunakan uji kromatografi lapis tipis yang dilanjutkan dengan
spektrofotometri, sedangkan pada penelitian ini menggunakan uji kromatografi
lapis tipis yamg dilanjutkan dengan densitometri.
Berdasarkan uraian di atas, maka perlu dilakukan penelitian tentang
pengaruh pemberian variasi konsentrasi kinetin serta melakukan pengasaman
sitoplasma menggunakan HCL sebelum penanaman pada pertumbuhan dan
kandungan ajmalisin kultur kalus daun Catharanthus roseus (L.) G. Don.
BAHAN DAN METODE
A. Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilaksanakan bulan November 2007–September 2008 di
Laboratorium Pusat Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta dan
Laboratorium Fitokimia Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada (UGM)
Yogyakarta.
B. Alat dan Bahan
1. Alat
a. Alat Sterilisasi
Alat sterilisasi adalah autoklaf pada suhu 121°C dan tekanan 1,5 atm.
3
b.Alat Pembuatan Larutan Stok dan Media
Meliputi: neraca analitik, gelas piala, gelas ukur, pipet tetes dan pipet
volume, hot plate, lemari pendingin / kulkas, kertas label, botol, dan tabung
steril, pH meter digital, autoklaf, drag ball, magnetic stirer, tissue, spatula,
erlenmeyer, alumunium foil.
c. Alat Penanaman Eksplan
Meliputi: Alat diseksi, skalpel, gelas ukur, sprayer alkohol, bunsen
buchner, laminair air flow cabinet, neraca analitik, gelas beker, plastik penutup,
alumunium foil, karet gelang, botol jam, bak pencucian, spons untuk mencuci
eksplan.
d.Alat Uji Kandungan Ajmalisin
Meliputi: UV detector, mortar, pesle, corong pisah, densitometer (Thin
Layer Chromatography-Scanner).
2. Bahan
a. Bahan Eksplan
Bahan eksplan adalah daun tanaman tapak dara (Catharanthus roseus (L.)
G. Don.) yang berbunga merah muda, terutama daun muda (daun ke-3 sampai
ke-6) yang diambil dari pucuk tanaman. Tanaman berasal dari sekitar daerah
kampus UNS yang sudah dibudidayakan / diadaptasikan terlebih dahulu selama
± 2 minggu di dalam green house.
b.Bahan Pembuatan Larutan Stok dan Media (Media Inisiasi Kalus dan Media
Perlakuan)
1). Media Inisiasi Kalus
Bahan-bahan untuk pembuatan media inisiasi kalus terdiri dari
bahan-bahan kimia pada komposisi dasar media Murashige dan Skoog,
aquades, KOH 1 N, HCL 1N, dan 2,4-D 1 mg/L.
2). Media Induksi Kalus
Bahan yang digunakan pada pembuatan media induksi kalus antara
lain: bahan-bahan kimia pada komposisi dasar media Murashige dan Skoog,
aquades, KOH 1 N, HCL 1 N, serta kinetin dengan berbagai variasi
konsentrasi (0; 50; 100; 150 mg/L). Selain itu pada media perlakuan ini
4
konsentrasi HCL diuji dengan berbagai variasi konsentrasi sehingga
menghasilkan pH 2,9; 3,9; 4,9; dan 5,9.
c. Bahan Sterilisasi
Bahan sterilisasi eksplan adalah clorox murni dan aquades steril.
d. Bahan Uji Kualitatif dan Kuantitatif Ajmalisin
Meliputi: metanol murni, plat silika gel 254, kloroform, etil asetat,
aquabides, asam asetat, NH4OH 1 N, indikator pH, kertas saring.
C. Rancangan Percobaan
Percobaan ini disusun dengan menggunakan rancangan acak kelompok
pola faktorial dengan faktor pertama adalah 4 aras pH HCL masing–masing 2,9;
3,9; 4,9; dan 5,9. Faktor kedua adalah 4 aras kadar kinetin masing–masing 0
mg/L, 50 mg/L, 100 mg/ L, dan 150 mg/L. Mekanismenya adalah sebagai berikut:
mula-mula tiap-tiap kalus direndam dalam HCL selama 1 jam dengan pH HCL
yang berbeda-beda sesuai dengan perlakuan, selanjutnya tiap-tiap kalus tadi
ditanam pada media MS dengan penambahan zat pengatur tumbuh berupa kinetin
dengan konsentrasi yang berbeda-beda pula sesuai dengan perlakuan. Setiap
perlakuan dilakukan sebanyak 3 ulangan.
Kombinasi faktorial yang diuji adalah sebagai berikut:
Tabel 1. Rancangan percobaan kombinasi faktorial dalam perlakuan cekaman asam dan pemberian kinetin
Cekaman Asam (Faktor Y)
Kadar Kinetin dalam Media (mg/L) (Faktor X)
X0 X50 X100 X150
Y2,9 X0 Y2,9 X50 Y2,9 X100 Y2,9 X150 Y2,9
Y3,9 X0 Y3,9 X50 Y3,9 X100 Y3,9 X150 Y3,9
Y4,9 X0 Y4,9 X50 Y4,9 X100 Y4,9 X150 Y4,9
Y5,9 X0 Y5,9 X50 Y5,9 X100 Y5,9 X150 Y5,9
Keterangan : Y : Cekaman asam (pH HCL) (Y2,9 : pH 2,9; Y3,9 : pH 3,9; Y4,9 : pH 4,9; Y5,9 : pH 5,9 ) X : Kadar kinetin (X0 : 0 mg/L; X50 : 50 mg/L; X100 : 100 mg/L; X150 : 150 mg/L )
5
D. Cara Kerja
1. Tahap Persiapan
a. Pembuatan Larutan Stok
Bahan-bahan kimia untuk stok media MS ditimbang, lalu
dilarutkan dalam 50 mL aquades dalam gelas beker dan diaduk dengan
magnetic stirer. Setelah bahan larut, volume ditetapkan hingga 100 mL,
kemudian larutan dimasukkan dalam botol stok dan diberi label. Untuk
larutan FeEDTA setelah larutan Na2EDTA dilarutkan baru ditambahkan
Fe2SO4 yang telah digerus. Setelah bahan kimia larut, volume ditetapkan
hingga 100 mL, lalu dimasukkan dalam botol stok dan diberi label. Semua
botol yang berisi larutan stok ditutup dengan alumunium foil, lalu
disimpan dalam lemari es.
b. Pembuatan Media Dasar Murashige dan Skoog (MS)
Alat dan bahan disiapkan. Labu ukur terlebih dahulu diisi dengan
700 ml aquades. Setiap larutan stok makro, mikro, dan vitamin (untuk
media MS) pipet sesuai kebutuhan ke dalam labu ukur volume 1 liter
kemudian ditambahkan 0,1 gram myoinositol dan 30 gram sukrosa gula.
Aquades ditambahkan ke dalam campuran tadi sehingga larutan mejadi 1
L, kemudian distirer, selanjutnya ditaruh di atas hot plate. Media dituang
ke dalam gelas piala selanjutnya di ukur pH larutan tersebut, jika pH < 5,9
ditambah NaOH dan jika pH > 5,9 ditambah HCL. Kemudian
ditambahkan ke dalamnya agar–agar sebanyak 7 gram untuk 1 liter media
dan ditutup dengan plastik cling warp yang di atasnya dilubangi. Setelah
media masak lalu dituang ke dalam botol-botol jam steril kosong,
kemudian ditutup dengan alumunium foil dan plastik penutup, serta diikat
dengan karet gelang. Media yang telah dituang disterilkan menggunakan
autoklaf pada suhu 1210 C selama 15 menit (Novita dkk., 2003).
6
c. Pembuatan Media perlakuan
1). Media Perlakuan Variasi Konsentrasi Kinetin
Pada media perlakuan ini menggunakan bahan-bahan kimia
seperti pada media dasar MS yang ditambah kinetin dengan variasi
konsentrasi kinetin: 0 mg/L, 50 mg/L, 100 mg/L, dan 150 mg/L
(Pitoyo, 2002).
2). Media Perlakuan Cekaman Asam
Pada media perlakuan ini menggunakan bahan-bahan kimia
seperti pada media dasar MS kecuali agar, serta pada pH media ini
disesuaikan dengan perlakuan asam sehingga menghasilkan pH: 2,9;
3,9; 4,9; dan 5,9.
1.Tahap Penanaman Eksplan
a. Sterilisasi Alat dan Bahan
Sterilisasi media cair menggunakan autoklaf yang diatur pada
tekanan uap air 1,5 atm, temperatur 121°C, selama 15-20 menit. Untuk
peralatan gelas, autoklaf diatur pada tekanan uap air 1,5 atm, temperatur
121°C, selama 1 jam.
b. Sterilisasi Eksplan
Daun disterilisasi dengan sunlight, dibilas air mengalir selama 15
menit, dimasukkan clorox murni selama 1 menit, dibilas aquades steril 3
kali.
c. Penanaman Eksplan Daun
Penanaman eksplan dilakukan secara aseptis dalam laminair air flow
cabinet dengan menggunakan pinset. Daun dimasukkan ke dalam botol
kultur berisi media MS yang mengandung 2,4-D 1 mg/L selama 4 minggu.
Kemudian diinkubasi dengan temperatur 24°C. Setelah 4 minggu dari
penanaman eksplan, kalus yang terbentuk disubkultur pada media baru
selama 4 minggu. Setelah itu kalus disubkultur lagi selama 3 minggu pada
media baru. Hasil dua kali siklus subkultur digunakan sebagai bahan uji.
7
3. Tahap Perlakuan
Pada tahap perlakuan kalus yang telah mengalami dua kali siklus
subkultur digunakan untuk uji coba. Medium yang digunakan untuk
menanam kalus diberi variasi pH yang berbeda–beda, yaitu pada pH: 2,9;
3,9; 4,9; dan 5;9 dengan penambahan HCL selama rentang waktu 1 jam.
Kemudian masing–masing kalus hasil penanaman tadi disubkultur dalam
media tanam dengan variasi kinetin 0 mg/L, 50 mg/L, 100 mg/ L, dan 150
mg/L selama 21 hari masa penanaman. Setelah 21 hari masa penanaman,
kalus dipanen, diukur parameter pertumbuhannya, dan siap untuk uji coba
kandungan ajmalisin.
4. Tahap Pengukuran Parameter Pertumbuhan Kalus
a. Bobot Basah Kalus
Bobot basah kalus diukur dengan menimbang bobot basah
kalus awal (WWo) dan bobot basah kalus akhir (WWt).
b. Laju Pertumbuhan Kalus
Laju pertumbuhan kalus (LPK) diperoleh dengan menggunakan
hasil dari pengukuran bobot basah kalus awal dan bobot basah kalus
akhir dengan menggunakan rumus sebagai berikut :
LPK = (WWt – WWo) : t
Keterangan: LPK = Laju pertumbuhan kalus (gram/hari) WWt = Bobot basah kalus akhir (gram) WWo = Bobot basah kalus awal (gram) t =Waktu (hari)
(Sitompul dan Guritno, 1995).
b. Bobot Kering Kalus
Pengukuran bobot kering kalus dilakukan dengan menimbang
kalus segar yang telah dikeringkan di dalam inkubator pada suhu 50º C
hingga bobotnya konstan (yaitu 24 jam pertama, kedua, dan ketiga).
8
5. Tahap Uji Kandungan Ajmalisin
a. Tahap Ekstraksi
Kalus yang dipanen dikeringkan dengan oven pada suhu 50˚C
hingga didapat bobot kering yang konstan. Total kalus kering yang
diambil adalah sebanyak 100 mg dari ketiga ulangan perlakuan untuk
setiap sampelnya, kemudian digerus terlebih dahulu dengan menggunakan
mortar hingga menjadi serbuk kalus. Serbuk kalus diekstraksi dengan
metanol murni sebanyak 15 ml selama 2 jam dengan menggunakan
shaker, setelah itu ekstrak disaring dengan kertas saring sehingga
diperoleh residu dan filtrat. Residu yang dihasilkan ditambah dengan 15
ml metanol dan dikocok lagi, kemudian didapatkan ekstrak untuk disaring
kembali menggunakan kertas saring. Langkah kerja ini diulang sebanyak
dua kali. Filtrat yang dihasilkan diuapkan hingga seluruh pelarut menguap.
Ekstrak kasar yang diperoleh dipindah ke corong pisah dengan melarutkan
campuran kloroform : air (1:1). Langkah kerja ini diulang sebanyak tiga
kali. Ke dalam campuran ditambahkan NH4OH 1 N sampai pH larutan 11,
kemudian ditambahkan 60 ml kloroform dan dikocok. Terbentuk lapisan
air dan kloroform. Kedua lapisan tersebut dipisah, lapisan kloroform
ditambah CH3COOH 1 N lalu disaring dan diuapkan sampai kering.
Ekstrak kering yang didapat ditambah sedikit metanol sebelum diuji
dengan KLT (Pitoyo, 2002).
b. Uji Kualitatif
Alkaloid dipisahkan dengan kromatografi lapis tipis (KLT)
menggunakan plat silika gel 60 F 254 dan sistem pelarutnya
menggunakan metanol : etil asetat (1:9) dengan penambahan 3 tetes
CH3COOH 1 N. Hasilnya dilihat dengan penampak noda lampu UV pada
panjang gelombang 254 nm (Manuhara dan Sri, 1999). Uji lanjut KLT
menggunakan alat densitometer dengan panjang gelombang 254 nm. Hasil
running menggunakan alat densitometer menghasilkan kurva dengan luas
area tertentu, baik untuk senyawa murni maupun senyawa yang
9
terkandung dalam sampel. Kadar senyawa ajmalisin dalam sampel dan
kadar senyawa ajmalisin murni dihitung menurut persamaan:
Kadar (cm2.%/mg sampel) = (Luas area sampel / mg sampel) X 100 %
Kadar senyawa ajmalisin dalam sampel maupun dalam bahan
dibandingkan dengan kadar senyawa ajmalisin murni.
E. Teknik Pengumpulan Data
Data yang diperoleh adalah data kualitatif dan kuantitatif. Data kualitatif
berupa morfologi kalus (warna dan tekstur kalus) dan kandungan ajmalisin yang
disajikan secara deskriptif. Data kuantitatif meliputi bobot basah kalus, laju
pertumbuhan kalus, bobot kering kalus.
F. Analisis Data
Data kualitatif disajikan secara deskriptif. Data kuantitatif dianalisis
secara statistik dengan uji ANAVA. Hasil positif yang didapatkan dilanjutkan
dengan uji Tamhane taraf 5% untuk mencari beda nyata tiap-tiap perlakuan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Inisiasi Pembentukan Kalus
Eksplan daun Catharanthus roseus (L.) G. Don., yang ditanam pada media
Murashige Skoog (MS) dengan zat pengatur tumbuh (ZPT) berupa asam
diklorofenoksiasetat (2,4-D) menyebabkan terbentuknya kalus. Kalus adalah suatu
kumpulan sel yang belum terdiferensiasi (amorphous) yang terjadi dari sel-sel
jaringan yang membelah diri secara terus-menerus (Gunawan, 1992). Dalam
penelitian ini kalus mulai terbentuk setelah 7 hari penanaman. Kalus terbentuk
dari bagian eksplan yang terkena irisan / luka sayatan. Hal ini sesuai dengan
pernyataan Gunawan (1992) bahwa kalus pada umumnya terbentuk pada bekas-
bekas luka, selain itu kalus juga dapat terbentuk sebagai akibat stress.
B. Kalus dalam Media Perlakuan (Induksi Kalus)
1. Morfologi Kalus
Morfologi kalus dapat dilihat dari tekstur dan warna kalus. Dalam
penelitian ini tekstur kalus ada yang kompak (non freeable) namun ada juga yang
remah (freeable). Menurut Street (1973) dalam Irmawati (2007) bahwa tekstur
10
kalus yang kompak memiliki susunan sel yang rapat dan padat sehingga sulit
dipisah-pisahkan. Kalus non freeable disebabkan sebagian sel-selnya memiliki
proporsi vakuola yang lebih besar serta mempunyai dinding polisakarida yang
besar. Sedangkan dari segi warna kalus, ada kalus yang mengalami perubahan
dari putih menjadi coklat muda atau coklat tua. Meskipun demikian masih ada
kalus yang tetap berwarna putih kekuningan. Menurut Indrianto (2001) kalus yang
bertekstur keras dan kompak disebabkan selama pertumbuhannya, kalus
mengalami lignifikasi yang cukup kuat.
Sebagian besar kalus kompak terjadi pada media perlakuan tanpa kinetin
(X0). Menurut Zhao et al., (2001) dalam Esyanti dan Muspiah (2006) bahwa
terbentuknya kalus kompak diduga disebabkan oleh penggunaan sumber auksin.
Sumber auksin tidak menginduksi sintesis enzim selulase dan pektinase yang
mempunyai aktivitas lisis terhadap lamela tengah. Akibat tidak terjadinya lisis
pada lamela tengah, maka ikatan antara sel menjadi tidak renggang dan
memberikan struktur yang kompak serta mempunyai kondisi fisiologis seperti sel
dalam kondisi in vivo. Hal ini dapat terjadi sebab sebelum kalus dimasukkan ke
dalam media perlakuan, terlebih dahulu kalus diinisiasi dalam media induksi
pembentukan kalus yang telah diberi ZPT berupa 2,4-D (salah satu jenis auksin
sintetik).
2. Pengaruh Perlakuan terhadap Pertumbuhan Kalus
a. Bobot Basah Kalus
Perubahan bobot basah kalus dapat dihitung dengan cara bobot basah akhir
dikurangi bobot basah awal. Rerata peningkatan bobot basah kalus ditunjukkan
pada kalus Catharanthus roseus (L.) G. Don., dengan perlakuan pemberian
cekaman asam pada pH 3,9 dan 4,9 untuk semua variasi konsentrasi kinetin (50
mg/L, 100 mg/L, dan 150 mg/L) yaitu secara berurutan sebesar 0,106 g dan 0,086
g; sedangkan pada pH 2,9 dan 5,9 dari semua variasi konsentrasi kinetin tersebut
memberikan pengaruh negatif pada rerata bobot basah kalus yaitu secara
berurutan sebesar -0,059 g dan -0,238 g. Hasil analisis uji Anava menerangkan
bahwa kinetin memberikan pengaruh yang signifikan pada bobot basah kalus
Catharanthus roseus (L.) G. Don., sedangkan pH tidak menunjukkan pengaruh
11
yang signifikan, serta pengaruh akumulasi pH dan kinetin juga tidak menunjukkan
nilai yang signifikan pada bobot basah kalus. Rerata bobot basah kalus disajikan
pada Tabel 1 dan Gambar 1 di bawah ini:
Tabel 1. Rata-rata bobot basah kalus Catharanthus roseus (L.) G. Don., pada media Murashige Skoog (MS) dengan pemberian variasi konsentrasi kinetin dan cekaman asam, umur 21 hari pasca subkultur II
Cekaman Asam
(Faktor Y)
Kadar Kinetin dalam Media (mg/L) (Faktor X)
Rerata
X0 X50 X100 X150 Y2.9 0.576 -0.306 -0.245 -0.261 -0.059a
Y3.9 1.148 -0.247 -0.330 -0.148 0.106a
Y4.9 1.047 -0.131 -0.215 -0.358 0.086a
Y5.9 0.174 -0.322 -0.201 -0.604 -0.238a
Rerata 0.736b -0.251a -0.248a -0.343a Keterangan : Angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada satu baris berarti
menunjukkan tidak beda nyata pada uji Tamhane taraf 5% dengan: X : Kadar Kinetin (X0 : 0 mg/L; X50 : 50 mg/L; X100 : 100 mg/L; X150 : 150 mg/L) Y : Cekaman Asam (pH HCL) (Y2,9 : pH 2,9; Y3,9 : pH 3,9; Y4,9 : pH 4,9; Y5,9 : pH 5,9)
Gambar 1. Histogram bobot basah kalus Catharanthus roseus (L.) G. Don., pada media Murashige Skoog (MS) dengan pemberian variasi konsentrasi kinetin dan cekaman asam, umur 21 hari pasca subkultur II
b.Laju pertumbuhan Kalus
Laju pertumbuhan kalus (LPK) menunjukkan kemampuan kalus untuk
memperbanyak sel, tumbuh dan berkembang dalam jangka waktu tertentu. Laju
pertumbuhan kalus sangat dipengaruhi oleh media (Nurcahyani, 2006). Rerata laju
pertumbuhan kalus Catharanthus roseus (L.) G. Don., juga cenderung mengalami
penurunan seperti halnya yang terjadi pada bobot basah kalus. Pemberian variasi
konsentrasi kinetin 50 mg/L, 100 mg/L, dan 150 mg/L menunjukkan harga negatif
pada laju pertumbuhan kalus yaitu secara berurutan sebesar -0,012 g/hari; -0,012
g/hari; dan -0,016 g/hari, pada semua pH media baik pH 2,9; 3,9; 4,9; maupun
12
5,9. Berbeda dengan pemberian variasi konsentrasi kinetin tersebut, untuk kontrol
media dengan kinetin 0 mg/L menunjukkan harga positif rerata laju pertumbuhan
kalus sebesar 0,035 g/hari.
Penurunan laju pertumbuhan kalus juga ditunjukkan pada media dengan
pemberian asam yaitu, pH 2,9 dan 5,9 secara berurutan sebesar -0,003 g/hari dan -
0,011 g/hari, pada semua pemberian variasi konsentrasi kinetin (baik 50 mg/L,
100 mg/L, maupun 150 mg/L). Lain halnya dengan pengaruh pH tersebut, pada
pH 3,9 dan 4,9 kalus mengalami rerata peningkatan laju pertumbuhan kalus
secara berurutan sebesar 0,005 g/hari dan 0,004 g/hari.
Hasil analisis uji Anava juga menerangkan bahwa kinetin memberikan
pengaruh yang signifikan pada laju pertumbuhan kalus Catharanthus roseus (L.)
G. Don., sedangkan pH tidak menunjukkan pengaruh yang signifikan, begitu pula
dengan kombinasi antar perlakuan pemberian variasi konsentrasi kinetin dan
cekaman asam (pH) yang tidak menunjukkan pengaruh secara signifikan pada laju
pertumbuhan kalus Catharanthus roseus (L.) G. Don. Rerata laju pertumbuhan
kalus disajikan pada Tabel 2 dan Gambar 2 di bawah ini:
Tabel 2. Rata-rata laju pertumbuhan kalus Catharanthus roseus (L.) G. Don., pada media Murashige Skoog (MS) dengan pemberian variasi konsentrasi kinetin dan cekaman asam, umur 21 hari pasca subkultur II
Cekaman Asam
(Faktor Y)
Kadar Kinetin dalam Media (mg/L) (Faktor X)
Rerata
X0 X50 X100 X150 Y2.9 0.027 -0.015 -0.012 -0.012 -0.003a
Y3.9 0.055 -0.012 -0.016 -0.007 0.005a
Y4.9 0.050 -0.005 -0.010 -0.017 0.005a
Y5.9 0.008 -0.015 -0.010 -0.029 -0.011a
Rerata 0.035b -0.012a -0.012a -0.016a
Keterangan : Angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada satu baris berarti menunjukkan tidak beda nyata pada uji Tamhane taraf 5% dengan:
X : Kadar Kinetin (X0 : 0 mg/L; X50 : 50 mg/L; X100 : 100 mg/L; X150 : 150 mg/L) Y : Cekaman Asam (pH HCL)
(Y2,9 : pH 2,9; Y3,9 : pH 3,9; Y4,9 : pH 4,9; Y5,9 : pH 5,9)
13
Gambar 2. Histogram laju pertumbuhan kalus Catharanthus roseus (L.) G. Don., pada media
Murashige Skoog (MS) dengan pemberian variasi konsentrasi kinetin dan cekaman asam, umur 21 hari pasca subkultur II
c. Bobot Kering Kalus
Pengeringan bahan bertujuan untuk menghilangkan semua kandungan air
bahan, biasanya dilakukan pada suhu yang relatif tinggi selama jangka waktu
tertentu. Idealnya bahan dikeringkan pada suhu 80ºC hingga dicapai suatu bobot
kering yang konstan. Untuk mendapatkan bobot yang konstan, penimbangan
bahan yang sedang dikeringkan perlu dilakukan berulang-ulang secara berkala
(Sitompul dan Guritno, 1995). Namun, Irmawati (2007) dalam penelitiannya
melakukan pengeringan bahan berupa kalus pada suhu 50ºC. Hal ini bertujuan
agar tidak merusak kalus.
Tabel 3. Rata-rata bobot kering kalus Catharanthus roseus (L.) G. Don., pada media Murashige Skoog (MS) dengan pemberian variasi konsentrasi kinetin dan cekaman asam, umur 21 hari pasca subkultur II
Cekaman Asam
(Faktor Y)
Kadar Kinetin dalam Media (mg/L) (Faktor X)
Rerata
X0 X50 X100 X150 Y2.9 0.083 0.079 0.098 0.068 0.082a
Y3.9 0.067 0.086 0.050 0.074 0.069a
Y4.9 0.075 0.083 0.079 0.066 0.076a
Y5.9 0.072 0.082 0.082 0.090 0.082a
Rerata 0.074a 0.082a 0.077a 0.074a
Keterangan : Angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada satu baris berarti menunjukkan tidak beda nyata pada uji Tamhane taraf 5% dengan:
X : Kadar Kinetin (X0 : 0 mg/L; X50 : 50 mg/L; X100 : 100 mg/L; X150 : 150 mg/L) Y : Cekaman Asam (pH HCL) (Y2,9 : pH 2,9; Y3,9 : pH 3,9; Y4,9 : pH 4,9; Y5,9 : pH 5,9)
14
Gambar 3. Histogram bobot kering kalus Catharanthus roseus (L.) G. Don., pada media
Murashige Skoog (MS) dengan pemberian variasi konsentrasi kinetin dan cekaman asam, umur 21 hari pasca subkultur II
Pada Tabel 3 dan Gambar 3 menunjukkan bahwa rerata bobot kering kalus
mengalami penurunan dari bobot basahnya. Rerata bobot kering terendah terjadi
pada kalus dengan kontrol kinetin 0 mg/L pada media MS, yaitu dengan bobot
0,074 g. Pemberian variasi konsentrasi kinetin 50 mg/L, 100 mg/L, dan 150 mg/L
menunjukkan rerata bobot kering secara berurutan yaitu 0,082 g; 0,077 g; dan
0,075 g. Rerata bobot kering terendah juga terjadi pada kalus dengan pengaruh pH
3,9 dalam dalam media MS yaitu sebobot 0,069 g. Pemberian variasi konsentrasi
asam pada pH 2,9; 4,9; dan 5,9 secara berurutan menunjukkan rerata bobot kalus
yaitu 0,082 g; 0,076 g; dan 0,082 g.
Hasil analisis uji Anava juga menerangkan bahwa baik kinetin maupun pH
keduanya tidak memberikan pengaruh yang signifikan pada bobot kering kalus.
Begitu pula interaksi antar perlakuan kombinasi keduanya (kinetin dan pH), juga
tidak menunjukkan adanya pengaruh yang signifikan pada bobot kering kalus.
C. Analisis Kandungan Ajmalisin dalam Kalus
Deteksi awal ada tidaknya kandungan senyawa alkaloid, khususnya dalam
penelitian ini adalah ajmalisin dapat dilakukan melalui uji kromatografi lapis tipis.
Dalam penelitian ini menggunakan fase diam berupa plat silika gel 60 F 254,
sedangkan fase geraknya berupa methanol : etil asetat (1 : 9) (Manuhara dan Sri,
1999) dengan penambahan asam asetat.
Dari Tabel 4 (di bawah ini) dapat dilihat bahwa terdapat perbedaan kadar
metabolit sekunder berupa ajmalisin dalam ajmalisin murni, akar, daun, maupun
dalam kalus dengan variasi perlakuan kinetin dan cekaman asam, pada panjang
gelombang pendek (254 nm). Dari tabel di atas juga dapat terlihat variasi
15
perlakuan kinetin dan cekaman asam pada kalus Catharanthus roseus (L.) G.
Don., yang paling tinggi adalah pada perlakuan pemberian kinetin dengan
konsentrasi 100 mg/L dan kondisi media dengan pH 5,9. Pada perlakuan tersebut
menunjukkan bahwa ajmalisin terdeteksi dengan kadar paling tinggi jika
dibandingkan dengan perlakuan yang lain, serta jika dibandingkan dengan kontrol
akar dan daun.
Tabel 4. Deteksi kandungan ajmalisin melalui uji densitometri pada panjang gelombang 254 nm Track Ekstrak/Bahan Ada/tidaknya
0,91 ≤ start Rf ≤ 0,98
Kadar
(cm2.%/mg)
1 Ajmalisin murni Ada 99,964
2 Akar Ada 0,429
3 Daun Ada 0,437
4 Kalus (X0;Y2,9) Ada 0,761
5 Kalus (X0;Y3,9) Tidak ada -
6 Kalus (X0;Y4,9) Tidak ada -
7 Kalus (X0;Y5,9) Ada 0,847
8 Kalus (X50;Y2,9) Ada 0,315
9 Kalus (X50;Y3,9) Tidak ada -
10 Kalus (X50;Y4,9) Ada 0,112
11 Kalus (X50;Y5,9) Ada 1,166
12 Kalus (X100;Y2,9) Tidak ada -
13 Kalus (X100;Y3,9) Ada 1,070
14 Kalus (X100;Y4,9) Ada 0,583
15 Kalus (X100;Y5,9) Ada 1,381
16 Kalus (X150;Y2,9) Tidak ada -
17 Kalus (X150;Y3,9) Tidak Ada -
18 Kalus (X150;Y4,9) Tidak ada -
19 Kalus (X150;Y5,9) Tidak ada -
Keterangan : X : Kadar Kinetin (X0 : 0 mg/L; X50 : 50 mg/L; X100 : 100 mg/L; X150 : 150 mg/L) Y : Cekaman Asam (pH HCL) (Y2,9 : pH 2,9; Y3,9 : pH 3,9; Y4,9 : pH 4,9; Y5,9 : pH 5,9)
16
D. Hubungan Pertumbuhan Kalus dan Kandungan Ajmalisin
Bobot kering kalus dapat dijadikan gambaran pertumbuhan kalus selama
ditumbuhkan dalam media induksi. Menurut Sitompul dan Guritno (1995),
Produksi tanaman biasanya lebih akurat dinyatakan dengan ukuran bahan kering
daripada bobot segar (bobot basah) yang sangat mempengaruhi kondisi
kelembaban yang berlaku pada saat itu. Grafik hubungan pertumbuhan kalus dan
kandungan ajmalisin disajikan pada Gambar 4 di bawah ini:
0
0.2
0.4
0.6
0.8
1
1.2
1.4
1.6
X0Y
2.9
X0Y
3.9
X0Y
4.9
X0Y
5.9
X5
0Y2.
9
X5
0Y3.
9
X5
0Y4.
9
X5
0Y5.
9
X10
0Y2.
9
X10
0Y3.
9
X10
0Y4.
9
X10
0Y5.
9
X15
0Y2.
9
X15
0Y3.
9
X15
0Y4.
9
X15
0Y5.
9
Kinetin dan Cekaman Asam
Berat Kering Kandungan Ajmalisin
Gambar 4. Grafik hubungan pertumbuhan kalus dan kandungan ajmalisin
Dari grafik di atas menunjukkan bahwa pada pertumbuhan kalus (bobot
kering kalus) cenderung stabil, sedangkan kandungan ajmalisin cenderung
fluktuatif bergantung pada cekaman asam dan kinetin. Rata-rata penurunan
kandungan ajmalisin terjadi pada pH 3,9; meskipun ada kenaikan kandungan
ajmalisin pada pH tersebut yaitu dengan media kinetin 100 mg/L. Hal ini diduga
karena pengaruh kinetin lebih kuat daripada cekaman asamnya sehingga dapat
meningkatkan kandungan ajmalisin. Ketika produksi metabolit primer naik,
produksi metabolit sekunder turun. Hal ini sesuai dengan pernyataan Moreno et
al., (1995) dan Fitriani (2003) bahwa pada waktu pertumbuhan sel-sel
Catharanthus roseus sangat lambat, terjadi sintesis ajmalisin yang cukup tinggi.
Lindsey dan Yeoman (1983) mengemukakan bahwa dalam kultur terjadi
persaingan memperoleh prazat untuk metabolit primer dan metabolit sekunder.
Hal ini ditunjukkan pada kenaikan bobot kering kalus pada perlakuan kinetin 100
mg/L dan cekaman asam 2,9 (X100,Y2,9). Pada perlakuan tersebut, kandungan
17
ajmalisin menunjukkan penurunan (tidak terdeteksi), sedangkan pada perlakuan
kinetin 100 mg/L dan pH 5,9 (X100,Y5,9) kandungan ajmalisin menunjukkan nilai
tertinggi dan pertumbuhan yang menurun.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai
berikut :
1. Variasi konsentrasi kinetin memberikan pengaruh yang signifikan pada
peningkatan pertumbuhan kalus, khususnya bobot basah kalus dan laju
pertumbuhan kalus, sedangkan pada bobot kering kalus Catharanthus roseus
(L.) G. Don., kinetin tidak memberikan pengaruh yang signifikan. Sedangkan
variasi pH tidak memberikan pengaruh yang signifikan pada pertumbuhan
kalus, baik bobot basah kalus, laju pertumbuhan kalus, maupun bobot kering
kalus. Interaksi kinetin dan pH juga tidak menunjukkan pengaruh yang
signifikan pada peningkatan pertumbuhan kalus (baik bobot basah kalus, laju
pertumbuhan kalus, maupun bobot kering kalus).
2. Produksi ajmalisin dalam kultur kalus Catharanthus roseus (L.) G. Don.,
dapat ditingkatkan dengan pemberian variasi konsentrasi kinetin dan pH yang
sesuai. Dalam penelitian ini didapatkan konsentrasi kinetin 100 mg/L dan pH
media MS 5,9 untuk dapat menghasilkan produksi ajmalisin tertinggi.
DAFTAR PUSTAKA
Briskin, D. P. 2000. Update on Phytomedicines, Medicinal Plants and Phytomedicines, Linking Plant Biochemistry and Physiology to Human Health. Plant Physiol. 124: 507-514.
Ciau-Uitz, R.; Miranda-Ham, M. L.; Coello-Coello, J.; Chi, B.; Pacheco, L. M.;
Loyola-Vargas, V. M. 1994. Indole Alkaloid Production by Transformed and Nontransformed Root Cultures of Catharanthus roseus. In Vitro Cell Dev Biol. 30: 84-88.
Eisai Indonesia. 1995. Medicinal Herb Index in Indonesia. Indek Tumbuh-tumbuhan Obat di Indonesia. Edisi Kedua. 196.
18
Esyanti dan Muspiah. 2006. Pola Produksi Ajmalisin dari Kultur Agregat Sel Catharanthus roseus (L.) G. Don. dalam Bioreaktor Airlift. Hayati. 13 (4): 161-165.
Fitriani, A. 2003. Kandungan Ajmalisin pada Kultur Kalus Catharanthus roseus (L.) G. Don. setelah Dielisitasi Homogenat Jamur Pythium aphanidermatum Edson Fitzp. Makalah Pengantar Falsafah Sains. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
http://tumotou.net/6_sem2023/any_fitriani.htm [1 Juli 2007].
Gunawan, L. W. 1987. Teknik Kultur Jaringan. PAU-Bioteknologi IPB, Bogor.
Indrianto. A. 2001. Bahan Ajar Kultur Jaringan Tumbuhan. Fakultas Biologi. UGM, Yogyakarta.
Irmawati. 2007. Pertumbuhan dan Kandungan Reserpin Kultur Kalus Rauvolfia verticillata (Lour.) Baillon pada variasi Konsentrasi sukrosa dalam Media MS. Skripsi. Jurusan Biologi FMIPA UNS, Surakarta.
Kulkarni, R. N. and Ravinda, N.S. 1988. Resistance to Pythium aphanidermatum in Diploids and Induced Autotetraploids of Catharanthus roseus. Planta Medica. p. 356-359.
Lindsey, K. and Yeoman, M. M. 1983. Novel Experimental System for Studying the Production of Secondary Metabolite by Plant Tissue Cultures. Plant Biotechnology. Cambridge University Press, London. p. 39-66.
Manuhara dan Sri, W. Y. 1999. Pengaruh Beberapa Macam Elisitor terhadap Pembentukan Alkaloid Vinkristina pada Kultur Kalus Catharanthus roseus (L.) G. Don. FMIPA UNAIR, Surabaya.
http://adln.lib.unair.ac.id./go.php?id=jiptunair-gdl-res-1999-manuhara2c-329-elisitor&node=232&start=86&PHPSESSID=e99ecec43aeb [1 Juli 2007].
Moreno, P. R. H.; Van der Heijden, R.; Verpoorte, R. 1995. Cell and Tissue Culture of Catharanthus roseus: A Literature Survey. Plant Cell Tiss Org. 42: 1-25.
Mukarlina; Esyanti, R. R.; dan Siregar, A. H. 2006. Pengaruh Pemberian Elisitor Homogenat Jamur Pythium aphanidermatum (Edson) Fitzp. terhadap Kandungan Ajmalisin dalam Kultur Akar Catharanthus roseus (L.) G. Don. Jurnal Matematika dan Sains. 11 (2): 44–49.
Novita, L.; Juwartina, I. R.; Karyanti; dan Ahmad, R. 2003. Pelatihan Magang Teknik Kultur Jaringan Tanaman. Balai Pengkajian Bioteknologi-BPPT. Serpong, Tangerang.
19
Nurcahyani, N. 2006. Produksi Reserpin dan Pertumbuhan Kalus Pule Pandak (Rauvolfia serpentina (L) Benth. Ex. Kurz.) dengan Penambahan Elisitor Cu 2+ secara In Vitro. Skripsi. FMIPA UNS, Surakarta.
Pitoyo, A. 2002. Optimalisasi Produksi Alkaloid Indol Terpenoid pada Kultur Kalus Catharanthus roseus (L.) G. Don. dengan Pemberian HCL dan Variasi Triptofan dalam Media. Skripsi. Jurusan Biologi FMIPA UNS, Surakarta.
Radji, M. 2005. Peranan Mikrobiologi dan Mikroba Endofit dalam Pengembangan Obat Herbal. Majalah Ilmu Kefarmasian . 2 (3): 113-126.
Sitompul, S. M. dan Guritno, B. 1995. Analisis Pertumbuhan Tanaman. UGM Press, Yogyakarta.
Sukarman; Darwati, I.; dan Rusmin, D. 2000. Karakterr Morfologi dan Fisiologi Tapak Dara (Vinca rosea L.) pada Beberapa Cekaman Air. Journal Penelitian Tanaman Industri. 6 (2): 50-54.