Upload
pebridika89
View
70
Download
3
Embed Size (px)
DESCRIPTION
Sebagai pandangan pendidikan bahasa Inggris Di Indonesia
Citation preview
erspektif Pendidikan Bahasa Inggris Di Indonesia dalam Konteks Persaingan Global
Sita N. Pujianto(Sebuah kritisi dari buku "Perspektif Pendidikan Bahasa Inggris Di Indonesia dalam Konteks Persaingan Global")
A. Ihwal Pengajaran Bahasa Indonesia sebagai MKDU
Apa yang terekam di benak anda tentang mata kuliah Bahasa Indonesia (MKDU BI)
di zaman kuliah dulu? Bagaimana cara dosen anda membawakan mata kuliah ini? Apakah
cukup aplikatif untuk anda saat itu dan bagaimana anda menyikapi mata kuliah yang mau tidak
mau harus anda lewati karena termasuk MKDU? Mungkin saya bahkan anda mengamini
bahwa saat itu sangat membosankan, tidak jelas kegunaannya.
Ironis! apabila ditafsirkan keberadaan mata kuliah ini karena terinspirasi bahwasanya,
bahasa Indonesia adalah bahasa negara, meskipun kita setuju MKDU BI bukan bahasa ibu
orang Indonesia. Di dalam pergaulan ilmiahpun anak dan pengajar bangga sekali dengan
bahasa daerahnya. Sering kali tergagap apabila diminta membuat surat, bahkan surat cinta
sekalipun. Akan tetapi, BI terbukti ampuh menjembatani berbagai kesenjangan primordial yang
berakar kuat di nusantara yang memiliki ratusan tetaplah bahasa Indonesia adalah bahasa
nasional kita, mungkin inipula pemikiran para pejabat pendidikan kita menaruh MKDU BI
sebagai mata kuliah wajib, tidak boleh ditawar-tawar lagi.
Pengajar MKDU BI cenderung adalah pengajar-pengajar mentah pengalaman, baik
dalam hal penguasaan materi, dan meta kognitif anak. Mata pelajaran BI di tingkat pra PT
yakni tingkat Sekolah Dasar sampai Sekolah Menengah Atas dirasa tidak cukup menjadi
landasan ketika anak nanti menapaki titian literatur ilmiah. Karena alasan ini, pemerintah
keukeuh mewajibkan anak untuk mempelajari kembali bahasa Indonesia, kembali dan kembali.
Meskipun pelaksanaan MKDU BI beragam, benang merah yang dapat disimpulkan adalah
bahwa MKDU BI sudah lama menjadi bagian tetap dalam sistem akademik, artinya anak wajib
mengikuti mata pelajaran tersebut dengan fungsi untuk dapat lulus menjadi sarjana penuh.
Selain itu, mata kuliah ini diberikan dengan bobot 2 sks, ada di semester 1 atau 2 serta
dilakukan oleh guru atau dosen yang belum cukup pengalaman di kelas yang heterogen.
Kesamaan juga terlihat pada materi yang diberikan, pengulangan materi SMU, jelas ini
membuktikan tidak adanya penelitian untuk mengetahui sejauh mana kompetensi
pembelajaran MKDU BI sejak SD. Sudah dapat ditebak, mata kuliah ini kurang diminati anak.
Apabila dilirik dari tujuan MKDU BI di PT, adalah untuk membangun kemampuan anak
berkomunikasi dengan baik secara verbal dan tulisan. Kompetensi menggunakan kaidah
sesuai literasi bahasa, sesuai EYD. Hal ini menjadi penguat analisa saya bahwa pengembang
kurikulum dan silabus baik itu pemerintah maupun PT itu sendiri tidak melakukan analisis
kebutuhan, sehingga materi yang seharusnya sudah dikuasai dari Sekolah Dasar, harus
diulang kembali di tingkat PT ?
Jika kenyataan di atas memang benar, tentu saja hanya kesia-siaan hasilnya. Di mana
anak tidak mendapat ”hal yang baru”. Anak, pengajar maupun pengembang dalam hal ini
Pemerintah dan lembaga pendidikan terlihat arogan dengan menganggap remeh keberadaan
MKDU BI ini. Dari segi pengajar misalnya tidak dibutuhkan kompetensi khusus layaknya
mengajar matematika atau bahasa asing, sehingga melahirkan banyak pengajar kesiangan,
kurikulum kesiangan dan output yang mubadzir.
Menurut Wells (1987) dalam Alwasilah (2008), ada empat tahapan literasi yang meliputi
(1) kemampuan membaca dan menulis (performative), (2) kemampuan menggunakan bahasa
(functional), (3) kemampuan mengakses pengetahuan (formational), dan (4) kemampuan
mentransformasi pengetahuan dalam bahasa tinggi (epistemic). Dan tingkatan tersebut secara
hierarki seharusnya berjalan dari SD sampai PT.
Kemampuan literasi yang tidak bermetamorfosa dengan baik, menciptakan generasi
yang rendah dalam kualitas menulis. Pertanyaan yang muncul, apakah ini akan terus terjadi
dan memfosil pada kemampuan sarjana kita ke depan? Beberapa pendekatan dapat
dilakukan, salah satunya adalah dengan menjadikan MKDU BI sebagai instrumen berkarya
dalam semua bidang. Dengan spirit bahasa sebagai alat pelestari kebudayaan, anak diajak
untuk menyenangi karya sastra, atau karya-karya besar. Dengan cara itu, anak akan terbawa
dengan gaya berpikir, berbahasa dan bernuansa bahasa. Seperti pernyataan Taufik Ismail
pada Kompas (1 Juni 1999) yang dikutip Alwasilah (2004: 101), bahwa siswa SMU di 13
negara (bukan Indonesia), diharuskan membaca dan mendiskusikan 32 karya sastra per
tahunnya. Sungguh pernyataan yang mencengangkan! Betapa tidak, kenyataannya anak S2
pun sudah cukup kerepotan dengan banyaknya buku yang harus dibaca.
Kerjasama institusi di luar PT maupun internal PT seharusnya dapat menjadi
kolaborasi yang sinergi untuk ”memaksa” anak menguasai sisi linguistik bahasa dari segala
MKDU BIdang, dapat dengan menggelar lomba karya tulis, tugas-tugas yang menggali
kekuatan retorika berbahasa anak.
B. Ihwal Pengajaran Bahasa Inggris sebagai MKDU
Berbagai kurikulum dan metode telah dikembangkan untuk meningkatkan kemampuan
siswa dalam menguasai bahasa Inggris. Walaupun demikian hasilnya masih belum dirasakan
maksimal dalam membuat siswa dapat berkomunikasi dengan baik melalui bahasa tersebut.
Berbagai masalah dan faktor yang melatar belakangi mengapa hasil yang dicapai belum
sesuai yang diharapkan.
Salah satu cara pemerintah dalam meningkatkan kemampuan siswa dalam berbahasa
Inggris adalah memperkenalkan bahasa Inggris lebih dini, yaitu dimulai dari Sekolah dasar.
Program ini dilaksanakan berdasarkan pada kurikulum 1994 untuk Sekolah Dasar. Secara
resmi kebijakan tentang memasukkan pelajaran bahasa Inggris di sekolah dasar sesuai
dengan kebijakan Depdikbud RI No. 0487/1992, yang menyatakan bahwa sekolah dasar dapat
menambah mata pelajaran dalam kurikulumnya, asalkan pelajaran itu tidak bertentangan
dengan tujuan pendidikan nasional. Kebijakan ini disusul oleh SK Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan No. 060/U/1993 tanggal 25 Februari 1993 tentang dimungkinkannya program
bahasa Inggris sebagai mata pelajaran muatan lokal SD. Program ini dapat dimulai dari kelas
empat Sekolah Dasar (SD)
(Http:www.depdiknas.go.id/selayangpandangpenyelenggaraanpendidikannasional).
Sekolah mempunyai kewenangan mengenai mata pelajaran bahasa Inggris
dimasukkan sebagai salah satu muatan lokal yang diajarkan di sekolah dasar berdasarkan
pertimbangan dan kebutuhan situasi dan kondisi baik dari orang tua maupun lingkungan
masyarakat itu sendiri. Kebijakan ini membawa dampak yang positif baik masyarakat maupun
sekolah yang menyelenggarakan program tersebut. Selama kurun waktu beberapa tahun ini,
terjadi peningkatan sekolah yang melaksanakan program pengajaran bahasa Inggris mulai dari
sekolah dasar.
Akan tetapi kebijakan selalu memiliki dua wajah. Sebagai pelaku dan penikmat
perubahan, setiap kebijakan tetap memiliki aura yang positif untuk disikapi. Tidak ada kata
tidak mungkin, pelajaran bahasa Inggris ini diajar sedini mungkin. Penelitian bahkan
mengembangkan sejak dalam kandungan, janin sudah dapat diajarkan bahasa. Sisi kognitif
anak diumpamakan seperti sponge yang mampu menyerap apapun dengan lebih baik.
Apabila Alwasilah (2004) menyikapi kondisi pengajaran bahasa Inggris yang
penyelenggaraannya masih belum “matang pohon" artinya hasil yang didapat baik dari segi
pengajar yang “karbitan” berimbas pada pembelajar pula. Namun pada kesempatan ini, tidak
sekeras mengkritisi, tetapi lebih pada sekadar memberi cuplikan-cuplikan kondisi yang terjadi
pada masa ini. Bahwasanya sejak pra sekolah yakni sekolah bayi (toddler), juga preschool,
bahasa Inggris sudah akrab pada keseharian balita. Bahkan bukan lagi sebagai bahasa asing
(EFL), akan tetapi sebagai second language (ESL). Hal ini karena kerangka pembelajaran
mereka melibatkan setiap elemen sampai dengan orang tua dan rumah mereka. Namun pasti
ada harga mahal untuk mendapatkan sekolah-sekolah yang bertitel “bermerk internasional” ini.
Dan sudah pasti segmentasi pembelajarnya tidak bisa dinikmati merata oleh seluruh kalangan
terlebih dengan rata-rata “kantong” masyarakat Indonesia.
Kembali kepada kebijakan mata pelajaran bahasa Inggris sebagai muatan lokal di
Sekolah Dasar. Terdapat sinyalemen yang harus digali agar bermuara pada pemecahan bijak
sebijak keinginan mulia Pemerintah memutuskan bahasa Inggris diberikan sejak SD. Pertama,
mengenai pengajar, pengajar bahasa Inggris di SD tidak dipersiapkan untuk mengajar di SD.
Mengajar di SD lebih memerlukan strategi ekstra karena yang dihadapi adalah anak-anak.
Pengajar harus dapat menstimulus daya kognitif anak-anak ketimbang pembelajar dewasa.
Permasalahan kedua, disebut “dosa edukasional” oleh Alwasilah (2004: 80). Tidak
serta merta istilah itu diarahkan pada kondisi pengajar yang tidak mengerti situasi
pembelajaran tapi dipaksa “mondok moek” pada situasi pembelajaran yang bersimpangan.
Bagaimana tidak! Pengajar fresh graduate yang secara kompetensi memahami gaya
pembelajar dewasa. Seyogianya pengajar anak-anak memang khusus, jika tidak, mengapa
ada jurusan atau program studi Pendidikan Anak Usia Dini. Perkembangan anak tidaklah
sekonstan orang dewasa. Perlu dinamika yang lincah dalam menangani dunia mereka, terlebih
perkembangan otaknya yang sedang mengalami ekplorasi besar-besaran.
Saya sejujurnya juga terheran-heran, betapa bodohnya saya sampai tidak bisa bahasa
Inggris dengan fasih. Minimal membuat saya percaya diri melamar ke pelbagai perusahaan
asing. Padahal fasilitas pembelajaran tergelar hampir seluruh dimensi kehidupan bersekolah
saya, bayangkan! Sejak saya kelas satu SMP sampai dengan PT, sepuluh tahun! Wow! Tidak
sebentar bukan? Memang pada jaman saya, belum ada kurikulum internasional, sekolah
dengan sistem bilingual ataupun kehadiran native. Kita harus mampu berikhtiar dan berzikir
“was, wes, wos” sendiri untuk dapat luwes berbahasa Inggris.
Bukan rahasia lagi, kehadiran buku teks yang kurang fleksibel dengan urutan teratas
hanya pada pemahaman bentur, grammar dan membaca saja. Percakapan jarang sekali
dilakukan, terlebih dalam suasana senatural mungkin. Saya malah hampir tidak pernah melihal
guru-guru saya waktu itu berbahasa Inggris. Adalah yang paling terkenang, guru lebih sering
menerjemahkan buku teks. Dosa besarnya lagi adalah bagaimana pengulangan itu sinambung
sampai pada tingkat perguruan tinggi. Hasilnya, saya hanya “pede” sampai level pasif saja.
Untuk memperoleh hasil yang maksimal, pada masa saya, keberhasilan kemampuan
berbahasa Inggris adalah dengan mengikuti kursus. Di Tempat kursus, pembelajaran lebih
fleksibel dan menyenangkan. Larsen-Freeman dalam Riswanda (2007) memandang
pembelajaran bahasa asing sebagai sebuah sistem yang dinamis, kompleks dan non linear.
Pemelajar tidak dapat statis apabila menginginkan penguasaan bahasa yang maksimal. Akan
tetapi, saya tidak seberuntung itu, untuk mengikuti kursus bahasa Inggris artinya penambahan
biaya. Dan untuk kondisi keluarga saya saat itu, sangat muskil kami lakukan.
C. MKDU Bahasa Indonesia Versus MKDU Bahasa Inggris
Ada tiga gaya atau tipe pemelajar menurut Dryden (2000:130), yakni auditory, visual
dan kinesthetic. Auditory cenderung mudah menangkap pembelajaran dengan mendengar.
Media gaya pembelajar auditory dapat berupa music, oral, film dan lain-lain. Tipe visual
memperoleh pemahaman yang dapat dengan menggunakan efek-efek visual seperti warna,
gambar dan lain-lain. Sedangkan untuk tipe haptic atau kinesthetic senang aktifitas fisik
seperti permainan, role play atau berdiskusi. Menurut saya, pengajar bahasa mutlak mengenali
varian tipe ini untuk dapat mengendalilkan tugas mengajarnya dengan sukses.
Apabila melihat paparan tentang MKDU BI dan MKDU bahasa Inggris dilaksanakan,
terlihat paparan yang tidak jauh berbeda. Ini disinyalir saling berkonspirasi terhadap
kebobrokan kemampuan literasi orang Indonesia. Pengajaran bahasa Indonesia yang
seharusnya mampu mencetak penulis-penulis atau setidaknya kritisi-kritisi ulung, hanya
mampu menyelesaikan tulisan ilmiah hanya sampai dengan penulisan skripsi.
Saya teringat dengan kuliah Prof. Chaedar, penulis buku yang tengah saya kritisi ini.
Beliau menanyakan pada kami, mata kuliah yang paling susah di jurusan bahasa Jepang
tempat kami sekarang belajar. Kami pun sebagian besar notabene adalah pengajar bahasa
Jepang di SMA, PT dan lembaga kursus. Saat itu kami serentak mengatakan sakubun
(mengarang). Lantas, Prof. Chaedar, seperti sudah mengenali situasi ini tertawa, dan
mengatakan “ya, boro-boro, kalau kualitas anda berbahasa Indonesia saja seperti ini, apalagi
dengan bahasa lain!”.
Pernyataan di atas memang akhirnya saya amini dengan melihat coretan di setiap
tugas yang saya serah kepada Prof. Menurut beliau lagi, di jurusan sastra Inggris pun
demikian. Dan yang paling berdosa besar adalah pelajaran MKDU BI yang pernah diterima
oleh kita, terlalu melenakan, tanpa greget menembus sisi bergaya dan bernuansa bahasa.
Kurikulum MKDU diejawantahkan mentah-mentah oleh guru, silabus dijalankan bagaikan titah
lembaga yang harus seratus persen, jika tidak dianggap pemurtadan. Terlebih peranan buku
teks yang dianggap kitab suci yang harus dizikirkan sampai khatam oleh guru dan muridnya.
Tidak ada buku teks yang benar-benar bagus, tanpa adanya pengenalan kondisi di
kelas, dan pasti akan selalu berbeda. Pengajar wajib berimprovisasi untuk menggali
kemampuan anak didiknya. MKDU BI sebaiknya menggali kemampuan menulis dan MKDU
bahasa Inggris menggali kemampuan bercakap-cakap anak didik. Tentu ini yang dinamakan
duet yang manis untuk bermain di kancah persaingan global. Tidak ada disiplin ilmu yang
berjalan sendiri berselingkuh dari bahasa.
Kata bahasa Jepang jibaku, tepat untuk menggambarkan perlunya daya untuk
merevitalisasi MKDU BI dan bahasa Inggris. Dengan demikian diharapkan anak dapat
menguasai tidak sekedar bahasa namun bahasa tingkat tinggi. Seluruh pengampu ilmu
mampu membahasakan ilmunya sesuai bidangnya. Segenap usaha ini adalah untuk
melahirkan perubahan maha daya untuk fungsi akademik kita, yang berwujud pada cetakan-
cetakan individu yang segar, yang dapat memerankan kontribusi sebagai penggerak
kebudayaan ke arah pelangi. Jadi, untuk itulah kita perlu bergerak !
Sumber
Alwasilah, A. Chaedar. (2004). Perspektif Pendidikan Bahasa Inggris Di Indonesia dalam Konteks Persaingan
Global . Bandung: Andira
Alwasilah, A. Chaedar. (2008). Pokoknya BHMN: Ayat-ayat Pendidikan Tinggi. Bandung: UPI Press dan CV. Lubuk Agung
Riswanda Setiadi. (2007). “Sosialisasi Bahasa dalam Pemerolehan Bahasa Asing Sebuah
Kajian Metateoritis”. Jurnal Fokus 1, 78
Dryden, Gordon dan Jeanette Vos. (2000). Revolusi Cara Belajar. Bandung: Kaifa