21
Khudori: Perspektif Ekonomi Global Komoditas Aneka Kacang dan Umbi Mendukung Kedaulatan Pangan 46 PERSPEKTIF EKONOMI GLOBAL KOMODITAS ANEKA KACANG DAN UMBI MENDUKUNG KEDAULATAN PANGAN Khudori Anggota Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Anggota Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia Pengelola Metrotvnews.com ABSTRAK Salah satu persoalan besar bangsa ini di masa depan adalah bagaimana menjamin keter- sediaan pangan yang cukup bagi semua warga. Jika program Keluarga Berencana berhasil, pada tahun 2030 penduduk Indonesia diperkirakan mencapai 425 juta jiwa. Agar semua perut kenyang, dengan tingkat konsumsi beras perkapita sebesar 139 kg, pada saat itu dibutuhkan 59 juta ton beras. Karena luas tanam padi sekarang sekitar 11,6-12 juta hektar, pada saat itu diperlukan tambahan luas tanam baru 11,8 juta hektar. Ini pekerjaan yang maha berat. Belum lagi pemenuhan jagung, kedelai, daging dan yang lain. Dewasa ini, lahan pertanian kian sempit dan kelelahan. Keuntungan pertanian on farm belum menjanjikan, produktivitas sejumlah komoditas pangan utama melandai, diversifikasi pangan gagal, jumlah penduduk semakin banyak, dan anomali iklim serta cuaca menjadi keniscayaan keseharian, sementara karena tekanan kemiskinan konversi lahan pertanian ke penggunaan non pertanian berlangsung kian masif dan tak terkendali. Dalam 10 tahun terakhir (2003-2013), kinerja produksi aneka komo- ditas kacang mengalami penurunan konsisten. Di tingkat dunia, posisi Indonesia dalam komoditas aneka kacang, baik pada kedelai, kacang tanah dan kacang hijau, bukanlah pelaku utama. Amerika Serikat, India, dan China merajai ketiga komoditas itu. Kontribusi Indonesia amat kecil, hanya 0,3% dari produksi dunia. Selain karena luas tanam yang terus menurun, karena produktivitas kedelai tergolong rendah. Dibandingkan pada komoditas aneka kacang, posisi Indonesia dalam komoditas aneka umbi dunia jauh lebih baik. Pada tahun 2012, dari 20 negara produsen ubi kayu dan ubi jalar terbesar dunia Indonesia masing-masing menempati posisi kedua dan kelima. Untuk memastikan bisa mencapai kedaulatan pangan, harus dila- kukan sejumlah langkah simultan. Pertama, menjamin akses dan kontrol petani, terutama petani kecil, terhadap sumberdaya produksi penting. Kedua, sumberdaya (tanah, air, benih, dan sumber-sumber produksi lain) harus dimanfaatkan seoptimal mungkin. Ketiga, perlin- dungan petani terhadap sistem perdagangan yang tidak adil dan kerugian akibat bencana. Keempat, membalik model pertanian ekspor-industrial-monokultur ke model pertanian lokal- keluarga/komunitas-multikultur. Kelima, menetapkan zonasi agroekologi lahan pertanian. Keenam, perlu keterlibatan secara demokratis petani (kecil) dalam perumusan dan pengam- bilan kebijakan pada semua tingkatan. Kata kunci: ekonomi global, produktivitas, aneka kacang dan umbi ABSTRACT The perspective of global economics of legumes and tubers crops in supporting self-food sufficiency. One of the big problems of this nation in the future is how this country assures the availability of enough food for all. If the Family Planning program was successful, the Indonesian population is estimated 425 million people in year 2030. With the rice con- sumption of 139 kg/capita/year, it is required 59 million tons of rice. Since the current harvested areas is around 11.6-12 million hectares, by that time it is needed another 11,8 million hectares of planted areas. This is a big work as the Minister of Agriculture has also to satisfy the

PERSPEKTIF EKONOMI GLOBAL KOMODITAS ANEKA …balitkabi.litbang.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2015/05/46-66... · kacang yang dibahas di makalah ini meliputi kedelai, kacang tanah

  • Upload
    lamthu

  • View
    229

  • Download
    1

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: PERSPEKTIF EKONOMI GLOBAL KOMODITAS ANEKA …balitkabi.litbang.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2015/05/46-66... · kacang yang dibahas di makalah ini meliputi kedelai, kacang tanah

Khudori: Perspektif Ekonomi Global Komoditas Aneka Kacang dan Umbi Mendukung Kedaulatan Pangan 46

PERSPEKTIF EKONOMI GLOBAL KOMODITAS ANEKA KACANG DAN UMBI MENDUKUNG KEDAULATAN PANGAN

Khudori Anggota Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan

Anggota Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia Pengelola Metrotvnews.com

ABSTRAK Salah satu persoalan besar bangsa ini di masa depan adalah bagaimana menjamin keter-

sediaan pangan yang cukup bagi semua warga. Jika program Keluarga Berencana berhasil, pada tahun 2030 penduduk Indonesia diperkirakan mencapai 425 juta jiwa. Agar semua perut kenyang, dengan tingkat konsumsi beras perkapita sebesar 139 kg, pada saat itu dibutuhkan 59 juta ton beras. Karena luas tanam padi sekarang sekitar 11,6-12 juta hektar, pada saat itu diperlukan tambahan luas tanam baru 11,8 juta hektar. Ini pekerjaan yang maha berat. Belum lagi pemenuhan jagung, kedelai, daging dan yang lain. Dewasa ini, lahan pertanian kian sempit dan kelelahan. Keuntungan pertanian on farm belum menjanjikan, produktivitas sejumlah komoditas pangan utama melandai, diversifikasi pangan gagal, jumlah penduduk semakin banyak, dan anomali iklim serta cuaca menjadi keniscayaan keseharian, sementara karena tekanan kemiskinan konversi lahan pertanian ke penggunaan non pertanian berlangsung kian masif dan tak terkendali. Dalam 10 tahun terakhir (2003-2013), kinerja produksi aneka komo-ditas kacang mengalami penurunan konsisten. Di tingkat dunia, posisi Indonesia dalam komoditas aneka kacang, baik pada kedelai, kacang tanah dan kacang hijau, bukanlah pelaku utama. Amerika Serikat, India, dan China merajai ketiga komoditas itu. Kontribusi Indonesia amat kecil, hanya 0,3% dari produksi dunia. Selain karena luas tanam yang terus menurun, karena produktivitas kedelai tergolong rendah. Dibandingkan pada komoditas aneka kacang, posisi Indonesia dalam komoditas aneka umbi dunia jauh lebih baik. Pada tahun 2012, dari 20 negara produsen ubi kayu dan ubi jalar terbesar dunia Indonesia masing-masing menempati posisi kedua dan kelima. Untuk memastikan bisa mencapai kedaulatan pangan, harus dila-kukan sejumlah langkah simultan. Pertama, menjamin akses dan kontrol petani, terutama petani kecil, terhadap sumberdaya produksi penting. Kedua, sumberdaya (tanah, air, benih, dan sumber-sumber produksi lain) harus dimanfaatkan seoptimal mungkin. Ketiga, perlin-dungan petani terhadap sistem perdagangan yang tidak adil dan kerugian akibat bencana. Keempat, membalik model pertanian ekspor-industrial-monokultur ke model pertanian lokal-keluarga/komunitas-multikultur. Kelima, menetapkan zonasi agroekologi lahan pertanian. Keenam, perlu keterlibatan secara demokratis petani (kecil) dalam perumusan dan pengam-bilan kebijakan pada semua tingkatan.

Kata kunci: ekonomi global, produktivitas, aneka kacang dan umbi

ABSTRACT The perspective of global economics of legumes and tubers crops in supporting

self-food sufficiency. One of the big problems of this nation in the future is how this country assures the availability of enough food for all. If the Family Planning program was successful, the Indonesian population is estimated 425 million people in year 2030. With the rice con-sumption of 139 kg/capita/year, it is required 59 million tons of rice. Since the current harvested areas is around 11.6-12 million hectares, by that time it is needed another 11,8 million hectares of planted areas. This is a big work as the Minister of Agriculture has also to satisfy the

Page 2: PERSPEKTIF EKONOMI GLOBAL KOMODITAS ANEKA …balitkabi.litbang.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2015/05/46-66... · kacang yang dibahas di makalah ini meliputi kedelai, kacang tanah

Prosiding Seminar Hasil Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi 2014 47

requirement for corn, soybean, and meat and so on. Today, the agricultural lands are reducing and exhausting. The on-farm agricultural profit has not promised yet, the productivity of several main food commodities leveling off, the food diversification program fail, the increasing number of population, and the climate and weather anomalous become daily certainty. Because of poverty pressure, the conversion of the agricultural lands to non-agricultural activities takes place massively and out of control. In the last 10 years (2003-2013), the production of legume commodities have consistently decline. Worldwide, Indonesia does not the main player in the various legume commodities such as soybean, peanuts and mungbean. The United States, India, and China, however, are the main actors for each those three commodities. The contri-bution of Indonesia to the soybean world production is only minor, is only 0.3% of its world production. This is because of decreasing planted areas as a result of low productivity. On the other hand, the Indonesia position in terms of tuber commodities is much better. During year 2012, from the biggest 20 cassava and sweet potato producing countries, Indonesia is in the second and fifth position, respectively. To be successful in achieving self-food sufficiency, cer-tain actions have to be simultaneously carried out. First, assure that small farmers have free access and control on important production resources. Second, resources (land, water, seed, etc) have to be utilized as optimal as possible. Third, farmers should be protected against unjus-tified trade system and the loss because of disaster. Fourth, turn the agricultural model of export-industrial-monoculture to the model of local-family/community-multiple cropping. Fifth, define agro-ecological zones of the agricultural lands. Sixth, democratic involvement of small farmers in formulating and decision making in all levels, are needed.

Keywords: global economics, productivity, legumes and tubers crops

PENDAHULUAN Salah satu persoalan besar bangsa ini di masa depan adalah bagaimana menjamin ke-

tersediaan pangan yang cukup bagi perut semua warga. Jika program Keluarga Berencana berhasil, pada tahun 2030 penduduk Indonesia diperkirakan mencapai 425 juta jiwa. Agar semua perut kenyang, dengan tingkat konsumsi beras perkapita sebesar 139 kg pada saat itu dibutuhkan 59 juta ton beras. Karena luas tanam padi sekarang sekitar 11,6–12 juta hektar, pada saat itu diperlukan tambahan luas tanam baru 11,8 juta hektar. Ini pekerjaan yang maha berat. Belum lagi pemenuhan jagung, kedelai, daging dan yang lain.

Dewasa ini, lahan pertanian kian sempit dan kelelahan. Keuntungan pertanian on farm belum menjanjikan, produktivitas sejumlah komoditas pangan utama melandai, diversi-fikasi pangan gagal, jumlah penduduk semakin banyak, dan anomali iklim serta cuaca menjadi keniscayaan keseharian, sementara karena tekanan kemiskinan konversi lahan pertanian ke penggunaan nonpertanian berlangsung kian massif dan tak terkendali. Itu semua membuat tesis kaum Malthusian seolah-olah kian menemukan pembenaran.

Sepanjang Orde Baru, beras adalah segala-galanya. Fokus kebijakan at al cost pada beras. Kedelai, jagung, ketela pohon, ubijalar, sagu, sorgum dan yang lain sifatnya sekun-der. Mungkin karena itu komoditas aneka kacang dan umbi, meskipun potensinya besar, dinamakan palawija (secondary crops), bukan tanaman utama (primary crops). Tidak banyak kebijakan spesifik untuk mengembangkan pangan non-beras, baik dari sisi riset, pengembangan aneka inovasi di on-farm maupun off-farm, termasuk melindungi petani dari gempuran pasar global. Ironisnya, bias kebijakan terus berlanjut sampai kini.

Seiring berlakunya UU No. 18/2012 tentang Pangan telah terjadi perubahan mendasar politik pangan negeri ini: dari ketahanan pangan, seperti diadopsi UU No. 7/1996 tentang

Page 3: PERSPEKTIF EKONOMI GLOBAL KOMODITAS ANEKA …balitkabi.litbang.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2015/05/46-66... · kacang yang dibahas di makalah ini meliputi kedelai, kacang tanah

Khudori: Perspektif Ekonomi Global Komoditas Aneka Kacang dan Umbi Mendukung Kedaulatan Pangan 48

Pangan, menjadi kedaulatan pangan. Berbeda dengan UU lama, UU baru menyandingkan konsep kedaulatan pangan dengan konsep kemandirian pangan dan ketahanan pangan. Ketahanan pangan tidak menyoal siapa yang memproduksi, dari mana produksi pangan, dan bagaimana pangan itu diproduksi (Rosset 2003). Yang penting pangan tersedia cukup. Sebaliknya, ketiganya justru jadi persoalan paling penting bagi kedaulatan pangan. Pertanyaannya, bagaimana mewujudkan kedaulatan pangan dalam konteks komoditas aneka kacang dan umbi? Apa saja langkah yang harus dilakukan? Komoditas aneka kacang yang dibahas di makalah ini meliputi kedelai, kacang tanah dan kacang hijau, sedangkan komoditas aneka umbi mencakup ubikayu dan ubijalar.

KONDISI KOMODITAS ANEKA KACANG DAN UMBI INDONESIA

Komoditas Aneka Kacang Komoditas aneka kacang merupakan sumber protein penting bagi warga karena harga-

nya relatif terjangkau. Dari tiga komoditas aneka kacang yang relatif mendapat pehatian pemerintah, yakni kedelai, kacang tanah dan kacang hijau, kedelai menempati posisi pa-ling penting. Itu bisa dilihat dari jumlah kebutuhan kedelai, peranannya dalam pereko-nomian dan jumlah petani yang terlibat dalam produksi kedelai. Kebutuhan kedelai sekitar 2,7 juta ton per tahun, dan petani yang terlibat dalam produksi kedelai, menurut BPS (1999), sekitar 1,2 juta orang. Jumlah ini menyusut, karena sesuai Sensus Pertanian 2013, jumlah petani palawija dalam 10 tahun terakhir (2003–2013) menurun 21,2%. Peran kedelai dalam perekonomian bisa dilihat dari rantai kegiatan yang menghidupi ratusan ribu rakyat, dari petani kedelai, produsen tempe-tahu-kecap-tauco-susu kedelai dan maka-nan ringan, pedagang tahu-tempe hingga penjual gorengan pinggir jalan.

Dalam 10 tahun terakhir (2003–2013), kinerja produksi aneka komoditas kacang me-ngalami penurunan konsisten (Tabel 1). Kedelai misalnya, walaupun pemerintah menca-nangkan program swasembada tahun 2014, yang terjadi justru penggusuran atau pergantian fungsi lahan kedelai. Dalam 21 tahun terakhir, luas tanam kedelai hanya tinggal sepertiga (33%): dari 1.665.706 hektare (1992) tinggal 550.797 hektare (2013). Target-target produksi selalu meleset, dan membuat skenario swasembada kedelai makin jauh. Tahun 2013 produksi ditargetkan 2,25 juta ton, tapi hanya tercapai 0,78 juta ton.

Merosotnya produksi kedelai domestik membuat pangsa impor semakin besar. Saat ini produksi kedelai domestik hanya mampu menopang sekitar 30% dari kebutuhan. Pada-hal, pada era 1990-an Indonesia berswasembada kedelai. Puncak produksi kedelai terjadi pada 1992 dengan tingkat produksi 1,8 juta ton, naik tiga kali lipat dibandingkan tahun 1973 saat dimulai Program Bimas/Inmas Kedelai. Kehancuran sistem produksi kedelai ter-jadi seiring krisis moneter yang melanda Indonesia tahun 1997 yang ditandai pembebasan impor aneka komoditas pangan, termasuk kedelai. Sejak itu, terjadi apa yang disebut fenomena dekedelaisasi: proses menjauh dari kedelai (Simatupang 2012).

Fenomena kinerja produksi yang merosot pada kedelai juga terjadi pada kacang tanah dan kacang hijau. Penurunan luas panen terbesar terjadi pada kacang hijau. Dalam 10 tahun terakhir (2003–2013), luas panen dan produksi kacang tanah menurun masing-masing 24,1% dan 10,7%. Dalam periode yang sama, luas panen dan produksi kacang hijau menurun masing-masing 47,2% dan 38,8%. Penurunan kapasitas produksi ini mem-buat pangsa impor semakin besar, yang ditandai oleh defisit neraca perdagangan. Selama tujuh tahun (2006–2013), komoditas aneka kacang ditandai oleh penurunan defisit

Page 4: PERSPEKTIF EKONOMI GLOBAL KOMODITAS ANEKA …balitkabi.litbang.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2015/05/46-66... · kacang yang dibahas di makalah ini meliputi kedelai, kacang tanah

Prosiding Seminar Hasil Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi 2014 49

volume kedelai sebesar 46,6%, peningkatan defisit volume impor kacang tanah dan kacang hijau masing-masing sebesar 52% dan 836% (Tabel 2). Pada kedelai meskipun terjadi penurunan volume defisit yang cukup besar, namun pada rentang tahun yang sama terjadi peningkatan defisit nilai perdagangan sebesar 36%, dari US$ 830,8 juta (2006) menjadi US$ 1.131,1 juta (2013). Ini menunjukkan harga kedelai semakin mahal. Satu-satunya yang menggembirakan, dalam rentang 2003–2013 produktivitas kedelai, kacang tanah dan kacang hijau cenderung meningkat meskipun peningkatannya amat lambat.

Page 5: PERSPEKTIF EKONOMI GLOBAL KOMODITAS ANEKA …balitkabi.litbang.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2015/05/46-66... · kacang yang dibahas di makalah ini meliputi kedelai, kacang tanah

Khudori: Perspektif Ekonomi Global Komoditas Aneka Kacang dan Umbi Mendukung Kedaulatan Pangan 50

Tabel 1. Perkembangan Luas Panen, Produksi dan Produktivitas Aneka Kacang (2000–2013)

Tahun

Kedelai Kacang Tanah Kacang Hijau

Luas (000 ha)

Produksi (000 ton)

Produk-tivitas (t/ha)

Luas (000)

Produksi (000 ton)

Produktivitas (t/ha)

Luas (000 ha)

Produksi (000 ton)

Produktivitas (t/ha)

2000 824 1.017 1,23 684 737 1,077 324 289 8,95 2001 679 827 1,2,2 655 709 1,084 339 301 8,87 2002 545 673 1,24 647 718 1,110 314 288 9,19 2003 527 672 1,28 684 786 1,149 345 335 9,73 2004 565 723 1,28 723 838 1,158 312 310 9,95 2005 622 808 1,30 721 836 1,161 318 321 10,08 2006 581 748 1,29 707 838 1,186 309 316 10,23 2007 459 593 1,29 660 789 1,195 306 322 10,53 2008 591 756 1,31 634 770 1,215 278 298 10,72 2009 721 975 1,35 623 778 1,249 288 314 10,91 2010 661 905 1,37 621 779 1,256 258 292 11,30 2011 622 851 1,37 539 691 1,281 297 341 11,48 2012 568 843 1,49 560 713 1,274 245 284 11,60 2013 551 780 1,42 519 702 1,352 182 205 11,24

Pertumbuhan 2000–2005 -24,5% -20,6% 5,7% 5,4% 13,7% 7,8% -1,9% 11,1% 12,6% 2005–2010 6,3% 12,0% 5,4% -13,9% -6,8% 8,2% -18,9% -9,0% 12,1% 2010–2013 -16,6% -13,8% 3,6% -16,4% -9,9% 7,6% -2,9% -29,8% -5,3% 2003–2013 4,5% 16,1% 10,9% -24,1% -10,7% 17,7% -47,2% -38,8% 15,5%

Sumber: BPS (diolah).

Page 6: PERSPEKTIF EKONOMI GLOBAL KOMODITAS ANEKA …balitkabi.litbang.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2015/05/46-66... · kacang yang dibahas di makalah ini meliputi kedelai, kacang tanah

Prosiding Seminar Hasil Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi 2014 51

Apa penyebab proses menjauh dari kedelai, kacang tanah dan kacang hijau? Meskipun tidak sama persis, masalah utama fenomena ini adalah penurunan daya saing antarko-moditas di dalam negeri, dan penurunan daya saing internasional (Simatupang 2012). Tidak banyak disadari, empat komoditas yakni padi, jagung, tebu dan kedelai bersaing ketat memperebutkan lahan sawah. Ketika luas panen sebuah komoditas naik akan diikuti penurunan luas panen pada komoditas lainnya. Ini sudah berlangsung lama. Komoditas mana yang ditanam petani tergantung insentif ekonomi yang menguntungkan. Karena tidak lagi menarik bagi petani, kedelai, kacang tanah dan kacang hijau tidak lagi menjadi pilihan untuk ditanam. Konsekuensinya, ketika produksi domestik menurun porsi impor akan naik. Hal ini tampak jelas pada kacang tanah dan kacang hijau (Tabel 2).

Tabel 2. Perkembangan Ekspor dan Impor Aneka Umbi dan Kacang (ton).

Uraian 2006 2011 2013

Ekspor Impor Neraca Ekspor Impor Neraca Ekspor Impor Neraca

Ubikayu 139.096 283.046 -143.950 199.352 433.460 -234.108 185.679 220.188 -34.509

Ubijalar 11.216 33 11.183 7.167 22 7.145 9.797 21 9.776

Kedelai 8.789 3.380.250 -3.371.461 8.996 1.911.987 -1.902.991 11.133 1.810.082 -1.798.949

Kacang tanah

11.793 194.266 -182.473 7.694 238.678 -230.984 6.414 283.839 -277.425

Kacang hijau

19.904 27.939 -8.035 17.783 65.242 -47.459 17.419 92.639 -75.220

Sumber: BPS (diolah).

Khusus untuk kedelai, fenomena dekedelaisasi terjadi karena tiga segitiga berikut: penurunan hasil relatif kedelai karena inovasi kurang berhasil karena senjang hasil penelitian dan senjang adopsi, penurunan harga relatif karena bias kebijakan (baca: tidak ada dukungan harga kedelai) dan tekanan harga internasional, dan serbuan impor kedelai karena proteksi (tarif dan non-tarif) yang minimal, inkonsistensi kebijakan GMO (Genetic Modified Organism), dan kebijakan ofensif negara eksportir (AS) dalam bentuk subsidi dan fasilitas ekspor. Ujung dari rangkaian tiga segitiga itu usahatani kedelai tidak lagi mengun-tungkan. Ini yang membuat petani domestik meninggalkan kedelai.

Meski sudah terjadi sejak 1992, fenomena dekedelaisasi meningkat drastis setelah Indonesia menjadi pasien IMF pada 1997–1998. Saat itu, Indonesia harus meliberalisasi pasar pangan, termasuk kedelai. Tak hanya subsidi, benteng pertahanan dari serbuan impor pun dilucuti. Pada saat yang sama, perhatian pada kedelai mengendur. Fokus kebi-jakan saat itu –dan berlanjut hingga kini—at all cost bias pada beras. Hasil-hasil riset tak memadai. Jika pun ada, tidak serta-merta diadopsi petani. Di sisi lain, produktivitas negara-negara produsen utama kedelai terus membaik. Saat ini, produktivitas kedelai Indonesia kurang dari setengah produktivitas AS, Kanada, Brasil, Argentina dan Italia.

Penurunan harga relatif terjadi karena tidak ada kebijakan dukungan harga pada kedelai, seperti pada beras atau gula. Pada saat yang sama, kedelai impor lebih murah. Efek spiral merosotnya daya saing antar-komoditas dan daya saing internasional saling menguatkan, dan ini membuat kedelai masuk lingkaran setan dekedelaisasi. Bersinergi dengan proteksi (tarif dan nontarif) yang minimal membuat ketergantungan Indonesia pada impor kedelai kian sempurna. Serbuan impor kedelai, yang mayoritas transgenik, di-dorong oleh inkonsistensi kebijakan kedelai transgenik dan beleid ofensif AS lewat subsidi (langsung dan ekspor). Produksi kedelai transgenik dilarang, di sisi lain impor yang 90% dari AS nyaris tak ada pembatasan. Beleid ofensif AS itu membuat harga kedelai impor amat murah. Inilah yang sering jadi alasan banyak pihak melegalisasi impor, ketimbang

Page 7: PERSPEKTIF EKONOMI GLOBAL KOMODITAS ANEKA …balitkabi.litbang.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2015/05/46-66... · kacang yang dibahas di makalah ini meliputi kedelai, kacang tanah

Khudori: Perspektif Ekonomi Global Komoditas Aneka Kacang dan Umbi Mendukung Kedaulatan Pangan 52

membeli kedelai petani domestik. Argumen di balik ini adalah daya saing. Argumen ini tidak benar. Harga komoditas di pasar dunia tidak bisa menjadi satu-satunya ukuran daya saing karena harga itu terdistorsi oleh subsidi. Di AS kedelai adalah 1 dari 20 komoditas yang dilindungi dan disubsidi. Dari US$24,3 miliar subsidi pada 2005, sekitar 70–80% diterima 20 komoditas ini. Ujung kebijakan ini adalah dumping. Setelah Farm Bill 1996, dumping kedelai AS naik dari 2% jadi 13% (IATP 2007).

Komoditas Aneka Umbi Indonesia kaya komoditas umbi-umbian, dua di antaranya ubikayu dan ubijalar. Dua

umbi ini tidak hanya memiliki kadar gizi makro dan mikro yang tinggi, tetapi juga jadi sumber vitamin dan mineral penting. Namun, perkembangan ubikayu dan ubijalar jauh dari menggembirakan. Bahkan, sejak didatangkan pertama kali oleh pemerintah kolonial Belanda pada awal abad ke-19 dari Amerika Latin, ubikayu tidak lepas dari stigma negatif dan inferior (Simatupang 2012; Rinardi 2002; Suhardi et. al. 2002). Pertama, sebagai pangan pokok ubikayu dikonsumsi saat paceklik, saat beras tak tersedia dan tidak ter-jangkau kantong. Ubikayu merupakan makanan orang miskin. Ini persepsi salah warisan kolonial. Oleh Belanda, ubikayu yang dijadikan gaplek diperkenalkan sebagai makanan kuli kontrak. Makanya, ubikayu dianggap pangan berkelas rendah.

Kedua, ubikayu tanaman yang toleran terhadap tekanan lingkungan, sehingga ditanam dan dibudidayakan pada agroekosistem sub-optimal, bukan di lahan-lahan utama. Ketiga, ubikayu sangat boros hara. Ketika dipanen, hara terangkut bersama umbi, sehingga pengembangannya dibatasi. Keempat, di bidang industri, pengolahan ubikayu dinilai tidak bersih, merusak lingkungan sehingga pengembangannya juga dibatasi. Akibat stigma negatif dan inferioritas membuat sindroma inferioritas ubikayu. Usahatani tidak ber-kembang karena dilakukan di lahan non-utama dan diusahakan secara sambilan. Industri pengolahan bersifat dangkal, hanya dilakukan pengolahan primer jadi pangan dan pakan dan tidak terintegrasi langsung dengan usahatani. Dari segi kebijakan, baik kebijakan litbang, produksi, industri dan perdagangan, semua bersifat non-promotif. Tidak adanya dukungan pada usahatani, teknologi produksi, industri, dan kebijakan perdagangan menyebabkan peran ubikayu semakin lemah (Simatupang 2012).

Ubikayu dan ubijalar merupakan tanaman multiguna yang terabaikan. Padahal, ubikayu dan ubijalar berpotensi dapat diolah menjadi beragam produk bernilai tinggi, misal menjadi tepung, produk kimia, dan bioenergi. Ubikayu dan ubijalar dapat diolah menjadi tepung pengganti terigu. Indonesia merupakan salah satu negara pengimpor terigu yang besar, antara 6–7 juta ton per tahun. Apabila 30% impor terigu bisa disub-stitusi oleh tepung ubikayu atau ubijalar akan banyak devisa yang bisa dihemat. Ubikayu dan ubijalar mempunyai produktivitas biomasa tinggi, sehingga bisa dikembangkan men-jadi feedstock bioindustry, yaitu menjadi bioenergi dan produk biomasa utamanya akan menjadi pakan ternak. Dengan demikian akan terbentuk sistem terpadu usahatani –energi dan sistem terpadu usahatani – bioindustri (Simatupang 2012).

Tepung singkong modifikasi (mocaf) sudah dikembangkan di sejumlah tempat. Namun, perkembangan tergolong masih lambat karena kebijakan lepas tangan (hands-off policy) dan diskriminatif pemerintah. Mocaf dikenakan PPN 10%. Sebaliknya, saat harga terigu naik pemerintah tak hanya membebaskan bea masuk impor tapi juga menanggung PPN terigu. Sebagai industri yang masih bayi (infant industry), tidak adil membiarkan industri mocaf –yang sepenuhnya berbahan baku lokal, melibatkan ribuan (bahkan jutaan) petani,

Page 8: PERSPEKTIF EKONOMI GLOBAL KOMODITAS ANEKA …balitkabi.litbang.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2015/05/46-66... · kacang yang dibahas di makalah ini meliputi kedelai, kacang tanah

Prosiding Seminar Hasil Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi 2014 53

menciptakan dampak berganda yang luas—bersaing dengan industri tepung terigu yang sudah mapan. Tanpa campur tangan pemerintah, mustahil industri mocaf bersaing dengan 6 korporasi penguasa bisnis tepung terigu yang berperilaku seperti kartel.

Tabel 3. Perkembangan Luas Panen, Produksi dan Produktivitas Aneka Umbi (2000–2013).

Tahun

Ubikayu Ubijalar

Luas (000 ha)

Produksi (000 t)

Produktivitas (kw/ha)

Luas (000 ha)

Produksi (000 t)

Produktivitas (kw/ha)

2000 1.284 16.089 125,0 194 1.828 94,0 2001 1.318 17.055 129,0 181 1.749 97,0 2002 1.277 16.913 132,0 177 1.772 100,0 2003 1.245 18.524 149,0 197 1.991 101,0 2004 1.256 19.425 155,0 185 1.902 103,1 2005 1.213 19.321 159,0 178 1.857 104,1 2006 1.227 19.987 163,0 177 1.854 105,1 2007 1.201 19.988 166,4 177 1.887 106,6 2008 1.205 21.757 180,6 175 1.882 107,8 2009 1.176 22.039 187,5 184 2.058 111,9 2010 1.183 23.918 202,2 181 2.051 113,3 2011 1.185 24.044 202,9 178 2.196 123,3 2012 1.130 24.177 214,0 178 2.483 139,3 2013 1.061 23.824 224,5 162 2.385 147,5

Pertumbuhan 2000–2005 -5,5% 20,0% 27,2% -4,6% 4,0% 10,7% 2005–2010 -2,3% 23,8% 27,2% 1,7% 10,4% 8,8% 2010–2013 -10,5% -3,9% 11,0% -10,5% 16,3% 30,2% 2003–2013 -14,8% 28,6% 50,7% -17,8% 19,8% 46,0% Sumber: BPS (diolah).

Dalam 10 tahun terakhir (2003–2013), luas panen ubikayu dan ubijalar terus menga-lami penurunan secara konsisten (Tabel 3). Luas panen ubikayu dan ubijalar merosot masing-masing 14,8% dan 17,8%. Lahan ubikayu dan ubijalar diganti dengan tanaman lain yang lebih menguntungkan. Meskipun luas panen menurun, produksi ubikayu dan ubijalar nasional masih mengalami kenaikan. Ini terjadi karena ditopang oleh pertum-buhan produktivitas yang cukup baik. Selama satu dekade terakhir, produktivitas ubikayu dan ubijalar meningkat hampir seimbang, masing-masing 50,7% dan 46%.

Selama tujuh tahun terakhir (2006–2013) ada fenomena akselerasi defisit neraca per-dagangan komoditas aneka umbi. Ini menandakan, perkembangan komoditas aneka umbi menurun. Neraca perdagangan yang positif terjadi pada ubijalar, itupun dengan kecen-derungan surplus yang menurun. Meskipun bersifat fluktuatif tiap tahunnya, dalam komo-ditas umbi terjadi penurunan defisit volume ubikayu sebesar 76%, dan penurunan surplus volume ubijalar 12,6% (Tabel 2). Defisit volume impor ubikayu menurun, namun pada rentang tahun yang sama terjadi peningkatan defisit nilai perdagangan sebesar 60%, dari US$67 juta (2006) menjadi US$ 107 juta (2013). Sama seperti pada kedelai, hal ini me-nunjukkan harga ubikayu impor dari tahun ke tahun semakin mahal.

Page 9: PERSPEKTIF EKONOMI GLOBAL KOMODITAS ANEKA …balitkabi.litbang.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2015/05/46-66... · kacang yang dibahas di makalah ini meliputi kedelai, kacang tanah

Khudori: Perspektif Ekonomi Global Komoditas Aneka Kacang dan Umbi Mendukung Kedaulatan Pangan 54

Ubikayu merupakan salah satu komoditas strategis yang bisa diolah menjadi bioenergi. Namun, sejak dibentuk Tim Nasional Pengembangan Bahan Bakar Nabati (BBN) tahun 2006, perkembangan produksi energi dari ubikayu amat lambat. Menurut cetak biru pengembangan BBN, BBN diarahkan pada biopremium (dari tebu dan ubikayu), biosolar (sawit, kelapa dan jarak pagar), biooil dan biokerose. Namun, absennya komitmen dan konsistensi implementasi kebijakan membuat pengembangan BBN layu.

Secara ekonomi, kalkulasi pengembangan BBN amat menarik (Khudori 2012). Data Kementerian Perhubungan menunjukkan, tahun 2010 konsumsi premium dan solar men-capai 33,34 juta kiloliter dan 30,4 juta kiloliter. Cetak biru pengembangan BBN menarget-kan, tahun 2025 ada pengurangan konsumsi BBM nasional minimal 10% dan BBN mem-beri kontribusi sedikitnya 5% pada energi mix primer. Misalnya, substitusi premium oleh biopremium. Dengan asumsi tidak ada tambahan kapasitas kilang, sekitar 50% atau 16,67 juta kiloliter kebutuhan premium pada tahun 2010 harus diimpor. Jika 1% konsumsi tahun 2010 dipenuhi dari bioepremium, dibutuhkan 333,4 juta liter biopremium. Angka ini membutuhkan 2 juta ton ubikayu per tahun atau 100 ribu hektare perkebunan singkong (dengan asumsi produktivitas 20 ton per hektar).

Padahal, satu hektare kebun ubikayu intensif perlu 110–125 hari kerja orang. Bio-premium itu bisa dipenuhi 3–10 pabrik yang akan menciptakan lapangan kerja lebih 2.000 orang. Substitusi 1% berarti 333,4 juta liter impor minyak premium terhindarkan. Dengan asumsi harga minyak di pasar US$ 25 sen per liter, berarti US$ 83,35 juta bisa dihemat. Multiplier effect ini tidak akan tercipta jika kita impor. Itu baru 1%, bagaimana jika 5% atau 10%. Belum lagi potensi substitusi solar, kerosene atau minyak bakar?

POSISI INDONESIA DALAM KOMODITAS ANEKA KACANG DAN UMBI DUNIA

Komoditas Aneka Kacang Di tingkat dunia, posisi Indonesia dalam komoditas aneka kacang, baik pada kedelai,

kacang tanah dan kacang hijau, bukanlah pelaku utama. Amerika Serikat, India, dan China merajai ketiga komoditas itu, ketiganya hanya bertukar-tukar posisi. Dari 20 negara produsen terbesar, Indonesia menempati posisi 12 untuk kedelai, 14 untuk kacang hijau, dan 7 untuk kacang tanah (Tabel 4). Meskipun pangsa produksinya semakin menurun, Amerika Serikat masih tetap mendominasi produksi kedelai dunia dengan pangsa 34,34%. Amerika Serikat bersama dengan empat produsen utama lainnya, yakni Brazil, Argentina, China dan India memiliki pangsa 88,84% produksi kedelai dunia.

Kontribusi Indonesia amat kecil, hanya 0,3% dari produksi dunia. Selain karena luas tanam yang terus menurun, kontribusi Indonesia yang rendah terhadap produksi kedelai dunia karena produktivitas kedelai tergolong rendah. Dibandingkan dengan negara-negara produsen utama kedelai dunia, Brazil dan Amerika Serikat misalnya, produktivitas kedelai Indonesia tidak sampai setengahnya. Produktivitas kedelai tertinggi diraih Mesir yang mencapai 4,45 ton per hektare, tiga kali lipat produktivitas Indonesia. Dalam 10 tahun terakhir (2002–2012), perkembangan produktivitas kedelai Indonesia sebetulnya cukup bagus, tetapi masih kalah jauh dari Mesir yang naik 48,7% (Tabel 5).

Sebagai produsen utama kedelai dunia, dalam 10 tahun terakhir (2001–2011) ekspor kedelai didominasi Amerika Serikat (31,6 juta ton), Brazil (23,3 juta ton), Argentina (8,9 juta ton), Paraguay (2,9 juta ton), dan Kanada (1,6 juta ton). Kelima negara ini menguasai

Page 10: PERSPEKTIF EKONOMI GLOBAL KOMODITAS ANEKA …balitkabi.litbang.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2015/05/46-66... · kacang yang dibahas di makalah ini meliputi kedelai, kacang tanah

Prosiding Seminar Hasil Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi 2014 55

94,52% pasar ekspor kedelai dunia. Bahkan dua eksportir utama kedelai dunia, Amerika Serikat dan Brazil, menguasai 74,16% pasar ekspor. Sedangkan penyerap kedelai impor didominasi China dan Uni Eropa yang selama 10 tahun terakhir (2001–2011) menyerap kedelai impor rata-rata sebesar 33,2 juta ton dan 14,8 juta ton.

Tabel 4. Produsen kedelai, kacang tanah, dan kacang hijau dunia. Kedelai Kacang tanah Kacang hijau

Negara 2012 (juta ton)

Negara 2012 (juta ton)

Negara 2012 (juta ton)

USA 82,0 China (daratan) 16,80 Myanmar 3,90 Brazil 65,8 India 5,78 India 3,63 Argentina 40,1 Nigeria 3,07 Brazil 2,79 China (daratan) 12,8 USA 3,06 China (daratan) 1,45 India 11,5 Myanmar 1,37 USA 1,45 Paraguay 8,3 Tanzania 0,81 Tanzania 1,19 Kanada 4,9 Indonesia 0,71 Meksiko 1,08 Uruguay 3,0 Argentina 0,69 Kenya 0,61 Ukraina 2,4 Senegal 0,67 Ethiopia 0,46 Bolivia 2,4 Kamerun 0,57 Rwanda 0,43 Rusia 1,8 Ghana 0,48 Uganda 0,42 Indonesia 0,85 Vietnam 0,47 Kamerun 0,37 Sumber: FAO. Tabel 5. Produktivitas kedelai beberapa negara. Negara 2002 (t/ha) 2012 (t/ha) Pertumbuhan (%) Mesir 2,99 4,45 48,7 Turki 2,94 3,64 23,8 Kanada 2,28 2,92 28,1 Austria 2,52 2,81 11,5 Switzerland 3,36 2,80 -16,7 Brasil 2,61 3,12 19,5 USA 2,55 2,82 10,6 Argentina 2,63 2,61 -0,07 China 1,89 1,84 -0,26 Indonesia 1,24 1,49 20,2

Sumber: FAO.

China merajai produksi kacang tanah dunia. Pada tahun 2012, pangsa produksi kacang tanah China mencapai 45,19%. Apabila digabungkan dengan India, Nigeria, dan Amerika Serikat pangsa keempat negara ini mencapai 77,2% kacang tanah dunia. Pangsa Indonesia amat kecil, hanya 0,8% dari total produksi kacang tanah dunia. Sebagai pro-dusen utama kacang tanah dunia, pasar ekspor juga dikuasai oleh China, disusul India dan Amerika Serikat. Selama 10 tahun terakhir (2001–2011), pasar kacang tanah amat terbatas, hanya terkonsentrasi di Uni Eropa dan Belanda. Dari sisi produktivitas, China bukanlah yang tertinggi. Produktivitas kacang tanah tertinggi dicapai Siprus yang menca-pai 8,54 ton per hektare atau 2,4 kali produktivitas China. Perkembangan produktivitas kacang tanah di Siprus selama 10 tahun terakhir memang menakjubkan. Sedangkan pro-duktivitas kacang tanah Indonesia amat rendah, hampir setara India, tapi hanya 36% dari produktivitas China dan 14% dari produktivitas Siprus.

Page 11: PERSPEKTIF EKONOMI GLOBAL KOMODITAS ANEKA …balitkabi.litbang.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2015/05/46-66... · kacang yang dibahas di makalah ini meliputi kedelai, kacang tanah

Khudori: Perspektif Ekonomi Global Komoditas Aneka Kacang dan Umbi Mendukung Kedaulatan Pangan 56

Tabel 6. Produktivitas kacang tanah beberapa negara. Negara 2002 (t/ha) 2012 (t/ha) Pertumbuhan (%) Siprus 4,00 8,54 113,0 Nikaragua 5,38 5,71 6,1 Israel 5,81 5,39 -0,7 USA 2,87 4,69 63,4 Lebanon 2,69 4,09 52,0 China 3,01 3,49 15,9 India 0,69 1,31 89,8 Indonesia 1,11 1,27 14,4 Sumber: FAO.

Pada komoditas kacang hijau, Myanmar, India dan Brazil merajai dunia. Pada tahun 2012 ketiga negara ini menguasai pangsa produksi kacang hijau dunia sebesar 51,73%. Apabila ditambah China, Amerika Serikat, Tanzania dan Meksiko ketujuh negara ini menguasai 77,65% produksi kacang dunia. Pangsa produksi Indonesia hanya 0,8% dari produksi dunia. Meskipun bukan produsen terbesar, pasar ekspor kacang hijau dikuasai China. Pada tahun 2012, China menguasai 30,20% pangsa ekspor kacang hijau dunia. Ditambah Myanmar dan Amerika Serikat ketiga negara ini menguasai 60,69% ekspor kacang hijau dunia. Dari sisi produktivitas negara-negara produsen utama kacang hijau dunia tergolong rendah, setara produktivitas Indonesia. Produktivitas kacang hijau tertinggi dicapai Barbados dan Irlandia (Tabel 7). Produktivitas kacang hijau Indonesia hanya seperlima dari produktivitas Barbados. Namun, perkembangan produktivitas kacang hijau Barbados dan Irlandia cenderung mengalami stagnasi, bahkan menurun.

Tabel 7. Produktivitas kacang hijau beberapa negara. Negara 2002 (t/ha) 2012 (t/ha) Pertumbuhan (%) Barbados 5,63 5,73 1,8 Irlandia 5,00 4,93 -1,4 Belanda 4,43 3,41 -23,0 Belgia 2,00 3,38 69 Libya 2,20 2,92 32,7 India 0,33 0,39 18,2 Brazil 0,74 1,03 39,2 Myanmar 0,80 1,41 76,3 China 1,43 1,50 4,9 Indonesia 0,92 1,16 26,1 Sumber: FAO.

Komoditas Aneka Umbi Dibandingkan pada komoditas aneka kacang, posisi Indonesia dalam komoditas aneka

umbi dunia jauh lebih baik. Pada tahun 2012, dari 20 negara produsen ubikayu dan ubijalar terbesar dunia Indonesia masing-masing menempati posisi kedua dan kelima (Tabel 8). Pada ubikayu, Nigeria menempati posisi pertama dengan pangsa 22,78%, disusul Indonesia (10,09%), Brazil (9,72%), Thailand (9,49%), dan Kongo (6,75%). Kelima negara ini menguasai 58,83% pangsa produksi ubikayu dunia. Meskipun bukan produsen terbesar dunia, Thailand dan Vietnam merajai pasar ekspor ubikayu (gaplek dan pati) dunia. Pangsa ekspor ubikayu kedua ini ini mencapai 96,64%: Thailand (55,92%), dan Vietnam (40,12%). Indonesia yang dominan menjadi eksportir ubikayu sebelum

Page 12: PERSPEKTIF EKONOMI GLOBAL KOMODITAS ANEKA …balitkabi.litbang.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2015/05/46-66... · kacang yang dibahas di makalah ini meliputi kedelai, kacang tanah

Prosiding Seminar Hasil Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi 2014 57

1995, kini peranannya terus menurun. Pangsa ekspor ubikayu Indonesia hanya 1,57%. Importir utama ubikayu dunia juga terbatas, hanya China dan Uni Eropa.

Tabel 8. Produsen ubikayu dan ubijalar dunia.

Ubikayu Ubijalar Negara 2012 (juta t) Negara 2012 (juta t) Nigeria 54,0 China (daratan) 73,14 Indonesia 23,9 Nigeria 3,40 Brazil 23,0 Tanzania 3,01 Thailand 22,5 Uganda 2,65 Republik Kongo 16,0 Indonesia 2,48

Sumber: FAO.

Dari sisi produktivitas ubikayu, posisi Indonesia cukup baik. Bahkan, tingkat pro-duktivitas ubikayu Indonesia lebih baik dari produsen utama Nigeria dan eksportir utama Thailand (Tabel 9). Selama 10 tahun terakhir (2002–2012), pertumbuhan produktivitas ubikayu Indonesia termasuk luar biasa. Namun, produktivitas Indonesia masih kalah hebat dari Laos yang satu dekade naik 239,4%. Produktivitas ubikayu Indonesia juga masih kalah dari India dan Cook Island. Perkembangan produktivitas ubikayu Indonesia perlu menjadi perhatian bersama agar tidak kembali terjadi stagnasi, atau bahkan menurun. Apakah ini menandai awal revolusi industri ubikayu di Indonesia?

Tabel 9. Produktivitas ubikayu beberapa negara. Negara 2002 (t/ha) 2012 (t/ha) Pertumbuhan (%) India 27,3 36,4 33,3 Cook Island 20,2 26,3 30,2 Taiwan 20,7 24,2 16,9 Laos 7,1 24,1 239,4 Suriname 18,7 23,3 24,6 Brazil 13,8 14,6 5,8 Nigeria 9,9 14,0 41,4 Thailand 17,1 19,3 9,4 Indonesia 13,2 21,4 62,1

Sumber: FAO.

Pada komoditas ubijalar, China merupakan produsen utama dunia. Pada tahun 2012, produksi China mencapai 75% dari 20 negara produsen ubijalar terbesar dunia (Tabel 8). Nigeria, Tanzania, Uganda dan Indonesia yang berada pada posisi 2, 3, 4, dan 5 pangsa-nya cukup rendah. Kontribusi Indonesia hanya 2,5% dari 20 produsen ubijalar terbesar dunia. Selain sebagai produsen utama, China dengan penduduk nomor satu dunia juga merupakan konsumen ubijalar yang besar. China bukan eksportir utama ubijalar dunia. Amerika Serikat yang dari sisi produksi hanya menempati 1,2% produksi dunia justru menjadi eksportir utama ubijalar dengan pangsa 45,89%. China dan Republik Dominika berada di posisi kedua dan ketiga dengan pangsa masing-masing 10,81% dan 6,85%. Indonesia hanya berada di posisi ketujuh dengan pangsa ekspor 3,14%.

Posisi Indonesia yang cukup rendah dalam komoditas ubijalar dunia bukan saja karena luas panen semakin menurun, tetapi produktivitas ubijalar Indonesia juga rendah. Produk-tivitas ubijalar Indonesia hanya 64% dari produktivitas China (Tabel 10). Bahkan diban-dingkan dengan 3 negara dengan produktivitas terbesar dunia, Reunion, Mesir dan Israel,

Page 13: PERSPEKTIF EKONOMI GLOBAL KOMODITAS ANEKA …balitkabi.litbang.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2015/05/46-66... · kacang yang dibahas di makalah ini meliputi kedelai, kacang tanah

Khudori: Perspektif Ekonomi Global Komoditas Aneka Kacang dan Umbi Mendukung Kedaulatan Pangan 58

produktivitas ubijalar Indonesia hanya 45%. Sebetulnya, pertumbuhan produktivitas ubi-jalar Indonesia cukup bagus. Namun, masih kalah hebat dibandingkan dengan Ethiopia dan Reunion. Seperti pada ubikayu, perkembangan produktivitas ini perlu menjadi perhatian bersama agar tidak kembali terjadi stagnasi, atau bahkan menurun. Apakah ini menandai awal revolusi industri ubijalar di Indonesia?

Tabel 10. Produktivitas Ubijalar Beberapa Negara. Negara 2002 (t/ha) 2012 (t/ha) Pertumbuhan (%) Reunion 20,93 32,6 55,7 Mesir 27,69 32,0 15,6 Israel 35,14 29,7 -15,5 Ethiopia 9,97 28,5 185,9 Monaco - 27,1 - China (daratan) 21,69 21,64 -0,02 Indonesia 10,00 13,9 39,0 Sumber: FAO.

KEDAULATAN PANGAN DALAM KONTEKS KOMODITAS ANEKA KACANG DAN UMBI

Posisi Indonesia dalam percaturan komoditas aneka kacang dan umbi, seperti diurai-kan di atas, bukan pelaku utama. Posisi Indonesia tidak menentukan. Ini terjadi karena komoditas aneka kacang dan umbi bukan prioritas kebijakan. Dari segi kebijakan, baik kebijakan litbang, produksi, industri dan perdagangan, semua bersifat non-promotif. Tidak adanya dukungan pada usahatani, teknologi produksi, industri, dan kebijakan perda-gangan membuat peran komoditas aneka kacang dan umbi kian melemah. Padahal, saat produktivitas pangan berbasis padi-padian mengalami stagnasi seharusnya komoditas aneka umbi menjadi alternatif utama. Bukan saja karena memiliki produktivitas biomassa lebih besar, tapi komoditas aneka umbi bisa menjadi produk industri bernilai tinggi.

Ke depan, pengembangan komoditas aneka kacang dan umbi tidak cukup hanya dengan menyelesaikan berbagai kebijakan yang tidak promotif itu. Misalnya memperluas luas panen di lokasi prioritas, kebijakan industri dan perdagangan yang memihak, dan memperkecil senjang tingkat produktivitas rata-rata nasional dan penelitian (Rachman dan Nuryanti 2011; Adie dan Marwoto 2011; Simatupang 2012; dan Heriyanto 2012). Tapi dalam konteks kedaulatan pangan, semua potensi aneka kacang dan umbi harus diper-hitungkan. Indonesia merupakan negara yang memiliki keragaman hayati terbesar kedua di dunia: terdapat 800 spesies tumbuhan pangan, lebih dari 1.000 jenis tumbuhan medi-sinal, ribuan jenis spesies microalgae, 77 jenis sumber karbohidrat, 75 jenis sumber lemak/ minyak, 26 jenis kacang-kacangan, 389 jenis buah-buahan, 228 jenis sayuran, 40 jenis bahan minuman, 110 jenis rempah-rempah dan bumbu-bumbuan (Maryanto et. al. 2013). Itu belum termasuk jenis umbi-umbian. Beragam sumberdaya hayati itu tumbuh dalam aneka kondisi ekologis yang unik, sesuai dengan kontur, ketinggian, jenis tanah, jenis iklim, dan sebaran kepulauan (17.000 pulau besar kecil). Kebijakan penyeragaman tidak hanya mengingkari keanekaragaman, tapi juga melawan alam. Alam Indonesia ditakdir-kan beragam, bukan seragam. Keberagaman itu mustinya tercermin dalam segala sendi kehidupan, termasuk dalam produksi/pola pangan. Produksi/pola pangan seragam, seperti tercermin pada tingkat partisipasi konsumsi beras rata-rata 100% kecuali Maluku dan Papua (Surono 2001), adalah salah satu sumber ketidakberdaulatan pangan.

Page 14: PERSPEKTIF EKONOMI GLOBAL KOMODITAS ANEKA …balitkabi.litbang.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2015/05/46-66... · kacang yang dibahas di makalah ini meliputi kedelai, kacang tanah

Prosiding Seminar Hasil Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi 2014 59

Indonesia memiliki sejumlah umbi potensial sebagai sumber karohidrat diluar ubikayu dan ubijalar. Antara lain dari suku Araceae (Alocasia macrorrhizos yang dikenal dengan talas, atau Amorphophallus paeoniifolius yang dikenal dengan porang atau iles-iles). Keka-yaan keanekaragaman hayati umbi-umbian juga tercermin dari variasi di dalam jenis yang tinggi, misalnya berbagai varietas atau kultivar talas, ubijalar, ubikayu dan yang lain. Namun, kini semuanya kurang berkembang, bahkan dalam kondisi terancam. Padahal, di negara lain pelbagai umbi-umbian dikembangkan serius. Talas misalnya, kini serius dibu-didayakan di Hawaii, salah satu negara bagian Amerika Serikat. Di restoran cepat saji McDonald’s di Honolulu, bukan hanya bisa memesan taro pie (kue berbahan umbi talas), tapi juga lau-lau (buntil daun talas, berisi daging babi/ikan). Belakangan, taro pie bisa di-jumpai di McDonald’s Singapura. Padahal, masuknya talas dari Pasifik Selatan ke Kepulauan Nusantara jauh lebih dahulu dari masuknya ke Hawaii (Rahardi 2014).

Di Pulau Jawa, tempat asal-usul talas, komoditas ini justru tersisih. Umbi-umbian yang mengalami nasib seperti talas, antara lain, genus Amorphophallus dan Dioscorea. Padahal, iles-iles atau porang merupakan sebagai bahan baku konyaku dan shirataki, makanan khas Jepang. Satoimo atau talas jepang (Colocasia esculenta var. antiquorum), sebenar-nya juga merupakan introduksi dari Jawa. Indonesia juga punya banyak spesies Diosco-rea, seperti gadung, gembolo, dan gembili, yang di Taiwan serta Jepang dibudidayakan dengan serius dan menjadi menu terhormat tapi di Indonesia tersisih.

Penyeragaman produksi pangan/pola makan telah menyebabkan erosi (baca: kepu-nahan) keanekaragaman hayati berikut pengetahuan/kearifan lokal, yang meliputi: pola tanam, olah tanah, pengendalian hama, waktu tanam dari berbagai tanaman lokal (non-beras), hingga akhirnya membawa kegoncangan stok pangan desa (kerawanan di tingkat petani). Oleh karena itu, sesungguhnya pangan semestinya tidak ditumpukan hanya pada sedikit komoditas, melainkan disesuaikan dengan potensi dan kekayaan yang dimiliki. Sejarah telah membuktikan, unsur yang mampu menjamin dan menopang kedaulatan pangan adalah kearifan lokal dan keanekaragaman hayati. Kedua unsur tersebut sudah berabad-abad lamanya berada dalam kontrol rakyat. Keduanya juga merupakan sumber daya ketiga, setelah sumber daya alam dan manusia (Wahono 2002).

Invasi kepentingan ekonomi global secara signifikan telah mengganggu hubungan antara petani dan keragaman hayati. Terlebih ketika korporasi transnasional mulai mene-bar pengaruh dalam ekosistem pertanian yang berujung pada reduksi keragaman hayati yang luar biasa dalam ekosistem pertanian. Rantai makanan industri saat ini berfokus pada lebih sedikit spesies, baik ternak maupun pangan. Korporasi transnasional saat ini hanya fokus pada selusin ternak, dan dari 80 ribu varietas tanaman komersial di pasaran saat ini lebih dari setengah adalah tanaman hias (ETC Group 2009).

Meskipun sedikitnya 3.000 spesies tumbuhan telah dipergunakan untuk keperluan pangan, saat ini hanya 16 tanaman pangan utama yang dibudidayakan (Cunningham dan Saigo 1999). Saat ini budidaya tanaman global hanya menumpukan pada beberapa biji-bijian, terutama gandum, beras dan jagung. Begitu pula dengan aneka kacang, kekayaan plasma nuftah leguminoceae tidak dapat dimanfaatkan sepenuhnya oleh petani, karena kepentingan ekonomi global hanya memprioritaskan beberapa jenis kacang, terutama kedelai dan kacang tanah. Kecipir (winged beans), salah satu jenis kacang yang tahan iklim panas, lebih toleran dalam kondisi tertekan dari kacang lain dan seluruh bagian bisa dikonsumsi, juga gagal disosialisasikan (Widianarko et al. 2003). Tanaman koro-koroan yang lebih mudah dibudidayakan daripada kedelai, juga tidak berkembang. Padahal, koro-koroan cukup potensial untuk menggantikan kedelai (Subagyo 2009).

Page 15: PERSPEKTIF EKONOMI GLOBAL KOMODITAS ANEKA …balitkabi.litbang.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2015/05/46-66... · kacang yang dibahas di makalah ini meliputi kedelai, kacang tanah

Khudori: Perspektif Ekonomi Global Komoditas Aneka Kacang dan Umbi Mendukung Kedaulatan Pangan 60

Reduksi kekayaan hayati dalam ekosistem pertanian harus dibayar mahal oleh petani, pihak yang seharusnya menjadi subyek budidaya pertanian. Dengan kelemahan posisi tawar, petani terutama di negara berkembang, justru menjadi sekadar obyek dan bulan-bulanan kepentingan ekonomi global yang dimotori oleh hanya segelintir korporasi trans-nasional. Reduksi keragaman hayati yang diikuti oleh punahnya pengetahuan dan ke-arifan lokal membuat petani semakin tergantung kepada “paket teknologi” yang disedia-kan oleh pemain agroindustri transnasional, baik berupa benih, pupuk maupun pestisida. Ketergantungan petani terhadap “paket teknologi” makin tinggi karena korporasi trans-nasional itu membentuk sistem rantai pangan (agrifood chain) (Eagleton 2005). Sistem ini menghubungkan mata rantai dari sejak gen sampai rak-rak di supermarket tanpa ada titik-titik penjualan. Artinya, sektor pangan –mulai dari produksi, perdagangan, pengolahan dan ritel—tidak hanya terindustrialisasi dan mengglobal, tetapi juga kian terkonsentrasi di segelintir pelaku. Mereka mendominasi pasar perdagangan pangan dunia lewat empat aktivitas pokok: (i) perusahaan yang bergerak di bidang gen, bibit dan input agrokimia; (ii) pangan dan serat, perdagangan dan pengolahan bahan mentah; (iii) perusahaan manufaktur dan pengolahan; dan (iv) supermarket (Tabel 11).

Tabel 11. Rantai Pangan (Agrifood Chain).

Rantai Pangan

Gen, Bibit dan Input Agrokimia

Pangan & Serat, Trading dan Pengo-lahan Bahan Mentah

Prosesing dan Manufaktur

Supermarket

TNCs Syngenta, Monsanto DuPont, Bayer

ADM, Louis Dreyfus, Bunge, Cargill

Nestle, Kraft, Foods, Unilever, PepsiCo

Wal Mart, Carrefour, Metro, Tesco

Aktivitas Pokok

Bibit dan produk agro-kimia

Perdagangan dan pengolahan bahan mentah

Pengolahan pangan dan minuman

Ritel pangan

Isu Pokok • kontrol hak kekayaan intelektual

• promosi teknologi yang tidak bermanfaat pada petani

• meminggirkan alter-natif pertanian ber-kelanjutan

• memanfaatkan ke-kuatan pasar untuk menekan harga

• praktik pembelian curang (unfair)

• memanfaatkan kekuatan pasar untuk menekan harga

• praktik pembelian curang (unfair)

• menetapkn standard ketat

• memanfaatkan kekuatan pasar untuk menekan harga

• praktik pembelian curang (unfair)

• menetapakn standard ketat

Dampak pada Petani

• kehilangan hak menyimpan dan tukar-menukar bibit

• kenaikan ongkos input • keracunan pestisida • jerat utang (debt cycle)

• pendapatan rendah • mengekspose pada

pasar yang rentan • mentransfer ongkos

bisnis dan risiko ke produsen

• pendapatan rendah

• mendepak dari pasar

• mentransfer ong-kos bisnis dan ri-siko ke produsen

• pendapatan rendah • mendepak dari

pasar • mentransfer ongkos

bisnis dan risiko ke produsen

Sumber: Eagleton D. 2005. Power Hungry: Six Reasons to Regulate Global Food Corporate. ActionAid International. Johannesburg.

Struktur pasar yang makin terkonsentrasi artinya makin mendekati struktur pasar monopoli. Menurut konvensi, struktur pasar dinamakan kompetitif apabila dominasi dari empat perusahaan terbesar (CR-4) tak lebih 40%. Heffernan dan Hendrickson (2002) menemukan tingkat konsentrasi pasar dunia mencapai 81% untuk daging, 59% untuk daging babi, 50% untuk broiler, 61% untuk gandum, dan 80% untuk kedelai (Tabel 12). South Center (2005) memperkirakan, 85–90% perdagangan pangan dunia dikontrol

Page 16: PERSPEKTIF EKONOMI GLOBAL KOMODITAS ANEKA …balitkabi.litbang.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2015/05/46-66... · kacang yang dibahas di makalah ini meliputi kedelai, kacang tanah

Prosiding Seminar Hasil Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi 2014 61

hanya oleh lima perusahaan transnasional (TNCs); 75% perdagangan serealia dikuasai hanya oleh dua TNCs; dua TNCs menguasai 50% perdagangan dan produksi pisang; tiga TNCs menguasai 83% perdagangan kakao; tiga TNCs menguasai 85% perdagangan teh; lima TNCs menguasai 70% produksi tembakau; tujuh TNCs menguasai 83% produksi dan perdagangan gula; empat TNCs menguasai hampir dua pertiga pasar pestisida, seperem-pat bibit (termasuk paten) dan menguasai 100% pasar global bibit transgenik.

Tabel 12. Tingkat konsentrasi berbagai sektor industri (CR-4).

Sektor Industri 1990 1999 2011

Pemotongan Sapi 69% IBP ConAgra Excel (Cargill) Beef America

79% IBP ConAgra Excel (Cargill) Farmland National Beef

82% Cargill Tyson JBS National Beef

Pembesaran Sapi - Cactus Feeders ConAgra (Monfort) J.R. Simplot Co. Caprock (Cargill)

Kapasitas 1.339.000 Feeding (405.000) Cactus Feeders (350.000) ConAgra (320.000) National Farm Inc (274.000)

Kapasitas 1.983.000 JBS River (838.000) Cactus Feeders (520.000) Cargill Cattle (350.000) Friona Industries (275.000)

Pemotongan Babi 45% IBP ConAgra Morrell Excell

57% Smithfield IBP Inc. ConAgra (Swift) Excell (Cargill)

63% Smithfield Food Tyson Foods Swift (JBS) Excell (Cargill)

Pembesaran Babi - Murphy Farms Tyson Foods CargillNational Farms

Kapasitas 834.600 Murphy Farms (337.000) Carroll’s Foods (183.000) Continental Grain (162.000) Smithfield Foods (152.000)

Kapasitas 1.618.904 Smithfield Farms (876.804) Triumph Foods (371.000) Seaboard (213.600) Iowa Select Farm (157.500)

Pemotongan Broiler

45% Tyson ConAgra Gold Kist Perdue Farms

49% Tyson Gold Kist Perdue Farms Pilgrim’s Pride

53% Tyson JBS (Pilgrim’s Pride) Perdue Farms Sanderson

Pemotongan Kalkun

31% Louis Rich (Philip Morris) Swift (Beatrice/KKR) ConAgra Norbest

42% Jennie-O (Hormel) Butterball (ConAgra) Wamplers Turkeys Cargill

58% Butterball (Smithfield/Gold) Jenni-O (Hormel) Cargill Farbest Foods

Penggilingan Terigu

61% ConAgra ADM Cargill Grand Met (Pillsbury)

62% ADM ConAgra Cargill Flour Milling

53% Horizon Milling (Cargill) ADM ConAgra

Penggilingan Jagung

74% ADM Cargill A.E. Staley (Tate & Lyle) CPCP

74% ADM Cargill A.E. Staley (Tate & Lyle) CPCP

87% ADM Corn Products Cargill

Prosesing Kedelai 61% ADM Cargill Bunge Ag. Processors

80% ADM Cargill Bunge Ag. Processors

85% ADM Bunge Cargill Ag. Processors

Sumber: Hendrickson 2014. The Dynamic State of Agriculture and Food: Possibilities for Rural Development? McLean, Virginia.

Page 17: PERSPEKTIF EKONOMI GLOBAL KOMODITAS ANEKA …balitkabi.litbang.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2015/05/46-66... · kacang yang dibahas di makalah ini meliputi kedelai, kacang tanah

Khudori: Perspektif Ekonomi Global Komoditas Aneka Kacang dan Umbi Mendukung Kedaulatan Pangan 62

Dengan penguasaan pasar seperti itu, TNCs bisa mengontrol harga input pertanian, mempraktikan perjanjian jual-beli yang tidak fair, membentuk harga kartel, mendepak perusahaan lokal dari pasar, dan membeli komoditas petani dengan harga super murah. Untung besar diraih dengan memeras petani lewat dua cara (double squeezing): mematok harga input dan olahan dengan harga tinggi, dan menekan harga beli komoditas petani serendah mungkin. Baik sebagai produsen maupun konsumen, petani dirugikan. Jadi, globalisasi dengan TNCs sebagai jantungnya tak hanya merugikan petani, tapi juga men-cekik konsumen. Amat berisiko menggantungkan pasokan pangan pada struktur pasar yang hanya dikuasai segelintir pelaku itu karena harga tidak stabil.

Dimotori korporasi transnasional, proses industrialisasi pertanian menyebarkan teknik-teknik budidaya pertanian dan jenis-jenis tanaman dari negara kaya ke seluruh dunia. Proses inilah yang bertanggungjawab terhadap reduksi keragaman hayati pertanian. Aki-batnya, sistem produksi pangan di negara-negara berkembang cenderung rentan. Keber-lanjutan produksi pangan hanya dapat dipertahankan dengan penambahan input terus-menerus, berupa benih, pupuk dan pestisida yang diproduksi korporasi transnasional. Indonesia seharusnya tidak mengikuti irama perkembangan seperti ini. Ke depan, sistem produksi/pola pangan harus ditumpukan kepada potensi keragaman hayati yang dimiliki. Pemerintah pusat dan Pemda bisa berbaai beban mengemban tugas itu.

Sebagai negara dengan populasi penduduk terbesar keempat dunia, Indonesia selayak-nya belajar dari China, negeri dengan populasi penduduk terbesar dunia. Selama 30 tahun terakhir komposisi produksi pangan China adalah beras 189,3 (juta ton, 1990); 187,9 (2000), dan 195,7 (2010). Ubijalar 104,7 (1990); 117,9 (2000), dan 741,7 (2010). Jagung 96,8 (1990); 106 (2000); dan 177,4 (2010). Gandum 98,2 (1990); 99,6 (2000); dan 115,1 (2010). Belakangan, China tertarik mengembangkan biji bayam (Amaranth grain), yang pernah jadi andalan pangan bangsa Aztec di Peru, pada era pra-Kolumbus. Jadi, China tidak menumpukan pangan pada segelintir komoditas, tapi banyak pangan.

KEBIJAKAN MENUJU KEDAULATAN PANGAN Dalam kedaulatan pangan, pangan diproduksi secara agroekologi, multikultur, dan

sistem pertanian berkelanjutan. Jadi, keberlanjutan dan faktor lingkungan menjadi hal utama. Pelaku utama produksi pangan adalah petani (kecil), bukan industri. Selain itu, ke-daulatan pangan menghindari liberalisasi dengan mendorong pasar lokal dan bersifat proteksionis, antipaten, dan menghindari penggunaan GMO (genetic modified organism). Apabila pada ketahanan pangan lebih menekankan kebutuhan dasar populasi kurang pangan, kedaulatan pangan melampaui kebutuhan dasar. Yang paling penting, mengakui hak berproduksi, seperti diatur dalam Kovenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights) (Lee 2007).

Untuk memastikan bisa mencapai kedaulatan pangan, harus dilakukan sejumlah lang-kah simultan. Pertama, menjamin akses dan kontrol petani, terutama petani kecil, terha-dap sumberdaya produksi penting (tanah, air, benih, teknologi dan finansial). Untuk itu perlu penataan ulang penguasaan sumberdaya melalui reforma agraria. Dari total luasan daratan Indonesia 191 juta hektar, sebagian besar (66,15%) merupakan kawasan hutan, sedangkan untuk pertanian dengan berbagai kondisi agroekologi hanya 36,35 juta hektar (18,72%). Menurut Puslitbangtanak (2001), potensi luas lahan basah mencapai 24,5 juta hektar atau lebih tiga kali luas sawah saat ini. Potensi ekstensifikasi tanaman pangan

Page 18: PERSPEKTIF EKONOMI GLOBAL KOMODITAS ANEKA …balitkabi.litbang.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2015/05/46-66... · kacang yang dibahas di makalah ini meliputi kedelai, kacang tanah

Prosiding Seminar Hasil Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi 2014 63

semusim di lahan kering masih 25,3 juta hektar, sedangkan untuk tanaman perkebunan seluas 50,9 juta hektar. Jika data-data ini benar, artinya lahan melimpah.

Perluasan lahan menjadi keniscayaan karena ketersediaan lahan pangan perkapita Indonesia amat sempit, hanya 359 m2 untuk sawah, dan 451 m2 apabila digabung dengan lahan kering. Luasan itu jauh dari Vietnam (960 m2), Thailand (5.226 m2), China (1.120 m2), India (1.591 m2), dan Australia (26.264 m2). Masalahnya, selama empat abad terakhir, evolusi pembangunan selalu dibimbing oleh jiwa yang meniadakan petani atau warga sebagai subjek pembangunan. Premis dasar kebijakan yang diyakini adalah usaha besar memiliki kapasitas lebih tinggi dari petani. Meskipun potensi kawasan budidaya masih cukup luas untuk basis produksi pangan, lahan itu tidak diberikan pada petani, pe-kebun, warga pinggir hutan atau kaum marjinal lainnya. Puluhan juta hektar lahan justru diserahkan hanya pada segelintir pengusaha dan konglomerat dalam bentuk aneka kon-sesi dengan lama puluhan tahun: Hak Pengusahaan Hutan (HPH), Hutan Tanaman Industri (HTI) atau eksploitasi tambang di hutan lindung. Hasilnya: hutan rusak dan habis, diikuti banjir dan longsor. Jika perusahaan tambang boleh, tentu petani jauh lebih berhak. Dari siapa yang boleh dan siapa yang dilarang pemerintah itu kita akan bisa melihat ke-pentingan siapa yang didahulukan, dan kepentingan siapa yang dikorbankan.

Kedua, sumberdaya itu (tanah, air, benih, dan sumber-sumber produksi lain) harus dimanfaatkan seoptimal mungkin untuk memproduksi aneka pangan lokal sesuai keane-karagaman hayati dan pengetahuan/kearifan lokal. Fokus kebijakan harus digeser, tidak hanya beras, tetapi juga pangan non-beras. Adalah sebuah ironi, Indonesia yang dikenal sebagai “gudang” keanekaragaman hayati ternyata pemenuhan pangannya harus tergan-tung pada impor. Terkait hal ini, yang tidak kalah penting adalah mendahulukan mengem-bangkan aneka pangan yang bisa diproduksi sendiri ketimbang impor. Gandum harus diganti tepung umbi lokal. Sudah saatnya kekeliruan selama ini berupa pengabaian kera-gaman hayati dan pengetahuan lokal, modal utama kedaulatan pangan, dikoreksi. Komer-sialisasi dan paten kehidupan harus dihindari. Yang harus didorong, petani/komunitas bisa membuat bibit, pupuk dan pestisida sendiri. Penyeragaman “paket teknologi” dan pilihan komoditas monokultur serta orientasi beras minded harus diakhiri, digantikan teknologi (pengetahuan lokal dan komoditas lokal) setempat yang beragam.

Ketiga, perlindungan petani terhadap sistem perdagangan yang tidak adil dan kerugian akibat bencana. Dalam lingkup lingkungan sosial-ekonomi, negara perlu menjamin struktur pasar yang jadi fondasi pertanian merupakan struktur pasar yang adil, baik struktur pasar di dalam negeri maupun pasar internasional. Liberalisasi kebablasan harus dikoreksi. Pada saat bersamaan dikembangan perdagangan yang adil (fair trade), terutama buat petani, dan mendorong pasar lokal. Bisa diadopsi penetapan harga pantas (fair price), yang terdiri dari harga BEP (break even point), plus asuransi gagal panen (50% dari BEP), tabungan masa depan (10% dari BEP), dan tabungan pengembangan usaha (10% dari BEP) (Hadiwinata dan Pakpahan 2004). Perdagangan adil membuat petani lebih berdaya, karena ia memiliki asuransi kerugian, dan dana investasi usaha.

Dalam konteks lingkungan alam, petani perlu perlindungan atas berbagai kemungkinan kerugian bencana alam, seperti kekeringan, banjir, dan bencana lain. Negara perlu mem-beri jaminan hukum bila itu terjadi petani tidak terlalu menderita, lewat asuransi atau kompensasi kerugian. Pendek kata, semua yang menambah biaya ekternal petani, menu-runkan harga riil produk pertanian dan struktur yang menghambat kemajuan pertanian perlu landasan hukum yang kuat agar perlindungan petani bisa dilaksanakan sebagai kewajiban negara (Pakpahan 2012). Yang tak kalah penting, pangan pertama-tama untuk

Page 19: PERSPEKTIF EKONOMI GLOBAL KOMODITAS ANEKA …balitkabi.litbang.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2015/05/46-66... · kacang yang dibahas di makalah ini meliputi kedelai, kacang tanah

Khudori: Perspektif Ekonomi Global Komoditas Aneka Kacang dan Umbi Mendukung Kedaulatan Pangan 64

manusia guna memenuhi kebutuhan gizi sebagai jaminan tegaknya hak atas pangan. Pangan pertama-tama bukan untuk barang dagangan (Anonim 2007 & 2008).

Keempat, membalik model pertanian ekspor-industrial-monokultur ke model pertanian lokal-keluarga/komunitas-multikultur. Menurut kajian International Assessment of Agricul-tural Knowledge, Science and Technology for Development (IAASTD) (McIntyre et al. 2008), model pertanian ekspor-industrial-monokultur bukan resep ajaib mengatasi kemis-kinan dan kelaparan. Model itu menghancurkan lingkungan (air dan tanah), mengerosi keanekaragaman hayati dan kearifan lokal (pola tanam, waktu tanam, olah tanah dan pengendalian hama), dan mengekspose warga pada kerentanan tak terperi. Untuk mengi-kis kemiskinan, kelaparan dan degradasi lingkungan, IAASTD menyarankan agar memper-kuat pertanian skala kecil, meningkatkan investasi pertanian agroekologis, mengadopsi kerangka kerja perdagangan yang adil, menolak transgenik, memberi perhatian khusus pada kearifan lokal, memberi peluang sama (pada warga) agar berpartisipasi dalam pengambilan keputusan, membalik akses dan kontrol sumberdaya (air, tanah dan modal) dari korporasi ke komunitas lokal, dan memperkuat organisasi tani.

Mengapa IAASTD memberi perhatian khusus pada pertanian skala kecil? Sebab, sampai saat ini 75% warga miskin adalah petani kecil. Porsi petani kecil di Asia mencapai 87%. Di Indonesia, porsi mereka mencapai 55%. Menggenjot investasi pada pertanian skala kecil tidak hanya memberi pangan dunia, tapi juga menyelesaikan kemiskinan dan kelaparan. Hasil-hasil riset yang ekstensif menunjukkan pertanian keluarga/kecil jauh lebih produktif dari pertanian industrial, karena mengonsumsi sedikit BBM, terutama apabila pangan diperdagangkan di tingkat lokal/regional (Rosset 1999). Bukti-bukti menunjukkan pertanian skala kecil dan terdiversifikasi bisa beradaptasi dan pejal (resilience), ini seka-ligus suatu model keberlanjutan yang ramah kearifan lokal dan keragaman hayati. Perta-nian skala kecil ramah terhadap perubahan iklim (Altieri 2008).

Kelima, menetapkan zonasi agroekologi lahan pertanian. Konsep pewilayahan ini dida-sari kenyataan: setiap tanaman memiliki perbedaan tingkat kesesuaian lahan. Agroekologi merupakan aplikasi ilmu ekologi untuk mendesain dan mengelola agroekosistem secara berkelanjutan (sesuai secara teknis, layak ekonomi, dan dapat diterima secara sosial dan budaya setempat) (Nurwadjedi 2009). Dari zonasi inilah baru ditetapkan lahan pertanian untuk dilindungi eksistensinya agar tak terkonversi, seperti amanat UU No 41/2009 ten-tang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan.

Keenam, perlu keterlibatan secara demokratis petani (kecil) dalam perumusan dan pengambilan kebijakan pada semua tingkatan, dan adanya lembaga (baca: organisasi) yang memungkinkan terjamin tegaknya kedaulatan pangan dan terpenuhinya hak-hak atas pangan. Selama ini, hampir semua kebijakan di bidang pertanian dirumuskan dan dibuat secara elitis oleh pemerintah dan DPR serta kalangan pengusaha. Salah satu aki-batnya, banyak kebijakan yang dimaksudkan untuk melindungi justru mencelakakan petani. Selain itu, sejak Menteri Negara Urusan Pangan dibubarkan pada 1999, secara riil saat ini tidak ada lagi lembaga yang bertugas merumuskan kebijakan, mengoordinasikan dan mengarahkan pembangunan pangan. Otonomi daerah membuat produksi pangan diurus daerah. Padahal elit daerah tidak menjadikan pertanian dan pangan sebagai driver pencitraan. Bahkan, peta jalan swasembada pangan dari pusat diterjemahkan beragam oleh daerah. Mustahil berharap inovasi pembangunan pertanian-pangan lahir dari daerah. Centang perenang kelembagaan ini harus diakhiri, seperti amanah UU No 18/2012.

Page 20: PERSPEKTIF EKONOMI GLOBAL KOMODITAS ANEKA …balitkabi.litbang.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2015/05/46-66... · kacang yang dibahas di makalah ini meliputi kedelai, kacang tanah

Prosiding Seminar Hasil Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi 2014 65

PENUTUP Menggantungkan pangan pada impor dan hanya segelintir komoditas membuat posisi

Indonesia amat rentan. Pangan seharusnya tidak ditumpukan pada pasar yang rentan. Proses produksi/pola pangan juga mestinya ditumpukan pada potensi keragaman hayati berikut kearifan lokal. Potensi itu terbentang luas pada keragaman hayati Indonesia, termasuk komoditas aneka kacang dan umbi. Keragaman hayati dan kearifan lokal itu harus menjadi basis untuk mencapai kedaulatan pangan. Pertanyannya, mungkinkah lima langkah mencapai kedaulatan pangan bisa dilakukan? Jawabannya mungkin. Perlu disa-dari, siapapun yang memimpin Indonesia persoalan yang dihadapi akan sama. Pemimpin terpilih dalam Pemilu 2014 akan memiliki ruang gerak yang lebih leluasa menegakkan kedaulatan pangan apabila berani melakukan perombakan politik anggaran. Tanpa peru-bahan politik anggaran, kecil peluang terjadi perubahan mendasar.

DAFTAR PUSTAKA Adie M.M., Marwoto. 2011. Inovasi Teknologi Unggulan Tanaman Kacang-Kacangan dan

Umbi-Umbian Mendukung Empat Sukses Kementerian Pertanian. Dalam Prosiding Seminar Hasil Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi 2011. Balitkabi. Malang.

Altieri M.A. 2008. Small farms as a planetary ecological asset: Five key reasons why we should support the revitalization of small farms in the Global South.

Anonim. 2007. Declaration of Nyeleni. Nyeleni Village, Selingue. Mali Anonim. 2008. Food Sovereignty for Africa: A Challenge at Fingertips. La Via Campesina.

Maputo. Cunningham, W.P., Saigo B.W. 1999. Environmental Science: A Global Concern. McGraw-

Hill. Boston. Eagleton D. 2005. Power Hungry: Six Reasons to Regulate Global Food Corporate. ActionAid

International. Johannesburg. ETC Group. 2009. Who Will Feed Us: Questions fo The Food and Climate Crises. F. Rahardi. 2014. Umbi yang Tersisih. Kompas. 23 April. Jakarta. Hadiwinata B.S., Pakpahan A.K. 2004. Fair Trade: Gerakan Perdagangan Alternatif. Pustaka

Pelajar-Oxfam-Universitas Katolik Parahyangan. Yogyakarta. Heffernan W.D. and Hendrickson M.K. 2002. “Multinational Concentrated Food Processing

and Marketing Systems and The Farm Crisis. Paper Presented at the Annual Meeting of the American Association for the Advancement of Science Symposium: Science and Sustainability. The Farm Crisis: How the Heck Did We Get Here? February 14–19, Boston, MA.

Hendrickson M. 2014. The Dynamic State of Agriculture and Food: Possibilities for Rural Development? McLean, Virginia.

Heriyanto. 2012. Upaya Percepatan Penyebaran Varietas Unggul Kedelai di Pulau Jawa Dalam Pros. Seminar Hasil Penelitian Tanaman Aneka Kacng dan Umbi 2012. Balitkabi. Malang.

IATP. 2007. A Fair Farm Bill for Amercia, a series of paper on the 2007 US Farm Bill. Institute for Agriculture and Trade Policy. Minnesota.

Khudori. 2012. Ekonomi Politik Bahan Bakar Nabati. Koran Tempo, 8 Mei. Jakarta. Lee R. 2007. Food Security and Food Sovereignty. Centre for Rural Economy Discussion

Paper Series No. 11, University of Newcastle Upon Tine. Maryanto I. et. al. 2013. Bioresources untuk Pembangunan Ekonomi. LIPI Press. Jakarta. McIntyre B.D. et. al. (Ed.). 2008. Agricultural at a Crossroads, UNDP+FAO+UNEP+

UNESCO+The World Bank+WHO+ Global Environment Facility. Nurwadjedi. 2009. Pemanfaatan Sistem Informasi Geografi untuk Zonasi Agroekologi Lahan

Page 21: PERSPEKTIF EKONOMI GLOBAL KOMODITAS ANEKA …balitkabi.litbang.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2015/05/46-66... · kacang yang dibahas di makalah ini meliputi kedelai, kacang tanah

Khudori: Perspektif Ekonomi Global Komoditas Aneka Kacang dan Umbi Mendukung Kedaulatan Pangan 66

Sawah di Jawa. Dalam Suria Darma Tarigan et. al. Strategi Penanganan Krisis Sumber-daya Lahan untuk Mendukung Kedaulatan Pangan dan Energi. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Pakpahan A. 2012. Pembangunan Sebagai Pemerdekaan: Pemikiran untuk Membalik Arus Sejarah Pembangunan Nasional. Gapperindo. Jakarta.

Rachman H.P.S., Nuryanti S. 2011. Perspektif Ekonomi Global Kedelai dan Ubikayu Mendukung Swasembada. Dalam Prosiding Seminar Hasil Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi 2011. Balitkabi. Malang.

Rinardi H. 2002. Politik Singkong Zaman Kolonial. Masyarakat Indonesia Sadar Sejarah. Semarang.

Rosset P.M. 2003. Food Sovereignty: Global Rallying Cry of Farmer Movements. Backgrounder Food First Volume 9 No. 4.

Rosset P.M. 1999. The Multiple Functions and Benefits of Small Farm Agriculture in The Context of Global Trade Negotiations. Policy Brief Food First, September.

Simatupang P. 2012. Meningkatkan Daya Saing Ubikayu, Kedelai dan Kacang Tanah untuk Meningkatkan Pendapatan Petani, Ketahanan Pangan, Nilai Tambah dan Penerimaan Devisa. Dalam Prosiding Seminar Hasil Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi 2012. Balikabi. Malang.

South Center. 2005. Toward a People-centered Agriculture Trade. The South Bulletin, No. 100 (30), March.

Subagyo A. 2009. Mencari Ikon Pergerakan Nasionalisme Pangan Indonesia, PANGAN No 56/XVIII/Oktober–Desember: 59–66. Bulog. Jakarta.

Suhardi et al. 2002. Hutan dan Kebun Sebagai Sumber Pangan Nasional. Kanisius. Yogyakarta.

Surono S. 2001. Perkembangan Produksi dan Kebutuhan Impor Beras Serta Kebijakan Pemerintah untuk Melindungi Petani. Dalam Achmad Suryana dan Sudi Mardianto, Bunga Rampai Ekonomi Beras. LPEM Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Jakarta.

Wahono F. (Ed.). 2002. Hak-Hak Asasi Petani dan Proses Perumusannya. Cindelaras Pustaka Rakyat Cerdas. Yogyakarta.

Widianarko B. et. al. 2003. Menuai Polong: Sebuah Pengalaman Advokasi Keragaman Hayati. Grasindo. Jakarta.