Upload
anthony-widjaja
View
286
Download
3
Embed Size (px)
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
Saat ini, tanggung jawab perusahaan terhadap stakeholders menjadi topik yang sangat
menarik dan semakin banyak dibahas di dunia maupun Indonesia, baik di mass media,
seminar ataupun konferensi. Hal ini berkaitan dengan adanya kesadaran suatu perusahaan
atau institusi untuk tidak hanya menghasilkan laba setinggi-tingginya, tetapi juga bagaimana
laba tersebut dapat memberikan manfaat kepada masyarakat untuk meningkatkan kehidupan
mereka menjadi lebih baik, Fenomena perubahan pada tingkat kesadaran masyarakat inilah
yang memunculkan kesadararan baru tentang pentingnya melaksanakan apa yang dikenal
sebagai Corporate Social Responsibility (CSR).
Kemunculan model sosial ekonomi mendorong perusahaan-perusahaan untuk menerima
suatu tanggung jawab sosial selain memaksimalkan nilai shareholder (Caroll, 1979; Freeman,
1984). Bowen (1953) dalam Moneva (2007) menyatakan bahwa konsep CSR saat ini telah
tumbuh secara eksponen, yang mana didorong oleh suatu pengembangan lingkungan yang
kompleks dan terus-menerus. Globalisasi, bencana alam dan perubahan industri skala besar
telah menimbulkan perhatian baru dan harapan antar warga negara, konsumen, aparat
pemerintah, dan investor atas dampak dari aktivitas ekonomi pada pembangunan
berkelanjutan (sustainable development) (WCED, 1987).
Menurut Darwin (2004) dalam Anggraini (2006) CSR merupakan mekanisme bagi suatu
organisasi untuk secara sukarela mengintegrasikan perhatian terhadap lingkungan dan sosial
ke dalam operasinya dan interaksinya dengan stakeholders, yang melebihi tanggung jawab
organisasi di bidang hukum. Selain itu, perusahaan juga dapat memperoleh legitimasi dengan
memperlihatkan tanggung jawab sosial melalui pengungkapan CSR dalam media termasuk
dalam laporan tahunan perusahaan (Oliver, 1991; Haniffa dan Coke, 2005; Ani, 2007 dalam
Machmud dan Djakman, 2008). Hal yang sama juga dinyatakan oleh Sayekti dan Wondabio
(2007) menyatakan bahwa dengan menerapkan CSR, diharapkan perusahaan akan
memperoleh legitimasi sosial dan memaksimalkan kekuatan keuangannya dalam jangka
panjang. Hal ini mengindikasikan bahwa perusahaan yang menerapkan CSR mengharapkan
akan direspon positif oleh para pelaku pasar, sehingga dampak dari CSR ini berpengaruh
terhadap laba perusahaan.
Penerapan CSR oleh suatu perusahaan merupakan bentuk komitmen perusahaan
berperilaku etis dan berkontribusi terhadap pembangunan ekonomi berkelanjutan dengan
tetap mengedepankan peningkatan kualitas hidup karyawan beserta keluarganya, komunitas
lokal dan masyarakat luas yang nantinya akan diaplikasikan melalui strategi perusahaan,
apakah berorientasi stakeholders atau berorientasi shareholder. Selain itu strategi perusahaan
dalam mencapai tujuan bisnis tidak hanya pada tenaga kerja tetapi secara umum tujuan dari
bisnis adalah menyediakan produk berupa barang atau jasa untuk memenuhi kebutuhan
konsumen serta memperoleh keuntungan dari aktivitas yang dilakukan. Tujuan dari bisnis
merupakan hasil akhir yang ingin dicapai oleh para pelaku bisnis dari usaha yang mereka
lakukan dan merupakan cerminan dari berbagai hasil yang diharapkan bisa dilakukan oleh
bagian-bagian organisasi perusahaan yang akan menentukan kinerja perusahaan dalam jangka
waktu yang panjang.
BAB II
ISI
A. Perlindungan Konsumen
1. Konsep Awal Perlindungan Konsumen
Secara historis mengenai hak-hak dasar konsumen pertama kali dikemukakan oleh Presiden
Amerika Serikat John F. Kennedy “Presiden yang pertama kali mengangkat martabat konsumen”
saat menyampaikan pidato revolusioner di depan kongres (US Congress) pada tanggal 15 Maret
1962 tentang hak konsumen, yang diberi judul A Special Massage of Protection the Consumer
Interest. dalam masyarakat internasional lebih dikenal dengan "Declaration of Consumer Right".
Presiden John F. Kennedy menyebut empat hak dasar konsumen atau the four consumer
basic rights, yaitu;
1. Hak untuk mendapat/memperoleh keamanan (the right to safety). Konsumen memiliki hak
untuk memperoleh perlindungan atas keamanan produk dan jasa. Misalnya, makanan dan
minuman yang dikonsumsi harus aman bagi kesehatan konsumen dan masyarakat umumnya.
Produk makanan yang aman berarti produk tersebut memiliki standar kesehatan, gizi dan
sanitasi serta tidak mengandung unsur yang dapat membayakan manusia baik dalam jangka
pendek maupun panjang. Di AS hak ini merupakan hak pertama dan tertua serta paling tidak
kontroversial karena hak ini didukung dan disetujui oleh kalangan bisnis dan konsumen atau
yang dikenal sebagai pemangku kepentingan (stake holders).
2. Hak untuk memilih (the right to choose). Konsumen memiliki hak untuk mengakses dan
memilih produk/jasa pada tingkat harga yang wajar. Konsumen tidak boleh ditekan atau
dipaksa untuk melakukan pilihan tertentu yang akan merugikan dirinya. Jenis pasar yang
dihadapi konsumen akan menentukan apakah konsumen bebas memilih atau tidak suka
membeli produk atau jasa tertentu. Namun, dalam struktur pasar monopoli, konsumen dan
masyarakat umum digiring berada dalam posisi yang lemah dengan resiko mengalami
kerugian bila tidak memilih atau membeli produk dan jasa dari kaum monopolis.
3. Hak untuk memperoleh informasi (the right to be informed). Konsumen dan masyarakat
memiliki hak untuk memperoleh informasi yang sejelas jelasnya tentang suatu produk/jasa
yang dibeli atau dikonsumsi. Informasi ini diperlukan konsumen atau masyarakat, agar saat
memutuskan membeli tidak terjebak dalam kondisi resiko yang buruk yang mungkin timbul.
Artinya, konsumen memiliki hak untuk mengetahui ciri/atribut negatif dari suatu produk,
misalnya efek samping dari mengkonsumsi suatu produk, dan adanya peringatan dalam
label/kemasan produk.
4. Hak untuk didengarkan (right to be heard). Konsumen memiliki hak untuk didegarkan
kebutuhan dan klaim, karena hak ini terkait dengan hak untuk memperoleh informasi.
Walaupun perlindungan konsumen sudah diatur oleh UUPK. Namun, masih ada saja pelaku
pe-bisnis manufaktur, distribusi, dunia perbankan dan jasa lainnya acap kali tidak
berorientasi pada konsumen dan atau membiarkan bawahan atau cabang atau penyalur
mencari lubang ketidaktahuan konsumen tentang hak hak konsumen yang sengaja ditutupi
tutupi demi memperoleh laba.
Kemudian muncul beberapa hak konsumen selain itu, yaitu hak ganti rugi, hak pendidikan
konsumen, hak atas pemenuhan kebutuhan dasar dan hak atas lingkungan yang sehat.
Selanjutnya, keempat hak tersebut merupakan bagian dari Deklarasi Hak-hak Asasi Manusia yang
dicanangkan PBB pada tanggal 10 Desember 1948, masing-masing pada pasal 3, 8, 19, 21 dan
pasal 26, yang oleh Organisasi Konsumen Sedunia (International Organization of Consumers
Union- IOCU) ditambahkan empat hak dasar konsumen lainnya, hak untuk memperoleh
kebutuhan hidup, hak untuk memperoleh ganti rugi, hak untuk memperoleh pendidikan
konsumen, hak untuk memperoleh lingkungan hidup yang bersih dan sehat. Masyarakat
Ekonomin Eropa (Europese Ekonomische Gemeenschap atau EEG) juga menyepakati lima hak
dasar konsumen, yaitu ; hak perlindungan kesehatan dan keamanan (recht op bescherming van
zijn gezendheid en veiligheid), hak perlindungan kepentingan ekonomi (recht op bescherming van
zijn economische belangen), hak mendapat ganti rugi (recht op schadevergoeding), hak atas
penerangan (recht op voorlichting en vorming), hak untuk didengar (recht om te worden gehord).
Dua dekade kemudian setelah Kennedy menyampaikan pidato, pada tanggal 15 Maret 1983, maka
Hari Hak Konsumen dirayakan untuk pertama kali, dan setelah perjalanan panjang gerakan
konsumen sejak pidatonya, hak konsumen akhirnya diterima secara prinsip oleh pemerintah
seluruh dunia dalam Sidang Majelis Umum PBB (UN General Assembly) tanggal 9 April 1985.
Pengakuan hak konsumen dilakukan melalui adopsi UN guidelines for Consumers Protection.
Lobi yang konsisten oleh kelompok konsumen berdasarkan guidelines tersebut merupakan
kesinambungan untuk meningkatkan dan memperkuat perlindungan hukum bagi kelanjutan
gerakan konsumen di dunia; baik di negara berkembang maupun di Negara maju. Usai Presiden
Amerika Serikat John F. Kennedy sesudah itu, L.B. Johnson, menambahkan perlu dikembangkan
konsep product warranty and product liability.
Seiring dengan perkembangan zaman, seluruh aktivitas konsumen sangat perlu
diperhatikan. Perhatiannya diwujudkan dalam bentuk perlindungan, yaitu :
1. Perlindungan atas kerahasiaan konsumen ( consumer privacy ). Menurut Alboukrek
(2003), mengetahui informasi personal bukan merupakan hal baru. Dan konsumen
umumnya tidak mengetahui apakah data mereka tersebar atau tidak. Sehingga yang
perlu dipahami lebih mendalam ialah bagaimana seluruh data konsumen dapat
digunakan sesuai regulasinya. Hane (2012) menyatakan bahwa beberapa hak yang
dimiliki oleh konsumen berkaitan dengan consumer privacy ialah :
a. Individual control, bahwa konsumen memiliki hak untuk mengendalikan data
– data pribadi termasuk ketika data tersebut akan digunakan oleh perusahaan.
b. Transparency, bahwa konsumen memiliki hak untuk mudah dalam
menggunakan dan mengakses informasi
c. Respect of context, bahwa konsumen memiliki hak untuk mengetahui bahwa
perusahaan akan mengambil, menggunakan dan mengungkapkan informasi
konsumen sesuai dengan yang telah dijanjikan di awal kesepakatan.
d. Secure, bahwa konsumen memiliki hak untuk mendapatkan keamanan atas
data informasi mereka.
e. Access and accuracy, bahwa konsumen memiliki hak untuk mengakses dan
mengubah data dengan format yang ada bilamana konsumen merasa hal
tersebut perlu untuk dilakukan.
f. Focused collection, bahwa konsumen memiliki hak untuk membatasi data
personal yang akan dibagikan dan dijaga oleh perusahaan.
g. Accountability, bahwa konsumen memiliki hak agar data mereka dijaga
dengan cara yang benar sesuai dengan Undang – Undang Hak Perlindungan
Konsumen.
2. Perlindungan atas dampak produk terhadap konsumen ( product liability ). Product
liability dialamatkan pada penjual dan pabrik yang mengeluarkan produk tersebut
Menurut Vargo (1995) product liability mendasarkan pada dua prinsip hukum yaitu
kealpaan / negligence dan adanya ketegasan sebuah kewajiban / strict liability.
Kealpaan / negligence secara sederhana diartikan perilaku yang tidak masuk akal
sehingga dengan ada prinsip ini produsen harus berkewajiban untuk membayar
kerusakan yang terjadi. Strict liability tidak melihat apakah produk tersebut masuk
akal atau tidak namun hanya melihat kecacatan sebuah produk. Untuk melihat adanya
strict liability maka konsumen harus membuktikan tiga elemen yaitu,
a. Causation, yaitu penyebab yang harus dibuktikan oleh konsumen
b. Damage, yaitu kerusakan yang harus dibuktikan oleh konsumen
c. Defect, yaitu kecacatan yang harus dibuktikan oleh konsumen.
Untuk menentukan adanya defect maka beberapa elemen yang harus di analisa yaitu,
a. The product unsefulness, yaitu nilai guna dari produk tersebut. Produk
dinyatakan memiliki defect bila nilai guna dari produk tersebut tidak ada.
b. The availability of safer product to meet the same need, yaitu ketersediaan
keamanan dari produk yang ditawarkan. Produk dinyatakan defect bila ketiadaan
fungsi keamanan.
c. The likelihood and probable seriousness of injury, yaitu adanya kemungkinan
terjadinya cedera dari produk yang ditawarkan. Produk dinyatakan defect bila
adanya kemungkinan akan menimbulkan cedera bagi penggunannya.
d. The obviousness of the danger, yaitu adanya bahaya nyata dari produk yang
ditawarkan.
e. The public expectation of the danger, yaitu adanya kemungkinan dari pemikiran
konsumen terhadap bahaya yang akan terjadi di produk yang ditawarkan.
Bentuk nyata dari perlindungan ini antara lain :
Code of conduct yang diberikan oleh perusahaan terhadap ketidaknyamanan yang
diterima konsumen.
Penarikan produk baik secara sukarela maupun atas adanya perjanjian. Termasuk dalam
penarikan produk bila kesalahan atas produk diketahui oleh produsen sendiri. Menurut
Welling (1991), penarikan produk / recall pasti berhubungan dengan biaya produksi.
Membentuk layanan keluhan pelanggan
Memiliki sertifikat kualitas seperti ISO, SNI ( Standar Nasional Indonesia ).
Membentuk lembaga arbitrase / mediator antara konsumen dan produsen
Jaminan / warranty atas kerusakan produk
Sedangkan perlindungan yang diberikan oleh pemerintah kepada konsumen yaitu :
1. Perlindungan atas hak konsumen dengan membentuk badan khusus di legislatif
2. Perlindungan adanya bahan berbahaya dalam produk. Bentuk nyata dari perlindungan
ini antara lain :
a. Mewajibkan semua produk untuk lolos dari BP-POM
b. Melakukan razia atas produk – produk kadaluwarsa
3. Perlindungan terhadap harga yang harus dibeli oleh konsumen. Bentuk nyata dari
perlindungan ini antara lain :
a. Menetapkan HET ( Harga Eceran Tertinggi ) untuk produk yang berkaitan
dengan konsumsi utama konsumen.
b. Menetapkan harga tiket tertinggi ketika musim libur panjang
2. Teori Hubungan Produsen dan Konsumen
Secara keseluruhan tidak terlihat bahwa kekuatan-kekuatan pasar mampu menghadapi
semua pertimbangan konsumen tentang keamanan, bebas risiko dan nilai. Kegagalan pasar,
yang ditujukan oleh kurangnya informasi yang dimiliki oleh konsumen yang tidak rasional
ketika memilih, dan pasar terkonsentrasi, berarti menolak argumen yang berusaha
menunjukan bahwa pasar saja sudah mampu memberikan perlindungan yang memadai bagi
konsumen. Jadi konsumen harus dilindungi dengan mengunakan struktur hukum pemerintah
dan juga inisiatif sukarela dari pelaku bisnis yang bertanggungjawab. Menurut Ruggles, et al
(1955) seperti yang dikutip oleh Nurohman (2009), produksi merupakan setiap proses yang
menciptakan nilai atau memperbesar nilai suatu barang. Sedangkan konsumsi merupakan
penggunaan barang atau jasa untuk memuaskan kebutuhan. Sehingga kemitraan konsumen
dan produsen merupakan hubungan simbiosis mutualisme, dimana keduanya saling
membutuhkan, dan saling memberikan keuntungan satu sama lainnya. Terdapat tiga
pendekatan mengenai hubungan antara produsen dan konsumen. Pendekatan tersebut ialah :
Pandangan Kontrak Kewajiban Produsen terhadap Konsumen.
Menurut pandangan kontrak tentang tugas usaha bisnis terhadap konsumen, hubungan antara
perusahaan dengan konsumen pada dasarnya merupakan hubungan kontraktual, dan
kewajiban moral perusahaan pada konsumen adalah seperti yang diberikan dalam hubungan
kontraktual. Pandangan ini menyebutkan bahwa saat konsumen membeli sebuah produk,
konsumen secara sukarela menyetujui “ kontrak penjualan” dengan perusahaan. Pihak
perusahaan secara sukarela dan sadar setuju untuk memberikan sebuah produk pada
konsumen dengan karakteristik tertentu, dan konsumen juga dengan sukarela dan sadar setuju
membayar sejumlah uang pada perusahaan untuk produk tersebut. Karena telah sukarela
menyetujui perjanjian tersebut, pihak perusahaan berkewajiban memberikan produk sesuai
dengan karakteristik yang dimaksud. Teori kontrak tentang tugas perusahaan kepada
konsumen didasarkan pada pandangan bahwa kontrak adalah sebuah perjanjian bebas yang
mewajibkan pihak-pihak terkait untuk melaksanakan isi persetujuan. Teori ini memberikan
gambaran bahwa perusahaan memiliki empat kewajiban moral utama: kewajiban dasar untuk
mematuhi isi perjanjian penjualan, dan kewajiban untuk memahami sifat produk ,
menghindari misrepesentasi, dan menghindari penggunaan paksaan atau pengaruh . Dengan
bertindak sesuai kewajiban-kewajiban tersebut,perusahaan berartim menghormati hak
konsumen untuk diperlakukan sebagai individu yang bebas dan sederajat atau dengan kata
lain,sesuai dengan hak mereka untuk memperoleh perlakuan yang mereka setuju untuk
dikenakan pada mereka. (Velazquez,2005: 321-323). Meskipun demikian, teori kontraktual
mempunyai kelemahan diantaranya. Pertama, teori ini secara tidak realistis mengasumsikan
bahwa perusahaan melakukan perjanjian secara langsung dengan konsumen. Kedua, teori ini
difokuskan pada fakta bahwa sebuah kontrak sama dengan bermata dua. Jika konsumen
dengan sukarela setuju untuk membeli sebuah produk dengan kualitas- kualitas tertentu ,
maka dia bisa setuju untuk membeli sebuah produk tanpa kualitas-kualitas tersebut. Atau
dengan kata lain, kebebasan kontrak memungkinkan perusahaan dibebaskan dari kewajiban
kontrak dengan secara eksplisit menyangkal bahwa produk yang dijual bisa diandalkan,bisa
diperbaiki, aman dan sebagainya.
Jadi, teori kontrak ini mengimplikasikan bahwa jika konsumen memiliki banyak kesempatan
untuk memeriksa produk, beserta pernyataan penolakan jaminan dan dengan sukarela
menyetujuinya, maka diasumsikan bertanggungjawab atas cacat atau kerusakan yang
disebutkan dalam pernyataan penolakan, serta semua karusakan yang mungkin terlewati saat
memeriksanya. Ketiga, asumsi penjual dan pembeli adalah sama dalam perjanjian penjualan.
Kedua belah pihak harus mengetahui apa yang mereka lakukan dan tidak ada yang memaksa .
Kenyataanya, pembeli dan penjual tidak sejajar/ setara seperti yang diasumsikan .Seorang
konsumen yang harus membeli ratusan jenis komoditas tidak bisa berharap mengetahui segala
sesuatu tentang semua produk tersebut seperti produsen yang khusus memproduksi produk.
Konsumen tidak memiliki keahlian ataupun waktu untuk memperoleh dan memproses
informasi untuk dipakai sebagai dasar membuat keputusan.Kelemahan teori ini adalah adanya
asumsi bila terdapat keterbukaan informasi yang sama bagi pembeli dan penjual. Artinya
adanya asumsi konsumen mengetahui dengan pasti informasi apa saja yang melekat dalam
produk tersebut termasuk kerentanan produk tersebut.
Teori Due Care.
Mendasarkan diri pada asumsi pembeli dan konsumen adalah tidak sejajar, bahwa
kepentingan-kepentingan konsumen sangat rentan mengingat perusahaan memiliki
pengetahuan dan keahlian yang tidak dimiliki oleh konsumen. Produsen yang lebih tahu
untuk desain tangki bensin harus dimana agar tidak terbakar ketika tabrakan, komponen mana
yang tidak tahan panas sehingga membahayakan, atau berapa kekuatan ban yang baik
sehingga tidak aman untuk digunakan. Produsen yang tahu bahan jenis apa yang dicampurkan
sebagai pengawet dengan jumlah berapa banyak yang masih aman untuk konsumsi manusia.
Pembeli kebanyakan tidak tahu. Di sini yang berlaku adalah caveat vendor: biarkan penjual
yang harus berhati-hati. Saat ini terlalu banyak produk yang canggih, dimana sebagai
konsumen kita tidak tahu carakerjanya, menggunakan bahan apa, berbahaya atau tidak dan
sebagainya. Menurut pandangan due care, produsen tidak hanya berkewajiban untuk
memberikan produk yang sesuai dengan klaim yang dibuatnya (seperti teori kontrak) tetapi
juga wajib memperhatikan dampak produk, mencegah, mengambil langkah-langkah yang
diperlukan untuk memastikan produk mereka aman dan konsumen punya hak untuk
memperoleh jaminan ini walau secara eksplisit mereka sudah melakukan tanda tangan
kontrak dan tidak menyebutkan hal ini atau sebaliknya.
Menurut teori ini, seorang produsen tidak bisa dikatakan lalai secara moral jika kerugian yang
terjadi tidak bisa diperkirakan sebelumnya. Contoh, pemakai mobil yang ceroboh sehingga
mengakibatkan kecelakaan pada dirinya, tidak tercakup dalam tanggung jawab produsen
tentunya. Akan tetapi ketika desain mobil tidak memperhitungkan perangkat pengaman,
bahan ban yang mudah meledak di tengah jalan termasuk dalam lingkup tanggung jawab
produsen.
Tugas untuk meberikan perhatian.
Menurut teori “due core (memberi perhatian), perusahaan dikatakan memberikan
perhatian yang memadai jika mereka melakukan langka-langka untuk mencegah
pengaruh-pengaruh merugikan yang dapat diperkirakan terjadi akibat pengunaan produk
mereka oleh konsumen,setelah melakukan pengamatan atas cara bagaimana produk
tersebut digunakan untuk dan setelah mengatisipasi semua kemungkinan kesalahan
penggunaannya.
Kelemahan Teori “due core”
Hambatan utama teori “due core” adalah tidak ada metode yang menjelaskan untuk
menentukan kapan seorang atau produsen telah memberikan perhatian yang memadai.
Dengan kata lain tidak ada peraturan yang tepat guna menentukan sejauh mana sebuah
perusahaan perlu memberikan jaminan keamanan atas produknya.
Teori social cost , perusahaan wajib menanggung semua kerugian termasuk kerugian yang
secara tidak langsung diderita bukan oleh konsumen. Sebuah pabrik memproduksi suatu
produk, dan selain produk, yaitu pencemaran atau polusi, maka sebenarnya biaya polusi itu
ada. Namun seringkali perusahaan tidak menanggung biaya ini. Konsumen yang membeli
produk dari perusahaan tersebut juga tidak menanggung social cost ini karena perusahaan
tidak membebankan biaya tersebut dalam proses produksi. Akibatnya rumah yang dekat
daerah polusi yang akan terkena dampaknya. Dalam hal ini, etika melihat terjadi
ketidakadilan. Maka dalam kasus ini, teori keadilan menyatakan bahwa biaya pengendalian
polusi harus ditanggung oleh pihak yang menyebabkan polusi dan yang memperoleh
keuntungan darinya yakni produsen dan konsumen, sementara keuntungan pengendalian
polusi wajib diberikan kepada pihak yang selama ini menanggung social cost dalam hal ini
orang-orang miskin tersebut.
Kelemahan teori ini ialah dengan adanya bentuk tanggung jawab yang lebih besar kepada
produsen, akan menyebabkan kenaikan harga yang berdampak merugikan konsumen.Selain
itu bila seluruh biaya kelalaian di tanggung oleh produsen, maka konsumen akan berlaku
ceroboh karena merasa tidak memiliki beban tanggung jawab.
3. UU No. 8 Tahun 1999 (UUPK) Instrumen Hukum Bagi Perlindungan Konsumen di
Indonesia
Pembangunan perekonomian nasional pada era globalisasi harus dapat mendukung
tumbuhnya dunia usaha sehingga mampu menghasilkan beraneka produk yang memiliki
kandungan teknologi yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat banyak dan
sekaligus mendapatkan kepastian atas produk yang diperoleh dari perdagangan tanpa
mengakibatkan kerugian konsumen. Dengan semakin terbukanya pasar nasional sebagai
akibat dari proses globalisasi ekonomi juga tetap harus menjamin peningkatan kesejahteraan
masyarakat serta kepastian atas mutu, jumlah, dan keamanan produk maupun jasa yang
diperolehnya dipasar. Untuk itu diperlukan perangkat peraturan perundang-undangan untuk
mewujudkan keseimbangan perlindungan kepentingan konsumen dan pelaku usaha sehingga
tercipta perekonomian yang sehat. Maka pada tanggal 20
April 1999 dibentuk Undang-undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan
Konsumen ; yang terdiri dari 15 Bab dan 65 Pasal. Esensi dari diundangkannya UU No. 8
Tahun 1999 (UUPK) Tentang Perlindungan Konsumen ini adalah untuk mengatur prilaku
pelaku usaha dengan tujuan agar konsumen dapat terlindung secara hukum. Hal ini berarti
bahwa upaya untuk melindungi kepentingan konsumen yang dilakukan melalui perangkat
hukum diharapkan mampu menciptakan norma hokum perlindungan konsumen. Pada sisi lain
diharapkan dapat menumbuh kembangkan sikap usaha yang bertanggung jawab, serta
peningkatkan harkat dan martabat konsumen. Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 dalam
upaya memberikan perlindungan kepada konsumen menetapkan enam pokok materi yang
menjadi muatan UU yaitu mengenai larangan-larangan, tanggungjawab produsen, tanggung
gugat produk, perjanjian atau klausula baku, penyelesaian sengketa dan tentang ketentuan
pidana. Dalam UU No. 8 Tahun 1999 pasal 1 butir (2) dijelaskan bahwa konsumen adalah ;
“Setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi
kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk
diperdagangkan”.
Subyek yang disebut sebagai konsumen berarti setiap orang yang berstatus sebagai
pemakai barang dan/atau jasa. Sesuai bunyi penjelasan Pasal 1 butir (2) UU No. 8 Tahun
1999 kata pemakai menekankan konsumen adalah konsumen akhir (ultimade consumer). UU
No. 8 Tahun 1999 dalam penjelasannya mengenai konsumen menegaskan bahwa didalam
kepustakaan ekonomi dikenal istilah konsumen akhir dan konsumen antara. Konsumen akhir
adalah pengguna atau pemanfaat akhir suatu produk, sedangkan konsumen antara adalah
konsumen yang menggunakan suatu produk sebagai bagian dari proses produksi suatu produk
lainnya. Pengertian konsumen dalam Undang-Undang ini adalah konsumen akhir. Hal ini pun
diperkuat oleh pendapat Nasution yang mengatakan bahwa ; “Konsumen akhir yaitu setiap
orang yang mendapatkan barang atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, digunakan untuk
memenuhi kebutuhan hidup pribadi, keluarga atau rumah tangganya, dan tidak untuk
keperluan komersil.” Adapun menurut Shidarta istilah pemakai sebagaimana yang dijelaskan
oleh Pasal 1 butir (2) UUPK adalah menekankan bahwa, konsumen adalah konsumen akhir
(ultimate consumer). Istilah pemakai dalam hal ini tepat digunakan dalam rumusan ketentuan
tersebut, sekaligus menunjukkan, barang dan/atau jasa yang dipakai tidak serta merta hasil
transaksi jual beli. Artinya sebagai konsumen tidak selalu harus memberikan prestasinya
dengan cara membayar uang untuk memperoleh barang dan/atau jasa itu. Dengan kata lain,
dasar hubungan hukum antara konsumen dan pelaku usaha tidak harus kontraktual (the
privitiy of contract). Berdasarkan dari definisi konsumen dan penjelasan tentang konsumen
akhir, maka secara garis besar ada beberapa poin utama yang dapat dirangkum mengenai
konsumen, yaitu;
Pertama, konsumen adalah setiap orang yang berstatus sebagai pemakai barang dan/
atau jasa yang tersedia di dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga,
orang lain maupun makhluk hidup lain. Kedua, barang dan/jasa diperoleh melalui mekanisme
pemberian prestasi dengan cara membayar uang, namun dapat juga barang dan/atau jasa
diperoleh tidak melalui mekanisme pemberian prestasi dengan cara membayar uang.
Mekanisme seperti ini dikenal dengan istilah the privitiy of contract. Sebagai contoh
seseorang memperoleh parsel pada hari lebaran, isi paketnya adalah makanan dan minuman
kaleng yang dibeli oleh si pengirim dari pasar swalayan, namun konsumen akhir dari
makanan dan minuman itu adalah si penerima parsel dengan tanpa harus mengeluarkan
sejumlah uang. Ketiga, barang dan/atau jasa yang telah diperoleh tidak untuk diperdagangkan
kembali. Jika terjadi pelanggaran terhadap hak-hak konsumen oleh pelaku usaha, maka pihak
konsumen dapat mengadukannya kepada lembaga yang berwenang, seperti tercantum dalam
Undang UU No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen pasal 45 ayat (1) ;
“Setiap konsumen yang dirugikan bisa menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang
bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui peradilan
yang berada dilingkungan peradilan umum”
Konsumen bisa meminta bantuan Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya
Masyarakat (LPKSM) terlebih dahulu untuk meminta bantuan hukum atau bisa langsung
menyelesaikan masalahnya ke Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK). Konsumen
juga bias mendatangi sub Direktorat Pelayanan Pengaduan di Direktorat Perlindungan
Konsumen, Departemen Perdagangan. Disini setelah dilakukan proses konfirmasi, pejabat
yang bersangkutan akan melakukan analisis terhadap masalah yang diadukan, kemudian
diadakan klarifikasi kepada konsumen dengan cara meminta bukti-bukti dan kronologi
kejadian. Baru kemudian dilakukan proses klarifikasi terhadap pelaku usaha. Seandainya
pelaku usaha menyanggah tuduhan dan tidak ada titik kejelasan, akan dilakukan beberapa
langkah seperti mediasi atau konsiliasi. Kemudian pada Pasal 45 ayat (2); Seandainya kedua
media diatas belum menghasilkan suatu keputusan, penyelesaian sengketa dapat dilakukan
dengan ;
1. Pelimpahan kepada Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK).
2. Melakukan jalur yuridis (pengadilan) secara formil.
Direktorat Perlindungan Konsumen merupakan unit operasional dibawah Direktorat
Jenderal Perdagangan Dalam Negeri, Departemen Perdagangan RI. Fungsi dan peran
direktorat ini sangat terkait dengan penanganan isu-isu konsumen yang melekat dengan
pembangunan sector perdagangan. Pelaksanaan pembinaan atas penyelenggaraan
perlindungan konsumen sesuai Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen yang berada pada Menteri Perdagangan secara hierarki (struktural dan fungsinya)
dilimpahkan kepada Direktorat Jenderal Perdagangan Dalam Negeri, yang kemudian
dilaksanakan oleh Direktorat Perlindungan Konsumen. Sesuai dengan tugas pokok, fungsi
dan perannya yang mengacu pada Keputusan Menteri Perdagangan No.01/MDag/Per/3/2005,
upaya tersebut terkait dengan perumusan kebijakan, standar, norma, kriteria dan prosedur,
bimbingan teknis, serta evaluasi pelaksanaan di bidang kerjasama, informasi dan publikasi
perlindungan konsumen, analisis penyelenggaraan perlindungan konsumen, bimbingan
konsumen dan pelaku usaha, pelayanan pengaduan serta fasilitasi kelembagaan perlindungan
konsumen. Dalam upaya pengembangan perlindungan konsumen, sebagaimana diamanatkan
oleh Undang-undang No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dan Peraturan
Pemerintah No. 57 Tahun 2001 tentang Badan Perlindungan Konsumen Nasional maka
dibentuklah Badan Perlindungan Konsumen Nasional. Namun demikian, operasional lembaga
ini baru terlaksana pada 5 Oktober 2004, sesuai Keppres Nomor 150 Tahun 2004. BPKN
yang dibentuk Pemerintah merupakan lembaga independen yang berfungsi memberikan saran
dan pertimbangan kepada Pemerintah dalam upaya mengembangkan perlindungan konsumen
di Indonesia. Aktivitas BPKN yang menonjol saat ini adalah penyusunan grand scenario
kebijakan perlindungan untuk memastikan kecenderungan dan prioritas penanganan
perlindungan konsumen yang efektif di masa datang, serta peningkatan dan perumusan
amandemen Undang-undang Perlindungan Konsumen, sebagai pertimbangan bagi pemerintah
untuk penyempurnaan Undang-undang Perlindungan Konsumen. Tugas dari BKPN adalah
sabagai berikut ;
1. Memberikan saran dan rekomendasi kepada pemerintah dalam rangka penyusunan
kebijaksanaan di bidang perlindungan konsumen,
2. Melakukan penelitian dan pengkajian terhadap peraturan perundangundangan yang
berlaku di bidang perlindungan konsumen,
3. Melakukan penelitian terhadap barang dan/atau jasa yang menyangkut keselamatan
konsumen,
4. Mendorong berkembangnya lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat,
5. Menyebarluaskan informasi melalui media mengenai perlindungan konsumen dan
memasyarakatkan sikap keberpihakan kepada konsumen,
6. Menerima pengaduan tentang perlindungan konsumen dari masyarakat, lembaga
perlindungan konsumen swadaya masyarakat atau pelaku usaha; dan
7. Melakukan survei yang menyangkut kebutuhan konsumen.
LPKSM adalah lembaga swadaya masyarakat yang bergerak dalam bidang perlindungan
konsumen. Pada Pasal 44 ayat (2) UU No. 8 Tahun 1999 disebutkan bahwa LPKSM memiliki
kesempatan untuk berperan aktif dalam mewujudkan perlindungan konsumen.
Tugas LPKSM, adalah :
1. Menyebarkan informasi dalam rangka meningkatkan kesadaran atas hak dan kewajiban
dan kehati-hatian konsumen dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa,
2. Memberikan nasihat kepada konsumen yang memerlukannya,
3. Bekerja sama dengan instansi terkait dalam upaya mewujudkan perlindungan
konsumen,
4. Membantu konsumen dalam memperjuangkan haknya, termasuk menerima keluhan
atau pengaduan konsumen,
5. Melakukan pengawasan bersama pemerintah dan masyarakat terhadap pelaksanaan
perlindungan konsumen.
LPKSM posisinya amat strategis dalam ikut mewujudkan perlindungan konsumen. Saat ini
LPKSM telah berkembang sebanyak kurang lebih 200 lembaga yang tersebar di berbagai
propinsi, kabupaten dan kota. Selain menyuarakan kepentingan konsumen, lembaga ini juga
memiliki hak gugat (legal standing) dalam konteks ligitasi kepentingan konsumen di
Indonesia.
Hak gugat tersebut dapat dilakukan oleh lembaga konsumen (LPKSM) yang telah memenuhi
syarat, yaitu bahwa LPKSM yang dimaksud telah berbentuk Badan Hukum atau Yayasan
yang dalam anggaran dasarnya memuat tujuan perlindungan konsumen. Gugatan oleh
lembaga konsumen hanya dapat diajukan ke Badan Peradilan Umum (Pasal 46 Undang-
Undang Perlindungan Konsumen). Sedangkan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen
(BPSK) adalah institusi non struktural yang memiliki fungsi sebagai “institusi yang
menyelesaikan permasalahan konsumen diluar pengadilan secara murah, cepat dan
sederhana”. Badan ini sangat penting dibutuhkan di daerah dan kota di seluruh Indonesia.
Anggota-anggotanya terdiri dari perwakilan aparatur pemerintah, konsumen dan pelaku
usaha. Tugas-tugas utama BPSK diantaranya ;
1. Menangani permasalahan konsumen melalui mediasi, konsiliasi atau arbitrasi;
2. Konsultasi konsumen dalam hal perlindungan konsumen;
3. Mengontrol penambahan dari bagian-bagian standarisasi;
4. Memberikan sanksi administrasi terhadap pengusaha yang menyalahi aturan;
4. Asas dan Tujuan Perlindungan Konsumen
Perlindungan konsumen adalah salah satu masalah yang cukup mendasar (substansial) dalam
konstelasi pembangunan nasional di sebuah negara, termasuk Indonesia. Hal tersebut
memerlukan satu pengaturan yang sarat dengan perhatian dari berbagai stratifikasi sosial
(lapisan masyarakat), sebagaimana upaya perlindungan konsumen di Indonesia pada dewasa
ini, antara lain hendak meletakkan prinsip konsumen sebagai pemakai, pengguna atau
pemanfaat barang dan/atau jasa yang perlu diberikan perlindungan hukum. Di Amerika
Serikat pengertian konsumen meliputi korban produk yang cacat yang bukan hanya meliputi
pembeli, tetapi juga korban yang bukan pembeli tetapi pemakai, bahkan korban yang bukan
pemakai memperoleh perlindungan yang sama dengan pemakai. Adapun makna dari
Perlindungan Konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk
memberikan perlindungan kepada konsumen. Menurut pasal 3 UU No. 8 Tahun 1999, tujuan
dari Perlindungan ini adalah;
a. Meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi
diri,
b. Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses
negatif pemakaian barang dan/atau jasa,
c. Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan dan menuntut hak-
haknya sebagai konsumen,
d. Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum
dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi,
e. Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan ini sehingga
tumbuh sikap yang jujur dan bertanggungjawab dalam berusaha,
f. Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha
produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan dan keselamatan
konsumen.
Adapun Asas perlindungan konsumen yang tertuang dalam Pasal 2 UU No. 8 Tahun 1999
adalah;
a. Asas Manfaat; mengamanatkan bahwa segala upaya dalam penyelenggaraan
perlindungan ini harus memberikan manfaat sebesarbesarnya bagi kepentingan
konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan,
b. Asas Keadilan; partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan secara maksimal dan
memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya
dan melaksanakan kewajibannya secara adil,
c. Asas Keseimbangan; memberikan keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku
usaha, dan pemerintah dalam arti materiil ataupun spiritual,
d. Asas Keamanan dan Keselamatan Konsumen; memberikan jaminan atas keamanan dan
keselamatan kepada konsumen dalarn penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang
dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan;
e. Asas Kepastian Hukum; baik pelaku usaha maupun konsumen mentaati hukum dan
memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta Negara
menjamin kepastian hukum.
Faktor utama yang menjadi kelemahan konsumen menurut Gunawan Wijaya adalah tingkat
kesadaran akan haknya memang masih sangat rendah. Hal ini terkait dengan faktor rendahnya
pendidikan konsumen. Oleh karena itu Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang
Perlindungan Konsumen dimaksudkan dapat menjadi landasan hukum yang kuat bagi
pemerintah dan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat untuk melakukan
upaya pemberdayaan konsumen melalui pembinaan dan pendidikan konsumen. Upaya
pemberdayaan ini penting karena tidak mudah mengharapkan kesadaran pelaku usaha.
Berdasarkan kondisi yang dipaparkan di atas, untuk sampai kepada hakikat dari perlindungan
konsumen yang ideal, tidak saja memerlukan upaya pemberdayaan konsumen melalui
pembentukan undang-undang yang dapat melindungi kepentingan konsumen secara integratif
dan komprehensif, tetapi perlu juga tentang peraturan pelaksanaan, pembinaan aparat, pranata
dan perangkat-perangkat yudikatif, administratif dan edukatif serta sarana dan prasarana
lainnya, agar nantinya undang-undang tersebut dapat diterapkan secara efektif dimasyarakat.
5. Hak dan Kewajiban Konsumen
Dalam UU No.8 Tahun 1999 Hak Konsumen diatur didalam Pasal 4, yakni ;
a. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau
jasa.
b. Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut
sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan.
c. Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang
dan/atau jasa.
d. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan.
e. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa
perlindungan konsumen secara patut.
f. Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen.
g. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif.
h. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi, dan/atau penggantian, apabila barang
dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya.
i. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan perundang-undangan lainnya.
Hak tersebut diatas pada intinya adalah untuk meraih kenyamanan, keamanan, dan keselamatan
konsumen. Sebab masalah tersebut merupakan hal yang paling utama dalam perlindungan
konsumen. Barang dan/atau jasa yang penggunaannya tidak memberikan kenyamanan, tidak
aman atau membahayakan keselamatan konsumen jelas tidak layak untuk diedarkan dalam
masyarakat. Juga untuk menjamin bahwa suatu barang dan/atau jasa yang dikehendakinya
berdasarkan atas keterbukaan informasi yang benar, jelas, dan jujur. Jika terdapat penyimpangan
yang merugikan, konsumen berhak untuk di dengar, memperoleh advokasi, pembinaan, perlakuan
yang adil, kompensasi sampai ganti rugi.
Sedang kewajiban konsumen diatur dalam pasal 5 UUPK yaitu ;
a. Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian;
b. Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa;
c. Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;
d. Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa konsumen secara patut;
6. Tanggung jawab bisnis terhadap konsumen
Tanggung jawab perusahaan kepada pelanggan jauh lebih luas daripada hanya
menyediakan barang atau jasa. Perusahaan mempunyai tanggung jawab ketika
memproduksi dan menjual produknya, yang akan didiskusikan kemudian.
- Praktik tanggung jawab produksi
Produk sebaiknya dihasilkan dengan cara yang menjamin keselamatan pelanggan.
Produk sebaiknya memiliki label peringatan yang semestinya guna mencegah kecelakaan
yag dapat ditimbulkan dari penggunaan yang salah. Untuk beberapa produk, informasi
mengenai efek samping yang mungkin terjadi perlu disediakan.
- Praktik Tanggung Jawab Penjualan
Perusahaan perlu petunjuk yang membuat karyawan tidak berani menggunakan strategi
penjualan yang terlalu agresif atau advertensi yamg menyesatkan dan juga memakai
survei kepuasan pelanggan untuk meyakinkan bahwa pelanggan diperlakukan dengan
semestinya oleh karyawan bagian penjualan.
- Cara Perusahaan Menjamin Tanggung Jawab Sosial kepada Pelanggan
Perusahaan dapat menjamin tanggung jawab social kepada pelanggannya dengan
beberapa tahap yaitu:
a. Manajemen kualitas
Capecio dan Moorehouse dalam Smith (1999) tersebut menjelaskan bahwa TQM
adalah sebagai proses manajemen dan satuan disiplin yang harus dikoordinir untuk
memastikan bahwa organisasi telah secara konsisten menjalankan program sesuai
dengan yang direncanakan dan telah memenuhi permintaan atau kebutuhan
pelanggan. Dengan demikian menurut Capecio dan Moorehaouse dalam Smith
(1999) TQM merupakan sebuah proses manajemen yang harus dikendalikan dengan
baik guna memenuhi permintaan dan kebutuhan para pelanggan, sehingga para
pelanggan merasa puas dengan organisasi atau perusahaan yang bersangkutan.
Beberapa konsep yang telah diuraikan di atas maka nampak jelas bahwa sebenarnya
Total Quality Management merupakan sebuah proses manajemen yang harus
dikendalikan dan membutuhkan partisipasi seluruh unsur yang ada dalam sebuah
organisasi maupun persahaan. Dengan mengimplementasikan TQM tersebut,
diharapkan mampu meningkatkan kualitas manajemen dan mampu meningkatkan
daya saing perusahaan. Hal itu harus dilakukan oleh para perusahaan guna
menghadapi persaingan diera global seperti saat sekarang ini. Seiring dengan adanya
globalisasi saat ini maka standarisasi manajemen telah menjadi isu utama, diman
yang lebih khusus adalah standarisasi sistem manajemen Kualitas. Untuk itu suatu
perusahaan harus mempersiapkan kerangka sistem manajemen kualitas bagi
perusahaan, guna menuju kearah yang diinginkan sesuai dengan sasaran atau tujuan
akhir yang ditetapkan oleh manajemen perusahaan yang bersangkutan. Hal itu dalam
pengertian bahwa tujuan atau sasaran kualitas perusahaan dapat tercapai sesuai
dengan keinginan yang diharapakan oleh para pelanggan atau investor perusahaan
yang bersangkutan. Salah satu standar manajemen Kualitas bagi negara maju dan
bahkan negara-negara berkembang adalah ISO 9001:2000. standar ini merupakan
sarana atau sebagai alat untuk dapat mencapai tujuan Kualitas dalam menerapakan
Total Quality Control atau yang lebih dikenal dengan Total Quality Management
yang diharapkan mampu mejawab perkembangan globalisasi yang akhirnya menuju
efisiensi dan efektifitas perusahaan yang bersangkutan. Istilah TQM dewasa ini
lazim dan merupakan metode yang biasa digunakan oleh manajer untuk memberikan
bukti pengendalian yang diperlukan untuk memuaskan pelanggan dan kebutuhan
pemegang saham. Elemen yang mendasar dalam manajemen kualitas adalah
pemecahan masalah, yang keberadaannya harus dipahami secara sungguh-sungguh
dan menyeluruh oleh seluruh element yang ada dalam sebuah perusahaan.
Penciptaan produk yang berkualitas pada dasarnya adalah untuk memenuhi
permintaan pelanggan. Penciptaan produk yang berkualitas tersebut dapat menjadi
suatau pekerjaan menyibukkan bagi perusahaan. Penciptaan produk yang berkualitas
tersebut, disamping menyibukan perusahaan juga tidak bisa terlepas dari
meningkatnya biaya produksi yang besar. Namun diyakini bahwa upaya untuk
menciptakan produk yang berkualitas itu dapat memuaskan pelanggan dan dapat
mendatangkan manfaat serta keuntungan yang lebih bagi sebuah perusahaan.
Keuntungan yang secara umum langsung dirasakan perusahaan adalah dengan
meningkatnya pangsa pasar sebagai dampak positif dari kepuasan para pelangga.
Sehingga peningkatan permintaan akan didikuti dengan peningkatan volume dan
efisiensi produksi perusahaan.
b. Ciptakan kode etik. Perusahaan dapat menciptakan kode etik bisnis yang
memberikan serangkaian petunjuk untuk kualitas produk, sekaligus sebagai petujuk
bagaimana karyawan, pelanggan, dan pemilik seharusnya dipelihara.
c. Pantaulah semua keluhan. Perusahaan harus yakin bahwa pelanggan mempunyai
telephone yang dapat mereka hubungi apabila mereka mempunyai keluhan mengenai
kualitas produk atau bagaimana mereka diperlakukan oleh para karyawan.
Perusahaan dapat berusaha mencari sumber keluhan dan harus dapat menyakinkan
bahwa problem tersebut tidak timbul lagi.
d. Umpan balik pelanggan. Perusahaan dapat meminta pelanggan untuk memberikan
umpan balik atas barang atau jasa yang mereka beli akhir-akhir ini, walaupun
pelanggan tidak menghubungi untuk memberikan keluhan. Proses ini dapat
mendeteksi beberapa masalah lain dengan kualitas produk atau cara perlakuan
terhadap pelanggan.
- Cara Konsumerisme Menjamin Tanggung Jawab terhadap Pelanggan.
Tanggung jawab perusahaan terhadap pelanggan didorong tidak hanya oleh perusahaan,
tetapi juga oleh sekelompok konsumen tertentu. Konsumerisme mewakili permintaan
kolektif pelanggan dimana bisnis memenuhi kebutuhan mereka.
7. Prestasi terhadap Konsumen
Konsumen saat ini sudah teredukasi dengan baik mengenai barang dan jasa yang mereka beli, &
lebih waspadakan hak mereka. Perusahaan juga harus mau mendengarkan konsumen&
memberikan reaksi positif sesuai dengan hak-hak mereka.
B. Keanekaragaman Tenaga Kerja
1. Latar Belakang
Keanekaragaman tenaga kerja dapat muncul karena adanya imigrasi dari negara lain,
pertumbuhan penduduk dan pola pergeseran kerja. Kesempatan yang sama di hadapan hukum
dan perubahan harapan sosial telah merubah suatu perusahaan untuk mengelola
keanekaragaman tenaga kerja dengan efektif. Pada beberapa perusahaan telah membuat
langkah besar dalam reformasi kemajuan, seperti : reformasi dalam kebijakan dan praktik
untuk menarik keterampilan dan kontribusi perusahaan yang semakin bervariasi.
Contoh :
MARRIOTT INTERNATIONAL, INC (NYSE: MAR) adalah perusahaan penginapan
terkemuka dengan lebih dari 3.400 properti penginapan di 68 negara dan wilayah. Marriott
International mengoperasikan dan waralaba hotel di bawah Marriott, JW Marriott, The Ritz-
Carlton, Renaisans, Residence Inn, Courtyard, TownePlace Suites, Fairfield Inn, Holiday Inn
dan nama merek Bulgari, mengembangkan dan mengoperasikan resort liburan kepemilikan di
bawah Marriott Vacation Club, The Ritz-Carlton Tujuan Club dan Grand Residences oleh
Marriott merek; lisensi dan mengelola seluruh kepemilikan merek perumahan, termasuk The
Ritz-Carlton Residences, JW Marriott dan Marriott Residences Residences; beroperasi
Marriott Executive Apartments; menyediakan perumahan perusahaan dilengkapi melalui
perusahaan Marriott Execustay divisi, dan mengoperasikan pusat-pusat konferensi.
Perusahaan ini berkantor pusat di Bethesda, Maryland, Amerika Serikat, dan memiliki sekitar
137.000 karyawan di akhir tahun 2009. Hal ini diakui oleh FORTUNE ® sebagai salah satu
perusahaan terbaik untuk bekerja, dan oleh Newsweek sebagai salah satu perusahaan besar
terhijau di Amerika. Pada tahun fiskal 2009, Marriott International melaporkan penjualan dari
operasi yang dilanjutkan sebesar hampir $ 11 miliar.
Marriott International, mempekerjakan 143.000 pekerja di 68 negara, pada karyawan
mereka terdapat 30 bahasa yang berbeda dan terdapat 50 budaya yang berbeda. Banyak
karyawan Marriott di Amerika Serikat adalah imigran. Pada masing-masing karyawan
memiliki kehidupan yang sangat kompleks dan bervariasi. Dalam upaya untuk memenuhi
kebutuhan karyawannya, Marriott International mendirikan program telepon bebas pulsa,
dimana para karyawan dapat melakukan konsultasi mengenai berbagai masalah pribadi sesuai
bahasa yang digunakan oleh masing-masing karyawan di setiap negara. Di Atlanta, Marriott
membangun sebuah pusat perawatan anak. Di Boston, perusahaan mensponsori serangkaian
seminar ayah (fatherhood seminars) untuk memberikan dukungan kepada ayah bekerja.
Marriott mendirikan program-program inovatif untuk membantu dan mempertahankan
karyawan yang berkomitmen dengan latar belakang yang berbeda.
Marriott Corporation dengan keragaman tenaga kerja yang luar biasa pada setiap
dimensi dapat menjadi manfaat besar untuk bisnis, karena memberikan mereka bentuk
pandangan yang lebih luas untuk merekrut bakat, pola pikir, pengalaman, dan kemampuan
untuk mengarahkan perusahaan ke arah yang lebih efektif dengan pelanggan yang beragam
yang tersebar di 68 negara. Namun, hal itu juga menimbulkan tantangan besar, seperti bisnis
harus memenuhi mandat hukum kerja sama dan membantu orang yang sangat berbeda dalam
latar belakang, nilai, harapan untuk dapat bersosialisasi dan berhasil di tempat kerja.
2. Organisasi Multikultur
Globalisasi telah memberikan dampak pada seluruh aspek kehidupan masyarakat, tak
terkecuali juga angkatan kerja. Dengan menghilangnya batas-batas Negara memudahkan
angkatan kerja untuk bekerja di negara mana pun sesuai dengan keahliannya. Akibatnya,
suatu organisasi akan memiliki keragaman (diversitas), baik dari kultur, ras, umur, gender,
skill, maupun pendidikan. Kondisi ini mempengaruhi organisasi, baik pengaruh positif
maupun negatif. Sisi positifnya keragaman angkatan kerja (diversitas) adalah dapat
meningkatkan keefektifan organisasi, akan mempertinggi moral karyawan, memberikan akses
yang lebih besar terhadap segmen-segmen pasar yang baru, dan meningkatkan produktivitas.
Adapun sisi negatifnya adalah akan mempertajam ketegangan antarkaryawan karena
diversitas menimbulkan konflik yang disebabkan oleh perbedaan kultur yang akhirnya akan
mengganggu kinerja organisasi. Untuk mengurangi dampak negatif keragaman angkatan
kerja, maka organisasi harus mengelola diversitas tersebut dengan baik agar memberikan
keunggulan kompetitif bagi organisasi. Caranya adalah dengan menciptakan organisasi
multikultur.
Menurut Cox (1991) organisasi multikultur ditentukan oleh enam dimensi, yakni
akulturasi, integrasi struktural, integrasi formal, bias kultural, identifikasi organisasional, dan
konflik antarkelompok. Dimensi pertama, akulturasi adalah metode untuk memadukan
kelompok dominan dan minoritas agar dapat beradaptasi satu dengan lainnya serta mengatasi
perbedaanperbedaan budaya antarmereka. Kedua, integrasi struktural mengetahui profil atau
keadaan budaya anggota-anggota organisasi, seperti perekrutan dan penempatan kerja.
Ketiga, integrasi formal mengenali hubungan-hubungan penting yang berkaitan dengan
kegiatan yang sering terjadi atau yang dilakukan di luar jam kerja formal. Untuk mengetahui
sejauh mana kelompok minoritas dilibatkan dalam jaringan informal atau di luar jam kerja
formal. Keempat, bias kultural, terdapat dua komponen bias kultural, yakni kecurigaan atau
prasangka terhadap anggota-anggota organisasi yang lain berdasarkan pada identitas budaya,
sedangkan yang kedua adalah adanya diskriminasi terhadap anggota-anggota dari kelompok
minoritas. Kelima, identifikasi organisasional berkaitan dengan perasaan memiliki, kesetiaan,
dan komitmen para anggota terhadap organisasi. Keenam, konflik antarkelompok berkaitan
dengan perselisihan, ketegangan, dan pertentangan antarkelompok budaya yang terdapat
dalam organisasi. Dengan enam dimensi ini ditemukanlah ciri-ciri organisasi multikultur,
yakni sebagai berikut.
a. Pluralisme merupakan proses akulturasi yang terjadi melalui proses pengadopsian
beberapa norma antara anggota kelompok budaya mayoritas dengan minoritas atau
sebaliknya.
b. Integrasi struktural secara penuh, yakni kelompok minoritas terintegrasi secara penuh di
seluruh fungsi, level, dan kelompok-kelompok kerja yang ada dalam suatu organisasi.
c. Integrasi secara penuh ke dalam internal network. Kelompok minoritas terintegrasi dalam
aktivitas-aktivitas sosial dan jaringan-jaringan informal di luar jam kerja normal
organisasi.
d. Tidak adanya prasangka dan diskriminasi, artinya tidak terdapat prasangka dan
diskriminasi yang didasarkan perbedaan di antara anggota organisasi.
e. Tidak ada perbedaan dalam identifikasi organisasional berdasarkan kelompok yang
beridentitas kultural, yaitu adanya rasa ikut memiliki, kesetiaan, dan komitmen terhadap
organisasi yang dimiliki oleh seluruh anggota organisasi.
f. Tingkat konflik antarkelompok rendah, yaitu rendahnya konflik yang terjadi
antarkelompok yang berbeda-beda di dalam organisasi.
Proses globalisasi akan menuntut suatu organisasi agar mampu mengelola keragaman
angkatan kerja untuk meraih keunggulan kompetitif. Selain topik itu, dalam sajian ini juga
diutarakan mengenai keunggulan kompetitif, integrasi sumbersumber keunggulan, tantangan
kompetitif, tantangan memimpin keragaman angkatan kerja, peranan fleksibilitas tempat kerja
dalam mengelola keragaman, dan simpulan.
3. Perubahan dalam Menghadapi Tenaga Kerja
Setiap orang adalah unik, seperti setiap karyawan dalam sebuah organisasi. Individu juga
sama dalam banyak hal, beberapa di antaranya lebih mudah terlihat daripada yang lain.
Keragaman mengacu pada variasi dalam karakteristik manusia yang penting yang
membedakan orang satu sama lain. Dimensi utama dari keanekaragaman usia, etnis, jenis
kelamin, kemampuan mental atau fisik, dan ras. Dimensi sekunder keanekaragaman termasuk
karakteristik seperti gaya komunikasi, status keluarga, dan bahasa pertama. Karakteristik
individu yang berbeda dengan jelas mempengaruhi nilai-nilai, peluang, dan persepsi dirinya
dan orang lain di tempat kerja. Keanekaragaman tenaga kerja di antara karyawan dengan
demikian merupakan tantangan dan kesempatan untuk bisnis.
Pada awal abad ke-21, pertimbangkan tren utama dalam keanekaragaman tenaga kerja yaitu
sebagai berikut :
1. Lebih banyak perempuan bekerja dibandingkan sebelumnya.
Pada tahun 2012, Biro Statistik Tenaga Kerja Amerika Serikat memperkirakan bahwa 47
persen dari seluruh pekerja adalah perempuan, hampir sama dengan bagian mereka dari
populasi. Salah satu efek dari kecenderungan ini adalah bahwa istri dari pria bekerja juga
bekerja untuk mengubah sifat tanggung jawab mereka dalam keluarga.
2. Imigran sangat membentuk ulang atau mempengaruhi tempat kerja.
Antara tahun 2000 hingga 2005, hampir 8 juta imigran memasuki Amerika Serikat-yang
terbesar dalam jangka waktu 5-tahun dalam sejarah bangsa. Negara asal imigran
terkemuka sekarang adalah Meksiko, India, Cina, Filipina, El Salvador, Brasil, dan
Vietnam. Imigran kini mencapai sekitar 15 persen dari total pekerja di Amerika Serikat
yang meningkatkan keanekaragaman bahasa dan budaya di tempat kerja
3. Meningkatnya keanekaragaman etnis dan rasial.
Hispanic (didefinisikan oleh Sensus sebagai orang keturunan Spanyol atau Amerika
Latin), sekarang sekitar 13 persen pekerja berada di Amerika Serikat, diperkirakan akan
menjadi 15 persen pada tahun 2012. Asia diharapkan menjadi segmen yang tumbuh
paling cepat dari angkatan kerja. Proporsi Afrika-Amerika diperkirakan akan terus stabil
sekitar 12 persen. Pada 2012, tenaga kerja Amerika Serikat diproyeksikan menjadi sekitar
35 persen non kulit putih (kategori ini termasuk orang-orang asal Hispanic).
4. Tenaga kerja akan terus bertambah tua.
Pengusaha harus menemukan cara baru untuk mengakomodasi usia pensiun pekerja dan
segera mempersiapkan regenerasi tenaga kerja.
Keanekaragaman tenaga kerja menciptakan banyak isu dan masalah diantara para pekerja.
Pembahasan ini akan mempertimbangkan cara untuk menghadapi perubahan tempat kerja
saat ini, dan implikasinya bagi manajemen. Hukum dan peraturan jelas mengharuskan
perusahaan memberikan kesempatan yang sama dan menghindari diskriminasi dan pelecehan.
Bagaimana memenuhi dan melampaui mandat ini merupakan tantangan yang berkelanjutan
untuk pebisnis yang berusaha menuai keuntungan dari populasi yang terintegrasi dengan baik
dan para pekerja yang memiliki budaya yang beragam. Kita beralih pertama yang dua
dimensi penting dari keanekaragaman di tempat kerja, yaitu : jenis kelamin dan ras.
4. Jenis Kelamin dan Ras di Tempat Kerja
Jenis kelamin dan ras adalah dimensi utama yang terpenting dari keanekaragaman
tenaga kerja. Perempuan dan warna kulit menjadi isu utama jenis kelamin dan ras di tempat
kerja. Namun sifat partisipasi mereka dalam angkatan kerja telah berubah menjadi tantangan
baru untuk bisnis.
Salah satu perubahan yang paling signifikan dalam setengah abad terakhir telah
menjadi tenaga kerja tumbuh kekuatan partisipasi perempuan. Selama periode setelah Perang
Dunia II, proporsi perempuan yang bekerja di luar rumah meningkat secara dramatis. Pada
tahun 1950, sekitar sepertiga dari wanita dewasa yang bekerja. Proporsi ini meningkat hampir
terus, sejak berada pada angka 59 persen pada tahun 2004. Partisipasi tingkat (proporsi
perempuan dalam angkatan kerja) meningkat untuk semua kelompok perempuan, namun
peningkatan yang paling dramatis telah di antara perempuan menikah, ibu dari anak-anak,
dan perempuan kelas menengah, mereka yang sebelumnya telah paling mungkin untuk
tinggal di rumah. Tingkat partisipasi laki-laki agak menurun selama periode ini, antara tahun
1950 dan 2004, proporsi laki-laki dewasa yang bekerja turun dari 86 persen menjadi 73
persen.
Perempuan telah memasuki angkatan kerja untuk banyak alasan yang sama pria.
Mereka membutuhkan penghasilan untuk menghidupi diri sendiri dan keluarga mereka.
Memiliki pekerjaan dengan gaji juga memberikan kemerdekaan bagi psikologis dan
kenyamanan wanita. Biaya hidup yang tinggi memberikan tekanan keuangan pada keluarga,
sering mendorong wanita untuk mauk ke dalam angkatan kerja hanya untuk mempertahankan
standar terbiasa hidup atau untuk menempatkan anak-anak sampai perguruan tinggi atau
perawatan untuk orang tua mereka. Kelemahan-kelemahan dan ketidakpastian rencana
pensiun dan program perawatan kesehatan sering berarti bahwa perempuan, maupun laki-laki,
perlu menabung, berinvestasi, dan merencanakan masa depan. Ketika perempuan mengalami
perceraian, mereka tidak lagi mengandalkan penghasilan pasangannya untuk dukungan bagi
kebutuhan hidup sehari-hari.
Peningkatan pesat dari partisipasi angkatan kerja perempuan di tahun-tahun pasca
perang juga mencerminkan perluasan segmen ekonomi yang pengusaha besar perempuan.
Pada tahun 1940, sekitar sepertiga dari semua pekerjaan Amerika Serikat adalah kerah putih
(tidak membutuhkan tenaga kerja manual); pada tahun 1980, lebih dari setengah adalah kerah
putih. Pekerjaan profesional, teknis, dan layanan juga tumbuh relatif terhadap perekonomian.
Penciptaan posisi baru dalam bidang tradisional dikelola oleh perempuan dihasilkan apa yang
disebut permintaan perempuan ke dalam angkatan kerja. "Pekerjaan perempuan" lebih berarti
sehingga lebih banyak perempuan bekerja.
Tingkat partisipasi angkatan kerja bagi kaum minoritas, tidak seperti perempuan,
selalu tinggi. Sebagai contoh, pada tahun 1970 sekitar 62 persen dari seluruh bangsa Afrika-
Amerika (laki-laki dan perempuan digabungkan) bekerja; angka itu sekitar 67 persen hari ini.
Tingkat partisipasi juga telah secara konsisten tinggi untuk sebagian kelompok minoritas
lainnya, karena Asia telah mencapai 67 persen, dan Hispanic telah mencapai 71 persen.
Perubahan kunci di sini telah merubah pandangan mengenai warna kulit dalam beberapa
dekade terakhir dan telah meruntuhkan diskriminasi dan segregasi dalam dunia kerja.
Minoritas telah menjadi lebih baik diwakili dalam jajaran manajer, profesional, dan
perdagangan terampil.
Wajah sukses di Amerika Serikat adalah beragam, seperti tenaga kerja tersebut.
Pertimbangkan Jenny Ming, presiden divisi Old Navy dari Gap, Ins. Mulai tahun 1998
sampai 2006. Ming berimigrasi bersama keluarganya dari Macao (sebuah negara kepulauan
di lepas pantai Cina) ketika ia berusia 9 tahun. Dia kemudian ingat dalam sebuah wawancara
bahwa ketika masih muda, ia mencintai segalanya tentang Amerika, terutama Halloween.
Setelah menyelesaikan pendidikannya dalam sistem universitas publik, Ming mengambil
pekerjaan pertamanya sebagai asisten manajer departemen untuk Mervyn. Dia pindah dengan
cepat di dunia ritel, menjadi eksekutif puncak di Old Navy ketika dia hanya 39. Sebuah profil
di BusinessWeek menceritakan keberhasilan Ming untuk “bakat luar biasa untuk memprediksi
bahwa pakaian hip-looking saat itu akan menarik bagi massa, kemudian membuat taruhan
besar pada produksi jumlah besar diperlukan untuk meyakinkan bahwa model pakaian
tersebut akan terkenal”.
Grafik 1. Proportion of Women in the Labor Force 1970-2009 In US
Grafik 2. Proportion of Women in the Labor Force 1970-2009 In Indonesia
5. Kesenjangan Upah berdasarkan Faktor Jenis Kelamin dan Ras (Gender & Racial
Gap Pay)
Salah satu hal yang terjadi terus-menerus di dunia kerja adalah bahwa perempuan dan
orang-orang selain berkulit putih menerima gaji lebih rendah dari orang-orang berkulit putih.
Perbedaan ini, yang disebut kesenjangan gaji, yang terjadi selama tiga dekade terakhir. Tapi
pada tahun 2004 laki-laki berkulit hitam dan perempuan berkulit putih masih diterima hanya
sedikit lebih dari tiga-perempat dari upah laki-laki berkulit kulit putih; perempuan berkulit
hitam memperoleh sekitar 69 persen. (Data ini didasarkan pada pekerja penuh waktu saja).
Kesenjangan upah untuk perempuan Hispanic menurun sekitar 7 persen selama dua dekade
terakhir, dan bahwa untuk pria Hispanic, hanya 1 persen. Penelitian terbaru oleh dua ekonom
menunjukkan bahwa kesenjangan gaji berdasarkan jenis kelamin, sekarang 77 persen, karena
wanita bekerja lebih sedikit dan lebih mungkin untuk meluangkan waktu untuk membesarkan
anak.
Para ahli tidak sepakat tentang penyebab kesenjangan upah antara wanita dan pria.
Beberapa percaya kesenjangan gender karena merupakan bukti diskriminasi; lain percaya
kesenjangan mencerminkan pilihan perempuan untuk mengejar pekerjaan dengan gaji rendah
atau kemajuan lambat karena banyak waktu yang diperlukan untuk tanggung jawab kepada
keluarga. Banyak pengamat setuju, bagaimanapun, bahwa kesenjangan gaji tetap sebagian
karena apa yang disebut segregasi pekerjaan. Istilah ini mengacu pada konsentrasi yang tidak
adil dari kelompok, seperti kelompok minoritas atau perempuan, dalam kategori pekerjaan
tertentu. Kesenjangan bayaran tinggi untuk pekerja Hispanic, misalnya, sebagian
mencerminkan konsentrasi mereka dalam beberapa pekerjaan bergaji rendah. Empat puluh
empat persen dari pembungkus daging, 40 persen pekerja pemeliharaan dasar, 39 persen
pekerja pertanian, dan 38 persen dari pembersih rumah tangga asal Hispanic, menurut Biro
Sensus, meskipun Hispanic membuat hanya 13 persen dari angkatan kerja sebagai
keseluruhan. Meskipun perempuan, untuk bagian mereka, telah membuat langkah besar
dalam memasuki pekerjaan di mana mereka sebelumnya kurang terwakili, masih banyak
terkonsentrasi di pekerjaan seks beberapa diketik yang beberapa telah disebut "ghetto kerah
merah muda". Perempuan masih lebih banyak sebesar 98 persen menjadi guru Taman Kanak-
kanak (TK), 92 persen menjadi penjaga toko buku, 99 persen menjadi perawat kebersihan
gigi, dan 92 persen menjadi resepsionis. Menghilangkan kesenjangan gaji akan membutuhkan
program-program bisnis dan kebijakan pemerintah yang dapat menciptakan peluang bagi
perempuan dan orang selain berkulit putih untuk keluar dari pekerjaan lebih terpisah dimana
dapat mendapatkan gaji dan kesempatan untuk mobilitas ke atas lebih besar.
Pekerjaan yang paling bergengsi dan bergaji tertinggi dalam korporasi adalah berada
dalam jajaran manajemen. Karena kebanyakan perusahaan tersebut akan disusun secara
hierarki, posisi untuk pekerjaan yang berada pada jajaran manajemen tidak banyak. Untuk itu,
hanya sebagian kecil pekerja, apapun gender atau ras, dapat berharap untuk mencapai tingkat
atas di dunia bisnis. Orang kulit putih secara tradisional diisi sebagian besar tempat yang
diinginkan. Kewajiban bisnis sekarang adalah untuk memperluas peluang kepemimpinan
tingkat tinggi untuk perempuan dan orang-orang selain berkulit putih.
Grafik 3. The Gender and Race Pay Gap In US
6. Pecahkan Langit-langit Kaca (Breaking the Glass Ceiling)
Seorang wanita yang luar biasa beberapa orang dan warna telah mencapai puncak
kekuasaan di perusahaan Amerika. Pada tahun 2006, Patricia A. Woertz, misalnya, menjadi
presiden dan CEO Archer Daniels Midland, raksasa agribisnis, setelah karir yang sukses di
Chevron, di mana ia naik menjadi presiden eksekutif wakil penyulingan dan pemasaran,
bisnis $ 100 miliar. Ketika Richard Parsons, seorang Afrika-Amerika, menjadi ketua dan
kepala eksekutif AOL Time Warner pada tahun 2002, ditutup kenaikan karir yang luar biasa
dari jalan-jalan di Bedford-Stuyvesant, sebuah lingkungan miskin di New York City, untuk
memimpin salah satu yang terbaik- perusahaan dikenal di dunia.
Meskipun wanita dan orang selain berkulit putih kompeten dalam mengelola tenaga
kerja dan organisasi, mereka jarang mencapai posisi tertinggi di perusahaan. Pendakian
mereka tampaknya akan dipatahkan oleh sebuah penghalang tak terlihat, kadang-kadang
disebut langit-langit kaca (glass ceiling). Menurut Catalyst, sebuah organisasi advokasi bagi
para eksekutif wanita, pada tahun 2002 hanya 16 persen dari petugas (dan 1 persen kepala
eksekutif) dari perusahaan terkemuka adalah perempuan. Kurang dari 1 persen dari
perusahaan Fortune yang dipimpin oleh seseorang dari selain berkulit putih. Di Eropa,
keragaman di jajaran atas juga jarang. Sebuah studi pada tahun 2005 dari 360 perusahaan
terkemuka di Uni Eropa dan Skandinavia menemukan bahwa hanya satu perusahaan,
Vodafone, memiliki chief executive dari kelompok minoritas (dia adalah Arun Sarin, warga
negara Amerika kelahiran India), hanya 3 perusahaan yang dipimpin oleh seorang wanita.
Perempuan dan minoritas juga jarang di papan perusahaan. Sebuah studi pada tahun
2005 melaporkan bahwa hanya 17 persen dari anggota dewan dari Fortune perusahaan adalah
perempuan, dan hanya 15 persen adalah orang selain berkulit putih. Beberapa perusahaan
berdiri keluar sebagai pengecualian, di Alcoa, IBM, Hewlett-Packard dan Jaringan Kesehatan
Wellpoint, sebagian besar direktur adalah perempuan atau kelompok minoritas.
Pada tahun 2006, suatu hukum (unususal law) mendukung keragaman ruang rapat
mulai berlaku di Norwegia. Ini mengamanatkan bahwa, pada tahun 2008, 40 persen direktur
perusahaan dalam perusahaan Norwegia besar adalah perempuan. "Wanita akan memiliki
tempat di mana kekuasaan ada," kata menteri Norwegia anak-anak dan kesetaraan. "Ini ...
akan menjadi contoh untuk pusat masyarakat lainnya." Penentang, termasuk banyak dalam
komunitas bisnis, mengeluh bahwa hal itu akan memaksa orang-orang yang berpengalaman
banyak dari dewan perusahaan. Selain itu, kata mereka, itu akan melanggar prinsip dasar
bahwa para pemegang saham harus dapat memilih orang yang mereka inginkan. Dalam dua
tahun sebelumnya, representasi perempuan di dewan perusahaan telah naik dari 8 persen
menjadi 16 persen, untuk mengantisipasi pelaksanaan hukum.
Kegagalan untuk mencapai pekerjaan paling atas dalam beberapa kasus adalah karena
kurangnya pengalaman atau pendidikan yang tidak memadai. Karena gender dan ras yang
telah membuat perempuan dan minoritas keluar dari manajemen sampai beberapa tahun
terakhir, hanya sedikit memiliki waktu untuk memperoleh pengalaman bertahun-tahun yang
khas yang paling tinggi eksekutif. Juga, dalam beberapa tahun sebelumnya perempuan dan
minoritas dilarang untuk memasuki sekolah lulusan teknik, ilmu, bisnis, dan hukum.
Tradisional parthways kepada manajemen paling atas. Bahkan sebagai hambatan telah
diturunkan, meskipun, kelompok-kelompok ini tetap kurang terwakili di tingkat eksekutif.
Apa terus memegang perempuan dan kaum minoritas kembali? Sebuah studi di
Harvard Business Review melaporkan bahwa hambatan utama adalah dinding kaca,
kesempatan lebih sedikit untuk bergerak ke samping ke dalam pekerjaan yang mengarah ke
atas. Perempuan dan manajer minoritas yang sering ditemukan pada posisi staf, seperti
hubungan masyarakat atau sumber daya manusia, bukan di posisi lini di daerah inti seperti
pemasaran, penjualan, atau produksi di mana mereka dapat memperoleh keterampilan
manajemen yang luas yang diperlukan untuk promosi. Masalah lain adalah bahwa dalam
mengisi posisi teratas. Penyebab lainnya adalah kurangnya perusahaan komitmen terhadap
keragaman dan akuntabilitas terlalu sedikit di tingkat manajemen puncak untuk kesempatan
kerja yang sama. Namun, kemajuan terbaru oleh perempuan dan minoritas dalam eksekutif
menunjukkan bahwa langit-langit kaca akhirnya dapat dipecahkan.
7. Women and Minority Bussiness Ownership
Kenanekaragaman tenaga kerja (workforce diversity) merupakan suatu istilah yang
digunakan untuk menggambarkan perbedaan tenaga kerja secara demografis terutama yang
berkaitan dengan umur, jenis kelamin, ras, asal negara, dan karakteristik fisik. Semakin
meningkatnya keanekaragaman tenaga kerja membuat semua organisasi harus menyadari arti
penting praktik pemberian kerja yang adil.
Banyak hasil penelitian menunjukkan bahwa keanekaragaman tenaga kerja akan
meningkatkan kemampuan karyawan terkait dengan inovasi, problem solving maupun
menciptakan peluang bisnis baru. Selain itu, perspektif dan pengalaman yang beraneka ragam
juga dapat dijadikan sumber untuk membangun keunggulan bersaing.Tetapi di sisi lain,
kondisi tenaga kerja yang beraneka ragam juga seringkali memunculkan prasangka secara
budaya (cultural bias) dalam bentuk: (1) prejudice (anggapan negatif serta sikap tidak
rasional terhadap orang-orang tertentu karena identitas kelompok mereka yang minoritas), (2)
discrimination (prasangka yang merugikan kaum minoritas karena menolak mereka untuk
mendapatkan kesempatan secara penuh sebagai anggota organisasi), contoh: glass ceiling
effect (adanya suatu hambatan yang tidak terlihat jelas, menghalangi wanita dan pekerja
minoritas dalam mencapai tingkatan tertentu dalam tanggung jawab organisasional).
Wanita dan pekerja minoritas harus menghindari hambatan glass ceiling effect dan
menjadi seorang pemimpin atau menjalankan bisnis mereka sendiri. Tahun 2006, berdasarkan
penelitian Women’s business research, lebih dari 10 juta bisnis, 48% dari semua itu di
Amerika telah dimiliki dan dicontrol oleh wanita. Sebagai contoh, seorang wirausaha
perempuan yang sukses, Cathrine Huges, Pendiri dan CEO dari Radio One, sebuah
perusahaan yang memiliki lebih dari 50 stasiun radio, terutama dipasar perkotaan. Hughes,
merupakan perempulan kulit hitam, memulai bisnisnya pada tahun 1980, ketika dia menjado
general manager di Howard University’s FM station, dengan membeli stasiun RnB yang telah
tutup. Selama beberapa tahun, Huges tidur distasiun radionya, dan menjalankan talksow pagi
hari, dan disore haji berjalan kaki untuk menjadi periklanan. Dipertengahan 1980an, stasiun
radionya telah berubah menjadi radio yang sehat yang dapat menghasilkan laba, dan hughes
mulai memiliki stasiun radio lainnya. Ditahun 2006, perusahaanya telah beroperasi dengan 70
stasiun radio. “saya telah menentukan untuk membuat ini berhasil” kata Hughes.
Beberapa tahun terakhir ini, wanita telah membentuk bisnis-bisnis baru yang hampir
dua kali dari tingkat laki-laki. Walaupun kebanyakan dari mereka memimpin di perusahaan-
perusahaan kecil. Secara kolektif, mereka telah mempekerjakan lebih dari 19 juta orang di
amerika dan menghasilkan penjualan 2,5 triliun dollar.
8. Equal employment opportunity
Pada awal tahun 1960an, Presiden Amerika telah mempromosikan tentang persamaan
perlakuan terhadap karyawan, yaitu Equal Employment Opportunity. Peraturan pemerintah
Amerika yang diterapkan di banyak bisnis diantaranya mengatur tentang :
Diskriminasi berdasarkan ras,warna kulit,agama, gender, kewarganegaraan,cacat mental
dan fisik, atau umur dilarang didalam semua pratik pegawai/pekerja. Termasuk
memperkerjakan, mempromosikan, klasifikasi pekerjaan, dan tugas, kompensasi, dan keadaan
pekerjaan lainnya.
Kontraktor-kontraktor pemerintah harus menulis rencana aksi afrimatif secara detail
bagaimana mereka bekerja secara positif untuk menyelesaikan efek masa lalu dan sekarang
dari diskriminasi didalam tenaga kerja mereka. Bagaimanapun, rencana aksi afrimatif ini
harus bersifat sementara dan fleksibel, didesain untuk memperbaiki diskriminasi masa lalu,
dan tidak mengakibatkan diskriminasi terbalik terhadap orang kulit putih dan laki-laki.
Laki-laki dan perempuan harus menerima pembayaran yang sama untuk performa kerja
yang sama, dan para pakerja tidak boleh didiskriminasi pada dasar kehamilan.
Persamaan kesempatan bagi para pekerja diindonesia juga sudah dilakukan. Komitmen
pemerintah dalam peningkatan Persamaan hak dalam kesempatan kerja bagi setiap warga
indonesia termasuk penyandang cacat telah tertian dan tercatat di UUD 1945 pasal 27 ayat 2
“Setiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.”
dan pasal 28D ayat 2 “Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan
perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja.”
Yang dimaksudkan dengan tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan
pekerjaan menghasilkan barang dan jasa guna memenuhi kebutuhan sendiri maupun
masyarakat. Sedangkan yang dimaksud dengan tenaga kerja Penca adalah
penduduk/seseorang yang mempunyai kelainan fisik dan/atau mental yang dapat menggangu
atau merupakan rintangan dan hambatan bagi yang melakukan kegiatan secara selayaknya.
Kesamaan kesempatan kerja bagi penyandang cacat juga telah diatur didalam UU No 4
tahun 1997. Didalam Bab 4 pada pasal 13,14, dan 27 pemerintah berusaha dalam hal
kesamaan kesempatan kerja bagi para penyandang cacat dan menmberikan apresiasi bagi
perusahaan yang mempekerjaan penyandang cacat.
Dalam pasal 13 menyatakan “Setiap Penyandang Cacat mempunyai kesamaan
kesempatan untukmendapatkan pekerjaan sesuai dengan jenis derajat kecacatannya.”. Pasal
14 menyatakan “Perusahaan Negara dan Swasta memberikan Kesempatan dan perlakuan
yang sama kepada Penyandang Cacat dengan mempekerjakan Penyandang Cacat
diperusahaannya dengan jenis dan derajat kecacatan, pendidikan dan kemampuannya yang
jumlahnya disesuaikan dengan jumlah karyawan dan atau kwalifikasi perusahaan.”. Dan
dalam pasal 27 pemerintah memberikan apresiasi bagi perusahaan, dimana pasal ini berbunyi
“Pemerintah memberikan penghargaan kepada perusahaan yang mempekerjakan Penyandang
Cacat.”
9. Affirmative Action
Tindakan afirmatif mengacu pada kebijakan yang mengambil faktor termasuk "ras,
warna kulit, agama, jenis kelamin atau asal-usul kebangsaan" menjadi pertimbangan dalam
rangka memperoleh manfaat kelompok terwakili dengan mengorbankan kelompok mayoritas,
biasanya sebagai cara untuk mengatasi pengaruh dari sejarah diskriminasi. Fokus kebijakan
tersebut berkisar dari pekerjaan dan pendidikan dengan kontrak masyarakat dan program
kesehatan. "Aksi afirmatif" adalah tindakan yang diambil untuk meningkatkan representasi
perempuan dan minoritas di bidang ketenagakerjaan, pendidikan, dan bisnis dari mana
mereka telah historis dikecualikan. Aksi afirmatif atau di Eropa dikenal sebagai diskriminasi
positif menunjuk kepada kebijakan yang bertujuan untuk menyebarluaskan akses
ke pendidikan atau pekerjaan bagi kelompok non-dominan secara sosial-politik berdasarkan
sejarah (terutama minoritas atau perempuan). Motivasi untuk aksi afirmatif adalah
mengurangi efek diskriminasi dan untuk mendorong institusi publik seperti
universitas, rumah sakit, dan polisi untuk lebih dapat mewakilit populasi.
Affirmative Action Istilah ini berasal di Amerika Serikat, dan pertama kali muncul di
eraPresiden John F. Kennedy 's Executive Order 10925. Istilah ini digunakan untuk merujuk
kepada langkah-langkah untuk mencapai non-diskriminasi. Pada tahun 1965, Presiden
Lyndon Johnson yang dikeluarkan Executive Order 11246 federal yang mengharuskan
kontraktor untuk mengambil "tindakan tegas" untuk menyewa tanpa memandang ras, agama,
dan asal nasional. Pada tahun 1968, jenis kelamin telah ditambahkan ke dalam daftar anti-
diskriminasi. Pencocokan prosedur di negara-negara lain juga dikenal sebagai reservasi di
India, diskriminasi positif di Inggris dan ekuitas kerja di Kanada.
Tindakan afirmatif merupakan upaya untuk mempromosikan kesempatan yang sama.
Hal ini sering dilembagakan dalam pengaturan pemerintah dan pendidikan untuk memastikan
bahwa kelompok-kelompok minoritas dalam suatu masyarakat termasuk dalam semua
program. Pembenaran untuk tindakan afirmatif adalah untuk mengkompensasi masa lalu,
penganiayaan diskriminasi atau eksploitasi oleh kelas penguasa budaya, atau untuk mengatasi
diskriminasi yang ada.
10. Pelecehan Seksual dan Rasial
Peraturan pemerintah melarang kedua pelecehan seksual dan rasial. Dari dua jenis, kasus
pelecehan seksual lebih banyak terjadi, dan hukum meliputi mereka lebih baik didefinisikan.
Tapi kasus pelecehan ras adalah berkembangnya kekhawatiran bagi majikan.
Pelecehan seksual di tempat kerja terjadi ketika setiap karyawan, wanita atau pria,
mengalami berulang, perhatian seksual yang tidak diinginkan atau ketika di tempat kerja-
kondisi bermusuhan atau mengancam dengan cara seksual. Ini mencakup baik perilaku fisik -
misalnya, menyentuh sugestif - serta pelecehan verbal, seperti sindiran seksual, lelucon, atau
proposisi. Pelecehan seksual tidak terbatas pada tindakan nyata dari individu rekan kerja atau
supervisor, tetapi juga dapat accur jika iklim kerja sebuah perusahaan adalah terang-terangan
dan ofensif seksual atau mengintimidasi karyawan. Wanita adalah target pelecehan seksual
paling adalah ilegal, dan AS Kerja Komisi Persamaan Kesempatan (EEOC) diberdayakan
untuk menuntut atas nama korban.
11. Apakah Para Pebisnis Dapat Melakukan: Keragaman Kebijakan dan Praktik
Semua bisnis, tentu saja, diharuskan untuk mematuhi hukum yang mewajibkan
kesempatan kerja sama dan melarang pelecehan seksual dan rasial; mereka yang gagal untuk
melakukannya risiko tuntutan hukum mahal dan ketidaksetujuan publik. Tetapi tidak cukup
hanya untuk mengikuti hukum. Yang terbaik perusahaan dikelola melampaui kepatuhan,
mereka menerapkan berbagai kebijakan dan praktek untuk membuat tempat kerja ramah, adil,
dan mengakomodasikan kepada seluruh karyawan.
Perusahaan yang mengelola keragaman efektif mengambil sejumlah tindakan terkait,
selain mematuhi semua hukum yang relevan. Penelitian menunjukkan bahwa tindakan tersbut
meliputi berikut ini.
1. Articulasi misi keragaman yang jelas, tujuan yang ditetapkan, dan memegang
tanggung jawab seorang manager.
Sebuah contoh dari perusahaan yang telah melakukannya adalah pemberi pinjaman
hipotek Fannie Mae. Misi perusahaan secara keseluruhan adalah untuk meningkatkan
Amerika. Ini berarti, tentu saja bahwa perusahaan bekerja dengan kelompok yang sangat
beragam pelanggan. Fannie Mae mengakui bahwa salah satu cara untuk melakukan hal ini
dengan baik, dalam kata-kata salah satu ikatan yang ditulis intinya, adalah "untuk
sepenuhnya memanfaatkan keterampilan, bakat, dan potensi dari semua karyawan kami."
Mengembangkan Kantor perusahaan Keanekaragaman dan Kehidupan Kerja tujuan,
melakukan pelatihan, mengelola program mentoring, dan memantau kepatuhan pada
semua tingkatan. Tiga - perempat dari perusahaan Fortune 500 memiliki program
keragaman, sebagian besar pelatihan yang dirancang untuk mempromosikan kepekaan
dan kesadaran. Di United Parcel Service, senior - manajer tingkat yang diperlukan untuk
menghadiri satu - keragaman bulan dan tentu saja kepemimpinan. Langkah penting
lainnya adalah untuk menghargai manajer. Di Monsanto, misalnya, sebagian dari semua
bonus yang dibayarkan kepada "orang manajer" didasarkan pada seberapa baik
departemen mereka memenuhi tujuan keragaman berbagai.
2. Menyebarkan jaringan yang luas dalam perekrutan, untuk menemukan area yang
paling beragam atas kandidat yang memenuhi syarat
Mereka yang bertanggung jawab dari kedua perekrutan dan promosi perlu mencari semua
pekerja yang mungkin memenuhi syarat - baik di dalam dan luar perusahaan. Hal ini
sering melibatkan bergerak di luar kata-dari mulut ke mulut jaringan, yang dapat
menghasilkan kumpulan pelamar yang mirip dengan orang yang sudah bekerja untuk
perusahaan atau pekerjaan tertentu. Usaha sukses salah satu perusahaan untuk
mempromosikan keragaman dalam praktik mempekerjakan dan mempromosikan gambar
ini dalam contoh sebagai berikut.
Sebagai bagian dari kesepakatan untuk menyelesaikan seks - diskriminasi gugatan class
action, Home Depot, Inc, memperkenalkan inovasi baru, sebuah mempekerjakan
komputerisasi dan sistem promosi yang disebut Job Program Preferensi, atau JPP untuk
pendek. Perusahaan ini menginstal dan mengisi kuesioner tentang pengalaman dan tujuan
parir mereka. Karyawan tersebut didorong untuk menggambarkan aspirasi di jangka
panjang kehidupan mereka. Komputer JPP kemudian membuat saran tentang pekerjaan
mereka tidak mungkin berpikir tentang itu cocok ambisi mereka. Pada tahun-tahun
pertama setelah sistem diperkenalkan, jumlah manajer perempuan di Home Depot
meningkat sebesar 30 persen, dan jumlah manajer minoritas sebesar 28 persen.
3. Identify wanita menjanjikan dan orang-orang warna, dan menyediakan mereka
dengan mentor dan jenis bantuan lain.
Apa teknik bekerja untuk menghancurkan langit-langit kaca? Satu studi dari sekelompok
eksekutif wanita yang sangat sukses menemukan bahwa sebagian telah dibantu oleh
tingkat atas pendukung dan dengan kesempatan ganda untuk mendapatkan keterampilan
yang penting. Beberpa perusahaan telah mempromosikan mobilitas oleh mentor dan
menugaskan - konselor yang lebih senior – untuk para wanita yang menjanjikan dan
manajer minoritas dan dengan menyediakan peluang yang mencakup luas pengalaman lini
manajemen. Di American Express, misalnya, manajer bertanggung jawab untuk
mengembangkan bakat 'beragam in2004, 2.000 perempuan berpartisipasi dalam program
mentoring perusahaan. Pimipnan Amex dan CEO, Kenneth Chenault, adalah Afrika-
Amerika.
4. Mendirikan dewan keragaman untuk memantau tujuan perusahaan dan kemajuan ke
arah mereka
Sebuah dewan keragaman adalah suatu kelompok manajer dan karyawan yang
bertanggung jawab untuk mengembangkan dan melaksanakan rencana tindakan tertentu
dalam memenuhi tujuan keragaman organisasi. Terkadang, sebuah dewan keragaman
akan dibentuk dalam unit bisnis tertentu. Sebuah contoh dari perusahaan yang telah
digunakan secara efektif adalah dewan keragaman Pitney Bowes, pembuat mesin
komunikasi bisnis. Perusahaan ini mengadopsi serangkaian perencanaan keragaman
strategis, masing-masing menetapkan tujuan yang spesifik untuk periode lima tahun
mendatang. Keanekaragaman dewan didirikan di setiap unit bisnis untuk melaksanakan
program untuk memenuhi tujuan thes, dan setiap kemajuan tahun dinilai. Sebuah Dewan
Komite Penanggung jawab Perusahaan mengawasi program secara keseluruhan. Pitney
Bowes telah berulang kali telah ditunjuk untuk daftar pengusaha terbaik dari wanita dan
orang kulit berwarna.
Bisnis yang mengelola keragaman efektif menikmati advantagewhile prinsip strategis
etika fundamental, mendikte bahwa semua karyawan harus diperlakukan dengan adil dan
dengan menghormati hak-hak dasar manusia, ada juga bottom line keuntungan untuk
melakukannya.
Perusahaan yang mempromosikan kesempatan kerjasama yang umumnya lebih baik
dalam menarik dan mempertahankan pekerja dari semua latar belakang. Hal ini semakin
penting sebagai area tenaga kerja terampil tumbuh lebih beragam.Bisnis dengan karyawan
dari berbagai latar belakang dapat sering lebih efektif melayani pelanggan yang juga adalah
beragam.Pasar global menuntut tenaga kerja dengan keterampilan bahasa, kepekaan budaya,
dan kesadaran akan perbedaan nasional dan lainnya di seluruh pasar.
12. Menyeimbangkan Pekerjaan dan Kehidupan
Sifat dari keluarga dan kehidupan keluarga telah berubah, baik di Amerika Serikat dan di
banyak negara lain. Kelompok-kelompok utama di mana orang hidup hanya sebagai beragam
seperti tenaga kerja itu sendiri. Salah satu yang paling menonjol dari perubahan ini adalah
bahwa dual-keluarga berpenghasilan telah menjadi jauh lebih umum. Menurut Sensus data
terbaru AS, dalam dua pertiga dari pasangan menikah dengan anak-anak (65%), kedua orang
tua bekerja setidaknya paruh waktu. Ini naik dari hanya sepertiga dari familiies seperti pada
tahun 1976.
13. Penitipan Anak dan Pelayanan Panti Jompo
Salah satu isu penting untuk bisnis yang mendukung pekerja dengan tanggung jawab
untuk anak dan saudara tua. Permintaan untuk penitipan anak sangat besar dan berkembang.
Jutaan anak-anak membutuhkan perawatan sehari-hari, terutama keluar hampir 7 dari setiap
10 anak yang ibunya memiliki pekerjaan. Sebuah sumber masalah utama utama stres yaitu di
tempat kerja bagi orangtua yang bekerja prihatin anak-anak mereka, dan masalah penitipan
anak adalah alasan utama mengapa karyawan gagal untuk masuk kerja.
Para bisnis telah menemukan program perawatan anak, selain untuk mengurangi absensi dan
keterlambatan, juga meningkatkan produktivitas dan merekrut bantuan dengan meningkatkan
kedudukan perusahaan dan membantu untuk mempertahankan karyawan berbakat. Di tahun
2003, 95 persen perusahaan besar AS memberikan beberapa jenis bantuan perawatan anak,
termasuk pelayanan rujukan, tergantung perawatan tanggung jawab, dan voucher. satu dari 10
perusahaan besar yang disediakan di tempat jasa penitipan anak. anexample adalah Johnson
Wax, konsumen produk perusahaan yang peduli pada 400 anak-anak di negara pusat kesenian
di Racine, Wisconsin, kantor pusatnya. "Ini bukan keuntungan," jelas juru bicara perusahaan.
"Ini memutuskan bisnis yang baik karena kita ingin menarik yang terbaik."
14. Bekerja Fleksibilitas
Dewasa ini sistem pasar kerja di banyak negara mengalami perubahan sebagai akibat
perubahan orientasi ekonomi global. Pasar kerja kini didorong ke arah bentuk yang lebih
fleksibel (flexible labour market) bersamaan dengan menguatnya liberalisasi perekonomian
dunia. Pasar kerja yang fleksibel – berikut sistem produksi yang fleksibel (flexible
production) – diyakini oleh para pendukungnya dapat lebih merangsang pertumbuhan
ekonomi serta memperluas pemerataan kesempatan kerja dan pendapatan masyarakat di
tengah iklim kompetisi ekonomi global yang semakin ketat.
Sejalan dengan perubahan tersebut, peran negara dalam mengatur bekerjanya pasar kerja
serta bentuk tanggung jawab negara terhadap kesejahteraan warganya pun mengalami
perubahan. Peran dan tanggung jawab negara tersebut cenderung menyurut. Hal ini terlihat
dari menurunnya alokasi anggaran untuk tanggung jawab negara yang berkaitan dengan
kesejahteraan warganya (lihat Lindert, 2004). Demikian pula regulasi negara yang mengatur
bekerjanya pasar tersebut berkurang. Sebaliknya, bekerjanya pasar kerja dan penyelenggaran
kesejahteraan tersebut lebih banyak diserahkan kepada mekanisme pasar itu sendiri.
Dinamikanya diserahkan langsung kepada hubungan antara pemodal dengan para pekerja
atau pencari kerja. Melalui praktek hubungan-hubungan kerja di tingkat perusahaan,
fleksibilitas pasar kerja diasumsikan dapat menghasilkan efek-efek positif bagi pertumbuhan
ekonomi maupun keadilan sosial. Oleh sebab itu fleksibilitas kini menjadi modus utama
operasi modal di banyak sektor.
Dalam kenyataan, perkembangan fleksibilitas pasar kerja menghasilkan efek yang
beragam. Di banyak negara, khususnya negara berkembang, fleksibilitas justru menciptakan
masalah yang tidak kecil baik bagi kelompok pekerja maupun kelompok masyarakat miskin
(Gallie & Vogler, 1995; Vecernik, 2001; Caraway: 2007, Beleva & Tsanov, 2001). Alih-alih
berdampak positif, pasar kerja yang fleksibel justru memiliki kerentanan dalam menciptakan
degradasi kondisi kerja, ketidakpastian pendapatan dan kesejahteran serta melemahnya posisi
tawar dari pekerja. Pasar kerja fleksibel menghasilkan pembagian kesempatan kerja dengan
mengorbankan kualitas kesempatan kerja itu sendiri. Tingkat kerawanan yang lebih tinggi
terjadi dalam pasar kerja yang memiliki suplai angkatan kerja tidak terampil yang berlebih
(over supply). Di dalam konteks ini, menyurutnya peran negara dari sejumlah peran
pelindungan sosial ekonominya justru membuat efek negatif dari fleksibilitas pasar kerja
semakin menjadi lebih besar.
Situasi dan dampak tersebut terjadi pula di dalam sistem pasar kerja di Indonesia yang
sedang berubah ini. Upaya fleksibilisasi pasar kerja secara keras dilakukan baik oleh
pemerintah maupun pengusaha melalui kebijakan dan praktek ketenagakerjaan. Langkah-
langkah ini ternyata menghasilkan berbagai dampak negatif di kalangan pekerja hampir di
berbagai sektor. Dampak negatif bahkan juga dirasakan oleh para pencari kerja serta
kelompok-kelompok masyarakat yang bergantung kehidupannya dari para pekerja dan
pencari kerja tersebut. Ketidaksesuaian antara perencanaan kebijakan ketenagakerjaan
dengan kondisi obyektif angkatan kerja, kondisi institusi-institusi pasar tenaga kerja,
kebijakan makro perekonomian dan – yang lebih terpenting – menurunnya tanggung jawab
negara terhadap perlindungan pekerja dan kesejahteraan warganya menjadi faktor-faktor
kunci yang menyebabkan luasnya dampak negatif tersebut.
15. FLEKSIBILITAS PASAR KERJA: ASUMSI DAN REALITAS
Pembedahan secara kritis terhadap sistem pasar kerja fleksibel harus dimulai dari telaah
terhadap asumsi-asumsi yang mendasarinya dan bentuk-bentuk kebijakan yang menjadi
turunannya. Perbandingan antara asumsi-asumsi pemikiran tersebut dengan pola-pola
kebijakan nyata tentang pasar kerja serta keadaan obyektif pasar kerja akan memberi
gambaran yang lebih jelas mengenai permasalahan yang terjadi di seputar pasar kerja
fleksibel.
Asumsi-asumsi Fleksibilitas Pasar Kerja
Pasar kerja fleksibel merupakan sebuah institusi dimana pengguna tenaga kerja
(employer) dan pekerja serta pencari kerja bertemu pada suatu tingkat upah tertentu dimana
kedua belah pihak memiliki keleluasaan dalam menentukan keputusan untuk bekerjasama
tanpa hambatan sosial politik. Keleluasaan ini merupakan bentuk strategi adaptasi masing-
masing terhadap perubahan-perubahan yang terjadi di dalam lingkungannya (Meulders &
Wilkin, 1991; Ul Haque, 2002).
Menurut para pendukung gagasan pasar kerja fleksibel, prinsip-prinsip pasar kerja ini
diasumsikan menghasilkan dua efek positif sekaligus. Pertama, persaingan yang terbuka dan
bebas–intervensi non-ekonomi di dalam pasar yang fleksibel akan menghasilkan
pertumbuhan ekonomi yang lebih baik. Kedua, fleksibilisasi pasar kerja akan menghasilkan
pemerataan kesempatan kerja yang pada gilirannya dapat menciptakan perbaikan tingkat
pendapatan dan pengurangan tingkat kemiskinan. Pasar diserahkan sepenuhnya kepada
pelaku-pelaku ekonomi untuk melakukan pertukaran rasional (Rapley, 1997). Berbagai
peraturan yang membatasi dan menghambat gerak para pelaku ekonomi tersebut ditiadakan.
Di dalam pasar tenaga kerja, interaksi yang bebas di antara pengguna tenaga kerja
(employer) dengan tenaga kerja (pekerja atau pencari kerja) dipandang sebagai kondisi yang
perlu (necessary condition) bagi pertumbuhan ekonomi. Pengguna tenaga kerja bebas
mencari tenaga kerja sesuai dengan kebutuhan rasional pengguna, sedangkan tenaga kerja
bebas memilih pengguna tenaga kerja yang sesuai dengan kebutuhan rasional tenaga kerja
(Islam, 2001). Kebutuhan rasional pengguna ditentukan oleh jenis dan kapasitas produksi
yang dibutuhkan sesuai dengan persaingan yang dihadapinya dalam pasar komoditas.
Kebutuhan rasional tenaga kerja ditentukan oleh seberapa jauh pendapatan yang diberikan
oleh pengguna tenaga kerja dapat memenuhi kebutuhan hidupnya (Islam, 2001).
Di dalam sistem pasar kerja yang fleksibel, keleluasaan dan kebutuhan-kebutuhan
tersebut diasumsikan dapat saling terpenuhi. Hal ini karena pemakai kerja mendapat
kemudahan untuk merekrut dan memberhentikan tenaga kerja sesuai dengan kebutuhannya.
Hambatan regulasi dan campur tangan negara untuk merekrut dan melakukan PHK dikurangi
atau bahkan ditiadakan. Biaya rekrutmen dan PHK diperkecil. Model hubungan kerja
berdasarkan sistem kontrak dan outsourcing diterapkan dan diperluas cakupannya untuk
memungkinkan fleksibilisasi tersebut. Jam kerja dan besaran upah difleksibilisasikan sesuai
dengan siklus bisnis atau fluktuasi permintaan pasar akan barang atau jasa yang diproduksi.
Fleksibilisasi seperti ini akan menciptakan efisiensi produksi dan maksimalisasi keuntungan
modal.
Dari sisi tenaga kerja, pekerja didorong untuk tidak terikat pada satu pemberi kerja
(employer) dalam jangka waktu lama, melainkan dapat berpindah-pindah pekerjaan dengan
pilihan tingkat pendapatan yang lebih baik. Kemudahan berpindah kerja tersebut diasumsikan
dapat membuka peluang kesempatan kerja yang lebih besar kepada lebih banyak pencari
kerja karena pekerjaan akan menjadi selalu tersedia bagi para pencari kerja (World Bank,
2005, 2006). Konsep keamanan lapangan kerja (employment security) menjadi lebih utama
dibanding keamanan kerja (job security).
Fleksibilitas pasar kerja juga dianggap mempunyai fungsi penting dalam memecahkan
masalah dualisme pasar kerja. Fleksibilitas pasar kerja menjamin terbukanya peluang para
pekerja di sektor informal untuk berpindah ke sektor formal yang lebih aman dan
mensejahterakan (World Bank, 2005; World Bank 2006). Dengan semakin banyak orang
bekerja di sektor formal, maka akan lebih banyak pekerja yang memperoleh jaminan
perlindungan hukum formal, tunjangan kesehatan, pendidikan dan pensiun, dan peningkatan
keterampilan. Keseimbangan gender pun dianggap menjadi lebih baik karena para perempuan
yang dominan di ekonomi informal dapat berpindah ke sektor formal. Dengan demikian
sektor informal yang dipandang rentan terhadap eksploitasi kerja serta memiliki tingkat
produktifitas yang lebih rendah akan berkurang dominasinya dan berganti ke arah dominasi
sektor formal yang lebih aman dan produktif.
Sementara itu dari sisi hubungan kerja, fleksibilitas pasar kerja dapat mengurangi
dominasi serikat buruh yang dianggap terlalu mempertahankan kepentingan aristokrasi
pekerja tetap dengan mengorbankan kesempatan kerja bagi penganggur (Douglas, 2000).
Serikat buruh dengan kekuatan kolektifnya juga dianggap menghambat fleksibilitas modal
dalam menghadapi fluktuasi tekanan pasar. Fleksibilitas biaya tenaga kerja dan fleksibilitas
cara produksi yang diperlukan oleh modal untuk melakukan efisiensi biaya produksi sering
tidak dapat dengan mudah dilakukan karena mendapat tekanan serikat buruh. Untuk itu peran
serikat buruh sebagai basis kekuatan kolektif mulai dikurangi atau setidaknya didorong ke
arah bentuk yang lebih korporatis. Selain itu melalui bentuk hubungan kerja kontrak dan
outsourcing, sistem kolektivisme dalam hubungan industrial mulai digeser ke arah
individualisme. Individualisasi juga dilakukan terhadap sistem pengupahan dan penyelesaian
perselisihan. Individualisasi hubungan-hubungan kerja tersebut dianggap sebagai kunci
penting untuk mendorong produktivitas dan mengurangi kontrol kolektif serikat buruh
terhadap kepentingan-kepentingan produksi dan ekspansi modal.
Keseluruhan prinsip pasar kerja fleksibel tersebut diyakini mempunyai efek positif bagi
kebutuhan pertumbuhan ekonomi dan pemecahan masalah pengangguran serta kemiskinan.
Prinsip-prinsip tersebut dipandang sangat sesuai dengan dominasi sistem perekonomi liberal
yang berkembang meluas dewasa ini. Sebaliknya sistem pasar kerja yang kaku dipandang
tidak dapat memberi peluang bagi pertumbuhan ekonomi dan pemecahan masalah
pengangguran dan kemiskinan. Pasar kerja seperti ini dianggap cenderung tertutup
khususnya bagi penganggur dan kelompok pekerja ekonomi informal untuk masuk ke sektor
formal. Hal ini karena pekerja-tetap selalu mempunyai kecenderungan untuk berusaha
mempertahankan keamanan dan keuntungan kerja (World Bank, 1995; Douglas, 2000). Di
tingkat produksi, kekakuan sistem pasar kerja (labour market rigidity) juga dianggap tidak
memacu produktivitas kerja karena tingkat kompetisi di antara pekerja cenderung rendah
akibat rasa aman dalam pekerjaannya (World Bank, 2006). Pasar kerja yang kaku membuat
biaya tenaga kerja menjadi tidak fleksibel karena jumlah dan jenis pekerja yang digunakan
tidak dapat menyesuaikan fluktuasi tekanan persaingan dalam pasar komoditas.
Oleh para pendukungnya, pasar kerja yang kaku diyakini tidak sesuai lagi untuk kondisi
perekonomian global yang semakin kompetitif dan liberal dewasa ini. Sebaliknya pasar kerja
yang fleksibel adalah sistem pasar yang dianggap paling tepat bagi kelompok sosial manapun
(World Bank, 2005). Namun di sisi lain sistem tersebut juga memerlukan serangkaian kondisi
struktural penunjang. Pasar kerja fleksibel memerlukan dukungan sebuah kebijakan pasar
kerja yang koheren dan terintegrasi dengan sistem hubungan industrial, strategi industrialisasi
dan sistem jaminan sosial yang baik. Secara lebih spesifik struktur pasar kerja yang ditandai
oleh suplai yang besar dari buruh terampil, aksesibilitas yang luas terhadap informasi
mengenai pasar kerja dan penarikan sumber dana untuk jaminan sosial yang diredistribusikan
secara merata menjadi faktor-faktor penting yang menentukan efektivitas pasar tersebut .
Untuk mendukung asumsi-asumsi positif ini negara juga didorong untuk menciptakan
berbagai institusi yang menjamin bekerjanya pasar kerja fleksibel dengan optimal. Sejumlah
instrumen regulasi yang dianggap terlalu ketat membatasi kebebasan dicabut atau diperlunak.
Aturan-aturan yang terlampau protektif bagi pekerja dihilangkan. Negara juga didorong untuk
melegalkan sistem kontrak kerja seluas mungkin untuk menjamin keleluasaan bergerak
pekerja maupun modal. Sejalan dengan prinisip pasar bebas, pengurangan campur tangan
negara bukan hanya dilakukan terhadap pengaturan pasar kerja tapi juga pada sistem
perlindungan sosial.
16. Tantangan Memimpin Keragaman Angkatan Kerja
Keragaman angkatan kerja selain memberikan keunggulan bagi perusahaan juga
memunculkan permasalahan. Sehubungan dengan itu, pemimpin yang mengelola angkatan
kerja akan menghadapi enam tantangan yang dikaitkan dengan tahap dan karakteristik
organisasi, yaitu tahap intoleran dan apresiasi. Pada tahap intoleran organisasi tidak mengakui
adanya manfaat diversitas, sedangkan pada tahap toleran anggota yang beragam secara aktif
dilibatkan dalam rutinitas dan aktivitas harian, namun skill dan bakat mereka belum
dimanfaatkan sepenuhnya. Pada tahap apresiasi organisasi telah menerima dan terlibat secara
aktif. Organisasi telah benarbenar berkomitmen dan menyertakan anggota yang beragam dan
rutinitas pekerjaan, praktik, pemanfaatan, dan partisipasi sehingga tumbuh penghargaan yang
tulus. Dalam mengelola keragaman angkatan kerja terdapat enam tantangan yang muncul
dalam organisasi dan memerlukan perhatian yang efektif. Keenam tantangan tersebut adalah
sebagai berikut.
(1) Dinamika kekuatan yang berubah, meningkatnya keragaman maka komitmen dan
keeratan antara anggota akan berkurang. Dinamika keragaman berinteraksi dengan
struktur kekuasaan yang tidak stabil dan dapat mengakibatkan turunnya kinerja, baik
organisasi maupun individu.
(2) Beragamnya opini, dengan meningkatnya keragaman angkatan kerja maka pemimpin
harus mensintesis keragaman opini dengan tetap menghargai dan mempertahankan
integritas dan wibawa.
(3) Kesadaran akan kurangnya empati, pemimpin harus dapat memahami perasaan dan
mengantisipasi reaksi yang mungkin timbul dari berbagai golongan. Kesuksesan
ditentukan oleh kemampuan memotivasi karyawannya.
(4) Tokenisme, yang nyata dan dirasakan karena karyawan direkrut untuk kepentingan
tertentu. Pemimpin harus menghilangkan tokenisme dengan menentukan standar dan
mengkomunikasikan ke seluruh anggota dan melaksanakannya secara konsisten.
(5) Partisipasi, untuk mengatasi kekacauan partisipasi dapat diterapkan sistem rasi //dengan
memilih tugas dan training ke dalam langkah-langkah dan mengidentifikasikan orang-
orang yang akan bertanggung jawab memberikan wewenang dan
mengkomunikasikannya dengan yang lain.
(6) Tantangan inertia (kelambanan), untuk mengatasi hal ini pemimpin harus mengubah cara
berpikirnya, memiliki visi dan tujuan organisasi yang kuat, serta mengkomunikasikannya
dengan jelas.
Keenam tantangan ini harus mendapat perhatian dari pemimpin yang mengelola
keragaman angkatan kerja dalam suatu organisasi sehingga dapat meraih keunggulan
kompetitif.
17. Mengelola keanekaragaman dalam organisasi untuk Meraih Keunggulan Kompetitf
Agar keragaman angkatan kerja memberikan keunggulan bagi organisasi, organisasi
perlu dikelola dengan baik. Terdapat tiga paradigma dari pengelolaan angkatan kerja, yaitu
sebagai berikut.
(1) The discrimation and fairness paradigma, yaitu menganggap bahwa pimpinan menilai
keragaman angkatan kerja sebagai kesempatan yang sama dan perlakuan yang adil. Jadi,
semua karyawan diberi perlakuan sejajar dan dihormati serta tidak ada kelompok yang
diberi perlakuan yang lebih daripada yang lain.
(2) The acces-and-legitimacy paradigma, yaitu menjunjung tinggi adanya perbedaan
kultural, ras, gender antarkaryawan yang berguna membantu pencapaian segmen pasar
yang bermacam-macam.
(3) The learning-and-effectiveness paradigma, yaitu mengakui adanya perbedaaan kultural di
antara karyawan juga memberikan kesempatan untuk melakukan pembelajaran dan
kesempatan untuk berkembang secara bersama-sama.
Agar keragaman angkatan kerja dalam suatu organisasi dapat menghasilkan keunggulan
kompetitif, organisasi harus berada pada tahap sebagai multikultur organisasi. Organisasi
semacam ini memiliki ciri, yakni organisasi yang menghargai, mempromosikan, dan secara
proaktif mengelola keragaman kultural angkatan kerja untuk meminimumkan konflik dan
memaksimumkan keunggulankeunggulan yang dapat diperoleh dari keragaman angkatan
kerja tersebut (Bruhn, 1996). Hal ini diperkuat oleh pendapat Cox dan Black (1991) yang
menyatakan bahwa perbedaan yang muncul akibat keragaman angkatan kerja jika tidak
dikelola dengan baik akan menimbulkan pertentangan di tempat kerja yang mengarah kepada
konflik di antara mereka yang pada akhirnya akan menurunkan kinerja organisasi.
Sehubungan dengan itu, keragaman angkatan kerja harus dikelola dengan baik agar
menghasilkan keunggulan kompetitif bagi organisasi. Keunggulan kompetitif bagi organisasi
yang dapat diperoleh dari pengelolaan keragaman angkatan kerja ada enam dimensi, yaitu
biaya, penguasaan sumber daya, pemasaran, kreativitas, pemecahan masalah, dan fleksibilitas
organisasi. Keragaman tenaga penjualan akan memberikan keunggulan kompetitif bagi
perusahaan dalam memasarkan produknya dengan memanfaatkan wawasan tenaganpenjualan
untuk memahami kultur konsumen dan pasar yang menjadi sasarannya. Kemampuan
organisasi untuk menarik, mempertahankan, dan memotivasi karyawan dari keragaman latar
belakang budaya akan mengarahkan kepada] keunggulan kompetitif dalam struktur biaya,
pemeliharaan kualitas sumber daya yang tinggi, kreativitas, pemecahan masalah, dan
fleksibilitas yang tinggi dalam menghadapi perubahan lingkungan bisnis. Jenis keunggulan
kompetitif dan dimensi keunggulan kompetitif yang dicapai dari mengelola keragaman
angkatan kerja dapat diperinci dalam tabel berikut.
DAFTAR PUSTAKA
Alboukrek, Karen (2003). Adapting to a new world of E-Commerce :The need dor uniform consumer protection in the Intermational. Vol. 35 pg. 452
Baron, D.P. (2005). Business and Its Environment. 5th ed. NJ: Pearson Int.
Hane, Paula J (2012). Privacy Issue in digital age. Infotoday.com
Lawrence, A.T dan Weber, J. (2008). Business and Society: Stakeholders, Ethic and Public Policy. 12th ed. NK : MC Graw Hill.
Nurrohman, Dede. (2009). Realitas Produsen dan Konsumen dalam Etika Ekonomi Islam. AHKAM, Vol 11 Hal 187-199l
Vargo, John F (1995). Understanding Product Liability. Mechanical Engineering. Vol. 117. Pg. 46
Welling, Linda. (1991). A Theory of Voluntary Recalls and Product Liability. Southern Economic Journal. Vol. 57 pg. 1092