13
Perkembangan Pertanian di Indonesia Jikalau dahulu Indonesia sempat mendapat julukan sebagai zambrut katulistiwa, sebutan tersebut memang pantas disandang negeri ini sampai saat ini. Ditinjau dari garis pantainya negeri ini mempunyai garis pantai terluas di dunia. Dari jumlah pulau, Indonesia juga memiliki pulau terbanyak di dunia dengan berbagai keunikan yang yang tertanam di setiap pulaunya, mulai dari ribuan ragam etnis, ras, maupun budaya. Dari segi letak geografis, indonesia berada di jantung alur perdagangan dunia yang sebenarnya sangat membantu negeri ini untuk bisa menjadi pemeran utama dalam arus perdagangan dunia. Akan tetapi semua anugerah yang secara khusus diberikan untuk Indonesia seolah disia- siakan begitu saja. Lihat saja sektor pertanian negeri ini yang menjadi tumpuan kehidupan ratusan juta jiwa yang seolah berjalan di tempat. Dalam kurun waktu yang cukup lama setelah negeri ini memperoleh kemerdekaan, sektor pertanian sempat menjadi peran utama penggerak perekonomian negara, akan tetapi kembali melesu setelah terjadinya krisis multisektor yang terjadi pada tahun 1997/1998. Pada tahun pasca reformasi tindakan yang diambil pemerintah hanya berfokus pada pengembalian kejayaan sektor industri yang sempat mengalami pemerosotan saat krisis berlangsung. Padahal jikalau dicermati dengan seksama, pada saat krisis moneter sedanga melanda negeri ini satu-satunya sektor yang tetap menunjukan pertumbuhan positif yaitu hanya sektor pertania meskipun terbilang tipis yakni hanya 0,4%. Hal tersebut disebabkan oleh ketidaktergantungan sektor pertanian terhadap barang impor yang pada waktu itu terlampau tinggi sehingga banyak sektor seperti industri yang tidak mampu membeli bahan baku sehingga tidak sedikit beberapa industri yang tidak bisa bertahan. Selanjutnya jika berkaca pertanian sebelum terjadinya krisis multidimensi tersebut yaitu pada masa orde baru, sektor pertanian seolah mencapai puncak kejayaannya. Pembngunan pertanian di masa Orde Baru telah membawa beberapa hasil. Pertama, adalah peningkatan produksi, khususnya di sektor pangan yang berpuncak pada tahun 1984. Ketersediaan bahan pangan, khususnya beras, dengan harga yang relatif murah, memberikan kontribusi terhdadap proses industrialisasi dan urbanisasi yang membutuhkan pangan murah. Kedua, sektor pertanian telah meningkatkan pendapatan devisa disatu pihak dan penghematan devisa di lain pihak sehingga memperbaiki posisi neraca pembayaran Indonesia. Ketiga, pada tingkat tertentu sektor pertanian telah mampu menyediakan bahan-bahan baku industri sehingga melahirkan agroindustri. Keempat, penciptaan lapangan kerja dan peningkatan pendapatan lapisan bawah penduduk ikut membantu mengangkat penduduk dan kehidupan di

Perkembangan Pertanian Di Indonesia

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Perkembanga pertanian di Indonesia

Citation preview

  • Perkembangan Pertanian di Indonesia

    Jikalau dahulu Indonesia sempat mendapat julukan sebagai zambrut katulistiwa,

    sebutan tersebut memang pantas disandang negeri ini sampai saat ini. Ditinjau dari garis

    pantainya negeri ini mempunyai garis pantai terluas di dunia. Dari jumlah pulau, Indonesia

    juga memiliki pulau terbanyak di dunia dengan berbagai keunikan yang yang tertanam di setiap

    pulaunya, mulai dari ribuan ragam etnis, ras, maupun budaya. Dari segi letak geografis,

    indonesia berada di jantung alur perdagangan dunia yang sebenarnya sangat membantu negeri

    ini untuk bisa menjadi pemeran utama dalam arus perdagangan dunia.

    Akan tetapi semua anugerah yang secara khusus diberikan untuk Indonesia seolah disia-

    siakan begitu saja. Lihat saja sektor pertanian negeri ini yang menjadi tumpuan kehidupan

    ratusan juta jiwa yang seolah berjalan di tempat. Dalam kurun waktu yang cukup lama setelah

    negeri ini memperoleh kemerdekaan, sektor pertanian sempat menjadi peran utama penggerak

    perekonomian negara, akan tetapi kembali melesu setelah terjadinya krisis multisektor yang

    terjadi pada tahun 1997/1998. Pada tahun pasca reformasi tindakan yang diambil pemerintah

    hanya berfokus pada pengembalian kejayaan sektor industri yang sempat mengalami

    pemerosotan saat krisis berlangsung. Padahal jikalau dicermati dengan seksama, pada saat

    krisis moneter sedanga melanda negeri ini satu-satunya sektor yang tetap menunjukan

    pertumbuhan positif yaitu hanya sektor pertania meskipun terbilang tipis yakni hanya 0,4%.

    Hal tersebut disebabkan oleh ketidaktergantungan sektor pertanian terhadap barang impor yang

    pada waktu itu terlampau tinggi sehingga banyak sektor seperti industri yang tidak mampu

    membeli bahan baku sehingga tidak sedikit beberapa industri yang tidak bisa bertahan.

    Selanjutnya jika berkaca pertanian sebelum terjadinya krisis multidimensi tersebut

    yaitu pada masa orde baru, sektor pertanian seolah mencapai puncak kejayaannya.

    Pembngunan pertanian di masa Orde Baru telah membawa beberapa hasil. Pertama, adalah

    peningkatan produksi, khususnya di sektor pangan yang berpuncak pada tahun 1984.

    Ketersediaan bahan pangan, khususnya beras, dengan harga yang relatif murah, memberikan

    kontribusi terhdadap proses industrialisasi dan urbanisasi yang membutuhkan pangan murah.

    Kedua, sektor pertanian telah meningkatkan pendapatan devisa disatu pihak dan penghematan

    devisa di lain pihak sehingga memperbaiki posisi neraca pembayaran Indonesia. Ketiga, pada

    tingkat tertentu sektor pertanian telah mampu menyediakan bahan-bahan baku industri

    sehingga melahirkan agroindustri. Keempat, penciptaan lapangan kerja dan peningkatan

    pendapatan lapisan bawah penduduk ikut membantu mengangkat penduduk dan kehidupan di

  • bawah garis kemiskinan. Kelima, pendapatan yang meningkatdari lapisan menengah ke atas

    telah menciptakan potensi modal yang berasal dari tabungan pedesaan. (Sri Harjadi, 2012).

    Akan tetapi kejayaan sektor pertanian pada saat itu yang tidak dibarengi dengan

    kebijakan yang tepat justru menimbulkan sejumlah paradoks. Pertama, dengan tingginya

    produk berbagai produk pertanian ternyata mengakibatkan rendahnya harga jual untuk

    beberapa produk pertanian tersebut. Kedua, Tingginya produktivitas juga tidak diimbangi

    dengan tingginya pendapatan petani, akan tetapi antara produktivitas dengan pendapatan petani

    justru menunjukkan hubungan yang berbanding terbalik. Ketiga, perkembangan perekonomian

    yang lebih maju sebagai akibat positif dari adanya indutrialisasi justru mengurangi porsi

    sumbangan dalam pembentukan PDB nasional, ditambah lagi merosotnya peranan relatif

    angkatan kerja sektor pertanian dalam lapangan kerja keseluruhan.

    Memasuki era baru sektor pertanian nampaknya masih belum menunjukkan

    perkembangan yang berarti. Hal ini terbukti dengan masih rendahya kesejahteraan para petani

    kecil yang merupakan pemeran utama dalam sektor ini. Tingginya tingkat kemiskinan

    dikalangan petani seolah menjadikan sektor ini semakin dilema. Tidak hanya itu, tingginya

    tingkat impor yang dilakukan pemerintah maupun pihak swasta juga semakin memperkeruh

    keadaan. Sebut saja permasalahan kedelai yang tidak kunjung menunjukkan titik terang.

    Kedelai yang merupakan salah satu makanan pokok bagi sebagian penduduk Indonesia

    sehingga bukan hal yang mengejutkan jikalau permintaan kedelai dalam negeri setiap tahunnya

    cenderung mengalami kenaikan khususnya untuk produk turunannya seperi tahu dan tempe

    yang memang menjadi santapan wajib bagi sebagian masyarakat terutama masyarakat

    menengah kebawah. Berdasarkan sebuah survei tentang sosial ekonomi nasional pada tahun

    2013, menunjukkan bahwa tingkat konsumsi rata-rata utnuk kedelai cenderung konstan yaitu

    sebesar 0,052 kg per kapita. Akan tetapi untuk konsumsi rata-rata produk olahan kedelai seperti

    tahu dan tempe justru mengalami kenaikan sepanjang tahun 2009 sampai dengan tahun 2013

    yakni untuk produk tahu mengalami kenaikan sebesar 0,09 persen sedangakan untuk produk

    tempe mengalami kenaikan sebesar 0,23 persen.

    Akan tetapi tingginya tingkat konsumsi yang tinggi akan produk kedelai tidak dibarengi

    dengan tingkat produksi kedelai dalam negeri yang justru setiap tahunnya cenderung masih

    rendah dan sangat rentan terjadi penurunan. Hal tersebut diakibatkan impor kedelai yang

    meledak-ledak ditambah lagi harga kedelai impor yang lebih rendah dibandingkan dengan

    kedelai lokal, dan juga kenampakan dari kedelai impor dinilai lebih manis dibanding dengan

  • kenampakan rupa kedelai lokal. Hal ini justru menciutkan nyali para petani dalam negeri untuk

    berkecipung dalam berusaha tani kedelai. Dan tidak jarang petani kedelai dalam negeri yang

    justru berbalik haluan dengan berusaha tani komoditas lain seperti padi ataupun jagungakibat

    suramnya usaha tani kedelai dalam negeri.

    Tantangan Sektor Pertanian di Indonesia

    Memasuki era baru tahun 2000-an sektor pertanian memang sudah lebih baik jika

    dibandingkan saat terjadinya krisis moneter 1997/1998, meskipun perkembangan yang terjadi

    di sektor ini masih pada taraf yang rendah. Masalah-masalah yang timbul di sektor pertanian

  • juga tidak kunjung mereda, melainkan semakin komplek. Sebut saja masalah lahan pertanian

    yang semakin tahun semakin terkikis, entah itu beralih fungsi menjadi areal perumahan atau

    bahkan menjadi arel industri. Berdasarkan data yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik tahun

    2006, hampir sebagian besar lahan pertanian khususnya lahan sawah dari tahun 1980 sampai

    dengan tahun 2005 mengalami penurunan luasan lahan yang cukup berarti.

    Lahan sawah di Indonesia (tidak termasuk di Maluku dan Papua), pada tahun 1980

    tercatat seluas 7,7 juta ha yang terdiri dari sawah irigasi (57,9%), sawah tadah hujan (37,0%)

    dan sawah pasang surut/ lainnya (lebak) sekitar 5%. Pada tahun 1990 lahan sawah tersebut

    bertambah luas menjadi 8,3 juta ha. Peningkatan yang significan terjadi pada sawah lebak dan

    pasang surut dari semula pada tahun 1980 sebesar 5,1% pada tahun 1990 meningkat menjadi

    19 % dan sawah irigasi meningkat 3,9%. Pada tahun 2000 lahan sawah menjadi 7.528.870 ha,

    dengan demikian selama periode waktu 1990 2000 (10 tahun) lahan sawah berkurang

    781,849 ha atau menyusut 78.184 ha per tahun. Penyusutan terjadi terutama pada sawah rawa/

    lebak dan sawah tadah hujan. Dalam periode 5 tahun selanjutnya (tahun 2000 2005), menurut

    catatan BPS, terjadi perluasan areal sawah dari 7,5 juta ha menjadi 7,8 juta ha atau bertambah

    0,3 juta ha. Pertambahan luasan tersebut dimungkinkan belum memperhitungkan adanya

    konversi lahan (terutama di sekitar Pantai utara Pulau Jawa) sebagai dampak pesatnya

    pembangunan akhir-akhir ini. Meningkatnya kebutuhan lahan untuk kegiatan pembangunan di

    luar sektor pertanian, konversi lahan pertanian termasuk lahan sawah semakin sulit dihindari,

    dengan demikian sebenarnya justru luasan lahan sawah terutama di Pulau Jawa dan Bali dan

    sekitar kota-kota besar lainya cenderung semakin berkurang. Penyusutan terjadi, justru pada

    lahan sawah yang telah beririgasi dan mempunyai produktivitas yang tinggi.

  • Di Pulau Jawa pada periode tahun 1980-an sampai tahun 1995-an cenderung

    menunjukan adanya peningkatan luasan lahan sawah, terutama pada sawah irigasi. Pada tahun

    1980 tercatat luas area sawah di Pulau Jawa seluas 3,48 juta ha dan pada tahun 1995 seluas

    3,55 juta ha atau mengalami peningkatan sebesar 66.432 ha atau bertambah 4.428 ha per tahun

    (0,12% per tahun). Namun selama 10 tahun terakhir (1995 s/d 2005) tercatat lahan sawah

    menyusut dari 3.556.376 ha, menjadi 3.235.533 ha, yaitu berkurang sebesar 320.843 ha

    (9,02%). Hal ini diduga sebagai akibat kebutuhan lahan untuk pembangunan di sektor non

    pertanian. Pada tahun 2005 sebagian besar lahan sawah di Pulau Jawa berupa sawah irigasi

    (76,2%) sebagian besar (45,5%) sudah beririgasi teknis, dan sawah tadah hujan (23,6%). Sawah

    pasang surut cenderung terus menurun, diindikasikan digunakan sebagai tambak (tambak

    udang dan bandeng), karena dirasa secara ekonomi lebih menguntungkan. Sawah lebak/ sawah

    rawa juga cenderung semakin menyusut, diindikasikan setelah didrainase menjadi sawah tadah

    hujan atau sawah irigasi, tetapi kemungkinan sebagian dikonversi ke penggunaan non pertanian

    (permukiman, industri).

  • Alih fungsi lahan pertanian ke non pertanian di Indonesia

    Tabel 3 memperlihatkan luas konversi lahan sawah selama 2000-2002 yang diperoleh

    dari hasil monitoring pada pelaksanaan Sensus Pertanian tahun 2003. Tampak bahwa luas

    konversi lahan sawah nasional selama periode tersebut rata-rata sebesar 187,72 ribu hektar per

    tahun atau 2,42 persen luas sawah yang tersedia. Konversi lahan sawah tersebut ternyata jauh

    lebih tinggi di luar Jawa dibanding di pulau Jawa. Rata-rata luas konversi lahan sawah di luar

    Jawa sebesar 132,01 ribu. hektar per tahun atau 2,98 persen luas sawah yang tersedia,

    sedangkan di pulau Jawa sebesar 55,72 ribu per tahun atau 1,68 persen. Beberapa provinsi di

    luar Jawa yang memiliki konversi lahan sawah tergolong tinggi yakni di atas 30 ribu hektar per

    tahun adalah provinsi : Sumut, Sumbar, Riau, Sumsel, Kalbar, dan Kaltim. Selama tahun 2000-

  • 2002 luas konver-si lahan sawah yang ditujukan untuk pembangunan kegiatan nonpertanian

    seperti kawasan perumahan, industri, perkantoran, jalan, dan sarana publik lainnya rata-rata

    sebesar 110,16 ribu hektar per tahun atau 58,68 persen dari total luas sawah yang dikonversi.

    Konversi lahan sawah yang ditujukan untuk penggunaan kegiatan nonpertanian tersebut sangat

    dominan di pulau Jawa yang memiliki pangsa luas konversi lahan sebesar 78,25 persen.

    Sedangkan di luar Jawa konversi la-han sawah yang ditujukan untuk kegiatan non pertanian

    dan kegiatan pertanian bukan sawah relatif berimbang yaitu 50,42 persen dan 49,58 persen.

    Yang termasuk kegiatan pertanian bukan sawah di antaranya adalah kolam, tambak, tanaman

    perkebunan dan lain-lain. Secara nasional, konversi lahan sawah ke penggunaan nonpertanian

    terutama dialokasikan untuk pembangunan perumahan, dengan pangsa sebesar 48,96 persen

    (Tabel 4). Posisi kedua ditempati oleh alokasi lahan untuk kegiatan lainnya (jalan dan saran

    publik lainnya) yang memiliki pangsa sebesar 28,29 persen. Konversi lahan sawah untuk

    pembangunan perumahan terutama sangat besar di pulau Jawa yaitu seluas 32,68 ribu hektar

    per tahun atau 74,96 persen, sedangkan di luar Jawa seluas 21,25 ribu hektar per tahun atau

    sebesar 31,92 persen. Sebaliknya, konversi lahan yang ditujukan untuk kegiatan lainnya jauh

    lebih besar di luar Jawa yang mencapai 29,01 ribu hektar per tahun atau 43,59 persen,

    sedangkan di Jawa hanya seluas 2,15 ribu hektar per tahun atau 4,93 persen.Uraian di atas

    menjelaskan bahwa sumber permasalahan konversi lahan sawah di pulau Jawa berbeda dengan

    di luar Jawa. Konversi lahan sawah di pulau Jawa terutama didorong oleh kebutuhan lahan

    untuk pembangunan perumahan yang dapat dirangsang oleh pertambahan jumlah penduduk

    yang tinggi. Sedangkan di luar Jawa, konversi lahan sawah tersebut terutama disebabkan oleh

    kebutuhan lahan untuk pembangunan sarana transportasi dan sarana publik lainnya dalam

    rangka mendorong pertumbuhan ekonomi, di samping kebutuhan lahan untuk pembangunan

    perumahan.

    Selain masalah lahan pertanian yang semakin menyempit permasalahan untuk sumber

    daya pertanian juga masih belum bisa teratasi, yaitu ketenagakerjaan. Sektor pertanian yang

    selama ini menyerap tenaga kerja paling banyak dibanding dengan sektor-sektor lainnya,

    secara perlahan tapi pasti minat tenaga kerja untuk berkecipung di sektor ini semakin merosot

    setiap tahunnya. Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik Nasional,

    tingkat angkatan kerja penduduk berusia 15 tahun keatas yang merupakan pekerja bebar di

    sektor pertanian semenjak Februari tahun 2010 sampai Februari 2013 terus mengalami

    penurunan. Sedangkan untuk pekerja bebas di non pertanian justru mengalami kenaikan.

  • Grafik Penduduk 15 Tahun Ke Atas Menurut Status Pekerjaan Utama, 2004 - 2013

    Sumber: Badan Pusat Statistik, 2013

    0

    5000000

    10000000

    15000000

    20000000

    25000000

    30000000

    35000000

    40000000

    45000000

    Februari November Februari Agustus Februari Agustus Februari Agustus Februari Agustus Februari Agustus Februari Agustus Februari Agustus Februari

    2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013

    Penduduk 15 Tahun Ke Atas Menurut Status Pekerjaan Utama, 2004 - 2013

    Berusaha Sendiri Berusaha Dibantu Buruh Tidak Tetap/Buruh Tidak Dibayar

    Berusaha Dibantu Buruh Tetap/Buruh Dibayar Buruh/Karyawan/Pegawai

    Pekerja Bebas di Pertanian Pekerja Bebas di Non Pertanian

    Pekerja Keluarga/Tak Dibayar

  • Jika ditinjau dari kuantitas atau jumlah angkatan kerja yang mundur dai sektor

    pertanian, memang masih belum parah. Akan tetapi jika hal ini terus-menerus dibiarkan tanpa

    adanya sebuah tindakan tegas, maka bukan hal yang mustahil sektor pertanian tidak ada tenaga

    kerja penggeraknya. Merosotnya minat tenaga kerja dalam sektor ini sebenarnya diakibatkat

    oleh beberapa permasalahan mendasar. Pertama, tingkat pendapatan petani yang tidak

    selamnya berbanding terbalik dengan tingkat produktivitas usaha tani yang digelutinya. Kedua,

    munculnya rasa gensi yang kian menjamuri khususnya para anak muda jaman sekarang.

    Mereka beranggapan bahwa bekerja menjadi pegawai atau karyawan lebih berkelas jika

    dindingkan harus mencangkul atau menggerakkan traktor di sawah. Jikalau pun mereka

    memiliki keinginan untuk bekerja di sektor pertanian biasanya mentok di perusahaan

    perkebunan seperti perkebunan kelapa sawit. Ketiga, rendahnya tingkat upah yang diberikan

    kepada sebagian besar buruh tani.

    Berkaca pada data yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik Nasional, Rata-rata

    upah nominal yang diberikan sejak tahun 2009 sampai dengan tahun 2013 terus mengalami

    peningkatan. Sedangkan untuk upah riil yang diberikan sepanjang tahun 2009 sampai dengan

    tahun 3013 justru mengalami penurunan. Upah nominal adalah angka aktual dari upah yang

    kita terima, sementara upah riil adalah nilai upah itu dibandingkan dengan harga-harga barang

    yang ada. Dengan demikian, meskipun upah nominal mengalami kenaikan belum tentu bisa

    lebih mensejahterakan petani. Apalagi jikalau upah riilnya mengalami penurunan bisa jadi

    tingkat kesejahteraan buruh tani berbanding lurus dengan naik-turunnya upah riil yang

    diberikan.

    Grafik Rata-rata Upah Nominal dan Riil Buruh Tani di Indonesia (Rupiah), 2008 - 2013

    Sumber: Badan Pusat Statistik, 2013.

    0

    10000

    20000

    30000

    40000

    50000

    2013 2012 2011 2010 2009

    Rata-rata Upah Nominal dan Riil Buruh Tani di Indonesia (Rupiah), 2008 - 2013

    Buruh Tani (Harian) Nominal Buruh Tani (Harian) Riil

  • Tabel. Rata-rata Upah Nominal dan Riil Buruh Tani di Indonesia (Rupiah), 2008 2013.

    Tahun Buruh Tani (Harian)

    Nominal Riil

    2013 41895 27502

    2012 40302 28374

    2011 39153 28872

    2010 38041 29669

    2009 36827 30473

    Sumber: Badan Pusat Statistik, 2013.

    Jika sumber daya lahan dan tenaga kerja kian menunjukkan penurunan, hal tersebut

    berbeda dengan yang dialami sumber daya modal. Berdasarkan data yang dikeluarkan Badan

    Pusat Statistik Nasional menunjukkan bahwa semenjak dari bulan Agustus 2012 sampai

    dengan bulan April tahun 2013 terjadi peningkatan jumlah debit kredit yang diberikan untuk

    sektor pertanian, perburuan, dan kehutanan. Meskipun pada dasarnya kenaikan yang terjadi

    masih terbilan kecil, akan tetapi hal tersebut seolah menunjukkan titik terang dari suramnya

    pinjaman kredit bagi sektor pertanian oleh lembaga keuangan khususnya perbankan.

    Grafik Perkembangan Debit Kredit Sektor Pertanian, Perburuan, dan Kehutanan (Miliar

    Rupiah)

    Sumber: Bank Indonesia, 2013 (telah diolah)

    Rp-

    Rp10.000,0

    Rp20.000,0

    Rp30.000,0

    Rp40.000,0

    Rp50.000,0

    Rp60.000,0

    Perkembangan Debit Kredit Sektor Pertanian, Perburuan, dan Kehutanan (Miliar Rupiah)

  • Grafik Porsi Penerimaan Debit Kredit Berdasarkan Lapangannya

    Sumber: Bank Indonesia, 2013.(telah diolah)

    Pertanian, perburuan, dan

    kehutan; Rp47.959,1

    perikanan; Rp3.279,3

    pertambangandan penggalian; Rp51.183,1

    industri pengolahan; Rp58.550,5

    listrik, gas, dan air; Rp1.689,1

    konstruksi; Rp34.197,1

    perdagangan besar dan eceran; Rp280.070,8

    penyediaan akomodasi dan penyediaan makan minum;

    Rp14.562,5

    Transportasi, pergudangan dan komunikasi; Rp22.878,9

    Perantara keuangan; Rp12.720,5 real estate, usaha persewaan

    dan jasa perusahaan; Rp24.809,9

    administrasi pemerintahan, pertahanan dan jaminan sosial wajib;

    Rp301,4

    jasa pendidikan; Rp2.071,0

    jasa kesehatan dan kegiatan sosial; Rp3.803,6

    Jasa kemasyarakan, sosial budaya, hiburan dan perorangan lainnya;

    Rp27.699,1 jasa perorangan yang melayani rumah tangga; Rp1.416,2

    badan internasional dan badan ekstra internasional lainnya; Rp344,8

    Kegiatan yang belum jelas batasannya; Rp28.357,4

    tidak teridentifikasi; Rp2,1

  • Namun demikian, jikalau dibandingkan dengan porsi yang diterima oleh sektor-sektor

    lainnya, porsi yang diterima sektor pertanian, perburuan, dan kehutanan masihlah terbilang

    cukup besar. Akan tetapi dari porsi yang terima tadi masih harus dipecah lagi untuk

    mendapatkan porsi yang sebenarnya untuk sektor pertanian. Dengan demikian sudh terlihat

    jelas bahwa kredit pinjaman yang ditujukan pada sektor pertanian masih sangatlah rendah. Hal

    tersebut justru berdampak pada produksi sebagian besar usaha tani dalam negeri yang

    cenderung sangat sulit menunjukkan peningkatan. Hal ini pula yang menghambat

    perkembangan sektor pertanian tersebut.

    Sementara hal yang menyebabkan rendahnya tingkat pinjaman yang diberika untuk

    sektor pertanian yaitu ketidak percayaan lembaga keunagan perbankan untuk memberikan

    pinjaman. Hal tersebut disebabkan oleh sektor pertanian dalam negeri sendiri yang konotasinya

    masih didominasi oleh pertanian rakyat yang terbilang sangat rentan untuk mengalami gagal

    panen. Ditambah lagi dengan cuaca yang tidak menentu, yang justru menambah kekhawatiran

    lembaga keuangan perbankan untuk meminjamkan sejumlah dana untuk diusahakan di sektor

    pertanian. Selain itu beluam adanya asuransi pertanian yang berjalan di dalam negeri. Hal ini

    juga akan menyebabkan petani semakin terpuruk terutama saat terjadi bencana alam yang tidak

    bisa diprediksi kedatangannya. Selain itu tidak adanya asuansi pertanian juga membuat

    lembaga keuangan perbankan yang semakin enggan untuk meminjamkan dana bagi para

    petani.

    Selain masalah-masalah diatas, sektor pertanian dalam negeri juga mendapat tantangan

    dari sisi sosial masyarakatnya. Hampir sebagian besar para petani yang berkecipung di sektor

    ini, merupakan orang-orang yang bermodalkan minim, baik itu dari segi dana, ataupun tingkat

    pengetahuan yang dimiliki. Rendahnya tingkat pendidikan yang dimiliki petani menyebabkan

    mereka susah untuk menerapkan teknologi-teknologi pertanian sesuai perkembangan jaman.

    Hal ini berdamak pada rendahnya tingkat produksi yang dihasilkan dan juga rendahnya posisi

    tawar petani yang kerap kali membuat para petani harus merasakan pahitnya kerugian.

    Berdasrkan salah satu penelitian yang dilakukan di daerah Kecmatan Denpasar Utara,

    Kota Denasar, menunjukkan bahwa sebagian besar orang yang berprofesi sebagai petani hanya

    menuntaskan pendidikan tingkat sekolah dasar. Dan bahkan beberapa diantaranya tidak tamat

    SD. Sementara itu, petani yang telah mengenyam pendidikan SMP dan SMA hanya sekitar

    25,00 persen dan 26,19 persen dari total petani sampel. Ditambah lagi untuk petani yang

  • merupakan sarjana hanya meliuti sebagian kecil dari total 100 orang petani sampel yaitu hanya

    2,38 persen atau hanya 2 orang petani yang mengenyam perguruan tinggi.

    Tabel

    Tingkat Pendidikan Petani di Kecamatan Denpasar Utara Kota

    Denpasar Tahun 2011

    Tingkat Pendidikan

    Formal

    Jumlah

    (Orang) (%)

    Tidak tamat SD 4 4,76

    Tamat SD 35 41,67

    SMP 21 25,00

    SMA 22 26,19

    Sarjana (S1) 2 2,38

    Jumlah 84 100