18
1 PERKEMBANGAN PERADILAN AGAMA Makalah: Yang Dipresentasikan pada tanggal 24 juni 2008 Pada Mata Kuliah Studi Islam Kawasan Nusantara Sebagai Prasyarat Perkuliahan Oleh: Muhammad Syafi’ie WS Nim: 070303100 DR. Nyimas Anisah Muhammad, MA Dosen Pengampu KONSENTRASI TAFSIR HADITS PROGRAM STUDI SEJARAH PERADABAN ISLAM PASCASARJANA IAIN RADEN FATAH PALEMBANG 2007-2008

Perkembangan Peradilan Agama Islam oleh M. Syafi'i WS al-Lamunjani (Makalah 2008)

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Perkembangan Peradilan Agama Islam oleh M. Syafi'i WS al-Lamunjani (Makalah 2008)

1

PERKEMBANGAN PERADILAN AGAMA

Makalah: Yang Dipresentasikan pada tanggal 24 juni 2008

Pada Mata Kuliah Studi Islam Kawasan Nusantara Sebagai Prasyarat Perkuliahan

Oleh: Muhammad Syafi’ie WS

Nim: 070303100

DR. Nyimas Anisah Muhammad, MA Dosen Pengampu

KONSENTRASI TAFSIR HADITS PROGRAM STUDI SEJARAH PERADABAN ISLAM

PASCASARJANA IAIN RADEN FATAH PALEMBANG 2007-2008

Page 2: Perkembangan Peradilan Agama Islam oleh M. Syafi'i WS al-Lamunjani (Makalah 2008)

2

PERKEMBANGAN PERADILAN AGAMA

Oleh: M. Syafi'i WS al-Lamunjani

A. PENDAHULUAN

Dalam kehidupan masyarakat manusia, mulai dari komunitas kecil yang

sederhana sampai dengan pergaulan antar bangsa, terdiri atas sekumpulan perorangan atau

kelompok (keluarga, marga, etnik dan bangsa). Mereka memiliki kepribadian yang

beraaneka ragam. Demikian pula tradisi, kemampuan, keahlian, profesi dan kepentingan

mereka beraneka ragam. Keaneka ragaman tersebut dalam masyarakat bangsa Indonesia

mencerminkan masyarakat yang majemuk. Oleh karena itu tatanan hukumnya pun harus

ada pada kehidupan mayarakat.

Peradilan Islam di Indonesia yang selanjutnya disebut dengan peradilan agama

telah ada di berbagai nusantara jauh sejak zaman masa penjajahan Belanda. Bahkan

menurut pakar sejarah peradilan, peradilan agama sudah ada sejak Islam masuk ke

Indonesia, yaitu melalui tahkim, dan akhirnya pasang surut perkembanganya hingga

sekarang.

Peradilan agama sebagai wujud peradilan Islam di Indonesia dapat dilihat dari

berbagai sudut pandang. Pertama, secara filosofis peradilan dibentuk dan dikembangkan

untuk menegakkan hukum dan keadilan; Kedua, secara yuridis hukum Islam (di bidang

perkawinan, kewarisan, wasiyat, hibah, wakaf dan sodaqoh) berlaku dalam pengadilan

dalam lingkungan peradilan agama; Ketiga, secara historis peradilan agama merupakan

salah satu mata rantai peradilan agama yang berkesinambungan sejak masa Rasulullah;

Keempat, secara sosiologis peradilan agam didukung dan dikembangkan oleh masyarakat

Islam.

Dalam makalah ini akan dibahas pengertian peradilan agama, asal-usul peradilan

agama, perkembangan peradilan agama; peradilan agam pada masa kesultanan islam,

peradilan agama pada masa penjajahan, dan peradilan agama pada masa kemerdekaan

Page 3: Perkembangan Peradilan Agama Islam oleh M. Syafi'i WS al-Lamunjani (Makalah 2008)

3

B. PENGERTIAN PERADILAN AGAMA

Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, peradilan adalah segala sesuatu

mengenenai perkara pengadilan. Sedangkan pengadilan memiliki arti yang banyak, yaitu

dewan atau majlis yang mengadili perkara; mahkamah; proses mengadili; keputusan hakim

yang mengadili perkara; mahkamah perkara.1 Peradilan terkadang diartikan sama dengan

pengadilan dan terkadang dikemukakan pengertian yang berbeda.

Sedangkan menurut istilah, peradilan adalah daya upaya untuk mencari keadilan

atau penyelesaian perselisihan hukum yang dilakukan menurut peraturan-peraturan dan

lembaga-lembaga tertentu dalam pengadilan. 2

Adapun Peradilan agama adalah kekuasaan negara dalam menerima, memerikasa,

mengadili, memutuskan, dan menyelesaikan perkara-perkara tertentu antara orang-orang

yang beragama Islam untuk menegakkan hukum dan keadilan. Yang dimaksud perkara-

perkara tertentu di sin yaitu perka dalam bidang: 1) perkawinan, 2) kewarisan, wasiat dan

hibah yang dilakukan berdasarkan hukum Islam, 3) wakaf dan shadaqah.

Yang demikian sebagaimana telah termaktub dalam UU nomor 1989, Pasal 49

ayat (1) yang berbunyi: “Pengadilan agama yang bertugas dan berwenagng memeriksa,

memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang

beragama Islam di bidang: a. Perkawinan; b. kewarisan, wasiat dan hibah yang dilakukan

berdasarkan hukum Islam; c. wakaf dan shadaqah.”3

Peradilan agama adalah sebutan resmi bagi salah satu dari empat lingkungan

peradilan negara atau kekuasaan kehakiman yang sah di Indonesia. Tiga lingkungan

peradilan negara lainnya adalah Peradilan umum, peradilan militer, dan peradilan tata

usaha negara.4 Peradilan agama merupakan salah satu dari tiga peradilan khusus (peradilan

1 Depdikbud, 1993, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Renika Cipta), hal. 7 2 Zaini Ahmad Nuh, 1995, Hakim Agama dari Masa ke Masa (Jakarta: Munas Ikaha), hal. 15 3 Cik Hasan Bisri, 2000, Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta: RajaGrafindo Persada), hal. 6 4 Roihan A. Rosyadi, 2003, Hukum Acara Peradilan Agama, (Jakarta: RajaGrafindo Persada), hal.

5

Page 4: Perkembangan Peradilan Agama Islam oleh M. Syafi'i WS al-Lamunjani (Makalah 2008)

4

militer, dan peradilan tata usaha negara). Dikatakan peradilan khusus karena peradilan

agama mengadili perkara-perkara tertentu atau mengenai golongan rakyat tertentu.

C. ASAL-USUL PERADILAN AGAMA

Tresna berkata, dengan masuknya agama Islam di Indonesia, maka tata hukum di

Indonesia mengalami perubahan. Hukum Islam tidak hanya menggantikan hukum Hindu

yang berwujud hukum Pradata, namun juga memasukkan pengaruhnya dalam berbagai

aspek kehidupan masyarakat pada umumnya. Meskipun hukum asli masih menunjukan

keberadaanya tetapi hukum Islam telah merembes di kalangan para penganutnya terutama

hukum keluarga. Hal ini berdampak pada proses pembentukan dan perkembangan peradilan

agama Islam.5

Peradilan agama sudah ada di Indonesia sejak Islam masuk ke bumi nusantara.

Bentuk peradilan Islam di Indonesia pertama kali adalah tahkim kemudian ahlul hilli wal

qadhi.6 tahkim yakni menunjuk seorang hakim jika ada yang berselisih pendapat untuk

menyelesaikannya. Kemudian setelah tebentuk komunitas Islam dalam suatu kelompok

masyarakat, bentuk peradilan Islam berubah menjadi ahlul hilli wal qadhi, yakni

pengangkatan atas seseorang untuk menjadi hakim yang dilaksanakan oleh majlis orang-

orang terkemuka dalam masyarakat. Kemudian ketika telah terdapat dalam masyarakat

sistem pemerintahan Islam dalam bentuk kesultanan, peradilan agama dapat melalui dengan

cara tauliyah, yakni pemberian kuasa Sultan kepada seseorang untuk melaksanakan tugas

sebagi hakim.

5 Tresna, 1997, Peradilan di Indonesia dari Abad ke Abad, (Jakarata: Pradya Pramita), hal. 17 6 Abdullah Mannan, 2006, Reformasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: RajaGrafindo Persada),

hal. 1

Page 5: Perkembangan Peradilan Agama Islam oleh M. Syafi'i WS al-Lamunjani (Makalah 2008)

5

D. PERKEMBANGAN PERADILAN AGAMA

1. Peradilan Agama pada masa Kesultanan Islam

Sebagaimana yang telah disebutkan di atas, bahwa peradilan agama sudah ada di

Indonesia sejak Islam masuk ke bumi nusantara, dan dengan masuknya Islam ke Indonesia,

maka tata hukum di Indonesia mengalami perubahan. Sedangkan pertumbuhan dan

perkembangan peradilan agama mulai tampak pada masa kesulatanan Islam.

Pertumbuhan dan perkembangan peradilan agama pada masa kesultanan Islam

bercorak majemuk. Kemajemukan ini amat bergantung pada proses Islamisasi yang

dilakukan oleh para pejabat agama dan para ulama dari kalangan pesantren; dan bentuk

integarasi antara hukum Islam dengan kaidah lokal yang hidup dan berkembang

sebelumnya.7 Kemajemukan peradilan agama ini terletak pada otonomi dan

perkembangannya yang terdapat pada lingkungan kesulatanan masing-masing.

Pada masa pemerintahan Sultan Agung di Mataram (1613-1645), peradilan

pradata menjadi perandilan serambi, yang dilaksanakan di serambi masjid. Pemimpin

peradilan, meskipun pada prinsipnya masih tetap di tangan Sultan, telah beralih ke tangan

penghulu yang di dampingi beberapa para ulama’ dari lingkungan pesantren sebagai

anggota majlis. Keputusan pengadilan serambi berfungsi sebagi nasihat bagi Sultan dalam

mengambil keputusan. Sultan tidak pernah menagambil keputusan yang bertentangan

dengan nasihat pengadilan agama. Menurut Snouck pengadilan tersebut berwenang

menyelesaikan perselisihan dan persengkataan yang berhubungan dengan hukum

kekeluargaan, yaitu perkawinan dan kewarisan. 8

Ketika Amangkurat I menggantikan Sultan Agung pada tahun 1645, pengadilan

pradata dihidupkan kembali untuk mengurangi pengaruh ulama’ dalam pengadilan; dan

Raja sendiri yang menjadi tampuk pemimpinnya.9 Namun dalam perkembangan berikutnya

7 Cik Hasan Bisri, Peradilan Agama di Indonesia, hal. 113 8 Ibid., hal. 114 9 Ibid.

Page 6: Perkembangan Peradilan Agama Islam oleh M. Syafi'i WS al-Lamunjani (Makalah 2008)

6

pengadilan serambi masih menunjukkan keberadaannya sampai dengan masa penjajahan

Belanda, meskipun dengan kewenangan yang terbatas.

Sedangkan kesultanan Cirebon yang didirikan pada waktu yang hampir bersamaan

dengan kesultanan Banten, masih terikat dengan norma-norma hukum dan adat kebiasaan

Jawa-Kuno. Ini disebabkan kalangan lapisan atas di Cirebon berasal dari Demak.10

Adapun peradilan agama di Banten disusun menurut pengertian Islam. Pada masa

Sultan Hasanudin memegang kekuasaan, pengaruh hukum Hindu sudah tidak berpengaruh

dan tidak lagi berbekas.11 Ini disebabkan peradilan agama dipimpin oleh qadhi sebagai

hakim tunggal.

Menurut Danil, di beberapa tempat pada masa kesultananan ini, seperti di

Kalimantan Selatan dan Timur, Sulawesi Selatan dan tempat-tampat lain, para hakim

biasanya diangkat oleh penguasa setempat. Di daerah-daerah lain, seperti di sulawesi Utara,

Sumatra Utara dan Sumatra Selatan tidak ada kedudukan tersendiri bagi peradilan agama,

namun para pejabat agama langsung melaksanakan tugas-tugas peradilan.12

Demikian beberapa peradilan agama pada masa kesulatanan. Yang demikian

dapat mewakili peradilan agama pada kesultanan-kesultanan dan daerah-daerah yang ada di

Nusantara. Adapun cakupan kekhususannya adalah perkara perkawianan dan kewarisan.

Sedangkan sumber penganbilan hukumnya mayoritas dari kitab-kitab fiqih yang

bermadzhab Syafi’i.

2. Peradilan Agama pada masa Penjajahan

A. Peradilan Agama pada masa VOC dan Penjajahan Belanda

Ketika VOC datang ke Indonesia, kebijakan yang telah dilaksanakan oleh para

Sultan tetap diterapkan dan dipertahankan pada daerah yang dikuasainya. Bahakan dalam

10 Tresna, Peradilan di Indonesia dari Abad ke Abad, hal. 23 11 Cik Hasan Bisri, Peradilan Agama di Indonesia, hal. 114 12 Danil. S, 1973, Peradilan dan Kultur hukum Indonesia, (Jakarta: LP3SE), hal. 10

Page 7: Perkembangan Peradilan Agama Islam oleh M. Syafi'i WS al-Lamunjani (Makalah 2008)

7

banyak hal, VOC memberiakan kemudahan dan fasilitas agar lembaga peradilan Islam

dapat terus berkembang, karena mereka mengetahui bahwa penegakan hukum melalui

peradilan bagi umat Islam adalah fardhu. Bentuk kepedulian VOC terhadap peradilan

agama adalah menerbitkan buku-buku hukum Islam untuk menjadi pegangan para hakim

dalam memutuskan perkara.13

Sebenarnya VOC menginginkan penerapan hukum sendiri, namun dalam

kenyatannya, penggunaan hukum VOC itu menemukan kesulitan. Ini disebabkan karena

penduduk pribumi berat menerima hukum-hukum yang asing bagi mereka. Akibatnya,

VOC pun membebaskan penduduk pribumi untuk menjalankan apa yang selama ini telah

mereka jalankan.

Adapun Kaitannya dengan hukum Islam, dapat dicatat beberapa kompromi yang

dilakukan oleh pihak VOC, yaitu:14

1. Dalam statuta Batavia yang ditetapkan pada tahun 1642 oleh VOC, dinyatakan

bahwa hukum kewarisan Islam berlaku bagi para pemeluk agama Islam.

2. Adanya upaya kompilasi hukum kekeluargaan Islam yang telah berlaku di

masyarakat. Upaya ini diselesaikan pada tahun 1760. Kompilasi ini kemudian

dikenalkan dengan Compendium Freijer.

3. Adanya upaya kompilasi serupa diberbagai wilayah lain, seperti semarang,

Ciribon, Goa dan Bone.

Namun pada tahun 1880, pengadilan agama di bawah pengawasan pengadilan

kolonial Belanda. Pada tahun 1880-1811 perubahan terahadap peradilan agama belum

dimulai. Di masa itu umumnya hukum Islam adalah hukum asli pribumi. Namun pada

tanggal 13 agustus 1884, setelah Indonesia dikembalikan pada Belanda, maka kolonial

13 Abdullah Mannan, Reformasi Hukum Islam di Indonesia, hal. 1-2 14 Ramli Hutabarat, 2005, Kedudukan Islam dalam Konstitusi-konstitusi Indonesia dan

Peranannya dalam Pembinaan Hukum Nasional, (Jakarta: UI), hal. 64-66

Page 8: Perkembangan Peradilan Agama Islam oleh M. Syafi'i WS al-Lamunjani (Makalah 2008)

8

Belanda membuat undang-undang tentang kibajaksanaan pemerintah, susunan pengadilan

(pendeta), pertanian dan perdagangan dalam daerah jajahannya.15

Kebijakan tersebut merupakan kekeliruan, karena dalam agama Islam tidak

dikenal pranata kependetaan. Kekeliruan ini juga dinyatakan oleh Snouck bahwa hal itu

sebagai akibat kedangkalan pengetahuan pemerintah.

Menurut Supomo, pada masa penjajahan Belanda terdapat lima buah tatanan

peradilan:16

1. Peradilan Gubernemen, yang tersebar di seluruh daerah Hindia-Belanda.

2. Peradalan Pribumi, yang tersebar di luar Jawa dan Madura.

3. Peradilan Swapraja, yang tersebar hampir di seluruh Swapraja

4. Peradilan Agama, yang tersebar di daerah-daerah tempat berkedudukan

paradilan Gubernemen.

5. Peradilan Desa, yang juga tersebar di daerah-daerah tempat berkedudukan

paradilan Gubernemen.

Pada masa kolonial Belanda, hukum Islam mengalami pergeseran yang semakin

melemah. Pada awalnya telah dibentuk pengadilan agama yang wewenangnya meliputi

masalah-masalah hukum perkawinan dan kewarisan berdasarkan hukum Islam. Hal ini

diikuti oleh kesimpulan penelitian Williem Christian Van Denberg yang menyatakan bahwa

bangsa Indonesia telah menerima sepenuhnya hukum Islam sebagai hukum yang mereka

anut. Namun kesimpulan ini ditentang oleh Christian Snouck Hurgronje yang melontarkan

teori resepsi. Teori resepsi ini memiliki pengaruh yang besar terhadap kebijakan

pemerintahan kolonial Belanda. Pada tanggal 1 april 1937 diterbitkan ketentuan yang

mencabut wewenang pengadilan agama di Jawa dan Madura untuk menyelesaikan perkara

kewariasan. Kedudukan pengadilan agama selanjutnya diletakkan di bawah pengawasan

15 Muhammad Daud Ali, 2002, Hukum Islam dan Peradilan Agama, (Jakarta: RajaGrafindo Persada), hal. 194-195

16 Supomo, 1970, Sistem Hukum di Indonesia sebelum Perang Dunia ke-II, (Jakarta: Praja

Paramita), hal. 20

Page 9: Perkembangan Peradilan Agama Islam oleh M. Syafi'i WS al-Lamunjani (Makalah 2008)

9

pengadilan negri. Keputusan pengadilan agama hanya dapat di ekskusi jika telah

mendapatkan persetujuan dari pengadilan negri.17

Adapun wewenang peradilan agama di Jawa dan Madura berdasarkan ketentuan

baru yang diatur oleh Belanda pada Pasal 2a, yang meliputi perkara-perkara sebagai

berikut:18

1. Perselisihan antara suami istri yang beragama Islam

2. Perkara tentang: a. Akad nikah, b. Rujuk, dan c. Talak.

3. Menyelenggarakan perceraian

4. Menyatakan bahwa syarat untuk jatuhnya talak digantungkan (ta’liq al-thalaq)

sudah ada.

5. Perkara mahar atau maskawin

6. Perkara tentang keperluan kehidupan istri yang wajib diadakan oleh suami.

Namun demikian, perkara-perkara tersebut tidak sepenuhnya menjadi wewenang

Peradilan agama. Dalam perkara-perkara tersebut, apabila terdapat tuntutan pembayaran

uang dan pemberian harta benda atau barang tertentu, maka harus diperikasa atau

diputuskan oleh landraad.

Sedangkan di luar Jawa dan Madura, khususnya untuk sebagian residensi

Kalimantan, peradilan agama diatur oleh Ordenasi Hindia Belanda, yaitu Staatsblad 1937,

nomor 638 dan 639. dalam ordonasi itu ditetapkan tentang Kerapatan Qadhi sebagai badan

peradilan tingkat pertama; dan Kerapatan Qadhi Besar sebagai badan peradilan tingkat

banding.19

Adapun dalam bidang ibadah, pemerintah kolonial pada dasarnya memberikan

kemerdekaan pada umat Islam untuk melaksanakan ajaran agamanya, sepanjang tidak

17 Jimly as-Sidqi, 2000, Hukum Islam dan Reformasi Hukum Nasional, (Jakarta: BPHN

Departemen Kehakiman), hal. 18 Cik Hasan Bisri, Peradilan Agama di Indonesia, hal. 120 19 Ibid.

Page 10: Perkembangan Peradilan Agama Islam oleh M. Syafi'i WS al-Lamunjani (Makalah 2008)

10

mengganggu kekuasaan Belanda. Dalam bidang kemasyarakatan pemerintah memanfaatkan

adat istiadat yang berlaku dengan cara menggalakkan masyarakat supaya mendekati

Belanda; bahkan membantu rakyat yang akan menempuh jalan tersebut. Tetapi dalam

bidang ketatanegaraan, pemerintah harus mencegah setiap usaha yang akan membawa

rakyat pada fanatisme dan pan Islam.

B. Peradilan Agama pada masa Jepang

Penataan pada masa peralihan dari pemerintah Hindia Belanda kepada

pemerintahan Jepang sejalan dengan politik Islam yang ditetapkan. Jepang yang sedang

mengahadapi perang dengan sekutu, menerapkan politik yang simpatik terhadap umat

Islam Indonesia.

Setelah Jendaral Ter Poorten menyatakan menyerah tanpa syarat kepada panglima

militer Jepang untuk kawasan selatan pada tanggal 8 maret 1942, segera pemerintah Jepang

mengeluarkan berbagai peraturan. Salah satu di antaranya adalah undang-undang no 1

tahun 1942, yang menegaskan bahwa pemerintah Jepang meneruskan segala kekuasaan

yang sebelumnya dipegang oleh Gubernur Jendaral Hindia Belanda.20

Namun dalam penetetapan keberlakuan peradilan agama tingkat campur tangan

Jepang sangatlah rendah, sehingga memungkinkan adanya usaha memulihkan kekuasaan

peradilan agama, khususnya mengenai masalah kewarisan dan perwakafan melalui Sanyo

Kaigi (dewan pertimbangan). Usaha memulihkan wewenang peradilan agama itu dilakukan

oleh golongan Islam, namun mengalami kegagalan karena terbentur oleh golongan

nasionalis.

Pertentangan di antara kedua golongan tersebut tercermin dalam pandangan dua

orang tokoh nasional di dalam Dewan Sanyo. Abikusno (golongan Islam) berpendapat

bahwa peradilan agama harus tetap ada dan kewenagannya di bidang kewarisan harus

dipulihkan, di samping itu, peradilan harus diperkuat oleh tenaga yang terdidik dan digaji

20 Ramli Hutabarat, Kedudukan Islam dalam Konstitusi-konstitusi Indonesia dan Peranannya

dalam Pembinaan Hukum Nasional, hal. 76

Page 11: Perkembangan Peradilan Agama Islam oleh M. Syafi'i WS al-Lamunjani (Makalah 2008)

11

oleh pemerintah. Sebaliknya Supomo (golongan nasionalis) berpandangan negara yang

sekuler harus bersifat modern dan tidak perlu berdasarkan Islam.21

3. Peradilan Agama pada masa Kemerdekaan

A. Peradilan Agama pada masa Kemerdekaan/ pada masa Orde Lama

Seiring dengan semakin lemahnya langakah strategis Jepang memenagkan perang

yang kemudian membuat mereka membuka lebar jalan untuk kemerdekaan Indonesia,

Jepang memulai mengubah arah kebijakannya. Mereka mulai melirik dan memberi

dukungan kepada para tokoh-tokoh nasionalis Indonesia. Dalam hal ini, nampaknya Jepang

lebih mempercayai kelompok nasionalis untuk memimpin Indonesia masa depan. Maka

tidak mengherankan jika beberapa badan dan komite negara, seperti dewan penasihat sanyo

kaigi dan BPUPKI (dokuritsu zyunbi tyoosakai) kemudian diserahkan kepada kubu

nasionalis. Hingga mei 1945, komite yang terdiri dari 62 orang ini, paling hanya 11 di

antaranya yang mewkili kelompok Islam. Atas dasar itulah, Ramly menyatakan bahaw

BPUPKI bukanlah badan yang dibentuk atas dasar pemilihan yang demokratis, meskipun

Soekarno dan Muhammad Hatta berusaha agar anggota badan ini cukup representatif

mewakili berbagai golongan dalam masyarakat Indonesia.22 Perdebatan panjang tentang

dasar negara di BPUPKI kemudian berakhir dengan lahirnya apa yang disebut dengan

piagam Jakarata. Kalimat kompromi yang paling penting Piagam Jakarta terutama ada pada

kalimat “Negara berdasarkan atas ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam

bagi pemeluk-pemeluknya.”

Setelah Prokalamasi Kemerdekaan Indonesia, terjadi perubahan dalam

pemerintahan, tetapi tidak sendirinya terjadi perubahan yang menonjol dalam peadilan

agama. Hal ini disebabkan karena bangsa Indonesia dihadapkan revolosi fisik dalam

menghadapi Belanda yang akan kemabali menjajah. Di samping itu konstitusi yang menjadi

21 Cik Hasan Bisri, 2000, Peradilan Agama di Indonesia, hal. 122 22 Ramli Hutabarat, 2005, Kedudukan Islam dalam Konstitusi-konstitusi Indonesia dan

Peranannya dalam Pembinaan Hukum Nasional, hal. 85

Page 12: Perkembangan Peradilan Agama Islam oleh M. Syafi'i WS al-Lamunjani (Makalah 2008)

12

dasar penyelenggaraan badan-badan kekuasaan negara memungkinkan penundaan

peubahan tersebut.

Selanjutnya pada pada tahun 1957 pemerintah mengeluarkan PP nomor 45 tentang

pembentukan peradilan agama/ mahkamah syar’iyah di luar Jawa-Madura. Adapun

kekuasaan peradilan agama menurut ketetapan pasal 4 PP tersebut adalah sebagai berikut:23

1. Penagadilan agama memerikasa dan memutuskan perselisihan antara suami istri

yang beragama Islam dan semua perkara yang menurut hukum agama Islam yang

berkenaan dengan nikah, thalaq, ruju’ fasakh, nafaqah, mahr, tempat kediaman,

mut’ah dan sebagainya; hadhanah, perkara waris, wakaf, hibah, shadaqah,

baitulmal, dan lainnya yang berhubungan dengan itu. Demikian pula memutuskan

perceraian den menegaskan bahwa syarat ta’liq thalaq sudah berlaku.

2. Pengadilan agama tidak berhak memeriksa perkara-perkara tersebut dalam ayat

(1) jika untuk perkara itu berlaku lain dari pada hukum agama Islam.

Namun pada masa ini tidak terlalu keliru jika dikatakan bahwa Orde Lama adalah

eranya kaum nasionalis dan komunis. Sementara kaum muslim di era ini tertutup untuk

memperjuangkan cita-citanya. Salah satu partai yang mewakili umat Islam kala itu,

Masyumi harus dibubarkan pada tanggal 15 agustus 1960 oleh Soekarno dengan alasan

tokoh-tokohnya terlibat pemberontokan (PRRI di Sumatra Barat).

B. Peradilan Agama pada masa Orde Baru

Menyusul gagalnya kudeta PKI pada 1965 dan berkuasanya orde Baru, banyak

pemimpin Islam Indonesia yang sempat menaruh harapan besar dalam upaya politik

pemerintah mendudukan Islam sebagai mestinya dalam tatanan politik maupun hukum di

Indonesia. Apalagi kemudian Orde Baru membaskan mantan tokoh-tokoh Masumi yang

sebelumnya dipenjara oleh Soekarno. Namun segara saja Orde ini menegaskan perannya

23 Cik Hasan Bisri, Peradilan Agama di Indonesia, hal. 123

Page 13: Perkembangan Peradilan Agama Islam oleh M. Syafi'i WS al-Lamunjani (Makalah 2008)

13

sebagai pembela Pancasila dan UUD 1945. bahkan di awal 1967, Soeharto menegaskan

bahwa militer tidak akan menyetujui rehabilitasi kembali Paratai Masyumi.24

Namun pada tahun 1970 mengalami perubahan, terutama sejak diundangkan dan

berlakunya UU nomor 14 tahun 1970. Selanjutnya dengan berlakunya UU nomor 7 tahun

1989 posisi peradilan agama semakin kuat dan dasar penyelenggaraannya mengacu pada

peraturan perundang-undangan yang unifikatif. Isi UU nomor 7 tahun 1989 terdiri atas 7

bab, yang meliputi 108 pasal. Ketujuh bab itu adalah Ketentuan Umum, Susunan

Pengadilan, Kekuasaan Pengadilan, Hukum Acara, Ketentuan-ketentuan lain, Ketentuan

Pilihan, dan Ketentuan Penutup.25

Dengan diundangkan dan berlakunya UU tersebut, merupakan peristiwa yang

penting dalam perkembangan peradilan agama. Hal ini dengan ditandai beberapa perubahan

yang meliputi:26

1. Dasar penyelengaraan yang seragam

2. Kedudukan peradilan agam sejajar dengan peradilan lainnya

3. Kedudukan hakim yang semakin kokoh

4. Pemulihan kembali kekuasaan peradilan agama

5. Hukum acara yang lebih jelas dan tertulis

6. Administrasi peradilan lebih proporsional

7. Perlindungan terhadap kaum wanita

Sejak berlakunya UU nomor 7 1989 semua peraturan perundang-undangan

tersebut dinyatakan undang-undang yang lalu tidak berlaku lagi. Dengan demikian, maka

penyelenggaraan peradilan agama didasarkan pada peraturan yang sama atau seragam.

Penyeragaman yang sama ini dilakukan sebagai upaya penerapan konsep wawasan

24 Bakhtiar Efendi, 1998, Islam dan Negara, (Jakarta: Paramadina), hal. 111-112 25 Cik Hasan Bisri, Peradilan Agama di Indonesia, hal. 125 26 Ibid., hal. 136

Page 14: Perkembangan Peradilan Agama Islam oleh M. Syafi'i WS al-Lamunjani (Makalah 2008)

14

nusantara di bidang hukum, dan sebagai pelakasanaan politik hukum nasional sebagaimana

diamanatkan di dalam GBHN.

Penegasan terhadap berlakunya hukum Islam semakin jelas ketika UU no. 7 tahun

1989 tentang peradilan agama ditetapkan. Hal ini kemudian disusun dengan usaha-usaha

intensif untuk mengoptimalkan hukum Islam di bidang-bidang tertentu. Dan upaya ini

membuahkan hasil saat pada tahun 1991, Soeharto sebagai Presiden menerima hasil

kompilasi hukum Islam (KHI) dan mengintruksikan penyebarluasannya kepada mentri

agama.

Mentri agama, sebagai pembantu presiden, dalam keputusannya nomor 154 tahun

1991 tanggal 22 juli 1991, dalam rangka melaksanakan intruksi Presiden tersebut, meminta

kepada seluruh instansi Departemen Agama, termasuk peradilan agama dan instansi

pemerintah lainnya untuk menyebarluaskan KHI yang dimaksud. 27 Kompilasi hukum

Islam, yakni kumpulan atau himpunan kaidah-kaidah hukum Islam yang disusun secara

sitematis terdiri dari tiga buku dan masing-masing buku terdiri dari beberapa bab dan pasal.

Buku I adalah Hukum Perkawinan, terdiri 19 bab dengan 170 pasal. Buku II: Hukum

Kewarisan, terdiri dari 6 bab dengan 44 pasal. Buku III: Hukum Perwakafan, terdiri dari 5

bab debgan 14 pasal.

C. Peradilan Agama pada Era Reformasi

Demokrasi dan kebebasan berkibar diseluruh pelosok Indonesia. Setelah melalui

perjalanan yang panjang. Di era ini setidakany hukum Islam mulai menempati posisinya

secara perlahan tapi pasti. Lahirnya ketetapan MPR no. III-MPR-2000 tentang sumber

hukum dan tata urutan peraturan perundang-undangan semakin membuka peluang lahirnya

aturan ndang-undang yang berdasarkan ukum Islam.28

27 Muhammad Daud, 2005, Hukum Islam, (Jakarta: RajaGrafindo Persada), hal. 294 28 Jimly as-Sidqi, Hukum Islam dan Reformasi Hukum Nasional, hal. 11

Page 15: Perkembangan Peradilan Agama Islam oleh M. Syafi'i WS al-Lamunjani (Makalah 2008)

15

Pada era reformasi ini, terbuka peluang yang luas bagi sistem hukum Islam untuk

memperkaya khazanah tradisi hukum di Indonesia dan dapat melakukan langkah-langkah

pembaruan-pembaruan dan bahkan membentukkan hukum-hukum baru yang bersumber

dan berdasarkan sitem hukum Islam, untuk kemudian dijadikan hukum positif yang berlaku

di negara Indonesia.

Salah satu bukti pada era reformasi ini adalah UU nomor 32 tahun 2004 dan

qanun Propinsi Nanggro Aceh Darussalam dalam pelaksanaan syariat Islam nomor 11

tahun 2002. dengan demikian upaya konkrit dalam merealisikan hukum Islam dalam wujud

unang-undang telah embuahkan hasil yang nyata pada era ini.

E. PENUTUP

Dalam penataan di antara hubungan masyarakat itu perlu adanya patokan tingkah

laku yang disepakati bersama, yang bersumber pada nilai budaya yang dipatuhi dan

mengikat pada semua pihak. Dalam wujudnya yang lebih kongkrit patokan tersebut dikenal

sebagai hukum yang berfungsi sebagi pengendali masyarakat untuk mewujudkan ketertiban

dan keamanan.

Dalam penegakkan hukum dan keadilan bagi masyarakat-bangsa, peradilan

memiliki peranan yang menentukan. Tuntutan terhadap peranan yang dimainkan oleh

badan peradilan semakin meningkat jikalau diferensiasi keahlian profesi samakin braneka

ragam.

Pertumbuhan dan perkembangan peradilan agam di Indonesia berhubungan secara

timabal balik dengan pranata hukum dan pranata sosial lainnya. Ia tumbuh dan berkembang

sejalan perkembangan politik, yang berbasis pada struktur sosial dan pola budaya di dalam

sistem masyarakat-bangsa Indonesia. Ia merupakan perwujudan alokasi nilai-nilai Islami

dalam menata jalinan hubungan antar manusia untuk mewujudkan penegakkan hukum dan

keadilan.

Page 16: Perkembangan Peradilan Agama Islam oleh M. Syafi'i WS al-Lamunjani (Makalah 2008)

16

Lampiran

SKEMA SISTEM PERADILAN DI INDONESIA

Keterangan:

- PTA : Pengadilan/ Peradilan Tinggi Agama

- PT : Pengadilan Tinggi

- PTTUN : Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara

- Mahmilti : Mahkama Tinggi Militer

- PA : Pengadilan/ Peradilan Agama

- PN : Pengadilan Negri

- PTUN : Pengadilan Tata Usaha Negara

Dept. Agama

Dept. Kehakiman

Mahkamah Agung

Dept. Hankam

PANGAB

Mahmilti PTTUN PT PTA

Mahmil PTUN PN PA

Page 17: Perkembangan Peradilan Agama Islam oleh M. Syafi'i WS al-Lamunjani (Makalah 2008)

17

- Mahmil : Mahkamah Militer

- Dept. : Departemen

- Hankam : Pertahanan dan Keamanan

- PANGAB : Panglima Angkatan Bersenjata

Hubungan ke Mahkamah Agung adalah di bidang teknis fungsional yudikatif

Hubungan ke Departemen Agama adalah di bidang organisatoris, administratif dan

finansia

Page 18: Perkembangan Peradilan Agama Islam oleh M. Syafi'i WS al-Lamunjani (Makalah 2008)

18

DAFTAR PUSTAKA

Ali, Muhammad Daud, 2002, Hukum Islam dan Peradilan Agama, (Jakarta: RajaGrafindo

Persada)

Ali, Muhammad Daud, 2005, Hukum Islam, (Jakarta: RajaGrafindo Persada)

Bisri, Cik Hasan, 2000, Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta: RajaGrafindo Persada)

Dikbud, 1993, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Renika Cipta)

Efendi, Bakhtiar, 1998, Islam dan Negara, (Jakarta: Paramadina)

Hutabarat, Ramli, 2005, Kedudukan Islam dalam Konstitusi-konstitusi Indonesia dan

Peranannya dalam Pembinaan Hukum Nasional, (Jakarta: UI)

Mannan, Abdullah, 2006, Reformasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: RajaGrafindo

Persada)

Supomo, 1970, Sistem Hukum di Indonesia sebelum Perang Dunia ke-II, (Jakarta: Praja

Paramita)

Nuh, Zaini Ahmad, 1995, Hakim Agama dari Masa ke Masa (Jakarta: Munas Ikaha)

Sidqi, Jimly, 2000, Hukum Islam dan Reformasi Hukum Nasional, (Jakarta: BPHN

Departemen Kehakiman)

S, Danil., 1973, Peradilan dan Kultur hukum Indonesia, (Jakarta: LP3SE)

Rosyadi, Roihan A., 2003, Hukum Acara Peradilan Agama, (Jakarta: RajaGrafindo

Persada)

Tresna, 1997, Peradilan di Indonesia dari Abad ke Abad, (Jakarata: Pradya Pramita)