12
Perkembangan Pengelolaan Perikanan Global Perkembangan Pengelolaan Perikanan Global Punvito Martosubroto* Global fisheries production has been marked by the fast growing pattern of capture fisheries production. During the last jive decades marine fisheries production demonstrated an increase of nearly 500% or an annual average increase of 4.5%. This spectacular increase raised a global concern since it accompanied by overexploitation of resources in various parts of the -world ocean. This concern has led to a series of negotiation in international arena that resulted in the formulation and finally adoption of the Code of Conduct for Responsible Fisheries in FAQ in 1995. Elaboration of the implementation of the Code brought about the formulation of International Plan of Action (IPOA) burning issues of priority for which member countries of FAO are encouraged to translate it into National Plan of Action (NPOA). Four IPOA has been available including IPOA for sharks, for seabird bycatch in longline fisheries, for fishing capacity and for IUU fishing. Regional Fisheries Organization (RFO) in recent years has tasked to deal with management of living resources that do not respect administrative boundaries, such as some species of tuna and small pelages. Some of the fish resources exploited by the Indonesian fishers move across EEZ into high seas for which it falls -within the responsibility of regional fisheries organization to manage. Indonesia is therefore encouraged to join suck RFO to assure active participation in the management of the resources. Nonetheless, the administrative bureaucracy has hindered the process. Latar belakang Sernenjak berakhirnya Perang Dunia II, pembangunan perikanan khususnya di sektor perikanan iaut di beberapa negara rnengalami kemajuan pesat. Hal ini tercermin dengan meningkatnya Permits adalah pengamat pembangunan perikanan. Yang bersangkutan memperoleh sarjana muda dari Akademi Departemen Pertanian Ciawi (Bogor) tahun 1964, sedangkan program S2 (M.Sc) diselesaikannya di University of Miami, Florida (USA) 1972 dan S3 (Ph.D) diperolehnya di Dalhousie University, Halifax (Canada) tahun 1982. Pengalaman di dalam negeri diawalinya sebagai tenaga peneliti pada Lembaga Penelitian Perikanan Laut (yang kemudian berubah nama menjadi Balai Penelitian Perikanan Laut) di Jakarta selama beberapa tahun sebelum diangkat menjadi Kepala Lembaga tersebut pada Volume I Nomor 3 April 2004 465

Perkembangan Pengelolaan Perikanan Global

  • Upload
    others

  • View
    5

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Perkembangan Pengelolaan Perikanan Global

Perkembangan Pengelolaan Perikanan Global

Perkembangan PengelolaanPerikanan Global

Punvito Martosubroto*

Global fisheries production has been marked by the fast growingpattern of capture fisheries production. During the last jivedecades marine fisheries production demonstrated an increase ofnearly 500% or an annual average increase of 4.5%. Thisspectacular increase raised a global concern since itaccompanied by overexploitation of resources in various parts ofthe -world ocean. This concern has led to a series of negotiation ininternational arena that resulted in the formulation and finallyadoption of the Code of Conduct for Responsible Fisheries inFAQ in 1995. Elaboration of the implementation of the Codebrought about the formulation of International Plan of Action(IPOA) burning issues of priority for which member countries ofFAO are encouraged to translate it into National Plan of Action(NPOA). Four IPOA has been available including IPOA forsharks, for seabird bycatch in longline fisheries, for fishingcapacity and for IUU fishing. Regional Fisheries Organization(RFO) in recent years has tasked to deal with management ofliving resources that do not respect administrative boundaries,such as some species of tuna and small pelages. Some of the fishresources exploited by the Indonesian fishers move across EEZinto high seas for which it falls -within the responsibility ofregional fisheries organization to manage. Indonesia is thereforeencouraged to join suck RFO to assure active participation in themanagement of the resources. Nonetheless, the administrativebureaucracy has hindered the process.

Latar belakang

Sernenjak berakhirnya Perang Dunia II, pembangunanperikanan khususnya di sektor perikanan iaut di beberapa negararnengalami kemajuan pesat. Hal ini tercermin dengan meningkatnya

Permits adalah pengamat pembangunan perikanan. Yang bersangkutanmemperoleh sarjana muda dari Akademi Departemen Pertanian Ciawi (Bogor) tahun 1964,sedangkan program S2 (M.Sc) diselesaikannya di University of Miami, Florida (USA)1972 dan S3 (Ph.D) diperolehnya di Dalhousie University, Halifax (Canada) tahun 1982.Pengalaman di dalam negeri diawalinya sebagai tenaga peneliti pada Lembaga PenelitianPerikanan Laut (yang kemudian berubah nama menjadi Balai Penelitian Perikanan Laut) diJakarta selama beberapa tahun sebelum diangkat menjadi Kepala Lembaga tersebut pada

Volume I Nomor 3 April 2004 465

Page 2: Perkembangan Pengelolaan Perikanan Global

Jtiraat Hakum International

produksi perikanan laut dari 9,7 juta ton pada tahun 1950 menjadi57,9 juta ton pada tahun 2002 atau meningkat hampir 500% dalamkurun waktu lima dasawarsa atau 4,5% rata-rata peningkatan pertahun. Fluktuasi terjadi pada awal tahun 1980-an dimana niulai adasedikit penurunan, namun kemudian naik kembali hingga tahun1990-an dan akhirnya mencapai puncaknya pada tahun 1997 untukkemudian turun kembali hingga tahun 2002. Peningkatan produksiperikanan laut global ini tidak hanya dari kontribusi negara-negaramaju tetapi juga negara-negara berkembang dengan masuknyamodal dan teknologi penangkapan modern dari negara-negara maju.Porsi kontribusi terbesar adalah dari Asia seperti teriihat padaGambar 1 di bawah ini.

QoE£0.

700000006000000050000000

4000000030000000

2000000010000000

0o i o o m o i o o i o o t nm m e £ > « Q t * - l * - e o c O G > O TO O O J O J O C J O O T G J O T* - * - T - T - T - T - T - T - T - * -

T A H U N

oOO

• Others

a Oceania

c Former USSR area

nEuropa

nAsia

D Antarctica

O America, South

Q America, North

a Africa

Gambar 1. Perkembangaa produksi penkanan laut dunia(Sumber FAO/FISHSTAT 2004)'

tahun 1982. Bam tiga tahun menduduki jabatan ini, yang bersangkutan kemudiandipromosikan menjadi Direktur Bina Sumber Hayati Perikanan, Direktorat JendralPerikanan pada tahun 1985, jabatan mana dipegangnya hingga 1990 sebelum dirinyabergabung dengan Fisheries Department di FAO, Roma. Setelah memasuki usia pensiun diFAO kini yang bersangkutan kembali ke tanah air dan menyumbangkan tenaganya sebagaidosen luar biasa pada Program Pasca Sarjana di Institut Pertanian Bogor.

1 FAO (2004): FAO/FISHSTAT database at the FAO website h(tp:/Avmv.fao.org/fi/statist/FISOFT/FISHPLUS.asp

466 Indonesian Journal of International Law

Page 3: Perkembangan Pengelolaan Perikanan Global

Perkembangan Pengelolaan Perikanan Global

Sejalan dengan perkerabangan perikanan global, percaturandimia tentang kewenangan negara akan laut tennasuk pemanfaatansuinber daya alainnya dibahas bersama-sarna oleh niasyarakat didunia secara intensif dalam forum yang dikenal sebagai UNCLOS(United Nations Convention on the Law of the Sea) sejak tahun1958. Proses negosiasi di UNCLOS cukup lama dan konvensitersebut bara diadopsi pada tahun 1982. UNCLOS merumuskanbeberapa paradigma baru tentang kelautan tennasuk persetujuanperjuangan Indonesia yang niendapat dukungan penuh daribeberapa negara kepulauan lainnya (Filipina dan Fiji) akan konsepwawasan nusantara (archipelagic principle)., sehingga laut antarpulau menjadi bagian dari perairan teritorial. Dernikian halnyakonsep EEZ (exclusive economic zone) 200 mil yang diprakarsaioleh beberapa negara di Amerika Latin juga akhiraya disepakatidalam UNCLOS. Akhirnya UNCLOS secara resmi menjadiperaturan internasional yang mengikat setelah tercapai jumlahratifikasi sebesar 60 negara pada tahun 1994.

Dengan diproklamirkannya konsep EEZ, semakin bertatnbahluas daerah penangkapan negara-negara pantai, namun tanggungjawab pengelolaan perikanannya terletak pada negara yangbersangkutan. Dengan demikian daerah laut yang tidak bertuan(high seas atau daerah diluar EEZ) relatif menjadi semakin sedikit.Diharapkan pengelolaan perikanan di EEZ akan menjadi lebih baikdengan adanya tanggung jawab negara yang mendeklarasikannya.Sejalan dengan itu baayak negara-negara berkembang yang daerahpenangkapannya bertambab luas dan kegiatan perikanannya-punmenjadi bertarnbah sehingga terjadi peningkatan penangkapan danakhirnya peningkatan produksi. Narnun untuk beberapa daerahtertentu, peningkatan hasil tangkapan ini mendorong eksploitasiyang berlebihan sehingga selanjutnya peningkatan produksi tidakterjadi tetapi sebaliknya justru terjadi penumnan. Hal ini tercermindari rnenurunnya produksi perikanan dunia dalam beberapa tahunterakhir ini.

Kemajuan pernbangunan ekonorni di dunia telah disikapidengan keprihatinan akan dampak pembangunah itu sendiri. Padaakhir tahun 1980-an badan internasional PBB menugaskan World

Volume I Nomor 3 April 2004 467

Page 4: Perkembangan Pengelolaan Perikanan Global

Jarnat Hukam International

Commission on Environment and Development untuk merumuskanarah pembangunan yang berwawasan lingkungan dimanaperurnusannya tertuang daiam buku "Our Common Future".2Perkeinbangan selanjutnya dalam percaturan global denganseinakin banyaknya tuntutan akan implementasi pembangunan yangberkelanjutan telah niendorong terselenggaranya Konferensi Bumi1992 di Rio (Brasil) yang menghasilkan agenda kegiatan dalarnabad ke-21. Agenda tersebut terkenal dengan sebutan Agenda 21dan khusus untuk pembangunan yang menyangkut daerab pantaidan kelautan disajikan dalam Chapter 17.

Hampir bertepatan waktunya, Konferensi PerikananInternasional yang diselenggarakan di Cancoon (Mexico) sebulansebelum Konferensi Bunri membahas topik bagaimana upayamengurangi penangkapan yang berlebiban. Sebagian besarrekomendasi dan Konferensi tersebut menjadi bahan masukandalam penyusunan Chapter 17. Kedua Konferensi mi yangkemudian telah niendorong FAO lebih jaub untuk niemfasilitasidialog dan sekaligus menyusun petunjuk tentang bagaimanameinbangun perikanan yang berkelanjutan agar generasi akandatang juga ikut memanfaatkannya. Akhimya pada tabun 1995buku Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF) disepakatioleh masyarakat perikanan dunia dan sekarang menjadi bukupetunjuk yang sangat berguna bagi negara dalana menyusunkebijakan ke arah perikanan yang berkelanjutan.3

Mengapa Pengeiolaan Perikanan?

Sewaktu kapal-kapal ikan masih menggunakan layar dan alat-alat perikanan yang sederhana, nelayan pada umumnya berpendapatbahwa ikan tidak akan habis karena ikan merupakan sumberdayayang niampu berkembang biak sehingga mampu mengimbangitekanan penangkapan. Namun dengan kemajuan zaman diinanakapal-kapal ikan semakin modern dan dilengkapi alat-alat

2 WCED (1987): Our Common Future. World Environment and DevelopmentOxford University Press, 400p.

3 FAO (1995): Code of Conduct for Responsible Fisheries. Rome, FAO, 1995: 4Ip.

468 Indonesian Journal of International Law

Page 5: Perkembangan Pengelolaan Perikanan Global

Perkembangan Pengetolaan Perikanan Global

penangkapan yang canggih yang dapat rnendeteksi keberadaan danpergerakan ikan, kemampuan penangkapan ikan menjadi sangatefisien. Terlebih lagi kalau jumlah kapal ikan makin meningkattanpa adanya kontrol, dengan sendirinya tekanan terhadapsuinberdaya ikan semakin meningkat pula. Hal ini yang mendorongperlunya upaya pengelolaan perikanan yang benar sebagaimanadigariskan dalam CCRF.

Pada saat ini negara-negara di dunia dalam pembangunanperikanannya berusaha mengikuti petunjuk-petunjuk yang telahdigariskan oleh CCRF. Nainun demikian, pengelolaan perikananinemerlukan perencanaan yang matang serta kerjasama yang eratantara pemerintah sebagai pembuat kebijakan, para nelayan atauindustri perikanan yang nierupakan pelaku atau pengguna. Tanpaterjalinnya kerjasama yang baik, pengelolaan perikanan akan sulitdilakukan. Terlebih lagi penangkapan ikan di laut, dimana medankegiatan penangkapan sangat luas, sangat berbeda sekali dengankegiatan di darat, sehingga biaya pengawasan relatif lebih mahal.Tanpa kerjasama yang baik dari para pengguna atau"stakeholders", biasanya akan berakhir dengan peningkatankegiatan penangkapan yang berakibat overexploitations terhadapsumberdaya ikan (ovsrfishing) dan dengan sendirinya tidaknienjamin kepentingan generasi yang akan datang.

Perkembangan Pengelolaan Perikanan Regional

Suniber daya ikan selalu bergerak dalam kehidupannya tanpamengenal batas negara, maka pengelolaan perikanan oleh suatunegara tidak akan efisien kalau negara lainnya yang menangkapsumber daya yang sama tidak peduli dengan upaya pengelolaan.Coatoh yang sederhana beberapa jenis ikan "pelagis"4 di SelatMalaka menjadi target penangkapan nelayan-nelayan dari Indonesiadan Malaysia dan bahkan juga dari Thailand. Sudah selayaknyakerjasama pengelolaan perikanan antar negara-negara tersebutsangat diperlukan, hal niana sudah lama dibahas dalam forum-forum regional dalarn kerangka kerjasama ASEAN. Kepentingan

4 Ikan petagis adalah ikan-ikan yang hidupnya berada di lapisan atas atau disekitarpermukaan

Volume I Nomor 3 April 2004 469

Page 6: Perkembangan Pengelolaan Perikanan Global

Jarnai Hukum Internationa!

bersama seinacain ini yang telah mendorong terbentuknyaorganisasi perikanan regional di beberapa kawasan dunia misalnyadi Samudra Atlantik dengan terbentuknya NAFO (North AtlanticFishries Organization) yang merupakan kerjasama perikanan antaraCanada dan USA. Negara-negara EEC (European EconomicCommunity) juga membuat organisasi sejenis untuk menanganiperikanan di Laut Utara yang merupakan ladang penangkapannelayan-nelayan dari anggota EEC. Bahkan bagi ikan-ikan yangbermigrasi jauh seperti ikan tuna, organisasi semacam itu niencakupdaerah yang lebih luas dan melibatkan banyak negara misainyauntuk perikanan tuna di Saraudra Atlantik terdapat ICCAT(International Commission for the Conservation of Atlantic Tuna)dimana disamping negara-negara yang berbatasan dengan SamudraAtlantik, Jepang dan Korea Selatan juga sebagai negara anggotakarena armadanya ikut menangkap ikan tuna di sana. Untuk diSamudra Pasifik kawasan timur terdapat IATTC (Inter-AmericanTropical Tuna Commission) dimana USA dan beberapa negaraAinerika Latin yang menangkap ikan di sana termasuk anggotanya.Untuk perikanan tuna di Samudra Pasifik kawasan tengah dan baratdimana daerahnya berbatasan dengan Indonesia, negara-negarapenangkap tuna di sekitar daerah ini sepakat untuk niembentukWestern and Central Pacific Fisheries Commission (WCPFC), yangsetelah melalui negosiasi yang panjang sejak beberapa tahunterakhir ini. Organisasi tersebut diharapkan terbentuk pada akhirtahun 2004 ini setelah juinlah ratifikasi niemenuhi persyaratan.5Untuk perikanan tuna di Samudra India sudah agak lania terbentukIOTC (Indian Ocean Tuna Commission) dimana Indonesia masihbelurn merupakan anggota periuh, walaupun upaya ke arah itusudah ada. Informasi yang ada menunjukkan bahwa birokrasipemerintah masih menjadi penyebab utarna kelambatan proseskeikutsertaan Indonesia sebagai anggota.

5 Pada tgl 19-23 April 2004 berlangsung the sixth Preparatory Conference for theEstablishment of Western and Central Pacific Fisheries Commission di Denpasar, Bali.

470 Indonesian Journal of International Law

Page 7: Perkembangan Pengelolaan Perikanan Global

Perkembangan Pengelolaan Penkanan Global

Recana Aksi International (International Plan of Action)

Meningkatnya perdagangan global produk perikanan padadasawarsa terakhir ini ditengarai sebagai paling cepat di antaraproduk-produk pertanian.6 Tidak ayal lagi pembahasan perikanan diforum global semakin meningkat. Tidak hanya pembahasan dalambidang perdagangan yang biasa difasilitasi dalam forum WTO(World Trade Organization) dan forum CITES (Convention onInternationa! Trade in Endangered Species of Wild Flora andFauna), tetapi juga pembahasan teknis perikanaa yang dilakukandalam forum FAO. Dalam beberapa dasawarsa terakhir ini FAOdisibukkan dengan negosiasi yang banyak berkaitan denganmasalah pengelolaan perikanan. Pembahasan yang intensif di foruminternasional tentang perikanan cucut telah rnendorongdirumuskannya IPOA (International Plan of Action) perikanancucut yang merupakan bahan dasar tersusunnya National Plan ofAction (NPOA) bagi negara-negara anggota yang terlibat dalampenangkapan ikan cucut. Pembahasan lain menyangkut hasiltangkap samping (bycatch) dalam perikanan "longline" yang berupaburung-burung laut yang kebetulan ikut tertangkap karena ikutmemakan umpan dalam pancing telah mendorong terbentuknyaIPOA tentang perikanan longline. IPOA lainnya yang dirumuskandalam sidang-sidang FAO akhir-akhir iai adalah IPOA tentang"fishing capacity" dan EPOA tentang "IUU fishing* (illegal,unreported and unregulated fishing). IPOA fishing capacitydixnaksudkan agar negara-negara anggota FAO peduli akan dainpakpeinbangunan yang tidak terkontrol dan berakibat ineningkatnyakapasitas penangkapan ikan dan kemudian menindaklanjuti denganperumusan NPOA. Mengingat sulitnya upaya pengawasan di laut dibeberapa kawasan duaia, semakin meningkat pula upaya nakal yangtermasuk dalam IUU yang dilakukan oleh para nelayan baiknelayan nasionai maupun nelayan asing. Kegiatan IUU ini akanmerupakan tantangan besar bagi upaya pengelolaan perikanan, olehkarenanya IUU merupakan kegiatan yang sangat ditentang oleh

6 Delgado, C.L., N. Wada, M.W. Rosegrant, S. Meijer and M Ahmed (2003): Fishto 2020. Supply and Demand in Changing Global Markets. IFPRI Washington D.C. andWorld Fish Center Penang Malaysia: 226p.

Volume! Nomor 3 April 2004 471

Page 8: Perkembangan Pengelolaan Perikanan Global

Jurnal Huhan International

masyarakat perikanan. Indonesia pada saat ini sedang dalam prosesmenyusun NPOA untuk menjabarkan kegiatan yang dirumuskandalam keenipat IPOA.

Upaya pengelolaan perikanan di negara-negara maju khusus-nya negara-negara dimana industri perikanannya merupakanpartner yang baik dengan peraerintah, mereka berhasil bekerjabersama-sama untuk menjamin pengelolaan yang bertanggungjawab. Tentu saja keberhasilan negara-negara maju dalam hal inibukan merupakan upaya yang singkat namun melalui proses yangpanjang. Dua negara yang patut menjadi contoh dalam pengelolaanperikanan pada saat ini adalah Australia dan Norwegia. Faktor yangsangat membantu keberhasilan pengelolaan adalah kesadaran paranelayan yang dibarengi dengan kerjasama yang baik, jumlahnelayan yang relatif sedikit dan birokrasi pemerintab yang relatiftidak terlalu berbelh-belit Bahkan di Australia, pengelolaan per-ikanan udang di Teluk Carpentaria menjadi contoh yang sangat baikdirnana biaya riset dan pengelolaannya dibebankan kepada per-ikanan itu sendiri.7 Di beberapa negara maju indikator pengelolaanbahkan sudah mulai dipraktekan dalam bentuk sertifikasi yangdisponsori oleh organisasi non-pemerintah yang akhirnya merupa-kan upaya pernberian ecolabel. Trend sertiiikasi ini sudah mulaimeningkat di beberapa negara bahkan karena desakan para kon-sumen pencinta lingkungan, upaya ecolabel juga dikenakanterhadap produk-produk impor untuk menjamin bahwa produk ter-sebut berasai dari daerah penangkapan yang dikelola dengan baik.

Bagaimana dengan Indonesia?

Pembangunan perikanan di Indonesia meningkat semenjakRepelita II berbarengan dengan masuknya investasi dari luar negeridengan diterbitkan dan dilaksanakannya UU PMA dan PMDN padatahun 1968. Peningkatan pembangunan perikanan ini terlihatdengan meningkatnya ekspor dari sektor perikanan baik dari segi

7 Caton, A. (ed., 2003): Fishery Status Reports. Assessment of the Status of FishStocks Managed by the Australian Government. Australian Government Department ofAgriculture, Fisheries and Forestry, Bureau of Rural Sciences: 106p.

472 Indonesian Journal of International Law

Page 9: Perkembangan Pengelolaan Perikanan Global

Perkembangan Pengelolaan Perikdnan Global

kuantitas maupun nilainya. Pembangunan perikanan yang cepat itudiawali dengan tumbuhnya perikanan trawl yang diawali di SelatMalaka berkat pengaruh dari negara tetangga Malaysia, ^angkemudian menjalar ke Laut Jawa dan ke Samudra India khususnyadi beberapa daerah pantai selatan Pulau Jawa. Di tempat lainperikanan trawl dengan kapal yang jauh lebih besar berkembarig diLaut Arafura dalam rangka pelaksanaan joint-venture denganJepang.

Setelah beberapa tahun berjalan, perikanan trawl yangberoperasi di Selat Malaka dan Laut Jawa menimbulkan gesekandengan nelayan-nelayan yang menggunakan alat-alat lain pada awal1970-an, sehingga Pemenntah mengeluarkan SK Menteri PertanianNo. 607 tahun!976 yang mengatur jalur-jalur penangkapan, ,dimanadaerah operasi penangkapan dengan alat trawl dibatasi pada daerahdiluar 7 miles dari pantai. Peraturan ini tidak bertahan lama karenapelanggaran tetap terjadi dengan alasan kapal-kapal trawl tidakmempunyai alat-alat canggih seperti radar. Akibatnya konflik, antarnelayan semakin meningkat, sehingga keluarlah KeputusanPresiden No. 39 tahun 1980 yang melarang operasi penangkapandengan alat trawl di perairan Indonesia bagian barat. Konsekuensidari peraturan ini, Pemerintah membeli kapal-kapal trawl yangtidak mau mengubah alat tangkapnya dengan alat lain. Tidak sedikituang yang dikeluarkan oleh Pemerintah dalam rangka program ini(buy-back scheme). Bagi para neiayan trawl yang niengadakanpenangkapan di Laut Arafura tetap diperbolehkan beroperasimengingat jumlah nelayan yang beroperasi di Laut Arafura tidaksepadat dengan di Laut Jawa. Namun penangkapan dengan trawl disana harus dilengkapi dengan alat khusus pemisah hasil tangkapsampingan (biasa disebut sebagai bycatch excluding device) untukmengurangi hasil tangkap sampingan.

Volume 1 Nomor 3 April 2004 473

Page 10: Perkembangan Pengelolaan Perikanan Global

Jurnal Hukum International

4QQQQOQg. 3500000O 3000000r 250QOOOCO

13Qio.

200000015000001000000500000

0

BSamudra PacificnSamudra India

TAHUN

Gambar 2. Berkembaagaa produksi perikaaaa laut di Indonesia(Sumber Statistik Perikanan DKP)

Pengalaman yang diperoleh dalam pembangunan perikanantrawl di Indonesia selama ini menggarisbawahi perlunya perbaikansistem pengelolaan perikanan. Sistem pengelolaan perikanan yangbaik menuntut kerjasania yang erat antara pemerintah denganstakeholders karena yang terakhir ini adaiah pengguna langsung.Untuk itu perlu adanya rencana pengelolaan perikanan (RPP) yangdisusun bersama-sama antara pemerintah dan stakeholders dalamrangka menghindari terlampau banyaknya kapal-kapal ikan yangberoperasi tanpa melihat kepada kondisi daya dukung sumberdayanya. Dengan bantuan teknis dari FAO, Dinas PerikananPropinsi Bali dan Jawa Timur, bekerjasama dengan DirektoratJenderal Perikanan Tangkap (cq Direktorat Sumber Daya Ikan)menyusun RPP dalam rangka pengelolaan perikanan lemuru diSelat Bali8. RPP Perikanan Lemuru merupakan RPP yang pertamakali dirumuskan dan diharapkan menjadi acuan tidak hanya bagikedua Dinas Perikanan (Bali dan Jawa Tiinur) dalam merumuskankebijakannya tetapi juga bagi Dinas Perikanan lainnya. Upayasemacam ini juga telah dirintis pada tahun 2003 untuk menyusun

8 FISHCODE (in press): Report on a workshop to draft management plan for theTomini Bay fisheries, Palu, October 2003. dan FISHCODE (2001): Report on a workshopto refine the draft management plan for the Bali Strait sardine (lemuru) fisheries,Banyuwangi: 15-17 May 2001. GCP/INT/648/NOR, Field Report F-18, 33p.

474 Indonesian Journal of International Law

Page 11: Perkembangan Pengelolaan Perikanan Global

Perkembangan Pengelolaan Perikanan Global

RPP Perikanan Teluk Tomini dimana Dinas Perikanan ketigapropinsi (Sulawesi Utara, Gorontalo dan Sulawesi Tengah)beiperan aktif dalam penyusunan RPP tersebut9 Seiring denganperkembangan waktu, kegiatan pengelolaan akan menjadi pentingdi waktu yang akan datang karena tanpa pengelolaan yang baiksumber dayanya akan semakin berkurang. Kelemahan pengelolaandapat berakibat negatif terhadap ekspor suatu negara apabila padaakhirnya indikator pengelolaan dipakai dalam perumusan sertifikasiirnpor oleh negara-negara pengimpor. Ini inerupakan tantanganyang besar bagi negara-negara pengekspor ikan seperti Indonesiabilamana konsep pembangunan perikanan yang berkelanjutan tidakinendapatkan perhatian yang serius.

DAFTARBACAAN

Caton, A. (ed., 2003): Fishery Status Reports. Assessment of the Status ofFish Stocks Managed by the Australian Government. AustralianGovernment Department of Agriculture, Fisheries and Forestry,Bureau of Rural Sciences: 106p.

Delgado, C.L., N. Wada, M.W. Rosegrant, S. Meijer and M. Ahmed(2003): Fish to 2020. Supply and Demand in Changing GlobalMarkets. IFPRI Washington D.C. and WorldFish Center PenangMalaysia: 226p.

FAO (1995): Code of Conduct for Responsible Fisheries. Rome, FAO,1995:4lp.

FAO (2004): FAO/FISHSTAT database at the FAO websitehttp://www.fao.orgift/statist/FISOFT/FISHPLUS.asp

FISHCODE (1999): Report of a workshop on the fisheries andmanagement of Bali sardinella {Sardinella lemuru) in the BaliStrait. GCP/INT/648/NOR, Field Report f-3,30p.

9 FISHCODE (in press) : Report OR a workshop to draft management plan for theTomini Bay fisheries, Palu, October 2003.

Volume I Nomor 3 April 2004 475

Page 12: Perkembangan Pengelolaan Perikanan Global

Jurnal Hukum International

FISHCODE (2001): Report on a workshop to refine the draft managementplan for the Bali Strait sardine (lemuru) fisheries, banyuwangi 15-17 May 2001. GCP/INT/648/NOR, Field Report F-iS, 33p.

FISHCODE (in press): Report on a workshop to draft management planfor the Tomini Bay fisheries, Palu, October 2003.

WCED (1987): Our Common Future. World Environment andDevelopment. Oxford University Press, 400p.

476 Indonesian Journal of International Law