149
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sejarah ekonomi karet di Indonesia sudah bermula sebelum orang mulai menanam pohon-pohon karet pada abad ke-19. Secara tradisional penduduk mengumpulkan berbagai jenis getah dari hutan untuk ekspor yang berasal dari pohon yang bernama ficus elastica. Yaitu tanaman karet liar yang tumbuh secara alamiah di hutan-hutan kepulauan Indonesia. Tanaman ini dikenal dengan nama yang berbeda-beda menurut daerah tempatnya tumbuh. Di sekitar Palembang misalnya disebut rambung dan di Bengkulu dinamakan karet barang 1 . Orang mulai menanam ficus pada tahun 1890-an ketika harga-harga tanaman komersial merosot seperti kopi, tembakau, lada dan kapas. Selama akhir tahun 1890-an sewaktu harga kopi dan lada jatuh, di beberapa bagian daerah Palembang orang beralih ke tanaman ficus. Ketika 1 J. Thomas Lindblad, ed., Fondasi Historis Ekonomi Indonesia, Yogyakarta: Pusat Studi Sosial Asia Tenggara UGM, 2002, hal. 205. 1

Perkebunan karet di Desa Sidu Waras jambi

Embed Size (px)

Citation preview

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sejarah ekonomi karet di Indonesia sudah bermula sebelum orang mulai

menanam pohon-pohon karet pada abad ke-19. Secara tradisional penduduk

mengumpulkan berbagai jenis getah dari hutan untuk ekspor yang berasal dari

pohon yang bernama ficus elastica. Yaitu tanaman karet liar yang tumbuh secara

alamiah di hutan-hutan kepulauan Indonesia. Tanaman ini dikenal dengan nama

yang berbeda-beda menurut daerah tempatnya tumbuh. Di sekitar Palembang

misalnya disebut rambung dan di Bengkulu dinamakan karet barang1. Orang mulai

menanam ficus pada tahun 1890-an ketika harga-harga tanaman komersial merosot

seperti kopi, tembakau, lada dan kapas. Selama akhir tahun 1890-an sewaktu harga

kopi dan lada jatuh, di beberapa bagian daerah Palembang orang beralih ke

tanaman ficus. Ketika permintaan karet dunia meningkat diikuti dengan harga yang

naik pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 total ekspor produksi karet di

Keresidenan Palembang juga mengalami kenaikan dari 6.622 pikul pada tahun

1891 menjadi 12.419 pikul pada tahun 1900.

Perkebunan ficus rakyat pada sekitar akhir abad ke-19 oleh pemerintah

kolonial mendorong rakyat untuk menanamnya di beberapa tempat. Baru saja

orang mulai menyadap ficus yang ditanamnya, kemudian muncul dan

diperkenalkan jenis tanaman karet yang baru, yang lebih bernilai, yaitu havea.

1 J. Thomas Lindblad, ed., Fondasi Historis Ekonomi Indonesia, Yogyakarta: Pusat Studi Sosial Asia Tenggara UGM, 2002, hal. 205.

1

Dari penanaman percobaan ternyata bahwa hevea lebih cocok dengan iklim dan

kondisi tanah di sebagian besar wilayah Indonesia2.

Perkembangan industri di Amerika dan di Eropa terumata dengan majunya

industri mobil yang memerlukan lebih banyak karet menyebabkan harga karet

menjadi naik. Ketika permintaan dunia terhadap karet meningkat secara tajam,

maka dilakukan usaha-usaha untuk menanam karet jenis Hevea Brasiliensis, sebab

pohon-pohon karet liar atau ficus yang diusahakan sebelumnya tidak dapat lagi

memuaskan akan permintaan karet dunia. Terdapat berbagai jenis pohon karet,

akan tetapi pohon hevea menghsilkan lebih banyak lateks dan komposisinya juga

lebih cocok dengan kebutuhan pasar dunia.

Sangat sulit untuk mengetahui secara pasti kapan penduduk di Indonesia

mulai menanam karet hevea. Menurut bekas residen Palembang awal penanaman

karet hevea oleh petani di Keresidenan Palembang adalah pada tahun 1905, yaitu

sama dengan di Jambi, bahwa perkebunan hevea tertua di perusahaan keresidenan

ini telah dibuka pada tahun 1905.

Perkembangan tanaman karet di Indoensia lebih berkembang setelah

Nedherlands Indies membuka pintu bagi investor dari luar terutama dari Inggris,

Belgia, dan Amerika. Harrison and Crossfiel Company ( 1906 ) merupakan

perusahaan asing pertama yang membuka areal perkebunan karet di Indoenesia.

Kemampuan mengerahkan modal, penerapan cara-cara budidaya secara ilmiah dan

modern, dan teknik-teknik pemasaran secara efisien adalah merupakan nilai tambah

yang dimiliki oleh para investor asing. Hal ini menyebabkan perkembangan

perkebunan karet di Indonesia sangat cepat dibandingkan dengan perkembangan

2 Ibid

2

industri karet di Malaysia. Perkembangan yang pesat tersebut ditopang oleh

berbagai fasilitas yang diberikan oleh pemerintah Hindia Belanda.

Sejarah perkembangan perkebunan di Indonesia sebagai bagian dari sejarah

perekonomian Indonesia tidak dapat dipisahkan dari perkembangan kolonialisme,

kapitalisme dan modernisasi3. Di negara-negara berkembang, pada umumnya

perkebunan hadir sebagai perpanjangan dari perkembangan kapitalis agraris Barat

yang diperkenalkan memalui sistem perekonomian kolonial. Perkebunan pada awal

perkembangannya hadir sebagai sistem perekonomian baru yang semula belum

dikenal. Sebelum mengenal sistem perkebunan dari Barat, masyarakat Indoensia

lebih dahulu mengenal sistem kebun sebagai bagian dari sistem perekonomian

pertanian tradisional. Berbeda dengan sistem kebun, sistem perkebunan merupakan

bagian dari sistem perekonomian pertanian komersial atau kapitalistik.

Selain itu, perkebunan karet di Indoensia mulai diperkenalkan sejak Hofland

mendirikan perusahaan perkebunan karet di tanah Pamanukan dan Ciasem, Jawa

Barat. Jenis karet yang ditanam masih merupakan jenis karet rambung ( Ficus

Elastica ), sedangkan karet hevea ( Hevea Brasiliensis ) diperkenalkan di Sumatera

Timur pada tahun 1902, sebagai tanaman pengganti di daerah yang tidak cocok

bagi tanaman tembakau, dan di Jawa pada tahun 19064.

Keadaan sosial ekonomi petani karet mempunyai hubungan dengan hasil

produksi karet rakyat. Hal ini berarti bahwa usaha peningkatan mutu karet rakyat

menjadi kurang efektif bila keadaan sosial ekonomi petani karet tidak ditingkatkan

pula. Keadaan sosial ekonomi petani karet, yang masih kurang memadai dilihat 3 Sartono Kartodirdjo dan Djoko Suryo, Sejarah Perkebunan di Indonesia: Kajian Sosial

Ekonomi, Yogyakarta: Aditya Media, 1991, hal 3.4 Mubyarto dan Awan Setya Dewanta, Karet: Kajian Sosial Ekonomi, Yogyakarta: Aditya

Media, 1991, hal 17.

3

dari segi pendapatan, pengeluaran dan distribusinya, sehingga berakibat pada

pemeliharaan tanaman karet kurang intensif.

Rendahnya produktivitas disebabkan kurangnya pengelolaan dan rendahnya

harga karet petani, juga campuran karet olah adalah dua perilaku petani karet

diakibatkan oleh terdesaknya keburuhan ekonomi rumah tangga petani karet.

Keterdesakan seperti itu sering menyebabkan para petani karet sering mengambil

jalan pintas, sehingga tidak heran apabila para tengkulak jarang yang mau

membeli karet dengan harga yang tinggi. Para petani karet tersebut tidak sadar

akibat perilaku kecurangan tersebut menyebabkan kerugian di pihak mereka sendiri,

karena harga karet akan cenderung turun.

Perkebunan karet sudah lama dikenal di Indonesia, yaitu sejak pemerintahan

kolonial Belanda. Di Indonesia karet merupakan komoditi yang penting5. Selain

karena potensi ekonominya, juga potensi alam dan iklimnya yang mendukung.

Tumbuhan karet biasanya dapat tumbuh pada daerah yang mempunyai suhu tropis.

Selain itu tanaman jenis karet merupakan jenis tanaman yang sangat diminati di

pasar dunia, sehingga banyak para petani karet yang mengalami peningkatan

perekonomiannya. Tingginya mutu karet membuat hampir di semua wilayah

Indonesia terdapat jenis perkebunan karet, baik perkebunan karet besar maupun

perkebunan karet rakyat.

Desa Sugih Waras Kecamatan Rambang Kabupaten Muara Enim Sumatera

Selatan merupakan sebuah daerah yang mempunyai keadaan alam dan iklim yang

mendukung bagi pertumbuhan dan perkembangan tanaman perkebunan jenis karet.

5 Syamsulbahri, Bercocok Tanam Tanaman Perkebunan Tahunan, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1996, hal 274.

4

Potensi alam dan iklimnya yang mendukung merupakan sebuah syarat bagi

tanaman karet untuk tumbuh subur di desa Sugih Waras. Tidak heran apabila

hampir 90 % penduduknya berprofesi sebagai petani karet, sehingga usaha

perkebunan karet merupakan pola mata pencaharian yang utama bagi

masyarakatnya.

Seperti halnya perkebunan karet yang terdapat di daerah-daerah lainnya di

Indonesia, perkebunan karet rakyat di desa Sugih Waras juga memiliki sejarah

panjang. Pasang surut perekonomian masyarakat di sekitar perkebunan karet turut

memberi dampak tersendiri bagi perkembangannya. Perkebunan karet telah berperan

penting bagi kesejahteraan perekonomian masyarakat desa Sugih Waras.

Pembukaan perkebunan karet di desa Sugih Waras diperkenalkan oleh

pemerintah pada tahun 1978, di mana pada tahun 1978 masyarakat bersama-sama

Pemerintah Daerah Tingkat I Sumatera Selatan membuka Proyek Perkebunan Karet

Rakyat (PPKR). Pemerintah Daerah Tingkat I Sumatera Selatan membuka

perkebunan karet rakyat dengan lima tahap, Dibukanya perkebunan karet yang

pertama pada tahun 1978 sampai tahun 1984 yang merupakan tahap terakhir.

Proyek Perkembangan Karet Rakyat (PPKR) adalah program yang dicetuskan

oleh Pemerintah Republik Indonesia untuk menyelamatkan perekonomian rakyat

kecil. Program ini merupakan salah satu pola pengembangan perkebunan rakyat.

Dalam konsep PPKR, pemerintah berperan sebagai inti, sedangkan perkebunan

rakyat berperan sebagai peserta

Awal dibukanya perkebunan karet rakyat di desa Sugih Waras tahun 1978-

1979, dibuka seluas 60 hektar lahan , untuk 60 kepala keluarga (KK) mendapatkan

5

bagian masing-masing satu hektar per kepala keluarga. Dengan dibukanya

perkebunan karet rakyat tersebut diharapkan dapat membantu perekonomian rakyat,

sehingga masyarakat dapat terbebas dari belenggu kemiskinan.

Pertumbuhan dan perkembangan karet diharapkan mempengaruhi tingkat

pertumbuhan perekonomian masyarakat desa Sugih Waras, sehingga Pemerintah

Daerah Tinggkat I Sumatera Selatan membuka perkebunan karet tahap kedua, yaitu

pada tahun 1980 – 1981. Pada tahap ke-dua ini dibuka perkebunan karet seluas

200 hektar. Peningkatan jumlah pembukaan lahan perkebunan karet agar dapat

lebih meningkatkan tarap hidup masyarakat desa Sugih Waras.

Pada tahun 1981 – 1982, merupakan tahap ke-tiga dibukanya lahan perkebunan

seluas 250 hektar. Selanjutnya pada tahun 1982 – 1983 yang merupakan tahap ke-

empat dibuka lahan seluas 250 hektar. Tahap ke-lima atau tahap terakhir pada

tahun 1983 – 1984, dibuka perkebunan karet oleh Pemerintah Daerah Tingkat I

Sumatera Selatan seluas 250 hektar. Lima tahap dibukanya perkebunan karet

tersebut merupakan program Proyek Perkembangan Karet Rakyat dan diharapkan

dapat membantu para penduduk desa Sugih Waras untuk meningkatkan

perekonomian mereka. Dari ke-lima tahap tersebut jumlah tanaman karet yang

telah ditanam berjumlah 1.010 hektar, tentunya sebuah bantuan yang sangat besar

artinya bagi masyarakat desa Sugih Waras mengingat besarnya jumlah tanaman

karet tersebut.

Lima tahun berikutnya, tepatnya pada tahun 1985, masyarakat desa Sugih

Waras sudah mulai menanam karet sendiri, biarpun tanpa bantuan dari pemerintah

daerah. Setahap demi setahap masyarakat desa Sugih Waras mulai berani

6

membuka sendiri perkebunan karet, meskipun dilakukan dengan cara bergotong-

royong oleh masyarakat setempat.

1.2 Rumusan Masalah

Periode yang diambil dalam penelitian ini mulai dari tahun 1978 dan

berakhir pada tahun 1990. Dimulai dari tahun 1978 karena pada tahun ini adalah

awal dimulainya pembukaan perkebunan karet di desa Sugih Waras, sedangkan

tahun 1990 merupakan batasan akhir dari penelitian ini. Diambilnya tahun 1990

sebagai batasan dari penelitian ini karena tentunya sudah banyak kemajuan-

kemajuan yang dirasakan oleh masyarakat desa Sugih Waras, terutama masalah

perekonomian dan kesejahteraan.

Agar penelitian lebih terarah, perumusan masalah disusun sebagai berikut:

1. Bagaimana keadaan masyarakat desa Sugih Waras sebelum dibukanya

perkebunan karet ?

2. Mengapa dibuka perkebunan karet oleh Pemerintah Daerah Tingkat I

Sumatera Selatan ?

3. Apa manfaat yang dirasakan oleh masyarakat desa Sugih Waras setelah

dibukanya perkebunan karet ?

1.3 Tujuan dan Manfaat

Penelitian ini memiliki tujuan dan manfaat yang penting tentunya, bukan

hanya bagi peneliti tetapi juga bagi masyarakat umum.

7

Penelitian ini bertujuan untuk :

1. Mengetahui gambaran umum kehidupan sosial ekonomi penduduk desa Sugih

Waras.

2. Mengetahui proses dibukanya perkebunan karet rakyat di desa Sugih Waras.

3. Mengetahui perkembangan kehidupan sosial ekonomi masyarakat desa Sugih

Waras.

Manfaat dari penelitian ini, yaitu:

1. Sebagai tambahan referensi bagi masyarakat umum dalam mengetahui sejarah

perkebunan karet rakyat khusus di desa Sugih Waras Kecamatan Rambang

Kabupaten Muara Enim Sumatera Selatan.

2. Menambah inventarisasi sumber sejarah lokal umumnya di daerah Propinsi

Sumatera Selatan dan khususnya bagi masyarakat desa Sugih Waras.

1.4 Tinjauan Pustaka

Sesuai dengan judul skripsi ini “kehidupan sosial ekonomi masyarakat petani

karet rakyat desa Sugih Waras Kecamatan Rambang Lubai Sumatera Selatan

(1978–1990 )”, penulis menggunakan literatur mengenai kajian sosial ekonomi. Di

antaranya buku berjudul Sejarah Perkebunan di Indonesia: Kajian Sosial

Ekonomi, karangan Sartono Kartodirdjo dan Djoko Suryo, menjelaskan bahwa

sistem kebun tanaman tahunan pada lahan tetap sudah berusia tua, berlangsung di

Indonesia diperkirakan sejak 1200 M. Adakalanya kebun lebih diusahakan untuk

satu jenis tanaman perdagangan tertentu, seperti pala, lada, cengkeh, atau kemudian

8

kopi, karet, dan lain-lain. Berbeda dengan sawah, kebun kurang menuntut tenaga

kerja dengan jumlah besar, karena tidak memerlukan pembangunan dan

pemeliharaan khusus, seperti irigasi yang diperlukan persawahan. Kebun juga tidak

menuntut lokasi yang istimewa, asal iklim dan struktur tanahnya cocok, penanaman

tanaman dapat diselenggarakan. Selain itu, sekali kebun dibangun di suatu tempat

akan dapat berlangsung terus dengan usianya yang cukup lama, yaitu 50 tahun

atau lebih6.

Dalam buku Karet: Kajian Sosial Ekonomi, yang ditulis oleh Mubyarto dan

Awan Setya Dewanta, mengungkapkan bahwa areal tanaman karet rakyat di tiga

provinsi produsen utama adalah Sumatera Utara, Sumatera Selatan, dan Kalimantan

Barat. Terpusatnya areal perkebunan tersebut tidak terlepas dari faktor alam,

perkembangan ekonomi dan kebijaksanaan pengembangan yang dilakukan oleh

pemerintah Hindia Belanda. Berkembanganya perkebunan-perkebunan kecil juga

menguntungkan pemerintah, sebab tidak perlu mengeluarkan dana tambahan untuk

penyuluhan dan pembinaan perkebunan rakyat. Perkebunan rakyat berkembang

karena tuntutan ekonomi dan ikut mengambil kesempatan memperoleh harga karet

yang tinggi. Pemerintah Hindia Belanda membiarkan perkembangan produksi karet

alam, sebab produksi karet rakyat lebih luwes dibandingkan perkebunan besar.

Produksi karet rakyat dapat dikurangi dengan mudah ataupun dinaikkan tergantung

kebutuhan dan kemauan petani karet. Oleh karena pemerintah Hindia Belanda

tidak mengatur perkembangan karet rakyat, maka juga “tidak mampu“

mengendalikan produksi karet rakyat7.

6 Sartono Kartodirdjo, Op. Cit. hal. 17. 7 Mubyarto dan Awan Setya Dewanta, Op. Cit, hal. 82-83, 90.

9

Sebuah acuan konsep sangat penting dalam penulisan ini adalah hasil survei

perkembangan penanaman karet rakyat di Indonesia pada era kolonial akhir di

daerah Jambi, Palembang, dan Kalimantan Selatan, oleh Bambang Purwanto

berjudul “Ekonomi Karet Rakyat Indonesia, tahun 1890-an sampai 1940” yang

disunting oleh J. Thomas Lindblad dalam buku Fondasi Historis Ekonomi

Indonesia. Purwanto mengungkapkan bahwa di keresidenan Palembang awal

penanaman karet rakyat terjadi pada tahun 1905. Penanaman Havea di Palembang

juga menyebar hampir di semua distrik, di mana Ogan Ulu, Ogan Ilir, Lematang

Ilir, Komering Ulu, Rawas, Komering Ilir, dan Musi Ilir merupakan daerah-daerah

utama yang menghasilkan karet. Kecenderungan secara serupa temporer terjadi di

Palembang dan Kalimantan Selatan. Pada tahun 1913 dan 1914 harga-harga karet

jatuh, tetapi hal ini tidak menghentikan orang menanam karet karena ketika harga

pulih pada tahun berikutnya penanaman-penanaman baru dapat ditemukan di semua

bagian daerah-daerah temporer mengurangi pesaing ekspansi perkebunan karet

rakyat yang bergelombang, tetapi penduduk di beberapa tempat seperti Ogan Ulu

dan Komering Ulu di Palembang terus menanam pohon karet baru8.

1.5 Metode Penelitian

Penulisan sejarah merupakan suatu karya ilmiah yang memerlukan adanya

suatu metode untuk menghasilkan suatu tulisan sejarah. Metode sejarah adalah

proses menguji dan menganalisis secara kritis rekaman dari peninggalan masa

lalu9. Metode berupa aturan-aturan yang dirancang untuk membantu dengan efektif

8 J. Thomas Lindblad, Op. Cit, hal. 206-207, 210.9 Louis Gottscalk, Mengerti Sejarah, terjemahan Nugroho Notosusanto dari judul

Understanding History, Jakarta: UI Press, 1985, hal. 32.

10

dalam mendapatkan kebenaran dari suatu peristiwa sejarah. Metode sejarah bersifat

ilmiah jika dengan ilmiah dimaksudkan mampu untuk menentukan fakta yang

dapat dibuktikan dengan fakta, maka diperoleh hasil pemeriksaan yang kritis

terhadap dokumen sejarah dan bukan suatu unsur daripada aktualitas yang

lampau10.

Tahap pertama dari penelitian ini adalah tahap heuristik yaitu:

mengumpulkan literatur termasuk bahan-bahan keterangan berkenaan dengan

penelitian, data atau laporan dari pemerintah daerah Tingkat I Sumatera Selatan

dan pemerintahan daerah Tingkat II Muara Enim, juga sebagai referensi digunakan

situs internet dan wawancara dengan informan-informan yang telah dipilih untuk

mendapatkan keterangan lebih lengkap dan mendalam. Dengan demikian penulisan

skripsi ini dilakukan melalui studi kepustakaan dan penelitian lapangan.

Dari data atau sumber yang terkumpul dilakukan kritik terhadap sumber

agar menjadi sumber yang dipilih. Langkah ini disebut kritik sumber, baik kritik

intern maupun kritik ekstern. Kemudian langkah berikutnya adalah interpretasi,

yaitu menafsirkan sumber-sumber yang terkumpul agar menjadi fakta yang valid.

Langkah yang terakhir adalah historiografi, yaitu penulisan secara sistematis dan

kronologis.

Metode sejarah digunakan oleh penulis dengan tahapan-tahapan seperti

disebutkan di atas untuk menghasilkan tulisan bersifat ilmiah.

BAB II

GAMBARAN UMUM DESA SUGIH WARAS

10 Ibid, hal. 143.

11

Desa merupakan sebagai satu kesatuan teritorial dan administrasi terkecil bagi

sebuah komunitas masyarakat, sehingga tidak jarang apabila desa sering dikatakan

sebagai tempat terkecil bagi sebuah masyarakat. Sugih Waras merupakan sebuah

daerah terkecil bagi masyarakatnya. Ciri terluar dari suatu desa adalah sifat

kebersamaannya dalam berbagai hal, terlebih bagi kepentingan umum. Rasa

kebersamaan itulah yang membuat masyarakat di sebuah desa hidup rukun dan

damai. Begitu pula dengan masyarakat desa Sugih Waras. Masyarakat desa Sugih

Waras yang rata-rata merupakan petani karet turut menjadikan desa tersebut

berkembang sebagaimana desa-desa lainnya di Indonesia.

Pada dasarnya masyarakat pedesaan menggantungkan kehidupannya dengan

melakukan pekerjaan sebagai petani. Selain itu sistem kehidupannya berkelompok

atas dasar sistem kekeluargaan, yang membuat sifat kegotong-royongan masyarakat

di pedesaan tetap berlangsung. Hal demikian juga turut dirasakan oleh sebagian

besar masyarakat di desa Sugih Waras, di mana masyarakat desa Sugih Waras

menggantungkan kehidupannya dari sektor pertanian dan juga perkebunan.

Dalam menanami lahan pertanian, masyarakat desa Sugih Waras hanya

menanam padi di samping tanaman yang dapat mereka konsumsi sehari-hari,

seperti jagung, ubi kayu, ubi rambat, pisang, dan berbagai tanaman sehari-hari

yang dapat mereka konsumsi. Sungguh sebuah kehidupan yang praktis mereka

jalani.

2.1 Kondisi Desa

12

Desa Sugih Waras berada di dalam wilayah Kecamatan Rambang Lubai

Kabupaten Muara Enim Sumatera Selatan. Desa Sugih Waras dibelah oleh sebuah

jalan utama yaitu jalan raya Rambang. Desa Sugih Waras memiliki luas wilayah

4.518 hektar, sedangkan luas wilayah desa yang menjadi pemukiman penduduk

ialah 50 hektar. Selebihnya yaitu 4.468 Ha merupakan wilayah tanaman

perkebunan karet rakyat, lahan pertanian dan lahan-lahan lainnya.

Desa Sugih Waras diapit oleh tiga buah sungai yang mengelilingi

daratannya, yaitu di sebelah selatan dan timur mengalir sungai Telaga, di sebelah

barat terdapat sungai Air Itam dan di sebelah utara terdapat sungai Rambang.

Sungai Telaga mengelilingi sebagian wilayah desa Sugih Waras.

Desa Sugih Waras terdiri atas enam dusun. Adapun ke-enam dusun

berbanjar mengikuti arah jalan utama desa. Di bagian selatan merupakan wilayah

Dusun I dengan Dusun VI, sedangkan bagian tengah desa merupakan wilayah

Dusun II dengan Dusun V.

Selanjutnya di sebelah timur desa ialah wilayah bagi Dusun III dengan

Dusun IV. Begitulah dusun-dusun yang terdapat di dalam wilayah desa Sugih

Waras. Setiap dusun dikepalai oleh seorang kepala dusun atau sering disingkat

KADUS.

Keadaan jalan utama desa cukup baik, sudah beraspal. Pada tahun 1984

jalan utama desa mulai dibangun dengan diaspal. Sebelumnya memang jalannya

sudah besar tetapi belum diaspal atau masih tanah liat campur dengan batu-batu

kerikil. Dari kota Palembang untuk mencapai daerah desa Sugih Waras berjarak

kira-kira 103 km, atau sekitar empat jam jarak tempuh menggunakan bus umum,

13

sedangkan untuk mencapai Kabupaten Muara Enim dari desa Sugih Waras berjarak

kira-kira 76 km, atau dua jam jarak tempuh menggunakan bus umum.

Keadaan jalan yang cukup baik tersebut sangat membantu masyarakat desa

Sugih Waras dalam melakukan hubungan dengan daerah-daerah di luar desa Sugih

Waras. Selain itu jalan juga menjadi sarana transportasi bagi masyarakat dalam

menjual hasil-hasil karet mereka kepada para pembeli karet yang sering disebut

penduduk sebagai “toke karet”.

Kondisi tanah desa Sugih Waras pada umumnya dataran rendah, sehingga

hampir sebagian wilayah desa Sugih Waras rawan terkena bencana banjir, seperti

wilayah Dusun I dan Dusun VI yang merupakan daerah terendah. Pada umumnya

daerah desa Sugih Waras merupakan daerah pertanian ladang atau mesyarakat

sering menyebutnya “ume”. Sistem pertanian tersebut dilakukan secara berpindah-

pindah, setelah tiga tahun mereka akan membuka lahan pertanian yang baru

dengan meninggalkan ladang atau ume mereka.

Apabila pada awalnya lahan pertanian penduduk hanya ditanami tanaman

kebutuhan sehari-hari, akan tetapi setelah adanya pembukaan perkebunan karet

rakyat oleh pemerintah, maka masyarakat desa Sugih Waras menanam karet

sendiri. Mereka membuka lahan pertanian ladang sekaligus menanam tanam karet.

Kantor kepala desa Sugih Waras terletak di sebelah timur desa, sehingga

apabila pertama kali masuk ke desa tidak akan menjumpai kantor kepala desa,

karena letak kantor tersebut di hulu desa. Bangunan Sekolah Dasar terdapat di

wilayah tengah desa, tepatnya berada di wilayah Dusun IV. Selanjutnya di dekat

kantor kepala desa terdapat bangunan Pusat Kesehatan Masyarakat (PUSKESMAS),

14

tapi sarana kesehatan ini belum bisa menerima rawat inap, karena bangunannya

yang masih kecil dan peralatanya belum memadai untuk menerima pasien rawat

inap.

Selain itu terdapat bangunan mesjid Jami’i Asyuhadda yang merupakan

tempat masyarakat melakukan ibadah keagamaan. Di samping mesjid terdapat

bangunan balai desa, di mana bangunan ini digunakan oleh masyarakat untuk

melakukan acara-acara yang berhubungan dengan desa. Di antarannya untuk

upacara-upacara adat, rapat-rapat desa, tempat pemilihan kepala desa, hingga

tempat melaksanakan pementasan seni budaya.

2.2 Kondisi Geografis

Penulisan sejarah tidak terlepas dari salah satu unsurnya yang penting, yakni

lokasi atau tempat penelitian. Desa Sugih Waras yang merupakan sebuah daerah

yang berada di wilayah Kabupaten Muara Enim Provinsi Sumatera Selatan, letak

astronomisnya berada antara 40 Lintang Selatan - 60 Lintang Selatan dan 1040

Bujur Timur - 1060 Bujur Timur. Desa Sugih Waras berada pada ketinggian 25

meter di atas permukaan laut serta beriklim tropis, dengan temperatur rata-rata

280C. Iklim ini dipengaruhi oleh angin pegunungan dan angin laut.

Adapun letak geografis desa Sugih Waras adalah sebagai berikut :

a. Sebelah utara berbatasan dengan desa Kencana Mulya

b. Sebelah timur dan selatan berbatasan dengan desa Pagar Agung

c. Sebelah barat berbatasan dengan desa Sumber Rahayu

15

Sebagai desa yang hampir semua penduduknya adalah bekerja sebagai petani

karet tentunya memiliki potensi untuk berkembang lebih maju. Hal itu disebabkan

pola perekonomian masyarakatnya yang sudah lebih baik dan juga faktor

masyarakatnya yang menginginkan kemajuan, sehingga desa Sugih Waras

mengalami perkembangan. Dengan adanya pembukaan perkebunan karet rakyat

pada tahun 1978 masyarakat sangat tertolong perekonomiannya.

Dengan luas wilayah lahan perkebunan karet rakyat yang berkisar 4.518 Ha

perkembangan masyarakat dan juga perekonomian penduduk desa Sugih Waras

turut berkembang. Selain itu potensi alamnya yang mendukung pertumbuhan

tanaman karet, juga faktor iklimnya yang cocok untuk pertumbuhan dan

perkembangan tanaman karet di desa Sugih Waras.

Keadaan iklim yang mendukung itulah yang menjadi keuntungan tersendiri

bagi masyarakat desa Sugih Waras untuk mengembangkan perkebunan karet untuk

meningkatkan tarap hidup mereka. Di samping itu desa Sugih Waras memiliki

dua musim yang datang secara bergantian.

Dengan dua musim ini ada masyarakat yang diuntungkan, akan tetapi ada

pula yang dirugikan. Apabila produksi tanaman karet mengalami penurunan,

sehingga pendapatan mereka menjadi terganggu sebab datangnya musim kemarau

berdampak kepada berkurangnya kelembaban tanah. Musim kemarau mengakibatkan

menurunnya produksi lateks tanaman karet.

Pada musim hujan di mana sebagian daerah desa Sugih Waras merupakan

daerah rawan banjir, sehingga air menggenang di jalan-jalan ke daerah

16

perkebunan karet. Hal ini juga berdampak terhadap sumber mata pencaharian

penduduk.

2.3 Keadaan Penduduk

Berdasarkan sumber kantor kepala desa Sugih Waras tahun 1990 penduduk

desa Sugih Waras berjumlah 3.220 orang, terdiri dari 540 kepala keluarga. Adapun

jumlah penduduk dapat diperinci menurut jenis kelamin, kelompok umur, kelompok

tenaga kerja, dan agama yang dianut. Jumlah penduduk tersebut terdiri dari 2.130

jiwa laki-laki dan 1.120 jiwa perempuan.

Berdasarkan data jumlah penduduk desa Sugih Waras tahun 1990 itu dapat

diketahui bahwa rata-rata setiap keluarga mempunyai empat orang anak. Tak

diperoleh data kependudukan pada tahun 1978 sebagai awal penelitian maupun

data dalam rentang waktu 12 tahun ( 1978 – 1990 ) periode penelitian ini.

Kesulitan untuk memperoleh data tersebut disebabkan tidak ada tersimpan arsip

surat menyurat sebagai inventaris kantor kepala desa. Dengan demikian analisis

kehidupan sosial ekonomi masyarakat desa Sugih Waras dilakukan secara kualitatif

tanpa data kuantitatif pertumbuhan jumlah penduduk.

Berdasarkan wawancara diketahui bahwa jumlah penduduk desa Sugih

Waras mengalami peningkatan dibandingkan dari tahun-tahun sebelumnya. Populasi

penduduk lebih besar angka kelahiran laki-laki daripada kaum perempuan. Tak

diperoleh keterangan mengenai jumlah penduduk desa Sugih Waras tahun 1978

sebagai awal penelitian, kecuali bahwa jumlah penduduk desa Sugih Waras dari

tahun ke tahun terus mengalami pertambahan. Pernyataan ini berdasarkan

17

pengamatan dan pengalaman bahwa pada umumnya secara rata-rata angka

kelahiran akan lebih besar daripada angka kematian, yang menyebabkan bahwa

setiap tahunnya populasi penduduk akan terus bertambah.

Mengenai jumlah penduduk desa Sugih Waras berdasarkan tingkat usia

sebagaimana terlihat pada tabel ! di bawah ini :

TABEL 1

Jumlah Penduduk Berdasarkan Kelompok Umur

No. Kelompok Umur Jumlah

1. 0 - 6 tahun 491

2. 7 - 12 tahun 557

3. 13 - 15 tahun 445

4. 16 - 19 tahun 398

5. 20 - 25 tahun 296

6. 26 - 35 tahun 280

7. 36 - 45 tahun 240

8. 46 - ke atas 543

Jumlah 3.250

Sumber : Kantor Kepala Desa Sugih Waras, tahun 1990.

Tabel di atas memperlihatkan bahwa tingkat populasi penduduk desa Sugih

Waras yang cenderung hampir berimbang antara kelahiran dan kematian. Di

samping itu penduduk berusia 7 tahun sampai dengan 19 tahun berjumlah 1.400

18

orang, artinya bahwa sekitar 43 % penduduk desa Sugih Waras adalah pada usia

sekolah. Tingkat pertumbuhan penduduk rata-rata 2,0 % per tahun.

Pada tabel 2 adalah distribusi penduduk berdasarkan usia kerja, yaitu dapat

dilihat dalam tabel di bawah ini :

TABEL 2

Jumlah Penduduk Berdasarkan Usia Kerja

No. Kelompok Tenaga Kerja Jumlah

1. 13 - 19 tahun 292 jiwa

2. 20 - 25 tahun 457 jiwa

3. 26 - 30 tahun 435 jiwa

4. 31 - 40 tahun 550 jiwa

5. 41 - 50 tahun 444 jiwa

6. 51 - 60 tahun 431 jiwa

7. 60 - tahun ke atas 191 jiwa

Jumlah 2.802 jiwa

Sumber : Kantor Kepala Desa Sugih Waras, tahun 1990.

Dari tabel di atas dapat diketahui perbedaan tingkat akurasi umur

penduduk berdasarkan usia kerja. Tidak terjadi pergeseran terlalu signifikan

terhadap perbedaan umur. Apabila usia 7 sampai 19 tahun dianggap sebagai usia

sekolah dan usia 20 sampai usia 50 tahun adalah usia kerja, maka lebih dari

separuh jumlah penduduk terlibat dalam kegiatan perkebunan karet rakyat, yaitu

19

1.886 orang atau sekitar 51 %. Begitupun perlu diketahui bahwa dalam angka

tersebut tentu terdapat penduduk bermatapencaharian lain, ialah sebagai pedagang,

PNS, dan sebagainya. Bahkan tidak jarang pula usia di bawah 19 tahun atau usia

di atas 50 tahun mereka masih aktif dalam kegiatan perkebunan karet rakyat.

Atau sebaliknya dalam angka sekitar 51 % tersebut terdapat di antaranya tidak

terlibat sama sekali dalam kegiatan perkebunan karet rakyat.

Penduduk desa Sugih Waras seluruhnya ( 100 % ) penganut agama Islam,

yaitu agama yang sudah dianut secara turun temurun semenjak orang tua mereka.

Hal ini juga menjelaskan bagaimana persatuan dan kesatuan mereka yang

disatukan oleh persamaan keyakinan di antara mereka yaitu agama Islam.

Di desa Sugih Waras terdapat satu bangunan mesjid yang cukup besar

untuk menampung dalam melakukan peribadatannya. Untuk merayakan hari-hari

besar Islam seperti sholat idul fitri dan sholat idul adha, masyarakat desa Sugih

Waras melakukannya di lapangan Sekolah Dasar Negeri No. 1. Dalam keadaan

seperti ini masyarakat sangat merasakan eratnya persaudaraan sesama umat Islam.

2.4 Latar Belakang Historis

Desa Sugih Waras adalah merupakan desa pertanian khususnya perkebunan

karet rakyat. Hal ini tidak terlepas dari faktor alam yang mendukung untuk

pertumbuhan perkebunan karet. Menurut beberapa informan, mengatakan bahwa

20

desa Sugih Waras berdiri pada tahun 186811. Pada mulanya desa ini berbentuk

sebuah kampung kecil atau dikenal dengan sebutan “talang”. Awalnya kampung

Sugih Waras dipimpin oleh seorang ketua kampung, di mana ketua kampung inilah

yang bertanggung jawab akan hal-hal yang berkaitan dengan kesejahteraan

masyarakatnya. Ketua kampung yang pertama bernama Ngawak Ditangai. Beliaulah

yang memberikan nama Sugih Waras kepada kampung yang sekarang ini.

Sebelum nama Sugih Waras diresmikan menjadi nama kampung, nama

kampung tersebut adalah Talang Medang dan Talang Pulau. Kedua kampung ini

belakangan menjadi satu dengan nama Sugih Waras. Menurut ceritanya Ngawak

Ditangai memiliki ilmu kesaktian mandraguna, sehingga ia mampu memimpin

kampung Sugih Waras. Adapun arti dari kata sugih adalah kaye atau kaya,

sedangkan kata waras adalah sehat. Jadi arti keseluruhan dari kata Sugih Waras

adalah desa yang masyarakatnya kaya dan sehat.

Masyarakat yang mendiami desa Sugih Waras merupakan masyarakat dari

suku Melayu. Awalnya orang-orang Melayu datang ke desa Sugih Waras melalui

muara sungai Rambang, yaitu sungai Ogan yang berada di wilayah Muara Enim.

Rie Tungkat Kaye dan istrinya Rie Sekati memimpin rombongan yang datang ke

desa Sugih Waras. Pasangan suami istri inilah yang menyebarkan agama Islam di

bumi Rambang. Selain itu juga orang-orang Melayu ini juga membawa adat-

istiadat Melayu dari daerah mereka ke desa Sugih Waras. Sehingga semenjak

kedatangan orang-orang Melayu tersebut masyarakat kampung Sugih Waras

memeluk agama Islam dan menerima kebudayaan masyarakat Melayu yang mereka

11 Hasil wawancara dengan Bapak Burani Taji, tokoh adat desa Sugih Waras, pada tanggal 14 Juli 2008.

21

bawa. Tak diperoleh keterangan mengenai tahun berapa Rie Tungkat Kaye beserta

rombongan tiba di desa Sugih Waras, karena tidak terdapat tulisan-tulisan atau

arsip peninggalan yang dapat menjelaskan kapan Rie Tungkat Kaye dan

rombongan tiba di desa Sugih Waras.

22

BAB III

PROYEK PERKEBUNAN KARET RAKYAT

DESA SUGIH WARAS DI SUMATERA SELATAN

Perkebunan rakyat atau kebun rakyat adalah satu di antara kegiatan sistem

pertanian yang telah lama dikenal di Indonesia. Tiga bentuk kegiatan pertanian

lainnya adalah sistem perladangan, sistem sawah, dan sistem tegalan. Sistem kebun

( garden system ) ialah kegiatan pertanian yang menggarap tanaman ( perdu )

berusia panjang ( perennial ) atau tanaman penghasil panenan ( crops ) yang

ditanam pada lahan tetap. Semua sistem itu telah berlaku di Indonesia sebelum

kedatangan bangsa Eropa, di mana masing-masing hingga saat sekarang juga masih

berlaku. Kebun kopi dan karet telah meluas ke wilayah perladangan kuno di

daerah Minangkabau ( Sumatera Barat ) sejak akhir abad ke-19. Marsden, penulis

Sejarah Sumatera, menegaskan bahwa sistem kebun sudah banyak dilakukan di

Sumatera pada abad ke-1812.

Penanaman karet jenis havea ( Havea Brasiliensis) mulai dikenal penduduk

keresidenan Palembang pada tahun 1905. Kemudian tanaman karet rakyat ini

menyebar hampir ke seluruh distrik, seperti Ogan Ulu, Ogan Ilir, Lematang Ilir,

Rawas, Komering Ulu, Komering Ilir, dan Musi Ilir. Karet adalah tanaman

komersial, sehingga penduduk terus membuka lahan-lahan baru penanaman karet.

Perkebunan rakyat berkembang seiring dengan perkembangan permintaan karet

dunia, terutama pengaruh dari “boom” harga pada tahun 1910 dan 1911. Yaitu

tingginya permintaan bahan baku karet di pasaran dunia.

12 Sartono Kartodirdjo dan Djoko Suryo, Loc. Cit., hal. 15-16, 17-18.

23

Pada umumnya perkebunan karet di Indonesia memiliki dua pola

pengembangan, yaitu pola tradisional dan pola subsisten ( utama atau pokok )

dengan pola modern dan komersial. Perkebunan rakyat tetap memiliki peranan

yang penting dalam ekspor karet pada awal perkembangan karet di Indonesia

hingga saat ini.

Faktor tanah dan keadaan alam yang mendukung merupakan alasan

bagaimana tanaman perkebunan karet dapat tumbuh dan berkembang di bumi

Indonesia. Faktor lain yang mendukung perkembangan tanaman karet ialah karena

dipengaruhi oleh permintaan bahan baku jenis karet di pasaran Eropa. Permintaan

akan bahan baku karet ini mengakibatkan terjadi “boom” harga.

Harga karet yang sangat rendah terjadi dalam tahun 1967 – 1972

menyebabkan luas areal “karet tidur” mencapai ratusan ribu hektar di wilayah-

wilayah karet di Jambi, Riau, dan Sumatera Selatan. Hal itu mengakibatkan

produksi karet Indonesia merosot sekali, dan secara keseluruhan produktivitas karet

rakyat di Indonesia sangat rendah selama kurun waktu 20 tahun sejak tahun 1965,

bahkan hampir mengalami kemandegan. Faktor-faktor penyebab rendahnya hasil

kebun karet rakyat adalah belum dilakukannya peremajaan dengan bibit unggul,

tidak dilakukannya pemupukan dan pemeliharaan tanaman, serta penyadapan yang

tidak teratur13.

Menghadapi merosotnya produktivitas karet rakyat secara meyeluruh di

Indonesia demikian, maka pada awal Pelita I pemerintah menempuh upaya serius

untuk merehabilitasi dan meremajakan tanaman karet rakyat melalui proyek-proyek

13 Mubyarto dan Awan Setya Dewanta, Op. cit., hal. 160.

24

PRPTE ( Proyek Rehabilitasi dan Perluasan Tanaman Ekspor ) sekaligus juga

membangun pusat-pusat pengolahan karet di sentra-sentra produksi karet rakyat.

Di Sembawa dekat Palembang, Balai Penelitian karet secara terus menerus

mencari cara-cara diversifikasi yang bisa membantu kombinasi tanaman karet

untuk meningkatkan pendapatan keluarga. Sejak tahun 1977 pemerintah melalui

satu proyek yang cukup ambisius dan radikal, yaitu yang dikenal sebagai

perkebunan inti rakyat ( PIR ). Adapun landasan berpikir proyek ini adalah

menjadikan perkebunan-perkebunan milik negara ( PTP ) yang luas, sehat dan

maju teknologi dan manajerialnya menjadi bapak angkat bagi petani perkebunan

karet rakyat.

Perkebunan karet untuk pertama sekali dibuka di desa Sugih Waras ialah

pada tahun 1978, yaitu melalui pemerintah daerah Provinsi Sumatera Selatan

bekerja sama dengan pemerintah Kabupaten Muara Enim melakukan sosialisasi

kepada masyarakat Kecamatan Rambang Lubai, khususnya masyarakat desa Sugih

Waras untuk memperkenalkan tanaman perkebunan jenis karet. Oleh karena untuk

pembukaan kebun karet tersebut, masyarakat harus memahami terlebih dahulu

bagaimana sifat jenis tanamannya, cara penanaman, perawatan, hingga pemeliharaan

akan hama dan penyakit.

Pada tahun 1974, kepada semua penduduk desa Sugih Waras dihimbau oleh

kepala desa yang saat itu dijabat oleh Bapak A. Kohar, untuk menjadi petani

karet yang modern. Hal ini merupakan sebuah program dari pemerintah daerah

Sumatera Selatan dalam rangka memajukan tingkat perekonomian penduduk desa

25

Sugih Waras. Untuk tujuan itu penduduk desa Sugih Waras di tata oleh perangkat

pemerintahan desa.

Guna kelancaran program menuju petani karet yang medern tersebut,

terlebih dahulu mereka diberi pelatihan dan pendidikan selama satu bulan. Hal ini

dimaksudkan agar penduduk dapat mengerti bagaimana perilaku menjadi petani

karet modern. Selama sekolah satu bulan tersebut mereka dididik langsung oleh

Bapak Ir. Arbainayah, kepala proyek perkebunan Sumatera Selatan. Pengetahuan

yang diberikan dalam pembelajaran satu bulan itu ialah :

1. Pengetahuan mengenai tata cara yang baik dalam melakukan penanaman

tanaman karet.

2. Pengetahuan mengenai tata cara pemupukan tanaman karet.

3. Pengetahuan mengenai tata cara pemeliharaan tanaman karet.

4. Pengetahuan mengenai melakukan pemberantasan hama dan penyakit

tanaman karet.

Selain itu maksud dari diadakannya sekolah tersebut agar masyarakat dapat

mengerti terlebih dahulu tentang sifat tanaman karet, bagaimana cara penanaman

dan pemeliharaannya. Dengan diadakannya pendidikan membuat program

pembukaan perkebunan karet di desa Sugih Waras dapat berjalan dengan lancar

tanpa hambatan yang berarti. Dengan demikian pemerintah telah melakukan

pendekatan terhadap masyarakat yang sebelumnya tidak mengerti sama sekali

tentang sistem pertanian modern khususnya penanaman karet. Sebelum menerima

pengetahuan melalui sekolah tersebut, mereka masih bertani secara tradisioanal

yang mereka dapatkan secara turun menurun.

26

Oleh karena untuk membuka perkebunan karet tersebut dibutuhkan lahan

atau tanah, maka untuk itu harus lebih dahulu dibicarakan dengan para tokoh

masyarakat dan juga penduduk. Selanjutnya akan dibicarakan bagaimana sistem

penyediaan tanah sampai dengan pembukaan Proyek Perkebunan Karet Rakyat di

desa Sugih Waras.

3.1 Sistem Penyediaan Tanah Perkebunan

Pada tahun 1978 merupakan tahun awal pembukaan perkebunan karet di

desa Sugih Waras. Dalam penyediaan lahan permasalahannya dapat dikatakan

rumit, tetapi juga tidak serumit yang dibayangkan, sebab tergantung pendekatan

terhadap masyarakat. Artinya tidak ada penduduk yang merasa dirugikan maupun

yang memperoleh keuntungan. Dalam hal ini diperlukan jalan penyelesaian yang

baik, apalagi proyek yang akan direalisasikan adalah untuk kepentingan bersama

penduduk di desa itu sendiri.

Untuk mewujudkan program tersebut disepakatilah bahwa tanah yang akan

digunakan untuk penanaman karet adalah tanah rakyat atau tanah bersama yang

merupakan hak marge. Setelah masalah tanah yang akan digunakan untuk

penanaman kebun karet dapat disepakati dan diselesaikan, maka program

pembukaan perkebunan karet tersebut akan dapat dilaksanakan.

Kemudian beberapa orang ditunjuk oleh kepala desa untuk menentukan

tanah di bagian mana yang akan digunakan untuk penanaman tanaman perkebunan

karet. Yaitu lahan yang merupakan hasil kesepakatan bersama sebagai tanah

rakyat. Hal ini disebabkan hingga pada saat itu belum ada tanah yang

27

disertifikatkan, sehingga siapa saja yang ingin bercocok tanam di suatu lahan tidak

dipermasalahkan oleh penduduk lainnya, sepanjang tanah tersebut tidak sedang

digarap oleh orang lain.

Dengan adanya program Proyek Perkebunan Karet Rakyat tersebut sekaligus

rakyat dapat memahami tentang paraturan kepemilikan tanah. Diadakannya

musyawarah desa untuk membahas mengenai kepemilikan tanah nantinya setelah

pembukaan perkebunan karet, maka disepakati bersama bahwa lahan yang sudah

didapatkan oleh seseorang setelah pembukaan perkebunan karet akan menjadi hak

miliknya. Hal ini dipertegas oleh pihak pemerintah desa dan pihak proyek, bahwa

nantinya tanah tersebut akan diberi sertifikat kepemilikan yang sah.

Dalam pembukaan lahan tersebut masyarakat melakukanya secara bergotong-

royong. Kegiatan seperti ini biasa dilakukan oleh masyarakat pedesaan, begitu juga

dengan masyarakat dea Sugih Waras. Rasa kebersamaan yang kuat membuat

mereka selalu melakukan berbagai pekerjaan yang dianggap berat secara bersama-

sama.

Dalam lima tahap pembukaan lahan tanah untuk perkebunan karet tersebut

adalah sebagai berikut :

1. Tahun 1978/1979 lahan yang dibuka seluas 60 hektar untuk 60 KK

yang ikut menjadi petani karet.

2. Tahun 1980/1981 lahan yang dibuka seluas 200 hektar dengan petani

berjumlah 200 KK.

3. Tahun 1981/1982 lahan yang dibuka seluas 250 hektar dengan jumlah

petani 120 KK.

28

4. Tahun 1982/1983 jumlah lahan yang dibuka seluas 250 hektar dengan

jumlah petani 120 KK.

5. Tahun 1983/1984 jumlah lahan yang dibuka seluas 250 hektar dengan

jumlah petani 120 KK.

Dari kelima musim penanaman karet dalam program Proyek Perkebunan

Karet Rakyat ( PPKR ) di desa Sugih Waras selama tahun 1978/1979 sampai

1983/1984 seluruhnya berjumlah 1.010 hektar. Penduduk yang menjadi petani karet

berjumlah 620 orang. Perlu dijelaskan bahwa pada tahun 1978/1978 dan 1980/1981

setiap petani mendapatkan lahan perkebunan masing-masing 1 hektar saja. Mulai

tahun penanaman berikutnya, yaitu tahun 1981/1982 sampai 1983/1984 petani yang

ikut ada yang sudah mendapatkan lebih dari 1 haktar, yaitu 1,5 hektar sampai 2

hektar. Dengan pembukaan kebun karet rakyat itu diharapkan tingkat perekonomian

dan kesejahteraan masyarakat desa Sugih Waras dapat lebih meningkat lagi,

sekaligus produksi karet Indonesia secara nasional juga akan naik.

Penduduk yang mendukung program PPKR itu pada tahun pertama tahun

1978/1979 hanya berjumlah 60 orang, akan tetapi pada tahun-tahun berikutnya

penduduk yang menggabungkan diri menjadi petani karet jumlahnya bertambah,

sehingga pada akhir program total petani karet sebanyak 620 orang dengan areal

kebun karet seluas 1.010 hektar.

Sebenarnya dalam pembukaan Program Perkebunan Karet Rakyat ( PPKR )

ini juga terdapat suatu permasalahan. Yaitu kurangnya minat penduduk untuk

menjadi petani karet, penyebabnya adalah penduduk mendengar berita bahwa

masuk PPKR berarti masuk PKI, sehingga pada pembukaan perkebunan karet

29

pertama penduduk yang ikut menjadi petani karet sangat sedikit. Berita-berita

mengenai PKI tersebut masih sering mereka dengar sampai akhir tahun 1980-an.

Akan tetapi dengan seringnya pihak pemerintah memberikan penyuluhan-penyulahan

bahwa PPKR bukanlah PKI membuat penduduk yakin dan ikut bergabung menjadi

petani karet.

Dalam membuka lahan kebun dikerjakan secara gotong-royong. Petani ada

yang membawa cangkul, golok, ataupun berbagai jenis peralatan pertanian lainnya.

Mereka bekerja mulai dari pagi hari hingga sore, sedangkan para isteri

mempersiapkan makanan dan mengantarkannya kepada suami-suaminya yang

sedang bekerja. Ibu-ibu rumah tangga memasak nasi dan lauk pauk juga secara

bersama-sama.

Pada saat itu lahan yang dibuka adalah semak belukar dan alang-alang,

serta pohon-pohon besar yang sangat menguras tenaga, tetapi semua petani bekerja

penuh semangat untuk tujuan kehidupan yang lebih sejahtera. Selama tiga bulan

lahan yang tadinya semak belukar dan alang-alang berhasil dibuka untuk

selanjutnya ditanami tanaman karet. Tahap pertama tahun 1978 berhasil dibuka

lahan seluas 60 hektar.

3.2 Proyek Perkebunan Karet Rakyat ( PPKR )

Tingginya nilai ekonomi tanaman perkebunan jenis karet menjadikan usaha

perkebunan karet menjadi menguntungkan. Hal ini membuat pembukaan areal

perkebunan karet terus berkembang dan terus berperan dalam peningkatan

pendapatan perkebunan baik perkebunan besar maupun perkebunan rakyat.

30

Sejak awal tanaman karet diperkenalkan di Indonesia dan sampai sekarang

tanaman karet tetap menjadi salah satu andalan bangsa Indonesia dalam

membangun perekonomian rakyat, khususnya di daerah-daerah yang menjadi basis

perkebunan karet. Selain peranan ekspor karet Indonesia yang telah mendunia turut

menjadikan hasil-hasil perkebunan karet berkembang dengan cepat dan pesat.

Menurut Mubyarto dan Awan Setya Dewanta, pada tahun 1917 produksi karet

olah rakyat telah menyamai hasil produksi dari perkebunan besar, dan tahun-tahun

selanjutnya perkebunan karet rakyat mendominasi produksi karet alam Indonesia.

Harga karet Indonesia sempat mengalami penurunan seperti terjadi pada

awal-awal kemerdekaan dan terakhir pada tahun-tahun 1967-1972. Begitupun

pertumbuhan karet dalam negeri cenderung meningkat. Situasi seperti ini ikut

mendorong peningkatan produksi karet alam, bahkan setelah kemerdekaan

Indonesia menjadi produsen karet alam yang mendunia.

Tanaman karet untuk pertama sekali ditanam di desa Sugih Waras, yaitu

pada tahun 1978. Tahun ini merupakan awal dari sejarah perkembangan

perkebunan karet rakyat di desa Sugih Waras, sekaligus juga merupakan awal

perubahan sistem pertanian masyarakat desa Sugih Waras menuju pertumbuhan

sosial ekonomi masyarakat pada tahun-tahun berikutnya. Perubahan sistem

pertanian tradisional ke bentuk perkebunan karet setelah tanaman mulai berproduksi

maka petani lambat laun menikmati usaha jerih payahnya yang membawa mereka

mengalami perubahan kehidupan sosial ekonominnya.

Proyek Perkebunan Karet Rakyat ( PPKR ), merupakan suatu program yang

dicetuskan oleh pemerintah Republik Indonesia untuk menyelamatkan perekonomian

31

rakyat kecil. Program ini merupakan salah satu pengembangan perkebunan karet

rakyat. Dalam konsep PPKR pemerintah berperan sebagai inti, sedangkan

perkebunan rakyat sebagai peserta.

Dengan pelaksanaan proyek PPKR diharapkan dapat meningkatkan

pertumbuhan ekonomi masyarakat desa Sugih Waras, sebab sektor ekonomi adalah

paling dasar dan paling sering dirasakan rakyat kecil. Untuk itulah melalui

program PPKR pemerintah mengharapkan dapat menanggulangi masalah

kemiskinan. Setidak-tidaknya akan mengurangi jumlah pengangguran yang selalu

menjadi permasalahan dan menjadi ukuran perkembangan perekonomian nasional

suatu negara.

Rendahnya tingkat pendapatan suatu keluarga atau komunitas sering

mengakibatkan terjadinya dekadensi moralitas. Dalam situasi seperti ini moral

tidaklah lebih berharga daripada sesuap nasi. Keadaaan seperti inilah yang

dirasakan oleh masyarakat desa Sugih Waras. Masyarakat desa Sugih Waras

mengalami titik terendah dalam hal kemiskinan. Tentunya keadaan sepeti ini juga

dialami penduduk miskin lainnya di Indonesia pasca kemerdekaan.

Di saat situasi sosial yang tidak menentu, pemerintah Provinsi Sumatera

Selatan menawarkan sebuah program, yaitu program PPKR dan diharapkan dapat

menanggulangi masalah kemiskinan di desa Sugih Waras. Program tersebut

disambut baik oleh penduduk desa Sugih Waras dengan penuh harapan akan

memberikan jalan untuk berusaha menuju yang lebih baik.

Pada awalnya tidak semua penduduk desa Sugih Waras bersedia mengikuti

program PPKR. Alasannya sebagian penduduk tidak mau bergabung karena mereka

32

merasa ragu terhadap program pemerintah tersebut, selain itu juga berita mengenai

PKI yang terjadi pada tahun 1960-an cukup menghantui mereka, banyak yang

menganggap masuk PPKR berarti masuk PKI. Sementara itu pada musim tanam

pertama pemerintah Provinsi Sumatera Selatan dan kepala desa Sugih Waras

memang belum terlalu mengharapkan agar seluruh masyarakat bisa ikut ambil

bagian. Apalagi pada tahun pertama ini merupakan tahun percobaan bagi

penanaman kebun karet rakyat.

Di Kecamatan Rambang Lubai program PPKR untuk pertama sekali dibuka

pada tahun 1973-1974, yaitu di desa Tanjung Rambang, Sukamerindu, Tanjung

Dalam, dan Pagar Agung. Keempat desa inilah yang pertama sekali mendapatkan

program PPKR, sekaligus merupakan desa percontohan bagi desa-desa lainnya di

Kecamatan Rambang Lubai. Setelah itu barulah menyusul PPKR di desa Sugih

Waras.

Untuk tahun musim penanaman yang pertama, yaitu tahun 1978-1979,

perkebunan karet dibuka di atas lahan tanah seluas 60 hektar, dengan jumlah

penduduk yang mendaftar sebanyak 60 KK. Pada penanaman yang pertama ini

masing-masing KK mendapatkan 1 hektar lahan perkebunan karet. Dengan luas 60

hektar lahan yang dibuka diharapkan dapat menjadi uji coba tumbuh dan

berkembangnya tanaman karet di desa Sugih Waras. Pada musim tanam tahun

1978-1979, bibit yang ditanam berasal dari Medan. Hal ini menunjukkan

masyarakat di Sumatera Utara telah lebih dahulu membudidayakan tanaman

perkebunan karet.

33

Ukuran jarak jauhnya penanaman karet satu dengan yang lain ialah 7 x 3

m. Setelah membuat ukuran ( ajir ), kemudian petani membuat lobang untuk

tanaman dengan ukuran luas lingkarannya 60 cm x 40 cm, sedangkan kedalaman

lobangnya adalam 30 cm. Pada bulan Juli 1978 peserta PPKR disuruh melakukan

pemupukan dasar, yaitu pemupukan lobang. Kegiatan ini dilakukan agar tanah

lobang yang akan ditanami bibit karet terbebas hama, sehingga pohon karet dapat

tumbuh subur. Pada bulan September 1978 bibit karet didatangkan oleh pihak

proyek ke desa Sugih Waras dengan cara pembagian. Dalam pembagiannya untuk

satu orang anggota mendapatkan 462 batang bibit karet dalam 1 hektar. Maka

dengan datangnya bibit karet tersebut mulailah penduduk yang ikut menjadi

anggota proyek untuk menanam bibit karet.

Setelah enam bulan masa umur tanaman karet didatangkanlah pupuk

tanaman oleh pihak proyek. Dalam pembagiannya untuk satu orang anggota

mendapatkan 250 kg pupuk. Adapun jenis-jenis pupuk tersebut terdiri dari TPS,

KCL dan puspat alam masing-masing 50 kg, sedangkan pupuk urea sebanyak

100 kg.

Setelah pemupukan selanjutnya adalah pemeliharaan. Berikutnya petani

menunggu sampai pohon karet bisa disadap. Dalam hal ini usia tanaman karet

rata-rata lima sampai enam tahun sudah mulai disadap, tetapi kebanyakan petani

menyadap karet pada usia lima tahun. Yang sangat istimewa bagi petani karet

desa Sugih Waras bahwa pada saat penyadapan karet yang pertama diresmikan

oleh Gubernur Provinsi Sumatera Selatan yang pada saat itu dijabat oleh Bapak

Sainan Sagiman.

34

Untuk masa penanaman karet pada tahun 1980-1981 perkebunan karet

dibuka seluas 200 hektar. Dengan dibukannya areal perkebunan karet ini,

pemerintah mengharapkan kesadaran penduduk desa Sugih Waras akan lebih

meningkat tentang pentingnya kebun karet bagi perekonomian. Sebanyak 120 orang

penduduk ikut serta di dalam pembukaan perkebunan pada tahun tersebut.

Peningkatan jumlah peserta pada tahun 1980-1981 ini memang sangat diharapkan

oleh pemerintah daerah Provinsi Sumatera Selatan.

Pada tahun ke-dua ini, masyarakat melakukan pembukaan lahan perkebunan

sudah melakukannya dengan menggunakan traktor. Dinas Perkebunan Sumatera

Selatan memberikan pinjaman traktor kepada warga yang akan membuka lahan

perkebunan karet di desa Sugih Waras. Dengan menggunakan traktor masyarakat

tidak terlalu lama melakukan pembukaan lahan perkebunan. Setelah selesai

membuka lahan, petani peserta program disuruh membuat ajir untuk menentukan

jarak tanaman, yaitu sama seperti tahun sebelumnya. Adapun jarak jauhnya

tanaman ialah 7 x 3 m. Kegiatan-kegiatan selanjutnya dilakukan sama seperti

penanaman karet pada tahun 1978-1979.

Selanjutnya kegiatan-kegiatan sebelum dan masa penanaman yang dilakukan

pada masa penanaman pertama juga dilakukan di tahun-tahun berikutnya. Begitu

pula masa penyadapan juga sama dengan penyadapan pada tahun 1979-1979.

Pada masa penanaman tahun 1981-1982 yang merupakan tahap penanaman

yang ke-tiga dibuka lahan seluas 250 hektar dengan jumlah anggota 120 KK.

Pada tahun ini anggota sudah ada yang mendapatkan lahan kebun lebih dari 1

hektar, yaitu 1 setengah hingga 2 hektar. Selanjutnya untuk masa penanaman

35

tahun 1983-1984 dibuka lahan seluas 250 hektar dengan jumlah anggota sebanyak

120 orang. Dengan lahan seluas 1.010 hektar yang dibuka untuk perkebunan karet

di desa Sugih Waras diharapkan dapat membantu masyarakat untuk menciptakan

perekonomian yang lebih baik demi kesejahteraan mereka. Dalam hal ini

pemerintah Provinsi Sumatera Selatan membantu pelaksanaan pembukaan kebun

karet rakyat, di mana semua kebutuhan yang berhubungan dengan pembukaan

perkebunan dibantu oleh pemerintah daerah Sumatera Selatan.

Selanjutnya bibit yang didatangkan ke desa Sugih Waras berasal dari

Medan dan Malaysia. Sebaliknya pemerintah daerah Sumatera Selatan dalam

mewujudkan program ini tidak gratis. Dalam hal ini pemerintah daerah Sumatera

Selatan memberikan semua bibit, pupuk, dan lain sebagainya dengan kredit jangka

panjang. Petani yang telah menerima program PPKR harus membayar kepada

pemerintah daerah Sumatera Selatan dengan sistem kredit. Adapun kredit jangka

panjang tersebut merupakan kredit selama 30 tahun dan setelah selesai maka

masyarakat diberikan sertifikat kepemilikan perkebunan yang sah.

Terhadap pembayaran dengan cara kredit itu tidak terlalu memberatkan

masyarakat, karena mulai dari penggarapan sampai pemeliharaan selama tiga tahun

semuanya dibiayai oleh pemerintah daerah Provinsi Sumatera Selatan. Pembayaran

dilakukan setelah perkebunan disadap dan menghasilkan. Jadi setiap penjualan hasil

perkebunan karet kepada para petani diwajibkan untuk mencicil hutang mereka

yang berlangsung selama 30 tahun.

36

BAB IV

KEHIDUPAN SOSIAL EKONOMI

MASYARAKAT PETANI KARET RAKYAT DESA SUGIH WARAS

Bab IV ini yang membicarakan perkembangan kehidupan sosial ekonomi

masyarakat petani Proyek Perkebunan Karet Rakyat ( PPKR ) desa Sugih Waras

pada tahun 1978 dan susudahnya. Sebagaimana dijelaskan pada bagian-bagian

terdahulu bahwa tanaman karet jenis Havea Brasiliensis diperkenalkan pemerintah

kolonial di keresidenan Palembang sejak tahun 1905, yaitu bersamaan dengan di

Jambi, yaitu wilayah tetangga keresidenan yang berbatasan. Sebagaimana diketahui

sejak tahun 1905 itu pula tanaman karet ini menyebar hampir ke seluruh wilayah

keresidenan Palembang. Apabila setelah tahun 1905 itu penyebaran karet sangat

luas mencapai Ogan dan Komering bahwa desa Sugih Waras adalah bagian dari

kawasan ini. Memang tak diketahui secara pasti kapan tanaman karet mulai

ditanam penduduk desa Sugih Waras, tetapi terdapat bukti bahwa tanaman karet

tersebut sudah diusahakan sebelum pemerintahan daerah Provinsi Sumatera Selatan

menjalankan program PPKR pada tahun 1878. Sementara desa Sugih Waras sendiri

berdiri sejak tahun 1868. Angka tahun ini pun tak ada catatan resminya kecuali

berdasarkan tradisi lisan penduduk yang sudah berlangsung turun temurun.

4.1 Mata Pencaharian Penduduk Pra PPKR

Sebelum penduduk desa Sugih Waras mengikuti program Proyek

Perkebunan Karet Rakyat ( PPKR ) pada tahun 1978, pada umumnya sumber mata

37

pencaharian penduduk adalah bertani, yaitu sistem pertanian ladang berpindah-

pindah. Dalam hal ini penduduk membuka hutan belukar dan menggarapnya

selama tiga tahun berturut-turut, kemudian meninggalkannya. Jenis tanaman yang

diusahakan oleh penduduk terutama padi sebagai bahan makanan pokok, kemudian

palawija dan tanaman kopi liar. Selain bertani menanam padi, palawija dan kopi,

mata pencaharian penduduk juga menangkap ikan dan berburu. Adapun semua

hasil produksi pertanian mereka baik padi dan kopi maupun dari menangkap ikan

dan berburu semuanya untuk dikonsumsi sendiri atau untuk kebutuhan keluarga

saja. Artinya tidak ada hasil dari yang diproduksi masyarakat untuk dijual ke

pasar secara khusus.

Di bawah ini penulis akan membicarakan kehidupan sosial ekonomi

penduduk desa Sugih Waras pra program Proyek Perkebuan Karet Rakyat (PPKR)

pada tahun 1978. yaitu mata pencaharian penduduk yang bersumber dari bertani

ladang, petani kopi liar, mengkap ikan, dan berburu.

1. Bertani ladang

Sebelum adanya pembukaan perkebunan karet rakyat di desa Sugih Waras

yang dimulai dengan program PKKR pada tahun 1978, pada umumnya mata

pencaharian pokok penduduk adalah bertani ladang atau petani ladang. Yaitu

sistem pertanian yang dilakukan secara berpindah-pindah setelah menggarap lahan

yang dibuka selama tiga tahun mengusahakannya. Setelah tiga tahun penduduk

mengusahakan lahannya, kemudian mereka meninggalkannya dan pindah ke tempat

yang lain dengan membuka lahan baru. Begitu juga setelah mereka menggarap

38

lahan baru ini selama tiga tahun secara berturut-turut, lalu ditinggalkan dan

dibiarkan begitu saja. Demikianlah kegiatan seperti itu terus terjadi dalam sistem

pertanian ladang di desa Sugih Waras. Oleh karena jarak hutan yang akan dibuka

menjadi lahan pertanian semakin jauh dari desa tempat tinggal, maka terdapat di

antara penduduk desa Sugih Waras yang pergi ke desa lain untuk membuka lahan

pertanian. Di tempat lain juga, sebagaimana halnya banyak dijumpai di berbagai

tempat di Indonesia, di mana hutan masih luas serta penduduk masih jarang, pada

umumnya banyak dilakukan penduduk di luar pulau Jawa adalah pertanian ladang

berpindah-pindah. Petani desa Sugih Waras yang pergi membuka tanah pertanian

di tempat lain, setelah lama merantau akhirnya mereka kembali lagi ke desa

asalnya ke desa Sugih Waras.

Sistem pertanian ladang berpindah-pindah di desa Sugih Waras

sesungguhnya tidak serta-merta terjadi sebagaimana terdapat pada umumnya di

tempat-tempat yang disebabkan luasnya areal hutan dan masih jarangnya jumlah

penduduk. Sistem pertanian ladang berpindah-pindah yang mengusahakan lahan

selama tiga tahun dan kemudian meninggalkannya disebabkan tingkat kesuburan

tanah yang rendah. Hutan yang dibuka oleh penduduk pada dasarnya tidak lebih

dari hutan belukar atau semak belukar yang memang sudah kurang subur dan

bukan hutan belantara yang humusnya tinggi yang dibuka oleh penduduk.

Pada bab-bab terdahulu sudah diceritakan bahwa tanaman karet jenis Hevea

Brasiliensis atau tanaman karet yang dikenal sekarang ini sudah masuk ke

keresidenan Palembang sejak 1905. Memang tidak diketahui secara pasti kapan

tanaman karet mulai ditanam oleh penduduk desa Sugih Waras, tapi berdasarkan

39

keterangan penduduk bahwa di desa Sugih Waras penduduk sudah menanam karet.

Apalagi seperti keterangan yang dikutip sebelumnya bahwa sejak tahun 1905

tanaman karet sudah menyebar hampir ke semua distrik di Palembang, di mana

Ogan Ulu, Ogan Ilir, Lematang Ilir, Komering Ulu, Rawas, Komering Ilir, dan

Musi Ilir adalah merupakan daerah-daerah utama penghasil karet. Adapun desa

Sugih Waras adalah merupakan termasuk kawasan dari distrik Ogan. Dengan

demikian tanaman karet sudah masuk ke desa Sugih Waras dan ditanam oleh

penduduk sebagai tanaman komersial sesudah tahun 1905 itu, setidak-tidaknya

selama penjajahan kolonial Belanda. Diperkirakan selama kurang lebih empat

dasawarsa tanaman karet menempati arti penting bagi kehidupan penduduk desa

Sugih Waras, walaupun diketahui bahwa sepanjang periode hingga masuknya

Jepang ke Palembang harga karet mengalami pasang surut. Sejauh itu seperti

halnya kondisi perekonomian penduduk di mana penduduk menanam karet bahwa

produksi karet sangat menentukan turun-naiknya perekonomian masyarakat

setempat.

Selama pendudukan Jepang di Palembang perekonomian penduduk desa

Sugih Waras mengalami perubahan sangat drastis, tetapi bukan menuju

peningkatan, sebaliknya mengalami kemerosotan. Apabila dalam waktu sangat lama

penduduk hidup dengan sumber mata pencahariannya berasal dari karet, tapi sejak

masuknya pendudukan Jepang di Palembang maka semua pohon karet harus

“dipangkas” menurut istilah penduduk lokal di sana, yaitu semua pohon karet

termasuk di desa Sugih Waras harus ditebang. Hutan tanaman karet milik

penduduk dibuka menjadi tanah pertanian untuk menghasilkan pangan. Tujuannya

40

adalah untuk mendapatkan persediaan pangan bagi pasukan Jepang yang sedang

berperang. Tindakan Jepang untuk memaksa penduduk di mana saja mereka berada

agar menyediakan persediaan makanan dengan cara bertani. Untuk tujuan

memperoleh lahan pertanian yang menghasilkan lahan pangan itulah sebabnya

semua karet rakyat ditebang dan dijadikan lahan pertanian.

Sejak pendudukan Jepang pola sumber mata pencaharian penduduk desa

Sugih Waras mengalami perubahan dari pertanian karet menjadi pertanian pangan

yang manghasilkan padi. Di bawah pendudukan Jepang kehidupan penduduk sangat

menderita dan mengalami kemiskinan, karena selama periode pendudukan tersebut

mulai tahun 1942 sampai tahun 1945 penduduk hanya bekerja mengusahakan tanah

pertanian, tetapi hasilnya bukan untuk dinikmati sendiri, melainkan seluruh hasil

pertanian yang didapatkan penduduk diserahkan kepada pemeriatah Jepang.

Apabila selama pendudukan Jepang di Indonesia secara keseluruhan

penduduk Indonesia sangat melarat, demikian pula halnya di desa Sugih Waras.

Kemiskinan melanda kehidupan penduduk disebabkan mereka tidak mempunyai

kesempatan untuk memproduksi pangan untuk kebutuhan mereka sendiri, karena

seluruh waktunya semata-mata digunakan untuk memproduksi pangan bagi tentara

pendudukan Jepang. Semua hasil pertanian penduduk diserahkan bagi kebutuhan

pemerintah Jepang yang berkuasa.

Setelah Indonesia merdeka kehidupan ekonomi penduduk desa Sugih Waras

tidak banyak mengalami perubahan. Kecuali tidak ada lagi pemaksaan pemerintah

untuk meyerahkan hasil panennya. Proklamasi kemerdekaan RI tak membawa

perubahan penting dalam kehidupan perekonomian penduduk desa Sugih Waras,

41

dalam arti kata sistem pertanian ladang kembali dilanjutkan. Sejak masa

pendudukan Jepang penduduk tidak pernah lagi menanam tanaman karet, bahkan

sesudah kemerdekaan pun. Periode yang cukup panjang setelah proklamasi sampai

sekitar pertengahan tahun 1980-an barulah belakangan penduduk desa Sugih Waras

yang tidak ikut serta dalam program PPKR mereka termotivasi untuk ikut

menanam karet. Artinya dalam kurun waktu yang panjang itu penduduk desa

Sugih Waras tetap hidup bercocok tanam dengan sistem pertanian ladang

berpindah-pindah.

Dalam sistem pertanian ladang berpindah-pindah tersebut setelah penduduk

membuka lahan hutan belukar dan membakarnya, selanjutnya kesuburan tanaman

dan keberhasilan panen sangat tergantung kepada turunnya hujan. Pembukaan lahan

dengan cara membakarnya juga mendukung kesuburan tanah selain air hujan yang

turun.

Sistem pertanian ladang berpindah-pindah merupakan pertanian pangan

sebagai sumber mata pencarian pokok bagi kehidupan penduduk desa Sugih

Waras. Faktor pendukung sistem pertanian ini masih tersedianya hutan belukar

untuk dijadikan lahan pertaniaan. Penduduk percaya setelah lahan ditanami secara

terus-terusan, maka tanah perladangan mereka akan berkurang tingkat

kesuburannya. Setelah tiga tahun mengusahakan ladang tanah perladangan tersebut

penduduk mencari hutan lain untuk dibuka dan dijadikan tanah pertanian baru,

yaitu selama tiga tahun juga, dan begitu seterusnya. Demikianlah sistem pertanian

penduduk desa Suugih Waras selama puluhan tahun berlangsung secara turun

temurun.

42

Dalam bertani di ladang penduduk menanam tanaman pokok selain padi,

juga berbagai jenis tanaman palawija, pada umumnya untuk konsumsi keluarga

sendiri. Penduduk yang hidup bertani seringkali mengalami bencana alam seperti

datangnya banjir, maupun diserang hama, sehingga hasil pertanian mereka tidak

memperoleh hasil yang memuaskan. Akibatnya tidak jarang penduduk tak bisa

memenuhi kebutuhan hidup mereka, sehingga mereka terpaksa mencari pekerjaan

lain, bahkan adakalanya pergi ke desa lain untuk mengadu nasib.

Kegiatan pertanian berpindah-pindah yang dilakukan penduduk desa Sugih

Waras secara turun temurun masih terjadi hingga sekarang. Mereka membuka hutan

belukar dengan menebang pohon-pohon, yang biasanya dilakukan pada musim

kemarau, yakni sebelum bulan September, sebab umumnya pada akhir bulan

September merupakan berakhirnya musim kemarau setiap tahun. Setelah kayu-kayu

yang ditebang dan kering barulah penduduk membakarnya. Lahan yang dibuka

dibakar sebelum tiba musim penghujan, sebab pada musim penghujan pohon-pohon

yang ditebang dan rumput ilalang yang merupakan semak belukar paling utama,

apabila sudah hujan tidak akan bisa terbakar musnah. Apabila api tidak dapat

melalap pohon-pohon dan rumput ilalang seluruhnya, maka kesuburan tanah tidak

didapatkan. Selanjutnya memasuki bulan Oktober sudah tiba musim penghujan dan

penduduk mulai menanam padi, sehingga bibit-bibit padi yang akan ditanam akan

tumbuh baik.

Dalam kegiatan pertanian terutama saat membakar lahan untuk dijadikan

tanah paetanian dan ketika menanam padi dilakukan penduduk desa Sugih Waras

secara begotong royong dan sudah menjadi tradisi yang turun temurun. Biasanya

43

menjelang pembakaran lahan yang dibuka dan untuk menanam padi dilakukan

secara bergiliran di antara penduduk dengan bergotong royong. Penduduk yang

akan melakukan kegiatan tersebut terlebih dahulu memberitahukan rencana

pembakaran lahan maupun bertanam padi pada hari yang akan ditentukan untuk

meminta bantuan kerabat-kerabat penduduk setempat. Pada umumnya penduduk

desa Sugih Waras masih terikat oleh sistem kekerabatan yang sangat kuat.

Kegiatan dilakukan secara bergotong royong tanpa upah, di mana pekerjaan

dilaksanakan berdasarkan rasa kekeluargaan. Penduduk yang ikut berpartisipasi

pada saat membakar lahan untuk pertanian dan bekerja menanam padi biasanya si

empunya pekerjaan yang mengundang akan menjamu makan dan minum di

rumahnya. Para ibu rumah tangga yang suami-suaminya terlibat dalam kegiatan

pekerjaan tersebut, mereka menanak nasi serta lauk-pauknya yang disediakan oleh

si empunya ladang.

Demikian juga pada saat tiba masa panen biasanya para kerabat dan jiran

tetangga akan datang untuk menuai padi. Dalam kegiatan menuai padi ini biasanya

yang empunya ladang tidak perlu lagi memberitahukan secara formal kepada

kerabat-kerabat maupun jiran tetangga, tetapi cukup dengan menyampaikan saja

baik langsung ataupun tidak, maka mereka akan datang dengan sendirinya, sebab

di antara penduduk desa Sugih Warah memiliki tingkat kesadaran yang tinggi di

mana mereka masih terikat kuat oleh kekerabatan. Setelah selesai menuai padi

biasanya kerabat-kerabat dekat dan jiran tetangga yang ikut membantu memanen

padi kepada mereka diberikan beras hasil panen tersebut. Biasanya kepada setiap

orang akan diberi beras sebanyak dua hingga empat liter beras.

44

Tradisi bergotong royong penduduk desa Sugih Waras sudah berlangsung

secara turun temurun sejak dari orang-orang tua mereka sebelumnya. Gotong

royong tidak hanya dilakukan dalam kegiatan-kegiatan pertanian saja, seperti ketika

membakar lahan untuk dijadikan tanah perrtanian, saat bertanam padi ataupun

masa menuai padi. Kegiatan gotong royong juga dilakukan apabila sesuatu

pekerjaan dengan melibatkan orang banyak dan tradisi ini sudah berurat-berakar

dalam kehidupan masyarakat.

Dalam masa yang cukup panjang, yakni setelah kemerdekaan RI hingga

sekitar tahun 1980-an atau kurang lebih empat dasawarsa seluruh penduduk desa

Sugih Waras hidup dari pertanian ladang secara berpindah-pindah. Sesuai dengan

kondisi alamnya, maka masa tanam hanya dapat dilakukan sekali dalam setahun.

Hasil panen padi yang diperoleh itulah yang menjadi persediaan pangan untuk

keluarga selama setahun sampai panen lagi pada tahun berikutnya. Di samping

tanaman pokok padi, maka untuk kebutuhan pokok sehari-hari lainnya penduduk

juga menanam sayur mayur seperti cabe, singkong, ubi rambat, terong, bawang

putih, bawang merah, dan berbagai jenis tanaman palawija lainnya.

Sudah disinggung sebelumnya bahwa produktivitas pertanian penduduk desa

Sugih Waras semata-mata berasal dari padi ditambah sayur mayur, maka hasil

pertanian sangat tergantung kepada kemurahan alam. Artinya produksi pertanian

akan berhasil apabila tanaman mereka tidak diterpa banjir atau datangnya musim

kemarau yang parah maupun disebabkan hama yang berasal dari binatang hutan.

Sistem pertanian semata-mata bersumber dari satu jenis tanaman seperti padi, maka

apabila panan gagal akan berakibat sangat fatal bagi penduduk. Apalagi kondisi

45

alam desa Sugih Waras yang dialiri sungai hampir mengelilingi desa menyebabkan

desa Sugih Waras berpotensi rawan banjir.

Dalam sejarah desa Sugih Waras, sekitar tahun 1959 sampai tahun 1960-an

penduduknya pernah ditimpa bencana kelaparan yang sangat parah, di mana setiap

hari ada yang meninggal disebabkan oleh kelaparan. Peristiwa ini dikenang

penduduk dengan menyebutnya “tahun serit”14. Bencana tersebut menimpa

penduduk disebabkan tidak ada persediaan bahan makanan, bahkan oleh karena

kemiskinan mereka tidak mampu untuk membeli beras. Oleh sebab ketiadaan beras

untuk dimasak hampir semua penduduk ketika itu harus mengkonsumsi apa saja

yang bisa dimakan seperti pelepah daun keladi, rebung bambu muda, juga buah-

buahan yang diperoleh dati hutan, dan sebagainya. Menurut keterangan penduduk,

selain setiap hari ada di antara penduduk yang meninggal, juga setiap orang yang

pergi entah ke mana saja pergi meninggalkan desanya, mereka tak pernah kembali

lagi ke tengah-tengah keluarganya, dan akan diperoleh kabar bahwa mereka telah

meninggal di suatu tempat.

2. Pertanian kopi

Usaha penanaman kopi di desa Sugih Waras dilakukan penduduk setelah

selesai penanaman padi di ladang. Dengan demikian tanaman kopi tumbuh di

lahan bekas pertanian padi yang ditinggalkan oleh penduduk setelah mereka

membuka lahan pertanian padi di tempat yang baru. Jenis kopi yang

dibudidayakan penduduk yang menyebut perkebunan kopi mereka sebagai usaha

14 Hasil wawancara dengan Bapak Burani Taji, tokoh adat desa Sugih Waras pada tanggal 14 Juli 2008.

46

rakyat, menurut keterangan yang diperoleh bibit yang ditanam berasal dari tanaman

kopi liar yang tumbuh di hutan. Penanaman kopi dilakukan secara tradisional

sesuai dengan metode yang didapat secara turun temurun dari para orang tua

mereka sebelumnya. Tanaman kopi penduduk dapat tumbuh dengan baik dan

berbuah, paling tidak begitulah pendapat mereka sesuai pendapat awam yang tak

mengetahui secara benar tentang seluk-beluk tanaman kopi.

Usaha pertanian kopi dilakukan penduduk sebagai pekerjaan sambilan, yaitu

penduduk menanam kopi di atas lahan pertanian ladang yang sudah selesai masa

bertanam padi. Tanaman kopi dibiarkan tumbuh di bekas lahan pertanian padi

yang ditinggalkan tanpa dipelihara atau dirawat dengan baik. Begitupun tanaman

kopi dapat tumbuh dan berbuah, di mana kebun kopi itu merupakan milik petani

yang menanamnya. Rata-rata penduduk memiliki satu sampai dua hektar kebun

kopi. Sebelum pertumbuhan ekonomi penduduk desa Sugih Waras yang ditandai

dengan petani peserta PPKR mulai menyadap kebun karetnya, produksi kopi dapat

dikatakan masih belum bernilai ekonomis.

3. Menangkap ikan

Pekerjaan menangkap ikan dilakukan penduduk di sungai. Hasil tangkapan

ikan terutama untuk dikonsumsi sendiri oleh keluarga. Dengan demikian sungai di

desa Sugih Waras berfungsi penting bagi kehidupan penduduk. Pada masa ini

terdapat di kalangan penduduk yang sudah merusak keseimbangan alam, yaitu

untuk memperoleh ikan yang banyak dengan cara yang mudah mereka

menggunakan tuba. Tanaman tuba yang diambil adalah akarnya yang didapatkan

47

dari hutan-hutan belukar. Akar-akar tuba ini dipukul-pukul sampai hancur,

kemudian dibuang ke sungai di tempat yang diperkirakan banyak ikannya. Air

tuba akan membuat ikan menjadi mabuk bahkan bagi ikan kecil akan

menyebabkan mati. Apabila ikan dalam keadaan mabuk, maka penduduk yang

menuba itu dengan mudah akan dapat menangkap ikan-ikan tersebut. Yang

disayangkan bahwa menangkap ikan dengan mempergunakan tuba akan

menyebabkan ikan-ikan kecil akan mati, sehingga populasinya menjadi menurun.

Cara lain yang lazim dilakukan penduduk untuk menangkap ikan ialah

dengan menggunakan peralatan seperti jaring, jala, bubue (bubu), ataupun dengan

cara memancing. Bubue adalah alat untuk menangkap ikan di sungai yang terbuat

dari rotan yang dianyam dan dijalin berbentuk bulat panjang. Pada mulut bubue

dibuat kerucut yang terbuat dari rotan dengan ujungnya dibuat runcing dan

menyempit, sehingga ikan hanya bisa masuk dari mulut bubue yang lebar, tetapi

tidak bisa keluar lagi. Biasanya bubue dipasang untuk menangkap ikan apabila air

sungai sedang surut, sebab jika digunakan saat air naik atau banjir, maka bubue

akan hanyut terbawa arus yang deras. Dengan menggunakan jenis peralatan

penangkap ikan tersebut sehari-harinya penduduk dapat menghasilkan ikan untuk

kebutuhan hidup mereka. Menurut salah seorang penduduk mengatakan bahwa

orang tuanya pernah mendapatkan ikan sebanyak dua karung. Adapun jenis-jenis

ikan yang berhasil ditangkap penduduk dari sungai di antaranya gabus, lais, bawal,

toman, lampam, sebarau, dan berbagai jenis ikan lainnya.

48

4. Berburu

Pekerjaan berburu juga sering dilakukan oleh penduduk desa Sugih Waras.

Kegiatan ini dimungkinkan oleh karena lingkungan alamnya di mana masih

terdapat hutan belukar. Biasanya berburu dilakukan pada malam hari secara

berkelompok terdiri dari lima atau enam orang. Kebiasaan berburu pada malam

hari dilakukan karena binatang-binatang yang diburu jarang melarikan diri, bahkan

binatang-binatang itu menentang cahaya sorotan senter pemburu, sehingga pemburu

menjadi lebih mudah untuk menjerat ataupun menembaknya. Adapun binatang-

binatang yang diburu tersebut di antaranya adalah rusa, kancil, trenggiling, kijang,

dan lain-lain.

Sebelum tahun 1980-an hasil buruan penduduk hanya untuk dikonsumsi

sendiri oleh penduduk. Apabila hasil buruan yang diperoleh cukup besar biasanya

para tetangga juga akan memperoleh daging, yaitu mereka yang tidak ikut

berburu, dan begitu pula sebaliknya jika warga lainnya yang berburu dan

mendapatkan buruan yang besar.

4.2 Kehidupan Sosial Ekonomi Masyarakat Setelah PPKR

Kedatangan Jepang ke Palembang telah mematikan perekonomian penduuduk

desa Sugih Waras, karena tentara pendudukan Jepang telah memaksa semua

penduduk untuk menebang pohon-pohon karet miliknya yang menjadi sumber mata

pencahariannya turun temurun setidak-tidaknya sekitar 30 tahun, yaitu semenjak

diperkenalkan tanaman karet di keresiden Palembang pada tahun 1905. Lahan

perkebunan karet rakyat ditebang habis untuk dijadikan tanah pertanian yang

49

menghasilkan pangan, tetapi produksi yang dihasilkan dengan jerih payah mereka

bukan untuk dinikmati sendiri, melainkan harus diserahkan kepada pemerintah

Jepang yang berkuasa. Sistem politik pemerintahan pendudukan Jepang telah

menyengsarakan penduduk, selain dilanda ketakutan dan menderita kemiskinan.

Penduduk tidak diberi kesempatan sama sekali untuk memenuhi kebutuhan

hidupnya sendiri, selain dipaksa bekerja tanpa kenal lelah dan waktu untuk

menimbun sebanyak-banyaknya produksi pangan untuk keperluan perang Jepang.

Kehidupan sosial ekonomi masyarakat desa Sugih Waras benar-benar mengalami

perubahan yang sangat merosot dan parah. Selama pendudukan Jepang aktivitas

ekonomi penduduk desa Sugih Waras merosot sangat dahsyat, di mana

perekonomian sama sekali menjadi mati. Dalam kehidupan sosial juga mengalami

hal yang sama, sebab penduduk dihimpit terus dengan beban-beban yang tak

memungkinkan penduduk berkesempatan untuk bertemu dan berkumpul.

Dengan kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945, peristiwa politik sangat

penting ini tak banyak memberikan arti ekonomi bagi penduduk desa Sugih

Waras. kecuali penduduk sudah memperoleh kebebasan untuk menghasilkan pangan

bagi kebutuhan sendiri tanpa ada tekanan untuk menyerahkan hasil panen kepada

pemerintah. Sejauh itu penduduk telah diselimuti sikap apatis setelah ditekan dan

sangat menderita selama pendudukan Jepang. Kemiskinan sebelumnya menyebabkan

mereka sangat susah untuk bangkit kembali. Satu-satunya yang masih bisa

dilakukan mereka hanyalah bertani dan bertanam padi. Mata pencaharian ini pun

tidak mampu mengangkat perekonomian mereka, selain hanya bisa bertahan hidup.

Dengan hanya ekonomi pertanian padi ternyata basis perekonomian penduduk

50

sangat lemah terbukti ketika sekitar tahun 1960-an awal di desa Sugih Waras

terjadi bencana yang menyebabkan banyak penduduk yang meninggal karena

kelaparan.

Dengan hanya sistem pertanian ladang berpindah-pindah sejak periode

kemerdekaan RI hingga sekitar tahun 1986 dilakukan oleh penduduk desa Sugih

Waras tak terjadi perubahan ekonomi. Di sektor pertanian ini juga tak ada

perubahan, baik dalam modal, alat produksi pertanian maupun tenaga kerja.

Semuanya berlangsung secara tetap berdasarkan tradisi turun temurun ialah dengan

cara bergotong royong. Sistem gotong royong walaupun merupakan nilai sosial

bangsa, akan tetapi sistem ini tak bernilai ekonomis yang dapat memberi dan

membawa perkembangan ekonomi.

Pada bab III terdahulu sudah dibicarakan bahwa pemerintah daerah Provinsi

Sumatera Selatan diteruskan ke pemerintah daerah kabupaten Muara Enim telah

mencanangkan program untuk meningkatkan kesejahteraan penduduk melalui

program PPKR. Menyikapi program itu pada tahun 1974 kepala desa Sugih Waras

menginformasikan kepada warganya agar mereka yang bersedia mengikutinya

supaya mendaftarkan diri. Dapat dimengerti bahwa ajakan kepala desa agar

penduduk ikut menjadi peserta Proyek Perkebunan Karet Rakyat pada awalnya tak

mendapatkan sambutan warga, di mana selama kurang lebih tiga tahun program

diisukan hanya terdapat 60 KK penduduk yang bersedia mengikutinya. Pada tahun

1978-1979, yaitu saat awal pembukaan PPKR ke-60 KK itulah pesertanya setelah

selama setahun sebelumnya kepada mereka diberikan sosialisasi, pendidikan tentang

sifat dan karakteristik tanam karet.

51

Apabila sejak tahun 1974 sudah diisukan oleh kepala desa mengenai

rencana pemerintah akan membuka perkebunan karet yang diperuntukkan bagi

rakyat ternyata selama kurang lebih tiga tahun penduduk yang bersedia menjadi

peserta hanya 60 KK. Kurangnya respons mayarakat terhadap ajakan pemerintah

lewat kepala desa tersebut berdasarkan dua faktor penting. Yaitu pertama,

kurangnya pengetahuan masyarakat terhadap tanaman karet itu sendiri, di samping

pengalaman hampir selama 30 tahun setelah pendudukan Jepang dan masa

kemerdekaan penduduk tak mengalami perubahan ekonomi sama sekali. Dalam

waktu yang panjang demikian, bahkan sekitar tahun 1960-an penduduk mengalami

kehidupan sangat parah karena tidak adanya bahan makanan, sehingga banyak

penduduk yang meninggal dunia. Situasi itu meyebabkan sikap penduduk menjadi

apatis terhadap rencana-rencana pemerintah, apalagi yang sifatnya berupa rencana.

Kondisi ini ditambah lagi dengan pengetahuan yang tidak dimiliki oleh masyarakat

mengenai perkebunan karet yang direncanakan oleh pemerintah tersebut, selain

termasuk juga mengenai sifat dan karakteristik tanaman karet itu sendiri yang

tidak mereka ketahui. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa sejak pendudukan

Jepang penduduk desa Sugih Waras tidak mengenal lagi tanaman karet, yakni

setelah semua kebun karet rakyat ditebang habis di mana di atas bekas lahannya

dijadikan tanah pertanian untuk kepentingan pangan tentara pendudukan Jepang.

Kedua, kenapa program PPKR yang bertujuan untuk meningkatkan

perekonomian penduduk, masyarakat pada umumnya ragu-ragu bahkan di kalangan

masyarakat merasa takut apakah benar program itu memang tujuannya sungguh-

sungguh untuk mensejahterakan kehidupan penduduk. Hal ini disebabkan

52

pengalaman sejarah sebelum meletusnya G.30.S. pada tahun 1965. Oleh karena

sangat minimnya informasi dan pengetahuan politik yang tidak ada sama sekali

masyarakat tidak dapat dengan mudah diajak untuk mengikuti suatu program atau

kegiatan, walaupun program itu datangnya dari pemerintah. Masyarakat masih

belum bisa melupakan peristiwa G.30.S. yang terjadi baru saja 10 tahun dan

masih segar dalam ingatan hampir semua orang. Masyarakat belum bisa

membedakan apakah ajakan mengikuti program PPKR itu adalah benar-benar dari

pemerintah ataukah merupakan ajakan golongan atau pihak-pihak tertentu untuk

tujuan tertentu yang merekrut masyarakat. Situasi ini pun mengakibatkan pada

awal program PPKR jumlah penduduk yang ikut serta baru mencapai 60 KK.

Terlepas dari kedua masalah masih kurangnya minat penduduk untuk

melibatkan diri untuk mengikuti program PPKR, ternyata program itu sendiri

terbukti menjadi kenyataan pada tahun 1978, yaitu dengan membuka lahan 60

hektar untuk 60 KK di mana setiap keluarga memperoleh 1 hektar. Selama lima

tahun pembukaan PPKR setiap tahunnya jumlah penduduk yang ikut serta dan

lahan yang dibuka terus meningkat. Yaitu mulai dari 60 hektar, 200 hektar, dan

tiga tahun terakhir dibuka setiap tahun seluas 250 hektar, sehingga total seluruh

luas areal PPKR dalam waktu lima tahun di desa Sugih Waras mencapai 1.010

hektar. Sejak tahun ke-3 program jumlah areal yang diperoleh penduduk juga tidak

lagi hanya 1 hektar per KK, tetapi sudah bervariasi yaitu antara 1 hektar sampai

1,5 hektar dan bahkan ada yang mendapatkan 2 hektar. Dalam hal ini ternyata

kesadaran masyarakat telah tumbuh bahwa realisasi program yang benar-benar

53

terbukti menyebabkan masyarakat percaya bahwa program itu berasal dari

pemerintah dengan tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan mereka.

Rencana program PPKR terbukti menjadi kenyataan dan bukan hanya

rencana melulu, secara berangsur-angsur menumbuhkan minat penduduk untuk ikut

terjun ke dalam program PPKR. Pada akhir program PPKR setelah lima tahun

berjalan maka sebagian besar penduduk desa Sugih Waras sudah menjadi anggota

PPKR. Artinya di desa Sugih Waras sejak tahun 1978 penduduk sudah beralih

mata pencahariannya dari semula bersumber kepada pertanian padi, kemudian

setelah tahun 1978 menjadi petani karet. Terhadap perekonomian penduduk

memang tidak segera sejak tahun 1978 itu masyarakat mengalami perubahannya.

Hal ini dikarenakan bahwa pohon karet baru bisa disadap setelah berumur sekitar

5 tahun. Artinya secara ekonomis dapat dikatakan mulai sekitar tahun 1986

penduduk petani karet desa Sugih Waras telah menikmati hasil panen tanaman

karetnya, yaitu sejak pohon-pohon karet berhasil disadap. Dengan demikian sejak

tahun 1986 setelah proses program PPKR yang dimulai tahun 1978 maka

perekonomian penduduk mengalami perubahan.

Perkembangan ekonomi penduduk desa Sugih Waras disebabkan pertanian

karet tersebut telah membuka pertumbuhan pada sektor tidak semata-mata

mengenai perkebunan karet rakyat, tetapi berpengaruh terhadap aspek-aspek

kehidupan lainnya. Sebagaimana ternyata di luar meningkatnya ekonomi petani

karet, maka muncul pedagang-pedagang atau roke-toke karet, KUD, buruh baik

buruh penyadap karet maupun buruh pengangkut produksi, berkembang nilai uang,

dan sebagainya. Di samping itu pekerjaan sehari-hari penduduk seperti sebelumnya

54

juga terus berlanjut, misalnya bertani padi, kopi, menangkap ikan, dan berburu.

Hasil tanaman kopi, tangkapan ikan dan hasil buruan juga sudah bisa diuangkan

atau dijual, di mana sebelum program PPKR masyarakat hampir tidak mengenal

nilai uang, dalam arti hasil-hasil tanaman pertanian maupun hasil berburu dan

menangkap ikan tidak ada dijual untuk mendapatkan uang. Tidak ada sesuatu yang

berniali ekonomis di tengah-tengah masyarakat, oleh karena sumber mata

pencaharian pokok yang berasal dari bertanam padi ditujukan hanya untuk

memenuhi kebutuhan hidup keluarga semata-mata. Bahkan tanaman kopi dibiarkan

tumbuh dan ditinggalkan penduduk begitu saja.

Hingga sekitar pertengahan tahun 1980-an penduduk desa Sugih Waras

boleh dikatakan masih hidup secara tradisional dengan mencukupi kebutuhan

keluarga. Tidak ada pasar untuk kegiatan ekonomi, sebab semuanya diproduksi

cuma bagi kebutuhan hidup primer saja. Kebutuhan pangan diperoleh dari hasil

pertanian padi, sedangkan kebutuhan sandang tidak terlalu mendapatkan prioritas,

asalkan sudah berpakaian dianggap hal itu sudah cukup. Begitu pula kebutuhan

akan papan, yaitu rumah tempat tinggal penduduk sudah memilikinya, sebab yang

terpenting mereka sudah punya tempat berlindung sesuai dengan kondisi pada

masa itu.

Salah satu kebutuhan sehari-hari yang sangat dibutuhkan oleh manusia di

mana pun adalah garam, yang dicari penduduk ke mana pun. Dalam sejarah,

permulaan kontak manusia antara penduduk yang berasal dari pedalaman dengan

penduduk di pesisir pantai dalam hal perdagangan adalah untuk mendapatkan

bahan-bahan perkakas besi, pakaian termasuk garam. Dahulu untuk mendapatkan

55

kebutuhan tersebut di-“barter” dengan produk yang dibawa oleh penduduk

pedalaman. Berbeda halnya di desa Sugih Waras bahwa kebutuhan akan garam

diperoleh penduduk dari alam di mana mereka bertempat tinggal. Yaitu kebutuhan

garam bagi penduduk berasal dari sejenis buah yang disebut “sunti”, ialah sejenis

pohon perdu kira-kira setinggi pohon petai. Buahnya kurang lebih sebesar buah

duku yang rasanya asin bercampur asam. Buah sunti tersebut diambil dari hutan

di sekeliling mereka tinggal, kemudian dipotong-potong dan diiris lalu dijemur.

Dengan demikian garam yang dikonsumsi penduduk desa Sugih Waras bukanlah

jenis garam yang sesungguhnya seperti di daerah-daerah lain yang lazim dikenal,

melainkan garam dari jenis buah pohon. Bahkan hingga saat penelitian ini (2008)

masih ditemukan di antara penduduk yang mengkonsumsi garam berasal dari buah

sunti tersebut. Rasa garam buah sunti terasa keras asinnya dan ada rasa asamnya

digunakan untuk menggulai sehari-hari. Penduduk yang sudah terbiasa dengan rasa

asin buah sunti itu lebih senang mengkonsumsinya daripada garam biasa yang

dijual di pekan.

1. Petani karet

Demikianlah sejak tahun 1978 penduduk desa Sugih Waras sebagian besar

menjadi petani karet dan sampai akhir program PPKR jumlah lahan perkebunan

karet rakyat mencapai seluas 1.010 hektar. Adapun jenis bibit karet yang ditanam

penduduk yang diberikan pemerintah adalah jenis bibit okulasi (rambung kawin).

Bibit karet yang diperoleh dari pemerintah akan dibayar oleh petani dengan cara

mencicilnya selama jangka waktu 30 tahun. Dalam hal ini petani mulai mencicil

56

investasi yang ditanamkan pemerintah yaitu bibit dan pupuk setelah tanaman karet

berproduksi atau sudah mulai dideres. Sistem pembayaran secara kredit tidak

ditentukan angka nominal jumlah setoran per bulannya, sebab bagi pihak PPKR

yang penting bahwa selama 30 tahun setelah pohon karet berproduksi petani sudah

melunaskan kredit PPKR. Hal ini sangat membantu perekonomian penduduk dan

cukup meringankan, tetapi memang tujuan itulah yang ingin diharapkan pemerintah

untuk dapat meningkatkan perekonomian masyarakat agar bisa hidup lebih

sejahtera.

Pada tahun 1970 didirikan Asosiasi Negara-negara Produsen Karet Alam

(ANPRC) beranggotakan 6 negara, yaitu Indonesia, Malaysia, Thailand, Srilanka,

India, dan Papua New Guinea. Asosiasi ini bertujuan untuk mempersatukan

kebijaksanaan semua negara anggota dalam rangka memajukan industri/perkebunan

karet baik ke dalam maupun ke luar. Kalau ke dalam setiap negara saling bertukar

pikiran tentang upaya-upaya peningkatan perekonomian karet khususnya karet

rakyat yang menyangkut kehidupan jutaan manusia, sedangkan ke luar asosiasi

membina kerja sama dalam kaitan hubungan dengan negara-negara konsumen

karet. Berkaitan dengan ini sejak 1977 pemerintah memulai satu proyek yang

cukup ambisius dan radikal yaitu PIR (mula-mula PIR-BUN). Adapun landasan

berpikir proyek ini adalah menjadikan perkebunan-perkebunan milik negara atau

PTP yang luas, sehat dan maju teknologi dan manajerialnya menjadi bapak

angkat bagi petani pekebun karet rakyat. Dengan semakin tersedianya dana yang

berasal dari naiknya harga ekspor minyak, proyek PIR dianggap sangat tepat untuk

meningkatkan program-program pemerataan15.

15 Mubyaro dan Awan Setya Dewanta, Op. cit, hal . 168 - 169.

57

Program pemerataan itulah pada prinsipnya mendasari terciptanya

perkebunan karet rakyat dalam periode tahun 1970-an, termasuk proyek PPKR di

desa Sugih Waras tahun 1978. Dukungan perkembangan karet rakyat oleh

pemerintah kelihatan lebih nyata di bawah pemerintahan Orde Baru, yaitu

dibuktikan dengan program-program yang lebih terarah terhadap pengembangan dan

pembinaan kepada para petani. Pembangunan perkebunan karet rakyat oleh

pemerintah Orde Baru dimulai dengan pelaksanaan proyek NES (Nucleus Estate

and Smallholder) di mana PTP diberi tujuan untuk membimbing petani dan

mengalihkan teknologi kepada perkebunan rakyat di wilayahnya. Bagaimana

besarnya perhatian pemerintah akan pengembangan karet rakyat bahwa sejak

program hingga tahun 1983 berdasarkan data-data yang dikumpulkan dari sensus

pertanian jumlah petani yang mengusahakan perkebunan karet adalah sebesar

881.908 petani yang tersebar di 12 provinsi. Di antaranya terdapat 3 provinsi

dengan jumlah petani yang terbesar, yaitu di Kalimantan Barat (29,81 %),

Sumatera Selatan (15,90 %), dan Sumatera Utara (12,64 %)16.

Apabila sampai tahun 1983 Sumatera Selatan menempati urutan ke-2

terbesar di Indonesia dari 12 provinsi jumlah petani karet rakyatnya yakni sebesar

140.221 petani (15,90 %) berarti di desa Sugih Waras dengan PPKR sudah

terhitung di dalamnya. Dengan demikian Sumatera Selatan termasuk desa Sugih

Waras dengan program PPKR penting artinya dan mendapat perhatian dalam

rangka pemerataan pertumbuhan ekonomi nasional. Program PPKR di desa Sugih

Waras mulai tahun 1978 sampai 1984 luas areal perkebunan karet rakyat mencapai

seluas 1.010 hektar.

16 Ibid, hal. 84 - 88.

58

Setelah tanaman karet petani desa Sugih Waras mulai bisa dideres atau

dalam istilah masyarakat setempat “ditakok”, maka mata pencaharian penduduk

bersumber dari pertanian karet. Dalam hal ini petani pemilik kebun karet

menyadap kebun karetnya sendiri, tetapi terdapat juga di antara penduduk yang

harus menyadap kebun karet milik petani lainnya, karena masih ada penduduk

yang tidak memiliki kebun karet PPKR. Penduduk yang tidak memiliki kebun

karet di desa Sugih Waras sampai tahun 1980-an disebabkan :

1. Penduduk yang pergi merantau ke daerah lain. Ketika program PPKR dibuka

mereka tidak berada di desanya dan setelah kembali mereka tidak mendapatkan

bagian tanah kebun karet dari keluarganya, sehingga tidak jarang mereka harus

menyadap kebun karet milik keluarganya sendiri ataupun menyadap kebun karet

milik orang lain di desanya.

2. Penduduk tidak memiliki modal untuk membuka kebun karet sendiri disebabkan

pada saat program PPKR diselenggarakan pemerintah daerah Sumatera Selatan

tahun 1978 sampai tahun 1984 mereka tidak ikut menjadi peserta program

PPKR. Sebagaimana diketahui sewaktu dibuka perkebunan karet tersebut tidak

semua penduduk menjadi peserta PPKR dengan alasan-alasan tertentu.

3. Di antara penduduk yang sebelumnya memiliki kebun yang berasal dari

program PPKR belakangan terpaksa menjual kebunnya karena membutuhkan

uang dalam jumlah besar untuk sesuatu keperluan penting, sehingga kebun

karet miliknya dijual kepada orang lain.

Untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya bagi penduduk desa Sugih

Waras yang tidak memiliki kebun karet, maka mereka terpaksa menyadap kebun

59

karet orang lain. Dalam hal ini kebun karet menjadi sumber mata pencaharian

penduduk, baik bagi penduduk pemilik kebun karet maupun penduduk yang tidak

memiliki kebun karet, yakni dengan menyadap kebun karet orang lain. Bagi

penduduk yang menyadap kebun karet orang lain mereka harus bisa merawat

secara teliti pohon karet yang disadapnya, sebab jika tidak pandai menjaga dan

memeliharanya, bukan tidak mungkin mereka akan diberhentikan oleh pemilik

kebun karet tersebut.

Pada awalnya petani pekebun karet menjual produksi tanaman karet sekali

dalam seminggu. Sebelum produksi dijual terlebih dahulu disimpan atau

dikumpulkan di sebuah gudang penyimpanan. Hasil sadapan karet yang sudah

membeku itu dijual ke KUD Serampu Jaya. Dalam satu minggu setiap petani bisa

menghasilkan getah karet antara 100 sampai 150 kg. Pada saat penjualan pertama

produksi tanaman karet harganya berkisar antara Rp 2000,00 hingga Rp 4.000,00

per/kg.

Sejak tahun 1988 petani pekebun karet desa Sugih Waras menjual hasil

sadapan karetnya sekali dalam satu bulan yang disebut penduduk dengan istilah

“nimbang”. Dalam tahun itu pula petani bisa menjual produksinya kepada para

pedagang swasta yang sudah mulai muncul. Artinya bahwa petani karet mulai

tahun 1988 itu tidak harus menjual produksinya ke KUD. Adakalanya menjual

hasil karet lebih tinggi dibeli oleh pihak pedagang daripada harga yang ditawarkan

oleh KUD. Dalam pembelian produksi karet timbullah persaingan antara pihak

KUD dengan pedagang-pedagang swasta.

60

Pada umumnya tanaman karet rakyat dalam usia antara lima sampai enam

tahun sudah bisa dideres atau disadap, sedangkan usia tanaman ini bisa mencapai

30 tahun. Yaitu sampai usia 30 tahun tanaman karet masih produktif. Begitupun

tanaman karet harus dipelihara dan dirawat terutama memperhatikan sistem

penyadapan yang tidak sembarangan. Jika menyadap pohon karet misalnya kandas

terkena batang kayunya, maka apabila terkena hujan maka bekas sadapan akan

membusuk, sehingga pohon karet bisa terkena hama dan lebih cepat mati, tidak

sampai berusia 30 tahun.

Adapun produksi tanaman karet produksi desa Sugih Waras ada dua jenis,

yaitu dalam bentuk getah beku dan getah cair atau lateks. Jenis getah beku ialah

getah cair hasil sadapan setelah dikumpulkan kemudian dimasak dengan cuka asam

semut sampai menjadi kental. Getah cair dimasukkan ke dalam sebuah bak kayu

berukuran 40 cm x 60 cm, kemudian dicampur ke cairan itu cuka asam semut lalu

diaduk hingga mengental. Getah cair adalah getah atau lateks yang berasal dari

hasil sadapan pohon karet.

Bentuk produksi tanaman karet petani berkaitan dengan pemasaran. Getah

cair atau lateks tidak diolah, tapi langsung dijual. Getah cair dari setiap pohon

dikumpulkan ke dalam sebuah ember besar atau tong kecil dan biasanya langsung

dijual pada hari itu juga ke KUD Serampu Jaya atau ke KUD Mufakat Jaya yang

berdiri di desa Sugih Waras sejak tahun 1985, yaitu dengan ketuanya yang

pertama Bapak A. Kohar Gemasek. Getah beku, oleh karena sudah diolah dan

masak maka dapat disimpan lama baru kemudian dijual. Seperti telah disinggung

sebelumnya pada awal petani berhasil menyadap tanaman karetnya, produksinya

61

dijual dalam seminggu sekali, sedangkan sejak tahun 1988 produksi dijual dalam

satu bulan sekali. Getah beku setelah tahun 1988 itu biasanya dijual kepada para

pedagang karet alam atau toke-toke karet.

Untuk terus meningkatkan mutu produksi karet dan perawatan tanaman ini

pemerintah daerah Sumatera Selatan secara kontinyu memberikan penyuluhan

kepada para petani karet rakyat peserta PPKR. Penyuluhan tersebut bertujuan

untuk menjaga mutu produksi karet rakyat sekaligus produksi yang diperolah dapat

meningkat, sehingga tarap kehidupan masyarakat juga meningkat dan menciptakan

pertumbuhan ekonomi. Penyelenggaraan penyuluhan dilakukan dua kali dalam satu

tahun dengan tempat penyuluhan biasanya berpindah-pindah dari satu desa ke desa

lain, tetapi dengan peserta adalah petani yang memiliki kebun karet.

Sejak tahun 1986 pertanian ladang dengan menanam padi tidak lagi

merupakan sumber mata pencaharian pokok. Keadaan ini disebabkan lahan-lahan

pertanian ladang semakin berkurang. Setelah program PPKR penduduk yang tidak

ikut serta di dalamnya mulai pada terjun mengusahakan tanaman karet di ladang-

ladang pertanian mereka. Atau di antara para petani peserta PPKR ada pula yang

membuka lahan baru dengan mengganti atau meremajakan tanaman baru. Dengan

demikian secara umum sejak tahun 1986 pola sumber mata pencaharian penduduk

desa Sugih Waras sudah beralih kepada tanaman karet rakyat.

Pembukaan PPKR di desa Sugih Waras oleh pemerintah pada tahun 1978

merupakan awal meluasnya perkebunan karet rakyat di sana, sebab sesudah tahun

1978 itu penduduk membuka kebun karet sendiri. Perluasan kebun karet terjadi

dengan dua cara. Yaitu dilakukan oleh petani peserta PPKR setelah mempunyai

62

modal mereka membuka lagi lahan-lahan kebun karet yang baru. Kemudian

pembukaan kebun karet dilakukan oleh penduduk dengan bantuan modal dari

orang lain, yaitu dari toke-toke karet yang adakalanya masih terikat tali

kekeluargaan. Dalam pembukaan kebun karet oleh petani yang sudah berhasil dan

punya modal tidak jarang mereka sering mempekerjakan orang lain untuk

menggarap lahannya. Sebagai upahnya selain mereka diberi uang maka selama tiga

tahun mereka boleh mengusahakan lahan tersebut dengan menanaminya padi atau

jenis tanaman lainnya, tetapi mereka harus merawat tanaman karet di antara lahan

tersebut. Biasanya ladang-ladang karet demikian setelah tiga tahun akan

ditinggalkan dan menunggu pohon-pohon karet tumbuh besar sampai bisa disadap.

Cara pembukaan kebun karet melalui bantuan modal orang lain yang

biasanya adalah pedagang atau toke-toke karet, cara ini adalah merupakan

investasi, yaitu dengan memberikan bibit-bibit karet kepada penduduk. Selain

petani tersebut adalah masih tergolong keluarga maupun tidak, terkadang bibit-bibit

tanaman dicicil dengan pembayaran yang tidak ditentukan. Dalam hemat si

pemberi bibit bagaimana pun jika tanaman karet sudah berproduksi tentulah akan

dijual kepada mereka.

Di samping itu penduduk yang semula bertani ladang akhirnya menanam

karet pula, yaitu dengan mengumpulkan biji-biji karet dari perkebunan yang sudah

ada. Biji-biji karet tersebut dikecambahkan atau disemaikan sampai kira-kira

berumur satu atau dua tahun. Pohon-pohon karet yang masih kecil dipotong

ujungnya dan setelah bertunas barulah ditanam di ladang-ladang pertanian mereka.

Dengan demikian penduduk menanam padi sekaligus menanam pohon karet.

63

Tanaman padi ditanam di sela-sela pohon karet muda selama tiga tahun, sebab

setelah tiga tahun ladang akan ditinggalkan, tetapi mereka terus merawat tanaman

karetnya sampai bisa disadap.

Tanaman karet petani yang bukan PPKR harus dilakukan penyadapan pagi-

pagi sekali yaitu sekitar pukul 05.30 Wib. Jika pohon karet disadap lebih siang

maka hasil lateksnya cuma sedikit. Hal ini adalah disebabkan bibit yang kurang

baik, sebab berasal dari biji-biji karet yang dikutip dari PPKR hingga mutunya

memang tidak terjamin. Memperhatikan perbedaan produksi kebun karet mereka

dibandingkan dengan PPKR bantuan pemerintah, maka belakangan tanaman karet

mereka diganti dengan bibit-bibit unggul okulasi yang didapatkan dari perkebunan

atau dari Sembawa. Dalam hal ini mereka meminjam modal pembelian bibit

tersebut dari toke-toke karet atau pengusaha swasta yang akan dibayar kembali

setelah pohon karet mereka dapat menghasilkan atau sudah bisa disadap atau

dideres.

Dalam pekerjaan menyadap karet biasanya dilakukan oleh suami dan isteri

yang bersama berangkat ke kebun karet mereka. Terkadang terdapat juga hanya

suami yang pergi ke kebun untuk meyadap, sedangkan si isteri pergi ke ladang

mereka untuk menjaga tanaman-tanaman dari gangguan binatang-binatang yang

akan memakan atau merusak tanaman.

Berdasarkan uraian di atas dapat diketahui bahwa sumber mata pencaharian

penduduk desa Sugih Waras pada awalnya adalah bertani ladang dengan menanam

padi. Kemudian mata pencaharian penduduk beralih ke tanaman karet sejak tahun

1978 yaitu sejak pemerintah daerah Provinsi Sumatera Selatan membuka PPKR.

64

Lambat laun petani ladang mengikut pula bertanam karet disebabkan menyaksikan

petani PPKR berhasil meningkatkan tarap hidupnya, sehingga perkebunan karet

dianggap menguntungkan dan cukup menjanjikan kehidupan yang lebih baik bagi

masa depan. Tanaman karet diusahakan di atas lahan ladang pertanian padi, sebab

dengan bertanam padi mereka tidak membeli beras lagi untuk kebutuhan keluarga,

tetapi sekaligus kebun karet penduduk terus dibangun. Jadi sejak tahun 1980-an

penduduk yang pada awalnya tidak ikut program pemerintah PPKR mulai beralih

ke tanaman karet atau menjadi petani karet, sehingga pada tahun 1986 penduduk

desa Sugih Waras sudah meninggalkan pertanian ladang. Dalam arti kata kebun

karet rakyat telah menjadi sumber mata pencaharian pokok menggantikan pertanian

ladang menanam padi.

Sehubungan dengan perubahan pola sumber mata pencaharian penduduk

desa Sugih Waras tersebut, maka muncul pula bidang-bidang pekerjaan lain baik

yang berkaitan dengan perkebunan karet rakyat itu sendiri maupun jenis pekerjaan

yang tidak ada hubungannya sama sekali dengan perkebunan karet. Pada tabel 3

dapat dilihat distribusi penduduk desa Sugih Waras berdasarkan sumber mata

pencaharian. Tabel tersebut bersumber dari tahun 1990. Tidak ada diperoleh data

kependudukan sebelum tahun 1990. Keadaan ini memang menyulitkan pembahasan

mengenai distribusi kependudukan dalam periode penulisan skripsi ini, kecuali

jalan keluar yang bisa diambil bahwa jumlah petani mencapai angka paling tinggi,

yaitu lebih separuh jumlah penduduk adalah sebagai petani, baik petani ladang dan

petani kopi walaupun mata pencaharian ini bukanlah merupakan mata pencaharian

pokok, tetapi merupakan mata pencaharian sampingan.

65

TABEL 3

Distribusi Penduduk Bedasarkan Mata Pencaharian

No. Jenis Mata Pnecaharian Jumah

1. Petani 1.896 orang

2. Buruh 355 orang

3. P N S 36 orang

4. Wiraswasta 77 orang

5. Pertukangan 25 orang

6. Pensiunan 7 orang

7. Lain-lainnya 854 orang

Jumlah 3.250 orang

Catatan : Anak-anak, orang-orang jompo, orang-orang cacat,

dan lain-lain dimasukkan dalam kategori no.7

dalam tabel.

Sumber : Kantor Kepala Desa Sugih Waras tahun 1990.

2. Toke karet

Salah satu bidang mata pencharian yang muncul dari perkebunan karet

rakyat di desa Sugih Waras adalah sebagai pedagang karet atau disebut toke

karet. Mereka adalah orang-orang yang memiliki uang dalam jumlah besar, di

samping mereka juga memiliki perkebunan karet yang cukup luas mencapai

puluhan hektar. Artinya tidak sembarang orang bisa disebut sebagai toke karet.

Mereka membeli produksi karet petani di antaranya berasal dari kota. Sejak tahun

1988 ada toke karet dari desa Sugih Waras sendiri, tetapi jumlahnya tidak banyak,

66

menurut keterangan penduduk cuma ada tiga orang, yaitu H.M. Fadil, Juhardi H.J.,

dan Abuyamin. Mereka bertiga lah yang membeli hasil karet penduduk di

Kecamatan Rambang Lubai, di samping itu pembeli hasil karet juga dilakukan oleh

KUD Mufakat Jaya dan KUD Serampu Jaya. Para toke karet yang datang

membeli produksi karet ke desa Sugih Waras dari kota mereka bukan berasal dari

Kecamatan Rambang Lubai.

Di samping itu toke-toke karet besar yang bermodal besar terdapat pula

toke karet kecil dengan modal pas-pasan atau modalnya tidak besar. Oleh karena

modal toke kecil hanya kecil maka hasil karet yang dibeli juga dalam jumlah

kecil.. Apabila toke karet besar menjual produksi karet yang dibeli langsung ke

pabrik, maka para toke karet kecil menjual produksi karet yang dibeli kepada toke

karet besar atau ke KUD, yaitu dengan mengambil selisih harga untuk

mendapatkan keuntungan antara harga pembeli dari petani karet dengan harga

penjualan kepada toke karet besar. Keadaan seperti ini sudah berlangsung sejak

tahun 1988 sampai saat penelitian ini dilakukan. Dalam kegiatan jual-beli produksi

karet petani sering juga para toke karet mengalami kerugian maka mereka

menurunkan harga pembelian karet, yang tentunya sangat merugikan petani. Harga

penjualan hasil karet petani sering turun-naik, tetapi patani karet tetap harus

menjual produksinya kepada mereka.

Pada umumnya toke karet mempunyai beberapa orang kepercayaan yang

membantu pembelian produksi karet tersebut, sebab toke-toke karet besar tidak

pernah terlibat langsung dengan petani untuk membeli karet. Kegiatan-kegiatan

seperti menjadi tukang timbang, transaksi dengan petani karet, bahkan sampai

67

membawa produksi ke pabrik di Palembang dilakukan oleh para pembantu toke

karet. Mereka menjadi orang-orang kepercayaan sebagai tangan kanan toke dan

menempati posisi penting yang sangat strategis dalam jaringan jual-beli dan pasar

produksi karet petani di desa Sugih Waras. Semua posisi penting tersebut diduduki

oleh kerabat dekat atau keluarga toke karet yang jumlahnya mencapai 80 %,

walaupun terdapat juga di antaranya orang lain yang bukan keluarga. Itulah

sebabnya di tengah-tengah masyarakat muncul istilah bahwa usaha toke karet

adalah sebagai “Usaha Keluarga”.

Sifat perdagangan produksi karet seperti disebutkan di atas di desa Sugih

Waras mempunyai dua sisi yang bertolak belakang, bahkan juga bertentangan,

sebab di satu sisi bisa menguntungkan petani, tapi di sisi lain malah merugikan

petani. Dari sisi positifnya yaitu menguntungkan petani karena harga produksi

mereka tidak stabil, maka banyak di antara petani karet yang lahannya sedikit,

yaitu sekitar 1 hektar, maka hasil tanaman karet mereka hanya bisa mencukupi

kebutuhan hidup sehari-hari. Dalam kondisi demikian apabila petani karet

membutuhkan uang kontan untuk sesuatu keperluan misalnya pesta, maka para

petani bisa mendapatkan dari toke tersebut. Begitu juga jika petani butuh barang-

barang elektronik atau sepeda motor, bahkan bibit karet, maka dalam hal ini toke

karet dapat memenuhi permintaan mereka. Dari segi negatifnya, dalam arti

merugikan petani karet, maka secara moral si petani harus menjual produksi

karetnya kepada toke karet tempat mereka memperoleh bantuan. Akibatnya adalah

berapa pun harga karet ditetapkan oleh toke karet terpaksa mereka terima.

Memang sewaktu toke karet meluluskan permohonan bantuan si petani tidak

68

pernah ditegaskan bahwa produksi karet harus dijual kepada mereka. Sebaliknya

beban moral bagi petani bahwa mau tidak mau mereka harus menjual produksi

karetnya kepada toke karet yang membantunya, meskipun terhadap toke karet lain

membeli karet dengan harga tinggi. Apalagi di antara penduduk desa Sugih Waras

terjalin tali kekeluargaan yang akrab, di mana tidak jarang petani karet yang

dibantu oleh toke karet di antara mereka masih ada hubungan kekeluargaan.

3. Buruh

Pekerjaan sebagai buruh cukup banyak terdapat di desa Sugih Waras, baik

dilihat dari jumlah tenaga kerja maupun jenis pekerjaannya, meskipun tidak ada

pabrik besar di sini, dan penduduk banyak yang bekerja untuk mengurus kebun

karetnya sendiri. Jenis pekerjaan yang ada yaitu sebagai buruh tukang gancu getah.

Mereka bekerja mengangkat getah ke atas truk hasil karet yang dibeli oleh toke

karet dari para petani. Biasanya toke karet akan membawa truk untuk mengangkut

getah yang dibeli. Setelah getah selesai ditimbang, maka buruh-buruh

mengangkatnya ke dalam truk. Mereka disebut tukang gancu getah karena untuk

mengangkat getah tersebut mereka menggunakan gancu.

Buruh-buruh tukang gancu tersebut digaji oleh toke karet secara bulanan,

sebab getah yang dibeli memang ditimbang dan diangkut sekali dalam sebulan,

yaitu berkisar antara tanggal 27 sampai tanggal 30. Mereka diberi upah per bulan

karena pekerjaan mengangkat getah tidak hanya dilakukan di desa Sugih Waras

saja, tetapi juga ke desa-desa lain, di mana toke karet bersangkutan membeli

getah. Sebenarnya pekerjaan sebagai buruh angkat getah bukanlah pekerjaan utama

69

mereka, sebab kegiatan menimbang dan mengangkut getah tidak dilakukan setiap

hari. Di waktu senggang tidak ada kegiatan memburuh mereka menyadap karet

milik orang lain atau juga menyadap karet milik toke karet tempat mereka kerja

sebagai tukang angkat getah.

Untuk satu truk biasanya terdiri dari 6 sampai 8 buruh angkat yang

bersama-sama bekerja menimbang dan mengangkat getah ke dalam truk. Apabila

tiba saat giliran menimbang getah hasil sadapan mereka sendiri, mereka juga ikut

melakukan penimbangan, yaitu getah yang mereka sadap di hari-hari tidak ada

pekerjaan menimbang dan mengangkut getah. Dalam hal ini buruh angkat

sesungguhnya sekaligus juga sebagai buruh tani kebun karet rakyat, tetapi dalam

prakteknya adalah bagi hasil, yaitu 2 : 1. Artinya dari hasil getah yang dijual

pemilik kebun memperoleh dua bagian, sedangkan buruh penyadap memperoleh

satu bagian. Misalnya ketika hasil penjualan getah satu bulan setelah ditimbang

memperoleh Rp. 600.000,00, maka si pemilik kebun menerima Rp. 4.00.00,00

sedangkan buruh penyadap menerima Rp. 200.000,00. Dalam hal ini semua biaya

pemeliharaan untuk membersihkan kebun, ember atau tong kecil untuk mengumpul

getah, bak tempat mebekukan retah, dan cuka asam semut atau sejenisnya

semuanya ditanggung si pemilik kebun karet. Dengan demikian buruh penyadap

karet hanya mengeluarkan tenaganya saja untuk meyadap tanaman karet.

Penghasilan sebagai buruh mereka terima dari bagian menyadap kebun karet orang

lain dan upah bulanan dari toke karet.

4. Pedagang

70

Perkebunan karet rakyat di desa Sugih Waras secara tidak langsung tidak

menciptakan lapangan usaha-usaha baru mulai bersifat ekonomis walaupun masih

tahap awal, tetapi setidak-tidaknya nilai uang sudah mantap berlaku di tengah-

tengah masyarakat. Keadaan ini jauh berbeda dengan keadaan sebelum tahun 1980-

an, ketika penduduk masih bertani ladang dengan sistem perekonomian rumah

tangga, di mana masyarakat hanya berkutat pada pertanian ladang untuk memenuhi

kebutuhan hidup keluarga dan hampir tak membutuhkan uang.

Berkaitan dengan berkembangnya perkebunan karet rakyat di desa Sugih

Waras, satu hal yang tak bisa dihindarkan adalah munculnya sikap konsumerisme

penduduk, yaitu keinginan untuk mendapatkan barang-barang di luar lebutuhan

hidup sehari-hari. Hal ini sejalan dengan pertumbuhan ekonomi yang dirasakan

masyarakat, oleh karena kebun karet mereka cukup menjamin adanya pendapatan

setiap bulan, meskipun sering terjadi harga getah mereka turun-naik, tapi mereka

sudah lebih optimis menghadapi kehidupan.

Adapun perdagangan yang dilakukan penduduk desa Sugih Waras hanyalah

bersifat kecil-kecilan, yaitu berupa kedai sampah. Kedai sampah tersebut juga tidak

berjalan lancar disebabkan kurangnya modal usaha, di samping itu di Dusun IV

diselenggarakan pekan, yaitu kegiatan pasar sekali dalam seminggu, yaitu pada hari

Minggu.

Usaha kedai sampah yang dilakukan penduduk hanyalah pekerjaan

sampingan untuk menambah pendapatan keluarga sekaligus mengisi kegiatan sehari-

hari. Para pedagang kedai sampah menyadari sendiri bahwa usaha itu tidak begitu

menguntungkan. Apalagi jika harga getah petani menurun dengan sendirinya

71

kondisi ini membawa pengaruh bagi usaha kedai sampah mereka. Menurutnya

harga getah membuat daya beli masyarakat menurun, bahkan penduduk cenderung

akan mengutang di kedai, padahal modal kedai-kedai sampah tak memungkinkan

hal sedemikian, sehingga kedai sampah milik mereka akan terancam bangkrut atau

tutup.

Jiwa konsumerisme penduduk untuk mendapatkan barang-barang di luar

kebutuhan pokok seperti radio, tape recorder, barang pecah belah maupun pakaian

yang bagus-bagus termasuk alat-alat produksi kebun karet, semuanya sudah

dipegang oleh pedagang keliling yang datang dari daerah lain ataupun yang datang

dari kota. Dalam memenuhi permintaan masyarakat desa Sugih Waras tersebut

pedagang keliling menjalankan cara berdagang dengan sistem kredit yang dicicil

pembayaranya per minggu atau per bulan.

5. Petani kopi.

Sejak sekitar tahun 1985 areal tanaman kopi penduduk desa Sugih Waras

semakin berkurang disebabkan makin meluasnya kebun karet rakyat. Tanaman kopi

liar yang dikebunkan penduduk ditebang untuk digantikan kebun karet, kecuali

hanya tersisa di daerah-daerah tertentu yang tidak dibuka menjadi perkebunan karet

terutama di tempat-tempat yang curam dan dataran tinggi di mana tanaman karet

tidak dapat tumbuh dengan baik. Di samping populasi tanaman karet tidak terjadi

lagi, bertani kopi juga hanya merupakan pekerjaan sampingan, tapi sejak

pertengahan tahun 1980-an itu hasil tanaman kopi sudah bernilai ekonomis karena

sudah dijual ke pekan.

72

Menanam kopi liar sudah dilakukan penduduk desa Sugih Waras secara

turun temurun. Sejak tahun 1985 atau setelah kebun karet hasil PPKR mulai

berproduksi, maka biji-biji kopi sudah dijual oleh penduduk ke pekan di Dusun

IV yang berlangsung sekali dalam satu minggu, yaitu pada hari Minggu. Para

pedagang akan membeli biji-biji kopi tersebut di pekan. Dalam tahun 1980-an

kopi dijual seharga Rp. 1.500,00 sampai Rp. 2.000,00 per/kg. Penghasilan tambahan

penduduk dari penjualan kopi tersebut kemudian dibelikan kepada barang-barang

keperluan sehari-hari lainnya, seperti gula, pakaian maupun beras bagi penduduk

yang tidak mempunyai ladang.

Selain biji-biji kopi yang dijual ke pekan, penduduk mengkonsumsi kopi

untuk diminum sendiri, sehingga mereka tidak perlu membeli kopi. Dalam

pengolahan kopi tersebut, biji-biji kopi yang masak dikumpulkan ditumbuk di

lesung lalu dijemur di panas terik matahari. Setelah dijemur dan benar-benar

kering maka biji-biji kopi kering itu ditumbuk halus dan pengolahan berikutnya

adalah dengan menggongsengnya dalam kuali tanpa minyak makan atau minyak

goreng, yang menurut istilah setempat menggongseng kopi ini disebut dengan

“mehendang kopi”. Dengan proses terakhir tersebutlah tersedia bubuk kopi dan

sudah siap untuk dikonsumsi.

Di atas disebutkan bahwa pekerjaan menanam kopi penduduk desa Sugih

Waras sudah berlangsung turun temurun. Sejak tahun 1985 produksinya tidak

berkembang lagi, tetapi penduduk masih mengusahakannya untuk sekedar

menambah penghasilan keluarga, walau harga biji kopi sangat bervariasi dan juga

turun-naik. Penduduk menjual hasil tanaman kopi dalam bentuk buah mentah atau

73

biji yang sudah dikeringkan, tetapi ada juga yang menjualnya berupa kopi yang

sudah diolah dengan ditumbuk. Kopi yang dijual sudah ditumbuk kurang diminati

pembeli, tidak di ketahui alasannya kenapa kurang pembelinya.

Kebun kopi penduduk di desa Sugih Waras yang sudah dikenal semenjak

lama disebut oleh penduduk sebagai kebun “himbe”. Himbe adalah panggilan lain

dari perkebunan. Dahulu sering penduduk tinggal di kebun himbe selama beberapa

hari untuk memetik buah kopi, disebabkan lokasi kebun kopi penduduk cukup

jauh dari desa tempat tinggal, di samping pekerjaan memetik buah kopi sangat

menyita waktu karena harus memilih buah yang masak.

6. Berburu dan Menangkap Ikan

Seperti halnya bertanam kopi masih diusahakan penduduk desa Sugih Waras

setelah mata pencaharian bersumber dari pertanian karet, begitu pula pekerjaan

berburu dan menangkap ikan masih dilakukan oleh penduduk. Jenis pekerjaan itu

didukung terutama oleh faktor lingkungan alam, yaitu perladangan dan hutan

semak belukar serta sungai Rambang, sungai Telaga, dan sungai Air Itam sebagai

tempat menangkap ikan. Selain itu di antara yang tidak memiliki kebun karet,

mereka berburu atau menangkap ikan. Setelah perkebunan karet mulai berproduksi

hasil tangkapan berburu dan menangkap ikan sudah bisa dijual dan penduduk

bersedia dan mampu membelinya.

Pada bagian terdahulu disebutkan hewan yang diburu oleh penduduk

biasanya adalah kancil, kijang, rusa, dan trenggiling. Hewan kecil hasil tangkapan

adalah untuk dikonsumsi sendiri, tetapi hewan-hewan yang lebih besar setelah

74

perkebunan karet ada yang dijual kepada penduduk lain, yaitu dalam tahun 1980-

an harganya sekitar Rp. 10.000,00 per/kg. Pekerjaan berburu tidak hanya dilakukan

oleh penduduk yang tidak punya kebun karet, tetapi juga dilakukan oleh petani

pemilik kebun, selain untuk bisa mengkonsumsi daging, tetapi juga disebabkan

sudah merupakan hobi semenjak lama.

Adapun jenis ikan yang ditangkap penduduk dari sungai terdiri dari gabus,

lais, baung, toman, lampam, dan sebarau, dan lain-lain. Dahulu juga ikan tapa dan

belida banyak di sungai, tetapi sekarang ikan tersebut sudah hampir punah dan

tidak pernah lagi berhasil diperoleh. Hasil tangkapan ikan penduduk dijual kepada

penduduk lain di desa Sugih Waras.

Penduduk menangkap ikan dengan menggunakan alat seperti jaring, jala,

bubue maupun pancing. Memancing di atas rakit banyak dilakukan penduduk di

sungai Rambang, yaitu sungai terbesar di Sugih Waras. Memancing di atas rakit

terkadang dilakukan beberapa orang, yaitu dengan menambatkan rakit di tengah

sungai ketika air sungai sedang surut, dan mereka memancing di atas rakit

tersebut. Cara lain untuk menangkap ikan yang juga dilakukan adalah memasang

pancing berukuran lebih besar dari ukuran pancing biasa yang diikatkan pada

kayu-kayu kecil seperti pancing dengan umpan pada pancingnya berupa ikan-ikan

kecil. Pancing-pancing seperti ini dipasang di beberapa tempat lubuk sungai dan

ditinggalkan, dan baru akan didatangi pada keesokan harinya. Cara memancing

sepert ini biasanya untuk menangkap ikan-ikan yang lebih besar, sebab ikan-ikan

besar memangsa ikan-ikan yang kecil, sehingga ikan besar akan menyambar ikan

kecil yang menjadi umpan pancing.

75

7. Mata pencaharian lain-lain.

Selain mata pencaharian yang telah disebutkan di atas, di desa Sugih

Waras masih terdapat jenis-jenis pekerjaan lain, seperti PNS, wiraswasta, tukang

dan pensiunan, juga pekerjaan tidak tetap. Pekerjaan berwiraswasta kebanyakan

dilakukan oleh para toke karet, di mana selain mereka membeli produksi karet

petani, menjual bibit karet dan membuka toko manisan. Ada juga penduduk yang

membuka toko manisan, tetapi tidak pernah bertahan lama disebabkan kekurangan

modal. Apalagi jika harga getah jatuh, maka pembeli menjadi sepi dan akhirnya

toko manisan merugi dan tutup.

Pekerjaan sebagai tukang pada umumnya adalah tukang bangunan. Keahlian

dalam bidang pekerjaan ini didapatkan penduduk desa Sugih Waras karena mereka

pernah merantau dan menjadi kuli bangunan di kota. Yang lainnya memperoleh

keahlian bertukang untuk membuat bangunan rumah berasal dari tukang-tukang

yang datang dari desa-desa tetangga. Pekerjaan bertukang dilakukan secara

musiman, pada umumnya berlangsung saat musim kemarau, yaitu orang bisa

mengeruk pasir dari sungai, sehingga pasir sebagai bahan bangunan dapat

diperoleh dengan mudah.

Adapun pensiunan jumlahnya tidak banyak, hanya tujuh orang. Dua orang

di antaranya berasal dari penduduk desa Sugih Waras, yaitu pensiunan dari SD I

dan SD II Sugih Waras. Kelima orang pensiunan lainnya sebelumnya menjadi

PNS di daerah lain dan setelah pensiun mereka kembali ke kampung asalnya ke

76

desa Sugih Waras. Mereka berasal dari pensiunan guru SMP, Dinas Pertanian

Kabupaten Muara Enim dan pensiunan Kantor Camat Rambang Lubai.

4.3 Kehidupan Sosial

Pada bab II sudah dijelaskan bahwa penduduk desa Sugih Waras adalah

etnis Melayu yang mendiami daerah ini sejak 1868, yang sekaligus dianggap

sebagai tahun berdirinya desa Sugih Waras. Mereka bermukim di daerah tepi-tepi

sungai, sehingga pada awalnya kehidupannya bergantung kepada hasil-hasil dari

sungai di sekitar lingkungannya.

Tidak diperoleh keterangan yang menjelaskan bagaimana orang-orang

Melayu tiba ke kawaasan Rambang Lumbai. Kecuali menurut tradisi lisan setempat

didukung kondisi geografis bahwa mereka sampai di desa Sugih Waras dengan

menyusuri sungai Rambang yang bermuara ke sungai Ogan, di mana sungai ini

berada di wilayah Muara Enim. Sebagai orang Melayu yang identik dengan Islam

mereka menanamkan dan mengembangkan kebudayaannya, yang dibawa ke Sugih

Waras oleh pasangan suami-isteri yaitu Rie Tungkat Kaye dan Rie Sekati.

Terdapat kemiripan orang Melayu penduduk desa Sugih Waras dengan

orang Melayu Deli di Sumatera Utara seperti terlihat dalam hal bahasa. Misalnya

ucapan “nak ke mane”, “mane acii”, “name”, due”, “kejap”, dan lain-lain. Kecuali

sedikit perbedaan dalam logat bahasa, bahwa logat melayu di Deli pengucapannya

lebih dilagukan, sedangkan logat Melayu di desa Sugih Waras terkesan datar saja.

Selain dalam bidang bahasa, dalam tata cara lamaran untuk perkawinan di

Sugih Waras ada kemiripan dengan yang dilakukan oleh orang-orang Melayu di

77

tempat lain. Yaitu sewaktu melakukan lamaran pertama-tama utusan dari pihak

laki-laki maupun pihak wanita akan melantunkan beberapa pantun, yang

selanjutnya terjadi berbalas pantun. Biasanya mereka yang ditunjuk untuk menjadi

utusan masing-masing pihak adalah orang-orang yang disegani di tengah-tengah

masyarakat dan mamahami adat budaya Melayu yang disebut “tetue adat”.

Stratifikasi Sosial

Stratifikasi sosial penduduk Sugih Waras meskipun tampak tidak jelas,

tetapi masih dapat dibedakan berdasarkan keturunan, tingkat kekayaan dan

pendidikan. Sifat keturunan dapat dilihat bahwa tetue adat menempati golongan

tertentu, yaitu disebabkan pengetahuan mereka yang luas terhadap adat istiadat dan

kharismanya, sehingga mereka dan keturunan keluarga sangat dihormati. Perbedaan

dalam tingkat kekayaan terlihat berdasarkan perbedaan ekonomi, di mana toke-toke

karet dan para pedagang oleh karena kekayaannya mereka memiliki status

tersendiri. Adapun PNS, termasuk guru-guru sekolah dan guru-guru mengaji yang

memiliki pengetahuan karena pendidikannya baik dalam bidang pengetahuan umum

maupun pendidikan agama mereka mempunyai status sosial yang dihormati dalam

stratifikasi sosial.

Terhadap kelompok masyarakat lainnya, terdiri dari petani, buruh, dan lain-

lain dapat digolongkan tersendiri. Secara keseluruhan pada prinsipnya sukar

menetapkan stratifikasi sosial tersebut, apalagi terhadap kelompok masyarakat yang

sangat kecil.

78

Kehidupan sosial ekonomi penduduk desa Sugih Waras dalam kaitan

stratifikasi sosial dalam penulisan skripsi ini dapat ditinjau dengan meilhat dua

kelompok masyarakat yang jauh berbeda, tetapi tidak terpisahkan karena saling

tergantung dan saling isi-mengisi. Yaitu golongan petani karet dan buruh baik

buruh penyadap karet maupun buruh angkat gancu getah di suatu pihak,

sedangkan toke karet berada di pihak yang lain. Dalam perkebunan karet yang

membedakan antara keduanya hanyalah tingkat kekayaan, tetapi pertumbuhan

ekonomi tidak akan terjadi apabila keduanya dipisahkan sebagaimana telah dibahas

pada sub judul 4.2 di atas.

Solidaritas Sosial

Kondisi solidaritas sosial masyarakat desa Sugih Waras masih sangat kuat,

sebagaimana ciri masyarakat pedesaan pada umumnya. Mereka berpegang pada

rasa kebersamaan dan menganggap satu sama lain adalah keluarga, sehingga

kehidupan sosial masyarakat hidup berdampingan. Apabila ada di antara anggota

masyarakat yang tertimpa musibah atau melaksanakan suatu acara misalnya pesta

perkawinan, penduduk akan datang beramai-ramai memberi bantuan. Berbagai

macam bantuan materi dibawa mereka, apa saja yang dipunyai misalnya sayur

mayur, gula, kopi, garam, beras, kayu bakar, bahkan ada juga yang memberi

sejumlah uang kepada keluarga yang tertimpa kemalangan ataupun yang

menyelenggarakan hajatan.

Rasa solidaritas sosial demikian yang sudah berlangsung secara turun

temurun masih tertanam di tengah-tengah kehidupan masyarakat. Seperti sudah

79

dijelaskan sebelumnya rasa kebersamaan dalam bentuk gotong royong terlihat

ketika pembukaan lahan pada saat pembakaran, menanam padi dan juga pada

waktu panen. Yaitu penduduk secara bergantian bergotong royong membantu

penduduk lainnya tanpa memperoleh upah. Setelah program PPKR di desa Sugih

Waras terutama sesudah pohon-pohon karet berproduksi dan penduduk beralih dari

pertanian ladang ke kebun karet, maka secara praktis pertanian ladang hampir

tidak ada lagi. Dampaknya kegiatan bergotong royong berangsur-angsur juga mulai

hilang, kecuali rasa solidaritas yang masih tetap terpelihara.

Pendidikan

Sarana pendidikan tingkat sekolah dasar sudah ada dibangun pemerintah

pada tahun 1976 yaitu SD Negeri I, kemudia pada tahun 1984 dibangun lagi SD

Negeri II. Dengan demikian anak-anak desa Sugih Waras sudah bisa bersekolah di

tempat tinggalnya sendiri tanpa harus pergi ke tempat lain yang jauh.

Untuk tingkat sekolah lanjutan menengah dan atas apalagi perguruan tinggi

belum ada di desa Sugih Waras, sehingga untuk menempuh sekolah SMP dan

SMA anak-anak harus pergi ke kota seperti ke Prabumulih, Muara Enim,

sedangkan perguruan tinggi baik negeri maupun swasta hanya ada di ibu kota

provinsi di Palembang. Anak-anak yang ingin melanjutkan sekolah setelah

menamatkan SD harus pergi ke kota.

Kedua SD Inpres di desa Sugih Waras terdapat di Dusun IV, sehingga

anak-anak dari dusun lain untuk bersekolah harus datang ke Dusun IV yang

berlokasi di bagian hulu desa. Jarak sekolah dari dusun-dusun lainnya rata-rata 700

80

meter, di antara anak-anak ada yang pergi ke sekolah dengan bersepeda, tetapi ada

juga yang berjalan kaki.

Selain pendidikan umum SD di desa Sugih Waras terdapat tempat mengaji

Al Qur’an maupun TPA (Taman Pendidikan Al Qur’an). Guru-guru mengaji yang

juga dipanggil ustads menerima belajar mengaji anak-anak mulai dari Iqra’ sampai

membaca Al Qur’an. Pendidikan agama termasuk membaca Al Qur’an sangat

diutamakan bagi anak-anak penduduk desa Sugih Waras.

Sejak tahun 1980-an sudah ada anak-anak penduduk yang melanjukan

pendidikan ke perguruan tinggi baik negeri maupun swasta. Menurut sumber

kantor kepala desa sampai tahun 1990 terdapat sekitar 60 orang yang menempuh

pendidikan di tingkat perguruan tinggi. Minat penduduk untuk menyekolahkan

anak-anak ke tingkat yang lebih tinggi terutama perguruan tinggi pada umumnya

masih sangat rendah. Hal ini disebabkan selain faktor ekonomi juga faktor

keluarga yang tidak mendukung anak-anak untuk maju. Mereka manganggap

meyekolahkan anak-anak hanya menghambur-hamburkan uang tanpa hasil yang

jelas apakah mereka akan berhasil mendapatkan pekerjaan, sehingga kapan uang

yang dikeluarkan untuk biaya pendidikan akan kembali. Dengan sikap tersebut

maka anak-anak mereka hanya disekolahkan hanya sampai tingkat SMP atau SMA

saja.

Sarana Kesehatan

Pada tahun 1986 di desa Sugih Waras dibangun pusat kesehatan masyarakat

(Puskesmas) untuk memenuhi sarana kesehatan masyarakat setempat, sehingga

81

untuk berobat tidak perlu lagi harus pergi ke tempat lain. Kecuali untuk penderita

penyakit yang parah maupun harus dioperasi penduduk masih harus pergi ke kota.

Bagi ibu-ibu yang akan melahirkan sudah bisa memeriksakan kehamilannya

termasuk untuk melahirkan di Puskesmas.

Masyarakat desa Sugih Waras selain berobat ke Puskesmas dengan dirawat

oleh dokter-dokternya, mereka masih pergi berobat ke mantri suntik. Hingga saat

penelitian skripsi ini di desa Sugih Waras ada dua orang mantri suntik yang

sudah bertahun-tahun lamanya melayani masyarakat di desa itu.

Keluarga Berencana ( KB )

Program KB di desa Sugih Waras sudah ada sejak tahun 1982, tapi dapat

dikatakan tidak berhasil. Terbukti jumlah anak rata-rata setiap keluarga lebih dari

dua orang, tapi berjumlah tiga atau empat orang, bahkan terdapat di antara

penduduk yang mempunyai tujuh orang anak. Ketidakberhasilan KB tersebut selain

masih adanya anggapan masyarakat bahwa banyak anak banyak rezekinya, juga

dalam kehidupan bertani baik berkebun karet dan berladang padi membutuhkan

tenaga kerja, sehingga jumlah anak yang banyak akan dapat membantu keluarga.

Kegagalan program KB juga disebabkan kepada masyarakat tidak pernah

diberikan penyuluhan, sehingga masyarakat tidak mengerti pada umumnya untuk

apa program itu dijalankan. Memang ada juga di antara penduduk pernah

mengikuti penyuluhan, tetapi tidak dilakukan secara intensif, sehingga mereka tidak

mendapatkan pengetahuan yang cukup.

82

Upacara-upacara.

Jenis upacara yang biasanya banyak dilakukan penduduk desa Sugih Waras

adalah yang berkenaan dengan kehidupan mereka sehari-hari terutama dalam

bidang pertanian baik pertanian ladang maupun pertanian karet. Biasanya upacara-

upacara pertanian dilakukan pada saat membuka ladang, saat menanam padi, yaitu

didahului upacara bersedekah dengan tujuan agar membuka hutan terhindar dari

marabahaya serta diberikan hasil panen yang melimpah. Upacara saat menanam

padi bertujuan agar tanaman tumbuh subur dan tidak mendapat gangguan binatang-

binatang dan hama. Upacara panen sebagai ucapan rasa syukur atas karunia hasil

panen yang diperoleh. Upacara-upacara tersebut ditujukan kepada makhluk

penunggu hutan atau tanah yang disebut penduduk sebagai orang halus atau

“orang kelam”. Selain upacara demikian penduduk juga tidak lupa bersujud syukur

kepada Allah SWT.

Berdasarkan keterangan penduduk desa Sugih Waras kenapa upacara-upacara

kepada makhluk halus masih dilakukan, padahal mereka adalah menganut agama

Islam, pengetua adat setempat menjelaskan bahwa upacara-upacara tersebut berasal

dari nenek moyang, sehingga tidak mungkin untuk ditinggalkan. Terkadang hasil

upacara tersebut terbukti pula kebenarannya. Pernah ada kejadian salah seorang

penduduk yang tidak melakukan upacara ketika membuka lahan ladangnya, orang

tersebut menderita sakit parah dan tidak berhasil disembuhkan meskipun sudah

berobat ke beberapa rumah sakit. Setelah orang tersebut mendatangi seorang dukun

maka dijelaskan bahwa makhluk penunggu lahan yang dibuka itu marah kepadanya

karena menebang kayu-kayu yang menjadi rumah tempat tinggalnya tanpa permisi

83

terlebih dahulu. Dukun tersebut menyuruh supaya dilakukan upacara sebagai

permintaan maaf kepada mahluk penunggu hutan. Tiga hari setelah upacara itu

dilaksanakan maka orang tersebut langsung sehat seperti orang yang tidak pernah

sakit.

Selain upacara untuk pertanian, upacara yang juga sering dilakukan adalah

pada saat mendirikan rumah. Sebelum menegakkan tiang sebatang, demikian

penduduk sering menyebutnya, oleh orang yang akan mendirikan rumah terlebih

dahulu diadakan upacara bersedekah. Biasanya upacara dipimpin oleh seorang

dukun kampung yang memang sudah terbiasa berhubungan dan berdialog dengan

“orang kelam”. Setelah rumah selesai dibangun masih diadakan upacara sedekah

penunggu dengan tujuan agar rumah mendapat berkah dan rumah dijaga oleh

makhluk penunggu tanah tersebut.

Upacara-upacara demikian telah dianggap biasa sebagai adat, bahkan sebagai

keharusan bagi masyarakat. Sejak tahun 1980-an upacara yang dilakukan terasa

tidak terlalu sakral lagi seperti saat-saat sebelumnya. Hal ini disebabkan semakin

banyak generasi yang berpendidikan, tetapi upacara masih tetap dilaksanakan,

meskipun penyelenggaraannya tidak lagi sebesar tahun-tahun sebelumnya.

BAB V

KESIMPULAN

Berdasarkan uraian pada bab-bab sebelumnya maka sampailah penulis pada

bab terakhir, yaitu kesimpulan. Dalam bab ini penulis berusaha untuk

menyimpulkan pembahasan-pembahasan sebelumnnya.

84

Sebelum tahun 1978 penduduk desa Sugih Waras semata-mata

menggantungkan hidup mereka kepada pertanian ladang, di mana mata pencaharian

bercocok tanam padi sudah berlangsung secara turun temurun dari nenek moyang.

Tahun 1978 merupakan tonggak sejarah perubahan ekonomi penduduk, yaitu

pemerintah menjalankan program Proyek Perkebunan Karet Rakyat (PPKR) yang

direalisasikan oleh pemerintah daerah Provinsi Sumatera Selatan. Pada awalnya

program ini kurang mendapatkan sambutan dari penduduk, tetapi dari tahun ke

tahun pesertanya bertambah terus, sehingga setelah lima tahun pembukaan proyek

lahan yang dibuka mencapai seluas 1.010 hektar, sebagian besar penduduk desa

Sugih Waras beralih dari bertani padi menjadi petani kebun karet.

Menyaksikan keberhasilan tanaman karet setelah berproduksi dan

perekonomian petani karet mengalami perubahan, hal itu menimbulkan minat

penduduk lainnya untuk menanam karet, sehingga pada tahun 1986 hampir seluruh

penduduk sudah menjadi petani karet. Dengan sendirinya pertanian ladang hampir

tidak ada lagi, sebab lahan-lahan pertanian ladang yang ada kemudian dibuka

menjadi kebun karet rakyat.

Dengan beralihnya sumber mata pencaharian penduduk ke perkebunan karet

maka muncul pula pekerja-pekerja lain yang berkaitan dengan karet tersebut, di

antaranya pedagang-pedagang karet atau toke karet dan buruh baik buruh angkut

getah maupun buruh membuka lahan kebun karet dan buruh menyadap kebun

karet. Apabila sebelumnya mata pencaharian penduduk adalah selain bertani ladang

adalah bertani kopi, berburu dan menangkap ikan semua penghasilan mereka

adalah untuk memenuhi kebutuhan keluarga sendiri. Dalam sistem perekonomian

85

ini tidak ada ekonomi uang karena semua kebutuhan hidup sehari-hari dapat

dipenuhi oleh setiap keluarga.

Setelah tahun 1986 di mana mata pencaharian penduduk sudah bersumber

dari perkebunan karet berarti dari hasil penjualan produksi getah penduduk yang

menjualnya sudah menerima uang, dalam arti kata uang sudah beredar di kalangan

masyarakat. Memang mata pencaharian sebelumnya terutama hasil pertanian kopi,

berburu dan menangkap ikan hasilnya sudah dapat dijual kepada penduduk lain.

Penduduk yang tidak mempunyai kebun karet akhirnya setelah tahun 1986

juga menggantungkan hidup mereka kepada perkebunan karet, di antaranya menjadi

buruh penyadap karet dengan sistem bagi hasil, buruh angkat getah maupun buruh

untuk membuka lahan-lahan baru perkebunan karet. Berkaitan dengan munculnya

buruh yang bekerja membuka lahan baru perkebunan karet rakyat ini oleh

penduduk dalam rangka peremajaan tanaman karet maupun perluasan kebun karet,

maka dengan memberi upah hal ini telah menghilangkan tradisi gotong royong.

Sebelumnya dalam membuka lahan pertanian terutama kegiatan membakar,

menanam dan panen dilakukan secara bergotong royong. Dalam tradisi gotong

royong masyarakat tidak diberi upah, kecuali memberikan makan penduduk yang

ikut bergotong royong oleh penduduk yang dibantu. Penduduk secara bergantian

mendapatkan kesempatan yang sama untuk ikut maupun menerima kegiatan

bergotong royong di desanya.

Dengan dibukanya perkebunan karet rakyat di desa Sugih Waras dan

beralihnya sumber mata pencaharian penduduk dari pertanian ladang ke perkebunan

karet sekaligus masuknya ekonomi uang ke tengah-tengah masyarakat. Sejak itu

86

perekonomian penduduk mengalami pertumbuhan, sekaligus bersifat konsumtif.

Oleh karena perekonomian menjadi tergantung kepada karet maka penghasilannya

sangat tergantung kepada turun-naiknya harga karet. Apabila harga karet sedang

naik atau membaik maka kehidupan penduduk menjadi cerah di mana penduduk

pun membeli barang-barang luks, sebaliknya jika harga produksi getah menurun

maka kehidupan penduduk menjadi lesu kurang bergairah. Dalam keadaan seperti

ini penduduk tetap menyadap tanaman karet, sebab mereka sudah tergantung,

sumber penghasilan mereka bersumber dari tanaman kebun karet.

Daftar Pustaka

Booth, Anne, et.al., Penyunting, Sejarah Ekonomi Indonesia, Jakarta: LP3ES, 1988.

Chambers, Robert, Pembangunan Desa Mulai dari Belakang, LP3ES, Jakarta: 1984.

Gottschalk, Louis, Mengerti Sejarah, terjemahan Nugroho Notosusanto, Jakarta: UI Press, 1985.

Kartodirdjo, Sartono, Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1992.

87

Kartodirdjo, Sartono dan Djoko Suryo, Sejarah Perkebunan di Indonesia: Kajian Sosial Ekonomi, Yogyakarta: Adytia Media, 1991.

Kuntowijoyo, Metode Sejarah, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1994.

Lindblad, J. Thomas, ed., Fondasi Historis Ekonomi Indonesia, Yogyakarta: Pusat Studi Sosial Asia Tenggara UGM, 2002.

Mubyarto, Politik Pertanian dan Pembangunan Pedesaan, Jakarta: Sinar Harapan, 1994.

Mobyarto dan Awan Setya Dewanta, Karet: Kajian Sosial Ekonomi, Yogyakarta: Adytia Media, 1991.

Pelzer, Karl J, Toean Keboen dan Petani: Politik Kolonial dan Perjuangan Agraria, Jakarta: Sinar Harapan, 1985.

Ricklefs, M.C,. Sejarah Indonesia Modern, terj., Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1991.

Stoler, Ann Laura, Kapitalisme dan Konfrontasi di Sabuk Perkebunan Sumatra, 1870-1979, Yogyakarta: Karsa, 2005.

Syamsulbahri, Bercocok Tanam Tanaman Perkebunan Tahunan, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1996.

Scott, James C., Moral Ekonomi Petani Rakyat, Pergolakan dan Subsistensi di Asia Tenggara, terj., Jakarta: LP3ES, 1981.

DAFTAR INFORMAN

LAMPIRAN I

1. Nama : A. Manap

Umur : 90 tahun

Jenis Kelamin : Laki-laki

Agama : Islam

Pendidikan : SD

Tempat Tinggal : Sugih Waras

88

2. Nama : Mat Jate

Umur : 80 tahun

Jenis Kelamin : Laki-laki

Agama : Islam

Pendidikan : SD

Tempat Tinggal : Sugih Waras

3. Nama : Alugin Jani

Umur : 80 tahun

Jenis Kelamin : Laki-laki

Agama : Islam

Pendidikan : SD

Tempat Tinggal : Sugih Waras

4. Nama : A. Korna

Umur : 80 tahun

Jenis Kelamin : Laki-laki

Agama : Islam

Pendidikan : SD

Tempat Tinggal : Sugih Waras

5. Nama : Burani Taji

Umur : 78 tahun

Agama : Islam

Pendidikan : SD

Tempat Tingga : Sugih Waras

6. Nama : Mat Agang

Umur : 78 tahun

Agama : Islam

Pendidikan : SD

Tempat Tinggal : Sugih Waras

7. Nama : Guru Amin

Umur : 75 tahun

Agama : Islam

89

Pendidikan :

Tempat Tinggal : Sugih Waras

8. Nama : Gemile

Umur : 75 tahun

Agama : Islam

Pendidikan : SD

Tempat Tinggal : Sugih Waras

9. Nama : M. Deli

Umur : 74 tahun

Agama : Islam

Pendidikan :

Tempat Tinggal : Sugih Waras

10. Nama : M. Waja

Umur : 74 tahun

Agama : Islam

Pendidikan : SD

Tempat Tinggal : Sugih Waras

11. Nama : M. Buan

Umur : 74 tahun

Agama : Islam

Pendidikan : SD

Tempat Tinggal : Sugih Waras

12. Nama : Nurudin

Umur : 73 tahun

Agama : Islam

Pendidikan : SD

Tempat Tinggal : Sugih Waras

13. Nama : Mat Sine

Umur : 70 tahun

Agama : Islam

Pendidikan : SD

90

Tempat Tinggal : Sugih Waras

14. Nama : M. Gasup

Umur : 68 tahun

Agama : Islam

Pendidikan : SD

Tempat Tinggal : Sugih Waras

15. Nama : M. Agu

Umur : 68 tahun

Agama : Islam

Pendidikan : SD

Tempat Tinggal : Sugih Waras

16. Nama : Siasan

Umur : 65 tahun

Agama : Islam

Pendidikan : SD

Tempat Tinggal : Sugih Waras

17. Nama : M. Dewi

Umur : 60 tahun

Agama : Islam

Pendidikan :

Tempat Tinggal : Sugih Waras

18. Nama : M. Soli

Umur : 55 tahun

Agama : Islam

Pendidikan : SD

Tempat Tinggal : Sugih Waras

19. Nama : Sulaidin

Umur : 51 tahun

Agama : Islam

Pendidikan : SMP

91

Tempat Tinggal : Sugih Waras

20. Nama : Kebat

Umur : 40 tahun

Agama : Islam

Pendidikan : SMP

Tempat Tinggal : Sugih Waras

92