15
1 PERJANJIAN TUKAR BANGUN (RUILSLAG) ASET NEGARA Perspektif Hukum Perdata dan Hukum Administrasi (Dipublikasikan dalam Jurnal Ilmiah ”Dinamika Hukum”, FH Unisma Malang, ISSN: 0854-7254, Vol. XX No. 38, Pebruari 2014, h. 70-80) Abdul Rokhim 1 Abstract Build Swap Agreement (Ruilslag) has yet to be set explicitly in the legislation. Ruilslag in the civil law perspective is an agreement to exchange land and/or buildings owned and/or controlled by the state or the region between the government and the private sector. Ruilslag legal order when viewed from the angle of the State or Regional Budgetary Policy (APBN/APBD) is just as a shortcut in order to overcome the limitations of the budget that is temporary. Ruilslag legal institutions, in the administrative law perspective needs to be analyzed in more depth and comprehensive, as it could potentially damage the principles of budgetary discipline and misuse of the state or region assets, which in turn will only increase financial leakage state or local finance using law instrument called the Ruilslag. Keywords: Agreement; Build Swap (Ruilslag); State Assets 1. Pendahuluan Indonesia adalah negara hukum (Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 Perubahan Ketiga). Dalam negara hukum, pada prinsipnya menghendaki agar segala tindakan atau perbuatan penguasa mempunyai dasar hukum yang jelas atau ada legalitasnya, termasuk tindakan pemerintah dalam rangka menjalankan tugas-tugas pemerintahan dan pembangunan nasional. Pembangunan nasional Indonesia di bidang pemerintahan dan pelayanan publik membutuhkan ketersediaan dana anggaran yang sangat besar, khususnya anggaran untuk pembangunan gedung-gedung perkantoran pemerintah baik di pusat maupun di daerah. Namun, adanya kebijakan pengetatan dana anggaran di bidang pembangunan gedung- gedung perkantoran pemerintah di satu pihak, dan mendesaknya kebutuhan dana bagi pembangunan gedung perkantoran pemerintah yang jumlahnya sangat banyak di lain pihak, sebagai akibat semakin meningkat dan meluasnya pertumbuhan pusat-pusat kegiatan bisnis di kota-kota yang menyebabkan perubahan tata ruang kota kiranya perlu dicarikan solusi dari kesulitan tersebut. Dalam keadaan kemikian, perjanjian “tukar bangun” (ruilslag) telah dipraktikkan oleh pemerintah sebagai jalan keluar dalam rangka menanggulangi kesulitan atau keterbatasan dana anggaran untuk pembangunan perkantoran, di samping dalam rangka mengantisipasi pertumbuhan pusat-pusat ekonomi dan bisnis yang menyebabkan kantor-kantor pemerintah tidak layak lagi digunakan sebagai sarana untuk menjalankan roda pemerintahan. Oleh karena itu masalah “ruilslag” ini muncul sebagai akibat keuangan 1 Dr. H. Abdul Rokhim, S.H., M.H., dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Malang.

PERJANJIAN TUKAR BANGUN (RUILSLAG) ASET · PDF filePerspektif Hukum Perdata dan Hukum Administrasi (Dipublikasikan dalam Jurnal Ilmiah ”Dinamika Hukum”, FH Unisma Malang, ISSN:

Embed Size (px)

Citation preview

1

PERJANJIAN TUKAR BANGUN (RUILSLAG) ASET NEGARA

Perspektif Hukum Perdata dan Hukum Administrasi

(Dipublikasikan dalam Jurnal Ilmiah ”Dinamika Hukum”, FH Unisma Malang,

ISSN: 0854-7254, Vol. XX No. 38, Pebruari 2014, h. 70-80)

Abdul Rokhim1

Abstract

Build Swap Agreement (Ruilslag) has yet to be set explicitly in the legislation.

Ruilslag in the civil law perspective is an agreement to exchange land and/or buildings

owned and/or controlled by the state or the region between the government and the private

sector. Ruilslag legal order when viewed from the angle of the State or Regional Budgetary

Policy (APBN/APBD) is just as a shortcut in order to overcome the limitations of the

budget that is temporary. Ruilslag legal institutions, in the administrative law perspective

needs to be analyzed in more depth and comprehensive, as it could potentially damage the

principles of budgetary discipline and misuse of the state or region assets, which in turn

will only increase financial leakage state or local finance using law instrument called the

Ruilslag.

Keywords: Agreement; Build Swap (Ruilslag); State Assets

1. Pendahuluan

Indonesia adalah negara hukum (Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945

Perubahan Ketiga). Dalam negara hukum, pada prinsipnya menghendaki agar segala

tindakan atau perbuatan penguasa mempunyai dasar hukum yang jelas atau ada

legalitasnya, termasuk tindakan pemerintah dalam rangka menjalankan tugas-tugas

pemerintahan dan pembangunan nasional.

Pembangunan nasional Indonesia di bidang pemerintahan dan pelayanan publik

membutuhkan ketersediaan dana anggaran yang sangat besar, khususnya anggaran untuk

pembangunan gedung-gedung perkantoran pemerintah baik di pusat maupun di daerah.

Namun, adanya kebijakan pengetatan dana anggaran di bidang pembangunan gedung-

gedung perkantoran pemerintah di satu pihak, dan mendesaknya kebutuhan dana bagi

pembangunan gedung perkantoran pemerintah yang jumlahnya sangat banyak di lain pihak,

sebagai akibat semakin meningkat dan meluasnya pertumbuhan pusat-pusat kegiatan bisnis

di kota-kota yang menyebabkan perubahan tata ruang kota kiranya perlu dicarikan solusi

dari kesulitan tersebut. Dalam keadaan kemikian, perjanjian “tukar bangun” (ruilslag) telah

dipraktikkan oleh pemerintah sebagai jalan keluar dalam rangka menanggulangi kesulitan

atau keterbatasan dana anggaran untuk pembangunan perkantoran, di samping dalam

rangka mengantisipasi pertumbuhan pusat-pusat ekonomi dan bisnis yang menyebabkan

kantor-kantor pemerintah tidak layak lagi digunakan sebagai sarana untuk menjalankan

roda pemerintahan. Oleh karena itu masalah “ruilslag” ini muncul sebagai akibat keuangan

1 Dr. H. Abdul Rokhim, S.H., M.H., dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Malang.

2

negara yang terbatas atau dana anggaran yang tidak mencukupi sehingga memaksa

pemerintah untuk mencari penyelesaian dalam memenuhi kebutuhan dana anggaran

pembangunan gedung perkantoran. Hal ini tidak akan terjadi apabila pemerintah

mempunyai dana anggaran yang cukup untuk membiayai pembangunan gedung

perkantoran pemerintah.

Pranata hukum ruilslag bilamana dilihat dari sudut kebijaksanaan penganggaran dana

baik dalam APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) maupun APBD (Anggaran

Pendapatan dan Belanja Daerah) merupakan pranata hukum yang bersifat temporer atau

tidak permanen, yakni sekedar sebagai jalan pintas dalam rangka menanggulangi

keterbatasan dana anggaran yang sifatnya sementara (Pasal 3 Surat Keputusan Menteri

Keuangan Nomor 350/KMK.03/1994 tentang Tata Cara Tukar Menukar Barang

Milik/Kekayaan Negara). Di samping itu, dilihat dari aspek hukum administrasi masalah

ruilslag perlu ditelaah secara lebih mendalam dan komprehensif, karena hal itu bisa

(berpotensi) merusak sendi-sendi dan asas disiplin anggaran yang pada gilirannya hanya

akan memperbesar kebocoran keuangan negara, mengingat pengawasan terhadap ruilslag

sulit dilaksanakan. Oleh karena dari aspek hukum administrasi hingga kini belum ada

ketentuan undang-undang yang mengatur secara tegas sebagai landasan hukum ruilslag, di

samping itu tata cara pelaksanaan ruilslag selama ini belum mempunyai ketentuan yang

baku dan menyeluruh untuk semua departemen dan lembaga pemerintah non departemen.

Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 193/KPTS/1988

tentang Tata Cara dan Syarat-syarat Tukar Bangun (Rulislag) Tanah dan Bangunan di

Lingkungan Departemen Pekerjaan Umum, istilah “ruilslag” diterjemahkan dengan istilah

“tukar bangun”, namun dalam khasanah istilah hukum hal ini masih merupakan sesuatu

yang belum baku, mengingat dalam hubungan hukum ruilslag yang selama ini

dilaksanakan di samping mengandung asas hukum publik (hukum administrasi) juga

mengandung asas hukum perdata (hukum perjanjian). Oleh karena itu masalah ruilslag

pada akhirnya meluas dan berlaku tidak hanya antara badan hukum publik dengan badan

hukum privat, tetapi berlangsung pula antar subyek hukum perdata.

Berdasarkan uraian tersebut di atas, persoalan “ruilslag” sebagai suatu perbuatan

hukum atau tindak pemerintahan yang bersegi dua (tweezijdige handeling) dalam bentuk

perjanjian yang obyeknya tanah dan/atau bangunan yang dikuasai negara/daerah perlu

dianalisis secara mendalam baik dilihat dari aspek hukum keperdataan maupun dari aspek

hukum administrasi, karena sebagaimana telah dikatakan di atas perjanjian “ruilslag” di

samping mengandung karakter hukum privat (privaatrechtelijk) juga mengandung karakter

hukum publik (publiekrechtelijk).

2. Pengertian Perjanjian “Tukar Bangun” (Ruilslag)

Istilah “ruilslag” merupakan istilah dalam bahasa Belanda, namun sepanjang kamus

hukum maupun kamus umum bahasa Balanda yang ada tidak dijumpai istilah tersebut

secara menyatu, yang ada adalah kata “ruil” atau “slag” saja. Kata “ruil” berarti “tukar”,

sedang kata “slag” menurut Arifin P. Soeriaatmadja yang mengutip pendapat van Dale

berarti “gewestelijk” yang berarti persil. Pengertian “slag” menurut M.J. Koenen dan J.

Endepols adalah: “elk der afdelingen waarin bouwland met het oog op de vruchtwisseling

is verdeeld”. Sedang menurut Fockema Andreae, perkataan “slag” berarti: “Inz. afgepaald

3

ordeel van een waterstaatswerk (dijk, kade, weg, watergang etc.), dat ten loste van een

bepaalde onderhoudsplichtige staat”.39

Menurut Rooseno Harjowidigdo, secara yuridis formal istilah “ruilslag” yang baku

menurut undang-undang sejak undang-undang zaman Hindia Belanda sampai undang-

undang nasional sendiri, sampai saat ini belum ada. Tetapi menilik asal usul kata “ruilslag”

dari kata “ruil” yang berarti penukaran dan kata “slag” yang berarti jenis, rupa, tipe.40

Dengan demikian, istilah “ruilslag” dapat diartikan sebagai jenis atau tipe penukaran.

Dengan perkataan lain, “ruilslag” adalah perjanjian tukar-menukar yang memiliki tipe atau

jenis khusus dari perjanjian tukar-menukar pada umumnya sebagaimana diatur dalam Kitab

Undang-undang Hukum Perdata. Kekhususan dari perjanjian “ruilslag” adalah adanya

karakter hukum publik dalam perjanjian tersebut.

Apabila dikaitkan dengan obyek yang dipertukarkan, “ruilslag” sebenarnya tidak

hanya terbatas pada hal-hal yang terkait dengan pekerjaan umum (waterstaat werk)

sebagaimana dikatakan oleh Fockema Andreae, seperti bendungan, pelabuhan, jalan dan

pengairan, karena dewasa ini ruilslag yang dilakukan oleh pemerintah lebih luas cakupan

pengertiannya, sehingga obyek ruilslag tidak hanya sekedar yang berkenaan dengan

perkerjaan umum, akan tetapi meliputi tanah yang dikuasai negara maupun bangunan yang

dimiliki negara dalam arti yang seluas-luasnya. Terjemahan “slag” menurut Koenen dan

Endepols lebih mendekati maksud “ruilslag” mengingat adanya unsur manfaat

(vruchtwisseling), namun obyek yang dipertukarkan hanya dibatasi tanah pertanian

(bouwland), padahal dalam praktik obyek ruilslag tidak hanya mengenai tanah pertanian.

Oleh karena itu, penafsiran van Dale tentang “slag” yang diartikan sebagai gewestelijk

(persil) lebih bisa digunakan karena cakupannya lebih luas, meskipun pada kenyataannya

obyek ruilslag tidak hanya mencakup persil melainkan juga bangunan yang ada di atasnya.

Dalam ruilslag, persil (tanah) dan/atau gedung yang merupakan harta tetap

merupakan obyek yang dipertukarkan dalam bentuk “tukar dan membangunkan” gedung

perkantoran yang nilainya harus seimbang. Untuk memperoleh nilai yang seimbang antara

harta tetap yang dipertukarkan, perlu ada instansi yang secara obyektif dapat menilai obyek

tersebut. Lembaga penilai (appraisal company) yang independen dapat dimanfaatkan

jasanya untuk menilai secara obyektif, selain melakukan ruilslag melalui mekanisme lelang

atau tender.

Berdasarkan hal tersebut di atas, tukar bangun (ruilslag) adalah suatu perbuatan

hukum di bidang hukum perdata (perjanjian) dimana obyek yang dipertukarkan adalah

tanah dan/atau bangunan yang senilai dan tidak ada penggantian dalam bentuk uang. Dalam

perjanjian ini tampak adanya pengaruh hukum publik terhadap hukum perdata bilamana

obyek yang dipertukarkan adalah barang “milik” dan/atau dikuasai negara.

Yang dimaksud barang milik negara adalah semua barang yang dibeli atau diperoleh

atas beban APBN atau berasal dari perolehan lainnya yang sah (Pasal 1 butir 10 Undang-

undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara). Barang milik/kekayaan

negara adalah semua kekayaan pemerintah yang berwujud baik yang bergerak maupun

yang tidak bergerak beserta bagian-bagiannya ataupun yang merupakan satuan tertentu

yang dapat dinilai, dihitung, ditukar dan ditimbang menurut ketentuan hukum perdata.

39

Arifin P. Soeriaatmadja, Penulisan Karya Ilmiah tentang Aspek Hukum Masalah Ruilslag, BPHN,

Departemen Kehakiman, Jakarta, 1995-1996, h. 11. 40

Rooseno Harjowidigdo, Mengenal Ruilslag, Majalah Hukum Varia Peradilan, No. 112 Tahun 1994,

h. 121.

4

Persoalannya adalah apakah negara sebagai suatu badan hukum publik sui generis dapat

saja tunduk pada hukum perdata bilamana hubungan hukum yang dilakukannya berada

dalam lingkungan hukum perdata?

3. Ruilslag dalam Perspektif Hukum Perdata

Dalam rangka mencapai tujuan negara, pemerintah sebagai organ negara memiliki

kedudukan istimewa, dapat melakukan tindakan sebagai instrumen yang

menghubungkannya dengan kehidupan bersama anggota masyarakat. E. Utrecht

menggolongkan perbuatan administrasi menjadi dua golongan besar, yaitu perbuatan

hukum (rechtshandelingen) dan perbuatan atau tindakan nyata (feitelijke handelingen).

Tindakan nyata adalah tindakan yang tidak menimbulkan akibat hukum. Bagi hukum

administrasi negara yang penting hanyalah tindakan hukum. Menurut Romeijn, tindakan

hukum pemerintah adalah tiap-tiap tindakan dari suatu alat perlengkapan pemerintah

(bestuursorgaan) yang dimaksudkan untuk menimbulkan akibat hukum di bidang hukum

administrasi.2 Tindakan hukum yang dilakukan oleh pemerintah dibedakan pada tindakan

hukum publik (publiekrechtstelijke rechtshandelingen) dan tindakan hukum privat

(privaatrechttelijke rechtshandelingen). Tindakan hukum publik adalah tindakan hukum

yang didasarkan pada ketentuan hukum publik (rechtshandelingen die verricht worden op

de gronslag van het publiekrecht). Sedang tindakan hukum privat adalah tindakan yang

didasarkan pada ketentuan hukum privat (rechtshandelingen die verricht op de grondslag

van het privaatrecht).3

Penggunaan hukum privat dalam penyelengaraan pemerintahan menimbulkan pro-

kontra pendapat di antara para ahli. J.A. Loeff, H. Dooyewerd dan J.H. Scholten pada

pokoknya berpendapat bahwa administrasi negara dalam menjalankan tugas pemerintahan

tidak dapat menggunakan hukum privat. Tetapi Huart, Kranenburg dan G.J. Wiarda

berpendapat bahwa dalam beberapa hal tertentu administrasi negara dapat juga memakai

hukum privat, apabila tidak tersedia peraturan-peraturan hukum publik untuk

menyelesaikan suatu persoalan khusus dalam lapangan administrasi negara. Menurut

Kranenburg, alat-alat pemerintahan dapat menggunakan aturan-aturan hukum privat yang

berlaku bagi semua subyek hukum, bilamana penyelengaaraan kepentingan-kepentingan

khusus (kepentingan-kepentingan yang hanya terdapat dalam lapangan bestuur dan

bestuurszorg) tidak menentukan kaidah-kaidah khusus yang hanya terdapat dalam lapangan

hukum tata negara dan hukum administrasi negara dan yang memuat jaminan bagi yang

diperintah. Apabila penyelengaraan kepentingan-kepentingan khusus tersebut memerlukan

kaidah-kaidah khusus itu, administrasi negara tidak boleh menggunakan hukum privat.

Dengan demikian tiap perjanjian menurut hukum privat yang telah diadakan administrasi

negara itu bertentangan dengan asas ini dan dapat dianggap tidak berlaku karena

bertentangan dengan kepentingan umum.4

Pendirian Kranenburg tersebut mendapat perluasan dari Utrecht, mengingat

perkembangan masyarakat demikian cepatnya dan peraturan hukum yang telah dibuat

2 Kuntjoro Purbopranoto, Beberapa Catatan Hukum Tata Pemerintahan dan Peradilan

Administrasi, Alumni, Bandung, 1985, h. 42. 3 Irfan Fachruddin, Pengawasan Peradilan Administrasi terhadap Tindakan Pemerintah, Alumni,

Bandung, 2004, h. 63. 4 E. Utrecht, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, Fakultas Hukum dan Pengetahuan

Masyarakat Universitas Padjadjaran, Bandung, 1960, h. 64 (dalam Catatan Kaki).

5

sering tidak sesuai lagi dengan perkembangan masyarakat, maka administrasi negara harus

diberikan kebebasan memilih hukum yang paling sesuai untuk digunakan dalam

menyelesaikan masalah konkret dengan sebaik-baiknya. Pemikiran E. Utrecht ini sejalan

dengan pergeseran cara memerintah dengan mengeluarkan peraturan-peraturan dan

penetapan-penetapan (keputusan-keputusan) kepada kerjasama dalam bentuk perjanjian-

perjanjian berdasarkan hukum privat.

Apabila instansi pemerintah mengadakan perjanjian dengan subyek hukum privat

(perseorangan atau badan hukum) maka menurut asas dalam hukum perdata, kedudukan

negara sama tingkat kedudukannya dengan lawan kontrak. Kondisi ini memberi peluang

bagi para pihak untuk merealisasikan dengan baik tujuan yang hendak dicapai, karena

berdasarkan pada persetujuan bersama kedua belah pihak.5 Namun menurut Indroharto,

dalam kenyataan posisi pemerintah adalah serba khusus sekalipun dalam hukum perdata,

disebabkan:

(1) Pemerintah tidak dapat melepaskan dirinya sebagai penjaga dan pemelihara

kepentingan umum, dengan kewajiban memperhatikan ketentuan hukum publik pada

umumnya;

(2) Kekuatan mengikat perjanjian antara pemerintah dan warga masyarakat apalagi tentang

wewenang pemerintah tidak dapat sama atau seperti perjanjian antar warga;

(3) Pengakuan Paul Scholten, bahwa batas antara bidang hukum sukar diadakan dan ada

tanda-tanda bahwa hukum publik makin hari makin meluas dan menggerogoti segi

hukum lain;

(4) Dalam perjanjian hubungan vertikal masih kuat berlaku. Penetapan syarat-syarat secara

sepihak oleh pemerintah melalui “kontrak standar” dan “kontrak adhesi” yaitu

perjanjian yang telah disiapkan oleh pemerintah, hingga pihak lawan berkontrak hanya

ada pilihan “menerima atau menolak” (take it or leave it).6

Dalam suasana yang demikian terlihat sulit untuk menafikan nuansa hukum publik

dalam perjanjian antara pemerintah dan warga masyarakat. Oleh karena itu, pendapat

Kranenburg, Utrecht dan lain-lain yang cenderung mengenyampingkan hubungan hukum

privat dari hukum administrasi negara perlu diteliti dan dianalisis kembali. Tindakan

pemerintah dalam bentuk perjanjian antara pemerintah dan warga masyarakat yang secara

sepintas dapat dikatakan sebagai tindakan menurut hukum privat, tetapi sebenarnya sarat

dengan kandungan tindakan hukum publik. Oleh karena itu, sengketa yang terjadi

mengenai perjanjian itu, menurut Irfan Fachruddin perlu dipertimbangkan untuk diuji

menurut konstruksi hukum publik.7

Terkait dengan perjanjian ruilslag, pada hakikatnya pranata hukum ruilslag dilihat

dari aspek hukum perdata merupakan hubungan hukum perdata biasa, yakni perjanjian

tukar menukar yang obyeknya adalah tanah dan/atau bangunan milik atau dalam kekuasaan

pemerintah, namun dilihat dari aspek hukum administrasi ia mempunyai ciri khas (sui

generis) yakni adanya unsur hukum publik terkait dengan persyaratan terjadinya perjanjian,

sehingga untuk mencapai persetujuan mengenai obyek yang diperjanjikan untuk

dipertukarkan perlu terlebih dahulu mengajukan “persetujuan” atau izin dari pejabat publik

agar dapat terlaksana perjanjian tersebut.

5 Irfan Fachruddin, Op. Cit., h. 65.

6 Indroharto, Perbuatan Pemerintah Menurut Hukum Publik dan Hukum Perdata, Lembaga

Penelitian dan Pengembangan Hukum Administrasi Negara (LPP-HAN), Bogor-Jakarta, 1995, h. 187-189. 7 Irfan Fachruddin, Op. Cit., h. 66.

6

Mengacu pada pengertian ruilslag sebagaimana tersebut di atas maka untuk

sementara istilah ruilslag dapat saja diartikan sebagai “pertukaran persil” atau dalam

praktik juga lazim disebut dengan istilah “tukar guling”, namun untuk kepastian hukumnya

perlu penelitian dan pengkajian lebih lanjut, meskipun sejak 1988 Departemen Pekerjaan

Umum secara resmi telah menterjemahkan istilah ruilslag sebagai “tukar bangun”.

Menurut Surat Keputusan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 193/KPTS/1988 tentang

Tata Cara dan Syarat-syarat Tukar Bangun Tanah dan Bangunan di Lingkungan

Departemen Pekerjaan Umum:

a. Tukar bangun (ruilslag) adalah suatu perbuatan hukum (transaksi) tukar menukar tanah

dengan atau tanpa bangunan gedung negara yang dilepas, dengan pengantian berupa

tanah saja atau bangunan baru saja atau tanah beserta bangunan baru pengganti di

tempat lain yang senilai dengan harga tanah dengan atau tanpa bangunan gedung negara

tersebut yang akan diterima, dengan tidak merugikan negara dan tidak ada penggantian

dalam bentuk uang”;

b. Dalam transaksi tukar bangun tidak ada kelebihan nilai yang dibayarkan dalam bentuk

uang dengan ketentuan apabila ada selisih harus disetorkan ke Kas Negara.

Berdasarkan hal tersebut di atas, jelaslah bahwa tukar bangun (ruilslag) adalah suatu

perbuatan hukum di bidang hukum perdata (perjanjian) dimana obyek yang dipertukarkan

adalah tanah dan/atau bangunan milik dan/atau yang dikuasai negara. Dalam perjanjian ini

tampak adanya pengaruh hukum publik terhadap hukum perdata, karena obyek yang

dipertukarkan adalah barang milik dan/atau dikuasai negara. Yang dimaksud barang milik

negara adalah semua barang yang dibeli atau diperoleh atas beban APBN atau berasal dari

perolehan lainnya yang sah (Pasal 1 butir 10 Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang

Perbendaharaan Negara). Barang milik/kekayaan negara adalah semua kekayaan

pemerintah yang berwujud baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak beserta bagian-

bagiannya ataupun yang merupakan satuan tertentu yang dapat dinilai, dihitung, ditukar dan

ditimbang menurut ketentuan hukum perdata.

Persoalannya adalah apakah negara sebagai suatu badan hukum publik sui generis

dapat saja tunduk pada hukum perdata bilamana hubungan hukum yang dilakukannya

berada dalam lingkungan hukum perdata? Selanjutnya, bagaimana status hukum perjanjian

ruilslag apabila dikaji dari aspek hukum administrasi?

4. Ruilslag dalam Perspektif Hukum Administrasi Kajian tentang masalah ruilslag dalam perspektif hukum administrasi terkait dengan

persoalan wewenang pemerintah dalam membuat perjanjian “tukar bangun” (ruilslag),

termasuk mengenai persoalan pengawasan terhadap tindakan pemerintah dalam melakukan

perjanjian “tukar bangun” tersebut. Dari aspek hukum administrasi, tulisan ini hanya

memfokuskan kajiannya pada aspek yang pertama, yakni wewenang pemerintah dalam

membuat perjanjian “tukar bangun” (ruilslag).

Dalam hukum positif kita, istilah “kewenangan” atau “wewenang” dapat ditemukan

baik dalam konsep hukum publik8 maupun hukum privat.

9 Secara umum istilah wewenang

8 Lihat, antara lain dalam Pasal 1 angka 6 jo. Pasal 53 ayat (2) huruf c. UU No. 5 tahun 1986 tentang

Peradilan Tata Usaha Negara.

9 Misalnya dalam UUPT, istilah wewenang digunakan dalam Pasal 1 angka 3 jo. Pasal-pasal 63 ayat

(1) dan 66 ayat (1) tentang wewenang RUPS; Pasal-pasal 81, 83, dan 84 tentang wewenang direksi; serta

Pasal-pasal 94 ayat (1), 100 ayat (1) dan (3) tentang wewenang komisaris.

7

dalam konsep hukum sering disejajarkan dengan istilah “bevoegdheid”10

atau “authority”,

yang berarti: “right to exercise powers; to emplement and enforce laws”.11

Dengan

demikian, dapat dikatakan bahwa seseorang atau suatu pihak yang mempunyai wewenang

formal (formal authority) dengan sendirinya mempunyai “kekuasaan” untuk melakukan

suatu tindakan tertentu sesuai dengan ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur

pemberian wewenang tadi.12

Pada dasarnya, secara yuridis konsep “wewenang” (authority) selalu berkaitan

dengan “kekuasaan” (power)13

yang berdasarkan hukum, baik cara memperolehnya

maupun cara menggunakannya.14

Oleh karena itu, dapatlah dipahami apabila istilah

“wewenang” dan “kekuasaan”, baik dalam kepustakaan maupun dalam undang-undang,

seringkali dipakai secara bergantian untuk menyebut makna yang sama. Bahkan, Savage

dan Bradgate mengunakan istilah “ power” dan “authority” secara bersama-sama.15

Menurut Bagir Manan, “kekuasaan” (macht) tidak sama artinya dengan

“wewenang”. Kekuasaan menggambarkan hak untuk berbuat atau tidak berbuat.

Wewenang berarti hak dan sekaligus kewajiban (rechten en plichten).16

Hak mengandung

kebebasan untuk melakukan atau tidak melakukan tindakan tertentu atau menuntut pihak

lain untuk melakukan tindakan tertentu. Sedang kewajiban memuat keharusan untuk

melakukan atau tidak melakukan tindakan tertentu. Dalam kepustakaan lazimnya istilah

wewenang atau kekuasaan digunakan dalam konteks hukum publik, sedangkan istilah hak

lazim digunakan dalam konteks hukum privat. Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia,

kata “kekuasaan” berasal dari kata “kuasa” artinya kemampuan atau kesanggupan untuk

berbuat sesuatu; Sedang “wewenang” adalah (1) hak dan kekuasaan untuk bertindak atau

melakukan sesuatu; (2) kekuasaan membuat keputusan, memerintah dan melimpahkan

tanggung jawab kepada orang lain.17

Untuk menjalankan roda pemerintahan, “kekuasaan” dan “wewenang” merupakan hal

yang penting. Kekuasaan pemerintahan adalah bagian dari sistem kekuasaan negara.

Kranenburg dan Logemann mengembangkan teori modern yang pada dasarnya

berpendapat bahwa negara adalah suatu organisasi kekuasaan. Legitimasi kekuasaan dalam

10

N.E. Algra, et al., Kamus Istilah Hukum Fockema Andreae Belanda-Indonesia, cet. I, Binacipta,

Bandung, 1983, h. 74, menerjemahkan “bevoegdheid” berarti wewenang atau kekuasaan. Menurut Philipus

M. Hadjon, “Tentang Wewenang”, Yuridika, No. 5 & 6 Th. XII, September-Desember 1997, h. 1: “ . . . ada

sedikit perbedaan antara istilah wewenang atau kewenangan dengan istilah bevoegdheid. Perbedaan terletak

dalam karakter hukumnya. Istilah Belanda bevoegdheid digunakan baik dalam konsep hukum publik maupun

dalam konsep hukum privat. Dalam hukum kita, istilah kewenangan atau wewenang seharusnya digunakan

selalu dalam konsep hukum publik.” 11

Henry Cambell Black, Black’s Law Dictionary, ed. VI, West Publishing Co., St. Paul, Minnesota,

1990, h. 133.

12

Mochtar Kusumaatmadja, Fungsi dan Perkembangan Hukum dalam Pembangun-an Nasional,

Binacipta, Bandung, t.t., h. 4.

13

Istilah kekuasaan atau “power”, menurut Black, Op. Cit., h. 1169, berarti: “an ability on the part

of a person to produce a change in a given legal relation by doing or not doing a given act”.

14

Kekuasaan yang diperoleh dan dipergunakan berdasarkan hukum yang demikian ini dalam

kepustakaan lazim disebut dengan istilah “legal power” atau “rechtsmacht”.

15

Nigel Savage dan Robert Bradgate, Business Law, 2nd ed., Butterworths, London, 1993, h. 516. 16

Irfan Fachruddin, Pengawasan Peradilan Administrasi terhadap Tindakan Pemerintah, Alumni,

Bandung, 2004, h. 39. 17

Anton M. Moeliono, et al., Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1995, h. 533

dan 1128.

8

suatu negara harus diterima sebagai kenyataan.18

Pemerintah adalah kekuatan yang

diorganisir untuk merealisir kekuasaan mengurus kepentingan-kepentingan umum. Dalam

ilmu hukum tata negara dan hukum administrasi, istilah kekuasaan dan wewenang terkait

erat dengan pelaksanaan fungsi pemerintahan. Dalam pengertian bestuur, pemerintahan

merupakan bagian dari badan perlengkapan dan fungsi pemerintahan yang bukan

merupakan badan perlengkapan atau fungsi pembuat undang-undang (regelgeving) dan

bukan badan perlengkapan atau fungsi peradilan (rechtspraak).19

Kekuasaan pemerintah tidak dapat lepas dari perkembangan asas legalitas yang telah

dimulai sejak munculnya konsep negara hukum klasik atau negara hukum formal (formele

rechtsstaat), yakni pemerintahan berdasarkan undang-undang (wetmatigheid van bestuur),

dalam arti bahwa setiap tindakan pemerintah harus berdasarkan kepada undang-undang.

Hal ini sejalan dengan pendapat H.D. van Wijk yang mengatakan bahwa pemerintahan

menurut undang-undang adalah pemerintah mendapatkan kekuasaan yang diberikan

kepadanya oleh undang-undang dasar atau undang-undang (“Wetmatigheid van bestuur: de

uitvoerende macht bezit uitsluitend die bevoegdheden welke haar uitdrukkelijk door de

Grondwet of door een andere wet zijn toegekend”).20

Berdasarkan konsep wetmatigheid van bestuur tersebut di atas, berarti tanpa adanya

dasar wewenang yang diberikan oleh suatu peraturan perundang-undangan yang berlaku,

segala macam aparat pemerintah tidak memiliki wewenang yang dapat mempengaruhi atau

mengubah keadaan atau posisi hukum warga masyarakat.21

Menurut de Haan,

kebijaksanaan penguasa dan keseluruhan tindakan pemerintah harus ada dasarnya dalam

undang-undang. Dasar pemikirannya adalah kebutuhan adanya jaminan perlindungan

hukum bagi warga negara dan pengawasan terhadap kebijaksanaan dan tindakan

pemerintah.22

Persoalannya adalah apakah asas legalitas dalam pengertian wetmatigheid van

bestuur harus dilaksanakan secara mutlak? Mengingat berkembangnya konsepsi negara

hukum modern merupakan perpaduan antara konsep negara hukum (rechtsstaat) dan negara

kesejahteraan (welvaar staat; welfare state). Pemerintah dalam konsep negara

kesejahteraan dituntut memainkan peranan yang lebih luas dan aktif, karena ruang lingkup

kesejahteraan rakyat semakin meluas dan mencakup bermacam-macam segi kehidupan.

Tugas pemerintah yang demikian ini dikenal sebagai bestuurzorg atau service public atau

penyelenggaraan kesejahteraan atau pelayanan umum yang dilakukan oleh pemerintah.

Pembuat undang-undang tidak mungkin mengatur segala macam hak, kewajiban, dan

kepentingan secara lengkap dalam suatu undang-undang.23

Pelaksanaan bestuurszorg oleh

pemerintah tidak dapat lepas dari kebutuhan akan “kebijaksanaan bebas”, yaitu wewenang

untuk mengambil tindakan atas inisiatif sendiri guna menyelesaikan suatu masalah genting

dan mendesak dan belum ada ketentuannya dalam peraturan yang dikeluarkan oleh

18

Soehino, Ilmu Negara, Liberty, Yogyakarta, 2000, h. 149. 19

Philipus M. Hadjon, et al., Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Gadjah Mada University

Press, Yogyakarta, 1994, h. 309. 20

H.D. van Wijk, Hoofdstukken van Administratief Recht, Vuga S-Gravenhage, 1984, h. 34. 21

Indroharto, Usaha Memahami Undang-undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Buku I,

Beberapa Pengertian Dasar Hukum Tata Usaha Negara, Sinar Harapan, Jakarta, 1993, h. 83. 22

Cf. Indroharto, Ibid., h. 86. 23

Marcus Lukman, Eksistensi Peraturan Kebijaksanaan dalam Bidang Perencanaan dan

Pelaksanaan Rencana Pembangunan di Daerah serta Dampaknya terhadap Pembangunan Materi Hukum

Tertulis Nasional, Disertasi Universitas Padjadjaran, Bandung, 1997, h. 205.

9

legislatif, yang dikenal dengan Freies Ermessen.24

Seiring dengan semakin meluasnya

bestuurszorg, maka pengertian asas legalitas dalam konsep hukum administrasi bergeser

dari wetmatigheid van bestuur (pemerintahan berdasarkan undang-undang) menjadi

rechtsmatigheid van bestuur (pemerintahan berdasarkan hukum).

Selanjutnya, dilihat dari alokasi wewenang perizinan, ruilslag terhadap barang-

barang yang dimiliki dan/atau dikuasai pemerintah, termasuk yang berasal dari bantuan

pihak ketiga adalah meliputi: (a) seluruh barang baik bergerak maupun tidak bergerak yang

dimiliki/dikuasai oleh pemerintah, yang ada pada departemen-departemen, lembaga-

lembaga negara, instansi-instansi pemerintah pusat maupun yang ada di daerah, serta (b)

seluruh barang yang dimiliki/dikuasai oleh perusahaan-perusahaan negara (Perusahaan

Jawatan, Perusahaan Umum dan Persero), dimana penilaian obyek ruilslag dikaitkan

dengan Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP).

Pasal 13 Keputusan Presiden Nomor 16 Tahun 1994 tentang Pelaksanaan Anggaran

Pendapatan dan Belanja Negara menentukan bahwa:

(1) Barang bergerak milik negara hanya dapat dimusnahkan/dipindahtangankan, jika

dinyatakan dihapuskan berdasarkan ketentuan-ketentuan perundang-undangan yang

berlaku karena berlebih atau tidak dapat dipergunakan lagi, dan penghapusan tersebut

dilakukan dengan keputusan Menteri/Ketua Lembaga yang bersangkutan;

(2) Barang tidak bergerak milik negara yang sudah tidak dapat dimanfaatkan lagi secara

optimal dan efisien untuk menunjang pelaksanaan tugas dan fungsi pokok

departemen/lembaga dapat dihapuskan dengan keputusan Menteri/Ketua Lembaga yang

bersangkutan;

(3) Tindak lanjut sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan (2) dilakukan berdasarkan

Keputusan Menteri Keuangan;

(4) Barang tidak bergerak milik negara berupa tanah hanya dapat dihapuskan untuk dijual,

dipindahtangankan, dipertukarkan, atau dihibahkan setelah mendapat persetujuan

Presiden berdasarkan usul Menteri Keuangan;

(5) Barang bergerak dan tidak bergerak milik negara dapat dimanfaatkan dengan cara

disewakan. Dipergunakan dengan cara dibangun, dioperasikan dan diserahterimakan

berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan;

(6) Penjualan barang bergerak ataupun barang tidak bergerak milik negara harus dilakukan

melalui Kantor Lelang Negara, kecuali apabila Menteri Keuangan telah memberikan

persetujuan tertulis untuk melakukannya dengan cara lain;

(7) Hasil penjualan barang bergerak dan barang tidak bergerak sebagaimana dimaksud

dalam ayat (6) merupakan penerimaan negara dan harus disetor seluruhnya ke rekening

Kas Negara;

(8) Pinjam-meminjam barang/kekayaan negara hanya dapat dilaksanakan antar-instansi

pemerintah, sepanjang tidak mengganggu kelancaran pelaksanaan tugas pokok instansi

yang bersangkutan.

Ketentuan Pasal 13 ayat (4) tersebut di atas yang selama ini dijadikan landasan

hukum ruilslag, kemudian diubah dengan Keputusan Presiden Nomor 24 Tahun 1995

tentang Perubahan atas Keputusan Presiden Nomor 16 Tahun 1994 tentang Pelaksanaan

Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, yang menentukan bahwa Barang tidak bergerak

24

S.F. Marbun, Peradilan Administrasi Negara dan Upaya Administratif di Indonesia, Liberty,

Yogyakarta, 1997, h. 12.

10

milik negara berupa tanah hanya dapat dihapuskan untuk dijual, dipindahtangankan,

dipertukarkan, atau dihibahkan berdasarkan ketentuan sebagai berikut:

(a) untuk tanah dengan Nilai Jual Obyek Pajak di atas Rp 10.000.000,00 (sepuluh milyar

rupiah), berdasarkan persetujuan Presiden atas usul Menteri Keuangan;

(b) untuk tanah dengan Nilai Jual Obyek Pajak sampai dengan Rp 10.000.000,00 (sepuluh

milyar rupiah) berdasarkan persetujuan Menteri Keuangan yang tata caranya diatur

oleh Menteri Keuangan.

Rumusan Pasal 13 ayat (4) tersebut di atas terlihat sangat singkat dan tidak

mencerminkan landasan hukum yang kuat dan memberikan jaminan kepastian hukum

mengenai pemindahtanganan aset negara yang berupa tanah melalui perjanjian pertukaran

sebagaimana dimaksud dengan ruilslag. Perubahan terhadap pasal 13 Keputusan Presiden

Nomor 16 Tahun 1994 tersebut hanya menyangkut soal kewenangan pejabat publik untuk

memberikan “persetujuan” terkait dengan Nilai Jual Obyek Pajak terhadap obyek akan

diruilslag.

Istilah “persetujuan” (toestemming) merupakan konsep hukum perdata yang

merupakan salah satu syarat sahnya perjanjian sebagaimana diatur pada Pasal 1320 Kitab

Undang-undang Hukum Perdata. Istilah ini sebenarnya kurang tepat dipergunakan dalam

konteks hukum administrasi sebagaimana dimaksud pada pasal 13 di atas, sebaiknya

digunakan istilah “izin” (vergunning) yang berarti dispensasi dari sebuah larangan, karena

perbuatan hukum ruilslag yang dilaksanakan oleh pemerintah mengandung unsur atau

karakter hukum yang spesifik, yakni adanya unsur hukum publik (publiekerechtelijk

handeling), di samping unsur hukum perdata (privaatrechtelijke handeling).

Terkait dengan pengalihan aset negara, Pasal 45 ayat (2) Undang-undang Nomor 1

Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, mensyaratkan bahwa pemindahtanganan

barang milik negara/daerah dilakukan dengan cara dijual, dipertukarkan, dihibahkan, atau

disertakan sebagai modal pemerintah setelah mendapat persetujuan DPR/DPRD.

Selanjutnya, dalam Pasal 46 ayat (1) dinyatakan bahwa persetujuan DPR sebagaimana

dimaksud pada Pasal 45 ayat (2) dilakukan untuk pemindahtanganan tanah dan/atau

bangunan, serta terhadap barang milik negara selain tanah dan/atau bangunan yang bernilai

lebih dari Rp 100.000.000.000,00 (seratus milyar rupiah). Sedang menurut Pasal 47 ayat (1)

persetujuan DPRD sebagaimana dimaksud pada Pasal 45 ayat (2) dilakukan untuk

pemindahtanganan tanah dan/atau bangunan, serta terhadap barang milik daerah selain

tanah dan/atau bangunan yang bernilai lebih dari Rp 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah).

Berdasarkan uraian tersebut di atas, landasan hukum yang digunakan sebagai dasar

untuk melaksanakan ruilslag belum memadai untuk dijadikan dasar hukum, karena

ketentuan undang-undang tersebut sifatnya masih umum, tidak secara tegas mengatur soal

“ruilslag” (tukar bangun), padahal hal itu menyangkut peralihan hak atas tanah yang

dikuasai negara. Perumusan pasal tersebut jelas-jelas bertentangan dengan Pasal 2 ayat (1)

Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria

(UUPA), dimana negara tidak dapat memiliki tanah, namun dapat menguasainya untuk

sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Oleh karena itu, negara (termasuk daerah) tidak

berwenang melakukan tindakan ruilslag dalam bentuk memindahtangankan tanah dan/atau

bangunan yang berada dalam kekuasaannya tanpa ada dasar hukum yang memberikan

wewenang untuk mengalihkannya berdasarkan ketentuan undang-undang yang khusus (lex

specialis) untuk dapat menyimpangi ketentuan UUPA yang sifatnya umum (lex generalis).

11

5. Kesimpulan

Meskipun perjanjian Tukar Bangun (Ruilslag) hingga kini belum diatur secara tegas

dalam suatu undang-undang, namun dalam praktik pemerintah atau pemerintah daerah

sering menggunakan instrumen hukum tersebut dengan dalih misalnya kebutuhan untuk

membangun perkantoran atau sarana publik yang lain berhubung dengan keterbatasan

alokasi dana dalam APBN atau APBD.

Dalam perspektif hukum perdata, ruilslag merupakan hubungan hukum perdata biasa,

yakni perjanjian tukar menukar yang obyeknya adalah tanah dan/atau bangunan milik atau

dalam kekuasaan pemerintah. Namun, dilihat dari aspek hukum administrasi ruilslag

mempunyai ciri khas (sui generis) yakni adanya unsur hukum publik terkait dengan

persyaratan terjadinya perjanjian, sehingga untuk mencapai persetujuan mengenai obyek

yang diperjanjikan untuk dipertukarkan perlu terlebih dahulu mengajukan “persetujuan”

atau izin dari pejabat publik agar dapat terlaksana perjanjian tersebut.

Agar perjanjian ruilslag tidak disalahgunakan oleh pemerintah, kekuasaan

(wewenang) pemerintah dalam membentuk perjanjian ruilslag perlu dibatasi dengan aturan

(undang-undang) serta diawasi atau dikendalikan. Untuk itu perlu ada mekanisme dan

badan yang dapat memberikan keputusan dalam hal terjadi benturan kepentingan dan

perbedaan penafsiran dalam penggunaan kekuasaan pemerintah, termasuk di dalamnya

apabila terjadi “persekongkolan” (konspirasi) dalam bentuk perjanjian “tukar bangun”

(ruilslag) yang merugikan negara yang dilakukan oleh pejabat pemerintah dengan swasta

dengan cara-cara yang bisa dikategorikan sebagai tindakan penyalahgunaan kekuasaan

(abuse of power).

12

DAFTAR PUSTAKA

Algra, N.E., et al., Kamus Istilah Hukum Fockema Andreae Belanda-Indonesia, cet. I,

Binacipta, Bandung, 1983

Anton M. Moeliono, et al., Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1995

Arifin P. Soeriaatmadja, Penulisan Karya Ilmiah tentang Aspek Hukum Masalah

Ruilslag, BPHN, Departemen Kehakiman, Jakarta, 1995-1996

Henry Cambell Black, Black’s Law Dictionary, ed. VI, West Publishing Co., St. Paul,

Minnesota, 1990

Kuntjoro Purbopranoto, Beberapa Catatan Hukum Tata Pemerintahan dan Peradilan

Administrasi, Alumni, Bandung, 1985

Marcus Lukman, Eksistensi Peraturan Kebijaksanaan dalam Bidang Perencanaan dan

Pelaksanaan Rencana Pembangunan di Daerah serta Dampaknya terhadap

Pembangunan Materi Hukum Tertulis Nasional, Disertasi Universitas Padjadjaran,

Bandung, 1997

Indroharto, Usaha Memahami Undang-undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara,

Buku I, Beberapa Pengertian Dasar Hukum Tata Usaha Negara, Sinar Harapan,

Jakarta, 1993

-------, Perbuatan Pemerintah Menurut Hukum Publik dan Hukum Perdata, Lembaga

Penelitian dan Pengembangan Hukum Administrasi Negara (LPP-HAN), Bogor-

Jakarta, 1995

Irfan Fachruddin, Pengawasan Peradilan Administrasi terhadap Tindakan Pemerintah,

Alumni, Bandung, 2004

Marbun, S.F., Peradilan Administrasi Negara dan Upaya Administratif di Indonesia,

Liberty, Yogyakarta, 1997

Mochtar Kusumaatmadja, Fungsi dan Perkembangan Hukum dalam Pembangun-an

Nasional, Binacipta, Bandung, t.t.

Nigel Savage dan Robert Bradgate, Business Law, 2nd ed., Butterworths, London, 1993

Soehino, Ilmu Negara, Liberty, Yogyakarta, 2000

Philipus M. Hadjon, “Tentang Wewenang”, Yuridika, No. 5 & 6 Th. XII, September-

Desember 1997

13

Philipus M. Hadjon, et al., Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Gadjah Mada

University Press, Yogyakarta, 1994

Rooseno Harjowidigdo, Mengenal Ruilslag, Majalah Hukum Varia Peradilan, No. 112

Tahun 1994

Utrecht, E., Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, Fakultas Hukum dan

Pengetahuan Masyarakat Universitas Padjadjaran, Bandung, 1960

van Wijk, H.D., Hoofdstukken van Administratief Recht, Vuga S-Gravenhage, 1984

14

15