93
PERILAKU THAHARAH (BERSUCI) MASYARAKAT BUKIT KEMUNING LAMPUNG UTARA “TINJAUAN SOSIOLOGI HUKUM” SKRIPSI Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy) Disusun oleh: Khoirunnisa’ 106043101305 KONSENTRASI PERBANDINGAN MAZHAB FIQH PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1431 H/ 2010 H

PERILAKU THAHARAH (BERSUCI) MASYARAKAT BUKIT …

  • Upload
    others

  • View
    19

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: PERILAKU THAHARAH (BERSUCI) MASYARAKAT BUKIT …

PERILAKU THAHARAH (BERSUCI) MASYARAKAT BUKIT KEMUNING

LAMPUNG UTARA “TINJAUAN SOSIOLOGI HUKUM”

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum

Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)

Disusun oleh:

Khoirunnisa’

106043101305

KONSENTRASI PERBANDINGAN MAZHAB FIQH

PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UIN SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1431 H/ 2010 H

Page 2: PERILAKU THAHARAH (BERSUCI) MASYARAKAT BUKIT …

PERILAKU THAHARAH (BERSUCI) MASYARAKA BUKIT KEMUNING

LAMPUNG UTARA “TINJAUAN SOSIOLOGI HUKUM”

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum

Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoler

Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)

Disusun oleh:

Khoirunnisa’

106043101305

Di bawah bimbingan

Pembimbing

Drs. Noryamin Aini, MA.

NIP 19630351 99103002

KONSENTRASI PERBANDINGAN MAZHAB FIQH

PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UIN SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1432 H/ 2010 H

Page 3: PERILAKU THAHARAH (BERSUCI) MASYARAKAT BUKIT …

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 Luas wilayah berdasarkan lingkungan kelurahan..……………….… 33

Tabel 3.2 Jumlah penduduk berdasarkan KK…………………………………. 34

Tabel 3.3 Jumlah penduduk berdasarkan struktur usia………………………... 35

Tabel 3.4 Jumlah penduduk menurut agama………………...……….……….. 36

Tabel 3.5 Jumlah sarana peribadatan……………………………………….…. 37

Tabel 3.6 Jumlah jiwa berdasarkan tingkat pendidikan………………….……. 39

Tabel 3.7 Jumlah sarana pendidikan……………………………..……………. 40

Tabel 4.1 Distribusi narasumber berdasarkan usia…………..…………...…... 42

Tabel 4.2 Distribusi narasumber berdasarkan jenis pendidikan……..….…..… 43

Tabel 4.3 Distribusi narasumber berdasarkan tingkat pendidikan…….…..…... 45

Tabel 4.4 Data narasumber berpengalaman mengikuti pendidikan agama..….. 46

Tabel 4.5 Distribusi narasumber dalam peran sosial keagamaan………...….…48

Tabel 4.6 Distribusi narasumber berdasarkan pemahaman thaharah……......... 50

Tabel 4.7 Data narasumber sumber pengetahuan tentang thaharah…………… 65

vi  

Page 4: PERILAKU THAHARAH (BERSUCI) MASYARAKAT BUKIT …

 

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji syukur kehadirat Allah SWT penulias panjatkan atas

segala rahmat, hidayah dan inayah-Nya yang telah diberikan kepada penulis sehingga

penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini Shalawat serta Salam semoga

tercurah kepada Nabi Muhammad SAW, Rasul yang berjasa besar kepasa kita semua

dalam membuka gerbang ilmu pengetahuan.

Skripsi berjudul “PERILAKU THAHARAH (BERSUCI) DI

MASYARAKAT BUKIT KEMUNING LAMPUNG UTARA “TINJAUAN

SOSIOLOGI HUKUM” penulis susun dalam rangka memenuhi dan melengkapi

persyaratan untuk mencapai gelar Serjana Syariah (S.Sy) pada Program Studi

Perbandingan Madzhab dan Hukum Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam

Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Setulus hati, penulis sadari bahwa tidak akan sanggup menghadapi dan

mengatasi berbagai macam hambatan dan rintangan yang mengganggu lancarnya

penulisan skripsi ini, tanpa adanya bantuan dan motivasi dari berbagai pihak. Oleh

karena itu, dalam kesempatan yang berharga ini perkenankan penulis untuk

menyampaikan rasa terima kasih yang tulus kepada yang terhormat:

Page 5: PERILAKU THAHARAH (BERSUCI) MASYARAKAT BUKIT …

ii 

 

1. Prof. Dr. H.M. Amin Suma, SH., MH., MM. Dekan Fakultas Syariah dan

Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Bapak Dr. H. A. Mukri Adji, MA dan Dr. Muhammad Taufiqi, M.Ag. Ketua

dan Seketaris Program Studi Perbandingan Madzhab dan Hukum Fakultas

Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Jakarta. Terimakasih atas waktu

nasehat dan solusinya selama ini.

3. Bapak Drs. Noryamin Aini, MA. Dosen Pembimbing yang telah dengan sabar

membimbing penulis, sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan harapan

dan ketentuan.

4. Seluruh dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,

yang penuh keiklasan mencurahkan ilmu pengetahuannya, bimbingan serta

motivasi kepada penulis selama masa studi.

5. Segenap pengelola Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan

Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum yang telah memberikan fasilitas

kepada penulis dalam mencari data-data pustaka.

6. Kepada Masyarakat Bukit Kemuning Kabupaten Lampung Utara yang telah

membantu memberikan data, informasi dan literatur yang relevan dengan

penulisan skripsi ini

7. Keluarga tercinta, penulis haturkan terimakasih kepada ayahanda H. Suandi

dan Ibunda Hj. Rohani dan adinda Muhammad Shidiq Akbar dan Herlina

Page 6: PERILAKU THAHARAH (BERSUCI) MASYARAKAT BUKIT …

iii 

 

yang telah memberikan dukungan, do’a dan kasih sayangnya tanpa batas,

sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

8. Kepada shahabat, penulis haturkan terimakasih kepada Roni dan Fadilah yang

telah memberikan kontribusinya dalam penulisan skripsi ini, dan

9. Rekan-rekan jurusan PMH angkatan 2006 yang telah membantu dan

menyemangati penulis dalam penulisan skripsi ini. Dan Teman-teman Kosan

Ucha, Liana, Apriyanti, yang slalu memberikan support kepada penulis dalam

penyelesaian skripsi ini.

Mudah-mudahan segala jasa dan pengorbanan akan mendapat balasan dari

Allah SWT. Kepada semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan

skripsi ini. Akhir kata, penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat dan menjadi

berkah bagi penulis dan semua pihak. Amin.

Jakarta, 10 Muharrom 1432 H 16 Desember 2010 M

Penulis

Page 7: PERILAKU THAHARAH (BERSUCI) MASYARAKAT BUKIT …

iv

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR…………………………………………………………….. i

DAFTAR ISI……………………………………………………………………...... iv

DAFTAR TABEL………………………………………………………………...... vi

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah……………………………………………....... 1

B. Batasan dan Perumusan Masalah……………………………………...... 3

C. Tujuan Penelitian………………………………………………….....….. 4

D. Review Studi Terdahulu……………………………………….....……... 5

E. Metode Penelitian………………………………………….....…………. 7

F. Sistematika Penelitian………………………………….....…………….. 8

BAB II KAJIAN TEORI TENTANG THAHARAH DAN PERILAKU HUKUM

A. Signifikasi Thaharah terhadap kebersihan, kesehatan dan keindahan

lingkungan……………………………………………………………… 11

B. Kerangka Thaharah

1. Pengertian Thaharah………………………………...……………… 14

2. Jenis-jenis Thaharah.................…………..…………..............……. 15

3. Cara membersihkan najis.………......……………………………… 17

4. Standar suci…………………………………………………........... 20

C. Memahami Perilaku Hukum

1. Faktor dan Motif Tingkah laku seseorang…………………………. 21

2. Kesadaran Hukum………………………………………………..... 26

3. Kepatuhan dan ketaatan hukum…………………………..……...... 29

4. Budaya Hukum……………………………………………………. 30

Page 8: PERILAKU THAHARAH (BERSUCI) MASYARAKAT BUKIT …

v

BAB III KOMUNITAS DESA BUKIT KEMUNING LAMPUNG UTARA

A. Keadaan Geografis………………………………………………..…… 32

B. Keadaan Demografis…………………………………………………... 33

C. Keadaan Sosiologis………………………………………….…………. 35

1. Peran Keagamaan………………………………………….……….. 36

2. Peran Pendidikan………………………………………….……….. 48

BAB IV ANALISIS SOSIOLOGIS TERHADAP PERILAKU THAHARAH

MASYARAKAT BUKIT KEMUNING

A. Identitas Sumber Data…………………………………..……………… 41

B. Pemahaman Masyarakat Tentang Thaharah……………………………. 48

C. Perilaku Bersuci Masyarakat…………………………………………… 64

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan…………………………………………………………….. 71

B. Saran-saran…………………………………………………………….. 72

DAFTAR PUSKATA 73

LAMPIRAN-LAMPIRAN

Page 9: PERILAKU THAHARAH (BERSUCI) MASYARAKAT BUKIT …

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah.

Dalam setiap kitab fiqh, para fuqaha selalu membahas thaharah pada awal

bab. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya kebersihan atau kesucian dalam Islam.

Seseorang tidak memenuhi syarat untuk beribadah saat ia memiliki hadats. Ia pun

tidak dapat beribadah saat pakaian atau tempat yang akan dilaksanakannya

peribadahan terkena najis. Karena urgensinya dalam penegakan tiang-tiang diin ini,

Rasulullah Saw. bersabda tentang thaharah, “ath-Thahuur (suci) itu sebagian dari

Iman”. (HR. Muslim)1

Thaharah memiliki urgensi yang sangat besar dalam Islam, baik yang hakiki,

seperti kesucian pakaian, tubuh, dan tempat shalat dari najis, maupun yang hukmi,

yaitu sucinya anggota wudhu dari hadats dan seluruh badan dari janabat. Hal ini

dikarenakan thaharah merupakan syarat yang harus senantiasa terwujud demi

kesahihan shalat yang minimal dilaksanakan lima kali sehari semalam. Disamping itu

mengingat mendirikan shalat berarti berdiri dihadapan Allah SWT, maka melakukan

thaharah berarti mengagungkan-Nya. Dengan demikian, melakukan thaharah berarti

menyucikan ruh dan jasad sekaligus. Islam menempatkan kebersihan atau kesucian

1 Al-Iman Abi al-Husein Muslim bin al-Hajjaj bin Muslim al-Qusyairi al-Naisaburi, Shahih

Muslim, Jilid 1, (Riyadh: Dar al-Salam, 1998M/1419H)

Page 10: PERILAKU THAHARAH (BERSUCI) MASYARAKAT BUKIT …

2

sebagai sesuatu yang sangat penting, umpamanya saja kesahihan shalat ditentukan

oleh kesucian.

Ungkapan “Bersih Pangkal sehat” mengandung arti betapa pentingnya

kebersihan bagi kesehatan manusia, baik perorangan, keluarga, masyarakat maupun

lingkungan. Begitu pentingnya kebersihan menurut Islam, sehingga orang yang

membersihkan diri atau mengusahakan kebersihan akan dicintai oleh Allah SWT.

Ajaran kebersihan dalam Agama Islam berpangkal atau merupakan konsekusensi dari

iman kepada Allah, berupaya menjadikan dirinya suci/bersih supaya berpeluang

mendekatkan diri kepada Allah SWT. Dengan demikian kebersihan dalam Islam

mempunyai aspek ibadah dan aspek moral.

Disamping itu, thaharah dapat melindungi lingkungan dan masyarakat dari

penjalaran penyakit, kelemahan, dan kelumpuhan, karena ia mencuci anggota badan

yang lahir dan senantiasa akrab dengan debu, tanah dan kuman-kuman sepanjang

hari. Kemudian memandikan seluruh badan setiap sehabis janabah juga cukup

penting untuk melindungi badan dari berbagai kotoran, dan secara medis dapat

dibuktikan bahwa upaya pencegahan berbagai penyakit adalah kebersihan.

Pencegahan itu lebih baik daripada pengobatan.

Thaharah merupakan hal yang sangat penting, tetapi dalam pelaksanaannya di

masyarakat urgensi thaharah cenderung diabaikan. Misalnya, dalam hal pemahaman

najis dan cara membersihkannya. Masih ada masyarakat yang mengangap sama

antara air kencing bayi laki-laki maupun perempuan. Ada juga yang beranggapan

Page 11: PERILAKU THAHARAH (BERSUCI) MASYARAKAT BUKIT …

3

bahwa air kencing bayi laki-laki dan bayi perempuan bukan termasuk najis. Padahal

dalam pembahasan kitab fiqh jelas disebutkan bahwa kencing bayi laki-laki dan

perempuan termasuk najis, serta berbeda tingkatan najis antara keduanya dan cara

membersihkannya pun harus sesuai tingkatan najis tersebut.

Melihat thaharah itu penting dan cenderung diabaikan dan bertentangan

dengan signifikasi thaharah itu dalam pembahasan kitab kuning, penulis mau melihat

seperti apa thaharah itu dipraktekkan oleh masyarakat. Maka pada skripsi ini, penulis

akan membahas bagaimana pemahaman masyarakat tentang thaharah, dan bagaimana

masyarakat menyikapi dan melaksanakannya. Oleh sebab itu penulis tertarik untuk

mengangkat tema thaharah dalam pembahasan sosiologi hukum .

Berdasarkan pemikiran dan studi pendahuluan yang dilakukan oleh penulis,

maka penulis tertarik untuk membahas lebih lanjut problematika tersebut dan

mengadakan penelitian dengan judul “Perilaku Thaharah (Bersuci) Masyarakat

Bukit Kemuning Lampung Utara “Tinjauan Sosiologi Hukum)”.

B. Pembatasan dan Rumusan Masalah

Bertolak dari latar belakang masalah di atas, pembahasan mengenai thaharah

mempunyai cakupan yang cukup luas yaitu mengenai hadats dan najis. Tetapi dalam

penelitian ini, pembahasan hanya dibatasi pada masalah membersihkan najis.

Adapun perumusan masalahnya sebagai berikut:

1. Bagaimana pemahaman masyarakat tentang thaharah (bersuci)?

Page 12: PERILAKU THAHARAH (BERSUCI) MASYARAKAT BUKIT …

4

2. Bagaimana perilaku bersuci masyarakat dalam kerangka sosiologi hukum?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

1. Tujuan Penulis

Adapun tujuan yang hendak dicapai dalam penulisan skripsi ini adalah:

a. Untuk mengetahui bagaimana pemahaman masyarakat Bukit Kemuning

mengenai thaharah.

b. Untuk mengetahui perilaku masyarakat dalam kerangka sosiologi

hukum.

2. Manfaat penelitian:

Hasil penelitian ini bermanfaat untuk:

a. Hasil penelitian ini diharapkan berguna bagi perkembangan ilmu fiqh di

masyarakat dalam masalah thaharah.

b. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai salah satu kelengkapan

dalam persyaratan untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum Islam dari

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

c. Hasil penelitian ini diharapkan berguna bagi para akademisi dalam

rangka mengembangkan pemikiran dan khazanah hukum Islam

khususnya dalam ilmu fiqh.

Page 13: PERILAKU THAHARAH (BERSUCI) MASYARAKAT BUKIT …

5

D. Tinjauan (review) Kajian Terdahulu

Sejauh pengamatan penulis, judul Perilaku Thaharah (bersuci) di Mayarakat

ini belum disentuh oleh para penulis.

Ada beberapa skripsi yang telah membahas tema yang berkaitan dengan

thaharah dalam kaitannya dengan kajian hukum. Namun penulis belum menemukan

karya mirip dengan judul yang diangkat penulis. Adapun beberapa karya yang

mempunyai korelasi dengan permasalahan yang akan diangkat oleh penulis antara

lain:

1. Skripsi Muhson (0043119151) Tahun 2005 dengan judul “Studi Comparatif

tentang Najis yang dimaafkan menurut Empat Madzhab (Madzhab Hanafi,

Madzhab Maliki, Madzhab Syafi’i, dan Madzhab Hanbali)”. Jurusan: PMH/

Syari’ah dan Hukum/ 2005 M. Skripsi ini membahas tentang thaharah secara

umumnya, serta secara khusus mengenai najis yang dimaafkan menurut

madzhab empat. Keempat madzhab itu mewajibkan bersuci dari najis jika

seseorang hendak melaksanakan ibadah ritual. Tetapi mereka semua

mengakui akan adanya pengecualian-pengecualian yaitu adanya kemaafan

dari najis-najis yang sekalipun hukumnya tetap najis tetapi tidak diharuskan

untuk dibersihkan dengan adanya alasan-alasan tertentu.

2. Skripsi Abula’la al-Maududi (204043203066) Tahun 2010 dengan judul

“Tinjauan Medis dan Sosiologis terhadap Pembedaan Jenis Najis pada Air

Page 14: PERILAKU THAHARAH (BERSUCI) MASYARAKAT BUKIT …

6

Kencing Bayi”. Jurusan: PMH/ Syari’ah dan Hukum/ 2010 M. Skripsi ini

membahas tentang adanya perbedaan antara kencing bayi perempuan dan bayi

laki-laki di tinjau dari medis. Perbedaannnya adalah bayi laki-laki dan bayi

perempuan usia dibawah dua tahun, pada jumlah leukosit, epitel dan bakteri

dimana jumlahnya lebih dominan pada bayi perempuan dibandingkan bayi

laki-laki. Kencing bayi laki-laki lebih cair (tidak pekat) daripada kencing bayi

perempuan. Sedangkan ditinjau dari aspek sosiologisnya adalah najis pada

bayi perempuan bukan disebabkan oleh perbedaan gender laki-laki dan

perempuan atau dalam hal status sosiologis, akan tetapi lebih disebabkan oleh

kualitas urin yang berbeda karena anatomi/bentuk organ.

Karya-karya ilmiah di atas membahas tentang thaharah. Namun, masalah

tersebut dikaji dalam bentuk kajian pustaka. Skripsi pertama merupakan kajian

pustaka dengan membandingkan pendapat empat mazhab mengenai najis yang

dimaafkan. Sedangkan skripsi yang kedua membahas mengenai pembedaan najis

pada air kencing bayi dalam tinjauan medis dan sosiologis. Tentunya kedua skripsi

tersebut sangat berbeda dengan skripsi yang sedang penulis susun. Penulis

menggunakan kajian empiris tentang aspek thaharah yang berkembang di masyarakat.

Skripsi yang dibahas oleh penulis sendiri adalah skripsi yang berhubungan dengan

keadaan sosial yang ada dalam suatu masyarakat. Oleh karena itu, penulis

mengkajinya dengan menggunakan perspektif sosiologi hukum. Dengan

menggunakan teori perilaku masyarakat, dari studi ini diharapkan didapat gambaran

Page 15: PERILAKU THAHARAH (BERSUCI) MASYARAKAT BUKIT …

7

yang obyektif tentang peranan-peranan yang berlaku dalam masyarakat tersebut,

sehingga dalam menilai perilaku tersebut dari segi hukum akan terlihat akurat.

E. Metode Penelitian

Metode yang akan digunakan dalam penulisan skripsi ini studi kasus (case

study) yaitu suatu metode yang bertujuan untuk mendeskripsikan secara terperinci

masalah spesifik yang dihadapi.

1. Tehnik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dalam penulisan ini adalah dilakukan dengan cara berikut:

a. Interview (wawancara)

Dilakukan oleh penulis kepada sejumlah narasumber sebanyak 25 orang dari

masyarakat desa tersebut, mereka terdiri atas tokoh masyarakat, tokoh agama,

dan masyarakat biasa. Dalam hal ini penulis menggunakan metode interview

terpimpin dengan menggunakan pedoman wawancara (interview guide)

sebagai acuan agar proses interview terfokus pada permasalahan yang

dimaksud.

b. Tehnik Observasi

Dilakukan guna memperoleh data dari obyek perilaku masyarakat tentang

thaharah. Pengamatan secara sistematis dilakukan untuk memenuhi perilaku

individu/kelompok masyarakat dan kehidupannya dalam konteks thaharah.

Page 16: PERILAKU THAHARAH (BERSUCI) MASYARAKAT BUKIT …

8

Dengan hal ini penulis mengunakan metode observasi partisipan dan

observasi tak terstruktur (metode penelitian sosiologis). Observasi ini

dilakukan selama 2 Bulan, mulai bulan September hingga bulan Oktober

Tahun 2010. Selain itu, penulis juga adalah bagian dari masyarakat yang

diteliti.

2. Sumber Data

Sumber data yang digunakan dalam penulisan ini terdiri dari sumber data yang

primer.

a. Sumber data yang primer adalah:

i. Narasumber, yakni orang atau keluarga yang dijadikan subyek penulisan,

dalam hal ini adalah masyarakat setempat, tokoh masyarakat, dan tokoh

agama, yang dianggap relevan dimintai keterangan.

ii. Informan, yakni orang memberikan informasi mengenai situasi dan

kondisi obyektif wilayah daerah yang diteliti masyarakat setempat dan

sebagiannya.

Selanjutnya penulisan skripsi ini mengacu pada buku pedoman penulisan

skripsi, Fakultas Syariah dan Hukum Tahun 2007.

F. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan skripsi ini terdiri dari lima bab. Tiap-tiap bab terdiri

atas beberapa sub bab. Sistematika penulisan sebagai berikut:

Page 17: PERILAKU THAHARAH (BERSUCI) MASYARAKAT BUKIT …

9

BABI PENDAHULUAN

Bab ini berisikan Latar Belakang Masalah, Pembatasan dan Perumusan

Masalah, Tujuan Penelitian, Review Studi Terdahulu, Metode Penelitian dan

Sistematika Penulisan

BAB II KAJIAN TEORI TENTANG THAHARAH DAN PERILAKU HUKUM

Bab ini terdiri atas: Signifikasi Thaharah terhadap kebersihan, kesehatan dan

keindahan lingkungan. Kerangka Thaharah (Pengertian Thaharah, jenis-jenis

thaharah, cara membersihkan najis, dan standar suci) dan Memahami Perilaku

Hukum (faktor dan motif tingkah laku seseorang, kesadaran hukum,

kepatuhan dan ketaatan hukum, dan budaya hukum).

BAB III KOMUNITAS MASYARAKAT BUKIT KEMUNING KABUPATEN

LAMPUNG UTARA

Bab ini meliputi Keadaan Geografis, Keadaan Demografis, dan Keadaan

Sosiologis (peran pendidikan dan peran keagamaan)

BAB IV ANALISIS SOSIOLOGIS TERHADAP PERILAKU THAHARAH

MASYARAKAT BUKIT KEMUNING

Bab ini berisikan Identitas narasumber, Pemahaman Masyarakat tentang

Thaharah, dan Perilaku Bersuci Masyarakat.

Page 18: PERILAKU THAHARAH (BERSUCI) MASYARAKAT BUKIT …

10

BAB V PENUTUP

Terdiri dari Kesimpulan dan Saran-saran

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN-LAMPIRAN

Page 19: PERILAKU THAHARAH (BERSUCI) MASYARAKAT BUKIT …

11

BAB II

KAJIAN TEORI TENTANG THAHARAH DAN PERILAKU HUKUM

Bab II ini akan membahas beberapa persoalan. Ada tiga hal yang dibahas.

Pertama signifikansi thaharah terhadap kebersihan, kesehatan dan keindahan

lingkungan. Kedua yaitu kerangka teori thaharah yang mencakup pengertian

thaharah, jenis-jenis thaharah, cara membersihkan najis dan standar suci. Adapun

ketiga yaitu memahami perilaku hukum, mencakup motif dan tingkah laku seseorang,

kesadaran hukum, kepatuhan dan ketaatan hukum, dan budaya hukum.

A. Signifikansi Thaharah terhadap Kebersihan, Kesehatan dan Keindahan

Lingkungan

Kata bersih sering diungkapkan untuk menyatakan keadaan lahiriyah suatu

benda, seperti air bersih, lingkungan bersih, tangan bersih dan sebagiannya.

Terkadang kata bersih memberikan pengertian suci, seperti air suci. Tetapi biasanya

kata suci digunakan untuk ungkapan sifat batiniyah, seperti jiwa suci. Dalam hukum

Islam setidaknya ada tiga ungkapan yang menyatakan “kebersihan” yaitu1,

1. Nazhâfah dan Nazîf, yaitu meliputi bersih dari kotoran dan noda secara

lahiriyah, dengan alat pembersihnya benda yang bersih seperti air.

1 A. Rahman Ritonga dan Zainuddin, Fiqh Ibadah )Jakarta: Gaya Media Pratama, 1997(, h.

52.

Page 20: PERILAKU THAHARAH (BERSUCI) MASYARAKAT BUKIT …

12

2. Thahârah, yaitu mengandung pengertian yang lebih luas meliputi kebersihan

lahiriyah dan batiniyah.

3. Tazkiyah (penyucian)2, mengandung arti ganda yaitu membersihkan diri dari

sifat atau perbuatan tercela dan menumbuhkan atau memperbaiki jiwa dengan

sifat-sifat yang terpuji.

Dalam syariat Islam, pelaksanaan thaharah dapat membawa kebersihan lahir

dan batin. Orang yang bersih secara syara‟ akan hidup dalam kondisi sehat. Karena

hubungan antara kebersihan dan kesehatan sangat erat. Dalam suatu pepatah

dikatakan “kebersihan pangkal kesehatan”. Di samping itu, thaharah juga dapat

melindungi lingkungan dan masyarakat dari penularan penyakit, kelemahan, dan

kelumpuhan, karena thaharah mencuci anggota badan yang lahir dan senantiasa akrab

dengan debu, tanah, dan kuman-kuman sepanjang hari. Begitu pentingnya kebersihan

menurut Islam, sehingga orang yang membersihkan diri atau mengusahakan

kebersihan akan dicintai oleh Allah SWT, sebagaimana firman-Nya :

(٢:٢٢٢/انبقرة)

Artinya: “Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai

orang-orang yang mensucikan diri”. (Al-Baqarah/2: 222)

Syariat Islam mengajarkan beragam thaharah. Umat Islam dalam thaharah

disyariatkan beristinja‟, berkumur-kumur, memasukan air ke hidung, menggosok gigi

(siwak), mencukur rambut dan lain-lain sebagainya. Seluruh kegiatan ini

2 Yusuf al-Qardhawi, Fiqhu at-thaharah, Penerjemah Samson Rahman (Jakarta: Pustaka al-

Kautsar, 2004), h. 13

Page 21: PERILAKU THAHARAH (BERSUCI) MASYARAKAT BUKIT …

13

mewujudkan kebersihan lahiriyah sekaligus mengantisipasi kedatangan penyakit.

Kemudian, untuk melaksanakan shalat, dan ibadah ghairu mahdhah lainnya, orang

Islam diwajibkan berwudhu. Wudhu di samping membersihkan lahiriyah juga

membersihkan diri secara batiniyah, karena shalat merupakan pendekatan diri kepada

Allah SWT yang menuntut kebersihan lahir dan batin.

Selain itu, thaharah mempunyai implikasi terhadap keindahan lingkungan.

Ada tiga lingkungan yang mempengaruhi kehidupan manusia, yaitu lingkungan alam,

lingkungan manusia dan lingkungan keluarga. Lingkungan alam adalah alam yang

berada di sekitar kita. Lingkungan manusia adalah orang-orang yang melakukan

interaksi dengan kita baik langsung maupun tidak langsung, dan dalam skala lebih

kecil lagi adalah lingkungan keluarga yang sangat mempengaruhi kehidupan

seseorang terutama pada masa-masa awal kehidupannya3.

Dalam hubungan dengan hukum Islam, kebersihan dan keindahan lingkungan

ini merupakan wujud nyata dari ajaran thaharah. Sebagai contoh, menurut syara‟

seseorang dilarang melakukan buang air besar atau kecil di tempat-tempat tertentu,

seperti di bawah pohon tempat orang berteduh, di dalam saluran air dan di tengah

jalan. Hal tersebut bertujuan untuk menyelamatkan kenyamanan dan kebersihan

lingkungan.

3 A.Rahman Ritonga dan Zainuddin, Fiqh Ibadah, h. 26

Page 22: PERILAKU THAHARAH (BERSUCI) MASYARAKAT BUKIT …

14

B. Kerangka Thaharah

1. Pengertian Thaharah

Secara etimologi kata “thahârah/ ةار طه ” adalah masdar atau kata benda yang

diambil dari kata kerja يطهر –طهر yang berarti bersuci4. Sedangkan menurut istilah

thahârah mempunyai banyak definisi sebagaimana dikemukakan oleh para imam

mazhab5 berikut ini:

a. Hanafiyyah: thaharah adalah membersihkan hadats dan khobats.

b. Malikiyyah: thaharah adalah sifat hukum yang diwajibkan sifat itu agar

bisa melaksanakan shalat, dengan pakaian yang membawanya untuk

melaksanakan shalat, dan pada tempat untuk melaksanakan shalat.

c. Syafi‟iyyah: thaharah adalah suatu perbuatan yang mengarah untuk

memperbolehkan shalat dari berupa wudhu, membasuh, tayamum, dan

menghilangkan najis.

d. Hanabilah: thahaharah adalah menghilangkan hadats dan apa-apa yang

semacamnya, dan menghilangkan najis.

Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa thaharah ada dua macam yaitu

bersuci dari hadats yang khusus pada tubuh secara hukum dan bersuci dari najis pada

tubuh, pakaian dan tempat. Bersuci dari hadats itu ada tiga macam, yaitu thaharah

kubra (mandi), thaharah shugra (wudhu), dan pengganti keduanya manakala

4 Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia, (Surabaya: Pustaka

Progressif, 1997), h. 868

5 Abdurrahmn al-Jaziry, Kitabul al-Fiqhul ala Madzhib al ar-ba’ah, Jilid 1, (Cairo: at-

Tijariyah al Kubro, T.th), h. 1-4

Page 23: PERILAKU THAHARAH (BERSUCI) MASYARAKAT BUKIT …

15

keduanya tidak dapat dilakukan (tayammum). Sedang bersuci dari najis juga ada tiga

macam, membersihkan diri, menyapu dan memercikkan air.6

2. Jenis-jenis Thaharah

Berdasarkan dalil qathi yang telah disepakati bahwa thaharah itu wajib

menurut syara‟. Salah satu dalilnya adalah perintah wudhu dan mandi jinabah

sebagaimana tercantum dalam QS. al-Maidah (5): 6 berikut ini:

(٦: ۵/ئذهانمآ)

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat,

Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah

kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika

kamu junub Maka mandilah”. (QS. al-Maidah/5 : 6)

Thaharah yang wajib itu adalah wudhu, mandi janabah, mandi haid, mandi

nifas, (bersuci dengan air), tayamum sebagai penggantinya (bersuci dengan tanah)

manakala tidak ada air atau seseorang berhalangan menggunakannya, atau

menghilangkan najis.

Adapun sarana atau alat untuk thaharah terdiri dari air dan tanah. Air dapat

dipergunakan untuk berwudhu atau mandi, sedangkan tanah dapat digunakan untuk

bertayamum, sebagaimana ganti dari wudhu atau mandi. Kedua sarana ini digunakan

untuk bersuci dari hadats kecil dan hadats besar. Para fuqaha sepakat tentang

6 Wahbah al-Zuhaily, Al-Fiqhul Islamy wa Adillatuhu. Penerjemah Masdar Hilmy Jilid 1,

(Bandung: CV. Pustaka Media Utama, 2004), h. 5

Page 24: PERILAKU THAHARAH (BERSUCI) MASYARAKAT BUKIT …

16

kebolehan bersuci dengan air yang suci atau air mutlak, yaitu air yang hanya disebut

“air” tanpa embel-embel sifat, seperti air musta’mal atau embel-embel nisbah, seperti

air mawar.

Adapun air sebagai sarana thahârah terdapat beberapa macam7:

a. Air Mutlak, ialah air suci lagi mensucikan. Air mutlak ini terdapat beberapa

definisi. Sebagian pendapat menyatakan bahwa air mutlak ialah air yang

dalam penyebutannya lepas dari segala ikatan apapun yang sifatnya tetap.8

Kemudian menurut definisi yang lain, bahwa air mutlak ialah air yang tetap

menurut keadaan aslinya dan dapat menyucikan hadas atau najis, seperti air

hujan, salju, air embun, air mata air, air sumur, air sungai dan air laut.

b. Air Musyammas, yaitu air yang terkena langsung panas matahari. Air tersebut

adalah suci, karena ia tidak terkena najis dan mensucikan, yakni dapat

menghilangkan hadas dan najis karena ia masih tetap disebut air mutlak.

Namun terdapat perbedaan di kalangan ulama‟ dalam menggunakan air yang

panas karena matahari dapat menimbulkan penyakit belang. Air seperti ini

dihukumi makruh.

c. Air Musta‟mal, yaitu air suci namun tidak menyucikan. Ia adalah air yang

sudah dipakai untuk mengangkat hadats atau bentuk ibadah lainnya seperti

7 A.Rahman Ritonga dan Zainuddin, Fiqh Ibadah, h. 20

8 Al-Iman Taqiyuddin Abubakar Alhusaini, Kifayatul Akhyar, Jilid 1, (Surabaya: PT. Bina

Ilmu Offset, 1997), h, 11

Page 25: PERILAKU THAHARAH (BERSUCI) MASYARAKAT BUKIT …

17

memperbarui wudhu. Air yang jenis ini makruh dipakai untuk mengangkat

hadats akan tetapi boleh dipakai untuk menghilangkan najis.9

d. Air Mutanajis. Air ini terdapat dua keadaan yaitu: pertama bila najis itu

mengubah salah satu diantara rasa, warna atau baunya. Dalam keadaan ini

para ulama‟ sepakat bahwa air itu tidak dapat dipakai untuk bersuci. Kedua

bila air tetap dalam keadaan mutlak, dengan arti salah satu diantara ketiga

sifatnya tadi tidak berubah. Hukum air seperti ini suci dan menyucikan.10

Di samping empat air yang disebut di atas, para ulama sepakat tentang

kebolehan bersuci dengan daun dan batu ketika beristinja yaitu ketika luarnya, baik

air kencing maupun faces11

, selagi najisnya wajar. Demikian halnya mereka juga

sepakat atas disyaratkannya bersuci dengan tanah sebagai thaharah hukmiyah dan

atas sucinya khamar menjadi cuka.

3. Cara menghilangkan najis

Najis adalah kotoran yang bagi setiap muslim wajib menyucikannya, dan

menyucikan apa yang dikenainya.12

9 Muhammad bin Ismail al-Kahlani, Subul al-Salâm, jilid I, (Bandung: Maktabah Dahlan,

t.t.h), h. 30

10

Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, Penerjemah Mahyuddin Syaf, Jilid 1, (Bandung: PT.

Alma‟arif, 2003), h, 34

11

Faces (Biologi): kotoran manusia 12

Zurinal. Z dan Aminuddin, Fiqh Ibadah, (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif

Hidayatullah, 2008), h. 33

Page 26: PERILAKU THAHARAH (BERSUCI) MASYARAKAT BUKIT …

18

Allah SWT berfirman:

(٤٧:٧/امذثر)

Artinya: “Dan bersihkanlah pakaianmu” (QS. Al-Mudatstsir/74: 4).

Najis dibagi ke dalam tiga tingkat yaitu Najis Mughallazhah (tebal, berat),

Najis Mukhaffafah (ringan/enteng) yaitu air kencing laki-laki yang belum memakan

suatu makanan apapun selain air susu ibunya, dan Najis Mutawassithah

(pertengahan/sedang). Adapun najis sedang ini dibagi menjadi dua bagian yaitu13

:

a. Najis „Ainiyyah, yaitu najis yang bendanya berwujud, seperti darah,

nanah, air kencing dan sebagainya.

b. Najis Hukmiyyah, yaitu najis yang bendanya tidak berwujud, seperti

bekas kencing, arak yang sudah kering.

Dalam hal ini, terdapat dua macam benda najis yang menjadi suci dengan

sebab peralihan sifat, yaitu najis yang disamak dan khamar dengan beralih menjadi

cuka. Selain kedua macam ini, tidak ada zat najis yang menjadi suci atau disucikan.

Namun, sesuatu yang dikenai najis dapat dibersihkan kembali dengan cara tertentu

sesuai dengan jenis najis yang mengenainya. Dalam hal ini, ada tiga macam cara

membersihkan najis yaitu14

:

1) Menurut jumhur ulama, jika suatu benda terkena najis yang berasal dari anjing

dan babi, seperti kotorannya, air liurnya dan lain-lain, maka cara

13

Moh. Rifa‟I, Ilmu Fiqh Islam Lengkap, (Semarang: CV. Toha Putra, 1978), h, 49.

14

Lahmuddin Nasution, Fidh 1, (Jakarta: Purtaka Setia, 2001), h. 51.

Page 27: PERILAKU THAHARAH (BERSUCI) MASYARAKAT BUKIT …

19

menyucikannya ialah benda itu dicuci dengan air sebanyak tujuh kali, satu

kali di antaranya dicampurkan debu/tanah. Adapun salah satu di antaranya

dicampur dengan tanah berdasarkan hadits Rasul SAW:

(مسهم رواه) ثم نيغسهه سبع مرار : فهيرقه في إناء أحذكم انكهب را ونغ إ 15

Artinya:“Apabila ada anjing menjilat kedalam menjana dari kalian, maka

bersihkanlah dengan tanah, kemudian membasuhnya tujuh kali".

(HR. Muslim)

2) Khusus untuk membersihkan sesuatu yang terkena kencing anak laki-laki

yang belum memakan makanan cukup dipercikan dengan air. Cara ini

sesuai dengan hadits A‟isyah ra. Bahwa seorang anak yang masih

menyusu dibawa kepada Rasulullah saw. Lalu anak itu kencing

dipangkuan beliau, Rasulullah saw, meminta air, kemudian beliau

menyiraminya, tetapi tidak sampai membasuhnya16

. Ulama juga

membedakan cara membersihkan antara kencing bayi laki-laki dan

kencing bayi perempuan itu berdasarkan hadits sebagai berikut:

بي يغسم بىل انجاريت ويرش بىل (انبخاري و أبى داودرواه ) انص17

Artinya:“Kencing bayi perempuan (cara mensucikannya) disiram, dan

kencing bayi laki-laki diciprati air”. (HR. Bukhari dan Abu

Dawud)

15

Al-Iman Abi al-Husein Muslim bin al-Hajjaj bin Muslim al-Qusyairi al-Naisaburi, Shahih

Muslim, Jilid 1, (Riyadh: Dar al-Salam, 1998M/1419H), h. 131

16

Ibn Rušyd al-Qurţubi, Bidāyat al-Mujtahid wan Nihāyat al-Muqtaşid, Jilid 1, (Bairut: Dar

Al-Kutub Al-Ilmiyah, 2007), h, 84

17

Al-Iman Abi Abdillah Muhammad bin Ismail bin Ibrohim ibnu al-Mughiroh al-Bukhori,

Shohih al-Bukhori,Jilid 1, (Bairut: Dar al-Fikri, 1994M/1414H), h. 70

Page 28: PERILAKU THAHARAH (BERSUCI) MASYARAKAT BUKIT …

20

Menurut para ulama, hukum kencing bayi laki-laki dibedakan dari

bayi perempuan karena air kencing bayi perempuan lebih bau dan lebih

kotor daripada kencing bayi laki-laki.18

3) Cara membersihkan najis lainnya, dibedakan berdasarkan keadaannya

yaitu najis „ainiyah (yang ada zat dan sifat-sifatnya) atau hukmiy (yang zat

dan sifat-sifatnya tidak ada lagi), seperti kencing yang telah kering.

a) Najis „ainiy adalah najis yang bendanya berwujud, seperti darah,

nanah, air kencing dan sebagainya. Cara mennyucikannya dengan

menghilangkan zatnya terlebih dahulu, hingga hilang wujud, bau dan

warnanya, kemudian menyiram dengan air sampai bersih lalu

dikeringkan. Bau dan warna yang sangat sukar hilangnya dapat

dimaafkan.19

b) Sedangkan najis hukmiy Cara menyucikannya cukup dengan

mengalirkan air pada bekas najis itu.

4. Standar Thaharah

Di dalam kamus ilmiah, kata standar berarti alat penopang atau yang dipakai

untuk menjadi patokan.20

Adapun disebut standar thaharah yaitu patokan atau ukuran

18

Yusuf Qardhawi, Fiqhu at-thaharah, h. 59.

19

Khatib al-Syarbaini, Al-Iqnâ’filhall Alfâzi Abî Syujâ’i, (Bandung: Al-Ma‟arif, T.th), h, 77.

20

Achmad Maulana, Kamus Ilmiah Populer lengkap, (Yogyakarta: Absolut, 2004), h. 486.

Page 29: PERILAKU THAHARAH (BERSUCI) MASYARAKAT BUKIT …

21

sesuatu di katakan suci/bersih. Dalam hal ini, kajian-kajian fiqh khususnya dalam bab

thaharah tidak menjelaskan secara konkrit apa yang disebut dengan standar thaharah.

Adapun disebut standar thaharah atau yang menjadi tolak ukuran sesuatu itu

dikatakan suci/bersih harus terhindar dari tiga sifat yaitu:

a. Warna. Apabila wujud najis itu sudah tidak terlihat lagi oleh pancaindra;

b. Bau. Apabila aroma bau yang terdapat dalam najis sudah tidak tercium;

c. Bentuk atau wujudnya.

Maka dari itu, tiga sifat tersebut harus terpenuhi jika seseorang akan membersihkan

najis yang merupakan suatu tolak ukur dikatakan suci/bersih.

C. Memahami Perilaku Hukum

1. Faktor dan Motif Tingkah Laku Seseorang

Motivasi dapat diartikan suatu tenaga atau faktor yang terdapat di dalam diri

manusia, yang menimbulkan, mengarahkan dan mengorganisasikan organnya.

Sedangkan kata motif adalah suatu alasan/dorongan yang menyebabkan seseorang

berbuat sesuatu/melakukan tindakan tertentu. Dalam suatu motif umumnya terdapat

dua unsur pokok, yaitu unsur dorongan/kebutuhan dan unsur tujuan. Proses interaksi

timbal balik antara kedua unsur di atas terjadi di dalam diri manusia, namun ia dapat

dipengaruhi hal-hal di luar diri manusia, misalnya keadaan cuaca, kondisi lingkungan

dan sebagainya. Oleh karena itu dapat saja terjadi suatu perubahan motivasi dalam

Page 30: PERILAKU THAHARAH (BERSUCI) MASYARAKAT BUKIT …

22

waktu yang relatif singkat, jika terjadi motivasi yang pertama mendapat hambatan

atau tidak mungkin dipenuhi.21

Adapun pengertian perilaku dalam kamus ilmiah adalah tindakan, perbuatan,

atau sikap.22

Oleh sebab itu setiap manusia memiliki apa yang dinamakan perilaku

(behavior), yaitu suatu totalitas dari gerak motoris, persepsi dan fungsi kognitif dari

manusia. Salah satu unsur perilaku adalah gerak sosial (social action), yakni suatu

gerak yang terikat dalam empat syarat,23

yaitu:

a. Diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu,

b. Terjadi pada situasi tertentu,

c. Diatur oleh kaedah-kaedah tertentu,

d. Terdorong oleh motivasi tertentu

Adapun beberapa teori yang menjelaskan tentang motivasi dan perilaku

sebagai berikut.24

1) Teori Kognitif

Manusia adalah makhluk rasional. Berdasarkan rasionya manusia bebas

memilih dan menentukan apa yang akan dia perbuat, entah baik maupun buruk.

Tingkah laku manusia semata-mata ditentukan oleh kemampuan berfikirnya.

21

Martin Handoko, Motivasi Daya Penggerak Tingkah laku, (Yogyakarta: Kanisus, 1992), h.

10. 22

Achmad Maulana, Kamus Ilmiah Populer lengkap, h. 394

23

Soerjono Soekanto dan Soleman B.Taneko, Hukum Adat Indonesia, (Jakarta:Rajawali

Pers,1983), h. 6.

24

Martin Handoko, Motivasi Daya Penggerak Tingkah laku, h. 11.

Page 31: PERILAKU THAHARAH (BERSUCI) MASYARAKAT BUKIT …

23

Makin intelegen dan berpendidikan, seseorang otomatis akan semakin lebih baik

perbuatan-perbuatannya, dan dia secara sadar pula melakukan perbuatan-

perbuatan untuk mematuhi keinginan/kebutuhan tersebut. Dalam teori ini, tingkah

laku tidak digerakkan oleh motivasi, melainkan oleh rasio. Setiap perbuatan yang

dilakukannya sudah dipikirkan alasan-alasannya. Oleh karena itu setiap orang

sungguh-sungguh bertanggungjawab atas segala perbuatannya.

2) Teori Hedonistis

Bila di dalam teori kognitif sangat ditekankan soal rasio dan kehendak, di

dalam teori hedonistis hal itu justru tidak dihiraukan. Teori ini mengatakan bahwa

segala perbuatan manusia, baik disadari maupun tidak baik itu timbul dari

kekuatan luar maupun dari kekuatan dalam, pada dasarnya mempunyai tujuan

tunggal yaitu mencari hal-hal yang menyenangkan dan menghindari hal-hal yang

menyakitkan.

Di dalam teori ini tingkah laku seseorang itu dapat dibedakan menjadi dua,

yaitu tingkah laku mendekati rangsangan yang dirasa akan membawa kenikmatan

dan tingkah laku menjauhi rangsang yang dirasa akan membawa rasa tidak enak.

Unsur pokok motivasi adalah antisipasi. Teori hedonistis ini menggunakan

“affective arousal model” yang intinya mengatakan bahwa setiap rangsang pada

Page 32: PERILAKU THAHARAH (BERSUCI) MASYARAKAT BUKIT …

24

hakikatnya telah membawa keadaan yang menimbulkan rasa enak atau tidak

enak.25

3) Teori Insting

Setiap orang telah membawa “kekuatan biologis” sejak lahirnya. Kekuatan

biologis ini membawa seseorang bertindak menurut cara tertentu. Demikianlah

dasar pemikiran naluri. Kekuatan naluriah yang seolah-olah memaksa seseorang

untuk berbuat dengan cara tertentu, untuk mengadakan pendekatan kepada

rangsang dengan jalan tertentu. Kesadaran nurani, disebut dengan nilai-nilai

batiniyah dan sikap-sikap yang terkait, pemahaman mengenai apa yang sah dan

yang tidak dan apa yang layak dan tidak pantas dipatuhi.26

4) Teori Keseimbangan

Teori keseimbangan (homeostasis) berpendapat bahwa tingkah laku manusia

terjadi karena adanya ketidakseimbangan di dalam diri manusia. Teori ini sangat

erat hubungannya dengan teori dorongan yang akan dibahas kemudian. Bila digali

lebih jauh teori keseimbangan ini menghasilkan dua bentuk tingkah laku yaitu

tingkah laku mendekat untuk mencari keseimbangan, dan tingkah laku menjauh

untuk menghindari terjadinya keadaan tidak seimbang. Misalnya seorang yang

terkena panas sinar matahari, akan pergi ketempat teduh untuk menghindari

25

Martin Handoko, Motivasi Daya Penggerak Tingkah laku, h. 12

26

Lawrence M Friedmann. Sistem Hukum Perspektif Ilmu Sosial, Penerjemah M. Khozim

(Bandung: Nusa Media.2009), h.80

Page 33: PERILAKU THAHARAH (BERSUCI) MASYARAKAT BUKIT …

25

panasnya matahari, (menjauh), tetapi sekaligus mencari keseimbangan baru

(mendekat).

5). Teori Dorongan

Teori dorongan ini diperkenalkan oleh Robert Woodworth pada tahun 1918.

Pada waktu itu Woodworth mengartikan dorongan sebagai suatu tenaga dari

dalam diri kita yang menyebabkan kita berbuat sesuatu. Oleh karena itu kata

motif juga mempunyai arti dorongan yang menimbulkan dan mengarahkan

tingkah laku manusia.

Pada penjelasan di atas, proses terjadinya tingkah laku, dan juga peran motif

di dalam menggerakkan tingkah laku manusia, secara singkat dapat dikatakan bahwa

kejadian tingkah laku dapat disebabkan oleh adanya kebutuhan yang dirasakan oleh

individu. Individu bertingkah laku, karena dia ingin memuaskan kebutuhan yang

dirasakannya. Kebutuhan yang dirasakan individu ditimbulkan oleh suatu dorongan

tertentu, dan kebutuhan yang terdapat dalam diri individu tersebut menimbulkan

motif untuk berbuat memenuhi kebutuhan. Motif diarahkan pada suatu tujuan konkrit

yang diduga dapat memuaskan kebutuhan yang dirasakan, maka individu berbuat

sesuatu untuk mencapai tujuan konkrit itu. Dengan demikian dapatlah dibuat skema

proses terjadinya tingkah laku27

.

27

Martin Handoko, Motivasi Daya Penggerak Tingkah laku, h. 51

Page 34: PERILAKU THAHARAH (BERSUCI) MASYARAKAT BUKIT …

26

Diagram: Skema Alur Prilaku

2. Kesadaran Hukum

Kesadaran artinya keadaan ikhlas yang muncul dari hati nurani dalam

mengakui dan mengamalkan sesuatu sesuai dengan tuntunan yang terdapat di

dalamnya. Kesadaran hukum artinya tindakan dan perasaan yang tumbuh dari hati

nurani dan jiwa yang terdalam dari manusia sebagai individu atau masyarakat untuk

melaksanakan pesan-pesan yang terdapat dalam hukum. Kesadaran hukum dapat

diartikan sebagai proses imanasi normatif, yakni kesatuan transendental antara

kehidupan manusia yang isoterik dengan peraturan dan hukum yang membawa

kehidupan pribadi dan sosialnya.28

Banyak ahli sosiologi memberikan definisi tentang kesadaran dan definisi

merekapun cukup beragam, umpamanya yang dikemukakan oleh AW.Widjaja.29

Dia

menjelaskan bahwa kesadaran dapat berjalan seimbang, selaras dan serasi dan sesuai

dengan kebutuhan dalam kehidupan manusia dan masyarakat jika peraturan tersebut

sesuai dengan kaedah-kaedah yang berlaku di masyarakat. Dalam buku Kesadaran

28

Beni Ahmad Saebani, Sosiologi Hukum, (Bandung: Putaka Setia, 2007), h, 197

29

AW. Widjaja, Kesadaran Hukum Manusia dan Masyarakat Pancasila, (Jakarta:CV. Era

Swasta, 1984), h. 52

DORONGAN

KEBUTUHAN

MOTIF PERBUATAN TUJUAN

MOTIVASI

Page 35: PERILAKU THAHARAH (BERSUCI) MASYARAKAT BUKIT …

27

Hukum Manusia dan Masyarakat Pancasila ini terdapat dua penjelasan kesadaran,

yaitu:

a. Kesadaran kehendak yang berupa tindakan, perbuatan, sikap dan perilaku

manusia yang bersifat rohaniah dan batiniah yang bersumber pada adat,

kebiasaan berupa kesadaran moral dan etika dan tanggung jawab.

b. Kesadaran hukum berupa tindakan, perbuatan, sikap dan perilaku manusia

sebagai anggota masyarakat bersifat jasmaniah/ lahiriah yang bersumber pada

ketentuan dan peraturan berupa kesadaran hukum disertai dengan tanggung

jawab.

Oleh karena itu, baik kesadaran kehendak (dinamis) dan kesadaran hukum

(statis) itu bersifat manusiawi, tidak sebagai robot yang selalu dipaksakan.30

Adapun

yang dimaksud dengan kesadaran hukum juga mempunyai arti keadaan masyarakat

yang tahu, mengerti dan merasa akan perintah-perintah dan larangan-larangan hukum,

dan mau meninggalkan larangan tersebut dengan tanpa adanya paksaan atau tekanan,

baik fisik maupun psikis, dan dari manapun datangnya31

.

Terdapat empat indikator kesadaran hukum, yang masing-masing merupakan

satu tahapan bagi tahapan berikutnya.32

Yaitu:

30

AW. Widjaja, Kesadaran Hukum Manusia dan Masyarakat Pancasila, h.16.

31

Ahmad Manshur Noor, Peranan Moral Dalam Membina Kesadaran Hukum. (Jakarta:

Proyek Pembinaan Kemahasiswaan, 1985), h. 1.

32

Otje Salman, Kesadaran Hukum Masyarakat Terhadap Hukum Waris, (Bandung: Alumni,

1993), h.40.

Page 36: PERILAKU THAHARAH (BERSUCI) MASYARAKAT BUKIT …

28

1) Pengetahuan hukum merupakan pengetahuan seseorang mengenai beberapa

perilaku tertentu yang diatur oleh hukum. Maksud disini adalah pengetahuan

seseorang terhadap hukum tertulis dan hukum yang tidak tertulis, serta

menyangkut perilaku yang dilarang oleh hukum atau perilaku yang

diperbolehkan oleh hukum.

2) Pemahaman hukum dalam arti di sini adalah sejumlah informasi yang

dimiliki seseorang mengenai isi peraturan dari suatu hukum tertentu. Artinya

seseorang warga masyarakat mempunyai pengetahuan dan pemahaman

mengenai aturan-aturan tertentu, terutama dalam segi isinya. Pengetahuan

hukum dan kesadaran/ketaatan hukum, secara teoritis bukan merupakan dua

indikator saling bergantung, akan tetapi seseorang yang berperilaku sesuai

dengan aturan norma mungkin tidak menyadari apakah perilaku tersebut

sesuai dengan pengetahuan hukum atau tidak.

3) Sikap terhadap peraturan hukum adalah suatu kecenderungan untuk menerima

hukum karena adanya suatu penghargaan terhadap hukum sebagai sesuatu

yang dimanfaatkan atau yang menguntungkan jika hukum itu ditaati. Artinya

seseorang mempunyai kecenderungan untuk mengadakan penilaian tertentu

terhadap hukum yang ditaati.

4) Pola perilaku hukum merupakan hal yang utama dalam kesadaran hukum,

karena di sini dapat dilihat apakah suatu peraturan berlaku atau tidak dalam

masyarakat. Dengan demikian sampai sejauh mana kesadaran hukum dalam

masyarakat dapat dilihat dari pola perilaku hukum suatu masyarakat.

Page 37: PERILAKU THAHARAH (BERSUCI) MASYARAKAT BUKIT …

29

3. Kepatuhan dan Ketaatan terhadap Hukum

Kesadaran hukum berkaitan dengan kepatuhan hukum. Hal yang

membedakannya yaitu dalam kepatuhan hukum ada rasa takut akan sanksi. Hal ini

merupakan perumusan dari kalangan hukum mengenai penilaian tersebut, yang telah

dilakukan secara ilmiah, nilai nilai yang terdapat dalam manusia tentang hukum yang

ada atau tentang hukum yang diharapkan ada. Indikator kesadaran hukum adalah

pengetahuan hukum, pemahaman hukum dan sikap hukum. Adapun pola perilaku

hukum adalah kepatuhan. Ada sanksi positif dan negatif. Ketaatan merupakan

variabel tergantung. Ketaatan hukum tersebut didasarkan kepada kepuasan diperoleh

dengan dukungan sosial. Ada beberapa faktor yang menyebabkan masyarakat

mematuhi hukum.33

Yaitu:

a. Compliance: kepatuhan yang didasarkan pada harapan akan suatu imbalan dan

usaha untuk menghidarkan diri dari hukuman yang mungkin dikenakan

apabila seseorang melanggar ketentuan hukum. Adanya pengawasan yang

ketat terhadap kaidah hukum tersebut.

b. Identification: terjadi bila kepatuhan terhadap kaidah hukum ada bukan karena

nilai intrinsiknya, akan tetapi agar keanggotaan kelompok tetap terjaga serta

ada hubungan baik dengn mereka yang diberi wewenang untuk menerapkan

kaidah kaidah hukum tersebut.

33

Soerjono Soekanto, Hukum Adat Indonesia, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003), h,

328

Page 38: PERILAKU THAHARAH (BERSUCI) MASYARAKAT BUKIT …

30

c. Internalization: Seseorang mematuhi kaidah kaidah hukum dikarenakan

secara intrinsik kepatuhan tadi mempunyai imbalan. Isinya sesuai dengan nilai

nilainya dari pribadi yang bersangkutan. Dan kepentingan kepentingan para

warga yang terjamin oleh wadah hukum yang ada.

4. Budaya Hukum

Membicarakan mengenai perilaku hukum dan budaya hukum tentu tidak dapat

menghindarkan diri dari pembicaraan tentang sistem hukum, karena perilaku dan

budaya hukum keduanya merupakan unsur dari sistem hukum. Sementara itu L.M.

Friedmann34

mengungkapkan tiga komponen dari sistem hukum. Ketiga komponen

dimaksud adalah: struktur, substansi, dan kultur atau budaya.

Dalam hal ini akan dijelaskan mengenai kultur atau budaya hukum, yaitu

sikap manusia terhadap hukum dan sistem hukum, kepercayaan, nilai, pemikiran,

serta harapannya. Budaya hukum ini pun dimaknai sebagai suasana pikiran sosial dan

kekuatan sosial yang menentukan bagaimana hukum digunakan, dihindari, atau

disalahgunakan. Selanjutnya Friedmann merumuskan budaya hukum sebagai sikap-

sikap dan nilai-nilai yang ada hubungan dengan hukum dan sistem hukum.35

Berikut

sikap-sikap dan nilai-nilai yang memberikan pengaruh baik positif maupun negatif

kepada tingkah laku yang berkaitan dengan hukum. Demikian juga kesenangan atau

ketidak senangan untuk berperkara adalah bagian dari budaya hukum.

34

Lawrence M Friedmann. Sistem Hukum Perspektif Ilmu Sosial, h. 17

35

Lawrence M Friedmann. Sistem Hukum Perspektif Ilmu Sosial, h. 18

Page 39: PERILAKU THAHARAH (BERSUCI) MASYARAKAT BUKIT …

31

Oleh karena itu, apa yang disebut dengan budaya hukum itu tidak lain dari

keseluruhan faktor yang menentukan bagaimana sistem hukum memperoleh

tempatnya yang logis dalam kerangka budaya milik masyarakat umum. Maka secara

singkat dapat dikatakan bahwa hal yang disebut budaya hukum adalah keseluruhan

sikap dari warga masyarakat dan sistem nilai yang ada dalam masyarakat yang akan

menentukan bagaimana seharusnya hukum itu berlaku dalam masyarakat yang

bersangkutan. Friedmann juga membedakan budaya hukum menjadi external and

internal legal culture. Esmi Warassih Pujirahayu36

mengelaborasi hal ini lebih lanjut

yaitu bahwa, budaya hukum seorang hakim (internal legal culture) akan berbeda

dengan budaya hukum masyarakat (external legal culture). Bahkan perbedaan

pendidikan, jenis kelamin, suku, kebangsaan, pendapatan, dan lain-lain dapat

merupakan faktor yang mempengaruhi budaya hukum seseorang.

Budaya hukum merupakan kunci untuk memahami perbedaan-perbedaan yang

terdapat di dalam sistem hukum yang lain. Selanjutnya dikemukakan bahwa,

“penerapan suatu sistem hukum yang tidak berasal atau ditumbuhkan dari kandungan

masyarakat merupakan masalah, khususnya di negara-negara yang sedang berubah

karena terjadi ketidakcocokan antara nilai-nilai yang menjadi pendukung sistem

hukum dari negara lain dengan nilai yang dihayati oleh anggota masyarakat itu

sendiri”.

36 Esmi Warassih, Pemberdayaan Masyarakat dalam Mewujudkan Tujuan Hukum (Proses

Penegakan Hukum dan Persoalan Keadilan); Pidato Pengukuhan Guru Besar. Fakultas Hukum

UNDIP Semarang, 2001,. h, 11

Page 40: PERILAKU THAHARAH (BERSUCI) MASYARAKAT BUKIT …

32

BAB III

KOMUNITAS DESA BUKIT KEMUNING KABUPATEN LAMPUNG UTARA

A. Letak Geografis

Secara Georgrafis Kelurahan Bukit Kemuning merupakan bagian dari wilayah

Kecamatan Bukit Kemuning Lampung Utara yang terletak di jalur lintas Sumatera

dengan posisi 1400

bujur Timur dan 4450

lintang Selatan. Luas wilayah + 17.000

hektare, dengan batas-batas:

o Sebelah Utara berbatasan dengan wilayah Desa Muara Aman

o Sebelah Timur berbatasan dengan wilayah Desa Sukamenanti

o Sebelah Selatan berbatasan dengan wilayah Desa Tanjung baru Timur

o Sebelah Barat berbatasan dengan wilayah Kabupaten Way Kanan

Penduduk Desa Bukit Kemuning terdiri dari berbagai macam suku yaitu Suku

Semendo, Ogan, Jawa, Sunda, Padang, Lampung dan Batak. Mata pencarian

penduduk mayoritas pada sektor pertanian dan perdagangan. Secara topografis,

wilayah Kelurahan Bukit Kemuning sebagian besar daerahnya merupakan daerah

tinggi. Iklim Kelurahan Bukit Kemuning dapat dikategorikan iklim sejuk.1

Adapun luas wilayah Kecamatan Bukit Kemuning terbagi dalam 14

lingkungan dengan masing-masing luas wilayah Kelurahan Bukit Kemuning sebagai

berikut:

1 Buku Monografi Kecamatan Bukit Kemuning, 2005, h. 5

Page 41: PERILAKU THAHARAH (BERSUCI) MASYARAKAT BUKIT …

33

Tabel 3.1

Luas wilayah berdasarkan lingkungan kelurahan

Sumber: Data Lapangan 2010

B. Keadaan Demografis Kelurahan Bukit Kemuning

Berdasarkan data monografis kelurahan Bukit Kemuning bulan Juni 2010

tercatat ada 18.129 jiwa yang mendiami kelurahan Bukit Kemuning dengan

persentase antara jenis kelamin laki-laki dan perempuan relatif seimbang.

No Lingkungan Luas wilayah

1 Luas wilayah I 1.57 KM2

2 Luas wilayah II 1.48 KM2

3 Luas wilayah III 1.37 KM2

4 Luas wilayah IV 1.19 KM2

5 Luas wilayah V 1.05 KM2

6 Luas wilayah VI 1.26 KM2

7 Luas wilayah VII 1.05 KM2

8 Luas wilayah VIII 0.98 KM2

9 Luas wilayah IX 1.06 KM2

10 Luas wilayah X 1.15 KM2

11 Luas wilayah XI 1.07 KM2

12 Luas wilayah XII 1.68 KM2

13 Luas wilayah XIII 1.47 KM2

14 Luas wilayah XIV 0.52 KM2

JUMLAH 17.0 KM2

Page 42: PERILAKU THAHARAH (BERSUCI) MASYARAKAT BUKIT …

34

Kelurahan Bukit Kemuning mempunyai jumlah penduduk per tahun 2010

sebanyak 18.129 jiwa. Jumlah penduduk laki-laki 9.163 jiwa dan perempuan 8.966

jiwa. Jumlah kepala keluarga (KK) 4.157 KK dengan perincian data sebagai berikut:

Tabel 3.2

Jumlah penduduk berdasarkan KK

NO Lingkungan KK Jumlah Jiwa

Laki-laki Perempuan Jumlah

1 I 338 827 780 1.607

2 II 452 903 901 1.804

3 III 433 905 894 1.799

4 IV 362 862 829 1.691

5 V 261 738 728 1.466

6 VI 469 935 953 1.888

7 VII 325 773 782 1.555

8 VIII 443 928 925 1.853

9 IX 246 699 680 1.379

10 X 167 397 382 779

11 XI 133 259 254 513

12 XII 141 277 258 535

13 XIII 223 362 346 708

14 XIV 164 298 254 552

Jumlah 4.157 9.163 8.966 18.129

Sumber Laporan : Kelurahan Bukit Kemuning Tahun 2010

Page 43: PERILAKU THAHARAH (BERSUCI) MASYARAKAT BUKIT …

35

Berikut ini adalah tabel data mengenai jumlah jiwa berdasarkan klasifikasi

usia, yaitu:

Table 3.3

Jumlah Penduduk Berdasarkan Struktur Usia

No Klasifikasi Usia Jumlah Jiwa %

1 0-4 1.707 9

2 5-9 1.693 9

3 10-14 1.617 9

4 15-19 2.026 11

5 20-24 1.922 11

6 25-29 2.394 13

7 30-39 2.699 15

8 40-49 2.363 13

9 50-59 1.132 6

10 60+ 576 3

Jumlah 18.129 100

Sumber: Data Lapangan 2010

C. Keadaan Sosiologis

Masyarakat (warga) yang mendiami Kelurahan Bukit Kemuning, umumnya,

adalah masyarakat transmigran seperti halnya masyarakat kota yang heterogen yang

mana didalamnya terdiri dari berbagai macam suku. Suku yang mayoritas

mendomisili adalah Suku Sunda mereka berasal dari daerah Jawa Barat dan Suku

Semendo berasal dari daerah Sumatra Selatan. Adapun suku-suku yang minoritas

Page 44: PERILAKU THAHARAH (BERSUCI) MASYARAKAT BUKIT …

36

adalah Ogan, Jawa, Padang, Lampung dan Batak. Kesukuan yang beragam tetap

menjadikan faktor utama yang menyediakan pola hidup masyarakat di Kelurahan

Bukit Kemuning dalam lingkungan kebersamaan, aman, damai, dan dapat

menghilangkan perbedaan. Berikut penjelasan keadaan sosiologis Kelurahan Bukit

Kemuning:

1. Bidang Keagamaan

Masyarakat Kelurahan Bukit Kemuning mayoritas beragama Islam.

Agama Islam menjadi nilai-nilai tersendiri dalam tata kehidupan bermasyarakat,

yang mana dengan agama akan terasa lebih mudah untuk mencapai suatu

keinginan bersama. Sebab agama menjadi faktor pemersatu masyarakat dalam

kegiatan-kegiatan sosial. Adapun jumlah penduduk Kelurahan Bukit Kemuning

yang beragama Islam sebanyak 18129 jiwa dan pemeluk agama lain yang ada di

Kelurahan Bukit Kemuning di antaranya Kristen 64 jiwa, agama Hindu 2 jiwa,

dan agama Budha berjumlah 23 jiwa.

Tabel 3.4

Jumlah Penduduk menurut Agama

No Agama Jiwa

1 Islam 18.040

2 Kristen 64

3 Hindu 2

4 Budha 23

5 Aliran Kepercayaan lainya -

Jumlah 18.129

Sumber : Monografi 2010.

Page 45: PERILAKU THAHARAH (BERSUCI) MASYARAKAT BUKIT …

37

Adapun dalam ibadah dibutuhkan yang namanya tempat/sarana ibadah

agar terjalinnya suatu masyarakat yang dinamis. Sarana peribadatan bagi

masyarakat setempat cukup memadai. Terdapat Masjid 19 buah dan mushalla 15

buah. Sedangkan bagi mereka yang beragama lain selain Islam tidak memiliki

tempat ibadah dan mereka melakukan peribadatannya di rumah mereka sendiri.

Sarana tempat ibadah di Bukit Kemuning dapat dilihat di tabel berikut:

Tabel 3.5

Jumlah sarana pribadatan

No Sarana kepribadatan Jumlah

1 Masjid 19

2 Mushalla 15

3 Gereja -

4 Vihara -

5 Pura -

Sumber : Monografi 2010

Adapun tempat/sarana ibadah untuk agama Kristen yang disebut dengan

gereja itu terdapat satu tempat. Sebagai gantinya, ada satu rumah kosong yang

dijadikan tempat berkumpulnya kelompok penganut agama Kristen. Kelompok

penganut agama Kristen menganggap rumah itu gereja. Namun, di

pemerintahan daerah, tempat tersebut tidak diakui atau disebut ilegal.

Berbeda halnya dengan sarana agama Kristen, agama Islam memiliki

tempat yang begitu memadai. Namun, uniknya tempat ibadah atau masjid yang

Page 46: PERILAKU THAHARAH (BERSUCI) MASYARAKAT BUKIT …

38

berada di lingkungan masyarakat Bukit Kemuning tergolong berkelompok-

kelompok. Dikatakan berkelompok, mengingat bahwa masyarakat Bukit

Kemuning adalah masyarakat transmigran yang di dalamnya terdapat berbagai

macam suku.2

Masjid merupakan tempat ibadah, tempat masyarakat berbagi dalam

ilmu agama dan tempat perkumpulan pengajian-pengajian. Ini menunjukkan

bahwa masjid merupakan salah satu tempat perkumpulan umat Islam. Bedanya

di daerah Bukit Kemuning ini, terlaksananya kegiatan yang ada di masjid

tergantung kepada lingkungan rumah yang berada di sekitarnya.

2. Bidang Pendidikan

Masyarakat di Kelurahan Bukit Kemuning pada umumnya

berpendidikan sekolah dasar (SD), SLTP, SLTA dan Perguruan Tinggi. Namun

ada juga masyarakat yang tidak mengenyam bangku pendidikan, yakni,

sebanyak 1832 jiwa. Ini menunjukkan bahwa terdapat bermacam ragam

pendidikan di masyarakat Bukit Kemuning. Hal ini dapat dilihat di tabel 3.6

sebagai berikut:

2 Wawancara pribadi dengan aparat desa senen, 4 Oktober 2010

Page 47: PERILAKU THAHARAH (BERSUCI) MASYARAKAT BUKIT …

39

Tabel 3.6

Jumlah jiwa berdasarkan tingkat pendidikan

No Tingkat Pendidikan Jiwa

1 Tidak sekolah 1.832

2 Taman kanak-kanak 2.930

3 SD/Sederajat 5.102

4 SMP/MTS 4.420

5 SMA/MA 3.531

6 D3 219

7 S1 95

Sumber : Monografi 2010.

Berdasarkan tabel di atas mayoritas masyarakat Bukit Kemuning

mengenyam bangku pendidikan. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat Bukit

Kemuning sudah memilki perhatian yang cukup baik terhadap pendidikan.

Tingkat pendidikan masyarakat berpengaruh pada keilmuan yang

mereka dapatkan, yakni keterkaitan ilmu keagamaan dalam memahami ilmu-

ilmi fiqh khususnya di bidang thaharah. Contoh masyarakrat yang bersekolah di

tingkat SMP mereka dalam memahami ilmu agama masih kurang baik. Berbeda

dengan masyarakat yang mendapat pendidikan agama seperti di sekolah MTs

dan MA.

Dalam hal tingkat pendidikan, dan adanya kegiatan belajar mengajar ini

disukseskan dengan adanya sarana pendidikan yang memadai dengan kualitas

yang cukup baik. Adapun sarana pendidikan tersebut adalah:

Page 48: PERILAKU THAHARAH (BERSUCI) MASYARAKAT BUKIT …

40

Tabel. 3.7

Jumlah sarana pendidikan

No Sarana pendidikan Jumlah

1 SD 10

2 Ibtidaiyah 3

3 SMP 2

4 MTs 2

5 SMA 1

6 MA 2

7 STAI 1

Jumlah 17

Sumber: data monografi 2010

Berdasarkan tabel di atas, sarana pendidikan di daerah ini cukup

memadai. Adapun untuk pendidikan keagaman di wilayah Kecamatan Bukit

Kemuning di samping madrasah-madrasah juga terdapat satu pondok pesantren

dan majlis ta’lim sebanyak 6 buah. Selain itu, banyak dilaksanakan pengajian-

pengajian setiap minggu.

Page 49: PERILAKU THAHARAH (BERSUCI) MASYARAKAT BUKIT …

41

BAB IV

ANALISIS SOSIOLOGIS TERHADAP PERILAKU THAHARAH

MASYARAKAT BUKIT KEMUNING

A. Identitas Sumber Data

Data penelitian dalam skripsi ini didasarkan pada hasil wawancara dengan 25

narasumber, yang terdiri dari 23 orang dari masing-masing keluarga yang terpilih

menjadi narasumber, dan 2 orang tokoh agama. Data yang diperoleh penulis

berdasarkan narasumber yang ada pada Kelurahan Bukit Kemuning, yang secara

langsung diberikan oleh pihak kelurahan setempat.

Pada bagian pertama ini, terlebih dahulu penulis kemukakan mengenai

identitas sumber data yang terdiri dari usia, pendidikan (tingkat pendidikan dan jenis

pendidikan), pengetahuan agama dan peran sosial keagamaan. Pengetahuan tentang

identitas sumber data diharapkan dapat menjadi satu bahan pertimbangan dalam

membuat kesimpulan nanti karena pengetahuan identitas sumber data dapat

mempermudah penulis dalam menganalisis permasalahan yang terjadi. Misalnya:

pendidikan akan berpengaruh terhadap pemahaman narasumber mengenai pemaknaan

dan peralaksanaan tentang thaharah.

1. Data narasumber berdasarkan usia.

Faktor usia dapat menentukan pola fikir dan skala kematangan seseorang

dalam berfikir dan mengambil sikap. Oleh karena itu, menjadi penting untuk

Page 50: PERILAKU THAHARAH (BERSUCI) MASYARAKAT BUKIT …

42

diketahui usia narasumber. Pemahaman mengenai thaharah mereka bisa diperoleh

melalui pendidikan formal keagamaan, kebiasaan yang mereka lakukan dalam

bersuci, juga dari pemahaman yang berkembang di lingkungannya. Pengalaman

mereka dalam pelaksanaan thaharah bisa didapat dari proses melihat dan meniru, atau

dari pengetahuan mengenai aturan yang ada pada kitab fiqih.

Berikut ini adalah tabel distribusi narasumber berdasarkan usia.

Tabel 4.1

No Usia f %

1 15-25 Tahun 3 12

2 26-35 Tahun 10 40

3 36-50 Tahun 8 32

4 Diatas 50 Tahun 4 16

Jumlah 25 100

Sumber: Diolah dari data lapangan tahun 2010

Dari tabel di atas terlihat bahwa usia narasumber beragam. Namun demikian,

umumnya yang menjadi narasumber adalah antara usia 26 – 50 tahun.

2. Data narasumber berdasarkan latar belakang pendidikan

Jenis pendidikan dapat menentukan pada pemahaman seseorang mengenai

wawasan, pengetahuan dan keilmuan yang dimilikinya. Masyarakat yang

mendapatkan pendidikan umum yang formal, mendapatkan pembelajaran mengenai

thaharah tidak secara mendetail. Pengalaman ini berbeda dengan masyarakat yang

Page 51: PERILAKU THAHARAH (BERSUCI) MASYARAKAT BUKIT …

43

mendapatkan pendidikan agama, dimana mereka mempelajari thaharah secara lebih

mendetail. Keragaman pengalaman pendidikan memberikan pemaknaan thaharah

yang berbeda. Jenis pendidikan ini juga berpengaruh pada pola perilaku narasumber

dalam bersuci atau tata cara dalam membersihkan najis. Orang yang pernah

mempelajari dan mengikuti pendidikan agama akan lebih memahami mengenai

hukum dan tata cara pelaksanaan thaharah dibandingkan dengan orang yang tidak

pernah mengikuti pendidikan agama.

Berikut ini adalah tabel distribusi narasumber berdasarkan latar belakang pendidikan.

Tabel 4.2.

Distribusi narasumber Berdasarkan Pendidikan (jenis pendidikan)

No Jenis Pendidikan f %

1 Agama 6 24

2 Umum 19 76

Jumalah 25 100

Sumber: diolah dari data Lapangan tahun 2010

Berdasarkan tabel di atas, mayoritas narasumber mempunyai latar belakang

pendidikan umum sehingga hal ini tentunya akan berpengaruh pada tingkat

pemahaman mengenai thaharah. Orang yang tidak memiliki latar belakang

pendidikan keagamaan cenderung tidak memahami makna dan tata cara thaharah.

Page 52: PERILAKU THAHARAH (BERSUCI) MASYARAKAT BUKIT …

44

3. Data narasumber berdasarkan tingkat pendidikan.

Tingkat pendidikan memiliki pengaruh yang signifikan dalam proses

penalaran suatu fenomena keilmuan sebagaimana diuraikan dalam teori kognitif

bahwa tingkah laku manusia semata-mata ditentukan oleh kemampuan berfikirnya.

Makin inteligen dan berpendidikan, seseorang otomatis akan semakin baik

perbuatan-perbuatannya, dan dia secara sadar pula melakukan perbuatan-perbuatan

untuk mematuhi keinginan/kebutuhan tersebut. Penalaran ini akan berpengaruh

terhadap pemaknaan sebuah fenomena, yang dalam hal ini thaharah.

Orang dengan tingkat pendidikan yang rendah cenderung akan memaknai

thaharah lebih sederhana, pemaknaan tersebut bisa diperoleh dari proses meniru dari

orang tua atau orang-orang sekitarnya. Tetapi makin tinggi tingkat pendidikannya

maka makin kompleks pula pemahamannya tentang thaharah, karena proses

pembelajarannya tidak hanya dari proses melihat dan meniru, tetapi juga dari proses

pembelajaran secara formal atau khusus sehingga pemaknaan thaharah akan lebih

sesuai dengan apa yang dijelaskan di kitab-kitab fiqih. Berikut ini adalah tabel

distribusi narasumber berdasarkan tingkat pendidikan.

Page 53: PERILAKU THAHARAH (BERSUCI) MASYARAKAT BUKIT …

45

Tabel 4.3

Distribusi narasumber berdasarkan pendidikan (tingkat pendidikan)

No Tingkat pendidikan f %

1 SD/MI 8 32

2 SMP/MTS 5 20

3 SMA 6 24

4 Aliyah 3 12

5 S1 3 12

Jumlah 25 100

Sumber: diolah dari data lapangan 2010

Berdasarkan tabel di atas, dapat dilihat tingkat pendidikan narasumber yang

diwawancarai. Mayoritas narasumber hanya mengenyam pendidikan sampai bangku

Sekolah Dasar (SD).

Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa pendidikan narasumber dominan

dari pendidikan umum, dengan tingkat pendidikan yang dominan yaitu pendidikan

dasar (SD). Hal ini akan berpengaruh pada pemahaman masyarakat tentang thaharah

yang akan di bahas dalam sub bab berikutnya.

4. Data narasumber berdasarkan pengetahuan agama

Pengetahuan masyarakat dalam hal agama yakni pengetahuan yang diperoleh

dari mengikuti pendidikan keagamaan melalui pengajian rutin di surau, majelis

taklim, masjid, pengajian umum mengenai thaharah dan pendidikan agama cepat

Page 54: PERILAKU THAHARAH (BERSUCI) MASYARAKAT BUKIT …

46

seperti pesantren kilat. Pengetahuan agama ini akan berpengaruh terhadap

pengetahuan narasumber mengenai thaharah secara keilmuan. Sehingga narasumber

mampu memahami dengan baik istilah serta makna thaharah.

Berikut ini adalah tabel distribusi narasumber berdasarkan pengetahuan

agama:

Tabel 4.4

No Pengetahuan Agama f %

1 Ya 10 40

2 Tidak 15 60

Jumlah 25 100

Sumber: Diolah dari data lapangan 2010

Mengenai pengetahuan agama narasumber yang pernah mengikuti pendidikan

agama secara khusus, yaitu sebanyak 10 narasumber, sedangkan sebanyak 15

narasumber atau 60%, tidak memiliki pengalaman atau tidak pernah mengikuti

pendidikan agama secara khusus.

5. Narasumber berdasarkan peran sosial di masyarakat.

Peran narasumber dalam masyarakat dapat berpengaruh dalam tingkat

pemahaman mengenai thaharah. Peran sosial di sini terbagi pada dua kategori yaitu,

kelompok masyarakat biasa dan kelompok tokoh agama. Kelompok masyarakat biasa

adalah masyarakat yang awam terhadap ilmu agama. Sedangkan tokoh agama adalah

masyarakat yang dijadikan panutan oleh warga masyarakat lainnya dalam bidang

Page 55: PERILAKU THAHARAH (BERSUCI) MASYARAKAT BUKIT …

47

keagamaan. Peran kedua kelompok masyarakat ini akan berpengaruh pada pola

perilaku bersuci, pemahaman istilah, makna serta urgensi thaharah dalam pandangan

mereka. Kelompok masyarakat biasa pemahamannya terhadap thaharah diyakini

cenderung lebih sederhana, sebatas pengetahuan mengenai fungsi thaharah sebagai

syarat dalam melakukan ibadah. Hal ini dimungkinkan karena dalam kesehariannya

mereka tidak berkecimpung dalam masalah keagamaan secara intensif dalam

lingkungan bermasyarakat.

Berbeda dengan kelompok masyarakat biasa, tokoh agama memahami

thaharah lebih sesuai dengan literatur fiqih. Hal ini dimungkinkan karena tokoh

agama dalam kesehariannya mereka berkecimpung secara intensif dalam hal

keagamaan di lingkungan masyarakat bahkan terkadang mereka menjadi tempat

rujukan untuk bertanya seputar masalah keagamaan sehingga mereka harus mampu

memiliki pemahaman yang lebih baik dari masyarakat biasa. Lebih jelasnya akan

tergambar dalam analisis yang akan dibahas pada sub bab berikutnya.

Berikut ini adalah tabel distribusi narasumber berdasarkan peran sosial di

masyarakat

Tabel 4.5

No Peran sosial f %

1 Biasa 23 92

2 Tokoh agama 2 8

Jumlah 25 100

Sumber: diolah dari data lapangan tahun 2010

Page 56: PERILAKU THAHARAH (BERSUCI) MASYARAKAT BUKIT …

48

Berdasarkan tabel di atas, mayoritas narasumber adalah masyarakat biasa,

sedangkan tokoh agama hanya 2 orang. Di sini penulis ingin mengetahui perilaku

thaharah masyarakat awam.

B. Pemahaman Masyarakat tentang Thaharah

Pada bagian kedua ini, penulis mendeskripsikan jawaban narasumber tentang

pemahaman mengenai thaharah. Hal ini meliputi pemaknaan istilah thaharah, faktor

yang terkait dengan pemaknaan thaharah, analisis makna menurut narasumber, dan

kebermaknaan /kegunaan thaharah dalam ibadah.

1. Pemahaman tentang istilah dan makna thaharah

Thaharah adalah aktivitas menghilangkan hadas atau najis yang menghalangi

shalat dan ibadah-ibadah sejenisnya dengan air, atau menghilangkan hukumnya

(hadas dan najis) dengan tanah. Dari pengertian tersebut dapat dilihat urgensi dari

thaharah, yaitu sebagai satu sarana atau media untuk kesahihan ibadah sebagai proses

dalam memperoleh pahala dan ridho Allah yang menjadi tujuan akhir dari ibadah.

Thaharah tidak hanya bertujuan untuk memenuhi syarat atau prosedur yang

ditetapkan dalam beribadah tetapi lebih dari itu, thaharah juga bertujuan untuk

menciptakan kebersihan, keindahan dan kenyamanan dalam hubungannya dengan

kita sebagai manusia dalam lingkungan masyarakat.

Page 57: PERILAKU THAHARAH (BERSUCI) MASYARAKAT BUKIT …

49

Secara umum, masyarakat Kelurahan Bukit Kemuning dapat dikatakan kurang

memahami konsep thaharah secara detail. Mereka lebih memahami istilah thaharah

dengan istilah bersuci. Hal ini seperti diungkapkan oleh narasumber pertama Ibu

Mediana (umur 26 tahun) yang latar belakang pendidikannya SMP dan kurang

memiliki pengetahuan agama mencoba memahami thaharah sebagai berikut:

Saya kurang memahami istilah thaharah. Tetapi saya lebih paham dengan

menggunakan istilah bersuci. Karena istilah bersuci sudah dikenalkan sejak

saya sekolah SMP oleh guru agama dan istilah thaharah juga tidak begitu

dipahami oleh masyarakat khususnya orang awam seperti saya ini.1

Pemahaman istilah bersuci lebih dikenal oleh masyarakat, karena bersuci merupakan

istilah yang dipergunakan dalam kehidupan sehari-hari. Gambaran narasumber

tentang pemahaman terhadap istilah thaharah dapat di lihat pada tabel 4.6 berikut:

Tabel 4.6

Distribusi narasumber berdasarkan pemahaman tentang thaharah

No Alternatif Jawaban f %

1 Sangat paham 4 16

2 Paham 8 32

3 Kurang paham 11 44

4 Tidak paham 2 8

Jumlah 25 100

Sumber: diolah dari data lapangan tahun 2010

Berdasarkan data yang tertera pada Tabel 4.6, dapat disimpulkan bahwa

tingkat pemahaman masyarakat mengenai istilah thaharah masih kurang. Hal ini

1 Wawancara pribadi dengan ibu Maediana, rabu 22 September 2010 pukul 15.00 WIB

Page 58: PERILAKU THAHARAH (BERSUCI) MASYARAKAT BUKIT …

50

dapat kita lihat pada data tabel 4.6 di atas, sebanyak 44% narasumber kurang

memahami istilah thaharah. Pemahaman masyarakat mengenai istilah thaharah

dipengaruhi oleh beberapa faktor, salah satunya yaitu faktor pendidikan. Pengetahuan

mengenai istilah thaharah ini didapatkan melalui proses belajar dalam pendidikan

agama secara formal, atau secara khusus pernah mengikuti pembahasan thaharah dari

pengajian atau dari pendidikan agama non-formal.

Adapun pemahaman masyarakat mengenai makna thaharah (bersuci) terdapat

perbedaan pendapat. Perbedaan tersebut dipengaruhi oleh peran masing-masing di

dalam lingkungan masyarakat. Kelompok masyarakat biasa, memaknai thaharah atau

bersuci sebagai upaya membersihkan diri dari hadats dan najis yang dapat

menghalangi dalam melakukan ibadah shalat maupun ibadah-ibadah lainnya. Dalam

pandangan mereka, thaharah dimaknai sebagai proses pemenuhan syarat untuk

beribadah.

Implikasi dari pemaknaan tersebut, banyak di antara mereka dalam tata cara

membersihkan najis tidak sesuai dengan tata cara yang disebutkan dalam kitab-kitab

fiqh. Tindakan yang dilakukan oleh masyarakat biasa ini dipengaruhi oleh

pemahaman mereka terhadap najis, serta proses sosialisasi ilmu yang didapatkan oleh

masyarakat. Kedua hal tersebut akan dibahas pada sub bab berikutnya.

Berbeda dengan kelompok masyarakat awam, kelompok kedua yaitu tokoh

agama memahami thaharah lebih mendalam. Mereka memahami thaharah tidak

Page 59: PERILAKU THAHARAH (BERSUCI) MASYARAKAT BUKIT …

51

hanya sebatas proses pemenuhan syarat formal dalam beribadah mahdhoh saja, tetapi

juga melihatnya dari aspek-aspek kebersihan, kesehatan, kesopanan dan kenyamanan

dalam sudut pandang manusia2. Seseorang dikatakan bersih tidak hanya bersih dari

kotoran yang termasuk dalam kategori najis, tetapi juga dari hal-hal yang dipandang

kotor oleh manusia. Umpamanya saja, seorang petani setelah melakukan aktivitasnya

di sawah badannya masih terlihat kotor oleh lumpur sawah kemudian dia shalat.

Secara hukum petani tersebut sah dalam melakukan ibadah shalat. Tetapi jika dilihat

dari sudut pandang kebersihan dan kesopanan manusia, maka petani tersebut harus

membersihkan semua kotoran yang melekat di badannya baik yang bersifat najis atau

tidak.

Aspek kesehatan dan kenyamanan juga penting sebagai salah satu fungsi dari

thaharah menurut kelompok agamawan, karena seperti diungkapkan dalam pepatah

“di dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang kuat”. Apabila seseorang senantiasa

menjaga kebersihan badan dan lingkungannya, maka badan dan lingkungannya

tersebut akan terpelihara juga kesehatannya. Apabila tubuh dan lingkungan seseorang

terjaga kesehatannya maka dia senantiasa memiliki jiwa yang kuat, tentunya untuk

beribadah, serta senantiasa memiliki keteraturan baik dalam beribadah maupun dalam

mejaga lingkunganya. Sehingga tercipta lingkungan yang sehat, bersih yang

implikasinya memberikan kenyamanan bagi siapapun untuk beribadah dan

bermuamalah.

2 Wawancara pribadi dengan tokoh agama, Jumat 1 Oktober 2010 pukul 14.00 WIB

Page 60: PERILAKU THAHARAH (BERSUCI) MASYARAKAT BUKIT …

52

2. Pemahaman masyarakat mengenai najis

Thaharah merupakan kegiatan yang harus diperhatikan sebelum kita

melaksanakan ibadah apapun. Tanpa berthaharah maka ibadah yang dilaksanakan

menjadi rusak atau mengurangi nilai pahala yang didapatkan. Adapun bersuci dari

najis adalah bagian dari thaharah, yakni bersihnya tubuh, pakaian, dan tempat dari

kotoran yang memiliki unsur-unsur najis baik dari sifatnya maupun dari hukumnya.

Dalam teori yang diungkapkan dalam berbagai literatur kitab fiqih, najis

diartikan sebagai kotoran yang wajib bagi semua umat islam untuk menyucikannya

dan menyucikan apa yang dikenainya. Benda yang termasuk najis seperti kencing,

faces, mazi, wadhi, muntah, darah, mani hewan selain manusia, nanah, cairan luka

yang membusuk, (ma’al-quruh), „alaqah, bangkai, khamr, anjing, babi dan anak

keduanya, susu binatang yang tidak halal dimakan dan cairan kemaluan wanita3.

Pemahaman masyarakat Bukit Kemuning dalam hal najis masih beragam, ada

yang memahami secara detail, tetapi lebih banyak yang memahaminya sekelumit

saja. Masyarakat yang memahami najis secara mendetail adalah dari kelompok tokoh

agama. Mereka memahami najis bukan hanya mengetahui jenis-jenis bendanya, tetapi

juga dari hukum-hukumnya seperti jenis najis menurut tingkatannya, serta tata cara

membersihkannya.

Tetapi lebih banyak masyarakat yang memahami najis sekelumit saja.

Kebanyakan mereka merupakan masyarakat biasa yang memang tidak berkecimpung

3 Lahmuddin Nasution, Fiqh 1 (Jakarta: Purtaka Setia, 2001) , h. .45

Page 61: PERILAKU THAHARAH (BERSUCI) MASYARAKAT BUKIT …

53

dalam masalah keagamaan. Penjelasan mengenai najis ini pun masih kurang

mendalam. Pembahasan yang mereka ungkapkan hanya sebatas jenis-jenis najis tidak

sampai pada hukum dan tata cara membersihkan yang sesuai dengan kitab fiqih.

Mereka mengetahui jenis najis sebatas pada sesuatu yang sering mereka jumpai

dalam kehidupan sehari-hari seperti yang diungkapkan oleh bapak Heru (umur 40

Tahun) yang latar belakang pendidikannya SMA yang hanya mendapatkan

pendidikan agama dibangku sekolah saja menjadi salah satu narasumber. Menurutnya

najis itu adalah segala macam kotoran seperti kencing, anjing, bangkai, darah, dan

nanah.4

Dalam pemahaman jenis najis serta tingkatannya secara umum masyarakat di

Bukit Kemuning masih belum memahaminya dengan jelas. Masih banyak di antara

mereka yang memandang suatu najis dari pemahaman sendiri dan tidak sesuai dengan

penjelasan yang ada dalam kitab-kitab fiqih, misalnya, dalam masalah najis dari

kencing bayi. Banyak di antara mereka yang memahaminya tidak sesuai dengan

penjelasan dalam kitab fiqih. Hal tersebut dapat tergambar dari pendapat beberapa

narasumber mengenai air kencing bayi sebagai berikut:

a. Kencing bayi perempuan yang masih berumur 3 bulan dan belum makan

apa-apa maka belum dihukumi najis begitu juga bayi laki-laki.5

4 Wawancara pribadi dengan bapak Heru, Jumat 24 September 2010 pukul 15.00 WIB

5 Wawancara pribadi dengan ibu Sarina (umur 26Tahun) yang latar belakang pendidikannya

SD dan mendapatkan pendidikan agama dari orang tua. Senin 4 Oktober 2010 pukul 09.00 WIB

Page 62: PERILAKU THAHARAH (BERSUCI) MASYARAKAT BUKIT …

54

b. Kencing anak bayi perempuan maupun bayi laki-laki sama saja asalkan

belum makan apa-apa selain ASI ibunya maka belum dikatakan najis6

c. Kencing bayi laki-laki berbeda dengan bayi perempuan. Kencing bayi

laki-laki termasuk najis berat (mughaladzah). Sedangkan kencing bayi

perempuan najisnya ringan (mukhafaffah)7.

d. Kencing bayi laki-laki berbeda dengan bayi perempuan. Kencing bayi

laki-laki yang berumur di bawah 2 Tahun dan belum makan apapun selain

minun Asi termasuk najis mukhaffah. Sedangkan kencing bayi perempuan

dari bayi pun sudah dikatakan najis.8

Dari keempat pendapat tersebut hanya jawaban keempat yang dapat dikatakan

sesuai dengan kitab fiqih. Kebanyakan masyarakat menjawab pada tiga jawaban

pertama. Dari hal tersebut dapat disimpulkan bahwa pemahaman masyarakat Bukit

Kemuning masih sangat kurang. Pemahaman mereka masih didasarkan atas

pengetahuan sendiri, bukan dari pemahaman literatur fiqih. Berdasarkan hasil

observasi yang penulis lakukan, maka penulis dapat menyimpulkan bahwa

keterbatasan pemahaman masyarakat Bukit Kemuning mengenai najis karena

dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu pendidikan, dan pengalaman. Serta proses

6 Wawancara pribadi dengan ibu Yuni (umur 31tahun) latar belakang pendidikannya SLTA

dan mendapatkan pendidikan agam dari sekolah, Senin 11 Oktober 2010 pukul 16.00 WIB

7 Wawancara pribadi dengan bapak Pidiyan (umur 25 Tahun) latar belakang pendidikan

MAN dan mendapatkan pendidikan agama dari sekolah. Sabtu, 2 Oktober 2010 pukul 09.00 WIB

8 Wawancara pribadi dengan ibu Linda(umur 33tahun) latar belakang pendidikan S1 dan

memiliki pengetahuan agama. Sabtu 2 Oktober 2010 pukul 14.00 WIB

Page 63: PERILAKU THAHARAH (BERSUCI) MASYARAKAT BUKIT …

55

sosialisasi dari pemahaman mereka mengenai najis, apakah pemahaman mereka ini

didapatkan melalui proses pembelajaran dari pendidikan formal atau keagamaan,

ataukah hanya dari proses melihat atau mencontoh orang tua tanpa ada penjelasan.

Pemahaman ini akan berimplikasi pada pelaksanaan thaharah yang keliru.

Hukum mengenai air kencing bayi sendiri dalam kitab-kitab fiqih dibedakan.

Air kencing bayi laki-laki berbeda dengan air kencing bayi perempuan karena

kecenderungan air kencing bayi laki-laki lebih encer dari pada air kencing

perempuan, sehingga kekuatan air kencing bayi laki-laki untuk melekat pada tempat

yang dikenainya tidak sebesar kekuatan air kencing bayi perempuan. Sehingga air

kencing bayi laki-laki dihukumi najis mukhfaffah dan cara membersihkannya cukup

dengan diperciki air. Sedangkan air kencing anak perempuan dihukumi sama seperti

air kencing orang dewasa, sehingga cara membersihkannya harus dengan dibasuh.

3. Urgensi thaharah dalam ibadah

Thaharah merupakan proses awal dari rangkaian kegiatan dalam proses

pencapaian ridho Allah. Hal yang umum dipahami di masyarakat, manifestasi dari

ridho Allah yaitu berupa surga yang telah dijanjikan-Nya. Dalam memperoleh surga

seseorang tentunya harus memiliki bekal amal baik yang cukup berupa pahala. Pahala

tersebut diperoleh melalui kegiatan ibadah yang dilakukan selama di dunia, misalnya

shalat, zakat, puasa, infak, shadaqoh dan lain sebagainya. Dalam melakukan ibadah

tentunya harus sesuai dengan rukun dan syaratnya, agar ibadah tersebut dianggap sah

dan memiliki nilai pahala. Rukun dan syarat tersebut merupakan prosedur yang harus

Page 64: PERILAKU THAHARAH (BERSUCI) MASYARAKAT BUKIT …

56

dipenuhi oleh setiap orang yang akan beribadah, dan thaharah merupakan proses awal

dari prosedur yang ditetapkan sebagai syarat dari sahnya ibadah baik shalat ataupun

ibadah lain yang disyaratkan untuk bersuci.

Dari paparan di atas dapat terlihat bahwa thaharah merupakan hal yang sangat

penting dalam pencapaian ridho Allah. Oleh karena itu, pemahaman dan pelaksanaan

thaharah harus sesuai dengan aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh para fuqaha

dalam kitab-kitab fiqh. Jika kita melaksanakan thaharah dengan sekehendak hati saja,

maka hal itu dapat merusak ibadah kita, bahkan dapat menghilangkan pahala yang

seharusnya didapatkan.

Dalam pelaksanaannya, di masyarakat Bukit Kemuning, masih banyak orang

yang memandang thaharah hanya sebagai prosesi untuk melakukan ibadah saja dan

menyucikan diri dari sudut pandang jasmaniah. Mereka tidak mengemukakan ujung

pangkal dari tujuan thaharah yaitu ridho Allah. Hal ini tergambar dalam pemaknaan

thaharah yang dibahas sebelumnya. Banyak yang memaknai thaharah hanya sebatas

membersihkan diri dari najis guna melakukan ibadah. Namum mereka sepakat bahwa

pelaksanaan thaharah memiliki posisi yang sangat penting baik dari sudut pandang

teologis maupun kemanusiaan. Hal ini terungkap dalam jawaban yang dikemukakan

oleh beberapa narasumber berikut:

Thaharah sangat bermanfaat untuk ibadah karena wajib bagi kita

berthaharah sebelum kita beribadah. Jangankan kita menghadap/

bertemu dengan Allah, ketika kita bertemu dengan orang penting saja

Page 65: PERILAKU THAHARAH (BERSUCI) MASYARAKAT BUKIT …

57

kita harus rapi dan bersih apalagi ketika kita ketemu dengan Allah

sudah pasti kita harus bersih dan suci.9

Hal senada juga, diungkapkan oleh narasumber selanjutnya. yakni, bersuci

disini sangat berfungsi sekali dalam kehidupan yaitu:

Bersuci dapat meningkatkan kesadaran manusia untuk beribadah dan

keimanan kepada Allah dan berbuat baik kepada sesama dan juga

dapat meningkatkan kesehatan jasmani dan Rohani.10

Dari jawaban tersebut tergambar masyarakat menilai bahwa thaharah

memiliki tempat yang penting dalam kehidupan sehari-hari. Thaharah dipandang

penting baik dari segi ketuhanan maupun dari segi kebersihan, kesehatan dan

kesopanan dalam kaitannya dengan penilaian dari manusia. Dalam beribadah tidak

hanya harus terpenuhi ketentuan thaharah, tetapi juga aspek pendukung yang juga

sangat penting yaitu kerapian dan kesopanan. Fungsi thaharah tidak hanya untuk

bersuci dalam pemenuhan kesahihan ibadah tetapi lebih dari itu, yaitu sebagai

pembersih diri dari hal-hal yang mengotori hati.

4. Faktor yang terkait dengan pemaknaan thaharah

Sebagaimana telah disebutkan dalam uraian sebelumnya, bahwa perbedaan

pemahaman masyarakat Bukit Kemuning mengenai thaharah atau bersuci

dipengaruhi oleh beberapa faktor, di antaranya :

9 Wawancara pribadi dengan ibu Apri (umur 23 Tahun) latar belakang pendidkan pendidikan

terakhir S1 dan memiliki pengetahuan agama, Selas, 5 Oktober 2010 pukul 17.00 WIB

10

Wawancara pribadi dengan ibu Rohani (umur 43 tahun), latar belakang pendidikan SD

dan memiliki pengetahuan agama. Minggu, 3 Oktober 2010 pukul 16.00 WIB

Page 66: PERILAKU THAHARAH (BERSUCI) MASYARAKAT BUKIT …

58

a. Pendidikan

Pendidikan merupakan proses sosialisasi nilai dari orang dewasa

terhadap anak-anak atau proses sosialisasi ilmu yang turunkan oleh orang

dewasa kepada yang belum dewasa. Ringkasnya pendidikan adalah segala

usaha orang dewasa dalam pergaulan dengan anak-anak untuk memimpin

perkembangan jasmani dan rohaninya ke arah kedewasaan. Pendidikan dalam

kaitannya dengan pembahasan thaharah ini dibedakan menurut jenis dan

tingkatannya. Jenis pendidikan menentukan proses pembelajaran mengenai

thaharah dari segi keilmuan dan tingkat pendidikan mempengaruhi proses

penalaran terhadap suatu fenomena keilmuan.

Dilihat dari jenisnya, pendidikan terbagi dalam dua kategori, yaitu

pendidikan agama dan pendidikan umum. Orang yang memiliki latar belakang

pendidikan agama cenderung lebih tepat dalam memaknai thaharah. Mereka

lebih banyak mendapatkan pembelajaran teori tentang thaharah. Pembelajaran

tersebut memiliki implikasi pada pemahaman terhadap thaharah dan

implementasinya dalam kehidupan sehari-hari. Dari segi pengertian,

pemahaman teori yang cukup membuat mereka mampu memberikan

pengertian yang lebih sesuai dengan penjelasan dalam kitab fiqih. Mereka

juga lebih memahami dari segi tujuan dan hal-hal yang berkenaan dengan

thaharah serta dari segi konsekuensi hukumnya.

Page 67: PERILAKU THAHARAH (BERSUCI) MASYARAKAT BUKIT …

59

Berbeda dengan masyarakat dengan latar belakang pendidikan agama,

masyarakat yang memiliki latar belakang pendidikan umum, memperoleh

pembelajaran teori mengenai thaharah hanya sekelumit saja. Pembelajaran

yang didapat hanya dari mata pelajaran agama islam yang diajarkan pada

sekolah tingkat dasar dan tingkat menengah. Pembelajaran yang didapatkan

hanya sebatas pengertian harfiah jenis dan macamnya saja. Hal tersebut

berpengaruh pada implementasi dari pelaksanaan thaharah yang terkadang

masih didapat dari pengalaman dari orang tua atau dari lingkungan. Sehingga

mereka memberikan pengertian dan makna thaharah sebatas dari yang pernah

dipelajarinya pada saat sekolah.

Hal ini sebagaimana disampaikan oleh ibu Hartini (umur 36 tahun)

latar belakang pendidikan SMA yang hanya mendapatkan pendidikan agama

di bangku sekolah,11

“saya kurang faham mengenai thaharah, yang saya tahu

hanya membersihkan sesuatu benda dari najis atau kotoran. Cara-cara

membersihkan benda yang terkena najis, saya dapatkan dari orang tua. Saya

melihat bagaimana orang tua saya melakukannya.”

Keterbatasan pemahaman masyarakat Bukit Kemuning mengenai

thaharah atau bersuci karena dipengaruhi oleh latar belakang pendidikan

mereka yang umumnya tidak memiliki latar belakang pendidikan agama. Hal

11

Wawancara pribadi dengan ibu Hartini Senin 4 Oktober 2010, pukul 13.00 WIB

Page 68: PERILAKU THAHARAH (BERSUCI) MASYARAKAT BUKIT …

60

ini dapat dilihat dari uraian sebelumnya yakni sebanyak 76 % narasumber

tidak memiliki latar belakang pendidikan agama.

Selain dipengaruhi oleh latar belakang pendidikan, yang umumnya

hanya memiliki latar pendidikan umum, kurangnya pemahaman mereka

mengenai thaharah atau bersuci juga dipengaruhi oleh tingkat pendidikan

yang mereka alami yang mayoritas hanya lulusan SD/MI dan SMP/MTS

yakni sebanyak 52 %.

Pengaruh pendidikan menurut tingkatannya adalah pada proses

penalaran dalam memahami suatu fenomena ilmu. Makin tinggi tingkat

pendidikan seseorang makin baik penalarannya dalam memahami makna

thaharah. Orang yang memiliki tingkat pendidikan yang lebih tinggi

cenderung memandang fungsi thaharah tidak hanya sebagai syarat dalam

beribadah, tetapi juga memenuhi aspek kebersihan, kesehatan dan kesopanan

dari sudut pandang manusia secara umum.

b. Pengetahuan Agama

Faktor pengetahuan agama juga memiliki pengaruh yang cukup besar

dalam pemahaman makna thaharah di masyarakat. pengetahuan agama ini

dapat diperoleh dari mengikuti pengajian sewaktu belajar mengaji di surau

atau guru ngaji, mengikuti pengajian di majelis taklim, mengikuti pesantren

kilat dan mengikuti pengajian umum di masyarakat maupun di tempat kerja.

Page 69: PERILAKU THAHARAH (BERSUCI) MASYARAKAT BUKIT …

61

Pengaruh dari pengetahuan agama ini dapat digambarkan dari jawaban

narasumber yang diwawancarai ketika ditanya mengenai makna thaharah dan

makna najis serta tata cara pembersihan najis. Umumnya mereka

mengemukakan argumentasi dari pendapatnya dengan mengatakan bahwa

jawaban mereka itu didasarkan pada pelajaran yang mereka dapat sewaktu

belajar mengaji atau sewaktu mengikuti pengajian baik di majelis taklim

ataupun pengajian umum. Misalnya jawaban yang disampaikan oleh ibu

Yustini (umur 35 tahun) yang latar belakang pendidikannya SMP sebagai

berikut:

Kata ustadz di tempat saya mengaji, najis itu adalah kotoran buang air

besar dan kecil, bangkai, darah, nanah, dan lain-lain.12

Hal senada juga disampaikan oleh ibu Linda yang aktif mengikuti

kegiatan pengajian di beberapa majlis ta‟lim,

Dalam mencuci pakaian harus dipisahkan dulu, pakaian yang terkena

najis dan yang tidak, baik menyucinya dengan tangan ataupun mesin

cuci. Karena supaya kotoran atau najisnya tidak bercampur.13

C. Perilaku bersuci masyarakat

1. Tatacara bersuci

Tata cara bersuci didasarkan pada jenis najis, tingkatan dan macam-

macamnya. Dalam kitab-kitab fiqih telah dibahas secara terperinci tata cara bersuci,

12

Wawancara pribadi dengan ibu Yustini. Senen, 27 September 2010, Pukul 10.30 WIB

13

Wawancara pribadi dengan ibu Linda, Sabtu 2 Oktober 2010 pukul 14.30 WIB

Page 70: PERILAKU THAHARAH (BERSUCI) MASYARAKAT BUKIT …

62

meskipun dalam pembahasannya terkadang terdapat perbedaan pendapat dalam

pembahasan cara menyucikan jenis najis tertentu. Dari setiap tingkatan najis pun cara

membersihkannya belum tentu sama. Hal itu tergantung dari kotoran najis apa yang

mengenainya.

Dalam pelaksanaanya di masyarakat Bukit Kemuning, pembahasan mengenai

pelaksanaan bersuci masih berkisar pada jenis-jenis najis yang biasa mereka hadapi

sehari-hari. Pembahasan tata cara bersuci tidak diungkapkan secara detail. Sehingga

pembahasan tata cara bersuci masih berkisar pada masalah najis atau kotoran yang

diakibatkan oleh air kencing, serta kotoran lain yang sering mereka hadapi. Dari hasil

wawancara, narasumber secara umum tidak membahas tata cara menyucikan najis

berdasarkan tingkatan najisnya. Sehingga pembahasan cara menyucikan najis tidak

mengungkapkan cara menyucikan najis dari tiap-tiap jenis benda yang dihukumi

najis.

Tata cara bersuci di masyarakat Bukit Kemuning didasarkan pada pemahaman

mereka tentang thaharah, serta pemahaman mereka tentang najis. Contoh yang paling

sering diungkapkan oleh narasumber seperti dalam pembahasan air kencing bayi di

atas. Perbedaan pendapat mereka mengenai hukum najis dari bayi laki-laki dengan

bayi perempuan, menyebabkan perbedaan dalam hal menyucikannya.

Ada yang menganggap air kencing bayi perempuan dan laki-laki tidak

dihukumi najis, sehingga tidak dilakukan cara membersihkan secara khusus. Ada pula

yang memiliki pendapat terbalik yaitu menganggap air kencing anak laki-laki lebih

berat dibanding anak perempuan, sehingga tata cara bersucinya pun terbalik dari yang

Page 71: PERILAKU THAHARAH (BERSUCI) MASYARAKAT BUKIT …

63

seharusnya, yaitu jika pakaian terkena air kencing laki-laki maka harus dibasuh

dengan air, sedangkan jika terkena air kencing perempuan cukup dengan dipercikkan

air saja.

Dalam membersihkan najis terdapat berbagai macam cara yang dilakukan

oleh narasumber tergantung najis apa yang akan dibersihkan. Seperti contoh yang

diungkapkan oleh narasumber ibu Amnah, menurut cara membersihkan najis kencing

bayi yang menempel di sofa/kursi busah. Ibu Amnah dalam membersihkannya

terlebih dahulu diusap dengan kain basah lalu kursinya langsung dijemur biar tidak

tercium baunya. Dalam hal membersihkan najis, hal yang menjadi patokan ibu

Amnah, dikatakan sofa itu sudah suci adalah jika tidak adanya lagi bau pesing dan

warna yang menempel pada kursi/sofa tersebut.14

Membersihkan najis merupakan suatu pekerjaan yang harus dilakukan

dengan hati-hati. Karena jika tidak hati-hati, alih-alih najis itu bukannya hilang malah

mengotori pakaian yang lain. Dalam membersihkan najis pakaian atau suatu benda

lain yang terkena najis, hendaknya dipisahkan antara pakaian atau benda lain yang

suci atau tidak terkena kotoran najis. Tetapi pada pelaksanaannya di masyarakat,

terkadang hal tersebut diabaikan dengan berbagai alasan yang mereka kemukakan,

seperti pernyataan dari salah satu narasumber berikut:

“Saya mempunyai anak bayi perempuan berumur 1 ½ tahun dan anak

laki-laki 3 Tahun. Pakaian yang sudah dipergunakan sehari-hari dan

14

Wawancara pribadi dengan ibu Amnah (umur 37 tahun) latar belakang pendidikan SLTA

dan memiliki pengetahuan agama dari orangtua dan mengikuti pengajian agama. Selasa 12 Oktober

2010 pukul 15.00 WIB

Page 72: PERILAKU THAHARAH (BERSUCI) MASYARAKAT BUKIT …

64

pakaian yang terkena ngompol saya campurkan saja ketika mencuci

pakaian anak-anak saya. Dalam hal ini menyuci pakaian saya

menggunakan mesin cuci baju. Namun, yang menjadi kendala saya

adalah keterbatasan air yang membuat saya untuk berhemat”. 15

Hal yang sama dengan pernyataan di atas, diungkapkan oleh ibu Mayang

(umur 39 tahun) latar belakang pendidikan SLTP hanya mendapatkan pendidikan

agama dari sekolah. Dalam menyuci, ibu Mayang tidak memisahkan pakaian yang

terkena najis dengan pakaian yang tidak terkena najis. Ibu Mayang mengungkapkan

bahwa sebenarnya beliau menyadari apa yang dia lakukan itu salah, namun apa boleh

buat karena keterbatasan air dapat membuat keluarga ini tidak melaksanakan perintah

ajaran agama yang sesungguhnya.

2. Sumber Pengetahuan

Dari berbagai macam pendapat dalam pemaknaan thaharah maupun kegunaan

thaharah tersebut dalam ibadah, dapat dilihat darimana mereka mendapatkan

pengetahuan tersebut. Terdapat beberapa sumber darimana asal mula mereka

mengetahui dan mempelajarinya. Berikut adalah tabel hasil penelitian penulis

dapatkan tentang suatu pemahaman mengenai thaharah

15

Wawancara pribadi dengan ibu Desi (umur 24 tahun) latar belakang pendidikan SLTP

mendapatkan pengetahuan agama dari bangku sekolah, Sabtu 8 Oktober 2010 pukul 14.00 WIB

Page 73: PERILAKU THAHARAH (BERSUCI) MASYARAKAT BUKIT …

65

Table 4.8

Data narasumber dalam mendapatkan pengetahuan tentang thaharah

NO Alternatif Jawaban f %

1 Diajarkan Orangtua 8 32

2 Pelajaran Agama di Sekolah 11 44

3 Mengikuti Pengajian 5 20

4 Buku-buku Agama 1 4

Jumlah 25 100

Sumber: Data Lapangan

Dari tabel diatas dapat diketahui bahwa mayoritas narasumber mempelajari

thaharah dari pelajaran agama di sekolah karena pelajaran agama merupakan

kurikulum pendidikan yang wajib diikuti oleh semua siswa.

3. Perilaku dan kesadaran hukum

Berbicara masalah pelaksanaan thaharah, tidak terlepas dari aspek pemenuhan

hukum dalam syariat islam. Pelaksanaan bersuci yang sesuai dengan penjelasan

fuqaha dalam kitab fikih menjamin kesempurnaan dalam beribadah. Hukum syariat

yang dijelaskan dalam kitab fiqih bertujuan untuk menciptakan keteraturan dalam

beribadah dan bermuamalah. Sehingga tercipta suatu keharmonisan antara

kenyamanan beribadah dengan kenyamanan dalam berinteraksi sosial.

Kesadaran masyarakat akan hukum syariat mempunyai posisi yang sangat

penting dalam menciptakan keteraturan. Hal tersebut tidak hanya berimplikasi pada

lingkungannya saja, tetapi secara individual ketaatan terhadap hukum-hukum yang

Page 74: PERILAKU THAHARAH (BERSUCI) MASYARAKAT BUKIT …

66

ditetapkan dalam syariat dapat menjamin keshahihan dalam beribadah. Karena jika

seseorang mengabaikan aturan hukum yang berlaku dalam beribadah, maka dia

berpotensi rusak atau bahkan hilang nilai pahala dari ibadah yang dilakukannya.

Namun demikian, kesadaran hukum ini belum tercipta secara optimal dalam

masyarakat Bukit Kemuning. Masih ada masyarakat yang mengabaikan hukum yang

telah ditetapkan. Sebagai contoh adalah cara membersihkan sofa yang terkena air

kencing bayi perempuan yang berumur 1 tahun. Dari satu permasalahan tersebut

terdapat tiga jawaban yang berbeda berdasarkan wawancara penulis dengan tiga

narasumber sebagai berikut:

a. Ibu Juwarita16

: “saya membersihkan kencing bayi yang mengenai sofa

dengan cara dilap saja dengan kain basah, karena dengan cara itu juga

sudah cukup. Yang penting sudah tidak ada bekas kencingnya lagi”.

b. Ibu Imah17

: “kalau anak saya kencing di sofa, saya biarkan saja yang

penting sudah dilap dengan celananya tadi yang bekas kencing. Kenapa

tidak saya bersihkan lagi karena serapan air kencing ke sofa sudah cepat

masuk ke busa sofa tersebut. Jadi buat apa dibersihkan lagi. Lagian juga

kalau mau dijemur terlalu berat diangkat sofanya”.

16

Wawancara pribadi, dengan ibu Juwarita (umur 29 tahun) latar belakang pendidikan SLTP,

dan mendapatkan pengetahuan agama dari orang tua. Sabtu 8 Oktober 2010 pukul 10.00 WIB.

17

Wawancara pribadi dengan ibu Imah (umur 37 tahun) latar belakang pendidikannya SD.

Minggu, 9 Oktober 2010, pukul 15.00 WIB.

Page 75: PERILAKU THAHARAH (BERSUCI) MASYARAKAT BUKIT …

67

c. Ibu Mutmainah18

: “saya membersihkan kencing bayi yang mengenai sofa

dengan cara dialirkan air sedikit lalu dilap dengan kain basah, kalau

baunya juga masih belum hilang maka sofa tersebut saya jemur”.

Dari ketiga jawaban di atas, jawaban yang sesuai dengan ketentuan fiqh

adalah jawaban yang diutarakan oleh ibu Mutmainah. Apa yang telah dilakukan ibu

Mutmainah dalam cara membersihkan najis sudah memenuhi standar thaharah

sebagaimana telah dijelaskan dalam bab II bahwa ukuran sesuatu itu dikatakan

suci/bersih harus terhindar dari tiga sifat yaitu: warnanya sudah tidak terlihat, baunya

sudah tidak tercium dan wujudnya sudah tidak Nampak lagi.

Ketidaksesuaian pelaksanaan thaharah dan konsep normatif bisa disebabkan

oleh faktor ketidak mengertian. Namun demikian, faktor kelalaian juga menjadi

persoalan penting. Sebagaimana saja alasan yang diungkapkan oleh ibu Mayang

(umur 39 tahun) yang latar belakang pendidikannya SMP, sebagai berikut:

Sebenarnya saya tahu kalau membersihkan najis itu harus dilakukan

dengan hati-hati dan teliti, tetapi hal tersebut membuat rumit, yang

terpenting bagi saya adalah saya sudah membersihkannya dengan cara-

cara yang saya mau.

Dalam ketaatan terhadap hukum syariat tentang pembahasan thaharah,

masyarakat Bukit Kemuning masih banyak yang tidak melaksanakannya dengan

semestinya. Berdasarkan hasil observasi yang penulis lakukan di lapangan ditemukan

banyak di antara mereka yang melakukan pelaksanaan thaharah tidak sesuai dengan

18

Wawancara pribadi dengan ibu Mutmainah (31 tahun) latar melakang pendidikanya MA,

Kamis, 30 September 2010, pukul 14.00 WIB

Page 76: PERILAKU THAHARAH (BERSUCI) MASYARAKAT BUKIT …

68

apa yang dijelaskan dalam kitab fiqih. Terkadang mereka melakukan kekeliruan

tersebut secara sadar, namun dengan alasan keterbatasan sumber daya, mereka tetap

melakukan kekeliruan tersebut. Sebagaimana terlihat dalam sebuah peristiwa yang

terobservasi dalam sebuah kasus ibu Mawar yang latar belakang pendidikan umum

yang hanya lulus dibangku SMP, dalam membersihkan najis kencing anak bayi

perempuannya yang berumur 1 tahun. Tetapi pada saat si kecil kencing ibu Mawar

melepaskan celana anaknya yang terkena air kencing lalu kemudian melapkan yang

sudah kotor itu kedalam air kencing, tanpa kemudian menyiram air kencing itu. Kasus

yang sama terlihat pada hari yang berbeda dilakukan juga oleh ibu Mawar19

.

Contoh lainnya adalah perilaku thaharah yang dilakukan keluarga bapak

Waskito dan ibu Eka20

. Melihat dari latar belakang pendidikan mereka bapak Waskito

merupakan lulusan Sekolah Dasar umum dan yang tidak terbiasa mengikuti

pengajian-pengajian agama di karenakan sibuknya bekerja, dan ibu Eka lulusan

Aliyah yang memiliki latar belakang pendidikan agama dari pondok pesantren, dan

mereka mempunyai anak bayi yang berumur 8 bulan.

Mengingat keluarga bapak waskito dan istrinya merupakan pasangan muda,

yang baru mempunyai anak bayi pertama kalinya. Maka pekerjaan rumah tangga

dilakukan secara bergantian salah satunya adalah mencuci pakaian bayi mereka.

Dalam hal ini, ketika penulis berkunjung kerumah mereka. Penulis melihat ibu Eka

19

Observasi dilakukan pada hari Jum‟at, 17 September 2010, pukul 10.00 WIB.

20

Observasi dilakukan pada hari Senin, 20 september 2010, pukul 13.00 WIB.

Page 77: PERILAKU THAHARAH (BERSUCI) MASYARAKAT BUKIT …

69

dalam membersihkan pakaian bayinya yang terkena najis dengan cara menghilangkan

dulu kotoran yang menempel atau bekas kencingnya, setelah itu pakaian tersebut di

rendam kemudian dicampur dengan pakaian yang lain. Fenomena yang berbeda,

terlihat pada hari yang berbeda dilakukan juga oleh bapak Waskito dalam mencuci

pakaian bayi mereka, dalam hal ini bapak Waskito melakukannya dengan cara yang

berbeda yakni dengan cara mencampurkan semua pakaian yang terkena najis maupun

yang tidak ke dalam mesin cuci. Pada waktu yang bersamaan ibu Eka pun melihat apa

yang dilakukan suaminya. Namun hal tersebut dibiarkan saja oleh ibu Eka.

Hal ini bisa disebabkan oleh proses sosialisasi ilmu yang kurang sempurna.

Pemahaman mereka yang hanya sekelumit tentang thaharah baik dari proses belajar

di sekolah maupun dari proses pembelajaran orang tua, menyebabkan penanaman

hukum hanya sebatas meniru dari apa yang dilihat pada saat terjadi proses sosialisasi.

Pemahaman thaharah secara tidak menyeluruh menyebabkan adanya

kesenjangan antara teori yang terdapat dalam literatur fiqih, dengan pelaksanaan

thaharah di masyarakat. Sebenarnya masyarakat memandang thaharah itu sebagai

suatu kegiatan yang sangat penting dalam pelaksanaan ibadah. Tetapi dalam

pelaksanaanya, mereka masih saja melakukan kekeliruan yang terkadang dengan

sadar mereka lakukan. Hal ini menunjukan bahwa proses sosialisasi hukum syariat ini

hanya bersifat taklid, atau hanya mengikuti tanpa ada penjelasan bukan dari proses

penurunan ilmu yang rasional.

Page 78: PERILAKU THAHARAH (BERSUCI) MASYARAKAT BUKIT …

71

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari penelitian dalam skripsi ini dapat penulis ambil beberapa

kesimpulan, diantaranya yaitu:

1. Masyarakat Bukit Kemuning Lampung Utara memiliki pemahaman

tentang thaharah yang sama namun, dalam hal menyikapi najis

khususnya berbeda-beda. Hal ini dikarenakan umumnya mereka tidak

memiliki latar belakang pendidikan agama dan tingkat pendidikan

yang rendah. Kedua faktor tersebut merupakan faktor utama di

samping faktor lainnya yang mempengaruhi pemahaman mereka

tentang thaharah.

2. Tata cara bersuci masyarakat Bukit Kemuning didasarkan pada

pemahaman yang didapatkan dari meniru kebiasaan orang tua

terdahulu dan dari proses belajar yang dilakukan di sekolah. Namun

demikian, penulis mendapatkan adanya ketidaksesuaian antara teori

dan prakteknya di masyarakat. Misalnya dalam membersihkan najis

air kencing bayi perempuan yang berumur 1 tahun. Syari’at islam

menetapkan bahwa cara mennyucikannya dengan menghilangkan

zatnya terlebih dahulu, hingga hilang wujud, bau dan warnanya,

kemudian menyiram dengan air sampai bersih lalu dikeringkan.

Sedangkan yang terjadi masyarakat Bukit Kemuning, mereka

Page 79: PERILAKU THAHARAH (BERSUCI) MASYARAKAT BUKIT …

72

cenderung tidak memperhatikan ketentuan yang ada. Mereka

melakukannya berdasarkan apa yang mereka anggap mudah, misal

hanya dilap saja.

B. Saran-Saran

1. Diharapkan kepada para tokoh agama (ustadz/ ustadzah) untuk

menyampaikan pembahasan-pembahasan seputar thaharah secara

detail sesuai dengan yang disyari’atkan agama.

2. Mengadakan kegiatan pengajian mulai dari anak-anak, remaja dan

orang tua untuk menambah wawasan dan pengetahuan tentang wacana

keagamaan.

3. Kepada masyarakat, untuk lebih mentaati hukum yang berlaku dan

mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari.

Page 80: PERILAKU THAHARAH (BERSUCI) MASYARAKAT BUKIT …

73

DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur’an al-Karim

Bukhori, Al, Iman Abi Abdillah Muhammad bin Ismail bin Ibrohim ibnu al-

Mughiroh. Jilid 1. Shohih al-Bukhori. Bairut: Dar al-Fikri, 1994M/1414H.

Buku Monografi Kecamatan Bukit Kemuning, 2005

Friedman, Lawrence M. Sistem Hukum: Perspektif Ilmu Sosial. Penerjemah M.

Khozim. Bandung: Nusamedia, 2009.

Handoko, Martin. Motivasi Daya Penggerak Tingkah Laku. Yogyakartra: Kanisus,

1992.

Husaini, Al. Iman Taqiyuddin Abubakar. Kifayatul Akhyar. Jilid 1. Surabaya: PT.

Bina Ilmu Offset, 1997.

Jaziry, Al, Abdurrahmn. Kitabul al-Fiqhul ala Madzhib al ar-ba’ah. Jilid 1. Cairo: at-

Tijariyah al kubro, tth.

Kahlani, Al, Muhammad bin Ismail. Subul al-Salam. jilid I. Bandung: Maktabah

Dahlan, T.t.h).

Maulana, Achmad. Kamus Ilmiah Populer Lengkap. Yogyakarta: Absolut, 2004.

Munawwir, Ahmad Warson. Al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia. (Surabaya:

Pustaka Progressif, 1997.

Naisaburi, Al, Iman Abi al-Husein Muslim bin al-Hajjaj bin Muslim al-Qusyairi. Jilid

1. Shahih Muslim. Riyadh: Dar al-Salam, 1998M/1419H.

Nasution, Lahmuddin. Fidh 1. Jakarta: Purtaka Setia, 2001

Page 81: PERILAKU THAHARAH (BERSUCI) MASYARAKAT BUKIT …

74

Noor, Ahmad Manshur. Peranan Moral dalam Membina Kesadaran Hukum. Jakarta:

Proyek Pembinaan Kemahasiswaan, 1985.

Observasi dilakukan pada hari Senin, 20 september 2010, pukul 13.00 WIB.

Observasi dilakukan pada hari Jum’at, 17 September 2010, pukul 10.00 WIB.

Qardhawi, Al, Yusuf. Fiqhu at-Thaharah. Penerjemah Samson Rahman. Jakarta:

Pustaka al-Kautsar, 2004.

Qurţubi, Al, Ibnu Rusyd. Bidāyat al-Mujtahid wan Nihāyat al-Muqtaşid. Jilid 1.

Bairut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, 2007.

Ritonga, A. Rahman dan Zainuddin. Fiqh Ibadah. Jakarta: Gaya Media Pratama,

1997.

Sabiq, Sayyid. Fikih Sunnah. Penerjemah Mahyuddin Syaf. Jilid 1. Bandung: PT.

Alma’arif, 2003.

Saebani, Beni Ahmad. Sosiologi Hukum. Bandung: Pustaka Setia, 2007.

Salman, Otje. Kesadaran Hukum Masyarakat Terhadap Hukum Waris. Bandung:

Alumni, 1993.

Syarbaini, Al, Khatib. Al-Iqnâ’fil hall Alfâzi Abî Syujâ’i. Bandung: Al-Ma’arif, t.th.

Soekanto, Soerjono. Hukum Adat Indonesi. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003.

---------------------- dan Soleman B.Taneko. Hukum Adat Indonesia. Jakarta: Rajawali

Pers,1983.

Warassih, Esmi, Pemberdayaan Masyarakat dalam Mewujudkan Tujuan Hukum

(Proses Penegakan Hukum dan Persoalan Keadilan); Pidato Pengukuhan

Guru Besar. Fakultas Hukum UNDIP Semarang, 2001.

Page 82: PERILAKU THAHARAH (BERSUCI) MASYARAKAT BUKIT …

75

Wawancara pribadi dengan aparat desa. Senen, 4 Oktober 2010, pukul 10.30 WIB.

Wawancara pribadi dengan ibu Maediana. Rabu 22 September 2010 pukul 15.00.

Wawancara pribadi dengan tokoh agama, Jumat 1 Oktober 2010 pukul 14.00 WIB.

Wawancara pribadi dengan bapak Nanang, Jumat 24 September 2010 pukul 15.00

Wawancara pribadi dengan ibu Sarina. Senin 4 Oktober 2010 pukul 09.00 WIB.

Wawancara pribadi dengan ibu Yuni. Senin 11 Oktober 2010 pukul 16.00 WIB

Wawancara pribadi dengan bapak Pidiyan. Sabtu, 2 Oktober 2010 pukul 09.00 WIB.

Wawancara pribadi dengan ibu Linda. Sabtu 2 Oktober 2010 pukul 14.00 WIB.

Wawancara pribadi dengan ibu Apri. Selas, 5 Oktober 2010 pukul 17.00 WIB

Wawancara pribadi dengan ibu Rohani.Minggu, 3 Oktober 2010 pukul 16.00 WIB.

Wawancara pribadi dengan ibu Hartini. Senin 4 Oktober 2010, pukul 13.00 WIB.

Wawancara pribadi dengan ibu Tutik Senen, 27 September 2010, pukul 10.30 WIB.

Wawancara pribadi dengan ibu Amnah. Selasa 12 Oktober 2010 pukul 15.00 WIB

Wawancara pribadi dengan ibu Desi. Sabtu 8 Oktober 2010 pukul 14.00 WIB.

Wawancara pribadi, dengan ibu Juwarita. Sabtu 8 Oktober 2010 pukul 10.00 WIB.

Wawancara pribadi dengan ibu Mutmainah. Kamis, 30 September 2010, pukul 14.00

WIB.

Widjaja, AW. Kesadaran Hukum Manusia dan Masyarakat Pancasila. (Jakarta: CV.

Era Swasta, 1984.

Zuhaily, Al,Wahbah. Al-Fiqhul Isalamy wa Adillatuhu. Penerjemah Masdar Hilmy.

Bandung: CV. Pustaka Media Utama, 2004.

Z, Zurinal dan Aminuddin. Fiqh Ibadah. Jakarta:Lembaga Penelitian UIN Syarif

Hidayatullah, 2008

Page 83: PERILAKU THAHARAH (BERSUCI) MASYARAKAT BUKIT …

Tabel 3.1

Luas wilayah berdasarkan lingkungan kelurahan

Sumber: Data Lapangan 2010.

Tabel 3.2

Jumlah penduduk berdasarkan KK

NO Lingkungan KK Jumlah Jiwa

Laki-laki PR Jumlah

1 I 338 827 780 1.607

2 II 452 903 901 1.804

3 III 433 905 894 1.799

4 IV 362 862 829 1.691

5 V 261 738 728 1.466

6 VI 469 935 953 1.888

7 VII 325 773 782 1.555

8 VIII 443 928 925 1.853

9 IX 246 699 680 1.379

10 X 167 397 382 779

11 XI 133 259 254 513

12 XII 141 277 258 535

13 XIII 223 362 346 708

14 XIV 164 298 254 552

Jumlah 4.157 9.163 8.966 18.129

Sumber: Kelurahan Bukit Kemuning Tahun 2010

No Lingkungan Luas wilayah

1 Luas wilayah I 1.57 KM2

2 Luas wilayah II 1.48 KM2

3 Luas wilayah III 1.37 KM2

4 Luas wilayah IV 1.19 KM2

5 Luas wilayah V 1.05 KM2

6 Luas wilayah VI 1.26 KM2

7 Luas wilayah VII 1.05 KM2

8 Luas wilayah VIII 0.98 KM2

9 Luas wilayah IX 1.06 KM2

10 Luas wilayah X 1.15 KM2

11 Luas wilayah XI 1.07 KM2

12 Luas wilayah XII 1.68 KM2

13 Luas wilayah XIII 1.47 KM2

14 Luas wilayah XIV 0.52 KM2

Jumlah 17.0 KM2

Page 84: PERILAKU THAHARAH (BERSUCI) MASYARAKAT BUKIT …

Table 3.3

Jumlah Penduduk Berdasarkan Struktur Usia

No Klasifikasi Usia Jumlah Jiwa %

1 0-4 1.707 9

2 5-9 1.693 9

3 10-14 1.617 9

4 15-19 2.026 11

5 20-24 1.922 11

6 25-29 2.394 13

7 30-39 2.699 15

8 40-49 2.363 13

9 50-59 1.132 6

10 60+ 576 3

Jumlah 18.129 100 Sumber: Data Lapangan 2010.

Tabel 3.4

Jumlah Penduduk menurut Agama

No Agama Jiwa

1 Islam 18.040

2 Kristen 64

3 Hindu 2

4 Budha 23

5 Aliran Kepercayaan lainya -

Jumlah 18.129 Sumber : Monografi 2010.

Tabel 3.5

Jumlah sarana pribadatan

No Sarana kepribadatan Jumlah

1 Masjid 19

2 Mushalla 15

3 Gereja -

4 Vihara -

5 Pura - Sumber : Monografi 2010.

Page 85: PERILAKU THAHARAH (BERSUCI) MASYARAKAT BUKIT …

Tabel 3.6

Jumlah jiwa berdasarkan tingkat pendidikan

No Tingkat Pendidikan Jiwa 1 Tidak sekolah 1.832 2 Taman kanak-kanak 2.930 3 SD/Sederajat 5.102 4 SMP/MTS 4.420 5 SMA/MA 3.531 6 D3 219 7 S1 95

Sumber : Monografi 2010

Tabel. 3.7

Jumlah sarana pendidikan

No Sarana pendidikan Jumlah 1 SD 10 2 Ibtidaiyah 3 3 SMP 2 4 MTs 2 5 SMA 1 6 MA 2 7 STAI 1

Jumlah 17

Sumber: data monografi 2010

Tabel 4.1

distribusi narasumber berdasarkan usia

No Usia f %

1 15-25 Tahun 3 12

2 26-35 Tahun 10 40

3 36-50 Tahun 8 32

4 Diatas 50 Tahun 4 16

Jumlah 25 100

Sumber: Diolah dari data lapangan tahun 2010.

Tabel 4.2.

Distribusi narasum Berdasarkan Pendidikan

No Jenis Pendidik %

ber

(jenis pendidikan)

an f

1 Agama 6 24

2 Umum 19 76

Jumalah 25 100

Sum er: Diolah dari data Lapangan tahun 2010 b

Page 86: PERILAKU THAHARAH (BERSUCI) MASYARAKAT BUKIT …

Tabel 4.3

Distribusi narasumber berdasarkan pendidikan

(tingkat pendidikan)

No Tingkat pendidikan f %

1 SD/MI 8 32

2 SMP/MTS 5 20

3 SMA 6 24

4 Aliyah 3 12

5 S1 3 12

Jumlah 25 100

Sumber: diolah dari data lapangan 2010.

Tabel 4.4

Narasum a khusus

No Pengalaman Khusus f %

ber berpengalaman mengikuti agam

1 Ya 10 40

2 Tidak 15 60

Jumlah 25 100

Sumber: Diolah dari data lapangan 2010

Distribusi narasumber menurut peran sosial keagamaan

No Peran sosial %

Tabel 4.5

f

1 Biasa 23 92

2 Tokoh agama 2 8

Jumlah 25 100

Sumber: diolah dari data lapangan tahun 2010.

Narasumber berdasark man tentang thaharah

N

Tabel 4.6

an pemaha

o Alternatif Jawaban f %

1 Sangat paham 4 16

2 Paham 8 32

3 Kurang paham 11 44

4 Tidak paham 2 8

Jumlah 25 100

Su ari data lapa an tahun 201

mber: diolah d ng 0

Page 87: PERILAKU THAHARAH (BERSUCI) MASYARAKAT BUKIT …

Table 4.8.

Data narasumber da atkan pengetahuan

tentang thaharah

NO Alternatif f %

lam mendap

Jawaban

1 Diajarkan Orangtua 8 32

2 Pelajaran Agama di Sekolah 11 44

3 Mengikuti Pengajian 5 20

4 Buku-buku Agama 1 4

Jumlah 25 100 Sumber: Data Lapangan

Page 88: PERILAKU THAHARAH (BERSUCI) MASYARAKAT BUKIT …

PERILAKU THAHARAH (BERSUCI) DI MASYARAKAT BUKIT

KEMUNING KABUPATEN LAMPUNG UTARA

PEDOMAN WAWANCARA KEPADA KELUARGA MASYARAKAT

1. Siapa nama anda?

2. Berapa usia anda?

3. Siapa nama anak kecil anda?

4. Berapa usianya?

5. Apa pendidikan terakhir anda?

6. Apa yang ibu pahami selama ini tentang thaharah?

7. Apakah ada kata lain yang semakna dengan thaharah?

8. Apa kegunaan thaharah dari ajaran islam terutama dalam ibadah?

9. Bagaimana asal mula anda mengetahui thaharah itu?

10. Apakah ada guru/kiyai yang mengajarkan tentang thaharah?

11. Apa yang bapak ketahui tentang najis dan apasaja yang disebut najis?

12. Apa yang bapak/ibu ketahui tentang pembagian najis?

13. Bagaimana cara anda membersihkan najis tahi kotok yang menempel dirumah

anda?

14. Apakah ada perbedaan antara air kencing bayi laki-laki dan air kencing bayi

perempuan?

15. Jika ada, jelaskan perbedaannya?

16. Bagaimana cara ibu membersihkan najis kencing bayi perempuan yang

menempel di sofa/kursi busa?

17. Bagaimana cara ibu membersihkan pakaian bayi anda yang sudah terkena

najis?

18. Dalam membersihkan najis standar/patokan dikatakan bersih itu seperti apa?

Page 89: PERILAKU THAHARAH (BERSUCI) MASYARAKAT BUKIT …

HASIL WAWANCARA DENGAN BEBERAPA NARASUMBER

1. Apa yang ibu/bapak pahami selama ini tentang thaharah?

Jawaban

a. Ibu Mediana1: Saya kurang memahami istilah thaharah. Tetapi saya lebih

paham dengan menggunakan istilah bersuci. Karena istilah bersuci sudah

dikenalkan sejak saya sekolah SMP oleh guru agama dan istilah thaharah juga

tidak begitu dipahami oleh masyarakat khususnya orang awam seperti saya ini.

b. Ibu Sarina2: menurut saya bersuci adalah membersihkan diri dari hadats

dan najis yang dapat menghalangi dalam melakukan ibadah shalat maupun

ibadah-ibadah lainnya.

2. Apakah ada kata lain yang semakna dengan thaharah?

Jawab

a. Tokoh agama: thaharah bukan hanya mempunyai arti bersuci dari hadats

dan najis tetapi juga melihatnya dari aspek-aspek kebersihan, kesehatan,

kesopanan dan kenyamanan dalam sudut pandang manusia.

3. Apakah kegunaan thaharah dari ajaran Islam terutama dalam ibadah?

jawab

                                                            1 Ibu Mediana (umur 26 tahun) yang latar belakang pendidikannya umum Sekolah Dasar dan

tidak biasa dipengajian dan tidak ada ikut kursus secara khusus .  2 ibu Sarina (26 tahun) yang latar belakang pendidikannya Sekolah Dasar dan mendapat

pengajaran agama dari orangtua.  

Page 90: PERILAKU THAHARAH (BERSUCI) MASYARAKAT BUKIT …

a. Ibu Apri3: Thaharah sangat bermanfaat untuk ibadah karena wajib bagi

kita berthaharah sebelum kita beribadah. Jangankan kita menghadap/

bertemu dengan Allah, ketika kita bertemu dengan orang penting saja kita

harus rapi dan bersih apalagi ketika kita ketemu dengan Allah sudah pasti

kita harus bersih dan suci.

b. Ibu Rohani4: menurut saya sangat penting dalam ibadah karena Bersuci

dapat meningkatkan kesadaran manusia untuk beribadah dan keimanan

kepada Allah dan berbuat baik kepada sesama dan juga dapat

meningkatkan kesehatan jasmani dan Rohani

4. Bagaimana asal mula anda mengetahui thaharah?

Jawab:

a. Ibu Imah5: saya mengetahui bersuci pertama kali diajarkan oleh orang tua

saya, karena dari orangtualah saya banyak mendapatkan pengetahuan

tentang agama salah satunya mengenai bersuci.

5. Apakah ada kiyai/guru yang mengajarkan tentang thaharah?

                                                            3  Ibu Apri (umur 23 Tahun) latar belankang pendidkan terakhir S1 dan berpengalaman

mengikuti pendidikan agama).  4 ibu Rohani (umur 43, SD tahun), dan berpengalaman dalam mengikuti pengajian ibu-ibu.  5 Ibu Imah (umur 40 tahun), latar belakang pendidikan SD, mengetahui agama di ajarkan oleh

orangtua.  

Page 91: PERILAKU THAHARAH (BERSUCI) MASYARAKAT BUKIT …

a. Ibu Linda6: saya mengenal thaharah pertamakali diajarkan oleh orangtua

tetapi setelah menginjak remaja saya lebih banyak mengikuti pengajian-

pengajian.

b. Ibu tutik7: saya mengetahui thaharah sewaktu saya sekeloh umum, itu pun

saya dapatkan ketika ada pelajaran agama yang secara khusus diajarkan

oleh guru agama di sekolahan.

6. Apa yang bapak ketahui tentang najis dan apasaja yang disebut najis?

Jawab

a. Bapak Heru8: najis itu adalah segala macam kotoran seperti kencing,

anjing, bangkai, darah, dan nanah.

7. Apa yang bapak ketahui tentang pembagian najis?

Jawab

a. Tokoh agama: najis itu terbagi menjadi tiga Najis Mughallazhah (berat),

Najis Mukhaffafah (ringan), dan Najis Mutawassithah (pertengahan).

8. Apakah ada perbedaan antara air kencing bayi laki-laki dan air kencing

bayi perempuan?

Jawab

                                                             

6 Ibu Linda (umur 33 tahun) latar belakang pendidikan S1 dan sering mengikuti pengajian-pengajian.

 7 Ibu Tutik (umur 34 tahun) latar belakang pendidikan SMA sekolah umum.  8  Bapak Heru (umur 40 Tahun) yang latar belakang pendidikannya SMA yang hanya

mendapatkan pendidikan agama hanya dibangku sekolah.  

Page 92: PERILAKU THAHARAH (BERSUCI) MASYARAKAT BUKIT …

a. Ibu Sariana9: Tidak ada perbedaan, kencing bayi perempuan yang masih

berumur 3 bulan dan belum makan apa-apa maka belum dihukumi najis

begitu juga bayi laki-laki.

b. Ibu Linda: Ada perbedaan, yaitu Kencing bayi laki-laki berbeda dengan

bayi perempuan. Kencing bayi laki-laki yang berumur di bawah 2 Tahun

dan belum makan apapun selain minun Asi termasuk najis mukhaffah.

Sedangkan kencing bayi perempuan dari bayi pun sudah dikatakan najis.

9. Bagaimana cara ibu membersihkan najis kencing bayi perempuan yang

menempel di sofa/kursi busa?

Jawab

a. Ibu Amnah10: saya membersihkannya terlebih dahulu diusap dengan kain

basah lalu kursinya langsung dijemur biar tidak tercium baunya. yang

menjadi patokan saya dikatakan sofa itu sudah suci adalah jika tidak

adanya lagi bau pesing dan warna yang menempel pada kursi/sofa

tersebut.

                                                            9 Ibu Sarina (umur 26Tahun) yang latar belakang pendidikannya SD dan mendapatkan

pendidikan agama dari orang tua.  10 Ibu Amnah (umur 37 tahun) latar belakang pendidikan SLTA dan perna belajar secara

khusus tentang agama.  

Page 93: PERILAKU THAHARAH (BERSUCI) MASYARAKAT BUKIT …

                                                           

b. Ibu Juwarita11: saya membersihkan kencing bayi yang mengenai sofa

dengan cara dilap saja dengan kain basah, karena dengan cara itu juga

sudah cukup. Yang penting sudah tidak ada bekas kencingnya lagi.

10. Bagaimana cara ibu membersihkan pakaian bayi anda yang sudah

terkena najis?

Jawab

a. Ibu Desi12: saya mempunyai anak bayi perempuan berumur 1 ½ tahun

dan anak laki-laki 3 Tahun. Pakaian yang sudah dipergunakan sehari-hari

dan pakaian yang terkena ngompol saya campurkan saja ketika mencuci

pakaian anak-anak saya. Dalam hal ini menyuci pakaian saya

menggunakan mesin cuci baju. Namun, yang menjadi kendala saya adalah

keterbatasan air yang membuat saya untuk berhemat.

11. Dalam membersihkan najis standar/patokan dikatakan bersih itu seperti

apa?

Jawab

a. Ibu Amnah: yang menjadi patokan saya dikatakan sofa yang terkena najis

itu sudah suci adalah jika tidak adanya lagi bau pesing dan warna yang

menempel pada kursi/sofa tersebut.

 11Ibu Juwarita (umur 29 tahun) latar belakang pendidikan SLTP, dan mendapatkan

pendidikan agama dari orang tua.  12 Ibu Desi (umur 24 tahun) latar belakang pendidikan SLTP mendapatkan pendidikan agama

dari bangku sekolah