INKONSISTENSI NORMA TIF DAN REALIT AS PENYIMPANGAN i
Suparjo2
Abstrak
This article is being aimed to deliver more clarification
concerning compensation aspect in land acquisition for public
interests in Indonesia. Many land cases and disputes are ensued and
persisting ' through many public interest projects. Government of
the Republic Indonesia has issued such regulation since decade of
1970 until the recent that is intentioned to just process in land
acquisition. The two last Presidential Regulations (number 36 year
2005 and number 65 year 2006) are issued negotiation process and
consensus between land owner and committee of land acquisition
(P2T) have not reflected justice. Inequality is appeared by
limitation of consent given by land owner is only 120 days and then
after that period P2T be deemed has authority to occupy the land
and do such clearing without needs landowner permit. That authority
is based on those regulations by deposit sums of money at district
court as well known as "consignatie ". Consignatie itself is as
payment method solution under Indonesia Civil Code for any
contractual scheme which ought not applicable through unsuccessful
negotiation between landowner and P2T clear different transaction
to the Civil Code.
Kala kunci: hukum pertanahan, perolehan lanah, ganti kerugian,
pengaturan
I. Pendahuluan
Pemberian ganti rugi bagi kepentingan umum seringkali menjadi
masalah berlarut-Iarut sehingga menyebabkan tertundanya
pembangunan.
I Arikel ini sebagai pengemhangan makalah yang pemah disampaikan
dalam Training Penyelesaian Gantt Kerugian dan Santunan Tanah untuk
Pembangunan, Proyek LMPDP Komponen 5 Departemen Dalam Negeri,
Jakarta, Rabu Jum'at 22 - 24 April 2009
2 Pengajar Hukum Agraria Fakultas Hukum VI, Jakarta. Alamat
korespondensi:
[email protected]
Perihal Pengaturan Ganti Kerugian Tanah untuk Pembangunan, Suparjo
69
Besamya kerugian dari pemerintah maupun masyarakat akibat bertahun
tahun tertundanya Jalan Tol Lingkar Luar Jakarta yang menghubungkan
Jalan Tol Jagorawi dan Jalan Tol Jakarta-Cikampek. Berapa pula
kerugian yang diderita masyarakat akibat banjir yang melanda
sebagian wilayah Jakarta karena pembangunan Banjir Kanal Timur
hingga saat ini belum dapat direalisasikan akibat pengadaan tanah
yang tersendat. Pemberian ganti rugi yang dirasa tidak adil dan
tidak memiliki standar yang baku setidaknya memberikan kontribusi
bagi pennasalahan diatas. Sehingga muncul anggapan pemikiran bahwa
ganti rugi dalam pengadaan tanah adalah kompensasi yang menyebabkan
pemilik tanah menderita kerugian akibat kompensasi yang diberikan
lebih kecil dibanding kerugian ekonomis yang ditanggung oleh
pemilik tanah.
Masalah pemberian ganti kerugian dalam rangka perolehan tanah untuk
kepentingan umum merupakan masalah pokok dalam perolehan tanah. Hal
itu karena dalam rangka perolehan tanah yang secara umum lazim
menggunakan prosedur pelepasan hak. Melalui prosedur ini maka ada
serangkaian tahapan yang harus ditempuh secara benar dan sesuai
prosedur. Tentu saja pemberian ganti kerugian merupakan
satu-satunya syarat terjadinya pelepasan hak atas tanah. Terjadinya
pelepasan hak menurut pengaturan hukum tanah nasional adalah
ditentukan pada saat yang secara bersamaan (serentak) pada saat
terjadinya pelepasan hak. Secara fonnal terjadinya pelepasan hak
tersebut dapat dilihat pada perjanjian pelepasan hak yang
ditandatangani oleh pihak pemilik tanah (pemegang hak) dan pihak
yang membebaskan dan akan menguasai tanah tersebut kemudian.
Adanya kejelasan prosedur pelepasan hak dan pemberian ganti
kerugian terse but dalam praktek temyata tidak semudah seperti apa
yang tertulis di dalam peraturan perundang-undangan. Hal itu dapat
diliihat dari munculnya banyak kasus dan malah menjadi sengketa
berkepanjangan. Contoh kasus besar yang pemah terjadi adalah dalam
rangka pembebasan tanah yang dilakukan di seputar Waduk Kedungombo
Jawa Tengah serta kasus-kasus baru pasca berlakunya Peraturan
Presiden Nomor 36 tahun 2005 dan Peraturan Presiden Nomor 65 tahun
2006, yang mengatur tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan
Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.
Mengapa permasalahan ataupun sengketa-sengketa seperti itu masih
saja terjadi, padahal secara nonnatif sudah ada pedoman di dalam
peraturan perundang-undangan? Untuk sementara dapat dijelaskan
faktor utama penyebabnya adalah tidak lain berkutat pada masalah
pember ian ganti kerugian yang tidak kunjung disepakati.
Kesepakatan mengenai pemberian ganti kerugian yang dilakukan sesuai
prosedur temyata masih memiliki kelemahan di dalam memberikan
kepastian hukum secara tuntas. Pengertian
70 )urna/ Hukum dan Pembangunan Edisi Khusus Dies Nata/is 85 Tahun
FHUI
tuntas dimaksud adalah terpenuhinya legalitas secara hukum baik
secara materil maupun secara formil.
Kepastian hukum dalam lingkup materil adalah adanya kelemahan dalam
rumusan norma-norma mengenai dasar penghitungan nilai ganti
kerugian, sedangkan secara formil adalah berkenaan dengan prosedur
penyelesaiannya.
Menurut ketentuan Pasal 15 Peraturan Presiden Nomor 65 tahun 2006,
dasar perhitungan besamya ganti rugi didasarkan atas:
1. Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP) atau nilai nyata sebenamya dengan
memperhatikan Nilai Jual Obyek Pajak tahun berjalan berdasarkan
penilaian Lembaga/Tim Penilai Harga Tanah yang ditunjuk oleh
panitia;
2. Nilai jual bangunan yang ditaksir oleh perangkat daerah yang
bertanggungjawab di bidang bangunan.
3. Nilai jual tanaman yang ditaksir oleh perangkat daerah yang
bertanggungjawab di bidang pertanian
Kepala BPN telah menerbitkan Peraturan Kepala BPN No. 3 Tahun 2007
yang mengatur tahapan pengadaan tanah yang harus dilakukan oleh tim
Panitia Pengadaan Tanah (P2T) pemerintah kota dan kabupaten. Secara
umum, peraturan yang merupakan revisi dari Peraturan Kepala BPN No.
I Tahun 1994 terse but sudah memuat masalah pertanahan secara rinci
dan deti!. Peraturan Kepala BPN ini merupakan peraturan operasional
dari Peraturan Presiden (Perpres) No. 36 Tahun 2005 tentang
Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum
yang telah diubah menjadi Perpres No. 65 Tahun 2006. Kesulitan yang
sering dihadapi oleh tim P2T Pemerintah Kota dan Kabupaten adalah
adanya perbedaan harga pasar dan barga yang telah ditetapkan dalam
nilai jual objek pajak (NJOP). Dalam berbagai kasus, sering terjadi
harga tanah merupakan hasil musyawarah antara tim P2T dan pemilik
tanah yang meminta harga lebih tinggi dari NJOP.
II. Uraian Mengenai Pengaturan Hukum Perolehan Tanah Untuk
Pembangunan Dan Pemberian Ganti Kerugian
Dalam kronologi pengaturan perolehan tanah untuk kepentingan
pembangunan tentunya dilihat pertama kali pada berbagai pasal UUP A
(undang-Undang nomor 5 tahun 1960) yang mengatur mengenai
sebab-sebab berakhirnya hak atas tanah karena adanya pelepasan hak
dan pencabutan hak.
Pada azasnya, sebagaimana dijelaskan dalam Penjelasan Umum angka 2
Undang-Undang Nomor 20 tahun 1961 Tentang Pencabutan Hak-Hak
Perihal Pengaturan Ganti Kerugian T anah untuk Pembangunan, Suparjo
7'
Tanah Dan Benda-Benda Yang Ada Diatasnya maka jika diperlukan tanah
dan/atau benda lainnya kepunyaan orang lain untuk sesuatu keperluan
haruslah lebih dahulu diusahakan agar tanah itu dapat diperoleh
dengan persetujuan yang empunya, misaJnya alas dasar jual-beli,
t\lkar-menukar atau lain sebagainya Tetapi cara demikian itu tidak
selalu dapat membawa hasil yang diharapkan, karena ada kemungkinan
yang empunya meminta harga yang terlampau tinggi ataupun tidak
bersedia sarna sekali untuk melepaskan tanahnya yang diperlukan
itu. Oleh karena kepentingan umum hams didahulukan dari pada
kepentingan orang-seorang, maka j ika tindakan yang dimaksudkan itu
memang benar-benar untuk kepentingan umum, dalarn keadaan yang
memaksa, yaitu jika jalan musyawarah tidak dapat membawa hasil yang
diharapkan, haruslah ada wewenang pada Pemerintah untuk bisa
mengambil dan menguasai tanah yang bersangkutan. Pengambilan itu
dilakukan dengan jalan mengadakan pencabutan hak sebagai yang
dimaksud dalam pasal 18 Undang-undang Pakok Agraria. Jadi
pencabutan hak adalah jalan yang terakhir untuk memperoleh tanah
dan/atau benda lainya yang diperlukan untuk kepentingan umum. Dalam
pada itu di dalam menjalankan pencabutan hak tersebut kepentingan
daripada yang empunya, tidak boleh diabaikan begitu saja. Oleh
karena itu maka selain wewenang untuk melakukan pencabutan hak, di
dalam pasal 18 tersebut dimuat pula jaminan jaminan bagi yang
empunya. Yaitu bahwa pencabutan hak harns disertai pemberian ganti
kerugian yang layak dan harus pula dilakukan menurut cara yang
diatur dalam Undang-undang.
Selanjutnya mengenai pengadaan tanah diatur dalam berbagai
Peraturan Menteri Dalam Negeri yang telah dicabut Dengan berlakunya
Keputusan Presiden Nomar 55 tahun 1993, yaitu:
1. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor I Tahun 1975 tentang
Ketentuan-ketentuan Mengenai Tata Cara Pembebasan Tanah;
2. Peraturan Menteri Dalarn Negeri Nomor 2 Tahun 1976 tentang
Penggunaan Acara Pembebasan Tanah Untuk Kepentingan Pemerintah Bagi
Pembebasan Tanah Oleh Pihak Swasta;
3. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 2 Tahun 1985 tentang Tata
Cara Pengadaan Tanah Untuk Keperluan Proyek Pembangunan di Wilayah
Kecamatan.
72 Jurnai Hukum dan Pembangunan Edisi Khusus Dies Natalis 85 Tahun
FHUI
A. Uraian tentang Masalah Perbedaan Penghitungan Nilai Obyek yang
Akan Dibebaskan (Tanah, Bangunan dan tanaman): Masalah Rumusan
Normatif yang Inkonsisten dan Absurd
Selanjutnya untuk menjadi pedoman pelaksanaan Keppres 55 tahun 1993
terse but diterbitkan PERA TURAN MENTERI NEGARA AGRARlN KEPALA
BADAN PERTAHANAN NASIONAL NOMOR : 1 TAHUN 1994. Selanjutnya Keppres
55 tahun 1993, digantikan dengan Peraturan Presiden Nomor 36 tahun
2005 yang telah diu bah menjadi Perpres No. 65 Tahun 2006. Perpres
No 36 Tahun 2005 dilaksanakan oleh Peraturan Kepala BPN No 3 Tahun
2007. Peraturan Kepala BPN No 3 Tahun 2007 meneabut atau menyatakan
t idak berlaku lagi Permen Agraria/Kepala BPN No 1 Tahun
1994.
Mengenai fokus pembahasan dalam makalah ini, berkenaan dengan dasar
hitungan pemberian ganti kerugian seeara ' Iebib jelas
. dapat dilihat perbandingannya di dalam tabel berikut ini :
JENIS OBYEK
Panitia (PPT) memberikan penjelasan kepada kedua belah pihak
sebagai bahan musyawarah untuk mufakat, terutama mengenai ganti
kerugian harus memperhatikan hal-hal berikut: a. Nilai taRah
berdasar
nilai nyata atau sebenarnya dengan memperhatikan Nilai Jual Obyek
Bumi dan Bangunan (NJOP) tahun terakhir untuk tanah yang
bersangkutan;
b. Faktor-faktor yang mempengaruhi harga tanah:
PERA TURAN KEP ALA BPN NO 3 T AHUN 2007
Penilaian harga tanah berdasarkan pada Nilai lual Obyek Pajak
(NJOP) atau nilai nyata/sebenarnya dengan memperhatikan NJOP tahun
berjalan, dan dapat berpedoman pada variabeI-variabeI sebagai
berikut:
a. Iokasi dan letak tanah; b. status tanah; c. peruntukan tanah; d.
kesesuaian penggunaan
tanah dengan rencana tata ruang wilayah atau perencanaan ruang
wilayah atau kota yang telah ada;
e. sarana dan prasarana yang tersedia; dan
f. faktor lainnya yang
BANGUNAN TANAMAN
tanah; 3) Slatus penguasaan
penggunaan tanah dengan rencana tata ruang wilayah;
6) Prasarana yang tersedia;
7) Fasilitas dan untilitas;
mempengaruhi harga tanah.
c. Nilai taksiran bangunan, tanaman, benda-benda lain yang
berkaitan dengan tanah;
TIDAKADA PENGATURAN
Penilaian harga bangunan dan/atau tanaman dan/atau benda-benda lain
yang berkaitan dengan tanah dilakukan oleh Kepala
DinaslKanlorlBadan di KabupalenIKota yang membidangi bangunan
dan/atau tanaman dan/atau benda-benda lain yang berkaitan dengan
tanab, dengan berpedoman pada slandar harga yang telah ditetapkan
peraturan perundang-undangan.
Dari penjelasan dalam tabel di alas maka dapat lerlihat adanya
perbedaan dalam faktor hitungan ganti kerugian obyek tanah.
Berdasarkan Permen Agraria/Kepala BPN No I Tahun 1994 terkandung
norma keharusan "ought to" memperhatikan tiga unsur: (\) nilai
tanah dengan memperhatikan Nilai lual Obyek Bumi dan Bangunan
(NJOP) tahun
74 )urnal Hukum dan Pembangunan Edisi Khusus Dies Natalis 85 Tahun
FHUI
terakhir; (2) Faktor-faktor yang mempengaruhi harga tanah; dan (3)
Nilai taksiran bangunan, tanaman, benda-benda lain yang berkaitan
dengan tanah. Sementara di dalam Peraturan Kepala BPN No 3 Tahun
2007, penilaian harga tanah berdasarkan pada Nilai Jual Obyek Pajak
(NJOP) atau nilai nyatalsebenarnya dengan memperhatikan NJOP tahun
berjalan, dan dapat berpedoman pada variabel-variabel tersebut
dalam Pasal 283 Dari kata-kata 'dapat berpedoman' terse but maka
secara hokum tidak mengandung norma ought to (keharusan)
sebagaimana ditetapkan dalam Permen Agraria/Kepala BPNNo 1 Tahun
1994.
Jika dibaca secara cermat, maka secara hukum ketentuan Pasal 28
Peraturan Kepala BPN No 3 Tahun 2007 tidak mengikat bagi panitia
penaksir menggunakan unsur-unsur yang disebut dalam ketentuan
tersebut, karena tidak ada terkandung norma keharusan sebagaimana
yg diatur dalam pasal 16 Permen Agraria/Kepala BPN No 1 Tahun
1994.
Penjelasan di atas adalah masalah inkonsistensi dalam tataran
normatif yang seringkali menjadi bahan perdebatan yang kerap kali
menjadi hambatan dalam rangka mencapai mufakat dalam musyawarah
yang dilakukan. Sementara untuk lebih jelasnya akibat dalam praktek
banyak terjadi penyimpangan dapat dilihat dalam uraian dalam bab
berikutnya.
B. Penerapan KONSINY ASI: Kekacauan Penerapan yang Cenderung
Sewenang-wenang
1. Konsinyasi dalam Pengadaan Tanah adalah Kesewenang-wenangan dan
Sebagai Perbuatan Melawan Hukum
Setelah berlakunya Peraturan Presiden Nomor 36 tahun 2005, dimulai
babak baru dalam rangka perolehan tanah bagi pembangunan untuk
kepentingan umum dengan adanya penerapan lembaga konsinyasi. Pasal
10 Peraturan Presiden Nomor 36 tahun 2005, menetapkan penerapan
konsinyasi sebagai berikut:
3 Garis tebal oleh penulis sendiri dimaksudkan untuk memberikan
penekanan terhadap istilah yang dipergunakan dalam nonna hukum yang
berlaku.
Perihal Pengaturan Ganti Kerugian Tanah untuk Pembangunan. Suparjo
75
(1) Dalam hal kegiatan pembangunan untuk kepentingan umum yang
tidak dapat dialihkan atau dipindahkan, secara tektIis tata ruang
ke tempat atau lokasi lain, maka musyawarah dilakukan dalam jangka
waktu paling lama 90 haJ-i kalender terhitung sejak tanggal
undangan pertama.
(2) Apabila setelah diadakan musyawarah. sebagaimana dimaksud pada
ayat (I) tidak tercapai kesepakatan, panitia pengadaan tanah
menetapkan bentuk dan besamya ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 13 dan menitipkan ganti rugi uang kepada pengadilan negeri
yang wilayah hukurnnya meliputi lokasi tanah yang
bersangkutan.
(3) Apabila terjadi sengketa kepemilikan setelah penetapan ganti
rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), maka panitia menitipkan
uang ganti rugi kepada pengadilan negeri yang, wilayah hukumnya
meliputi lokasi tanah yang bersangkutan.
Kemudian Peraturan Presiden Nomor 36 tahun 2005 angka 8. Ketentuan
Pasal 10 ayat (I) dan ayat (2) diubah, sehingga Pasal 10 berbunyi
sebagai berikut:
PasalJO: (J) Dalam hal kegialan pembangunan untuk kepenlingan
umum yang tidak dapat dialihkan atau dipindahkan secara teknis tala
mang kelempal atau lakasi lain. maka musyawarah dilakukan dalam
jangka waktu paling lama 120 (seratus duapu1uh) hari kalender
terhitung sejak tanggal undangan pertama.
(2) Apabila selelah diadakan musyawarah sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) tidak tercapai kesepakatan, panitia pengadaan tanah
menetapkan besarnya ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam Pasal J3
huruf a dan menitipkan ganti rugi uang kepada pengadilan negeri
yang wilayah hukumnya melipuli lakasi tanah yang
bersangkutan.
(3) Apabila terjadi sengketa kepemilikan setelah penelapan ganli
rugi sebagaimana dimaksud pada ayal (2). maka panilia menilipkan
uang ganti rugi kepada pengadi/an negeri.
Penerapan konsinyasi tersebut selanjutuya di uraikan kembali di
dalam ketentuan Pasal 48 Peraturan Kepala BPN No 3 Tahun 2007,
sebagai berikut:
76 Jurna/ Hukum dan Pembangunan Edisi Khusus Dies Nata/is 85 Tahun
FHUI
(1) Panitia Pengadaan Tanah Kabupalen/Kola memerinlahkan kepada
inslansi pemerinlah yang memerlukan lanah unluk menilipkan ganli
rugi uang ke pengadilan negeri yang wilayah hukumnya melipuli lelak
tanah bagi pelaksanaan pembangunan dalam hal:
a. yang berhak atas ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43
ayat (1) tidak diketahui keberadaannya;
b. tanah, bangunan, tanaman dan/atau benda-benda lain yang
berkaitan dengan tanah, sedang menjadi obyek perkara di pengadilan
dan belum memperoleh putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan
hukum tetap;
c. masih dipersengkelakan kepemilikannya dan belum ada kesepakatan
penyelesaian dari para pihak; dan
d. lanah, bangunan, tanaman dan/atau benda-benda lain yang
berkaitan dengan tanah, sedang diletakkan sita oleh pihak yang
berwenang.
(2) Untuk dapat menitipkan ganti rugi sebagaimana dimaksud pada
ayat (/) dan Pasal 37 ayat (4), instansi pemerintah yang memerlukan
tanah mengajukan permohonan penetapan kepada Ketua Pengadilan
Negeri yang wilayah hukumnya meliputi letak tanah bagi pelaksanaan
pembangunan.
(3) Permohonan penetapan penitipan sebagaimana dimaksud pada ayat
(2), dengan melampirkan :
a. nama yang berhak atas ganti rugi yang ganti ruginya
dititipkan;
b. undangan penerimaan pembayaran ganti rugi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 44 ayat (2); dan
c. surat-surat : 1) Berila Acara Penyerahan Ganti Rugi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (2) atau ayat (3);
2) Berita Acara Hasil Pelaksanaan Musyawarah Lokasi Pembangunan
Untuk Kepentingan Umum dan Penelapan Bentuk
Perihal Pengaturan Ganti Kerugian T anah untuk Pembangunan, Suparjo
77
danlatau Besarnya Ganti Rug; sebagaimana dimaksud dalam
Pasa138.
3) Keputusan BupatiIWalikata atau Gubemur atau Menteri Dalam Negeri
sebagaimana dimaksud dalam Pasal41 ayat (2), ayat (3), ayat (4) dan
ayat (7);
4) Keterangan dan alasan hukum penitipan ganti rug;; dan
5) Surat-surat lain yang berhubungan dengan penitipan ganti
rugi.
Terbadap penerapan konsinyasi ini mendapatkan kritik dari dua guru
besar temama di republic ini, yaitu Boedi Harsono dan Maria
Soemardjono. Keduanya berpendapat adanya kekeliruan penerapan
konsinyasi (penitipan di pengadilan) terhadap uang ganli rugi yang
belum disepakali, berdasarkan ketentuan ketentuan di atas.
Boedi Harsono, menyatakan bawha sehubungan dengan adanya kebutuhan
perolehan tanah dalam keadaan biasa, tidak dibenarkan adanya
paksaan dalam bentuk apapun dan oleh pihak manapun kepada pemegang
haknya untuk menyerahkan tanah kepunyaannya dan alau menerima
imbalan yang tidak (belum) disetujuinya, termasuk juga penerapan
lembaga penawaran pembayaran yang diikuti dengan konsinyasi pada
pengadilan negeri seperti yang diatur di dalam Pasal 1404
KUH-Perdata4
Maria Soemardjono, menyatakan masalah penitipan uang ganti kerugian
kepada Pengadilan Negeri (PN) bila lokasi pembangunan tidak dapat
dipindahkan, namun musyawarah tidak mencapai hasil setelah
berIangsung 120 hari kalender (sebelumnya 90 hari) dalam Pasal 10.
PerIu ditegaskan, penerapan lembaga penawaran pembayaran yang
diikuti dengan penitipan pada PN yang diatur dalam Pasal 1404 KUH
Perdata keliru diterapkan dalam perpres ini.'
Penjelasan terhadap kritik tersebut dapat dijelaskan dengan
penjelasan mengenai asal muasal alau eksistensi keberadaan
4 Boedi Harsono. "Hukum Agraria Indonesia:Sejarah pembentukkan
UUPA, isi dan Pelaksanaannya, jilid 1 Hukum Tanah Nasional",
(Jakarta: Djambatan, 2003), hal. 346.
S Lihat dalam situs:
<http://www.unisosdem.orgiekopol_detail.php?aid=6447&
coid~3&caid~21>.
78 Jurnaf Hukum dan Pembangunan Edisi Khusus Dies Natalis 85 Tahun
FHUf
konsinyasi tersebut. Pengaturan konsinyasi dalam Pasal 1404 sampai
Pasal 1412 KUHPerdata. Konsinyasi yang dimaksud dalam KUH Perdata
adalah penitipan yang dilakukan di kantor panitera pengadilan
negeri dalam hal tata eara pembayaran yang dilakukan oleh debitur,
dikarenakan kreditur tidak mau menerima pembayaran debitur.
Penolakan kreditur menerima pembayaran oleh debitur terse but, ada
kalanya bermotif meneari keuntungan yang lebih besar. sesuai Pasal
1404 KUH Perdata. Adapun isi dari pasal 1404 tersebut adalah: Jika
si berpiutang menolak pembayaran, maka si berhutang dapat melakukan
penawaran pembayaran tunai apa yang diutangkannya, dan, jika si
berpiutang menolaknya, menitipkan uang atau barangnya kepada
pengadilan. Penawaran yang sedemikian, diikuti dengan pemttpan,
membebaskan si berhutang, dan berlaku baginya sebagai pembayaran,
asal penawaran itu telah dilakukan dengan eara menurut undang -
undang; sedangkan apa yang dititipkan seeara itu tetap atas
tanggungan si berpiutang.
Dari uraian mengenai konsinyasi tersebut yang di dalam KUH-Perdata
termasuk dalam bukum ketiga tentang perikatan. Adapun salah satu
bentuk perikatan adalah timbul atau terbit dari perjanjian yang
merupakan wujud kesepakatan para pihak.
Konsinyasi merupakan salah satu bentuk hapusnya perikatan. Dengan
demikian setiap konsinyasi harus didahului adanya perikatan.
Padahal penerapan konsinyasi berdasarkan Prepres Nomor 65 tahun
2006 tersebut tidak ada perikatan antara pihak yang akan melepaskan
dengan pihak yang akan dilepaskan haknya dan konsinyasi hanya dapat
dikatakan sah apabila ada penetapan dari PN. Konsinyasi ala Perpres
36/2005 merupakan konsinyasi model baru yang tidak melindungi
zaaken recht pemegang hak atas tanah yang sah karena mengandung
unsur pemaksaan dan seeara hukum termasuk tindakan yang
sewenang-wenang sebagai perbuatan melanggar hukum
(onrechtmatigheids oversdaad) , pejabat pemerintah yang duduk di
dalam Panitia Pengadaan Tanah.
2. Konsinyasi Tidak DikenallKelirn dalam Pengelolaan APBN
Selain tidak dapat dibenarkan seeara hokum berdasarkan penjelasan
di atas, bahkan penerapan konsinyasi dalam pengadaan tanah yang
menggunakan dana APBN temyata tidak dikenal
Perihal Pengaturan Ganti Kerugian Tanah untuk Pembangunan, Suparjo
79
sehingga tidak dibenarkan penerapannya. Pemahaman ini seperti yang
ditulis oleh Ujang Bahar di dalam Jumal Hukum dan Pembangunan ·
Fakultas Hukum UI. Dalam tulisannya Ujang Bahar menegaskan bahwa
cara pembayaran atau pengeluaran belanja Negara oleh KPPN dilakukan
dengan dua cara, yaitu:
I. Melalui Uang Persediaan (UP) sebagai uang muka kerja yang
dibayarkan kepada bendahara pengeluaran (BP) pada instansi/lembaga
yang menguasai anggaran;
2. Melalui pembayaran langsung (LS), kepada pihak ketiga yang
berhak atas tagihan kepada Negara.
Dalam kasus pembebasan tanah untuk kepentingan umum dilakukan oleh
KPPN selaku kuasa Bendahara Umum Negara (BUN) langsung kepada
pemegang hak atas tanah sepengetahuan Panitia Pengadaan Tanah (PPT)
dengan cara mengkredit rekening pemegang hak atas tanah pada bank
yang ditunjuk dengan syarat setelah tanah yang dibebaskan jelas
statusnya,tidak sengketa dan tidak sedang dijaminkan.
Juga adanya kejelasan keabsahan status pemegang hak. Dalam hal
demikian maka Menteri keuangan selaku BUN hanya akan melakukan
pembayaran ganti rugi atas pengadaan tanah yang telah dilakukan
setelah status clearance (dalam bahasa hukum: legal-resmi-sah).
Ujang Bahar kemudian menegaskan oleh karenanya tidak mungkin
terjadi penitipan (konsinyasi) uang ganti kerugian ke pengadilan
negeri, karena memang uang tersebut tidak berada di tangan
Bendahara Pengeluaran (BP) dari instansi pemerintah yang memerlukan
dan melakukan pengadaan tanah juga tidak di tangan PPT itu sendiri.
6
Jadi dengan demikian secara mendasar dari aspek pengeluaran dan
penggunaan anggaran (APBN) penerapan konsinyasi jelas bertentangan,
atau menyalahi ketentuan dan tidak selaras dengan prosedur cara
pembayaran atau pengeluaran belanja Negara oleh KPPN.
6 SeJengkapnya Jihat Ujang Babar, Permasalahan Pembayaran ganli
rugi Pengadaan Tanah bgi Pelaksanaan Pemhangunan untuk Kepantingan
Umum, JumaI Hukum dan Pembangunan No.1 Tabun ke-38, Januari 2008,
hal. 122-147.
80 Jurnal Hukum dan Pembangunan Edisi Khusus Dies Natalis 85 Tahun
FHUI
III. Beberapa Contob Praktek Pemberian Ganti Kerugian Dalam Rangka
Peroleban Tanah (Kesalahan Penafsiran Peraturan)
Pad a bagian sebelumnya telah diuraikan masalah pemberian ganti
rugi dan penerapan konsinyasi yang kurang tepat atau tidak berdasar
hukum. Oalam bag ian ini akan diuraikan beberapa permasalahan yang
aktual dalam rangka pembebasan tanah yang diambil dari kasus-kasus
penting yang terjadi yang sudah ada putusan pengadilan maupun yang
masih dalam proses penyelesaian. Tentu saja ada kaitan dengan
masalah dalam tataran normatif yang telah diuraikan sebelumnya.
Adapun masalah-masalah tersebut dapat dilihat dalam uraian berikut
ini.
A. Musyawarab yang Tidak Sukses dalam Tabapan Pengadaan
Tanab'
1. Musyawarab Buntu:Ganti Rugi Tanab TPA Cigedig Desa
Sarimukti
Musyawarah penentuan harga 4 hektar tanah yang terkena longsoran
dari TP A Cigedig Oesa Sarimukti, Kamis (27/9), menemui jalan
buntu. Warya pemilik 25 kaveling keukeuh mematok
Rp.50.000,00/meter, sedangkan PO Kebersihan Kota Bandung dan Pemkot
Cimahi bertahan Rp.20.000,00/meter2
Musyawarah yang difasilitasi Panitia Pengadaan Tanah untuk
Kepentingan Vmum Kab. Bandung itu berjalan dalam tiga sesi. Pada
sesi pertama, warga menginginkan harga Rp.IOO.OOO,OOI meter2. Harga
ini dinilai terlalu tinggi. PO Kebersihan, melalui Oirektur Vmum,
Nana Maulana, menawar jadi Rp.IO.OOO,OO. Bagaimanapun, kami terikat
kepada Peraturan Presiden No. 65/2006. Soal barga, kami berpatokan
kepada nilai jual objek pajak (NJOP) dan barga senyatanya
(pasaran), ungkap Nana Maulana, Oirektur Vmum PO Kebersihan Kota
Bandung.
Nana melanjutkan, harga terse but berdasarkan surat keterangan dari
Kepala Oesa Sarimukti, bahwa NJOP lanah paling di Blok Cipandawuhan
senilai Rp.IO.OOO,OO.Sementara, harga pasaran tanah di sana berada
di kisaran Rp 20.000,00 hingga Rp.25.000,00. Pada sesi kedua, warga
mengajukan harga Rp.50.000,00/mete? Nilai ini pun masih dinilai
terlalu tinggi.
7 Sumber berita: <htlp:/lbandungkab.go. id/index. php?option=com
_ content&task= view&id=934&Itemid=22>, diakses
tanggal 28 September 2007.
Per;ha/ Pengaturan Gant; Kerug;an Tanah untuk Pembangunan. Suparjo
81
Nana lalu mengutip akta jual-beli tanah di blok tersebut yang
terjadi pada 6 Agustus 2007 lalu.Ada warga yang menjual tanah
seluas 812 mete? sebesar Rp 11,6 juta. Jadi, harga semetemya
Rp.14.300,00.
Musyawarah sempat diskors selama 5 menit untuk memberikan
kesempatan kedua pihak untuk berdiskusi. Rupanya, warga tetap
bertahan di angka Rp.50.000,00. Kalau di bawah itu, lebih baik
kembalikan lahan kami menjadi sawah. Di lain pihak, PD Kebersihan
dan Pemkot Cimahi juga enggan membeli dengan harga jauh di atas
NJOP dan harga pasaran.Kami hanya sampai pada harga pasaran,
sebagaimana keterangan dari kades, yakni Rp20.000,00/meter2,ungkap
Nana, diamini Sumardjito, Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kota
Cimahi. Hingga acara diakhiri, musyawarah tak menghasilkan kala
sepakat
2. Musyawarah Macet: Batas Waktu Warga yang Terkena Pembebasan,
Ambil Uang Konsinyasi di PN Surabaya8
Selasa, 13 Januari 2009 adalah deadline bagi lima warga yang
terkena pembebasan tanah di akses jalan menuju jembatan Suramadu
untuk mengambil uang konsinyasi di Pengadilan Negeri (PN) Surabaya.
Deadline itu juga untuk berlaku dua warga yang terkena akses MERR
II-A di Jalan Kenjeran. Jika hari ini mereka tak membongkar
rumahnya, pemkot dan Polres Surabaya Timur akan mengambil alih
pembongkaran. Hingga kemarin, belum satu pun dari lima warga Kedung
Cowek yang membongkar bangunannya. Mereka masih kukuh bertahan
menolak pembebasan lahan. Rumah dua warga di Jalan Kenjeran yang
untuk akses MERR II-A juga masih berdiri. Sundari, salah seorang
warga, kemarin mengaku sudah menggugat lewat jalur PTUN soal
eksekusi itu. Tak hanya itu, dia bersama suami juga mengadu ke
Komisi A DPRD Jatim. Komisi A siap turun membantu saat eksekusi
dilakukan.
Sundari mengatakan, bokan tanpa aIasan dia menolak eksekusi itu.
Sebab, sesuai kesepakatan awal pada 2003, dia dijanjikan mendapat
ganti rugi Rp.4 juta per meter untuk ganti tanah dan bangunan.
Ketika itu Sundari sempat menerima DP (down payment atau uang muka,
Red) Rp.1O juta. Namun, tiba tiba dia mendapat surat pemberitahuan
agar mengambil uang
8 Sumber:
<http://www.jawapos.co.idlmetropolislindex.php?act=detail&nid=46
J 00>.
82 )urna/ Hukum dan Pembangunan Edisi Khusus Dies Nata/is 85 Tahun
FHU/
konsinyasi ke PN. Narnun pengambilan dana kompensasi antara
pembebasan tanah dan bangunan tidak sarna. Untuk konsinyasi
bangunan diambil di PN. Harga rumahnya dinilai Rp.ll6 juta
sedangkan, ganti rugi tanah tidak melalui konsinyasi dan bisa
diarnbil di pemkot. Per meter tanahnya dihargai Rp.2,2 juta dengan
alasan, tanah Sundari sedang bermasalah. Pemkot bilang tanah
Sundari sedang digugat kakaknya. Kakak Sundari sebenarnya tidak
menggugat maka, Sundari bertekad mempertahankan tanah dan rumahnya
hingga titik akhir.
Asisten II Sekkota Barata Fandi Sutadi mengakui bahwa pihaknya
telah mengirim surat pemberitahuan kepada lima warga di Ialan
Kedung Cowek maupun dua warga di Ialan Kenjeran. Surat
pemberitahuan tertanggal 9 Ianuari itu berisi imbauan agar warga
segera mengambil uang konsinyasi ke PN, paling lambat hari ini.
Setelah itu diharapkan warga segera membongkar sendiri bangunannya.
Iika warga menolak pengajuan konsinyasi, pemkot dan Polresta
Surabaya Timur akan mengeksekusi bangunan warga.Eksekusi dua rumah
di jalan Kenjeran sebagai akses MERR II-A dilakukan. Sedangkan
eksekusi lima rumah untuk akses Surarnadu dilakukan Karnis (IS
januari 2009). Sutadi berpendapat bahwa eksekusi itu sudah sesuai
Perpres No 36 Tahun 2005.
Menurut Sutadi aturan konsinyasi memang diperbolehkan dan jika
terjadi penolakan, negara diperbolehkan mengeksekusi bangunan
warga. Pemkot sudah berkoordinasi dengan kepolisian karena yang
dilakukan sudah sesuai prosedur. Iika tidak, baik pengadilan maupun
pihak kepolisian tidak mendukung langkah pemkot.
Di tempat terpisah, warga pemilik lahan sisa akses Suramadu terus
berusaha melawan rencana konsinyasi itu. Mereka telah mendatangi
gedung DPRD Jatim. Dalam pertemuan itu, mereka ditemui beberapa
anggota Komisi A. Para pemilik lahan ini mempertanyakan prosedur
konsinyasi yang mereka anggap tidak transparan. Mereka meminta agar
anggota dewan untuk mengetahui masalah ini seperti yang diminta
oleh M. Yunus, salah satu pemilik lahan.
Perihal Pengaturan Ganti Kerugian Tanah untuk Pembangunan, Suparjo
83
3. Proyek Tol Pendekatan KONSINY ASI)9
Cijago: P2T Diharapkan Lakukan Kekeluargaan (Kesampingkan
Setelah memberikan Surat Keputusan (SK) kepada pengurus Panitia
Pengadaan Tanah (P2T) yang bam, wali kota dan wakil wali kota
Depok, selaku penanggung jawab P2T berharap pengurus P2T segera
melakukan pendekatan yang persuasif kepada warga yang tanahnya
terkena jalur Tol Cinere-Jagorawi (Cijago). Pengurus P2T baru
segera melakukan pendekatan kepada warga. Pen gurus P2T yang baru
tersebut mengacu kepada Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional
Nomor 3/2007 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Presiden No
36/2005 Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk
Kepentingan Umum. Pengurus P2T yang baru sudah menerima SK wali
kota tertanggal 12 September 2007, dengan Nomor:
821.29/209IKpts/Pem.OtdaIHukl2007, dengan ketua P2T dijabat oleh
Sekda Kota Depok, dan sekretarisnya dijabat oleh Kepala Seksi
Sengketa Konflik dan Perkara BPN Kota Depok.Y uyun Wirasaputra
mengatakan, pendekatan secara kekeluargaan, adalah langkah bagus
untuk mencari solusi kesepakatan harga ganti rugi tol
Cijago.Pengurus P2T yang bam, kata dia, hendaknya dapat secepat
mungkin melakukan dialog-dialog sebelum ada pertemuan musyawarah
antara TPT (Tim Pembebasan Tanah) PU pusat. Forum dialog-dialog
dengan beberapa warga di wilayah Cimanggis sangat tepat sebelum ada
pertemuan dengan TPT.
Dengan begitu, kata dia, warga akan mengerti dan mau mengikuti
musyawarah. Sehingga ada titik temu, kemudian warga segera menerima
ganti rugi tanah, bangunan dan tanaman miliknya.Sementara itu,
Walikota Depok, Nurmahmudi Ismail, yakin dalam musyawarah ganti
rugi tol Cijago di wilayah Cimanggis akan ada kesepakatan.
Nurmahmudi optimis pada musyawarah ketiga dengan warga ada
kesepakatan harga, karena kondisi saat ini sangat kondusif. Yang
menerima uang ganti rugi rumah dan tanah itukan warga. Karena itu,
walikota menginginkan kepada warga yang lahannya terkena gusur
untuk proyek jalan tol menyepakati harga ganti rugi yang diberikan
TPT. Walikota menegaskan, dengan itu, TPT tidak akan
• Sumber:
<http://www.gatra.coml2007-09-24/artikel.php?id~107976>.
diakses tanggal. 21 September 2007.
84 Jurnal Hukum dan Pembangunan Edisi Khusus Dies Natalis 85 Tahun
FHUI
mengambil langkah konsinyasi Galur hukum Pengadilan Negeri Depok).
TPT tidak menginginkan adanya konsinyansi, lewat musyawarah lebih
diutamakan. Jika melalui konsinyansi atau menaruh uangnya di
Pengadilan Negeri Depok, maka muncul masalah di mana warga
mengambil uang ganti rugi di sana sesuai dengan prosedur yang telah
ditetapkan.
B. Kasus Korupsi dalam Pembebasan Tanah
Dalam perkembangan terakhir dalam pembebasan tanah telah pula
menimbulkan kasus korupsi yang terjadi. Hal itu sejalan dengan
semakin meningkatnya kinerja KPK dalam upaya memberantas
praktek-praktek korupsi. Untuk memperjelas masalah ini berikut ini
diuraikan beberapa kasus:
1. Mantan Wakil Gubernur NTB, Diajukan ke Persidangau sebagai
Terdakwa Kasus Dugaan Korupsi Pengadaan Tanah10
Pad a tanggal II Maret yang lalu Terdakwa yang saat itu menjabat
sebagai Sekda dan PIt Bupati Sumbawa sekaligus ketua panitia
pengadaan tanah menerbitkan surat keputusan Bupati Sumbawa No.
1397.a. Th.2001 tertanggal 6 Nopember 2001 tentang penetapan lokasi
pengadaan tanah cadangan untuk keperluan pemerintah Kabupaten
Sumbawa, dan menetapkan lokasinya di Kelurahan Seketeng (sekarang
Uma Sima) seluas 20.000 meter persegi (2 Ha), sesuai dengan tanah
yang ditawarkan saksi Lala Intan Gemala (yang juga sudah menjadi
terdakwa dalam kasus yang sama).
Selanjutnya tanpa diadakan penelitian dan inventarisir atas tanah,
bangunan, tanaman, dan benda-benda lain yang ada kaitannya dengan
tanah yang hak atasnya akan dilepaskan dan status hukumnya serta
tanpa mengadakan musyawarah dengan para pemegang hak atas tanah
(saksi M Faried Wadjedi) dan instansi pemerintah yang memerlukan
tanah, terdakwa selaku ketua panitia menerbitkan surat keputusan
panitia pengadaan tanah Kabupaten Sumbawa No. 580.1/38/PPT/2001
tertanggal 7 Nopember 200 I. Surat ini tentang penetapan besarnya
uang ganti
10 JPU Ni/ai Perbuatan Bonyo Merugiko.n Negara, Gaung NTB, II
Maret, 2009.
Peri hal Pengaturan Ganti Kerugian T anah untuk Pembangunan,
Suparjo 85
kerugian tanah seluas 2 Ha seharga Rp,525 juta. Jaksa menjelaskan
bahwa dalam surat pertimbangan surat keputusan itu pada poin b,
penetapan harga tersebut seolah-olah telah dilakukan musyawarah
dengan pemilik tanah, melakukan pengukuran dan menginventarisir
status tanah, pemilik/penguasaan tanab sew tanaman tumbuh atau
benda-benda lain yang ada di atasnya. Padahal kenyataannya hal itu
tidak pemah dilakukan.
surat keputusan yang ditandatangani terdakwa tersebut kemudian
dijadikan dasar oleh Pimpro M Eodang Ariyanto melakukan pembayaran
tanah dengan menstransfer dana Rp 525 juta ke rekening atas nama
Lala Intan Gemala meski bukan sebagai pemilik tanah. Karenanya
perbuatan terdakwa bersama Endang dan Lala lntan, telah
mengakibatkan kerugian Neg;ua sebesar Rp 395 juta kelebihan dari
harga sebenamya Rp no juta dari anggaran Rp 525 juta.Terdakwa
diancam pidana dalam pasal 2 ayat (I) jo pasal 17 jo pasal J 0 UU
No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo
pasal 5S ayat (1) ke-l KUHP.
2. Indikasi Korupsi Pengadaan Lahan PL TU 2 Bante .. Menguat"
Indikasi korupsi itu menguat karena I 1 orang pemilik awal lahan PL
TV 2 Banten mengaku j ika tanah mereka yang rata-rata
. Iuasnya 1.000 m2 hanya dihargai Rp 15 ribulmeter persegi.
Padahal, PLN sebagai pengguna lahan melalui panitia pengadaan tanah
telah menetapkan standar harga beli tanah senilai Rp 51 ribulmeter
persegi. Hal ini, teJjadi karena panitia pengadaan laban membeli
tanah bukan pada pemilik awal tanah, tetapi pada para spekulan
alias calo tanah yang sudah berkeliaran begitu lokasi di Desa
Sukamaju ditetapkan sebagai lokasi PLTU 2 Banten. Apalagi dalam
BAP, warga mengaku, speknlan yang mayoritasnya berasal dari oknum
pemerintahan telah membohongi mereka dengan mengatakan lahan
tersebut dibebaskan karena hendak dibuat tambak udang. tambak ikan
lete, dan peternakan katak. Selain itu, penyelewengan dalarn kasllS
pengalihan lahan PLTU 2 Banten teJjadi karena proses juaI
beli
II Sumber berita: Republika, 23 Oktober 2007 daJam situs:
<http://www.radarbanten.comlmod.
php?mod=publisher&op=viewarticle&artid=39319>~ diakses
tanggal 20-Maret-2009.
•
lahannya hanya didasari Surat Pemberitahuan Pajak Tahunan (SPPT),
bukan AJB atau sertifikat. Akibatnya, banyak pemilik sah lahan yang
semestinya mendapatkan ganti rugi layak malah tidak dapat apa-apa.
Atas pembuatan BAP lanjutan itu, tercatat 50 warga pemilik awal
lahan PLTU 2 Banten telah dimintai keterangan. Setelah membuat BAP,
tim Intelijen Kejati Banten akan meminta bantuan kepada tim teknis
dari Badan Pertananan Nasional (BPN) Pandeglang untuk meneliti
riwayat tanah.
3. Kasus Korupsi Pengadaan Tanah Seluas 6 (enam) Hektare Badan
Pengawas Tenaga Nuklir (Bapeten) Disidangkan12
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) mulai menggelar
persidangan kasus pengadaan tanah seluas enam hektare pada Proyek
Peningkatan Kelembagaan dan Sarana (PKS) Badan Pengawas Tenaga
Nuklir (Bapeten). Dua terdakwa diajukan dalam kasus pengadaan pada
2004 ini. Mereka adalah pimpinan proyek, Sugiyo Prasojo; dan Kepala
Biro Umum Bapeten, Abdul Salam. Kerugian negara diperkirakan
mencapai Rp.9,415 miliar. Kedua terdakwa dijerat dengan dakwaan
berlapis. Salah satu dakwaan adalah suap kepada anggota Komisi VII
DPR saat itu.
Perbuatan kedua terdakwa merugikan negara cq Bapeten Rp.9,415
miliar. Dalam dakwaannya Sarjono mengatakan Sugiyo telah diperkaya
Rp.386,091 juta dan Abdul Salam diperkaya Rp.3,738 miliar.
Selebihnya, dengan nominal antara Rp.15 juta hingga Rp.I ,643
miliar, dibagikan pada 16 orang lain dari Bapeten, dan saksi lain
termasuk dari Badan Pertanahan Nasional (BPN).
Kerugian negara Rp.9,415 miliar ini bermula dari proyek pengadaan
tanah untuk lokasi pembangunan gedung pusdiklat Bapeten. Pengadaan
lahan itu mendapatkan alokasi dana dari Anggaran Biaya Tambahan
(ABT) 2004 Bapeten sejumlah Rp 19 miliar. Menurut PU, Sugiyo telah
mengabaikan keputusan Presiden Nomor 5511993 tentang tata cara
pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan
umum. Sarjono menambahkan, Sugiyo sebagai Pimpro PKS Bapeten dan
Abdul
12 Sumber berita:
<http://www.kpk.go.idimodulesinewslarticie.php?storyid=2409>.
diakses tanggal 23 Oktober 2007.
Per;hal Pengaturan Gant; Kerug;an Tanah untuk Pembangunan, Suparjo
87
Salam menunjuk Direktur PT Hoemar, Midi Wiyono, untuk mencari tanah
seluas enam hektare guna lokasi pembangunan gedung Pusdiklat
tersebut. Kedua terdakwa, lanjut JPU, Sarjono, terus mendesak Midi
W iyono untuk segera mendapatkan tanah bagi proyek PKS Bapeten,
padahal pada saat itu anggaran belum tersedia.
Karena desakan tersebut, Midi Wiyono dan seorang perantara Jejen
laenudin menemui saksi Indriawan Lubis pemilik tanah di Cisarua
yang menawarkan tanah seharga Rp.250 ribu per meter persegi.
Tetapi, Midi Wiyono diperintahkan kedua terdakwa untuk segera
menyiapkan surat keterangan harga pasaran tanah. Surat keterangan
itu mencantumkan harga tanah adalah Rp.400 ribu per meter persegi.
Padahal, kata PU, kedua terdakwa mengetahui harga pasaran tanah
sekitar lokasi itu adalah Rp. I 70 ribu per meter persegi. Pada
Oktober 2004 kedua terdakwa bertemu dengan Midi Wiyono, notaris,
dan kuasa penjual dari pemilik tanah Fenny Sulifadarti, dan
bendaharawan proyek PKS, Muhiddin.
Uang yang dibayarkan kepada tiga pemilik lahan beserta biaya
administrasinya hanyalah Rp.IO,563 miliar. Selebihnya, dinikmati
kedua terdakwa dan 16 orang lain. Di antara 16 nama itu, Fenny
mendapatkan Rp.l ,643 miliar, dan Midi memperoleh Rp. 710 juta.
Kepala Bapeten saat itu, Azhar Djaloeis,disebutkan juga menerima
Rp.500 juta.
IV. Penutup
Dari penjelasan yang telah diuraikan diatas maka sebagai penutup
dapat disimpulkan beberapa hal penting dalam permasalahan pemberian
ganti kerugian dalam rangka pengadaan tanah untuk kepentingan
umum:
I. Masih terjadi ketidakpastian hukum mengenai pengaturan pemberian
ganti kerugian dalam rangka pengadaan tanah untuk kepentingan umum
terkait dengan tahapan perolehan tanah. Peraturan yang ada masih
memiliki celah lebar bagi kesewenang wenangan dan bersifat melawan
hukum.
2. Timbulnya kesewenang-wenangan dalam rangka pemberian ganti
kerugian pengadaan tanah untuk kepentingan umum, telah menimbulkan
praktek-praktek korupsi yang terjadi di banyak tempat, yang
sebaiknya menjadi perhatian semua pihak yang terlibat dan memiliki
tugas dan peranan dalam pengadaan tanah.
88 )urna/ Hukum dan Pembangunan Edisi Khusus Dies Natalis 85 Tahun
FHU/
Dalam bagian penutup ini kiranya dapat diberikan beberapa usulan
rekomendasi sebagai solusi untuk menghindari timbulnya permasalahan
dalam rangka pengadaan tanah untuk kepentingan umum:
I. Dalam rangka menegakkan hukum dan memberikan kepastian hukum
maka praktek penerapan konsinyasi sebaiknya dihentikan, sebagaimana
dicontohkan oleh walikota depok dalam kasus pembebasan tanah untuk
ruas jalan tol CIJAGO. Hal itu dianggap tidak tepat jika pendekatan
yang lebih adil, kekeluargaan masih dapat di lakukan.
2. Dalam rangka menengahi ataupun menyelesaikan permasalahan
kemacetan dalam musyawarah penetapan ganti kerugian, sebaiknya
dilibatkan pengadilan. Hal itu mengingat pada dasarnya telah
terjadi sengketa yang terlihat dari tidak tercapainya mufakat atau
kesepakatan dalam musyawarab.Pengadilan lab satu-satunya aternatif
logis dalam sistem hukum Indonesia secara ideal dalam menyelesaikan
sengketa dan tidak terjebak pada aturan yang tidak memiliki
legitimasi secara hukum. Praktek semacam ini banyak diterapkan di
Negara-negara lain seperti Jepang, Taiwan, Amerika Serikat.
Pertimhangan lainnya adalab untuk mencegah tindakan sewenang-wenang
yang menimbulkan praktek korupsi dalam rangka pengadaan
tanah.
Dari berbagai contoh yang diuraikan dalam makalah ini kiranya patut
menjadi renungan demi terciptanya kemakmuran sebesar-besarnya
rakyat Indonesia melalui keluhuran budi para penyelenggara Negara
seperti yang pernab dimuat di dalam penjelasan UUD RI tahun 1945.
Hal itu didasarkan adanya kesadaran adanya kelemahan peraturan yang
dibuat manusia, sehingga Soepomo waktu itu mengusulkan redaksi
Penjelasan UUD yang lebih mementingkan keluhuran budi penyelenggara
Negara ketimbang isi UUD yang tidak sempurna.
Perihal Penga!uran Gan!i Kerugian T anah untuk Pembangunan, Suparjo
89
Sumber Referensi
Harsono, Boedi. Hukum Agraria Indonesia:Sejarah pembentukkan UUPA,
is i dan Pelaksanaannya, jilid 1 Hukum Tanah Nasional, Jakarta:
Djambatan, 2003
Hutagalung, Arie Sukanti. "Konsepsi yang mendasari Penyempurnaan
Hukum Tanah Nasional ", Pidato Pengukuhan Guru Besar, Univers itas
Indonesia, Depok, Agustus 2003
<http://bandungkab . go. id/index. php?option=com _
content&task=view & id=9 34&Itemid=22>, diakses
tanggal28 September 2007.
<http://www.gatra.com/2007-09-24/artikel.php?id=1 07976>,
diakses tanggal 2 I September 2007.
<http://www.jawapos.co.idlmetropolis/index.
php?act=detail&nid=461 00>, diakses tanggal
<http://www.kpk.go.idlmodules/news/articie.php?storyid=2409>
diakses tanggal 23 Oktober 2007.
<http://www.unisosdem.orglekopol_detail.php?aid=644 7
&coid=3&caid=21 >
Republika, 23 Oktober 2007 dalam situs:
<http://www.radarbanten.com/
mod.php?mod=publisher&op=viewarticie&artid=39319>,
diakses tanggaI20-Maret-2009.