21
Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Indonesia Vol. 13 No. 1, Juli 2012: 69-89 ISSN 1411-5212 Perdebatan Teori Rasionalitas dalam Menjelaskan Terbentuknya Biaya Transaksi pada Seleksi Pegawai Negeri The Debate of Rationality Theory in Explaining the Formation of Illegal Cost of Transaction M. Firmansyah a,* , Agus Suman b,** , Asfi Manzilati b , Susilo b a Fakultas Ekonomi, Universitas Mataram b Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Brawijaya Abstract A civil servant selection attributes transaction cost. Aim of this conceptual paper is to explain behavior of transaction cost payment from perspective theory of the rationale of economics. This study was conducted by understanding various theories regarding a phenomena of transaction cost payment. This study revealed transaction cost payment as typical self interest and utility maximization (neo-classic rationality), to behave as Al-Nafs Al-Ammarah (Islamic rationality). The transaction cost payment was encouraged by perception, understanding and prior experiences (Keynes rationality), environment (psychology rationality). However, there was a limited scope of information for transaction cost payment (bounded rationality). Keywords: Rationality Theory, Transaction Costs, Civil Service Applicants Abstrak Seleksi pegawai negeri sering kali memunculkan biaya transaksi. Tujuan dari artikel konseptual ini adalah menjelaskan perilaku membayar biaya transaksi tersebut dalam perspektif teori rasionalitas ilmu ekonomi. Studi dilakukan dengan memaknai berbagai perdebatan teori rasionalitas dan menghubungkannya dengan fenomena membayar biaya transaksi. Hasil studi menunjukkan membayar biaya transaksi sebagai bentuk self interest dan maksimalisasi utilitas (rasionalitas neo-klasik), sebagai perilaku Al-Nafs Al-Ammarah (rasionalitas Islam). Membayar biaya transaksi juga dibentuk oleh persepsi, pemahaman, dan pengalaman perilaku sebelumnya (rasionalitas Keynes), lingkungan (rasionalitas sosiologi), dan kepribadian (rasionalitas psikologis). Di samping itu, terdapat keterbatasan informasi dalam membayar biaya transaksi tersebut (bounded rationality ). Kata kunci: Teori Rasionalitas, Biaya Transaksi, Seleksi Pegawai Negeri Sipil JEL classifications: A12, A14, D82 Penulis mengucapkan terima kasih kepada Prof. Munawar, PhD, Prof. Chandra F. Ananda, PhD dan Arief Hoetoro, PhD atas saran dan diskusi yang mem- bangun sehingga artikel ini dapat diselesaikan. * Alamat Korespondensi: Jl. Majapahit No. 62 Telp. (0370) 631935. Mataram 83125. Hp. 082131476810. E- mail : [email protected]. ** Alamat Korespondensi: Jl. Mayjen Haryono 165 Malang. Telp. (0341) 562154, 551396, 553834. Faks. (0341) 556701. Pendahuluan Perkembangan teori rasionalitas saat ini tidak lagi mengenal batasan ilmu. Ekonomi, psiko- logi, biologi hewan, antropologi, dan juga fil- safat masing-masing mengembangkan model, simpulan dan pengambilan keputusan berbasis rasionalitas (Gigerenzer dan Selten, 2001). Ba- gi ilmu ekonomi, rasionalitas dapat dianggap

Perdebatan Teori Rasionalitas dalam Menjelaskan

  • Upload
    others

  • View
    14

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Perdebatan Teori Rasionalitas dalam Menjelaskan

Jurnal Ekonomi dan Pembangunan IndonesiaVol. 13 No. 1, Juli 2012: 69-89

ISSN 1411-5212

Perdebatan Teori Rasionalitas dalam Menjelaskan Terbentuknya BiayaTransaksi pada Seleksi Pegawai Negeri

The Debate of Rationality Theory in Explaining the Formation of IllegalCost of Transaction I

M. Firmansyaha,∗, Agus Sumanb,∗∗, Asfi Manzilatib, Susilob

aFakultas Ekonomi, Universitas MatarambFakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Brawijaya

Abstract

A civil servant selection attributes transaction cost. Aim of this conceptual paper is to explain behavior oftransaction cost payment from perspective theory of the rationale of economics. This study was conductedby understanding various theories regarding a phenomena of transaction cost payment. This study revealedtransaction cost payment as typical self interest and utility maximization (neo-classic rationality), to behaveas Al-Nafs Al-Ammarah (Islamic rationality). The transaction cost payment was encouraged by perception,understanding and prior experiences (Keynes rationality), environment (psychology rationality). However,there was a limited scope of information for transaction cost payment (bounded rationality).Keywords: Rationality Theory, Transaction Costs, Civil Service Applicants

Abstrak

Seleksi pegawai negeri sering kali memunculkan biaya transaksi. Tujuan dari artikel konseptual ini adalahmenjelaskan perilaku membayar biaya transaksi tersebut dalam perspektif teori rasionalitas ilmu ekonomi.Studi dilakukan dengan memaknai berbagai perdebatan teori rasionalitas dan menghubungkannya denganfenomena membayar biaya transaksi. Hasil studi menunjukkan membayar biaya transaksi sebagai bentukself interest dan maksimalisasi utilitas (rasionalitas neo-klasik), sebagai perilaku Al-Nafs Al-Ammarah(rasionalitas Islam). Membayar biaya transaksi juga dibentuk oleh persepsi, pemahaman, dan pengalamanperilaku sebelumnya (rasionalitas Keynes), lingkungan (rasionalitas sosiologi), dan kepribadian (rasionalitaspsikologis). Di samping itu, terdapat keterbatasan informasi dalam membayar biaya transaksi tersebut(bounded rationality).Kata kunci: Teori Rasionalitas, Biaya Transaksi, Seleksi Pegawai Negeri Sipil

JEL classifications: A12, A14, D82

IPenulis mengucapkan terima kasih kepada Prof.Munawar, PhD, Prof. Chandra F. Ananda, PhD danArief Hoetoro, PhD atas saran dan diskusi yang mem-bangun sehingga artikel ini dapat diselesaikan.

∗Alamat Korespondensi: Jl. Majapahit No. 62 Telp.(0370) 631935. Mataram 83125. Hp. 082131476810. E-mail : [email protected].

∗∗Alamat Korespondensi: Jl. Mayjen Haryono 165Malang. Telp. (0341) 562154, 551396, 553834. Faks.(0341) 556701.

Pendahuluan

Perkembangan teori rasionalitas saat ini tidaklagi mengenal batasan ilmu. Ekonomi, psiko-logi, biologi hewan, antropologi, dan juga fil-safat masing-masing mengembangkan model,simpulan dan pengambilan keputusan berbasisrasionalitas (Gigerenzer dan Selten, 2001). Ba-gi ilmu ekonomi, rasionalitas dapat dianggap

Page 2: Perdebatan Teori Rasionalitas dalam Menjelaskan

M. Firmansyah, Agus S., Asfi M., & Susilo/Perdebatan Teori Rasionalitas...70

sebagai bangunan dasar, fondasi, atau inti da-ri paradigma ilmu ekonomi modern (Gerrard,1993; Vanberg, 2004), sehingga seperti halnyabangunan rumah yang memiliki fondasi, ketikapemahaman rasionalitas itu runtuh, maka run-tuh pula teori-teori ”rumah” dari ilmu ekonomimodern itu.

Ilmu ekonomi mendeskripsikan perilaku ra-sional dalam neo-clasical maximization atauteori pilihan rasional (Redmond, 2004). Menu-rut teori ini, manusia digambarkan sebagai ma-khluk yang sepenuhnya berperilaku dan memi-lih secara rasional, yang mengedepankan selfinterest dan karakteristik memaksimalkan ke-puasan (Graafland, 2007; Landa dan Wang,2001; Kyriacou, 2005). Hal yang sama diung-kapkan Jeremy Bentham bahwa manusia cen-derung menghindari rasa sakit dan menyukaikesenangan (Hoetoro, 2007).

Dari gagasan manusia rasional lahir bebera-pa pemodelan ekonomi, misalnya model pera-malan rasional (rational expectation) yang di-kembangkan Robert Lucas atau teori permain-an (game theory) oleh John F. Nash. Di sam-ping itu, gagasan rasionalitas juga menjadi fon-dasi pemikiran ekonomi klasik, yaitu pada ra-nah mikroekonomi misalnya konsep marginalutility dan marginal rate of subititution yangdikenal dalam teori mikroekonomi.

Becker dan Murphy mengasumsikan manu-sia selalu melihat ke depan dan selalu me-mutuskan secara rasional (Vale, 2010). Kepu-tusan rasional ini didasarkan pada kalkulasimanfaat-biaya, artinya setiap pilihan yang me-miliki manfaat lebih besar dari biaya, maka di-anggap rasional, demikian pula sebaliknya.

Ketika manusia dianggap selalu berperila-ku rasional, muncul pertanyaan bagaimana de-ngan perilaku kejahatan, kecurangan, korupsi,kolusi, pengedar narkoba, dan pelanggaran hu-kum lainnya. Bukankah perilaku-perilaku ituselalu dibayang-bayangi penjara, bahkan tidakjarang pelaku harus meregang nyawa akibat di-tembak aparat? Jika demikian, dalam konseprasionalitas terbuka ruang perdebatan kemba-

li terkait alasan dibalik setiap perilaku, bah-wa benarkah pelaku selalu didasari oleh selfinterest dan maksimalisasi utilitas berbasisk-an manfaat dan biaya. Hal ini untuk menjawabpertanyaan apabila setiap individu rasional ke-napa pelanggaran hukum tetap terjadi.

Konteks membayar biaya transaksi ilegal pa-da seleksi pegawai negeri sipil jika dihubung-kan dengan pemikiran rasionalitas adalah fe-nomena yang menarik. Menurut Menteri Pen-dayagunaan Aparatur Negara, biaya calo1 un-tuk masuk menjadi calon pegawai negeri sipil(CPNS)2 disinyalir berkisar antara Rp60 ju-ta sampai dengan Rp100 juta. Jika saja setiaptahun 1.500 orang diterima, maka uang yangberputar sekitar Rp150 miliar (Kompas.com,2012). Seorang calo yang rasional tentunya su-dah memikirkan resiko hukuman penjara, teta-pi walaupun sudah ada calo-calo yang menda-patkan hukuman penjara, tidak menyurutkancalo-calo lain untuk melakukan transaksi ilegalini.

Bagi pelamar CPNS, ia mendapat resikobahwa ia dapat saja kehilangan uang karenaditipu oleh calo. Tetapi hampir setiap tahuntetap ada indikasi calo-calo ini tetap diperca-ya oleh pelamar CPNS. Di Pekanbaru, empatorang telah ditipu oleh calo CPNS, dengan ke-rugian Rp155 Juta (Tribun Jateng, 2011). Ka-sus penipuan CPNS di Surabaya membuah-kan hukuman 40 bulan penjara (Tribun Me-dan, 2012). Selain kasus ini, masih banyak la-gi kasus penipuan CPNS lain yang terungkap.Informasi penyogokan CPNS selalu hangat di-perbincangkan publik, sehingga jika dilakukanpencarian di mesin pencari google.com dengankata kunci ”sogok CPNS” maka terdapat seki-tar 66 ribu lebih hasil pembahasan di dalam-

1Calo adalah perantara yang dianggap dapat mem-perlancar proses transaksi.

2Penerimaan PNS dimulai dari seleksi CPNS. Sete-lah seseorang menjadi CPNS, ia akan melewati bebera-pa tahap seperti misalkan training pra-jabatan untukakhirnya resmi menjadi PNS. Jika sudah masuk men-jadi CPNS, hampir dipastikan seseorang menjadi PNSjika sudah melewati proses yang telah ditetapkan.

Page 3: Perdebatan Teori Rasionalitas dalam Menjelaskan

M. Firmansyah, Agus S., Asfi M., & Susilo/Perdebatan Teori Rasionalitas... 71

nya.Dengan terungkapnya berbagai kasus peni-

puan itu, pertanyaannya adalah mengapa sese-orang masih saja mau mempraktikkan transak-si ilegal ini dan bagaimana konsep rasionalitasmenjelaskan perilaku tersebut. Hal inilah yangakan menjadi topik bahasan dalam artikel ini.

Tinjauan Referensi

Dasar Pemikiran Rasionalitas

Tujuan yang ingin diraih oleh setiap individuberbeda antar individu dan bisa bervariasi an-tar waktu. Kegiatan individu dalam mengejartujuannya ini dilandasi oleh nilai yang men-dasar. Nilai tersebut bersifat fundamental, ter-bangun dalam diri individu, menjadi motiva-si yang kuat dalam mengejar tujuannya danmemberikan pengaruh kuat dalam tindakannyasehari-hari (Kasper dan Streit, 1998).

Nilai fundamental yang dianggap sebagai ci-ri good society dirangkum Kasper dan Stre-it (1998) sebagai berikut, yaitu: Pertama, in-dividu menginginkan kebebasan dari rasa ta-kut dan keterpaksaan, yang direfleksikan da-ri kebebasan sipil dan ekonomi. Kedua, keadil-an, yang memosisikan manusia dalam keduduk-an yang sama, sehingga seharusnya diperlaku-kan sama. Ketiga, keamanan (security) di ma-na orang berharap selalu merasa nyaman da-lam kehidupannya dan bebas memilih untukmasa depannya, tanpa pengalaman kekerasanyang menghantui. Keempat, damai, artinya ti-dak adanya perselisihan dan kekerasan yangditimbulkan oleh agen yang kuat, baik dalamkomunitasnya (internal peace) maupun di luarlingkungannya (external peace). Kelima, kese-jahteraan ekonomi terkait aspirasi untuk per-baikan material kehidupan sekarang dan masadepan. Keenam, kehidupan yang alamiah, ter-cipta dari kejujuran dan nilai-nilai yang men-jadi cita-cita kebanyakan orang.

Nilai-nilai tersebut umumnya merupakanbentuk rasionalitas mendasar dan hakiki da-ri setiap tindakan manusia, dimana setiap in-

dividu diasumsikan akan berusaha mencapai-nya. Manusia bertujuan menggapai kesenang-an, kebahagiaan, dan kenyamanan, baik da-lam kehidupan sekarang maupun masa dep-an. Perdebatannya kemudian adalah bagaima-na mengukur kebahagiaan, kesenangan, ataukenyamanan itu. Neo-klasik cenderung mengu-kurnya dari jumlah materi yang diperoleh, de-ngan mengabaikan kelembagaan berupa tataaturan dan nilai-nilai dalam masyarakat. Ka-rena menyangkut materi, maka ia akan selaluterkait untung dan rugi, dengan demikian seti-ap tindakan harus didasarkan pada perhitung-an manfaat dan biaya dalam rangka memaksi-mumkan kepuasannya. Dengan demikian, teoripilihan rasional yang disebut juga sebagai teo-ri tindakan rasional (rational action) yang me-rupakan kerangka dasar dalam pemodelan il-mu ekonomi. Pilihan rasional juga mempunyaimakna lebih banyak lebih baik daripada sedikit(more is better).

Teori pilihan rasional secara luas dianalisisdalam teori perilaku manusia (human behavi-or), di mana bagi Gilboa (2010) pilihan rasio-nal merupakan dikotomi antara kelayakan dankeinginan. Ketika seorang menganggap dirinyalayak akan sesuatu dan punya keinginan un-tuk memilikinya, maka tindakan tersebut me-rupakan tindakan rasional. Di samping itu, Gil-boa menganggap perilaku rasional terjadi bilaorang merasa nyaman dan tidak malu untukmelakukan aktivitasnya. Tindakan rasional ter-jadi jika individu mempunyai keinginan terha-dap sesuatu sekaligus mempunyai kemampuanuntuk mencapai keinginan tersebut. Ketika se-orang individu mempunyai kemampuan mewu-judkan keinginannya, maka ia tidak akan me-rasa malu dan cemas, sebaliknya akan mera-sa nyaman untuk melakukannya. Pendekatanindividualis ini berbeda dari pendekatan lainyang akan dibahas dalam bagian selanjutnya.

Prinsip dasar ’homo economicus’ membe-rikan pemahaman bahwa manusia selalu ber-perilaku rasional dengan melakukan kalkukasimanfaat dan biaya dalam setiap tindakannya.

Page 4: Perdebatan Teori Rasionalitas dalam Menjelaskan

M. Firmansyah, Agus S., Asfi M., & Susilo/Perdebatan Teori Rasionalitas...72

Perilaku rasional dianggap sebagai ’engine oftruth’ dalam membantu menemukan teori atauhukum ekonomi (Salehnejad, 2007). Teori pi-lihan rasional yang menyangkut kepentinganpribadi (self interest) yang dapat direpresen-tasikan melalui contoh: bagi produsen, untunglebih banyak lebih baik daripada sedikit; ba-gi konsumen, dapat membeli lebih banyak le-bih baik dari pada lebih sedikit. Pilihan rasio-nal menekankan pada kepuasan yang didapatoleh individu dalam setiap tindakannya. Men-jadi rasional berarti bertindak secara konsistendan instrumental untuk mencapai suatu tuju-an yang telah didefinisikan dengan baik, kebali-kannya perilaku tidak rasional adalah perilakuyang sia-sia (Foley, 2004).

Perdebatan Konsep Rasionalitas

Setelah memahami dasar teori pilihan rasionalyang umum dipahami ilmu ekonomi, selanjut-nya akan didiskusikan berbagai pemikiran ra-sional yang berkembang setelahnya karena te-ori pilihan rasional dalam ilmu ekonomi ma-sih menjadi perdebatan panjang (Wartiovaara,2011). Perdebatan yang terjadi mencakup pe-mikiran dasar neo-klasik yang mengedepankanrasionalitas, di mana manusia diasumsikan se-lalu bertindak rasional, menjadi makhluk eko-nomi yang mengetahui segalanya, melakukantransaksi tanpa biaya (zero transaction cost)dengan mengabaikan kelembagaan (Landa danWang, 2001). Pemikiran neo-klasik mengang-gap individu adalah berdaulat, dan perilaku-nya akan selalu memaksimalkan kepuasan de-ngan kendala anggaran yang dimiliki (Folmer,2009). Karena itu tindakannya selalu memper-timbangkan manfaat dan biaya dari setiap al-ternatif tindakannya. Perilaku rasional diana-logikan sebagai karakteristik dari ’homo econo-micus’ (Landa dan Wang, 2001).

Logika ini melahirkan berbagai pemodelanekonomi yang berbasiskan statistika dan mate-matika, yang serba pasti dan tanpa menyentuhsifat sosial dalam diri manusia yang dimodel-kan itu, berupa ’homo sociologicus’, dimana

manusia memiliki lingkungan dan perilakunyadibentuk dari berbagai interaksi antara diridan lingkungan. Asumsi yang ada dibalik per-modelan ekonomi ini adalah bahwa individu se-lalu akan memaksimumkan utilitasnya.

Sebagai pengkritik utama eksistensi ekono-mi klasik secara umum, Keynes memiliki ga-ris pemikiran unik terkait rasionalitas, bahwarasionalitas terbentuk dari apa yang disebut-nya sebagai direct acquiatance atau perkenal-an langsung terhadap objek perilaku, yang ter-diri dari tiga komponen: pengalaman (experi-ence), pemahaman (understanding), dan per-sepsi (perception) (Wislow, 1993). Perilaku in-dividu dipengaruhi oleh pengalaman yang di-perolehnya, dipelajarinya, dan kemudian digu-nakan untuk sesuatu yang dikerjakan saat ini.Pengalaman membentuk memori yang menja-di pedoman dalam berperilaku, sebagai guruterbaik yang menuntun tindakan individu. Pe-ngalaman menjadikan tindakannya tidak salahatau keliru untuk kedua kalinya.

Memahami apa yang dikerjakan juga pen-ting bagi Keynes sebagai pembentuk rasionali-tas. Orang rasional tidak mungkin berperilakudari sesuatu yang tidak dipahaminya. Jika te-tap dilakukannya, maka tindakan itu tidaklahrasional. Bagi Keynes, persepsi juga menjadipembentuk rasionalitas, dimana dapat terjadiorang atau sekelompok orang mempunyai peri-laku yang berbeda tetapi dipicu oleh persep-si yang belum tentu berbeda walaupun meng-hasilkan tindakan yang sama. Dengan demiki-an, penyebab perbedaan perilaku dari individuadalah persepsi mereka akan tindakan merekamasing-masing.

Persepsi dapat berupa manfaat perilaku ituuntuk diri dan lingkungannya, serta konseku-ensi yang akan diperoleh dari tindakannya itu.Jika orang memersepsikan baik, maka baik pu-la dianggap perilakunya. Ketiga komponen inimenurut Keynes membentuk pengetahuan da-lam diri individu, sehingga rasionalitas dari se-tiap individu akan berbeda-beda, tergantungdari pengetahuannya, artinya rasional bagi sa-

Page 5: Perdebatan Teori Rasionalitas dalam Menjelaskan

M. Firmansyah, Agus S., Asfi M., & Susilo/Perdebatan Teori Rasionalitas... 73

tu individu belum tentu bagi individu lainnya(Wislow, 1993).

Keynes mencontohkan perilaku investor a-kan investasi yang dilakukannya. Apa yang di-investasikan bukan dipengaruhi oleh sesuatuyang pasti, yang berupa keuntungan dan ke-rugian yang nyata (riil). Namun, keputusan in-vestasi adalah hasil persepsi investor yang di-dasarkan berbagai pengetahuan yang dipero-lehnya akan investasi tersebut. Keynes menulis(Wislow, 1993):

Investor will be affected, as is obvio-us, not by the net income which he wi-ll actually receive from his investmentin the long run, but by his expecta-tions. These will often depend uponfashion, upon advertisement, or uponpurely irrational waves of optimism ordepression. Similarly by risk we mustmean, not the real risk as measuredby the actual average of the class ofinvestment over the period of years towhich the expectation refers, but therisk as it is estimated, wisely or fooli-shly, by the investor

Dari pemikirannya ini, Keynes membenarkankonsep probabilitas sebagai sesuatu yang logis,dalam arti probabilitas akan keuntungan ataukerugian akan menentukan tindakan seseorangsekarang. Karena itu dapat dikatakan ekspek-tasi seseorang memengaruhi perilaku saat ini.Ekspektasi tersebut dapat diperkaya oleh pe-ngenalan langsung (direct acquaintance) yangbersumber dari pengalaman, pemahaman, danpersepsi. Dengan demikian, dapat disimpulkanbahwa pengenalan langsung memberikan da-sar yang rasional dan objektif akan suatu ke-yakinan. Pengenalan langsung disebut sebagaiempirisme, di mana empirisme mengacu padapenafsiran tertentu dari pengalaman, sehinggadapat dikatakan pengalaman memberikan lan-dasan utama akan keyakinan.

Pemahaman Keynes dapat dikatakan realis-tis untuk menjelaskan kondisi saat ini. Ia meng-akui bahwa perilaku individu tidak mungkin

memiliki kesamaan, katakanlah sama-sama me-raih kepuasan pada aktivitas yang sama ka-rena setiap perilaku akan tergantung dari se-jauh mana orang memahami dan memperolehmanfaat dari perilakunya itu. Misalnya, ketikadi pasar dijual alat berteknologi canggih, ti-dak mungkin semua orang menginginkan alatitu untuk dibeli, karena masing-masing mem-punyai kebutuhan yang berbeda untuk menjadiprioritas perilakunya. Kalaupun membeli alatyang sama, boleh jadi masing-masing individumemiliki kebutuhan berbeda akan alat-alat itu.

Walaupun tindakan individu sama tujuan-nya, belum tentu hal ini didsasarkan pada pe-ngetahuan atau pengalaman yang sama. Kare-na itu seberapa besar keseriusan atau keber-hasilan dari tindakan itu akan tergantung da-ri pengetahuan dan pengalaman yang dimili-ki masing-masing individu. Sebagai contoh, se-orang dalam menempuh ujian sekolah mela-kukan aktifitas yang sama namun kesuksesandalam menjawab soal-soal ujian dapat berbe-da tergantung dari seberapa besar pengalamanatau pengetahuan dari masing-masing pesertaujian.

Pengkritik konsep rasionalitas dari arus pe-mikiran ekonomi yang lain menganggap bah-wa perilaku rasional individu adalah mencobamelakukan apa yang terbaik untuk dilakukan(Hey, 1993) dan bukan mendapatkan hasil yangmaksimal. Setiap orang tentu berharap yangterbaik, tidak saja berarti manfaat yang teru-kur, tapi juga mengakomodasi nilai-nilai ataubudaya yang berkembang dalam lingkungan-nya.

Berharap untuk mendapatkan yang terba-ik dapat bermakna mendapatkan kebahagiaan,walaupun pada pemikiran ini diasumsikan ke-bahagiaan bukan hanya untuk pribadi, tetapimengakomodasi kebahagiaan keluarga dan ma-syarakat atau lingkungannya. Orang akan me-rasa bahagia ketika lingkungannya mengakuikelebihan dari tindakan individu dalam komu-nitasnya. Ketika masyarakat menganggap bah-wa pegawai negeri lebih baik dari wiraswasta,

Page 6: Perdebatan Teori Rasionalitas dalam Menjelaskan

M. Firmansyah, Agus S., Asfi M., & Susilo/Perdebatan Teori Rasionalitas...74

maka dengan meraih status itu kepuasaan in-dividu akan memuncak.

Dalam konteks ini, kebahagiaan, kesenang-an, dan kenyamanan cenderung bersifat abs-trak, sulit dihitung atau dikalkulasi secara eko-nomis. Kepuasan batin atau kenyamanan da-pat dipengaruhi oleh nilai-nilai agama, keya-kinan, atau hubungan sosial yang menggiringindividu berperilaku menggapai kepuasannya.Ketika seseorang memberi sumbangan kepadaorang miskin, tentu sulit bagi si pelaku ber-harap balasan material dari orang miskin ter-sebut, atau ketika seorang dermawan memba-ngun sekolah gratis untuk orang miskin dima-na tidak ada keuntungan materil yang dipero-leh dari perilaku tersebut. Kesadaran sebagaimakhluk sosial membuatnya mendapatkan ke-bahagiaan dan kepuasan dari membantu sesa-ma, menghilangkan kesusahan orang lain, men-jalankan perintah agama dimana semua itu diluar perhitungan manfaat dan biaya secara ma-teril.

Thorstain Veblen dan murid-muridnya (Mi-tchell, Commons dan Ayres) yang dianggapsebagai pemikir ekonomi kelembagaan lama(old institutional economics) menganggap bah-wa rasionalitas terbentuk dari kebiasaan (habi-ts) dan rutinitas (routins). Kebiasaan dan ru-tinitas dapat membuat seseorang berperilakutanpa melakukan kalkulasi manfaat dan biaya,atau dapat dikatakan perilaku kalkulasi digan-tikan kebiasaan dan rutinitas. Ketika masya-rakat dalam suatu lingkungan terbiasa mela-kukan gotong royong, maka tidak ada imbalanyang diharapkan dari individu ketika melaku-kan itu. Itulah rutinitas mereka dan keseharianhidup dalam lingkungan.

Dalam berpartisipasi di masyarakat, indivi-du tidak perlu melakukan kalkulasi untung-rugi. Hal ini karena kebiasaan gotong royongsudah menjadi kebiasaan dan rutinitas bagi di-ri dan lingkungannya. Perdebatan akan teorirasionalitas muncul dalam ranah ekonomi ke-lembagaan menyangkut kebiasaan buruk yangmulai menjangkiti individu dalam suatu ma-

syarakat, misalnya karena pengaruh tontonanyang memasukkan nilai-nilai global dan sema-kin ketatnya persaingan hidup yang membuatseseorang menjadi individualis membuat nilaikejujuran dan nilai budaya menjadi berubah.

Kebiasaan bukanlah sesuatu yang statis tapidinamis, demikian pula rutinitas. Bila mengacupada pemikiran ini, dapat dikatakan bahwa ji-ka terjadi perubahan rutinitas dan kebiasaan,maka akan berubah pula rasionalitas seorangdalam berperilaku.

Pemikiran ekonomi kelembagaan lamamenganggap bahwa kebiasaan dan rutinitasmempunyai kaitan dengan perubahan kelem-bagaan (institutional change) dan perumusanpenyebab kumulatif Darwin3. Konsep initerkait kebiasaan berpikir yang dianggapsebagai induksi manusia oleh keadaan mate-rial, pengalaman turun-temurun, pekerjaanturun temurun, tradisi, pendidikan, iklim, danlingkungan.

Veblen mendefinisikan kelembagaan sebagaihasil dari kebiasaan berpikir manusia. Ia meng-anggap kebiasaan berpikir menjadi penggantirasionalitas hedonistik dari marginalisme4, danrasionalitas skema konflik kelas ala Marxis. Ve-blen berpendapat bahwa: ”knowledge has alwa-ys been the main productive economic asset”(Gagnon, 2007). Tindakan manusia dipanduoleh kebiasaan dan kepentingan, sebagai bah-an pemikiran yang dianggap sebagai hasil res-pons terhadap rangsangan. Melalui konsep ini,Veblen mampu mengatasi satu dari apa yang

3Pemikiran Veblen banyak dipengaruhi teori evolusiDarwin, sehingga Veblen disebut sebagai Darwinian. Ji-ka evolusi Darwin adalah menyangkut perubahan atauperkembangan makhluk hidup, maka Veblen mengang-gap terjadi evolusi, perkembangan pikiran manusia.

4Marginalisme adalah sebuah paham, metode yangmulai diterapkan sekitar tahun 1870-an, menjadi sen-tral pemikiran neo-klasik ekonomi. Dasar pikir utamamarginalis adalah setiap perubahan kenaikan satu va-riabel akan diikuti perubahan variabel lain, misalnyaperubahan total biaya dibandingkan dengan perubahanpendapatan. Diasumsikan terjadi pergerakkan otomatismenuju keseimbangan (equilibrium) dan mengabaikanfaktor kelembagaan (Rutherford, 1995).

Page 7: Perdebatan Teori Rasionalitas dalam Menjelaskan

M. Firmansyah, Agus S., Asfi M., & Susilo/Perdebatan Teori Rasionalitas... 75

dia anggap sebagai kekurangan Marxisme danhistories school, dengan mengidentifikasi ber-bagai mekanisme kelembagaan dalam meme-ngaruhi preferensi dan selera. Selera memenga-ruhi motif ekonomi dan pilihan faktor ekonomiseseorang, sehingga peran selera tidak bisa di-pandang sebelah mata dalam analisis. Veblentidak menyetujui perilaku hedonistik ekonomiortodoks, dengan memberikan pernyataan bah-wa ilmu ekonomi sebagai ”kalkulator kilat ke-senangan dan kesengsaraan”. Dua hal yang di-tentang Veblen adalah pertama, gagasan bahwamanusia memiliki rasionalitas yang memberi-kan solusi instan yang optimal dalam setiap ka-sus yang dihadapinya; kedua, orang hanya bere-aksi terhadap sebuah fungsi utilitasnya. Veblenlebih menekankan kepada peran aktif manusiayang terbentuk dari kebiasaan. Seperti ungkap-annya berikut (Rutherford, 1994):

”Ini adalah karakteristik manusia un-tuk melakukan sesuatu, tidak hanyauntuk menderita dan memperoleh ke-senangan dari kemampuan yang sesu-ai. Dia bukan hanya seikat keinginanyang akan jenuh dengan ditempatkandi jalur kekuatan lingkungan, mela-inkan struktur koheren kecenderung-an dan kebiasaan yang mencari reali-sasi dan eksperimen selama kegiatanberlangsung”

Terkait rasionalitas ini, Commons sebagai mu-rid Veblen menolak gagasan maksimalisasi, dania berpendapat bahwa orang mengembangkansatu set ’asumsi kebiasaan’ yang memberikandasar pada transaksi rutin. Kuncinya adalahmembuat asumsi kebiasaan rutinitas sehari-hari yang memungkinkan untuk dilakukan tan-pa berpikir dan memberikan perhatian kons-tan. Commons mencontohkan ketika pekerjabaru masuk pabrik atau lahan pertanian, atauketika seorang pemula dalam profesi dan bis-nis, semuanya akan mendapat hal baru yangtidak terduga, karena sebelumnya tidak dite-mukan dari pengalamannya, maka lama kela-maan dia akan belajar, akhirnya menjadi akrab

dengan pekerjaannya dan menjadi rutin kare-nanya. Karena itu kebiasaan dan rutinitas ada-lah penting, dan kebiasaan tidak menafikan pe-nilaian cerdas atau rasional tetapi memberikansuatu peran tertentu, sebagai ”transaksi stra-tegis kegiatan intelektual” sehingga jika kehi-dupan harus terus berubah, maka intelektualharus hidup untuk mengontrol strategi, namunbila antara intelektual dan kebiasaan bisa ber-jalan bersama, maka asumsi kebiasaan adalahcukup (Rutherford, 1994).

Jika demikian, dapat dianggap bahwa aturankolektif adalah sebagai pembentuk rasionalitasperilaku atau pembatas rasionalitas individu.Pertanyaan ini membutuhkan jawaban di la-pangan, dimana hal ini tergantung dari bagai-mana rasionalitas itu terbentuk. Artinya, bilaaturan kolektif itu ada maka seharusnya da-pat terbangun perilaku yang bersumber dariaturan kolektif atau kelembagaan tersebut. Se-bab menurut Schmid (2004) individu mengkre-asi institusi; selanjutnya institusi akan meme-ngaruhi perilaku individu; kemudian aksi indi-vidu akan memodifikasi kembali institusi, baikformal mapun non-formal.

Pertanyaannya, bila individu dapat mem-bentuk institusi (aturan main) dan perilaku in-dividu akan dipengaruhi oleh aturan main ter-sebut, maka bagaimana jika perilaku itu adalahperilaku menyimpang (misalnya: penyogokan),dan bagaimana dengan aturan main yang ju-ga merupakan aksi kolektif, apakah aturan ma-in yang telah berubah atau individu yang me-nunjukkan perilaku pembangkangan terhadapaturan main? Jawabannya dapat ditemukan dilapangan. Mitchell sebagai murid lain dari Ve-blen mempunyai pandangan lain walaupun ga-ris pikiran Veblen sangat memengaruhi polapikir Mitchell. Seperti Veblen, Mitchell meng-anggap dirinya sebagai bagian dari tradisi evo-lusi ekonomi. Pandangan Mitchel yang dikutiputuh oleh Milonakis dan Fine (2003) sebagaiberikut:

”Orang yang diciptakan oleh imaji-nasi para ekonom memang memiliki

Page 8: Perdebatan Teori Rasionalitas dalam Menjelaskan

M. Firmansyah, Agus S., Asfi M., & Susilo/Perdebatan Teori Rasionalitas...76

karakter tipis dan formal dibandingk-an dengan pewaris mereka dari se-gala usia, dengan warisan yang kayaras naluri, mewarisi konsep sosial, dankekayaan kebiasaan. Rasionalitasnyamendapatkan karakter dari lembaga-lembaga di mana ia dibesarkan”

Diabaikannya sisi kemanusiaan secara konsis-ten oleh ekonom arus utama telah dijadikansenjata oleh ekonom kelembagaan untuk me-nyatakan bahwa peran penting manusia dantata aturannya telah diabaikan. Pada awalnyailmu ekonomi adalah ilmu perilaku manusia(human behavior), sehingga fokus ilmu ekono-mi seharusnya mengamati lebih jauh apa yangdisebut oleh Mitchell sebagai konsep sosial (so-cial concept). Konsep sosial ini menjadi inti da-ri kelembagaan sosial. Konsep sosial dan kelem-bagaan tercermin dalam aktivitas manusia danaktivitas ekonomi (Milonakis dan Fine, 2003).Terkait cabang-cabang ilmu ekonomi, Micthellsependapat dengan Schumpeter yang mengha-rapkan kerja sama yang erat antara teori eko-nomi, sejarah ekonomi, dan ekonomi terapan.

Ide rasionalitas Mitchell terbentuk dari Ve-blen. Keluhan utama Mitchell adalah asumsirasionalitas ortodoks yang cenderung mengu-tamakan unsur rasional (manfaat dan biaya)dalam kehidupan ekonomi. Menurut Mitchell,rasionalitas bukanlah bagian mendasar dari si-fat manusia, namun produk yang muncul dariinstitusi keuangan. Uang melatih orang untukpenggunaan alasan guna merasionalisasi kehi-dupan ekonominya sehingga penggunaan uangmeletakkan dasar bagi teori hidup yang rasio-nal. Sehingga rasional ekonomi diperoleh daribakat, bukan dasar yang kokoh sebagai kon-struksi teoritis.

Ada dua karakteristik penting yang diung-kap Mitchell; pertama, Mitchell menolak gagas-an bahwa rasionalitas manfaat dan biaya di-lakukan untuk setiap kasus yang dihadapi in-dividu. Ia mengakui bahwa perilaku ekonomimungkin saja berhubungan dengan kegiatandi mana pemikiran rasional sering kali mun-

cul, namun pikiran rasional di sini tidak ber-arti setiap kali perilaku baru didasarkan pa-da kalkulasi baru, tetapi seseorang akan mem-bangun kebiasaan dan rutinitas. Kedua, tidaksemua bidang kehidupan sama-sama memilikistandar berupa uang dan rasionalitas. Mitchellmencontohkan perilaku konsumsi rumah tang-ga tidak saja dilihat dari aspek rasionalitas kal-kulasi materi, tapi juga dipengaruhi oleh ba-nyak norma sosial seputar kehidupan keluarga;atau dapat juga kurangnya informasi membuatkeputusan membeli tidak terkait dengan kese-jahteraan keluarga. Kondisi ini menumbangkanproses adaptasi rasional, pada saat yang samamembuat argumen kebiasaan dan rutinitas le-bih baik (Rutherford, 1994).

Untuk itu dapat ditarik kesimpulan bahwapemikiran Veblen dan murid-muridnya sebagaiold institutional economics menganggap rasio-nalitas perilaku tergantung dari kebiasaan (ha-bits) dan rutinitas (routines) dari individu da-lam lingkungan atau komunitasnya. Kebiasaandan rutinitas itulah yang menggantikan perila-ku kalkulasi manfaat dan biaya.

Generasi berikutnya dari pemikir ekonomikelembagaan yang disebut new institutionaleconomics (NIE) muncul terkait ulasannya a-kan rasionalitas. Mereka berpandangan bah-wa kebiasaan dan rutinitas atau norma yangtermasuk dalam analisis ekonomi kelembagaandibuat untuk menafsirkan aturan yang konsis-ten dengan maksimalisasi pilihan rasional. Da-ri pemahaman ini, kita dapat mengerti bah-wa NIE cenderung mengakomodasi pemikir-an neo-klasik (yaitu maksimalisasi) dan pe-mikiran OIE berupa rutinitas, kebiasaan, dannorma-norma. Namun demikian, ada pula me-reka yang mengadopsi perspektif evolusi danmenolak argumen tersebut, yaitu generasi yangdibahas sebelumnya, OIE. Bila Veblen menga-takan manusia sebagai binatang sosial, Heyek(1973) dalam Rutherford (1994) menganggapmanusia sebagai ”binatang yang banyak atur-an dengan satu tujuan”.

Ada empat hal penting yang menjadi fon-

Page 9: Perdebatan Teori Rasionalitas dalam Menjelaskan

M. Firmansyah, Agus S., Asfi M., & Susilo/Perdebatan Teori Rasionalitas... 77

dasi NIE (Rutherford, 1994) yaitu: pertama,biaya informasi dan pengambilan keputusan;kedua, kendala kognitif dan pemrosesan infor-masi; ketiga, risiko membuat kesalahan dalamusahanya untuk menyesuaikan kasus demi ka-sus; dan keempat, keuntungan individu denganfakta bahwa perilakunya ditentukan oleh atur-an. Dari keempat aturan di atas diterapkan pa-da kebiasaan, rutinitas, aturan perilaku pribadidan aturan sosial, serta norma-norma. Kritikutama NIE terhadap maksimalisasi didasarkanpada biaya informasi dan pengambilan kepu-tusan yang disebut bounded rationality (ratio-nalitas terbatas).

Bounded Rationality : Jembatan Neo-Klasik dan Institutional Economics

Pada tahun 1957, teori pilihan rasional tradi-sional dikritik oleh Herbert Simon dengan mo-del yang disebut sebagai teori Bounded Ratio-nality of Satisficing yang bertentangan denganmaksimalisasi perilaku aktor, di mana aktor di-anggap memiliki hambatan yaitu berupa keter-batasan kognitif dan struktur lingkungan (Lan-da dan Wang, 2001). Model ini oleh Simon dii-lustrasikan sebagai sepasang gunting yang me-miliki dua mata pisau, satu pisau sebagai keter-batasan kognitif dan pisau lain sebagai struk-tur lingkungan.

Dengan demikian, rasionalitas terbatas ada-lah gagasan bahwa dalam pengambilan kepu-tusan, rasionalitas individu dibatasi oleh infor-masi yang dimiliki, keterbatasan kognitif da-ri pikiran atau keterbatasan waktu, sementa-ra adakalanya keputusan harus segara diputus-kan. Di samping itu, pengambil keputusan ti-dak memiliki kemampuan dan sumber dayamemadai untuk sampai pada solusi optimal,karena itu mereka menerapkan rasionalitas se-telah penyederhanaan pilihan yang tersedia.Oleh karenanya manusia lebih cenderung men-jadi satisficer (terpuaskan) ketimbang optima-lisasi atau maksimalisasi.

Pengambilan keputusan merupakan prosespencarian, dipandu oleh tingkat aspirasi yang

merupakan nilai dari variabel tujuan yang di-capai atau dilampaui oleh keputusan alterna-tif yang memuaskan. Alternatif keputusan bu-kanlah sesuatu yang given, tetapi ditemukan.Proses pencarian dilakukan sampai alterna-tif memuaskan (satisficing) ditemukan. Selten(2002) menganggap satisficing bukanlah esen-si dari rasionalitas Simon, namun merupakantingkat aspirasi yang tidak permanen (adaptifaspiration) yang dinamis sesuai dengan situa-si yang berkembang. Fitur dari rasionalitas Si-mon adalah ’mencari alternatif, satisficing, danaspirasi adaptif’ (Selten, 2002).

Dengan demikian, dapat dipahami peran pe-mikiran Simon dalam menjembatani neo-klasikyang cenderung bebas nilai dan pemikir eko-nomi kelembagaan lama yang mengedepankannilai-nilai atau norma berupa kebiasaan danrutinitas. Bahwa rasionalitas keputusan harusdicari, tidak given (apa adanya), proses penca-rian akan dihadapkan dengan berbagai alterna-tif yang menghasilkan satisficing. Hal ini bisadidasarkan pada kalkulasi manfaat dan biayaatau pada nilai-nilai yang berkembang (institu-si). Selanjutnya proses itu akan menghasilkanaspirasi adaptif yang terus disesuaikan dengankondisi pengambilan keputusan.

Perpektif Ekonomi Sosiologi

Rasionalitas dalam ilmu sosiologi merupakanbagian dari memahami perilaku manusia da-lam interaksinya dengan lingkungan. Perilakumanusia tidak saja didasarkan atau bersumberpada dirinya sendiri, tapi juga merupakan hasilinteraksi dengan lingkungan. Seperti halnya il-mu ekonomi, psikologi, dan yang lain, ilmu so-siologi juga memberi penekanan pembahasanakan topik rasionalitas. Sehingga dengan ba-nyaknya disiplin ilmu yang membahas konseprasionalitas, ilmu-ilmu sosial semakin kehilang-an pembatas terkait tema bahasan antara satudengan yang lain.

Ilmu statistika dan matematika telah la-ma berperan dalam ilmu ekonomi lewatpemodelan-pemodelan. Dewasa ini, sosiologi

Page 10: Perdebatan Teori Rasionalitas dalam Menjelaskan

M. Firmansyah, Agus S., Asfi M., & Susilo/Perdebatan Teori Rasionalitas...78

pun banyak membahas persoalan-persoalanekonomi. Jika bidang statistika yang diguna-kan dalam menjelaskan persoalan ekonomi di-sebut ekonomi statistika atau ekonometrika,maka cabang ilmu sosiologi yang menjelaskanfenomena ekonomi diberi label ekonomi sosi-ologi, artinya tradisi ekonomi dibahas denganpendekatan atau cara pandang sosiolog. Tulis-an ilmiah terkait topik ekonomi sosiologi mi-salnya Principle of Economics Sociology (Swe-dberg, 2003) atau Reading of Economics Soci-ology (Biggart, 2002).

Penjelasan ilmu ekonomi akan persoalan eko-nomi seringkali tidak memberikan kepuasanbagi sebagian ekonom dan sosiolog, sehinggamereka mencoba melirik pendekatan lain da-lam menjelaskan fenomena ekonomi yang se-makin kompleks. Sosiolog begitu bersemangatmasuk dalam ranah ekonomi karena sosiologmenilai ilmu ekonomi berbasiskan perilaku ma-nusia yang juga menjadi fondasi dalam sosio-logi. Karena sosiologi lebih banyak membahasmanusia sebagai makhluk sosial dengan berba-gai interaksinya, sehingga sosiolog menilai se-harusnya mereka pun dapat memahami motifekonomi manusia. Di samping itu, pendekatanmatematis (ilmu pasti) yang berkembang da-lam ilmu ekonomi dewasa ini semakin memu-darkan nilai-nilai sosial yang disandang disiplinekonomi, yang kemudian menuai kritik karenaperilaku manusia cenderung unik dan tidak de-terministik seperti ilmu pasti.

Lional Robbins pada tahun 1932 menjadikanilmu ekonomi sebagai ’the choice science’ yangmenganggap bahwa individu memiliki prefe-rensi yang given. Sementara dalam sosiologi,Talcot Parsson pada tahun 1937 menjadikan il-mu sosiologi sebagai ilmu struktur sosial normadan nilai (Hodgson, 2010). Walaupun memilikijalur bahasan yang berbeda, namun sering ka-li dirasakan bahwa perilaku ekonomi juga di-bentuk dari struktur sosial, norma dan nilai-nilai dalam masyarakat. Karena itu muncul pe-mahaman bahwa ilmu ekonomi sebenarnya ti-dak bisa lepas dari sosiologi. Lebih jauh lagi

ada anggapan bahwa penjelasan ilmu sosiologidalam fenomena ekonomi lebih baik daripadapenjelasan dari ilmu ekonomi itu sendiri. Da-lam jurnal yang ditulisnya, Folmer (2009) me-nulis topik yang menantang yaitu Why Sociolo-gy is Better Conditioned to Explain EconomicBehaviour than Economics. Artikel ini meng-ungkapkan ketidakpuasan terhadap penjelasanilmu ekonomi akan fenomena yang ada dalamilmu ekonomi itu sendiri dimana seakan-akanilmu ekonomi kurang mampu menjelaskan di-rinya sendiri.

Termasuk pemahaman rasionalitas, Folmer(2009) menjelaskan bagaimana sosiolog berar-gumen terkait perilaku individu. Tulisan ituberawal dari ketidaksepahaman dengan konsepmaksimalisasi oleh agen pada versi neo-klasik.Model rasionalitas itu disebut Lindenberg se-bagai RREEMM yang terdiri dari Resourcer-ful, Restricted, Expecting, Evaluating, Motiva-ted dan Meaning atau kepandaian (akal), ken-dala, harapan, evaluasi, motivasi dan memak-nai (Folmer, 2009). Sejalan dengan itu, Warti-ovaara mengutip artikel berjudul The Natureof Man karya Jansen dan Meckling yang diter-bitkan 1994, di mana artikel ini menginvesti-gasi beberapa model perilaku manusia secaraumum (Wartiovaara, 2011). Model-model ituadalah model REMM (Resourceful, Evaluati-ve, Maximizing Model), The Economics (ataumoney maximization) model, The Psycologies(atau hierarchy of needs) model, The Sociolo-gical (atau social victims) model dan the poli-tical (atau perfect agent) model (Wartiovaara,2011).

Menurut Jensen dan Mackling, REMM ada-lah model terbaik dalam menjelaskan perilakumanusia. REMM ini dapat dirujuk dari bebera-pa bidang ilmu, yaitu psikologi, sosiologi, poli-tik, dan ekonomi. Dalam ilmu ekonomi, REMMmengasumsikan manusia akan selalu bertindakrecouserfull, self interested, maximizer tetapimenolak notasi bahwa manusia hanya menye-nangi uang atau kekayaan, padahal manusiamenyegani hampir segalanya, yaitu kepedulian,

Page 11: Perdebatan Teori Rasionalitas dalam Menjelaskan

M. Firmansyah, Agus S., Asfi M., & Susilo/Perdebatan Teori Rasionalitas... 79

rasa hormat, kekuatan, cinta, atau kesejahtera-an orang lain (Wartiovaara, 2011). Dari sinilahdasar pemikiran rasionalitas sosiologi muncul.

Rasionalitas: Antara Biologis dan Psi-kologis

Berbagai pandangan di atas hanya mampumenjelaskan berbagai fenomena ekonomi seca-ra normatif, yaitu perilaku individu dari aspekluar diri individu. Namun, perdebatan mena-rik dalam konsep pilihan rasional adalah pa-da tindakan kriminal, yaitu masihkah tindakankriminal dianggap rasional? Tindakan kriminalsudah menyangkut masalah jiwa, dan karenamenyangkut kejiwaan maka perdebatan konseprasionalitas semakin melebar dan menarik. Ti-dak ada yang meragukan kemampuan disiplinilmu biologi dan psikologi dalam memaknai ji-wa manusia, sehingga pemikir-pemikir di da-lamnya tidak ketinggalan untuk turut membe-rikan argumennya.

Setiap perilaku memang terbentuk dari selfinterest, namun jika dikaitkan dengan konsepmanfaat dan biaya, maka setiap tindakan kri-minal akan dihadapkan dengan biaya beru-pa hukuman (pidana). Tidak sedikit koruptoryang hanya menikmati sebentar uang hasil ko-rupsi, setelah itu harus mendekam di penjara.Biaya dari perilaku tersebut tentu tidak sajadalam bentuk material (mengembalikan uangyang dikorupsi), namun secara sosial akan di-cemooh masyarakat luas.

Dalam konteks ekonomi kelembagaan, peri-laku individu akan tergantung dari norma danrutinitas, struktur sosial atau nilai-nilai. Per-tanyaannya, norma dan nilai apa yang mem-bungkus perilaku korupsi? Padahal perilakuitu bertentangan dengan nilai-nilai. Terdapatkemungkinan pemahaman ekonomi kelembaga-an tidak memosisikan perilaku ilegal. Ada be-berapa kemungkinan penyebab perilaku ilegaltersebut muncul, yaitu pelaku cenderung ber-pikir pragmatis, melupakan biaya (termasukbiaya sosial) yang akan ditanggungnya, seka-ligus melupakan norma-norma yang berkem-

bang dalam masyarakat, sebagai pengikat ke-hidupannya.

Analisis akan perilaku penyimpangan ini a-kan sangat relevan jika dihubungkan denganilmu biologi, walaupun terkadang antara teo-ri ekonomi dan teori biologi bertentangan satusama lainnya (Vale, 2010). Bila mengacu padapandangan Becker dan Murphy bahwa indivi-du selalu melihat ke depan dan memutuskansecara rasional, maka bagi ilmu biologi hal ituadalah pola reaksi umum dari setiap manusiaatau sifat alamiah manusia.

Bagaimana kalau dihubungkan perilaku ke-biasaan meminum minuman keras, yang diang-gap biasa bagi sebagian masyarakat dewasaini? Dengan menggunakan teknologi modern,gen molekuler dan teknologi baru untuk diag-nostik pencitraan telah ditemukan bahwa mi-numan keras melemahkan daya rem yang se-cara alamiah dan hal ini akan memengaruhirefleksi kognitif dari manusia akan konsekuen-si dari suatu tindakan. Dengan demikian, mi-numan keras merusak fungsi otak dan meka-nisme yang menunjukkan individu konsekuensecara penuh dari tindakannya, sehingga hasil-nya memberikan penekanan pada keuntunganjangka pendek atau sesaat (Vale, 2010).

Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimanadengan candu yang bernama ’uang’? Uangmerupakan topik bahasan penting dalam il-mu ekonomi. Hal yang kurang disepakati olehpsikolog adalah setiap yang berkaitan denganuang selalu melibatkan domain ekonomi, se-mentara keputusan ekonomi utilitarian tidakpernah menawarkan empiris yang lengkap. Me-nyangkut kebiasaan, termasuk kebiasaan dankeputusan ekonomi, psikolog cenderung meng-anggap perilaku ekonomi di samping dipenga-ruhi oleh masuk akal, rasional dan pertim-bangan ekonomis, juga oleh kepribadian, sikapdan keyakinan, motivasi lain, hubungan de-ngan keluarga, kelas sosial dan kadang-kadangdelusi dan gangguan kepribadian (Schervish,2001). Misalnya ketika seseorang memilih un-tuk menggunakan baju muslim atau berjil-

Page 12: Perdebatan Teori Rasionalitas dalam Menjelaskan

M. Firmansyah, Agus S., Asfi M., & Susilo/Perdebatan Teori Rasionalitas...80

bab, hal itu mencerminkan kepribadian darisi pemakai. Penjelasan di atas juga bisa di-gunakan untuk individu yang suka berbelan-ja, menghamburkan banyak uang pada hal-hal terlarang, misalnya minuman keras atauobat-obatan terlarang. Perilaku tersebut me-nunjukkan rusak atau terganggunya kepribadi-an seseorang.

Uang menyulap orang untuk berbuat banyakhal, bagi kalangan muda di Cina kekuatan uangtidak saja mampu membeli status dan har-ta benda, tetapi juga kekuasaan dan kontrolterhadap orang lain (Durvasula and Lysonski,2010). Sehingga keinginan untuk menjadi kayaraya dan banyak uang tidak saja karena kei-nginan untuk membeli banyak hal dari uangtersebut, namun orang selalu ingin, berharapbisa memerintah orang lain, mendapat pela-yanan dari orang lain. Sehingga dalam konteksini pilihan rasional akan terkait dengan psiko-logi kepribadian dari setiap individu, dan peri-lakunya akan mencerminkan kepribadiannya.

Perspektif Islam

Orientasi perilaku ekonomi dalam Islam tidaksekadar pada dimensi dunia, namun juga meng-akomodasi kepentingan akhirat sehingga sema-ngat berekonomi lebih pada ketaatan kepadaTuhan, bekerja atas petunjuk-Nya, dan meng-harap pahala dari-Nya. Karena itu kesalehanmerupakan pilar perilaku ekonomi dalam Is-lam. Perilaku itu dibimbing oleh nilai-nilai Is-lam yang mengedepankan sikap altruisme danmerupakan makna dari homo Islamicus (Hoe-toro, 2007).

Homo Islamicus hadir memberi koreksi ak-an perilaku homo economicus yang cenderungdiarahkan oleh self interest dan maksimalisasiutilitas, bersifat liar tanpa pembatas sehinggadimaknai sebagai sistem liberal. Dalam kontekssosiologi, pemikir-pemikir sosiologi menyebutsifat manusia sebagai homo sociologicus yangberanggapan manusia tidak hanya terbangunoleh diri sendiri namun hasil interaksi sosial da-lam masyarakat. Namun nilai-nilai yang mem-

bungkus interaksi itu merupakan konvensi ataukesepakatan dari entitas sosial tersebut, danbukan semata berdasar nilai-nilai ketuhanansehingga ada perbedaan antara satu dengan ko-munitas lainnya. Oleh karenanya dimensi yangdimainkan bukan hanya dimensi vertikal ber-basis ketuhanan namun juga dimensi horizon-tal kemasyarakatan.

Homo Islamicus merupakan karakteristikyang membetuk perilaku rasional dalam Is-lam, dimana perilaku itu diarahkan oleh kebe-naran hakiki (wahyu) dan bukan kebahagiaanatau nilai guna (Hoetoro, 2007). Kata Nafs di-maknai sebagai self interest dan menjadi pi-lar rasionalitas perilaku, yang terdiri dari Al-Nafs Amarah, Al-Nafs Lawamah dan Al-NafsMutmainah. Adapun karakteristik dari Al-Nafsyaitu (Hoetoro, 2007): Al-Nafs Amarah memi-liki katerteristik orientasi kebendaan, pemuas-an kesenangan, menafikan nilai-nilai normatif,netralitas moral dan sekularisasi, sementara ituAl-Nafs Al Lawamah memiliki karakteristik ke-sadaran intuitif, pengenalan diri muncul idea-lisme dan terlibat dalam proses sosial, sedangk-an tertinggi yaitu Al-Nafs Al-Mutmainnah de-ngan karakteristik kesadaran ketuhanan, ke-sempurnaan diri, berhimpitnya das sein dandas sollen.

Metode

Artikel ini merupakan bentuk kajian literaturteoritis dengan beberapa pembahasan, yaitupertama, menjelaskan konsep dasar rasionali-tas. Kedua, perdebatan konsep pilihan rasio-nal mulai dari neo-klasik, Keynes dan aliran la-in yang bukan mainstrain. Ketiga, menjelaskanmakna teori biaya transaksi. Keempat, mendis-kusikan keterkaitan antara bentuk-bentuk ra-sionalitas dengan biaya transaksi ilegal. Keli-ma, konsep rasionalitas yang dominan menje-laskan biaya transaksi ilegal. Keenam, kesim-pulan.

Page 13: Perdebatan Teori Rasionalitas dalam Menjelaskan

M. Firmansyah, Agus S., Asfi M., & Susilo/Perdebatan Teori Rasionalitas... 81

Hasil dan Analisis

Bila sebelumnya dibahas berbagai model pilih-an rasional yang berkembang dalam pemikir-an ekonomi dan dimensi ilmu lain, maka se-lanjutnya akan diskusikan bagaimana rasiona-litas individu terbentuk ketika dihadapkan de-ngan biaya transaksi ilegal. Dengan kata lainrasionalitas seperti apa yang mendasari perila-ku membayar biaya transaksi ilegal. Transaksiilegal yang dimaksud dalam topik ini adalahtransaksi antara pelamar CPNS dengan caloseleksi CPNS. Transaksi dalam hal ini tidaksaja berbentuk penyogokan, tapi termasuk ju-ga beberapa biaya lain seperti uang pulsa un-tuk calo, biaya transportasi, biaya menunggukelulusan, dan lain-lain. Biaya ini dalam kon-sep ekonomi kelembagaan baru (new institutio-nal economics) disebut sebagai biaya transaksi(transaction cost).

Dalam perkembangannya, analisis ekonomibiaya transaksi terutama dalam mengukur efi-siensi desain kelembagaan semakin populer. Se-makin besar biaya transaksi yang terjadi dalamkegiatan ekonomi, maka semakin tidak efisienaktivitas tersebut (Yustika, 2006). Dengan de-mikian, konsep biaya transaksi menjadi pen-ting diperhatikan dalam rangka menentukanprospek usaha atau desain kelembagaan ke de-pannya. Dalam hal ini biaya dapat terdiri atasberbagai macam bentuk dan tidaklah seseder-hana yang dibayangkan. Bagi akuntan biayadianggap sebagai flow. Armen Alchian meng-anggap biaya sebagai perubahan equity (mo-dal) yang disebabkan performa (kemampuan)beberapa spesifikasi operasi dalam menyeder-hanakan pelayanan, dengan catatan perubah-an pendapatan tidak termasuk dalam kompu-tasi atau perhitungan dari equity. Dalam pehi-tungannya, digunakan perhitungan nilai seka-rang (Shah, 2007).

Makna dari transaksi adalah pertukaranuang terhadap barang dan jasa. Pertukaran ar-tinya memberi dan menerima untuk sesuatuyang sama nilainya dan bagi perusahaan kondi-si tersebut dapat terjadi setiap hari. Jika tran-

saksi tidak dapat diukur dalam satuan uang,maka transaksi tersebut dianggap bukan tran-saksi ekonomi atau transaksi keuangan. Perta-nyaannya, dari mana muncul biaya transaksi?Jawabannya dapat berangkat dari kritik terha-dap pemikiran ekonomi neo-klasik yang meng-anggap tidak ada biaya transaksi (zero tran-saction cost), karena diasumsikan dalam akti-vitas ekonomi, baik produsen maupun konsu-men memiliki informasi sempurna, saling ber-kompetisi sehingga harga menjadi lebih rendah(Yustika, 2006). Kenyataan yang terjadi dapatmenunjukkan sebaliknya dimana informasi cen-derung asimetri dan hal ini menyebabkan pa-sar menjadi tidak sempurna. Usaha memahamipasar dengan pencarian informasi tentu mem-butuhkan biaya yang akan berpengaruh padalaba perusahaan.

Transaksi dapat terkait dengan eksternal, se-perti antara penjual dan pengguna, atau tran-saksi untuk barang input, dapat juga terkaitdengan internal, seperti biaya pengelolaan danmonitoring (Shah, 2007). Dengan demikian, se-cara umum biaya transaksi dianggap sebagaibiaya search (mencari), bergaining (menawar),monitoring (memantau), enforcement (pemak-saan pertukaran), serta biaya tidak langsungyang berhubungan dengan produksi barangdan jasa (Husted dan Folger, 2004; Yustika,2006).

Aktivitas tersebut di atas menciptakan biayadi setiap lini perusahaan, seperti misalnya da-lam struktur organisasi terdapat tiga lini, yaitudesain organisasi, tingkat delegasi, dan kontroladministrasi (Shah, 2007). Menjalankan setiaplini tersebut akan dihadapkan dengan aktivi-tas belanja, produksi, pemasaran, periklanan,dan lainnya, sehingga dalam pasar persaingankondisi mencari biaya yang terendah menjadiprioritas perusahaan.

Situasi dan kondisi saat memilih dan me-mutuskan untuk mengeluarkan biaya transaksipenting untuk dipahami. Hal ini karena perso-alan yang paling mendasar dari teori pilihanrasional neo-klasik adalah tidak adanya pen-

Page 14: Perdebatan Teori Rasionalitas dalam Menjelaskan

M. Firmansyah, Agus S., Asfi M., & Susilo/Perdebatan Teori Rasionalitas...82

jelasan bagaimana model situasi memilih danmenjelaskan masalah keputusan (Salehnejad,2007). Situasi ketika memilih keputusan dan je-nis masalah adalah penting dalam menentukanpenyelesaian masalah pilihan tersebut. Karenaitu lingkungan, nilai-nilai, keinginan, dan tuju-an memiliki peran dalam setiap keputusan.

Keputusan memilih perilaku yang sama a-kan bisa berbeda pada waktu yang berbeda.Puluhan tahun silam, ketika dunia informasidan globalisasi belum seterbuka saat ini, nilai-nilai moral, kebiasaan berbasis nilai-nilai ke-arifan masih kental dan ini menentukan per-ilaku individu dalam masyarakat. Pada sa-at itu perilaku ilegal yang bertentangan de-ngan nilai-nilai akan dianggap sebagai penyim-pangan yang kemudian berpotensi mendapatpertentangan dari masyarakat. Semakin lama,perilaku penyimpangan menjadi semakin bia-sa dilakukan, seiring dengan nilai atau normayang semakin luntur.

Biaya transaksi ilegal yang dimaksud da-lam tulisan ini adalah biaya untuk melolos-kan seseorang menjadi CPNS, yang kemudianmelalui proses tertentu akan diangkat menja-di PNS. Mereka yang bertransaksi adalah pe-lamar CPNS satu sisi dan calo CPNS yangdianggap mampu meluluskan individu men-jadi CPNS. Padahal kita mengetahui bahwamenjadi pegawai negeri tidak dipungut biayaapa pun, namun karena keterbatasan informasiatau keinginan yang berlebihan untuk menja-di pegawai negeri, maka muncul penyedia jasayang biasa disebut calo, yang dianggap mampumeloloskan pelamar di tengah ketatnya persa-ingan masuk menjadi CPNS.

Ada beberapa asumsi umum sebelum men-diskusikan konsep rasionalitas dalam kaitannyadengan fenomena membayar biaya transaksiilegal masuk menjadi PNS, di mana asumsiitu harusnya menjadi dasar rasionalitas berpi-kir individu. Pertama, tidak ada jaminan sera-tus persen individu yang membayar transaksiitu lulus menjadi CPNS; kedua, kemungkinanhilangnya uang yang diserahkan individu rela-

tif besar ketika individu itu tidak lulus pega-wai negeri; ketiga, ada banyak penipuan yangsering kali terungkap di media masa; dan ke-empat, membayar biaya transaksi ilegal berten-tangan dengan norma umum yang berkembangdalam masyarakat.

Self Interest dan Maksimalisasi Utili-tas

Seperti yang dijelaskan sebelumnya bahwa da-lam perspektif ekonomi neoklasik manusia a-kan melakukan kalkulasi manfaat dan biaya se-belum memutuskan melakukan aktivitas. Da-lam teori kriminalitas dikatakan masyarakatsebagai human nature yang melakukan prediksiantara kesenangan (pleasure) dan menghinda-ri rasa sakit (pain) sehingga dalam aksinya iamengatur bagaimana melakukan kalkulasi stra-tegis untuk menggapai utilitas yang maksimal(Scott, 2000). Ada beberapa sifat rasionalitasneo-klasik yang perlu digarisbawahi yaitu per-tama, maksimalisasi utilitas; kedua, bertujuanself interest serta terisolasi dari hubungan de-ngan masyarakat dan sosial (Yilmaz, 2007); ke-tiga, kalkulasi manfaat dan biaya; dan keempat,setiap manusia bersifat rasional dan memaha-mi yang terbaik bagi dirinya.

Sebagian masyarakat menganggap biayatransaksi ilegal itu sebagai biaya masuk ker-ja, yang dalam tempo tertentu akan kembalidengan pendapatan (gaji) yang lebih menjan-jikan setelah menjadi PNS. Dasar pemikirandalam membayar itu adalah biaya yang dikelu-arkan akan lebih kecil dari keuntungan yang di-peroleh. Seorang pegawai negeri dengan peng-hasilan rutin per bulan dan juga kemampuanmemperoleh kredit perbankan, serta jaminanhari tua adalah bentuk pendukung rasionalitasberpikir itu. Pemahaman ini tentu saja men-cerminkan sifat self interest demi memaksimal-kan kepuasan menjadi pegawai negeri denganmengabaikan kepentingan yang lebih luas, ya-itu persaingan sehat, penjaringan berdasarkankualitas dan bukan berdasarkan uang transak-si.

Page 15: Perdebatan Teori Rasionalitas dalam Menjelaskan

M. Firmansyah, Agus S., Asfi M., & Susilo/Perdebatan Teori Rasionalitas... 83

Dari sisi lain, pelamar dihadapkan pada keti-dakpastian akan kelulusan menjadi CPNS de-ngan membayar biaya transaksi. Ada banyakpenipuan yang dilakukan oleh calo seleksi PNS,padahal dalam memenuhi kebutuhan ini indivi-du menjual berbagai aset. Rasionalitas berpikirseperti ini didasarkan pada konsep probabilitaslulus dan tidak lulus yang didapat dari penga-laman sebelumnya dengan uang transaksi. Di-tambah lagi dengan bayang-bayang aturan hu-kum yang menganggap transaksi ilegal sebagaipelanggaran hukum, serta aturan kelembagaanyang menganggap perilaku ilegal ini merupa-kan perbuatan melanggar norma dan nilai da-lam masyarakat.

Sehingga dalam konteks ini proses terben-tuknya transaksi ilegal ini dilakukan dengankalkulasi manfaat dan biaya dalam kondisi ti-dak pasti (uncertainty). Harapan yang belumtentu tercapai di tengah berbagai risiko keti-dakpastian itu seperti hilangnya uang yang di-gunakan untuk transaksi, karena ditipu pelaku(calo) atau kemungkinan ketidaklulusan.

Transaksi Ilegal Sebagai Kebiasaanatau Rutinitas?

Karakteristik utama konsep pemikiran Veblenadalah menolak rasionalitas kalkulasi versi neo-klasik (Ylmaz, 2007). Rasionalitas ekonomi ke-lembagaan lama (old institutional economics)yang dipelopori Veblen dan murid-muridnyaadalah bahwa perilaku individu berdasar ke-biasaan dan rutinitas. Naluri adalah kompo-nen kunci dari teori Veblen tentang evolusi ke-lembagaan dan budaya, dimana naluri secaralangsung didasarkan pada kebiasaan dan ruti-nitas untuk menggantikan kalkulasi tindakan(Cordes, 2005). Dalam konteks transaksi ilegalmasuk PNS konsep ini kuranglah tepat. Meng-ingat pertama, penyogokan bukanlah kebiasa-an atau rutinitas dari lingkungan, sehingga in-dividu tidak dalam rangka mengejar kebiasa-an dalam lingkungannya; kedua, masyarakatyang beragama dan berbudaya masih meng-anggap penyogokan adalah tabu walaupun se-

bagian permisif dengan perilaku itu. Karenaitu pandangan Veblen akan menjadi benar bi-la membayar biaya transaksi masuk PNS telahmenjadi budaya dan kebiasaan, dan masyara-kat cenderung permisif akan itu. Terbukti ba-nyaknya ekspos media massa atas laporan in-dividu yang merasa tertipu oleh calo. Hal inimemberikan kita pemahaman bahwa tindakanilegal yang dilakukan tidak lagi berdasar tataaturan yang berkembang dalam lingkungannyaketika perilaku itu semakin dianggap biasa olehmasyarakat.

Persoalan yang paling substansial dari pe-mikiran Veblen dan penerusnya dalam hal inibahwa kebiasaan dan rutinitas bukan sesuatuyang statis melainkan dinamis, sehingga sulitmenentukan kapan kebiasaan dan rutinitas me-miliki batasan dan memengaruhi rasional peri-laku individu. Perilaku ilegal bukanlah kebiasa-an dan rutinitas masyarakat, namun jika peri-laku itu tetap dilakukan, apakah selanjutnyadapat dikatakan telah terjadi perubahan kebi-asaan dan rutinitas? Jawabannya mungkin sa-ja karena kebiasaan dan rutinitas dapat bere-volusi sejalan dengan pikiran dan pemahamanmanusia yang menjalankannya.

Kekuatan Direct Acquaintance

Menurut Keynes, manusia rasional akan mem-pertimbangkan pengalaman, pemahaman, danpersepsi. Dalam konteks pembayaran transaksiilegal seleksi masuk PNS mengindikasikan bah-wa apa yang dilakukan oleh individu sebagianberdasarkan pengalaman dari peserta tes pega-wai negeri sebelumnya yang kebanyakan suk-ses atau lulus dengan membayar biaya terse-but. Pengalaman juga menentukan kepada sia-pa yang layak, atau dinilai efektif, untuk dila-kukan transaksi atau diserahkan uang transak-si ilegal sehingga lulus ujian, berapa uang yangdiserahkan dan bagaimana bentuk pengemba-lian uang bila ternyata tidak lulus.

Karena itu pengalaman menjadi penentu ra-sionalitas dalam mengeluarkan uang untuk bi-aya transaksi. Namun masalahnya adalah bah-

Page 16: Perdebatan Teori Rasionalitas dalam Menjelaskan

M. Firmansyah, Agus S., Asfi M., & Susilo/Perdebatan Teori Rasionalitas...84

wa pengalaman pula yang menunjukkan bahwaada banyak orang tidak lulus dan banyak peni-puan yang terungkap. Apakah terjadi timbang-menimbang, tarik-menarik pengalaman lulusdan tidak lulus dengan membayar biaya tran-saksi ilegal dalam benak individu? Apakah in-dividu menghitung persentase atau probabili-tas pengalaman lulus dan tidak lulus, sehinggaapa pun keputusan akhirnya merupakan hasilperilaku timbang-menimbang tersebut? Ini a-kan menjadi kajian lapangan yang menarik.

Satu hal yang perlu diperhatikan adalah, pa-da umumnya orang mengeluarkan biaya tran-saksi tidak didasari pemahaman yang menda-lam, kenapa jumlah biaya transaksi itu sejum-lah tertentu, siapa yang menciptakan nilai pa-saran tersebut dan seberapa pasti kelulusan da-pat diraih. Sehingga dapat dikatakan bahwaperilaku tersebut didasari pemahaman yang re-latif terbatas, hal ini sejalan dengan pembahas-an mengenai keterbatasan kognitif versi Her-bert Simon.

Demikian pula dengan persepsi yang me-nyangkut keyakinan dan cara pandang indivi-du akan perilakunya. Individu biasanya mem-persepsikan bahwa ia tidak mungkin lulus tan-pa membayar biaya transaksi dan bahwa testanpa biaya transaksi adalah perilaku sia-siayang membuatnya sulit untuk sukses. Ketikakeinginan ini muncul secara kuat dalam diriindividu, maka ia tidak akan mempersoalkanbagaimana persepsi orang akan perilaku ilegalini, apalagi perilaku itu dilakukan secara ko-lektif oleh individu lain dan selanjutnya men-jadi biasa di tengah-tengah masyarakat. Meli-hat kondisi di lapangan, walaupun membayarbiaya transaksi pada umumnya dianggap seba-gai perilaku ilegal, tetapi eksistensinya semakinmenjadi biasa, di mana selama ini yang me-lakukan pembayaran dianggap sebagai korbanpenipuan sehingga sering kali melapor ke poli-si bila ternyata dirinya tidak lulus seleksi, pa-dahal yang dianggap korban ini sesungguhnyabagian dari pihak yang bersepakat dalam mem-bentuk biaya transaksi tersebut.

Bounded Rationality

Bounded Rationality menekankan pada dua halyaitu keterbatasan kognitif karena informasiyang tidak sempurna dan struktur lingkung-an. Individu memiliki kemampuan terbatas un-tuk mengolah berbagai informasi yang terse-dia, misalnya ketika kesepakatan biaya tran-saksi ditentukan, pelamar tidak banyak me-mahami bagaimana logika terbentuknya biayatersebut. Pelamar pada umumnya hanya pa-ham bahwa uang tersebut akan diserahkan pa-da oknum tertentu sebagai penentu kelulusanCPNS, tetapi tidak secara detail dipahami sia-pa oknum itu dan apa peran atau kedudukan-nya. Ia hanya mengenal orang suruhan yangbermain di lapangan dengan mengatasnama-kan oknum tadi, dan gambaran akan oknumsebatas yang diceritakan orang suruhan di la-pangan, dan kebenaran dari cerita itu masih di-pertanyakan. Bagaimana berharap mengalku-lasi lulus atau tidak, serta besar kecilnya bia-ya transaksi, sementara informasi yang tersediaadalah terbatas.

Karena itu, rasionalitas berperilaku diba-tasi oleh keterbatasan informasi, kemampuanpengolahan informasi dan juga waktu untukmengolah informasi. Oleh karena keterbatasanitu, Simon ingin menghindari konsep maksima-lisasi kalkulasi dan optimalisasi, dan menggan-tikannya dengan konsep individu sebagai de-veloper dan pemodifikasi kebiasaan, aturan ke-putusan, dan heuristik, sehingga tanpa sengajaia meninggalkan gagasan rasionalitas (Ruther-ford, 1994).

Kebiasaan dan pengalaman menjadi san-daran dan informasi individu. Jika misalk-an bertransaksi dengan oknum tertentu dike-tahui tinggi probabilitas suksesnya atau de-ngan mengeluarkan biaya sebesar tertentu me-nyebabkan sukses, maka hal tersebut merupa-kan informasi terbatas yang dipegang indivi-du yang akan menjadi dasar rasionalitas bagiperilakunya. Dengan demikian seseorang tetapmengalkulasi berbagai peluang tersebut namunsecara terbatas.

Page 17: Perdebatan Teori Rasionalitas dalam Menjelaskan

M. Firmansyah, Agus S., Asfi M., & Susilo/Perdebatan Teori Rasionalitas... 85

Simon juga berpendapat struktur lingkung-an merupakan faktor yang penting. Perilakuilegal akan semakin biasa dilakukan ketika ling-kungan semakin permisif akan tindakan itu.Terlebih ketika asumsi bahwa tanpa uang se-seorang tidak mungkin lulus, maka mau tidakmau mengeluarkan biaya transaksi menjadipersepsi kolektif lingkungan. Dengan menjadipemahaman kolektif maka tanpa pikir panjangperilaku itu akan dilakukan individu. Pembe-naran oleh lingkungan akan menjadi tindakanotomatis individu dalam lingkungan itu, tan-pa dibebankan oleh kalkulasi manfaat dan bi-aya. Kekuatan lingkungan terletak pada nor-ma atau nilai bersama, yang akan menjadi ak-si kolektif dalam masyarakat sehingga memba-tasi perilaku individu. Dengan demikian, jikanorma dan nilai bersama terpinggirkan, makalingkungan tidak lagi jadi penentu tindakan in-dividu.

Rasionalitas Sosiologis

Apa yang diungkap sosiolog mencerminkan si-fat dasar perilaku individu di mana unsur ra-sionalitas terdiri dari: kepandaian yang akanmenentukan keputusan yang terbaik; kenda-la yang membatasi keinginan dan pilihan se-hingga mencari alternatif pilihan lain; harapanmenjadi pendorong berperilaku; evaluasi men-ciptakan kualitas perilaku; motivasi pemberisemangat perilaku; dan memaknai menjadi da-sar pertimbangan perilaku. Namun bila tanpadasar dan pedoman, maka perilaku ilegal punakan menjadi rasional. Seorang penjahat punmemiliki motivasi yang kuat dalam berperila-ku, namun tanpa pijakan norma atau nilai yangberkembang dalam masyarakat. Lebih jauh la-gi, nilai dan norma belumlah cukup, karena ituderajat keimanan perilaku adalah puncak da-ri rasionalitas itu. Keimanan yang memotivasiindividu untuk berperilaku dan memiliki mo-tivasi kuat, dan keimanan pula yang memba-tasi orang untuk berperilaku, dengan demiki-an keimanan akan menggantikan manfaat danbiaya, kebiasaan dan rutinitas, serta struktur

lingkungan.

Rasionalitas Psikologis

Perilaku individu adakalanya tidak rasional,dan ketidakrasionalan itu biasanya terkait de-ngan kepribadian individu pelaku. Kepribadi-an seperti sering tersinggung karena dianggappengangguran, dilecehkan karena bukan PNSmenjadi salah satu pendorong individu mela-kukan segala hal untuk dapat menjadi PNS,salah satunya dengan membayar biaya tran-saksi. Jika dipahami lebih jauh, individu sebe-narnya memiliki informasi memadai bahwa adabanyak penipuan makelar seleksi PNS yangdiungkap di media massa. Namun karena ke-inginan kuat menjadi PNS, informasi terse-but menjadi terabaikan. Di sinilah pentingnyaaspek kepribadian (psikologi) dalam mengge-rakkan rasionalitas individu.

Faith Degree of Rationality

Keterbatasan dari berbagai logika rasionalitasyang dibangun pemikir ekonomi dan sosiologicenderung mengabaikan unsur keimanan (atauketakwaan) dari setiap agama yang diyakiniagen ekonomi. Dalam konteks ini, derajat kei-manan akan menentukan rasionalitas perilakudan pilihan individu, sehingga dapat disebutsebagai rasionalitas derajat keimanan atau fai-th degree of rationality. Semakin tinggi derajatkeimanan, semakin mengarahkan perilaku in-dividu akan agama dan keyakinannya itu, se-hingga perilaku rasional akan sejalan dengannilai-nilai yang digariskan agama pelaku.

Hampir setiap orang memiliki agama dankeyakinan, namun nilai-nilai yang terbangundalam agama tidak serta merta menjadi pe-nuntun perilaku rasional individu. Orang Islammengharamkan minuman keras, berjudi ataumengundi nasib, namun tidak sedikit di anta-ra mereka melakukannya. Penyebabnya karenaderajat keimanan pelaku yang cenderung ren-dah dalam Islam dianggap Al-Nafs Amarah.Karena itu nilai-nilai, norma, atau kebiasaan

Page 18: Perdebatan Teori Rasionalitas dalam Menjelaskan

M. Firmansyah, Agus S., Asfi M., & Susilo/Perdebatan Teori Rasionalitas...86

tidak dapat menjelaskan logika rasionalitas se-cara memuaskan. Artinya walaupun nilai-nilaiitu ada, tidak secara otomatis individu mema-tuhinya dan menjadi pengarah perilaku indivi-du.

Antara keimanan dan maksimalisasi yangdilakukan individu dengan kerangka manfaatdan biaya akan saling menggantikan (subti-tusi). Ketika perilaku ilegal dilakukan, sebe-narnya individu tengah memaksimisasi ataumencari kesenangan pribadi dengan melakukankalkulasi keuntungan dan mengabaikan dasar-dasar keimanan, yang mencerminkan derajatkeimanan yang relatif rendah. Ketika kedalam-an derajat keimanan membentuk dan mengua-sai logika perilaku seseorang, maka ia tidak a-kan melakukan perilaku yang cenderung meru-gikan orang lain, membatasi persaingan sehatatau mendzolimi orang lain, sebesar apa punbenefit yang akan diperolehnya. Dengan demi-kian, bentuk rasionalitas yang tepat dari ter-bentuknya biaya transaksi ilegal adalah keda-laman derajat keimanan, bukan karena manfa-at dan biaya, atau karena rutinitas, kebiasaandan norma-norma, serta struktur lingkungan.Pada satu sisi hal ini memberikan pembenaranbagi pemikiran Keynes bahwa pemahaman danpersepsi individu membentuk rasionalitas peri-laku. Namun sayangnya pemahaman dan per-sepsi bagi Keynes tidak merujuk pada keiman-an akan keyakinan atau agama individu tetapilebih pada objek pembentuk perilaku dan hal-hal pendukung objek itu secara kasat mata, se-hingga pemikiran Keynes dan tokoh-tokoh laincenderung prematur dalam hal ini.

Tabel 1 merangkum berbagai pemikiran teo-ri rasional dan hubungannya dengan membayarbiaya transaksi seleksi PNS.

Simpulan

Paper ini merupakan kajian teoritis yang di-gunakan untuk memahami fenomena perilakumembayar biaya transaksi seleksi CPNS yangterjadi di Indonesia. Teori yang digunakan ada-

lah teori rasionalitas atau pilihan rasional, dimana eksistensinya masih menimbulkan perde-batan akan faktor apa pembentuk rasionalitasperilaku individu. Dasar teori rasionalitas diba-ngun lewat pemikiran ekonomi neo-klasik, ju-ga pemikir lain yang juga berkontribusi dalamkonsep rasionalitas misalnya John M. Keynes,Old Institutional Economics (OIE) yang dipe-lopori Thorstain Veblen, Bounded Rationalityoleh Herbert Simon yang merupakan pemikirNew Institutional Economics (NIE), ekonomisosiologi, ekonomi psikologi, dan ekonomi Is-lam.

Masing-masing pemikiran memiliki dasar ar-gumen yang kuat sekaligus keterbatasan dalammenjelaskan fenomena membayar biaya tran-saksi seleksi CPNS. Namun secara umum per-debatan yang terjadi seputar pemahaman ber-ikut: pertama, kepentingan pribadi (self inte-rest) atau kepentingan sosial (social interest);kedua, berdasar kalkulasi manfaat dan biayaatau berdasarkan kebiasaan dan rutinitas; ke-tiga, berdasarkan material atau non-material;dan keempat, berdasar akal sehat atau bukanakal sehat (gangguan kepribadian).

Rasionalitas neo-klasik dalam praktik mem-bayar biaya transaksi seleksi CPNS cenderunglebih mampu menjelaskan dibandingkan kon-sep rasionalitas lain. Mengingat dalam benakpelaku ketika membayar tidak akan mempe-dulikan orang lain, yang penting lulus menja-di pegawai negeri. Ini adalah sifat self interest(Al-Nafs Amarah) dalam memaksimalisasi ke-puasan pribadi. Kemudian dalam praktiknyapelaku sudah melakukan perhitungan manfaatdan biaya, dan jumlah uang yang dibayarkanadalah hasil kalkulasi tersebut. Persepsi, pema-haman, dan pengalaman individu pelaku ber-peran dalam praktik ilegal ini sehingga mem-benarkan sebagian apa yang diungkap Keynes,ekonomi sosiologi dan psikologi. Namun demi-kian, persepsi dan pemahaman harusnya jugaterbentuk dari pengalaman banyaknya kasuspenipuan yang merugikan pelamar. Jawabanyang paling tepat untuk menjelaskan hal ini

Page 19: Perdebatan Teori Rasionalitas dalam Menjelaskan

M. Firmansyah, Agus S., Asfi M., & Susilo/Perdebatan Teori Rasionalitas... 87

adalah konsep probabilitas, yaitu berapa be-sar kemungkinan lulus atau tidak lulus denganmembayar transaksi ilegal dari pengalaman se-belumnya.

Perilaku membayar transaksi ilegal juga di-pastikan bukanlah kebiasaan dan rutinitas se-perti pemahaman Veblen dan OIE, informa-si juga tidak lagi dianggap terbatas sepertiungkapan Herbert Simon dalam konsep Bo-unded Rationality-nya. Dengan banyaknya ter-ungkap media dapat dianggap masyarakat se-makin permisif dengan transaksi ilegal ini, me-ninggalkan pertanyaan menarik untuk kajianlapangan apakah telah terjadi perubahan ke-lembagaan (norma, nilai-nilai, dan keyakinan)atau yang dikenal institutional change dalamilmu ekonomi kelembagaan.

Daftar Pustaka

[1] Biggart, N. W. (2002). Readings in Economic So-ciology. Malden, Mass.: Blackwell Publishers.

[2] Cordes, C. (2005). Veblen’s ”Instinct of Workman-ship,” Its Cognitive Foundations, and Some Impli-cations for Economic Theory. Journal of EconomicIssues, XXXIX (1), 1–20.

[3] Durvasula, S. & Lysonski, S. (2010). Money, Mo-ney, Money – How do Attitudes Toward Money Im-pact Vanity and Materialism? The Case of YoungChinese Consumers. Journal of Consumer Marke-ting, 27 (2), 169–179.

[4] Foley, D. K. (2004). Rationality and Ideology inEconomics. Social Research, 71 (2), 329–342.

[5] Folmer, H. (2009). Why Sociology is Better Condi-tioned to Explain Economic Behaviour than Eco-nomics. Kyklos, 62 (2), 258–274.

[6] Gagnon, M. (2007). Capital, Power and KnowledgeAccording to Thorstein Veblen: Reinterpreting theKnowledge-Based Economy. Journal of EconomicIssues, XLI (2), 593–600.

[7] Gerrard, B. (1993). The Economics of Rationality.London & New York: Routledge.

[8] Gigerenzer, G., & Selten, R. (2001). RethinkingRationality. In G. Gigerenzer & R. Selten (Eds.),Bounded Rationality: The Adaptive Toolbox. Cam-bridge, MA: MIT Press.

[9] Gilboa, I. (2010). Rational Choice. London: MITPress.

[10] Graafland, J. J. (2007). Economics, Ethics andthe Market: Introduction and Applications. Lon-don: Routledge.

[11] Hey, J. D. (1993). Rationality Is As RationalityDoes. In B. Gerrard (Ed.), The Economics of Ra-tionality. London & New York: Routledge.

[12] Hodgson, G. M. (2010). Choice, Habit and Evolu-sion. Journal of Evolutionary Economics, 20, (1),1–18.

[13] Hoetoro, A. (2007). Ekonomi Islam: PengantarAnalisis Kesejarahan dan Metodologi. Malang: Ba-yumedia Publishing FE UNIBRAW.

[14] Husted, B. W. & Folger, R. (2004). Fairness andTransaction Costs: The Contribution of Organiza-tional Justice Theory to an Integrative Model ofEconomic Organization. Organization Science, 15(6), 719–729.

[15] Kasper, W. & Streit, M. E. (1998). InstitutionalEconomics: Social Order and Public Policy. Chel-tenham, U.K. & Northampton, Mass.: Edwar El-gar.

[16] Kompas.com. (2012, Januari 17). Masuk PNSPerlu Rp 60 Juta–Rp 100 Juta. http://nasional.kompas.com/read/2012/01/17/1612146/Masuk.

PNS.Perlu.Rp.60.Juta-Rp.100.Juta. (AccessedNovember 15, 2012).

[17] Kyriacou, A. P. (2005). Rationality, Ethnicity andInstitutions: a Survey of Issues and Results. Jour-nal of Economic Surveys, 19 (1), 23–42.

[18] Landa, J. T. & Wang, X. T. (2001). Bounded Ra-tionality of Economic Man: Decision Making Un-der Ecological, Social, and Institutional Constra-ints. Journal of Bioeconomics, 3 (2–3), 217–235.

[19] Milonakis, D. & Fine, B. (2009). From PoliticalEconomiy to Economics: Method, the Social andthe Historical in the Evolution of Economic The-ory. London & New York: Routledge.

[20] Redmond, W. H. (2004). On Institutional Ratio-nality. Journal of Economic Issues, XXXVIII (1),173–188.

[21] Rutherford, D. (1995). Routledge Dictionary ofEconomics. London and New York: Routledge.

[22] Rutherford, M. (1994). Institutions in Economics:the Old and the New Institutionalism. Cambridge& New York: Cambridge University Press.

[23] Salehnejad, R. (2007). Rationality, Bounded Ratio-nality and Microfoundations: Foundations of The-oretical Economics. London & New York: PalgraveMacmillan.

[24] Schervish, P. G. (2001). Review: ”The Psychologyof Money.” Contemporary Sociology, 30 (2), 166–167.

[25] Schmid, A. A. (2004). Conflict and Cooperation:Institutional and Behavioral Economics. Oxford,U.K.: Blackwell.

[26] Scott, J. (2000). Rational Choice Theory. In G.Browning, A. Halcli, & F. Webster (Eds.), Un-derstanding Contemporary Society: Theories of thePresent. New York: Sage Publications.

Page 20: Perdebatan Teori Rasionalitas dalam Menjelaskan

M. Firmansyah, Agus S., Asfi M., & Susilo/Perdebatan Teori Rasionalitas...88

[27] Selten, R. (2001). What Is Bounded Rationality?In G. Gigerenzer & R. Selten (Eds.), Bounded Ra-tionality: The Adaptive Toolbox. Cambridge, MA:MIT Press.

[28] Shah, M. (2007). Analysis of Transaction Cost. In-dia: Sunrice Publiser& Distributors.

[29] Swedberg, R. (2003). Principles of Economic So-ciology. Princeton & Oxford: Princeton UniversityPress.

[30] Tribun Jateng. (2011, Maret 1). Korban Du-gaan Penipuan Calo CPNS Perlihatkan Doku-men. http://jateng.tribunnews.com/2011/

03/01/korban-dugaan-penipuan-calo-cpns-

perlihatkan-dokumen. (Accessed November 15,2012).

[31] Tribun Medan. (2012, Juni 25). Hukuman Eliza-beth Penipu CPNS Menjadi 40 Bulan Penjara.http://medan.tribunnews.com/2012/06/25/

hukuman-elizabeth-penipu-cpns-menjadi-40-

bulan-penjara. (Accessed November 15, 2012).[32] Vale, P. H. (2010). Addiction–and Rational Choice

Theory. International Journal of Consumer Studi-es, 34 (1), 38–45.

[33] Vanberg, V. J. (2004). The Rationality Postulatein Economics: Its Ambiguity, Its Deficiency andIts Evolutionary Alternative. Journal of EconomicMethodology, 11 (1), 1–29.

[34] Wartiovaara, M. (2011). Rationality, REMM, andIndividual Value Creation. Journal of BusinessEthics, 98 (4), 641–648.

[35] Winslow, T. (1993). Keynes on Rationality. In B.Gerrard (Ed.), The Economics of Rationality. Lon-don & New York: Routledge.

[36] Ylmaz, F. (2007). Veblen and the Problem of Ra-tionality. Journal of Economic Issues, XLI (3),841–862.

[37] Yustika, A. E. (2006). Ekonomi Kelembagaan: De-finisi, Teori dan Strategi. Malang: Bayumedia Pu-blishing.

Page 21: Perdebatan Teori Rasionalitas dalam Menjelaskan

M. Firmansyah, Agus S., Asfi M., & Susilo/Perdebatan Teori Rasionalitas... 89

Tab

el

1:

Kon

sep

Rasi

on

ali

tas

dala

mM

enje

lask

an

Tra

nsa

ksi

Ileg

al

CP

NS

Teori

Rasionalita

sPembentu

kRasionalita

sM

endukung

Fenomena

Bertenta

ngan

dengan

Fenomena

Neo-k

lasik

Sifathomoeconomicus:se

lfin

terest,maksima-

lisa

siutilita

sdan

kalkulasi

manfaat-biaya

Membayar

transa

ksi

sebagaisifat

self

inte-

rest,maksimalisa

siutilita

s,melakukankalku-

lasi

manfaat-biaya,yaitubilalu

lusPNSuang

yang

dib

ayark

an

akan

kembali

dalam

waktu

singkat

Kalkulasi

manfaat-biaya

dih

adapkan

pada

kondisi

ketidakpastian

(unce

rta

inty

)lu

lus

ata

utidaklu

lus,

dan

keju

jura

ncalo

pun

juga

dip

ertanyakan

John

M.Keynes

Direc

tAcq

uaitance

(pengenalan

langsu

ng)

yang

terd

iridari

tiga

elemen:pengalaman,

pemahaman,dan

persepsi

Membayarkare

na

pengalaman

kelu

lusa

npe-

lamarse

belu

mnya

dengan

pera

nta

racalo

se-

leksi

PNS,adanya

pemahaman

dan

persepsi

pentingnya

membayartransa

ksi,kalau

tidak

bayarsia-sia

(tid

ak

akan

lulu

s)

Pengalaman

lain

menunju

kkan

dapat

terja-

dicalon

tidak

lulu

swalaupun

sudah

memba-

yarbiaya

transa

ksi,yang

dapatte

rjadikare

-na

penip

uan

oleh

calo

seleksi

CPNS.Dilain

pih

ak,adacalon

yanglu

lusta

npa

membayar

biaya

transa

ksi

(lulu

smurn

i)

OIE

Kalkulasi

manfaat-biaya

neo

klasik

digantik-

an

dengan

kebiasa

an

(habits)

dan

rutinitas

(routins),

unsu

r-unsu

rkelembagaan:

nilai-

nilai,

norm

a,dan

regulasi

Biaya

transa

ksi

ilegalpada

umumnya

tidak

memperh

itungkan

jumlah

uang

yang

dib

a-

yark

an,kare

na

kein

gin

an

berlebih

untu

klu

-lu

s.Bisa

saja

terjadiperu

bahan

kebiasa

an

dan

rutinitas

dalam

masy

ara

kat

diera

glo-

balisa

si

Tra

nsa

ksi

ilegalse

leksi

PNS

bukanlah

kebia-

saan

dan

rutinitasmasy

ara

katumumnya,ja-

uh

dari

norm

adan

nilai-nilaiso

sial

Bounded

Rationality

(NIE

)Kete

rbata

san

kognitif

mengelola

inform

asi

dan

stru

ktu

rlingkungan,maksimalisa

sidi-

gantikan

oleh

satisfaksi

Membayar

kare

na

kete

rbata

san

inform

asi,

stru

ktu

rlingkungan

mendukung

dan

kepu-

asa

nyang

satisfaksi,bukan

maksimal(u

tuh)

kare

na

haru

smengorb

ankan

harta

Inform

asi

sudah

semakin

mura

h,dan

sema-

kin

terb

uka.Calonhanyamemerlukanse

dikit

usa

ha

untu

kmenelu

suri

inform

asi

tersebut.

Struktu

rlingkunganpadaumumnyamenolak

transa

ksi

ilegal

EkonomiSosiologi

Terb

entu

kdari

kepandaian

(akal),kendala,

hara

pan,evalu

asi,motivasi,dan

memaknai

Tra

nsa

ksi

ilegaldib

entu

kolehhara

panuntu

klu

lusse

leksi

PNS,kare

na

kendala

kapasita

s,persain

gan

keta

t

Akalse

hatdireduksi

oleh

hara

pan

dan

perse-

psi

akan

pentingnya

membayarcalo.Kepan-

daian

terg

antikan

oleh

hara

pan

dan

sedikit

kepastian

untu

klu

lusCPNS

dengan

cara

in-

stan

EkonomiPsikologi

Disa

mpin

gdip

engaru

hioleh

masu

kakaldan

pertim

bangan

ekonomis

juga

oleh

kepribadi-

an,sikap

dan

keyakin

an,motivasi,hubungan

dengan

kelu

arg

a,te

man

perg

aulan,kelasso

-sial,

dan

dapatju

ga

beru

pa

delu

sidan

gang-

guan

kepribadian

Membayartransa

ksi

ilegalakan

mencerm

ink-

an

kepribadian

individ

ualistis

(self

interest)

dan

mengabaikan

kepentingan

lain

secara

umum

(yang

tidak

memilikiuang

transa

ksi).

Adanya

persepsi,keyakin

an,dan

sikap

ma-

syara

katte

rhadapstatu

sso

sialPNSse

hin

gga

pelaku

sekuatte

naga

untu

klu

lusCPNS

Tra

nsa

ksi

ilegalin

imunculbukan

hanya

ka-

rena

kein

gin

an

individ

u,te

tapiju

ga

kare

na

perm

isifnya

lingkungan

sosial,

sehin

gga

ba-

nyaknya

pih

ak

yang

melakukan

transa

ksi

su-

dah

dianggap

biasa

Rasionalita

sIslam

Homo

Islamicus

adalah

rasionalIslam,per-

ilaku

itu

diara

hkan

oleh

kebenara

nhakiki

(wahyu)

bukan

kebahagiaan

ata

unilai

gu-

na.Ada

tiga

levelperilaku

manusia

Al-Nafs

Amara

h(self

interst,kebendaan),

Al-Nafs

La-

wamah

(sosialita

s),dan

Al-Nafs

Mutm

ain

ah

(kesa

dara

nakan

ketu

hanan)

Membayar

biaya

transa

ksi

ilegalmenunju

k-

an

sifatAl-Nafs

Amara

h.Baik

buru

kperilaku

terg

antu

ng

dera

jatkeim

anan

individ

u

Bagaim

ana

individ

udapatberp

erilaku

ilegal

yang

nyata

-nyata

tidak

sesu

aidengan

nilai-

nilaiagama

yang

dianutpelaku