14
Perdarahan Dalam Obstetri Mekanisme Hemostasis Normal konsep utama dalam memahami patofisiologi dan manajemen dari perdarahan obstetrik adalah mekanisme yang hemostasis dicapai setelah persalinan normal. Mengingat kembali bahwa jangka pendek jumlah yang luar biasa setidaknya 600 ml / menit mengalir melalui antarvilus. aliran yang luar biasa ini bersirkulasi melalui arteri spiral, yang rata-rata 120 jumlahnya. Juga perlu diingat bahwa pembuluh ini tidak memiliki lapisan otot oleh karena proses remodeling dari endothropoblastiknya, yang menimbulkan sistem tekanan rendah. Dengan pemisahan plasenta, pembuluh ini dilokasi implantasi akan mengalami avulsi, dan hemostasis dicapai pertama oleh kontraksi miometrium, yang menekan hebat sejumlah pembuluh yang relatif besar. Jika kontraksi miometrium kuat, maka perdarahan yang fatal pasca melahirkan tidak akan terjadi. System koagulasi yang intak tidak diperlukan pada hemostasis post-partum kecuali jika ada laserasi pada uterus, jalan lahir, ataupun perineum. Bagaimanapun juga, perdarahan post- partum dapat terjadi oleh karena atoni uteri meskipun system koagulasi normal. Penempelan sisa plasenta atau gumpalan darah yang besar dapat menyebabkan penurunan kontraksi myometrium yang efektiv sehingga mengganggu system hemostasis pada uterus. Faktor Predisposisi Ada banyak masalah klinis yang menjadi resiko perdarahan obstetric dan konsekuensinya meningkat secara nyata. Perdarahan dapat terjadi kapan pun selama masa kehamilan, persalinan, dan masa nifas (puerperium). Dengan demikian, setiap deskripsi perdarahan obtetrical harus mencakup usia kehamilan. Penggunaan istilah seperti perdarahan trimester ketiga tidak dianjurkan karena ketidakakuratannya.

Perdarahan Dalam Obstetri

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Obsgyn

Citation preview

Perdarahan Dalam ObstetriMekanisme Hemostasis Normalkonsep utama dalam memahami patofisiologi dan manajemen dari perdarahan obstetrik adalah mekanisme yang hemostasis dicapai setelah persalinan normal. Mengingat kembali bahwa jangka pendek jumlah yang luar biasa setidaknya 600 ml / menit mengalir melalui antarvilus. aliran yang luar biasa ini bersirkulasi melalui arteri spiral, yang rata-rata 120 jumlahnya. Juga perlu diingat bahwa pembuluh ini tidak memiliki lapisan otot oleh karena proses remodeling dari endothropoblastiknya, yang menimbulkan sistem tekanan rendah. Dengan pemisahan plasenta, pembuluh ini dilokasi implantasi akan mengalami avulsi, dan hemostasis dicapai pertama oleh kontraksi miometrium, yang menekan hebat sejumlah pembuluh yang relatif besar. Jika kontraksi miometrium kuat, maka perdarahan yang fatal pasca melahirkan tidak akan terjadi. System koagulasi yang intak tidak diperlukan pada hemostasis post-partum kecuali jika ada laserasi pada uterus, jalan lahir, ataupun perineum. Bagaimanapun juga, perdarahan post-partum dapat terjadi oleh karena atoni uteri meskipun system koagulasi normal. Penempelan sisa plasenta atau gumpalan darah yang besar dapat menyebabkan penurunan kontraksi myometrium yang efektiv sehingga mengganggu system hemostasis pada uterus.Faktor PredisposisiAda banyak masalah klinis yang menjadi resiko perdarahan obstetric dan konsekuensinya meningkat secara nyata. Perdarahan dapat terjadi kapan pun selama masa kehamilan, persalinan, dan masa nifas (puerperium). Dengan demikian, setiap deskripsi perdarahan obtetrical harus mencakup usia kehamilan. Penggunaan istilah seperti perdarahan trimester ketiga tidak dianjurkan karena ketidakakuratannya.

Gambar 2.1 Faktor predisposisi perdarahan obstetricKlasifikasi Perdarahan Obstetrik

Perdarahan obstetrik bisa diklasifikasikan sebagai perdarahan antepartum seperti pada plasenta previa atau placental abruption, atau sebagai perdarahan postpartum yang sering disebabkan oleh atonia uteri atau laserasi pada saluran genitalia (Cunningham et al, 2014).2.1.1 Perdarahan ante partum (Ante Partum Bleeding)

Banyak aspek yang terjadi pada perdarahan selama paruh pertama kehamilan mulai dari aborsi atau kehamilan ektopik. Perdarahan sedikit pada vagina umum terjadi selama persalinan aktif, yaitu "bloody show" yang merupakan akibat dari penipisan dan dilatasi cervix (effacement and dilatation), dengan robeknya pembuluh kecil. Perdarahan uterus berasal dari atas cervix, hal tersebut yang harus diperhatikan, karena dapat berasal dari pemisahan plasenta previa yang terimplantasi langsung di sekitar canalis cervicalis, atau mungkin berasal dari placental abruption atau robekan pada uterus.

Terdapat beberapa laporan yang membahas tentang perdarahan pada awal dan pertengahan trisemester ketiga. Lipitz dan rekan (1991) melaporkan bahwa seperempat dari 65 wanita berturut-turut dengan perdarahan uterus antara 14 sampai dengan 26 minggu mengalami abruption plasenta previa dan sepertiga dari semua 65 janin akhirnya gugur. Hasil yang serupa dijelaskan selanjutnya (Ajayi, 1992; Leung, 2001). The Canadian Perinatal Association menjelaskan 806 wanita dengan perdarahan antara usia kehamilan 22 dan 28 minggu (Sabourin, 2012) akibat plasenta abruption (32 persen), previa (21 persen), dan perdarahan uterus (6,6 persen) , dan sepertiganya, tidak ditemukan penyebab yang jelas. Dengan jelas, menunjukkan bahwa perdarahan pada trisemester kedua dan ketiga berhubungan dengan prognosis kehamilan yang jelek (Cunningham et al, 2014).

2.1.2 Perdarahan post partum (Haemorrhagi Post Partum)

Perdarahan postpartum didefinisikan sebagai hilangnya 500 mL darah atau lebih setelah penyelesaian tahap III persalinan. Hal ini membingungkan, karena lebih dari setengah perempuan yang melakukan persalinan pervaginam mengeluarkan darah lebih dari yang diperkirakan. Berdasarkan data yang didapatkan oleh Pritchard, 1962, bahwa 5% dari perempuan yang melakukan persalinan pervaginam mengeluarkan darah >1.000 mL. Karena ini, diperkirakan kehilangan darah lebih dari "rata-rata" atau 500 mL harus diwaspadai oleh dokter kandungan tentang kemungkinan terjadinya perdarahan yang berlebih.

Dalam kebanyakan kasus, penyebab perdarahan postpartum dapat dan harus ditentukan. Penyebab sering adalah atonia uteri dengan perdarahan dari tempat implantasi plasenta, trauma saluran genital, atau keduanya. Perdarahan postpartum biasanya jelas. Pemeriksaan awal harus dapat membedakan atonia uteri dari laserasi saluran genital. Atonia ditandai dengan darah yang meluber, uterus lunak selama pemeriksaan bimanual dan dengan gambaran pembekuan dan perdarahan selama pijat uterus. Adanya perdarahan yang persisten meskipun dengan terapi adekuat, dan adanya kontraksi yang baik dari uterus menunjukkan bahwa perdarahan yang paling mungkin adalah berasal dari laserasi. Darah merah cerah menunjukkan pendarahan arteri. Untuk mengkonfirmasi bahwa laserasi adalah sumber perdarahan, pemeriksaan hati-hati dari vagina, cervix, dan uterus sangat penting. Terkadang perdarahan dapat disebabkan dari atonia dan trauma terutama pada persalinan pervaginam yang dibantu dengan forcep atau vacuum. Penting sekali dilakukan pemeriksaan cervix dan vagina untuk mengidentifikasi adanya laserasi pada persalinan yang dibantu dengan forcep dan vacuum. Pemeriksaan akan lebih mudah dilakukan bila diberikan analgetik terlebih dahulu. Bila, tidak ditemukan adanya laserasi pada saluran genitalia bawah dan kontraksi uterus baik, namun perdarahan supracervical tetap bertahan maka harus dilakukan eksplorasi bimanual untuk menyingkirkan terjadinya robekan uterus (Cunningham et al, 2014).

2.1.3 Late postpartum hemorrhage

Perdarahan setelah 24 jam pertama ditetapkan sebagai Late Postpartum Hemorrhage. Perdarahan tersebut ditemukan pada lebih dari 1 persen wanita dan mungkin serius (Cunningham et al, 2014).

2.1.4 Atonia UterusPenyebab paling sering perdarahan kandungan adalah kegagalan uterus untuk berkontraksi cukup setelah persalinan dan untuk menahan pendarahan dari pembuluh darah di lokasi implantasi plasenta. Perdarahan dapat dihindari selama persalinan tahap ketiga yaitu saat plasenta mulai terpisah. Darah dari lokasi implantasi dapat mengalir ke dalam vagina segera (mekanisme Duncan) atau tetap di balik plasenta dan membran sampai plasenta dilahirkan (Mekanisme Schultze). Dengan perdarahan selama tahap ketiga, uterus harus dipijat jika tidak berkontraksi dengan kuat. Setelah tanda-tanda pemisahan, penurunan plasenta ditandai dengan tali pusat menjadi kendor. Pengeluaran placenta perlu diupayakan melalui tekanan fundus secara manual. Bila perdarahan tetap terjadi,maka pengeluaran placenta secara manual mungkin diperlukan. Pemisahan dan pengeluaran placenta melalui traksi tali pusat terutama saat atonia uterus dapat mengakibatkan inversi uterus (Cunningham et al, 2014).2.1.1.1 Faktor resiko atonia uterus

Primipara merupakan faktor risiko. Paritas tinggi telah lama diketahui sebagai faktor resiko terjadinya atonia uterus. Uterus yang terlalu besar rentan terhadap hypotonia setelah persalinan, dan dengan demikian wanita dengan janin besar, janin multiple, atau hidramnion berada pada risiko yang lebih besar. Kelainan pada persalinan merupakan predisposisi terhadap terjadinya atonia. Demikian pula, induksi persalinan dengan prostaglandin atau oxytocin lebih mungkin akan diikuti oleh atonia (Driessen, 2011). Wanita yang telah memiliki riwayat perdarahan postpartum sebelumnya berisiko untuk terjadinya perdarahan kembali pada persalinan selanjutnya (Cunningham et al, 2014).

2.1.1.2 Perdarahan kala III

Bila perdarahan yang signifikan tetap terjadi setelah persalinan bayi dan sementara placenta masih melekat sebagian atau seluruhnya, maka diindikasikan pengeluaran placenta secara manual. Untuk melakukan tindakan ini,penggunaan analgetik yang adekuat diharuskan dan teknik bedah aseptic harus dilakukan. Placenta dikelupas dari perlekatannya di uterus dengan menggunakan gerakan seperti memisahkan halaman buku. Setelah dikeluarkan,membran yang masih tertinggal dikeluarkan secara hati-hati dengan cara mengumpulkan dari decidua dan menggunakan ring forcep bila diperlukan. Metode lain adalah dengan menyapu cavum uterus dengan menggunakan tangan yang terbungkus (gauze-wrapped hand) (Cunningham et al, 2014).

Gambar 2 Pengeluaran plasenta secara manual (Cunningham et al., 2014)2.1.1.3 Atonia uterus setelah kelahiran plasenta

Fundus harus selalu dipalpasi setelah persalinan plasenta untuk mengkonfirmasi bahwa uterus berkontraksi dengan baik. Jika tidak berkontraksi, maka pijatan fundus yang kuat biasanya dapat mencegah perdarahan postpartum dari atonia. Bersamaan, 20 unit oksitosin dalam 1000 mL larutan kristaloid sering efektif, diberikan secara intravena pada 10 mL / menit untuk dosis 200 mU/menit. Oksitosin tidak boleh diberikan sebagai dosis murni yang tidak didilusikan karena dapat menyebabkan hipotensi atau aritmia (Cunningham et al, 2014.2.1.1.4 Manajemen atonia uterus

Dengan segera perdarahan postpartum, pemeriksaan dengan hati-hati dilakukan untuk menyingkirkan adanya laserasi pada jalan lahir. Karena perdarahan dapat disebabkan oleh sisa placenta yang tertinggal, pemeriksaan placenta setelah persalinan harus rutin dilakukan. Jika tampak adanya kelainan, uterus harus dieksplorasi secara manual, dan fragmen dibuang. Kadang-kadang, retensi lobus succenturiate dapat menyebabkan perdarahan postpartum. Selama pemeriksaan untuk laserasi dan penyebab atonia, uterus dipijat dan agen uterotonika diberikan (Cunningham et al, 2014).

Agen Uterotonik

Ada beberapa senyawa yang mendorong uterus postpartum berkontraksi. Salah satunya secara rutin dipilih dan diberikan untuk mencegah perdarahan pasca persalinan dengan memastikan kontraksi uterus. Sebagian besar agen yang sama juga digunakan untuk mengobati atonia uteri dengan perdarahan. Sebagai contoh, oksitosin telah digunakan selama lebih dari 50 tahun, dan dalam kebanyakan kasus, diberikan melalu intravena atau intramuscular setelah melahirkan plasenta.

Ketika atonia terus berlanjut meskipun telah dilakukan langkah-langkah pencegahan, derivatif ergot dapat digunakan untuk pengobatan lini kedua. Ini termasuk methylergonovine-Methergine dan ergonovine. Hanya saja, methylergonovine saat ini hanya diproduksi di Amerika Serikat. Pemberian secara parenteral, obat ini dengan cepat merangsang kontraksi uterus tetanik dan bekerja selama kurang lebih 45 menit. Regimen umumnya adalah 0,2 mg meskipun diberikan intramuskular. Sebuah peringatan adalah bahwa agen ergot, terutama diberikan secara intravena, dapat menyebabkan hipertensi yang berbahaya, terutama pada wanita dengan preeklamsia. Hipertensi yang parah juga tampak pada penggunaan bersama dengan protease inhibitor yang diberikan kepada pasien dengan infeksi HIV.

Dalam beberapa tahun terakhir, terapi lini kedua untuk atonia uterus termasuk didalamnya adalah prostaglandin seri E- dan F-. Carboprost tromethamine Hemabate adalah turunan 15-methyl prostaglandin F2. Dosis ini sudah diterima lebih dari 25 tahun lalu untuk penanganan atonia uterus dengan dosis 250 g (0,25 mg ) diberikan secara intramuskular. Dosis ini dapat diulang jika dibutuhkan dengan interval 15-90 menit sampai dosis maksimal adalah 8 dosis. Carboprost dapat menyebabkan efek samping pada sekitar 20% wanita yaitu diare, hipertensi, vomit, demam, flushing, dan tachycardia. Efek samping lain adalah pada pulmonary airway dan konstriksi vascular. Sehingga, carboprost tidak boleh diberikan pada penderita asma dan pada penderita yang diduga emboli cairan amnion.

Prostaglandi seri E- telah digunakan untuk mencegah atau menangani atonia uterus. Dinoprostone prostaglandin E2 diberikan 20mg supposutoria perrectal atau pervaginam setiap 2 jam. Obat ini dapat menyebabkan diare di mana penggunaannya melalui rectal dapat bermasalah, sedangkan bila terjadi perdarahan pervagina yang besar dapat mengahalangi pemberian pervaginam. Prostaglandin E2-Sulprostone yang diberikan secara intravena digunakan di Eropa.

Misosprostol-Cytotec- merupakan sintetik analog prostaglandin E1 yang juga telah dievaluasi dapat digunakan sebagai prevensi dan penanganan atonia uterus dan hemorrhage postpartum (Cunningham et al, 2014).

Perdarahan yang Tidak Berespon terhadap Pemeberian Agen Uterotonik

Perdarahan yang tetap terjadi meskipun massase uterus sudah dilakukan dan uterotonik tetap diberikan,kemungkinan perdarahan berasal dari laserasi di saluran genitalia yang tidak diketahui, contohnya adalah rupture uterus. Sehingga, bila perdarahan tetap terjadi setelah penanganan awal, maka langkah-langkah manajemen selanjutnya harus segera dilakukan :

1.Mulai kompresi uterus secara bimanual, di mana cara ini mudah untuk dilakukan dan dapat mengontrol sebagian besar kasus perdarahan yang berkelanjutan. Teknik ini tidak semudah Massase fundus. Dinding posterior uterus dimassase dengan satu tangan di atas abdomen, sedangkan tangan lainnya membentuk kepalan dan diletakkan di dalam vagina. Tinju ini akan menekan dinding anterior uterus melalui dinding anterior vagina. Dengan bersamaan maka,uterus akan dikompresi dengan menggunakan dua tangan.

2.Segera panggil tim perawat obstretri menuju ruang persalinan dan meminta bantuan untuk whole blood atau packed red cells.

3.Meminta bantuan segera kepada tim anestesi

4.Pasang setidaknya dua intravena-line sehingga cairan kristaloid dengan oxytocin masuk bersamaan dengan darah. Pasang folley kateter untuk memonitor urine output.

5.Resusitasi volume dengan intravena kristaloid secara cepat

6.Dengan sedasi, analgetik, anestesi sudah diberikan, eksplorasi cavum uterus lagi secara manual untuk mencari fragmen placenta yang tertinggal dan kelainan pada uterus termasuk lacerasi atau rupture.

7.Periksa lagi dengan benar cervix dan vagina untuk mencari adanaya laserasi yang mungkin luput dari perhatian.

8.Bila, pasien masih tidak stabil atau masih terdapat perdarahan yang masih terjadi, maka berikan transfusi darah (Cunningham et al, 2014).

Uterine Packing atau Ballon Tamponade

Uterine packing telah popular untuk menangani atonia uterus yang refrakter selama paruh pertama abad ke 20 ini. Penggunaan ini tidak lagi dipertimbangkan karena kekhawatiran tentang perdarahan yang tersembunyi dan infeksi. Dalam suatu teknik yaitu dengan menggunakan ujung folley kateter 24F. Folley kateter dengan balon 30mL dipandu masuk ke dalam cavum uterus dan diisi dengan 60-80mL salin. Lalu ujung yang terbuka sebagai drainase darah dari uterus. Bila perdarahan sudah berkurang, biasanya kateter akan dilepas setelah 12-24 jam. Alat yang serupa juga telah digunakan sebagai tamponade yaitu Segstaken-Blakemore dan Rusch Ballon dan condom catheters. Atau cara lain adalah uterus dan pelvis dibungkus dengan kain kasa (Cunningham et al, 2014).

Gambar 3 Ballon intrauterine untuk hemorrhage post partum (Cunningham et al., 2014)

Prosedur PembedahanBeberapa prosedur invasive dapat digunakan untuk mengontrol perdarahan dari atonia. Prosedur tersebut meliputi uterine compression sutures, ligasi pembuluh darah pelvis, angiographic embolization, dan hysterectomy (Cunningham et al, 2014).