Upload
truongliem
View
227
Download
5
Embed Size (px)
Citation preview
i
PERCAMPURAN TURBULEN AKIBAT PASANG SURUT
INTERNAL DAN IMPLIKASINYA TERHADAP NUTRIEN
DI SELAT OMBAI
YULIANTO SUTEJA
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR 2011
ii
iii
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis dengan judul “Percampuran Turbulen Akibat Pasang Surut Internal dan Implikasinya Terhadap Nutrien di Selat Ombai” adalah karya saya sendiri dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, 23 Agustus 2011
Yulianto Suteja NRP. C551090061
iv
v
ABSTRACT
YULIANTO SUTEJA. Turbulent Mixing caused by Internal Tide and Their
Implication on Nutrient in Ombai Strait. Under direction of MULIA PURBA and
AGUS SALEH ATMADIPOERA.
Ombai Strait is one of the exit passages of Indonesian Throughflow (ITF) which has strong internal tidal energy. Internal tide is one of the main energy which causes mixing processes in the oceans. The purpose of this research was to estimate the turbulent mixing by using Thorpe scale approach and effect
of mixing on the flux of nutrients (nitrate, phosphate and silicate). CTD instrument equipped with bottle rosettes were casted nine times for one tidal cycle (24 hours), but for nutrient samples only taken from the third casting with 22 samples at determined depth. The results showed that Ombai Strait has an internal tide with semidiurnal period. The average value of in the Ombai Strait is very high
(7,56 x 10-2 + 2,83 x 10-1 m2 s-1) and the highest is found in deep layer (2,17 x
10-1 + 4,75 x 10-1 m2 s-1). This is presumably due to strong internal tide in that water. The strong effect of these internal tide especially during the low tide where the water mass induce to the deep layer. Vertical nutrient concentrations increase with depth. The nutrient fluxes estimation showed that the thermocline layer has the lowest flux of nutrients (0 m µmol l-1 s-1) and the highest flux in the deeper layer (8,28 x 10-5-165,56 x 10-5 m µmol l-1 s-1). Estimation of three nutrient fluxes showed that the phosphate is the lowest, followed by nitrate, and silicate as the highest.
Keywords: mixing, internal tide, Ombai Strait, fluxs nutrient
vi
vii
RINGKASAN
YULIANTO SUTEJA. Percampuran Turbulen Akibat Pasang Surut Internal
dan Implikasinya Terhadap Nutrien di Selat Ombai. Dibimbing oleh MULIA
PURBA dan AGUS SALEH ATMADIPOERA.
Selat Ombai merupakan salah satu daerah di perairan Indonesia yang memiliki kecepatan arus dan energi pasut internal yang tinggi. Kombinasi antara energi dan kecepatan arus pasut internal yang kuat menjadikan Selat Ombai memiliki potensi yang besar untuk terjadinya proses percampuran turbulen. Namun demikian, belum diketahui besarnya nilai percampuran turbulen yang terjadi. Percampuran turbulen merupakan salah satu faktor penyebab terjadinya penaikkan nutrien yang sangat penting untuk kehidupan biota yang berada di lapisan atas. Oleh karena itu, tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengestimasi percampuran turbulen (vertikal eddy difusivitas) di Selat Ombai menggunakan pendekatan skala Thorpe dan mengestimasi efek percampuran turbulen terhadap fluks nutrien (nitrat, fosfat, dan silikat).
Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 9-22 Juli 2010 bersamaan dengan Pelayaran INDOMIX (Internal Tides and Mixing in The Indonesian Throughflow) merupakan riset kerjasama antara Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK) Institut Pertanian Bogor (IPB) dengan LEGOS dan LOCEAN Perancis. Lokasi pengambilan data dilakukan di Selat Ombai dengan menggunakan Kapal Riset Marion Dufresne dari Perancis. Data temperatur, salinitas, dan tekanan diperoleh dengan menggunakan sensor CTD Sea-Bird Electronics (SBE) 911 Plus, selanjutnya dilakukan tahap pengolahan data dengan prosedur standar menggunakan perangkat lunak SBE Data Processing. Data nutrien (nitrat, fosfat, dan silikat) diperoleh dari air yang diambil dengan menggunakan botol rosette yang diturunkan bersama dengan CTD. Sampel air yang diambil sebanyak 22 sampel masing-masing pada kedalaman 5, 25, 50, 75, 100, 125, 150, 200, 300, 350, 450, 550, 650, 750, 800, 900, 1000, 1100, 1200, 1300, 1400, dan 1500 m. Pengukuran konsentrasi nitrat, fosfat, dan silikat dilakukan di Laboratorium Prolink IPB dengan masing-masing menggunakan metode Brucine, Ascorbic Acid, dan Molybdosilicate. Dari data CTD dilakukan perhitungan nilai Thorpe displacement , skala Thorpe , panjang skala
Ozmidov , frekuensi Brunt Vaisala , tingkat energi kinetik disipasi turbulen
eddy dan selanjutnya melakukan estimasi difusivitas vertikal eddy . Dari
nilai dan konsentrasi nutrien kemudian dilakukan perhitungan fluks nutrien.
Selat Ombai merupakan perairan laut dalam, sehingga perbedaan temperatur, salinitas, dan densitas sampai dasar perairan dapat dilihat dengan jelas. Berdasarkan temperatur, perairan Selat Ombai dapat dibedakan menjadi 3 lapisan yaitu lapisan tercampur, lapisan termoklin, dan lapisan dalam. Lapisan tercampur merupakan lapisan yang memiliki temperatur yang hampir seragam dan paling tinggi. Ketebalan lapisan ini berkisar antara 21–71 m. Lapisan paling tebal didapatkan pada ulangan 5-2 dan paling tipis pada ulangan 5-7. Perbedaan ketebalan lapisan ini diduga dipengaruhi oleh aktifitas gelombang internal di lokasi penelitian. Lapisan termoklin di Selat Ombai memiliki rata-rata penurunan temperatur > 0,1oC per meter. Lapisan ini memiliki kedalaman yang hampir sama dengan kedalaman lapisan pycnocline dengan kedalaman berkisar antara 22–254 m. Lapisan termoklin memiliki struktur mirip dengan struktur step like terutama pada ulangan 5-2, 5-3, 5-4 dan 5-5 yang diduga diakibatkan proses percampuran turbulen. Pada lapisan dalam ulangan 5-6 terdapat pola
viii
temperatur, salinitas, dan densitas yang berbeda dibandingkan dengan ulangan lainnya. Hal ini diduga karena adanya pengadukan massa air di lapisan bawah oleh aktivitas gelombang internal yang kuat.
Hasil analisis terhadap diagram TS (Temperature Salinity) menunjukkan bahwa massa air yang melewati Selat Ombai adalah massa air Laut Jawa di bagian permukaan, massa air North Pacific Subtropical Water (NPSW) di kedalaman 118-198 m dan massa air North Pacific Intermediate Water (NPIW) di kedalaman 217-346 m. Hasil analisis diagram TS juga menunjukkan bahwa sinyal massa air South Pacific Subtropical Lower Thermocline Water (SPSLTW) sangat lemah (tidak terdeteksi) hal ini diduga karena adanya variasi musiman dimana massa air Samudra Pasifik Selatan yang masuk ke jalur Arlindo kuat pada saat bertiup Angin Muson Barat Laut, sedangkan penelitian ini dilakukan pada saat Angin Muson Tenggara bertiup.
Hasil perhitungan frekuensi Brunt Vaisala menunjukkan bahwa lapisan termoklin merupakan lapisan yang memiliki tingkat kestabilan yang paling tinggi, diikuti lapisan tercampur dan lapisan dalam merupakan lapisan yang paling tidak stabil. Hasil plot melintang densitas menunjukkan adanya rambatan gelombang internal dengan periode semidiurnal di Selat Ombai. Periode pasut internal ini mirip dengan periode pasut dari hasil prediksi pasut di Pelabuhan Dili. Efek dari gelombang internal ternyata lebih kuat ke arah bawah dibandingkan ke arah atas, hal ini diduga karena lapisan bawah lebih seragam dibandingkan dengan lapisan atas.
Hasil plot menegak densitas awal yang dibandingkan dengan densitas yang disusun ulang ke kondisi stabilitas statis (reordering) menunjukan terjadi
Thorpe displacement yang tinggi pada saat surut (ulangan 5-2 dan 5-6) dibandingkan dengan kondisi pasang pada gelombang internal. Hal ini diduga karena adanya interaksi antara glombang internal dengan dasar perairan. Nilai skala Thorpe dari tiap penurunan CTD berbeda-beda tergantung dari besar
kecilnya nilai dan jumlah massa air yang mengalami . Secara keseluruhan
nilai tinggi di lapisan tercampur (24,41 m), menurun di lapisan termoklin (5-16,97 m) dan meningkat kembali di lapisan dalam (20,19-106,89 m).
Nilai rata-rata energi kinetik disipasi turbulen eddy Selat Ombai pada semua lapisan adalah 4,22 x 10-6 W kg-1. Hasil perata-rataan nilai menunjukkan
bahwa nilai di lapisan termoklin paling kecil (1,36 x 10-6 W kg-1) dibandingkan dengan lapisan tercampur dan lapisan dalam yang hampir homogen. Rendahnya
nilai pada lapisan termoklin menunjukkan semakin sedikit energi kinetik yang berada dalam aliran tubulen yang akan mengalami pemecahan menjadi bentuk yang lebih kecil (dissipation) yang akan berfungsi untuk mentransfer energi ke media yang lain. Lapisan termoklin merupakan lapisan yang cenderung berhimpitan dengan lapisan pycnocline dan halocline, hal ini menyebabkan lapisan ini memiliki tingkat kestabilan yang paling tinggi. Tingkat kestabilan ini akan sangat mempengaruhi rendahnya nilai displacement dan nilai yang
memiliki korelasi linier dengan nilia . Nilai energi kinetik tertinggi (12,24 x 10-6
W kg-1) berada pada lapisan dalam yang hampir homogen, hal ini menunjukkan lapisan dalam merupakan lapisan dimana energi kinetik mengalami pemecahan yang paling tinggi yang nantinya akan berkontribusi untuk terjadinya proses percampuran.
Nilai antar ulangan menunjukkan bahwa pada ulangan 5-2 dan 5-6
lebih tinggi dibandingkan dengan ulangan lain, sedangkan nilai terendah
didapatkan pada ulangan 5-4. Tinggi rendahnya nilai ini diduga terkait
aktivitas gelombang internal yang ada di ulangan tersebut. Secara keseluruhan nilai rata-rata Selat Ombai adalah 7,56 x 10-2 (+ 2,83 x 10-1) m2 s-1. Nilai
ix
paling rendah di Selat Ombai terdapat di lapisan termoklin (9,33 x 10-4 m2 s-1), namun nilai ini lebih tinggi dibandingkan dengan didapatkan Ffield dan Gordon (1992) sebesar 1 x 10-4 m2 s-1. Walapun nilai di lapisan termoklin rendah,
namun proses percampuran turbulen yang terjadi pada daerah ini diduga menjadi pemicu yang menyebabkan lapisan termoklin memiliki struktur mirip step like. Nilai pada lapisan dalam merupakan yang paling tinggi (2,17 x 10-1 m2 s-1),
nilai ini hampir sama yang didapatkan Hatayama (2004) pada dasar Sill Dewakang (2 x 10-1 m2 s-1). Hal ini diduga karena adanya interaksi gelombang internal dan shear dengan topografi dasar perairan.
Pola sebaran nutrien menunjukkan konsentrasi nutrien cenderung meningkat dengan bertambahnya kedalaman, selain itu didapatkan juga bahwa konsentrasi fosfat paling rendah (0-0,88 µmol l-1) dibandingkan nitrat (0-25,65 µmol l-1) dan silikat (5,10-70,90 µmol l-1). Pada lapisan termoklin tidak terdapat fluks nutrien (nitrat, fosfat, dan silikat) karena di lapisan termoklin ulangan 5-3 tidak terjadi percampuran (nilai sebesar 0 m2 s-1). Tidak terjadinya
percampuran ini disebabkan oleh tingkat stabilitas yang tinggi pada lapisan termoklin ulangan 5-3. Lapisan tercampur memiliki nilai fluks nutrien (8,42 x 10-5-1,32 x 10-3 m2 µmol l-1 s-1) yang lebih rendah dibandingkan lapisan dalam namun lebih tinggi dibandingkan lapisan termoklin. Fluks nutrien yang rendah di lapisan tercampur disebabkan konsentrasi nutrien pada lapisan ini rendah sehingga jumlah nutrien yang dipindahkan (mengalami fluks) juga sedikit. Fluks nutrien paling tinggi ditemukan di lapisan dalam (8,28 x 10-5-165,56 x 10-5 m2 µmol l-1 s-1). Hal ini disebabkan karena adanya kombinasi antara konsentrasi nutrien yang tinggi dan nilai percampuran turbulen yang besar.
x
xi
© Hak Cipta milik Institut Pertanian Bogor Tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulisan ini tanpa mencantumkan atau menyebut sumber. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
xii
xiii
PERCAMPURAN TURBULEN AKIBAT PASANG SURUT
INTERNAL DAN IMPLIKASINYA TERHADAP NUTRIEN
DI SELAT OMBAI
YULIANTO SUTEJA
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada Program Studi Ilmu Kelautan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR 2011
xiv
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Ir. I Wayan Nurjaya, M.Sc.
xv
LEMBAR PENGESAHAN
Judul Penelitian : Percampuran Turbulen Akibat Pasang Surut Internal dan
Implikasinya Terhadap Nutrien di Selat Ombai
Nama : Yulianto Suteja
NRP : C551090061
Disetujui
Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Mulia Purba, M.Sc. Ketua
Dr. Ir. Agus S. Atmadipoera, DESS. Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Ilmu Kelautan
Dr. Ir. Neviaty P. Zamani, M.Sc.
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Dahrul Syah M.Sc. Agr.
Tanggal Ujian: 23 Agustus 2011 Tanggal Lulus:
xvi
xvii
PRAKATA
Syukur alhamdulillah penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena
dengan rahmat dan karunia-Nya dapat terselesaikannya penelitian yang
dilanjutkan dengan penyusunan dan penulisan thesis dengan judul
“Percampuran Turbulen Akibat Pasang Surut Internal dan Implikasinya
Terhadap Nutrien di Selat Ombai”. Tulisan ini disusun dalam rangka
penyelesaian tugas akhir pendidikan magister pada Program Studi Ilmu Kelautan
Institut Pertanian Bogor.
Penelitian ini fokus mengkaji mengenai estimasi percampuran turbulen dan
implikasinya terhadap fluks nutrient di Selat Ombai. Hasil studi ini sedang dalam
proses publikasi pada beberapa jurnal kelautan dengan harapan dapat dijadikan
rujukan ilmiah dalam upaya eksplorasi sumberdaya alam pesisir dan laut di Selat
Ombai serta sebagai rujukan dalam pengelolaan sumberdaya perikanan di
Provinsi Nusa Tenggara Timur dan pengeolaan Taman Nasional Laut Sawu
sebagai daerah kawasan konservasi paus.
Bogor, 23 Agustus 2011
Ttd
Yulianto Suteja
xviii
xix
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis mengucapak terima kasih yang sebesar-besarnya kepada pihak
yang telah mendukung terselesaikannya thesis ini.
1. Prof. Dr. Ir. Mulia Purba, M.Sc. selaku ketua komisi pembimbing sekaligus
“BAPAK” yang berperan aktif membimbing penulis dalam rangka
penyelesaian tugas akhir sekaligus memberikan wawasan dan pendidikan
tentang oseanografi fisika yang sangat membantu dalam proses
pembelajaran.
2. Dr. Ir. Agus Saleh Atmadipoera, DESS. Selaku anggota komisi pembimbing
dan co-chief scientist pelayaran INDOMIX 2010 yang banyak memberikan
masukan, kritikan, dan arahan dalam upaya penyelesaian penulisan thesis
ini.
3. Dr. Ir. Neviaty P. Zamani, M.Sc. selaku Ketua Program Studi Ilmu Kelautan
Institut Pertanian Bogor yang banyak memberikan koreksi penulisan dan
motivasi dalam penyelesaian penulisan thesis.
4. Dr. Ir. I Wayan Nurjaya, M.Sc. selaku penguji luar komisi pada ujian tahap
akhir penyelesaian studi yang banyak memberikan saran dalam
penyempurnaan hasil penelitian.
5. Kedua Orang Tua (Ayahanda Ishak S.Pd. dan Ibunda Hainim S.Pd.) dan
seluruh keluarga (Kak Ofi, Kak Eka, Adik Kiki, Kak Tuan, Kak Cah, Ofar,
Obin, Wahyu) yang tidak berhenti memberikan dukungan dan motivasi
kepada penulis untuk terus belajar dan berusaha.
6. Team Pelayaran INDOMIX 2010 dan Kru Kapal Riset Marion Dufresne
(Francis) atas kerjasama yang baik dalam proses pelayaran dan
pengambilan data lapangan.
7. Anna Ida Sunaryo atas dukungan dan motivasi dalam penyelesaian studi.
8. Teman-teman Program Studi Ilmu Kelautan angkatan 2009 IPB (Bang
Lumban, Maria, Ai, Wahyu, Kahar, Kapten Toni, Mbak Citra, Cak Roni,
Mbak Riri, Mbak Yuli, Mbak Emi, Yayan, Mas Reza, dan Mbak Tias) dan
Laboratorium Data Processing (Oliver, Erlan, Oting, Santos, Resni,
Risni, Kris, Dipo, dan Hanung) terimakasih banyak atas saran, kritik, serta
dorongan selama menempuh belajar bersama
9. DIKTI yang memberikan biaya pendidikan melalui Beasiswa Pendidikan
Pascasarjana (BPPS) 2009, serta semua pihak yang telah membantu
memberikan masukan bagi penyempurnaan tesis.
xx
xxi
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan pada tanggal 13 Juli 1985 di Selakerat-Lombok timur sebagai anak ke-3 dari empat bersaudara pasangan Ishak, S.Pd. dan Hainim S.Pd. Pendidikan sekolah dasar diselesaikan penulis di SDN 2 Keluncing Tahun 1997, selanjutnya melanjutkan sekolah ke SMPN 2 Terara, lulus Tahun 2000. Pendidikan sekolah menengah atas diselesaikan Tahun 2003 di SMAN 1 Terara. Penulis kemudian melanjutkan pendidikan keperguruan tinggi melalui program SPMB (Sleksi Penerimaan Mahasiswa Baru) pada tahun 2003 di Program Studi Ilmu
Kelautan, Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, Universitas Hasanuddin dan menyelesaikan studinya tahun 2007 dengan lama studi 3 tahun 11 bulan. Pada Tahun 2007 penulis diterima sebagai dosen tetap yayasan IKIP-Mataram di Program Studi Biologi FPMIPA IKIP Mataram. Tahun 2009 penulis melanjutkan studi magister di Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor (IPB) pada Program Studi Ilmu Kelautan. Dalam penyelesaian studi magister sains, penulis menyusun thesis yang berjudul “Percampuran Turbulen Akibat Pasang Surut Internal dan Implikasinya Terhadap Nutrien di Selat Ombai”. Sejak kuliah di Universitas Hasanuddin penulis aktif dalam kegiatan
organisasi dan menjabat sebagai Ketua Senat Ilmu dan Teknologi Kelautan pada
tahun 2006. Pada saat menempuh pendidikan magister sains di IPB, penulis
menjadi Ketua Wacana Interaksi Mahasiswa Pascasarjana Ilmu dan Teknologi
Kelautan (Watermassa) pada tahun 2009-2010. Selain itu, penulis juga aktif di
dunia karya tulis ilmiah dan lebih dari lima karya tulis pernah dibuat dengan
penghargaan sebagai finalis PKM DIKTI Tahun 2006 dan pada tahun yang sama
sebagai finalis dalam rangka Dies Natelis Universitas Hasanuddin. Penulis juga
menerima penghargaan sebagai lulusan terbaik Universitas Hasanuddin pada
wisuda tahap I dengan IPK 3,99 dari skala 4,00. Dalam menyelesaikan studi
magister, penulis menjadi salah satu peserta pelayaran INDOMIX 2010.
xxii
xxiii
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ........................................................................................... xxv
DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... xxvii
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................... xxix
1 PENDAHULUAN ................................................................................. 1
1.1 Latar Belakang.............................................................................. 1
1.2 Kerangka Pemikiran...................................................................... 3
1.3 Tujuan dan Manfaat ...................................................................... 5
2 TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................... 7
2.1 Turbulensi (Olakan) ...................................................................... 7
2.2 Ketidakstabilan Massa Air ............................................................. 8
2.3 Percampuran (Mixing) ................................................................... 10
2.4 Pasang Surut Internal ................................................................... 11
2.5 Nutrien di Perairan ........................................................................ 13
2.6 Pelayaran INDOMIX 2010 ............................................................ 14
3 BAHAN DAN METODE ....................................................................... 17
3.1 Waktu dan Tempat ....................................................................... 17
3.2 Metode Pengumpulan Data .......................................................... 17
3.3 Metode Pengukuran Nutrien ......................................................... 18
3.3.1 Nitrat ................................................................................. 18
3.3.2 Fosfat ................................................................................ 19
3.3.3 Silikat ................................................................................ 19
3.4 Metode Akuisisi Data .................................................................... 20
3.5 Metode Analisis Data .................................................................... 22
3.6 Metode Penentuan Lapisan Kolom Perairan ................................. 26
4 HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................ 27
4.1 Profil Menegak Temperatur, Salinitas, dan Densitas ..................... 27
4.2 Massa Air yang Melewati Selat Ombai .......................................... 32
4.3 Stabilitas Statis ............................................................................. 35
4.4 Gelombang Internal ...................................................................... 37
4.5 Estimasi Skala Thorpe .................................................................. 39
4.6 Estimasi Energi Kinetik Disipasi Turbulen Eddy dan
Difusivitas Vertikal Eddy ........................................................ 45
4.7 Nutrien Selat Ombai...................................................................... 48
4.7.1 Profil Vertikal Nutrien ......................................................... 48
4.7.2 Fluks Nutrien ..................................................................... 50
xxiv
5 KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................ 53
5.1 Kesimpulan .................................................................................. 53
5.2 Saran ............................................................................................ 53
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 55
LAMPIRAN ................................................................................................... 61
xxv
DAFTAR TABEL
Halaman
1 Data penurunan CTD .............................................................................. 18
2 Karakter massa air yang melewati Selat Ombai ...................................... 33
3 Nilai difusivitas vertikal eddy di Selat Ombai ........................................... 48
xxvi
xxvii
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1 Kerangka pemikiran ................................................................................ 4
2 Transfer energi dari pasut barotropik ke baroklinik .................................. 13
3 Profil nutrien di Laut Banda (I), kedalaman Weber (II), dan Laut Arafura
(III) .......................................................................................................... 14
4 Proses-proses fisik yang mempengaruhi distribusi nutrien di kolom
perairan ................................................................................................. 15
5 Rute pelayaran Indomix 2010, dimulai dari pelabuhan Sorong di Papua
tanggal 9 Juli 2010, kemudian ke Laut Halmahera, Laut Seram, Laut
Banda, Selat Ombai, Laut Sawu, Selat Lombok dan berakhir di
pelabuhan Tanjung Perak Surabaya tanggal 22 Juli 2010 ...................... 16
6 Lokasi pengukuran yo-yo CTD selama 24 jam ........................................ 17
7 Diagram alir analisis data ........................................................................ 23
8 Ilustrasi proses pencarian nilai Thrope displacement. Data densitas
sebenarnya dengan kondisi instabilitas statis (kotak dengan garis titik-
titik), disusun ulang untuk mencari densitas kondisi stabilitas statis (garis
putus-putus merah). Jarak perpindahan dari kedalaman awal ke
kedalaman baru merupakan nilai Thorpe displacement ...................... 23
9 Profil vertikal temperatur (a), salinitas (b), dan densitas (c) Selat
Ombai ..................................................................................................... 28
10 Korelasi linier antara kecepatan angin sesaat dan ketebalan lapisan
tercampur................................................................................................ 29
11 Profil vertikal temperatur (a), salinitas (b), dan densitas (c) yang
diperbesar sampai kedalaman 500m ...................................................... 30
12 Back scater data LADCP dengan arah meridional di Selat Ombai. Warna
merah sampai kuning menunjukkan arus bergerak ke utara dan biru
sampai ungu ke arah selatan .................................................................. 31
13 Diagram TS di Selat Ombai tanggal 16-17 Juli 2010 (a). Tanda panah
merah menunjukkan massa air yang terdeteksi. Hasil pembesaran
massa air NPSW (b) dan NPIW (c) ......................................................... 33
14 Frekuensi Brunt Vaisala (garis biru) yang ditumpang tindih dengan
temperatur (garis merah) pada ulangan 5-1 (a), 5-2 (b), 5-3 (c), 5-4 (d),
5-5 (e), 5-6 (f), 5-7 (g), 5-8 (h), dan 5-9 (i) ............................................... 36
xxviii
15 Rambatan gelombang internal dari data CTD Selat Ombai dengan
puncak dan lembah gelombang ditunjukkan dengan anak panah (a).
prediksi pasut di Pelabuhan Dili pada tanggal 16-17 Juli 2010 (b) ........... 38
16 Perbandingan antara densitas awal dengan densitas stabilitas statis
untuk seluruh kedalaman pada saat surut (a) di ulangan 5-2 (atas) dan
ulangan 5-6 (bawah). Bila kotak hijau pada gambar (a) diperbesar maka
akan terlihat bahwa massa air densitas rendah (kotak hitam garis titik-
titik) berada di bawah massa air densitas tinggi (kotak hitam garis putus-
putus) (b). ............................................................................................... 40
17 Perbandingan antara densitas awal dengan densitas stabilitas statis
untuk seluruh kedalaman pada saat pasang (a) di ulangan 5-4. bila kotak
hijau pada gambar (a) diperbesar maka akan terlihat bahwa massa air
pada saat surut cenderung dalam kondisi stabilitas statis (b). ................. 41
18 Perbandingan data Thorpe displacement sebelum diterapkan metode
GK (a) dan sesudah diterapkan metode GK (b). Contoh data noise lebih
jelas terlihat di kotak garis titik-titik dan yang sudah dihaluskan di kotak
garis putus-putus .................................................................................... 42
19 Thorpe displacement seluruh ulangan .............................................. 43
20 Nilai skala Thorpe Selat Ombai ............................................................... 45
21 Grafik nilai energi kinetik disipasi turbulen eddy dengan standar deviasi
Selat Ombai ............................................................................................ 46
22 Nilai difusivitas vertikal eddy dengan rataan kedalaman 10 m ......... 47
23 Profil vertikal nitrat (a), fosfat (b), dan silikat (c) di Selat Ombai .............. 49
24 Fluks Nutrien Selat Ombai (x 10-5 m2 µmol l-1 s-1) ..................................... 51
xxix
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1 Profil vertikal temperatur ......................................................................... 63
2 Profil vertikal temperatur yang diperbesar sampai kedalaman
500 m ...................................................................................................... 66
3 Profil vertikal salinitas.............................................................................. 69
4 Profil vertikal salinitas yang diperbesar sampai kedalaman
500 m ...................................................................................................... 72
5 Profil vertikal densitas (sigma theta) ........................................................ 75
6 Profil vertikal densitas (sigma theta)yang diperbesar sampai
kedalaman 500 m ................................................................................... 78
xxx
1
1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sirkulasi termohalin yang lebih dikenal dengan the Great Conveyor Belt
(GCB) merupakan sirkulasi skala global yang mensirkulasikan semua massa air
lautan di dunia. Salah satu komponen penting dari GCB adalah Arus Lintas
Indonesia (Arlindo) yang mentransfer massa air dari Samudera Pasifik ke
Samudera Hindia. Arlindo mempengaruhi transfer bahang dari Samudera Pasifik
ke Samudera Hindia dan posisi daerah konveksi atmosfer sehingga Arlindo
berperan penting dalam mempengaruhi iklim global secara umum dan iklim tropis
secara khusus (Schneider, 1998; Koch-Larrouy et al., 2010). Variabilitas massa
air yang ditransfer Arlindo menunjukkan adanya korelasi yang kuat dengan
anomali iklim seperti ENSO (El Nino Southern Oscillation) dan sistem muson
(Webster et al., 1999; Koch-Larrouy et al., 2010).
Hasil observasi dan pemodelan sirkulasi samudera menunjukkan terdapat
dua lintasan Arlindo. Lintasan pertama (lintasan barat) merupakan lintasan utama
yang membawa sekitar 11,6 + 3,3 Sv (1 Sv = 106 m3 s-1) massa air Samudera
Pasifik Utara yaitu dari lapisan termoklin (North Pacific Subtropical Water,
NPSW) dan lapisan bawah termoklin (North Pacific Intermediete Water, NPIW).
Massa air lintasan barat masuk melalui Selat Mindanao kemudian ke Laut
Sulawesi dan mengalir ke Selat Makassar. Sebagian kecil massa air lintasan
barat (sekitar 2,6 Sv) keluar ke Samudera Hindia melalui Selat Lombok,
sedangkan sebagian besar berbelok ke arah timur menuju Laut Flores kemudian
ke Laut Banda dan keluar menuju Samudera Hindia melalui Selat Ombai dan
Laut Timur (Ffield dan Gordon, 1992; Gordon, 2005; Gordon et al., 2008;
Sprintall et al., 2009). Lintasan timur merupakan lintasan sekunder yang masih
belum diteliti secara intensif. Hasil pengukuran yang dilakukan Van Aken et al.
(2009) di Lifamatola menunjukkan bahwa lintasan timur Arlindo membawa sekitar
2,5 Sv massa air yang berasal dari Samudera Pasifik selatan dari lapisan yang
lebih dalam (South Pacific Subtropical Lower Thermocline Water, SPSLTW)
melalui Laut Maluku menuju Laut Banda. Namun jumlah massa air yang dibawa
oleh lintasan timur ini belum terestimasi dengan baik. Hal ini disebabkan adanya
masukan massa air lain pada lintasan timur, yaitu melalui Laut Halmahera
(Wyrtki, 1961; Ilahude dan Gordon, 1996; Gordon, 2005) yang belum pernah
diestimasi. Massa air dari lintasan barat dan timur yang bergabung di Laut
2
Banda, kemudian keluar menuju Samudera Hindia melalui Selat Ombai
sebanyak 4,9 Sv dan Laut Timor sebanyak 7,5 Sv (Ffield dan Gordon, 1992;
Gordon, 2005; Sprintall et al., 2009).
Massa air yang mengalir dari Samudera Pasifik ke Samudera Hindia
melalui Arlindo mengalami perubahan karakter. Hasil pengukuran salinitas
massa air Arlindo menunjukkan perubahan pada aliran masuk dan keluar, yaitu
salinitas massa air NPSW dari 34,90 psu menjadi 34,54 psu dan massa air NPIW
dari 34,35 psu menjadi 34,47 psu. Perubahan salinitas ini mengindikasikan
bahwa di perairan Indonesia terjadi proses percampuran vertikal yang sangat
kuat (Ffield Gordon, 1996; Hautala et al., 1996; Hatayama, 2004; Robertson dan
Ffield, 2005; Koch-Larrouy et al., 2007; Atmadipoera et al., 2009). Selain
merubah karakteristik massa air, proses percampuran vertikal juga mampu
mensuplai nutrien di lapisan atas karena adanya pergerakan massa air dari
lapisan bawah yang kaya nutrien ke lapisan atas sehingga akan mempengaruhi
distribusi dan fluks nutrien secara vertikal (Horne et al., 1996; Law et al., 2003).
Proses percampuran vertikal dapat disebabkan oleh topografi yang kasar
(misalnya awang), selat, dan gelombang internal. Berbagai hasil pemodelan 2
dimensi dan 3 dimensi menunjukkan perairan Indonesia merupakan wilayah yang
dicirikan dengan nilai pasang surut (pasut) internal yang kuat. Hasil pemodelan
menunjukkan energi yang ditransfer dari pasut barotropik ke pasut baroklinik di
perairan Indonesia sebesar 0,11 TW (Terawatt = 1012 Watt) atau sekitar 10 %
dari jumlah transfer di seluruh lautan (1,1 TW) (Carrere dan Lyard, 2003). Pasut
internal yang kuat ini merupakan energi utama dan proses inti untuk
mentransformasi massa air Arlindo yang menuju Samudera Hindia.
Salah satu perairan Indonesia yang memiliki nilai pasut baroklinik (internal)
yang tinggi adalah Selat Ombai, dimana kecepatan arus pasut internalnya paling
kuat di perairan Indonesia yaitu lebih dari 0,5 m s-1 (Robertson dan Ffield, 2005;
Koch-Larrouy et al., 2007). Kombinasi antara energi dan kecepatan arus pasut
internal yang kuat menjadikan Selat Ombai memiliki potensi yang besar untuk
terjadinya proses percampuran turbulen. Namun demikian, belum diketahui
besarnya nilai percampuran tubulen yang terjadi. Percampuran tubulen
merupakan salah satu faktor yang menyebabkan naiknya nutrien ke lapisan atas
yang sangat penting untuk kehidupan biota. Oleh karena itu, perlu dilakukan
penelitian yang mengkaji nilai percampuran turbulen, terutama keterkaitan antara
3
besarnya percampuran turbulen yang dikarakterisasi oleh nilai vertikal difusivitas
eddy dengan fluks nutrien yang terjadi pada kolom perairan.
1.2 Kerangka Pemikiran
Penelitian tentang percampuran di perairan Indonesia bukan merupakan
hal yang baru. Berbagai pendekatan dilakukan untuk mengetahui besarnya nilai
percampuran turbulen yang terjadi di perairan Indonesia, baik menggunakan data
satelit maupun data hasil pengukuran langsung. Ffield dan Gordon (1992)
menggunakan data CTD dari hasil pengukuran National Oceanic Data Center
(NODC) untuk menduga nilai percampuran lapisan termoklin perairan Indonesia
dan menghasilkan nilai sebesar 1,0 x 10-4 m2 s-1. Nilai percampuran tersebut
hampir sama dengan hasil simulasi percampuran pasut 3D yang dilakukan Koch-
Larrouy et al. (2007) yaitu 1,5 x 10-4 m2 s-1. Pendekatan lain dilakukan juga oleh
Hatayama (2004) dengan menggunakan pemodelan numerik yang menghasilkan
nilai maksimum vertikal difusifitas sebesar 6,0 x 10-3 m2 s-1 di Ambang (Sill)
Dewakang.
Beberapa pendekatan di atas menghasilkan nilai percampuran yang
bervariasi. Oleh karena itu, perlu dilakukan pendekatan lain untuk mengestimasi
percampuran turbulen sehingga lebih menggambarkan kondisi di alam. Salah
satu pendekatan tersebut adalah dengan menggunakan metode skala Thorpe
yang melakukan estimasi nilai percampuran turbulen berdasarkan profil vertikal
massa air yang diperoleh dari data CTD (Conductivity Temperature Depth).
Pemilihan penggunaan data CTD ini dilakukan berdasarkan Ffield dan Gordon
(1996) yang menegaskan bahwa percampuran turbulen yang terjadi di perairan
Indonesia disebabkan oleh adanya pasut internal, dimana salah satu cara untuk
mengetahui adanya pasut internal ini adalah melalui pengukuran data CTD
secara deret waktu (minimal satu siklus pasut).
Pengambilan data CTD di Selat Ombai dilakukan bersama dengan
kegiatan pelayaran Indonesian Mixing (INDOMIX) 2010. Pada kegiatan
pelayaran ini dilakukan penurunan yo-yo CTD selama 24 jam di Selat Ombai
sehingga memberikan kesempatan untuk memperoleh data CTD secara deret
waktu. Data yo-yo CTD yang diperoleh dalam pelayaran memenuhi kriteria
dilakukannya perhitungan estimasi nilai percampuran turbulen yang lebih akurat
dan sinyal gelombang internal yang menyebabkan terjadinya percampuran
turbulen juga dapat diperoleh dengan lebih jelas. Pada kegiatan pelayaran
4
INDOMIX 2010 dilakukan juga pengukuran profil vertikal nutrien dari sampel air
pada tekanan tertentu yang diambil dengan botol rosette yang diturunkan
bersama CTD. Hal tersebut memungkinkan untuk dilakukannya estimasi dampak
percampuran turbulen terhadap fluks nutrien di Selat Ombai. Secara skematik,
kerangka pemikiran penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1 Kerangka pemikiran.
Berdasarkan hal di atas, maka yang akan dijawab dalam penelitian ini
adalah :
a. Berapa besar nilai percampuran turbulen (vertikal eddy diffusivitas) di Selat
Ombai
b. Bagaimana efek percampuran turbulen terhadap fluks nutrien (nitrat, fosfat,
dan silikat)
Nilai percampuran lapisan termoklin
perairan Indonesia 1,0 x 10
-4 m
2s
-1 (Ffield
dan Gordon, 1992)
Nilai percampuran perairan Indonesia
1,5 x 10-4
m2s
-1 (Koch-
Larrouy, 2007)
Nilai percampuran Ambang Dewakan
6,0 x 10-3
m2s
-1
(Hatayama, 2004)
Nilai percampuran yang bervariasi
Metode Lain : pendekatan skala Thorpe
Data yo-yo CTD selama 24 jam
Pelayaran INDOMIX
2010
Profil vertikal Massa air
Profil vertikal nutrien
Nilai percampuran turbulen
Fluks Nutrien
5
1.3 Tujuan dan Manfaat
Tujuan dari penelitian ini adalah
a. Mengestimasi percampuran turbulen (vertikal eddy difusivitas) di Selat Ombai
menggunakan pendekatan skala Thorpe
b. Mengestimasi efek percampuran turbulen terhadap fluks nutrien (nitrat, fosfat,
dan silikat)
Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai :
a. Parameterisasi model sehingga tingkat akurasi model menjadi lebih baik
b. Informasi tentang efek percampuran turbulen terhadap fluks nutrien dapat
digunakan untuk mengetahui produktivitas perairan Selat Ombai sehingga
dapat dimanfaatkan untuk mengetahui ketersedian sumberdaya alam yang
ada terutama sumber daya perikanan.
6
7
2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Turbulensi (Olakan)
Turbulen adalah proses fisik yang dominan pada fluida yang
pergerakannya bersifat energetic, rotasional, eddies, dan irreguler (Stewart,
2002; Thorpe, 2007). Turbulensi di dekat permukaan laut biasanya digerakkan
oleh angin dan berfungsi untuk mentransmisikan bahang ke dalam dan ke luar
laut (Neumann dan Pierson, 1966). Turbulensi di dekat dasar laut mempengaruhi
deposisi, transfer momentum, resuspensi partikel organik dan inorganik dan
pergerakan sedimen. Air laut umumnya bergerak dalam aliran turbulen dan
jarang sekali dalam aliran laminar (bersifat teratur) (Thorpe, 2007).
Menurut Monin dan Ozmidov (1985) berdasarkan sifat alamiahnya, skala
spasial-temporal, arah percampuran, dan intensitas, gerakan turbulensi di laut
diklasifikasikan menjadi dua kategori yaitu :
a. Turbulensi skala meso
Pada skala ini turbulensi diciptakan oleh ketidakstabilan (misalnya
ketidakstabilan baroklinik, barotropik, dll) dan biasanya terjadi di
sepanjang permukaan dengan densitas konstan (isopiknal). Turbulensi ini
sering disebut turbulensi skala Rosbby karena mempunyai dimensi jarak
antara 10–100 km.
b. Turbulensi skala mikro
Pada skala ini turbulensi terutama diciptakan oleh shear dan pecahnya
gelombang internal dan mempunyai skala dimensi jarak 0,001–1 m serta
terjadi dalam arah vertikal. Pergerakan turbulensi skala mikro terjadi
dalam arah vertikal sehingga turbulensi ini mengontrol dinamika arus
serta pertukaran vertikal dalam sirkulasi di estuari dan pesisir serta
mengontrol interaksi udara-laut.
Pergerakan massa air yang bersifat turbulen atau laminar diketahui dengan
menggunakan Bilangan Reynolds dengan persamaan (Monin dan Ozmidov,
1985; Lesieur, 1997; Stewart, 2002; Thorpe, 2007; ):
dimana adalah tipikal velositas aliran (m s-1), adalah tipikal panjang (m) yang
menggambarkan aliran dan adalah kinematik molekuler viskositas (nilai untuk
8
air adalah 10-6 m2 s-1). Jika nilai kurang dari 10-3 maka dikatakan aliran bersifat
laminar dan jika lebih dari 105 maka aliran bersifat turbulen.
Menurut Thorpe (2007), pergerakan air yang bersifat turbulen merupakan
pergerakan air yang memiliki nilai energi kinetik yang berasal dari pecahnya
gelombang baik gelombang internal maupun gelombang permukaan. Energi
kinetik yang berada dalam aliran tubulen akan mengalami pemecahan menjadi
bentuk yang lebih kecil (dissipation) yang nantinya berfungsi untuk mentransfer
bahang atau energi ke media yang lain. Contoh proses transfer energi ke media
yang lain misalnya proses turbulen dapat mengikis sedimen yang ada di dasar
perairan, membawa sedimen ini ke kolom perairan, dll. Menurut Ozmidov (1965)
in Park et al., (2008) besarnya energi kinetik yang mengalami proses disipasi
dapat dihitung dengan menggunakan persamaan :
dimana adalah skala panjang Ozmidov (m), adalah frekuensi apung atau
frekuensi Brunt Vaisala (s-1). persamaan ini sangat penting karena
menggambarkan besar energi kinetik yang hilang dan bersifat irrevesible di
lautan.
Salah satu metode untuk mengukur besarnya nilai turbulensi adalah
dengan melakukan kalkulasi terhadap persamaan gerak, konduksi temperatur
dan proses diffusi (Monin dan Ozmidov, 1985). Menurut Thorpe (2007) proses
turbulensi merupakan konsekuensi dari adanya dispersi suatu partikel material
melalui difusi, sehingga untuk mengetahui besar kecilnya turbulensi vertikal suatu
fluida (air dan atmosfer), dapat dilakukan dengan menghitung nilai difusivitas
eddy dengan persamaan:
dimana adalah konstanta efisiensi mixing yang memiliki nilai 0,2 dan adalah
frekuensi Brunt Vaisala (s-1).
2.2 Ketidakstabilan Massa Air
Secara vertikal, massa air memiliki lapisan-lapisan yang terbentuk dari
berbagai parameter oseanografi yang ada. Parameter ini meliputi temperatur,
salinitas, densitas, tekanan, cahaya, nutrien, dll yang memiliki nilai yang berbeda-
9
beda tergantung dari tekanan. Adanya fenomena pelapisan massa air ini akan
mempengaruhi kestabilan massa air tersebut (Pond dan Pickard, 1983).
Densitas suatu perairan akan sangat mempengaruhi kestabilan perairan
yang ada. Densitas akan meningkat seiring dengan bertambahnya tekanan.
Pada kondisi ideal atau dalam kondisi tidak ada ganguan, massa air yang
memiliki densitas rendah akan selalu berada di atas massa air yang berdensitas
tinggi. Namun pada kondisi nyata densitas tidak selalu tersusun seperti kondisi
tersebut. Kondisi ini akan mengakibatkan ketidakstabilan massa air karena
massa air ini akan berosilasi atau bergerak secara vertikal (naik/turun) untuk
mencari posisi stabil (Pickard dan Emery, 1990).
Pengujian gradien temperatur (untuk air tawar) dan densitas (untuk air laut)
secara vertikal merupakan teknik yang umum digunakan untuk melihat apakah
suatu lapisan perairan dalam kondisi stabil atau tidak. Fluida dikatakan tidak
stabil apabila terjadi kecenderungan pergerakan atau perubahan posisi massa air
secara vertikal dari kedudukan awalnya tanpa kembali lagi ke posisi awalnya.
Jika fluida tidak memberikan hambatan secara berarti terhadap gerakan secara
vertikal maka fluida dikatakan tetap netral. Fluida akan dikatakan stabil jika fluida
tersebut memberikan perlawanan gerak secara vertikal (Pond dan Pickard,
1983).
Kestabilan massa air ini dapat ditentukan dengan persamaan stabilitas ( )
(Pond dan Pickard, 1983; Stewart, 2002; Emery et al., 2007):
dimana adalah densitas perairan (kg m-3) dan adalah kedalaman (m). Fluida
dikatakan stabil jika > 0, netral jika = 0 dan tidak stabil jika < 0. Jika
perbedaan nilai densitas terhadap kedalaman semakin besar, maka lapisan
perairan akan semakin stabil.
Menurut Stewart (2002) kondisi perairan laut yang berkaitan dengan stabil
tidaknya suatu massa perairan dapat dikatagorikan menjadi 4 jenis:
a. Air yang hangat dan kurang asin berada di atas air dingin dan asin. Air
dalam kondisi ini selalu bersifat stabil
b. Air yang dingin dan asin berada di atas air yang hangat dan kurang asin.
Air dalam kondisi ini selalu tidak stabil
c. Air yang hangat dan asin berada di atas air yang dingin dan kurang asin.
Proses ini biasa disebut salt fingering. Kondisi ini terjadi pada pusat
10
daerah sub-tropical gyre, tropis barat Atlantik Utara, dan barat laut
Atlantik.
d. Air yang dingin dan kurang asin berada di atas air yang hangat dan asin.
Proses ini disebut konveksi difusi. Kondisi ini tidak sebanyak proses salt
finger dan biasanya terjadi pada daerah lintang tinggi.
2.3 Percampuran (Mixing)
Kondisi fluida yang tidak stabil di laut akan menyebabkan fluida mengalami
proses percampuran (Stewart, 2002). Menurut Pond dan Pickard (1983) pada
saat fluida berdensitas tinggi berada di atas fluida berdensitas rendah, maka
akan terjadi pergerakan secara vertikal untuk mencari posisi stabil. Fluida yang
berdensitas tinggi akan tenggelam akibat adanya gaya gravitasi sedangkan yang
berdensitas rendah akan naik karena adanya daya apung. Gerakan naik turun
fluida untuk mencari posisi stabil dikenal dengan bouyancy frequency atau
frekuensi Brunt Vaisala ( ) yang secara matematik ditulis dengan :
dimana adalah percepatan gravitasi bumi (9,8 m s-2), adalah background
density yaitu densitas rata-rata dari hasil pengukuran (kg m-3).
Jarak perpindahan massa air dalam kondisi tidak stabil dapat diketahui
dengan menggunakan skala panjang pada turbulen eddy (Dillon, 1982). Thorpe
(1977) mengembangkan metode empirik untuk memperkirakan skala panjang
turbulen eddy pada aliran horizontal yang bersifat homogen dan pembalikan
densitas yang disebabkan oleh pengadukan turbulen. Dillon (1982)
menambahkan skala panjang yang dikembangkan Thorpe lebih dikenal dengan
skala Thorpe . Secara matematis, dapat dihitung dengan menggunakan
persamaan:
dimana adalah nilai Thorpe displacement (m) pada sample ke dan adalah
jumlah sampel.
Daerah pycnocline merupakan daerah yang paling stabil diantara semua
lapisan perairan, sehingga daerah ini membutuhkan energi yang lebih besar
untuk terjadinya pemindahan (displacement) massa air. Umumnya proses
11
percampuran terjadi pada lapisan tercampur dan lapisan bawah yang hampir
homogen (Pickard dan Emery, 1990). Proses percampuran dapat dibagi menjadi
percampuran horizontal dan vertikal. Energi yang dibutuhkan untuk melakukan
percampuran vertikal jauh lebih besar dibandingkan dengan percampuran
horizontal. Energi percampuran vertikal akan semakin besar dibutuhkan dengan
semakin stabil pelapisan massa air (Stewart, 2002).
Komponen percampuran vertikal dan horizontal memiliki perbedaan dalam
skala dan intensitas. Percampuran turbulen secara vertikal jauh lebih kecil
dibandingkan percampuran turbulen horizontal. Perbedaan ini disebabkan oleh
dimensi vertikal massa air yang jauh lebih kecil dibandingkan dengan dimensi
horizontal sedangkan gradien (misalnya gradien temperatur, densitas, tekanan,
dll) horizontal lebih kecil dibandingkan gradien vertikal. Secara horizontal
temperatur air laut dapat berubah 10o C atau lebih pada jarak ribuan kilometer,
namun secara vertikal perubahan ini terjadi pada selang hanya 1 km saja.
Adanya lapisan-lapisan air karena perbedaan densitas secara vertikal
merupakan faktor utama yang menghalangi proses percampuran vertikal (Brown
et al., 1993).
Pergerakan fluida secara vertikal, mengakibatkan fluks nutrien dari lapisan
bawah ke lapisan yang lebih atas. Hal ini menyebabkan proses percampuran
memiliki peranan yang sangat penting bagi kehidupan fitoplankton untuk
menopang pasokan nutrien yang sangat dibutuhkan untuk melakukan proses
fotosintesis (Thorpe, 2007). Fluks nutrien yang ditimbulkan oleh proses
percampuran dapat dihitung dengan menggunakan persaman (Horne et al.,
1996; Law et al., 2003):
dimana merupakan perbedaan konsentrasi nutrien pada selang kedalaman
(m). Selain berperan dalam fluks nutrien, percampuran juga memiliki peranan
penting dalam mempelajari perubahan iklim, dispersi polutan di lautan, dinamika
arus secara global, dan perubahan komposisi massa air.
2.4 Pasang Surut Internal
Gelombang internal merupakan gelombang yang terbentuk di bawah
permukaan perairan. Pada umumnya gelombang ini berada di lapisan interface
12
antara dua lapisan yang memiliki gradien densitas yang tinggi, seperti antara
lapisan tercampur dengan lapisan termoklin. Bila lapisan interface mengalami
gangguan (misalnya oleh arus menabrak/melintasi daerah ambang atau perairan
dangkal) maka massa air menjadi tidak stabil. Ketidakstabilan disebabkan massa
air desitas tinggi berada di atas massa air densitas rendah. Adanya gravitasi
bumi dan gaya apung mengakibatkan massa air akan bergerak vertikal menuju
posisi stabil. Namun akibat adanya sifat kelembaman, maka massa air ini
bergerak melewati posisi stabilnya. Proses ini terus berulang sehingga akan
menghasilkan osilasi dalam kolom perairan. Pergerakan massa air secara terus
menurus ini akan mengakibatkan terbentuknya gelombang internal. Gelombang
internal yang memiliki periode sama dengan periode pasang surut dinamakan
pasang surut (pasut) internal. Pasut internal merupakan salah satu energi utama
proses percampuran di laut.
Perairan Indonesia merupakan perairan yang memiliki energi pasut internal
yang tinggi. Hampir sekitar 10% transfer energi global dari pasut barotropik ke
pasut baroklinik ditemukan di perairan semi tertutup Indonesia. Nilai transfer
energi di perairan Indonesia terutama tinggi pada basin semi tertutup, ambang
(sill), dan selat (Gambar 2) (Carrere dan Lyard, 2003; Koch-Larrouy et al., 2007).
Adanya gelombang internal yang terperangkap pada daerah ambang membuat
daerah ambang merupakan daerah yang memiliki energi pasut internal yang
tinggi, seperti yang terjadi di Ambang Dewakang. Semakin tinggi energi pasut
internal maka proses percampuran vertikal akan semakin tinggi pula (Hatayama,
2004).
Pemodelan gelombang internal di perairan Indonesia yang menggunakan
Regional Ocean Model System (ROMS) dengan data yang berasal dari mooring
dan satelit TOPEX/Poseidon (T/P) menunjukkan energi terbesar untuk pasut
internal terdapat pada perairan selat dan perairan yang memiliki topografi kasar.
Selat Ombai dan Laut Seram memiliki energi pasut internal (M2) yang paling
tinggi dengan kecepatan arus maksimum 50 cm s-1 (Robertson dan Ffield, 2005).
Peningkatan kecepatan arus pada Selat Ombai disebabkan oleh penyempitan
jalur aliran. Dari hasil perhitungan menunjukkan bahwa nilai rata-rata fluks energi
barotropik dari pasut M2 di sekitar Selat Ombai mencapai 500 kW m-1 ( Ray et al.,
2005).
13
Gambar 2 Transfer energi dari pasut barotropik ke baroklinik (Carrere dan Lyard, 2003 in Koch-Larrouy et al., 2007).
2.5 Nutrien di Perairan
Nutrien merupakan unsur esensial selain cahaya yang sangat dibutuhkan
mahluk hidup yang mampu melakukan fotosintesis. Di daerah tropis, cahaya
selalu tersedia sepanjang tahun sehingga nutrien menjadi faktor pembatas bagi
perkembangan mahluk hidup di lapisan permukaan. Nutrien yang sangat
dibutuhkan untuk proses fotosintesis adalah nitrat dan fosfat, sedangkan silikat
digunakan oleh mahluk hidup untuk membentuk cangkang (misalnya Radiolaria,
Abalone, dll.) (Lalli dan Parsons, 2006). Sumber utama nutrien di lautan ada dua
yaitu dari proses autotonus (berasal dari dalam sistem, misalnya upwelling) dan
allotonus (berasal dari luar sistem, misalnya dari transport sungai) (Riley dan
Chester, 1971).
Konsentrasi nutrien di perairan akan berbeda-beda baik secara horizontal
maupun vertikal. Secara horizontal, konsentrasi nutrien tinggi di daerah pantai
dan rendah di laut lepas. Hal ini disebabkan suplai nutrien berasal dari daratan
utama yang masuk ke daerah pantai melalui aliran sungai. Secara vertikal,
Skala Logaritmik (TW/m
2)
14
konsentrasi nutrien rendah di bagian permukaan dan tinggi di lapisan dalam
(Riley dan Chester, 1971). Hal yang sama didapatkan oleh Wetsteyn et al. (1990)
bahwa secara verikal konsentrasi nitrat (NO3) pada musim kemarau di laut
Banda dan Laut Arafura meningkat seiring dengan bertambahnya kedalaman
(Gambar 3). Hal ini disebabkan karena pada bagian permukaan nutrien banyak
digunakan untuk proses fotosintesis, sedangkan pada lapisan dalam fotosintesis
tidak berlangsung karena ketidaktersediaan cahaya (Lalli dan Parsons, 2006).
Ketersediaan dan transport nutrien di kolom perairan sangat dipengaruhi
oleh proses fisik seperti transport dari sungai, upwelling, dan percampuran
vertikal (Gambar 4). Percampuran vertikal memegang peranan penting untuk
mensuplai kebutuhan nutrien terutama pada daerah sill atau selat yang memiliki
nilai percampuran yang tinggi (Liu et al., 2010). Law et al. (2003) menambahkan
adanya korelasi linier antara nilai percampuran dengan tinggi rendahnya fluks
nutrien pada kolom perairan.
2.6 Pelayaran INDOMIX 2010
Pelayaran INDOMIX (Internal Tides and Mixing in The Indonesian
Throughflow) merupakan riset kerjasama antara Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan (FPIK) Institut Pertanian Bogor (IPB) dengan LEGOS dan LOCEAN
Prancis. Pelayaran ini menggunakan Kapal Riset Marion Dufresne dan diikuti
oleh 43 peserta yaitu 20 orang peneliti Perancis dan 23 orang peneliti Indonesia.
Gambar 3 Profil nutrien di Laut Banda (I), kedalaman Weber (II), dan Laut Arafura (III) (Wetsteyn et al., 1990).
15
Gambar 4 Proses-proses fisik yang mempengaruhi distribusi nutrien di kolom perairan (Liu et al., 2010)
Tujuan utama dari penelitian ini adalah :
a. Mengkarakterisasi pasut internal dengan menggunakan CTD/LADCP
b. Pengukuran langsung disipasi dan percampuran turbulent
c. Mengukur kontribusi pasut internal terhadap percampuran turbulen
menggunakan data CTD/LADCP dan Mikrostruktur
d. Investigasi dampak percampuran turbulen terhadap distribusi bio-
geokimia dan phytoplankton
e. Pengamatan burung dan mamalia laut.
Pelayaran ini dilakukan dari tangal 9 -22 juli 2010 dengan rute pelayaran
mulai dari Papua, Laut Halmahera, Laut Banda, Selat Ombai, Laut Sawu, Selat
Lombok dan berakhir di Surabaya (Gambar 5). Selama perlayaran berlangsung,
dilakukan pengukuran berbagai parameter. Pengukuran parameter oseanografi
fisika dilakukan dengan menggunakan Vertical Microstructure Profiler (VMP),
Conductivity Temperature Depth (CTD), Expendable Conductivity Temperature
Depth (XCTD), dan Lowered Acoustic Doppler Current Profiler (LADCP). Di Laut
Halmahera dilakukan pelepasan mooring untuk mengukur transport Arlindo yang
melalui lintasan timur. Pengukuran parameter atmosfer dilakukan dengan
menggunakan Radiosonde. Pada pelayaran ini juga dilakukan perekaman data
oleh Shipboard Acoustic Doppler Current Profiler (SADCP), pengambilan nutrien
(nitrat, posfat, silikat), klorofil-a, dan tracer (radio isotop) pada beberapa
16
kedalaman serta pengamatan nekton, burung dan mamalia laut selama
pelayaran.
Gambar 5 Rute pelayaran Indomix 2010, dimulai dari pelabuhan Sorong di Papua tanggal 9 Juli 2010, kemudian ke Laut Halmahera, Laut Seram, Laut Banda, Selat Ombai, Laut Sawu, Selat Lombok dan berakhir di pelabuhan Tanjung Perak Surabaya tanggal 22 Juli 2010.
17
3 BAHAN DAN METODE
3.1 Waktu dan Tempat
Studi tentang percampuran turbulen merupakan bagian dari pelayaran
INDOMIX yang dilaksanakan pada tanggal 9-22 Juli 2010 dengan menggunakan
Kapal Riset Marion Dufresne, sedangkan lokasi penelitian adalah di Selat Ombai
(Gambar 6). Untuk pengukuran konsentrasi nutrien dilakukan di Laboratorium
Prolink Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK) IPB. Pengolahan data
dilakukan di Laboratorium Oseanografi Fisika dan Laboratorium Data Processing
FPIK IPB.
Gambar 6 Lokasi pengukuran yo-yo CTD selama 24 jam.
3.2 Metode Pengumpulan Data
Data yang diperlukan dalam penelitian ini adalah temperatur, salinitas,
tekanan, densitas, dan nutrien. Data temperatur, salinitas, dan tekanan diperoleh
dengan menggunakan sensor Conductivity Temperature Depth (CTD) Sea-Bird
Electronics (SBE) 911 Plus. Data nutrien (nitrat, fosfat, dan silikat) diperoleh dari
air yang diambil dengan menggunakan botol rosette yang diturunkan bersama
dengan CTD. Sampel air yang diambil sebanyak 22 sampel masing-masing pada
tekanan 5, 25, 50, 75, 100, 125, 150, 200, 300, 350, 450, 550, 650, 750, 800,
18
900, 1000, 1100, 1200, 1300, 1400, dan 1500 db. Air yang sudah diambil
kemudian disaring dengan kertas saring whatman 0,4 µm. Pada tiap tekanan
diambil air yang sudah disaring sebanyak 500 ml, kemudian diawetkan dengan
MgCO3 sebanyak 10 ml. Selama pelayaran sampel disimpan dalam lemari
pendingin.
Akuisisi data menggunakan perangkat lunak SEASAVE dengan frekuensi
pengoperasian 24 Hz yang artinya untuk mendapatkan satu data dilepaskan 24
gelombang dari alat pengambil data selama satu detik. Pengambilan data
dengan CTD dilakukan dengan kondisi kapal diam pada koordinat yang telah
ditentukan. CTD diturunkan sembilan kali penurunan (casts) selama 24 jam
dengan tekanan (kedalaman) yang berbeda-beda (Tabel 1). Untuk menjaga
stabilitas sensor konduktivitas dan temperatur di setiap penurunan CTD,
dilakukan perendaman terhadap sensor dengan menggunakan akuades. Data
mentah (raw data) yang sudah direkam CTD diunduh terlebih dahulu dan
kemudian dilakukan pengolahan lebih lanjut. Data angin sesaat diambil ketika
proses penurunan CTD berlangsung (Tabel 1).
Tabel 1 Data penurunan CTD
Ulangan Posisi Tanggal dan
waktu
Tekanan (db) Angin Sesaat
CTD Perairan Kecepatan
(m s-1
) Arah (o)
5-1 8,24967 LS; 125,3857 BT 16/07/2010 16:18 1509 1515 11,32 122
5-2 8,24967 LS; 125,3858 BT 16/07/2010 19:26 1491 1514 7,72 116
5-3 8,24983 LS; 125,3857 BT 16/07/2010 22:03 1517 1529 10,80 123
5-4 8,25000 LS; 125,3858 BT 17/07/2010 02:19 1429 1500 9,77 111
5-5 8,28383 LS; 125,2443 BT 17/07/2010 05:46 1549 1539* 7,20 106
5-6 8,28383 LS; 125,2440 BT 17/07/2010 08:21 1414 1538 7,72 118
5-7 8,28417 LS; 125,2440 BT 17/07/2010 11:54 1303 - 2,57 127
5-8 8,28433 LS; 125,2443 BT 17/07/2010 13:33 409**
1300 - -
5-9 8,28433 LS; 125,2445 BT 17/07/2010 14:09 1181 1300 6,69 97
* Error pada sensor batimetri ** Percobaan pengambilan data nitrat dengan sensor ISUS
3.3 Metode Pengukuran Nutrien
3.3.1 Nitrat
Pengukuran konsentrasi nitrat menggunakan metode Brucine dengan
tahapan sebagai berikut (Eaton et al., 2005) :
19
a. Mengambil 5 ml sampel yang sudah disaring, kemudian memasukkan air ke
tabung reaksi.
b. Menambahkan larutan brucin sebanyak 0,5 ml, lalu mengaduknya sampai
rata.
c. Menambahkan asam sulfat (H2SO4) pekat dengan konsentrasi 36 Normalitas
(N) sebanyak 5 ml lalu mengaduknya sampai rata.
d. Memanaskan selama 30 menit sampai mendidih pada hot plate dengan
temperatur 105oC.
e. Mengangkat dan mendinginkan air sampel yang sudah mendidih hingga
mencapai temperatur ruangan.
f. Membaca tingkat absorbansi nitrat pada spektrofotometer dengan panjang
gelombang (λ) 410 nm.
g. Untuk larutan blanko (akuades) dibuat dengan prosedur yang sama.
3.3.2 Fosfat
Pengukuran konsentrasi fosfat menggunakan metode Ascorbic Acid
dengan tahapan sebagai berikut (Eaton et al., 2005):
a. Memasukkan 50 ml air laut yang sudah disaring ke dalam gelas beker
b. Menambahkan 2 ml H2SO4 6 N dan memanaskan hingga volume air dalam
gelas beker menjadi kira-kira 15 ml.
c. Menambahkan 2 tetes phenolphtalin
d. Menambahkan NaOH hingga warna air menjadi merah muda
e. Menambahkan akuades hingga volume menjadi 50 ml
f. Mengambil 25 ml larutan dan menambahkan 4 ml larutan campuran
g. Membaca tingkat absorbansi fosfat pada spektrofotometer dengan panjang
gelombang (λ) 880 nm.
h. Untuk larutan blanko (akuades) dibuat dengan prosedur yang sama.
3.3.3 Silikat
Pengukuran konsentrasi silikat menggunakan metode Molybdosilicate
dengan langkah kerja sebagai berikut (Eaton et al., 2005):
a. Menuang masing-masing 10 ml sampel air yang sudah disaring ke dalam
tabung reaksi dari plastik.
b. Menambahkan larutan campuran sebanyak 0,3 ml dan mendiamkan air
sampel selama 10 menit.
c. Menambahkan 0,2 ml asam oksalat.
20
d. Menambahkan 0,3 ml ascorbic acid (vitamin C), kemudian mengaduk air
sampel secara perlahan hingga merata dan membiarkan selama 30 menit.
e. Membaca tingkat absorbansi silikat menggunakan spektrofotometer dengan
panjang gelombang 810 nm.
f. Untuk larutan blanko (akuades) dibuat dengan prosedur yang sama.
3.4 Metode Akuisisi Data
Data yang didapatkan dari hasil pengukuran di lapangan dengan
menggunakan CTD tidak dapat dianalisis langsung, namun harus dilakukan
pengolahan data terlebih dahulu. Data yang diolah hanya berasal dari data
downcast yaitu pengukuran profil sewaktu CTD diturunkan ke kedalaman
(tekanan tertentu).
Pengolahan data CTD dilakukan dengan mengunakan perangkat lunak
SBE Data Processing 7.21a. Tahap pengolahan data sebagai berikut:
a. Konversi
Konversi data berfungsi untuk mengubah data mentah (format biner) ke
data dalam format ASCII (American Standard Code for Information Interchange)
dalam bentuk .CNV. Pengkonversian data ini bertujuan agar data hasil
perekaman CTD dapat diolah menggunakan berbagai perangkat lunak. Variabel
yang dikeluarkan dalam proses ini adalah scan count, lintang (deg), bujur (deg.),
tekanan (db), temperatur ITS-90 (oC), temperatur 2 ITS-90 (oC), konduktivitas (S
m-1), konduktivitas 2 (S m-1), oksigen SBE 43 (mg l-1), altimeter (m), fluorescence
(µg l-1), beam attenuation (m-1), dan beam transmission (%).
b. Align CTD
Align CTD berfungsi mensinkronkan semua parameter yang diukur berada
dalam waktu, tekanan, dan massa air yang sama. Proses Align hanya dilakukan
pada data oksigen sebesar 5 detik terhadap tekanan (McTaggaart et al., 2010).
Nilai align data oxygen berkisar 1-5 detik, tergantung dari tekanan CTD.
c. Wild edit
Wild edit berfungsi memperbaiki data yang memilikii nilai ekstrim setiap 100
scan bin. Proses perbaikan data dilakukan melalui dua tahap. Tahap yang
pertama dengan cara memperbaiki data yang nilainya lebih besar dari dua kali
standar deviasi rata-rata. Tahap yang kedua dengan cara memperbaiki data hasil
fase pertama yang lebih besar dari 20 kali standar deviasi rata-rata.
21
d. Cell thermal mass
Cell thermal mass berfungsi sebagai penapisan recursive untuk
mengoreksi temperatur pada sel konduktivitas pada saat pengukuran
berlangsung. Nilai yang digunakan adalah 0,03 untuk nilai alfa (anomali
amplitudo temperatur) dan 7 untuk nilai beta (anomali konstanta waktu
temperatur) (McTaggaart et al., 2010). Penapisan ini dilakukan hanya pada data
hasil pengukuran temperatur pada sensor temperatur primer dan sekunder.
e. Filter (Penapisan)
Penapisan yang digunakan adalah low pass filter yang berfungsi untuk
menghilangkan bias (noise) berupa frekuensi tinggi pada data tekanan. Cut-off
frekuensi yang digunakan adalah 0,03 detik pada low pass filter A dan 0,15 detik
pada low pass filter B. Hal ini berarti perekaman data yang lebih cepat dari cut-off
frekuensi akan dilemahkan/dihilangkan. Menurut McTaggaart et al. (2010) proses
penapisan hanya dilakukan pada data tekanan dengan menerapkan low pass
filter B.
f. Loopedit
Loopedit berfungsi untuk memperbaiki data CTD ketika penurunan CTD
bergerak kurang dari kecepatan minimum atau CTD bergerak naik turun akibat
adanya guncangan pada kapal. Kecepatan minimum yang dipakai adalah 0,25
m s-1 (McTaggaart et al., 2010).
g. Derive
Derive digunakan untuk menurunkan parameter selain yang sudah
dikeluarkan dikonversi data. Parameter yang turunkan yaitu densitas (sigma
theta) (kg m-3), salinitas primer (psu), salinitas sekunder (psu), kecepatan suara
(m s-1), dan temperatur potensial ITS-90 (oC).
h. Bin average
Bin average digunakan untuk merata-ratakan data pada tekanan yang
diinginkan. Ukuran bin yang dipakai adalah 1 bin tanpa mengikutkan bin
permukaan, sehingga selang tekanan pada data adalah 1 db.
i. Manual
Metode manual dilakukan dengan cara investigasi langsung data yang
sudah melalui proses pengolahan data. Hal ini dilakukan karena proses
pengolahan data tidak sepenuhnya menjamin data siap untuk diolah. Untuk
memperoleh nilai pada data yang mengalami error maka dilakukan interpolasi
22
linier. Data error umumnya berada pada semua ulangan terutama pada lapisan
tercampur dan lapisan dalam dengan rentang data error 1-3 m.
3.5 Metode Analisis Data
Analisis data dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak Ocean Data
View (ODV) 4.1.3, Microsoft Excel 2007, dan Matlab versi R2010a. Program
ODV dan Matlab versi R2010a digunakan untuk menggambarkan karakteristik
massa air terutama temperatur, salinitas, potensial densitas, dan nutrien secara
vertikal. Perangkat lunak Microsoft Excel 2007 digunakan untuk melakukan
perhitungan matematik untuk menentukan nilai turbulensi dengan menentukan
nilai Thorpe displacement, skala Thorpe, skala Ozmidov, frekuensi Brunt Vaisala,
tingkat energi kinetik disipasi turbulen eddy, difusivitas vertikal eddy, dan estimasi
fluks nutrien (nitrat). Untuk menyajikan hasil perhitungan dalam bentuk gambar
dan grafik digunakan Program Microsoft excel 2007 dan Matlab R2010a. Secara
skematik, diagram alir analisis data dapat dilihat pada Gambar 7.
Untuk mengestimasi difusivitas vertikal eddy , terlebih dahulu
ditentukan nilai Thorpe displacement , skala Thorpe , skala Ozmidov
, frekuensi Brunt Vaisala , dan tingkat energi kinetik disipasi turbulen
eddy . Nilai didapat dengan cara menyusun ulang profil densitas yang
didapatkan dari data CTD ke dalam bentuk stabilitas statis, artinya densitas
disusun dengan posisi massa air densitas rendah berada di atas massa air
densitas tinggi (Gambar 8). Untuk lebih mudahnya, bayangkan profil densitas
vertikal dengan n buah sampel dan densitas yang diobservasi pada
kedalaman . Jika sampel pada kedalaman dipindahkan ke kedalaman
untuk membentuk kondisi stabilitas statis, maka Thorpe displacement dapat
dihitung dengan persamaan (Dillon, 1982; Finnigan et al., 2002; Thompson et al.,
2007):
Nilai positif menunjukkan bahwa massa air akan bergerak ke atas untuk
mencari kestabilan statis, kondisi ini terjadi bila massa air berdensitas rendah
berada di bawah massa air berdensitas tinggi. Nilai negatif menunjukkan
massa air bergerak ke bawah, hal ini terjadi bila massa air densitas tinggi berada
di atas massa air densitas rendah. Nilai merupakan nilai yang bukan nilai nol
sehingga jika profil densitas pada kondisi stabilitas statis , maka nilai
dari kedalaman tersebut tidak diikutsertakan untuk menghitung nilai .
23
Gambar 7 Diagram alir analisis data.
Gambar 8 Ilustrasi proses pencarian nilai Thrope displacement. Data densitas sebenarnya dengan kondisi instabilitas statis (kotak dengan garis titik-titik), disusun ulang untuk mencari densitas kondisi stabilitas statis (garis putus-putus merah). Jarak perpindahan dari kedalaman awal za ke kedalaman baru zb merupakan nilai Thorpe displacement.
za
zb
CTD (Conductivity, Temperature, Depth)
Botol Rosette Frekuensi Brunt
Vaisala Thorpe
displacment
Metode Galbraith dan Kelley (GK)
Skala Thorpe
Skala panjang
Ozmidov
Tingkat energi kinetik disipasi
turbulen eddy
Fluks nutrien
Nutrien Difusivitas vertikal
eddy
24
Setelah kalkulasi nilai , dilakukan estimasi ketebalan minimal
displacement dari resolusi vertikal CTD . Hal ini bertujuan agar nilai
merupakan nilai displacement yang sesungguhnya dan bukan berasal dari noise
CTD. Prinsip estimasi ini dilakukan berdasarkan pada kenyataan bahwa CTD
memiliki keterbatasan kemampuan untuk mendeteksi pembalikkan massa air.
Hal ini mengacu pada Teori sampling Nyquist, dimana bila pembalikkan yang
terjadi adalah dua kali lebih rendah dibandingkan resolusi vertikal , maka
pembalikkan tersebut tidak dapat diukur. Penentuan pembalikkan yang lebih kuat
dapat dilakukan jika terdapat jumlah sampel yang lebih banyak, berdasarkan
pada peraturan jumlah sampel minimum yaitu lima sampel (Koch et al., 1983)
atau 7-8 sampel (Levitus, 1982 in Galbraith dan Kelley, 1996). Solusi untuk
menyelesaikan perbedaan tersebut adalah dengan memungkinkan resolusi
vertikal untuk mendeteksi pembalikkan yang tidak lebih rendah dari (Galbraith
dan Kelley, 1996):
dimana adalah resolusi vertikal data CTD (m). Untuk penelitian ini digunakan
resolusi vertikal sebesar 1 m sehingga nilai sebesar 5 m. Hal ini berarti nilai
yang kurang (5 m) akan diabaikan dan tidak akan diikutkan untuk perhitungan
selanjutnya.
Selain solusi di atas, perlu juga batasan lain yang digunakan dalam
pengukuran pembalikkan berdasarkan perbedaan densitas Resolusi
densitas dapat mengukur pembalikkan bila memiliki nilai tidak lebih rendah
dari (Galbraith dan Kelley, 1996):
dimana adalah percepatan gravitasi bumi (9,79423 m s-2), adalah nilai
densitas rata-rata dari keseluruhan ulangan, dan adalah Frekuensi Brunt
Vaisala. Galbraith dan Kelley (1996) menjelaskan bahwa nilai yang digunakan
untuk perhitungan di laut lepas adalah 0.003 s-1. Dari perhitungan data
CTD Selat Ombai didapatkan nilai sebesar 2,12 m, hal ini berarti ketebalan
displacement yang kurang akan diabaikan dan tidak diikutsertakan dalam
perhitungan selanjutnya.
Perhitungan skala Thorpe diperoleh dengan menggunakan persamaan
berikut (Dillon, 1982; Finnigan et al., 2002; Cisewski et al., 2005; Park et al.,
2008):
25
dimana adalah Thorpe displacement pada kedalaman dan adalah jumlah
sampel. Setiap nilai didapatkan dari hasil perata-rataan buah sampel pada
kedalaman yang diinginkan. Perata-rataan nilai pada penelitian ini dilakukan
dengan cara membagi kedalaman perairan menjadi tiga lapisan dengan
ketebalan masing-masing lapisan sebesar (m). Ketiga lapisan ini adalah
lapisan tercampur, lapisan termoklin, dan lapisan homogen di bagian dalam.
Kedalaman setiap lapisan pada setiap ulangan berbeda-beda tergantung dari
profil vertikal massa air.
Nilai skala Thorpe pada setiap lapisan digunakan untuk menghitung skala
Ozmidov dengan menggunakan persamaan (Dillon, 1982):
Sebelum menghitung tingkat energi kinetik disipasi turbulen eddy ,
dilakukan perhitungan frekuensi Brunt Vaisala pada tiap kedalaman
menggunakan persamaan (Park et al., 2008; Thompson et al., 2007):
adalah background densitas perairan dari hasil perata-rataan densitas seluruh
ulangan (1026,52 kg m-3), adalah perubahan (gradien) densitas terhadap
perubahan kedalaman (1 m), dan adalah percepatan gravitasi bumi
(9,79423 m s-2). Menurut Ferron et al. (1998) nilai densitas yang dipakai pada
Frekuensi Brunt Vaisala berasal dari data densitas yang sudah disusun dalam
kondisi stabilitas statis, ini berarti nilai yang didapat dari perhitungan ini akan
selalu bernilai positif.
Tingkat energi kinetik disipasi turbulen eddy pada tiap kedalaman
diperoleh dengan persamaan (Ozmidov, 1965 in Park et al., 2008):
Nilai difusivitas vertikal eddy pada tiap kedalaman diperoleh melalui
persamaan berikut (Cisewski et al., 2005; Park et al., 2008):
26
adalah efisiensi percampuran (0,2) (Osborn, 1980). Rata-rata difusivitas
vertikal eddy pada tiap lapisan dengan kedalaman dihitung dengan
persamaan (Ferron et al., 1998):
Fluks nutrien (nitrat, fosfat, dan silikat) dikalkulasi dengan menggunakan
persamaan (Horne et al., 1996; Law et al., 2003):
dimana adalah perbedaan konsentrasi nutrien pada selang kedalaman (m)
yang merupakan tempat pengukuran konsentrasi nutrien.
3.6 Metode Penentuan Lapisan Kolom Air
Pada penelitian ini dilakukan pemisahan kolom air menjadi tiga lapisan,
yaitu lapisan tercampur, lapisan termoklin, dan lapisan homogen di bagian
dalam. Penentuan lapisan ini didasarkan pada gradien densitas kolom
perairan. Menurut Lorbacher et al. (2005) pembagian lapisan berdasarkan
gradien lebih realistis dibandingkan dengan menggunakan temperatur, karena
profil temperatur tidak selalu memberikan stratifikasi vertikal secara tepat.
Lapisan tercampur ditentukan dengan menghitung gradien = 0,02 dengan titik
acuan densitas permukan. Bila gradien lebih dari 0,02 maka lapisan tersebut
dikategorikan sebagai lapisan termoklin (Cisewski et al., 2005). Batas antara
lapisan termoklin dan lapisan dalam yang homogen dilihat secara visual dari data
densitas yang di cross cek dengan data temperatur, batasnya adalah daerah
dimana nilai densitas tidak menurun tajam terhadap kedalaman.
27
4 HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Profil Menegak Temperatur, Salinitas, dan Densitas
Selat Ombai merupakan perairan laut dalam, sehingga perbedaan
temperatur, salinitas, dan densitas sampai dasar perairan dapat dilihat dengan
jelas (Gambar 9). Profil menegak temperatur, salinitas, dan densitas (sigma
theta) masing-masing ulangan dapat dilihat pada Lampiran 1, 3, dan 5,
sedangkan profil menegak temperatur, salinitas, dan densitas yang diperbesar
sampai tekanan 500 db dapat dilihat pada Lampiran 2, 4, dan 6. Berdasarkan
temperatur, perairan Selat Ombai dapat dibedakan menjadi 3 lapisan yaitu
lapisan tercampur, lapisan termoklin, dan lapisan dalam. Penentuan lapisan
kolom perairan didasarkan pada gradien temperatur dan densitas
(Thomson dan Fine, 2002; Montegut et al., 2004). Kolom perairan dikategorikan
sebagai lapisan permukaan tercampur jika < 0,1oC dan < 0,02 kg m-3,
sedangkan dikategorikan sebagai lapisan termoklin ditentukan dengan melihat
> 0,1oC dan > 0,02 kg m-3 (Weller dan Pleudemman, 1996; Kara et al.,
2000; Cisewski et al., 2005). Penentuan lapisan dalam didasarkan pada
pengamatan visual pada profil densitas dan temperatur dimana pada lapisan ini
densitas dan temperatur tidak menurun tajam terhadap kedalaman.
Lapisan tercampur merupakan lapisan yang memiliki temperatur yang
hampir seragam dan paling tinggi. Ketebalan lapisan ini berkisar antara 21-71 db.
Lapisan paling tebal didapatkan pada ulangan 5-2 dan paling tipis pada ulangan
5-7 (Gambar 9a). Perbedaan ketebalan lapisan ini diduga dipengaruhi oleh
aktifitas gelombang internal di lokasi penelitian. Pada saat puncak gelombang
internal melewati kolom perairan, lapisan tercampur akan termampatkan dan
akan menjadi lebih tipis, namun lapisan tercampur akan menjadi lebih tebal bila
dilewati oleh lembah gelombang internal. Hal ini dijelaskan oleh Li et al. (2000)
bahwa gelombang internal merupakan salah satu penyebab perbedaan tingkat
ketebalan lapisan tercampur selain kecepatan tiupan angin. Hasil penelitian
menunjukkan perbedaan kecepatan tiupan angin memberikan kontribusi yang
kecil terhadap perbedaan ketebalan lapisan tercampur yang ditunjukkan dengan
korelasi linier cukup rendah (Gambar 10), walaupun dua data yang memiliki nilai
yang menyimpang diabaikan. Nilai korelasi yang rendah tersebut disebabkan
karena hubungan antara kecepatan angin dan ketebalan lapisan tercampur tidak
28
Gambar 9 Profil vertikal temperatur (a), salinitas (b), dan densitas (c) Selat Ombai.
(a)
(b)
(c)
29
Gambar 10 Korelasi linier antara kecepatan angin sesaat dan ketebalan lapisan tercampur
sepenuhnya berpola linier dan juga diduga karena pengukuran angin hanya
bersifat sesaat dan tidak berkelanjutan selama proses pengambilan data oleh
sensor CTD, sedangkan pengaruh angin membutuhkan jeda waktu (time leg)
untuk memberikan efek terhadap ketebalan lapisan tercampur.
Hasil pengukuran CTD menunjukkan kisaran temperatur lapisan tercampur
antara 28,13-28,51oC. Kisaran temperatur ini lebih tinggi dibandingkan dengan
yang didapat oleh Ilahude dan Gordon (1996) pada saat musim timur (Agustus-
September 1993) di Laut Flores, Laut Banda bagian barat dan Laut Timor yang
memiliki kisaran temperatur 26,10-27,50oC. Hal ini diduga karena terjadinya
anomali iklim seperti El Nino Southern Oscilaton (ENSO) yang akan
mempengaruhi transfer bahang dan transport Arlindo dari Samudera Pasifik ke
Samudera Hindia (Sprintall et al., 2003; Gordon, 2005). Pada tahun 1993 terjadi
fase El Nino yang kuat (Gordon, 2005) sehingga jumlah bahang yang ditransfer
dari Samudera Pasifik juga melemah dan temperatur lapisan tercampur menjadi
lebih rendah dibandingkan tidak terjadinya El Nino.
Salinitas dan densitas di lapisan tercampur berkisar 33,393-33,476 psu dan
21,03-21,21 kg m-3 (Gambar 11). Salinitas yang rendah di lapisan ini diduga
akibat adanya pengaruh sisa-sisa presipitasi yang mengencerkan salinitas
permukaan dan adanya anomali iklim seperti La Nina. Atmadipoera et al. (2009)
dari hasil model menjelaskan lapisan dekat permukaan Selat Ombai
mendapatkan suplai air laut yang lebih tawar dari Laut Jawa yang mengalir ke
arah timur setelah tiga bulan dari pucak musim hujan (Maret) dan sisa-sisa
0
2
4
6
8
10
12
0 10 20 30 40 50 60 70 80
Kecep
ata
n A
ng
in (
m/s
)
Ketebalan Lapisan Tercampur (m)
R2 = 0.499
30
Gambar 11 Profil vertikal temperature (a), salinitas (b), dan densitas (c) yang diperbesar sampai tekanan 500 db.
(a)
(b)
(c)
31
salinitas air laut yang lebih tawar di dekat permukaan masih terlihat sampai bulan
Juli di Selat Ombai. Laut Jawa sendiri memiliki salinitas 31,000-32,000 psu pada
saat musim hujan (Soeriaatmadja, 1956; Wyritki, 1961; Petit et al., 1996;
Atmadipoera et al., 2009).
Lapisan termoklin terletak di bawah lapisan tercampur dan merupakan
lapisan dimana temperatur turun secara drastis terhadap kedalaman. Lapisan
termoklin di Selat Ombai memiliki rata-rata penurunan temperatur > 0,1oC per
satu meter. Lapisan termoklin ini memiliki tekanan yang hampir sama
(berhimpitan) dengan tekanan lapisan pycnocline (Gambar 9) dengan tekanan
berkisar antara 22–254 db. tekanan lapisan atas termoklin memiliki variasi antara
22–72 db (Gambar 11), perbedaan ini diduga karena adanya aktivitas gelombang
internal dimana letak lapisan atas termoklin akan lebih dangkal atau dalam jika
pucak atau lembah gelombang internal melewati kolom perairan. Gelombang
yang terjadi di Selat Ombai dibuktikan dengan profil arus komponen meridional
dari hasil pengukuran LADCP (Gambar 12) (Atmadipoera AS 23 Agustus 2011,
komunikasi pribadi). Hasil observasi yang mirip didapatkan oleh Antony et al.
(1985) dari satelit radar bahwa terdapat variasi kedalaman (tekanan) lapisan
termoklin di Teluk Bengal karena adanya aktivitas gelombang internal.
Gambar 12 Arus komponen meridional yang diukur dengan LADCP di Selat Ombai. Warna merah sampai kuning menunjukkan arus bergerak ke utara dan biru sampai ungu ke arah selatan (Atmadipoera AS 23 Agustus 2011, komunikasi pribadi).
32
Pada Gambar 11 terlihat bahwa lapisan termoklin memiliki struktur mirip
dengan struktur step like terutama pada ulangan 5-2, 5-3, 5-4 dan 5-5 (Lampiran
2). Hal ini dijelaskan Matsuno et al. (2005) bahwa adanya struktur mirip struktur
step like pada lapisan termoklin disebabkan adanya proses percampuran
turbulen yang kuat sehingga struktur temperatur dan densitas di lapisan termoklin
tidak menurun tajam terhadap tekanan (kedalaman).
Salinitas dan densitas Selat Ombai pada lapisan termoklin menunjukkan
profil yang berlawanan dengan profil temperatur (Gambar 9), dimana pada
lapisan ini salinitas dan densitas perairan meningkat dengan tajam terhadap
tekanan. Kisaran salinitas dan densitas di lapisan termoklin masing-masing
adalah 33,406-34,545 psu dan 21,06-26,41(kg m-3). Nilai salinitas maksimum di
Selat Ombai hampir sama dengan yang didapatkan Ilahude dan Gordon (1996)
di Laut Flores (34,500 psu), namun lebih rendah dibandingkan yang didapat di
Selat Makassar (34,700 psu). Perbedaan salinitas ini disebabkan adanya
aktivitas percampuran yang kuat di Ambang Dewakang (Hatayama 2004)
sehingga massa air salinitas tinggi bercampur dengan massa air salinitas rendah.
Lapisan dalam merupakan lapisan paling bawah yang memiliki temperatur
paling rendah dan hampir homogen. Nilai temperatur, salinitas, dan densitas di
lapisan ini masing-masing berkisar antara 15,03–3,33oC; 34,615-34,494 psu; dan
27,55-25,61 kg m-3. Pada lapisan ini terjadi penurunan temperatur, namun
penurunannya tidak setajam seperti di lapisan termoklin (Gambar 9). Pada
Gambar 9 terlihat bahwa lapisan dalam ulangan 5-6 (ditandai dengan garis biru)
terdapat pola temperatur, salinitas, dan densitas yang berbeda dibandingkan
dengan ulangan lainnya. Hal ini diduga karena adanya pengadukan massa air di
lapisan bawah oleh aktivitas gelombang internal yang kuat.
4.2 Massa Air yang Melewati Selat Ombai
Beberapa massa air yang melewati Selat Ombai dapat diketahui dari
diagram TS (Gambar 13) dan tabulasi karaktersitik setiap massa air dapat dilihat
pada Tabel 2. Pada Gambar 13 terlihat bahwa terdapat massa air dengan
salinitas dan densitas ( ) yang rendah serta temperatur yang tinggi
dibandingkan lapisan lainnya, yang mencirikan massa air lapisan tercampur
(Tabel 2). Massa air ini diduga sebagai sisa-sisa dari massa air Laut Jawa yang
memasuki Selat Ombai dan mulai bercampur dengan massa air salinitas tinggi
yang berasal dari Selat Makassar. Hal ini dijelaskan Atmadipoera et al. (2009)
33
Gambar 13 Diagram TS di Selat Ombai tanggal 16-17 Juli 2010 (a). Tanda panah dan kotak merah menunjukkan massa air yang terdeteksi. Hasil pembesaran kotak merah pada Gambar (a) yaitu massa air NPSW (b) dan NPIW (c).
Tabel 2 Karakter massa air yang melewati Selat Ombai
Jenis Massa Air
Sifat Massa Air
Tekanan (db)
Temperatur Potensial (oC)
Salinitas (psu) Densitas (sigma theta) (kg m-3)
Laut Jawa 1-63 26,25-28,51 33,387-33,864 21,00-22,00
NPSW 118-198 15,45-21,35 34,364-34,541 24,00-25,50
NPIW 217-346 9,31-13,10 34,502-34,563 26,00-26,70
Massa air Laut Jawa
NPSW
NPIW
(a)
(b) (c)
34
yang melakukan pemodelan dan memperoleh hasil bahwa lapisan permukaan
Selat Ombai mendapatkan suplai massa air densitas rendah dari massa air Laut
Jawa yang bergerak ke arah timur. Ditambahkan pula bahwa hasil pemodelan
menunjukkan pergerakan massa air Laut Jawa menuju Selat Ombai ini mencapai
puncak pada bulan Maret. Sisa-sisa massa air rendah di dekat permukaan masih
terlihat di bulan Juni-Juli meskipun sudah mulai melemah. Pengambilan data
CTD pada pelayaran INDOMIX 2010 berlangsung pada bulan Juli dengan hasil
salinitas dan densitas yang sesuai dengan pemodelan tersebut. Lebih lanjut,
Molcard et al. (2001) menemukan salinitas dekat permukaan perairan Selat
Ombai lebih rendah di awal bulan Mei pada program survei Java-Australia
Dynamics Experiment (JADE).
Pada Gambar 13 terlihat terdapat massa air dengan 24,50 (kg m-3) dan
salinitas 34,413-34,509 psu yang mencirikan lapisan termoklin atas, massa air ini
diduga merupakan massa air North Pacific Subtropical Water (NPSW) yang
mengalir melalui Arlindo ke Samudera Hindia. Pada lapisan termoklin bawah
ditemukan massa air dengan 26,50 (kg m-3) dan salinitas 34,514-34,537 psu
yang diduga adalah massa air North Pacific Intermediate Water (NPIW). Hasil
yang sama didapatkan oleh Atmadipoera et al. (2009) bahwa massa air NPSW
dan NPIW dicirikan dengan masing-masing 24,50 dan 26,50 (kg m-3).
Ditambahkan juga bahwa massa air NPSW dan NPIW ini dicirikan dengan
salinitas masing-masing sekitar 34,530 dan 34,470 psu pada jalur keluar Arlindo.
Pada saat memasuki Arlindo massa air NPSW memiliki salinitas yang
tinggi yaitu 34,900 psu (Atmadipoera et al., 2009 ), sedangkan hasil observasi di
Selat Makassar dan Laut Flores menunjukkan NPIW memiliki salinitas yang
rendah yaitu 34,400 psu (Ilahude dan Gordon, 1996). Pada penelitian ini
ditemukan salinitas NPSW menjadi lebih rendah dan salinitas NPIW menjadi
lebih tinggi (Tabel 2), hal ini diduga disebabkan oleh proses percampuran vertikal
yang kuat pada jalur Arlindo sehingga terjadi perubahan karakter massa air.
Hasil analisis pada diagram TS (Gambar 11) menunjukkan bahwa sinyal
massa air South Pacific Subtropical Lower Thermocline Water (SPSLTW) sangat
lemah (tidak terdeteksi). Atmadipoera et al. (2009) menjelaskan bahwa massa air
SPSLTW dicirikan dengan antara 26,00 dan 27,00 (kg m-3) serta salinitas
34,250 psu di jalur keluar Arlindo. Tidak terdeteksinya massa air ini diduga
disebabkan oleh adanya variasi musiman massa air Samudera Pasifik Selatan
yang masuk ke jalur Arlindo. Hal ini dijelaskan oleh Ilahude dan Gordon (1996)
35
massa air Samudera Pasifik Selatan masuk ke perairan Indonesia dominan pada
saat bertiup Angin Muson Barat Laut dan melemah saat bertiup Angin Muson
Tenggara. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian, mengingat pengambilan data
penelitian ini dilakukan pada bulan Juli saat bertiup Angin Muson Tenggara.
4.3 Stabilitas Statis
Hasil pehitungan nilai frekuensi Brunt Vaisala untuk semua CTD di
Selat Ombai dapat dilihat pada Gambar 14. Profil vertikal sangat ditentukan
oleh profil vertikal temperatur dan . Lapisan tercampur ulangan 5-1 sampai
ulangan 5-9 memiliki nilai yang yang hampir mendekati 0-0.0025 s-2. Nilai
di lapisan termoklin berkisar antara -7,2 x 10-4-4,8 x 10-3 s-2. Lapisan termoklin
memiliki nilai yang paling tinggi dibandingkan dengan lapisan tercampur dan
lapisan dalam yang homogen. Lapisan dalam yang homogen memiliki nilai
berkisar antara -3,98 x 10-4–1,02 x 10-3 s-2. Profil yang mirip dengan Gambar
14 didapatkan juga oleh Park et al. (2008) dan Lee et al. (2009) yang melakukan
penelitian masing-masing di Kerguelen Plateau dan Submarine Canyon, Taiwan.
Menurut Pond dan Pickard (1983) nilai yang tinggi pada lapisan termoklin
disebabkan karena pada lapisan ini terdapat lapisan pycnocline yang merupakan
lapisan dimana gradien densitas meningkat secara tajam terhadap kedalaman
(tekanan). Dikatakan juga bahwa semakin tinggi nilai pada suatu lapisan,
maka stabilitas statis (massa air densitas rendah di atas massa air densitas
tinggi) dari lapisan tersebut semakin besar, sebaliknya bila nilai semakin
negatif maka kolom perairan semakin tidak stabil atau berada dalam kondisi
instabilitas statis. Hal ini mengindikasikan bahwa lapisan termoklin merupakan
lapisan yang paling stabil dibandingkan dengan lapisan tercampur dan lapisan
dalam yang hampir homogen.
Pada Gambar 14 terlihat bahwa lapisan dalam merupakan lapisan yang
memiliki tingkat kestabilan yang paling rendah, hal ini dindikasikan dengan
banyaknya yang bersifat negatif. Pada lapisan dalam ulangan 5-2 (900-1300
db) dan ulangan 5-6 (1100-1400 db) terlihat bahwa massa air didominasi oleh
massa air dalam kondisi instabilitas statis (Gambar 14b dan 14f) dibandingkan
dengan ulangan lain (Gambar 14a, 14c, 14d, 14e, 14g, 14h, dan 14i). Profil
vertikal ini memiliki keterkaitan yang erat dengan profil vertikal temperatur,
salinitas, dan densitas (Lampiran 1, 3 dan 5), dimana di lapisan dalam ulangan
36
Gambar 14 Frekuensi Brunt Vaisala (garis biru) yang ditumpang tindih dengan temperatur (garis merah) pada ulangan 5-1 (a), 5-2 (b), 5-3 (c), 5-4 (d), 5-5 (e), 5-6 (f), 5-7 (g), 5-8 (h), dan 5-9 (i).
(a) (b)
(c) (d)
(e)
(i)
(h) (g)
(f)
37
5-2 dan 5-6 profil vertikal temperatur, salinitas dan densitas berbentuk zigzag dan
tidak beraturan (Gambar 9). Fenomena ini diduga akibat adanya aktivitas
gelombang internal yang sangat kuat sampai pada dasar perairan sehingga
terjadi proses pengadukan massa air di lapisan bawah.
4.4 Gelombang Internal
Hasil plot melintang data selama 24 jam mengindikasikan adanya
rambatan gelombang internal (Gambar 15a). Pada Gambar 15a terlihat
gelombang internal terdapat pada lapisan interface antara lapisan tercampur
dengan lapisan termoklin yaitu pada garis isopycnal 22,00-25,00 kg m-3.
Dijelaskan oleh Garrett (2003) bahwa pada lapisan interface densitas tidak jauh
berbeda, dengan adanya gangguan sedikit saja (misalnya oleh arus yang
melewati ambang) menyebabkan massa air densitas tinggi mengalami
pemindahan ke massa air densitas rendah di bagian atas. Adanya osilasi massa
air yang mengalami displacement untuk mencari titik semula yang stabil
menyebabkan timbulnya gelombang internal di lapisan interface ini. Ditambahkan
Robertson dan Ffield (2005) bahwa Ambang Selat Ombai merupakan salah satu
penyebab timbulnya gelombang internal di Perairan Indonesia.
Gelombang internal yang terdeteksi di Selat Ombai merupakan gelombang
internal dengan periode pasut semidiurnal. Hal ini ditandai dengan terbentuknya
2 lembah dan 3 puncak gelombang yang ditunjukkan dengan anak panah pada
Gambar 15a. Periode gelombang internal pertama dan kedua hampir sama yaitu
masing-masing 9 jam 51 menit dan 9 jam 45 menit. Puncak gelombang internal
terdeteksi pada isopycnal 22,00 kg m-3 yang berada di tekanan sekitar 47, 52,
dan 57 db, sedangkan lembah gelombang berada di isopycnal 25,00 kg m-3 yang
terdeteksi di tekanan 162 dan 185 db. Keberadaan gelombang pasut internal
dengan periode semidiurnal di Selat Ombai sesuai dengan yang dapatkan oleh
Robertson dan Ffield (2005) bahwa perairan Indonesia umumnya didominasi
oleh pasut internal M2 (semidiurnal). Periode pasut internal ini hampir mirip
dengan prediksi pasut di Pelabuhan Dili (Gambar 15b) walaupun pada jam
08:00-11:00 tanggal 17 Juli 2010 terjadi sedikit penyimpangan pada isopycnal
22,00-26,00 kg m-3. Adanya time lag efek pasut pada lembah kedua
menyebabkan efek surut pada gelombang internal ulangan 5-5 jelas terlihat
memberikan pengaruh pada lapisan dalam ulangan 5-6.
38
Gambar 15 Rambatan gelombang internal dari data CTD Selat Ombai dengan puncak dan lembah gelombang ditunjukkan dengan anak panah (a). prediksi pasut di Pelabuhan Dili pada tanggal 16-17 Juli 2010 (b).
Pada Gambar 15a terlihat perubahan tekanan garis isopycnal mengikuti
pola dari gelombang internal (kecuali pada garis isopycnal 26,00 kg m-3). Pada
saat pasang, garis isopycanal massa air di lapisan bawah akan terdorong
(terinduksi) ke tekanan yang lebih rendah (kedalaman yang lebih dangkal) (jelas
terlihat pada ulangan 5-4), namun sebaliknya pada saat surut garis isopycnal
massa air akan terdorong (tertekan) ke lapisan yang lebih dalam. Contoh efek
surut (lembah gelombang) paling jelas terlihat pada ulangan 5-2 dan 5-6 dimana
efek gelombang internal sampai di dekat dasar perairan. Adanya perubahan
garis isopycnal sesuai dengan pola gelombang internal menunjukkan bahwa efek
Puncak 1 Puncak 2 Puncak 3
Lembah 1 Lembah 2
(a)
(b) 5-1 5-9 5-8 5-2 5-3 5-4 5-5 5-6 5-7
39
dari gelombang internal sangat kuat terhadap strukutur vertikal kolom perairan.
Prasad dan Rajasekhar (2006) menjelaskan bahwa aktvitas gelombang internal
pada suatu kolom perairan akan sangat mempengaruhi profil vertikal
(temperatur, salinitas, dan densitas) perairan. Hal ini sejalan dengan yang
didapatkan pada profil vertikal temperatur, salinitas, dan densitas kolom perairan
dimana pada saat gelombang internal sampai di dekat dasar, profil vertikal
salinitas, dan densitas menjadi tidak beraturan (Gambar 9) serta menyebabkan
ketidakstabilan pada kolom air di lapisan dalam (Gambar 14). Pada Gambar 15a
terlihat bahwa efek dari gelombang internal lebih kuat ke arah bawah
dibandingkan ke arah atas, hal ini diduga karena pada bagian bawah lebih
seragam dibandingkan dengan lapisan atas.
4.5 Estimasi Skala Thorpe
Hasil pengukuran CTD menunjukkan bahwa profil menegak densitas
perairan Selat Ombai (Gambar 9c) dicirikan oleh data yang bersifat instabilitas
(ketidakstabilan) statis artinya kondisi suatu perairan dimana kemungkinan masih
terjadi proses displacement akibat massa air densitas tinggi berada di atas
massa air densitas rendah. Data instabilitas statis akan jelas terlihat pada saat
terjadi surut (lembah gelombang internal) (Gambar 16), sedangkan pada saat
terjadi pasang (puncak gelombang) data lebih cenderung berada dalam kondisi
stabilitas statis (Gambar 17). Hal ini diduga karena pada saat surut efek dari
gelombang internal sampai mendekati dasar sehingga pengadukan massa air
lebih kuat, sedangkan pada saat pasang efek dari gelombang internal menjauhi
dasar dan pengadukan menjadi lebih lemah. Contoh ketidakstabilan untuk
seluruh tekanan disajikan pada Gambar 16a, jika kotak hijau pada Gambar 16a
diperbesar maka akan didapatkan gambar ketidakstabilan yang lebih jelas
(Gambar 16b). Pada Gambar 16b terlihat bahwa massa air densitas tinggi (kotak
hitam garis putus-putus) berada di atas massa air densitas rendah (kotak hitam
garis titik-titik). Pada Gambar 16 terlihat juga bila densitas awal (garis biru)
massa air disusun ulang (reordering) ke kondisi densitas stabilitas statis (garis
merah) maka banyak massa air yang berubah posisinya dari posisi awal ke
posisi baru (ditunjukkan dengan anak panah di Gambar 16b). Jarak perpindahan
massa air dari posisi awal ke posisi baru menghasilkan Thorpe displacement
(Gambar 8).
40
Gambar 16 Perbandingan antara densitas awal dengan densitas stabilitas statis untuk seluruh tekanan pada saat surut (a) di ulangan 5-2 (atas) dan ulangan 5-6 (bawah). Bila kotak hijau pada gambar (a) diperbesar maka akan terlihat bahwa massa air densitas rendah (kotak hitam garis titik-titik) berada di bawah massa air densitas tinggi (kotak hitam garis putus-putus) (b).
(a) (b)
(a) (b)
41
Gambar 17 Perbandingan antara densitas awal dengan densitas stabilitas statis untuk seluruh tekanan pada saat pasang (a) di ulangan 5-4. bila kotak hijau pada gambar (a) diperbesar maka akan terlihat bahwa massa air pada saat pasang cenderung dalam kondisi stabilitas statis (b).
Adanya noise pada instrumen CTD (Galbraith dan Kelley, 1996) dan
gerakan naik turun kapal selama pengambilan data (Johnson dan Garrett, 2004)
mengakibatkan timbulnya bias pada nilai . Data bias ini dihaluskan dengan
metode GK (Galbraith and Kelley method). Pada perhitungan metode GK
didapatkan bahwa nilai minimum displacement yang dapat dideteksi oleh CTD
adalah > 5 m. Hal ini berarti displacement yang kurang dari 5 m akan dihilangkan
(Gambar 18). Pada Gambar 18a terlihat nilai masih tersusun dari data
displacement yang kurang dari 5 m (contoh lebih jelas terlihat pada kotak garis
titik-titik), sedangkan di Gambar 18b nilai yang kurang dari 5 m sudah
dihilangkan (contoh lebih jelas terlihat pada kotak garis putus-putus). Data yang
dipakai untuk perhitungan selanjutnya adalah data yang sudah dihaluskan oleh
metode GK.
Nilai untuk keseluruhan data CTD Selat Ombai disajikan pada Gambar
19. Pada Gambar 19 terlihat nilai negatif dan positif. Nilai positif
menunjukkan bahwa massa air akan bergerak ke atas untuk mecari kestabilan
42
statis, kondisi ini terjadi bila massa air densitas rendah berada di bawah massa
air berdensitas tinggi. Nilai negatif menunjukkan massa air bergerak ke bawah,
hal ini terjadi bila massa air densitas tinggi berada di atas massa air densitas
rendah.
Pada Gambar 19 terlihat bahwa lapisan tercampur memiliki nilai
berkisar antara -51 m sampai 31 m. Tinggi rendahnya nilai lapisan tercampur
diduga berkaitan dengan kecepatan bertiupnya angin di lokasi penelitian. Hal ini
dijelaskan oleh Cisewski et al. (2005) yang mendapatkan adanya korelasi positif
sebesar 0,83 antara kecepatan tiupan angin dan nilai lapisan tercampur.
Lapisan termoklin Selat Ombai memiliki nilai yang paling rendah
dibandingkan dengan lapisan tercampur dan lapisan dalam yang hampir
homogen (Gambar 19). Pada Gambar 19 terlihat nilai lapisan termoklin
berkisar antara -10 m sampai 27 m. Hal ini diduga karena lapisan termoklin
merupakan lapisan yang memiliki tingkat stabilitas statis yang paling tinggi
dibandingkan lapisan tercampur dan lapisan dalam yang hampir homogen
(Gambar 14).
Gambar 18 Perbandingan data Thorpe displacement sebelum diterapkan metode GK (a) dan sesudah diterapkan metode GK (b). Contoh data noise lebih jelas terlihat di kotak garis titik-titik dan yang sudah dihaluskan di kotak garis putus-putus.
(a) (b)
43
Gambar 19 Thorpe displacement seluruh ulangan.
44
Nilai yang paling tinggi ditemukan di lapisan dalam yang hampir
homogen. Pada Gambar 19 terlihat bahwa massa air pada lapisan ini bergerak
turun sampai 240 m dan massa air lainnya bergerak ke atas hingga 342 m.
Kisaran nilai lapisan dalam yang hampir homogen ini lebih tinggi dibandingkan
dengan lapisan termoklin dan lapisan permukaan tercampur. Tingginya nilai di
lapisan dalam yang hampir homogen diduga karena nilai stabilitas statis lapisan
ini relatif kecil dibandingkan dengan lapisan termoklin (Gambar 14). Pada
Gambar 19 terlihat juga bahwa nilai displacement yang paling besar berada pada
ulangan 5-2 dan 5-6 dibandingkan dengan ulangan lainnya. Hal ini diduga karena
adanya efek dari aktivitas gelombang internal pada saat surut yang sampai ke
dekat dasar perairan (Gambar 15a) sehingga menimbulkan pengadukan yang
mengakibatkan rendahnya kestabilan massa air pada ulangan ini. Efek dari
pengadukan oleh gelombang pada ulangan 5-2 dan 5-6 terlihat juga pada profil
vertikal temperatur, salinitas, dan densitas yang menjadi zigzag dan tidak
beraturan (Gambar 9). Ditambahkan oleh Polzin et al. (1997) bahwa
displacement yang tinggi di dasar laut disebabkan karena adanya interaksi
antara topografi dasar dengan arus yang melintas diatasnya. Ditambahkan oleh
Robertson dan Ffield (2005) bahwa Selat Ombai merupakan salah satu daerah di
perairan Indonesia yang memiliki kecepatan arus pasut yang paling tinggi yaitu
mencai 0,5 m s-1.
Nilai skala Thorpe dari tiap penurunan CTD berbeda-beda tergantung
dari besar kecilnya nilai dan jumlah massa air yang mengalami displacement
(Gambar 20). Secara keseluruhan nilai skala Thorpe tinggi pada lapisan
tercampur, menurun pada lapisan termoklin dan meningkat kembali pada lapisan
dalam yang homogen. Pada lapisan tercampur memiliki nilai paling tinggi
sebesar 24,41 m, yang diduga disebabkan rendahnya tingkat stabilitas statis,
sehingga displacement massa air menjadi lebih mudah terjadi. Nilai lapisan
termoklin paling rendah dibandingkan dengan lapisan lainnya dengan kisaran
nilai 5-16,97 m. Hal ini disebabkan karena rendahnya nilai dan jumlah air yang
mengalami displacement (Gambar 17). Lapisan dalam merupakan lapisan yang
memiliki nilai paling tinggi dengan kisaran 20,19-106,89 m. Tingginya nilai
pada lapisan dalam ini sangat terkait dengan profil vertikal temperatur dan
densitas kolom perairan (Gambar 9a dan 9c) yang berbentuk zigzag dan tidak
beraturan. Profil vertikal massa air acak pada lapisan dalam ini juga diperkuat
dengan nilai stabilitas statis yang paling rendah dibandingkan lapisan tercampur
45
Gambar 20 Nilai skala Thorpe Selat Ombai.
dan termoklin (Gambar 14). Ditambahkan juga oleh Polzin et al. (1997) bahwa
tingginya nilai pada lapisan dalam disebabkan scattering gelombang dari
topografi dasar dan intensitas lokal pemantulan gelombang.
4.6 Estimasi Energi Kinetik Disipasi Turbulen Eddy dan Difusivitas Vertikal
Eddy
Nilai rata-rata estimasi energi kinetik disipasi turbulen eddy Selat Ombai
pada semua lapisan adalah 4,22 x 10-6 W kg-1, sedangkan untuk nilai pada setiap
lapisan disajikan pada Gambar 21. Hasil perata-rataan nilai menunjukkan
bahwa nilai di lapisan termoklin paling kecil (1,36 x 10-6 W kg-1) dibandingkan
dengan lapisan tercampur dan lapisan dalam yang hampir homogen. Rendahnya
nilai pada lapisan termoklin menunjukkan semakin sedikit energi kinetik yang
berada dalam aliran tubulen yang akan mengalami pemecahan menjadi bentuk
yang lebih kecil (dissipation) yang akan berfungsi untuk mentransfer energi
ke media yang lain. Lapisan termoklin merupakan lapisan yang cenderung
berhimpitan dengan lapisan pycnocline dan halocline (Gambar 9), hal ini
menyebabkan lapisan ini memiliki tingkat kestabilan yang paling tinggi (Gambar
14). Tingkat kestabilan ini akan sangat mempengaruhi rendahnya nilai
displacement dan nilai skala Thorpe yang memiliki korelasi linier dengan nilia .
Nilai energi kinetik tertinggi (12,24 x 10-6 W kg-1) berada pada lapisan dalam yang
hampir homogen, hal ini menunjukkan bahwa lapisan dalam merupakan lapisan
dimana energi kinetik mengalami pemecahan yang paling tinggi yang nantinya
46
Gambar 21 Grafik nilai energi kinetik disipasi turbulen eddy dengan standar deviasi di Selat Ombai
akan berkontribusi untuk terjadinya proses percampuran. Dijelaskan oleh
Finnigan et al. (2002) bahwa peningkatan nilai percampuran di daerah dekat
ridge disebabkan makin mendekatnya kolom air dengan topografi dasar.
Nilai difusivitas vertikal eddy dengan rataan tiap 10 m disajikan pada
Gambar 22. Dari nilai antar ulangan, dapat dilihat bahwa nilai pada
ulangan 5-2 dan 5-6 lebih tinggi dibandingkan dengan ulangan lain, sedangkan
nilai terendah didapatakan pada ulangan 5-4. Tinggi rendahnya nilai ini
diduga terkait dengan aktivitas gelombang internal yang ada di ulangan tersebut
(Gambar 15a), dimana pada ulangan 5-2 dan 5-6 gelombang sedang mengalami
fase surut dan pada ulangan 5-4 gelombang sedang mengalami fase pasang.
Aktivitas gelombang internal juga akan mempengaruhi besar kecilnya nilai
displacement (Gambar 19), skala Thorpe (Gambar 20), dan energi kinetik
disipasi turbulen eddy (Gambar 21) yang nantinya semua nilai ini akan
mempengaruhi tinggi rendahnya nilai pada tiap lapisan kolom perairan.
Tabulasi untuk lapisan tercampur, termoklin, dan dalam di Selat Ombai
disajikan pada Tabel 3. Nilai rata-rata Selat Ombai untuk seluruh pengukuran
CTD adalah 7,56 x 10-2 (+ 2,83 x 10-1) m2 s-1. Sebagai gambaran hasil penelitian
Koch-Larrouy et al. (2007) mendapatkan nilai rata-rata sebesar 1,5 x 10-4
m2 s-1 untuk perairan Indonesia. Diduga tingginya nilai di Selat Ombai ini
sangat terkait dengan kuatnya gelombang internal yang ada di daerah ini. Hal ini
dijelaskan oleh Robertson dan Ffield (2005) bahwa Selat Ombai merupakan
47
Gambar 22 Nilai difusivitas vertikal eddy dengan rataan tekanan 10 db.
48
Tabel 3 Nilai rata-rata difusivitas vertikal eddy ( ) di Selat Ombai
Lapisan Rata-rata (m2 s-1) Standar deviasi
Tercampur 9,17 x 10-3 + 9,67 x 10-3
Termoklin 9,33 x 10-4 + 1,34 x 10-3
Dalam 2,17 x 10-1 + 4,75 x 10-1
daerah yang meiliki pasut internal yang paling kuat di perairan Indonesia dan
Ambang Ombai merupakan salah satu daerah pembangkit pasut baroklinik.
Nilai paling rendah di Selat Ombai ditemukan pada lapisan termoklin
(Tabel 3), rendahnya nilai ini diduga karena pada lapisan ini terdapat lapisan
pcynoclin dan halocline (Gambar 9) sehingga tingkat stabilitas statisnya juga
menjadi tinggi (Gambar 14). Nilai lapisan termoklin ini lebih tinggi dari yang
didapatkan Ffield dan Gordon (1992) sebesar 1 x 10-4 m2 s-1, namun lebih kecil
dibandingkan dengan nilai yang didapatkan Hatayama (2004) di Ambang
Dewakang yang mencapai 6,0 x 10-3 m2 s-1. Ditambahkan Hatayama (2004)
bahwa tingginya nilai di Ambang Dewakang disebabkan oleh adanya arus M2
yang sangat intensif dan adanya interaksi antara gelombang lee dan gelombang
permukaan. Walapun nilai di lapisan termoklin rendah, namun proses
percampuran turbulen yang terjadi pada daerah ini diduga menjadi pemicu yang
menyebabkan struktur step like pada lapisan termoklin (Lampiran 2).
Rata-rata nilai pada lapisan dalam disajikan pada Tabel 3, nilai ini
hampir sama dengan yang didapatkan oleh Hatayama (2004) pada dasar Sill
Dewakang (2,0 x 10-1 m2 s-1). Fenomena yang sama didapatkan juga oleh Lukas
et al. (2001) bahwa tingginya nilai pada daerah ambang diduga karena
adanya interaksi gelombang internal dan shear dengan topografi dasar perairan.
4.7 Nutrien Selat Ombai
4.7.1 Profil Vertikal Nutrien
Hasil pengukuran nutrien (nitrat, fosfat, dan silikat) pada ulangan 5-3
disajikan pada Gambar 23. Pola sebaran nutrien menunjukkan konsentrasi
nutrien cenderung meningkat dengan bertambahnya tekanan. Lalli dan Parsons
(2006) menjelaskan rendahnya konsentrasi nutrien pada lapisan tercampur
akibat adanya penggunaan nutrien yang tinggi oleh fitoplankton untuk melakukan
proses fotosintesis, sedangkan pada lapisan termoklin dan lapisan dalam
49
ketidaktersediaan cahaya (zona afotik) untuk proses fotosintesis membuat
nutrien pada kolom air tidak termanfaatkan dan akhirnya meningkat. Miller (2004)
menambahkan bahwa fitoplankton hanya hidup pada lapisan yang memiliki
ketersediaan cahaya yang cukup untuk melakukan proses fotosintesis. Pola
sebaran nutrien secara vertikal yang mirip didapatkan juga oleh Prommas et al.
(2004) di Teluk Bengal dan Montojo (1999) di Laut Cina Selatan.
Gambar 23 Profil vertikal nitrat (a), fosfat (b), dan silikat (c) di Selat Ombai.
(a) (b)
(c)
50
Hasil pengukuran nutrien menunjukkan konsentrasi fosfat paling rendah (0-
0,88 µmol.l-1) dibandingkan nitrat dan silikat pada semua tekanan. Pada lapisan
tercampur (0-125 m) konsentrasi fosfat bahkan tidak terdeteksi (0 µmol l-1),
sedangkan konsentrasi nitrat tidak terdeteksi pada tekanan 5 dan 75 db (Gambar
21). Hal ini dijelaskan oleh Riley dan Chester (1971), bahwa kandungan fosfat
lebih kecil dibandingkan nitrat akibat sumber fosfor yang lebih kecil dibandingkan
nitrogen. Konsentrasi nitrat dan fosfat maksimum didapatkan pada tekanan 1400
db masing-masing sebesar 25,65 dan 0,88 µmol l-1.
Silikat memiliki konsentrasi paling tinggi dibandingkan nitrat dan fosfat
(Gambar 23), menurut Chester (1990) hal ini disebabkan sumber silikat yang
lebih banyak dari nitrat dan silikat, ditambahkan juga oleh Lalli dan Parsons
(2006) bahwa nitrat dan fosfat merupakan nutrien utama yang dibutuhkan oleh
organisme biologis (fitoplankton) untuk melakukan proses fotosintesis sehingga
konsentrasinya rendah di kolom perairan. Millero dan Sohn (1992) juga
menjelaskan bahwa silikat terdapat pada hampir seluruh batuan dan mudah
mengalami pelapukan. Sumber alami utama silikat adalah mineral kuarsa dan
feldspar. Konsentrasi silikat cenderung meningkat seiring dengan bertambahnya
tekanan dengan konsentrasi paling tinggi pada tekanan 1400 db (70,93 µmol l-1)
dan paling rendah di tekanan 25 db (5,10 µmol l-1). Menurut Miller (2004), pada
lapisan tercampur (eufotik), silikat digunakan oleh fitoplankton (Diatom,
Radiolaria, dll) untuk pembentukan cangkang, sedangkan silikat pada lapisan
dalam merupakan hasil pengendapan dengan pemanfaatan yang sangat rendah.
4.7.2 Fluks Nutrien
Hasil perhitungan fluks nutrien Selat Ombai disajikan pada Gambar 24.
Nilai fluks nutrien berbanding lurus dengan nilai difusivitas vertikal eddy (Gambar
22) dan konsentrasi nutrien (Gambar 23). Pada lapisan termoklin tidak terdapat
fluks nutrien (nitrat, fosfat, dan silikat) karena pada lapisan termoklin ulangan 5-3
tidak terjadi percampuran (ditunjukkan dengan nilai sebesar 0 m2 s-1) (Gambar
24). Meskipun pada lapisan termoklin ini terdapat konsentrasi nutrien lebih tinggi
dibandingkan lapisan tercampur, tidak adanya proses percampuran
mengakibatkan nutrien tidak mengalami perpindahan secara vertikal. Tidak
terjadinya percampuran ini disebabkan oleh tingkat stabilitas yang tinggi pada
lapisan termoklin ulangan 5-3 (Gambar 14c). Lapisan tercampur memiliki nilai
fluks (8,42 x 10-5 -1,32 x 10-3 m2 µmol l-1 s-1) yang lebih rendah dibandingkan
51
lapisan dalam namun lebih tinggi dibandingkan lapisan termoklin. Fluks nutrien
yang rendah di lapisan tercampur disebabkan karena konsentrasi nutrien pada
lapisan ini rendah (Gambar 23) sehingga jumlah nutrien yang dipindahkan
(mengalami fluks) juga sedikit. Fluks nutrien paling tinggi ditemukan di lapisan
dalam (8,28 x 10-5-165,56 x 10-5 m2 µmol l-1 s-1). Hal ini disebabkan karena
adanya kombinasi antara konsentrasi nutrien yang tinggi (Gambar 23) dan nilai
percampuran turbulen yang besar (Gambar 22), sehingga fluks yang dihasilkan
juga besar. Law et al. (2003) menjelaskan bahwa pada umumnya fluks nutrien
akan semakin tinggi dengan bertambahnya tekanan, namun ditambahkan oleh
Horne et al. (1996) bahwa nilai fluks nutrien sangat ditentukan oleh besar
kecilnya nilai percampuran dan konsentrasi nutrien yang ada pada tiap tekanan.
Secara keseluruhan fluks fosfat paling rendah (0-8,42 x 10-5 m2 µmol l-1 s-1),
kemudian diikuti oleh fluks nitrat (0–1,18 x 10-3 m2 µmol l-1 s-1) dan paling tinggi
fluks silikat (0-1,32 x 10-3 m2 µmol l-1 s-1) (Gambar 24). Tinggi rendahnya fluks ini
sangat ditentukan oleh konsentrasi masing-masing nutrien (Gambar 23) dan
besarnya nilai percampuran turbulen yang terjadi (Gambar 22). Fluks nitrat pada
Selat Ombai ini lebih rendah bila dibandingkan dengan fluks nitrat di daerah
Front Georges Bank yang mencapai 210 x 10-5 m2 µmol l-1 s-1 (Horne et al., 1996),
hal ini diduga disebabkan oleh konsentrasi nutrien yang tinggi di Georges Bank.
Nilai standar deviasi pada masing-masing nutrien dapat dilihat dari error bars
yang tampak pada grafik (Gambar 24). Standar deviasi ini menunjukkan kisaran
nilai fluks masing-masing nutrien, dimana semakin tinggi error bars maka kisaran
nilai fluks akan semakin lebar.
Gambar 24 Fluks Nutrien Selat Ombai (x 10-5 m2 µmol l-1 s-1).
52
53
5 KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Perairan Selat Ombai memiliki nilai difusivitas vertikal eddy yang cukup
tinggi, selain itu ditemukan juga bahwa terdapat variasi nilai difusivitas vertikal
eddy antar lapisan kolom perairan. Nilai difusi vitas vertikal eddy yang tertinggi
didapatkan pada lapisan dalam yang hampir homogen, lalu diikuti oleh lapisan
permukaan tercampur, dan paling rendah di lapisan termoklin. Adanya aktivitas
gelombang internal diduga menjadi pemicu terjadinya percampuran yang tinggi
di lapisan dalam.
Nilai percampuran turbulen di setiap lapisan sangat mempengaruhi besar
kecilnya fluks nutrien. Pada lapisan termoklin tidak terdapat fluks nutrien (nitrat,
fosfat, dan silikat) karena pada lapisan termoklin tempat pengukuran nutrien tidak
terjadi percampuran turbule. Fluks nutrien tertinggi terdapat pada lapisan dalam.
Hal ini disebabkan karena tingginya konsentrasi nutrien dan nilai percampuran
turbulen.
5.2 Saran
Pada penelitian selanjutnya perlu dilakukan pengukuran data angin secara
berkelanjutan selama proses pengambilan data oleh sensor CTD dan perlu
pengukuran nutrien (nitrat, fosfat, dan silikat) secara deret waktu bersamaan
dengan penurunan CTD sehingga nantinya akan lebih jelas diketahui efek dari
gelombang internal (saat surut maupun pasang) terhadap fluks nutrien.
54
55
DAFTAR PUSTAKA
Antony MK, Murty CS, Reddy GV, Rao KH. 1985. Sub-surface temperature oscillations and associated flow in the Western Bay of Bengal. Estuar Coast Shelf S 21:832-834.
Atmadipoera A, R Molcard, G Madec, S Wijffels, J Sprintall, A Koch-Larrouy, I Jaya, A Supangat. 2009. Characteristics and variability of the Indonesian Throughflow water at the outflow straits. Deep-See Res I 56:1942-1954.
Brown E, A Colling, D Park, J Phillips, D Rothery, J Wright. 2004. Seawater: Its Composition, Properties and Behavior. United Kingdom: Butterworth-Heinemann and The Open University.
Carrere L, F Lyard. 2003. Modeling the barotropic response of the global ocean to atmospheric wind and pressure forcing - comparisons with observations. Geophys Res Lett 30:8.1-8.4.
Chester R. 1990. Marine Geochemistry. London: Unwin Hyman.
Cisewski B, VH Strass, H Prandke. 2005. Upper-ocean vertical mixing in the Antarctic polar front zone. Deep-Sea Res II 52:1087-1108.
Dillon TM. 1982. Vertical overturns: a comparation of Thorpe and Ozmidov length scale. J Geophys Res 87:9601-9613.
Eaton AD, Clesceri LC, Rice EW, Greenberg AE, editor. 2005. Standard Method fo the Examination of Water and Wastewater. Ed ke-21. United State of America: American Public Health Association.
Emery WJ, LD Talley. 2007. Descriptive Physical Oceanography. Amsterdam: Elsevier.
Ferron B, H Mercier, K Speer, A Gargett, K Polizin. 1998. Mixing in the Romanche Fracture Zone. J Phys Oceanogr 28:1929-1945.
Ffield A, AL Gordon. 1992. Vertical mixing in the Indonesian thermocline. J Phys Oceanogr 22:184-195.
Ffield A, AL Gordon. 1996. Tidal mixing signature in the Indonesian Seas. J Phys Oceanogr 26:1924-1936.
Finnigan TD, DS Luther, R Lukas. 2002. Observation of enhanced diapycnal mixing near the Hawaiian Ridge. J Phys Oceanogr 32:2988-3002.
Galbraith PS, E Kelley. 1996. Identifying overturn in CTD profiles. J Atmos Ocean Tech 13:688-702.
Garrett C. 2003. Internal tides and ocean mixing. Science 31:1858-1859.
Gordon AL. 2005. Oceanography of the Indonesian Seas and their Throughflow. Oceannography 18:14-27.
56
Gordon AL, RD Susanto, A Ffield, BA Huber, W Pranowo, S Wirasantosa. 2008. Makassar Strait throughflow, 2004 to 2006. Geophys Res Lett 35:1-5.
Hatayama T. 2004. Transformation of the Indonesian Throughfow water by vertical mixing and it relation to tidal generated internal wave. J Oceanogr 60:569-585.
Hautala S, JL Reid, NA Bray. 1996. The distribution and mixing of Pacific water masses in the Indonesian Seas. J Geophys Res 101:375-390.
Horne EPW, JW Loder, CE Naimie, NS Oakey. 1996. Turbulent dissipation rates and nitrate supply in the upper water column on Georges Bank. Deep-Sea Res Pt II 43:1683-1712.
Ilahude AG, A Gordon. 1996. Thermocline stratification within the Indonesian Seas. J Geophy Res 101:12401-12409.
Johnson HL, C Garrett. 2004. Effects of noise on Thorpe scale and run lengths. J Phys Oceanogr 34:2359 – 2372.
Kara AB, PA Rochford, HE Hurlburt. 2000. An optimal definition for ocean mixed layer depth. J Geophys Res 105:16803-16821.
Koch-Larrouy A, G Madec, P Bouruet-Aubertot, T Gerkema. 2007. On the transformation of Pacific Water into Indonesian Throughflow water by internal tidal mixing. Geophys Res Lett 34:1-6.
Koch-Larrouy A, M Lengaigne, P Terray, G Madec, S Masson. 2010. Tidal mixing in the Indonesian Seas and its effect on the tropical climate system. Clim Dyn 34:891-904.
Koch SE, M DesJardins, PJ Kocin. 1983. An interactive Barnes objective map analysis scheme for use with satellite and conventional data. J Climate Appl Meteor 22:1487-1503.
Lalli CM, TR Parsons. 2006. Biological Oceanography. Ed ke-2. Amsterdam: Elsevier.
Law CS, ER Abraham, AJ Watson, MI Liddicoat. 2003. Vertical eddy diffusion and nutrient supply to the surface mixed layer of the Antarctic Circumpolar Current. J Geophys Res 108:28.1-28.14.
Lee IH, RC Lien, JT Liu, WS Chuang. 2009. Turbulent mixing and internal tide in Gaoping (Kaoping) Submarine Canyon, Taiwan. J Mar Sys 76:383-396.
Lesieur M. 2008. Turbulence in Fluids. Ed ke-4. Netherland: Springer.
Li X, P Clemente-Colon, KS Friedman. 2000. Estimating oceanic mixed-layer depth from internal wave evolution observed from radarsat-1 SAR. J Hopkins Apl Tech D 21:130-135.
Liu KK, L Atkinson, R Quinones, L Talaue-McManus. 2010. Carbon and Nutrient Flukss in Continental Margin. Berlin: Springer.
Lorbacher K, D Dommenget, PP Niiler, A Kohl. 2005. Ocean Mixed Layer Depth: a Subsurface Proxy of Ocean-Atmosphere Variability. San Diago: The ECCO Report Series.
57
Lukas R, F Santiago-Mandujano, F Bingham, A Mantyla. 2001. Cold bottom water events observed in the Hawaii Ocean time series: implication for vertical mixing. Deep-Sea Res 48:995-1021.
Matsuno T, M Shimizu, Y Morri, H Nishida, Y Takaki. 2005. Measurements of the turbulent energy dissipation rate around the shelf break in the East China Sea. J Oceanogr 61:1029-1037.
McTaggart KE, GC Johnson, MC Johnson, FM Delahoyde, JH Swift. 2010. Notes on CTD/O2 data acquisition and processing using Sea-Bird hardware and software (as available). Go-Ship IOCCP Rep 14:1-10.
Miller CB. 2004. Biological Oceanography. United State of America: Blackwell Publishing.
Millero FJ, ML Shon. 1992. Chemical Oceanography. London: CRC Pres.
Molcard R, M Fieux, F Syamsudin. 2001. The Througflow within Ombai Strait. Deep-Sea Res Pt I 48:1237-1253.
Monin AS, RV Ozmidov. 1985. Turbulence in the Ocean. Netherlands: D Reidel Publishing Company.
Montegut CDB, G Madec, AS Fishcer, A Lazar, D Ludicone. 2004. Mixed layer depth over the global ocean: an examination of profile data and a profile-based climatology. J Geophys Res 109:C12003.
Montojo, UM. 1999. Dissolved nutrients in the South China Sea, area III: Western Philippines. Di dalam: Proceedings of the SEAFDEC Seminar on Fishery Resources in the South China Sea, Area III: Western Philippines; Bangkok, 13-15 Juli 1999. Bangkok: SEAFDEC. hlm. 251-273.
Neumann G, WJ Pierson Jr. 1966. Principles of Physical Oceanography. United States of America: Prentice-Hall, Inc.
Osborn, T.R. 1980. Estimates of the local rate of vertical diffusion from dissipation measurement. J Phys Oceanogr 10:83-89.
Park YH, JL Fuda, I Durand, ACN Garabato. 2008. Internal tides and vertical mixing over the Kerguelen Plateau. Deep-Sea Res Pt II 55:582-593.
Petit D, P Cotel, D Nugroho. 1996. The seasonal variations of salinity in the java sea. Proceeding of Acoustics 2; Bandung 27-29 Mei 1996. Bandung:[penerbit tidak diketahui]. hlm 42-29.
Pickard GL, WJ Emery. 1990. Descriptive Physical Oceanography. An Introduction. Oxford: Pergamon Press.
Polzin KL, JM Toole, JR Ledwell, RW Schmitt. 1997. Spatial variability of turbulent mixing in the Abyssal Ocean. Science 276:93-96.
Pond S, GL Pickard. 1983. Introductory Dynamical Oceanography. Ed ke-2. Oxford: Pergamon Press.
58
Prasad KVSR, M Rajasekhar. 2006. Observations of oceanic internal waves in Bay of Bengal using Synthetic Aperture Radar. Proceedings of SEASAR; Frascati Italia, 23-26 Januari 2006. Italia:[penerbit tidak diketahui]. hlm 1-6.
Prommass, R, P Naimee, N Sukramongkol. 2004. Distribution of nutrients in the Bay of Bengal. The Ecosystem-Based Fishery Management in the Bay of Bengal; Bhutan. 31 Juli 2004. [tempat tidak diketahui]: [penerbit tidak diketahui].
Ray RD, GD Egbert, AY Erofeeva. 2005. A brief overview of tides in the Indonesian Seas. J Oceanogr 18:74-79.
Riley JP, R Chester. 1971. Introduction to Marine Chemistry. London: Academic Press.
Robertson R, A Ffield. 2005. M2 baroclinic tides in the Indoensian Seas. J Oceanogr 18:62-73.
Schneider N. 1998. The Indonesian Throughflow and the global climate system. J Clim 11:676-689.
Soeriaatmadja RDE . 1956. Seasonal fluctuations in the surface salinity off the North Coast of Java. Mar Res Indo I:1-19.
Sprintall J, SE Wijffels, R Molcard, I Jaya. 2009. Direct estimation of the Indonesian Throughflow entering the Indian Ocean: 2004-2009. J Geophys Res 114:1-19.
Stewart RH. 2002. Introduction to Physical Oceanography. Texas A & M University: Departement of Oceanography.
Thompson AF, ST Gille, JA MacKinnon, J Sprintall. 2007. Spatial and temporal patterns of small-scale mixing in Drake Passage. J Phys Oceanogr 37:572-592.
Thomson RE, IS Fine. 2002. Estimating mixed layer depth from oceanic profile data. J Atmos Ocean Tech 20:319-329.
Thorpe SA. 1977. Turbulence and Mixing in a Scottish Loch. Philos Trans R Soc 286:125-181.
Thorpe SA. 2007. An Introduction to Ocean Turbulence. Cambridge: Cambridge University Press.
Van Aken HM, IS Brodjonegoro, I Jaya. 2009. The deep-water motion through the Lifamatola Passage and its contribution to the Indonesian Throughflow. Deep-Sea Res 56:1203-1216.
Webster PJ, AM Moore, JP Loschnigg, RR Leben. 1999. Coupled ocean-atmosphere dynamic in the Indian Ocean during 1997-98. Nature 401:356-360.
59
Weller RA, AJ Plueddemann. 1996. Observations of the vertical structure of the oceanic boundary layer. J Geophys Res 101:8789–8806.
Wyrtki K. 1961. Scientific Results of Marine Investigations of the South China
Sea and the Gulf of Thailand. Naga Report Volume 2. California:
University of California.
Wetsteyn FJ, AG Ilahude, MA Baars. 1990. Nutrient distribution in the upper 300
m of the eastern Banda Sea and northern Arafura Sea during and after
the upwelling season, August 1984 and February 1985. Nether J Sea Res
25:449-464.
60
61
LAMPIRAN
62
63
Lampiran 1 Profil vertikal temperatur
64
65
66
Lampiran 2 Profil vertikal temperatur yang diperbesar sampai kedalaman 500 m
67
68
69
Lampiran 3 Profil vertikal salinitas
70
71
72
Lampiran 4 Profil vertikal salinitas yang diperbesar sampai kedalaman 500 m
73
74
75
Lampiran 5 Profil vertikal densitas (sigma-theta)
76
77
78
Lampiran 6 Profil vertikal densitas (sigma theta) yang diperbesar sampai
kedalaman 500 m
79
80