of 88 /88
45 SILABUS SATUAN ACARA PERKULIAHAN HANDOUT Mata Kuliah: ANTROPOLOGI SOSIAL BUDAYA Oleh : Emizal Amri Dibiayai Oleh: Fellowship and Curriculum Development Program the Reconstruction and Upgraiding Project State University of Padang dengan Surat Perjanjian Kontrak Kerja No. 1284/pr2p/unp/2014 Tanggal 8 Juli 2014 PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SOSIOLOGI ANTROPOLOGI JURUSAN SOSIOLOGI FAKULTAS ILMU SOSIAL UNIVERSITAS NEGERI PADANG 2014 PERANGKAT PEMBELAJARAN

PERANGKAT PEMBELAJARAN - sosiologi.fis.unp.ac.idsosiologi.fis.unp.ac.id/images/download/BAHAN/ANTROPOLOGI SOSBUD.pdf · SILABUS SATUAN ACARA PERKULIAHAN ... pastoral, termasuk pandangan

Embed Size (px)

Text of PERANGKAT PEMBELAJARAN -...

45

SILABUS

SATUAN ACARA PERKULIAHAN

HANDOUT

Mata Kuliah:

ANTROPOLOGI SOSIAL BUDAYA

Oleh :

Emizal Amri

Dibiayai Oleh:

Fellowship and Curriculum Development Program the Reconstruction

and Upgraiding Project State University of Padang

dengan Surat Perjanjian Kontrak Kerja

No. 1284/pr2p/unp/2014

Tanggal 8 Juli 2014

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SOSIOLOGI ANTROPOLOGI

JURUSAN SOSIOLOGI

FAKULTAS ILMU SOSIAL

UNIVERSITAS NEGERI PADANG

2014

PERANGKAT PEMBELAJARAN

46

I. PENDAHULUAN

Tulisan ini merupakan perangkat pembelajaran dalam mata kuliah Antropologi

Sosial Budaya sebagai sub-disiplin tersendiri dalam Antropologi. Antropologi Sosial

merupakan mata kuliah wajib bidang studi dalam struktur kurikulum Program Studi

Pendidikan Sosiologi Antropologi FIS UNP, baik dalam kurikulum lama maupun

dalam Kurikulum berbasis KKNI yang baru mulai diterapkan. Hanya saja nama mata

kuliah ini dalam kurikulum lama Prodi Pendidikan Sosiologi FIS UNP adalah

Antropologi Sosial (sejak tahun 2001 sd. 2009). Lalu isinya juga sarat dengan muatan

aspek budaya dalam upaya memahami realitas sosial yang dikaji.

Kemudian dengan mempertimbangkan substansi perkuliahan, dan perdebatan

klasik di sekitar Antropologi Sosial dan/ atau Antropologi Budaya, akhirnya dalam

revisi kurikulum 2010 mata kuliah dimaksud dirubah menjadi Antropologi Sosial

Budaya. Alasannya tidak lain adalah karena obyek kajian Antropologi Sosial dan

Antropologi Budaya pada hakikatnya relatif sama: hanya saja terminologi dan

perspektif yang digunakan dalam batas-batas tertentu memang berbeda. Meskipun

demikian, dalam realitas kehidupan masyarakat dimensi sosial dan budaya itu sulit

untuk dipisahkan secara tegas, sebab ia sudah menggelimang menjadi suatu fenomena

yang khas dan unik. Bertolak dari pokok pikiran demikian, maka dalam rangka

pengembangan Kurikulum Berbasis KKNI, mata kuliah Antropologi Sosial Budaya

tetap dipertahankan sebagai sebuah mata kuliah wajib prodi Pendidikan Sosiologi

Antropologi, Jurusan Sosiologi FIS UNP.

Adapun yang menjadi fokus kajian dalam mata kuliah Antropologi Sosial

Budaya meliputi. Pertama, kajian kritis tentang konsep dasar Antropologi Sosial

Budaya dengan mencermati hakikat dan substansi dari Antropologi Sosial di satu

pihak; dan Antropologi Budaya di pihak lain. Kedua, mencermati dinamika adaptasi

manusia dan lingkungan dalam suatu masyarakat dengan bentuk/ tipe tertentu akan

dikaji secara khusus. Dengan begitu interelasi (saling keterkaitan) antara manusia dan

lingkungannya, baik lingkungan fisik, sosial, budaya, maupun hubungan manusia

dengan khaliknya berpeluang untuk dimengerti secara proporsional. Ketiga,

membandingkan profil masyarakat petani tradisional (agraris) dengan masyarakat

pastoral, termasuk pandangan dunia dari kedua tipe masyarakat tersebut. Keempat,

mengupas interelasi desa kota, dinamika pertubuhan kota, serta peluang perubahan

masyarakat agraris dan non-agrais menjadi masyarakat perkotaan. Kelima,

47

memperbincangkan manusia sebagai homo-economicus, serta mngidentifikasi sumber

daya ekonomi, sistem produksi, distribusi, dan konsumsi dalam konteks sosiokultural

masayarakat yang sedang berubah. Keenam, mengkaji konsep perkawinan, keluarga,

dan rumah tangga sebagai institusi sosial terpenting dalam realitas kehidupan sosial

dalam konteks ruang dan waktu tertentu. Ketujuh, masih berkaitan dengan

perkawinan, pada sesi ini dikritisi secara mendalam hakikat dan konsekuensi

perkawinan dalam pembentukan institusi keluarga dan kekerabatan dengan segala

variannya. Kedelapan, memperbincang berbagai hal di sekitar konsep dan bentuk

komunitas, solidaritas sosial, diferensiasi dan stratifikasi sosial tertentu dengan segala

kosekuensinya

Di dalam pembahasan masing-masing tema di atas akan digunakan kombinasi

pendekatan sinkronik dan diakronik. Pendekatan sinkronik merupakan pendekatan

yang lazim dalam ilmu-ilmu sosial secara konvensional, tujuannya adalah untuk

memahami struktur dan hukum-hukum (pola) yang terbentuk dan muncul dalam

realitas kehidupan kekinian. Sementara pendekatan diakronik yang secara

konvensional lazim digunakan dalam studi sejarah, fokusnya adalah pada upaya

memahami proses terjadinya suatu fenomena sosial tertentu. Pada abad ke-19,

pendukung masing-masing pendekatan itu saling meniadakan eksistensi yang lainnya:

pendukung pendekatan sinkronik menyatakan lawannya tidak ilmiah; sebaliknya

pendukung pendekatan diakronik menuduh lawannya tumpul dan tidak tahu proses

(ahistoris). Kemudian pada akhir abad ke-20 para ahli menyadari bahwa kedua

pendekatan itu sebenarnya memiliki kekuatan dan kelemahan tersendiri, dan jika

keduanya dikombinasikan maka ia akan membantu dalam memahami realitas tertentu

secara lebih komprehensif dan proporsional.

Bertolak dari alur pikir seperti diungkapkan di atas, maka dalam pembelajaran

Antropologi Sosial Budaya akan digunakan kombinasi pendekatan sinkronik dan

diakronik tersebut. Bagaimana pun penggunaan model ini dinilai dapat melatih

mahasiswa untuk memahami suatu fenomena secara komprehensif: tidak hanya

terbelenggu oleh realitas yang muncul ke permukaan di era kontemporer ini, tetapi

juga memahami akar dan proses (dinamika) yang mendorong terbentuknya fenomena

dimaksud. Dengan begitu pemahaman mereka terhadap realitas sosio-kultural yang

muncul ke permukaan akan ditopang oleh fakta dan perspektif historis yang kuat,

sehingga analisis yang dihasilkan akan lebih tajam.

48

II. KOMPETENSI PEMBELAJARAN

Antropologi Sosial Budaya sebagai sub-disiplin ilmu Antropologi diharapkan

bisa membantu pengembangan wawasan akademik (knowledge dan psikomotorik), serta

sikap sosial dan religius mahasiswa dalam memahami realitas sosio-kultural yang

terjadi di tengah-tengah masyarakat. Dengan bekal tersebut, tentu mahasiswa bisa bisa

mengerti/ memahami setiap fenomena sosio-kultural yang bersifat krusial secara

obyektif dan proporsional, tidak terjebak pada sikap apriori, apatis, taklid, dan

emosional (like dan dislike).

Setelah mengalami pembelajaran dalam mata kuliah Antropologi Sosial Budaya

dalam rentang waktu satu semester, diharapkan mahasiswa mampu:

(1) menguraikan substansi dan perkembangan studi Antropologi Sosial Budaya

(2) menjelaskan dinamika adaptasi makhluk manusia dengan lingkungan dalam upaya pemenuhan kebutuhannya

(3) membandingkan masyarakat hortikultural dan papastoral: organisasi dan pandangan dunia keduanya.

(4) mampu menjelaskan dinamika masyarakat: dari masyarakat agraris dan non-agrais menjadi masyarakat perkotaan.

(5) mengidentifikasi sumber daya ekonomi, sistem produksi, distribusi, dan konsumsi dalam konteks sosiokultural masayarakat yang sedang berobah.

(6) menjelaskan konsep dasar dan dinamika perkawinan, keluarga, dan rumah tangga.

(7) menjelaskan hakikat dan konsekuensi perkawinan terhadap pembentukan institusi keluarga dan kekerabatan dengan segala variannya

(8) menjelaskan konsep komunitas dan bentuk-bentuk komunitas kecil, solidaritas sosial, diferensiasi dan stratifikasi dengan segala kosekuensinya

***

49

III. SUBSTANSI PEMBELAJARAN

ANTROPOLOGI SOSIAL BUDAYA:

KULIAH PENGANTAR

A. Learning Outcome:

Mampu menguraikan substansi dan perkembangan studi Antropologi Sosial Budaya

B. Materi Pokok

(1) Antropologi Sosial Budaya: Suatu Telaahan Konseptual

(2) Sejarah Perkembangan Studi Antropologi Sosial Budaya.

(3) Penggunaan Kombinasi Pendekatan Sinkronik dan Diakronik

dalam Kajian Antropologi Sosial Budaya

(4) Ruang lingkup kajian Antropologi Sosial Budaya

(5) Overview perkuliahan Antropologi Sosial Budaya

C. Substansi Pembelajaran

1. Uraian Materi

\

a. Antropologi Sosial Budaya: Suatu Telaahan Konseptual

Antropologi Sosial Budaya pada hakikatnya berakar pada dua sub disiplin

Antropologi, yaitu: Antropologi Budaya di satu pihak; dan Antropologi Sosial di

pihak lain. Kedua sub-disiplin itu mulai menemukan wujudnya pada paroan kedua

abad ke-19, dan makin meningkat perkembangannya pada dekade kelima abad ke-

20. Hal itu ditandai dengan penajaman fokus kajian dan metode yang digunakan

untuk memahami realitas sosio-kultural masyarakat diteliti.

Dalam kajian-kajian klasik, Antropologi Budaya lebih memusatkan

perhatiannya pada keunikan-keunikan (unique) dari beranekaragam masyarakat etnik

yang tersebar di berbagai penjuru dunia ini, khususnya menyangkut aspek prehistori,

etnolinguistik, maupun etnologinya masing-masing. Melalui kajian tersebut bisa

dipahami bagaimana perbedaan-perbedaan dan keunikan dari masing-masing

Kegiatan Belajar 1 & 2

1

50

kebudayaan etnik di dunia. Puncak dari proses kerja demikian pada gilirannya

melahirkan beranekaragam kajian etnografi.

Jika diklasifikasikan hasil-hasil etnologi (yang menjadi cikal bakal kajian

etnografi) itu, secara umum dapat dibedakan ke dalam dua kategori pokok, yaitu:

descriptive integration; dan, generalizing approach. Dalam konteks descriptive

integration bahan-bahan etnografi diolah menjadi suatu dengan hasil penelitian

entolinguistik, prehistori, dan etnografi. Bahkan hasil kajian etnografi itu juga

diintegrasikan dengan bahan keterangan paleo-antropologi dan somatologi dalam

cakupan daerah yang sama. Tujuannya tidak lain adalah untuk mencapai pengertian

tentang asal-usul dan sejarah perkembangan kelompok etnik yang dikaji, terutama

dengan menggunakan pendekatan diakronik. Di pihak lain generalizing approach

yang menjadi cikal bakal dari social anthropology, menekankan pada upaya untuk

menemukan prinsip-prinsip kesamaan di belakang aneka ragam kelompok etnik/

masyarakat dengan kebudayaan berbeda-beda yang tersebar di muka bumi ini. Pada

prinsipnya, metode yang digunakan untuk maksud tersebut adalah: (1) melakukan

kajian mendalam dan komprehensif terhadap sejumlah masyarakat dan kebudayaan

tertentu guna menemukan beberapa kesamaan di balik keberagaman yang muncul ke

permukaan; dan (2) melakukan studi komparasi terhadap sejumlah masyarakat/

kebudayaan masing-masing guna mendapatkan pemahaman tentang keragaman antar

masyarakat/ kebudayaan yang diteliti, sekaligus juga bisa diungkap kesamaan-

kesamaan di balik keberagaman itu.

Secara implisit uraian di atas mengisyaratkan, bahwa dalam batas-batas

tertentu kajian Antropologi Sosial dan Antropologi Budaya memang berbeda, tetapi

keduanya memiliki titik persentuhan yang sangat esensial dalam rangka memahami

realitas masyarakat dan kebudayaan yang menjadi fokus kajiannya. Bukan hanya

itu, melainkan dalam kehidupan riil masyarakat, amat sulit untuk memisahkan

dimensi sosial dan kebudayaan yang mereka hasilkan, sebab keduanya sudah

membaur (menggelimang) menjadi satu. Berolak dari pokok pikiran demikian,

sejalan dengan ide monumental Immanuel Wellerenstain tentang lintas batas ilmu-

ilmu sosial, maka kuliah ini mencoba mengkombinasikan dua sub-disiplin

Antropologi di atas menjadi Antropologi Sosial Budaya.

Dalam konteks ini, Antropologi Sosial Budaya tidak dimaksudkan sebagai

kompilasi dari dua sub-disiplin ilmu Antropologi di atas, melainkan bahan atau fokus

kajiannya akan diseleksi dengan mempertimbangkan sub-disiplin Antropologi yang

dikaji di Jurusan Sosiologi FIS UNP seperti Etnologi, Antropologi Kebudayaan

Indonesia, dan Antropologi Agama, dsb. Tujuannya tidak lain adalah agar tidak

terjadi tumpang tindih bahan kajian antar beberapa mata kuliah terkait. Oleh karena

51

itu kajian Antropologi Sosial Budaya di sini akan difokuskan pada kecenderungan

dan dinamika beberapa aspek sosial dan budaya dari berbagai masyarakat yang

tersebar di permukaan bumi ini, terutama berkaitan dengan: adaptasi manusia dengan

lingkungannya; sistem mata pencaharian hidup; manusia dan sumber daya ekonomi;

sistem perkawinan dalam kaitannya dengan keluarga, rumah tangga, dan

kekerabatan; serta kesatuan sosial, kepemimpinan dan pengendalian sosial.

b. Sejarah Perkembangan Studi Antropologi Sosial Budaya.

Antropologi Sosial Budaya yang kini sering dianggap sebagai sebuah sub-

disiplin tersendiri dalam Antropologi, sesungguhnya sudah mengalami perjalan yang

panjang. Ia berakar dari karya-karya etnologi yang dihasilkan para pelancong,

pedagang, dan misionaris dari Eropa pasca Abad Pertengahan. Bangsa Eropa yang

sudah tercerahkan oleh gerakan Renaissance, Reformasi, dan Aufklarung, ternyata

memiliki kebiasaan yang pada gilirannya berkontribusi bagi pengembangan ilmu

pengetahuan modern. Kebiasaan dimaksud adalah, mereka menuliskan berbagai

keunikan dan keanehan di kalangan masyarakat etnik tertentu yang mereka temukan

di luar Eropa (Afrika, Asia, Amerika Latin, dan berbagai suku bangsa di Laut

Fasifik. Kemudia hasil pelukisan mereka tentang masyarakat etnik tersebut tersebar

di Eropa, terutama di berbagai museum terkemuka di benua biru itu.

Kemudian karya-karya etnografi tersebut diolah oleh para sarjana dengan

menggunakan perspektif teori (terutama teori evolusi) dan pendekatan/ metode

tertentu pada abad ke-19. Hasil pengolahan itulah yang melahirkan kajian etnografi

yang menjadi cikal-bakal dari antropologi pada umumnya, dan Antropologi Sosial

Budaya khususnya. Dalam perkembangannya, ketika Antropologi berubah dari ilmu

praktis menjadi disiplin ilmiah (tahun 1930-an), maka terjadilah penajaman fokus,

konsep/teori dan metode kajian Antropologi. Sejalan dengan itu lahirlah berbagai

sub-disiplin Antropologi, termasuk Antropologi Sosial dan Antropologi Budaya.

Perkembangan kedua disiplin itu, banyak sedikitnya diwarnai oleh karya

monumental dua orang tokoh penting dalam antropologi, yaitu: Malinowski tentang

perdagangan Kula dalam Masyarakat Trobrian; dan Radclife-Brown tentang Tradisi

Meratapi Mayat dalam Masyarakat kepulauan Andaman (Andaman Islan). Karya

Malinowski tersebut menjadi inspirator bagi perkembangan studi Antropologi

Budaya di Amerika Serikat dan negara-negara lain yang berkiblat padanya.

Sebaliknya, karya Radclife-Brown menjadi awal dari tumbuh suburnya kajian

Antropologi Sosial di Inggris dan Negara-negara lain yang berada di bawah

pengaruhnya. Namun kalau dicermati hakikat yang dikaji kedua tokoh terkemuka itu

pada prinsipnya tidak berbeda: mereka sama-sama mengkaji masyarakat dan budaya

52

di masing-masing daerah penelitiaanya; hanya saja istilah yang dipopulerkan

keduanya berbeda. Malinowski menggunakan istilah kebudayaan, sedangkan

Radclife-Brown memakai istilah sosial.

Mungkin berangkat dari realitas seperti diungkapkan di atas, sejak beberapa

dasa warsa terakhir ini batas-batas antara Antropologi Budaya dan Antropologi

Sosial sudah semakin kabur. Realitas sosial dan budaya yang selama ini dikaji

secara terpisah olah ahli masing-masing pihak, kini justeru dikaji oleh ilmuan

kompeten dengan menggunakan konsep/ teori relevan dari dua sub-disiplin ilmu

terkait, bahkan juga meminjam konsep/teori ilmu-ilmu sosial dan humanitis yang

dinilai relevan. Dengan begitu mata kuliah Antropologi Sosial Budaya semakin eksis

di dunia akademik, termasuk di Indonesia.

c. Pendekatan Sinkronik dan Diakronik dalam Kajian Antropologi Sosial Budaya

Dalam perkembangan sejarah ilmu pengetahuan, tercatatat dua pendekatan

keilmuan yang memberikan kontribusinya tersendiri. Kedua pendekatan dimaksud

adalah: pendekatan sinkronik di satu pihak; dan, pendekatan diakronik di pihak lain.

Secara konvensional, pendekatan pertama lazim dipakai dalam ilmu-ilmu sosial

(ekonomi, sosiologi, antropologi, ilmu politik, georafi, dan lain-lain). Sementara

pendekatan kedua lebih popular dalam ilmu dan penelitian sejarah. Pendekatan

sinkronik berupaya untuk memahami dan menemukan pola-pola, struktur-struktur

ataupun hukum-hukum yang terbentuk dari realitas sosial yang terjadi. Mereka lebih

terkesimak oleh struktur-struktur yang terbentuk, dan cenderung mengabaikan akar

persoalan dari realitas terkait. Di pihak lain, pendekatan kedua menitikberatkan

perhatian pada proses yang terjadi, tanpa mempedulikan struktur yang terbentuk.

Sejak abad ke-19 sampai pertengahan abad ke-20, pendukung masing-masing

pendekatan itu cenderung menggap merekalah yang paling benar, dan memendang

remeh yang lainnya. Bahkan tidak jarang masing-masing pihak meniadakan/

membatalkan eksistensi pihak lainnya: ilmuan-ilmuan sosial menilai sejarah itu tidak

ilmiah, sebab ia hanyalah menyibukkan diri untuk merekonstruksi peristiwa tertentu

di masa lampau, dan tidak berhasil membangun struktur/ hukum dari kajian-

kajiannya. Sebaliknya, sejarawan menilai hasil kajian ilmuan sosial amat dangkal,

sebab mereka tidak tahu tentang akar dari suatu fenomena yang dikaji. Komplain

dari kedua pihak, kiranya tidak berlebihan, bahkan hingga kini hal itu dengan mudah

ditemukan di dunia akademik dan kehidupan paraktis. Sejarawan terlalu sibuk

untuk mendeskripsikan proses terjadinya suatu peristiwa dan tidak menggunakan

pendekatan sinkronik (konsep/ teori sosial relevan), maka uraiannya akan cenderung

membosankan, kering tanpa makna. Sebaliknya ilmuan sosial yang mengkaji

53

realitas yang muncul ke permukaan di masa kini tanpa menggunakan pendekatan

diakronik, maka hasilnya tidak akan mendalam. Bahkan bisa diibaratkan laksana

membuat rumah di awang-awang, tanpa mempunyai tiang dan fondasi di tanah.

Berkaitan dengan pokok pikiran di atas, berikut dikemukakan dua buah

contoh. Fenomena rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia telah menimbulkan

kerisauan banyak pihak di negeri ini. Lalu utuk mengatasinya, ilmuan sosial yang

tidak memiliki wawasan historis merekomendasikan agar guru disertifikasi supaya

pendapatannya meningkat. Kalau sudah begitu maka komitmen mereka akan

meningkat pula, sehingga kualitas pendidikan pun akan membaik. Namun setelah

sertifikasi berlangsung, kualitas pendidikan tetap stagnan, bahkan ada indikasi

semakin mengalami penurunan. Contoh lain, kasus korupsi di instansi pemerintah/

birokrasi yang kian marak akhir-akhir ini. Lalu para ilmuan sosial yang ahistoris

cenderung mengaitkan hal itu dengan rendahnya gaji pegawai, sehingga banyak

orang yang tergoda melakukan korupsi. Berangkat dari alur pikir ahistoris semacam

itu, lalu mereka merekomendasikan untuk digulirkan program remunerasi agar gaji

pegawai meningkat. Kalau gaji mereka sudah mencukupi, maka kasus korupsi di

kalangan pegawai akan menurun dengan sendirinya. Namun hasil penelitian Dirjen

Otoda (2013) menunjukkan: kasus korupsi di enam departemen yang sudah

menerapkan remunerasi justeru tidak menunjukkan penurunan, bahkan cenderung

meningkat. Apabila rendahnya mutu pendidikan ataupun kasus korupsi yang

dicontohkan di atas dikaji dengan menggunakan kombinasi pendekatan sinkronik

dan diakronik, maka pemahaman terhadap kasus itu akan lebih detail, mendalam,

dan kompleks. Jika sudah demikian, tentu rekomendasi yang dihasilkan para peneliti

untuk para pengambil kebijakan akan lebih cocok dan bermakna, tidak dangkal

(gampangan) seperti diungkapkan di atas.

Bertolak dari pokok pikiran sebagaimana dipaparkan di atas, maka dalam

mata kuliah Antropologi Sosial Budaya akan digunakan kombinasi pendekatan

sinkronik dan diakronik. Pendekatan pertama akan banyak manfaatnya untuk

menjelaskan/ memahami realitas sosio-kultural dengan menggunakan konsep/ teori

ilmu-ilmu sosial dan humaniora relevan. Sementara pendekatan diakronik akan

menyumbangkan data historis terkait dengan pokok permasalahan yang dikaji.

Dengan begitu, pemanfaatan pendekatan sinkronik dan diakronik dalam menelaah

realitas sosial dan budaya yang dikaji akan menghasilkan analisis yang tajam, kritis,

argumentatif, dan mendalam, serta didukung oleh data/ fakta relevan.

54

d. Ruang lingkup kajian Antropologi Sosial Budaya

Adapun yang menjadi ruang lingkup kajian mata kuliah Antropologi Sosial

Budaya adalah realitas dan dinamika kehidupan sosial budaya umat manusia. Dalam

kaitan itu akan dilihat kecenderungan pola-pola yang hidup dan berkembang pada

berbagai masyarakat dalam rentang waktu tertentu.

Setelah mendudukkan konsep dasar dan perkembangan studi Antropologi

Sosial Budaya, selanjutnya secara berurutan akan dibahas: dinamika adaptasi

manusia dan lingkungannya; membahas masyarakat hortikultural dan pastoralis;

membandingkan masyarakat petani dan pastoralis, termasuk pandangan dunia

keduanya; dinamika masyarakat agraris dan non-agrais menjadi masyarakat

perkotaan; mencermati keberadaan manusia sebagai homo-economicus dalam

kaitannya dengan telaahan sumber daya ekonomi, sistem produksi, distribusi, dan

konsumsi dalam konteks sosiokultural masayarakat yang sedang berubah; mengkaji

konsep dasar dan dinamika perkawinan, keluarga, rumah tangga, dan kekerabatan;

serta, kajian tentang konsep dan bentuk-bentuk komunitas kecil, solidaritas sosial,

diferensiasi dan stratifikasi, serta pengendalian sosial dengan segala kosekuensinya.

e. Overview perkuliahan Antropologi Sosial Budaya

Berikut akan dikemukakan overview perkuliahan Antropologi Sosial Budaya

yang akan dipresentasikan selama satu semester ini. Dalam kaitan ini ada delapan

tema/ topik perkuliahan yang akan dikupas secara simultan. Pada Minggu pertama

dan kedua akan dibahas konsep dasar, dan substansi perkuliahan Antropologi Sosial

Budaya dengan jalan mencermati hakikat Antropologi Sosial di satu pihak; dan

Antropologi Budaya di pihak lain. Seiring dengan hal itu, juga akan dicermati

perkembangan kajian dan pendekatan dalam studi Antropologi Sosial Budaya.

Pada minggu ketiga dan keempat akan dicermati dinamika adaptasi manusia

dan lingkungan dalam berbagai masyarakat dengan menggunakan kombinasi

pendekatan sinkronik dan diakronik. Melalui kajian dan pendekatan seperti itu,

interelasi (saling keterkaitan) antara manusia dan lingkungannya, baik lingkungan

fisik, sosial, budaya, maupun hubungan manusia dengan khaliknya berpeluang untuk

dibahas secara proporsional. Di bawah topik ini akan dilihat dinamika adaptasi

manusia mulai dari era foodgatering sampai ke era foodproducing dengan segala

karakter dan konsekuensinya masing-masing.

Berikutnya, pada pertemuan kelima dan keenam akan dikupas topik tiga,

yaitu: kajian kritis terhadap masyarakat hortikultural dan masyarakat pastoral yang

akarnya sudah mulai muncul pada era prasejarah. Dalam kaitan ini, secara khusus

55

juga akan dicermati pandangan dunia (word views) dari kedua tipe masyarakat

dimaksud.

Selajutnya pada minggu keenam dan ketujuh, akan dikupas interelasi desa

kota, dinamika pertubuhan kota (baik secara alamiah maupun hasil rekayasa

pengembangan sebuah kota). Selanjutnya juga akan dikritisi peluang perubahan

masyarakat agraris dan non-agrais menjadi masyarakat kota, baik pada taraf kota

kecil maupun kota besar).

Berngkat dari hasil kajian pada minggu-minggu sebelumnya, maka pada

minggu kedelapan akan diperbincangkan eksistensi manusia sebagai homo-

economicus. Di bawah topik/ tema ini akan diidentifikasi sumber daya ekonomi,

sistem produksi, distribusi, dan konsumsi dalam konteks sosiokultural masayarakat

yang sedang berubah. Kemudian pada minggu berikutnya akan diadakan ujian

tengah semester.

Seminggu setelah ujian tengah semester, yakni pada minggu kesepuluh dan

kesebelas akan dibahas hal-hal yang berkaitan dengan perkawinan. Secara khusus di

sini akan dikritisi dinamikan dan interelasi antara perkawinan, keluarga, dan rumah

tangga sebagai institusi sosial terpenting dalam realitas kehidupan sosial masyarakat

beradab.

Sebagai lanjutan dari kajian minggu sebelumnya, pada minggu kedua belas

pembahasan masih berkaitan dengan perkawinan. Pada sesi ini akan dikritisi secara

mendalam hakikat dan konsekuensi perkawinan dalam pembentukan institusi

keluarga dan kekerabatan dengan segala variannya.

Terakhi pada minggu ke-13 sd. ke-15, akan dikupas berbagai hal di sekitar

konsep dan bentuk komunitas, solidaritas sosial, diferensiasi dan stratifikasi sosial,

serta kepemimpinan dan pengendalian sosial dengan segala kosekuensi yang

ditimbulkannya. Tema ini merupakan penutup dari kajian dalam mata kuliah

Antropologi Sosial Budaya, sebelum akhirnya dikunci dengan ujian akhir semester

pada minggu berikutnya.

1. Rangkuman

Berbeda dengan Antropologi Sosial dan Antropologi Budaya sebagai dua sub-

disiplin dalam Antropologi, maka kuliah Antropologi Sosial Budaya hanya akan

difokuskan pada kecenderungan dan dinamika beberapa aspek sosial dan budaya dari

berbagai masyarakat yang tersebar di permukaan bumi ini, khususnya berkaitan

dengan: adaptasi manusia dengan lingkungannya; sistem mata pencaharian hidup

manusia mulai dari masa foodgathering sampai ke foodproducing (masyarakat

56

hortikultural, pastoral, masyarakat agraris yang mencakup peisan dan farmer, sera

masyarakat perkotaan); sistem dan seluk-beluk perkawinan dalam kaitannya dengan

keluarga, rumah tangga, dan kekerabatan; serta kesatuan sosial (sistem dan stuktur

sosial, kepemimpinan dan kontrol sosial dengan segala konsekuensinya).

Kajian dalam mata kuliah ini segaja difokuskan pada beberapa aspek di atas

(tidak mencakup semua kajian dalam kedua sub-disiplin antropologi yang menjadi

akar dari Antropologi Sosial Budaya) dengan pertimbangan agar jangan terjadi

tumpang tindih pembahasan dengan mata kuliah Etnografi, Antropologi Kebudayaan

Indonesia, Antropologi Agama, dll yang sudah menjadi mata kuliah tersendiri dalam

struktur kurikulum prodi Sosiologi Antropologi. Sementara pendekatan yang

digunakan untuk mengupas topik-topik yang termaktup dalam fokus di atas adalah

kombinasi pendekatan sinkronik dan diakronik. Pertimbangannya adalah kombinasi

kedua pendekatan itu akan membuka pemahaman yang komprehensif dan mendalam

tentang fenomena sosio-kultural yang dikaji.

D. Evaluasi

Alat evaluasi (instrumen penilaian) dipaparkan dalam Satuan Acara Perkuliahan

di bawah sub-judul D (Rubrik Penilaian). Di samping item tes substansi (materi), di

dalam SAP juga terdapat format Penilaian Partisipasi dan Penilaian Sikap.

E. Bacaan Pendalaman

Koentjaraningrat. 1986. Beberapa Pokok Antropologi Sosial. Jakarta: Dian Rakyat

-------------------. 1996. Pengantar Antropologi, Jilid I. Jakarta: Rineka Cipta

Ihromi, T.O. ed. 1981. Pokok-pokok Antropologi Budaya. Jakarta: Gramedia

Keesing, Roger M. 1989. Antropologi Budaya. Jilid 1 (Terj.). Jakarta: Erlangga

Fathoni, Abdurrahman. 2006. Antropologi Sosial Budaya: Suatu Pengantar. Jakarta:

Rineka Cipta

Evan-Pritchard, E.E.E., 1886. Antropologi Sosial. Jakarta: Bumi Aksara

* * *

57

ADAPTASI MANUSIA DALAM

UPAYA PEMENUHAN KEBUTUHAN

A. Learning Outcome:

Setelah mengikuti perkuliahan ini mahasiswa diharapkan memiliki kemampuan untuk

menjelaskan dinamika adaptasi makhluk manusia dengan lingkungan dalam upaya

pemenuhan kebutuhannya

B. Materi Pokok

Adaptasi Manusia dalam Upaya Pemenuhan Kebutuhannya

(1) Adaptasi manusia dengan lingkungan alamiah, sosial, dan budaya.

(2) Dinamika kebutuhan hidup manusia dari era foodgathering ke foodproducing:

o Kehidupan manusia pada masa berburu dan meramu

o Kehidupan masyarakat penghasil pangan (hortikultural)

- Asal mula bercocok tanam

- Bercocok tanam di ladang

o Bercocok tanam menetap

(3) Perkembangan Pemenuhan Kebutuhan Hidup Makhluk Manusia

C. Substansi Pembelajaran

1. Uraian Materi

a. Adaptasi Manusia dengan Lingkungan Alamiah, Sosial, dan Budaya

Bertolak dari perspektif teori evolusi, makhluk manusia itu telah mengalami

proses evolusi yang panjang mulai dari tingkat yang paling sederhana sampai ke

tingkat yang sangat kompleks seperti sekarang ini. Dengan bekal pemikiran (mind,

otak), jiwa, dan nafsu yang dikaruniakan sang Maha Pencipta, manusia berhasil

mempertahankan eksistensinya dalam menghadapi segala tantangan yang ada. Para

peneliti dan pengamat budaya cenderung sependapat, bahwa kemampuan beradaptasi

merupakan salah satu kunci sukses manusia membangun peradaban dalam sejarah

perkembangan umat manusia.

Kegiatan Belajar 3 - 4

2

58

Dalam menata kehidupan ini, manusia telah memperlihatkan kemampuan

mereka dalam beradaptasi dengan lingkungan, baik lingkungan fisik, sosial, maupun

budaya. Berikut ini akan ditelusuri ketiga hal itu secara simultan. Pertama, adaptasi

dengan lingkungan fisik/ alamiah. Sejak awal kehadiran makhluk manusia di muka

bumi ini, manusia sudah menunjukkan kemampuan adaptasi melalui penyesuaian

kehidupan mereka dengan lingkungan fisik di mana mereka berada, sehingga mereka

bisa bertahan hidup dan survive. Mengingat kemampuan dan potensi otak mereka

yang masih terbatas, maka untuk mempertahankan hidupnya manusia beradaptasi

dengan lingkungan fisik/alamiah di mana mereka berada. Bahkan pada periode awal

sejarah kehidupan manusia, manusia memperlihatkan ketergantungan yang tinggi

pada alam: lingkungan alamlah yang menentukan cara hidup dan sistem teknologi

yang mereka pakai.

Kedua, adaptasi dengan lingkungan sosial. Adaptasi manusia tidak hanya

terbatas pada lingkungan fisik, melainkan juga dengan lingkungan sosial. Jika pada

zaman paleolitikum dan mesolitikum manusia hidup secara nomaden, maka pada

pergantian mesolitikum dan neolitikum manusia mulai mengenal hidup menetap.

Dengan dikenalnya hidup menetap, maka secara bertahap manusia pun mulai

mengenal dan membentuk kelompok/ kesatuan sosial. Sejalan dengan meningkatnya

kemampuan manusia, maka terjadi proses adabtasi dengan suasana dan lingkungan

baru itu, sehingga terjadi modifikasi dan perbaikan terhadap sistem sosial yang ada.

Pada gilirannya lingkungan sosial yang semula bersifat sederhana kemudian secara

bertahap berubah menjadi kesatuan-kesatuan sosial yang semakin kompleks.

Ketiga, adaptasi dengan lingkungan budaya. Selain adaptasi sosial, manusia

juga melakukan proses adaptasi dengan lingkungan budaya. Dengan kemampuannya

itu manusia mampu mengolah lingkungan alamiah menjadi lingkungan budaya.

Produk-produk budaya yang semula mereka ciptakan melalui proses trial and error

melalui proses adaptasi, kemudian semakin menemukan kesempurnaan sejalan

dengan perkembangan pemikiran makhluk manusia itu sendiri. Melalui proses

adaptasi yang dilakukan manusia, lahirlah keanekaragaman budaya melalui rekayasa

yang semula berawal dari hasrat untuk menguasai alam, kemudian dalam batas-batas

tertentu justru berkembang seolah-olah lepas kendali menjadi keinginan untuk

mengeksploitasi alam dengan segala konsekwensinya di bidang sosial budaya.

b. Dinamika kebutuhan hidup manusia: dari foodgathering ke foodproducing

(1) Kehidupan Manusia pada Masa Meramu dan Berburu

Pada awal kehadiran makhluk manusia (homo sapiens) sekitar dua juta tahun

yang lalu, ciri pokok kehidupan manusia mengindikasikan ketergantungan yang

59

sangat tinggi kepada alam. Dalam rentang waktu hampir dua juta tahun, manusia

hidup secara nomaden, tidak/ belum mengenal kehidupan menetap. Manusia ketika

itu hidup seperti sekawanan binatang, berpindah dari suatu tempat ke tempat lain di

sekitarnya untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka yang tersedia di alam. Dalam

kajian prehistori dan paleo-antropologi, pola hidup seperti dikemukakan di atas lebih

dikenal dengan food gathering.

Konsep food gathering itu pada hakikatnya mengandung dua elemen (sub-

konsep) pokok, yaitu: gathering (meramu/ pengumpul) di satu sisi; dan hunting

(berburu/ menangkap ikan) di sisi lain. Untuk memenuhi kebutuhan pokok (makan)

manusia prasejarah (zaman paleolitikum dan mesolitikum) mengumpulkan (baca

meramu, bukan mengumpulkan untuk disimpan) umbi-umbian yang tersedia di alam.

Maksudnya manusia-manusia nomad itu bergerak dari satu tempat ke tempat lain

untuk mencari umbi-umbian: setelah didapat lalu mereka makan; kemudian setelah

kenyang mereka tinggalkan sisanya begitu saja. Demikian pula, mereka memburu

berbagai jenis binatang ataupun menangkap ikan untuk dimakan, setelah dapat lalu

mereka makan dan jika berlebih mereka tinggalkan begitu saja.

Sistem peralatan yang mereka pakai pun pada zama paleolitikum (batu tua)

hanya memanfaatkan apa yang disediakan alam tanpa mengolahnya sedikit pun.

Selanjutnya sejalan dengan perkembangan pemikiran makhluk manusia, pada zaman

mesolitikum (batu tengah) manusia sudah mulai mengolah alat-alat yang dibutuhkan

dalam hidup dengan cara yang amat sederhana (masih kasar). Dengan peralatan dan

pola hidup seperti itu, manusia prasejarah itu selalu bergerak (nomad) dari suatu

tempat ke tempat lain secara terus menerus, tanpa mengenal tempat menetap.

Manusia prasejarah baru mulai mengolah (membakar) berbagai jenis umbi-

umbian, daging binatang dan ikan yang mereka dapatkan sebelum memakan

(mengkonsumsi) nya setelah penemuan api. Kemudian disusul dengan penemuan

garam sebagai bahan pengawet daging binatang,hal itu diperkiraan terjadi pada

pergantian zaman mesolitikum dan neolitikum. Sejak itu ketergantungan yang tinggi

terhadap alam, secara berangsur-angsur mulai berkurang di kalangan kelompok-

kelompok tertentu yang sudah agak lebih maju daripada banyak kelompok lain yang

masing amat tergantung pada alam. Artinya, manusia pra sejarah di berbagai tempat

di penjuru dunia ini mengalami tingkat perkembangan yang sangat variatif.

(2) Kehidupan Masyarakat Penghasil Pangan

Para ahli pre-histori dan paleo-antropologi cenderung sependapat, bahwa pada

akhir zaman mesolitikum dan awal neolitikum sebagaian manusia prasejarah sudah

mulai mengenal hidup menetap. Namun kurun waktu pengenalan pola menetap itu

60

tidak sama di antara kelompok-kelompok manuasia prasejarah, bahkan perbedaan

waktunya kadang-kadang mencapai ratusan ribu tahun. Sebagai ilustrasi, sebagian

ahli berpendapat manusia pra sejarah di Indonesia meneganal kehidupan menetap

lima ribu tahun lebih kemudian dari manusia yang merintis pola hidup menetap di

daratan Asia.

Pola hidup menetap itu dinilai amat strategis dalam perkembangan peradaban

umat manusia. Dikatakan demikian karena dengan dikenalnya hidup menetap, maka

terjadi perkembangan luar biasa dalam kehidupan manusia, misalnya manusia mulai

mengenal kesatuan-kesatuan/ kelompok sosial, sistem perkawinan. Sejalan dengan

itu kemampuan manusia untuk mengolah alam mulai berkembang secara bertahap.

Berangkat dari alur pikir seperti itu, maka para ahli menyatakan hidup menetap itu

sebagai revolusi kehidupan pada zaman prasejarah. Konsep revolusi kehidupan di

sini harus dipahami sebagai perubahan yang sangat mendasar (fundamental) dalam

pola kehidupan manusia, jangan dipahami sebagai perubahan yang berlangsung

cepat. Dikatakan demikian karena untuk menemukan pola hidup menetap, manusia

prasejarah membutuhkan waktu hampir dua juta tahun lamanya. Jika dilihat dari

perspektif itu perubahan yang terjadi sebenarnya berlangsung secara evolusi, bahkan

bisa dikatakan sangat lamban.

Perubahan yang sangat mendasar dimaksud di atas tidak lain adalah perubahan

dari food gathering ke food procing (menghasilkan makanan). Dalam kaitan dengan

konsep terakhir ini, manusia mulai memiliki kemapuan mengolah alam untuk

menghasil sesuatu yang dibutuhkannya dalam hidup. Melalui proses trial and eror,

manusia mencoba menanam umbi-umbian yang diambil dari alam liar pada lahan di

sekitar kediaman mereka (goa-goa batu): jika berhasil, maka dikembangkan lebih

lanjut; sebaliknya jika gagal, lalu dicoba dengan cara dan teknik yang lain. Dari

sinilah asal dari era bercocok tanam (mengasilkan pangan, horticulture) yang akan

dikupas secara khusus di bawah ini. Selain itu, manusia prasejarah tersebut juga

mulai belajar menjinakkan binatang, baik untuk menjaga lingkungan maupun untuk

dikonsumsi. Dari sinilah asal dari masyarakat peternak (pastoralism) yang akan

dibahas secara khusus dalam topik/ tema tersendiri dalam perkuliahan berikut.

(a) Asal Mula Bercocok Tanam

Sebagaimana dikemukakan di atas, manusia prasejarah tidak serentak

mengenal tradisi bercocok tanam, melainkan berbeda antara satu kelompok dengan

lainnya. Menurut para ahli paleo-antropologi dan prehistori, kepandaian bercocok

tanam itu mulai dikenal manusia sekitar 10.000 (sepuluh ribu) tahun yang lalu. N.I.

Vavilov menyatakan kepandaian bercocok tanam itu berawal di delapan kawasan di

61

permukaan bumi ini, yakni di daerah-daerah aliran sungai besar, danau dan pantai di

benua Asia, Afrika, Eropa, dan Amerika. Kedelapan kawasan itu adalah sebagai

berikut: (1) daerah sungai-sungai besar di Asia Tenggara seperti Mekong, Salwin,

dan Irawadi dengan produk unggulannya adalah padi dan keladi Dari sana menyebar

ke Gangga, Indonesia, dan Filipina; (2) daerah aliran sungai di Asia Timur seperti

Yang-tse dan Hoangho. Tanaman yang dikembangkan di sini adalah sayur-sayuran,

murbei, dan kedele; (3) daerah aliran sungai Eufrat dan Tigris di Asia Barat Daya

(Teluk Parsi), kemudian menyebar ke Iran, Afganistan, terus ke hulu sungai Shindu

di Pakistan. Janis tanaman yang dikembangkan anatar lain, gandum, anggur, dan

berbagai jenis buah-buahan yang kini banyak dibudidayakan di Eropa; (4) di daerah

aliran sungai yang bermuara ke Laut Tengah, seperti delta Nil, daerah lembah-

lembah sungai di Italia dan Spanyol, serta Palestina. Di kawasan ini banyak ditanam

zaitun, ara, dan sayur-sayuran; (5) daerah Abesinia di Afrika Timur dengan produk

unggulannya gandum; (6) daerah hulu sungai Sinegal (Afrika Barat) dengan tanaman

utamanya berbagai varietas gandum; (7) daerah Mexico dan daerah aliran sungai

Missisippi dengan produk unggulannya jagung, kapas, kasava, dan ubi; serta (8)

daerah Peru di Amerika Latin dengan tanaman unggulannya kentang, kasava, dan

ubi. Berbagai produk unggulan setiap kawasan tesebut, ternyata erat kaitannya

dengan kondisi tanah, iklim/cuaca, dan kebutuhan subsistensi manusia setempat.

Dari kedelapan kawasan itu, kemudian kepandaian bercocok tanam itu secara

bertahap tersebar ke berbagai penjuru bumi ini. Sebagian ahli menduga kepandaian

bercocok tanam itu baru masuk dan mulai dikenal di Nusantara oleh kelompok

tertentu, sekitar 6.000 tahun yang lalu. Sementara yang lainnya menduga jauh lebih

kemudian, yakni sekitar 5 abad Sebelum Masehi. Bagaimana pun, kedua pendapat

itu masih merupakan dugaan para ahli, sementara bukti-bukti yang kuat tentang hal

itu belum ditemukan. Namun demikian, para ahli cenderung sependapat bahwa

kepandaian bercocok tanam itu sudah mulai tumbuh di Nusantara ini pada pergantian

zaman mesolitikum dan neolitikum.

(b) Bercocok Tanam di Ladang

Terlepas dari perbedaan kapan manusia prasejarah di Indonesia mengenal

kepandaian bercocok tanam, para ahli kompeten cenderung sependapat bahwa

bercocok tanam di ladang (lahan kering, tanah gurun dalam terminologi Minang)-

lah yang mula-mula dikenal di daerah ini. Dengan mencermati cara dan teknik

bercocok tanam di ladang dalam periode awal tersebut, lalu para ahli menamakan

pola itu dengan berbagai terminologi, seperti: slash and burn agriculture (pertanian

dengan teknik tebang dan bakar) atau shifting cultivation (ladang berpindah).

62

Di banyak kawasan tempat awalnya tradisi bercocok tanam yang telah

dikemukakan di atas, tempat yang dijadikan areal perladangan itu adalah hutan

rimba di Asia, Amerika dan di seputar Laut Tengah, serta hutan sabana terutama di

Afrika Timur dan Barat. Secara umum teknik yang digunakan masih sederhana, baik

dalam cara pengolahan maupun peralatan yang dipakai. Bahkan dalam periode yang

lebih awal teknologi yang digunakan masih berupa alat-alat dari batu, tetapi sudah

dihaluskan (diasah). Dalam perkembangannya, ketika manusia mulai mengenal

logam, barulah secara berangsur-angsur mereka membuat dan menggunakan

peralatan pertanian yang masih sederhana sifatnya, tetapi sudah memanfaatkan

bahan bakunya dari logam, seperti kapak, parang, alat penetak, cangkul, dsb.

Bercocok tanam di ladang tersebut umumnya dilakukan sebagai berikut: (1)

penentuan lahan yang akan dijadikan sebagai ladang, baik di kawasan hutan rimba

ataupun sabana; (2) kemudian hutan itu di tebang dan dibersihkan, serta ditunggu

sampai dedaunannya kering; (3) kemudian daun-daun yang sudah kering itu dibakar;

(4) beberapa hari kemudian, lalu ditanami dengan jenis tanaman tertentu; dan (5)

tanaman yang sudah tumbuh disiangi dan dipelihara sampai masa panen. Dilihat

dari cara pengolahan lahan seperti digambarkan di atas, maka sebagian ahli

kompeten mengistilahkan teknik ini dengan slash and burn agriculture. Biasanya

ladang yang dibuka itu akan dimanfaatkan untuk beberapa musim, sampai tingkat

kesuburan (humos) tanahnya menjadi rendah atau habis.

Setelah tingkat kesuburan tanah habis, umumnya mereka pindah dan

membuka lahan perladangan baru di sekitar ladang pertama dengan teknik

pengolahan yang relatif sama. Kemudian setelah humus tanahnya habis, mereka pun

akan pindah ke lahan baru di seputar lokasi semula. Dalam rentang waktu dua atau

tiga kali pindah, bekas ladang sebelumnya sudah tumbuh kembali menjadi hutan

belukar (rimba). Hutan rimba itu tentu telah membentu humos baru, sehingga

tingkat kesuburan tanah meningkat kembali. Setelah itu mereka bisa membuka

lahan baru di situ dengan teknik pengolahan lahan relatif sama. Bertolak dari

mekanisme seperti itu, maka sebagian ahli menyebutnya dengan istilah shifting

cultivation. Pada zaman prasejarah ladang berpindah itu terbuka untuk dilakukan

mengingat: tanah yang tersedia amat luas; dan, jumlah penduduk masih sedikit.

Para ahli cenderung sependapat, bahwa bercocok tanam di ladang lebih awal

dikenal dan dipraktekkan manusia dibandingkan dengan bercocok tanam di sawah.

Alasannya, bercocok tanam di ladang tidak membutuhkan teknik pengolahan lahan

yang rumit, tidak membutuhkan pengelolaan pengairan, cukup dengan hanya dengan

memanfaatkan air hujan saja secara alamiah, serta mengetahui perputaran musim/

cuaca berdasarkan pengalaman yang diwarisi secara turun temurun. Dengan begitu,

63

mereka bisa mengkalkulasikan kapan lahan harus ditebang dan dibakar, dan kapan

pula proses penanaman harus dilakukan. Lain halnya dengan bercocok tanam di

sawah, hal ini sudah memerlukan teknik pengolahan yang lebih rumit, serta juga

harus ditopang dengan pengelolaan air secara lebih teknis dan terorganisir.

(3) Bercocok Tanam Menetap

Bercocok tanam menetap (di lahan kering/ ladang ataupun di lahan basah/

sawah) adalah suatu tipe berccok tanam yang dilakukan individu/ kelompok tertentu

(bukan oleh pemilik perkebunan besar) di sebuah areal pertanian secara tetap, tidak

berpindah-pindah. Pelaku bercocok tanam tipe ini lazim disebut sebagai masyarakat

agraris, dan kategori petaninya dikenal dengan peasant (peisan, petani kecil).

Sistem ini mulai tumbuh, ketika manusia semakin banyak tinggal di daerah-daerah

subur di berbagai penjuru dunia ini, sementara lahan pertanian kian terbatas. Pada

saat itulah manusia mulai menumbuhkembangkan pola bercocok tanam menetap.

Berbeda dengan bercocok tanam di ladang, bercocok tanam menetap ternyata sangat

variatif sifatnya, baik di daerah tropik, sub-ropik, di hutan rimba, maupun hutan

sabana. Jika dilihat dari perspektif teori dan mekanisme yang dikembangkan oleh

ahli pertanian maupun geografi lingkungan, maka waktu yang tersedia tidak

mungkinkan untuk melakukan hal tersebut dalam perkuliahan ini.

Bertolak dari pemikiran demikian, maka bercocok tanam menetap di sini

hanya akan dilihat dari perspektif antropologi budaya dengan pengkategorian yang

lebih sederhana. Pengkategorian dimaksud dibuat berdasarkan pada sistem peralatan

yang digunakan dalam sistem bercocok tanam tersebut. Dari aneka ragam bercocok

tanam menetap yang pernah ada, pada hakikatnya dapat dibedakan ke dalam dua

kategori pokok. Pertama, bercocok tanam tanpa bajak (hand agriculture/ hoe

agriculture/ horticulture). Dalam konteks ini sebelum menanam berbagai jenis

varietas di lahan pertanian, terlebih dahulu petani mengolah tanah dengan cangkul

(hoe). Peralatan ini tentu saja sifatnya sudah lebih maju dari sebelumnya yang hanya

menggunakan tugal (tuga). Dengan menggunakan cangkul, akhirnya tanah sudah

diolah secara lebih dalam dan intensif, sehingga lebih berpeluang untuk menjaga

tingkat kesuburan tanah.

Kedua, bercocok tanam dengan bajak (plough agriculture). Sebelum sebidang

tanah ditanami, terlebih dahulu petani mengolahnya dengan menggunakan bajak,

baik bajak yang ditarik oleh binatang maupun manusia. Dengan memanfaatkan

binatang atau tenaga kuli/ buruh, maka petani amat terbantu (lebih efisien dan

praktis) dalam mengolah lahan jika dibandingkan dengan menggunakan cangkul,

apalagi tugal. Hanya saja agar lebih efektif, teknik ini mengharuskan petani untuk

64

memelihara binatang dan/ atau tenaga buruh untuk digunakan dalam mengolah

lahan. Dilihat dari segi jenisnya bajak itu dapat dibedakan kedalam dua kategori: (1)

bajak kecil yang biasanya disebut ard; dan (2) bajak berat yang dilengkapi dengan

roda yang lebih dikenal dengan plough.

Ard adalah alat pertanian yang terbuat dari cangkul yang dihubungkan dengan

bajak dan ditarik oleh binatang ataupun manusia. Bajak ini lebih kecil dan relatif

ringan, tetapi kemampuannya untuk membalik tanah jauh lebih efektif dan efisien

dibandingkan dengan hanya menggunakan cangkul. Teknik ini ditemukan sekitar

500 tahun yang lalu di Mesopotamia dan di Mesir, kemudian menyebar ke daerah-

daerah lain dalam periode sesudahnya. Sementara plough adalah bajak beroda

dengan ukuran yang lebih berat, sehingga untuk menariknya dibutuhkan 4 ekor sapi

atau kuda. Bajak seperti ini ditemukan sekitar abad ke-4 SM di Jerman dan

Skandinavia, kemudian menyebar hampir ke seluruh penjuru Eropah dalam abad-

abad berikutnya.

Bercocok tanam menetap, serta teknik pengolahan lahan dengan bajak (baik

Ad maupun Plough) itu jangan hanya dipahami sebagai pengolahan lahan basah

belaka seperti lazimnya di Indonesia, melainkan juga mencakup pengolahan lahan

kering. Bercocok tanam menetap hanya mungkin dilakukan bila kesuburan tanah

bisa dipelihara, sehingga tanah dimaksud dapat memberikan hasil sepanjang musim.

Berbeda dengan kesuburan tanah yang disandarkan pada pemberian alam pada

perladangan berpindah, dalam pertanian menetap kesuburan tanah harus diusahakan

sendiri oleh petani. Untuk maksud tersebut, setidaknya ada empat cara yang bisa

dilakukan petani: (1) mengintesifkan pengolahan tanah agar tingkat kesuburannya

tidak menurun secara drastis; (2) memperbaiki cara pemupukan, sehingga tanah

tidak menjadi aus; (3) pengaturan pergantian tanaman (tanaman sela, tumpang

sari dalam istilah sekarang); dan (4) pengaturan irigasi agar tanah tidak mengalami

kekeringan (gersang), apalagi pada musim kemarau. Dalam kaitan dengan item

terakhir ini, sistem/ organisasi Subak di Bali dapat dijadikan contoh yang paling

aktual dan terlembaga sejak era tradisional dalam hal pengaturan pengairan lahan

pertanian. Keempat cara di atas, tentu didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan

kongkrit dan nyata, bukan pada kejakinan terhadap jampi-jampian dari seorang

dukun seperti yang masih ditemukan pada banyak kelompok petani di Indonesia.

Sejalan dengan berkembangnya tradisi bercocok tanam menetap itu,

kesadaran akan hak atas kepemilikan tanah pun mulai muncul di kalangan petani

setempat. Kepemilikan atas tanah itu pun bermula dari kemilikan oleh kelompok

atau klen yang dalam era kemudian lebih dikenal dengan tanah komunal (wulayat

kaum). Dalam perkembangan pada abad-abat berikutnya, secara bertahap mulai

65

dikenal kepemilikan pribadi (privat) atas sebidang atau beberapa bidang tanah.

Sjalan dengan itu, keberadaan bercocok tanam menetap semakin eksis dalam sejarah

perkembangan peradaban manusia.

c. Perkembangan Pemenuhan Kebutuhan Hidup Makhluk Manusia

Apabila dicermati dari perspektif ilmu ekonomi yang bercorak diakronik,

cara-cara manusia memenuhi kebutuhan pokok (material)-nya mulai dari era

prasejarah sampai kini, dapat dikelompokkan kepada tahap-tahap sebagai berikut:

(1) pengumpul; (2) penghasil pangan; (3) fabrikasi; (4) industri; dan (5) pasca-

industri. Untuk memahami esensi dari masing-masing tahap itu, serta membedakan

antara satu tahap dengan lainnya, berikut akan diuraikan secara ringkas setiap tahap

itu, lengkap dengan contohnya yang relevan.

Pertama, pengumpul. Maksudnya adalah profil manusia yang memenuhi

kebutuhan pokoknya dengan cara mengumpulkan makanan dari yang disediakan

oleh alam. Dalam konteks ini, setidaknya ada dua cara yang ditempuh manusia

ketika itu, yakni: meramu (gathering); dan berburu (hunting). Pola demikian

merupakan profil kehidupan makhluk manusia nomaden: secara umum berlangsung

sejak kehadiran manusia di muka bumi ini sampai mereka mengenal hidup menetap.

Pola hidup sebagai pengumbul dan pemburu tersebut, secara implisit mencerminkan

ketergantungan manusia yang sangat tinggi terhadap alam.

Kedua, penghasil pangan (horticultural). Konsep ini mengendung arti, untuk

memenuhi kebutuhan hidupnya manusia tidak lagi mengantungkan hidup

sepenuhnya pada alam, melainkan mereka sudah menghasilan sesuatu dengan cara

mengolah alam. Contohnya untuk memenuhi kebutuhan makan, mereka sudah

mengembangkan keterampilan bercocok tanam (terutama di lahan kering, ladang),

serta menyinakkan atau beternak binatang tertentu (pastoral). Selanjutnya

berkembang menjadi masyarakat agraris (peasant, peisan). Jadi ketika itu manusia

sudah mampu mengolah alam fisik menjadi alam budaya guna memenuhi kebutuhan

pokok mereka.

Ketiga, fabrikasi. Pada tahap ini manusia sudah memiliki skill (keterampilan)

untuk mengolah hasil-hasil pertanian atau peternakan mereka menjadi bentuk lain

dengan menggunakan peralatan tradisional (sederhana, seadanya). Tujuan

utamanya adalah untuk memberikan nilai tambah terhadap hasil-hasil pertanian/

peternakan mereka. Contohnya antara lain keterampilan manusia untuk mengolah:

kacang kedele menjadi tempe; ketela pohon dan juga beras ketan (merah/ hitam)

menjadi tapai; tebu menjadi gula merah (gulo saka); mengolah air aren (nira

mejadi minuman beralkohol, dan banyak lagi yang lainnya.

66

Keempat, masyarakat industri. Pada tataran ini manusia sudah mampu

mengolah segala sesuatu yang dihasilkan dengan memanfaatkan mesin (teknologi

canggih) guna menghasilkan produk tertentu. Produk tersebut sudah bersifat massal,

tidak dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga ataupun masyarakat

setempat, melainkan diproduksi dalam partai besar untuk dilempar ke pasar.

Sebagian dari margin keuntungan yang mereka peroleh, kemudian digunakan untuk

membeli sesuatu berkaitan dengan kebutuhan primer mereka, di samping untuk

akumulasi modal, serta juga untuk memenuhi kebutuhan sekunder dan tertier bagi

yang bersangkutan.

Kelima, masyarakat pasca industri, merupakan masyarakat negara-negara

maju yang tidak lagi mengandalkan pembukaan/ pengelolaan pabrik atau industri di

negara mereka, melainkan memindahkannya ke dunia ketiga. Hal itu mereka lakukan

dengan berbagai pertimbangan, dan yang terpenting di antaranya adalah: (1)

menhindari volusi atau pencemaran akibat limbah pabrik; (2) tenaga kerja di dunia

ketiga dan negera terkebelakang realtif murah; (3) menekan biaya produksi dan

distribusi barang ke daerah konsumen. Meskipun pabrik/ perusahaan dimaksud

dialihkan ke negara lain, tetapi kendali produksi dan quality control tetap dipegang

oleh investor atau pemilik perusahaan yang berasala dari negara maju dengan jalan

memanfaatkan teknologi canggih (shopisticated) berupa softwer tertentu.

2. Rangkuman

Dengan memanfaatkan akal pikir dan jiwa yang dikaruniakan sang Maha

Pencipta, manusia merupakan makhluk paling unggul dalam beradaptasi dibandingkan

dengan makhluk mana pun yang diciptakan-Nya. Melalui proses adaptasi itu, manusia

bisa survive dalam hidupnya hingga kini. Sementara berbagai jenis makhluk ciptaan

Yang Maha Kuasa yang tidak mampu (gagal) dalam beradaptasi dengan lingkungan

baru atau situasi yang selalu berubah, akhirnya tidak bisa bertahan hidup dan hilang dari

permukaan bumi ini.

Dalam upaya pemenuhan kebutuhan hidupnya, manusia harus bisa beradaptasi

dengan lingkungan fisik (alamiah), sosial, dan budaya. Dalam perjalan sejarah umat

manusia, homo sapiens ini sudah mencatatkan serangkaian keberhasilan. Pada periode

awal kehadirannya dengan potensi akal yang masih sangat terbatas dan pola hidup

nomaden, manusia berusaha memenuhi kebutuhan hidupnya dengan cara meramu dan

berburu. Selanjutnya sejalan dengan peningkatan akal budinya, manusia berhasil

mengurangi ketergantungannya pada alam. Hal itu ditandai dengan dikembangkannya

pola hidup menetap dan dengan menggunakan produk budaya prasejarah yang sudah

67

mulai dihaluskan, muncul masyarakat penghasil pangan (hortikultural). Pemenuhan

kebutuhan manusia ketika itu dilakukan melalui dua cara, yaitu: (1) bercocok tanam

(berladang berpindah), terutama di hutan-hutan tropis; dan (2) memelihara binatang

ternak (masyarakat pastoral), khususnya di daerah-daerah padang rumput.

Kemudian dengan semakin meningkatnya akal budi, kemampuan, dan budaya

makhluk manusia, secara bertahap masyarakat hortikultural itu berubah menjadi

masyarakat agraris peasant dengan pola pertanian menetap, baik di lahan kering

(ladang) maupun basah (sawah). Sementara segelintir dari masyarakat pastoral pun

berhasil meningkatkan usaha peternakan mereka dengan junlah binatang ternak yang

berlipatganda. Dalam periode selanjutnya, dari masyarakat agraris itu tumbuh dan

berkembang pula petani bermodal (farmer) dengan komoditi pertanian berorientasi

pasar. Dalam perjalanan panjang perkembangan masyarakat yang dikemukakan di atas,

muncul pula berbagai jenis pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan manusia di luar

sektor pertanian, seperti kerajinan, pertukangan, perdagangan, dan sebagainya.

D. Evaluasi E.

Alat evaluasi (instrumen penilaian) dipaparkan dalam Satuan Acara Perkuliahan

di bawah sub-judul D (Rubrik Penilaian). Di samping item tes substansi (materi), di

dalam SAP juga terdapat format Penilaian Partisipasi dan Penilaian Sikap.

F. Bacaan Pendalaman

Daeng, Hans J. 2005. Manusia, Kebudayaan dan Lingkungan: Tinjauan Antropologis.

Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Koentjaraningrat. 1986. Beberapa Pokok Antropologi Sosial. Jakarta: Dian Rakyat

-------------------. 1996. Pengantar Antropologi, Jilid I. Jakarta: Rineka Cipta

Ihromi, T.O. ed. 1981. Pokok-pokok Antropologi Budaya. Jakarta: Gramedia

Keesing, Roger M. 1989. Antropologi Budaya Jilid 1 (Terj.). Jakarta: Erlangga

------------------. 1992. Antropologi Budaya, Jilid 2 (Terj.). Jakarta: Erlangga

Havilland, William A . 1985. Antropologi, Jilid 1 (Terj.). Jakarta: Erlangga

Fathoni, Abdurrahman. 2006. Antropologi Sosial Budaya: Suatu Pengantar. Jakarta:

Rineka Cipta

Marzali, Amri. 2003. Strategi Peisan Cikalong dalam Menghadapi Kemiskinan.

Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

***

68

MASYARAKAT PETANI DAN PASTORAL,

SERTA PANDANGAN DUNIANYA

A. Learning Outcome:

Setelah mengikuti perkuliahan ini mahasiswa diharapkan memiliki kemampuan untuk

membandingkan esensi masyarakat petani dan pastoral, serta membedakan pandangan

dunia keduanya.

B. Materi Pokok

Dinamika Kehidupan Masyarakat Agraris (petani peternak), Pastoral, dan Masyarakat

Perkotaan:

(1) Batasan Konseptual

(2) Dari Peasant ke Farmer

(3) Organisasi Sosial Petani

(4) Masyarakat Peternak: Dialektika Ekonomi Subsistensi dan Ekonomi Pasar

(5) Pandanga Dunia (World Views) Masyarakat Petani dan Pastoral

C. Substansi Pembelajaran

1. Uraian Materi

a. Batasan Konseptual

Masyarakat agraris merupakan masyarakat yang memanfaatkan tanah untuk

membudidayakan tanaman pertanian, dan sekaligus hal menjadi sumber mata pencarian mereka.

Dalam perkembangannya, konsep ini mencakup dua sub-konsep penting, yaitu: petani (peasant,

peisan); dan, farmer. Dalam kajian antropologi budaya dan botani, konsep peisan sering

dipahami sama dengan masyarakat hortikultural. Adapun yang dimaksud dengan masyarakat

hortikultural adalah profil masyarakat yang berusaha/ bekerja mengolah tanah (lahan)

dengan menggunakan tenaga dan pelatan sederhana memenuhi kebutuhan hidup mereka

sendiri. Di pihak lain farmer (dalam istilah populer di Indonesia lazim disebut petani

berdasi atau petani bermodal), yaitu petani bermodal besar yang mengolah lahan

pertaniannya dengan memanfaatkan tenaga manusia (buruh tani) dan/ atau teknologi

moderen guna melipatgandakan margin keuntungan. Berbeda dengan peisan, produksi/

Kegiatan Belajar 5 - 6

3

69

hasil pertanian farmer tidak dimaksudkan untuk pemenuhan kebutuhan subsistensi,

melainkan adalah untuk disuplai ke pasar.

Sejalan dengan kehadiran masyarakat hortikultural, muncul pula masyarakat pastoralis.

Yang dimaksud dengan masyarakat pastoralis (pastoral) adalah masyarakat peternak yang

menerapkan teknologi domestikasi hewan dalam pembudidayaan binatang (ternak) yang

mereka pelihara. Masyarakat tipe ini muncul dan berkembang di daerah-derah padang rumput

di Afrika, Asia, dan Amereka Latin. Di beberapa kawasan masyarakat pastoral itu masih

ditemukan hingga kini, namun sebagian di antaranya sudah berkembang lebih pesat menjadi

pengusaha peternakan moderen dalam era sekarang.

b. Dari Peasant ke Farmer

Kelompok berburu dan meramu merupakan bentuk masyarakat paling

sederhana dalam perkembangan peradaban manusia. Kegiatan utama mereka hanya

terfokus pada meramu (gathering) hasil tumbuh-tumbuhan non-budidaya dan berburu

(hunting) binatang liar untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Sistem peralatan yang

mereka gunakan pun masih sangat sederhana, yakni berupa alat-alat yang tersedia di

alam (belum diolah) sebagai produk budaya. Akibatnya teknologi yang mereka gunakan

hanya mampu mengolah alam secara pasif, sehingga waktu mereka habis hanya untuk

mencari makanan demi untuk memenuhi kebutuhan secukupnya (subsistensi).

Setelah menempuh perjalan panjang (hampir 2 juta tahun), akhirnya terjadi

perubahan mendasar dalam pola kehidupan manusia sekitar 10.000 tahun yang lalu.

Ketika itu manusia yang semula memperlihatkan ketergantungan yang tinggi pada

alam, mulai memanfaatkan potensinya untuk mengolah alam dalam rangka memenuhi

kebutuhan hidup mereka. Hal itu ditandai dengan munculnya masyarakat hortikultural

dan pastoral, masing-masing merupakan perkembangan lebih lanjut dari kelompok

manusia meramu (gathering) dan berburu (hunting) pada zaman sebelumnya.

Walaupun masyarakat hortikultural dan masyarakat pastoral sudah mulai

memanfaatkan potensinya untuk mengolah alam. Hanya saja dalam periode awal

perkembangannya, mereka hanya menggunakan tenaga dan pelatan sederhana untuk

memproduksi sesuatu (kebutuhan mereka). Walaupun demikian, berbeda dengan zaman

sebelumnya, penghasilan masyarakat hortikultural dan pastorial sudah lebih dari cukup

sebagaimana diungkapkan J.J. Macionis: material surplus jumlah kebutuhan subsisten

mereka lebih besar daripada hanya sekadar untuk bertahan hidup. Lebih jauh dia

menegaskan, produksi makanan mereka bisa ditingkatkan karena teknologi yang

digunakan (meskipun sifatnya masih sederhana) sudah memungkinkan campur tangan

manusia untuk meningkatkan produksi atas tanaman maupun hewan peliharaan. Hal itu

berkontribusi terhadap tingkat kesehatan manusia, dan lebih lanjut berkorelasi dengan

peningkatan populasi masyarakat hortikultural dan pastorial. Seiring dengan itu,

70

masyarakat hortikultural mulai mendirikan pemukiman dan tempat bercocok tanam

menetap untuk beberapa waktu (selama tanahnya dianggap masih subur).

Ketika suatu masyarakat mengalami surplus material, maka memungkinkan bagi

sebagian anggotanya memiliki waktu luang. Lebih jauh bagi sebagian kecil individu,

waktu luang itu mendorong munculnya kreatifitas teknologi, dan berwujud dalam

spesialisasi pekerjaan baru, seperti kerajinan, aneka ragam pertukangan, dagang, dsb.

Hal ini memungkinkan semakin berkembang, mengingat semakin banyak orang yang

tidak perlu lagi terlibat langsung dalam kegiatan subsistensi, sebab pemanfaatan

teknologi bisa mempercepat penyelesaian pekerjaan mereka. Lebih lanjut, kemunculan

sebuah teknologi biasanya akan disusul oleh penemuan teknologi baru yang lebih maju

(shopisticated) pada zamannya, sehingga peluang peningkatan taraf hidup manusia

makin terbuka.

Perkembangan teknologi dalam masyarakat hortikultural dan pastoral secara

tidal langsung telah mendorong munculnya kelompok yang lebih kaya dan berkuasa,

sehingga ketimpangan sosial pun mulai muncul. Dengan begitu, dalam masyarakat itu

akan muncul pihak yang mendominasi pihak lainnnya. Kelompok dominan biasanya

berupaya untuk memanfaatkan sumber daya politik yang ada mempertahankan dan

menambah kuat posisinya. Hanya saja harus diakui, bahwa jangkauan kekuasaan

kelompok dominan dalam masyarakat hortikultural dan pastoral masih sangat terbatas

sifatnya, terutama karena populasi penduduk dan disparitas pekerjaan ketika itu masih

belum berkembang secara signifikan.

Dalam perkembangan selanjutnya, sebagian dari kelompok dominan dalam

masyarakat hortikultural dan pastoral kian berhasil mengungguli yang lainnya, hal itu

ditandai dengan munculnya masyarakat agraris (pertanian). Ciri pokok dari masyarakat

agraris itu antara lain: (1) sudah memiliki tempat bercocok tanam menetap secara

permanen; (2) kegiatan bercocok tanamnya sudah mulai berskala besar (tetapi bukan

dalam artian berorientasi pasar); (3) sudah menafaatkan teknologi untuk meningkatkan

produksi, seperti tenaga binatang dan juga tenaga manusia (dari kelompok yang

didominasi, inferior). Masyarakat agraris ditenggarai sudah mengenal bajak, sistem

irigasi, dan peralatan yang terbut dari logam untuk pengolahan lahan, serta mulai bisa

melakukan revitalisasi kesuburan tanah garapan. Diduga masyarakat agraris itu sudah

mulai berkembang di sekitar pergantian zaman neolitikum dan zaman logam, dan kian

menemukan kesempurnaan dalam periode-periode selanjutnya (kuno dan modern).

Dengan memanfaatkan teknogi untuk mengolah lahan, masyarakat agraris

berhasil melipat-gandakan produksi pertanian. Peningkatan material surplus itu

ternyata berkorelasi dengan komposisi penduduknya: populasinya semakin meningkat;

diferensiasi dan spesialisasi pekerjaan pun semakin kompleks. Sejalan dengan itu,

71

dalam masyarakat agraris jaringan perdagangan mulai tumbuh dengan pesat, dan uang

mulai digunakan sebagai alat tukar. Fenomena terakhir ini sudah tercatat dengan tegas

dalam sejarah masyarakat petani di sekitar Babilonia, Sumeria, dan Mesir Kuno.

Penemuan uang tersebut ternyata juga ibarat pisau bermata dua: di satu sisi ia

berkontribusi pada peningkatan taraf hidup manusia; tetapi di sisi lain uang juga telah

mengakibatkan terjadinya ketimpangan sosial dalam masyarakat. Kelompok yang

terkategori ekonomi mapan cenderung mendominasi kelompok ekonomi lemah.

Kelompok mapan akan memanfaatkan kekayaan (uang) dan kedudukan mereka guna

meraup keuntungan secara ekonomi. Kelompok dominan itu lazimnya mengerahkan

individu-individu dari kelompok subordinat (petani penggarap dan/ atau budak) untuk

memenuhi kebutuhan subsistensinya. Dalam perkembangannya, ketimpangan sosial

dalam masyarakat agraris itu semakin melebar dan permanen. Bahkan di era modern

ini dalam masyarakat agraris itu akan ditemukan perbedaan yang tajam antara: petani

pemilik modal (farmer); petani pemilik lahan (peasant, peisan); dan petani penggarap

(buruh tani) yang nasibnya selalu diujung tanduk atau termarginalkan.

Masyarakat agraris yang berhasil menjadi farmer hanyalah segelintir saja,

sebagian besar justeru terjerat sebagai peasant (petani pemilik lahan terbatas, dan

mereka juga langsung sebagai pekerja dalam mengolah lahan pertaniannya). Lain

halnya dengan farmer, mereka adalah petani bermodal yang memiliki lahan luas, dan

selalu memanfaatkan kekayaan (modalnya) dan teknologi canggih (shopisticated) dalam

mengolah lahan pertaniannya guna melipatgandakan keuntungan secara ekonomi.

Orientasi produksinya tidak lagi untuk pemenuhan ekonomi subsistensi, melainkan

adalah untuk memenuhi kebutuhan pasar. Dewasa ini farmer itu bisa ditemukan (dalam

ukuran terbatas jumlahnya) di semua bangsa yang bercorak agraris dan juga di negara

industri besar. Salah seorang contoh paling tersohor sebagai farmer di pergantian abad

ke-20 dan 21 ini adalah Jimmy Carter (pendahulu Bill Clinton, kini mantan Presiden

Amerika Serikat).

Uraian di atas mengisyaratkan, masyarakat hortikultural dan masyarakat agraris

(khususnya peasant dan sub-ordinatnya seperti petani penggarap) pada hakikatnya

orientasi ekonomi mereka masih bercorak ekonomi subsistensi. Dengan kata lain,

produksi pertanian yang mereka hasilkan dimaksudkan untuk pemenuhan kebutuhan

secukupnya (sufficiently), dan kalau ada surplus, barulah dilempar ke pasar. Di pihak

lain farmer menggeluti sektor pertanian dengan maksud untuk memenuhi kebutuhan

pasar. Contohny para pemilik perkebunan (besar) seperti perkebunan teh, sawit, tebu,

kopi, kina, jati, dll. Dalam batas tertentu farmer tidak selalu berasal dari petani

(peasant), tetapi justeru dari pengusaha/ industrialis yang menginvestasikan modalnya

di sektor perkebunan guna meraih margin keuntungan yang lebih prospektif.

72

c. Organisasi Sosial Petani

Dengan mencermati dinamika masyarakat hortikultural menuju masyarakat

agraris (peasant, peisan) dalam poin b di atas, dapat disimpulkan bahwa organisasi

sosial petani itu sangat variatif. Keberagaman itu dipengaruhi oleh kondisi lingkungan

tempat tinggal, di samping tingkat perkembangan pemikiran dan peradaban masyarakat

petani setempat. Artinya masyarakat petani di lain tempat atau pun masyarakat petani

tertentu dalam kurun waktu berbeda, cenderung memiliki dan menumbuhkembangkan

organisasi sosial berbeda-beda pula. Hal tersebut merupakan konsekuensi logis dari

pengaruh lingkungan dan jiwa zaman (zetgeist) suatu masyarakat terhadap realitas

sosiokultural yang dikembangkan tiap-tiap masyarakat.

Bertolak dari pokok pikiran di atas, pada kini hanya akan diperbinacngkan

karakteristik pokok dari organisasi sosial petani (dalam artian peasant), dan contoh-

contohnya dicarikan sendiri oleh pembaca dengan jalan mencermati realitas masyarakat

tertentu. Berbeda dengan masyarakat moderen, organisasi sosial masyarakat petani

kebanyakan dibangun di atas kesamaan kepentingan antar warganya. Kebanyakan dari

organisasi itu bertumpu pada ikatan-ikatan kekerabat dan kedekatan sosial antar warga.

Di samping itu, skopnya bisa pada tataran rumah tangga, keluarga (nuclear dan/ atau

exteded family) maupun komunitas. Dalam masyarakat tradisional, organisasi sosial itu

sifatnya non-formal dan informal, bukan bercorak organisasi resmi.

Sekedar untuk inspirasi, organisasi sosial yang masih banyak ditemukan dalam

masyarakat petani tradisional, antara lain: oraganisasi dalam lapangan pertanian dan

pengerjaan lahan dengan nama yang bermacam-macam; organisasi adat dengan

terminologi yang beragam pula; organisasi sosial yang berbasis tempat tinggal (rukun

kampung, rukun warga, dsj); organisasi pemuda/ pemudi. Berikut akan dikemukakan

salah satu contoh dari bermacam-macam organisasi berbasis adat/ budaya: dalam

masyarakat nagari di Minangkabau misalnya, dikenal organisasi Kerapatan Adat

Nagari (KAN). Organisasi ini beranggotakan niniak mamak (pimpinan suku), ditambah

dengan unsur alim ulama dan cediak pandai sebagai eleman pimpinan tradisional pada

tingkat nagari Minangkabau yang dikenal dengan tali tigo sapilin. KAN memiliki

tupoksi untuk menjaga keberlanjutan adat dan budaya di tengah-tengah masyarakat dan

pembangunan nagari sebagai unit sosial terpenting di Minangkabau. Kemudian contoh

lainnya akan diidentifikasi secara detail dalam proses perkuliahan.

d. Masyarakat Peternak: Dialektika Ekonomi Subsistensi dan Ekonomi Pasar

Ketika membahas masyarakat hortikultural, beberapa segi dari masyarakat

pastoral sudah disinggung. Pada kesempatan ini hanya akan diuraikan beberapa hal

penting yang perlu diungkap tentang masyarakat pastoralis. Sebagaimana dikemukakan

73

sebelumnya, masyarakat pestoral bukanlah masyarakat menetap secara permanen,

melainkan mereka meniti kehidupan secara nomaden. Hanya saja berbeda dengan

profil nomad pada era foodgathering, mereka sudah memiliki kesadaran wilayah yang

tegas. Lalu pengembaraan yang mereka lakukan adalah dari suatu lokasi ke lokasi lain

di dalam wilayah yang sama. Siklus perpindah itu berlangsung dalam dua atau tiga

generasi, tergantung potensi dan tingkat keamanan warga dalam mengembalakan

binatang ternak di kawasan padang rumput yang diklaim sebagai daerah mereka.

Selain itu, sedikit berbeda dengan masyarakat hortikultural, masyarakat pastoral

menerapkan teknologi domestikasi hewan guna meningkatkan produksi binatang

peliharaannya. Mereka memelihara binatang ternak bukan semata-mata untuk

memenuhi kebutuhan subsistensinya, melainkan juga diedarkan (dipertukarkan) dengan

bahan makanan yang mereka butuhkan, khususnya untuk jenis tumbuhan yang tidak

bisa mereka hasilkan sendiri. Oleh karena itu, mekanisme pertukaran (sosial dan barter)

yang lazim dilakukan masyarakat pastoral dalam rangka memenuhi kebutuhan

sufficiently mereka, merupakan akar dari keterlibatan mereka dalam perdagangan yang

menggunakan uang sebagai alat tukar dalam periode berikutnya.

Dengan dikenalnya uang sebagai alat tukar, maka teterlibatan masyarakat

pastoral dalam perdagangan menunjukkan peningkatan di beberapa kawasan. Surplus

yang mereka dapatkan dalam berdagang tersebut, ternyata juga berkontribusi pada

peningkatan populasi penduduk setempat. Sejalan dengan itu diferensiasi penduduknya

juga semakin meningkat: individu/kelompok pengembala yang lebih eksis cenderung

mendominasi kelompok pengembala yang lebih kecil. Kemudian kelompok yang lebih

dominan, berhasil mengusai kelompok pengemla yang tersubordinasi, sekaligus mereka

juga menjadi ujung tombak dalam membuka jaringan dengan masyarakat hortikultural

di sekitarnya. Dalam periode kemudian, ditengarai kelompok dominan itu pulah yang

berhasil membangun jaringan perdagangan dengan masyarakat agraris dan kota di

zaman kuno, dan surplus perdagangan yang mereka raih pada gilirannya mendorong

munculnya diferensiasi pekerjaan yang lebih kompleks. Sejalan dengan itu, sebagian

kecil di antara mereka berpindah melakoni pekerjaan sebagai pedagang binatang ternak,

serta pemasok barang-barang dari daerah pedesaan dan perkotaan di sekitarnya.

Dalam perkembangannya kemudian, terutama sejak zaman kuno sebagian kecil

dari masyarakat pastoral itu pun mengembangkan peternakan secara menetap dengan

populasi binatang peliharaan lebih banyak. Hal inilah yang menjadi embrio kelahiran

peternakan moderen, baik di beberapa tempat di Afrika, Asia, dan Amerika Latin. Lalu

mereka itu menjadi penyuplai berbagai kebutuhan protein hewani bagi masyarakat desa

(village) dan kota lain, bukan hanya pada taran lokal, melainkan juga pada tingkat

regional maupun global.

74

e. World Views Masyarakat Petani dan Pastoral

Yang dimaksud dengan world views di sini adalah pandangan dunia

masyarakat petani (peasant) dan pastoral). Maksudnya, bagaimana masyarakat petani

dan/ atau pastoral itu memandang dunia mereka. Jadi world viws petani, bukan berarti

bagaimana dunia memahami petani (mohon hal ini dicamkan, sebab banyak sekali

mahasiswa memahami konsep ini sebagai pandanga publik terhadap petani).

Para ahli sebenarnya memang memiliki pemahaman berbeda terhadap petani,

bahkan kadang-kadang terlihat kontradiktif. Sebagai contoh dua ilmua terkemuka

(Popkin dan Scott) yang meneliti beberapa kelompok/ masyarakat petani di kawasan

Asia Tenggara, ternyata keduanya menghasilkan temuan yang sangat berbeda. Popkin

dalam penelitiannya yang kemudian dipublikasikan dalam sebuah buku terkenal Petani

Rasional, mengungkapkan: petani adalah orang-orang yang rasional, penuh

perhitungan dan kehati-hatian dalam menentukan pilihan, serta visioner dalam bersikap.

Sebaliknya Scott dalam penelitiannya yang kemudian diterbitkan dalam sebuah buku

dengan judul Moral Ekonomi Petani, menyatakan petani itu sebagai kelompok yang

tidak berdaya, tunduk pada alam, tidak independen, lemah pendiriannya, serta

termarginalkan dalam hidup dan kehidupann ini. Bahkan dia mengibaratkan petani itu

bagaikan orang yang terapung-apung di tengah lautan, sedikit saja ombak menerpa,

maka ia akan tenggelam. Kedua temuan ilmuan yang reputasinya tidak perlu

diragukan lagi itu, tentu berangkat dari realitas kehidupan petani di masing-masing

tempat. akhirnya Popkin melihat petani dengan penuh optimis, sebaliknya Scott

melihatnya dengan pesimis.

Problem serupa juga akan ditemukan ketika kita merumuskan pandangan

dunia dari petani, terasa amat sulit untuk membuat batasan yang bisa diterima semua

pihak. Alasannya terdapat keberagaman pandangan petani terhadap dunianya,

perbedaan itu juga dipengaruhi oleh konteks ruang dan waktu. Artinya pandangan

dunia petani di suatu daerah/ kawasan akan berbeda dengan petani di belahan bumi

lainnya. Bukan hanya itu, masyarakat petani di sebuah daerah dalam kurun waktu yang

berbeda, hampir dapat dipastikan pandangan dunia mereka tidak akan persis sama.

Hanya saja dalam keberagaman itu, meskipun terasa rumit, tetapi pasti bisa ditemukan

kecenderungan yang bisa dijadikan dasar berpijak untuk merumuskan world views

petani dimaksud.

Berangkat dari kerumitan itu, berikut ini akan dicoba merumuskan pandangan

dunia petani dengan mengacu pada kerangka Kluckhohn tentang lima masalah dasar

dalam hidup yang benentukan orientasi nilai budaya sekelompok orang. Kelima

masalah dasar itu berkaitan dengan hakikat hidup; kakikat karya; hakikat waktu;

hakikat hubungan manusia dengan alam; serta hakikat hubungan manusia dengan

75

sesamanya. Berangkat dari kerangka tersebut di bawah ini dicoba merumuskan

kecenderungan pandangan petani (peisan, petani tradisional) terhadap dunianya,

sebagai berikut. Pertama, petani cenderung melihat hidup itu sebagai sesuatu yang

baik. Mengingat hidup itu hanya sebentar, maka ia harus dinikmati dan tidak harus

bersusah payah dalam menjalankan hidup dan kehidupan ini. Kedua, umunya petani

bekerja (berkarya) untuk mencari nafkah hidup, dan jika kebutuhan hidup (subsistensi,

sufficiently) mereka sudah terpenuhi, maka mereka tidak perlu bekerja keras lagi untuk

mendapatkan taraf hidup yang lebih tinggi. Ketiga, kebanyakan petani berorientasi ke

masa kini dan masa lampau. Mereka kurang/ kurang berorintasi ke masa depan yang

belum jelas ujungnya. Dalam ungkapan Melayu hal itu tergambar dengan jelas:

maambiak contoh ka nan sudah, maambiak tuah ka nan manang (mengambil contoh ke

yang sudah terjadi, dan mengambil pembelajaran dari yang menang); di mano tumbuah,

di situ disiang (ketika terjadi suatu kasus, barulah dicarikan solusinya) Keempat,

umumnya petani tunduk pada alam: mereka cenderung pasrah dalam menghadapi

kedahsyatan alam; tidak kreatif mengolah alam. Contohnya, tidak sedikit dari petani

yang mewarisi sawah tadah hujan dari nenek moyangnya, kemudia setelah puluhan

generasi tetap tidak ada ikhtiar untuk membangun irigasi meskipun peluang ke arah itu

terbuka lebar. Kelima, dalam kaitan dengan hubungan antar sesama, petani cenderung

berorientasi kolateral dan mengindikasdikan ketergantungan terhadap sesama. Rasa

kebersamaan yang berlebihan mengakibatkan motivasi dan kreativitas individu untuk

menunjukkan potensi dirinya rendah. Akibatnya skala prioritas untuk kepentingan

individu hanyut di bawah arus kepentingan bersama (kelompok).

Pandangan dunia petani seperti dikemukakan di atas tentu masih terbuka untuk

diperdebatkan, sebab tidak semua petani tradisional memiliki pandangan demikian.

Oleh sebab itu, dalam paparan di atas selalu ditekankan kata-kata kecenderungan/

umumnya petani (dalam artian ada juga yang tidak seperti itu). Di pihak lain

pandangan dunia masyarakat pastoralis untuk poin 1, 2, dan 3 relatif sama,

perbedaannya terdapat pada poin 4 dan 5. Berkaitan dengan poin keempat, masyarakat

pastoral lebih menekankan pada usaha menjaga keselarasan dengan alam. Hal itu

terjadi karena padang rumput tempat mereka mengembalakan ternak relatif terbatas,

yakni terletak di sela-sela hutan sabana yang mengitarinya. Kemudian poin kelima,

masyarakat pastoral dengan tantangan alam yang lebih keras, orientasi vertikal dan

ketergantungan kepada atasan (kepala-kepala suku) lebih menonjol, sembari tidak

mengabaikan hubungan kolateral (terutama dalam hubungan internal masing-masing

kelompok). Bertolak belakang dengan pandangan dunia petani (peisan) di atas,

pandangan dunia farmer hampir dapat dikatakan bertolak belakang sama sekali.

76

Bahkan pandangan dunia farmer relatif dekat dengan world views masyarakat perkotaan

dan industri.

2. Rangkuman

Masyarakat agraris yang dibangun di atas masyarakat hortikultural, pada

prinsipnya mencakup dua profil masyarakat yang bisa disederhanakan ke dalam dua

konsep penting, yaitu: peasant (peisan, petani kecil) dan pastoral (peternak) yang

embrionya juga berakar pada masyarakat hortikultural. Peasant dan pastoral dalam

konteks masyarakat agraris ini memiliki ciri utama: (1) memiliki tempat yang tetap

untuk membudidayakan bidang pekerjaannya, seperti lahan pertanian yang tetap untuk

bercocok tanam (ladang dan/ atau sawah) maupun areal padang rumput untuk

peternakan; (2) memanfaatkan teknologi untuk mengolah lahan, seperti bajak dan

peralatan lainnya; (3) mulai tumbuhnya keterampilan disertifikasi lahan; (4) surplus

produksi dan kelebihan dari kebutuhan subsistensi, sudah mulai dilempar ke pasar; dan

(5) muncul diferensiasi pekerjaan di luar sektor pertanian dan peternakan, seperti

kerajinan, pertukangan, perdagangan, dan sebagainya. Semakin lama diferensiasi dan

variasi pekerjaan itu semakin komplek dan berkembang terus.

Sejalan dengan perkembangan di atas, dengan memanfaatkan uang dan status,

serta otoritas yang dimilikinya, sebagian dari masyarakat agraris (peasant dan juga

pastoral) berhasil melalui lompatan lebih jauh dalam bidang ekonomi. Sebagian kecil

dari kalangan peasant itu tumbuh menjadi farmer (petani pemilik modal). Dalam

usahanya meningkatkan material surplus bidang pertanian, yang bersangkutan

memanfaatkan modal, buruh, dan teknologi maju secara lebih efektif dan efisien. Di

pihak lain, sebagian kecil dari masyarakat pastoral juga telah berhasilannya dalam

mengembangkan peternakan yang lebih besar dan maju dengan orientasi produksi untuk

kebutuhan pasar.

Mengingat hanya sebagian kecil saja dari peasant dan pastoral itu yang berhasil

meningkatkan taraf hidup dan usaha mereka, sementara yang lainnya tetap terperangkap

dalam pola kehidupan petani dan peternak tradisional, maka menarik untuk memahami

world views keduanya. Pandangan dunia masyarakat petani dan pastoral pada prinsip-

nya: mereka lebih berorientasi ke dalam (inward looking), memiliki keterikatan yang

kuat pada tradisi lama, dan relatif lemah dalam mengatasi tantangan alam, serta kurang

kompetitif melakukan perersaingan dengan pihak lain dalam rangka meraih kualitas

kehidupan yang lebih baik dan lebih maju. Pandangan ini jelas sangat berbeda dengan

pandangan dunia masyarakat perkotaan dan masyarakat industri yang lebih berorientasi

77

keluar, mengandalkan sain dan teknologi, serta kompentitif dalam persaingan untuk

meraih kemajuan.

D. Evaluasi

Alat evaluasi (instrumen penilaian) dipaparkan dalam Satuan Acara Perkuliahan

di bawah sub-judul D (Rubrik Penilaian). Di samping item tes substansi (materi), di

dalam SAP juga terdapat format Penilaian Partisipasi dan format Penilaian Sikap.

E. Bacaan Pendalaman

Daeng, Hans J. 2005. Manusia, Kebudayaan dan Lingkungan: Tinjauan Antropologis.

Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Koentjaraningrat. 1986. Beberapa Pokok Antropologi Sosial. Jakarta: Dian Rakyat

----------. ed. 1984. Masyarakat Desa di Indonesia. Jakarta: Lembaga Penerbit FE-UI

Keesing, Roger M. 1989. Antropologi Budaya Jilid 1 (Terj.). Jakarta: Erlangga

Havilland, William A . 1988. Antropologi, Jilid 2 (Terj.). Jakarta: Erlangga

Fathoni, Abdurrahman.2006. Antropologi Sosial Budaya: Suatu Pengantar. Jakarta:

Rineka Cipta

Marzali, Amri. 2003. Strategi Peisan Cikalong dalam Menghadapi Kemiskinan.

Jakarta: Yayasan Obor Indonesia

.

* * *

78

DINAMIKA MASYARAKAT:

DARI MASYARAKAT AGRARIS DAN NON-AGRARIS

MENUJU MASYARAKAT PERKOTAAN

A. Learning Outcome:

Setelah mengikuti perkuliahan ini mahasiswa diharapkan memiliki kemampuan untuk

menjelaskan dinamika masyarakat agraris dan non-agraris menjadi masyarakat

perkotaan.

B. Materi Pokok

(1) Evolusi Pertumbuhan Kota

(2) Dari Masyarakat Petani dan Pastoral Menuju Masyarakat Kota

(3) Kompleksitas Kehidupan Kota: Kota sebagai Pusat Pemerintahan, Industri, dan

Jasa

C. Substansi Pembelajaran

1. Uraian Materi

a. Evolusi Pertumbuhan Kota

Kota merupakan areal pemukiman yang realatif luas dengan tingkat kepadatan

penduduk yang tinggi, dan bersifat heterogen, baik dari segi latar belakang etnik, sosial,

budaya, pekerjaan, maupun ekonomi. Dilihat dari perspektif historis, kehadiran sebuah

kota dalam sejarah peradaban manusia pada hakikatnya sudah mengalami proses

evolusi yang panjang. Secara alamiah, akar perkembangan kebanyakan kota-kota yang

menjadi pusat peradaban kuno berasal dari band yang berkembang menjadi desa

(village) zaman neolitikum. Mesopotamia, Iskandariah, Mohenyodaro-Harappa, Sian,

Mesoamerika, merupakan beberapa contoh kota besar yang dibangun antara abad ke-6

sampai dengan abad ke-3 Sebelum Masehi (perkembangan kota secara alamiah tersebut

akan dibahas lebih lanjut dalam poin b di bawah ini). Di pihak lain, sebuah kota

(apalagi di era modern ini) bisa saja lahir tanpa melalui proses evolusi yang panjang,

melainkan dibangun dan direkayasa dari sebidang tanah untuk menjadi sebuah kota.

Kegiatan Belajar 7

4

79

Menurut Kingsley Davis, tahap perkembangan kota adalah sebagai berikut: co-

polis; polis; metropolis; megapolis; oligopolis; dan, nakropolis. Di bawah ini akan

dipaparkan karakteristik dari setiap pertumbuhan kota tersebut secara simultan.

Pertama, co-polis (embrio kota). Konsep ini dapat diartikan sebagai kawasan pedesaan

di mana mata pencaharian penduduknya tidak lagi bertumpu pada sektor agraris belaka,

melainkan sektor non-agraris sudah mulai menunjukkan perkembangan di sana.

Artinya mata pencaharian pokok sebagian penduduknya sudah beralih dari sektor

pertanian ke sektor jasa (perdagangan, industri, jasa dan/ atau pegawai).

Kedua, polis (kota). Areal pemukiman yang sudah mengalami perkembangan

lebih pes