68
1 BAB I PENDAHULUAN I.1. PENDAHULUAN I.1.1. Latar Belakang Para wirausaha selalu menjadi ujung tombak bagi kemajuan ekonomi sebuah negara. Di negara-negara yang relatif maju perekonomiannya selalu bertebaran para wirausaha yang tangguh. Mereka inilah sebenarnya pencetak keajaiban ekonomi. Para wirausaha ini selain mempunyai ide inovatif juga mempunyai kemampuan merealisasikan gagasan – gagasan yang ada di benak mereka. Langkah yang mereka tempuh untuk mewujudkan ide, tentunya adalah membuat sebuah badan usaha. Agar dapat merealisasikan ide sesuai keinginannya, maka perusahaan harus berada dalam kendalinya. Dan ketika idenya terealisasi, yang muncul adalah perusahaan keluarga. 1 Perusahaan keluarga memang merupakan fenomena tersendiri dalam kancah bisnis, baik di level global maupun lokal. 2 Selain jumlahnya yang sangat banyak, perusahaan keluarga juga mempunyai andil yang cukup signifikan bagi pendapatan negara. 3 Lebih dari 90 persen dari seluruh perusahaan di Amerika Serikat merupakan perusahaan keluarga, dan 1 A. B. Susanto, World Class Family Business: Membangun Perusahaan Keluarga Berkelas Dunia (Jakarta: Penerbit Quantum Bisnis & Manajemen, 2005), hal. 1. 2 Satrio Wahono dan Dofa Purnomo, Animal-Based Management: Rahasia Merek-Merek Raksasa Berjaya (Jakarta: Penerbit Gramedia Pustaka Utama, 2010), hal. 104. 3 Ibid. Universitas Indonesia

Peran Perusahaan Keluarga dalam Perekonomian

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Peran Perusahaan Keluarga dalam Perekonomian Indonesia

Citation preview

1

BAB I

PENDAHULUAN

I.1. PENDAHULUAN

I.1.1. Latar Belakang

Para wirausaha selalu menjadi ujung tombak bagi kemajuan ekonomi sebuah

negara. Di negara-negara yang relatif maju perekonomiannya selalu bertebaran para

wirausaha yang tangguh. Mereka inilah sebenarnya pencetak keajaiban ekonomi. Para

wirausaha ini selain mempunyai ide inovatif juga mempunyai kemampuan

merealisasikan gagasan –gagasan yang ada di benak mereka. Langkah yang mereka

tempuh untuk mewujudkan ide, tentunya adalah membuat sebuah badan usaha. Agar

dapat merealisasikan ide sesuai keinginannya, maka perusahaan harus berada dalam

kendalinya. Dan ketika idenya terealisasi, yang muncul adalah perusahaan keluarga.1

Perusahaan keluarga memang merupakan fenomena tersendiri dalam kancah bisnis, baik

di level global maupun lokal.2 Selain jumlahnya yang sangat banyak, perusahaan

keluarga juga mempunyai andil yang cukup signifikan bagi pendapatan negara.3

Lebih dari 90 persen dari seluruh perusahaan di Amerika Serikat merupakan

perusahaan keluarga, dan kontribusinya terhadap perekonomian AS sangat signifikan.

Mereka menyumbang 64 persen dari produk domestik bruto (PDB) Amerika Serikat dan

mempekerjakan 62 persen dari total angkatan kerja di sektro swasta. Namun demikian,

tidak semua perusahaan milik keluarga merupakan usaha kecil; sepertiga dari

perusahaan yang tercantum dalam Fortune 500 adalah usaha keluarga. Perusahaan

keluarga juga menciptakan 80 persen dari pekerjaan baru dalam perekonomian AS

selama dua dasawarsa terakhir.4 Jadi, banyak perusahaan yang barangkali jarang kita

dengar tetapi punya pendapatan begitu tinggi. Ternyata perusahaan keluarga menjadi

tulang punggung bisnis di AS.5

1 A. B. Susanto, World Class Family Business: Membangun Perusahaan Keluarga Berkelas Dunia (Jakarta: Penerbit Quantum Bisnis & Manajemen, 2005), hal. 1.

2 Satrio Wahono dan Dofa Purnomo, Animal-Based Management: Rahasia Merek-Merek Raksasa Berjaya (Jakarta: Penerbit Gramedia Pustaka Utama, 2010), hal. 104.

3 Ibid.

4 Thomas W. Zimmerer, Norman M. Scarborough dan Doug Wilson, Kewirausahaan dan Manajemen Usaha Kecil, Ed. 5 [Essentials of Entrepreneurship and Small Business Management, 5th ed.], diterjemahkan oleh Deny Arnos Kwary, (Jakarta: Penerbit Salemba Empat, 2009), hal. 449.

5 Susanto, Op. Cit., hal. 2.

Universitas Indonesia

2

Di Jepang, kita mengenal keiretsu6 seperti Mitsubishi, Mitsui, dan Sumitomo.

Awalnya perusahaan-perusahaan ini mengelola usaha kecil-kecilan. Cikal-bakal

Mitsubishi, misalnya, adalah perusahaan perkapalan yang didirikan oleh Iwasaki Yataro

pada 1870.7

Hal yang sama dialami Australia. Ekonomi negara itu banyak tergantung pada

perusahaan keluarga. Meskipun tingkat kekayaan perusahaan keluarga cenderung

menurun dari satu generasi ke generasi berikutnya, namun tetap saja perusahaan

keluarga merupakan sumber utama ekonomi Australia.8

Hasil riset Credit Suisse Emerging Markets Research Institute atas 3.568 bisnis

keluarga di 10 negara di Asia, memperlihatkan bisnis keluarga menguasai 50 persen

dari semua perusahaan yang terdaftar. Bisnis keluarga ini menguasai 32 persen dari total

sumber dana di pasar modal. Hasil riset yang diumumkan Senin (31/10/2011),

menyebutkan bahwa bisnis keluarga merupakan sumber penting bagi penciptaan

kekayaan pribadi di Asia. Kondisi ini menekankan bahkan bisnis keluarga menjadi pilar

penting bagi perekonomian regional.9

Di Indonesia, tidak sedikit pengusaha – terlebih Tionghoa – yang membangun

bisnis atas dasar keluarga. Contoh paling klasik di Indonesia adalah Oei Tiong Ham,

raja gula dari Semarang pada awal abad ke-20. Ayahnya, Oei Tjie Sien, menjadi perintis

bisnis tersebut. Oei Tiong Ham lalu mengembangkannya sampai ke tingkat dunia.

Yoshihara Kunio, seorang sosiolog berkebangsaan Jepang menulis sebuah buku tentang

kapitalisme di Asia Tenggara (termasuk Indonesia). Di situ dia menggambarkan begitu

banyak orang Tionghoa yang sukses mendirikan bisnis besar berbasis keluarga. Selain

Oei Tiong Ham, di Indonesia terdapat nama-nama besar seperti Liem Sioe Liong (Bank

BCA, Indofood), Liem Soei Ling (pabrik rokok “Dji Sam Soe”), Liem Hway Ho (Teh

Botol Sosro), Tjie Siem Hoan (Ciputra dengan PT Pembangunan Jaya), Lee Wen Chen

(Mochtar Riady dengan Lippo), dan masih banyak lagi.10 Di kalangan orang Indonesia

pribumi, tercatat nama seperti Ahmad Bakrie (hasil pertanian, pertambangan), Thayeb

6 Keiretsu adalah gabungan perusahaan yang dimiliki oleh keluarga yang sama.

7 Wahono, Loc. Cit.

8 Susanto, Loc. Cit.

9 Pieter P. Gero, “Bisnis Keluarga Pilar Penting bagi Perekonomian Indonesia,” http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2011/10/31/19102849/Bisnis.Keluarga.Pilar.Penting.bagi.Perekonomian.Asia, diunduh 22 Oktober 2012.

10 I. Wibowo, Clara Wresti dan Alexander Wibisono, Mata Hati Sang “Pioneer” Indonesia: Biografi Pandji Wisaksana, cet. 1 (Jakarta: Penerbit Gramedia Pustaka Utama, 2006), hal. 38.

Universitas Indonesia

3

Gobel (elektronik), Abdul Latief (Toserba Sarinah Jaya), Eddy Kowara (perusahaan

konstruksi),11 Dasuki Angkosubroto (Dexa Medica), Ny. Mutiara Djokosoetono (Blue

Bird Group), Achmad Hadiat Kismet Hamami (Grup Trakindo), Ferdinand Katuari

(Grup Wings), dan lain sebagainya.12

Sayangnya, 70 persen dari bisnis generasi pertama tidak dapat bertahan

melewati generasi kedua; dari yang bisa bertahan, hanya 12 persen yang berhasil

melewati generasi ketiga, dan hanya 3 persen yang akhirnya berhasil melewati generasi

keempat dan seterusnya.13 Gejolak masalah atau konflik ternyata juga banyak

bermunculan di perusahaan keluarga. Hubungan keluarga yang semula harmonis pada

awal-awal perusahaan tumbuh, bisa berubah menjadi disharmonis ketika perusahaan

telah berkembang. Dan, kasus ini berlaku di semua skala usaha, baik itu Usaha Mikro,

Kecil, dan Menengah (selanjutnya disebut :UKM”) maupun Usaha Besar (selanjutnya

disebut “UB”). Mungkin kita masih ingat satu kasus perseteruan antara seorang mertua

dengan sang menantu di PT Asaba, yang berakhir pada kematian sang mertua karena

dibunuh oleh pembunuh bayaran sang menantu.14

Berdasarkan pada penelitian pendahuluan yang telah penulis lakukan

sebelumnya, penulis menemukan terdapat banyak perusahaan keluarga di Indonesia

yang berbentuk persekutuan firma atau persekutuan komanditer yang memiliki potensi

yang teramat besar untuk dapat berkembang. Walaupun perusahaan-perusahaan

keluarga tersebut tidak seterkenal perusahaan-perusahaan keluarga yang telah penulis

ungkapkan satu-persatu di awal tulisan ini, penulis tetap meyakini bahwa perusahaan-

perusahaan keluarga tersebut mampu berbuat sesuatu meskipun tidak berbentuk badan

hukum seperti Perseroan Terbatas (PT). Keyakinan penulis tersebut memuncak ketika

penulis kemudian menyadari bahwa perusahaan keluarga tersebu tergolong Usaha

Mikro, Kecil, dan Menengah. Bahkan penulis hingga yakin bahwa perusahaan keluarga

tersebut mampu memainkan peran tersendiri dalam rangka memperkuat perekonomian

nasional. Karenanya, penulis kemudian memutuskan untuk menulis makalah yang

penulis beri judul: “Peran Perusahaan Keluarga Berbentuk Persekutuan Firma

11 Yoshihara Kunio, Kapitalisme Semu Asia Tenggara (Jakarta: LP3ES, 1990), hal. 37.

12 Wahono, Loc. Cit.

13 Thomas W. Zimmerer, Norman M. Scarborough, dan Doug Wilson, Kewirausahaan dan Manajemen Usaha Kecil, Ed. 5 [Essentials of Entrepreneurship and Small Business Management, 5th ed.], diterjemahkan oleh Deny Arnos Kwary, (Jakarta: Penerbit Salemba Empat, 2009), hal. 449.

14 Mohammad Iqbal, Solusi Jitu Bagi Pengusaha Kecil dan Menengah: Pedoman Menjalankan Usaha, cet. kedua (Jakarta: Elex Media Komputindo, 2004), hal. 58.

Universitas Indonesia

4

atau Persekutuan Komanditer (CV) sebagai Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah

(UKM) dalam Memperkuat Ekonomi Nasional”.

Bukan saja di Indonesia, tetapi kenyataan menunjukkan bahwa posisi usaha

kecil dan menengah mempunyai peranan strategis di negara-negara lain juga.15 Di

banyak negara di dunia pembangunan dan pertumbuhan Usaha Mikro, Kecil, dan

Menengah (selanjutnya disebut “UKM”) merupakan salah satu motor penggerak yang

krusial bagi pertumbuhan ekonomi. Salah satu karakteristik dari dinamika dan kinerja

ekonomi yang baik dengan laju pertumbuhan yang tinggi di negara-negara Asia Timur

dan Tenggara yang dikenal dengan Newly Industrializing Countries (NICs) seperti

Korea Selatan, Singapura, dan Taiwan adalah kinerja UKM mereka yang sangat efisien,

produktif dan memiliki tingkat daya saing yang tinggi. UKM di negara-negara tersebut

sangat responsif terhadap kebijakan-kebijakan pemerintahnya dalam pembangunan

sektor swasta dan peningkatan pertumbuhan ekonomi yang berorientasi ekspor. Di

negara-negara sedang berkembang 32% dari nilai total ekspor, dan 40% dari nilai output

dari sektor industri manufaktur dari negara tersebut. Di beberapa negara di kawasan

Afrika, perkembangan dan pertumbuhan UKM, termasuk usaha mikro, sekarang diakui

sangat penting untuk menaikkan output agregat dan kesempatan kerja.16

Sudah sejak dahulu UKM mengambil peranan aktif dan cukup penting dalam

perekonomian Indonesia.17 Indikasi yang menunjukkan peranan usaha kecil dan

menengah itu dapat dilihat dari kontribusinya terhadap Produk Domestik Bruto

(selanjutnya disebut “PDB”), ekspor non migas, penyerapan tenaga kerja, dan

peningkatan kualitas sumber daya manusia yang cukup berarti.18 Data terakhir dari

Menteri Negara Koperasi dan Pengusaha Kecil dan Menengah (selanjutnya disebut

“Menekop & PKM”) menunjukkan bahwa pada tahun 2000, ada sekitar 38,99 juta

Usaha Kecil (selanjutnya disebut “UK”) dengan rata-rata penjualan per tahun kurang

dari Rp1 miliar, atau sekitar 99,85% dari jumlah perusahaan di Indonesia. Pada tahun

yang sama, ada 55.061 perusahaan dari kategori Usaha Menengah (selanjutnya disebut

15 Pandji Anoraga dan H. Djoko Sudantoko, Koperasi, Kewirausahaan, dan Usaha Kecil, cet. 1 (Jakarta: Rineka Cipta, 2002), hal. 244.

16 Tulus Tambunan, Development of Small-Scale Industries During the New Order Government in Indonesia (Ashgate, 2000), hal. 37.

17 Sritua Arief, Pengusaha Kecil dan Menengah di Asia Tenggara, cet. 1 (Jakarta: LP3ES, 1991), hal. 5.

18 M. Irfan, Usaha Kecil dan Menengah: Bahan Penataran Pengusaha Kecil (2000).

Universitas Indonesia

5

“UM”), dengan rata-rata penghasilan per tahun lebih dari Rp1 miliar tetapi kurang dari

Rp50 miliar, atau sekitar 0,14% dari jumlah unit usaha.19

UKM di Indonesia sangat penting terutama dalam hal kesempatan kerja.

Argumentasi ini didasarkan pada fakta empiris yang menunjukkan bahwa kelompok

usaha ini mengerjakan lebih banyak orang dibandingkan Usaha Besar (selanjutnya

disebut “UB”). Mereka diharapkan bisa tetap menciptakan banyak kesempatan kerja

baru lewat pendirian usaha-usaha baru dan lewat perluasan akses ke pasar-pasar baru

termasuk ekspor. Tahun 2000, lebih dari 66 juta orang bekerja di UK, atau sekitar

99,44% dari jumlah kesempatan kerja; suatu kenaikan sebesar 12,04%, atau sekitar 7,2

juta orang dibandingkan tahun 1999. Di Usaha Menengah (selanjutnya disebut “UM”),

tahun 1999 ada sekitar 7,1 juta orang bekerja di kelompok usaha ini, dan naik 6,49%,

atau hampir 460 ribu orang menjadi 7,5 juta orang tahun 2000.20

Dalam bentuk sumbangan PDB (atas harga berlaku), UK menyumbang sekitar

40% terhadap pembentukan PDB nasional tahun 2000. Kontribusi terbesar berasal dari

sektor pertanian, bukan dari sektor industri manufaktur. Struktur kontribusi PDB ini

menunjukkan bahwa UK di Indonesia masih lebih kuat di produksi pertanian, bukan di

produksi industri seperti di Jepang, Korea Selatan, dan Taiwan. Sementara itu, total

output dalam nilai nominal dari UM tahun 2000 sekitar 16,3% dari PDB Indonesia.21

Data nasional dari Menekop & PKM menunjukkan bahwa kinerja ekspor UK

berbeda dengan kinerja ekspor UM. Tahun 2000, nilai ekspor UK Rp12.894.283,00 juta

(2,94%); suatu kenaikan sebesar 10,51% jika dibandingkan dengan tahun 1999.

Kenaikan tersebut berasal dari ekspor di sektor industri manufaktur dan sektor

pertambangan. Dibandingkan UK, nilai ekspor UM tahun 2000 tercatat sebesar

Rp51.025.506,00 juta (11,76%), suatu pertumbuhan sebesar 29,76% dari ekspornya

tahun 1999, yang berasal dari sektor industri manufaktur dan sektor pertanian.22

Akan tetapi, seperti halnya di negara-negara lain, perkembangan UKM di

Indonesia dihambat oleh berbagai macam masalah. Masalah-masalah tersebut bisa

berbeda dari satu daerah ke daerah lain, dari satu sentra ke sentra lain, antara sektor atau

subsektor, atau antar unit usaha dalam kegiatan yang sama. Namun demikian, ada

19 Tulus Tambunan, “Peranan UKM bagi Perekonomian Indonesia dan Prospeknya,” Manajemen Usahawan Indonesia, No. 07/Th. XXXI (Juli 2002), hal. 3-4.

20 Ibid., hal. 4.

21 Ibid..

22 Ibid., hal. 8.

Universitas Indonesia

6

beberapa masalah yang umum dihadapi oleh UKM seperti misalnya keterbatasan modal

kerja maupun modal investasi, kesulitan mendapatkan bahan baku dengan kualitas baik

dan harga yang terjangkau, keterbatasan teknologi dan sumberdaya manusia (SDM),

termasuk manajemen, dan masalah pemasaran. Dalam perkataan lain, masalah bisnis

yang dihadapi banyak pengusaha kecil dan menengah bisa bersifat multidimensi.23

Selain itu, secara alami beberapa permasalahan bisa bersifat lebih internal,

sedangkan lainnya lebih bersifat eksternal. Dua masalah eksternal yang oleh banyak

pengusaha kecil dan menengah dianggap paling seriusa adalah keterbatasan akses ke

kredit bank dan distorsi pasar yang disebabkan oleh kebijakan-kebijakan pemerintah

yang tidak kondusif.24

Implementasi penyelenggaraan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah yang telah

memasuki tahun keempat sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 20 Tahun

2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah pada tahun 2008 secara umum masih

belum optimal dirasakan manfaatnya oleh pengusaha atau masyarakat terutama

pengusaha mikro, kecil, dan menengah yang sampai hari ini masih menemui segelintir

masalah aktual atau hambatan dalam memperkuat posisinya dalam sektor usaha.

Berangkat dari pemaparan serangkaian permasalahan di atas, penulis masih serta

tetap meyakini bahwa perusahaan keluarga berbentuk persekutuan firma atau

persekutuan komanditer (CV) sebagai Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UKM)

sejatinya mampu memainkan peran dalam memperkuat ekonomi nasional. Keyakinan

tersebut lah yang kemudian menjadi dasar yang teramat kuat bagi penulis untuk

mengadakan penelitian yuridis-normatif ini.

I.1.2. Pokok Permasalahan

Berdasarkan pada latar belakang penelitian di atas, maka dapat dirumuskan

pokok permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini meliputi:

1. Apa kelebihan atau keuntungan perusahaan keluarga berbentuk persekutuan

firma atau persekutuan komanditer (CV) sebagai Usaha Mikro, Kecil, dan

Menengah (UKM)?

2. Apa masalah aktual atau hambatan yang dihadapi oleh perusahaan dan

pemerintah dalam mengembangkan perusahaan keluarga berbentuk persekutuan

firma atau persekutuan komanditer (CV) sebagai Usaha Mikro, Kecil, dan

Menengah (UKM)?

23 Ibid., hal. 5.

24 Ibid., hal. 5-6.

Universitas Indonesia

7

3. Bagaimana peran perusahaan keluarga berbentuk persekutuan firma atau

persekutuan komanditer (CV) sebagai Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah

(UKM) dalam memperkuat ekonomi nasional?

I.2. TUJUAN PENELITIAN

I.2.1. Tujuan Umum

Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengkaji peran perusahaan keluarga

berbentuk persekutuan firma atau persekutuan komanditer (CV) sebagai Usaha Mikro,

Kecil, dan Menengah (UKM) dalam memperkuat ekonomi nasional.

I.2.2. Tujuan Khusus

Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk:

1. Mengetahui kelebihan atau keuntungan perusahaan keluarga berbentuk

persekutuan firma atau persekutuan komanditer (CV) sebagai Usaha Mikro,

Kecil, dan Menengah (UKM).

2. Mengetahui masalah aktual atau hambatan yang dihadapi oleh perusahaan dan

pemerintah dalam mengembangkan perusahaan keluarga berbentuk persekutuan

firma atau persekutuan komanditer (CV) sebagai Usaha Mikro, Kecil, dan

Menengah (UKM).

3. Mengkaji dan menjelaskan peran perusahaan keluarga berbentuk persekutuan

firma atau persekutuan komanditer (CV) sebagai Usaha Mikro, Kecil, dan

Menengah (UKM) dalam memperkuat ekonomi nasional.

I.3. METODE PENELITIAN

Penelitian yang digunakan di dalam penelitian ini menggunakan penelitian

hukum dengan metode pendekatan yuridis-normatif yang bersifat deskriptif-preskiptif.

Pendekatan normatif yaitu dengan menelaah dan mengkaji ketentuan-ketentuan

perundang-undangan, terutama Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha

Mikro, Kecil, dan Menengah dan peraturan perundang-undangan lainnya di bidang

organisasi perusahaan yang berhubungan dengan penyelenggaraan Usaha Mikro, Kecil,

dan Menengah (UKM). Penelitian deskriptif bertujuan menggambarkan secara tepat

sifat suatu individu, keadaan, gejala atau kelompok tertentu, atau untuk menentukan

frekuensi suatu gejala, sedangkan penelitian preskiptif merupakan penelitian yang

Universitas Indonesia

8

bertujuan memberikan jalan keluar atau saran untuk mengatasi permasalahan terkait

Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UKM).25

Penulis melakukan penelitian kepustakaan sehingga data yang digunakan dalam

penulisan skripsi ini adalah data yang berasal dari bahan hukum primer, bahan hukum

sekunder dan bahan hukum tersier dengan penjelasan sebagai berikut:

1. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat26, yang terdiri

atas: Kitab Undang-Undang Hukum Perdata; Kitab Undang-Undang Hukum

Dagang; dan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro,

Kecil, dan Menengah.

2. Bahan hukum sekunder, yaitu berupa bahan-bahan yang memberikan atau hal-

hal yang berkaitan dengan isi sumber primer serta implementasinya27, yang

terdiri atas: Buku-buku literatur; Buku-buku yang berkaitan dengan hukum

dagang; Buku-buku yang berkaitan dengan penyelenggaraan Usaha Mikro,

Kecil, dan Menengah (UKM); dan Jurnal atau artikel yang berkaitan dengan

permasalahan pada makalah ini.

3. Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun

penjelasan atas bahan hukum primer dan sekunder28, misalnya ensiklopedia atau

kamus.

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan pengumpulan data sekunder. Data

sekunder adalah data yang diperoleh dari kepustakaan.29 Dilihat dari kekuatan

mengikatnya, penulis menggunakan sumber data sekunder atau pustaka hukum dari

sumber primer berupa undang-undang, sumber data sekunder atau pustaka hukum dari

sumber sekunder yakni data yang bersumber dari buku, makalah, artikel ilmiah, laporan

penelitian dan berbagai tulisan yang diperoleh dengan menggunakan media elektronik

dan digital, sementara sumber data tersier atau pustaka hukum dari sumber tersier

25 Sri Mamudji et al., Metode Penelitian dan Penulisan Hukum, cet. 1, (Depok: Badan Penerbit Fakultas Hukum UI, 2005), hal. 4.

26 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat, cet. 3, (Jakarta: Rajawali Press, 1990), hal. 14.

27 Ibid., hal. 15.

28 Ibid., hal. 16.

29 Sri Mamudji et al., Op. Cit., hal. 28.

Universitas Indonesia

9

semisal ensiklopedia atau kamus. Untuk mendapatkan data tersebut penulis

menggunakan dua alat pengumpulan data, yaitu studi dokumen dan wawancara.30

Metode pengolahan data yang digunakan penulis adalah analisis data kualitatif

yang merupakan tata cara penelitian yang menghasilkan data deskriptif analitis, yaitu

apa yang dinyatakan sasaran penelitian yang bersangkutan secara tertulis, lisan dan

sesuai dengan kenyataan.31

30 Ibid., hal. 6.

31 Sri Mamudji et al., Op. Cit., hal.67.

Universitas Indonesia

10

BAB II

LANDASAN TEORI

II.1. PERUSAHAAN KELUARGA

Perusahaan (business) dan keluarga (family) merupakan 2 (dua) kontradiksi yang

karakteristiknya dapat dijabarkan sebagai berikut:

Tabel 2.1 Kontradiksi antara Perusahaan (Business) dan Keluarga (Family)

Perusahaan (Business) Keluarga (Family)

Rasional dan obyektif Emosional

Dasarnya adalah profitabilitas Dasarnya adalah hubungan sosial

Keanggotaannya berdasarkan pemilihan

(voluntary dan discresionary)

Keanggotaannya permanen

Sumber Tabel : Evie Hikmahwati, 200632

Kontradiksi tersebut menunjukkan bahwa nilai-nilai yang dianut dalam keluarga

berbeda dan seringkali merupakan kebalikan dari nilai-nilai dalam sebuah perusahaan.

Dalam perusahaan keluarga, kontradiksi ini diadopsi sehingga perusahaan keluarga

mempunyai kompleksitas yang berbeda dengan tipe perusahaan non-keluarga.

Adopsi tersebut membuat perusahaan keluarga memiliki hubungan yang tidak

terpisahkan antara 3 (tiga) elemen yang saling terkait, yaitu kepemilikan (ownership),

keluarga (family), dan usaha yang dikelolanya (business). Ketiga elemen ini saling

mempengaruhi dan masing-masing mempunyai potensi untuk membawa perusahaan

keluarga menuju kesuksesan atau kemunduran.33

Menurut Craig E. Aronoff dan John L. Ward dalam bukunya yang berjudul

“Family Meetings: How to Build a Stronger Family and a Stronger Business,” suatu

perusahaan dinamakan perusahaan keluarga apabila terdiri dari dua atau lebih anggota

keluarga yang mengawasi keuangan perusahaan. Karena posisi kunci dipegang oleh

anggota keluarga, maka penguasaan posisi ini terkait dengan peran keluarga dalam

perusahaan dan persemaian nilai-nilai keluarga dalam nilai-nilai perusahaan. Dengan

32 Evie Hikmahwati, “Tantangan Suksesi dan Regenerasi Perusahaan Keluarga Al-Fajar,” (Tesis Magister Manajemen Universitas Indonesia, Jakarta, 2006), hal. 4.

33 Renato Tagiuri dan John A. Davis, Bivalent Attributes of the Family Firm (Cambridge: Harvard Business School, 1996).

Universitas Indonesia

11

demikian, tidak heran jika nilai-nilai perusahaan keluarga identik dengan nilai-nilai

keluarga pemiliknya, baik dilihat dari tradisi informal organisasi maupun dari publikasi

formal perusahaan.34

Suatu organisasi dinamakan perusahaan keluarga apabila paling sedikit ada

keterlibatan dua generasi dalam keluarga itu dan mereka mempengaruhi kebijakan

perusahaan. Bisnis keluarga digambarkan sebagai suatu perusahaan di mana keluarga

dipastikan yang memegang sebagian besar saham. Dimana suatu proporsi dari tonggak

manajemen yang senior dipegang oleh anggota dari satu keluarga dan dimana anak-anak

mereka diharapkan untuk mengikuti jejaknya.

II.2. PERSEKUTUAN FIRMA

II.2.1. Pendahuluan

Pada persekutuan dengan firma terdapat beberapa pihak yang bersekutu untuk

menjalankan suatu perusahaan dan sepakat memakai nama dari salah satu sekutu. Laba

pada persekutuan dengan firma dibagi oleh/pada sekutu sesuai isi akta pendirian.

Umumnya laba dibagi atas dasar banyaknya modal yang dimasukkan oleh masing-

masing sekutu. Hal ini lazim disebut berdasar atas keseimbangan pemasukan. Cara lain

dapat dilakukan asal tidak bertentangan dengan undang-undang, misalnya:

1. Pembagian laba tidak boleh dilakukan oleh pihak ketiga.

2. Laba tidak boleh diberikan kepada seorang sekutu (namun kerugian dapat

dibebankan kepada seorang sekutu).

3. Bagian sekutu yang memasukkan berupa tenaga kerja hanya dipersamakan

dengan sekutu yang memasukkan uang atau benda terkecil/paling sedikit.

II.2.2. Pengertian

Persekutuan firma adalah perserikatan yang diadakan untuk menjalankan suatu

perusahaan dengan memakai nama bersama.35 Karena firma merupakan bagian dari

perkumpulan maka memiliki unsur sebagai berikut:

1. Kepentingan bersama;

2. Kehendak bersama;

3. Tujuan bersama; dan

4. Kerja sama.34 Craig E. Aronoff dan John L. Ward, Family Meetings: How to Build a Stronger Family and a

Stronger Business (Marietta: Family Enterprise Publishers, 2002), hal. 29.

35 Indonesia (B), Kitab Undang-Undang Hukum Dagang, Wetboek van Koophandel voor Indonesie, Stbl. No. 23 Tahun 1847, Ps. 16.

Universitas Indonesia

12

Sedangkan unsur yang dimiliki karena firma merupakan bagian dari persekutuan

perdata, yaitu:

1. Perjanjian timbal balik;

2. Inbreng; dan

3. Pembagian keuntungan.

Di samping itu, pada persekutuan dengan firma memiliki corak khusus

dibandingkan persekutuan perdata (sehingga disebut persekutuan perdata khusus).

Kekhususannya terletak pada tiga unsur mutlak sebagai tambahan persekutuan perdata,

yaitu:

1. Menjalankan perusahaan.36

2. Dengan nama bersama atau firma.37

3. Tanggung jawab sekutu bersifat pribadi untuk keseluruhan.38

Firma berarti nama bersama, yakni nama seorang sekutu yang dipergunakan

menjadi nama perusahaan, namun dalam praktiknya bisa salah satu nama seorang

sekutu (misalnya Fa. Soeharto), salah satu nama seorang sekutu dengan tambahan

(misalnya Fa. Soeharto dan rekan), kumpulan nama seluruh atau sebagian sekutu

(misalnya Fa. LEGOWO, yang merupakan singkatan dari Lina, Eni, Gunardi, Otong,

Wawan, dan Oki), nama lain yang bukan nama sekutu dan bukan nama keluarga namun

berkaitan dengan tujuan perusahaan (misalnya Fa. Jeruk Purut).39

II.2.3. Dasar Hukum

Pasal 16-35 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (Wetboek van Koophandel

voor Indonesie) – selanjutnya disebut “KUHD” – dan pasal-pasal lainnya dalam

KUHPerdata yang terkait (karena merupakan bagian dari persekutuan perdata).

II.2.4. Pendirian Persekutuan Firma

Pendirian persekutuan firma sebenarnya tidak terikat dengan bentuk tertentu,

artinya ia dapat didirikan secara lisan maupun tertulis baik dengan akta autentik maupun

dengan akta di bawah tangan, namun di dalam praktiknya masyarakat sering

menggunakan akta autentik (akta notaris) karena erat kaitannya dengan masalah

pembuktian.40 Di dalam Pasal 22 KUHD disebutkan bahwa persekutuan dengan firma

harus didirikan dengan akta autentik, tetapi ketiadaan akta tersebut tidak boleh 36 Indonesia (B), Loc. Cit.

37 Ibid.

38 Ibid., Ps. 18.

39 Handri Raharjo, Hukum Perusahaan (Yogyakarta: Penerbit Pustaka Yustisia, 2009), hal. 44.

Universitas Indonesia

13

dikemukakan sebagai dalih yang dapat merugikan pihak ketiga. Hal ini berarti

keharusan tersebut tidak mutlak. Pasal 23-30 menyebutkan setelah akta pendirian dibuat

maka harus didaftarkan di Kepaniteraan Pengadilan Negeri dimana firma tersebut

berkedudukan dan kemudian diumumkan ikhtisar akta pendirian dalam Berita Negara

Republik Indonesia. Kewajiban untuk mendaftarkan dan mengumumkan tersebut

merupakan keharusan yang bersanksi, karena selama pendaftaran dan pengumuman

tersebut belum dilaksanakan maka pihak ketiga dapat menganggap persekutuan dengan

firma tersebut sebagai persekutuan umum, yakni:41

1. Menjalankan segala macam urusan.

2. Didirikan untuk waktu yang tidak terbatas.

3. Tidak ada seorang sekutu pun yang dikecualikan dari kewenangan bertindak dan

menandatangani surat bagi persekutuan dengan firma tersebut.

Isi ikhtisar resmi dalam akta pendirian firma dapat dilihat dalam Pasal 26 KUHD.

II.2.5. Macam Sekutu

Hanya ada satu macam sekutu, yaitu sekutu kerja atau Firmant. Tugasnya

menjalankan perusahaan, mengadakan hubungan hukum dengan pihak ketiga, sehingga

tanggung jawabnya adalah tanggung jawab pribadi untuk keseluruhan. Bagaimana jika

sekutu biasa lebih dari satu orang? Pasal 17 KUHD menyebutkan, maka harus

ditegaskan dalam anggaran dasar apakah di antara mereka ada yang tidak

diperkenankan bertindak ke luar untuk mengadakan hubungan hukum dengan pihak

ketiga.42 Meskipun sekutu kerja tersebut dikeluarkan wewenangnya (tidak diberi

wewenang) untuk mengadakan hubungan hukum dengan pihak ketiga, namun hal ini

tidak menghilangkan sifat tanggung jawab pribadi untuk keseluruhan.43 Di samping itu,

sekutu kerja berhak memasukkan modal ke dalam persekutuan.

II.2.6. Status Hukum

Pada umumnya persekutuan dengan firma dikatakan sebagai perusahaan yang

tidak berbadan hukum. Persyaratan agar suatu badan dapat dikatakan berstatus badan

hukum harus memiliki unsur/syarat materiil sebagai badan hukum. Dalam praktiknya

firma telah memenuhi syarat/unsur materiil namun syarat/unsur formalnya berupa

40 R. T. Sutantya R. Handhikusuma dan Sumantoro, Pengertian Pokok Hukum Perusahaan, Bentuk-Bentuk Perusahaan yang Berlaku di Indonesia (Jakarta: Rajawali Pers, 1991), hal. 23.

41 Ridwan Khairandy, Pengantar Hukum Dagang (Yogyakarta: FH UII Press, 2006), hal. 25.

42 Indonesia (B), Op. Cit., Ps. 17.

43 Ibid., Ps. 18.

Universitas Indonesia

14

pengesahan atau pengakuan dari negara berupa peraturan perundang-undangan belum

ada sehingga hal inilah yang menyebabkan sampai sekarang persekutuan dengan firma

bukan merupakan persekutuan yang berbadan hukum.44

II.2.7. Tanggung Jawab Sekutu

Ada dua macam tanggung jawab, yaitu:45

1. Tanggung jawab intern, dalam hal ini tanggung jawab sekutu seimbang dengan

inbreng/pemasukannya, khususnya dalam hal pembagian keuntungan.

2. Tanggung jawab ekstern, dalam Pasal 18 KUHD disebutkan tanggungjawab

pribadi untuk keseluruhan, artinya setiap sekutu bertanggung jawab atas semua

perikatan persekutuan, meskipun dibuat sekutu lain, termasuk perikatan-

perikatan yang timbul karena perbuatan melawan hukum dalam hal kerugian.

II.2.8. Pembagian Keuntungan dan Kerugian

Prinsipnya adalah keuntungan harus dibagi namun jika rugi tidak harus dibagi.

Kemungkinan pembagian keuntungan:

1. Tidak diperjanjikan

Apabila di dalam perjanjian persekutuan firma tidak ditentukan bagian masing-

masing sekutu dalam untung dan ruginya persekutuan, maka pembagian

berdasarkan perimbangan pemasukan secara adil dan seimbang,46 dimana bagian

sekutu yang memasukkan berupa tenaga kerja hanya dipersamakan dengan

sekutu yang memasukkan uang atau benda terkecil/paling sedikit.47

2. Diperjanjikan

Cara pembagian keuntungan dan kerugian oleh sekutu sebaiknya diatur dalam

perjanjian pendirian persekutuan firma. Dengan pembatasan bahwa:

a. Penetapan pembagian keuntungan oleh salah satu sekutu atau oleh pihak

ketiga tidak diperbolehkan;48 dan

b. Tidak boleh memberikan seluruh keuntungan hanya kepada salah seorang

sekutu saja.49

44 Khairandy, Loc. Cit..

45 Ibid..

46 Indonesia (A), Op. Cit., Ps. 1633 ayat (1).

47 Ibid., Ps. 1633 ayat (2).

48 Ibid., Ps. 1634 ayat (1).

49 Ibid., Ps. 1635 ayat (1).

Universitas Indonesia

15

II.3. PERSEKUTUAN KOMANDITER (CV)

II.3.1. Pengertian Persekutuan Komanditer (CV)

Persekutuan Komanditer atau sering kali disebut dengan Commanditaire

Vennootschap (selanjutnya disebut “CV”) adalah suatu Perusahaan yang didirikan oleh

satu atau beberapa orang secara tanggung menanggung, bertanggung jawab secara

seluruhnya atau secara solider, dengan satu orang atau lebih sebagai pelepas uang

(Geldschieter), dan diatur dalam KUHD. 50 Pengaturan Hukum atas CV sama dengan

persekutuan firma dimana diatur secara tegas pada Pasal 19 sampai dengan Pasal 35

KUHD. Akan tetapi yang membedakan pengaturan antara CV dengan persekutuan

firma adalah adanya pengaturan sekutu pelepas uang yang diatur menurut ketentuan

Pasal 19, 20 dan 21 KUHD. Dalam hal ini dapat dikatakan juga CV adalah persekutuan

firma yang mempunyai satu atau beberapa orang sekutu komanditer. Karena dalam

persekutuan firma hanya terdapat sekutu kerja atau firmant, sedangkan dalam CV selain

sekutu kerja terdapat juga sekutu komanditer, yaitu sekutu diam yang hanya

memberikan pemasukannya saja dan tidak mengurus perusahaan.51

Ketentuan dalam Pasal 19 Kitab Undang-undang Hukum Dagang (KUHD)

menyatakan bahwa CV adalah persekutuan yang terdiri dari satu atau lebih sekutu biasa

dan satu atau lebih sekutu diam (yang juga disebut dengan sekutu komanditer), yang

secara pribadi bertanggung jawab untuk semua utang persekutuan.52 Sekutu diam

kontribusinya hanya memasukkan modal berupa uang, benda atau tenaga kepada

persekutuan, berhak menerima keuntungan dari persekutuan, dan bertanggung jawab

hanya sebesar kontribusinya. Dengan kata lain, sekutu diam atau sekutu komanditer ini

juga mengambil bagian kerugian juga keuntungan persekutuan, namun dalam hal terjadi

kerugian dalam persekutuan, maka sekutu diam atau sekutu komanditer tersebut

menanggung besarnya kerugian sebesar kontribusinya dalam persekutuan. Sekutu

komanditer tidak berwenang melakukan perbuatan hukum dengan pihak ketiga ditinjau

berdasarkan rumusan Pasal 20 ayat (1) KUHD. Dalam hal ini undang-undang telah

secara tegas sudah meniadakan hubungan eksternal yang mungkin dilakukan oleh

seorang sekutu komanditer dengan pihak ketiga. Sejak saat semula undang-undang

50 I. G. Rai Widjaya, Hukum Perusahaan, cet. 7 (Bekasi: Kesaint Blanc, 2007), hal. 51.

51 H. M. N. Purwosutjipto, Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia: Bentuk Perusahaan, Jilid 2, cet. 12 (Jakarta: Djambatan, 2008), hal. 75.

52 Indonesia (B), Op. Cit., Ps. 19.

Universitas Indonesia

16

sudah menyatakan bahwa sekutu komanditer tidak boleh mengikat persekutuan dengan

pihak ketiga. Dinyatakan pula dalam Pasal 20 ayat (2) KUHD mengenai pengecualian

kegiatan seorang sekutu komanditer dari suatu tindakan pengurusan Persekutuan

Komanditer. Oleh karena sekutu komanditer tidak berwenang melakukan hubungan

eksternal dengan pihak ketiga, dan hanya memiliki kewajiban internal, yaitu pemasukan

sejumlah yang disepakati olehnya dan sekutu lain dalam persekutuan, maka sekutu

komanditer pun wajib menanggung dan melunasi seluruh kewajibannya kepada

persekutuan sebesar jumlah yang telah ia masukkan dalam persekutuan dan tidak perlu

memikul kerugian yang lebih pula daripada jumlah yang telah atau harus dimasukkan

olehnya sebagai modal dalam persekutuan.53 Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 1633

KUHPerdata, sekutu komanditer mendapat keuntungan sesuai dengan yang ditentukan

dalam Anggaran Dasar Persekutuan Komanditer. Tetapi jika dalam Anggaran dasar

tersebut tidak ditentukan, maka sekutu komanditer mendapat keuntungan sesuai dengan

jumlah pemasukannya dalam Persekutuan Komanditer.

Tindakan kepengurusan pada CV dilakukan oleh sekutu komplementer

merupakan sekutu pengurus yang bertanggung jawab secara penuh mengurus

persekutuan terhadap hubungannya dengan pihak ketiga sebagaimana diatur menurut

ketentuan Pasal 18 KUHD juncto Pasal 1131 dan 1132 KUHPerdata. Menurut Pasal 17

KUHD bila sekutu komplementer terdapat lebih dari satu orang harus ditegaskan

diantara mereka, apakah diantara mereka ada yang dilarang untuk bertindak keluar.

Meskipun telah ditegaskan di antara para sekutu komplementer mengenai siapa di

antara mereka yang dilarang untuk bertindak keluar, tetapi hal tersebut tidak

mengurangi tanggung jawab masing-masing dari sekutu komplementer untuk

bertanggung jawab secara pribadi dan keseluruhan sampai harta pribadi secara tanggung

menanggung. Dalam hal ini dikarenakan tidak semua sekutu dalam CV bertindak

keluar. Sehingga sekutu diam atau yang sering disebut dengan sleeping partner atau

stille vennoot merupakan anggota persekutuan yang pasif dan tidak melakukan

hubungan dengan pihak ketiga.54 Hal ini disebabkan sekutu pasif atau sekutu

komanditer hanya memiliki fungsi sebagai pelepas uang (geldschieter) atau pemberi

uang, yaitu orang yang mempercayakan uangnya. Dalam hal ini CV memungkinkan

pengumpulan modal yang lebih banyak dari sistem persekutuan firma. Sekutu pengurus

53 Gunawan Widjaja, Seri Aspek Hukum dalam Bisnis: Persekutuan Perdata, Persekutuan Firma dan Persekutuan Komanditer, ed. 1, cet. 2 (Jakarta: Kencana, 2006), hal. 246-248

54 Widjaya, Op. Cit., hal. 52.

Universitas Indonesia

17

sering kali disebut sebagai komplementaris merupakan anggota yang aktif dengan

tanggung jawabnya sampai kepada harta pribadinya. Sekutu komanditer tidak boleh

mencampuri tugas sekutu komplementer atau sekutu pengurus. Namun, terkait dengan

adanya hubungan dengan pihak ketiga, setiap sekutu komanditer yang ikut melakukan

perbuatan pengurusan CV, dan sekutu komanditer tersebut dengan mengizinkan

pemakaian namanya dalam hal pengurusan CV maka akan memikul akibat hukum,

yakni dianggap sukarela mengikatkan diri terhadap semua tindakan pengurus, oleh

karenanya sekutu komanditer tersebut ikut bertanggung jawab secara solider atau

bertanggung jawab secara keseluruhan atas utang Persekutuan Komanditer.55

Sehingga berdasarkan uraian tersebut maka dapat dikatakan bahwa sekutu

pengurus atau sekutu kerja atau sekutu komplementer, yaitu sekutu yang menjadi

pengurus persekutuan.56 Dalam hal ini, penulis meninjau bahwa sekutu pengurus atau

sekutu komplementer ini menjalankan kewenangan dan pengurusan layaknya sebuah

persekutuan firma. Sedangkan sekutu diam atau sekutu tidak kerja atau sekutu

komanditer adalah tidak mengurus persekutuan dan hanya memberikan inbreng.

Kehadiran sekutu diam atau sekutu komanditer adalah ciri utama dari Persekutuan

Komanditer. Sekutu komanditer ini lah yang membedakan antara CV dengan

perusahaan persekutuan lainnya.

II.3.2. Pendirian Persekutuan Komanditer (CV)

Terkait dengan pendirian CV itu sendiri, pada hakekatnya tidak diperlukan

formalitas tertentu. Hal ini disebabkan pendirian CV dapat dilakukan secara lisan

maupun tertulis, baik dengan akta otentik maupun dengan akta di bawah tangan. Selain

itu pula, tidak adanya aturan yang menyatakan adanya keharusan dari CV itu untuk

melakukan pendaftaran ataupun pengumuman dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Dalam hal ini, CV adalah Firma sehingga harus juga memenuhi segala ketentuan hukum

yang diatur sebagaimana halnya Firma. Pada prakteknya di Indonesia telah

menunjukkan suatu kebiasaan bahwa orang yang mendirikan CV berdasarkan akta

Notaris (berbentuk otentik). Hal-hal yang perlu diperhatikan adalah pendirian dapat

dilakukan dengan berbagai cara asalkan tidak merugikan pihak ketiga.57 Namun

bilamana dilakukan pendirian dengan Akta Otentik, adanya kewajiban pendaftaran akta 55 M. Yahya Harahap, Hukum Perseroan Terbatas, cet. 2, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), hal. 18-

19.

56 Hukumonline.com, Tanya Jawab Hukum Perusahaan, cet. 1 (Jakarta: Visimedia, 2009), hal. 82.

57 Indonesia (B), Op. Cit., Ps. 22.

Universitas Indonesia

18

pendirian atau ikhtisar resminya dalam register yang disediakan pada Kantor Panitera

Pengadilan Negeri tempat kedudukan perseroan itu (raad van justitie).58 Akan tetapi

yang didaftarkan hanyalah berupa Anggaran Dasarnya saja sebagaimana diatur menurut

ketentuan Pasal 24 KUHD yang dimana sekurang-kurangnya harus memuat ketentuan:59

a. Nama, pekerjaan, tempat tinggal dari sekutu;

b. Pernyataan bahwa CV tersebut melaksanakan kegiatan usaha yang umum atau

terbatas pada cabang usaha tertentu dengan menunjukkan maksud dan tujuan

dari usaha yang hendak dilakukan oleh CV tersebut;

c. Penunjukkan para sekutu baik yang aktif maupun pasif;

d. Saat mulai berlakunya dan berakhirnya;

e. Klausula-klausula penting lainnya yang berkaitan dengan pihak ketiga terhadap

persekutuan.60

Namun, satu hal penting yang perlu diperhatikan dalam CV adalah dimana

selayaknya perusahaan persekutuan maka tidak ditentukan besarnya modal dalam

persekutuan. Menurut ketentuan dalam Pasal 1619 KUHPerdata menentukan bahwa

para sekutu tidak hanya memasukkan bagian persekutuan dalam bentuk uang atau pun

barang (inbreng) akan tetapi juga dalam bentuk tenaga dan kerajinannya. Sehingga hal

ini tidak bisa secara keseluruhan ditentukan dalam bentuk uang untuk modal dasar yang

digunakan dalam persekutuan. Akan tetapi, penulis menganggap bahwa yang dapat

memasukkan barang maupun tenaga dan kerajinan hanya lah sekutu pengurus atau

sekutu komplementer sedangkan sekutu pelepas uang hanya dapat memasukkan uang

saja.

Setelah Anggaran Dasar akta CV tersebut di daftarkan di Kantor Panitera

Pengadilan Negeri setempat dimana CV tersebut berada dan ditanggali pada hari akta

atau petikannya dibawa di kepaniteraan, selanjutnya keharusan adanya pengumuman

dalam Tambahan Berita Negara Republik Indonesia bahwa CV tersebut telah berdiri

dan didirikan dengan akta otentik sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 23 jo

Pasal 27 dan Pasal 28 KUHD tersebut. Terkait dengan pendaftaran dan pengumuman

tersebut, apabila hal itu belum terjadi maka CV terhadap pihak ketiga dianggap sebagai

58 Ibid., Ps. 23 dan 24.

59 Ibid., Ps. 26.

60 Ibid., Ps. 27.

Universitas Indonesia

19

persekutuan perdata sebagaimana diatur dalam KUHPerdata, dimana semua sekutu

diperkenankan untuk bertindak dan dianggap berhak mengurus CV tersebut.61

II.3.3. Status Hukum Persekutuan Komanditer (CV)

CV sebagaimana halnya dengan perusahaan lain yang berbentuk persekutuan,

secara umum tidak dapat dikatakan sebagai badan hukum. Dalam hubungannya dengan

pihak ketiga, pihak ketiga tersebut tidak dapat menuntut sekutu komanditer. Dalam hal

ini pihak ketiga hanya berurusan dan bertransaksi dengan CV bilamana hal itu diwakili

oleh sekutu komplementer.62 Tetapi dalam hal ini bilamana sekutu komanditer

menampilkan kewenangannya sebagai pengurus, ia pun dapat dituntut dan

berkedudukan sama dengan sekutu komplementer. Namun demikian, ditinjau dari

bentuk hukumnya sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 23 KUHD, dapat

dikatakan bahwa CV bukanlah badan hukum dikarenakan tidak adanya pengesahan

menjadi badan hukum oleh instansi yang terkait. Selain itu, tanggung jawabnya pun dari

para sekutunya tidak terbatas (unlimited liability) sampai meliputi harta pribadi mereka

atau tidak secara mutlak terbatas seperti halnya PT sehingga hal ini tidak dapat

dikategorikan sebagai badan hukum.

II.4. USAHA MIKRO, KECIL, DAN MENENGAH (UKM)

Dalam pembangunan ekonomi di Indonesia Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah

(selanjutnya disebut “UKM”) selalu digambarkan sebagai sektor yang mempunyai

peranan yang penting, karena sebagian besar jumlah pendudknya berpendidikan rendah

dan hidup dalam kegiatan usaha kecil baik di sektor tradisional maupun modern.63 UKM

di Indonesia adalah merupakan subyek diskusi dan menjadi perhatian pemerintah

karena perusahaan kecil tersebut menyebar dimana-mana, dan dapat member

kesempatan kerja yang potensial. Para ahli ekonomi sidah lama menyadari bahwa sektor

UKM sebagai salah satu karakteristik keberhasilan dan pertumbuhan ekonomi. UKM

menyumbang pembangunan dengan berbagai jalan, menciptakan kesempatan kerja,

untuk perluasan angkatan kerja bagi urbanisasi, dan menyediakan fleksibilitas

kebutuhan serta inovasi dalam perekonomian secara keseluruhan.64

61 Ibid., Ps. 29.

62 Ibid., Ps. 21.

63 Tiktik Sartika Partomo, Usaha Kecil Menengah dan Koperasi (Jakarta: Center for Industry and SME Studies Faculty of Economics University of Trisakti, 2004), hal. 2.

64 Ibid., hal. 3.

Universitas Indonesia

20

Dalam Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 26/1/UKK tanggal 29 Mei 1993

perihal Kredit Usaha Kecil (KUK), usaha kecil didefinisikan sebagai usaha yang

memiliki total aset maksimum Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah) tidak

termasuk tanah dan rumah yang ditempati.65 Pengertian usaha kecil ini meliputi usaha

perseorangan, badan usaha swasta dan koperasi, sepanjang aset yang dimiliki tidak

melebihi nilai Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).66

Sebagaimana telah diamanatkan oleh Ketetapan Majelis Permusyawaratan

Rakyat Republik Indonesia Nomor XVI/MPR-RI/1998 tentang Politik Ekonomi dalam

rangka Demokrasi Ekonomi bahwa UKM perlu diberdayakan sebagai bagian integral

ekonomi rakyat yang mempunyai kedudukan, peran, dan potensi strategis untuk

mewujudkan struktur perekonomian nasional yang makin seimbang, berkembang, dan

berkeadilan. Oleh karena itu, maka Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dan

Presiden Republik Indonesia memutuskan untuk menetapkan Undang-Undang Nomor

20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (selanjutnya disebut “UU

UKM”) pada tanggal 4 Juli 2008 di Jakarta.

Berdasarkan UU UKM, yang dimaksud dengan Usaha Mikro adalah: “Usaha

produktif milik orang perorangan dan/atau badan usaha perorangan yang memenuhi

kriteria Usaha Mikro sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.”67 Adapun kriteria

terkait Usaha Mikro adalah sebagai berikut:68

a. memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta

rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau

b. memiliki hasil penjualan tahunan paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga ratus

juta rupiah).

Kemudian, Usaha Kecil didefinisikan sebagai:69

Usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang

perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau

bukan cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik

65 Anoraga, Op. Cit., hal. 224.

66 Ibid..

67 Indonesia (C), UU tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah, UU No. 20 Tahun 2008, LN No. 93 Tahun 2008, TLN No. 4866, Ps. 1 angka 1.

68 Ibid., Ps. 6 ayat (1).

69 Ibid., Ps. 1 angka 2.

Universitas Indonesia

21

langsung maupun tidak langsung dari Usaha Menengah atau Usaha Besar yang

memenuhi kriteria Usaha Kecil sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang

ini.

Sementara kriteria dari Usaha Kecil berdasarkan UU UKM adalah sebagai berikut:70

a. memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah)

sampai dengan paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) tidak

termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau

b. memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta

rupiah) sampai dengan paling banyak Rp2.500.000.000,00 (dua milyar lima

ratus juta rupiah).

Selanjutnya, pengertian daripada Usaha Menengah adalah:71

Usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang

perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau

cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung

maupun tidak langsung dengan Usaha Kecil atau Usaha Besar dengan jumlah

kekayaan bersih atau hasil penjualan tahunan sebagaimana diatur dalam

Undang-Undang ini.

Lebih lanjut UU UKM mengatur mengenai kriteria dari Usaha Menengah, yaitu sebagai

berikut:72

a. memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)

sampai dengan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh milyar rupiah)

tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau

b. memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp2.500.000.000,00 (dua milyar

lima ratus juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp50.000.000.000,00 (lima

puluh milyar rupiah).

70 Ibid., Ps. 6 ayat (2).

71 Ibid., Ps. 1 angka 3.

72 Ibid., Ps. 6 ayat (3).

Universitas Indonesia

22

Kriteria masing-masing Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan Usaha Menengah

sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya masih dapat berubah nominalnya sesuai

dengan perkembangan perekonomian yang diatur dengan Peraturan Presiden.73

II.5. KELEBIHAN PERUSAHAAN KELUARGA

II.5.1. Kelebihan Perusahaan Keluarga secara Umum

Perusahaan keluarga secara umum memiliki beberapa kelebihan dibandingkan

dengan jenis perusahaan lainnya yang adalah sebagai berikut:

1. Independence of Action

Tingginya tingkat kemandirian tindakan (independence of action). Artinya

sedikit atau bahkan tidak ada tekanan pasar bursa (stock market) dan kecil atau

tidak ada risiko pengambilalihan perusahaan. Selain itu terdapat financial benefit

– keuangan adalah milik keluarga yang tidak dibagi dengan pemegang saham

atau perusahaan lain. Proses pengambilan keputusan dalam keuangan pun lebih

cepat. Hal ini berbeda dengan perusahaan Badan Usaha Milik Negara

(selanjutnya disebut sebagai “BUMN”) atau perusahaan non-family yang dalam

proses persetujuan mengenai keuangan sampai ke dewan komisaris bahkan

sampai ke para pemegang saham, atau ke pemerintah untuk BUMN.74

2. Knowledge of Business dan Entrepreneurship

Dari sisi budaya perusahaan (corporate culture), kultur keluarga merupakan

suatu kebanggan tersendiri yang menunjukkan adanya stabilitas, identifikasi,

motivasi, dan komitmen yang kuat, serta kontinuitas dalam kepemimpinan.

Perusahaan keluarga yang mampu bertahan dan mempunyai knowledge of

business yang bagus tentu mempunyai jiwa kewirausahaan (entrepreneurship)

yang luar biasa. Sementara, untuk meningkatkan knowledge of business di

BUMN sangat susah. Ini berbeda sekali dengan perusahaan keluarga, karena

kalau bisnis tidak berhasil, maka keluarga tidak bisa makan. Hal inilah yang

juga ditanamkan ke anggota keluarga.75

3. Business Development

Adanya kemauan untuk menginvestasikan kembali profit sesuai kesepakatan

bersama untuk mengembangkan perusahaan (business development).76

73 Ibid., Ps. 6 ayat (4).

74 Susanto, Op. Cit., hal. 10.

75 Ibid..

76 Ibid..

Universitas Indonesia

23

4. Business Knowledge

Dilihat dari pengetahuan bisnisnya (business knowledge), anggota keluarga

sudah dari awal memperoleh latihan dari keluarga tentang pengelolaan

perusahaannya.77

5. Corporate Governance

Birokrasi yang kecil dan fleksibel dengan mengedepankan corporate

governance dan sistem akuntabilitas, serta jelasnya sistem tanggung jawab.78

6. Long-term Perspective

Rata-rata bisnis keluarga ingin menjadi bisnis jangka panjang. Bila perusahaan

keluarga ini sudah go public, investor yang membeli saham-saham perusahaan

keluarga pun berharap untuk jangka panjang.79

7. Flexibility and Easiness in Financing the Business

Perusahaan keluarga yang mempunyai reputasi baik dikarenakan sang pemilik

memiliki rekam jejak (track record) yang baik, sehingga mendukung sumber

pendanaan pihak ketiga, baik dari institusi formal (bank atau lainnya) maupun

informal (non financial institution). Faktor ini semakin menjadi keunggulan

kompetitif jika perusahaan telah mencapai kategori medium size company.80

John L. Ward dalam bukunya yang berjudul “Perpetuating the Family Business:

50 Lessons Learned from Long-Lasting Successful Families in Business”

menambahkan daftar keuntungan dari bentuk perusahaan keluarga, yaitu kesempatan

bekerja bersama, saling percaya memperteguh keluarga dan bisnis, kesempatan untuk

menciptakan kekayaan, sebagai cara untuk menurunkan nilai-nilai kepada anak-anak,

respek di masyarakat, dan pengaruh yang lebih besar sebagai individu.81

Kemudian, Mohammad Iqbal menambahkan bahwa di kalangan UKM

tampaknya bentuk perusahaan keluarga dinilai paling baik. Karena, rahasia perusahaan

bisa tetap terjaga sehingga tidak mudah diketahui oleh umum atau pesaing. Harmonisasi

77 Ibid..

78 Ibid..

79 Tutut Handayani, “Tiga Faktor Kekuatan Bisnis Keluarga,” http://swa.co.id/listed-articles/tiga-faktor-kekuatan-bisnis-keluarga, diakses pada 24 Oktober 2012.

80 Ibid..

81 John L. Ward, Perpetuating the Family Business: 50 Lessons Learned from Long-Lasting, Successful Families in Business (New York: Palgrave Macmillan, 2004), hal. 11.

Universitas Indonesia

24

hubungan psikologis juga lebih mudah tercipta di perusahaan keluarga. Konflik pun

jarang terjadi karena antar sesama anggota memiliki tenggang rasa.82

Selain itu, dengan banyaknya anggota keluarga yang terlibat dalam perusahaan,

jalannya perusahaan akan lebih lancar. Komunikasi lebih efektif dan biaya personalia

dapat ditekan/efisien. Perusahaan tidak perlu mengeluarkan biaya gaji yang besar

karena tidak perlu membayar tenaga professional dari luar anggota keluarga. Karena

alasan-alasan tersebut, banyak para pengusaha kecil yang terus-menerus berupaya

mempertahankan anggota keluarga dalam perusahaannya.83

II.5.2. Kelebihan Perusahaan Keluarga Berbentuk Persekutuan Firma

Pada perusahaan keluarga yang berbentuk persekutuan firma terdapat beberapa

kelebihan, yaitu:84

1. Kebutuhan akan modal lebih mudah terpenuhi jika dibandingkan dengan

perusahaan perseorangan, sehingga modal dalam firma lebih besar.

2. Tergabungnya alasan-asalan rasional karena sebagian besar tindakan yang

didasarkan oleh musyawarah menghasilkan kebenaran dan mendatangkan

keuntungan.

3. Perhatian sekutu yang sungguh-sungguh pada perusahaan di mana setiap sekutu

pada persekutuan dengan firma bertanggung jawab tidak hanya pada tindakan-

tindakannya sendiri tetapi juga pada tindakan dari sekutu lain.

II.5.3. Kelebihan Perusahaan Keluarga Berbentuk Persekutuan Komanditer

Pada perusahaan keluarga yang berbentuk persekutuan komanditer atau CV

terdapat beberapa kelebihan, yaitu:85

1. Pendiriannya tidak terlalu rumit, yaitu dapat dilakukan, baik dengan lisan

maupun tulisan. Apabila dilakukan dengan tulisan maka dapat dibuat akta

otentik dengan Akta Notaris ataupun dengan akta di bawah tangan. Akta Notaris

merupakan alat pembuktian yang membuat kedudukan CV kuat apabila

berhubungan dengan pihak ketiga.

2. Bentuk badan usaha CV telah mendapat kepercayaan masyarakat.

82 Mohammad Iqbal, Solusi Jitu bagi Pengusaha Kecil dan Menengah: Pedoman Menjalankan Usaha, cet. Kedua (Jakarta: Elex Media Komputindo, 2004), hal. 58.

83 Ibid..

84 Raharjo, Op. Cit., hal. 47.

85 Ibid., hal. 57.

Universitas Indonesia

25

3. Banyak pengusaha kecil dan menengah terutama perusahaan keluarga yang

memilih bentuk badan usaha CV karena dalam CV tidak semua sekutu harus

memasukkan sesuatu ke dalam CV dan tidak semua sekutu harus mengurus

perusahaan. Dalam CV yang memasukkan sesuatu ke dalam CV dan mempunyai

tanggung jawab terbatas hanya sekutu komanditer (sekutu pasif) sedangkan yang

mengurus perusahaan dan mempunyai tanggung jawab tidak terbatas hanya

sekutu komplementer (sekutu aktif). Dengan demikian CV lebih fleksibel

dibandingkan dengan bentuk badan usaha lainnya.

4. Struktur organisasi CV tidak terlalu rumit. Organ yang terdapat dalam CV hanya

sektu komanditer dan sekutu komplementer.

5. Modal yang dibutuhkan untuk mendirikan dan menjalankan CV tidak

ditentukan, dapat besar maupun kecil sehingga bentuk badan usaha CV banyak

dipilih oleh perusahaan kecil dan menengah.

II.5.4. Kelebihan Perusahaan Keluarga sebagai Usaha Mikro, Kecil, dan

Menengah

UKM pada kenyataannya mampu bertahan dan mengantisipasi kelesuan

perekonomian yang diakibatkan inflasi maupun berbagai faktor penyebab lainnya.

Tanpa subsidi maupun proteksi, UKM mampu menambah nilai devisa negara

khususnya industry kecil di sektor informal dan mampu berperan sebagai penyangga

dalam perekonomian masyarakat kecil/lapisan bawah.86

Di samping itu, usaha kecil juga memiliki nilai strategis bagi perkembangan

perekonomian negara kita, antara lain sebagai berikut:87

1. Banyaknya produk-produk tertentu yang dikerjakan oleh perusahaan kecil.

Perusahaan besar dan menengah banyak ketergantungan kepada perusahaan

kecil, karena jika hanya dikerjakan perusahaan besar dan menengah, marginnya

menjadi tidak ekonomis.

2. Merupakan pemerataan konsentrasi dari kekuatan-kekuatan ekonomi dalam

masyarakat.

Secara umum perusahaan dalam skala kecil baik usaha perseorangan maupun

persekutuan (kerja sama) memiliki kelebihan dan daya tarik. Kelebihan dan daya tarik

tersebut adalah sebagai berikut:88

86 M. Tohar, Membuka Usaha Kecil, cet. ke-7 (Yogyakarta: Kanisius, 2000), hal. 27.

87 Ibid..

88 Ibid., hal. 28.

Universitas Indonesia

26

1. Pemilik merangkap manajer perusahaan dan merangkap semua fungsi

manajerial seperti marketing, finance, dan administrasi.

2. Dalam pengelolaannya mungkin tidak membutuhkan keahlian manajerial yang

handal.

3. Sebagian besar membuat lapangan pekerjaan baru, inovasi, sumber daya baru

serta barang dan jasa-jasa baru.

4. Fleksibel terhadap bentuk fluktuasi jangka pendek.

5. Bebas menentukan harga produksi atas barang dan jasa.

6. Prosedur hukumnya sederhana.

7. Pajak relatif ringan, karena yang dikenakan pajak adalah pribadi/pengusaha,

bukan perusahaannya.

8. Mudah dalam proses pendiriannya.

9. Pemilik mengelola secara mandiri dan bebas waktu.

10. Pemilik menerima seluruh laba.

11. Memberikan peluang dan kemudahan dalam peraturan dan kebijakan pemerintah

demi berkembangnya UKM.

12. Diversifikasi usaha terbuka luas sepanjang waktu dan pasar konsumen

senantiasa tergali melalui kreativitas pengelola.

13. Relatif tidak membutuhkan investasi terlalu besar, tenaga kerja tidak

berpendidikan tinggi, dan sarana produksi lainnya relatif tidak terlalu mahal.

14. Mempunyai ketergantungan secara moril dan semangat usaha dengan pengusaha

kecil lainnya.

Di samping itu, Tiktik Sartika Partomo dan Abd. Rachman Soejoedono

menambahkan beberapa keunggulan UKM terhadap usaha besar antara lain adalah:89

1. Inovasi dalam teknologi yang telah dengan mudah terjadi dalam pengembangan

produk.

2. Hubungan kemanusiaan yang akrab di dalam perusahaan kecil.

3. Kemampuan menciptakan kesempatan kerja cukup banyak atau penyerapannya

terhadap tenaga kerja.

4. Fleksibilitas dan kemampuan menyesuaikan diri terhadap kondisi pasar yang

berubah dengan cepat disbanding dengan perusahaan skala besar yang pada

umumnya birokratis.

5. Terdapatnya dinamisme manajerial dan peranan kewirausahaan.

89 Partomo, Loc. Cit..

Universitas Indonesia

27

Universitas Indonesia

28

BAB III

MASALAH AKTUAL YANG DIHADAPI PERUSAHAAN DAN

PEMERINTAH DALAM MENGEMBANGKAN

PERUSAHAAN KELUARGA

III.1. MASALAH AKTUAL YANG DIHADAPI PERUSAHAAN DALAM

MENGEMBANGKAN PERUSAHAAN KELUARGA

III.1.1.Masalah Aktual yang Dihadapi Perusahaan dalam Mengembangkan

Perusahaan Keluarga secara Umum

Di samping segelintir kelebihan perusahaan keluarga sebagaimana yang telah

dijelaskan pada bagian sebelumnya, perusahaan keluarga juga memiliki beberapa

hambatan atau kendala dalam memperkuat posisinya dalam sektor usaha. Adapun

masalah aktual yang dihadapi perusahaan dalam mengembangkan perusahaan keluarga

secara umum ialah sebagai berikut ini:90

1. Confusing Organization

Perusahaan keluarga merupakan organisasi yang membingungkan. Misalnya,

seberapa besar pengaruh atau peran istri/suami dalam organisasi. Kalau

istri/suami duduk dalam organisasi, tidak menjadi masalah, tetapi kalu

istri/suami di luar organisasi tetapi ikut mengatur, maka akan terjadi organisasi

yang membingungkan (confusing organization). Keluarga mendominasi

perusahaan dengan alasan-alasan keluarga di atas logika bisnis (family reason

over business logic), sistem penghargaan yang tidak adil, dan kesulitan menarik

manajemen profesional.

2. Spoiled Child Syndrome

Terdapat sindrom anak manja (spoiled child syndrome) di perusahaan atau

toleransi terhadap anggota keluarga yang tidak kompeten, misalnya cucu

kesayangan atau yang berkaitan dengan crown prince atau princess sebagai

calon pengganti. Pertentangan-pertentangan keluarga pun membanjiri

perusahaan. Akibatnya, ada kecanggungan dari manajemen professional tentang

peran mereka karena ikatan keluarga yang begitu kuat.

3. Milking the Business

90 Susanto, Op. Cit., hal. 11.

Universitas Indonesia

29

Satu hal yang perlu digarisbawahi adalah kemungkinan terjadinya milking the

business, yaitu anggota keluarga yang sangat berpengaruhi di perusahaan

menyedot revenue dari bisnis tersebut untuk keperluan lain atau pribadi. Isu-isu

keuangan lain yang merupakan kerugian sebagai perusahaan keluarga adalah

akses yang terbatas di pasar modal, adanya ketidakseimbangan antara kontribusi

dan kompensasi.

John L. Ward dalam bukunya yang berjudul “Perpetuating the Family Business:

50 Lessons Learned from Long-Lasting Successful Families in Business”

menambahkan beberapa kerugian lain dari bisnis bersama anggota keluarga seperti

potensi munculnya konflik, munculnya kekecewaan ketika tujuan pribadi tidak tercapai,

terlalu banyak masalah financial, hilangnya privacy sebagai akibat publisitas di

masyarakat, dan rentan terhadap kritik dari luar keluarga.91

Pendapat dari John L. Ward tersebut kemudian dipertegas oleh Thomas W.

Zimmerer, Norman M. Scarborough, dan Doug Wilson melalui bukunya yang berjudul

“Essentials of Entrepreneurship and Small Business Management.” Menurut mereka

penyebab utama dari tidak mampu bertahannya perusahaan keluarga adalah

perencanaan properti yang tidak memadai, kegagalan membuat rencana suksesi

manajemen, dan kurangnya dana untuk membayar pajak properti. Selain itu, persaingan

antar saudara, ketidaksepakatan mengenai siapa yang memegang kendali atas

perusahaan, dan konflik pribadi tak jarang menyebabkan pertikaian sengit yang dapat

memisahkan keluarga dan menghancurkan perusahaan yang semula cukup kuat.92

III.1.2.Masalah Aktual yang Dihadapi Perusahaan dalam Mengembangkan

Perusahaan Keluarga sebagai Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah

Sebagai suatu ilustrasi, hasil survei Badan Pusat Statistik (BPS) terhadap

Industri Kecil (selanjutnya disebut “IK”) dan Industri Rumah Tangga (selanjutnya

disebut “IRT”) tahun 1998 menunjukkan ada 5 (lima) masalah utama yang dihadapi

oleh pengusaha-pengusaha IK dan IRT: Pemasaran; Penyediaan bahan baku;

Permodalan; Pembayaran gaji/upah pekerja; dan Biaya pemakaian energi. Hampir 30%

dari total IK yang survei (194.564 unit usaha) mengalami masalah pemasaran,

sedangkan IRT sekitar 22,28% dari 2.002.335 unit usaha yang ada di dalam sampel. Di

antara komponen-komponen dari permasalahan pemasaran, sebagian besar dari

91 Ward, Op. Cit, hal. 12.

92 Zimmerer, Loc. Cit..

Universitas Indonesia

30

responden mengatakan bahwa penurunan permintaan terhadap produk-produk mereka

merupakan komponen terbesar.93

Tulus T. H. Tambunan melalui bukunya “Usaha Kecil dan Menengah di

Indonesia: Beberapa Isu Penting” mencoba memberikan penjabaran dan penjelasan

terhadap masing-masing masalah aktual yang dihadapi perusahaan dalam

mengembangkan perusahaan keluarga sebagai UKM yang akan dipaparkan berikut ini:

1. Kesulitan Memperoleh Modal

Masalah utama yang dihadapi oleh UKM dalam aspek permodalan adalah

mobilisasi modal awal dan akses ke modal kerja serta modal jangka panjang

untuk investasi, yang diperlukan untuk pertumbuhan output jangka panjang.

Walaupun pada umumnya modal awal bersumber dari modal (tabungan) sendiri

atau sumber-sumber informal, namun sumber-sumber permodalan ini sering

tidak cukup untuk kegiatan produksi, apalagi untuk investasi perluasan kapasitas

produksi atau menggantikan mesin-mesin tua. Mengharapkan sisa dari

kebutuhan modal tersebut dibiayai oleh dana dari perbankan jauh dari realitas.

Hingga saat ini, walaupun banyak skema kredit dari perbankan dan dari bantuan

BUMN, sumber-sumber pendanaan dari sektor informal masih tetap dominan

dalam pembiayaan kegiatan usaha kecil. Hal ini disebabkan oleh sejumlah

alasan, di antaranya adalah:94

a. Lokasi bank terlalu jauh, terlebih bagi pengusaha kecil yang tinggal di

daerah yang relatif terisolir.

b. Persyaratan terlalu berat terutama persyaratan agunan.

c. Urusan administrasi terlalu bertele-tele.

d. Kurang informasi mengenai skema perkreditan yang ada dan prosedurnya.

Kesulitan lain, di mata bank pengusaha kecil tidak mampu mengetahui apa

sebenarnya permasalahannya. Dalam hal ini, mereka hanya mampu menyatakan

kekurangan modal. Banyak di antara mereka yang tidak mampu menyusun

proposal secara baik, sehingga apa yang dimaui tidak dapat diungkapkan secara

jelas. Dari pihak bank sendiri, biasanya membutuhkan analisis mulai dari aspek

93 Tambunan, Op. Cit., hal. 6.

94 Tulus T. H. Tambunan, Usaha Kecil dan Menengah di Indonesia: Beberapa Isu Penting (Jakarta: Salemba Empat, 2002), hal. 74.

Universitas Indonesia

31

legalitas, keuangan, produksi, seumber daya, pemasaran maupun kolateral. Itu

semua sulit dipenuhi oleh pengusaha kecil.95

Hambatan menyangkut permodalan ini semakin berat dirasakan UKM dengan

adanya tekanan dari faktor eksternal menyangkut aliran kas (cash flow) dari

keuangan mereka. Masyarakat atau konsumen kebanyakan memberlakukan

sistem pembayaran mundur terhadap barang yang dipesan kepada pelaku UKM.

Begitu juga para pengusaha besar yang menerima pasokan produk dari UK

menerapkan cara yang sama dalam sistem pembayarannya. Padahal, pengusaha

kecil menengah harus membeli berbagai bahan baku dan bahan pendukung

lainnya secara tunai. Hal ini yang menyebabkan UKM semakin sulit

berkembang.96

2. Kesulitan Pemasaran

Kesulitan pemasaran adalah kendala kedua yang dihadapi oleh banyak usaha

kecil. Jika usaha kecil tidak melakukan perbaikan yang cukup di semua aspek-

aspek yang terkait dengan pemasaran, seperti kualitas produk dan kegiatan

promosi dapat dipastikan akan sulit bagi UKM untuk turut berkiprah dalam

pembangunan dan era perdagangan bebas.

Masalah pemasaran yang umum dihadapi oleh UKM adalah tekanan-tekanan

persaingan, baik di pasar domestik dari produk-produk serupa buatan UB dan

impor, maupun di pasar ekspor. Masalah pemasaran bisa menjadi lebih serius,

karena salah satu efek dari krisis yang terjadi beberapa tahun yang lalu hingga

kini belum pulih benar adalah akses ke kredit bank menjadi sulit – kalau tidak

dikatakan tertutup sama sekali – ditambah lagi dengan mahalnya bahan baku

yang pada umumnya masih diimpor, dan permintaan pasar dalam negeri yang

menurun karena merosotnya tingkat pendapatan riil masyarakat per kapita.

Akibatnya, banyak usaha kecil tidak memiliki sumber daya produksi yang cukup

untuk paling tidak mempertahankan volume produksi dan memperbaiki kualitas

dari produk-produk dan memperbaiki mereka, dan ini berarti mereka semakin

sulit untuk meningkatkan atau bahkan mempertahankan tingkat daya saing

mereka di pasar domestik maupun pasar internasional.97

95 Sutrisno Iwantono, Kiat Sukses Berwirausaha, Ed. Revisi (Jakarta: Grasindo, 2001), hal. 58.

96 Yusuf C. K. Arianto, Rahasia Dapat Modal & Fasilitas dengan Cepat & Tepat (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2011), hal. 13.

97 Tambunan, Op. Cit., hal. 73.

Universitas Indonesia

32

3. Kesulitan Memperoleh Informasi

Kesulitan informasi adalah kendala ketiga yang dihadapi oleh banyak UKM

dalam rangka mengembangkan usahanya. Kekurangan informasi yang akurat

dan up to date mengenai peluang-peluang pasar di dalam maupun di luar negeri

– seperti: Potensi pembeli, perubahan selera masyarakat, teknologi dan lain-lain

– dan peraturan-peraturan mengenai tata niaga pemasaran regional maupun

internasional dalam konteks Pasar Tungga Eropa, AFTA, dan WTO/GATT dan

aspek-aspek hukum lain seperti kesepakatan-kesepakatan internasional

mengenai larangan penggunaan buruh anak-anak, lingkungan hidup dan hak

asasi manusia (HAM) yang dikaitkan dengan perdagangan internasional,

merupakan suatu kendala bagi UKM untuk dapat menembus pasar global atau

meningkatkan atau paling tidak untuk mempertahankan pangsa ekspor mereka.

Selain terbatasnya informasi, banyak usaha kecil khususnya mereka yang

kekurangan modal dan Sumber Daya Manusia (selanjutnya disebut “SDM”)

serta mereka yang berlokasi di daerah-daerah pedalaman yang relatif terisolir

dari pusat-pusat informasi, komunikasi, dan transportasi juga mengalami

kesulitan untuk memenuhi standar-standar internasional yang terkait dengan

produksi dan perdagangan. Masalah tersebut semakin terasa bagi pengusaha-

pengusaha yang melayani pasar terbuka atau ekspor. Di pasar terbuka mereka

berhadapan dengan produk-produk serupa dari pengusaha-pengusaha besar yang

lebih unggul dalam banyak hal, maupun persaingan dari barang-barang impor.

Bahkan di pasar ekspor, pengusaha-pengusaha kecil Indonesia harus berhadapan

dengan mitra mereka juga dari skala usaha yang sama dan lebih maju dari

negara-negara lain.98

4. Kesulitan Teknologi

Kesulitan teknologi adalah kendala keempat yang umumnya dihadapi oleh usaha

kecil di Indonesia. Umumnya usaha kecil di Indonesia masih menggunakan

teknologi lama dan tradisional dalam bentuk mesin-mesin tua atau alat-alat

produksi yang sifatnya manual. Keterbelakangan teknologi ini tidak hanya

membuat rendahnya total factor productivity dan efisiensi di dalam proses

produksi, tetapi juga rendahnya kualitas produk yang dibuat. Keterbatasan

teknologi tersebut disebabkan oleh banyak faktor, di antaranya adalah

keterbatasan modal investasi untuk membeli mesin-mesin baru atau untuk

98 Ibid., hal. 69.

Universitas Indonesia

33

menyempurnakan proses produksi, keterbatasan informasi mengenai

perkembangan teknologi atau mesin-mesin dan alat-alat produksi baru dan

keterbatasan SDM yang dapat mengoperasikan mesin-mesin baru atau

melakukan inovasi-inovasi dalam produksi maupun proses produksi.

Rendahnya penguasaan teknologi modern merupakan ancaman serius bagi

kesanggupan usaha kecil untuk dapat bersaing di era pasar bebas. Di dalam era

pasar bebas tersebut, faktor teknologi bersama-sama dengan faktor SDM akan

menjadi lebih penting daripada faktor sumber daya alam (SDA). Dengan

perkataan lain, dua faktor keunggulan komparatif yang sekarang dimiliki UKM

Indonesia yaitu tersedianya berbagai ragam bahan baku dalam jumlah yang

berlimpah dan upah tenaga kerja yang murah akan semakin tidak penting di

masa datang, diganti oleh faktor keunggulan kompetitif, yaitu: Teknologi dan

SDM.99

5. Kesulitan Sumber Daya Manusia

Keterbatasan SDM merupakan salah satu kendala serius bagi usaha kecil,

terutama dalam aspek-aspek entrepreneurship, manajemen, teknik produksi,

pengembangan produk, engineering design, quality control, organisasi bisnis,

akuntansi, data processing, teknik pemasaran dan penelitian pasar. Semua

keahlian ini sangat dibutuhkan untuk mempertahankan atau memperbaiki

kualitas produk, mengingatkan efisiensi dan produktivitas dalam produksi,

memperluas pangsa pasar dan menembus pasar baru.

Cara paling efektif menanggulangi masalah SDM adalah memberikan pelatihan

langsung kepada pengusaha. Tetapi banyak pengusaha kecil tidak sanggup

menanggung sendiri biaya pelatihan. Oleh karena itu, peran pemerintah sangat

penting dalam menyelenggarakan program-program pendidikan dan latihan bagi

pengusaha maupun tenaga kerja UKM. Selama ini sudah banyak pelatihan dan

penyuluhan yang diberikan kepada pengusaha kecil oleh pemerintah, terutama

oleh Kementerian Koperasi dan UKM, Departemen Perindustrian dan

Perdagangan dan Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Hanya saja

efektivitasnya masih diragukan. Karena banyak pengusaha yang pernah

mengikuti pelatihan dan penyuluhan tersebut terlalu teoritis, waktunya terlalu

99 Ibid., hal. 80.

Universitas Indonesia

34

singkat, tidak ada tindak lanjutnya dan sering kali tidak cocok dengan kebutuhan

mereka yang sebenarnya.100

6. Kesulitan Memperoleh Bahan Baku

Kesulitan memperoleh bahan baku dan input lainnya juga menjadi masalah

serius bagi pertumbuhan output atau kelangsungan produksi usaha kecil.

Terutama selama krisis beberapa waktu yang lalu, banyak sentra-sentra usaha

kecil di sejumlah sub sektor industri manufaktur seperti sepatu dan produk-

produk tekstil mengalami kesulitan mendapatkan bahan baku atau input lainnya,

atau karena harganya dalam Rupiah menjadi sangat mahal akibat depresiasi nilai

tukar Rupiah terhadap Dolar Amerika Serikat. Tidak sedikit dari mereka

terpaksa menghentikan usaha dan berpindah profesi ke kegiatan-kegiatan

ekonomi lainnya, misalnya menjadi pedagang.101

7. Lemahnya Jaringan Usaha dan Kemampuan Penetrasi Pasar

UKM yang pada umumnya merupakan unit usaha keluarga, mempunyai jaringan

usaha yang sangat terbatas dan kemampuan penetrasi pasar yang rendah, oleh

karena produk yang dihasilkan jumlahnya sangat terbatas dan mempunyai

kualitas yang kurang kompetitif. Berbeda dengan usaha besar yang telah

mempunyai jaringan yang sudah solid serta didukung dengan teknologi yang

dapat menjangkau internasional dan promosi yang baik.102

8. Kurangnya Transparansi

Kurangnya transparansi antara generasi awal pembangun UKM tersebut

terhadap generasi selanjutnya. Banyak informasi dan jaringan yang

disembunyikan dan tidak diberitahukan kepada pihak yang selanjutnya

menjalankan usaha tersebut sehingga hal ini menimbulkan kesulitan bagi

generasi penerus dalam mengembangkan usahanya.103

9. Terbatasnya Sarana dan Prasarana Usaha atau Infrastruktur

100 Ibid., hal. 79.

101 Abdul Fatah Prawiraningprang, “Peran Pelaku Usaha Kecil dalam Pembangunan di Indonesia Berdasarkan Undang-Undang No. 9 Tahun 1995,” (Tesis Magister Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2005), hal. 37.

102 Mohammad Jafar Hafsah, “Upaya Pengembangan Usaha Kecil dan Menengah (UKM),” Infokop Nomor 25 Tahun XX (2004), hal. 42.

103 Dinas Koperasi dan UMKM Kota Padang, “Artikel tentang Usaha Kecil dan Menengah,” http://diskop.padang.go.id/artikel-tentang-usaha-kecil-dan-menengah/, diakses 26 Oktober 2012.

Universitas Indonesia

35

Kurangnya informasi yang berhubungan dengan kemajuan ilmu pengetahuan

dan teknologi, menyebabkan sarana dan prasarana yang mereka miliki juga tidak

cepat berkembang dan kurang mendukung kemajuan usahanya sebagaimana

yang diharapkan.104 Selain itu, tak jarang UKM kesulitan dalam memperoleh

tempat untuk menjalankan usahanya yang disebabkan karena mahalnya harga

sewa atau tempat yang ada kurang strategis.105

10. Implikasi Perdagangan Bebas

Sebagaimana diketahui bahwa AFTA yang mulai berlaku Tahun 2003 dan

APEC Tahun 2020 berimplikasi luas terhadap UKM untuk bersaing dalam

perdagangan bebas.

Dalam hal ini, mau tidak mau UKM dituntut untuk melakukan proses produksi

dengan produktif dan efisien, serta dapat menghasilkan produk yang sesuai

dengan frekuensi pasar global dengan standar kualitas seperti isu kualitas (ISO

9000), isu lingkungan (ISO 14.000), dan isu Hak Asasi Manusia (HAM) serta

isu ketenagakerjaan.

Isu ini sering digunakan secara tidak fair oleh negara maju sebagai hambatan

(Non Tariff Barrier for Trade). Untuk itu, UKM perlu mempersiapkan diri agar

mampu bersaing baik secara keunggulan komparatif maupun keunggulan

kompetitif.106

M. Tohar membedakan kelemahan pengelolaan UKM menjadi 2 (dua), yaitu:

Berkaitan dengan Faktor Intern dan berkaitan dengan Faktor Ekstern dalam bukunya

yang diberi judul “Membuka Usaha Kecil.” Kelemahan dan hambatan dalam

pengelolaan UKM umumnya berkaitan dengan faktor intern dari UKM itu sendiri.

Kelemahan dan hambatan-hambatan tersebut adalah sebagai berikut:107

1. Terlalu banyak biaya yang dikeluarkan, utang yang tidak bermanfaat, tidak

mematuhi ketentuan pembukuan standar.

2. Pembagian kerja yang tidak proporsional, dan karyawan sering bekerja di luar

batas jam kerja standar.

3. Tidak mengetahui secara tepat berapa kebutuhan modal kerja karena tidak

adanya perencanaan kas.104 Hafsah, Loc. Cit..

105 Dinas Koperasi dan UMKM Kota Padang, Loc. Cit..

106 Hafsah, Loc. Cit..

107 Tohar, Op. Cit., hal. 29.

Universitas Indonesia

36

4. Persediaan barang terlalu banyak sehingga beberapa jenis barang ada yang

kurang laku.

5. Sering terjadi miss-management dan ketidakpedulian pengelolaan terhadap

prinsip-prinsip manajerial.

6. Sumber modal yang terbatas pada kemampuan pemilik.

7. Perencanaan dan program pengendalian sering tidak ada atau belum pernah

merumuskan.

Adapun yang menyangkut faktor ekstern antara lain:108

1. Risiko dan utang-utang kepada pihak ketiga ditanggung oleh kekayaan pribadi

pemilik;

2. Sering kecurangan informasi bisnis, hanya mengacu pada institusi dan ambisi

pengelola, serta lemah dalam promosi; dan/atau

3. Tidak pernah melakukan studi kelayakan, penelitian pasar, dan analisis

perputaran uang tunai.

III.2. MASALAH AKTUAL YANG DIHADAPI PEMERINTAH DALAM

MENGEMBANGKAN USAHA MIKRO, KECIL, DAN MENENGAH

Pada umumnya permasalahan aktual yang dihadapi oleh pemerintah dalam

mengembangkan UKM, antara lain meliputi:

1. Iklim Usaha Belum Sepenuhnya Kondusif

Upaya pemberdayaan UKM dari tahun ke tahun selalu dimonitor dan dievaluasi

perkembangannya dalam hal kontribusinya terhadap penciptaan produk

domestik bruto (PDB), penyerapan tenaga kerja, ekspor dan perkembangan

pelaku usahanya serta keberadaan investasi usaha kecil dan menengah melalui

pembentukan modal tetap bruto (investasi). Keseluruhan indikator ekonomi

makro tersebut selalu dijadikan acuan dalam penyusunan kebijakan

pemberdayaan UKM serta menjadi indikator keberhasilan pelaksanaan

kebijakan yang telah dilaksanakan pada tahun sebelumnya.109

Kebijaksanaan Pemerintah untuk menumbuhkembangkan UKM, meskipun dari

tahun ke tahun terus disempurnakan, namun dirasakan belum sepenuhnya

kondusif. Hal ini terlihat antara lain masih terjadinya persaingan yang kurang

sehat antara pengusaha-pengusaha kecil dan menengah dengan pengusaha-

108 Ibid..

109 Dinas Koperasi dan UMKM Kota Padang, Loc. Cit..

Universitas Indonesia

37

pengusaha besar.110

Kendala lain yang dihadapi oleh UKM adalah mendapatkan perijinan untuk

menjalankan usaha mereka. Keluhan yang seringkali terdengar mengenai

banyaknya prosedur yang harus diikuti dengan biaya yang tidak murah,

ditambah lagi dengan jangka waktu yang lama. Hal ini sedikit banyak terkait

dengan kebijakan perekonomian Pemerintah yang dinilai tidak memihak pihak

kecil seperti UKM tetapi lebih mengakomodir kepentingan dari para pengusaha

besar.111

2. Pungutan Liar

Praktek pungutan tidak resmi atau lebih dikenal dengan pungutan liar menjadi

salah satu kendala juga bagi UKM karena menambah pengeluaran yang tidak

sedikit. Hal ini tidak hanya terjadi sekali namun dapat berulang kali secara

periodik, misalnya setiap minggu atau setiap bulan.112

3. Implikasi Otonomi Daerah

Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang

Pemerintahan Daerah yang kemudian diubah dengan Undang-Undang Nomor 32

Tahun 2004, kewenangan daerah mempunyai otonomi untuk mengatur dan

mengurus masyarakat setempat. Perubahan sistem ini akan mempunyai

implikasi terhadap pelaku bisnis kecil dan menengah berupa pungutan-pungutan

baru yang dikenakan pada UKM. Jika kondisi ini tidak segera dibenahi maka

akan menurunkan daya saing UKM.

Di samping itu, semangat kedaerahan yang berlebihan, kadang menciptakan

kondisi yang kurang menarik bagi pengusaha luar daerah untuk

mengembangkan usahanya di daerah tersebut.113

110 Hafsah, Loc. Cit..

111 Dinas Koperasi dan UMKM Kota Padang, Loc. Cit..

112 Ibid..

113 Hafsah, Loc. Cit..

Universitas Indonesia

38

BAB IV

PERAN PERUSAHAAN KELUARGA SEBAGAI USAHA MIKRO,

KECIL, DAN MENENGAH DALAM MEMPERKUAT

EKONOMI NASIONAL

IV.1. JUMLAH PERUSAHAAN KELUARGA SEBAGAI USAHA MIKRO,

KECIL, DAN MENENGAH (UKM)

Tabel 4.1 Perkembangan Unit UKM dan UB Tahun 2008-2010

INDIKATOR TAHUN 2008 TAHUN 2009 TAHUN 2010

UNIT USAHA (A+B) 51.414.262 52.769.280 53.828.569

A. Usaha Mikro, Kecil, dan

Menengah51.409.612 52.764.603 53.207.500

B. Usaha Besar 4.650 4.677 4.838

Sumber Tabel: Perkembangan Data Usaha Mikro, Kecil, Menengah (UMKM) dan Usaha Besar (UB)

Tahun 2006 – 2010, Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Republik

Indonesia.

Berdasarkan pada Tabel Perkembangan Unit UKM dan UB Tahun 2008-2010

(Tabel 4.1) sebagaimana yang telah dikemukakan pada bagian sebelumnya, terdapat

perkembangan unit UKM sebesar 2,63% dengan jumlah 1.354.991 unit dari tahun 2008

sampai dengan tahun 2009. Sementara itu, pada periode yang sama unit UB

berkembang sebesar 0,65% dengan jumlah 27 unit.

Selanjutnya, pada tahun 2010 terdapat perkembangan unit UKM sebesar 0,83%

dengan jumlah 442.897 unit apabila dibandingkan dengan tahun 2009. Di sisi lain, pada

periode yang sama unit UB mengalami perkembangan sebesar 3,44% dengan jumlah

161 unit.

IV.2. PERAN PERUSAHAAN KELUARGA SEBAGAI USAHA MIKRO,

KECIL, DAN MENENGAH (UKM) DALAM MEMPERKUAT

EKONOMI NASIONAL

IV.2.1. Peran Perusahaan Keluarga pada Bidang Ketenagakerjaan

Tabel 4.2 Perkembangan Tenaga Kerja UKM dan UB Tahun 2008-2010

INDIKATOR TAHUN 2008 TAHUN 2009 TAHUN 2010

Universitas Indonesia

39

TENAGA KERJA (A+B) 96.780.483 98.886.003 102.241.486

A. Usaha Mikro, Kecil, dan

Menengah94.024.278 96.211.332 99.401.775

B. Usaha Besar 2.756.205 2.674.671 2.839.711

Sumber Tabel: Perkembangan Data Usaha Mikro, Kecil, Menengah (UMKM) dan Usaha Besar (UB)

Tahun 2006 – 2010, Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Republik

Indonesia.

Berdasarkan pada Tabel Perkembangan Tenaga Kerja UKM dan UB Tahun

2008-2010 (Tabel 4.2) sebagaimana yang telah dikemukakan pada bagian sebelumnya,

terdapat perkembangan tenaga kerja UKM sebesar 2,32% dengan jumlah 2.187.054

orang dari tahun 2008 sampai dengan tahun 2009. Sementara itu, pada periode yang

sama tenaga kerja UB berkurang sebesar 2,96% dengan jumlah 81.534 orang.

Selanjutnya, pada tahun 2010 terdapat perkembangan tenaga kerja UKM sebesar

3,31% dengan jumlah 3.190.443 orang apabila dibandingkan dengan tahun 2009. Di sisi

lain, pada periode yang sama tenaga kerja UB mengalami perkembangan sebesar 6,17%

dengan jumlah 165.040 orang.

Sebagaimana yang telah dijabarkan pada bagian sebelumnya, tampak dengan

jelas bahwa UKM pada praktiknya memberikan lapangan pekerjaan dan kesempatan

bekerja yang jauh lebih besar apabila dibandingkan dengan yang diberikan oleh UB. Di

samping itu, jumlah tenaga kerja yang dipekerjakan oleh UKM terus mengalami

peningkatan setiap tahunnya dibandingkan dengan jumlah tenaga kerja yang

dipekerjakan oleh UB yang sempat mengalami penurunan pada tahun 2009.

IV.2.2. Peran Perusahaan Keluarga pada Produk Domestik Bruto

Tabel 4.3 Perkembangan PDB UKM dan UB Tahun 2008-2010

INDIKATOR TAHUN 2008 TAHUN 2009 TAHUN 2010

PDB ATAS DASAR HARGA

BERLAKU (A+B)4.693.809,0 5.294.860,9 6.068.762,8

A. Usaha Mikro, Kecil, dan

Menengah2.613.226,1 2.993.151,7 3.466.393,3

B. Usaha Besar 2.080.582,9 2.301.709,2 2.602.369,5

Sumber Tabel: Perkembangan Data Usaha Mikro, Kecil, Menengah (UMKM) dan

Usaha Besar (UB) Tahun 2006 – 2010, Kementerian Koperasi dan Usaha

Kecil dan Menengah Republik Indonesia.

Universitas Indonesia

40

Berdasarkan pada Tabel Perkembangan PDB UKM dan UB Tahun 2008-2010

(Tabel 4.3) sebagaimana yang telah dikemukakan pada bagian sebelumnya, terdapat

perkembangan PDB UKM sebesar 14,54% dengan jumlah 379.925,6 milyar dari tahun

2008 sampai dengan tahun 2009. Sementara itu, pada periode yang sama PDB UB

berkurang sebesar 10,63% dengan jumlah 221.126,3 milyar.

Selanjutnya, pada tahun 2010 terdapat perkembangan PDB UKM sebesar

15,81% dengan jumlah 473.241,6 milyar apabila dibandingkan dengan tahun 2009. Di

sisi lain, pada periode yang sama PDB UB mengalami perkembangan sebesar 13,06%

dengan jumlah 300.660,3 milyar.

Sebagaimana yang telah dijabarkan pada bagian sebelumnya, tampak dengan

jelas bahwa UKM pada praktiknya memberikan sumbangan terhadap PDB yang jauh

lebih besar apabila dibandingkan dengan yang diberikan oleh UB. Di samping itu,

jumlah sumbangan yang diberikan kepada PDB oleh UKM terus mengalami

peningkatan dari tahun ke tahun yang persentase perkembangannya lebih besar daripada

persentase perkembangan sumbangan yang diberikan oleh UB kepada PDB.

IV.2.3. Peran Perusahaan Keluarga pada Ekspor Non Migas

Tabel 4.4 Perkembangan Total Ekspor Non Migas UKM dan UB Tahun 2008-2010

INDIKATOR TAHUN 2008 TAHUN 2009 TAHUN 2010

TOTAL EKSPOR NON MIGAS

(A+B)983.540,4 953.089,9 1.112.719,9

C. Usaha Mikro, Kecil, dan

Menengah178.008,28 162.254,5 175.894,9

D. Usaha Besar 805.532,1 790.835,3 936.825,0

Sumber Tabel: Perkembangan Data Usaha Mikro, Kecil, Menengah (UMKM) dan Usaha Besar (UB)

Tahun 2006 – 2010, Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Republik

Indonesia.

Berdasarkan pada Tabel Perkembangan Total Ekspor Non Migas UKM dan UB

Tahun 2008-2010 (Tabel 4.4) sebagaimana yang telah dikemukakan pada bagian

sebelumnya, terdapat penurunan total ekspor non migas UKM sebesar 8,85% dengan

jumlah 15.753,78 milyar dari tahun 2008 sampai dengan tahun 2009. Sementara itu,

pada periode yang sama total ekspor non migas UB berkurang sebesar 1,82% dengan

jumlah 14.696,8 milyar.

Universitas Indonesia

41

Selanjutnya, pada tahun 2010 terdapat perkembangan total ekspor migas UKM

sebesar 8,41% dengan jumlah 13.640,4 milyar apabila dibandingkan dengan tahun

2009. Di sisi lain, pada periode yang sama total ekspor migas UB mengalami

perkembangan sebesar 18,46% dengan jumlah 145.989,7 milyar.

Sebagaimana yang telah dijabarkan pada bagian sebelumnya, sepintas tampak

dengan jelas bahwa UKM pada dasarnya memberikan sumbangan terhadap penerimaan

devisa negara melalui kegiatan ekspor non migas dalam jumlah yang jauh lebih sedikit

apabila dibandingkan dengan yang diberikan oleh UB. Namun demikian, pertama-tama

perlu dipahami terlebih dahulu bahwa UKM pada prinsipnya memiliki berbagai

keterbatasan – terutama finansial – apabila hendak dibandingkan dengan UB. Akan

tetapi, dengan segala keterbatasan yang ada padanya tersebut UKM pada hakikatnya

tetap dan terus berusaha untuk memberikan sumbangan terhadap penerimaan devisa

negara. Di samping itu, walaupun sempat mengalami penurunan pada tahun 2009, total

ekspor non migas UKM pada akhirnya mampu mengalami perkembangan dengan

besaran persentase yang menggembirakan sekaligus membanggakan.

Universitas Indonesia

42

BAB V

PENUTUP

V.1. KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan maka dapat ditarik beberapa

kesimpulan sebagai berikut:

1. Kelebihan atau keuntungan perusahaan keluarga berbentuk persekutuan firma

atau persekutuan komanditer (CV) sebagai Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah

(UKM) adalah sebagai berikut:

a. Tingginya tingkat kemandirian tindakan (independence of action).

b. Kebutuhan akan modal lebih mudah terpenuhi, sehingga modal dalam firma

lebih besar.

c. Tergabungnya alasan-asalan rasional karena sebagian besar tindakan yang

didasarkan oleh musyawarah menghasilkan kebenaran dan mendatangkan

keuntungan.

d. Pendiriannya tidak terlalu rumit, yaitu dapat dilakukan, baik dengan lisan

maupun tulisan. Apabila dilakukan dengan tulisan maka dapat dibuat akta

otentik dengan Akta Notaris ataupun dengan akta di bawah tangan. Akta

Notaris merupakan alat pembuktian yang membuat kedudukan perusahaan

keluarga kuat apabila berhubungan dengan pihak ketiga.

2. Masalah aktual atau hambatan yang dihadapi oleh perusahaan dan pemerintah

dalam mengembangkan perusahaan keluarga berbentuk persekutuan firma atau

persekutuan komanditer (CV) sebagai Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah

(UKM) adalah sebagai berikut: (a) Kesulitan memperoleh modal; (b) Kesulitan

pemasaran; (c) Kesulitan memperoleh informasi; (d) Kesulitan teknologi; (e)

Kesulitan SDM; (f) Kesulitan memperoleh bahan baku; (g) Lemahnya jaringan

usaha dan kemampuan penetrasi pasar; (h) Kurangnya transparansi; (i)

Terbatasnya sarana dan prasarana usaha atau infrastruktur; (j) Implikasi

perdagangan bebas; (k) Iklim usaha belum sepenuhnya kondusif; (l) Pungutan

liar; dan (m) Implikasi Otonomi Daerah.

3. Peran perusahaan keluarga berbentuk persekutuan firma atau persekutuan

komanditer (CV) sebagai Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UKM) dalam

memperkuat ekonomi nasional adalah sebagai berikut:

Universitas Indonesia

43

a. Memberikan lapangan pekerjaan dan kesempatan bekerja yang jauh lebih

besar apabila dibandingkan dengan yang diberikan oleh UB. Di samping itu,

jumlah tenaga kerja yang dipekerjakan oleh UKM terus mengalami

peningkatan setiap tahunnya dibandingkan dengan jumlah tenaga kerja yang

dipekerjakan oleh UB;

b. Memberikan sumbangan terhadap PDB yang jauh lebih besar apabila

dibandingkan dengan yang diberikan oleh UB. Di samping itu, jumlah

sumbangan yang diberikan kepada PDB oleh UKM terus mengalami

peningkatan dari tahun ke tahun yang persentase perkembangannya lebih

besar daripada persentase perkembangan sumbangan yang diberikan oleh

UB kepada PDB; dan

c. Memberikan sumbangan terhadap penerimaan devisa negara melalui

kegiatan ekspor non migas, walaupun dengan segala keterbatasan yang ada

padanya.

V.2. SARAN

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, beberapa saran disampaikan untuk

melengkapi hasil penelitian, yaitu:

1. Penciptaan Iklim Usaha yang Kondusif

Pemerintah perlu mengupayakan terciptanya iklim yang kondusif antara lain

dengan mengusahakan ketenteraman dan keamanan berusaha serta

penyederhanaan prosedur perijinan usaha, keringanan pajak dan sebagainya.

2. Bantuan Permodalan

Pemerintah perlu memperluas skema kredit khusus dengan syarat-syarat yang

tidak memberatkan bagi UKM, untuk membantu peningkatan permodalannya,

baik itu melalui sektor jasa finansial formal, sektor jasa finansial informal,

skema penjaminan, leasing dan dana modal ventura.

Pembiayaan untuk UKM sebaiknya menggunakan Lembaga Keuangan Mikro

( selanjutnya disebut “LKM”) yang ada maupun non bank. Lembaga Keuangan

Mikro bank antara Lain: BRI unit Desa dan Bank Perkreditan Rakyat (BPR).

Sampai saat ini, BRI memiliki sekitar 4.000 unit yang tersebar diseluruh

Indonesia. Dari kedua LKM ini sudah tercatat sebanyak 8.500 unit yang

melayani UKM. Untuk itu perlu mendorong pengembangan LKM agar dapat

berjalan dengan baik, karena selama ini LKM non koperasi memilki kesulitan

dalam legitimasi operasionalnya.

Universitas Indonesia

44

3. Perlindungan Usaha

Jenis-jenis usaha tertentu, terutama jenis usaha tradisional yang merupakan

usaha golongan ekonomi lemah, harus mendapatkan perlindungan dari

pemerintah, baik itu melalui undang-undang maupun peraturan pemerintah yang

bermuara kepada saling menguntungkan (win-win solution).

4. Pengembangan Kemitraan

Perlu dikembangkan kemitraan yang saling membantu antar UKM, atau antara

UKM dengan pengusaha besar di dalam negeri maupun di luar negeri, untuk

menghindarkan terjadinya monopoli dalam usaha. Di samping itu juga untuk

memperluas pangsa pasar dan pengelolaan bisnis yang lebih efisien. Dengan

demikian UKM akan mempunyai kekuatan dalam bersaing dengan pelaku bisnis

lainnya, baik dari dalam maupun luar negeri.

5. Pelatihan

Pemerintah perlu meningkatkan pelatihan bagi UKM baik dalam aspek

kewiraswastaan, manajemen, administrasi dan pengetahuan serta

keterampilannya dalam pengembangan usahanya. Di samping itu juga perlu

diberi kesempatan untuk menerapkan hasil pelatihan di lapangan untuk

mempraktekkan teori melalui pengembangan kemitraan rintisan.

6. Membentuk Lembaga Khusus

Perlu dibangun suatu lembaga yang khusus bertanggung jawab dalam

mengkoordinasikan semua kegiatan yang berkaitan dengan upaya

penumbuhkembangan UKM dan juga berfungsi untuk mencari solusi dalam

rangka mengatasi permasalahan baik internal maupun eksternal yang dihadapi

oleh UKM.

7. Memantapkan Asosiasi

Asosiasi yang telah ada perlu diperkuat, untuk meningkatkan perannya antara

lain dalam pengembangan jaringan informasi usaha yang sangat dibutuhkan

untuk pengembangan usaha bagi anggotanya.

8. Mengembangkan Promosi

Guna lebih mempercepat proses kemitraan antara UKM dengan usaha besar

diperlukan media khusus dalam upaya mempromosikan produk-produk yang

dihasilkan. Di samping itu perlu juga diadakan talk show antara asosiasi dengan

mitra usahanya.

Universitas Indonesia

45

9. Mengembangkan Kerjasama yang Setara

Perlu adanya kerjasama atau koordinasi yang serasi antara pemerintah dengan

dunia usaha (UKM) untuk menginventarisir berbagai isu-isu mutakhir yang

terkait dengan perkembangan usaha.

10. Mengembangkan Sarana dan Prasarana

Perlu adanya pengalokasian tempat usaha bagi UKM di tempat-tempat yang

strategis sehingga dapat menambah potensi berkembang bagi UKM tersebut.

Universitas Indonesia

46

DAFTAR PUSTAKA

A. B. Susanto, World Class Family Business: Membangun Perusahaan Keluarga Berkelas Dunia (Jakarta: Penerbit Quantum Bisnis & Manajemen, 2005).

Abdul Fatah Prawiraningprang, “Peran Pelaku Usaha Kecil dalam Pembangunan di Indonesia Berdasarkan Undang-Undang No. 9 Tahun 1995,” (Tesis Magister Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2005).

Craig E. Aronoff dan John L. Ward, Family Meetings: How to Build a Stronger Family and a Stronger Business (Marietta: Family Enterprise Publishers, 2002).

Dinas Koperasi dan UMKM Kota Padang, “Artikel tentang Usaha Kecil dan Menengah,” http://diskop.padang.go.id/artikel-tentang-usaha-kecil-dan-menengah/, diakses 26 Oktober 2012.

Evie Hikmahwati, “Tantangan Suksesi dan Regenerasi Perusahaan Keluarga Al-Fajar,” (Tesis Magister Manajemen Universitas Indonesia, Jakarta, 2006).

Gunawan Widjaja, Seri Aspek Hukum dalam Bisnis: Persekutuan Perdata, Persekutuan Firma dan Persekutuan Komanditer, ed. 1, cet. 2 (Jakarta: Kencana, 2006).

H. M. N. Purwosutjipto, Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia: Bentuk Perusahaan, Jilid 2, cet. 12 (Jakarta: Djambatan, 2008).

Handri Raharjo, Hukum Perusahaan (Yogyakarta: Penerbit Pustaka Yustisia, 2009).

Hukumonline.com, Tanya Jawab Hukum Perusahaan, cet. 1 (Jakarta: Visimedia, 2009).

I. G. Rai Widjaya, Hukum Perusahaan, cet. 7 (Bekasi: Kesaint Blanc, 2007).

I. Wibowo, Clara Wresti dan Alexander Wibisono, Mata Hati Sang “Pioneer” Indonesia: Biografi Pandji Wisaksana, cet. 1 (Jakarta: Penerbit Gramedia Pustaka Utama, 2006).

Indonesia (B), Kitab Undang-Undang Hukum Dagang, Wetboek van Koophandel voor Indonesie, Stbl. No. 23 Tahun 1847.

Indonesia (C), UU tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah, UU No. 20 Tahun 2008, LN No. 93 Tahun 2008, TLN No. 4866.

John L. Ward, Perpetuating the Family Business: 50 Lessons Learned from Long-Lasting, Successful Families in Business (New York: Palgrave Macmillan, 2004).

M. Irfan, Usaha Kecil dan Menengah: Bahan Penataran Pengusaha Kecil (2000).

M. Tohar, Membuka Usaha Kecil, cet. ke-7 (Yogyakarta: Kanisius, 2000).

M. Yahya Harahap, Hukum Perseroan Terbatas, cet. 2, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009).

Universitas Indonesia

47

Mohammad Iqbal, Solusi Jitu bagi Pengusaha Kecil dan Menengah: Pedoman Menjalankan Usaha, cet. Kedua (Jakarta: Elex Media Komputindo, 2004).

Mohammad Jafar Hafsah, “Upaya Pengembangan Usaha Kecil dan Menengah (UKM),” Infokop Nomor 25 Tahun XX (2004).

Pandji Anoraga dan H. Djoko Sudantoko, Koperasi, Kewirausahaan, dan Usaha Kecil, cet. 1 (Jakarta: Rineka Cipta, 2002).

Pieter P. Gero, “Bisnis Keluarga Pilar Penting bagi Perekonomian Indonesia,” http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2011/10/31/19102849/Bisnis.Keluarga.Pilar.Penting.bagi.Perekonomian.Asia, diunduh 22 Oktober 2012.

R. T. Sutantya R. Handhikusuma dan Sumantoro, Pengertian Pokok Hukum Perusahaan, Bentuk-Bentuk Perusahaan yang Berlaku di Indonesia (Jakarta: Rajawali Pers, 1991).

Renato Tagiuri dan John A. Davis, Bivalent Attributes of the Family Firm (Cambridge: Harvard Business School, 1996).

Ridwan Khairandy, Pengantar Hukum Dagang (Yogyakarta: FH UII Press, 2006).

Satrio Wahono dan Dofa Purnomo, Animal-Based Management: Rahasia Merek-Merek Raksasa Berjaya (Jakarta: Penerbit Gramedia Pustaka Utama, 2010).

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat, cet. 3, (Jakarta: Rajawali Press, 1990).

Sri Mamudji et al., Metode Penelitian dan Penulisan Hukum, cet. 1, (Depok: Badan Penerbit Fakultas Hukum UI, 2005).

Sritua Arief, Pengusaha Kecil dan Menengah di Asia Tenggara, cet. 1 (Jakarta: LP3ES, 1991)

Sutrisno Iwantono, Kiat Sukses Berwirausaha, Ed. Revisi (Jakarta: Grasindo, 2001).

Thomas W. Zimmerer, Norman M. Scarborough, dan Doug Wilson, Kewirausahaan dan Manajemen Usaha Kecil, Ed. 5 [Essentials of Entrepreneurship and Small Business Management, 5th ed.], diterjemahkan oleh Deny Arnos Kwary, (Jakarta: Penerbit Salemba Empat, 2009).

Tiktik Sartika Partomo, Usaha Kecil Menengah dan Koperasi (Jakarta: Center for Industry and SME Studies Faculty of Economics University of Trisakti, 2004).

Tulus T. H. Tambunan, Usaha Kecil dan Menengah di Indonesia: Beberapa Isu Penting (Jakarta: Salemba Empat, 2002).

Tulus Tambunan, “Peranan UKM bagi Perekonomian Indonesia dan Prospeknya,” Manajemen Usahawan Indonesia, No. 07/Th. XXXI (Juli 2002),.

Tulus Tambunan, Development of Small-Scale Industries During the New Order Government in Indonesia (Ashgate, 2000).

Universitas Indonesia

48

Tutut Handayani, “Tiga Faktor Kekuatan Bisnis Keluarga,” http://swa.co.id/listed-articles/tiga-faktor-kekuatan-bisnis-keluarga, diakses pada 24 Oktober 2012.

Yoshihara Kunio, Kapitalisme Semu Asia Tenggara (Jakarta: LP3ES, 1990).

Yusuf C. K. Arianto, Rahasia Dapat Modal & Fasilitas dengan Cepat & Tepat (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2011).

Universitas Indonesia