Upload
syafar-marpaung
View
100
Download
3
Embed Size (px)
DESCRIPTION
PERAN
Citation preview
PERAN PENGAJARAN FORMAL PADA PEMEROLEHAN BAHASA KEDUA
PERAN PENGAJARAN FORMAL
PADA PEMEROLEHAN BAHASA KEDUA
by. Marlia, S.Pd., M.Hum.
PendahuluanBab ini meneliti pemerolehan bahasa kedua dalam pengaturan kelas. Hal itu mempertimbangkan apakah pengajaran formal dibedakan dengan pemerolehan bahasa kedua. Hal ini merupakan persoalan yang penting, karena itu menunjuk pada pertanyaan mengenai peran yang dimainkan oleh faktor lingkungan dalam pemerolehan bahasa kedua. Hal ini juga merupakan persoalan pendidikan yang penting, sebab pedagogi (ilmu mendidik) bahasa telah memiliki tradisi menjalankan asumsi bahwa tatabahasa dapat diajarkan.Dua jenis yang luas dari pemerolehan bahasa kedua dapat diidentifikasi berdasarkan pengaturan pemerolehan: (1) pemerolehan bahasa kedua alamiah, dan (2) kelas pemerolehan bahasa kedua (lihat bab 1). Dalam bab 6 beberapa perbedaan pada jenis pemakaian/interaksi dihubungkan dengan dua pengaturan yang telah dipertimbangkan ini. Hal itu menunjukkan bahwa bercakap-cakap di kelas dapat berubah, dalam perbandingan dengan secara alami terjadinya percakapan. Suatu pertanyaan penting, oleh karena itu, dengan cara apakah perubahan ini, yang mana sebagian besar disempurnakan oleh usaha untuk mengajar daripada untuk berbicara, mempengaruhi jalan dan tingkat pemerolehan bahasa kedua di dalam kelas. Dengan mempertimbangkan bagaimana pengajaran formal mempengaruhi pemerolehan bahasa kedua, hal ini mungkin menunjuk pada persoalan yang lebih luas mengenai peran dari faktor lingkungan.Pengajaran bahasa mempunyai banyak tujuan. Salah satunya memiliki tradisi untuk mengajar pelajar dengan sistem formal pada bahasa kedua (L2), khususnya tatabahasa, walaupun fonologi dan kosa kata juga mungkin untuk menerima perhatian. Bab ini semata-mata akan dikaitkan dengan peran pengajaran dalam pemerolehan tatabahasa bahasa kedua (L2). Hal itu mempertimbangkan pengajaran formal.Dalam banyak metode pengajaran, suatu asumsi dibuat bahwa memusatkan pada bentuk linguistik membantu pemerolehan dari pengetahuan tatabahasa, atau, untuk meletakkannya dengan cara lainnya, bahwa peningkatan kesadaran pelajar mengenai peran target bahasa yang alami membantu pelajar untuk menginternalisasikan mereka. Dalam kasus tentang metode deduktif ini adalah kasus dirinya dengan jelas. Tetapi, hal ini juga benar dalam metode ‘habit forming’ seperti audio-lingualisme, sebagai tujuan dari penyajian praktik adalah untuk memusatkan pada bentuk spesifik linguistik, yang mana pelajar dianjurkan untuk mempengaruhi dan yang mana pada akhirnya ia akan membentuk kurang lebih penyajian mental yang disengaja/sadar. Tentunya, pemerolehan yang diakibatkan oleh pengajaran tidak mungkin dengan serta merta. Kebanyakan metode membedakan ‘skill getting’ (mendapatkan kecakapan), dengan ‘skill using’ (penggunaan kecakapan) (Rivers dan Temperley, 1978). Pemerolehan memerlukan praktik satu sesama atau yang lainnya.
Asumsi lainnya tentang pengajaran formal adalah bahwa pada saat dimana fitur gramatikal diajarkan akan berpengaruh pada saat mereka mempelajarinya. Silabus bahasa disusun sedemikian cara untuk memudahkan hubungan antara pengajaran dan pembelajaran. Namun, kedua asumsi ini dapat dipertanyakan, dipandang dari sudut apa mengetahui pemerolehan bahasa kedua yang natural, dimana pelajar menuruti pemerohan alami yang mengarahkan sebagai hasil dari mempelajari bagaimana berkomunikasi dalam bahasa kedua (lihat bab 3). Tetapi, walaupun bukti-bukti dari pemerolehan bahasa kedua yang alami menyarankan untuk tidak berasumsi tentang pedagogi bahasa tradisional, hal ini tidak menyangkal mereka. Apa yang diperlukan untuk suatu penilaian seksama merupakan bukti tentang kelas pemerolehan bahasa kedua itu sendiri. Penelitian tentang peranan pengajaran formal dapat dilakukan dalam dua cara : pertama, jawaban dari sebuah pertanyaan ‘apakah pengajaran formal membantu pemerolehan bahasa kedua?’ dapat ditemukan. Kedua, pertanyaan ‘pengajaran formal bagaimana yang sebagian besar membantu pemerolehan bahasa kedua, dapat terjawab. Pada pertanyaan pertama terdapat anggapan bahwa seluruh jenis pengajaran formal berbagi pendapat dasar tertentu dan oleh karena itu, bahwa, dimungkinkan untuk berbicara secara umum mengenai ‘pengajaran formal’. Dalam pertanyaan kedua terdapat anggapan bahwa pengajaran formal secara umum adalah upaya memudahkan dan bahwa persoalan pentingnya adalah apa yang menjadi ciri lebih sukses dari beberapa jenis pengajaran. Ada sedikit keraguan bahwa pengajaran formal dapat sangat bervariasi. Ellis (1984a) mempertimbangkan beberapa dimensi utama ini. Peningkatan kesadaran dapat bervariasi, tergantung tingkat kejelasan yang merupakan aturan penyajian dan juga tingkat perluasan keterlibatan (Sharwood-Smith 1981). Pelatihan pola tatabahasa dapat juga bervariasi berdasarkan intensitas latihan dan teknik khusus yang digunakan. Sifat alami aturan target juga merupakan faktor potensial yang penting – beberapa aturan mungkin lebih mudah daripada mengajar dan belajar2. Tujuan instruksional dapat menjadi aturan internal atau suatu rumus penghafalan, belajar dikemudian hari lebih terasa sebagai beban dibanding belajar terdahulu. Namun yang lebih penting adalah dari sudut pandang orang yang belajar ; apakah merupakan permaksudan sebagai sebuah usaha untuk berlatih aturan tatabahasa oleh guru, dan mungkin terlihat sebagai teka-teki bagi orang yang belajar, menuntut tidak hanya strategi pembelajaran bahasa, tapi prosedur untuk mendapatkan jawaban yang benar (lihat Hosenfeld 1976).3 Variasi tersebut dapat diberikan pada pengajaran formal, mungkin tidak mengherankan bahwa penyelidikan mengenai efek tersebut pada pembelajaran berisi studi komparatif , mengarahkan pada pembentukan beberapa jenis cara yang lebih efektif. Namun, seperti yang tercantum pada bab 6, studi komparatif ini tidak sesukses dalam menunjukkan satu metode pengajaran yang lebih efektif dari cara lain. Sebagai akibat, perhatian telah terangkat pada satu dari dua pertanyaan – apakah pengajaran formal dengan sendirinya membantu pemerolehan bahasa kedua. Apa yang menjadi perbedaan metoda pengajaran telah bersama-sama merupakan fokus pada bentuk, manisfestasi, sebagai misal, dalam ketentuan umpan balik oleh guru untuk mengoreksi kesalahan formal (Krashen dan Seliger 1975). Jadi, hal itu telah menjadi alasan bahwa mungkin tidak hanya berbicara tentang peran pengajaran secara umum saja, melainkan topik ini secara logis mengutamakan pertimbangan perbedaan jenis pengajaran yang menyebabkan perbedaan hasil. Studi komparatif telah memberikan jalan pada pertimbangan mengenai apa peran pengajaran formal, pandangan umum, permainan dalam kelas pemerolehan bahasa kedua.
Dengan demikian apa yang menjadi kriteria kelengkapan pengajaran formal? Penulis mengusulkan dua hal (meskipun terdapat kemungkinan ada yang lain). (1) corak khusus tatabahasa yang dipilih untuk menarik perhatian pelajar, dan (2) atensi ini jelas mempusatkan karakteristik corak khusus tatabahasa. Dalam kaitan dengan dua hal ini, pengajaran formal diambil untuk menyertakan pengajaran yang merupakan hasil dari metode deduktif seperti kode kognitif, metode induktif seperti audiolingualisme, dan, juga pengajaran yang didasari material fungsional dimana bahasa khusus berarti untuk merealisasikan beragam cara berbicara atau kategori tatabahasa-semantik diperkenalkan dan digunakan. Hal itu bukan berarti menyertakan pengajaran dimana pelajar didorong untuk menggunakan komunikasi alami dengan sumber bahasa apapun yang dia miliki. (umpamanya seperti yang digambarkan dalam Proyek Bangalore-Lihat Johnson 1982).Dalam upaya mempelajari efek dari suatu pengajaran, sangat penting untuk membedakan perbedaan aspek pemerolehan bahasa kedua. Peran pengajaran dalam pemerolehan bahasa kedua harus secara terpisah mempertimbangkan dalam hal efek pengajaran yang berakibat mengarah kepada perkembangan (antara lain urutan umum atau perintah tambahan khusus. Dan efek pengajaran berakibat pada tingkat pengembangan (antara lain kecakapan tingkat pencapaian akhir). Perbedaan ini pada satu pihak dan penilaian dipihak lain juga dipertimbangkan dalam bab 5. Hal ini merupakan perbedaan yang sangat penting saat mempertimbangkan pengajaran formal karena hal itu mungkin bahwa pengajaran dapat menentukan kedua jalan dan penilaian/kesuksesan, atau hanya salah satunya saja. Singkatnya, mempelajari peran pengajaran formal dalam pemerolehan bahasa kedua adalah penting dalam hal membangun pemahaman teoritis tentang pemerolehan bahasa kedua dan untuk ilmu mendidik tentang bahasa. Dalam kasus terdahulu, hal itu dapat menerangkan bagaimana perbedaan dalam kondisi lingkungan mempengaruhi pemerolehan bahasa kedua. Dalam kasus terakhir, hal itu dapat membantu menguji asumsi pendidikan dasar seperti apakah urutan pola tatabahasa yang diperkenalkan sesuai dengan urutan yang telah diajarkan pada mereka. Pengajaran dapat diambil dari beberapa bentuk berbeda, tapi untuk penggunaan pada bab ini, isu yang dipertimbangkan bukan jenis pengajaran yang paling efektif, tapi apakah pengajaran formal memiliki pengaruh pada dirinya. Sampai saat ini, pengajaran diambil untuk menyiratkan beberapa bentuk peningkatan kesadaran, dengan target ciri-ciri pokok ilmu bahasa. Pengaruh tersebut mungkin dengan jelas mengarah pada pemerolehan bahasa kedua dan/juga untuk penilaian/keberhasilan pemerolehan bahasa kedua. Bab ini memiliki empat sub bab. Pertama, menguji efek pengajaran pada pemerolehan bahasa kedua. Kedua, menguji efek penilaian/kesuksesan yang mengarah pada pemerolehan bahasa kedua. Sub bab ketiga, menjelaskan hasil laporan yang diterima pada kedua sub bab terdahulu. Akhirnya, kesimpulan singkat tentang implikasi teori pemerolehan bahasa kedua dan pengajaran bahasa. Efek pengajaran formal yang mengarah pada pemerolehan bahasa kedua Pada bab 3 pengarahan pemerolehan bahasa kedua betul-betul dipertimbangkan dalam hubungan rangkaian umum pengembangan dan tata tertib dalam ciri-ciri pokok tatabahasa yang diperoleh. Bukti untuk dilaporkan secara menyeluruh tentang tata urutan dan perbedaan kecil dalam urutan yang datang dari : (1) pelajaran morfem dan (2) pelajaran longitudinal. Pembahasan ini
merupakan bentuk asli pemerolehan bahasa kedua secara alami dan juga secara campuran (antara lain jika terdapat ekspose alami dan pengajaran. Bab ini kini akan mempertimbangkan pelajaran yang serupa mengenai kelas pemerolehan bahasa kedua. Namun, karena terdapat pandangan relatif mengenai pelajaran, kesimpulan yang dapat digambarkan tentunya akan tentatif. Pelajaran morfem dan longitudinal akan dibahas secara terpisah.
Studi morfem dari kelas pemerolehan bahasa kedua
Studi morfem dapat digolongkan dalam dua kelompok. Pertama adalah lima studi yang
menyelidiki pelajar bahasa kedua. Kelompok yang lain adalah empat studi yang menyelidiki
pelajar bahasa asing.
Tiga studi mengenai pelajar bahasa kedua menemukan morfem yang sama dalam kelas
pemerolehan bahasa kedua seperti dalam pemerolehan bahasa kedua secara alami. Fathman
(1975) menggunakan uji produksi lisan untuk menilai pengetahuan tatabahasa dari dua ratus
anak usia 6 hingga 15 tahun dari latar belakang yang berbeda-beda. Beberapa anak yang
menerima pengajaran bahasa, sementara yang lainnya dalam kelas. Fathman menemukan
korelasi yang sangat signifikan antara morfem dari dua kelompok pelajar dan menyimpulkan
bahwa pesan yang didapatnya adalah konstan, tanpa tergantung dengan pengajaran. Perkin dan
Larsen Freeman (1975) menyelidiki pesan morfem dari duabelas mahasiswa Universitas
Venezuela setelah mereka menjalani dua bulan pengajaran bahasa setelah tiba di Amerika
Serikat. Mereka menggunakan dua buah tugas dalam mengumpulkan data : (1) test terjemahan,
dan (2) tugas deskripsi berdasarkan film non-dialog. Pada (1) pesan morfem sebelum dan setelah
pengajaran berbeda secara signifikan, namun pada (2) tidak ada perbedaan signifikan. Peneliti
menyimpulkan bahwa dimana spontanitas berujar terlibat, pengajaran formal tidak
mempengaruhi perkembangan. Turner (1978) menyelidiki tiga pelajar bahasa kedua dan
menemukan bahwa pesan pengajaran dari suatu set tatabahasa morfem tidak berkorelasi tinggi
dengan pesan yang mereka dapatkan. Dengan kata lain, pesan pengajaran dan pembelajaran
ternyata berbeda. Diambil secara bersama, pelajaran ini memberi kesan tapi tidak membuktikan
pengajaran formal tidak mengubah pesan kemahiran morfem tatabahasa saat pelajar sibuk dalam
menggunakan bahasa terfokus pada arti dari bahasa tersebut
Kedua studi lain mengenai pelajar bahasa kedua memberi kesan bahwa pengajaran dapat
memiliki efek pada pesan morfem, meskipun efek itu relatif kecil dan tidak kekal. Lightbown
dkk. (1980) menyelidiki performan dari 175 mahasiswa Perancis penutur bahasa Inggris
berdasarkan (1) test penilaian secara tatabahasa, dan (2) pertanyaan komunikasi melibatkan
deskripsi gambar. Mereka menemukan bahwa nilai pada (1) hasilnya meningkat sesuai hasil
pengajaran, tapi dari nilai secara umum kemudian menurun (antara lain, setelah mahasiswa tidak
lagi menerima pengajaran pada bagian tatabahasa yang diujikan). Pada (2) mereka menemukan
bahwa pesan dari berbagai morfem kata benda dan kata kerja berbeda dari pesan ‘secara alami’.
Hal ini terjadi karena mahasiswa jelek dalam hal bentuk jamak dibanding morfem kata kerja,
kemungkinan karena efek dari bahasa pertamanya (antara lain, dalam bahasa Perancis bentuk
akhir jamak ‘-s’ terjadi hanya pada tulisan). Bagaimanapun, saat morfem kata kerja dan kata
benda betul-betul dipertimbangkan secara terpisah, pesan yang sesuai terjadi secara alamiah.
Pada studi berikutnya, Lighbown (1983) menemukan bahwa pada kelompok mahasiswa yang
sama pada studi pertama ‘overlearnt’ pada penempatan ‘-ing’ kata kerja pada tahap tingkat
pengembangan mereka. Lighbown memberi kesan bahwa hal ini sebagai hasil dari latihan formal
secara intensif mengenai morfem ini pada tahap terlalu awal dan latihan yang terkonsentrasi
tinggi dapat menunda efek. Meskipun, mahasiswa tidak menggunakan ‘-ing’ secara tepat, namun
mengulur-ngulur penggunaan pada kontek yang membutuhkan morfem orang ketiga ‘-s’.
kemudian, frekwensi ‘-ing’ menurun sejalan dengan mahasiswa yang menyortir masing-masing
penggunaan ‘-s’ dam ‘=ing’. Sekali lagi, karenanya, kekacauan pada pesan alami membuktikan
hanya bersifat sementara.
Salah satu masalah dari keseluruhan lima kelas studi morfem tentang pelajar bahasa
kedua adalah bahwa pelajar yang telah menerima pengajaran lingkungan dimana hal itu
memungkinkan bagi mereka untuk mengekpose bahasa kedua diluar kelas. Dengan kata lain,
studi mungkin tidak menyentuh efek pembelajaran kelas. Pica (1983) menyebutkan sejumlah
studi seperti halnya ekspose tersebut mungkin lebih sedikit telah mengacaukan variabel. Fathman
(1978) membandingkan apa yang ia sebut sebagai ‘pesan sukar’ dari pelajar bahasa Inggris
sebagai bahasa asing di kelas di Jerman dimana bahasa Inggris sebagai bahasa kedua untuk
sekolah di Amerika Serikat. Pada kasus terdahulu, pengajaran telah memberikan kecocokan pada
dua kriteria yang telah disebutkan : yaitu, yang terstruktur dan yang membutuhkan pemusatan
pada bentuk. Pada kasus kemudian, pengajaran formal mini telah diperkenalkan. Meskipun
demikian, Fathman melaporkan hubungan positif dalam pesan yang dihasilkan oleh dua
kelompok pelajar, meskipun ia tidak mengidentifikasi jumlah perbedaan minornya.
Studi kedua kelas murni yang mempelajari pandangan Pica tersebut adalah sebagaimana
menurut Makino (1979). Makino menyelidiki sembilan morfem yang dihasilkan dalam ujian tulis
777 subjek pembelajaran bahasa Inggris sebagai bahasa asing di sekolah sekunder Jepang.
Hasilnya menunjukkan bahwa pesan morfem yang dihasilkan berkorelasi signifikan dengan
pesan yang dilaporkan oleh Dulay dan Burt dan oleh peneliti morfem lainnya (Hakuta 1974
adalah pengecualian).
Studi ketiga yang meneliti pandangan Pica adalah Sajavaara (1981a). ia mengumpulkan
cara berujar secara spontan dari pelajar berbahasa Finlandia yang belajar bahasa Inggris dan
menemukan suatu gangguan pesan.. satu dari perbedaan utama adalah didakam memposisikan
rangking suatu tulisan. Pica mencatat bahwa sisten tulisan bahasa Finlandia dan bahasa Jepang
berbeda dari bahasa Inggris, tapi hanya pelajar bahasa Finlandia dalam studi Sajaavara berbeda
seara alami.
Pica melaksanakan studinya mengenai efek pengajaran terhadap pesan morfem. Ia
membandingkan enam pelajar bahasa Inggris sebagai bahasa asing yang menerima pengajaran
formal di Mexico City baik pada kelompok pelajar alami, maupun pelajar campuran (sebagai
contoh, seseorang menerima ekspose dan juga pengajaran) di Philadelphia. Pica memandang
pada delapan morfem dan menemukan korelasi signifikan diantara tiga kelompok dan dengan
pesan alami Krashen.
Pembahasan sembilan morfem tersebut diringkas dalam tabel 9.1. Kesimpulan apa yang
dapat digambarkan? Secara umum pengajaran formal tidak tampak memiliki efek terhadap
pesan morfem yang dilaporkan untuk alami atau campuran pemerolehan bahasa kedua. Hanya
saat data yang digunakan untuk menghitung pesan morfem secara ketat dimonitor (seperti dalam
melakukan studi oleh Perkin dan Larsen-Freeman, misalnya) muncul berbeda-beda. Saat data
dikumpulkan mencerminkan penggunaan yang komunikatif tentang bahasa kedua (sebagaimana
dalam studi Pica, misalnya), pesan morfem adalah sama halnya dengan pesan alami atau berbeda
hanya dalam istilah dan hanya dalam satu atau dua segi yang mungkin terlalu ‘overlearnt’.
Kesimpulan umum ini membenarkan tanpa bergantung apakah pelajar adalah anak-anak atau
dewasa dan yang paling menarik tanpa bergantung dari apakah pelajar orang asing ataukah
lingkungan bahasa kedua. Satu-satunya pengecualian adalah studi Sajavaara.
Pengajaran formal muncul, lalu, hanya memiliki efek kurang berarti pada pesan order
merujuk kepada bahasa yang digunakan secara spontan. Namun, sebagaimana yang telah
tergambar pada bab 3, pesan morfem mengukur secara akurat lebih baik daripada pengetahuan
yang didapatnya. Dalam upaya untuk memperoleh gambaran yang dapat dipercaya, mengenai
pengaruh pengajaran pada pengembangan bahasa kedua, penting untuk berbalik ke arah studi
longitudinal mengenai struktur transisi.
Studi longitudinal tentang kelas pemerolehan bahasa keduaAllwright (1980 : 165) mengamati :
Secara aneh, pendekatan studi kasus sangat berperan pada metodologi bahasa kesatu dan
kedua yang didapatkan para peneliti, tidak secara khusus, masuk akal untuk pelajar yang berada
dalam kelas.
Terdapat sedikit studi longitudinal kelas pemerolehan bahasa kedua. Tiga diantaranya
yang akan dibahas disini adalah Felix (1981), Ellis (1984a) dan Schumann (1978b). Bukti studi
longitudinal yang tersedia oleh karenanya lebih sedikit dibandingkan apa yang disajikan studi
morfem.
Studi Felix menarik perhatian tertentu karena subjeknya adalah pelajar kelas asli,
contohnya mereka seluruhnya bergantung pada pengajaran formal untuk input bahasa kedua.
Terdapat tiga puluh empat murid Jerman usia sepuluh hingga delapan tahun, mempelajari bahasa
Inggris pada tahun pertamanya di Sekolah Menengah Atas Jerman. Para murid menerima 45
menit pelajaran bahasa Inggris selama lima hari seminggu. Studi keseluruhan mencapai delapan
bulan.
Struktur tatabahasa yang Felix laporkan yaitu pada negasi, interogasi, tipe kalimat, dan
kata ganti. Untuk setiap pola, kesamaan telah ditemukan antara hasil tutor dan pemerolehan
bahasa kedua secara alami. Sebagai contoh, walaupun pelatihan sehari-hari dalam kalimat bulat
negatif (misalnya ‘it isn’t) selama minggu pertama, murid tidak dapat menghasilkan kalimat
yang benar dalam menggunakan ‘not’ atau ‘n’t’, sementara ucapan negatif secara spontan dari
minoritas selama periode ini memuat penghubung ‘no’ (misalnya, ‘it’s no my comb’). Saat kata
kerja utama kalimat negasi diperkenalkan (misalnya penggunaan ‘don’t’/doesn’t’), banyak
ungkapan negatif anak-anak mengandung pelengkap kalimat negatif diluar (misalnya, ‘doesn’t
she eat apples’ = she doesn’t eat apples). Dengan kata lain, anak-anak banyak menggunakan
‘don’t/doesn’t’ dalam cara khusus bagi pelajar alami yang menggunakan ‘no’. Contoh serupa
mengenai bentuk yang diamati dalam pemerolehan bahasa kedua secara alami telah dilaporkan
untuk pola lain yang diselidiki oleh Felix.
Felix berkesimpulan bahwa hasil tutor dan hasil alami pemerolehan bahasa kedua
melibatkan proses pembelajaran yang sama dan bahwa
…..kemungkinan manipulasi dan kontrol kebiasaan verbal pelajar dalam kelas dalam
faktanya terbatas. (Felix 1981:109)
Dalam kelas dimana pengajaran merupakan hal yang sangat formal, pelajar secara
konstan dipaksa untuk menghasilkan pola yang mereka belum siap. Felix menduga upaya
memecahkan masalah ini merupakan satu dari dua jalan yang ada. Apakah mereka memilih
secara acak dari pola repertoir, ketidakbergantungan sintaksis atau kelayakan semantik, ataukah
mereka mengikuti aturan yang sama bahwa itu merupakan karakteristik tahapan awal
pemerolehan bahasa secara alami.
Ellis menyelidiki tiga pelajar bahasa kedua usia sepuluh hingga tiga belas tahun. Mereka
menerima pengajaran penuh (misal, tanpa adanya penutur asli anak-anak). Hal itu selayaknya
menunjukkan, bagaimanapun, bahwa bahasa Inggris – bahasa kedua – telah digunakan sebagai
media umum komunikasi baik antara guru dan murid dan diantara murid itu sendiri. Jadi, baik
kelas dan lingkungan sekolah memberikan kesempatan bagi pengguna bahasa Inggris.
Pengajaran bahasa itu sendiri bervariasi, namun secara utama mengenai jenis audio-lingual.
Studi mencangkup periode sembilan bulan. Pada saat awal, dua anak merupakan benar-benar
pemula, sementara yang lain hampir dikatakan demikian (misal, ia hanya memiliki sedikit
perbendaharaan kata bahasa Inggris saja).
Ellis menguji negatif, interogatif dan sejumlah frase morfem kata kerja. Kesemua pola ini
secara formal diajarkan pada satu waktu atau saat yang lain selama sembilan bulan pembelajaran
– beberapa orang pada kesempatan yang lain. Saat ucapan komunikasi dihasilkan oleh pelajar di
kelas setelah dianalisa, ternyata menunjukkan pola pengembangan kurang lebih identik pada
penelitian dalam pemerolehan bahasa kedua secara alami. Hasil ini adalah benar untuk semua
pola yang diselidiki. Sebagai contoh, ungkapan penyangkalan anak-anak yang terdiri dari
anaforik (misal, ‘no’ oleh dirinya sendiri atau ‘no’+ pernyataan terpisah). Negasi eksternal
mengikuti, pertama dalam ungkapan ketiadaan kata kerja dan kemudian dalam ungkapan
berisikan kata kerja. Penggantian negasi eksternal secara berangsur-angsur oleh negasi internal
terjadi. Bersamaan dengan ‘not’ digantikan ‘no’ sebagai negasi pokok. Ellis, seperti halnya Felix,
berkesimpulan bahwa proses yang sama ditemukan dalam pemerolehan bahasa kedua secara
alami ditempat kerja. Satu-satunya perbedaan antara pemerolehan bahasa secara alami dan di
kelas bahwa dapat diamati beberapa pola transisi yang berubah lebih lama (misal, penggunaan
interogatif yes/no yang tidak dibalikan) dan beberapa susunan lambat muncul. Ellis
mengemukakan hal ini sebagai hasil pola penyimpangan komunikasi yang terjadi di kelas. Fakta
lebih lanjut untuk penjelasan ini berasal dari Long dan Sato (1983), yang menemukan, sebagai
misal, bahwa karakteristik input kelas mendominasi acuan sementara.
Dalam studi Schumann percobaan dengan sengaja dibuat untuk mengajar pelajar bahasa
kedua dewasa tentang bagaimana untuk ber-negasi. Ini terjadi dalam konteks studi longitudinal
dari cara lainnya yaitu pemerolehan bahasa kedua secara alami. Lebih dahulu pada eksperimen
pengajaran, ungkapan kalimat negatif pelajar secara pokok adalah tipe ‘no + V’. Pengajaran
meliputi periode selama sembilan bulan, dan selama itu perolehan dan spontanitas ungkapan
kalimat negatif diperoleh. Pemerolehan ungkapan telah ditunjukkan oleh nilai perkembangan (64
persen benar berlawanan dengan sebelum pengajaran yang hanya mencapai 22 persen). Tetapi,
ungkapan secara spontan tidak menunjukkan perubahan signifikan.(20 persen benar sebagaimana
22 persen benar sebelum pengajaran). Schumann berkesimpulan bahwa pengajaran
mempengaruhi hasil belajar hanya dalam ujian seperti situasi saat komunikasi normal yang tidak
dibuat-buat.
Dari kesemua studi ini (yang diringkas pada tabel 9.1), dapat diambil suatu hipotesa :
1. pengajaran bukan proses berbelit-belit yang berperan dalam urutan pengembangan yang
jelas dalam transisi pola seperti kalimat negatif, interogatif dalam pemerolehan bahasa
kedua secara alami.
2. ketika pelajar di kelas diperlukan untuk menghasilkan pola melebihi kompetensi mereka,
bentuk yang aneh yang biasanya dihasilkan.
3. simpangan input dapat memperpanjang tahap tertentu dari perkembangan dan
melambatkan timbulnya beberapa fitur gramatikal.
4. pelajar kelas dapat menggunakan pengetahuan yang diperoleh melalui pengajaran formal
ketika mereka terfokus pada bentuk (yaitu, dalam suatu ujian terpisah).
Bagaimanapun, banyak penelitian dibutuhkan untuk memperkuat hipotesis ini.
Jenis Studi Jenis Subjek Tingkat Data Hasil
Kelas Kemahiran
Morfem Fathman
(1975)ESL
USA
260 anak usia 6-15 thn-
berlatar campuran bahasa
pertama
Dasar dan
menengah
Tes oral Pesan morfem yang didapat
peserta pengajaran signifikan
Morfem Perkin dan
Larsen-
Freeman
(1975)
ESL
USA
12 mahasiswa-pendatang
baru-bahasa pertama Spanyol
Menengah 1. Tes
terjemah
2. ucapan
spontan
Pesan morfem sebelum dan
setelah pengajaran berbeda
Morfem Turner
(1978)ESL
USA
3 pelajar bahasa inggris
sebagai bahasa kedua
Dasar 1. sampel
ucapan
spontan
2. tes
tatabahasa
Pesan pengajaran berbeda dari
pesan morfem dalam hal
spontanitas tapi relatif sama dalam
tes
Morfem Lightbown,
dkk.
(1980)ESL
Canada
175 tingkat 6, 7 dan 8-bahasa
pertama Perancis
Campuran
tingkat
kemampuan-
utamanya
menengah
ucapan
spontan
Berbeda pesan, kecuali untuk kata
kerja dan kata benda
Morfem Lightbown
(1983)ESL
Canada
75 tingkat 6 (juga 36 tingkat
7 dan 8)
Utamanya
dibawah
menengah
ucapan
spontan
Berbeda pesan untuk sejumlah
morfem (mis. –ing)
Morfem Fathman
(1978)EFL
Jerman
Remaja menerima pelajaran
tatabahasa, latihan, dan
kontrol dialog
Campuran
tingkat
kemampuan
Tes oral Signifikan berkorelasi (tidak
menerima pengajaran)
Morfem Makino
(1979)EFL
Jepang
777 remaja dan anak
menerima pengajaran formal
kelas
Campuran
tingkat
kemampuan
Tulisan
pendek-tes
menjawab
Tidak ada perbedaan signifikan
antara pesan morfem dan pesan
alamiah
Morfem Sajavaara
(1981)
EFL
Finlandi
a
Remaja menerima pengajaran
formal kelas
? Tes spontan Pesan alamiah menjadi terganggu
Morfem Pica (1983)
EFL
Mexico
6 dewasa penutur bahasa
Spanyol (18-50 thn)
menerima pengajaran
tatabahasa dan latihan bahasa
komunikatif
Campuran
tingkat
kemampuan
Percakapan
panjang
dengan para
peneliti-
rekaman
Pesan morfem berkorelasi dengan
grup itu
Longitu-
dinal
Felix
(1981)EFL
Jerman
34 anak usia 10-11 thn-
bahasa pertama Jerman
Pemula Percakapan
kelas-rekaman
Menghasilkan ungkapan yang
sesuai aturan sebagaimana halnya
alamiah
Longitu-
dinal
Ellis
(1984a)ESL
Inggris
3 anak usia 10-13 thn-bahasa
pertama Punjabi dan Portugis
Pemula Percakapan
kelas-rekaman
Menghasilkan ungkapan yang
sesuai aturan sebagaimana halnya
alamiah
Longitu-
dinal
Schumann
(1978)
ESL
USA
1 dewasa-bahasa pertama
Spanyol
Faham kolot
di usia senja
Ucapan
alamiah
Peningkatan substansial ketepatan
keseluruhan
Tabel 9.1 Studi empiris tentang efek pengajaran pada jalur Pemerolehan Bahasa Kedua
Ringkasan
Studi morfem dan longitudinal mengenai pemerolehan bahasa kedua mengindikasikan bahwa
meskipun pengajaran formal mungkin mengembangkan pengetahuan bahasa kedua,
pengetahuan ini manifestasi dirinya sendiri dalam penggunaan bahasa hanya dimana pelajar
mengikuti prosesnya. Itu tidak terjadi, oleh karena itu, terkecuali dalam cara yang relatif
sedikit, mempengaruhi jalan alami pemerolehan bahasa kedua yang secara jelas terlihat dalam
bertutur komunikasi. Untuk menggunakan perbedaan antara rangkaian dan pesan
pengembangan yang dibuat dalam bab 3, kita dapat mengatakan bahwa keseluruhan rangkaian
pengembangan tidak dipengaruhi oleh pengajaran formal, sementara pesan pengembangan
sangat dipengaruhi. Pengajaran formal mempengaruhi pengetahuan hanya pada bentuk kehati-
hatian dalam gaya bahasa, bukan pada bentuk logat bahasa (lihat bab 4). Kesimpulan ini,
merupakan hal yang tentatif, seperti yang terlihat pada studi pemerolehan bahasa kedua di
kelas, terutama longitudinal.
Pengaruh pengajaran formal pada kesuksesan pemerolehan bahasa kedua.
Studi tentang pengaruh pengajaran formal pada kesuksesan pemerolehan bahasa kedua
telah semakin banyak. Long (1984d), dalam tinjauan seksama riset yang relevan membuat daftar
sebelas studi. Namun, kesemua studi ini telah menguji ‘kegunaan relatif’ suatu pengajaran.
Bahwa, kesemuanya menyangkut dengan keseluruhan efek pengajaran pada kecakapan bahasa
kedua dalam hubungannya pada efek ekspose ringan bahasa kedua secara alamiah. Jadi, tidak
ada satupun studi yang menguji ‘efek absolut’ pengajaran formal, yaitu, apakah pengajaran dapat
mempercepat pemerolehan pola gramatikal khusus. Juga, seperti halnya studi yang telah menguji
campuran pelajar bahasa kedua (antara lain, mereka yang menerima ekspose dan pengajaran),
studi tersebut tidak dapat menjawab apakah pengajaran formal yang didalam dirinya lebih efektif
daripada ekspose dalam dirinya, tapi hanya, apakah pengajaran ditambah ekspose lebih baik
daripada tidak ada pengajaran dan ekspose. Hal ini tidak sepenuhnya memuaskan, dengan alasan,
yang akan dipertimbangkan kemudian. Terlebih dahulu, studi, akan dibagi pada dua grup. Grup
pertama berisi sebelas studi hasil pemikiran Long ; hal ini, seperti yang dicatat dibawah, merujuk
pada kegunaan relatif. Grup berikutnya berisi satu studi oleh Ellis (1984a) yang merujuk pada
efek absolut. Keseluruhan studi hanya memikirkan efek perkembangan gramatikal.
Kegunaan relatif pengajaran formalMempelajari tipe studi ini dapat lebih lanjut dibagi sebagaimana berikut : (1) studi bagi
mereka yang menunjukkan pengaruh pengajaran secara positif, (2) studi bagi mereka yang
ambigu, dan (3) studi bagi mereka yang tidak menunjukkan pengaruh dari pengajaran.
Long (1983d) mendiskusikan enam studi yang menunjukkan pengaruh positif pengajaran
formal. Dua diantaranya membandingkan pengaruh perbedaan jumlah pengajaran pada pelajar
yang menerima jumlah yang sama dari ekpose. Empat studi lainnya menyelidiki hubungan antara
perbedaan jumlah pengajaran, ekspose dan tingkat kemahiran pelajar. Kesemua studi mencakup
anak-anak dan dewasa, suatu cakupan tingkat kemahiran, dan perbedaan target bahasa. Juga,
pengujian biasa mengukur tingkat kemahiran poin diskrit (misal, pilihan berganda) dan tipe
integratif.
Prosedur diadopsi oleh Krashen dan Seliger (1976) dan Krashen, Seliger dan Hartnett
(1974) untuk mencocokan pasangan siswa yang memiliki jumah ekspose yang sama namun
berbeda periode pengajaran formal (contohnya, untuk menahan faktor ekspose yang konstan
dalam upaya mengukur pengaruh faktor pengajaran). Kedua studi menemukan bahwa pelajar
tersebut dengan pengajaran yang lebih memiliki skor tinggi dalam test kemahiran dibandingkan
pelajar yang kurang dalam pengajaran. Namun, seperti yang digambarkan oleh Long, tidaklah
mungkin untuk memastikan bahwa pengajaran dalam diri yang memiliki pengaruh, sebagaimana
kiranya, pelajar yang lebih berpengalaman dalam hal pengajaran lebih banyak berhubungan
dengan bahasa kedua. Jadi, hasil yang diperoleh dapat dijelaskan dalam hubungan jumlah
keseluruhan hubungan (contohnya, total waktu pengajaran ditambah total waktu ekspose). Dalam
upaya untuk menegaskan pengaruh nyata pengajaran formal, penting untuk memperlihatkan
bahwa saat pelajar cocok dalam pengajaran namun berbeda dalam ekspose (contohnya faktor
pengajaran dipengang konstan dalam upaya menginfestigasi faktor ekspose), tidak terdapat
kesesuaian pengaruh nyata untuk ekspose. Dalam kedua studi ini pada kenyataannya ditemukan
sebagai kasus, memberi kesan bahwa pengamatan pengaruh nyata pengajaran bukan sekedar
hasil dari keseluruhan waktu kontak yang lebih banyak. Bagaimanapun, studi oleh Martin (1980)
menemukan pengaruh nyata untuk ekspose saat pengajaran merupakan untuk pengendali. Dalam
suatu kesimpulan, lebih lanjut, studi oleh Krashen dan Seliger (1976) dan oleh Krashen, Seliger
dan Hartnett (1974) menilai bahwa pengajaran adalah membantu, namun dengan bukti-bukti
yang tak pasti.
Prosedur yang digunakan oleh keempat studi lainnya (Krashen dkk. 1978 ; Briere 1978 ;
Carroll 1967 ; Chihara dan Oller 1978) juga bahwa menunjukkan pengaruh nyata pengajaran
untuk mengukur secara statistik derajat kesesuaian antara jumlah pengajaran dan ekspose yang
berpengalaman dengan siswa yang berbeda pada satu sisi dan nilai kemahiran pada sisi lainnya.
Keempat studi menemukan hubungan antara ekspose dan kemahiran, tapi hanya tiga studi yang
menemukan hubungan yang sama antara ekspose dan kemahiran. Juga kekuatan hubungan
dengan pengajaran lebih kuat dalam dua studi, dan yang terlemah hanya pada satu studi.
Pada umumnya, pengajaran merupakan prediktor yang lebih baik dalam hal tingkat
kemahiran daripada ekspose. Namun, sekali lahi, hal tersebut sangat sulit untuk memisahkan
efek pengajaran dan ekspose dalam studi ini.
Long mendiskusikan dua studi dengan hasil ambigu (Hale dan Budar 1970, dan Fathman
1976). Pada kedua kasus studi itu sendiri membuahkan hasil yang mengindikasikan pengajaran
tidaklah membantu. Hale dan Budar, sebagai contoh, menulis :
Terlihat bahwa mereka (pelajar) yang menghabiskan waktu dua hingga tiga hari dari enam haridalam kelas khusus TESOL menjadi lebih merugikan daripada membantu. (Hale dan Budar 1970:297)
Mereka berpendapat bahwa pelajar yang mencapai kemahiran tertinggi dalam waktu
sesingkat mungkin merupakan mereka yang mengalami interaksi total dalam bahasa Inggris dan
kebudayaannya. Long, menyebutkan bahwa karena rancangan studi Hale dan Budar, variabel
seperti pengajaran, latar belakang ekonomi-sosial, jumlah ekspose, dan sikap orang tua apakah
bertentangan sehingga tidaklah mungkin untuk menentukan yang bertanggungjawab atas
perbedaan dalam tingkat kemahiran yang diamati. Long, juga menunjukkan bahwa permasalahan
secara metodologi membuat ragu apa yang dihasilkan Fathman.
Tiga studi (Upshur 1968 ; Mason 1971 ; Fathman 1975) menunjukkan tidak ada
keuntungan tentang pengajaran. Dalam setiap kasus, perbandingan dibuat antara pengajaran dan
ekspose serta ekspose saja, dengan total aktu kontak yang dijaga tetap sama. Long menentang
bahwa meskipun hasilnya negatif, terdapat beberapa indikasi baha pengajaran tetap berperan,
meskipun secara hasil statistik tidak mencapai signifikan.
Pengambilan semua studi ini secara bersama (digambarkan pada tabel 9.2), Long
menyatakan bahwa ‘sungguh terdapat fakta mengindikasikan bahwa pengajaran bahasa kedua
telah membuat perbedaan’ (1983d: 374). Ia membantah bahwa pengaruhnya (1) pada anak
sebaik pada dewasa, (2) pada pelajar tingkat menengah dan tingkat lanjut sebaik pada pemula,
(3) pada keutuhan sebagaimana halnya pada poin test terpisah, dan (4) dalam perolehan si kaya
sebagaimana halnya perolehan si miskin. (3) merupakan signifikan, karena memberi kesan
bahwa pengajaran membantu performan komunikatif, dimana test integratif diharapkan untuk
mengukur seperti halnya performan yang dimonitor dalam pengamatan yang sejenis dalam poin
test terpisah. (4) merupakan pertentangan mengenai hipotesa yang dikemukakan Krashen tentang
hal pengajaran yang akan bernilai dalam pemerolehan di lingkungan miskin, saat pelajar
mungkin tidak dapat memperoleh input memadai melalui ekspose, tapi tidak signifikan dalam
pemerolehan di lingkungan kaya, dimana disana terdapat banyak input yang dapat dimengerti.
Dalam pernyataan Long tentang penelitian yang didapat, pengaruh pengajaran formal adalah
dapat dimengerti.
Pengaruh nyata pengajaran formalStudi sejenis yang dilaporkan diatas tidak memberi keterangan pada apa yang benar-
benar terjadi saat pengajaran formal berlangsung. Jika demikian membantu pemerolehan bahasa
kedua, siapakah yang melakukannya? Ellis (1984e) memperkenalkan untuk menguji ini. Ia
mengukur pengaruh tiga jam pengajaran pada bentuk dan arti dari pertanyaan WH pada
kelompok tiga belas pelajar bahasa kedua tingkat dasar berusia antara sepuluh sampai lima belas
tahun. Dua subjek pelajar diselidiki dalam studi longitudinal yang telah dibahas lalu. Ini
menunjukkan bahwa pada saat pengajaran, WH interogatif mulai muncul dalam bertutur
komunikasi. Seperti ketika anak-anak ini dinilai sedikit dibawah rata-rata kelompok keseluruhan,
hal itu diduga bahwa WH interogatif lebih kecil dari subjek ‘daerah perkembangan terdekat’
(Vygotsky 1962) ; bahwa, pelajar secara perkembangannya ‘siap’ untuk pertanyaan WH.
Namun, hasil yang ditunjukkan bahwa untuk keseluruhan kelompok meningkat tidak signifikan
dalam kemampuan anak-anak menggunakan secara tepat dan secara gramatikal dibentuk dengan
baik pertanyaan WH sebagaimana hasil pengajaran. Beberapa anak, menunjukkan tanda
peningkatan individual. Untuk menetapkan apakah hal ini dapat diturunkan pada pengajaran
yang mereka terima, Ellis mengukur partisipasi setiap murid dalam perubahan pengajaran dalam
satu pelajaran. Ia menemukan bahwa itu adalah interaktor rendah yang lebih baik daripada
interaktor tinggi yang berkembang dalam kemampuan untuk menggunakan pertanyaan WH
dimana merupakan target pelajaran ini. Kemudian keterlibatan aktif dalam pengajaran formal
bahasa tidak muncul untuk memfasilitasi pemerolehan bahasa kedua.
Studi ini tidak dapat dikatakan untuk menunjukkan bahwa pengajaran formal tidak
memiliki pengaruh nyata – lebih banyak lagi konfirmasi studi yang dibutuhkan untuk meraih
kesimpulan tersebut – tapi hal itu mengindikasikan bahwa kegunaan relatif pengajaran mungkin
tidak dihasilkan dari pemerolehan pola yang mengangkat target n atau pelajara. Poin ini akan
dibahas kemudian.
DiskusiTerdapat sejumlah permasalahan dengan studi yang dilaporkan pada bab ini, yang
membuat keraguan pada kesimpulan dari Long terkait pengaruh positif dari pengajaran formal.
Seperti yang telah dicatat dalam enam studi yang dilaporkan bahwa pengajaran adalah
membantu, terdapat permasalahan mengenai memutuskan apakah pengaruh hal yang diteliti
merupakan hasil dari pengajaran itu sendiri, atau lebih merupakan hubungan kesempatan. Juga
terdapat permasalahan mengenai motivasi pelajar. Hal ini dapat mempengaruhi hasil dalam
beberapa segi. Sebagai misal, pelajar yang termotivasi tinggi lebih menyukai mencari pengajaran
(atau pengajaran lebih) daripada pelajar yang kurang motivasi. Jadi pengaruh motivasi akan luar
biasa bersama dengan pengajaran. Dalam beberapa studi (misalnya, Hale dan Budar 1970)
pelajar tidak diberikan pilihan tentang apakah mereka harus menerima pengajaran. Dalam
beberapa contoh mereka mungkin benci membenci pengajaran (Hale dan Budar melaporkan
hanya sebatas ini), dengan hasil bahwa mungkin mereka lebih sedikit menerima manfaat darinya.
Akhirnya, tidaklah jelas dalam cara apakah pengajaran formal seharusnya membantu
pemerolehan bahasa kedua. Dengan pengecualian studi Ellis, tidak terdapat catatan mengenai
kesempatan apa yang ada dalam kelas itu sendiri.
Namun, untuk menyanggah bahwa pengajaran dapat membantu pelajar untuk
mendapatkan bahasa kedua tidak hanya intuisi bandingan, namun berlawanan pada pengalaman
pribadi guru dan murid yang tak terbilang. Dalam istilah luas. Pandangan Long tentang
penelitian hanya memperkuat asumsi akal sehat. Apa yang menjadi perhatian, bagaimanapun,
bukan apakah pengajaran formal memudahkan penilaian / kesuksesan pemerolehan bahasa
kedua, akan tetapi bagaimana. Pada skor ini, pembelajaran tidaklah membantu. Sebagai hasilnya,
hal yang penting untuk diusahakan untuk mencari teori yang lebih baik dari jaaban empiris. Hal
ini yang menjadi tujuan bab ini.
Jenis Studi Jenis Kelas Subjek Tingkat Kemahiran Data
Kegunaan
relatif
Carroll
(1967)
Pembelajaran bahasa
asing di USA
Dewasa-bahasa pertama Inggris Semua tingkat kemahiran Tes integratif Pengajaran dan eksposur mambantu, tapi eksposur lebih
membantu
Kegunaan
relatif
Chihara dan Oller
(1878)
EFL di Jepang Dewasa-bahasa pertama Jepang Semua tingkat kemahiran - Tes diskret poin
- Tes integratif
Pengajaran membantu, tapi eksposur tidak
Kegunaan
relatif
Krashen, Seliger
dan Hartnett
(1974)
ESL di USA Dewasa-campuran bahasa pertama Semua tingkat kemahiran Tes diskret poin Pengajaran membantu, tapi eksposur tidak
Kegunaan
relatif
Briere
(1978)
Bahasa Spanyol
sebagai bahasa kedua
di Meksiko
Anak-bahasa Indian lokal bahasa
pertama
Pemula Tes diskret poin Pengajaran dan eksposur mambantu, tapi pengajaran lebih
membantu
Kegunaan
relatif
Krashen dan
Seliger
(1976)
ESL di USA Dewasa-campuran bahasa pertama Menengah dan mahir Tes integratif Pengajaran membantu, tapi eksposur tidak
Kegunaan
relatif
Krashen et all
(1978)
ESL di USA Dewasa-campuran bahasa pertama Semua tingkat kemahiran Tes integratif Pengajaran dan eksposur mambantu, tapi pengajaran lebih
membantu
Kegunaan
relatif
Hale dan Budar
(1970)
ESL di USA Remaja-campuran bahasa pertama Semua tingkat kemahiran - Tes diskret poin
- Tes integratif
Eksposur membantu tapi pengajaran tidak
Kegunaan
relatif
Fathman
(1976)
ESL di USA Anak-campuran bahasa pertama Semua tingkat kemahiran Tes integratif Eksposur membantu tapi pengajaran tidak
Kegunaan
relatif
Upshur
(1968)
ESL di USA Dewasa-campuran bahasa pertama Menengah dan mahir Tes diskret poin Pengajaran tidak membantu
Kegunaan
relatif
Mason
(1971)
ESL di USA Dewasa-campuran bahasa pertama Menengah dan mahir - Tes diskret poin
- Tes integratif
Pengajaran tidak membantu
Kegunaan
relatif
Fathman
(1975)
ESL di USA Anak-campuran bahasa pertama Semua tingkat kemahiran Tes integratif Pengajaran tidak membantu
Pengaruh
nyata
Ellis
(1984e)
ESL di Inggris Anak-campuran bahasa pertama Setelah tingkat pemula Ucapan spontan dari
tes gambar
Pengajaran tidak memiliki pengaruh
Tabel 9.2 studi empiris pengaruh pengajaran pada penilaian/kesuksesan Pemerolehan Bahasa
Kedua
SimpulanStudi tentang kegunaan relatif mengenai pengajaran formal menghasilkan campuran
hasil, namin secara umum mendukung hipotesis bahwa pengajaran menolong
penilaian/kesuksesan pemerolehan bahasa kedua. Hal itu tidaklah jelas, namun, apakah hal itu
adalah pengajaran yang ada dalam dirinya atau beberapa faktor yang berhubungan seperti
motivasi dimana yang bertanggungjawab mempengaruhi pengamatan – baik positif atau negatif.
Tidak juga jelas bagaimana pengajaran memimpin kearah perkembangan yang cepat, terutama
sekali seperti adanya bukti untuk menyatakan bahwa pengajaran formal mungkin tidak memiliki
pengaruh nyata.
Menjelaskan peran dari pengajaranPandangan tentang penelitian empiris kedalam pengaruh pengajaran formal pada
pemerolehan bahasa kedua telah mengindikasikan bahwa meskipun pengajaran tidak memiliki
pengaruh nyata pada rangkaian perkembangan dan sangat sedikit pada urutan perkembangan, ia
memiliki pandangan relatif dimana penilaian/kesuksesan mengenai pemerolehan bahasa kedua
adalah hal yang penting. Penjelasan mengenai peran pengajaran dalam pemerolehan bahasa
kedua akan meliputi hasil ini. Bab ini akan mempertimbangkan tiga kemungkinan penjelasan
dipandang dari sudut penelitian empiris yang dilaporkan dalam bab sebelumnya. Hal itu adalah
(1) posisi non-interface, (2) posisi interface, dan (3) posisi variabilitas.
1) Posisi non-interface
Posisi non-interface telah dimajukan sebelumnya oleh Krashen (1982). Krashen, akan disebut
kembali, memperkenalkan dua jenis pengetahuan linguistik dalam pemerolehan bahasa kedua.
‘Acquisition’ terjadi secara otomatis ketika pembelajar menggunakan dalam komunikasi alami
dimana memusatkan pada maksud/makna dan dimana terdapat masukan yang dapat dipahami.
‘Learning’ terjadi sebagai hasil dari pembelajaran formal dimana pembelajar difokuskan pada
sifat yang formal dari bahasa kedua. Pengetahuan ‘acquired’ terdiri dari mengenai peran bahasa
kedua yang mana pembelajar dapat menyerukan secara otomatis; Pengetahuan ‘learnt’ terdiri
dari pengetahuan metalingual yang mana hanya dapat digunakan untuk memonitor keluaran yang
dihasilkan dari pengetahuan yang diperoleh. Krashen membantah bahwa dua jenis pengetahuan
keseluruhannya terpisah dan tidak berhubungan. Khususnya bantahan pandangan bahwa
pengetahuan ‘learnt’ yang diubah ke dalam pengetahuan ‘acquired’. Dia menuliskan:
Hal yang sangat penting yang juga dibutuhkan untuk dinyatakan adalah bahwa pembelajaran tidak ‘berubah menjadi’ tambahan. Pemikiran bahwa kita pertamakali belajar suatu aturan, dan akhirnya, melalui latihan, mendapatkannya, menyebarluas dan mungkin terlihat pada beberapa orang tanpa sadar menjadi jelas….pemerolehan bahasa….terjadi dalam satu jalan, saat pemahaman input berisi struktur yang penerima ‘tiba’ untuk memahami, suatu struktur padanya ‘I + 1’. (1982:83-4)
Hal ini merupakan posisi yang tidak berhubungan .
Krashen mempergunakan sejumlah alasan untuk keterpisahan ‘pemerolehan’ dan ‘belajar’
pengetahuan :
1. terdapat banyak kasus ‘pemerolehan’ dimana tidak terjadi ‘pembelajaran’. Hal ini secara
luas dilaporkan dalam studi naturalistik pemerolehan bahasa kedua.
2. terdapat kasus dimana ‘belajar’ telah dilakukan tetapi gagal menjadi ‘pemerolehan’.
Krashen mengacu pada kasus ‘P’ (Krashen dan Pon 1975), yang ‘belajar’ peraturan
seperti orang ketiga tunggal ‘-s’, tapi tidak dapat menggunakannya dalam percakapan
umum karena ia belum ‘memperoleh’ nya.
3. bahkan pelajar yang terbaik dapat menguasai hanya suatu sub satuan kecil yang bersifat
kaidah gramatika tentang bahasa yang kedua. Hal ini dikarenakan kebanyakan dari
kaidah tersebut terlalu sulit untuk diikuti pelajar. Krashen menunjukkan bahwa hal ini
sering memerlukan seorang linguis sepanjang tahunnya untuk menjelaskan kaidah
tersebut, yang mudah diperoleh.
Krashen mengakui adanya bahwa kadang-kadang kaidah dapat diajarkan sebelum hal itu
diperoleh. Bagaimanapun, dia membantah bahwa hal ini tidak menetapkan bahwa pelajaran
adalah suatu prasyarat dari pemerolehan. Dalam pandangan Krashen, setelah diajarkan, suatu
kaidah tidak menghalangi untuk memperolehnya selanjutnya.
Bukti yang menunjukkan bahwa pelajar dapat sering mengartikulasikan (pandai
berbicara) kaidah formal tatabahasa, tetapi tidak dapat digunakan mereka dengan benar dalam
komunikasi secara spontan memberi beberapa dukungan pada posisi non-interface. Seliger
(1979) membawakan suatu studi yang menarik untuk menyelidiki apakah hal ini merupakan
kasus dalam kenyataannya. Beliau ditanya sejumlah pelajar kelas orang dewasa untuk
menjelaskan beberapa gambaran dan kemudian meneliti penggunaan a/an mereka di dalam
ujaran yang mereka produksi. Beliau juga ditanya oleh pembelajar untuk menyatakan kaidah
yang relevan. Hasilnya ditunjukkan dengan jelas bahwa tidak terdapat hubungan antara hasil
sebenarnya dengan pengetahuan yang sadar akan kaidah. Hal ini terjadi, di samping fakta banyak
pelajar percaya bahwa pengetahuan mereka mengenai kaidahlah yang telah memandu hasil
mereka. satu penafsiran dari studi Selinger adalah bahwa pembelajaran dan pemerolehan tentu
saja bagian yang terpisah, walaupun penjelasan lainnya juga mungkin, yang akan memperjelas
selanjutnya.
Bagaimana cara posisi non-interface meliputi hasil riset yang empiris? Hal itu
memberikan suatu penjelasan yang jelas mengenai mengapa pengajaran formal gagal untuk
mempunyai efek yang substansial (penting) pada rute pemerolehan bahasa kedua. Rute ini
merupakan pemikiran dari ‘pemerolehan’ dan akan menjadi penting hanya dalam data yang
diambil dari ujaran secara spontan. Pengajaran formal diarahkan pada peningkatan kesadaran dan
demikian, kiranya, hanya mempengaruhi pembelajaran. Jadi, walaupun kelas pembelajar boleh
mempelajari kaidah, mereka tidak menunjukkannya dalam percakapan alami sampai mereka
sudah memperolehnya. Dengan mengusulkan sebagai fakta bahwa pembelajaran dan
pemerolehan itu sepenuhnya terpisah, Krashen dapat menjelaskan mengapa pengajaran formal
kelihatannya tidak berdaya untuk menumbangkan urutan pengembangan yang alami. Silabus
pengajar merupakan suatu pembelajaran silabus; kepunyaan pelajar dalam pembuatan silabus
merupakan suatu silabus pemerolehan.
Bagaimanapun, hal ini bukanlah dengan seketika jelas terlihat bagaimana posisi non-
interface dapat menjelaskan efek positif yang berakibat pada nilai/suksesnya pengajaran formal
pada pemerolehan bahasa kedua. Hal itu bisa diharapkan bahwa lingkungan kelas akan
menunjukkan pemerolehan bahasa kedua menurun dibandingkan mempercepatnya, diberikan
pengajaran formal hanya untuk membantu pembelajaran. Bagaimanapun,, Krashen
mengembangkan argumentasi untuk menjaga teorinya terhadap kritik seperti itu.
Krashen (1982), sesungguhnya, mangakui bahwa kelas dapat melakukan lebih baik
daripada lingkungan informal, sama halnya dengan yang ditunjukkan penelitian empiris. Dia
membantah ini, terutama sekali dalam kasus pemula orang dewasa, para pemula mungkin akan
mengalami kesukaran dalam memperoleh masukan yang dapat dimengerti (sumber pemerolehan)
dalam keadaan alami, tetapi jauh lebih mungkin untuk memperolehnya di dalam kelas. Dengan
begitu, walaupun dunia luar boleh menyediakan lebih masukan kepada pelajar, kelas lebih baik
diperlengkapi untuk memastikan bahwa jenis masukan kualitatif yang benar diperlukan untuk
pemerolehan yang tersedia. Argumen-argumen ini merupakan suatu pengembangan Krashen
(1976), dimana suatu pembedaan dibuat antara lingkungan exposure-type dengan intake-type.
Banyak orang dewasa mungkin hanya mengalami lingkungan exposure-type di dalam suatu
pengaturan alami dan dengan begitu tidak akan memperoleh masukan yang diperlukan; yang
disesuaikan untuk memastikan pengertian. Di dalam kontras, kelas jauh lebih mungkin untuk
memastikan bahwa lingkungan intake-type terjadi dan demikian bertemu dengan kondisi-kondisi
itu yang mana pemerolehan dapat berlangsung. Bagaimanapun, kontribusi (sumbangan)
pengaturan kelas tidak banyak dihasilkan dari pengajaran formal mulai dari masukan ketetapan
yang dapat dimengerti sebagai hasil berlangsungnya komunikasi yang sukses. Krashen (1982)
meringkas posisinya mengenai peran di dalam kelas.
Nilai dari kelas bahasa kedua, selanjutnya, berada tidak hanya dalam pengajaran
tatabahasa, tetapi dalam pembicaraan pengajar, masukan yang dapat dimengerti. Hal itu dapat
merupakan suatu tempat efisien untuk mencapai sedikitnya tingkatan intermediate dengan cepat,
sepanjang kelas memusatkan pada masukan penyediaan untuk pemerolehan (1982: 59).
Bukti apa yang terdapat pada pemerolehan, yang dapat berlangsung dalam kelas? Terrel
et al. (1980) membawakan suatu studi untuk menyelidiki apakah kelas pembelajar dapat
mengambil struktur yang mana bukan bagian dari silabus pengajaran secara eksplisit. Mereka
menemukan bahwa siswa SMP Spanyol sebagai bahasa kedua yang dengan sukses, pertanyaan
yang diperoleh membentuk tanpa pengajaran langsung. Terrel et al. menunjukkan bahwa hasil ini
dapat dijelaskan hanya oleh siswa yang memiliki sintaksis internal dari pertanyaan bahasa
Spanyol sebagai hasil menjawab sejumlah besar pertanyaan pengajar yang digunakan untuk
latihan struktur lainnya. Di sisi lain, studi Terrel et al. menunjukkan bahwa ‘pemerolehan’
tentang suatu kaidah linguistik dapat terjadi ketika pengajaran diarahkan pada ‘pembelajaran’
kaidah linguistik lainnya. Studi mereka memberikan suatu alasan mengapa pengajaran formal
mungkin hanya memiliki secara relatif dan bukan suatu efek secara mutlak. Krashen membantah
bahwa ketika pengajaran adalah tidak formal (yakni menghubungkan komunikasi),
‘pemerolehan’ bahkan lebih mungkin di dalam kelas.
Untuk meringkas, posisi non-interface menjelaskan hasil dari studi empiris yang
menyelidiki efek pengajaran formal pada pemerolehan bahasa kedua dengan mengusulkan
sebagai fakta bahwa ada dua jenis pengetahuan linguistik yang seluruhnya tidak bertalian.
Pengajaran formal tidak mempengaruhi rute pengembangan, karena hasil pembelajaran tidak
berdaya untuk mengubah urutan pengembangan yang terjadi melalui pemerolehan.
Bagaimanapun, kelas membantu perkembangan lebih cepat sebab mereka merupakan ‘intake
environment’, mengingat untuk banyak pelajar, khususnya orang dewasa, pengaturan alami
hanya memberikan ‘exposure environment’ dan dengan begitu tidak memungkinkan
pemerolehan berlangsung. Hal itu bukan, bagaimanapun, pengajaran formal yang di dalam
dirinya itu meningkatkan pengembangan.
Dengan dangkal, Posisi non-interface Krashen nampak untuk meliputi hasil riset empiris.
Bagaimanapun, terdapat sejumlah masalah:
1. masalah pertama bertalian dengan fakta bahwa penelitian empiris membahas bagian yang
sebelumnya telah kiranya menguji efek kelas dimana bagian terbesar pengajaran adalah
formal dibandingkan komunikasi. Maka, Krashen berada dalam posisi membantah bahwa
efek positif kesuksesan pemerolehan bahasa kedua yang telah ditunjukkan muncul tidak
berkaitan dengan pengajaran formal itu sendiri, tapi, seperti yang digambarkan dalam
studi oleh Terrell dkk., bahwa hasil secara kebetulan mengambil struktur dari input kelas
yang terjadi dalam proses pengajaran. Krashen mengklaim bahwa pengajaran yang lebih
komunikatif daripada keformalan akan menuju pada perkembangan yang cepat. Namun,
hal ini dapat didemonstrasikan hanya oleh studi comparatif dan metoda. Krashen
melakukan tinjauan sejumlah metoda berbeda untuk menentukan pada tingkat apa hal
tersebut mungkin untuk menyediakan input yang dapat difahami, dan menggunakan hasil
riset empiris yang tersedia dari efek komparatip metoda yang berbeda (seperti audio
lingualisme, kode teori, respon total fisik dan metoda yang alami) untuk mendukung
argumentasinya bahwa hal itu merupakan input yang dapat difahami, dibanding
pengajaran formal, yang membantu pengembangan. Namun, Krashen tidak mengarah
pada studi yang memiliki metoda perbandingan langsung berdasarkan pengajaran
tatabahasa formal sejenis atau berlainan dan metoda yang didasarkan atas menyediakan
kesempatan untuk kamonukasi asli. Tentu, satu studi yang tersebut dalam catatan
Krashen (1981a) – Palmer (1978) – menghasilkan hasil yang tidak mendukung
pernyataan Krashen. Hingga lebih seperti halnya studi itu telah dilaksanakan, posisi
Krashen harus diperlakukan sebagai tindakan spekulatif. Untuk beberapa pengajar-dan
peneliti-dengan tidak sengaja memuaskan penjelasan efek positif yang ditemukan untuk
pengajaran formal akan menjadi fokus pada bentuk dibandingkan hanya ‘masukan
lingkungan’, bahwa hal itu dapat dipertanggungjawabkan.
2. Long (1983d) telah menunjukkan bahwa sebagai anak tidak seharusnya untuk ‘belajar’
tapi hanya untuk ‘mendapatkan’, mereka hendaknya lebih sedikit bermanfaat dari
pengajaran formal dibandingkan orang dewasa. Sekali lagi, hal itu mungkin terjadi untuk
‘mengebalkan’ posisi non-interface dengan mengakui (seperti yang dilakukan Krashen)
bahwa keuntungan lingkungan kelas terdiri dari ketetapan peluang yang didapatnya
dibandingkan ‘belajar’. Namun, sebagai anak mempertimbangkan memiliki lebih sedikit
masalah daripada orang dewasa dalam memperoleh input yang dapat dipahami diluar
kelas, mereka seharusnya lebih sedikit terpercaya pada kelas untuk ‘pemerolehan’ jadi
peneliti harus menunjukkan efek yang lebih besar untuk pengajaran pada orang dewasa
daripada pengajaran pada anak. Prediksi ini, bagaimanapun, tidaklah membuktikan.
Dengan begitu, sehingga Krashen mengantisipasi bahwa pengajaran akan memiliki efek
berbeda-beda pada orang dewasa dan anak-anak, ini tidak sesungguhnya terjadi.
3. Long (1983d) juga mencatat bahwa pengajaran hendaknya menunjukkan efek yang lebih
besar pada pemula daripada pelajar telah lanjut, seperti klaim Krahen bahwa suatu hal
yang mungkin untuk ‘belajar’ hanya aturan tatabahasa yang mudah. Bagaimanapun juga,
peneliti tidak mendukung sepertihalnya klaim ; pelajar lanjutan merupakan keuntungan
dari adanya pengajaran formal. Jika kemahiran merupakan hal yang terkait, Krashen juga
menambahkan bahwa kelas tersebut membantu para pemula lebih dari para pelajar
lanjutan, seperti yang belakangan adalah dalam posisi lebih baik untuk memperoleh input
yang dapat dimengerti diluar kelas. Namun penemuan pelajar lanjutan itu juga
keuntungan dari pengajaran, bahkan saat banyak pemerolehan dari linkungan tersedia
dalam keadaan alami, berlawanan menuju prediksi Krashen.
4. Poin lainnya di munculkan oleh Long merupakan efek pembelajaran kelas hendaknya
ditinjau hanya pada tes point tersendiri, tapi riset itu menunjukkan bahwa pengajaran juga
mengarah pada peningkatan skor pada tes integratif, dimana dalam istilah krashen
hendaknya untuk membuka ‘pemerolehan’ pengetahuan.
Berikut ini merupakan kupasan serius tentang posisi Interface. Ini dapat menjadi suatu
pemecahan tanpa mengabaikan posisi dasar, jika, seperti pandangan Long, beban terbesar
ditunjukan pada ‘pembelajaran’ dengan mendefinsikan kembali hal tersebut sebagai hal yang
menyertai lebih dari pengetahuan aturan ‘sederhana’ dan menerima hal itu dapat membantu
penampilan pada tes integratif sebaik pada tes poin tersendiri. Solusi lain, bagaimanapun, berada
dalam proses penolakan ‘pemerolehan/pembelajaran’ pemisah dan mengadopsi posisi Interface.
Posisi Interface
Pernyataan posisi Interface yang meski pelajar menguasai berbagai macam pengetahuan
mengenai bahasa kedua, hal ini bukanlah seluruhnya terpisah, dengan hasil bahwa ‘rembesan’
dari satu tipe pengetahuan pada tipe lain yang terjadi. Hal itu mungkin untuk membedakan posisi
Interface yang lemah dan yang kuat.
Posisi Interface yang lemah telah dikemukakan Seliger (1979). Seliger memberikan
argumentasi bahwa aturan secara sadar dimana pelajar ‘belajar’ sebagai hasil dari pengajaran
formal merupakan keganjilan, dimana pelajar berbeda tersebut menyajikan hasil berbeda dari
aturan yang mereka ajarkan. Aturan ‘yang diajarkan’ tidak menguraikan pengetahuan internal
yang diserukan komunikasi alami, maka, tidaklah heran, mereka tidak dapat bertanggungjawab
untuk perilaku bahasa aktual. Bagaimanapun, aturan yang berkaitan dengan pendidikan melayani
sesuai kebutuhan. Ia berperan sebagai ‘fasilitator pemerolehan’ dengan memfokuskan pada
perhatian pelajar pada ‘atribut kritikal konsep bahasa sebenarnya yang harus dibujuk’ (Seliger
1979: 368). Kemudian ia membantu membuat proses testing hipotesis induktif lebih efisien.
Seliger juga menyarankan bahwa aturan pendidikan dapat melayani sebagai hal yang dapat
membantu dalam mengingat untuk menerima fitur aturan internal dimana jarang digunakan oleh
pelajar. Dengan kata lain, Seliger menerima bahwa internalisasi aturan merupakan proses
berbeda dari keterlibatan itu dalam mempelajari aturan tentang pendidikan, tapi percaya bahwa
pengetahuan aturan pendidikan (1) mungkin saja membuat lebih mudah internalisasi aturan saat
pelajar ‘siap’ menjalankannya, dan (2) mungkin memfasilitasi penggunaan fitur, dimana
meskipun ‘pemerolehan’ masih merupakan hal yang ‘dangkal’. Namun, Selger tidak
mengemukakan bahwa pengetahuan ‘belajar’ (atau aturan pedagogi) dirubah kedalam
pengetahuan ‘pemerolehan’ (atau internalisasi).
Dalam perbandingan, Stevick (1980) membangun sebuah model Pemerolehan Bahasa
Kedua (yang dia sebut mesin Levertov) dimana memenuhi arus pengetahuan dari ‘pembeajaran’
hingga ‘pemerolehan’ dan sebaliknya. Ia menggambarkan bahwa ‘pembelajaran’ mungkin
berkaitan pada memori sekunder (dimana mampu menahan ingatan material lebih dari dua menit,
namun hilang secara berkala terkecuali apabila dipraktekan), dan ‘pemerolehan’ tersebut mungin
berkaitan dengan memori tersier (dimana berisi material yang tidak pernah hilang, walau jika
tidak digunakan). Stevick, seperti halnya Krashen, melihat ‘pemerolehan’ sebagai produk
pengalaman komunikasi, tapi membantah bahwa hal itu dapat membuat penggunaan material
baru ini telah terekam dan merupakan bagian dari memori sekunder. Jika hal ini terjadi, terdapat
kemungkinan bahwa transfer material kedalam memori tersier, contohnya, ‘pembelajaran’
menjadi ‘pemerolehan’.
Bialystok (lihat, Bialystok dan FrÖhlich 1977 ; Bialystok 1979 dan 1981) juga
membangun sebuah model Pemerolehan Bahasa Kedua yang didasari dua jenis pengetahuan
yang dapat saling berinteraksi. Ia menamakan pengetahuan ini ‘implisit’ dan ‘eksplisit’, tapi jelas
dalam deskripsinya bahwa hal itu berkesesuaian agak baik dengan tipe
‘pemerolehan/pembelajaran’ Krashen. Bialystok mengemukakan bahwa ‘berlatih’ adalah seperti
hal mekanis dengan pengetahuan ekplisit berubah kedalam pengetahuan implisit. Lalu
pengetahuan implisit dapat dibangun kedalam dua cara : (1) maksud utama adalah ‘pemerolehan
dibawah sadar’, dan (2) maksud kedua adalah melalui otomatisasi pengetahuan eksplisit dengan
cara berlatih.
Searah kemudian, dalam ‘pemerolehan’ dan ‘belajar’ mungkin terhubung dalam istilah
otomatisnya. Hal ini merupakan pandangan yang dikembangkan oleh McLaughlin (1978b)
dalam serangannya pada posisi non antarmuka. McLaughlin merujuk pada perbedaan Schneider
dan Shriffin (1977) antara proses ‘pengawasan dan ‘otomatis’. Proses pengawasan membutuhkan
perhatian aktif, jadi hanya sejumlah fitur dapat diawasi pada satu waktu tanpa interfensi pada hal
yang sedang terjadi. ‘otomatis’ tidak membutuhkan pengawasan aktif atau perhatian. Poin
penting adalah ‘proses otomatis dipelajari mengikuti penggunaan yang lebih awal dari proses
pengawasan’ (McLaughlin 1978b: 319). Kemudian, Pemerolehan Bahasa Kedua membawakan
dari pengawasan menuju mode operasi otomatis. Hal itu, kemudian, tidak perlu untuk
menysaratkan dua tipe pengetahuan tak berkait seperti pada perbedaan ‘pemerolehan/belajar’.
Sharwood-Smith (1981) berdasar pada pekerjaan Bialystok dan McLaughlin dan
membangun model permukaan penuh untuk menghitung peran pengajaran formal dalam
Pemerolehan Bahasa Kedua. Ia berpendapat bahwa pengajaran tersebut bertindak sebagai hal
yang pada umumnya yang mana peningkatan pemahaman dapat terjadi, dan menghasilkan
pengetahuan eksplisit dilatih hingga teroomatisasi. Ia menulis :
“Apapun pandangan tentang proses yang mendasari dalam pembelajaran bahasa kedua …..jelas dan non-kontroversial untuk dikatakan bahwa kebanyakan penampilan spontan dicapai melalui latihan. Selama benar-benar melakukan penargetan bahasa, pelajar mendapatkan kendali yang penting lebih dari struktur tersebut, seperti he atau she dapat menggunakannya dengan cepat tanpa refleksi (pemikiran)”. (1981: 166)
Gambar 9.1 menggambarkan reproduksi modelnya Sharwood-Smith. Pembelajar dapat
menghasilkan keluaran bahasa kedua dalam tiga cara yang berbeda: (1) hanya menggunakan
pengetahuan implisit (yang terkandung), (2) hanya menggunakan pengetahuan eksplisit, dan (3)
menggunakan keduanya, yakni pengetahuan ekspisit dan pengetahuan implisit. Ungkapan pelajar
mendasari bagian dari masukan bagi bahasa pelajar yang belajar mekanisme. Pada bagian lain
dari masukan disusun oleh ucapan pembicara lainnya. Total masukan menyediakan informasi
yang dapat memimpin pelajar untuk mengubah komposisi baik pengetahuan yang implisit
maupun pengetahuan eksplisit, atau pun kedua-duanya. Hal ini berdasarkan dari model ini
bahwa performa yang direncanakan seluruhnya atau sebagian pada dasar pengetahuan eksplisit
yang kurang dalam proses otomatisasi dapat memberikan umpan balik kedalam pengetahuan
implisit; jika hal ini cukup serng terjadi (contohnya melalui latihan), pengetahuan eksplisit dapat
menjadi otomatis sepenuhnya sebagai bagian dari pengetahuan implisit.
Pengetahuan eksplisitPengetahuan implisit
Ungkapan pembicara lainOutputInput
Gambar 9.1 Input linguistik dan output : tiga sumber feedback potensial
(Sharwood-Smith 1981 : 166)
Seberapa baikkah kelemahan dan kekuatan posisi Interface meliputi hasil riset empiris
kedalam efek pengajaran formal? Posisi lemah dapat dengan nyaman meliputi kedua kegagalan
untuk menemukan efek positif pada jalur Pemerolehan Bahasa Kedua dan untuk menemukan
bahwa pengajaran formal mempengaruhi penemuan penilaian/keberhasilan pengembangan.
Posisi kuat dapat meliputi penemuan penilaian/keberhasilan, namun kurang nyaman dengan
penemuan jalur.
Posisi lemah, seperti yang dikemukakan lebih lanjut oleh Selinger, menyatakan bahwa
aturan pedagogi tidak akan merubah urutan yang dalam aturan bahasa kedua secara alami
‘diperoleh’, seperti halnya efek itu hanya akan dirasakan ketika pembelajar siap untuk
memperoleh aturan tersebut. Bagaimanapun, aturan pedagogi akan meningkatan kecepatan
pengembangan, karena aturan-aturan pedagogi tersebut membuat proses ‘pemerolehan’ lebih
singkat. Dikarenakan pembelajar dilengkapi oleh pengetahuannya tentang aturan pedagogi, maka
ia memerlukan waktu yang lebih sedikit untuk merasakan dan menginternalisasikan fitur yang
menonjol dari aturan tersebut.
Posisi yang kuat, didukung oleh Stevick, McLaughlin, dan Sharwood-Smith, memberikan
penjelasan yang meyakinkan mengenai mengapa pelajar kelas melampaui pelajar alami, bahkan
saat pengujian kecakapan merupakan satu yang hendaknya mendukung ‘pemerolehan’ (sebagai
contoh tes integratif). Pelajar kelas memiliki keuntungan dimana mereka dapat menambah
implisit mereka atau’pemerolehan’ pengetahuan dalam dua cara : (1) langsung, atas pertolongan
‘masukan lingkungan’ yang disediakan oleh kelas, dan (2) tidak langsung, dengan otomatisasi
pengetahuan eksplisit melalui latihan. Dalam proses alami yang jelas, pelajar akan hampir secara
keseluruhan tepercaya pada (1). Tidaklah jelas, namun, bagaimana kekuatan posisi dapat
menjelaskan ketiadaan efek mayor untuk pengajaran pada jalur Pemerolehan Bahasa Kedua.
Jika, seperti yang disarankan, pengetahuan dapat berubah kedalam pengetahuan implisit saat
proses otomatisasi, pelajar yang menerima pengajaran formal yang berlatih bentuk linguistik
spesifik hendaknya menunjukkan hal ini dalam urutan pemerolehan, bahkan bila mereka tidak
secara alami terjadi hingga dikemudian. Dengan kata lain, mengajarkan tatabahasa hendaknya
menumbangkan urutan alam. Terdapat beberapa fakta untuk menyarankan bahwa hal ini
sebenarnya berlangsung (mengingat kembali pengamatan Lightbown (1983) bahwa bentuk
‘overlearnt’ dapat memaksakan kedalam urutan alami), namun hanya pada tingkat terbatas, tidak
sebanyak model Sherwood-Smith yang daat diprediksi. Jalur dari pengetahuan eksplisit hingga
implisit merupakan satu yang cukup terbatas.
Satu masalah posisi Interface adalah masih diasumsikan bahwa pengetahuan bahasa
kedua dapat menjadi dikotomi sebagai ‘pemerolehan/belajar’, atau implisit/eksplisit. Hal itu juga
menerima pandangan Krashen bahwa pengetahuan ‘pemerolehan’ dalam beberapa jalur primer
dan pengetahuan ‘belajar’ sekunder. Pandangan alternatifnya adalah untuk memperlakukan
pengetahuan pelajar sebagai variabel. Macam pengetahuan macam pegetahuan yang pelajar
interalisasikan tergantung pada interaksi konteks alami. Juga penampilan bahasa kedua juga
cukup tersedia. Pengetahuan yang dipakai oleh pelajar tergantung pada sifat alami dari tugas
yang ada. Dapat disangkal, pandangan ini bagian dari posisi antarmuka, tapi tidak sepenuhnya
diucapkan. Untuk alasan itu, baik sekali untuk memertimbangkan posisi ketiga-posisi
variabilitas-sebagai alternatif pada posisi non-antarmuka dan antarmuka.
Posisi variabilitas
Posis varibilitas telah dijelasan pada bab 4. untuk merekapitulasi secara singkat, pelajar
interlanguage terdiri dari variabilitas non sistimatik dan sistimatik. Variabilitas sistematik
merupakan hasil dari konteks linguistik dan situasional. Pelajar percaya dengan sejumlah gaya
berbeda disusun dari kehati-hatian hingga logat asli. Gaya mana yang ia pergunakan merupakan
fungsi jumlah perhatian yang dia mampu untuk menghargai pada ujarannya (Tarone 1983).
Posisi variabilitas dengan tegas menghubungkan antara penggunaan dan pemerolehan.
Macam bahasa yang digunakan pelajar dalam menentukan macam pengetahuan yang ia
dapatkan. Dengan cara yang sama, pengetahuan yang berbeda digunakan dalam tipe berbeda dari
performan bahasa. jadi, memperoleh pengetahuan linguistik yag dirasakan perlu untuk
membentuk semacam aktivitas tidak menjamin kemampuan untuk membentuk aktifitas yang
berbeda. Sebagai contoh, pengaruh latihan mungkin khusus untuk aktivitas yang didalamnya
dilakukan latihan.
Bialystok (1982, 1984) mencari untuk mengitung variabel pelajar mengawasi sistem
bahasa kedua dengan melakukan pengujian batasan yang dikaitkan dengan berbagai situasi
bahasa. Untuk melakukannya, ia membedakan dua hal yang terlibat secara terus menerus, faktor
teranalisa dan kontrol faktor. Faktor teranalisa berkenaan pada tingkat mana pelajar mampu
untuk Pra-menyajikan struktur pengetahuan bersamaan dengan isinya (Bialystok 1984). Pelajar
yang telah memperoleh pengetahuan yang diteliti mampu untuk mengoperasikan hal itu,
mentransformasikan, membandingkan, dan menggunakannya untuk memecahkan permasalahan.
Secara kasar, faktor teranalisa bersesuaian pada perbedaan eksplisit/implisit. Kontrol faktor
berkenaan pada relatif memudahkan akses bahwa pelajar harus berbeda materi pengetahuan ilmu
bahasa ; hal ini berkaitan dengan otomatisasi. Bialystok menegaskan bahwa faktor-faktor ini
bukanlah dikotomi (bercabang dalam dua bagian) melainkan continua (terus
menerus/berkelanjutan), bahwasanya terdapat tingkatan analisasi dan otomatisasi. Hal ini tepat
sekali walaupun untuk mengidentifikasi 4 jenis dasar dari pengetahuan, seperti yang ditunjukkan
pada gambar 9.2. Menggunakan kerangka ini, Bialystok membuat dua poin dasar, (1) tugas yang
berbeda memerlukan jenis pengetahuan yang berbeda. Tugas yang paling sulit adalah mereka
yang memperoleh pengetahuan yang ditandai atas kedua faktor tersebut (yakni C pada gambar
9.2), sedangkan yang paling sedikit sulitnya adalah yang tidak ditandai atas kedua faktor tersebut
(yakni B), sedangkan tugas yang memperoleh pengetahuan dengan ditandai hanya oleh satu
faktor saja tetapi yang lainnya tidak ditandai (yakni A atau D) merupakan tingkat intermediate,
(2) jenis pelajar yang berbeda dapat dikenali berdasarkan jenis pengetahuan yang mereka kuasai.
Untuk contohnya, pembelajar anak-anak dan pembelajar informal orang dewasa akan secara khas
ditandai oleh jenis pengetahuan B pada langkah-langkah awal, dan oleh jenis A pada langkah-
langkah berikutnya. Pembelajar formal bahasa kedua akan secara khas ditandai oleh jenis
pengetahuan D dalam langkah-langkah awal dan jenis C dalam langkah berikutnya. Bialystok
dengan seksama menyatakan bahwa ‘perbedaan kualitatif tidak menyiratkan nilai sebuah
keputusan’ (Bialystok, 1982: 205).
- dianalisa+ otomatis
A + dianalisa+ otomatis
C- dianalisa
- otomatis
B + dianalisa- otomatis
C
+ otomatis -
Gambar 9.2 Jenis pengetahuan dalam sistem variabel bahasa kedua (berdasar pada
Bialystok 1982)
Bagaimana posisi variabel seperti halnya yang digambarkan oleh Bialystok (1982) atau
pun Tarone (1983) melaporan hasil dari studi empiris mengenai efek pengajaran formal.
Dikarenakan rangkaian natural dari perkembangan merupakan refleksi (pantulan/cerminan) dari
satu jenis bahasa tertentu yang digunakan – komunikasi secara spontan – hal tidak akan pernak
berubah. Pada model Tarone yang disebut rute alami adalah produk pelajar vernacular style
(gaya bahasa daerah); dalam model Bialystok itu adalah produk jenis pengetahuan A. Suatu
perbedaan lainnya akan muncul hanya ketika pelajar dihadapkan dengan semacam tugas yang
memerlukan suatu jenis pengetahuan yang berbeda. Dengan begitu pengajaran formal, yang
mengembangkan careful style (gaya ketelitian) pelajar (atau jenis pengetahuan C pada gambar
9.2), akan menjadi tidak berdaya untuk mempengaruhi rute dari pemerolehan bahasa kedua
sepanjang ini diukur dengan menggunakan tugas yang menyerukan vernacular style (gaya
bahasa daerah). Apakah pengajaran formal akan mampu mencapai untuk meningkatkan kendali
atas pengetahuan yang diteliti, yang telah ia pelajari; hal itu, untuk otomatisasi melalui praktik.
Dari pandangan tentang posisi variabilitas, pertanyaan dari alternatif lainnya tentang
pengembangan tidak muncul, seperti yang disebut ‘pemerolehan’ yang hanya merupakan suatu
refleksi (cerminan/pemantulan) dari jenis performa tertentu.
Posisi variabilitas dapat juga menjelaskan mengapa pelajar kelas outperform pelajar
naturalistik diuji secara terpisah. Pengajaran formal kiranya mengembangkan jenis pengetahuan
tersebut (jenis C dalam kerangka Bialystok), hal itu diperlukan untuk melakukan jenis tugas yang
diajukan tes ini. Kiranya pengaturan natural tidak mengembangkan jenis pengetahuan ini. Hal itu
kurang jelas, bagaimana posisi variabilitas dapat menjelaskan mengapa pelajar kelas juga
outperform pelajar naturalistik pada tes integratif. Terdapat sejumlah kemungkinan. Pertama, tes
integratif boleh memerlukan analisis dibandingkan pengetahuan yang tidak dianalisis; di sisi
lain, mereka menyerukan kurang lebih, jenis pengetahuan yang sama sebagai poin terpisah
menguji sejauh faktor yang diteliti berkaitan, berbeda halnya dengan faktor otomatis. Kedua, hal
ini mungkin, bahwa terdapat bergeraknya pengetahuan sepanjang rangkaian gaya penulisan dari
waktu ke waktu, seperti yang diusulkan oleh Tarone (1983). Dickerson (mengutip dalam Tarone
1982) mengusulkan bahwa kemajuan yang dilanjutkan dalam gaya formal mungkin memiliki
pengaruh pada gaya casual (peristiwa secara kebetulan). Suatu masalah dengan penjelasan ini
adalah bahwa jika ini merupakan kasus, suatu rangkaian alami yang berbeda hendaknya
dihasilkan dari pengajaran formal, kecuali jika pengaruh dilihat hanya dari kepekaan pelajar pada
format vernacular (bahasa daerah) yang telah siap untuk muncul (seperti yang diusulkan oleh
Selinger 1979). Ketiga, hal itu dapat dihipotesiskan bahwa pengajaran formal itu melakukan
lebih dari mengembangkan pengetahuan yang diteliti untuk digunakan dalam gaya careful (gaya
ketelitian); hal ini juga memungkinkan pengetahuan yang tidak diteliti untuk
menginternalisasikan bagi digunakan dalam gaya vernacular (bahasa daerah). Poin ini menuntut
eksplikasi dengan seksama.
Hal itu tidak dapat diasumsikan bahwa pengajaran formal hanya menyokong pada gaya
careful (ketelitian) pelajar. Interaksi kelas yang mana membentuk acuan dari pengajaran formal
yang juga boleh bertindak sebagai input pada gaya pelajar vernacular (bahasa daerah). Bukti
untuk ini telah dikutip dalam studi Terrel, dkk. (1980). Dalam bab 6 hal itu juga menunjukkan
bahwa bahkan dalam suatu kelas formal mungkin berisi berbagai macam interaksi yang berbeda,
suatu poin membuat setengah memaksa oleh Bialystok (1981: 65):
“…..suatu situasi pembelajaran formal meliputi lebih banyak fitur dibandingkan dengan yang secara tegas ditunjuk sebagai tujuan pelajaran, seperti percakapan asing, konteks sosial di mana pelajaran terjadi, dan seterusnya, dan banyak lagi dari fitur ini yang mungkin secara bersamaan berasimilasi ke dalam pengetahuan linguistik secara implisit”.
Ellis (1984e), dalam studinya yang ditunjukkan lebih awal, juga mengusulkan bahwa
kesempatan untuk interaksi komunikasi mungkin terjadi dalam konteks pengajaran formal. Hal
itu akan diserukan kembali bahwa Ellis tidak mampu untuk menjelaskan mengapa beberapa
siswa memanfaatkan dari pengajaran dalam penggunaan HW question selagi yang lainnya tidak
digunakan, dalam kaitannya dengan bagaimana kerapkali mereka mengambil bagian pengajaran
pertukaran onal. Bagaimanapun, dia menawarkan bukti kualitatif untuk mengusulkan bahwa
siswa yang maju adalah mereka yang terlibat dalam interaksi di mana negosiasi beberapa
maksud diambil alih, yang mana kelas sendiri atau dalam sesi pemerolehan di mana data untuk
studi telah dikumpulkan. Tetapi, bukan hanya interaksi komunikatif saja yang membantu ke arah
pengembangan gaya pelajar vernacular (bahasa daerah) itu. Suatu argumen dapat diberikan
bahwa interaksi di mana memusatkan pada bentuk dapat juga membantu, walaupun bukan dalam
cara yang para guru pertimbangkan. Pertimbangan, sebagai contohnya, suatu pelajaran yang
mana diperoleh siswa untuk memproduksi kalimat seperti “This is a pencil” dan “These are
pencils” dalam rangka berlatih membuat penanda kalimat jamak. Hal ini benar, bahwa seperti
kalimat model informasi tersebut, yang bersifat tatabahasa, yang mana merupakan terget
pelajaran, tetapi mereka juga memuat informasi gramatika yang mana tidak ditandai untuk
perhatian yang sadar. Siswa memproduksi dan mendengarkan untuk seperti kalimat mungkin
memusatkan pada penanda kalimat jamak, tetapi pada waktu yang sama mereka juga
mengekspose bagaimana kopula digunakan dalam kalimat yang sama. Berlatih memproduksi
kalimat seperti itu dapat memudahkan pengembangan pengetahuan yang diteliti di mana tanda
kalimat jamak berkaitan, tetapi dapat juga secara kebetulan memudahkan pengembangan
pengetahuan yang tidak diteliti di mana penggunaan kopula berkaitan (seperti membantu pelajar
untuk menginternalisasikan rumusan kalimat “This is a……”). Dengan begitu, sungguhpun
pengajaran formal diarahkan pada penguasaan bentuk bahasa kedua secara spesifik, hal itu
mungkin, untuk alasan tersebut di atas, juga memimpin untuk penguasaan bentuk bahasa kedua
lainnya, tidak ditunjuk dari pandangan pengajar sebagai tujuan dari pelajaran.
Bagaimanapun, hal itu diterima bahwa pengajaran formal bertindak sebagai input bagi
berbagai gaya antarbahasa dengan pengembangan pengetahuan bahasa kedua dalam jenis
tingkatan analisis, itu masih tetap untuk menjelaskan mengapa input ini memungkinkan
pembelajar di kelas lebih mengembangkan dengan cepat dbandingkan dengan pembelajar secara
natural. Suatu kemungkinan yang kuat bahwa input kelas lebih kaya, dalam pengertian bahwa
hal itu merangsang pertumbuhan berbagai jenis pengetahuan, sedangkan masukan naturalistik
melayani hanya untuk merangsang pengetahuan yang tidak diteliti secara keseluruhan.
Pembelajar yang memiliki akses berbagai gaya lebih baik diperlengkapi untuk pelaksanaan
dengan sukses pada kedua poin yang terpisah dan tes integratif yang mana berarti kecakapan
terukur. Dalam banyak kasus, pelajar akan memanfaatkan dari akses untuk kedua pengetahuan
yang tidak diteliti dan pengetahuan yang diteliti, karena hal ini akan memungkinkan mereka
untuk melakukan suatu bidang dari tugas yang berbeda.
Ringkasan
Bab ini telah menguji tiga teori posisi yang menunjukkan penjelasan tentang bagaimana
pengajaran formal tidak mempengaruhi rangkaian alami Pemerolehan Bahasa Kedua tetapi
memfasilitasi perkembangan yang lebih cepat. Posisi non-interface dikemukakan Krashen yang
menyatakan bahwa ‘pemerolehan’ dan ‘pembelajaran’ merupakan hal terpisah. Karena
‘pemerolehan’ bertanggungjawab untuk rangkaian alami, ‘pembelajaran’ hasil dari pengajaran
formal tidak dapat mempengaruhinya. Namun, kelas yang memberikan peluang bagi input yang
dapat dimengerti akan mempercepat ‘pemerolehan’. Posisi interface juga memberikan usulan
sebagai fakta mengenai dua jenis pengetahuan bahasa kedua, namun berargumen bahwa mereka
berhubungan, maka, ‘pembelajaran’ itu (atau pengetahuan eksplisit) dapat menjadi
‘pemerolehan’ (atau pengetahuan implisist) saat hal itu dilatih secukupnya. Versi yang lebih
lemah dari posisi ini, bagaimanapun, menyatakan bahwa ‘pembelajaran’ tidak banyak berubah
kedalam ‘pemerolehan’ semudah hal tadi, saat pelajar ‘siap’. Keragaman posisi berbeda dari
kedua posisi lainnya yakni mengenal keragaman ’gaya’ berbeda, masing-masing memohon tipe
pengetahuan yang bervariasi dalam istilah analisasi dan otomatisasi. Gugusan berbeda
membutuhkan kegunaan dari jenis pengetahuan berbeda. Pengajaran formal memberikan
kontribusi langsung atau tidak langsung pada internalisasi jenis pengetahuan berbeda ini dan
karenanya memungkinkan pelajar kelas untuk melaksanakan cangkupan yang lebih luas dalam
hal gugus tugas linguistik daripada pelajar alami.
Ketiga posisi memperlengkapi argumen untuk mencatat hasil riset empiris kedalam efek
pengajaran formal. Hal ini telah dipertimbangkan dalam beberapa bahasan. Terdapat fakta-fakta
yang cukup jelas untuk membuat pilihan antara ketiganya. Bukti akan tetap seperti itu dimasa
depan hingga ada studi kualitatif percakapan kelas yang diakibatkan oleh pengajaran formal dan
tentang pengembangan ilmu bahasa yang mempengaruhi percakapan seperti itu.
SimpulanBab ini dimulai dengan penegasan bahwa investigasi peran pengajaran dalam
Pemerolehan Bahasa Kedua adalah signifikan untuk kedua teori Pemerolehan Bahasa Kedua dan
pedagogy bahasa. Dalam simpulan ini saya harus meringkas dengan mempertimbangkan
beberapa implikasi.
Teori Pemerolehan Bahasa Kedua Studi peran pengajaran dapat menerangkan kontribusi faktor lingkungan dalam
Pemerolehan Bahasa Kedua. Lingkungan kelas memberikan jenis input berbeda dari keadaan
alami. Jika faktor lingkungan merupakan hal penting bagi Pemerolehan Bahasa Kedua, mungkin
dapat diprediksi bahwa (1) jalan kemahiran dalam dua keadaan akan berbeda, dan (2)
penilaian/kesuksesan Pemerolehan Bahasa Kedua dalam dua keadaan juga akan berbeda. Peneliti
telah mengulas dalam bab yang lalu menunjukkan bahwa (1) sementara tidak muncul, (2)
mungkin saja. Kesalahan keadaan kelas untuk mempengaruhi jalan Pemerolehan Bahasa Kedua
dapat dijelaskan dalam dua cara. Pertama, mungkin diambil untuk menunjukkan bahwa
determinan sebenarnya dari Pemerolehan Bahasa Kedua adalah internal pelajar lebih daripada
faktor lingkungan. Maka, disamping perbedaan dalam input, pelajar bahasa kedua akan
mengikuti jalan yang sama karena ia diprogram untuk hal yang sama. Penjelasan kedua
membolehkan peran lebih sentral untuk input/interaksi untuk dipertahankan. Kelas Pemerolehan
Bahasa Kedua dan Pemerolehan Bahasa Kedua alami mengikuti garis perkembangan yang sama,
karena, meskipun terdapat perbedaan dalam jenis input yang ditemukan dalam setiap keadaan,
juga terdapat kesamaan. Rangkaian alami merupakan produk satu jenis penggunaan bahasa-
komunikasi spontan-yang, meskipun terbatas dalam konteks kelas, tetapi terjadi. Penjelasan
pertama mengikuti interpretasi penutur asli dari Pemerolehan Bahasa Kedua, penjelasan kedua
mengikuti interpretasi interaksi (lihat bab 6). Jelas, apapun interpretasi yang diadopsi, hal itu
bahwa Pemerolehan Bahasa Kedua menguasai sifat struktural yang bebas pada perbedaan inhern
lingkungan dalam kelas dan keadaan alami. Pengaruh faktor lingkungan nampak membatasi
sebagian besar untuk sejauh apa dan berapa banyak perolehan bahasa kedua bagi pelajar.
Pedagogy BahasaMelihat pengajaran dari sudit pandang pelajar lebih daripada pengajar adalah bermanfaat.
Hal itu melihat kedalam perspektif secara luas yang memandang bahwa pengajaran berdasar
pada bunyi silabus dan melibatkan teknik motivasi, hasil berupa pemerolehan. Kecuali jika
laporan yang diambil tentang sifat struktural Pemerolehan Bahasa Kedua, kesuksesan bukanlah
hal yang pasti.
Namun, tidaklah mudah untuk sampai pada rekomendasi kuat berdasar pada hasil riset
Pemerolehan Bahasa Kedua. Seperti yang ditulis Hughes (1983: 1-2) :
Harus dikatakan pada permulaan bahwa pada saat kini terdapat beberapa implikasi yang jelas
untuk menggambarkan perihal mengajarkan bahasa dari studi pengajaran bahasa kedua.
Sikap berdiam diri dilakukan untuk dua alasan. Pertama, harus dikenal bahwa
mengajarkan tidaklah sama seperti mempelajari. Dalam pemikiran program mengajarkan jelas
bermaksud pada pemahaman bagaimana pelajar belajar, tapi itu juga perlu untuk diambil
kedalam faktor non-pelajar. Brumfit (1984), misalnya, menunjuk bahwa walaupun jika pelajar
mengikuti jalur tetap, guru mungkin tidak merasa berkeawjiban meyakinklan bahwa
pengajarannya juga mengikutinya, sepertinya jauh lebih penting bahaw guru bekerja dari silabus
yang secara logis dia terima. Brumfit berargumen bahaw pengajaran bahasa akan paling berhasil
saat mengikuti rencana yang terpecahkan dengan baik yang mengarah dan mengorganisir apa
yang guru kerjakan. Alasan kedua untuk berdiam diri adalah, meskipun terdapat tingkat
persetujuan antara peneliti Pemerolehan Bahasa Kedua menyangkut apa yang terjadi dalam
Pemerolehan Bahasa Kedua. Terdapat jauh lebih sedikit persetujuan tentang bagaimana hal itu
terjadi dalam cara tersebut. Hal ini menjadi jelas dalam perbedaan posisi yang telah diadopsi
untuk menjelaskan hasil riset kedalam efek pengajaran formal. Namun, walaupun bijaksana
untuk bersifat sementara dalam mencari implikasi pedagogi bahasa dari riset Pemerolehan
Bahasa Kedua, tetapi cukup bodoh untuk mengabaikan secara keseluruhan riset ini. Seperti
catatan Corder (1980: 1), ‘kita selalu memiliki kewajiban untuk berusaha menjawab pertanyaan
praktis dalam menerangkan pengetahuan umum terbaik’.
Hanya satu isu yang dipertimbangkan disini – apa yang dikemukakan Stern (1983)
sebagai dilema kode-komunikasi dalam pedagogi bahasa. pertanyaan kunci adalah seperti : pada
tingkat apa seharusnya pengajaran diarahkan untuk meningkatkan kesadaran pelajar tentang sifat
formal bahasa kedua, sebagai lawan untuk menyediakan peluang bagi mereka untuk terlibat
dalam komunikasi alami? Ini merupakan isu kontroversial. Satu sisi terdapat pendukung apa
yang Widdowson (1984: 23) sebut ‘pendidikan murni……dan ia dihubungkan dengan serba
membolehkan non-intervensi’. Disisi lain terdapat mereka yang berargumen bahwa mengajar
pelajar menjadi analitis memperbesar perkembangan. Saya harus menyingkat sikap apa pada
diema kode komunikasi yang dipegang pendukung masing-masing ketiga posisi
mempertimbangkan dalam bab sebelumnya.
1. Posisi non-interface
Krashen (1982) memberikan penekanan pada peran pengajaran tatabahasa dalam kelas
Pemerolehan Bahasa Kedua. Ia melihat hanya dua penggunaan. Pertama, memfungsikan
monitor untuk menyediakan ‘pembelajaran’. Namun, penggunaan monitor terbatas pada saat
pelajar ‘belajar’ mengakses pengetahuannya, dan juga terbatas dengan fakta bahwa hanya
sebagian kecil sub-bab dari total aturan bahasa kedua ‘dapat dipelajari’. Kedua, penggunaan
pelajaran tatabahasa untuk memuaskan keingintahuan pelajar tentang sistem tatabahasa bahasa
kedua-‘apresiasi tatabahasa’, sebagaimana yang disebut Krashen. Krashen (1982)
menyimpulkan :
Penggunaan tatabahasa secara sadar adalah terbatas. Tidak semua orang memonitor. Mereka hanya memonitor sebagian dari waktunya dan menggunakan monitor hanya untuk sub-bagian tatabahasa…efek koreksi pribadi pada ketepatan merupakan hal yang sederhana. Pelaku bahasa kedua secara khas mengoreksi diri hanya dalam persentase kecil kesalahannya, bahkan saat dengan sengaja terfokus pada bentuk…….dan bahkan saat kita hanya memikirkan aspek termudah dari tatabahasa. (1982: 112)
Krashen, lebih lanjut, percaya bahwa peran pengajaran adalah membuka kesempatan untuk
berkomunikasi, lebih baik dari menggambarkan perhatian melalui kode bahasa kedua. Krashen
(1981b) merinci penjelasan karakteristik tentang apa yang dipertimbangkan tentang program
efektif pedagogikal : (1) input kelas harus dapat dimengerti; (2) program harus terdiri dari
‘aktifitas komunikatif’, untuk menjamin bahwa input menarik dan relevan; (3) selayaknya
tidak mencoba mengikuti rentetan program tatabahasa; dan (4) input harus cukup banyak
(karenanya penting untuk membaca secara luas). Krashen dan Terrell (1983) menguraikan
secara singkat sebuah program yang sesuai untuk prinip ini, yang disebut ‘pendekatan
alamiah’
2. Posisi Interface
Sedangkan posisi non interface menegaskan arti penting komunikasi dan memperkecil arti
penting kode, posisi interface menyatakan kontribusi tentang kode. Sharwood-Smith (1981)
melihat pengajaran tatabahasa sebagai jalan pintas pada kemampuan komunikasi. Maka,
pelajar dewasa yang memiliki perhatian menarik menuju fitur kode dapat berlatih disini, diluar
ataupun didalam kelas, sampai dapat menggunakannya tanpa sadar didalam bertutur
komunikasi. Sharwood-Smith menegaskan bahwa pengajaran tatabahasa (atau ‘peningkatan
kesadaran’) dapat bermacam-macam bentuk. Ia membedakan dua dimensi dasar : ketelitian
(contohnya apakah pengajaran hanya menawarkan uraan ringkas atau penjelasan yang sangat
terstruktur.
3. Posisi Variabilitas
Posisi variabilitas menekankan arti penting kesesuaian proses belajar dengan jenis pengajaran.
Bialystok (1982: 2005) berkomentar :
“……pengajaran harus mempertimbangkan tujuan khusus pelajar dan mencoba untuk
menyediakan bentuk pengetahuan yang sesuai untuk mencapai tujuan itu”.
Tujuan tersebut mengacu pada jenis bahasa yang digunakan bahwa pembelajar membutuhkan
(atau menginginkan) untuk terlibat di dalamnya. Jika tujuan mengikutsertakan percakapan
natural, maka pembelajar harus mengembangkan gaya vernacular (bahasa daerah) nya dengan
memperoleh pengetahuan bahasa kedua yang otomatis tetapi tidak diteliti. Hal ini dapat
dicapai secara langsung atas pertolongan pengajaran yang menekankan komunikasi di dalam
kelas. Hal ini juga mungkin dicapai secara tidak langsung oleh pengajaran yang memfokuskan
pada kode, jika terdapat peluang praktis yang memadai untuk memacu jalan pengetahuan dari
kehati-hatian menuju gaya sehari-hari. Jika tujuan pelajar adalah untuk berpartisipasi dalam
percakapan yang membutuhkan kehati-hatian, perencanaan secara sadar, ia akan butuh
mengembangkan gaya secara hati-hati dengan memperoleh pengetahuan bahasa kedua yang
otomatis dan teranalisis. Hal ini dapat secara terbaik terpenuhi dengan pengajaran formal yang
memusatkan pada kode bahasa kedua.
Sama halnya, itu bukanlah mungkin untuk membuat pilihan terbatas seperti posisi mana yang
ditawarkan penjelasan terbaik dari hasil riset empiris kedalam kelas Pemerolehan Bahasa Kedua,
jadi itu akan prematur untuk menempatkan solusi pada dilema kode-komunikasi dalam pedagogi
bahasa. Namun, satu efek studi secara umum telah memberi kesan bahwa mengajarkan kode
mungkin memainkan bagian kecil daripada pemikiran sebelumnya. Seperti ang ditunjukkan
Coder (1980), kesan seperti ini berada dalam kesesuaian dengan arah pengajaran saat ini. Riset
Pemerolehan Bahasa Kedua, kemudian, mungkin terlihat sebagai penguatan trend yang telah ada,
lebih daripada bantahan-bantahan pendekatan baru.
PEMEROLEHAN BAHASA PERTAMA DAN BAHASA KEDUA SUATU PANDANGAN DALAM BAHASADitulis oleh Admin pada 29 November 2010 | Kliping |
Rumah Terjemah melayani terjemah bahasa Arab, Inggris, Buku, Skripsi, Tesis, dll. Bandingkan Daftar Harga kami..!
1. Pengantar
Bahasa selalu ada bersama dengan manusia. Ungkapan itu, bukan sekedarungkapan tanpa dasar. Dasar yang sering disebutkan ialah bahwa bahasamerupakan sarana komunikasi antar-manusia. Bahkan dapat pula dikatakantanpa ada manusia lain pun seseorang dapat berbahasa. Manusia dapat
berpikir dalam lamunannya dan dalam mimpinya sehingga dasar yang palingutama sebenarnya adalah bahasa merupakan bagian dari kehidupan manusia.Setiap anak manusia yang normal pertumbuhan pikirannya akan belajar bahasapertama atau bahasa ibu dalam tahun-tahun pertama dalam hidupnya, danproses ini terjadi hingga kira-kira umur 5 tahun. Sesudah itu, pada masapubertas atau kira-kira 12- 14 tahun hingga menginjak dewasa ataukira-kira umur 18- 20 tahun, anak itu akan tetap masih belajar bahasanyayang dinamakan bahasa pertama atau disingkat B1.Pascapubertas, keterampilan berbahasa seorang anak tidak banyakkemajuannya, meskipun dalam beberapa hal, umpamanya dalam kosakata, iabelajar B1 terus-menerus selama hidupnya. Pemerolehan B1 dianggap bahasayang utama bagi anak karena bahasa ini yang paling mantap pengetahuan danpenggunaannya. Pemerolehan B1 terjadi apabila anak yang belum pernahbelajar bahasa apa pun mulai belajar bahasa untuk pertama kali. Selainpemerolehan bahasa pertama (B1) pemerolehan bahasa kedua pun yangdisingkat B2 terjadi dengan bermacam-macam cara, pada usia berapa sajauntuk tujuan bermacam-macam dan pada tingkat kebahasaan yang berlainan.Oleh sebab itu, pemerolehan B2 dapat terjadi secara terpimpin, alamiah.Dalam konteks ini, dirujuk pada dua konsep yang dibedakan oleh para ahlipsikolinguistik, khususnya Krashen & Terrell (1983) yang mengatakan bahwa,pada umumnya yang kelihatan ialah mengenai pemerolehan B1 yang disebutsebagai acquisition dan pelajaran B2 yang dinamakan learning.Berangkat dari uraian di atas, dalam artikel ini akan diuraikanberturut-turut: pemerolehan bahasa pertama dan pemerolehan bahasa kedua;serta pandangan dalam bahasa.
2. Pemerolehan Bahasa Pertama dan Bahasa KeduaProses anak mulai mengenal komunikasi dengan lingkungannya secara verbaldisebut dengan pemerolehan bahasa anak. Pemerolehan bahasa pertama (B1)(anak) terjadi bila anak yang sejak semula tanpa bahasa kini telahmemperoleh satu bahasa. Pada masa pemerolehan bahasa anak, lebih mengarahpada fungsi komunikasi daripada bentuk bahasanya. Pemerolehan itu dapatdikatakan mempunyai ciri kesinambungan, memiliki suatu rangkaian kesatuan,yang bergerak dari ucapan satu kata sederhana menuju gabungan kata yanglebih rumit.Ada dua pengertian mengenai pemerolehan bahasa. Pertama, pemerolehanbahasa mempunyai permulaan yang mendadak, tiba-tiba. Kedua, pemerolehanbahasa memiliki suatu permulaan yang gradual yang muncul dariprestasi-prestasi motorik, sosial, dan kognitif pralinguistik. PemerolehanB1 sangat erat hubungannya dengan perkembangan kognitif yakni pertama,jika anak dapat menghasilkan ucapan-ucapan yang berdasar pada tata bahasayang teratur rapi, tidaklah secara otomatis mengimplikasikan bahwa anaktelah menguasai bahasa yang bersangkutan dengan baik. Kedua, pembicaraharus memperoleh ‘kategori-kategori kognitif’ yang mendasari berbagaimakna ekspresif bahasa-bahasa alamiah, seperti kata, ruang, modalitas,kausalitas, dan sebagainya. Persyaratan-persyaratan kognitif terhadap
penguasaan bahasa lebih banyak dituntut pada pemerolehan bahasa kedua(PB2) daripada dalam pemerolehan bahasa pertama (PB1).Manusia memiliki warisan biologi yang sudah dibawa sejak lahir berupakesanggupan untuk berkomunikasi dengan bahasa khusus manusia dan itu tidakada hubungannya dengan kecerdasan atau pemikiran. Kemampuan berbahasahanya sedikit korelasinya terhadap IQ manusia .Pemerolehan bahasa pertama erat kaitannya dengan perkembangan sosial anakdan karenanya juga erat hubungannya dengan pembentukan identitas sosial.Mempelajari bahasa pertama merupakan salah satu perkembangan menyeluruhanak menjadi anggota penuh suatu masyarakat. Bahasa memudahkan anakmengekspresikan gagasan, kemauannya dengan cara yang benar-benar dapatditerima secara sosial. Bahasa merupakan media yang dapat digunakan anakuntuk memperoleh nilai-nilai budaya, moral, agama, dan nilai-nilai laindalam masyarakat.Melalui bahasa, khusus B1 seorang anak belajar untuk menjadi anggotamasyarakat. B1 salah satu sarana untuk mengungkapkan perasaan, keinginan,dan pendirian, dalam bentuk-bentuk bahasa yang dianggap ada. Ia belajarpula bahwa ada bentuk-bentuk yang tidak dapat diterima anggotamasyarakatnya, ia tidak selalu boleh mengungkapkan perasaannya secaragamblang.Apabila seorang anak menggunakan ujaran-ujaran yang bentuknya benar ataugramatikal, belum berarti bahwa ia telah menguasai B1. Agar seorang anakdapat dianggap telah menguasai B1 ada beberapa unsur yang penting yangberkaitan dengan perkembangan jiwa dan kognitif anak itu. Perkembangannosi-nosi (notion) atau pemahaman seperti waktu, ruang, modalitas, sebabakibat, dan deiktis merupakan bagian yang penting dalam perkembangankognitif penguasaan B1 seorang anak.Sistem pikiran yang terdapat pada anak-anak dibangun sedikit demi sedikitapabila ada rangsangan dunia sekitarnya sebagai masukan atau input (iaituapa yang dilihat anak, didengar, dan yang disentuh yang menggambarkanbenda, peristiwa dan keadaan sekitar anak yang mereka alami). Lamakelamaan pikirannya akan terbentuk dengan sempurna. Setelah itu, sistembahasanya lengkap dengan perbendaharaan kata dan tata bahasanya punterbentuk.Perkembangan pemerolehan bahasa anak dapat dibagi atas tiga bagian pentingiaitu (a) perkembangan prasekolah (b) perkembangan ujaran kombinatori, dan(c) perkembangan masa sekolah. Perkembangan pemerolehan bahasa pertamaanak pada masa prasekolah dapat dibagi lagi atas perkembanganpralinguistik, tahap satu kata dan ujaran kombinasi permulaan.Perkembangan pralinguistik ditandai oleh adanya pertukaran giliran antaraorang tua khususnya ibu dengan anak. Pada masa perkembangan pralinguistikanak mengembangkan konsep dirinya. Ia berusaha membedakan dirinya dengansubjek, dirinya dengan orang lain serta hubungan dengan objek dan tindakanpada tahap satu kata anak terus-menerus berupaya mengumpulkan namabenda-benda dan orang yang ia jumpai. Kata-kata yang pertama diperolehnyatahap ini lazimnya adalah kata yang menyatakan perbuatan, kata
sosialisasi, kata yang menyatakan tempat, dan kata yang menyatakanpemerian.Perkembangan bahasa pertama anak lebih mudah ditandai dari panjangucapannya. Panjang ucapan anak kecil merupakan indikator atau petunjukperkembangan bahasa yang lebih baik dari pada urutan usianya. Jumlahmorfem rata-rata per ucapan dapat digunakan sebagai ukuran panjangnya. Adalima tahapan pemerolehan bahasa pertama. Setiap tahap dibatasi olehpanjang ucapan rata-rata tadi. Untuk setiap tahap ada Loncatan Atas (LA).Walaupun perkembangan bahasa setiap anak sangat unik, namun ada persamaanumum pada anak-anak, ada persesuaian satu sama lain semua mencakupeksistensi, noneksistensi, rekurensi, atribut objek, dan asosiasi objekdengan orang.Dilihat dari unsur dasar pembentukannya, kombinasi yang dibuat anak padaperiode ini mengekspresikan dua unsur deretan dasar pelaku (agen) +tindakan (aksi) + objek. Semua kombinasi dua unsur terjadi, misalnya Agen+ Aksi + Objek, Agen + Objek.Pada masa tahap 2 ada tiga sarana ekspresif yang dipakai oleh anak-anak,yang dapat membuat kalimat-kalimat mereka menjadi lebih panjang iaitukemunculan morfem-morfem gramatikal secara inklusif dalam ujaran anak,pengertian atau penyambungan bersama-sama hubungan dua hal tersebut, danperluasan istilah dalam suatu hubungan/relasi.Perkembangan pemerolehan bunyi anak-anak bergerak dari membuat bunyimenuju ke arah membuat pengertian. Periode pembuatan pembedaan atas duabunyi dapat dikenali selama tahun pertama iaitu (1) periode vokalisasi danprameraban, serta (2) periode meraban. Anak lazimnya membuat pembedaanbunyi perseptual yang penting selama periode ini, misalnya membedakanantara bunyi suara insani dan non-insani antara bunyi yang berekspresimarah dengan yang bersikap bersahabat, antara suara anak-anak dengan orangdewasa, dan antara intonasi yang beragam. Anak-anak mengenali makna-maknaberdasarkan persepsi mereka sendiri terhadap bunyi kata-kata yangdidengarnya. Anak-anak menukar atau mengganti ucapan mereka sendiri dariwaktu ke waktu menuju ucapan orang dewasa, dan apabila anak-anak mulaimenghasilkan segmen bunyi tertentu, hal itu menjadi perbendaharaan mereka.Perkembangan ujaran kombinatori anak-anak dapat dibagi dalam empat bagianiaitu perkembangan negatif/penyangkalan, perkembanganinterogratif/pertanyaan, perkembangan penggabungan kalimat, danperkembangan sistem bunyi.Ada tiga tipe struktur interogatif yang utama untuk mengemukakanpersyaratan, iaitu pertanyaan yang menuntut jawaban ya atau tidak,pertanyaan yang menuntut informasi, dan pertanyaan yang menuntut jawabansalah satu dari yang berlawanan (polar). Penggabungan beberapa proposisimenjadi sebuah kalimat tunggal memerlukan rentangan masa selama beberapatahun dalam perkembangan bahasa anak-anak. Pada umumnya, cara-caramenggabungkan kalimat menujukkan gerakan melalui empat dimensi iaitugabungan dua klausa setara menuju gabungan dua klausa yang tidak setara,klausa-klausa utama yang tidak tersela menuju penggunaan klausa-klausa
yang tersela, iaitu menyisipkan klausa bawahan pada klausa utama, susunanklausa yang memuat kejadian tetap menuju susunan klausa yang bervariasi,dan dari penggunaan perangkat-perangkat semantik-sintaktis yang kecilmenuju perangkat yang lebih diperluas.Pada perkembangan masa sekolah, orientasi seorang anak dapat berbeda-beda.Ada anak yang lebih impulsif daripada anak yang lain, lebih refleksif danberhati-hati, cenderung lebih jelas dan nyata dalam berekspresi, lebihsenang belajar dengan bermain-main, sementara yang lain lebih pragmatisdalam pemakaian bahasa. Di masa ini setiap bahasa anak akan mencerminkankepribadiannya sendiri. Siswa taman kanak-kanak memiliki rasa bahasa,bagian-bagiannya, hubungannya, bagaimana cara kerjanya sehingga merekamampu mengenal serta mengapresiasi bahasa yang dipakai dalam cara yangmengagumkan serta tidak lazim. Selama masa sekolah anak mengembangkan danmemakai bahasa secara unik dan universal. Pada saat itu anak menandai ataumemberinya ciri sebagai pribadi yang ada dalam masyarakat itu.Perkembangan bahasa pada masa sekolah dapat dibedakan dengan jelas dalamtiga bidang, iaitu struktur bahasa, pemakaian bahasa, dan kesadaranmetalinguistik.
Strategi Pemerolehan Bahasa PertamaStrategi pertama dalam pemerolehan bahasa dengan berpedoman pada: tirulahapa yang dikatakan orang lain. Tiruan akan digunakan anak terus, meskipunia sudah dapat sempurna melafalkan bunyi. Ada pendapat yang mengatakanbahwa strategi tiruan atau strategi imitasi ini akan menimbulkan masalahbesar. Mungkin ada orang berkata bahwa imitasi adalah mengatakan sesuatuyang sama seperti yang dikatakan orang lain. Akan tetapi, ada banyakpertanyaan yang harus dijawab berkenaan dengan hal ini.Ada berbagai ragam peniruan atau imitasi, iaitu imitasi spontan atauspontaneous imitation, imitasi pemerolehan atau elicited imitation,imitasi segera atau immediate imitation, imitasi terlambat delayedimitation dan imitasi dengan perluasan atau imitation with expansion,reduced imitation.Strategi kedua dalam pemerolehan bahasa adalah strategi produktivitas.Produktivitas berarti keefektifan dan keefisienan dalam pemerolehan bahasayang berpegang pada pedoman buatlah sebanyak mungkin dengan bekal yangtelah Anda miliki atau Anda peroleh. Produktivitas adalah ciri utamabahasa. Dengan satu kata seorang anak dapat “bercerita atau mengatakan”sebanyak mungkin hal. Kata papa misalnya dapat mengandung berbagai maknabergantung pada situasi dan intonasi.Strategi ketiga berkaitan dengan hubungan umpan balik antara produksiujaran dan responsi. Dengan strategi ini anak-anak dihadapkan padapedoman: hasilkanlah ujaran dan lihatlah bagaimana orang lain memberiresponsi. Stategi produktif bersifat “sosial” dalam pengertian bahwastrategi tersebut dapat meningkatkan interaksi dengan orang lain dansementara itu bersifat “kognitif” juga. Hal itu dapat memberikan umpanbalik kepada pelajar mengenai ekspresinya sendiri terhadap makna dan juga
memberinya sampel yang lebih banyak, iaitu sampel bahasa untuk digarapatau dikerjakan.Strategi keempat adalah prinsip operasi. Dalam strategi ini anakdikenalkan dengan pedoman: gunakan beberapa “prinsip operasi” umum untukmemikirkan serta menetapkan bahasa. Selain perintah terhadap diri sendirioleh anak, prinsip operasi ini juga menyarankan larangan yang dinyatakandalam avoidance terms; misalnya: hindari kekecualian, hindari pengaturankembali.Proses Pemerolehan Bahasa KeduaPemerolehan bahasa berbeda dengan pembelajaran bahasa. Orang dewasamempunyai dua cara yang, berbeda berdikari, dan mandiri mengenaipengembangan kompetensi dalam bahasa kedua. Pertama, pemerolehan bahasamerupakan proses yang bersamaan dengan cara anak-anak. Mengembangkankemampuan dalam bahasa pertama mereka. Pemerolehan bahasa merupakan prosesbawah sadar. Para pemeroleh bahasa tidak selalu sadar akan kenyataan bahwamereka memakai bahasa untuk berkomunikasi.Kedua, untuk mengembangkan kompetensi dalam bahasa kedua dapat dilakukandengan belajar bahasa. Anak-anak memperoleh bahasa, sedangkan orang dewasahanya dapat mempelajarinya. Akan tetapi ada hipotesis pemerolehan belajaryang menuntut bahwa orang-orang dewasa juga memperoleh bahasa, kemampuanmemungut bahasa tidaklah hilang pada masa puber. Orang-orang dewasa jugadapat memanfaatkan sarana pemerolehan bahasa alamiah yang sama sepertiyang dipakai anak-anak. Pemerolehan merupakan suatu proses yang amat kuatpada orang dewasa.Pemerolehan dan pembelajaran dapat dibedakan dalam lima hal, iaitupemerolehan:1. memiliki ciri-ciri yang sama dengan pemerolehan bahasa pertama, seoranganak penutur asli, sedangkan belajar bahasa adalah pengetahuan secaraformal,2. secara bawah sadar, sedangkan pembelajaran sadar dan disengaja.3. bahasa kedua seperti memungut bahasa kedua, sedangkan pembelajaranmengetahui bahasa kedua,4. mendapat pengetahuan secara implisit, sedangkan pembelajaran mendapatpengetahuan secara eksplisit,5. pemerolehan tidak membantu kemampuan anak, sedangkan pembelajaranmenolong sekali.Cara pemerolehan bahasa kedua dapat dibagi dua cara, iaitu pemerolehanbahasa kedua secara terpimpin dan pemerolehan bahasa kedua secara alamiah.Pemerolehan bahasa kedua yang diajarkan kepada pelajar dengan menyajikanmateri yang sudah dipahami. Materi bergantung pada kriteria yangditentukan oleh guru. Strategi-strategi yang dipakai oleh seorang gurusesuai dengan apa yang dianggap paling cocok bagi siswanya.Pemerolehan bahasa kedua secara alamiah adalah pemerolehan bahasakedua/asing yang terjadi dalam komunikasi sehari-hari, bebas daripengajaran atau pimpinan, guru. Tidak ada keseragaman cara. Setiapindividu memperoleh bahasa kedua dengan caranya sendiri-sendiri. Interaksi
menuntut komunikasi bahasa dan mendorong pemerolehan bahasa. Dua ciripenting dari pemerolehan bahasa kedua secara alamiah atau interaksispontan ialah terjadi dalam komunikasi sehari-hari, dan bebas daripimpinan sistematis yang sengaja.Di dalam kelas ada saja buah yang dapat dianggap sangat penting danmendasar dalam proses belajar bahasa, iaitu (1) belajar bahasa adalahorang, (2) belajar bahasa adalah orang-orang dalam interaksi dinamis, dan(3) belajar bahasa adalah: orang-orang dalam responsi.Pemerolehan bahasa bersamaan dengan proses yang digunakan oleh anak-anakdalam pemerolehan bahasa pertama dan pemerolehan bahasa kedua. Pemerolehanbahasa menuntut interaksi yang berarti dalam bahasa sasaran yang merupakanwadah para pembicara memperhatikan bukan bentuk ucapan-ucapan merekatetapi pesan-pesan yang mereka sampaikan dan mereka pahami. Perbaikankesalahan dan pengajaran kaidah- kaidah eksplisit tidaklah relevan bagipemerolehan bahasa, tetapi para guru dan para penutur asli dapat mengubahserta membatasi ucapan-ucapan mereka kepada pemeroleh agar menolong merekamemahaminya. Modifikasi-modifikasi ini merupakan pikiran untuk membantuproses pemerolehan tersebut.Hubungan antara Pemerolehan Bahasa Pertama dan Pemerolehan Bahasa KeduaCiri-ciri pemerolehan bahasa mencakup keseluruhan kosakata, keseluruhanmorfologi, keseluruhan sintaksis, dan kebanyakan fonologi. Istilahpemerolehan bahasa kedua atau second language aqcuisition adalahpemerolehan yang bermula pada atau sesudah usia 3 atau 4 tahun. Adapemerolehan bahasa kedua anak-anak dan pemerolehan bahasa kedua orangdewasa.Ada lima hal pokok berkenaan dengan hubungan pemerolehan bahasa pertamadengan pemerolehan bahasa kedua. Salah satu perbedaan antara pemerolehanbahasa pertama dan bahasa kedua ialah bahwa pemerolehan bahasa pertamamerupakan komponen yang hakiki dari perkembangan kognitif dan sosialseorang anak, sedangkan pemerolehan bahasa kedua terjadi sesudahperkembangan kognitif dan sosial seorang anak sudah selesai, dalampemerolehan bahasa pertama pemerolehan lafal dilakukan tanpa kesalahan,sedangkan dalam pemerolehan bahasa kedua itu jarang terjadi, dalampemerolehan bahasa pertama dan bahasa kedua ada kesamaan dalam urutanperolehan butir-butir tata bahasa, banyak variabel yang berbeda antarapemerolehan bahasa pertama dengan pemerolehan bahasa kedua. Suatu ciriyang khas antara pemerolehan bahasa pertama dan bahasa kedua belum tentuada meskipun ada persamaan perbedaan di antara kedua pemerolehan.Ada tiga macam pengaruh proses belajar bahasa kedua, iaitu pengaruh padaurutan kata dan karena proses penerjemahan, pengaruh pada morfem terikat,dan pengaruh bahasa pertama walaupun pengaruh isi sangat lemah (kecil).Strategi Pemerolehan Bahasa KeduaPerlu diingat bahwa strategi-strategi yang telah dikenal perlu dibagi kedalam komponen-komponennya. Strategi pertama berpegang, pada semboyan:gunakanlah pemahaman nonlinguistik Anda sebagai dasar untuk penetapan ataupemikiran bahasa. Strategi ini berlangsung dan beroperasi pada tahap umum
dalam karya Brown mengenai dasar kognitif ujaran tahap I. Strategi pertamaini memiliki rerata Panjang Ucapan; rata-rata (PUR) sebesar 1,75, danLoncatan Atas (LA) sebesar 5. Adapun objek dan persona terus-menerus adawalaupun di luar jangkauan pandangan yang merupakan pemahamannonlinguistik yang menjadi dasar atau landasan bagi pengarah bahasa atauterjemahan anak-anak terhadap ketidakstabilan atau kemudahan mengalirkanpemikiran ke dalam kategori-kategori bahasa yang lebih pasti. Penggunaanpemahaman nonlinguistik untuk memperhitungkan serta menetapkanhubungan-hubungan makna-ekspresi bahasa merupakan suatu strategi yang amatpersuasif atau dapat merembes pada diri anak-anak.Strategi kedua berpegang pada semboyan: gunakan apa saja atau segalasesuatu yang penting, yang menonjol dan menarik hati Anda. Ada dua ciriyang kerap kali penting dan menonjol bagi anak-anak kecil dan berhargabagi sejumlah kata-kata pertama mereka iaitu objek-objek yang dapatmembuat anak-anak aktif dan giat (misalnya kunci, palu, kaos kaki, topi)dan objek-objek yang bergerak dan berubah (seperti mobil, jam).Sifat-sifat atas ciri-ciri perseptual dapat bertindak sebagai butir-butiratau titik-titik vokal bagi anak-anak (misalnya bayangan, ukuran, bunyi,rasa, bentuk). Anak-anak memperhatikan objek-objek yang mewujudkan hal-halyang menarik hati ini; dan mereka memperhatikan cara menamai objek-objekitu dalam masyarakat bahasa. Perhatian anak-anak juga bisa pada unsurbahasa yang memainkan peranan penting sintaksis dan semantik dalamkalimat. Pusat perhatian tertentu bagi seorang anak mungkin saja berbedapada periode yang berbeda pada setiap anak.Strategi ketiga berpegang pada semboyan: anggaplah bahwa bahasa dipakaisecara referensial atau ekspresif dan dengan demikian menggunakan databahasa. Anak-anak kelompok referensial memiliki 50 kata pertama mencakupsuatu proporsi nomina umum yang tinggi dan yang seakan-akan melihat fungsiutama bahasa sebagai penamaan objek-objek. Anak kelompok ekspresifmemiliki 50 kata pertama secara proporsional mencakup lebih banyak katayang dipakai dalam ekspresi-ekspresi sosial (seperti terima kasih, janganbegitu) dan lebih sedikit nama-nama objek yang melihat bahasa (terutamasekali) sebagai pelayanan fungsi-fungsi sosial efektif. Kedua kelompokanak itu menyimak bahasa sekitar mereka secara berbeda. Kelompok yang satumemperlakukan bahasa yang dipakai untuk mengacu, sedangkan kelompok yangsatu lagi, kepada bahasa yang dipakai untuk bergaul, bersosialisasi. Adatujuh fungsi bahasa yaitu fungsi instrumental, fungsi regulasi, fungsirepresentasi, fungsi interaksi, fungsi personal, fungsi heuristik, danfungsi imajinatif. Fungsi instrumental bahasa berkaitan dengan pengelolaanlingkungan, mengkomunikasikan tindak. Fungsi regulasi atau pengaturanberkenaan dengan pengendalian peristiwa, penentuan hukum dan kaidah,pernyataan setuju tidak setuju. Fungsi representasi berkenaan denganpernyataan, menjelaskan melaporkan. Fungsi interaksi berkaitan denganhubungan komunikasi sosial. Fungsi personal berkenaan dengan kemungkinanseorang pembicara mengemukakan perasaan, emosi, dan kepribadian. Fungsiheuristik berkaitan dengan perolehan pengetahuan dan belajar tentang
lingkungan. Fungsi imajinatif berkaitan dengan daya cipta imajinasi dangagasan.Strategi keempat berpegang pada semboyan: amatilah bagaimana caranya oranglain mengekspresikan berbagai makna. Strategi ini baik diterapkan padaanak yang berbicara sedikit dan seakan-akan mengamati lebih banyak,bertindak selektif, menyimak, mengamati untuk melihat bagaimana makna danekspresi verbal saling berhubungan. Strategi ini mengingatkan kepada gayaatau preferensi belajar yang berbeda pada anak-anak yang berlainan usiadalam situasi belajar yang lain pula.Strategi kelima berpegang pada semboyan: ajukanlah pertanyaan-pertanyaanuntuk memancing atau memperoleh data yang Anda inginkan, anak berusiasekitar dua tahun akan sibuk membangun dan memperkaya kosakata mereka.Banyak di antara mereka mempergunakan siasat bertanya atau strategipertanyaan. Siasat ini seolah-olah merupakan sesuatu yang efektif, karenasetiap kali dia bertanya: apa nih? apa tu? maka teman bicaranya mungkinmenyediakan label atau, nama yang tepat. Suatu pola yang menarik terjadipada penggunaan pertanyaan mengapa pada usia sekitar 3 tahun.Pandangan Global dan Kecenderungan dalam Pemerolehan BahasaRagam atau jenis pemerolehan bahasa dapat ditinjau dari lima sudutpandangan, iaitu berdasarkan bentuk, urutan, jumlah, media, dankeasliannya. Dalam pengertiannya semua istilah itu ternyata hampir sama.Di dalam literatur keduanya sering dipakai berganti-ganti untuk maksud danpengertian yang sama.Dalam bahasa satu tercakup istilah bahasa pertama, bahasa asli, bahasaibu, bahasa utama, dan bahasa kuat. Dalam bahasa dua tercakup bahasakedua, bukan bahasa asli, bahasa asing, bahasa kedua, dan bahasa lemah.Masih ada beberapa istilah lagi iaitu bahasa untuk komunikasi luas, bahasabaku, bahasa regional, bahasa nasional, bahasa resmi, bahasa modern, danbahasa klasik.Ditinjau dari segi bentuk ada tiga pemerolehan bahasa iaitu pemerolehanbahasa pertama bahasa yang pertama diperoleh sejak lahir, pemerolehanbahasa kedua yang diperoleh setelah bahasa pertama diperoleh, danpemerolehan-ulang, iaitu bahasa yang dulu pernah diperoleh kini diperolehkembali karena alasan tertentu. Ditinjau dari segi urutan ada duapemerolehan iaitu pemerolehan bahasa pertama dan pemerolehan bahasa kedua.Ditinjau dari segi jumlah ada dua pemerolehan iaitu pemerolehan satubahasa (di lingkungan yang hanya terdapat satu bahasa secara luas), danpemerolehan dua bahasa di lingkungan yang terdapat lebih dari satu bahasayang digunakan secara luas). Ditinjau dari segi media dikenal pemerolehanbahasa lisan (hanya bahasa yang diucapkan oleh penuturnya), danpemerolehan bahasa tulis (bahasa yang dituliskan, oleh penuturnya).Ditinjau dari segi keaslian atau keasingan dikenal pemerolehan, bahasaasli (merupakan alat komunikasi penduduk asli), dan pemerolehan bahasaasing (bahasa yang digunakan oleh para pendatang atau bahasa yang memangdidatangkan untuk dipelajari). Ditinjau dari segi keserentakan ataukeberurutan (khususnya bagi pemerolehan dua bahasa) dikenal pemerolehan
(dua bahasa) serentak dan pemerolehan dua bahasa berurutan.Ada tiga komponen yang menentukan proses pemerolehan bahasa iaituprospensity (kecenderungan), language faculty, (kemampuan berbahasa), danacces (jalan masuk) ke bahasa.Istilah prospensiti mencakup seluruh faktor yang menyebabkan pelajarmenerapkan kemampuan berbahasa untuk memperoleh sesuatu balasan. Hal itumerupakan hasil interaksi mereka yang menentukan kecenderungan aktualpelajar. Selama tidak mempengaruhi segala aspek pemerolehan bahasa padataraf yang sama, maka tidaklah bijaksana mengaitkan kecenderungan denganproses pemerolehan dengan cara yang umum. Unsur-unsur komponenkecenderungan itu dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor eksternal,(misalnya pengajaran) sampai taraf-taraf tertentu.Komponen kecenderungan ada empat iaitu integrasi sosial, pendidikan,kebutuhan komunikatif, dan sikap. Dalam pemerolehan bahasa pertamaintegrasi sosial merupakan suatu faktor yang dominan. Relevansi faktor iniakan berkurang jika beranjak dari pemerolehan bahasa anak menujubentuk-bentuk pemerolehan bahasa lainnya. Integrasi sosial mempunyaisedikit kebermaknaan sebagai faktor penyebab kecenderungan dalam belajarbahasa kedua di tingkat perguruan tinggi atau universitas. Dalam hal-haltertentu, integrasi sosial merupakan faktor yang mengakibatkan pengaruhnegatif.Faktor kebutuhan komunikatif harus dibedakan dengan cermat dan tepat dariintegrasi sosial. Kedua faktor ini kerapkali berlangsung serta bertindakbersama-sama bahu-membahu. Walaupun integrasi sosial jelas sekalimengimplikasikan kepuasan kebutuhan-kebutuhan komunikatif tertentu; namunkedua faktor itu berbeda. Kedua faktor tersebut telah dipisahkan secaracermat dan keduanya dapat mempengaruhi pemerolehan bahasa dengan cara-carayang amat berbeda (dalam ranah fonologi, morfologi; sintaksis, kosakata,dan wacana). Ada berbagai ragam jenis kebutuhan komunikasi. Pengaruhnyakepada pemerolehan bahasa tentu juga beragam. Perbedaan yang ada antaraintegrasi sosial dan kebutuhan komunikatif sebagai dua komponenkecenderungan yang berinteraksi selalu dengan perbedaam atau motivasiintegratif dan motivasi instrumental. Bukan berarti bahwa motivasi tidakmemberikan kontribusi apa pun kepada kecenderungan.Sikap subjektif mempengaruhi belajar bahasa dengan cara-cara yang tidakjelas, misalnya disebabkan integritas sosial dan kurangnya rasa percayadiri. Daya tarik menarik bahasa sebenarnya dapat menjadi sebuah ebakan.Sikap meremehkan dengan menggampangkan mengakibatkan sedikitnya perhatiankepada bahasa yang akan dipelajari, hanya sedikit pencurahan dan akhirnyamengantarkan kepada kegagalan belajar bahasa kedua.3. Pandangan dalam BahasaPerkembangan teori pemerolehan bahasa pada abad ini telah dipenaruhi olehperkembangan psikologi Omega (dalam Yulianto, 2007: 10-11). Dalampsikologi terdapat dua aliran yang prinsip dasarnya bertentangan, yaknibehaviorisme dan kognitivisme. Kedua aliran tersebut ikut mempengaruhipara ahli pembelajaran bahasa dalam memandang bagaimana seorang anak
manusia belajar bahasa.Tentang bagaimana manusia memperoleh atau belajar bahasa, Ellis (dalamYulianto, 2007:10-11) mengungkapkan adanya tiga kelompok pandangan, iaitu(1) pandangan behaviorisme, (2) pandangan nativisme, dan (3) pandanganintraksionisme. Lebih jelasnya uraian ketiga pandangan tersebut dapatdilihat berikut ini.
a. Pandangan BehaviorismeMenurut pandangan ini kegiatan berbahasa dipengaruhi oleh aliran psikologibehaviorisme yang merupakan rangkaian rangsangan (stimulus) dan tanggapan(respon). Menurut pandangan ini berbahasa dianggap sebagai bagian dariperilaku manusia, seperti perilaku yang lain. Oleh karena itu,pembelajaran harus dilakukan melalui rangsangan-rangsangan Brown (dalamYulianto, 2007:11). Pebelajar dalam hal ini dianggap sebagai mesin yangmemproduksi bahasa dengan lingkngan dianggap sebagai faktor penentunya,yakni sebagai rangsangan. Untuk itu, agar anak dapat mengucapkan kata-katatertentu, kepadanya harus diberikan rangsangan berupa kata-kata. Menurutkonsep ini anak tidak dapat mengucapkan kata-kata yang belum pernahdidengarnya.Baraja (1990:31) mengemukakan bahwa perilaku kebahasaan sama denganperilaku yang lain, iaitu dikontrol oleh konsekuensinya. Apabila hasilsuatu usaha menyenangkan, perilaku itu akan terus dikerjakan; dansebaliknya, bila hasilnya tidak menguntungkan, perilaku tersebut akanditinggalkan. Dengan kata lain, apabila ada restu reinforcement yangcocok, perilaku akan berubah. Inilah yang dikatakan belajar, sebab intibelajar adalah adanya perubahan perilaku.Menurut Skinner, anak-anak mengakusisi bahasa melalui hubungan denganlingkungan, dalam hal ini dengan cara meniru. Dalam hubungan denganpeniruan ini, faktor yang terpenting adalah frekuensi berulangnya suatukata atau urutan kata. Ujaran-ujaran itu akan mendapat pengukuhan sehinggaanak lebih berani menghasilkan kata dan urutan kata. Dengan cara inilingkungan akan mendorong anak untuk menghasilkan tuturan yang gramatikaldan tidak memberi pengukuhan terhadap tuturan yang tidak gramatikal.
b. Pandangan NativismePandangan ini menekankan peranan aktif pembelajar. Peranan peniruan danpenguatan menjadi tidak berarti. Chomsky menyatakan bahwa pengetahuanseseorang tentang bahasa ibunya diturunkan dari universal grammar yangmenentukan bentuk-bentuk dasar bahasa alamiah.Universal Grammar telah ada pada setiap orang sebagai seperangkat prinsiplinguistik bawaan yang terdiri atas keadaan awal yang berfungsi mengontrolbentuk kalimat suatu ujaran. Dengan demikian, universal grammar merupakanseperangkat prosedur penemuan untuk menghubungkan prinsip-prinsip umum itupada data yang diberikan oleh pajanan bahasa alamiah.Kaum mentalis berpendapat bahwa setiap anak yang lahir telah memilikisejumlah kapasitas atau potensi bahasa. Potensi bahasa ini akan berkembang
apabila saatnya tiba. (Brown, 1980: 21) beranggapan bahwa setiap anak yanglahir telah memiliki apa yang mereka sebut LAD (Language AcquisitionDevice). Kelengkapan bahasa ini berisi sejumlah hipotesis bawaan.McNeill (Brown, 1980: 22) menyatakan bahwa LAD terdiri dari: (a) kecakapanuntuk membedakan bunyi bahasa dengan bunyi-bunyi yang lain, (b) kecakapanmengorganisasi satuan linguistik ke dalam sejumlah kelas yang akanberkembang kemudian, (c) pengetahuan tetang sistem bahasa yang mungkin danyang tidak mungkinn, dan (d) kecakapan menggunakan sistem bahasa yangdidasarkan pada penilaian perkembangan sistem linguistik, dengan demikiandapat melahirkan sistem yang dirasakan mungkin di luar data linguistikyang ditemukan.Senada dengan itu, Ellis (1986:44) menyimpulkan pandangan mentalis tentangpemerolehan B1 sebagai: (1) bahasa merupkan kemampuan khusus manusia; (2)keberadaannya tidak terikat oleh otak atau akal budi manusia, karenameskipun bahasa merupakan bagian alat-alat kognitif, bahasa terpisah darimekanisme kognitif umum yang berkaitan dengan perkembangan intelektual;(3) faktor utama pemerolehan B1 adalah piranti pemerolehan bahasa (LAD)yang secara genetis memengaruhi dan menyumbangkan seperangkat prinsip tatabahasa pada anak; (4) LAD berhenti perkembangannya karena usia dan; (5)proses pemerolehan bahasa terdiri atas pengujian hipotesis dengan caramenghubungkan tata bahasa B1 pebelajar dengan univeral grammar.Pandangan kaum mentalis tentang pemerolehan B2, karena seorang pebelajarmenguasai pengetahuan bahasa ibunya dengan jalan menguji hipotesis yangdibuatnya. Tugasnya adalah menghubungkan pengetahuan bawaan tentanggramatika dasar dengan struktur lahir kalimat-kalimat bahasa yangdipelajarinya.
c. Pandangan Interaksionisme
Pandangan ini menganggap bahwa pemerolehan bahasa merupakan hasilinteraksi antara kemampuan mental pebelajar dengan lingkungan bahasa(Ellis, 1986: 126). Interaksi antara keduanya adalah manifestasi dariinteraksi verbal yang aktual antara pebelajar dengan orang lain.Pendekatan interaksionisme oleh van Els (dalam Yulianto, 2007: 24)menyebut sebagai pendekatan prosedural, di mana dalam pendekatan iniinteraksi antara faktor internal dengan faktor eksternal bersifat sentral.Titik awal pendekatan ini adalah kemampuan kognitif anak dalam menemukansruktur bahasa di sekitarnya. Faktor interna, merupakan kemampuan mentalanak sangat berpengaruh. Namun, faktor lingkungan juga berperananmenentukan macam pemerolehannya, terutama leksikon. Di samping itu,Yulianto (2001: 563) juga setuju kepada pandangan Dardjowidjojo (2000:304) yang mengungkapkan bahwa faktor kodrati dan lingkungan berpengaruhdalam pemerolehan bahasa anak. Secara eksplisit pandangan ini sesuaidengan pandangan interaksionisme (Ellis, 1986:129).Menurut pandangan interaksionisme, interaksi antara faktor internal denganfaktor eksternal bersifat sentral. Titik awal pendekatan ini adalah
kemampuan kognitif anak dalam menemukan struktur bahasa di sekitarnya.Baik pemahaman maupun produksi bahasa pada anak-anak dipandang sebagaisistem prosedur penemuan yang secara terus-menerus berkembang dan berubah.
4. TanggapanDari ketiga pandangan dalam bahasa iatu bihaviorisme, nativisme, daninteraksionisme dapat dikatakan ketiganya benar sesuai sudut mana merekadipandang.Tidak dapat disangkal dan dapat dibenarkan dari pandangan kaum empirisbahwa pengetahuan dan keterampilan berbahasa anak diperoleh melaluipengalaman atau proses belajar. Pengalaman dan proses belajar yang akanmembentuk akusisi bahasanya. Dalam arti bahasa dipandang sebagai sesuatuyang dipindahkan melalui pewarisan kebudayaan, sama halnya orang yangbelajar mengendarai sepeda.Lebih lanjut, pandangan bihavioristik mengemukakan bahwa tidak adastruktur linguistik yang dibawa anak sejak lahir. Anak yang lahir dianggapkosong dari bahasa, tidak membawa kapasitas atau potensi bahasa. Sistemrespon diperoleh manusia melalui sistem membiasakan ataupengulangan-pengulangan. Dengan demikian, anak harus diajarkan bahasaSama halnya dengan pandangan nativisme atau mentalis, dapat dibenarkandari sudut pandangnya bahwa anak lahir ke dunia telah membawa kapasitasatau potensi bahasa yang turut menentukan struktur bahasa yang akan merekagunakan. Proses akusisi bahasa bukan karena hasil proses belajar, tetapikarena sejak lahir ia telah memiliki sejumlah kapasitas atau potensibahasa yang akan berkembang sesuai dengan proses kematangan intelektualnya.Pandangan interaksionisme ini pun dianggap benar apabila diamatipenjelasan dari penganutnya bahwa terjadinya penguasaan bahasa karenaadanya hubungan atau adanya interaksi antara masukan yang dipajankankepada pebelajar dan kemampuan internal yang dimilikinya. Hal ini terbuktidari pengamatan Yulianto (1994) bahwa faktor lingkungan bahasa jugaterbukti sangat berpengaruh. Oleh karena itu, baik faktor internal maupuneksternal saling berinteraksi mempengaruhi pemerolehan bahasa indonesiapebelajar.Dari ketika pembuktian pandangan dalam bahasa akan berhasil pembelajaranbahasa apabila dipadukan ketiganya. Karena masing-masing dianggap tidakmenyimpang manakala guru dapat memaknai. Walaupun tidak dapat dipungkiriketiganya memiliki kekurangan, yang dalam hal ini tidak perludipermasalahkan selama masih dapat digunakan dan bermanfaat dalampembelajaran khusunya belajar bahasa Indonesia.Guru memegang peranan yang penting dalam memberikan kemudahanmenumbuhkan/memelihara/meningkatkan motivasi, mengorganisasikan siswa,memilih/menentukan bahan ajar mengelola/mengarahkan kegiatan belajar,memantau kemajuan, membantu siswa dalam kesulitan belajar.
5. PenutupEmpirisme Dalam Teori Belajar B2
1. Teori belajar behavioris bersifat empiris, didasarkan atas data yangdapat diamati.2. Kaum behavioris berpendapat bahwa proses belajar pada manusia samadengan proses belajar pada binatang.3. Kaum behavioris menganggap bahwa proses belajar bahasa adalah sebagiansaja dari proses belajar pada umumnya.4. Menurut kaum behavioris manusia tidak memiliki potensi bawaan untukbelajar bahasa.5. Kaum behavioris berpendapat bahwa pikiran anak merupakan tabula rasa(kertas kosong) yang akan diisi dengan asosiasi antara S dan R.6. Menurut pandangan mereka semua perilaku merupakan respons terhadapstimulus. Perilaku terbentuk dalam rangkaian asosiatif.7. Belajar adalah proses pembentukan hubungan asosiatif antara stimulusdan respons yang berulang-ulang. Pembentukan kebiasaan ini disebutpengkondisian.8. Pengkondisian selalu disertai ganjaran sebagai penguatan asosiasiantara S dan R.9. Bahasa manusia merupakan suatu sistem respons yang canggih yangterbentuk melalui pengkondisian operant/belajar verbal (bahasa).Rasionalisme dalam Teori Belajar B21. Teori belajar bahasa yang termasuk aliran rasionalisme ialah teori tatabahasa universal, teori monitor dan teori kognitif.2. Teori tata bahasa universal mencakup seperangkat elemen gramatikal atauprinsip-prinsip yang secara alami ada pada semua bahasa manusia.3. Prinsip-prinsip di atas merupakan hasil perangkat pemerolehan bahasa(LAD) yang mencakup prinsip-prinsip universal substantif dan prinsipuniversal formal.4. Menurut Chomsky prinsip universal “ditemukan” oleh anak membentuk “tatabahasa inti” yang sama dalam semua bahasa. Di samping tata bahasa inti didalam bahasa, ada tata bahasa “periferal” yang tidak ditentukan oleh tatabahasa universal.5. Krashen mengemukakan model belajar yang disebut “model monitor” yangmencakup 5 hipotesis, yaitu hipotesis perbedaan pemerolehan dan prosesbelajar bahasa, hipotesis tentang urutan alamiah pemerolehan strukturgramatikal, hipotesis monitor, hipotesis masukan, dan hipotesis saringan.6. Menurut Krashen, belajar hanya dapat berfungsi sebagai monitor biladisertai dengan kondisi yang memadai.7. Melalui pemerolehan yang terjadi di bawah sadar anak-anak mendapatkanintuisi bahasa (rasa bahasa), yang tidak diperoleh melalui proses belajarterutama pada tahap awal.Peranan Pengajaran Bahasa dalam Memperoleh Bahasa Kedua1. Pengajaran Bahasa Kedua (B2) adalah kegiatan yang dilakukan olehseseorang untuk memudahkan orang lain belajar.2. Pengajaran mencakupi 3 unsur pokok dan banyak unsur yang merupakankonvensi. Unsur pokok bersifat umum/universal sedangkan konvensi dibatasioleh negara, lingkungan, tujuan, waktu, kelompok.
3. Unsur pokok pengajaran ialah orang yang mengajar (guru),kegiatan/materi yang dirancang untuk memudahkan belajar dan orang yangbelajar.4. Peranan pengajaran secara umum ialah dalam memberikan kemudahan agarsiswa Bahasa Kedua (B2) dapat mencapai tujuan belajar yang mencakupisub-subketerampilan membaca, menulis, berbicara, menyimak, danmengapresiasi sastra dalam Bahasa Kedua (B2).5. Krashen menyatakan pengajaran yang diciptakan sebagai lingkungankondusif memegang peranan penting dalam memberikan masukan-masukanterutama bagi siswa yang tidak mempunyai kesempatan memperoleh masukandari lingkungan informal.6. Peranan pengajaran Bahasa Kedua (B2), berdasarkan unsur-unsur pokoknyadapat dirinci sebagai peranan guru, materi/kegiatan belajar dan siswa.7. Bahan/kegiatan belajar yang disediakan menentukan apa yang mungkindikuasai siswa dan bagaimana kualitas penguasaannya.8. Siswa merupakan pusat pengajaran. Materi, kegiatan belajar, evaluasidisusun dengan mempertimbangkan dan untuk kepentingan siswa. PengajaranBahasa Kedua (B2) berpusat pada siswa dengan mempertimbangkan bagaimanasiswa belajar B2.[kajiansastra.blogspot.com]
tag: Kajian Sastra,sastra
Incoming search terms:
pemerolehan Bahasa Pertama dan Bahasa Kedua pemerolehan bahasa pertama dan kedua bahasa pertama dan bahasa kedua pemerolehan bahasa kedua pemerolehan bahasa pertama strategi pemerolehan bahasa secara alami ada anggapan bahwa bahasa indonesia adalah bahasa kedua sesudah bahasa ibu definisi bahasa ibu bahasa kedua dan bahasa asing hipotesis penguasaan bahasa menurut krashen jenis pemerolehan bahasa
PEMEROLEHAN BAHASA PERTAMA DAN BAHASA KEDUA SUATU PANDANGAN DALAM BAHASADitulis oleh Admin pada 29 November 2010 | Kliping |
Rumah Terjemah melayani terjemah bahasa Arab, Inggris, Buku, Skripsi, Tesis, dll. Bandingkan Daftar Harga kami..!
1. Pengantar
Bahasa selalu ada bersama dengan manusia. Ungkapan itu, bukan sekedarungkapan tanpa dasar. Dasar yang sering disebutkan ialah bahwa bahasamerupakan sarana komunikasi antar-manusia. Bahkan dapat pula dikatakantanpa ada manusia lain pun seseorang dapat berbahasa. Manusia dapat
berpikir dalam lamunannya dan dalam mimpinya sehingga dasar yang palingutama sebenarnya adalah bahasa merupakan bagian dari kehidupan manusia.Setiap anak manusia yang normal pertumbuhan pikirannya akan belajar bahasapertama atau bahasa ibu dalam tahun-tahun pertama dalam hidupnya, danproses ini terjadi hingga kira-kira umur 5 tahun. Sesudah itu, pada masapubertas atau kira-kira 12- 14 tahun hingga menginjak dewasa ataukira-kira umur 18- 20 tahun, anak itu akan tetap masih belajar bahasanyayang dinamakan bahasa pertama atau disingkat B1.Pascapubertas, keterampilan berbahasa seorang anak tidak banyakkemajuannya, meskipun dalam beberapa hal, umpamanya dalam kosakata, iabelajar B1 terus-menerus selama hidupnya. Pemerolehan B1 dianggap bahasayang utama bagi anak karena bahasa ini yang paling mantap pengetahuan danpenggunaannya. Pemerolehan B1 terjadi apabila anak yang belum pernahbelajar bahasa apa pun mulai belajar bahasa untuk pertama kali. Selainpemerolehan bahasa pertama (B1) pemerolehan bahasa kedua pun yangdisingkat B2 terjadi dengan bermacam-macam cara, pada usia berapa sajauntuk tujuan bermacam-macam dan pada tingkat kebahasaan yang berlainan.Oleh sebab itu, pemerolehan B2 dapat terjadi secara terpimpin, alamiah.Dalam konteks ini, dirujuk pada dua konsep yang dibedakan oleh para ahlipsikolinguistik, khususnya Krashen & Terrell (1983) yang mengatakan bahwa,pada umumnya yang kelihatan ialah mengenai pemerolehan B1 yang disebutsebagai acquisition dan pelajaran B2 yang dinamakan learning.Berangkat dari uraian di atas, dalam artikel ini akan diuraikanberturut-turut: pemerolehan bahasa pertama dan pemerolehan bahasa kedua;serta pandangan dalam bahasa.
2. Pemerolehan Bahasa Pertama dan Bahasa KeduaProses anak mulai mengenal komunikasi dengan lingkungannya secara verbaldisebut dengan pemerolehan bahasa anak. Pemerolehan bahasa pertama (B1)(anak) terjadi bila anak yang sejak semula tanpa bahasa kini telahmemperoleh satu bahasa. Pada masa pemerolehan bahasa anak, lebih mengarahpada fungsi komunikasi daripada bentuk bahasanya. Pemerolehan itu dapatdikatakan mempunyai ciri kesinambungan, memiliki suatu rangkaian kesatuan,yang bergerak dari ucapan satu kata sederhana menuju gabungan kata yanglebih rumit.Ada dua pengertian mengenai pemerolehan bahasa. Pertama, pemerolehanbahasa mempunyai permulaan yang mendadak, tiba-tiba. Kedua, pemerolehanbahasa memiliki suatu permulaan yang gradual yang muncul dariprestasi-prestasi motorik, sosial, dan kognitif pralinguistik. PemerolehanB1 sangat erat hubungannya dengan perkembangan kognitif yakni pertama,jika anak dapat menghasilkan ucapan-ucapan yang berdasar pada tata bahasayang teratur rapi, tidaklah secara otomatis mengimplikasikan bahwa anaktelah menguasai bahasa yang bersangkutan dengan baik. Kedua, pembicaraharus memperoleh ‘kategori-kategori kognitif’ yang mendasari berbagaimakna ekspresif bahasa-bahasa alamiah, seperti kata, ruang, modalitas,kausalitas, dan sebagainya. Persyaratan-persyaratan kognitif terhadap
penguasaan bahasa lebih banyak dituntut pada pemerolehan bahasa kedua(PB2) daripada dalam pemerolehan bahasa pertama (PB1).Manusia memiliki warisan biologi yang sudah dibawa sejak lahir berupakesanggupan untuk berkomunikasi dengan bahasa khusus manusia dan itu tidakada hubungannya dengan kecerdasan atau pemikiran. Kemampuan berbahasahanya sedikit korelasinya terhadap IQ manusia .Pemerolehan bahasa pertama erat kaitannya dengan perkembangan sosial anakdan karenanya juga erat hubungannya dengan pembentukan identitas sosial.Mempelajari bahasa pertama merupakan salah satu perkembangan menyeluruhanak menjadi anggota penuh suatu masyarakat. Bahasa memudahkan anakmengekspresikan gagasan, kemauannya dengan cara yang benar-benar dapatditerima secara sosial. Bahasa merupakan media yang dapat digunakan anakuntuk memperoleh nilai-nilai budaya, moral, agama, dan nilai-nilai laindalam masyarakat.Melalui bahasa, khusus B1 seorang anak belajar untuk menjadi anggotamasyarakat. B1 salah satu sarana untuk mengungkapkan perasaan, keinginan,dan pendirian, dalam bentuk-bentuk bahasa yang dianggap ada. Ia belajarpula bahwa ada bentuk-bentuk yang tidak dapat diterima anggotamasyarakatnya, ia tidak selalu boleh mengungkapkan perasaannya secaragamblang.Apabila seorang anak menggunakan ujaran-ujaran yang bentuknya benar ataugramatikal, belum berarti bahwa ia telah menguasai B1. Agar seorang anakdapat dianggap telah menguasai B1 ada beberapa unsur yang penting yangberkaitan dengan perkembangan jiwa dan kognitif anak itu. Perkembangannosi-nosi (notion) atau pemahaman seperti waktu, ruang, modalitas, sebabakibat, dan deiktis merupakan bagian yang penting dalam perkembangankognitif penguasaan B1 seorang anak.Sistem pikiran yang terdapat pada anak-anak dibangun sedikit demi sedikitapabila ada rangsangan dunia sekitarnya sebagai masukan atau input (iaituapa yang dilihat anak, didengar, dan yang disentuh yang menggambarkanbenda, peristiwa dan keadaan sekitar anak yang mereka alami). Lamakelamaan pikirannya akan terbentuk dengan sempurna. Setelah itu, sistembahasanya lengkap dengan perbendaharaan kata dan tata bahasanya punterbentuk.Perkembangan pemerolehan bahasa anak dapat dibagi atas tiga bagian pentingiaitu (a) perkembangan prasekolah (b) perkembangan ujaran kombinatori, dan(c) perkembangan masa sekolah. Perkembangan pemerolehan bahasa pertamaanak pada masa prasekolah dapat dibagi lagi atas perkembanganpralinguistik, tahap satu kata dan ujaran kombinasi permulaan.Perkembangan pralinguistik ditandai oleh adanya pertukaran giliran antaraorang tua khususnya ibu dengan anak. Pada masa perkembangan pralinguistikanak mengembangkan konsep dirinya. Ia berusaha membedakan dirinya dengansubjek, dirinya dengan orang lain serta hubungan dengan objek dan tindakanpada tahap satu kata anak terus-menerus berupaya mengumpulkan namabenda-benda dan orang yang ia jumpai. Kata-kata yang pertama diperolehnyatahap ini lazimnya adalah kata yang menyatakan perbuatan, kata
sosialisasi, kata yang menyatakan tempat, dan kata yang menyatakanpemerian.Perkembangan bahasa pertama anak lebih mudah ditandai dari panjangucapannya. Panjang ucapan anak kecil merupakan indikator atau petunjukperkembangan bahasa yang lebih baik dari pada urutan usianya. Jumlahmorfem rata-rata per ucapan dapat digunakan sebagai ukuran panjangnya. Adalima tahapan pemerolehan bahasa pertama. Setiap tahap dibatasi olehpanjang ucapan rata-rata tadi. Untuk setiap tahap ada Loncatan Atas (LA).Walaupun perkembangan bahasa setiap anak sangat unik, namun ada persamaanumum pada anak-anak, ada persesuaian satu sama lain semua mencakupeksistensi, noneksistensi, rekurensi, atribut objek, dan asosiasi objekdengan orang.Dilihat dari unsur dasar pembentukannya, kombinasi yang dibuat anak padaperiode ini mengekspresikan dua unsur deretan dasar pelaku (agen) +tindakan (aksi) + objek. Semua kombinasi dua unsur terjadi, misalnya Agen+ Aksi + Objek, Agen + Objek.Pada masa tahap 2 ada tiga sarana ekspresif yang dipakai oleh anak-anak,yang dapat membuat kalimat-kalimat mereka menjadi lebih panjang iaitukemunculan morfem-morfem gramatikal secara inklusif dalam ujaran anak,pengertian atau penyambungan bersama-sama hubungan dua hal tersebut, danperluasan istilah dalam suatu hubungan/relasi.Perkembangan pemerolehan bunyi anak-anak bergerak dari membuat bunyimenuju ke arah membuat pengertian. Periode pembuatan pembedaan atas duabunyi dapat dikenali selama tahun pertama iaitu (1) periode vokalisasi danprameraban, serta (2) periode meraban. Anak lazimnya membuat pembedaanbunyi perseptual yang penting selama periode ini, misalnya membedakanantara bunyi suara insani dan non-insani antara bunyi yang berekspresimarah dengan yang bersikap bersahabat, antara suara anak-anak dengan orangdewasa, dan antara intonasi yang beragam. Anak-anak mengenali makna-maknaberdasarkan persepsi mereka sendiri terhadap bunyi kata-kata yangdidengarnya. Anak-anak menukar atau mengganti ucapan mereka sendiri dariwaktu ke waktu menuju ucapan orang dewasa, dan apabila anak-anak mulaimenghasilkan segmen bunyi tertentu, hal itu menjadi perbendaharaan mereka.Perkembangan ujaran kombinatori anak-anak dapat dibagi dalam empat bagianiaitu perkembangan negatif/penyangkalan, perkembanganinterogratif/pertanyaan, perkembangan penggabungan kalimat, danperkembangan sistem bunyi.Ada tiga tipe struktur interogatif yang utama untuk mengemukakanpersyaratan, iaitu pertanyaan yang menuntut jawaban ya atau tidak,pertanyaan yang menuntut informasi, dan pertanyaan yang menuntut jawabansalah satu dari yang berlawanan (polar). Penggabungan beberapa proposisimenjadi sebuah kalimat tunggal memerlukan rentangan masa selama beberapatahun dalam perkembangan bahasa anak-anak. Pada umumnya, cara-caramenggabungkan kalimat menujukkan gerakan melalui empat dimensi iaitugabungan dua klausa setara menuju gabungan dua klausa yang tidak setara,klausa-klausa utama yang tidak tersela menuju penggunaan klausa-klausa
yang tersela, iaitu menyisipkan klausa bawahan pada klausa utama, susunanklausa yang memuat kejadian tetap menuju susunan klausa yang bervariasi,dan dari penggunaan perangkat-perangkat semantik-sintaktis yang kecilmenuju perangkat yang lebih diperluas.Pada perkembangan masa sekolah, orientasi seorang anak dapat berbeda-beda.Ada anak yang lebih impulsif daripada anak yang lain, lebih refleksif danberhati-hati, cenderung lebih jelas dan nyata dalam berekspresi, lebihsenang belajar dengan bermain-main, sementara yang lain lebih pragmatisdalam pemakaian bahasa. Di masa ini setiap bahasa anak akan mencerminkankepribadiannya sendiri. Siswa taman kanak-kanak memiliki rasa bahasa,bagian-bagiannya, hubungannya, bagaimana cara kerjanya sehingga merekamampu mengenal serta mengapresiasi bahasa yang dipakai dalam cara yangmengagumkan serta tidak lazim. Selama masa sekolah anak mengembangkan danmemakai bahasa secara unik dan universal. Pada saat itu anak menandai ataumemberinya ciri sebagai pribadi yang ada dalam masyarakat itu.Perkembangan bahasa pada masa sekolah dapat dibedakan dengan jelas dalamtiga bidang, iaitu struktur bahasa, pemakaian bahasa, dan kesadaranmetalinguistik.
Strategi Pemerolehan Bahasa PertamaStrategi pertama dalam pemerolehan bahasa dengan berpedoman pada: tirulahapa yang dikatakan orang lain. Tiruan akan digunakan anak terus, meskipunia sudah dapat sempurna melafalkan bunyi. Ada pendapat yang mengatakanbahwa strategi tiruan atau strategi imitasi ini akan menimbulkan masalahbesar. Mungkin ada orang berkata bahwa imitasi adalah mengatakan sesuatuyang sama seperti yang dikatakan orang lain. Akan tetapi, ada banyakpertanyaan yang harus dijawab berkenaan dengan hal ini.Ada berbagai ragam peniruan atau imitasi, iaitu imitasi spontan atauspontaneous imitation, imitasi pemerolehan atau elicited imitation,imitasi segera atau immediate imitation, imitasi terlambat delayedimitation dan imitasi dengan perluasan atau imitation with expansion,reduced imitation.Strategi kedua dalam pemerolehan bahasa adalah strategi produktivitas.Produktivitas berarti keefektifan dan keefisienan dalam pemerolehan bahasayang berpegang pada pedoman buatlah sebanyak mungkin dengan bekal yangtelah Anda miliki atau Anda peroleh. Produktivitas adalah ciri utamabahasa. Dengan satu kata seorang anak dapat “bercerita atau mengatakan”sebanyak mungkin hal. Kata papa misalnya dapat mengandung berbagai maknabergantung pada situasi dan intonasi.Strategi ketiga berkaitan dengan hubungan umpan balik antara produksiujaran dan responsi. Dengan strategi ini anak-anak dihadapkan padapedoman: hasilkanlah ujaran dan lihatlah bagaimana orang lain memberiresponsi. Stategi produktif bersifat “sosial” dalam pengertian bahwastrategi tersebut dapat meningkatkan interaksi dengan orang lain dansementara itu bersifat “kognitif” juga. Hal itu dapat memberikan umpanbalik kepada pelajar mengenai ekspresinya sendiri terhadap makna dan juga
memberinya sampel yang lebih banyak, iaitu sampel bahasa untuk digarapatau dikerjakan.Strategi keempat adalah prinsip operasi. Dalam strategi ini anakdikenalkan dengan pedoman: gunakan beberapa “prinsip operasi” umum untukmemikirkan serta menetapkan bahasa. Selain perintah terhadap diri sendirioleh anak, prinsip operasi ini juga menyarankan larangan yang dinyatakandalam avoidance terms; misalnya: hindari kekecualian, hindari pengaturankembali.Proses Pemerolehan Bahasa KeduaPemerolehan bahasa berbeda dengan pembelajaran bahasa. Orang dewasamempunyai dua cara yang, berbeda berdikari, dan mandiri mengenaipengembangan kompetensi dalam bahasa kedua. Pertama, pemerolehan bahasamerupakan proses yang bersamaan dengan cara anak-anak. Mengembangkankemampuan dalam bahasa pertama mereka. Pemerolehan bahasa merupakan prosesbawah sadar. Para pemeroleh bahasa tidak selalu sadar akan kenyataan bahwamereka memakai bahasa untuk berkomunikasi.Kedua, untuk mengembangkan kompetensi dalam bahasa kedua dapat dilakukandengan belajar bahasa. Anak-anak memperoleh bahasa, sedangkan orang dewasahanya dapat mempelajarinya. Akan tetapi ada hipotesis pemerolehan belajaryang menuntut bahwa orang-orang dewasa juga memperoleh bahasa, kemampuanmemungut bahasa tidaklah hilang pada masa puber. Orang-orang dewasa jugadapat memanfaatkan sarana pemerolehan bahasa alamiah yang sama sepertiyang dipakai anak-anak. Pemerolehan merupakan suatu proses yang amat kuatpada orang dewasa.Pemerolehan dan pembelajaran dapat dibedakan dalam lima hal, iaitupemerolehan:1. memiliki ciri-ciri yang sama dengan pemerolehan bahasa pertama, seoranganak penutur asli, sedangkan belajar bahasa adalah pengetahuan secaraformal,2. secara bawah sadar, sedangkan pembelajaran sadar dan disengaja.3. bahasa kedua seperti memungut bahasa kedua, sedangkan pembelajaranmengetahui bahasa kedua,4. mendapat pengetahuan secara implisit, sedangkan pembelajaran mendapatpengetahuan secara eksplisit,5. pemerolehan tidak membantu kemampuan anak, sedangkan pembelajaranmenolong sekali.Cara pemerolehan bahasa kedua dapat dibagi dua cara, iaitu pemerolehanbahasa kedua secara terpimpin dan pemerolehan bahasa kedua secara alamiah.Pemerolehan bahasa kedua yang diajarkan kepada pelajar dengan menyajikanmateri yang sudah dipahami. Materi bergantung pada kriteria yangditentukan oleh guru. Strategi-strategi yang dipakai oleh seorang gurusesuai dengan apa yang dianggap paling cocok bagi siswanya.Pemerolehan bahasa kedua secara alamiah adalah pemerolehan bahasakedua/asing yang terjadi dalam komunikasi sehari-hari, bebas daripengajaran atau pimpinan, guru. Tidak ada keseragaman cara. Setiapindividu memperoleh bahasa kedua dengan caranya sendiri-sendiri. Interaksi
menuntut komunikasi bahasa dan mendorong pemerolehan bahasa. Dua ciripenting dari pemerolehan bahasa kedua secara alamiah atau interaksispontan ialah terjadi dalam komunikasi sehari-hari, dan bebas daripimpinan sistematis yang sengaja.Di dalam kelas ada saja buah yang dapat dianggap sangat penting danmendasar dalam proses belajar bahasa, iaitu (1) belajar bahasa adalahorang, (2) belajar bahasa adalah orang-orang dalam interaksi dinamis, dan(3) belajar bahasa adalah: orang-orang dalam responsi.Pemerolehan bahasa bersamaan dengan proses yang digunakan oleh anak-anakdalam pemerolehan bahasa pertama dan pemerolehan bahasa kedua. Pemerolehanbahasa menuntut interaksi yang berarti dalam bahasa sasaran yang merupakanwadah para pembicara memperhatikan bukan bentuk ucapan-ucapan merekatetapi pesan-pesan yang mereka sampaikan dan mereka pahami. Perbaikankesalahan dan pengajaran kaidah- kaidah eksplisit tidaklah relevan bagipemerolehan bahasa, tetapi para guru dan para penutur asli dapat mengubahserta membatasi ucapan-ucapan mereka kepada pemeroleh agar menolong merekamemahaminya. Modifikasi-modifikasi ini merupakan pikiran untuk membantuproses pemerolehan tersebut.Hubungan antara Pemerolehan Bahasa Pertama dan Pemerolehan Bahasa KeduaCiri-ciri pemerolehan bahasa mencakup keseluruhan kosakata, keseluruhanmorfologi, keseluruhan sintaksis, dan kebanyakan fonologi. Istilahpemerolehan bahasa kedua atau second language aqcuisition adalahpemerolehan yang bermula pada atau sesudah usia 3 atau 4 tahun. Adapemerolehan bahasa kedua anak-anak dan pemerolehan bahasa kedua orangdewasa.Ada lima hal pokok berkenaan dengan hubungan pemerolehan bahasa pertamadengan pemerolehan bahasa kedua. Salah satu perbedaan antara pemerolehanbahasa pertama dan bahasa kedua ialah bahwa pemerolehan bahasa pertamamerupakan komponen yang hakiki dari perkembangan kognitif dan sosialseorang anak, sedangkan pemerolehan bahasa kedua terjadi sesudahperkembangan kognitif dan sosial seorang anak sudah selesai, dalampemerolehan bahasa pertama pemerolehan lafal dilakukan tanpa kesalahan,sedangkan dalam pemerolehan bahasa kedua itu jarang terjadi, dalampemerolehan bahasa pertama dan bahasa kedua ada kesamaan dalam urutanperolehan butir-butir tata bahasa, banyak variabel yang berbeda antarapemerolehan bahasa pertama dengan pemerolehan bahasa kedua. Suatu ciriyang khas antara pemerolehan bahasa pertama dan bahasa kedua belum tentuada meskipun ada persamaan perbedaan di antara kedua pemerolehan.Ada tiga macam pengaruh proses belajar bahasa kedua, iaitu pengaruh padaurutan kata dan karena proses penerjemahan, pengaruh pada morfem terikat,dan pengaruh bahasa pertama walaupun pengaruh isi sangat lemah (kecil).Strategi Pemerolehan Bahasa KeduaPerlu diingat bahwa strategi-strategi yang telah dikenal perlu dibagi kedalam komponen-komponennya. Strategi pertama berpegang, pada semboyan:gunakanlah pemahaman nonlinguistik Anda sebagai dasar untuk penetapan ataupemikiran bahasa. Strategi ini berlangsung dan beroperasi pada tahap umum
dalam karya Brown mengenai dasar kognitif ujaran tahap I. Strategi pertamaini memiliki rerata Panjang Ucapan; rata-rata (PUR) sebesar 1,75, danLoncatan Atas (LA) sebesar 5. Adapun objek dan persona terus-menerus adawalaupun di luar jangkauan pandangan yang merupakan pemahamannonlinguistik yang menjadi dasar atau landasan bagi pengarah bahasa atauterjemahan anak-anak terhadap ketidakstabilan atau kemudahan mengalirkanpemikiran ke dalam kategori-kategori bahasa yang lebih pasti. Penggunaanpemahaman nonlinguistik untuk memperhitungkan serta menetapkanhubungan-hubungan makna-ekspresi bahasa merupakan suatu strategi yang amatpersuasif atau dapat merembes pada diri anak-anak.Strategi kedua berpegang pada semboyan: gunakan apa saja atau segalasesuatu yang penting, yang menonjol dan menarik hati Anda. Ada dua ciriyang kerap kali penting dan menonjol bagi anak-anak kecil dan berhargabagi sejumlah kata-kata pertama mereka iaitu objek-objek yang dapatmembuat anak-anak aktif dan giat (misalnya kunci, palu, kaos kaki, topi)dan objek-objek yang bergerak dan berubah (seperti mobil, jam).Sifat-sifat atas ciri-ciri perseptual dapat bertindak sebagai butir-butiratau titik-titik vokal bagi anak-anak (misalnya bayangan, ukuran, bunyi,rasa, bentuk). Anak-anak memperhatikan objek-objek yang mewujudkan hal-halyang menarik hati ini; dan mereka memperhatikan cara menamai objek-objekitu dalam masyarakat bahasa. Perhatian anak-anak juga bisa pada unsurbahasa yang memainkan peranan penting sintaksis dan semantik dalamkalimat. Pusat perhatian tertentu bagi seorang anak mungkin saja berbedapada periode yang berbeda pada setiap anak.Strategi ketiga berpegang pada semboyan: anggaplah bahwa bahasa dipakaisecara referensial atau ekspresif dan dengan demikian menggunakan databahasa. Anak-anak kelompok referensial memiliki 50 kata pertama mencakupsuatu proporsi nomina umum yang tinggi dan yang seakan-akan melihat fungsiutama bahasa sebagai penamaan objek-objek. Anak kelompok ekspresifmemiliki 50 kata pertama secara proporsional mencakup lebih banyak katayang dipakai dalam ekspresi-ekspresi sosial (seperti terima kasih, janganbegitu) dan lebih sedikit nama-nama objek yang melihat bahasa (terutamasekali) sebagai pelayanan fungsi-fungsi sosial efektif. Kedua kelompokanak itu menyimak bahasa sekitar mereka secara berbeda. Kelompok yang satumemperlakukan bahasa yang dipakai untuk mengacu, sedangkan kelompok yangsatu lagi, kepada bahasa yang dipakai untuk bergaul, bersosialisasi. Adatujuh fungsi bahasa yaitu fungsi instrumental, fungsi regulasi, fungsirepresentasi, fungsi interaksi, fungsi personal, fungsi heuristik, danfungsi imajinatif. Fungsi instrumental bahasa berkaitan dengan pengelolaanlingkungan, mengkomunikasikan tindak. Fungsi regulasi atau pengaturanberkenaan dengan pengendalian peristiwa, penentuan hukum dan kaidah,pernyataan setuju tidak setuju. Fungsi representasi berkenaan denganpernyataan, menjelaskan melaporkan. Fungsi interaksi berkaitan denganhubungan komunikasi sosial. Fungsi personal berkenaan dengan kemungkinanseorang pembicara mengemukakan perasaan, emosi, dan kepribadian. Fungsiheuristik berkaitan dengan perolehan pengetahuan dan belajar tentang
lingkungan. Fungsi imajinatif berkaitan dengan daya cipta imajinasi dangagasan.Strategi keempat berpegang pada semboyan: amatilah bagaimana caranya oranglain mengekspresikan berbagai makna. Strategi ini baik diterapkan padaanak yang berbicara sedikit dan seakan-akan mengamati lebih banyak,bertindak selektif, menyimak, mengamati untuk melihat bagaimana makna danekspresi verbal saling berhubungan. Strategi ini mengingatkan kepada gayaatau preferensi belajar yang berbeda pada anak-anak yang berlainan usiadalam situasi belajar yang lain pula.Strategi kelima berpegang pada semboyan: ajukanlah pertanyaan-pertanyaanuntuk memancing atau memperoleh data yang Anda inginkan, anak berusiasekitar dua tahun akan sibuk membangun dan memperkaya kosakata mereka.Banyak di antara mereka mempergunakan siasat bertanya atau strategipertanyaan. Siasat ini seolah-olah merupakan sesuatu yang efektif, karenasetiap kali dia bertanya: apa nih? apa tu? maka teman bicaranya mungkinmenyediakan label atau, nama yang tepat. Suatu pola yang menarik terjadipada penggunaan pertanyaan mengapa pada usia sekitar 3 tahun.Pandangan Global dan Kecenderungan dalam Pemerolehan BahasaRagam atau jenis pemerolehan bahasa dapat ditinjau dari lima sudutpandangan, iaitu berdasarkan bentuk, urutan, jumlah, media, dankeasliannya. Dalam pengertiannya semua istilah itu ternyata hampir sama.Di dalam literatur keduanya sering dipakai berganti-ganti untuk maksud danpengertian yang sama.Dalam bahasa satu tercakup istilah bahasa pertama, bahasa asli, bahasaibu, bahasa utama, dan bahasa kuat. Dalam bahasa dua tercakup bahasakedua, bukan bahasa asli, bahasa asing, bahasa kedua, dan bahasa lemah.Masih ada beberapa istilah lagi iaitu bahasa untuk komunikasi luas, bahasabaku, bahasa regional, bahasa nasional, bahasa resmi, bahasa modern, danbahasa klasik.Ditinjau dari segi bentuk ada tiga pemerolehan bahasa iaitu pemerolehanbahasa pertama bahasa yang pertama diperoleh sejak lahir, pemerolehanbahasa kedua yang diperoleh setelah bahasa pertama diperoleh, danpemerolehan-ulang, iaitu bahasa yang dulu pernah diperoleh kini diperolehkembali karena alasan tertentu. Ditinjau dari segi urutan ada duapemerolehan iaitu pemerolehan bahasa pertama dan pemerolehan bahasa kedua.Ditinjau dari segi jumlah ada dua pemerolehan iaitu pemerolehan satubahasa (di lingkungan yang hanya terdapat satu bahasa secara luas), danpemerolehan dua bahasa di lingkungan yang terdapat lebih dari satu bahasayang digunakan secara luas). Ditinjau dari segi media dikenal pemerolehanbahasa lisan (hanya bahasa yang diucapkan oleh penuturnya), danpemerolehan bahasa tulis (bahasa yang dituliskan, oleh penuturnya).Ditinjau dari segi keaslian atau keasingan dikenal pemerolehan, bahasaasli (merupakan alat komunikasi penduduk asli), dan pemerolehan bahasaasing (bahasa yang digunakan oleh para pendatang atau bahasa yang memangdidatangkan untuk dipelajari). Ditinjau dari segi keserentakan ataukeberurutan (khususnya bagi pemerolehan dua bahasa) dikenal pemerolehan
(dua bahasa) serentak dan pemerolehan dua bahasa berurutan.Ada tiga komponen yang menentukan proses pemerolehan bahasa iaituprospensity (kecenderungan), language faculty, (kemampuan berbahasa), danacces (jalan masuk) ke bahasa.Istilah prospensiti mencakup seluruh faktor yang menyebabkan pelajarmenerapkan kemampuan berbahasa untuk memperoleh sesuatu balasan. Hal itumerupakan hasil interaksi mereka yang menentukan kecenderungan aktualpelajar. Selama tidak mempengaruhi segala aspek pemerolehan bahasa padataraf yang sama, maka tidaklah bijaksana mengaitkan kecenderungan denganproses pemerolehan dengan cara yang umum. Unsur-unsur komponenkecenderungan itu dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor eksternal,(misalnya pengajaran) sampai taraf-taraf tertentu.Komponen kecenderungan ada empat iaitu integrasi sosial, pendidikan,kebutuhan komunikatif, dan sikap. Dalam pemerolehan bahasa pertamaintegrasi sosial merupakan suatu faktor yang dominan. Relevansi faktor iniakan berkurang jika beranjak dari pemerolehan bahasa anak menujubentuk-bentuk pemerolehan bahasa lainnya. Integrasi sosial mempunyaisedikit kebermaknaan sebagai faktor penyebab kecenderungan dalam belajarbahasa kedua di tingkat perguruan tinggi atau universitas. Dalam hal-haltertentu, integrasi sosial merupakan faktor yang mengakibatkan pengaruhnegatif.Faktor kebutuhan komunikatif harus dibedakan dengan cermat dan tepat dariintegrasi sosial. Kedua faktor ini kerapkali berlangsung serta bertindakbersama-sama bahu-membahu. Walaupun integrasi sosial jelas sekalimengimplikasikan kepuasan kebutuhan-kebutuhan komunikatif tertentu; namunkedua faktor itu berbeda. Kedua faktor tersebut telah dipisahkan secaracermat dan keduanya dapat mempengaruhi pemerolehan bahasa dengan cara-carayang amat berbeda (dalam ranah fonologi, morfologi; sintaksis, kosakata,dan wacana). Ada berbagai ragam jenis kebutuhan komunikasi. Pengaruhnyakepada pemerolehan bahasa tentu juga beragam. Perbedaan yang ada antaraintegrasi sosial dan kebutuhan komunikatif sebagai dua komponenkecenderungan yang berinteraksi selalu dengan perbedaam atau motivasiintegratif dan motivasi instrumental. Bukan berarti bahwa motivasi tidakmemberikan kontribusi apa pun kepada kecenderungan.Sikap subjektif mempengaruhi belajar bahasa dengan cara-cara yang tidakjelas, misalnya disebabkan integritas sosial dan kurangnya rasa percayadiri. Daya tarik menarik bahasa sebenarnya dapat menjadi sebuah ebakan.Sikap meremehkan dengan menggampangkan mengakibatkan sedikitnya perhatiankepada bahasa yang akan dipelajari, hanya sedikit pencurahan dan akhirnyamengantarkan kepada kegagalan belajar bahasa kedua.3. Pandangan dalam BahasaPerkembangan teori pemerolehan bahasa pada abad ini telah dipenaruhi olehperkembangan psikologi Omega (dalam Yulianto, 2007: 10-11). Dalampsikologi terdapat dua aliran yang prinsip dasarnya bertentangan, yaknibehaviorisme dan kognitivisme. Kedua aliran tersebut ikut mempengaruhipara ahli pembelajaran bahasa dalam memandang bagaimana seorang anak
manusia belajar bahasa.Tentang bagaimana manusia memperoleh atau belajar bahasa, Ellis (dalamYulianto, 2007:10-11) mengungkapkan adanya tiga kelompok pandangan, iaitu(1) pandangan behaviorisme, (2) pandangan nativisme, dan (3) pandanganintraksionisme. Lebih jelasnya uraian ketiga pandangan tersebut dapatdilihat berikut ini.
a. Pandangan BehaviorismeMenurut pandangan ini kegiatan berbahasa dipengaruhi oleh aliran psikologibehaviorisme yang merupakan rangkaian rangsangan (stimulus) dan tanggapan(respon). Menurut pandangan ini berbahasa dianggap sebagai bagian dariperilaku manusia, seperti perilaku yang lain. Oleh karena itu,pembelajaran harus dilakukan melalui rangsangan-rangsangan Brown (dalamYulianto, 2007:11). Pebelajar dalam hal ini dianggap sebagai mesin yangmemproduksi bahasa dengan lingkngan dianggap sebagai faktor penentunya,yakni sebagai rangsangan. Untuk itu, agar anak dapat mengucapkan kata-katatertentu, kepadanya harus diberikan rangsangan berupa kata-kata. Menurutkonsep ini anak tidak dapat mengucapkan kata-kata yang belum pernahdidengarnya.Baraja (1990:31) mengemukakan bahwa perilaku kebahasaan sama denganperilaku yang lain, iaitu dikontrol oleh konsekuensinya. Apabila hasilsuatu usaha menyenangkan, perilaku itu akan terus dikerjakan; dansebaliknya, bila hasilnya tidak menguntungkan, perilaku tersebut akanditinggalkan. Dengan kata lain, apabila ada restu reinforcement yangcocok, perilaku akan berubah. Inilah yang dikatakan belajar, sebab intibelajar adalah adanya perubahan perilaku.Menurut Skinner, anak-anak mengakusisi bahasa melalui hubungan denganlingkungan, dalam hal ini dengan cara meniru. Dalam hubungan denganpeniruan ini, faktor yang terpenting adalah frekuensi berulangnya suatukata atau urutan kata. Ujaran-ujaran itu akan mendapat pengukuhan sehinggaanak lebih berani menghasilkan kata dan urutan kata. Dengan cara inilingkungan akan mendorong anak untuk menghasilkan tuturan yang gramatikaldan tidak memberi pengukuhan terhadap tuturan yang tidak gramatikal.
b. Pandangan NativismePandangan ini menekankan peranan aktif pembelajar. Peranan peniruan danpenguatan menjadi tidak berarti. Chomsky menyatakan bahwa pengetahuanseseorang tentang bahasa ibunya diturunkan dari universal grammar yangmenentukan bentuk-bentuk dasar bahasa alamiah.Universal Grammar telah ada pada setiap orang sebagai seperangkat prinsiplinguistik bawaan yang terdiri atas keadaan awal yang berfungsi mengontrolbentuk kalimat suatu ujaran. Dengan demikian, universal grammar merupakanseperangkat prosedur penemuan untuk menghubungkan prinsip-prinsip umum itupada data yang diberikan oleh pajanan bahasa alamiah.Kaum mentalis berpendapat bahwa setiap anak yang lahir telah memilikisejumlah kapasitas atau potensi bahasa. Potensi bahasa ini akan berkembang
apabila saatnya tiba. (Brown, 1980: 21) beranggapan bahwa setiap anak yanglahir telah memiliki apa yang mereka sebut LAD (Language AcquisitionDevice). Kelengkapan bahasa ini berisi sejumlah hipotesis bawaan.McNeill (Brown, 1980: 22) menyatakan bahwa LAD terdiri dari: (a) kecakapanuntuk membedakan bunyi bahasa dengan bunyi-bunyi yang lain, (b) kecakapanmengorganisasi satuan linguistik ke dalam sejumlah kelas yang akanberkembang kemudian, (c) pengetahuan tetang sistem bahasa yang mungkin danyang tidak mungkinn, dan (d) kecakapan menggunakan sistem bahasa yangdidasarkan pada penilaian perkembangan sistem linguistik, dengan demikiandapat melahirkan sistem yang dirasakan mungkin di luar data linguistikyang ditemukan.Senada dengan itu, Ellis (1986:44) menyimpulkan pandangan mentalis tentangpemerolehan B1 sebagai: (1) bahasa merupkan kemampuan khusus manusia; (2)keberadaannya tidak terikat oleh otak atau akal budi manusia, karenameskipun bahasa merupakan bagian alat-alat kognitif, bahasa terpisah darimekanisme kognitif umum yang berkaitan dengan perkembangan intelektual;(3) faktor utama pemerolehan B1 adalah piranti pemerolehan bahasa (LAD)yang secara genetis memengaruhi dan menyumbangkan seperangkat prinsip tatabahasa pada anak; (4) LAD berhenti perkembangannya karena usia dan; (5)proses pemerolehan bahasa terdiri atas pengujian hipotesis dengan caramenghubungkan tata bahasa B1 pebelajar dengan univeral grammar.Pandangan kaum mentalis tentang pemerolehan B2, karena seorang pebelajarmenguasai pengetahuan bahasa ibunya dengan jalan menguji hipotesis yangdibuatnya. Tugasnya adalah menghubungkan pengetahuan bawaan tentanggramatika dasar dengan struktur lahir kalimat-kalimat bahasa yangdipelajarinya.
c. Pandangan Interaksionisme
Pandangan ini menganggap bahwa pemerolehan bahasa merupakan hasilinteraksi antara kemampuan mental pebelajar dengan lingkungan bahasa(Ellis, 1986: 126). Interaksi antara keduanya adalah manifestasi dariinteraksi verbal yang aktual antara pebelajar dengan orang lain.Pendekatan interaksionisme oleh van Els (dalam Yulianto, 2007: 24)menyebut sebagai pendekatan prosedural, di mana dalam pendekatan iniinteraksi antara faktor internal dengan faktor eksternal bersifat sentral.Titik awal pendekatan ini adalah kemampuan kognitif anak dalam menemukansruktur bahasa di sekitarnya. Faktor interna, merupakan kemampuan mentalanak sangat berpengaruh. Namun, faktor lingkungan juga berperananmenentukan macam pemerolehannya, terutama leksikon. Di samping itu,Yulianto (2001: 563) juga setuju kepada pandangan Dardjowidjojo (2000:304) yang mengungkapkan bahwa faktor kodrati dan lingkungan berpengaruhdalam pemerolehan bahasa anak. Secara eksplisit pandangan ini sesuaidengan pandangan interaksionisme (Ellis, 1986:129).Menurut pandangan interaksionisme, interaksi antara faktor internal denganfaktor eksternal bersifat sentral. Titik awal pendekatan ini adalah
kemampuan kognitif anak dalam menemukan struktur bahasa di sekitarnya.Baik pemahaman maupun produksi bahasa pada anak-anak dipandang sebagaisistem prosedur penemuan yang secara terus-menerus berkembang dan berubah.
4. TanggapanDari ketiga pandangan dalam bahasa iatu bihaviorisme, nativisme, daninteraksionisme dapat dikatakan ketiganya benar sesuai sudut mana merekadipandang.Tidak dapat disangkal dan dapat dibenarkan dari pandangan kaum empirisbahwa pengetahuan dan keterampilan berbahasa anak diperoleh melaluipengalaman atau proses belajar. Pengalaman dan proses belajar yang akanmembentuk akusisi bahasanya. Dalam arti bahasa dipandang sebagai sesuatuyang dipindahkan melalui pewarisan kebudayaan, sama halnya orang yangbelajar mengendarai sepeda.Lebih lanjut, pandangan bihavioristik mengemukakan bahwa tidak adastruktur linguistik yang dibawa anak sejak lahir. Anak yang lahir dianggapkosong dari bahasa, tidak membawa kapasitas atau potensi bahasa. Sistemrespon diperoleh manusia melalui sistem membiasakan ataupengulangan-pengulangan. Dengan demikian, anak harus diajarkan bahasaSama halnya dengan pandangan nativisme atau mentalis, dapat dibenarkandari sudut pandangnya bahwa anak lahir ke dunia telah membawa kapasitasatau potensi bahasa yang turut menentukan struktur bahasa yang akan merekagunakan. Proses akusisi bahasa bukan karena hasil proses belajar, tetapikarena sejak lahir ia telah memiliki sejumlah kapasitas atau potensibahasa yang akan berkembang sesuai dengan proses kematangan intelektualnya.Pandangan interaksionisme ini pun dianggap benar apabila diamatipenjelasan dari penganutnya bahwa terjadinya penguasaan bahasa karenaadanya hubungan atau adanya interaksi antara masukan yang dipajankankepada pebelajar dan kemampuan internal yang dimilikinya. Hal ini terbuktidari pengamatan Yulianto (1994) bahwa faktor lingkungan bahasa jugaterbukti sangat berpengaruh. Oleh karena itu, baik faktor internal maupuneksternal saling berinteraksi mempengaruhi pemerolehan bahasa indonesiapebelajar.Dari ketika pembuktian pandangan dalam bahasa akan berhasil pembelajaranbahasa apabila dipadukan ketiganya. Karena masing-masing dianggap tidakmenyimpang manakala guru dapat memaknai. Walaupun tidak dapat dipungkiriketiganya memiliki kekurangan, yang dalam hal ini tidak perludipermasalahkan selama masih dapat digunakan dan bermanfaat dalampembelajaran khusunya belajar bahasa Indonesia.Guru memegang peranan yang penting dalam memberikan kemudahanmenumbuhkan/memelihara/meningkatkan motivasi, mengorganisasikan siswa,memilih/menentukan bahan ajar mengelola/mengarahkan kegiatan belajar,memantau kemajuan, membantu siswa dalam kesulitan belajar.
5. PenutupEmpirisme Dalam Teori Belajar B2
1. Teori belajar behavioris bersifat empiris, didasarkan atas data yangdapat diamati.2. Kaum behavioris berpendapat bahwa proses belajar pada manusia samadengan proses belajar pada binatang.3. Kaum behavioris menganggap bahwa proses belajar bahasa adalah sebagiansaja dari proses belajar pada umumnya.4. Menurut kaum behavioris manusia tidak memiliki potensi bawaan untukbelajar bahasa.5. Kaum behavioris berpendapat bahwa pikiran anak merupakan tabula rasa(kertas kosong) yang akan diisi dengan asosiasi antara S dan R.6. Menurut pandangan mereka semua perilaku merupakan respons terhadapstimulus. Perilaku terbentuk dalam rangkaian asosiatif.7. Belajar adalah proses pembentukan hubungan asosiatif antara stimulusdan respons yang berulang-ulang. Pembentukan kebiasaan ini disebutpengkondisian.8. Pengkondisian selalu disertai ganjaran sebagai penguatan asosiasiantara S dan R.9. Bahasa manusia merupakan suatu sistem respons yang canggih yangterbentuk melalui pengkondisian operant/belajar verbal (bahasa).Rasionalisme dalam Teori Belajar B21. Teori belajar bahasa yang termasuk aliran rasionalisme ialah teori tatabahasa universal, teori monitor dan teori kognitif.2. Teori tata bahasa universal mencakup seperangkat elemen gramatikal atauprinsip-prinsip yang secara alami ada pada semua bahasa manusia.3. Prinsip-prinsip di atas merupakan hasil perangkat pemerolehan bahasa(LAD) yang mencakup prinsip-prinsip universal substantif dan prinsipuniversal formal.4. Menurut Chomsky prinsip universal “ditemukan” oleh anak membentuk “tatabahasa inti” yang sama dalam semua bahasa. Di samping tata bahasa inti didalam bahasa, ada tata bahasa “periferal” yang tidak ditentukan oleh tatabahasa universal.5. Krashen mengemukakan model belajar yang disebut “model monitor” yangmencakup 5 hipotesis, yaitu hipotesis perbedaan pemerolehan dan prosesbelajar bahasa, hipotesis tentang urutan alamiah pemerolehan strukturgramatikal, hipotesis monitor, hipotesis masukan, dan hipotesis saringan.6. Menurut Krashen, belajar hanya dapat berfungsi sebagai monitor biladisertai dengan kondisi yang memadai.7. Melalui pemerolehan yang terjadi di bawah sadar anak-anak mendapatkanintuisi bahasa (rasa bahasa), yang tidak diperoleh melalui proses belajarterutama pada tahap awal.Peranan Pengajaran Bahasa dalam Memperoleh Bahasa Kedua1. Pengajaran Bahasa Kedua (B2) adalah kegiatan yang dilakukan olehseseorang untuk memudahkan orang lain belajar.2. Pengajaran mencakupi 3 unsur pokok dan banyak unsur yang merupakankonvensi. Unsur pokok bersifat umum/universal sedangkan konvensi dibatasioleh negara, lingkungan, tujuan, waktu, kelompok.
3. Unsur pokok pengajaran ialah orang yang mengajar (guru),kegiatan/materi yang dirancang untuk memudahkan belajar dan orang yangbelajar.4. Peranan pengajaran secara umum ialah dalam memberikan kemudahan agarsiswa Bahasa Kedua (B2) dapat mencapai tujuan belajar yang mencakupisub-subketerampilan membaca, menulis, berbicara, menyimak, danmengapresiasi sastra dalam Bahasa Kedua (B2).5. Krashen menyatakan pengajaran yang diciptakan sebagai lingkungankondusif memegang peranan penting dalam memberikan masukan-masukanterutama bagi siswa yang tidak mempunyai kesempatan memperoleh masukandari lingkungan informal.6. Peranan pengajaran Bahasa Kedua (B2), berdasarkan unsur-unsur pokoknyadapat dirinci sebagai peranan guru, materi/kegiatan belajar dan siswa.7. Bahan/kegiatan belajar yang disediakan menentukan apa yang mungkindikuasai siswa dan bagaimana kualitas penguasaannya.8. Siswa merupakan pusat pengajaran. Materi, kegiatan belajar, evaluasidisusun dengan mempertimbangkan dan untuk kepentingan siswa. PengajaranBahasa Kedua (B2) berpusat pada siswa dengan mempertimbangkan bagaimanasiswa belajar B2.[kajiansastra.blogspot.com]
tag: Kajian Sastra,sastra
Incoming search terms:
pemerolehan Bahasa Pertama dan Bahasa Kedua pemerolehan bahasa pertama dan kedua bahasa pertama dan bahasa kedua pemerolehan bahasa kedua pemerolehan bahasa pertama strategi pemerolehan bahasa secara alami ada anggapan bahwa bahasa indonesia adalah bahasa kedua sesudah bahasa ibu definisi bahasa ibu bahasa kedua dan bahasa asing hipotesis penguasaan bahasa menurut krashen jenis pemerolehan bahasa
Pemerolehan Bahasa Pertama dan Bahasa Kedua
Proses anak mulai mengenal komunikasi dengan lingkungannya secara verbal disebut
dengan pemerolehan bahasa anak. Pemerolehan bahasa pertama (B1) (anak) terjadi bila
anak yang sejak semula tanpa bahasa kini telah memperoleh satu bahasa. Pada masa
pemerolehan bahasa anak, anak lebih mengarah pada fungsi komunikasi daripada bentuk
bahasanya.
Pemerolehan bahasa anak-anak dapat dikatakan mempunyai ciri kesinambungan, memiliki
suatu rangkaian kesatuan, yang bergerak dari ucapan satu kata sederhana menuju gabungan
kata yang lebih rumit.
Ada dua pengertian mengenai pemerolehan bahasa. Pertama, pemerolehan bahasa
mempunyai permulaan yang mendadak, tiba-tiba. Kedua, pemerolehan bahasa memiliki suatu
permulaan yang gradual yang muncul dari prestasi-prestasi motorik, sosial, dan kognitif
pralinguistik.
Pemerolehan bahasa pertama (B1) sangat erat hubungannya dengan perkembangan kognitif
yakni pertama, jika anak dapat menghasilkan ucapan-ucapan yang berdasar pada tata bahasa
yang teratur rapi, tidaklah secara otomatis mengimplikasikan bahwa anak telah menguasai
bahasa yang bersangkutan dengan baik. Kedua, pembicara harus memperoleh ‘kategori-
kategori kognitif’ yang mendasari berbagai makna ekspresif bahasa-bahasa alamiah, seperti
kata, ruang, modalitas, kausalitas, dan sebagainya. Persyaratan-persyaratan kognitif terhadap
penguasaan bahasa lebih banyak dituntut pada pemerolehan bahasa kedua (PB2) daripada
dalam pemerolehan bahasa pertama (PB1).
Manusia memiliki warisan biologi yang sudah dibawa sejak lahir berupa kesanggupannya
untuk berkomunikasi dengan bahasa khusus manusia dan itu tidak ada hubungannya dengan
kecerdasan atau pemikiran. Kemampuan berbahasa hanya sedikit korelasinya terhadap IQ
manusia . Kemampuan berbahasa anak yang normal sama dengan anak-anak yang cacat.
Kemampuan berbahasa sangat erat hubungannya dengan bagian-bagian anatomi dan
fisiologi manusia, seperti bagian otak tertentu yang mendasari bahasa dan topografi korteks
yang khusus untuk bahasa. Tingkat perkembangan bahasa anak sama bagi semua anak
normal; semua anak dapat dikatakan mengikuti pola perkembangan bahasa yang sama, yaitu
lebih dahulu menguasai prinsip-prinsip pembagian dan pola persepsi. Kekurangan hanya
sedikit saja dapat melambangkan perkembangan bahasa anak. Bahasa tidak dapat diajarkan
pada makhluk lain. Bahasa bersifat universal. Pemerolehan bahasa pertama erat kaitannya
dengan permulaan yang gradual yang muncul dari prestasi-prestasi motorik, sosial, dan
kognitif pralinguistik.
Pemerolehan bahasa pertama erat sekali kaitannya dengan perkembangan sosial anak dan
karenanya juga erat hubungannya dengan pembentukan identitas sosial. Mempelajari bahasa
pertama merupakan salah satu perkembangan menyeluruh anak menjadi anggota penuh
suatu masyarakat. Bahasa memudahkan anak mengekspresikan gagasan, kemauannya
dengan cara yang benar-benar dapat diterima secara sosial. Bahasa merupakan media yang
dapat digunakan anak untuk memperoleh nilai-nilai budaya, moral, agama, dan nilai-nilai
lain dalam masyarakat. Dalam melangsungkan upaya memperoleh bahasa, anak dibimbing
oleh prinsip atau falsafah ‘jadilah orang lain dengan sedikit perbedaan’, ataupun ‘dapatkan
atau perolehlah suatu identitas sosial dan di dalamnya, dan kembangkan identitas pribadi
Anda sendiri’.
Sejak dini bayi telah berinteraksi di dalam lingkungan sosialnya. Seorang ibu seringkali
memberi kesempatan kepada bayi untuk ikut dalam komunikasi sosial dengannya. Kala itulah
bayi pertama kali mengenal sosialisasi, bahwa dunia ini adalah tempat orang saling berbagi
rasa.
Melalui bahasa khusus bahasa pertama (B1), seorang anak belajar untuk menjadi anggota
masyarakat. B1 menjadi salah satu sarana untuk mengungkapkan perasaan, keinginan, dan
pendirian, dalam bentuk-bentuk bahasa yang dianggap ada. Ia belajar pula bahwa ada
bentuk-bentuk yang tidak dapat diterima anggota masyarakatnya, ia tidak selalu boleh
mengungkapkan perasaannya secara gamblang.
Apabila seorang anak menggunakan ujaran-ujaran yang bentuknya benar atau gramatikal,
belum berarti bahwa ia telah menguasai B1. Agar seorang anak dapat dianggap telah
menguasai B1 ada beberapa unsur yang penting yang berkaitan dengan perkembangan jiwa
dan kognitif anak itu. Perkembangan nosi-nosi (notion) atau pemahaman seperti waktu,
ruang, modalitas, sebab akibat, dan deiktis merupakan bagian yang penting dalam
perkembangan kognitif penguasaan B1 seorang anak.
Sistem pikiran yang terdapat pada anak-anak dibangun sedikit demi sedikit apabila ada
rangsangan dunia sekitarnya sebagai masukan atau input (yaitu apa yang dilihat anak,
didengar, dan yang disentuh yang menggambarkan benda, peristiwa dan keadaan sekitar
anak yang mereka alami). Lama kelamaan pikirannya akan terbentuk dengan sempurna.
Setelah itu sistem bahasanya lengkap dengan perbendaharaan kata dan tata bahasanya pun
terbentuk.
Masa Waktu dan Perkembangan Pemerolehan Bahasa Pertama
Perkembangan pemerolehan bahasa anak dapat dibagi atas tiga bagian penting yaitu (a)
perkembangan prasekolah (b) perkembangan ujaran kombinatori, dan (c) perkembangan
masa sekolah. Perkembangan pemerolehan bahasa pertama anak pada masa prasekolah
dapat dibagi lagi atas perkembangan pralinguistik, tahap satu kata dan ujaran kombinasi
permulaan.
Perkembangan pralinguistik ditandai oleh adanya pertukaran giliran antara orang tua
khususnya ibu) dengan anak. Pada masa perkembangan pralinguistik anak mengembangkan
konsep dirinya. Ia berusaha membedakan dirinya dengan subjek, dirinya dengan orang lain
serta hubungan dengan objek dan tindakan pada tahap satu kata anak terus-menerus
berupaya mengumpulkan nama benda-benda dan orang yang ia jumpai. Kata-kata yang
pertama diperolehnya tahap ini lazimnya adalah kata yang menyatakan perbuatan, kata
sosialisasi, kata yang menyatakan tempat, dan kata yang menyatakan pemerian.
Perkembangan bahasa pertama anak lebih mudah ditandai dari panjang ucapannya. Panjang
ucapan anak kecil merupakan indikator atau petunjuk perkembangan bahasa yang lebih baik
dari pada urutan usianya. Jumlah morfem rata-rata per ucapan dapat digunakan sebagai
ukuran panjangnya. Ada lima tahapan pemerolehan bahasa pertama. Setiap tahap dibatasi
oleh panjang ucapan rata-rata tadi. Untuk setiap tahap ada Loncatan Atas (LA).
Walaupun perkembangan bahasa setiap anak sangat unik, namun ada persamaan umum
pada anak-anak, ada persesuaian satu sama lain semua mencakup eksistensi, noneksistensi,
rekurensi, atribut objek dan asosiasi objek dengan orang.
Dilihat dari unsur dasar pembentukannya, kombinasi yang dibuat anak pada periode ini
mengekspresikan dua unsur deretan dasar pelaku (agen) + tindakan (aksi) + objek. Semua
kombinasi dua unsur terjadi, misalnya Agen + Aksi + Objek, Agen + Objek.
Pada masa tahap 2 ada tiga sarana ekspresif yang dipakai oleh anak-anak, yang dapat
membuat kalimat-kalimat mereka menjadi lebih panjang yaitu kemunculan morfem-morfem
gramatikal secara inklusif dalam ujaran anak, pengertian atau penyambungan bersama-sama
hubungan dua hal tersebut, dan perluasan istilah dalam suatu hubungan/relasi.
Perkembangan pemerolehan bunyi anak-anak bergerak dari membuat bunyi menuju ke arah
membuat pengertian. Periode pembuatan pembedaan atas dua bunyi dapat dikenali selama
tahun pertama yaitu (1) periode vokalisasi dan prameraban serta (2) periode meraban. Anak
lazimnya membuat pembedaan bunyi perseptual yang penting selama periode ini, misalnya
membedakan antara bunyi suara insani dan noninsani antara bunyi yang berekspresi marah
dengan yang bersikap bersahabat, antara suara anak-anak dengan orang dewasa, dan antara
intonasi yang beragam. Anak-anak mengenali makna-makna berdasarkan persepsi mereka
sendiri terhadap bunyi kata-kata yang didengarnya. Anak-anak menukar atau mengganti
ucapan mereka sendiri dari waktu ke waktu menuju ucapan orang dewasa, dan apabila anak-
anak mulai menghasilkan segmen bunyi tertentu, hal itu menjadi perbendaharaan mereka.
Perkembangan ujaran kombinatori anak-anak dapat dibagi dalam empat bagian yaitu
perkembangan negatif/penyangkalan, perkembangan interogratif/pertanyaan, perkembangan
penggabungan kalimat, dan perkembangan sistem bunyi.
Ada tiga tipe struktur interogatif yang utama untuk mengemukakan persyaratan, yaitu
pertanyaan yang menuntut jawaban ya atau tidak, pertanyaan yang menuntut informasi, dan
pertanyaan yang menuntut jawaban salah satu dari yang berlawanan (polar).
Penggabungan beberapa proposisi menjadi sebuah kalimat tunggal memerlukan rentangan
masa selama beberapa tahun dalam perkembangan bahasa anak-anak. Pada umumnya, cara-
cara menggabungkan kalimat menujukkan gerakan melalui empat dimensi yaitu gabungan
dua klausa setara menuju gabungan dua klausa yang tidak setara, klausa-klausa utama yang
tidak tersela menuju penggunaan klausa-klausa yang tersela, yaitu menyisipkan klausa
bawahan pada klausa utama, susunan klausa yang memuat kejadian tetap menuju susunan
klausa yang bervariasi, dan dari penggunaan perangkat-perangkat semantik-sintaktis yang
kecil menuju perangkat yang lebih diperluas.
Pada perkembangan masa sekolah, orientasi seorang anak dapat berbeda-beda. Ada anak
yang lebih impulsif daripada anak yang lain, lebih refleksif dan berhati-hati, cenderung lebih
jelas dan nyata dalam berekspresi, lebih senang belajar dengan bermain-main, sementara
yang lain lebih pragmatis dalam pemakaian bahasa. Di masa ini setiap bahasa anak akan
mencerminkan kepribadiannya sendiri. Siswa taman kanak-kanak memiliki rasa bahasa,
bagian-bagiannya, hubungannya, bagaimana cara kerjanya sehingga mereka mampu
mengenal serta mengapresiasi bahasa yang dipakai dalam cara yang mengagumkan serta
tidak lazim. Selama masa sekolah anak mengembangkan dan memakai bahasa secara unik
dan universal. Pada saat itu anak menandai atau memberinya ciri sebagai pribadi yang ada
dalam masyarakat itu. Perkembangan bahasa pada masa sekolah dapat dibedakan dengan
jelas dalam tiga bidang, yaitu struktur bahasa, pemakaian bahasa, dan kesadaran
metalinguistik.
Strategi Pemerolehan Bahasa Pertama
Strategi pertama dalam pemerolehan bahasa dengan berpedoman pada: tirulah apa yang
dikatakan orang lain. Tiruan akan digunakan anak terus, meskipun ia sudah dapat sempurna
melafalkan bunyi. Ada pendapat yang mengatakan bahwa strategi tiruan atau strategi imitasi
ini akan menimbulkan masalah besar. Mungkin ada orang berkata bahwa imitasi adalah
mengatakan sesuatu yang sama seperti yang dikatakan orang lain. Akan tetapi ada banyak
pertanyaan yang harus dijawab berkenaan dengan hal ini.
Ada berbagai ragam peniruan atau imitasi, yaitu imitasi spontan atau spontaneous imitation,
imitasi pemerolehan atau elicited imitation, imitasi segera atau immediate imitation, imitasi
terlambat delayed imitation dan imitasi dengan perluasan atau imitation with expansion,
reduced imitation.
Strategi kedua dalam pemerolehan bahasa adalah strategi produktivitas. Produktivitas berarti
keefektifan dan keefisienan dalam pemerolehan bahasa yang berpegang pada pedoman
buatlah sebanyak mungkin dengan bekal yang telah Anda miliki atau Anda peroleh.
Produktivitas adalah ciri utama bahasa. Dengan satu kata seorang anak dapat “bercerita atau
mengatakan” sebanyak mungkin hal. Kata papa misalnya dapat mengandung berbagai
makna bergantung pada situasi dan intonasi.
Strategi ketiga berkaitan dengan hubungan umpan balik antara produksi ujaran dan
responsi. Dengan strategi ini anak-anak dihadapkan pada pedoman: hasilkanlah ujaran dan
lihatlah bagaimana orang lain memberi responsi. Stategi produktif bersifat “sosial” dalam
pengertian bahwa strategi tersebut dapat meningkatkan interaksi dengan orang lain dan
sementara itu bersifat “kognitif” juga. Hal itu dapat memberikan umpan balik kepada pelajar
mengenai ekspresinya sendiri terhadap makna dan juga memberinya sampel yang lebih
banyak, yaitu sampel bahasa untuk digarap atau dikerjakan.
Strategi keempat adalah prinsip operasi. Dalam strategi ini anak dikenalkan dengan
pedoman: gunakan beberapa “prinsip operasi” umum untuk memikirkan serta menetapkan
bahasa. Selain perintah terhadap diri sendiri oleh anak, prinsip operasi ini juga menyarankan
larangan yang dinyatakan dalam avoidance terms; misalnya: hindari kekecualian, hindari
pengaturan kembali.
Proses Pemerolehan Bahasa Kedua
Pemerolehan bahasa berbeda dengan pembelajaran bahasa. Orang dewasa mempunyai dua
cara yang, berbeda berdikari, dan mandiri mengenai pengembangan kompetensi dalam
bahasa kedua. Pertama, pemerolehan bahasa merupakan proses yang bersamaan dengan
cara anak-anak. Mengembangkan kemampuan dalam bahasa pertama mereka. Pemerolehan
bahasa merupakan proses bawah sadar. Para pemeroleh bahasa tidak selalu sadar akan
kenyataan bahwa mereka memakai bahasa untuk berkomunikasi.
Kedua, untuk mengembangkan kompetensi dalam bahasa kedua dapat dilakukan dengan
belajar bahasa. Anak-anak memperoleh bahasa, sedangkan orang dewasa hanya dapat
mempelajarinya. Akan tetapi ada hipotesis pemerolehan belajar yang menuntut bahwa orang-
orang dewasa juga memperoleh bahasa, kemampuan memungut bahasa bahasa tidaklah
hilang pada masa puber. Orang-orang dewasa juga dapat memanfaatkan sarana pemerolehan
bahasa alamiah yang sama seperti yang dipakai anak-anak. Pemerolehan merupakan suatu
proses yang amat kuat pada orang dewasa. Pemerolehan dan pembelajaran dapat dibedakan
dalam lima hal, yaitu pemerolehan:
1. memiliki ciri-ciri yang sama dengan pemerolehan bahasa pertama, seorang anak
penutur asli, sedangkan belajar bahasa adalah pengetahuan secara formal,
2. secara bawah sadar, sedangkan pembelajaran sadar dan disengaja.
3. bahasa kedua seperti memungut bahasa kedua, sedangkan pembelajaran mengetahui
bahasa kedua,
4. mendapat pengetahuan secara implisit, sedangkan pembelajaran mendapat
pengetahuan secara eksplisit,
5. pemerolehan tidak membantu kemampuan anak, sedangkan pembelajaran menolong
sekali.
Pandangan pemerolehan bahasa secara alami yang merupakan pandangan kaum nativistis
yang diwakili oleh Noam Chomsky, berpendapat bahwa bahasa hanya dapat dikuasai oleh
manusia. Perilaku bahasa adalah sesuatu yang diturunkan. Hakikatnya, pola perkembangan
bahasa pada berbagai macam bahasa dan budaya. Lingkungan hanya memiliki peran kecil
dalam pemerolehan bahasa. Anak sudah dibekali apa yang disebut peranti penguasaan
bahasa (LAD).
Pandangan pemerolehan bahasa secara disuapi adalah pandangan kaum behavioristis yang
diwakili oleh B.F. Skinner dan menganggap bahasa sebagai suatu yang kompleks di antara
perilaku-perilaku lain. Kemampuan berbicara dan memahami bahasa diperoleh melalui
rangsangan lingkungan. Anak hanya merupakan penerima pasif dari tekanan lingkungan.
Anak tidak memiliki peran aktif dalam perilaku verbalnya. Perkembangan bahasa ditentukan
oleh lamanya latihan yang disodorkan lingkungannya. Anak dapat menguasai bahasanya
melalui peniruan. Belajar bahasa dialami anak melalui prinsip pertalian stimulus respon.
Perkembangan bahasa anak adalah suatu kemajuan yang sebarang hingga mencapai
kesempurnaan. Pandangan kognitif diwakili oleh Jean Piaget dan berpendapat bahwa bahasa
bukan ciri alamiah yang terpisah melainkan satu di antara beberapa kemampuan yang
berasal dari pematangan kognitif. Lingkungan tidak besar pengaruhnya terhadap
perkembangan intelektual anak. Yang penting adalah interaksi anak dengan lingkungannya.
Cara pemerolehan bahasa kedua dapat dibagi dua cara, yaitu pemerolehan bahasa kedua
secara terpimpin dan pemerolehan bahasa kedua secara alamiah. Pemerolehan bahasa kedua
yang diajarkan kepada pelajar dengan menyajikan materi yang sudah dipahami. Materi
bergantung pada kriteria yang ditentukan oleh guru. Strategi-strategi yang dipakai oleh
seorang guru sesuai dengan apa yang dianggap paling cocok bagi siswanya.
Pemerolehan bahasa kedua secara alamiah adalah pemerolehan bahasa kedua/asing yang
terjadi dalam komunikasi sehari-hari, bebas dari pengajaran atau pimpinan,guru. Tidak ada
keseragaman cara. Setiap individu memperoleh bahasa kedua dengan caranya sendiri-sendiri.
Interaksi menuntut komunikasi bahasa dan mendorong pemerolehan bahasa. Dua ciri
penting dari pemerolehan bahasa kedua secara alamiah atau interaksi spontan ialah terjadi
dalam komunikasi sehari-hari, dan bebas dari pimpinan sistematis yang sengaja.
Di dalam kelas ada saja buah yang dapat dianggap sangat penting dan mendasar dalam
proses belajar bahasa, yaitu (1) belajar bahasa adalah orang, (2) belajar bahasa adalah
orang-orang dalam interaksi dinamis, dan (3) belajar bahasa adalah: orang-orang dalam
responsi.
Pemerolehan bahasa bersamaan dengan proses yang digunakan oleh anak-anak dalam
pemerolehan bahasa pertama dan pemerolehan bahasa kedua. Pemerolehan bahasa
menuntut interaksi yang berarti dalam bahasa sasaran yang merupakan wadah para
pembicara memperhatikan bukan bentuk ucapan-ucapan mereka tetapi pesan-pesan yang
mereka sampaikan dan mereka pahami. Perbaikan kesalahan dan pengajaran kaidah- kaidah
eksplisit tidaklah relevan bagi pemerolehan bahasa, tetapi para guru dan para penutur asli
dapat mengubah serta membatasi ucapan-ucapan mereka kepada pemeroleh agar menolong
mereka memahaminya. Modifikasi-modifikasi ini merupakan pikiran untuk membantu proses
pemerolehan tersebut.
Hubungan antara Pemerolehan Bahasa Pertama dan Pemerolehan Bahasa Kedua
Ciri-ciri pemerolehan bahasa mencakup keseluruhan kosakata, keseluruhan morfologi,
keseluruhan sintaksis, dan kebanyakan fonologi. Istilah pemerolehan bahasa kedua atau
second language aqcuisition adalah pemerolehan yang bermula pada atau sesudah usia 3
atau 4 tahun. Ada pemerolehan bahasa kedua anak-anak dan pemerolehan bahasa kedua
orang dewasa.
Ada lima hal pokok berkenaan dengan hubungan pemerolehan bahasa pertama dengan
pemerolehan bahasa kedua. Salah satu perbedaan antara pemerolehan bahasa pertama dan
bahasa kedua ialah bahwa pemerolehan bahasa pertama merupakan komponen yang hakiki
dari perkembangan kognitif dan sosial seorang anak, sedangkan pemerolehan bahasa kedua
terjadi sesudah perkembangan kognitif dan sosial seorang anak sudah selesai, dalam
pemerolehan bahasa pertama pemerolehan lafal dilakukan tanpa kesalahan, sedangkan
dalam pemerolehan bahasa kedua itu jarang terjadi, dalam pemerolehan bahasa pertama dan
bahasa kedua ada kesamaan dalam urutan perolehan butir-butir tata bahasa, banyak variabel
yang berbeda antara pemerolehan bahasa pertama dengan pemerolehan bahasa. Kedua,
suatu ciri yang khas antara pemerolehan bahasa pertama dan bahasa kedua belum tentu ada
meskipun ada persamaan perbedaan di antara kedua pemerolehan.
Ada tiga macam pengaruh proses belajar bahasa kedua, yaitu pengaruh pada urutan kata dan
karena proses penerjemahan, pengaruh pada morfem terikat, dan pengaruh bahasa pertama
walaupun pengaruh isi sangat lemah (kecil).
Strategi Pemerolehan Bahasa Kedua
Perlu diingat bahwa strategi-strategi yang telah dikenal perlu dibagi ke dalam komponen-
komponennya. Strategi pertama berpegang, pada semboyan: gunakanlah pemahaman
nonlinguistik Anda sebagai dasar untuk penetapan atau pemikiran bahasa, Strategi ini
berlangsung dan beroperasi pada tahap umum dalam karya Brown mengenai dasar kognitif
ujaran tahap I. Strategi pertama ini memiliki rerata Panjang Ucapan; rata-rata (PUR)
sebesar 1,75, dan Loncatan Atas (LA) sebesar 5. Adapun objek dan persona terus-menerus
ada walaupun di luar jangkauan pandangan yang merupakan pemahaman nonlinguistik
yang menjadi dasar atau landasan bagi pengarah bahasa atau terjemahan anak-anak
terhadap ketidakstabilan atau kemudahan mengalirkan pemikiran ke dalam kategori-kategori
bahasa yang lebih pasti. Penggunaan pemahaman nonlinguistik untuk memperhitungkan
serta menetapkan hubungan-hubungan makna-ekspresi bahasa merupakan suatu strategi
yang amat persuasif atau dapat merembes pada diri anak-anak.
Strategi kedua berpegang pada semboyan: gunakan apa saja atau segala sesuatu yang
penting, yang menonjol dan menarik hati Anda. Ada dua ciri yang kerap kali penting dan
menonjol bagi anak-anak kecil dan berharga bagi sejumlah kata-kata pertama mereka yaitu
objek-objek yang dapat membuat anak-anak aktif dan giat (misalnya kunci, palu, kaos kaki,
topi) dan objek-objek yang bergerak dan berubah (seperti mobil, jam). Sifat-sifat atas ciri-ciri
perseptual dapat bertindak sebagai butir-butir atau titik-titik vokal bagi anak-anak (misalnya
bayangan, ukuran, bunyi, rasa, bentuk). Anak-anak memperhatikan objek-objek yang
mewujudkan hal-hal yang menarik hati ini; dan mereka memperhatikan cara menamai objek-
objek itu dalam masyarakat bahasa. Perhatian anak-anak juga bisa pada unsur bahasa yang
memainkan peranan penting sintaksis dan semantik dalam kalimat. Pusat perhatian tertentu
bagi seorang anak mungkin saja berbeda pada periode yang berbeda pada setiap anak.
Strategi ketiga berpegang pada semboyan: anggaplah bahwa bahasa dipakai secara
referensial atau ekspresif dan dengan demikian menggunakan data bahasa. Anak-anak
kelompok referensial memiliki 50 kata pertama mencakup suatu proporsi nomina umum yang
tinggi dan yang seakan-akan melihat fungsi utama bahasa sebagai penamaan objek-objek.
Anak kelompok ekspresif memiliki 50 kata pertama secara proporsional mencakup lebih
banyak kata yang dipakai dalam ekspresi-ekspresi sosial (seperti terima kasih, jangan begitu)
dan lebih sedikit nama-nama objek yang melihat bahasa (terutama sekali) sebagai pelayanan
fungsi-fungsi sosial efektif. Kedua kelompok anak itu menyimak bahasa sekitar mereka
secara berbeda. Kelompok yang satu memperlakukan bahasa yang dipakai untuk mengacu,
sedangkan kelompok yang satu lagi, kepada bahasa yang dipakai untuk bergaul,
bersosialisasi. Ada tujuh fungsi bahasa yaitu fungsi instrumental, fungsi regulasi, fungsi
representasi, fungsi interaksi, fungsi personal, fungsi heuristik, dan fungsi imajinatif. Fungsi
instrumental bahasa berkaitan dengan pengelolaan lingkungan, mengkomunikasikan tindak.
Fungsi regulasi atau pengaturan berkenaan dengan pengendalian peristiwa, penentuan
hukum dan kaidah, pernyataan setuju tidak setuju. Fungsi representasi berkenaan dengan
pernyataan, menjelaskan melaporkan. Fungsi interaksi berkaitan dengan hubungan
komunikasi sosial. Fungsi personal berkenaan dengan kemungkinan seorang pembicara
mengemukakan perasaan, emosi, dan kepribadian. Fungsi heuristik berkaitan dengan
perolehan pengetahuan dan belajar tentang lingkungan. Fungsi imajinatif berkaitan dengan
daya cipta imajinasi dan gagasan.
Strategi keempat berpegang pada semboyan: amatilah bagaimana caranya orang lain
mengekspresikan berbagai makna. Strategi ini baik diterapkan pada anak yang berbicara
sedikit dan seakan-akan mengamati lebih banyak, bertindak selektif, menyimak, mengamati
untuk melihat bagaimana makna dan ekspresi verbal saling berhubungan. Strategi ini
mengingatkan kepada gaya atau preferensi belajar yang berbeda pada anak-anak yang
berlainan usia dalam situasi belajar yang lain pula.
Strategi kelima berpegang pada semboyan: ajukanlah pertanyaan-pertanyaan untuk
memancing atau memperoleh data yang Anda inginkan, anak berusia sekitar dua tahun akan
sibuk membangun dan memperkaya kosakata mereka. Banyak di antara mereka
mempergunakan siasat bertanya atau strategi pertanyaan. Siasat ini seolah-olah merupakan
sesuatu yang efektif, karena setiap kali dia bertanya: apa nih? apa tu? maka teman bicaranya
mungkin menyediakan label atau, nama yang tepat. Suatu pola yang menarik terjadi pada
penggunaan pertanyaan mengapa pada usia sekitar 3 tahun.
Pandangan Global dan Kecenderungan dalam Pemerolehan Bahasa
Ragam atau jenis pemerolehan bahasa dapat ditinjau dari lima sudut pandangan, yaitu
berdasarkan bentuk, urutan, jumlah, media, dan keasliannya. Dalam pengertiannya semua
istilah itu ternyata hampir sama. Di dalam literatur keduanya sering dipakai berganti-ganti
untuk maksud dan pengertian yang sama.
Dalam bahasa satu tercakup istilah bahasa pertama, bahasa asli, bahasa ibu, bahasa utama,
dan bahasa kuat. Dalam bahasa dua tercakup bahasa kedua, bukan bahasa asli, bahasa
asing, bahasa kedua, dan bahasa lemah. Masih ada beberapa istilah lagi yaitu bahasa untuk
komunikasi luas, bahasa baku, bahasa regional, bahasa nasional, bahasa resmi, bahasa
modern, dan bahasa klasik.
Ditinjau dari segi bentuk ada tiga pemerolehan bahasa yaitu pemerolehan bahasa pertama
yaitu bahasa yang pertama diperoleh sejak lahir, pemerolehan bahasa kedua yang diperoleh
setelah bahasa pertama diperoleh, dan pemerolehan-ulang, yaitu bahasa yang dulu pernah
diperoleh kini diperoleh kembali karena alasan tertentu. Ditinjau dari segi urutan ada dua
pemerolehan yaitu pemerolehan bahasa pertama dan pemerolehan bahasa kedua.
Ditinjau dari segi jumlah ada dua pemerolehan yaitu pemerolehan satu bahasa (di
lingkungan yang hanya terdapat satu bahasa secara luas), dan pemerolehan dua bahasa di
lingkungan yang terdapat lebih dari satu bahasa yang digunakan secara luas).
Ditinjau dari segi media dikenal pemerolehan bahasa lisan (hanya bahasa yang diucapkan
oleh penuturnya), dan pemerolehan bahasa tulis (bahasa yang dituliskan, oleh penuturnya).
Ditinjau dari segi keaslian atau keasingan dikenal pemerolehan, bahasa asli (merupakan alat
komunikasi penduduk asli), dan pemerolehan bahasa asing (bahasa yang digunakan oleh
para pendatang atau bahasa yang memang didatangkan untuk dipelajari). Ditinjau dari segi
keserentakan atau keberurutan (khususnya bagi pemerolehan dua bahasa) dikenal
pemerolehan (dua bahasa) serentak dan pemerolehan dua bahasa berurutan.
Ada tiga komponen yang menentukan proses pemerolehan bahasa yaitu prospensity
(kecenderungan), language faculty, (kemampuan berbahasa), dan acces (jalan masuk) ke
bahasa.
Istilah prospensity mencakup seluruh faktor yang menyebabkan pelajar menerapkan
kemampuan berbahasa untuk memperoleh sesuatu balasan. Hal itu merupakan hasil
interaksi mereka yang menentukan kecenderungan aktual pelajar. Selama tidak
mempengaruhi segala aspek pemerolehan bahasa pada taraf yang sama, maka tidaklah
bijaksana mengaitkan kecenderungan dengan proses pemerolehan dengan cara yang umum.
Unsur-unsur komponen kecenderungan itu dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor eksternal,
(misalnya pengajaran) sampai taraf-taraf tertentu.
Komponen kecenderungan ada empat yaitu integrasi sosial, pendidikan, kebutuhan
komunikatif, dan sikap. Dalam pemerolehan bahasa pertama integrasi sosial merupakan
suatu faktor yang dominan. Relevansi faktor ini akan berkurang jika beranjak dari
pemerolehan bahasa anak menuju bentuk-bentuk pemerolehan bahasa lainnya. Integrasi
sosial mempunyai sedikit kebermaknaan sebagai faktor penyebab kecenderungan dalam
belajar bahasa kedua di tingkat perguruan tinggi atau universitas. Dalam hal-hal tertentu,
integrasi sosial merupakan faktor yang mengakibatkan pengaruh negatif.
Faktor kebutuhan komunikatif harus dibedakan dengan cermat dan tepat dari integrasi
sosial. Kedua faktor ini kerapkali berlangsung serta bertindak bersama-sama bahu-membahu.
Walaupun integrasi sosial jelas sekali mengimplikasikan kepuasan kebutuhan-kebutuhan
komunikatif tertentu; namun kedua faktor itu berbeda. Kedua faktor tersebut telah
dipisahkan secara cermat dan keduanya dapat mempengaruhi pemerolehan bahasa dengan
cara-cara yang amat berbeda (dalam ranah fonologi, morfologi; sintaksis, kosakata, dan
wacana). Ada berbagai ragam jenis kebutuhan komunikasi. Pengaruhnya kepada
pemerolehan bahasa tentu juga beragam. Perbedaan yang ada antara integrasi sosial dan
kebutuhan komunikatif sebagai dua komponen kecenderungan yang berinteraksi selalu
dengan perbedaam atau motivasi integratif dan motivasi instrumental. Bukan berarti bahwa
motivasi tidak memberikan kontribusi apa pun kepada kecenderungan.
Sikap subjektif mempengaruhi belajar bahasa dengan cara-cara yang tidak jelas, misalnya
disebabkan integritas sosial dan kurangnya rasa percaya diri. Daya tarik menarik bahasa
sebenarnya dapat menjadi sebuah ebakan. Sikap meremehkan dengan menggampangkan
mengakibatkan sedikitnya perhatian kepada bahasa yang akan dipelajari, hanya sedikit
pencurahan dan akhirnya mengantarkan kepada kegagalan belajar bahasa kedua.
Kapasitas dan Acces dalam Belajar Bahasa
Belajar bahasa mengandalkan berpikir, fungsi otak akan bekerja sebagaimana belajar.
Bahasa merupakan dasar fundamental berpikir. Ada keapikan hubungan antara bahasa dan
berpikir. Bahasa juga dapat memperluas pikiran. Otak memiliki kapasitas untuk menampung
rangsangan-rangsangan yang masuk. Tidak semua rangsangan yang diterima akan langsung
direkam ke memori yang paling dalam. Ada rangsangan atau informasi yang diterima dan
ditempatkan hanya sampai tingkat permukaan otak maupun ditolak.
Pemerolehan bahasa merupakan sebuah proses. Pemrosesan bahasa memerlukan sebuah
acces atau jalan masuk. Tanpa jalan masuk tidak mungkin bahan mentah atau bahan kasar
dapat diproses dalam pemerolehan bahasa. Jalan masuk memiliki dua komponen yang
berbeda, yaitu jumlah yang tersedia dan jajaran jarak kesempatan komunikasi.
Belajar bahasa kedua harus dapat membedakan variasi-variasi tekanan suara, nada, intonasi
dari satu bahasa ke bahasa lain. Khasanah kosakata anak seringkali didapat karena
melibatkan pemahamannya tentang siapa berbicara dengan siapa, di mana, kapan, sambil
mengamati gerak tubuh para tokoh dan reaksinya.
Walaupun masukan dalam pemerolehan bahasa bersifat spontan tetapi pada umumnya terdiri
atau ujaran otentik. Pembicara atau penutur asli mempunyai kecenderungan menyesuaikan
bahasanya dengan potensi pelajar yang telah diduga itu. Penyesuaian-penyesuaian belajar
bahasa terjadi dalam fonologi, morfologi, sintaksis, kosakata, dan dalam komunikasi pada
umumnya. Dengan bertindak demikian pembicara dapat berbuat kesalahan dalam dua hal.
Pertama, modifikasi-modifikasinya dapat menghalangi pemahaman kalau pelajar semakin
maju datam bahasa itu. Kedua; pelajar mungkin menginterpretasikannya sebagai suatu tanda
jarak sosial dan rasa rendah diri dan merasa terhina dengan terlihat berbicara dalam logat
khusus seperti ini.
Pemerolehan bahasa spontan mencakup belajar di dalam interaksi sosial dan melalui
interaksi sosial. Pelajar diharuskan mempergunakan sebaik-baiknya segala pengetahuan
yang tersedia padanya agar dapat memahami apa yang dikatakan orang lain dan
menghasilkan ucapan-ucapannya sendiri. Hal itu ditunjang observasi. Pertama, pelajar
disajikan dengan lebih banyak masukan linguistik dengan frekuensi yang meningkat dan
dalam jangkauan yang lebih luas. Kedua, mendapat lebih banyak kesempatan menguji
produksi ujarannya sendiri berlawanan dengan yang datang dari lingkungannya untuk
membuktikan hipotesis-hipotesisnya mengenai struktur bahasa sasaran. Pelajar cenderung
berbeda dalam tingkat pemonitoran linguistik mereka. Kesempatan-kesempatan
berkomunikasi secara verbal jauh lebih terbatas pada pemerolehan bahasa kedua terpimpin.
Pertukaran-pertukaran terdiri dari unsur-unsur produksi dan pemahanan bahasa yang ‘siap
pakai’ yang maju terus ke tingkat-tingkat yang beragam dalam komunikasi.
Struktur Proses Belajar Bahasa dan Kecepatan Pemerolehan Bahasa
Pada proses belajar, pertama memiliki ciri-ciri tidak disengaja, berlangsung sejak lahir,
lingkungan keluarga sangat menentukan, motivasi ada karena kebutuhan, banyak waktu
untuk mencoba bahasa, dan pelajar memiliki banyak waktu untuk berkomunikasi. Pada
proses belajar bahas kedua terdapat ciri-ciri disengaja, berlangsung setelah si pelajar berada
di sekolah, lingkungan sekolah sangat menentukan, motivasi pelajar untuk mempelajarinya
tidak sekuat mempelajari bahasa pertama, waktu terbatas, pelajar tidak mempunyai banyak
waktu untuk mempraktikkan bahasa yang dipelajari, bahasa pertama mempengaruhi proses
belajar bahasa kedua, umur kritis mempelajari bahasa kedua kadang-kadang telah lewat,
disediakan alat bantu belajar, dan ada orang yang mengorganisasikannya. Selain itu ada juga
ciri lain yaitu bahasa pertama dan bahasa kedua mungkin dipelajari secara bersamaan atau
secara berurutan, jika dipelajari secara berurutan maka bahasa kedua dapat dipelajari dalam
lingkungan bahasa pertama atau bahasa kedua. Kedua, maka bahasa kedua dipelajari
melalui kontak bahasa, bahasa kedua biasanya dipelajari melalui pengajaran, belajar bahasa
kedua berkaitan dengan perkembangan berbagai keterampilan berbahasa baik secara lisan
maupun tertulis.
Ada 10 strategi dalam proses belajar bahasa yaitu strategi perencanaan, aktif, empatik,
formal, eksperimental, semantik, praktis, komunikasi, strategi, monitor, dan strategi
internalisasi.
Ciri pelajar yang baik ialah, mau dan menjadi seorang penerka yang baik, suka
berkomunikasi, kadang-kadang tidak malu terhadap kesalahan dan siap memperbaikinya,
suka mengikuti parkembangan bahasa, praktis, mengikuti ujarannya dan
membandingkannya dengan ujaran yang baku, dan mengikuti perubahan makna kerangka
konteks sosial.
Peranan Bahasa Pertama dalam Proses Pemerolehan Bahasa Kedua
Bahasa pertama mempunyai pengaruh positif yang sangat besar terhadap bahasa kedua
sebesar 4 – 12 % dari kesalahan-kesalahan dalam tata bahasa yang dibuat oleh anak-anak
berasal dari bahasa pertama, sebesar 8 – 23 % merupakan kesalahan-kesalahan yang dibuat
oleh orang dewasa. Mayoritas kesalahan-kesalahan tersebut lebih banyak dalam susunan
kata daripada dalam morfologi. Bidang yang sangat kuat dipengaruhi oleh bahasa pertama
adalah pengucapan. Anak-anak memproses sistem bunyi baru melalui pola-pola fonologis
bahasa pertama pada tahap-tahap awal pemerolehan bahasa kedua, tetapi secara berangsur-
angsur mereka bersandar pada sistem bahasa kedua dan aksen atau tekanan (logat) mereka
pun menghilang.
Pengaruh bahasa pertama kian bertambah pada bahasa kedua jika pelajar diharapkan
menghasilkan bahasa kedua sebelum dia mempunyai penguasaan yang cukup memadai
terhadap bahasa barunya. Pelajar akan bergantung pada struktur-struktur bahasa pertama,
baik dalam upaya komunikasi maupun terjemahan. Pengaruh bahasa pertama juga
merupakan fakta dalam interaksi yang terjadi antara bahasawan bahasa pertama dan bahasa
kedua.
Satu-satunya sumber utama kesalahan-kesalahan sintaksis dalam penghasilan bahasa kedua
orang dewasa adalah bahasa pertama si pelaku. Ada pandangan yang menyatakan bahwa
kesalahan bukan bersumber pada struktur bahasa pertama, melainkan pada latar belakang
linguistik yang berbeda-beda dari bahasa kedua (B2) pelajar.
Pengaruh bahasa pertama terlihat paling kuat dalam susunan kata kompleks dan dalam
terjemahan frase-frase, kata demi kata. Pengaruh bahasa pertama lebih lemah dalam morfem
terikat. Pengaruh bahasa pertama paling kuat atau besar dalam lingkungan-lingkungan
pemerolehan yang rendah.
Pengaruh bahasa pertama bukanlah merupakan hambatan atau rintangan proaktif,
melainkan akibat dari penyajian yang justru diperbolehkan menyajikan sesuatu sebelum dia
mempelajari perilaku baru itu. Pengobatan atau penyembuhan bagi interferensi hanyalah
penyembuhan bagi ketidaktahuan belajar. Bahasa pertama dapat merupakan pengganti
bahasa kedua yang telah diperoleh sebagai suatu inisiator atau pemrakarsa ucapan apabila
pelajar bahasa kedua harus menghasilkannya dalam bahasa sasaran, tetapi tidak cukup
kemampuan bahasa kedua yang telah diperolehnya. Pengaruh bahasa pertama merupakan
petunjuk bagi pemerolehan yang rendah. Anak-anak mungkin membangun atau membentuk
kompetensi yang diperoleh melalui masukan. Kurangnya desakan penghasilan ujaran lisan
akan menguntungkan bagi anak-anak dan orang dewasa menelaah bahasa kedua dalam
latar-latar formal.
Pengaruh bahasa pertama dapat dianggap sebagai sesuatu yang tidak alamiah. Seseorang
dapat saja menghasilkan kalimat-kalimat dalam bahasa kedua tanpa suatu pemerolehan. Jika
bahasa kedua berbeda dengan bahasa pertama, model monitor dapat dipakai dengan
menambahkan beberapa morfologi dan melakukannya dengan sebaik-baiknya untuk
memperbaiki susunan kata. Pemerolehan bahasa mungkin pelan-pelan, tetapi dalam jangka
panjang akan lebih bermanfaat kalau bahasa dipergunakan untuk maksud dan tujuan
komunikasi.
Input dan Interaksi dalam Proses Pemerolehan Bahasa
Seorang anak akan dihadapkan pada dua penguasaan bahasa dalam mempelajari bahasa
kedua (B2) yaitu memperoleh bahasa pertama sedangkan ia sendiri akan berupaya
mempelajari bahasa kedua. Bahasa antara adalah bentuk ujaran yang belum atau tidak ada
modelnya pada kedua bahasa baik bahasa pertama maupun bahasa kedua, bahasa sumber
maupun bahasa sasaran, bahasa ibu maupun bahasa yang dipelajari. Ideosinkresi adalah
bentuk ujaran yang tidak terdapat dalam model bahasa kedua atau yang dipelajari.
Proses belajar bahasa berkembang melalui beberapa tahap. Tahap kompetensi perantara
disebut kompetensi trasisional atau bahasa antara. Setiap bahasa antara mewakili satu tahap
kompetensi yang berisi bentuk-bentuk yang benar maupun yang tidak benar dalam bahasa
yang dipelajari. Ada empat kompetensi yakni kompetensi formal, kompetensi semantik,
kompetensi berkomunikasi, dan kreativitas. Keempat kompetensi itu dikuasai secara bertahap.
Ada empat pemerolehan dalam belajar bahasa yaitu menguasai bunyi bahasa, menguasai
bentuk kata, menguasai kalimat, dan menguasai makna. Empat pemerolehan ini lama-
kelamaan berlangsung secara otomatis dan pada akhirnya digunakan siswa untuk
berkomunikasi dalam kehidupan sehari-hari.
Ada tiga persoalan utama proses belajar yaitu (1) Perbedaan antara dominasi yang tak dapat
dihindari, terdapat di dalam otak siswa yang mempelajari bahasa pertama dengan
ketidakcakapan siswa menguasai bahasa kedua, (2) pilihan implisit-eksplisit, (3) dilema
komunikasi dengan kode.
Terdapat hipotesis yang disusun dalam bagian-bagian yang berhubungan dengan komponen
pemerolehan bahasa kedua yang ditinjau dari segi umum, situasi, masukan, perbedaan-
perbedaan pelajar, proses-proses dan keluaran linguistik. Hipotesis segi umum ini
membicarakan perihal bagaimana pemerolehan bahasa kedua, apakah mengikuti
perkembangan alamiah atau tidak, dan apakah ada keragaman di antaranya, bagaimana
secara vertikal dan bagaimana secara horisontal. Hipotesis segi situasi membicarakan faktor-
faktor situasional yaitu siapa ditujukan kepada siapa, kapan, tentang apa, dan di mana serta
apakah mempengaruhi urutan perkembangan atau tidak, apakah merupakan penyebab
utama bahasa pemeroleh. Hipotesis input atau masukan membicarakan masukan dan
interaksi sekaligus, apakah dapat menentukan perkembangan pemerolehan atau tidak.
Hipotesis perbedaan pelajar menyangkut personalitas pelajar bahasa baik itu sikap, persepsi,
minat maupun motivasi, serta apakah bahasa pertama dapat mempengaruhi perkembangan
pemerolehan. Hipotesis proses-proses pelajar membicarakan bahasa antara, keuniversalan
bahasa serta korolari. Hipotesis keluaran linguistik menyangkut sifat keluaran linguistik,
apakah formulaik atau tidak, kreatif atau monoton, bervariabel atau tidak, dinamis atau
statis, sistemis atau sistematis.
Kedudukan Bahasa Indonesia dalam Pemerolehan Bahasa Anak Indonesia
Bahasa Indonesia berkedudukan sebagai bahasa nasional dan bahasa resmi di Indonesia.
Dalam kedudukannya sebagai bahasa nasional, bahasa Indonesia mempunyai tiga fungsi,
yaitu: sebagai alat pemersatu suku-suku bangsa di Indonesia, sebagai lambang kebanggaan
dan identitas nasional, dan sebagai alat perhubungan antarbudaya dan antar- daerah. Dalam
kedudukannya sebagai bahasa resmi, bahasa Indonesia berfungsi sebagai bahasa resmi
dalam kepentingan kenegaraan, alat perhubungan pada tingkat nasional, bahasa pengantar
di lembaga-lembaga pendidikan di Indonesia, dan sebagai alat pengembangan kebudayaan,
ilmu dan teknologi. Bahasa Indonesia merupakan mata pelajaran pokok di SD, SMTP,
SMTA, bahkan sampai di perguruan tinggi.
Berdasarkan sensus penduduk tahun 1980 tercatat bahwa bahasa Indonesia dipakai sehari-
hari di rumah hanya oleh 12% penduduk Indonesia, bahasa Jawa 40 %, sedangkan bahasa
Sunda 15 %. Di antara 146 juta jiwa penduduk Indonesia hanya 12 % yang berbahasa
Indonesia sehari-hari. Golongan umur 25 – 49 tahun merupakan kelompok umur yang
tertinggi dalam pemakaian bahasa Indonesia, kelompok umur 15-24 tahun sebanyak 4.103.00
jiwa, sedangkan di kalangan anak-anak, kelompok 0-4 hanya sebesar 2.692.000 jiwa dan
kelompok umur 5-9 tahun sebesar 2.446.000 jiwa.
Berdasarkan jenis kelamin penduduk, jumlah penduduk kota, laki-laki dapat berbahasa
Indonesia sebesar 81% sedangkan yang perempuan 84 %. Di desa, jumlah penduduk laki-laki
dapat berbahasa Indonesia adalah 60 % sedangkan yang perempuan adalah 49%.
DKI Jakarta menduduki peringkat terbaik dalam keniraksaraan, yaitu hanya 5 % sedangkan
propinsi Nusa Tenggara Barat sebesar 53 %. Perolehan bahasa Indonesia dapat dilihat dari
beberapa sudut yaitu sebagai bahasa pertama atau bahasa kedua, oleh orang dewasa atau
anak-anak, di kota besar atau di desa.
Cukup besar perbedaan persentase anak belajar bahasa Indonesia sebagai bahasa pertama
dengan orang dewasa. Di kota besar 24,4 % berbanding 5 % dan di desa 16,2 % berbanding
3,2 %. Secara keseluruhan perbedaannya ialah 21,3 % untuk anak-anak dan 43 % untuk
orang dewasa. Hal itu berhubungan dengan pola berbahasa masyarakat kota dan desa, yang
lebih banyak menggunakan bahasa Indonesia untuk media dalam berbagai lingkungan
kebahasaan dan heterogenitas kebahasaan yang ada.
Di Amerika Serikat, setelah orang dan bahasa-bahasa India hampir lenyap dalam abad ke-19,
ada penambahan dari tahun 1950 ke tahun 1960 dan dari tahun 1960 ke tahun 1970. Pada
tahun 1975, + 17 % orang Amerika menyatakan memakai bahasa lain selain dari bahasa
Inggris dalam masa kanak-kanak.
Pemerolehan Bahasa Kedua
1. Bagi sebagian besar anak Indonesia, bahasa Indonesia bukan bahasa pertama
mereka, melainkan bahasa kedua, atau ketiga.
2. Pengenalan/penguasaan bahasa Indonesia dapat terjadi melalui proses pemerolehan
atau proses belajar.
3. Proses pemerolehan terjadi secara alamiah, tanpa sadar, melalui interaksi tak formal
dengan orang tua dan/atau teman sebaya, tanpa bimbingan.
4. Proses belajar terjadi secara formal, disengaja, melalui interaksi edukatif, ada
bimbingan, dan dilakukan dengan sadar.
5. Bahasa Pertama (B1) dan Bahasa Kedua (B2) didapat bersama-sama atau dalam
waktu berbeda. Jika didapat dalam waktu yang berbeda, Bahasa Kedua (B2) didapat
pada usia prasekolah atau pada usia Sekolah Dasar.
6. Bahasa Kedua (B2) dapat diperoleh di lingkungan Bahasa Pertama (B1) dan Bahasa
Kedua (B2). Jika diperoleh di lingkungan Bahasa Pertama, Bahasa Kedua dipelajari
melalui proses belajar formal; jika didapat di lingkungan Bahasa Kedua, Bahasa
Kedua didapat melalui interaksi tidak formal, melalui keluarga, atau anggota masya-
rakat Bahasa Kedua.
Empirisme Dalam Teori Belajar B2
1. Teori belajar behavioris bersifat empiris, didasarkan atas data yang dapat diamati.
2. Kaum behavioris berpendapat bahwa proses belajar pada manusia sama dengan proses
belajar pada binatang.
3. Kaum behavioris menganggap bahwa proses belajar bahasa adalah sebagian saja dari
proses belajar pada umumnya.
4. Menurut kaum behavioris manusia tidak memiliki potensi bawaan untuk belajar
bahasa.
5. Kaum behavioris berpendapat bahwa pikiran anak merupakan tabula rasa (kertas
kosong) yang akan diisi dengan asosiasi antara S dan R.
6. Menurut pandangan mereka semua perilaku merupakan respons terhadap stimulus.
Perilaku terbentuk dalam rangkaian asosiatif.
7. Belajar adalah proses pembentukan hubungan asosiatif antara stimulus dan respons
yang berulang-ulang. Pembentukan kebiasaan ini disebut pengkondisian.
8. Pengkondisian selalu disertai ganjaran sebagai penguatan asosiasi antara S dan R.
9. Bahasa manusia merupakan suatu sistem respons yang canggih yang terbentuk
melalui pengkondisian operant/belajar verbal (bahasa).
Rasionalisme dalam Teori Belajar B2
1. Teori belajar bahasa yang termasuk aliran rasionalisme ialah teori tata bahasa
universal, teori monitor dan teori kognitif.
2. Teori tata bahasa universal mencakup seperangkat elemen gramatikal atau prinsip-
prinsip yang secara alami ada pada semua bahasa manusia.
3. Prinsip-prinsip di atas merupakan hasil perangkat pemerolehan bahasa (LAD) yang
mencakup prinsip-prinsip universal substantif dan prinsip universal formal.
4. Menurut Chomsky prinsip universal “ditemukan” oleh anak membentuk “tata bahasa
inti” yang sama dalam semua bahasa. Di samping tata bahasa inti di dalam bahasa,
ada tata bahasa “periferal” yang tidak ditentukan oleh tata bahasa universal.
5. Krashen mengemukakan model belajar yang disebut “model monitor” yang mencakup
5 hipotesis, yaitu hipotesis perbedaan pemerolehan dan proses belajar bahasa,
hipotesis tentang urutan alamiah pemerolehan struktur gramatikal, hipotesis monitor,
hipotesis masukan, dan hipotesis saringan.
6. Menurut Krashen, belajar hanya dapat berfungsi sebagai monitor bila disertai dengan
kondisi yang memadai.
7. Melalui pemerolehan yang terjadi di bawah sadar anak-anak mendapatkan intuisi
bahasa (rasa bahasa), yang tidak diperoleh melalui proses belajar terutama pada tahap
awal.
8. Teori kognitif bersumber pada psikologi kognitif dan berfokus pada proses kognitif
yang lebih umum. Menurut teori kognitif, belajar bahasa terjadi sebagai pemerolehan
keterampilan kognitif yang kompleks. Untuk mencapai kemahiran bahasa sub-
subketerampilannya harus dilatih, diotomatisasikan, diintegrasikan, dan diorganisasi-
kan ke dalam sistem yang sudah dimiliki, yang selalu berubah strukturnya sesuai
dengan perkembangan kemahiran.
9. Pada tahun 80-an Titone mengajukan model belajar bahasa yang disebut model
Holodinamik (HDM). Model ini menunjukkan perpaduan ciri-cici aliran beha-
viorisme dan aliran kognitif serta sangat mementingkan aspek-aspek kepribadian.
Model ini mencakup tiga tingkat yaitu tingkat ego, strategi, dan taktik.
Peranan Pengajaran Bahasa dalam Memperoleh Bahasa Kedua
1. Pengajaran Bahasa Kedua (B2) adalah kegiatan yang dilakukan oleh seseorang untuk
memudahkan orang lain belajar.
2. Pengajaran mencakupi 3 unsur pokok dan banyak unsur yang merupakan konvensi.
Unsur pokok bersifat umum/universal sedangkan konvensi dibatasi oleh negara,
lingkungan, tujuan, waktu, kelompok.
3. Unsur pokok pengajaran ialah orang yang mengajar (guru), kegiatan/materi yang
dirancang untuk memudahkan belajar dan orang yang belajar.
4. Peranan pengajaran secara umum ialah dalam memberikan kemudahan agar siswa
Bahasa Kedua (B2) dapat mencapai tujuan belajar yang mencakupi sub-
subketerampilan membaca, menulis, berbicara, menyimak, dan mengapresiasi sastra
dalam Bahasa Kedua (B2).
5. Krashen menyatakan pengajaran yang diciptakan sebagai lingkungan kondusif
memegang peranan penting dalam memberikan masukan-masukan terutama bagi
siswa yang tidak mempunyai kesempatan memperoleh masukan dari lingkungan
informal.
6. Peranan pengajaran Bahasa Kedua (B2), berdasarkan unsur-unsur pokoknya dapat
dirinci sebagai peranan guru, materi/kegiatan belajar dan siswa.
7. Guru memegang peranan yang penting dalam memberikan kemudahan
menumbuhkan/memelihara/meningkatkan motivasi, mengorganisasikan siswa,
memilih/menentukan bahan ajar mengelola/mengarahkan kegiatan belajar,
memantau kemajuan, membantu siswa dalam kesulitan belajar.
8. Bahan/kegiatan belajar yang disediakan menentukan apa yang mungkin dikuasai
siswa dan bagaimana kualitas penguasaannya.
9. Siswa merupakan pusat pengajaran. Materi, kegiatan belajar, evaluasi disusun dengan
mempertimbangkan dan untuk kepentingan siswa. Pengajaran Bahasa Kedua (B2)
berpusat pada siswa dengan mempertimbangkan bagaimana siswa belajar B2.
Prinsip dan Metode Pengajaran B2
1. Belajar Bahasa Kedua (B2) adalah belajar dalam konteks pemakaian bahasa yang
sebenarnya.
2. Belajar Bahasa Kedua (B2) adalah belajar menggunakan Bahasa Kedua (B2) tersebut
dalam berbagai fungsinya.
3. Siswa harus dilatih menggunakan bahasa secara tepat.
4. Pengajaran bahasa perlu memperhatikan kebutuhan afektif dan kognitif pelajaran.
5. Pemahaman Budaya Bahasa Kedua (B2) perlu ditumbuhkan dalam pengajaran
Bahasa Kedua (B2).
6. Metode tata bahasa terjemahan tidak membuat siswa terampil menggunakan bahasa,
tetapi tahu tentang bahasa.
7. Metode langsung diterapkan melalui kegiatan dialog, tubian pola, dan penerapan.
Tubian yang dilakukan mencakupi tubian pengulangan dan tubian respons.
8. Tujuan pengajaran bahasa komunikatif ialah agar siswa dapat berkomunikasi dalam
permaian bahasa yang sebenarnya dalam bentuk bahasa yang diterima. Dalam
pelaksanaannya, jika diperlukan Bahasa Kesatu (B1) dan penerjemahkan dapat
digunakan. Tata bahasa diberikan.
9. Pengajaran dengan respons fisik total menekankan penguasaan kemampuan
menyimak pada awal pelajaran. Pemahaman dan retensi paling baik dipelajari melalui
gerakan fisik sebagai respons terhadap perintah guru. Kegiatan berbicara baru
dilakukan bila siswa sudah benar-benar siap. Proses siswa dilaksanakan melalui
langkah = latihan mendengarkan, produksi dan membaca serta menulis.
10. Pendekatan alamiah dikembangkan berdasarkan keyakinan bahwa penguasaan
bahasa lebih banyak terjadi melalui proses pemerolehan secara alamiah yang
digabungkan dengan teori monitor dan Krashen. Pendekatan ini dalam penerapannya
sangat mementingkan pemerolehan kosakata.
ASPEK INTERNAL DAN EKSTERNAL DALAM PEMBELAJARAN BAHASA Sunday, 11 December 2011 03:30 administrator
oleh : Meisil Yanda
Dapat berpikir dan berbahasa merupakan ciri utama yang membedakan manusia dengan
makhluk lainnya. Karena memiliki keduanya, maka sering disebut manusia sebagai makhluk yang
mulia dan makhluk sosial. Dengan pikirannya manusia menjelajah ke setiap fenomena yang
nampak bahkan yang tidak nampak. Dengan bahasanya, manusia berkomunikasi untuk
bersosialisasi dan menyampaikan hasil pemikirannya.
Salah satu objek pemikiran manusia adalah bagaimana manusia dapat berbahasa. Pendapat para
ahli tentang belajar bahasa tersebut bermacam-macam. Di antara pendapat mereka ada yang
bertentangan namun ada juga yang saling mendukung dan melengkapi. Pemikiran para ahli tentang
teori belajar bahasa ini begitu variatif dan menarik.
Sehubungan dengan begitu banyaknya teori tentang belajar bahasa, maka yang akan kami
kemukakan dalam makalah ini :
1.Dasar-dasar psikologi dalam pembelajaran bahasa
2.Faktor penentu dalam pembelajaran bahasa
3.Pemerolehan (acquisition) dan pembelajaran bahasa (learning)
PEMBAHASAN
1.DASAR-DASAR PSIKOLOGI DALAM PEMBELAJARAN BAHASA
A. Teori Behaviorisme
Menurut teori ini, semua perilaku, termasuk tindak balas (respons) ditimbulkan oleh
adanya rangsangan (stimulus). Jika rangsangan telah diamati dan diketahui maka gerak balas pun
dapat diprediksikan. Watson juga dengan tegas menolak pengaruh naluri (instinct) dan kesadaran
terhadap perilaku. Jadi setiap perilaku dapat dipelajari menurut hubungan stimulus - respons.
B. Teori Nativisme
Berbeda dengan kaum behavioristik, kaum nativistik atau mentalistik berpendapat bahwa
pemerolehan bahasa pada manusia tidak boleh disamakan dengan proses pengenalan yang terjadi
pada hewan. Mereka tidak memandang penting pengaruh dari lingkungan sekitar. Selama belajar
bahasa pertama sedikit demi sedikit manusia akan membuka kemampuan lingualnya yang secara
genetis telah terprogramkan. Mereka menganggap bahwa bahasa merupakan pemberian biologis.
C. Teori Kognitivisme
Jika pendekatan kaum behavioristik bersifat empiris maka pendekatan yang dianut golongan
kognitivistik lebih bersifat rasionalis. Konsep sentral dari pendekatan ini yakni kemampuan
berbahasa seseorang berasal dan diperoleh sebagai akibat dari kematangan kognitif sang anak.
Mereka beranggapan bahwa bahasa itu distrukturkan atau dikendalikan oleh nalar manusia.
D. Teori Konstruktvisme
Jean Piaget dan Leu Vygotski adalah dua nama yang selalu diasosiasikan dengan kontruktivisme.
Ahli kontruktivisme menyatakan bahwa manusia membentuk versi mereka sendiri terhadap
kenyataan, mereka menggandakan beragam cara untuk mengetahui dan menggambarkan sesuatu
untuk mempelajari pemerolehan bahasa pertama dan kedua.
E. Teori Humanisme
Teori humanisme dalam pengajaran bahasa pernah diimplementasikan dalam sebuah kurikulum
pengajaran bahasa dengan istilah Humanistic curriculum yang diterapkan di Amerika utara di
akhir tahun 1960-an dan awal tahun 1970-an. Kurikulum ini menekankan pada pembagian
pengawasan dan tanggungjawab bersama antar seluruh siswa didik. Teori ini menganggap bahwa
setiap siswa sebagai objek pembelajaran memiliki alasan yang berbeda dalam mempelajari
bahasa.[1][1]
2. FAKTOR PENENTU DALAM PEMBELAJARAN BAHASA
Melihat berbagai hipotesis pembelajaran bahasa merupakan sebuah proses yang cukup rumit
karena banyak faktor yang menentukan berhasil atau tidaknya suatu pembelajaran bahasa
tersebut. Ada beberapa faktor yang berkaitan dengan keberhasilan pembelajaran bahasa kedua,
diantaranya:
a) Faktor motivasi
Dalam pembeljaran bahasa kedua ada asumsi yang menyatakan bahwa orang yang dalam
dirinya ada keinginan, dorongan atau tujuan yang ingin dicapai daalm belajar bahasa kedua
cendrunh akan libih berhasil dibandingkan dengan orang yang belajar tanpa dilandasi oleh
sustudpronhan atau doronhan serta mitivasi.
Banyak pakar pembelajaran mengemukakan devenisi motivasi, diantaranya :
· Coffer (1964) menyatakan bahwa motivasi ialah dorongan, hasrat, kemauan, alasan atau
tujuan yang menggerakkan orang untuk melakukan sesuatu.
· Brown (1981) menyatakan bahwa motivasi ialah dorongan dai dalam, dorongan sesaat,
emosi atau keinginan yang menggerakkan seseorang untuk melakuka sesuatu.
· Lambert (1972) menyatakan bahwa motivasi ialah alasan untuk mecapai tujuan secara
keseluruhan.
Jadi bahasa merupakan doromhanyang datang dari dalam pembelajaran yang menyebabkan
pembelajaran memiliki keinginan yang kuat untuk mempelajari bagaha kedua.
Dalam pembelajaran bahasa kedua motivasi memiliki fungsi :
ü Fungsi integratif berfungsi kalau motivasi itu mendorong seseorang untuk mempelajari
suatu bahasa karena adanya keinginan untuk berkomonikasi dengan masyarakat
penuturbahasa itu.
ü Fungsi instrumental berfungsi kalau motovasi itu mendorong seseorang untuk memiliki
kemampuan untuk mempelajari bahasa kedua karena tujuan yang bermanfaat atau
karena dorongan ingin memperoleh pekerjaan.
b) Faktor usia
Ada anggapan umum bahwa dalam pembelajaran bahasa kedua bahwa anak-anak
lebih baik dan lebih berhasil dalam pembelajara bahasa kedua dibandingkan orang dewasa.
Anak-anak tampaknya lebih mdah memperoleh dahasa baru, sedangkan orang dewasa
tampaknya maendapatkan kesulitan dalam memporoleh tingkat kemahiran bahasa kedua.
Hasil penelitian mengenai faktor usia dalam pembelajaran bahasa kedua sebagai berikut :
1. Dalam hal urutan pemerolehan bahasa tampaknya faktor usia tidak terlalu berperan sebab
urutan pemerolehan bahasa oleh anak-anak dan orang dewasa adalah sama.
2. Dalam hal kecepatan dan keberhasilan belajar bahasa kedua dapat disimpulkan bahwa :
· Anak-anak lebih berhasil daripada orang dewasa dalam sistem fonologi.
· Orang dewasa lebih cepat maju dibandingkan anak-anak dalam bidang sintaksis dan
morfologi.
· Anak-anak lebih berhasil daripada orang dewasa, tetapi tidak selalu lebih cepat.
c) Faktor penyajian formal
Pembelajaran atau penyajian pembelajaran bahasa secara formal tentu memiliki
pengaruh terhadap kecepatan dan keberhasilan dalam memperoleh bahasa kedua karena
berbagai faktor dan fariabel telah dipersiapkan dan diadakan dengan sengaja. Demikian juga,
keadaan lingkungan penbelajaran bahasa kedua secara formal, di dalam kelas, sangat
berbeda dengan lingkugan penbelajaran bahasa kedua secara naturalistik dan alami.
Steiberg (1979:166) menyebutkan karakteristik lingkungan pembelajaran bahasa di
kelas ada lima segi yaitu :
1. Lingkungan pembelajaran bahasa dikelas sangat diwarnai oleh faktor psikologi sosial
kelas yang meliputi penyesuaian-penyusaian, disiplin, dan prosedur yang digunakan.
2. Di lingkungan kelas dilakukan praseleksi terhadap data linguistik, yang dilakukan guru
berdasarkan kurikulum yang digunakan.
3. Di lingkungan sekolah disajikan kaidah-kaidah gramatikal secara eksplisit untuk
meningkatkan kualitas berbahasa siswa yang tidak dijumpai di lingkungan alamiah.
4. Di lingkungan kelas sering disajikan dara dan situasi dahasa yang artifisial (buatan),
tidak seperti dalam lingkungan kebahasaan alamiah.
5. Di lingkungan kelas disediakan alat-alat pengaran seperti buku teks, buku penunjang,
papan tulis, tugas-tugas yang harus diselasaikan,dan sebagainya.
Kondisi lingkungan kelas yang khas dalam pembelajaran bahasa kedua, mempengaruhi
terhadap keberhasilan pembelajaran bahasa kedua, yaitu :
ý Pengaruh terhadap kompetensi
ý Pengaruh terhadap kualitas performansi
ý Pengaruh terhadap urutan pemerolehan
ý Pengaruh terhadapkecepatan pemerolehan
d) Faktor bahasa pertama
Para pakar pembelajaran bahasa kedua pada umumnya percaya bahwa bahasa pertama
mempunyai pengaruh terhadap proses penguasaan bahasa kedua, dan bahasa pertama ini
dianggap menjadi pengangu dalam proses pembelajaran bahasa kedua.
Gangguan bahasa pertama apat dihilangkan atau diminimalkan dalam beberapa teori, antara
lain :
ý Teori stimulus-respon
Yang dikemukakan oleh kaum behaviorisme, bahasa adalah hasil prilaku stimulus-
respon. Apabila seseorang mempelajar ingin memperbanyak penggunaan ujaran, dai harus
memperbanyak penerimaan stimulus. Peranan lingkungan sebagai sumber datangnya stimulus
menjadi dominan dan sangat penting dalam membantu proses pembelajaran bahasa kedua.
Selain itu kaum behaviorisme juga berpendapat bahwa proses pemerolehan bahasa adalah
pembiasaan. Maka, semakin pembelajar terbiasa merespon stimulus yang datang padanya,
semakin memperbesar kemungkinan aktivitas pemerolehan bahasa.
Jadi, penaruh bahasa pertama dalam bentuk transfer ketika berbahasa kedua akan besar
sekali apabila si pembelajar tidak terus- menerus diberikan stimulus bahasa kedua. Sacara
teoritis pengaruh ini memang tidak bisa dihilangkan karna bahasa pertama sudah merupakan
intake (dinuranikan) dalam diri si pembelajar. Namun, dengan pembiasaan-pembiasan dan
pemberian stimulus terus-menerus dalam bahasa kedua, pengaruh ini bisa dikurangi.
ý Teori kontrastif
Teori ini menyatakan bahwa keberhasilan belajar bahasa kedua sedikit banyaknya
ditentukan oleh keadaan linguistik bahasa yang telah dikuasai sebelumnya oleh si pembelajar.
Berbahasa kedua adalah suatu proses transferisasi. Jika struktur bahasa yang sudah dikuasai
(bahasa pertama) banyak mempunyai kesamaan dengan bahasa yang dipelajari, akan terjadinya
semacam pemudahan dalam presos transferisasinya, begitu juga dengan sebaliknya.
Menurut teori analisis kontrastif semakin besar perbedaanantara keadaan linguistik bahasa
yang telah dikuasai dengan linguistik bahasa yang hendak dipelajari, akan semakin besarlah
kesulitan yang dihadapi si pembelajar dalam usaha menguasai bahasa kedua yang dipelajarinya.
e) faktor lingkungan
Dulay (1985: 14) menerangkan bahwa kualitas lingkungan bahasa sangat penting bagi sorang
pembelajar untuk dapat berhasil dalam mempelajari bahasa baru (bahasa kedua). Lingkungan
bahasa disini adalah segala hal yang didengar dan dilihat oleh pembelajar sehubungan bahasa
kedua yang dipelajarinya.
Lingkungan bahasa dapat dibedakan kepada :
1. Lingkungan formal
Lingkungan formal adalah salah satu lingkungan dalam belajar bahasa yang memfokuskan
pada penguasaan kaidah-kaidah bahasa yang dipelajari secara sadar.
Krashen (1983: 36) menyatakan bahwa lingkungan formal ini meiliki ciri (1) bersifat artifisial,
(2) merupakan bagian dari keseluruhan pengajaran bahasa di sekolah atau di kelas, dan (3) di
dalamnya pembelajaran diarahkan untuk melakukan aktivitas bahasa yang menampilkan
kaidah-kaidah bahasa yang telah dipelajarinya.
Ellis (1986: 217) mengatakan lingkungan formal dapat dilihat pengaruhnya pada dua
aspek, yaitu :
ü Urutan pemerolehan bahasa kedua
ü Kecepatan atau keberhasilan dalam menguasai bahasa kedua
2. lingkungan informal
Lingkungan informal bersifat alami atuan natural. Yang termasuk dalam lingkungan ini
adalah bahasa yang digunakan oleh teman sebaya, bahasa pengasuh orang tua, bahasa yang
digunakan anggota kelompok etnis pembelajar, yang digunakan media massa, bahasa para
guru, baik dikelas maupun diluar kelas. Hasil penelitian Milon (1977) dan Plann (1977)
menunjukkkan bahwa bahasa teman sebaya lebih besar pengaruhnya daripada bahasa guru.
[2][2]
3. PEMEROLEHAN (ACQUISITION) DAN PEMBELAJARAN BAHASA (LEARNING)
Maksan (1993:19-20) menyatakan bahwa terdapat dua cara seseorang anak memperoleh
bahasa. Cara pertama diperoleh secara tidak sadar, informal, serta implisit. Cara pertama ini
disebut juga dengan pemerolehan bahasa (language acquisition). Cara kedua diperoleh dengan
adanya kehadiran guru, suasana kelas, dan dituntut adanya kurikulum, serta dilakukan dengan
cara sadar. Cara ini disebut sebagai pembelajaran bahasa (language learning), karena adanya
istilah pembelajar dan pengajar.
Situasi pemerolehan bahasa pertama seiring sejalan dengan penguasaan bahasa ibu (mother
tangue). Biasanya berlangsung pada umur 0;0 sampai 5;0. Sedangakan pembelajaran bahasa
berlangsung setelah umur 5;0. Hal ini umum terjadi pada anak normal serta pengklasifikasian ini
telah disepakati oleh para ahli psikolinguistik. Keseragaman proses ini juga telah ditelaah oleh
Chomsky melalui teori LAD-nya, bahwa proses pemerolehan bahasa pada anak mengalami tahap
yang sama. Proses ini terjadi pada seluruh anak normal.
Perkembangan bahasa pada anak bergantung pada maturasi otak, lingkungan,
perkembangan motorik dan kognitif, integritas struktural, dan fungsional dari organism (Sidiarto,
1991:134).
Di samping itu, pemerolehan bahasa secara linguistik, melingkupi pemerolehan fonologi,
sintaksis, semantik, dan pragmatik. Jakobson (dalam Dardjowodjojo, 2003:238—267) menyatakan
bahwa pemerolehan bunyi (fonologi) berjalan selaras dengan kodrat bayi tersebut. Bunyi pertama
yang diperoleh anak adalah bunyi vokal kemudian berturut-turut diperoleh bunyi konsonan. Pada
proses pemerolehan sitakasis, anak mulai berbahasa dengan mengucapkan satu kata (atau bagian
kata) dan dilanjutkan dengan pemerolehan kata berikutnya yang mulai menunjukkan kelengkapan
kata tersebut serta munculnya negasi belum dalam kalimat yang diujarkan anak. Pada tahap
pemerolehan semantik, anak mengawalinya dengan menentukan terlebih dahulu makna
berdasarkan masukan yang ia peroleh dan bagaimana anak menguasai makna tersebut.
Sedangkan dalam tahap pemerolehan pragmatik, anak dipengaruhi oleh lingkungannya. Di dalam
pemerolehan pragmatik, anak tidak hanya berbahasa tetapi juga memperoleh tindak berbahasa.
Tahapan ini pada umumnya dilalui oleh anak secara realtif lancar
Pemerolehan bahasa atau akuisisi bahasa adalah proses yang berlangsung di dalam otak
kanak-kanak ketika dia memperoleh bahasa pertamanya atau bahasa ibunya. Pemerolehan
bahasa biasanya dibedakan dengan pembelajaran bahasa. Pembelajaran bahasa berkaitan dengan
proses-proses yang terjadi pada waktu seorang kanak-kanak mempelajari bahasa kedua
setelah dia memperoleh bahasa pertamanya. Jadi, pemerolehan bahasa berkenaan
dengan bahasa pertama, sedangkan pembelajaran bahasa berkenaan dengan bahasa kedua
(Chaer, 2003:167). Hal ini perlu ditekankan, karena pemerolehan memiliki karakteristik yang
berbeda dengan pembelajaran (Cox, 1999).[3][3]
Ellis (1986:215) menyebutkan terdapat dua tipe pembelajaran bahasa:
ü Tipe natualistic
Tipe natualistic ini bersifat alamiah, tanpa guru dn tanpa kesengajaan. Misalnya :
seorang anak-anak yang menggunakan bahasa pertamanya bahasa aceh, begitu dia keluar
rumah bermain dengan teman sebayanya yang berbahasa minangkabau, maka iatersebut
berusaha menggunakan bahasa minang tersebut.
Jadi, belajar bahasa menurut tipe ini sama prosesnya dengan pmerolehan bahasa pertama
yang berlangsungsecara alamiah dilingkungan keluarganya, namun tentu adanya
perbedaan antara hasil yang diperoleh anak-anak dengan orang dewasa.
ü Tipe formal dalam kelas
Tipe formal ini berlangsung di dalam kelas dengan guru, materi, dan alat-alat bantunya
telah disiapkan. Seharuskan hasil yang dipeoleh di dalam kelas lebih berhasil
dibandingkan dengan hasil naturalistic.[4][4]
PENUTUP
1. Kesimpulan
Dari uraian di atas penulis dapat mengambil kesimpulan:
a. Dasar –dasar psikologi dalam pembelajaran bahasa
· Teori Behaviorisme
· Teori Nativisme
· Teori Kognitivisme
· Teori Konstruktvisme
· Teori Humanisme
b. Faktor penentu dalam pembelajaran bahasa
· Faktor motivasi
· Faktor usia
· Faktor bahasa pertama
· faktor lingkungan
· Faktor penyajian formal
c. Pemerolehan dan pembelajaran bahasa
Dalam pemerolehan dan pembelajaran bahasa terdapat dua. Cara pertama diperoleh secara
tidak sadar, informal, serta implisit. Cara pertama ini disebut juga dengan pemerolehan bahasa
(language acquisition). Cara kedua diperoleh dengan adanya kehadiran guru, suasana kelas, dan
dituntut adanya kurikulum, serta dilakukan dengan cara sadar. Cara ini disebut sebagai
pembelajaran bahasa (language learning), karena adanya istilah pembelajar dan pengajar.
2. Saran
Semoga dengan uraian ini dapat menambah wawasan pemahaman kita bagaimana dalam
mempelajari bahasa, baik dari segi dasar-dasarnya maupun dalam pemerolehan dan pembelajaran
bahasa tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Chaer, Abdul. 2003. Psikolinguistik Kajian Teoritik. Jakarta: PT. Rineka Cipta
http://humbud.uin-malang.ac.id/index.php?option=com. psycholinguistic -
umum&catid = 117:psycholinguistik&Itemid=105. Diakses tgl 12/05/2010
http://eri-s-unpak.blogspot.com/. Diakses tgl 12/05/2010.
[1][1] http://eri-s-unpak.blogspot.com/. Diakses tgl 12/05/2010.
[2][2] Abdul Chaer, Psikolinguistik Kajian Teoritik, Jakarta: PT. Rineka Cipta. 2003. h. 251-260
[3][3]http://humbud.uinmalang.ac.id