Upload
lydia-susanti
View
37
Download
1
Embed Size (px)
Citation preview
PERAN NYERI KATASTROPIK DALAM MEMEDIASI HUBUNGAN
ANTARA ANXIETAS PREOPERASI DENGAN NYERI AKUT PASCA
HISTEREKTOMI
ABSTRAK
Studi ini menilai peranan variabel demografi, klinis dan psikologis sebagai prediktor nyeri akut pasca operasi pada wanita yang menjalani histerektomi akibat tumor jinak. Sebanyak 203 sampel diambil secara konsekutif sampling dan dinilai 24 jam pre (T1) dan 48 jam pasca (T2) operasi. Nyeri pada awal sebelum menjalani operasi dan beberapa prediktor dinilai pada T1 dan analgetic dinilai setelah operasi. Beberapa faktor yang membedakan wanita yang tidak nyeri atau nyeri ringan dengan wanita yang mengalami nyeri sedang dan berat adalah usia lebih muda, memiliki nyeri preoperasi dan memiliki kondisi psikologis yang kurang baik. Usia muda (odds ratio [OR] = 0.90, p<0.001), nyeri preoperasi (OR=2.50, P<0.05), nyeri akibat penyebab lain (OR=4.39, P=0.001), dan nyeri katastropik (OR=3.37, p=0.001) menjadi predictor utama severitas nyeri pada T2. Hasil ini telah dikonfirmasi dengan regresi linear bertingkat (masing-masing = -0.187, P<0.05 ; = 0.146, P<0.05 ; = 0.136, P,0.05 ; = 0.245, P<0.01). Ansietas preoperasi dapat memprediksi intensitas nyeri pasca operasi. Studi ini mendapatkan bahwa faktor demografi, klinis dan psikologis menentukan intensitas dan severitas nyeri pasca operasi. Melalui analisis mediasi lebih lanjut, nyeri katastropik muncul sebagai mediator penuh antara ansietas preoperasi dengan intensitas nyeri pasca operasi. Pada studi ini dibahas implikasi klinis potensial untuk memahami, menilai dan mengintervensi nyeri pascaoperasi.
Pengantar
Histerektomi merupakan jenis operasi yang paling banyak dijalani oleh
wanita. Di Portugal, setiap tahunnya dilakukan sekitar 11.000. Di Amerika Serikat,
histerektomi dilakukan 600.000 setiap tahunnya. Nyeri akut merupakan masalah yang
sering timbul setelah operasi, ini kemungkinan terjadi akibat respon fisiologis
terhadap noxious, termis atau stimulus mekanis yang berhubungan dengan
pembedahan, trauma dan penyakit akut. Pasien dengan prosedur operasi yang sama
memiliki respon nyeri yang berbeda sehingga memerlukan analgetik yang berbeda
pula, hal ini karena nyeri bukan hanya sebuah pesan sensorik primitif akibat trauma
jaringan, namun merupakan sebuah pengalamam psikologis yang kompleks. Kondisi
psikologis bisa memicu atau menghambat rangsang nosiseptif melalui modulasi
traktus desenden. Teori nyeri “Gate control” dan “neuromantix teory” menyatakan
1
bahwa nyeri merupakan pengalaman subjektif yang multidimensional, yang terdiri
dari interaksi kompleks antara sensorik - diskriminatif, motivasi - afektif serta
kognitif – dimensi evaluasi.
Sebuah sitematik review baru-baru ini menduga bahwa nyeri yang sudah ada
sebelum operasi, ansietas, umur dan jenis operasi merupakan faktor prediktor yang
paling berperan pada intensitas nyeri pasca operasi. Nyeri hebat dan nyeri kronik yang
sudah ada sebelumnya juga merupakan prediktor signifikan pada nyeri pasca operasi.
Studi terbaru oleh dokter anestesi di New Zealand dan Australia mendapatkan
ansietas preoperasi, katastropik, neurocritism dan depresi berhubungan dengan
intensitas nyeri pascaoperasi.
Nyeri akut pascaoperasi meningkatkan morbiditas dan mortalitas pascaoperasi,
serta meningkatkan biaya perawatan dan memperpanjang masa rawat inap. Secara
keseluruhan memberikan efek yang merugikan secara fisiologis dan psikologis.
Secara psikologis, hal ini bisa memperngaruhi metabolik, imunitas, sistem
kardiovaskuler, sistem gastrointestinal (melalui terapi nyeri, terutama opioids), dan
berbagai sistem lainnya, dengan komplikasi dan biaya tinggi. Secara psikologis, hal
ini berhubungan dengan tingginya tingkat distress, meningkatnya ansietas, kesulitan
tidur, merasa diri tidak bisa tertolong lagi, kehilangan kontrol, kesulitan berfikir dan
berinteraksi dengan orang lain. Semua hal diatas bisa merubah persepsi nyeri dan
menginisiasi lingkaran setan yang mengakibatkan berkembangnya nyeri kronik.
Kesimpulannya, nyeri pasca operasi dapat dianggap sebagai sebagai masalah,
terutama masalah klinis, ekonomis, humanisme dan sosial, sehingga penting untuk
menambah pengetahuan dalam menentukan prediktor mengenai faktor-faktor yang
secara potensial dapat dimodifikasi pada nyeri akut pascaoperasi untuk memfasilitasi
dan mengintervensi dini pasien yang berisiko.
Sangat sedikit diketahui kontribusi demografi, psikologis dan faktor-faktor
operasi terhadap nyeri akut pasca operasi. Terlebih lagi, sangat sedikit penelitian
mengenai nyeri akut pasca operasi histerektomi. Kebanyakan studi berfokus pada
pengaruh operasi terhadap emosi dan seksual, dan beberapa penelitian ditujukan
terhadap pengaruh histerektomi terhadap nyeri kronik.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menilai prediktor independen atau
prediktor gabungan variabel demografi, klinis dan psikologis pada pasien yang
menjalani histerektomi. Studi ini juga menilai efek potensial langsung dan mediasi
prediktor psikologis.
2
2. Metode
2.1. Partisipan dan Prosedur
Penelitian dilakukan di rumah sakit pusat di Portugal utara. Prosedur
penelitian sudah disetujui oleh Komite etik rumah sakit. Penelitian ini merupakan
studi prospektif kohort, dengan 2 kali penilaian (T1 dan T2) yang diadakan dari bulan
Maret 2009 sampai dengan September 2010. Setelah mengisi lembar persetujuan,
sebanyak 203 pasien menjalani histerektomi. Kriteria inklusi adalah umur 18-75 tahun
dan mampu memahami materi kuisioner. Kriteria eksklusi adalah pasien dengan
diagnosis gangguan psikiatri atau neurologi dan menjalani histerektomi akibat tumor
ganas dan histerektomi emergensi.
Peserta penelitian dinilai 24 jam sebelum (T1) dan 48 jam (T2) setelah operasi
di rumah sakit. Follow up nyeri kroniknya, dilakukan malalui telepon ( 4 bulan dan 12
bulan kemudian). Dari T1 dan T2, 8 wanita tidak bisa difollow up (3,94%) karena
operasi dibatalkan (n=3), pulang lebih cepat pascaoperasi (n=2), dan tidak ada
penilaian pasca operasi (n=1). Sisanya sebanyak 195 wanita diikutsertakan dalam
penelitian. Karakteristik klinis dan sosiodemografi ditampilkan pada tabel 1. Umur
rata-rata 51.0 tahun (SD=9.22), 124 (63,6%) wanita memiliki pendidikan formal
kurang dari 4 tahun dan 60 (30,8%) tinggal di daerah terpencil.
2.2. Pengukuran
Sebelum penelitian, semua kuesioner dan prosedur kerja dicobakan kepada 20
wanita untuk menilai kemampuan mereka. Semua wanita ini menjalani histerektomi
di rumah sakit tempat dilakukan penelitian, dan memiliki karakteristik demografi dan
klinis yang sama dengan sampel penelitian.
2.2.1. Penilaian preoperasi - Ukuran prediktif
Saat masuk RS, 24 jam sebelum operasi (T1), mengisi kuesioner awal melalui
wawancara dengan seorang psikolog terlatih.
3
2.2.1.1. Kuesioner data klinis dan demografik
Kuesioner ini meliputi pertanyaan mengenai umur, pendidikan, alamat, status
pernikahan, profesi, kondisi rumah tangga dan paritas, nyeri sebelumnya, nyeri akibat
penyebab lain, riwayat operasi sebelumnya, tinggi dan berat badan, menopause,
diagnosis/indikasi hirterektomi dan onset penyakit, dan penggunaan obat
psikotropika.
2.2.1.2. Brief pain inventory – Short Form
Digunakan untuk pasien yang mengalami nyeri preoperasi. Brief Pain Inventory –
Short Form (BPI-SF) digunakan untuk mengukur intensitas nyeri dengan mengukur
11 poin Numerical Rating Scale (NRS) dengan nilai mulai dari 0 (tidak ada nyeri)
sampai 10 (nyeri terberat yang dirasakan), analgetik, persepsi terhadap pereda nyeri
(0-100%), pengaruh nyeri terhadap aktivitas harian (aktifitas umum, mood, berjalan,
bekerja, hubungan dengan orang lain, tidur dan menikmati hidup, skala 0-10), dan
lokasi nyeri. Pada penelitian ini, konsistensi reliabilitas internal untuk subskala pain
interfensi sangat tinggi ( = 0,93).
2.2.1.3. Hospital Anxiety and Depression Scale.
Hospital Anxiety and Depression Scale (HADS) terdiri dari 7 subskala yeng
mengukur ansietas (HADS-A) dan depresi (HADS-B) diantara pasien nonpsikiatrik.
Respon kuesioner berupa skor dari 0-30. Sedangkan skor untuk subskala terdiri 0
sampai 21. Skor yang tinggi mengindikasikan tingginya tingkat ansietas dan depresi.
Pada percobaan ini, konsistensi reliabilitas internal cukup adekuat, baik untuk ansietas
(T1: =0,79) dan depresi (T1 : = 0,79).
2.2.1.4. Pain Catastrophizing Scale of the Copying Strategies Questionnaire – Revised
form (CSQ-R).
Pain Catastrophizing Scale of the Copying Strategies Questionnaire – Revised form
(CSQ-R) dengan 6 subskala untuk menilai beratnya nyeri. Item dibuat menjadi 5
skala (1= tidak pernah, 2=hampir tidak pernah, 3=kadang-kadang, 4=hampir selalu,
dan 5=selalu). Kuesioner ini berbeda dengan versi original yang terdiri dari 7 skala
yang pada studi pendahuluan membuat pasien kesulitan dalam membedakan 7 skala
4
tersebut. Untuk mendapatkan skor total, jumlah skor seluruh item dibagi dengan
jumlah item. Skor berkisar antara 1 sampai 5, dengan semakin tinggi skor
mengindikasikan penggunaan strategi coping yang spesifik. Pada sampel ini,
konsitensi koefisian reliabilitas internal cronbach alpha 0,87, yang menandakan
reliabilitas yang baik.
2.2.2. Prosedur operasi dan teknik anestesi
Data klinis yang berkaitan dengan operasi dan anestesi diperoleh dari rekam medis.
Dari 195 wanita yang menjalani operasi, 142 (72,8%) menjalani histerektomi total
abdominal, 34 (17,4%) menjalani vaginal histerektomi, 13 (6,7%) menjalani total
laparaskopi vaginal histerektomi. Prosedur yang juga dijalani adalah ooporektomi,
sistektomi ovarium, salpingektomi, sistoskopi, atau repair vagina. Pada abdominal
histerektomi (n=142), sebanyak n=119 menjalani insisi abdominal Pfannenstiel atau
vertikal (n=23), dengan Pfannenstiel menjadi pilihan pertama dan insisi vertical
menjadi pilihan jika terdapat scar bekas operasi sebelumnya yang vertikal dan pada
pasien laparatomi eksplorasi. Seluruh pasien diukur panjang dan berat uterus. Tipe
anestesi diklasifikasikan sebagai : anestesi umum (n=57, 29,2%), lokoregional (n=24,
12,3%) atau kombinasinya (umum dan lokoregional n=114, 58,4%) dan skor
American Society of Anesthesiologist (berdasarkan klasifikasi dari status fisik pada
American Society of Anesthesiologist) telah dicatat termasuk kasus-kasus yang
didapatkan dari American Society of Anesthesiologist grade I (58, 29,7%), grade II
(123, 63,1%) dan grade III (14, 7,2%).
2.2.3 Penilaian Pasca Operasi
2.2.3.1 Pengukuran outcome primer: Nyeri akut pasca operasi.
Seluruh sampel ditanyakan mengenai nyeri terhebat dan nyeri rata-rata yang mereka
alami 48 jam pertama pascaoperasi berdasarkan 11 point Numerical Rating Scale
(NRS dari BPI-SF) juga telah dideskripsikan sebelumnya.
2.2.3.2 Penilaian Klinis.
5
Data klinis yang berhubungan dengan operasi, anestesi, dan analgesik diperoleh dari
data rekam medik. Informasi tentang tipe histerektomi dan berat dan panjang uterus
telah dicatat. Terfokus pada anestesi, tipe anestesi berdasarkan skor American Society
of Aneshtesiologist juga telah dikumpulkan. Selain itu, informasi tentang penggunaan
obat psikotropika selama berada di rumah sakit dan lamanya pasien berada di rumah
sakit juga dicatat. Selain NRS, pada sampel juga dinilai penggunaan obat pereda
nyeri dengan menggunakan skala 0 hingga 100% dari BPI-SF.
Semua pasien menjalani standar individual 48 jam protokol analgesik yang
ditentukan dan disupervisi oleh acute pain service dan ditetapkan sebelum pasien
dipindahkan ke rumah sakit. Analgesik diberikan secara epidural atau intravena.
Standar protokol epidural berupa : (1) infus epidural kontinu (dengan balon infus)
menggunakan ropivacaine (0,1%) dan fentanyl (3mg/ml), atau (2) dengan bolus
morphin epidural (2-3 mg, 12/12 jam). Protokol intravena dengan infus intravena
kontinu (dimasukkan dengan balon infus) menggunakan tramadol (600mg),
metamizol (6g), dan metoklopramid (60mg). Parasetamol (1g 6/6 jam) dan NSAID
(ketorolac 30 mg 12/12 jam atau parecoxib 40 mg 12/12 jam) digunakan sebagai
terapi analgesik adjuvant. Semua regimen analgesik termasuk tatalaksana dengan
prokinetic telah distandarisasikan dengan metoclopramid (10mg melalui intravena 8/8
jam). Semua protokol diberikan pada keadaan nyeri sedang sampai nyeri berat akut
pascaoperasi (NRS ≥4). Karena besarnya variabilitas dari jenis obat analgesik dan
dosis obat analgesik, tidak ada percobaan yang dilakukan untuk menentukan dosis
total obat analgesik. Hal itu sebaiknya dicatat dalam pemberian obat analgesik
sebagai pertolongan kepada pasien.
2.3 Analisis Statistik
Penelitian ini menggunakan perangkat lunak G power, versi 3.12 yang
digunakan untuk menentukan jumlah sampel yang dibutuhkan untuk menguji efek
yang diharapkan. Dengan 147 peserta, menggunakan confident interval 95% untuk
mendeteksi efek 0,15 (ukuran efek menengah), asumsi kesalahan tipe I nya sekitar 5%
dan 6 prediktor termasuk kedalam analisis regresi linier. Berdasarkan penelitian
sebelumnya yang telah dilakukan oleh tim dengan sampel serupa, kami
mengharapkan 15% tingkat pengurangan dari T1-T2. oleh karena itu, dengan hanya
mengumpulkam 167 pasien dijamin cukup untuk sampel statistik. Mengingat bahwa
6
penelitian ini merupakan bagian dari studi kohort prospektif yang lebih besar (4
tempat), ada 203 total pasien yang dimasukkan ke dalam penelitian ini. Data yang
didapat dianalisis menggunakan paket statistik untuk ilmu sosial versi 18.0 (SPSS.
Inc. Chicago, Illnois, USA). Konsistensi internal dari respon terhadap kuesioner
dinilai menggunakan Cronbach Alpha. Hasil variabel dari penelitian ini adalah level
terburuk dari nyeri akut pasca operasi yang dinilai sebagai variabel dikotomis
(severitas nyeri) atau sebagai variabel kontinu (intensitas nyeri : NRS 0 hingga 10).
Untuk hasil dikotomis, pasien diklasifikasikan kedalam 2 kelompok, tidak ada nyeri
atau nyeri minimal (NRS ≤3) dan nyeri sedang atau berat (NRS ≥4). Pemilihan titik
potong berdasarkan (1) prosedur analgesik yang spesifik dari rumah sakit dengan
NRS ≥4 menentukan admisnistrasi lanjut dari analgetik (2) rekomendasi dari
penelitian lain menunjukkan bahwa batas ini yang menentukan konsekuensi dengan
batas tingkatan fungsional yang lebih tinggi dari batas fungsional saat pasien
menyatakan nyeri di tingkat 4 atau lebih.
Uji T dan uji X2 dilakukan untuk membandingkan ukuran demografik, klinik,
dan psikologi antara pasien dengan dan tanpa nyeri sedang atau berat setelah operasi.
Selanjutnya, koefisien Pearson correlation juga dihitung pada variabel penelitian
untuk menentukan variabel predictor yang akan dilakukan analisis regresi.
Analisis regresi logistik dilakukan untuk menentukan faktor risiko nyeri
sedang sampai berat, dengan severitas nyeri sebagai outcome. Analisis regresi linear
multiple digunakan untuk menentukan predictor yang signifikan terhadap nyeri hebat
pascaoperasi. Varabel yang dimasukan ke regresi linear dan logistic adalah ada
variabel yang dapat membedakan 2 kelompok nyeri (P≤.001) atau variabel yang
berhubungan kuat dengan intensitas nyeri (P<.001). Selain itu, analisis regresi
univariat, berdasarkan penelitian sebelumnya dapat digunakan dalam menentukan
pemilihan variabel yang akan dianalisis regresi multiple bertingkat. Untuk mengontrol
pengaruh multikolinearitas, kami menghitung variasi inflasi untuk setiap variabel
independen. Variabelnya masuk jika variasi faktor inflasi <3. Pilihan untuk
menggunakan kedua logistik dan linear regresi untuk menilai prakiraan nyeri akut
pasca operasi dikedua severitas dan intensitas sebagai variabel yang dihasilkan.
Replikasi temuan memalui 2 prosedur akan memperkuat kesegaran/kesehatan mereka.
Untuk analisis mediasi, dan untuk menghindari permasalahan dengan metode
Baron dan Kenny, dan uji Sobel untuk menguji mediasi, Preacher dan Hayes (2008)
metode bootstrapping digunakan untuk menguji efek tidak langsung. Untuk uji
7
mediasi, dinilai perbedaan antara beberapa efek dan tingkat respon. (Fig. 1). Semua
efek anxietas, sebelum operasi pada intensitas nyeri sesudah operasi (derajat c) terdiri
dari kedua efek anxietas sebelum operasi pada intensitas nyeri pasa operasi (derajat
c’), dan efek tidak langsung sebelum operasi pada intensitas nyeri pasca opersi
melalui sebuah mediator, itu adalah nyeri katastropik (derajat ab). Efek ansietas
sebelum operasi pada nyeri katastropik di representasikan sebagai derajat a, dimana
derajat b adalah efek dari nyeri katastropik pada intensitas nyeri pasca operasi. Untuk
menilai efek tidak langsung ini, metode bootstrapping telah digunakan untuk
menjelaskan prosedur oleh Preacher dan Hayes. Secara khusus, poin perkiraan dan
koreksi bias 95% dan percepatan boostrapping derajat kepercayaan telah diperkirakan
dengan 5000 boostrapping resamples.
3. Hasil
3.1 Sosiodemografik, Klinis, dan Karakteristik Psikologi
Enam puluh lima wanita melaporkan ketidakadaan nyeri atau nyeri ringan (NRS ≤3)
setelah operasi, sedangkan 130 melaporkan nyeri sedang hingga nyeri berat.
(NRS≥4). Table 1 menunjukkan sosiodemografik dan karateristik klinis dari kedua
keseluruhan sampel pasien dari masing-masing kelompok derajat nyeri (NRS≤3 dan
NRS≥4). Kedua kelompok grup tidak berbeda dari segi usia dan sosiodemorafik.
Selain dari usia, Selain usia lebih muda (t=4,55; p<0,0001), premenopouse juga
menjadi predictor nyeri sedang pascaoperasi (x2=17,42; p<0,01) atau penyebab
lainnya (x2=17,42; p<0,01) (tabel 1). Selain itu, para wanita menunjukkan profil
fisiologi yang lebih buruk (tabel 1), menunjukkan anxietas yang lebih (t=-4,17,
p,0,001), depresi (t=-2,53) dan nyeri katastropik (t=-4,90, p<0,001) (tabel 1).
8
Dampak operasi histerektomi abdominal lebih berhubungan secara signifikan
terhadap tingkat nyeri sedang dan berat dibandingkan dengan histerektomi vaginal
(x2=10,63, p=0,001) (tabel 2). Kedua kelompok tidak menunjukan adanya perbedaan
berdasarkan parameter klinis seperti berat dan panjang dari uterus, tipe anestesi atau
tipe analgesik (tabel 2). Kesimpulannya, dalam 48 jam pasca operasi (T2), perempuan
dengan tingkat nyeri sedang sampai berat telah diberi analgesik yang banyak jika
dibandingkan dengan perempuan yang tidak atau hanya mengalami nyeri ringan
pascaoperasi (Tabel 2).
9
3.2. Faktor Risiko Severitas Nyeri Pascaoperasi
Untuk menilai faktor risiko yang berhubungan dengan severitas nyeri pasca
operasi, dilakukan regresi logistic (tabel 3) dengan outcome dikotomis (2 kelompok
nyeri: tak ada nyeri atau nyeri ringan, NRS ≤3; dengan nyeri sedang hingga berat,
NRS≥4).
Usia termasuk dalam langkah pertama, dan tipe dari histerektomi dimasukkan sebagai
langkah kedua karena signifikasinya pada analisis sebelumnya. Nyeri sebelum operasi
(ada, tidak) dimasukkan dengan nyeri karena penyebab lain (ada, tidak) pada langkah
ketiga. Pada langkah keempat dan kelima, ansietas dan nyeri katastropik juga
ditambahkan secara berurutan, variabel psikologis dianggap memiliki pengaruh yang
paling besar pada kejadian nyeri pascaoperasi, dengan mempertimbangkan analisis
univariat sebelumnya atau hasil dari penelitian lainnya. Yang ditunjukkan pada tabel
3, variabel yang muncul sebagai prediktor tingkat keberatan nyeri pada model akhir
adalah usia (OR=0,90) tingkat kepercayaan 95% [CI] 0,86 hingga 0,95, p<0,001),
nyeri preoperasi (OR = 4,39, 95% CI 1,12 – 5,60, P< 0,05), nyeri akibat penyebab
lainnya ( OR = 4,39, 95%, CI 1,83 – 10,5, P=0,001), dan nyeri katastropik ( OR =
3,37, 95 %, CI 1,63 -6,95, P=0,001 ), dengan wanita yang usianya lebih muda dan
10
adanya peningkatan level dari 3 karakteristik lainnya memiliki kemungkinan yang
lebih tinggi pada kelompok dengan tingkat nyeri sedang. Tipe histerektomi dan
ansietas preoperasi merupakan prediktor yang tidak signifikan pada hasil akhir.
Meskipun begitu, ansietas preoperasi merupakan prediktor yang signifikan pada
langkah ke 4, sebelum dilakukan koreksi dari nyeri katastropik (OR= 1,09, 95%, CI
1,00-1,19, P< 0,05). Setelah nyeri katastropik dimasukkan pada langkah ke-5, ansietas
preoperasi tidak lagi signifikan (OR= 0,96, 95%, CI 0,86-1,08, tidak signifikan).
3.3 Prediktor intensitas nyeri pascaoperasi
Tabel 4 menunjukkan koefisien korelasi Pearson antara intensitas nyeri pascaoperasi
dan variabel lainnya. Intensitas nyeri pascaoperasi memiliki hubungan yang signifikan
dengan usia (r= -0,29, p,0,001) dan intensitas nyeri sebelumnya (r=0,33, p<0,001),
juga memiliki hubungan yang signifikan dengan psikologi, seperti ansietas sebelum
operasi (r=0,28, p<0,001) dan nyeri katastropik (r=0,35, p<0,001). Hasil penelitian ini
telah digunakan untuk menentukan prediktor yang termasuk dalam model regresi.
11
Untuk menentukan prediktor pada nyeri pascaoperasi, dilakukan analisis
regresi linear bertingkat (tabel 5). Model regresi memiliki persepsi nyeri yang sama
dengan rasa nyeri yang dirasakan (tabel 3). Selanjutnya kita berusaha untuk
memahami dan menjelaskan hubungan spesifik antara ansietas preoperasi dan nyeri
katastropik dengan nyeri pascaoperasi. Hasil dari analisis regresi linear bertingkat
ditunjukkan pada tabel 5, menunjukkan model awal dengan mereplikasi hasil yang
diperoleh untuk 3 langkah regresi logistik pertama (tabel 3), pada langkah ke 4,
ansietas preoperasi terbukti memiliki prediksi yang signifikan (b=0,184 , p=0,005)
menunjukkan variasi tambahan pada intensitas nyeri. Langkah terakhir dimasukkan
catastropizing, hasil juga menunjukkan 3,9 % variasinya sebagai prediktor signifikan
( B= 0,245, P=0,002). Sedangkan variabel lain masih menjadi prediktor signifikan
yang berhubungan dengan kecemasan pre-operasi tidak lagi signifikan (B =0,048, P =
0,554).
Variasi tambahan pada model awal (4 langkah pertama) adalah 20,2%. Sedangkan
perbedaan dijelaskan oleh model akhir meningkat sampai 24,0%. Dimasukkan nyeri
catostrapping pada model meningkatkan variasi dan tampak efek penuh mediasi
antara kecemasan dan nyeri post-operasi. Analisis berikutnya menunjukkan potensial
pengobatan.
3.4 Analisis Mediasi
Kami menginvestigasi hipotesis mediasi selanjutnya dengan menggunakan
metode preacher dan haye’s bootstrapping untuk menilai efek tidak langsungnya.
Oleh karena itu kami menguji apakah efek dari kecemasan preoperasi pada nyeri
pascaoperasi dimediasi oleh katastropik (Gambar.1). Kecemasan preoperasi
berpengaruh signifikan terhadap nyeri pascaoperasi (c=0.19, SE=0.05 p=0.0001) dan
dengan katastropik (a=0.12), SE=0.01, p<0.001). Selain itu, katastropik berpengaruh
dan signifikan dengan intensitas nyeri pascaoperasi (b=0.89, SE=0.27, p=0.001).
Ketika katastropik dinilai sebagai sebuah mediator, efek langsung ansietas
preoperasi dengan nyeri pascaoperasi tidak memiliki hubungan yang signifikan
(c’=0.09, SE=0.06, Gambar), dan hubungan langsung ansietas preoperasi dengan
nyeri pascaoperasi (contoh. Mediasi sederhana) memiliki hubungan signifikan
(ab=0,11, SE=0,03) seperti derajat kepercayaan bootstrapping (bias dikoreksi dan
diaselerasi 95% CI ;0,04-0,17 dengan 5000 resampel) dengan mengeksklusi 0. Hasil
12
penelitian ini mendukung efek mediasi katastropik ansietas preoperasi dan nyeri
pascaoperasi.
4. Diskusi.
Hasil penelitian mengidentifikasi kontribusi independen dan secara bersama
faktor demografi, dan faktor risiko klinis dan psikososial terhadap nyeri pascaoperasi
setelah histerektomi akbat tumor jinak. Ini juga menunjukkan studi pertama yang
menunjukkan peran mediasi dari katastropik antara ansietas preoperasi dan nyeri
pascaoperasi, dan menunjukkan ansietas preoperai tidak bisa memprediksi nyeri
pascaoperasi, namun dimediasi oleh nyeri katastropik..
4.1. Prediktor nyeri preoperasi sedang/berat setelah histerektomi
Beberapa faktor preoperasi membedakan wanita yang tidak/mempunyai nyeri
ringan dengan yang mempunyai nyeri sedang hingga berat, seperti usia lebih muda,
mempunyai tingkat nyeri preoperasi yang lebih tinggi yang menunjukkan profil
psikologis kognitif dan emosi yang buruk.
Terkait dengan prediktor sosiodemografi dalam kedua analisa regresi (logistik
dan linear), wanita yang lebih muda berisiko lebih tinggi mengalami nyeri
pascaoperasi lebih berat, baik severitas maupun intensitasnya. Hal ini sama dengan
hasil penelitian lain, dengan pasien lebih muda, melaporkan lebih banyak nyeri pasca
operasi dalam kasus operasi payudara, kolesistektomi, operasi abdomen,
prostatektomi dan hernioplasti. Efek protektif pada umur lebih tua dihubungkan
dengan penurunan fungsi nosiseptif perifer. Namun, mempertimbangkan tipe operasi
(histerektomi), faktor lain yang mungkin menyumbang persepsi nyeri lebih tinggi,
seperti rasa takut kehilangan uterus pada usia muda dan dampaknya pada fertilitas,
bentuk tubuh tubuh dan seksualitas.
13
Dalam prediktor klinis, histerektomi abdominal dihubungkan dengan nyeri
pascaoperasi yang lebih hebat daripada histerektomi vagina. Operasi abdominal
terbuka adalah salah satu diantara beberapa prosedur operasi paling menyakitkan.
Namun, dalam penelitian ini, route operasi bukanlah prediktor yang signifikan
terhadap nyeri pascaoperasi..
Terdapatnya nyeri preoperasi (berhubungan dengan penyebab yang
memerlukan histerektomi) atau nyeri karena penyebab lain menjadi prediktor yang
signifikan pada nyeri pascaoperasi, yang memberikan hasil serupa dengan penelitian
lain pada operasi payudara, kolesistektomi, operasi abdomen atau hernioplasti
inguinal. Stimulasi nyeri yang berkepanjangan menunjukkan eksaserbasi sistem
14
nosiseptif melalui mekanisme sensitisasi sentral dan perifer nosiseptor dan neuron
sistem saraf pusat. Kemungkinan, perubahan plastis dalam sistem nosiseptif dan
sistem kontrol nyeri supraspinal berkontribusi terhadap hubungan antara nyeri
preoperasi dan praoperasi. Untuk pasien yang datang untuk menjalani operasi dan
diskrining dengan nyeri preoperasi atau nyeri kronik lain, penting untuk memberikan
intervensi preoperasi yang terfokus pada manajemen nyeri dan meningkatkan strategi
adaptasi nyeri yang efektif.
Terkait faktor psikologi, beberapa penelitian menunjukkan ansietas preoperasi
mempunyai prosedur paling penting dalam nyeri poascaoperasi dalam berbagai
prosedur operasi. Nyeri katastopik juga diidentifikasi sebagai prediktor mayor dalam
penjalanan nyeri akut dalam berbagai rentang operasi yang luas walaupun penelitian
sampai saat ini melaporkan pengaruhnya terhadap histerektomi. Sejumlah kecil
penelitian memasukkan dan mengeksplorasi ansietas dan nyeri katastropik sebagai
prediktor nyeri pascaoperasi. Granot dan Ferber memfokuskan pada hubungan
spesifik antara ansietas preoperasi, nyeri katastrofik dan nyeri pascaoperasi pada
pasien yang akan menjalani hernioplasti (n=36) dan kolesistektomi (n=4). Hasilnya
mengindikasikan nyeri katastrofik memprediksi intensitas nyeri pascaoperasi setelah
mengontrol ansietas. Penelitian ini mengeksplorasi mediasi potensial antara variabel
ini, tetapi hanya mediasi parsial yang ditemukan. Untuk tes mediasi, Granot dan
Fesber menggunakan metode Baron dan Kenny. Metode ini memiliki beberapa
keterbatasan seperti kekuatan statistik yang rendah dan tidak ada alat untuk mengukur
kekuatan efek mediasi. Penelitian diatas mempunyai sampel yang kecil (n=38) dan
sampel heterogen (34 hernioplasti dan 4 kolesistektomi). Penelitian oleh Sommer et.
pada 217 pasien yang menjalani operasi THT, menunjukkan ansietas bukanlah
prediktor yang signifikan pada nyeri akut pasca operasi, namun nyeri katastropik
merupakan predictor yang signifikan. Penelitian ini kontradiksi dengan penelitian
sebelumnya yang menemukan terdapat peranan ansietas sebagai predictor nyeri
pasacaoperasi.
Penelitian kami merupakan penelitian pertama yang mengeksplorasi mediasi
dengan sampel pasien histerektomi dengan tumor jinak. Sesuai dengan literature
sebelumnya, kami menemukan ansietas praoperasi merupakan prediktor yang
signifikan pada severitas dan intensitas nyeri katastrofik. Namun begitu apabila,efek
pre atau preoperasi dikoreksi berbagai nyeri katastrofik, efek ansietas tidak signifikan
lagi. Dengan tidak adanya masalah kolinearitas, dimana bisa diperkirakan untuk
15
supresi efek anxietas preoperasi, data ini mengidentifikasikan efeksi mediasi melalui
nyeri katastrofil. Analisis mediasi ini dikonduksi melalui metodologi seni
bootstropping menyokong hipotesis mediasi. Kami menemukan hubungan anxietas
dan nyeri post operasi dimediasi sepenuhnya oleh nyeri yang katastrofik. Oleh karena
itu, anxietas preoperasi nampaknya berhubungan dengan kognisis negatif tentang
nyeri yang memprediksi nyeri post operasi yang meningkat. Nyeri katastrofik
melibatkan magnifikasi laporan tentang nilai nyeri dan generalisasi negatif, begitu
juga dengan perasaan tidak tertolong dan pesimis dalam kemampuan untuk mengatasi
nyeri. Ini mempunyai implikasi klinikal apabila anxietas preoperasi meningkat,
wanita akan mengeluh lebih banyak nyeri dan ini akan meningkatkan nyeri akut post
operasi
Hasil mediasi ini menyumbang kepada data yang inkongruen dalam hubungan
antara anxietas dan nyeri, dan menjawab pertanyaan Sommer, Granot & Ferber.
Hubungan yang didapati antara anxietas dan nyeri kartotrofik dan peran yang
dikemudiannnya dalam memperkirakan nyeri akut post operasi menyarankan bahwa
kedua-duanya emosi dan faktor kognitif perlu dipertimbangkan dalam pencegahan
dan manajemen nyeri akut, dan intervensi faktor kognitif mempunyai impak langsung
terhadap perjalaran nyeri selepas operasi. Hasil ini juga membantu menjelaskan
kenapa intervensi, farmakologi dibuktikan efektif dalam pengurangan intensitas nyeri
post operasi. Meresepkan obat anxiolitik spektrum luas melewatkan faktor kognitif
terkait anxietas preoperasi yang nyeri katastrofik.
4.2 Keterbatasan Penelitian
Terdapat beberapa keterbatasan metode yang perlu dipertimbangkan. Nyeri
pascaoperasi dinilai ada 2, nyeri rata-rata dan pengalaman paling nyeri yang pernah
dirasakan. Pengalaman paling nyeri yang pernah dirasakan digunakan sebagai
outcome. Nyeri rata-rata mewakili distribusi bimodal yang menimbulkan masalah
terkait akurasi & reliabilitas statistik dan kami memutuskan untuk tidak
menggunakannya sebagai variabel outcome. Lebih lanjut lagi, kadangkala sampel
tidak mengerti mengenai konsep nyeri rata-rata yang merupakan ukuran integratif.
Hal ini dapat berdampak terhadap akurasi dan mempengaruhi data statistik terakhir
dan distribusi.
16
Variabel outcome, tingkat nyeri pascaoperasi paling hebat, hanya dinilai 48
jam setelah operasi. Penilaian ini pada jam ke-48 pascaoperasi tidak terfokus pada
nyeri saat dinilai tetapi lebih pada tingkat nyeri paling hebat yang dirasakan dalam 48
jam. Kami mungkin bertanya apakah penilaian tingkat nyeri secara reguler, seperti
pada jam 12, 24, dan 48 jam pascaoperasi, akan memberikan data pengalaman nyeri
akut pascaoperasi yang lebih tepat.
Ini merupakan satu single-site dan single-country study, sehingga untuk
menggeneralisasi kesimpulan ini ke populasi di negara yang berbeda harus hati-hati.
Diperlukan penelitian selanjutnya untuk menganalisis apakah efek ini dapat
direplikasi.
4.3 Implikasi Klinis Praktis
Model integratif yang ditampilkan pada penelitian ini menunjukkan pengaruh
demografik, klinis, & psikologi. Ini merupakan heuritis parsinomious yang
mempunyai implikasi klinis dalam memahami dan evaluasi nyeri pascaoperasi, dan
boleh diaplikasi secara langsung dan mudah dalam periode preoperasi kepada wanita
yang direncanakan untuk histerektomi. Seorang dokter umum bisa menilai secara
cepat variabel ini tanpa protokol yang kompleks dan panjang yang memerlukan
latihan spesialis tingkat tinggi. Dengan mengetahui usia pasien, nyeri preoperasi,
ada/tidak nyeri yang disebabkan faktor lain, tingkat nyeri katastrofi, dan ansietas
preoperasi, dokter umum bisa menilai secara cepat & pragmatis risiko wanita yang
akan menjalani histerektomi akan mengalami nyeri pascaoperasi yang sedang hingga
berat. Dengan model praktis, wanita yang berisiko untuk mengalami nyeri akut
pascaoperasi mudah dikenali dan diberikan strategi intervensi yang sesuai.
Penelitian kami mengidentifikasikan 2 faktor yang dapat diubah atau
ditatalaksana melalui intervensi psikologi preoperasi, yaitu ansietas preoperasi &
nyeri katastrofik. Untuk mengatasi ansietas, teknik intervensi terapi prilaku kognitif
yang singkat telah digunakan secara luas. Penelitian ini merubah fokus kepada peran
faktor kognitif dalam nyeri akut pascaoperasi, memberi kesan intervensi preoperasi
harus ditujukan terhadap kognisi nyeri katastrofik. Intervensi yang dilakukan sebelum
operasi seharusnya berfokus terhadap kognitif negatif yang berhubungan dengan nyeri
katastrofik dengan penyataan nyeri positif yang bisa diatasi sendiri. Intervensi seperti
17
ini akan mudah diimplementasi dalam waktu 24 jam sebelum operasi, apabila wanita
sudah berada di bangsal rumah sakit.
18