13
PERAN KOMISI YUDISIAL DALAM MENGATASI MAFIA PERADILAN DI INDONESIA Oleh : Lilian G.F. Apituley Abstrak Berbagai kalangan berpendapat bahwa terjadinya krisis di Indonesia saat ini bermuara pada ketidak-jelasan konsep yang dibangun dalam UUD 1945. Karena tidak adanya checks and balances antar alat kelengkapan organisasi Negara, selain kelemahan- kelemahan yang ada dalam UUD 1945. Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya kekuasaan eksekutif sangat besar tanpa disertai oleh prinsip checks and balances yang memadai sehingga UUD 1945 bisa disebut executive heavy. Lahirnya KY dari rahim konstitusi dilatar-belakangi oleh adanya kebutuhan untuk membangun sistem pengawasan hakim yang lebih efektif dan konstruktif. Hal ini dikarenakan mekanisme pengawasan hakim oleh MA mengandung sejumlah kelemahan yaitu sangat bersifat tertutup, tidak accountable, dan cenderung mengedepankan esprit de’corps. Dan hal ini diakui jelas oleh MA. Dengan demikian bila tetap seperti ini maka proses judicial corruption tetap bertumbuh subur dalam institusi pengadilan. Faktor lain yang mendorong kehadiran KY yaitu, untuk membangun sistem seleksi hakim agung yang lebih objektif, transparan dan partisipatif. Kehadiran KY dalam struktur kekuasaan kehakiman adalah agar masyarakat dapat dilibatkan dalam proses pengangkatan, penilaian kerja, dan kemungkinan pemberhentian hakim. Hal ini dimaksudkan untuk dapat mewujudkan kebenaran dan keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, sehingga diperlukan institusi pengawasan yang independen terhadap para hakim itu sendiri Key Words: Komisi Yudisial, Wewenang, Mafia Peradilan Pendahuluan Sebuah negara yang kuat (strong state), yang didukung oleh pemerintah yang kuat (strong government), tetapi mengabaikan peranan parlemen dan partisipasi masyarakat dalam proses pertumbuhan dan pemberdayaan rakyat tidak bisa dikatakan sebagai negara demokrasi. Realitas ini nampak dalam dominasi pemerintah untuk menentukan keputusan politik atau kebijaksanaan publik dalam berbagai bidang. Dominasi kekuasaan eksekutif itu didukung dengan adanya kehadiran serta peranan birokrasi dan militer yang luar biasa. Jelasnya, pemerintah telah menghegemoni, tidak saja kekuasaan negara (eksekutif, legislatif dan yudikatif), tetapi juga memonopoli kebenaran dan menjadi penafsir tunggal ideologi dan peletak pengembangan rancang-bangun kehidupan sosial

PERAN KOMISI YUDISIAL DALAM MENGATASI MAFIA …journal.uniera.ac.id/pdf_repository/juniera21-HrrL3EV2XKkuNOR9p3... · ideologi dan peletak pengembangan ... dalam menata kembali kehidupan

Embed Size (px)

Citation preview

PERAN KOMISI YUDISIAL DALAM MENGATASI MAFIA PERADILANDI INDONESIA

Oleh :Lilian G.F. Apituley

Abstrak

Berbagai kalangan berpendapat bahwa terjadinya krisis di Indonesia saat ini bermuarapada ketidak-jelasan konsep yang dibangun dalam UUD 1945. Karena tidak adanyachecks and balances antar alat kelengkapan organisasi Negara, selain kelemahan-kelemahan yang ada dalam UUD 1945. Hal ini dapat dibuktikan dengan adanyakekuasaan eksekutif sangat besar tanpa disertai oleh prinsip checks and balances yangmemadai sehingga UUD 1945 bisa disebut executive heavy. Lahirnya KY dari rahimkonstitusi dilatar-belakangi oleh adanya kebutuhan untuk membangun sistempengawasan hakim yang lebih efektif dan konstruktif. Hal ini dikarenakan mekanismepengawasan hakim oleh MA mengandung sejumlah kelemahan yaitu sangat bersifattertutup, tidak accountable, dan cenderung mengedepankan esprit de’corps. Dan hal inidiakui jelas oleh MA. Dengan demikian bila tetap seperti ini maka proses judicialcorruption tetap bertumbuh subur dalam institusi pengadilan. Faktor lain yangmendorong kehadiran KY yaitu, untuk membangun sistem seleksi hakim agung yanglebih objektif, transparan dan partisipatif. Kehadiran KY dalam struktur kekuasaankehakiman adalah agar masyarakat dapat dilibatkan dalam proses pengangkatan,penilaian kerja, dan kemungkinan pemberhentian hakim. Hal ini dimaksudkan untukdapat mewujudkan kebenaran dan keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa,sehingga diperlukan institusi pengawasan yang independen terhadap para hakim itusendiri

Key Words: Komisi Yudisial, Wewenang, Mafia Peradilan

Pendahuluan

Sebuah negara yang kuat (strongstate), yang didukung oleh pemerintahyang kuat (strong government), tetapimengabaikan peranan parlemen danpartisipasi masyarakat dalam prosespertumbuhan dan pemberdayaan rakyattidak bisa dikatakan sebagai negarademokrasi. Realitas ini nampak dalamdominasi pemerintah untuk menentukankeputusan politik atau kebijaksanaanpublik dalam berbagai bidang. Dominasi

kekuasaan eksekutif itu didukung denganadanya kehadiran serta peranan birokrasidan militer yang luar biasa. Jelasnya,pemerintah telah menghegemoni, tidaksaja kekuasaan negara (eksekutif, legislatifdan yudikatif), tetapi juga memonopolikebenaran dan menjadi penafsir tunggalideologi dan peletak pengembanganrancang-bangun kehidupan sosial

kemasyarakatan. 1 Padahal demokrasisebagai dasar hidup bernegara memilikiarti dan nilai penting bagi masyarakat,sebab dengan demokrasi hak untukmenentukan jalannya organisasi negaradijamin. Antara lain rakyat dapatmemberikan ketentuan dalam masalah-masalah pokok mengenai kehidupannya,termasuk dalam menilai kebijaksanaannegara, karena kebijaksanaan tersebutmenentukan kehidupan rakyat. 2

Berdasarkan penjelasan di atasmaka, negara demokrasi adalah negarayang diselenggarakan berdasarkankehendak dan kemauan rakyat atau jikadilihat dari sudut organisasi, maka hal iniberarti suatu pengorganisasian negarayang dilakukan oleh rakyat sendiri atauatas persetujuan rakyat karena kedaulatanberada di tangan rakyat.3 Hal ini sejalandengan pendapat Presiden AbrahamLincoln tentang demokrasi: “as govermentfor the people-that is, government inaccordance with the people preferences.”(pemerintahan untuk rakyat - yaitu,pemerintahan yang memenuhi keinginanrakyat.”4

Dalam hal yang sama, Henry B. Mayomemberikan pengertian sebagai berikut.

A democratic political system is onewhich public policies are made one amajority basis, by representatives

1 Pieris Jhon dan Baramuli Putri A. , Dewanperwakilan daerah RI: Studi, Analisis, Kritik danSolusi Kajian Hukum dan Politik, Edisi 1. Jakarta :Pelangi cendekia 2006. hal 12 Deliar Noer , Pengantar Ke Pemikiran Politik,cet. 1 Jakarta : Cv Rajawali, 1983, hal. 2073 Amir Machmud, Demokrasi, Undang-Undangdan Peran Rakyat, dalam PRISMA No.8 Jakarta :LP3ES, 19844 Lijphart, Arend. , Democracies (Patterns ofmajoritian and consensus government. In twenty-one countries) USA : Yale University Press, 1984.hal. 1

subject to effective popular control atperiodic elections which areconducted one the principle ofpolitical equality and underconditions of political freedom.” 5

(Sistem politik demokratis adalahsistem yang menunjukan bahwakebijaksanaan umum ditentukan atasdasar mayoritas oleh wakil-wakil yangdiawasi secara efektif oleh rakyat dalampemilihan-pemilihan berkala yangdidasarkan atas prinsip kesamaan politikdan diselenggarakan dalam suasanaterjaminnya kebebasan politik).

Karena kegelisahan terhadaprealitas tersebutlah maka diperlukangerakan reformasi sebagai sebuah upayaperubahan kehidupan berbangsa ke arahyang lebih baik dan lebih demokratis yangdimulai dengan perbaikan konstitusisebagai elemen dasar sistem bernegara.6

Gerakan reformasi padapertengahan tahun 1998 telah mengantarbangsa Indonesia memasuki sebuah jamanbaru yang ditandai oleh nilai-nilai yangsesungguhnya menjadi cita-cita parapendiri republik. Peristiwa reformasi ini,menjadi tongkak sejarah, dimanaIndonesia memasuki fase baru dalamperjalannya sebagai suatu negara-bangsayang merdeka dan berdaulat, yaitumenyangkut penataan berbagai bidangkehidupan ke arah yang lebih adil,

5 Henry B.Mayo, An Introduction to DemocraticTheory, dalam Mahfud MD, Hukum dan Pilar-Pilar Demokrasi, Yogjakarta : GamaMedia,1999,hal. 86 Denny Indrayana, Makala : Proses ReformasiKonstitusi Transisi (Pengalaman Indonesia danperbandingan dengan Afrika Selatan dan Thailand)Disampaikan dalam forum Experts Meeting “Amandemen UUD 1945 “, Yogyakarta, 17-18maret 2007

demokratis, dan sejahtera. Kebutuhan akanpenataan kembali berbagai aspekkehidupan bangsa ini tidak bisa dipisahkandari munculnya degradasi kepemimpinan,kesenjangan dan ketimpangan distribusiserta alokasi sumber-sumber dayaekonomi, juga disorientasi kolektif akanarah dan tujuan berbangsa dan bernegara.Salah satu penyebab terpenting di balikkenyataan tersebut adalah pelestariankebijakan sentralisasi dan penyeragamanpolitik secara berlebihan di bawah sistemotoriter selama hampir 40 tahun, sehinggamembunuh segenap potensi kreativitas dankemandirian masyarakat

Negara orde baru atau lebih sempitlagi Presiden Soeharto beserta para kronipolitiknya, tidak hanya menjadi penafsirtunggal realitas masyarakat danmasyarakat menjadi nonfaktor di dalamhampir semua proses politik melainkanjuga mempersonifikasikan diri secaradistortif seolah-olah sebagai representasikepentingan masyrakat. Takmengherankan juga bahwa lembaga-lembaga politik pada akhirnyadiorientasikan untuk pelestariankepentingan negara yang substansinyatidak lain yaitu demi kelangsungan dankejayaan kekuasaan Soeharto selakupenguasa tunggal Orde Baru.7

Secara politik rakyat bukan hanyakehilangan kedaulatan dan kebebasanberekspresi, melainkan juga tak pernahmerasa memiliki pemerintahan karenatidak dilibatkan dalam segenap prosesnya,kecuali secara performa biasa. Di sinilahletak urgensi agenda desentralisasi, yaitu

7 Salah satu deskripsi mutakhir yang cukup baikmengenai Orde Baru lihat, R. WilliamLiddle,”Rezim: Orde Baru”, dalam Donald K.Emmerson, ed., Indonesia Beyond Soeharto :Negara, Ekonomi, Masyarkat, Transisi, Jakarta :Gramedia dan The Asia Foundation, 2001,Hal. 65-121.

sebagai bagian dari upaya kolektifitasdalam menata kembali kehidupan bangsake arah yang lebih adil, demokratis, dansejahtera. Karena itu, desentralisasidiagendakan bukan hanya dalam rangkamempertahankan keutuhan bangsa dalamkeberagaman, dan bukan sekedar sebagaipenyerahan wewenang pemerintahan daripusat kepada daerah, tetapi jugamencakup agenda penyertaan masyarakatdi dalam proses pemerintahan itu sendiri.

Dalam perjalan sejarah abad ke-20,pembentukan sistem politik demokrasitelah disepakati sebagai pilihan terbaikbagi negara-negara yang baru lahirmenyusun proses dekolonisasi. Dalamupaya ini, peran sektor negara ternyatasangat penting, sehubungan denganbeberapa alasan yaitu antara lain adalahkenyataan rentannya kondisi masyarkatterhadap konflik serta lemahnya lembaga-lembaga yang berada di dalamnya yangmampu menopang kemandiriannya.Sebaliknya sektor negara relatif dengancepat dibangkitkan dan segera munculsebagai aktor terpenting dalam prosesrehabilitasi, restrukturisasi sosial, politikdan ekonomi. Dan hasilnya sektor negaracenderung menjadi berkembang mengatasimasyarakat atau yang disebut HamzaAlavi dengan overdeveloped.

Menurut Kemal Idris, lahirnya OrdeBaru yang diharapkan oleh masyarakatIndonesia untuk pembaharuan tatanankehidupan masyarkat, berbangsa danbernegara yang dilaksanakan berdasarkanPancasila dan UUD 1945 secara murni dankonsekuen mendudukan fungsi dan tugaslembaga tertinggi dan tinggi negara sesuaibunyi dan makna UUD 1945. Namun,kenyataan itu tidaklah berlangsung lamakarena hanya dipakai sebagai wacanauntuk memenuhi ambisi pribadi dankelompok sedangkan masyarakatditelantarkan kepentingannya begitu saja.

Sistem politik sentralistik-otoriteryang merupakan ciptaan Soeharto dankroni-kroninya berhasil mempengaruhipimpinan-pimpinan rakyat dalamlembaga-lembaga negara. Akibatnyaadalah seluruh komponen kehidupannasional menjadi rusak dan tidak memilikiakar yang kuat lagi di hati masyarakat.Fundamental demokrasi, konstitusi danhukum tidak berjalan, sehingga tumbuhlahkekuasaan politik yang arogan.Pemerintahan sentralistik-otoriter, yangmenjadikan Soeharto layaknya seorangRaja yang selalu benar ini, melahirkanbudaya feodal yang sangat memungkinkantimbulnya primordialisme dan nepotismesehingga akan mengakibatkan distorsi dandiskriminasi pada seluruh bidangkehidupan. Dan hal ini dapat mengancamkeutuhan bangsa dan wilayah NegaraKesatuan Republik Indonesia.

Seperti diketahui, UUD 1945memang secara sengaja merumuskankedaulatan rakyat sebagai sebuahkedaulatan yang bersifat normatif. Haltersebut dapat dilihat di dalam PembukaanUUD 1945. Di dalam pasal 1 ayat (2)naskah asli UUD 1945, kedaulatan rakyatdapat dirumuskan secara eksplisit, bahwa“kedaulatan adalah di tangan rakyat dandilakukan sepenuhnya oleh MPR”.Konsekuensinya, rakyat akan kehilangan“kedaulatannya”. Di dalam praktekkenegaraan, sering lembaga MPRmengatas-namakan rakyat untuk memilihPresiden yang sesuai dengan pilihanmayoritas rakyat Indonesia. MPR jugapernah menetapkan Tap MPR No.I/MPR/1983 untuk merubah UUD 1945,tetapi ingin tetap mempertahankan danmelaksanakan secara murni dankonsekuen. Hal ini merupakan satu diantara berbagai kenyataan yang ada danini jelas adalah pelecehan sistematisterhadap makna dan hakekat kedaulatanrakyat.

Rentetan permasalahan yang adamengakibatkan reformasi amandemenkonsitusi menjadi pelatuk perubahandalam menata pola hubungankelembagaan negara. Dan setidaknya,amandemen konstitusi telah melahirankerangka pikir untuk beberapa hal;pertama, menghendaki adanya proseschecks and balances terhadap tigalembaga negara, yaitu legislatif, eksekutifdan yudikatif. Prinsip ini tentunya sangatpenting untuk mengatasi terjadinyasentralisasi kekuasaan pada institusi-institusi negara tertentu. Kedua,munculnya lembaga-lembaga baru (newinstitutions) dalam lingkungan kekuasaankehakiman, dalam hal ini MahkamahKonstitusi (selanjutnya disingkat MK) danKomisi Yudisial (selanjutnya disingkatKY), yang memiliki kerangka kerja yangberbeda. Bila Mahkamah Konstitusidibentuk dengan filosofi “penjagakonstitusi”, maka Komisi Yudisialdihadirkan sebagai “penjaga mafiaperadilan” dengan predikat sebagailembaga yang sifatnya auxiliary. Ketiga,memungkinkan adanya aksebilitas publikyang tinggi dalam pencapaian-pencapaiandemokrasi substransif. Keempat,dimunculkan Dewan Perwakilan Daerah(DPD) sebagai perwakilan perseoranganyang dipilih berdasarkan region, walaupunbelum dapat dikualifikasikan kedalamjoin session. Kelima, adanya transformasisistemik antara sistem sentralistik dandesentralistik yang berimplikasi padaperubahan hubungan kelembagaan pusat-daerah.

Dalam kaitannya dengan KY makadapat dikatakan bahwa menurut risalahpersidangan-persidangan MPR yangmerancang UUD 1945 tidak muncul samasekali pemikiran untuk menjadikan KYsebagai supporting atau auxiliary organ.Tetapi yang menonjol adalah pemikirantentang perlunya lembaga pengawas

eksternal yang dapat menyeleksi hakimagung dan mengawasi perilaku hakimsebab lembaga pengawas internal sampaisaat ini tidak efektif.

Pada prinsipnya kewenangandalam menempatkan KY tidakdipermasalahkan secara konstitusional,mengingat di berbagai negara punpemosisian KY bervariasi, tergantungkebutuhan masing-masing. Di Polandia,misalnya, Dewan Yudisial “Nasional atauthe national council of the judiciary”berfungsi untuk menjaga dan melindungikebebasan/kemandirian pengadilan danhakim. Di Indonesia posisi KY sepertitertuang dalam UU No. 22 tahun 2004sebagai pilihan politik dirasakan sudahcukup baik. Tetapi yang dipersoalkanadalah kewenangan MK dalam perumusanpasal-pasal tersebut dirasakan berlebihanyaitu, dengan adanya pasal-pasal yangsecara teoritis dapat diartikan bahwa KYbukanlah lembaga negara utama tetapihanyalah supporting atau auxiliary organsehingga tidak bisa melakukan peranchecks and balances. Di sisi lain MKmenyatakan bahwa ketentuan kewenanganKY untuk mengawasi tingkah laku hakimtumpang tindih dengan berbagai UU yangterkait dengan kekuasaan kehakimansehingga MK membatalkan berbagaikewenangan KY. Padahal berdasarkankonstitusi, MK hanya boleh memutuskanatau membatalkan isi UU jikabertentangan dengan UUD dan bukanbertentangan dengan UU lainnya yangsejajar. Seperti pepatah nasi telah menjadibubur, demikian pula posisi KY saat ini.Artinya baik suka maupun tak suka,putusan MK bersifat final dan mengikatdan karenanya harus diterima dandilaksanakan ( pasal 24C ayat (1) ).Namun tak disadari bahwa dengan MKmembatalkan segala pasal pengawasandalam UU KY, tentu saja telah membuatsenyum lebar semua pelaku korupsi

peradilan. 8 Pertanyaan yang munculadalah apakah yang menjadi dasarpembatasan kewenangan KY tersebut?Ataukah MK sendiri memiliki kepentingantertentu dibalik pembatasan kewenangantersebut ? Jika kondisi hukum di Indonesiaseperti ini maka apa artinya reformasi itusendiri? Sebab menurut saya, pembatasankewenangan ini sepertinya merupakansebuah upaya pelanggengan mafiaperadilan dan indikasi runtuhnya negaraIndonesia secara perlahan namun pasti.

A. ANALISIS POLITIK DANKETATANEGARAAN SERTAIMPLIKASINYA TERHADAPPEMBENTUKAN KOMISIYUDISIAL

I. Analisis PolitikAnalisis politik dan ketatanegaraan

khususnya terhadap lembaga peradilannegara memang terasa subjektif tetapidiharapkan dapat mengungkapkankelemahan dan kekurangan dalamlembaga tersebut melalui reformasiperadilan sehingga proses demokrasi dapatberjalan sesuai dengan nilai–nilai moralserta dapat menjamin perlindunganterhadap kebebasan sipil-politik dansosial-ekonomi rakyat.

Reformasi peradilan merupakansebuah spirit dalam suatu prosesdemokrasi dan gerakan sosial (socialmovement) dalam menanggapi issue dankepentingan masyarakat khususnyamasyarakat pro-reformasi peradilan.Dalam hal ini KY sangat diperlukan untukmengawal reformasi peradilan, khususnyayang berkenaan dengan hakim.Independensi kekuasaan kehakimanadalah hal yang prinsipil dalam suatunegara hukum yang demokratis. Karena

8 Denny Indrayana., Opini : Mahkamah MafiaPeradilan. Kompas. 28 agustus 2006

tanpa kehadirannya maka tidak adademokrasi dan negara berdasarkan hukum(demockratische rechsstaat). Independensiatau kebebasan tersebut dimaksudkandengan tidak adanya campur tangan darikekuasaan eksekutif dan legislatif terhadappelaksanaan fungsi pengadilan, termasukunsur-unsur kekuasaan kehakiman di luarsistem kekuasaan negara.

Kenyataan membuktikan bahwaindependensi tanpa akuntabilitas dapatmenimbulkan masalah-masalah krusialdalam negara. Karena akuntabilitas sangatdibutuhkan dalam mekanisme kontroldalam suatu tindakan yudisial.Pengawasan sebagai wujud dariakuntabilitas dan bagian dari checks andbalances dibutuhkan untuk mencapaiindependensi dan imparliatas peradilan.Karena tidak semua hakim memperhatikanJudicial discretion, yaitu sikapindependent dan imparsial dalammemutuskan suatu perkara. Sehingga misipenting bagi reformasi peradilan tidakhanya sebatas menegakkan independensidan impartialitas peradilan sebagai suatuprinsip dalam negara demokrasi. Tetapijuga, penting dalam membangun danmenjaga akuntabilitas dan mekanismekontrol bagi para hakim agar peradilantidak memunculkan abuse of power baruatau tyrani judicial. Tepai setidaknyaakuntabilitas dari segi politik, sosial/publicdan hukum bagi hakim baik pejabat negaramaupun secara personal.9

Mafia peradilan (judicial corruption)merupakan masalah pokok yangmeninbulkan bobroknya institusiperadilan, di samping permasalahan lainseperti, penumpukan perkara, managemen

14Mauro Cappeletti, 1989..dalam Arbab Paproeka.,“Perubahan Bidang Politik dan PengaruhnyaTerhadap Reformasi Peradilan” dalam BungaRampai Komisi Yudisial dan Reformasi Peradilan.Komisi Yudisial RI, Jakarta 2007, hal 43-64

dan administrasi peradilan yang tidak jelasatau transparan, minimnya hakim yangberkualitas dan berintegritas, serta putusanyang janggal dan mencederai rasakeadilaan.10 Berdasarkan diagnosis, bahwabobroknya institusi peradilan merupakanakibat dari intervensi politik yang begitupanjang yang telah mereduksiindependensi dan impartialitas peradilan.Intervensi politik, terutama dari eksekutifini tidak lepas dari praktek sistempemerintahan otoritarian yang selalumenolak checks and balances dan tidakmengakui adanya HAM. Sedangkanlembaga peradilan hanya menjadi alatuntuk menjustifikasi dan melegitimasiperilaku kekuasaan eksekutif. Perlahantapi pasti, pengadilan akan menjadi suatuinstitusi yang tertutup, korup, dan tidakberwibawa.

Reformasi peradilan dimulai denganrevisi kebijakan satu atap (UU No.14/1970) yang menempatkan urusanorganisasi, administrasi dan financialmenjadi urusan MA. Bersamaan denganrevisi kebijakan, seleksi hakim agung danketua MA yang sebelumnya sangattertutup oleh DPR pada 2000-2003.Sekarang telah dipilih dan ditetapkanberasal dari kalangan akademisi danpraktisi hukum dan tujuannya adalahuntuk mendorong perubahan di tubuhinternal MA.

Namun demikian, fakta lainmemperlihatkan bahwa praktek-praktekmafia peradilan masih tetap bertumbuhsubur dalam lembaga peradilan, mulai dariPengadilan Negeri (selanjutnya disingkatPN), Pengadilan Tinggi, sampai MA.Lihat saja kasus panitera pengganti danhakim PN Jakarta Selatan yang memeras

15 Berdasarkan beberapa studi : Lev, 1990; BKHarman, 1997; KRHN-Leip, 1999; ICW, 2001,Asrun, 2004; Pompe, 2005)

saksi dalam kasus korupsi PT. Jamsostek;kasus Probosutedjo yang mencobamenyuap majelis hakim di MA denganuang milyaran rupiah.

Pada Mei 2007, TransparancyInternational Indonesia (TII)mengeluarkan hasil survey tentangkorupsi yang terjadi di lembaga-lembagapemerintahan. Dari survey tersebut,pengadilan menempati urutan teratasuntuk inisiatif melakukan suap. Inimenandakan bahwa lembaga peradilanmemang belum mengalami perubahanyang signifikan walaupun sudah adareformasi peradilan karena masih adakrisis kepercayaan. Di pihak laindikuatirkan bahwa MA tidak mampumenjalankan tugasnya dengan baik danterbukti tidak efektif dalam setiap putusan-putusan pengadilan karena tidak dapatmemberikan rasa keadilan tetapi malahputusan bebas yang tidak wajar, terutamadalam kasus korupsi dan HAM. Fakta-fakta ini semakin membuat institusiperadilan terperosok dalam lubangkegelapan dan seakan-akan sulit untukkeluar.

Dalam hal menghindari daripermasalahan-permasalahan di atas, makakalangan pemerhati hukum dan organisasinon-pemerintahan menganggap perludibentuknya Komisi Yudisial. Komisi inidiharapkan dapat memainkan fungsi-fungsi tertentu dalam sistem yang baru,khususnya rekrutmen hakim agung danpengawasan terhadap hakim.

Komisi Yudisial lahir dan dibentukberdasarkan konstitusi. Pasal 24b UUD1945 menempatkan KY sebagai lembaganegara yang bersifat mandiri dan memilikikewenangan dalam mengusulkan calonhakim serta kewenangan lain dalamrangaka menjaga dan menegakkankehormatan, keluhuran martabat, serta

perilaku hakim. Meski KY bukan pelakukekuasaan kehakiman, namun fungsinyaberkaitan dengan kekuasaan kehakimanyaitu fungsi pengawasan. UU No 22/2004tentang KY mengatur bahwa, obyekpengawasan KY terhadap hakim meliputihakim agung dan hakim pada badanperadilan di bawah MA serta hakim MK.Selain itu, dalam konteks pengawasan, KYdapat menerima laporan dari masyarakatyaitu laporan tentang perilaku hakim, danmemberikan usul pemberian sanksi(punishment) dan penghargaan (reward).Sehingga dapat dikatakan bahwa KYmemiliki fungsi penting dalam penegakanhukum dan keadilan di Indonesia.

II. Analisis Kewenangan MKTerhadap KY

Mahkamah konstitusi merupakanfenomena baru dalam duniaketatanegaraan. Sesuai ketentuan UUD1945, MK memiliki beberapa kewenangansebagai beriku11 :

1. Menguji UU terhadap UUD;2. Memutus sengketa kewenangan

lembaga negara yang kewenangannyadiberikan oleh UUD;

3. Memutus pembubaran partai politik;4. Memutus perselisihan tentang hasil

pemilihan umum;5. Memutus pendapat DPR bahwa

Presiden atau Wakil Presiden telahmelakukan pelnggaran hukum berupapengkhianatan terhadap negara,korupsi, penyuapan, tindak pidanaberat lainnya, atau perbuatan tercela;

6. Memutus pendapat DPR bahwaPresiden atau Wakil telah tidak lagimemenuhi persyaratan sebagaiPresiden atau Wakil Presiden.

16 Jimly Asshiddiqie., Konstitusi danKonstitusionalisme Indonesia, cet 2, Jakarta :Konstitusi Press, 2006, hal 246-252

Dari berbagai prespektif itu, makasebenarnya UUD 1945 sebagai konstitusi(hukum dasar) telah mengatur hal-halpenting mengenai semua lembaga negarakhususnya tentang kewenangannya.Persoalannya adalah bila yangdiamanatkan oleh konstitusi itu tidakdilaksanakan dengan baik. Dan bisa sajakonstitusi tidak secara jelas merumuskanketentuan mengenai kewenangan sebuahlembaga negara. UUD 1945 sebagaikonstitusi tertulis (written constitution)atau sebagai hukum yang tertinggi(Grundgesetz) yang mempunyai kekuatanmengikat melebihi UU biasa, dengansegala keterbatasannya telah mengaturfungsi-fungsi serta pembatasan kekuasaandari semua lembaga negara, khususnyaKY, MA, dan MK. Jika berpegang padaasas legalitas dan gagasan konstitusionalmaka semua ketentuan yang dirumuskandalam UUD 1945 tidak dapat dihindariwalaupun ketentuan tersebut dianggaptidak sempurna. Seperti yang dikatakanLunshof (1989:7)”asas legalitas adalahasas yang dipakai untuk menjamin asas-asas lainnya, antara lain asas pembatasankekuasaan pemerintah dan HAM”. Lebihlanjut dikatakan bahwa adanyapengawasan pengadilan terhadappelaksanaan kekuasaan yang dijalankanoleh pemerintah, pemberiwewenangkepada pemerintah dan perlindunganhukum terhadap yang berkuasa.

Berkaitan dengan kewenangan KYyang termuat dalam UU No 22/2004,selanjutnya dikaitkan dengan pascaputusam MK maka ada tiga hal krusialyang menonjol, yaitu :

1. UUD 1945 telah menetapkankewenangan KY sebagai lembaganegara yang mempunyai tugas dalamhal mengawasi hakim (di MA danMK) walaupun tidak maksimal.

2. KY berdasarkan amanat UUD 1945,berusaha melaksanakankewenangannya walaupundiperhadapkan dengan berbagairesiko.

3. MK memutuskan bahwa kewenanganKY dalam mengawasi hakim-hakimtetapi tidak termasuk hakim MK.Karena tidak sesuai dengan pasal 24bayat (!).

Penolakan dan ketidak-setujuanmengenai pengawasan hakim agung olehKY inilah yang melatarbelakangipermohonan pengujian UU RI No.22/2004 tentang KY dan tentangpengujian UU RI No.4/2004 tentangkekuasaan kehakiman terhadap UUD RItahun 1945 ke MK. Dan MK telahmemutuskan permohonan tersebut denganputusan MK RI No. 005/PUU-IV/2006,yang disampaikan dalam Sidang PlenoMahkamah Konstitusi yang terbuka secaraumum, pada Rabu, 23 Agustus 2006 yangberbunyi sebagai berikut : “menyatakanpermohonan para pemohon dikabulkanuntuk sebagian”:

Menyatakan :

1. Pasal 20, yang berbunyi, “dalammelaksanakan wewenangsebagaimana dimaksud dalam pasal13 huruf b, Komisi Yudisialmempunyai tugas melakukanpengawasan terhadap perilaku hakimdalam rangka menegakan kehormatandan keluhuran martabat serta menjagaperilaku hakim”;

2. Pasal 21, berbunyi, ”untukkepentingan kewenangansebagaimana dimaksud dalam pasal13 huruf b, Komisi Yudisial bertugasmengajukan usul penjatuhan sanksiterhadap hakim kepada pimpinanMA/MK”;

3. Pasal 22 ayat (!) huruf e, yangberbunyi “dalam melaksanakanpengawasan sebagaimana dimaksuddalam pasal 20, KY membuat laporanhasil pemeriksaan dan kemudiandisampaikan kepada MA/MK, sertatembusannya disampaikan kepadaPresiden dan DPR”;

4. Pasal 22 ayat (5), yang berbunyi:“dalam hal badan peradilan atauhakim tidak memenuhi kewajibansebagaimana dimaksud pada ayat (4),maka MA/MK wajib memberikanpenetapan berupa paksaan kepadabadan peradilan untuk memberikanketerangan atau data yang diminta.”;

5. Pasal 23 ayat (3), yang berbunyi,“usul penjatuhan sanksi sebagaimanadimaksud pada ayat (1) huruf b dan cdiserahkan oleh Komisi Yudisialkepada MA/MK”;

6. Pasal 23 ayat (5), yang berbunyi,“dalam hal pembelaan diri ditolak,usul pemberhentian hakim diajukanoleh MA/MK”;

7. UU RI No 22 Tahun 2004 tentangKomisi Yudisial (Lembaga Negara RITahun 2004 No 89. TambahanLembaran Negara RI No 4415),bertentangan dengan UUD RI Tahun1945;

8. UU RI No 4 Tahun 2004, tentang KY( Lembaran Negara No 89, dantambahan lembaran negara No 4415)tidak mempnyai kekuatan mengikatsecara hukum.

Sepak terjang KY dalam melakukanpengawasan sangatlah positif karenasetidaknya telah menimbulkan shocktherapy di kalangan hakim. Dalam halini KY yang terbentuk pada 2 Agustus2005, dengan visinya “Menjadikan Hakimsebagai Insan Pengabdi dan PenegakKeadilan”, dan misinya : (1). menyiapkanhakim agung yang berakhlak mulia, jujur,berani dan kompeten; (2). melaksanakan

pengawasan peradilan yang efektif,terbuka dan dapat dipercaya; (3).mengembangkan sumber daya hakimmenjadi insan yang mengabdi danmenegakkan keadilan.

Namun dalam 2 tahun kinerjanya, inibukan hal yang mudah untukdilaksanakan. Akan tetapi KY dalampelaksanaan tugasnya tetap mendapatsimpati besar dari masyarakat.

Sayangnya, putusan MK berbicaralain dan dalam putusannya mengabulkanhampir semua permohonan. Akibatnya,KY kehilangan kekuatan dalammelakukan pengawasan terhadap hakim.Denny Indrayana, lewat rubrik opinidalam harian kompas menyatakan bahwa“Lonceng kematian berdentang kencangdan makin maraklah mafia peradilandengan adanya putusan MK No 005/PUU-IV/2006 yang menguji konstitusionalitasbeberapa pasal dalam UU KY”. Lebihlanjut dinyatakan bahwa, 31 hakimsebagai pemohon pengujian, bersama parakuasa hukumnya, di antaranya: OCKaligis, Juan Felix Tampubolon, danIndryanto Seno Adji sedang tersenyumlebar karena hampir semua permohonanmereka dikabulkan oleh MK.

Sangat tidak wajar kalau MKmenggunakan dalil ketidakpastian hukumatau kepastian hukum dalam halmembatalkan suatu peraturanperundangan. Padahal dalam konstitusijelas diatur bahwa MK hanya bolehmembatalkan UU yang bertentangandengan UUD dan bukan bertentangan UUlainnya yang sejajar. Putusan UU KYjelas mencerminkan hakim konstitusiterjebak Conflict of interest. 12 Danironisnya, pilihan hukum yang dijatuhakanMK nyata-nyata menumbuh-suburkan

17 ibid hal ..8

praktek korupsi peradilan dalam hal inipraktek mafia peradilan.

Pentingnya pengawasan hakim daripengaruh mafia peradilan, karena dalamrealitasnya mereka telah menghilangkanakses keadilan bagi masyarakat danpencari keadilan. Oleh karena itu,pemulihan kewenangan KY untukmengungkapkan modus opera dan upayapemberantasan mafia peradilan adalahsangat penting dan perlu penguatanpengawasan dan peran serta masyarakatdalam mengontrol praktek peradilan.Karena praktek mafia peradilandiperkirakan akan semakin menjadi-jadidisebabkan perilaku hakim yang tidaklagi diawasi/dikontrol oleh lembaga lain(KY), tetapi hanya diawasi sendiri olehsesama temannya.

B. IMPLIKASI PERAN KOMISIYUDISIAL DALAM MENGATASIMAFIA PERADILAN DIINDONESIA

1. Mafia Peradilan di Indonesia

Mafia Peradilan (judicialcorruption) adalah penyakit bangsa yangbila tidak secepatnya diatasi maka akanmenjadi problem besar yang dapatmenciptakan kerancuan dalam institusinegara dan menimbulkan ketidakadilan.Reformasi peradilan merupakan bagianterpenting dalam mengatasi segala bentukketidakadilan dalam lembaga-lembagaperadilan negara. Tak dapat disangkalibahwa peran para penegak hukummerupakan salah satu bagian pentingdalam menciptakan keadilan dankesejahteraan bagi masyarakat karena bilapenegak hukum memiliki mental yangtidak bermoral dan tidak berketuhananYang Maha Esa maka akanmengakibatkan terciptanya pemerintahanyang tidak beradab.

Reformasi peradilan mempunyaitujuan dan tugas utama untuk menjamindan mempertahankan prinsip-prinsipnegara hukum yang demokratis. Dalampengertian demokratis bukan hanya soalkebebasan sipil dan politik tetapi mutlakmensyaratkan rule of law. Demokrasi jugamensyaratkan adanya praktek penegakanhukum yang jelas dan tegas. Dalam hal inihukum dipandang sebagai alat pentingyang luwes dalam mencapai tujuan, yaknimenciptakan suatu iklim yangmenguntungkan sehingga dapat membantukelancaran usaha-usaha pembangunan.13

Praktek mafia peradilan dapatdiatasi dengan reformasi di bidang hukumdan peradilan melalui sebuah proses yangmembutuhkan waktu yang lama. Karenapelaksanaannya merupakan masalah yangrumit dan kompleks serta harus dilakukansecara holistik. Perbaikan itu meliputitahap formulasi (pembuataan peraturanperundang-undangan), tahap aplikasi(penerapan hukum) dan tahap eksekusi(penegakan hukum).

Dalam reformasi peradilan, peranhakim menjadi faktor penting danmenentukan bahwa pengadilan diIndonesia bukanlah suatu permainan(game) 14 dalam mencari menang ataukalah, melainkan mencari kebenaran dankeadilan. Hal ini dikarenakanprogresivitas pengadilan yang ditentukanoleh apa yang dilakukan para hakimnya.Oleh sebab itu, yang harus dilakukanpemerintah dalam mengatasi praktekmafia peradilan adalah :

1. Melakukan pembenahan strukturhukum melalui penguatankelembagaan denganmeningkatkan profesionalisme hakim

18 Satjipto Rahardjo. , Membedah HukumProgressif. Kompas,2006. cet 1, hal 24019 Ibid, hal 275

dan staf peradilan serta kwalitassistem peradilan yang terbuka dantransparan, menyederhanakan sistemperadilan, meningkatkan transparansiagar peradilan dapat diakses olehmasyarakat dan memastikan bahwahukum diterapkan dengan adil danmemihak pada kebenaran.

2. Peningkatan integritas moral dankeprofesionalan aparat penegakhukum, termasuk kepolisian RI dalammenumbuhkan kepercayaanmasyarakat dengan meningkatkankesejahteraan, dukungan sarana danprasarana hukum, pendidikan, sertapengawasan yang efektif.

3. Dalam membuat sebuah peraturanatau kebijakan haruslah didasarkanpada hasil penafsiran yangkontekstual terhadap UUD 1945 danmenjadikannya sebagai filter dalammengkritisi semua proses penegakanhukum di Indonesia.

2. Komisi Yudisial yang Idealis

Kehadiaran KY pada hakikatnyaadalah untuk menjawab tuntutanmasyarakat dalam penetapan prinsip-prinsip demokrasi bagi penyelenggaraanpemerintahan yang akuntabel danindependen. Kiranya dapat dipahamibahwa pembentukan KY selain diarahkanuntuk menciptakan sebuah lembagapengawas dalam kekuasaan yudikatif,tetapi bermakna untuk menjaga danmenegakan kehormatan, keluhuranmartabat, serta perilaku hakim.

Sayangnya, kewenangan KY untukmenjaga dan menegakkan kehormatan dankeluhuran martabat hakim telahdiamputasi oleh putusan MK No:005/PUU-IV/2006 pada tanggal 23Agustus 2006. walaupun disadari bahwaputusan ini berlebihan (seperti yang telah

dijelaskan pada bab sebelumnya) karenadalam hal ini MK secara sistematismelemahkan fungsi dan peran KY dengancara “membonsai” 15 kewenangan KYdalam mengawasi perilaku hakim. Danpada akhirnya praktek mafia peradilansemakin menjadi-jadi kerena tidak diawasiatau dikontrol oleh lembaga yangsebenarnya yang ditetapkan dalamkonstitusi.

Dalam memaknai kehadiaran KY,berdasarkan pada UU No. 22/2004 makadapat dirumuskan dua fungsi penting KYdalam upaya penegakan hukum dankeadilan di Indonesia: pertama, KYberfungsi untuk mempresentasikan kontrolpublik ke dalam lembaga peradilan.Kedua, bersama-sama dengan MA danMK, KY berperan untuk membentuk(reshaping) peradilan di Indonesia. KYdiberikan tanggung jawab konstitusionaluntuk mengontrol kinerja dan perilakupara hakim atau dapat dikatakan KYadalah sang ujung tombak penegakanhukum di lembaga peradilan.

Agar performance KY lebih baik lagi,maka yang perlu dilakukan adalah:

1. Mendorong dan menjadikanissue/masalah KY menjadi issuepublik, sehingga akan mendapatsimpati yang lebih konkrit dan luas.

2. Memaksimalkan peranan jejaringyang telah ada denganmendesentralisasikan kewenanganmengawasi hakim, khususnya padadaerah-daerah yang rawan mafiaperadilan.

3. Menyiapkan perangkat-perangkatorganisasi, terutama regulasi internal

20 Marwan Mas, Memulihkan KewenanganKomisi Yudisial dengan Melibatkan Kemitraan(jejaring) di Daerah, Jakarta : Komisi Yudisial, Hal275-285.

untuk memperlanjar tugas dankewenangan KY.

4. Menyusun code of conduct yangdapat digunakan sebagai pedoman danindikator dalam pengawasan hakim.

5. Memperkuat fungsi dan peranan KYdi dalam revisi UU KY.

6. Melakukan kampanye dan pendidikankepada publik dalam hal memerangimafia peradilan. Dalam hal ini,meminta DPR dan Presiden agarsungguh-sungguh melakukanpemberantasan mafia peradilansebagai upaya dalam memberantaskorupsi.

Mengingat KY memiliki peranan strategisdalam mengawal reformasi peradilan,maka sudah sepatutnya peranan KY perludiperkuat kedepan. Semoga hal ini tidakhanya menjadi sebatas harapan belaka.

Penutup

Dari uraian di atas, maka dapatdisimpulkan bahwa Pembatasankewenangan KY oleh MK berdasarkanputusan No. 005/PUU-IV/2006 dapat

menciptakan terdistorsinya prosespenegakan hukum yang merupakan salahsatu prasyarat dalam menciptakan Negarahukum di Indonesia, sehingga Pemerintahperlu mendasari kebijakan-kebijakanpolitik hukumnya dengan hasil penafsiranyang benar terhadap UUD 1945 dan bukandidasarkan pada kepentingan-kepentingantertentu.

Mengadakan Reformasi sistemperadilan di Indonesia dengan mencegahcampur tangan eksekutif atau legislatif,mengembalikan kewenangan KomisiYudisial untuk memperkuat fungsipengawasan hakim dan memperkuateksistensi pengadilan Tipikor.Memperkuat seleksi Hakim Agung olehKY, penetapan gaji yang berdasarkanpengalaman dan kemampuan, kebebasanmemperolah akses informasi, prosesperadilan yang harus dilakukan secaraterbuka dan yang paling penting adalahHakim Agung hasil seleksi harus memilikiahlak dan moralitas yang baik serta lebihmengutamakan kepentingan bangsa danNegara dari pada pribadi dan golongan.

Pustaka

Pieris Jhon dan Baramuli Putri A.., 2006, Dewan perwakilan daerah RI: Studi, Analisis,Kritik dan Solusi Kajian Hukum dan Politik, Edisi 1. Jakarta : PelangiCendekia.

Deliar Noer.,1983. Pengantar Ke Pemikiran Politik, cet. 1 Jakarta : Cv Rajawali.Amir Machmud.,1984. Demokrasi, Undang-Undang dan Peran Rakyat, dalam

PRISMA No.8 Jakarta : LP3ESLijphart, Arend.,1984. Democracies (Patterns of majoritian and consensus government.

In twenty-one countries) USA : Yale University PressHenry B.Mayo.,1999. An Introduction to Democratic Theory, dalam Mahfud MD,

Hukum dan Pilar- Pilar Demokrasi, Yogjakarta : Gama MediaDenny Indrayana.,2007. Makala : Proses Reformasi Konstitusi Transisi (Pengalaman

Indonesia dan perbandingan dengan Afrika Selatan dan Thailand)Disampaikan dalam forum Experts Meeting “ Amandemen UUD 1945 “,Yogyakarta.

Donald K. Emmerson, ed., 2001. Indonesia Beyond Soeharto : Negara, Ekonomi,Masyarakat, Transisi, Jakarta : Gramedia dan The Asia Foundation.

Denny Indrayana., Opini : Mahkamah Mafia Peradilan. Kompas. 28 Agustus 2006.

Jimly Asshiddiqie. ,2006. Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, cet 2, Jakarta :Konstitusi Press.

Mauro Cappeletti, 1989., dalam Arbab Paproeka., “Perubahan Bidang Politik danPengaruhnya Terhadap Reformasi Peradilan” dalam Bunga Rampai KomisiYudisial dan Reformasi Peradilan. Komisi Yudisial RI, Jakarta 2007

Satjipto Rahardjo. , 2006. Membedah Hukum Progressif. Kompas. cet 1.

Marwan Mas., 2007. Memulihkan Kewenangan Komisi Yudisial dengan MelibatkanKemitraan (jejaring) di Daerah, Jakarta : Komisi Yudisial.