10

Click here to load reader

Peran Arsitektur Lingkungan Binaan Dalam Meningkatkan Kepariwisataan Berbasis Kearifan Lokal - Ave H

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Artikel ini membahas peran ALB dalam merencanakan pelestarian lingkungan binaan tradisional di Pulau Bali yang berbasis kearifan lokal untuk tujuan wisata yang lebih ramah lingkungan.

Citation preview

Page 1: Peran Arsitektur Lingkungan Binaan Dalam Meningkatkan Kepariwisataan Berbasis Kearifan Lokal - Ave H

1 Mahasiswa Pascasarjana Arsitektur Lingkungan Binaan Universitas Brawijaya,

Staf Pengajar Jurusan Arsitektur Universitas Palangkaraya

PERAN ARSITEKTUR LINGKUNGAN BINAAN DALAM MENINGKATKAN KEPARIWISATAAN BERBASIS KEARIFAN LOKAL DI BALI

Ave Harysakti 1

Abstrak:

Arsitektur Lingkungan Binaan (ALB) merupakan sub bidang keilmuan Arsitektur yang mempelajari interaksi antara Tuhan-Manusia-Alam dalam suatu lingkungan binaan pada skala makro (urban), dan/atau meso (kawasan), dan/atau mikro (arsitektural) dalam konteks keberlanjutan Arsitektur Nusantara dan Kearifan Lokal. Makalah ini membahas peran ALB dalam merencanakan pelestarian lingkungan binaan tradisional di Pulau Bali yang berbasis kearifan lokal untuk tujuan wisata. Menggunakan metode observasi lapangan, wawancara, dan studi pustaka, diperoleh hasil bahwa dalam perencanaan dan pelestarian lingkungan binaan tradisional dibutuhkan pemahaman mengenai filosofi hidup masyarakat adat, nilai-nilai tradisional, dan kearifan lokal yang membentuk lansekap budaya mereka agar diperoleh perencanaan pelestarian lingkungan binaan yang tepat sasaran dan mampu menampilkan citra tradisional setempat sebagai tujuan wisata yang menarik. PENDAHULUAN

Isu seputar keberlanjutan dan lingkungan binaan telah dibahas secara luas dan saat ini menjadi agenda penting disetiap sudut dunia. Terdapat tiga faktor utama dalam pembangunan berkelanjutan di setiap sektor pembangunan, yaitu komponen ekonomi, lingkungan, dan sosial-budaya, dimana ketiganya harus dalam keadaan yang seimbang. Oleh karena itu, pembangunan lingkungan binaan yang berkelanjutan merupakan upaya memaksimalkan pendapatan ekonomi seraya mendukung konservasi lingkungan dan sumber daya alam, serta melakukan pelestarian budaya (Antariksa, 2011; Soemarno, 2012; Surdjono, 2012).

Dalam konteks kepariwisataan, isu berkelanjutan tumbuh secara signifikan, terutama di daerah yang kaya dengan keanekaragaman budaya (UNWTO, 2013). Tuntutan pada peningkatan di bidang pariwisata telah mendorong pembentukan tujuan-tujuan wisata yang baru, konservasi warisan budaya, peningkatan kualitas lingkungan budaya, dan upaya peningkatan dalam memberikan layanan terbaik bagi para wisatawan. Pengembangan kepariwisataan berkelanjutan pada daerah yang secara signifikan memiliki potensi wisata, akhirnya wajib memperhatikan perencanaan dan pengelolaan lingkungan binaan dengan seksama sebagai persyaratan untuk meningkatkan daya saing dan mencapai tujuan keberlanjutannya. Perencanaan Lingkungan Binaan yang tepat harus dapat memberikan master plan yang berkaitan dengan rencana penggunaan lahan dan rencana infrastruktur guna memenuhi kebutuhan aktivitas kepariwisataannya. Secara lebih detail disajikan rencana eksplorasi daya tarik tujuan wisatanya, karena daya tarik dan atraksi wisata merupakan kunci keberhasilan suatu daerah tujuan wisata (Surdjono, 2012). Atraksi wisata, berdasarkan keindahan alam dan fenomena sosial-budaya adalah merupakan jantung dari tujuan wisata. Wisatawan datang ke tujuan tertentu karena mereka ingin berinteraksi dengan daya tarik wisatanya (Suwantoro, 1997).

Salah satu cara yang terbaik dalam mengembangkan suatu atraksi wisata adalah menyajikan fenomena alam dan mengoptimalkan peran manusia dalam menciptakan daya tarik melalui kontribusi masyarakat lokal. Karakteristik destinasi yang berhubungan dengan budaya dan tradisi lokal dapat disajikan melalui lingkungan binaan tradisional dimana dapat terlihat bagaimana masyarakat lokal berinteraksi dengan alamnya (Hong, 2010). Hal ini berarti dapat digunakan keilmuan Arsitektur Lingkungan Binaan (ALB) sebagai alat untuk memahami bagaimana masyarakat lokal berinteraksi dengan alam dan menciptakan atraksi wisata yang berkelanjutan. Menurut Pangarsa (2012), ALB muncul sebagai multidisiplin ilmu yang meneliti hubungan antara

Page 2: Peran Arsitektur Lingkungan Binaan Dalam Meningkatkan Kepariwisataan Berbasis Kearifan Lokal - Ave H

Tuhan, Masyarakat Adat, dan Alam, pada sebuah kerangka berpikir yang bersahaja dan saling menyelaraskan untuk berkontribusi pada keberlanjutan hidup manusia yang damai dan tentram. ALB memungkinkan pengembangan Lingkungan Binaan yang “Indigenous Local Friendly”, lingkungan yang menghormati dan mendukung kearifan lokal, dapat mewakili identitas bangsa, serta meminimalkan kekeliruan tujuan bangsa (Wikantiyoso, 2013).

Dalam makalah ini, akan ditinjau bagaimana ALB dapat membantu dalam perencanaan dan pelestarian sebuah tujuan pariwisata yang berkelanjutan dan “Indigenous Local Friendly” guna meningkatkan potensi kepariwisataannya. Menggunakan Pulau Bali sebagai studi kasus, makalah ini dimulai dengan diskusi tentang alam, budaya dan pariwisata di Bali, dan menyediakan informasi umum tentang Pulau Bali sebagai tujuan wisata. Selanjutnya, disajikan lansekap budaya Bali dan filosofi hidup masyarakatnya, serta peran ALB dalam melestarikan lingkungan binaannya agar memiliki citra yang menarik bagi tujuan wisata. ALAM, FILOSOFI KEBUDAYAAN, dan PARIWISATA DI BALI

Pulau Bali dikenal dengan keindahan alam dan keunikan budayanya, sehingga Bali sering diibaratkan sebagai sepotong surga di belahan bumi. Pulau Bali terletak di sebelah timur Pulau Jawa, memiliki wilayah seluas 5.632,86 km2. Pulau Bali merupakan daerah yang dominan menganut agama Hindu di Indonesia. Secara administratif, Pulau Bali dibagi menjadi tujuh kabupaten, yaitu: Badung, Gianyar, Klungkung, Bangli, Karangasem, Jembrana, Buleleng, dan Denpasar (BPS Bali, 2012). Pulau ini diapit oleh Selat Bali di sebelah barat, Laut Jawa di utara , Selat Lombok di timur dan Samudera Hindia di selatan (Gambar 1). Pulau Bali dikelilingi oleh pantai-pantai yang sangat indah serta memiliki ekosistem laut yang sangat beragam. Banyak terdapat terumbu karang yang menakjubkan, sangat ideal dinikmati untuk aktifitas menyelam. Terumbu karang dan biota laut dapat ditemukan di wilayah utara dan selatan, dan timur, seperti di Nusa Penida, Nusa Lembongan, Pemuteran, Gili Tepekong, dan Tulamben. Sedangkan di wilayah barat banyak terdapat jenis biota laut seperti kura-kura laut dan jenis ikan-ikanan yang sangat kaya.

Gambar 1. Peta Pulau Bali (sumber: google earth)

Pulau Bali adalah Pulau Vulkanik, memiliki dua buah gunung aktif yaitu Gunung Agung dan

Gunung Batur. Gunung-gunung ini dikeramatkan dan dipercaya merupakan rumah bagi para dewa

Page 3: Peran Arsitektur Lingkungan Binaan Dalam Meningkatkan Kepariwisataan Berbasis Kearifan Lokal - Ave H

masyarakat Bali pada umumnya. Keberadaan gunung-gunung ini membuat lansekap Bali memiliki kombinasi indah dari pemandangan pegunungan ke arah darat dan pemandangan lautan ke arah laut. Setelah beberapa kali tercatat meletus, kedua gunung ini juga memberikan kontribusi bagi kesuburan tanah di Pulau Bali. Dataran Bali sebagian besar ditutupi oleh hutan tropis (23% dari total luas pulau) dan hutan mangrove pada beberapa daerah tertentu. Pulau Bali memiliki bermacam flora dan fauna yang unik termasuk endemik Jalak Bali. Sehingga dapat dikatakan bahwa Pulau Bali memiliki kekayaan alam yang sangat kaya dan memiliki nilai jual pariwisata yang sangat tinggi.

Selain kekayaan alamnya, Bali juga kaya akan budaya dan tradisi lokal. Dalam kehidupannya, Manusia Bali memiliki filosofi hidup yang disebut Tri Hita Karana (Tiga Sebab Kemakmuran). Mereka percaya bahwa kedamaian dan kemakmuran hanya dapat tercapai jika manusia menghormati dan menjunjung tinggi hubungan harmonis antara ketiga unsur yaitu keyakinan pada Tuhan, Lingkungan Alam, dan Hubungan Sosial Kemasyarakatan. Manusia diwajibkan hidup dalam penghormatan kepada Tuhan, saling membangun hubungan yang harmonis antar anggota masyarakat, dan menghargai serta menghormati lingkungan alam. Tri Hita Karana yang berlandaskan kepercayaan Hindu ini secara luas diterapkan dalam kehidupan masyarakat di Bali, diturunkan secara tradisi dari generasi ke generasi (Allen, 2005). Terdapat pula kearifan lokal yang disebut Ajeg Bali, yang berarti orang Bali sebaiknya kembali ke asal, kembali ke Bali yang murni dan damai, dimana semua teratur dan asli. Sebuah upaya dalam mempertahankan adat dan sosial-budayanya (Putra, 2003).

Pariwisata di Bali mengalami masa keemasan sejak tahun 1970-an, dan terus mengalami penurunan setelah terjadi krisis moneter di Indonesia serta terjadi peristiwa pemboman di Bali tahun 2002 dan 2005. Hal ini disebabkan oleh menurunnya rasa aman diiringi oleh penyebaran penyakit dan kerusakan lingkungan di Pulau Bali. Pergesekan budaya moderen dengan budaya tradisional di Bali turut menurunkan tingkat keaslian budaya masyarakatnya, disebabkan banyak dari masyarakat Bali cenderung berubah pola pikirnya mengikuti budaya moderen. Dengan menurunnya tingkat keaslian adat dan budaya Bali ini tentunya juga menurunkan daya tarik dan atraksi wisatanya karena para pelaku budaya adatnya menjadi berkurang. Untuk itu perlu dilakukan upaya-upaya untuk melestarikan budaya dan tradisi mereka di era dunia global ini. Kearifan lokal Tri Hita Karana dan Ajeg Bali jelas dapat berfungsi sebagai visi dan motivasi yang kuat untuk melestarikan Tradisi Bali yang asli. Di dalam kearifan lokal ini terdapat landasan sosial budaya dan konservasi alam yang merupakan elemen penting dalam perencanaan pembangunan berkelanjutan. Kearifan lokal di Bali ini perlu ditumbuh-kembangkan guna menghidupkan kembali pengalaman yang baik di masa lalu untuk masa depan Bali yang kaya akan tradisi melalui praktek pengelolaan budaya dan lingkungan alam. Kearifan lokal dan tradisi adat telah terbukti berhasil dalam menciptakan dan memelihara ekosistem yang seimbang untuk waktu yang lama di Bali. Oleh sebab itu, kearifan lokal ini perlu diintegrasikan ke dalam pembangunan kepariwisataan berkelanjutan, sebagai panduan moral dalam mengelola pariwisata yang dapat hidup berdampingan dengan budaya dan tradisi Bali. LANSEKAP BUDAYA dan ARSITEKTUR LINGKUNGAN BINAAN di BALI

Di banyak bagian dunia, manusia telah berinteraksi dengan alam untuk waktu yang lama. Interaksi antara manusia dan alam menghasilkan lansekap budaya dengan berbagai identitas dan karakteristik (Ringer, 2013). Beragam etnis yang tinggal di lingkungan binaan yang berbeda dan dengan budaya yang berbeda telah mengembangkan strategi untuk bertahan pada lansekap mereka, menghasilkan berbagai bentuk lansekap budaya sebagai hasil dari upaya mereka dalam merespon keadaan lingkungan alamnya (Eckbo,1998). Lingkungan binaan pada lansekap budaya adalah semua yang sudah mendapat campur tangan atau diubah oleh manusia, sehingga hal

Page 4: Peran Arsitektur Lingkungan Binaan Dalam Meningkatkan Kepariwisataan Berbasis Kearifan Lokal - Ave H

tersebut mengandung arti bahwa segala sesuatu di sekitar kita mempunyai arti yang penting dan mencerminkan kebudayaan komunitas yang mengolahnya (Melnick, 1983).

Disebabkan mayoritas dari penduduk Bali adalah komunitas yang mempraktekkan berbagai varian Hinduisme, sehingga bentuk fisik tempat tinggal dan pemukiman mereka mencerminkan tingkat pengaruh religi dan tatanan sosial yang mempengaruhi mereka. Lokasi, orientasi, dan tata letak dari kota, desa, kuil, dan tempat tinggal di Bali secara tradisional ditentukan oleh aturan arsitektur kuno. Aturan ini berisikan instruksi yang detail dalam berarsitektur, mengandung prosedur yang rinci dalam meletakkan dan membangun pemukiman, rumah, candi, kuil, dan bangunan lainnya. Petunjuk ini berupa diagram mistis di mana segala sesuatu yang berkaitan dengan masyarakat dan bangunan diatur sedemikian rupa agar berada dalam harmonisasi dengan alam semesta (Dagens, 1985). Di Bali aturan ini dikenal dengan sebutan Hasta Bhumi dan Hasta Kosala-Kosali, ditulis pada lontar oleh Mpu Kuturan pada abad XI, kanon desain kuno ini mengatur secara terperinci tentang sistem pengukuran, proporsi, upacara, orientasi, penempatan dan tata ruang yang digunakan dalam desain arsitektur dan lingkungan binaan di Bali.

Kesadaran akan kekuasaan dan kebesaran Tuhan di Pulau Bali tercermin pada pemahaman akan Makrokosmos yang terdiri dari tiga dunia (Tri Angga), yaitu Dunia Atas (Swah/Para Dewa), Dunia Tengah (Bwah/Manusia dan Lingkungan Alam), dan Dunia Bawah (Bhur/Setan dan Roh Jahat)(Budihardjo, 1985). Dunia Tengah adalah Mikrokosmos (Bhuwana Alit) dimana mencerminkan dunia yang lebih besar yaitu Dunia Atas/Alam Semesta/Makrokosmos (Bhuwana Agung) (Gambar 2). Dengan demikian, segala sesuatu di mikrokosmos wajib tunduk pada makrokosmos. Keharmonisan antara Bhuwana Agung dan Bhuwana Alit harus dijaga setiap saat, di semua tempat, dan untuk semua objek. Orang Bali menyebut pemahaman ini sebagai Desa Kala Patra. Bagi mereka, dengan menjalankan keyakinan Desa Kala Patra ini, Orang Bali dapat lolos dari siklus kelahiran kembali (reinkarnasi) dan beroleh moksha (naik ke surga) dari Tuhan mereka yaitu Siwa.

Gambar 2. Konsep Tri Loka

Pada Dunia Tengah, terdapat konsep Nawa Sanga, atau Sembilan Arah . Pembagian ruang

khas Bali yang sering disebut Sanga Mandala adalah didasarkan pada Nawa Sanga ini. Sanga Mandala ini merupakan diagram mistis terbuat dari sembilan kotak (Budihardjo, 1985). Aturan Hasta Kosala Kosali menggunakan Sanga Mandala sebagai dasar untuk menentukan orientasi penempatan desa dan tempat tinggal. Menurut Hasta Kosala Kosali, bahwa desa, tempat tinggal, tempat suci, dan semua artefak hasil karya manusia adalah masuk dalam Dunia Tengah dan mewakili manusia. Dengan demikian, pada Bhuwana Alit dapat dilakukan pembagian menjadi kepala, badan, dan kaki. Pembagian ini menjadi sesuai dengan urutan pembagian dari Bhuwana Agung: Utama (atas dan suci), Madya (menengah dan manusia), dan Nista (rendah dan profan) (Gambar 3).

Page 5: Peran Arsitektur Lingkungan Binaan Dalam Meningkatkan Kepariwisataan Berbasis Kearifan Lokal - Ave H

Gambar 3. Konsep Sanga Mandala

Konsep Sanga Mandala ini membentuk dasar untuk orientasi dan lokasi tempat tinggal dan permukiman di Bali. Menggunakan sumbu gunung-laut , dan sumbu matahari terbit – terbenam, petunjuk arah dilambangkan dengan warna dan gambar-gambar dewa-dewa tertentu sesuai dengan mitologi Bali. Arah menuju gunung dikenal sebagai Kaja, dan ke arah laut dikenal sebagai Kelod. Orang Bali percaya bahwa Pulau Bali merupakan pusat dunia dan bahwa tempat tinggal para dewa terletak di awan di puncak Gunung Agung, yaitu gunung berapi tertinggi di pulau ini. Sedangkan laut adalah alam dari para setan dan roh jahat. Tanah, sawah, dan hutan di antara gunung dan laut adalah tempat tinggal bagi manusia. Pemahaman ini sekali lagi menunjukkan pembagian sesuai dengan kepala, tubuh, dan kaki (Tri Angga) (Gambar 4). Susunan dan keselarasan antara lingkungan binaan dengan lingkungan alam ini dicapai dengan menggunakan hirarki spasial dan tatanan orientasi berdasarkan Sanga Mandala. Hirarki spasial ini diwakili oleh Utama (kepala/atas), Madya (badan/tengah), dan Nista (kaki/ rendah) dikenal sebagai Triloka bila diterapkan pada ruang arsitektur dan Tri Angga bila diterapkan sebagai metafora dari anatomi manusia.

Gambar 4. Konsep Tri Angga

Page 6: Peran Arsitektur Lingkungan Binaan Dalam Meningkatkan Kepariwisataan Berbasis Kearifan Lokal - Ave H

Konsep Triloka dan Tri Angga ini perwujudannya dapat ditemukan dalam berbagai hal pada

lingkungan binaan, mulai dari perencanaan daerah, tata letak desa, desain tempat tinggal, detail struktur, detail ornamen dan kolom, serta pada perabotan rumah tangga. Berdasarkan Sanga Mandala, ruang yang paling suci dari bagian desa atau rumah tempat tinggal diletakkan sedekat mungkin dengan Kaja. Ruang komunal ditempatkan pada bagian tengah dari desa, dan daerah yang tidak suci (tempat MCK dan yang berpotensi profan) diletakkan pada arah Kelod (Gambar 5). Kosmologi dalam arsitektur Bali juga mengenal orientasi terhadap matahari terbit (paling menguntungkan) dan matahari terbenam (paling merugikan). Dari beberapa kearifan lokal masyarakat Bali di atas, dapat disimpulkan bahwa Orang Bali dalam membangun lingkungan binaannya sangat menyaadari akan pentingnya posisi dari setiap benda, dan benda-benda tersebut diusahakan sebaik mungkin berada pada tempat yang tepat sesuai aturan adat yang berlaku.

Gambar 5. Sanga Mandala Pada Rumah Tinggal Bali

Pada ranah pariwisata, praktek pembagian daerah dan ruang berdasarkan Tri Loka ini

secara vertikal dapat ditemukan sampai saat ini. Daerah pegunungan dianggap sebagai daerah suci dan tempat mendirikan pura-pura agung (Utama). Daerah lembah sampai jarak beberapa kilometer sebelum tepi laut dipakai sebagai ruang tempat permukiman penduduk dan pertanian (Madya). Sedangkan daerah tepi laut berada dalam posisi terendah (Nista). Daerah Nista ini merupakan daerah yang paling berkembang untuk pariwisata, dimana sebagian besar hotel dan fasilitas kepariwisataan banyak dibangun. Berdasarkan sumbu horisontal, konsep Tri Loka terwujud pada organisasi ruang dihampir seluruh desa adat di Bali. Terdapat daerah Pura Desa (Kahyangan Tiga) sebagai yang Utama, daerah permukiman penduduk desa (Pawongan/Krama Desa) sebagai Madya, dan lingkungan sekitar desa (Palemahan/Karang desa) sebagai Nista. Hal ini sesuai dengan konsep Tri Hita Karana yang mengatur hubungan antara Manusia - Tuhan – Alam (Yudantini, 2003)(Gambar 6).

Karakteristik lingkungan binaan yang paling jelas dari Pulau Bali, selain merupakan daerah pedesaan tropis, juga ditemukan banyak terdapat lahan pertanian, hal ini disebabkan penanaman padi telah menjadi salah satu kegiatan ekonomi utama di Bali. Banyak terdapat daerah di bagian dari Pulau Bali yang berupa dataran tinggi serta memiliki kemiringan tanah yang cukup tajam. Kearifan lokal masyarakat Bali dalam mengolah lahan pertaniannya pada daerah dataran tinggi ini (terasering) menghasilkan pemandangan lansekap yang sangat indah dan unik. Menurut Lansing et al (1993), penggunaan teknik terasering ini dapat meningkatkan kemampuan konservasi tanah

Page 7: Peran Arsitektur Lingkungan Binaan Dalam Meningkatkan Kepariwisataan Berbasis Kearifan Lokal - Ave H

dengan meminimalkan limpasan air permukaan, mengurangi risiko longsor, dan mitigasi erosi tanah. Teknik terasering ini dapat ditemukan pada kebanyakan negara-negara di Asia, yang membedakan dengan di Bali adalah kenyataan bahwa teknik terasering ini sepenuhnya terintegrasi ke dalam budaya dan keagamaan masyarakatnya. Teknik ini telah berkembang di Bali selama hampir seribu tahun dimana kunci keberhasilan dan kelestariannya adalah pada Sistem Subak dan penyembahan di Kuil Air. Subak adalah organisasi petani di Bali yang berbagi pasokan air untuk pertaniannya, mereka mengelola irigasinya secara bersama-sama sekaligus mengatur kegiatan budaya yang berhubungan dengan pertanian tersebut. Terdapat jadwal-jadwal khusus sepanjang tahun bagi para petani anggota Subak untuk bertemu pada Kuil Air di daerah Subak-nya masing-masing untuk menentukan pola tanam, jadwal irigasi, dan pengendalian hama. Pertemuan ini dimulai dan diakhiri dengan menyembah Dewi Sri pada Kuil Air tersebut. Upaya yang dilandasi keyakinan pada lingkungan binaan dan lansekap budaya Bali ini merupakan model yang sangat baik bagi kegiatan pembangunan atraksi wisata yang berkelanjutan.

Gambar 6. Aplikasi Tri Loka Pada Tata Ruang Desa Adat di Bali

ARSITEKTUR LINGKUNGAN BINAAN dan PARIWISATA

Citra (image) adalah faktor utama yang mempengaruhi para wisatawan dalam memilih tujuan wisata dan merupakan faktor penting dalam menentukan kepuasan wisatawan (Bovy, 1998). Selanjutnya menurut Bovy, para wisatawan dalam dekade ini cenderung memiliki tingkat pendidikan yang tinggi, sehingga ketertarikan mereka berwisata ketempat-tempat yang bertemakan konservasi, menyajikan kehidupan masyarakat adat, dan wisata alam. Keaslian masyarakat adat dan budaya menjadi favorit tujuan wisata. Jadi istilah "keaslian" digunakan untuk mewakili tujuan wisata ke tempat tertentu yang memberikan pengalaman bagi wisatawan dengan melibatkan masyarakat adat, karya seni asli, artefak, ritual adat, dan sebagainya, dalam hal ini dapat berupa wisata warisan budaya atau wisata kepermukiman tradisional etnis.

Page 8: Peran Arsitektur Lingkungan Binaan Dalam Meningkatkan Kepariwisataan Berbasis Kearifan Lokal - Ave H

Untuk itu, keaslian dari tujuan wisata ini sangatlah penting. Pengalaman wisatawan dalam merasakan suasana ruang pada lingkungan binaan tradisional akan memberikan pengalaman wisata yang otentik pada obyek yang mereka kunjungi. Hal ini berarti bahwa pelestarian lingkungan adat menjadi elemen utama dalam rangka mencapai kepuasan wisatawan. Pelestarian lingkungan tradisional ini dapat tercapai dengan mengintegrasikan segenap komponen lingkungan alam, komponen lingkungan binaan, dan komponen sosial (kehidupan sehari-hari) menjadi satu kesatuan yang harmonis. Selanjutnya diperlukan keterlibatan dan peran aktif masyarakat untuk membangun citra keaslian tempat tersebut. Dalam konteks Arsitektur Lingkungan Binaan, keaslian ini dipahami sebagai interaksi antara manusia dan alam yang menciptakan bentang alam dengan kehidupan sehari-hari mereka sebagai pemberi karakter yang khas bagi tempat mereka. Oleh sebab itu, dukungan yang aktif dari masyarakat lokal untuk pelestarian keaslian lansekap budaya mereka merupakan syarat bagi keberhasilannya menjadi tujuan wisata. Pada desa-desa adat di Bali, keberhasilan mereka dalam melestarikan lansekap budaya mereka disebabkan oleh karena masyarakatnya terikat pada keyakinan (agama) dan budaya yang dihargai dan dipelihara dari generasi ke generasi.

Arsitektur Lingkungan Binaan (ALB) dapat berperan dalam pariwisata dengan memberikan perencanaan lingkungan binaan yang menghargai sumber daya alam. Berupaya melestarikan karakteristik lansekap daerah Bali dengan cara-cara tradisional, melibatkan partisipasi yang signifikan dari masyarakat dalam pelestarian nilai-nilai adat mereka. Sebagai contoh adalah ALB dapat digunakan dalam merencanakan konservasi lansekap budaya Desa Tenganan Pegringsingan di Bali (Harysakti, 2013). Selain dapat memberikan kontribusi bagi pengoptimalan sebuah lansekap budaya yang luar biasa, ALB juga memberikan kesempatan bagi masyarakat Desa Tenganan untuk berpartisipasi aktif dalam mengelola aset desa mereka ke dalam bentuk sebuah Ecomuseum yang diatur menggunakan filsafat Tri Hita Karana (Gambar 7).

Gambar 7. Rencana Ecomuseum Lansekap Budaya Desa Tenganan Pegringsingan Bali.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Dengan kecenderungan peningkatan jumlah wisatawan yang mencari tujuan wisata yang berorientasi pada pengalaman ruang budaya dan alam, negara Indonesia pada kenyataannya memiliki banyak sekali tempat-tempat yang kaya akan sumber daya alam dan budaya. Untuk itu, negara Indonesia harus mampu mengembangkan tempat-tempat tersebut agar dapat memenuhi tuntutan wisatawan akan tujuan wisatanya. Pada kasus di Pulau Bali ini, masa depan pariwisata

Page 9: Peran Arsitektur Lingkungan Binaan Dalam Meningkatkan Kepariwisataan Berbasis Kearifan Lokal - Ave H

akhirnya tergantung pada bagaimana masyarakatnya dapat melakukan pelestarian budaya mereka yang kaya dan cara hidup harmonis mereka dengan alam. Sebagaimana Arsitektur Lingkungan Binaan dapat mempromosikan pembangunan berkelanjutan di bidang pariwisata dengan mempromosikan filosofi adat masyarakat Bali dengan pertimbangan:

1. Filosofi masyarakat Bali memberikan aturan dan pedoman dimana manusia dapat hidup di lingkungan alam dan lingkungan binaannya secara berkelanjutan;

2. Sistem kemasyarakatan Bali mampu untuk memfasilitasi pelestarian kearifan lokal dan aplikasinya di masyarakat (Awig-Awig).

Lansekap budaya merupakan bukti apresiasi masyarakat dari filosofi keyakinan dan penerapan hukum adat dalam lingkungan binaannya. Hal ini mengakibatkan lansekap budaya Bali menjadi unik dan menarik bagi wisatawan untuk menikmatinya.

Lebih jauh, Arsitektur Lingkungan Binaan dapat berperan penting dalam mencegah dampak moderenisme yang dapat merusak identitas budaya nusantara. Dalam melakukan perencanaan, Arsitektur Lingkungan Binaan melakukan pendekatan dimulai dari menyelami filosofi dan kearifan lokal masyarakat setempat dalam mereka menjalani kehidupan sehari-harinya berdasarkan tradisi, untuk selanjutnya dilakukan analisis dan sintesis guna memperoleh desain lingkungan binaan yang tidak lepas dari tradisi yang ada pada tempat tersebut (Rapoport, 1994).

Jadi dalam praktek Arsitektur Lingkungan Binaan, perencanaan tujuan wisata yang berbasis kearifan lokal adalah dengan upaya mempromosikan nilai-nilai tradisional yang terkandung dalam suatu komunitas adat. Mitos dan keyakinan masyarakat setempat, hubungan sosial kemasyarakatan adat, dan pengelolaan sumber daya alam secara tradisional merupakan obyek amatan dari perencanaan Arsitektur Lingkungan Binaan. Pembangkitan semangat tradisionalisme yang berdasarkan ketuhanan/keyakinan akan menghasilkan lansekap budaya yang otentik, yang dapat membuat tujuan wisata menjadi lebih menarik bagi wisatawan (Johnson, 1998).

Page 10: Peran Arsitektur Lingkungan Binaan Dalam Meningkatkan Kepariwisataan Berbasis Kearifan Lokal - Ave H

DAFTAR PUSTAKA

Allen, Pamela and Carmencita Palermo. 2005. Ajeg Bali: Multiple Meanings, Diverse Agendas. Download PDF: http://eprints.utas.edu.au/918/1/IMW_article.pdf.

Antariksa. 2011. Pola Permukiman Tradisional. http://antariksaarticle.blogspot.com/2011/01/pola-permukiman-tradisional.html.

Bovy, Manuel Baud dan Fred R.Lawson. 1998. Tourism and Recreation: Handbook of Planning and Design. Michigan: University of Michigan.

BPS Bali. 2012. Provinsi Bali Dalam Angka. Denpasar: BPS Provinsi Bali.

Budihardjo, Eko. 1985. Architectural Conservation in Bali. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Dagens, B. 1985. Indian Architecture According to Manasara Silpasastra and Mayamata. New Delhi: Sitaram Bhattia Institute of Scientific Research.

Eckbo, Garreth. 1998. People in a Landscape. New Jersey: Prentice Hall.

Harysakti, Ave. 2013. Identifikasi Desa Tenganan Sebagai Ecomuseum. Makalah Seminar. Dipresentasikan pada Seminar Nasional: Semesta Arsitektur Nusantara, Universitas Brawijaya, Malang 11-12-13.

Hong, Sun-Kee. 2010. Landscape Ecology in Asian Cultures. New York: Springer.

Johnson, Norris Brock. 1998. Religious Landscapes and the Invocation of Tradition. TDSR X, NUMBER I, FALL 1998.

Lansing, J.S. dan J.N. Kremer. 1993. Emergent Properties of Balinese Water Temple Networks: Coadaptation on a Rugged Fitness Landscape. American Anthropological Association Journal Vol.95. New Jersey: Blackwell Publishing.

Melnick, Robert Z. 1983. Protecting Rural Cultural Lanscapes: Finding Value in the Countryside Landscape. Landscape Journal, Fall 1983 Vol. 2 No. 2, p.85-96.

Pangarsa, Galih Widjil. 2012. Dinamika Ruang Masyarakat. PPT. Bahan Ajar Pascasarjana ALB UB. Tidak dipublikasikan.

Putra, I Nyoman Darma. 2003. A Literary Mirror: Balinese Reflections on Modernity and Identity in the Twentieth Century. PhD thesis. Brisbane: University of Queensland.

Rapoport, Amos. 1994. Sustainability, Meaning, and Traditional Environments. TDSR VI, NUMBER I, FALL 1994.

Ringer, Greg. 2013. Destinations: Cultural Landscapes of Tourism. New York: Routledge.

Soemarno. 2012. Kebijakan Konservasi Kewilayahan: Sustainability (Keberlanjutan). PPT. Bahan Ajar Pascasarjana ALB UB. Tidak dipublikasikan.

Surdjono. 2012. Perencanaan Lingkungan Berkelanjutan. PPT. Bahan Ajar Pascasarjana ALB UB. Tidak dipublikasikan.

Suwantoro, Gamal. 1997. Dasar-Dasar Pariwisata. Yogyakarta: Penerbit Andi.

UNWTO. 2013. Tourism Highlights 2013. Download PDF, http://dtxtq4w60xqpw.cloudfront.net/sites/all/files/pdf/unwto_highlights13_en_lr_0.pdf.

Wikantiyoso, Respati. 2013. Kearifan Budaya Lokal. PPT. Bahan Ajar Pascasarjana ALB UB. Tidak dipublikasikan.

Yudantini, Ni Made. 2003. Balinese Traditional Landscape. Jurnal Pemukiman Natah, vol. 1:65-80.