Peptik Ulcer Gabungan

Embed Size (px)

Citation preview

KAPITA SELEKTA FARMAKOTERAPI

TUKAK PEPTIK

OLEH Angelina B. Manulena, S. Farm Aan Kurniawan, S. Farm Agnes D. Purba, S. Farm Alexandra Ayu Y. N. P, S. Farm Anindita Reningtyas, S. Farm Dana Tirta S, S. Farm Desi Natalia, S. Farm Dyas Kriswardhani, S. Farm (118115071) (118115072) (118115073) (118115074) (118115075) (118115076) (118115077) (118115078)

PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS SANATA DHARMA 2012

TUKAK PEPTIK (PEPTIC ULCER DISEASE)

A. DEFINISI Istilah tukak peptik/peptic ulcer/ulkus peptikum digunakan untuk erosi atau luka pada lapisan mukosa di perut atau duodenum (MedlinePlus, 2011). Jika ulkus ditemukan di bagian perut (lambung) maka disebut gastric ulcers, apabila ulkus ditemukan di duodenum maka disebut duodenal ulcers (National Digestive Diseases Information Clearinghouse, 2010).

Gambar 1. Tukak peptik dapat terjadi dibagian lambung, duodenum, atau esophagus (NDDIC, 2010)

B. EPIDEMIOLOGI Survei menunjukkan bahwa sepertiga hingga setengah dari populasi manusia di dunia menidap H.pylori. di Amerika Serikat dan Eropa Barat anak-anak jarang terinfeksi, tetapi lebih dari setengah dari semua yang berumur 60 tahun mengandung bakteri ini. Di negara berkembang prevalensi infeksi meningkat dengan tajam segera setelah lahir dan bisa mencapai 80-90% pada usia 20 tahun. Studi seroepidemiologik populasi umum di Indonesia menunjukkan bahwa prevalensi H.pylori pada anakanak berumur 0-14 tahun sekitar 7,2-28%, sedangkan pada umur di atas 15 tahun antara 36-54,3%. Hal ini menunjukkan bahwa semakin meningkatnya umur, maka prevalensinya pun akan semakin tinggi pula (Silitonga, 2007).

1

C. PENYEBAB Penyebab terjadinya tukak peptik pada umumnya disebabkan oleh infeksi Helicobacter pylori (H.pylori). penyebaran H.pylori dapat melalui makanan atau minuman yang tidak higienis. Penyebab lain terjadinya tukak peptik adalah penggunaan obat non-steroidal anti-inflammatory drugs (NSAIDs) seperti aspirin, ibuprofen, naproxen, ketoprofen, meloxicam, dan celecoxib dalam frekuensi waktu yang cukup lama (American Gastroenterological Association, 2012). Faktor resiko terjadinya tukak peptik: Lansia yang berusia 50 tahun Peminum alkohol Perokok (American Gastroenterological Association, 2012). Infeksi bakteri H.pylori menyebabkan terjadinya penurunan produksi mukus, H.pylori membuat koloni pada sel-sel penghasil mukus di lambung dan duodenum, sehingga menurunkan kemampuan sel memproduksi mukus. Penggunaan obat antiinflamasi nonsteroidal seperti aspirin menyebabkan iritasi dinding mukosa. Obat ini menyebabkan ulkus dengan menghambat perlindungan prostaglandin di dinding usus. Pendarahan lambung atau usus dapat terjadi akibat NSAID. Pembentukan asam di lambung penting untuk mengaktifkan enzim pencernaan lambung. Asam hidroklorida (HCl) dihasilkan oleh sel-sel parietal sebagai respon terhadap makanan tertentu, obat, hormon, histamin, dan stimulasi parasimpatis. Kafein dan alkohol dapat menstimulasi sel-sel parietal untuk menghasilkan asam. Aspirin bersifat asam, yang dapat langsung mengiritasi atau mengerosi lapisan lambung (Corwin, 2008).

D. PATOFISIOLOGI H.pylori menimbulkan kerusakan mukosa lambung dan duodenum melalui pembentukan ammonia, produk ammonium lain (mono-N-kloramin), faktor kemotaktik, pelepasan platelet activating factor, leukotrien, dan eukosanoid lain yang berasal dari asam arakidonat, dan sitotoksin seperti protease, lipase fosfolipase A2, fosfolipase C dan vacuolating cytotoksin (Vac).

2

Endotoksin yang dibentuk oleh H.pylori dapat merusak endotel dan menimbulkan mikrotrombosis mukosa. Lekosit tertarik pada daerah yang rusak sehingga dilepaskan cytokines tambahan yang dapat menimbulkan radikal superoksid yang merusak. Derajat infeksi H.pylori dan beratnya kerusakan mukosa berkoleasi langsung dengan luasnya infiltrasi lekosit. Produk H.pylori meningkatkan inflamasi mukosa melalui peningkatan adhesi lekosit pada sel-sel endotel. H.pylori dapat merangsang faktor-faktor dalam tubuh manusia untuk meningkatkan produksi interleukin 8(IL-8) mRNA epitel dan IL-8 imunoreaktif (Silitonga, 2007). Respon antibodi lambung menghasilkan IgA dan IgG. Sekresi IgA dapat melindungi mukosa tanpa aktivasi komplemen, sedang IgG dapat mengaktivasi komplemen yang menimbulkan kerusakan epitel immune complex mediated dan penurunan sitoproteksi. Pada strain H.pylori yang virulen ditemukan lebih banyak adhesi pedestal antara H.pylori dengan permukaan mukosa lambung. H.pylori dapat meningkatkan gastrin plasma melalui perangsangan sel G lambung dan menurunkan sekresi somatostatin melalui inhibisi sel G lambung. Akibatnya sekresi asam lambung lebih tinggi dari normal (Silitonga, 2007).

E. GEJALA Rasa nyeri dan terbakar di perut merupakan gejala yang paling umum pada tukak peptik. Nyeri dapat terjadi ketika lambung kosong (sebagai contoh di malam hari), timbulnya nyeri dapat timbul selama beberapa menit atau jam, nyeri dapat menyebar ke punggung atau bahu. Gejala lain yang timbul meliputi: Mual Muntah Kehilangan nafsu makan Adanya darah di tinja (American Gastroenterological Association, 2012).

F. DIAGNOSA Diagnosis tukak peptik terutama berdasarkan gejala-gejala yang dialami oleh pasien. Endoskopi merupakan tes yang paling akurat. Pada tes ini,

3

dimasukkan tabung fleksibel kecil melalui mulut dan masuk ke perut. Tabung ini memiliki kamera yang memungkinkan untuk mendeteksi ulkus dan mencari adanya infeksi. Dengan endoskopi, tidak hanya lapisan usus yang dapat terlihat, tetapi juga dapat mengambil sampel jaringan untuk biopsi untuk melihat ada atau tidaknya H. pylori. Selama prosedur ini pasien dibius. Tes menggunakan sinar-X diawali dengan pemberian cairan barium berwrna putih seperti milkshake. Barium melapisi lapisan dalam lambung, kerongkongan dan usus kecil, sehingga lebih mudah terlihat dengan jelas pada sinar-X. Ahli radiologi juga dapat melihat ulcer, jaringan parut atau daerah di mana saja ketika ada sesuatu yang menghalangi jalan normal makanan melalui sistem pencernaan (American Gastroenterological Association, 2012).

(American International Health Alliance, 2005).

4

G. PENATALAKSANAAN a. Tujuan Terapi 1. Eradikasi H. pylori 2. Menghilangkan rasa nyeri 3. Meningkatkan kualitas hidup pasien 4. Mencegah kekambuhan dan mengurangi komplikasi penyakit PUD 5. Menyembuhkan PUD

b. Strategi Terapi 1. Terapi Non Farmakologi Penghindaran pasien terhadap stress, merokok dan penggunaan NSAID (Medlineplus, 2011). Apabila NSAID tidak dapat dihentikan

penggunaanya, maka harus dipertimbangkan pemberian dosis yang lebih rendah atau diganti dengan Acetaminophen atau inhibitor COX2 yang relative selektif (Sukandar dkk, 2009). Penggunaan obat-obatan yang tidak menyebabkan peningkatan asam lambung atau obat-obatan yang bersifat asam seperti aspirin (Medlineplus, 2011). Menghindari makanan atau minuman yang memacu asam lambung seperti pedas, kafein dan alcohol (Sukandar dkk,2009). Surgical procedures, diantaranya vagotomy dan pyloroplasty, high selective vagotomy, dan vagotomy kombinasi dengan antractomy. Vagotomy merupakan komponen terpenting karena target efeknya berupa mengeblok sekresi asam berlebihan.

5

2. Terapi Farmakologi

(Berardi et al, 2006). a. Terapi PUD akibat bakteri Helicobacter pylori Terapi ditujukan untuk menghilangkan (eradikasi) H.pylori

menggunakan antibiotik dan antasida (rekomendasi A). Penggunaan antasida secara jangka panjang untuk terapi ulkus yang disebabkan H.pylori tidak dianjurkan (tingkat rekomendasi B). Keberhasilan penghilangan H.pylori terlihat dengan menurunnya kekambuhan dari 90% menjadi kurang dari 5% dalam setahun (American International Health Alliance, 2005). Maka untuk terapinya diperlukan dosis regimen selama 7 hari atau 10 14 hari namun belum ada data yang pasti untuk menyatakan dosis regimen 10 14 hari lebih bermanfaat dibandingkan 7 hari. Berikut ini adalah beberapa pilihan pengobatan yang dapat digunakan, yaitu :

6

a) Dosis regimen selama 7 hari : Obat Omeprazole Aturan pakai 20 mg bid atau 30 mg bid (2 kali dalam satu hari) Keterangan Pagi dan malam sebelum makan, selambat-lambatnya digunakan pukul 08.00 malam dengan interval 12 jam, kapsul harus ditelan, tidak dikunyah 87 91% Metronidazole (Trikopole dan analognya) Pagi dan malam bersamaan dengan makanan. Tidak boleh diminum bersamaan dengan alkohol; ESO: metallic taste dan/atau urin berwarna gelap bisa terjadi 20 mg bid atau 30 Pagi dan malam sebelum mg bid makan, selambat-lambatnya (2 kali dalam satu digunakan pukul 08.00 malam hari) dengan interval 12 jam, kapsul harus ditelan, tidak dikunyah 250 mg bid 1g / bid Pagi dan malam setelah makan. Direkomendasikan dalam kasus kegagalan sebelumnya dengan Metronidazole. Metronidazole direkomendasikan dalam kasus hipersensitivitas penisilin Pagi dan malam sebelum makan, selambat-lambatnya digunakan pukul 08.00 malam dengan interval 12 jam Pagi dan makan Pagi dan makan malam setelah 80 90% 500 mg bid Tingkat eradikasi

Klaryhtromycin

250 mg bid

Omeprazole

Klaryhtromycin Amoksisilin

Omeprazole

20 mg bid

77 - 83%

Amoksisilin Metronidazole

1 g / bid 500 mg bid

malam

setelah

7

Pylorid (Ranitidine Bismuth Citrate) Klarythomycin/ Tetrasiklin/ Amoksisilin Metronidazole (Trikopole dan analognya) Omeprazole

400 mg bid

Pagi dan makan

malam

setelah

250 mg/bid 500 mg 1000 mg/bid 500mg bid

Pagi dan malam hari 4 kali dalam satu hari Pagi dan malam hari Pagi dan malam bersamaan dengan makanan Pagi dan malam sebelum makan, selambat-lambatnya digunakan pukul 08.00 malam dengan interval 12 jam 30 menit sebelum sarapan/makan tengah malam 3 dosis pertama digunakan 30 menit sebelum sarapan/makan malam/makan tengah malam sedangkan 1 dosis sisanya digunakan sebelum tidur. Jangan minum susu selama 30 menit sebelum dan sesudah penggunaan obat ini. Penggunaan pada pasien hiperensitif aspirin harus hatihati. Hentikan pengobatan jika terjadi tinutis. ESO : lidah dan feses akan berwarna gelap Setelah makan Setelah makan Setelah makan Setelah makan

78 83%

20 mg bid

Colloid 240 mg/bid Subcitrate of atau Bismuth 120 mg/q.i.d (Ventrisol, ( 4 kali dalam satu Denol, dan hari) analog lainnya)

Metronidazole/ Tinidazole Tetrasiklin/ Amoksisilin

250 mg/bid 500 mg/bid 500 mg/qid 500 mg/qid

88 - 99% 80 86%

8

b) Dosis regimen selama 2 minggu : Obat Ranitidin (Zantak dan analog lainnya)/ Famotidin (Gastrosydyn, Kyamantel, Ulfamyd) Pottasium salt dari Bismuth citrate Metronidazole Aturan pakai 150 mg/bid Keterangan 2 kali dalam sehari di pagi dan malam hari selambatlambatnya digunakan pukul 08.00 malam dengan interval penggunaan 12 jam. Tingkat eradikasi

20 mg/bid

120 mg/qid

4 kali dalam sebelum makan

sehari

250 mg/qid

4 kali dalam sehari setelah makan. 4 kali dalam sehari setelah makan Jangan digunakan bersamaan dengan antasida, bahan yang mengandung besi dan susu. Hindarkan dari paparan sinar matahari langsung (Fotosensitif). 4 kali dalam sehari sebelum makan

Tetrasiklin hidroklorit

250 mg/qid

80 %

Pottasium salt of Bismuth citrategastrotat Metronidazole

120 mg/qid

250 mg/qid

4 kali dalam sehari setelah makan 4 kali dalam sehari setelah makan (American International Health Alliance, 2005).

75 %

Tetrasiklin hidroklorit

250 mg/qid

Hal yang perlu diperhatikan dalam terapi ini adalah : Adanya potensi resistensi pada regimen dengan Metronidazole dan Klarythromycin Merokok menghambat penyembuhan luka dan terkait dengan peningkatan kekambuhan

9

Ketika tidak ada gejala PUD, akan lebih baik jika dilakukan prosedur diagnostik untuk mengkonfirmasi tingkat eradikasinya. Dalam kasus komplikasi ulkus, dapat digunakan metode endoskopi untuk mengkonfirmasi keberhasilan terapi (American International Health Alliance, 2005).

b. Terapi PUD yang tidak berkaitan dengan H.Pylori Penyebab umum pasien yang menderita PUD yang tidak disebabkan oleh H.pylori akan disarankan untuk mengurangi penggunaan rokok, alkohol, dan NSAID dengan salah satu obat kombinasi yaitu: No. 1 Obat Ranitidin (Zantak dan analog lainnya) Antasida 2 Famotidin (Gastrosydyn, Kyamantel, Ulfamid) Aturan pakai 300 mg/hari dosis tunggal ----40 mg sekali dalam sehari Keterangan Dosis tunggal digunakan antara jam 19.00 20.00 Sebagai pengurang gejala Dosis tunggal digunakan antara jam 19.00 20.00 Sebagai pengurang gejala 1 gram 30 menit sebelum makan dan 2 jam setelah makan (selama 4 minggu) dilanjutkan 2 gram per hari selama 8 minggu.

Antasida 3 Sukralfat (Ventel, Sukrat Gel)

---4 gram dalam sehari

(American International Health Alliance, 2005). Penggunaan PPi dan reseptor histamin blocker beta 2 (HRB) tidak dianjurkan bersamaan karena berpotensi terjadinya radang dinding lambung akibat penurunan aktivitas PPi (American International Health Alliance, 2005). Penggunaan NSAID dapat menyebabkan PUD. Salah satu cara pengobatannya adalah penghentian penggunaan NSAID. Jika tidak ada tandatanda H. pylori, pengobatan bertujuan untuk mengurangi produksi asam agar

10

memungkinkan untuk menyembuhkan ulkus, menggunakan antagonis reseptor histamin-2 (H2RA) atau PPI (Nathan, Brandt, De Muckedell, 2012), atau sukralfat harus dimulai. Apabila pasien tidak dapat menghentikan penggunaan NSAID maka diberikan NSAID dalam dosis efektif terendah dengan durasi terpendek dan pemberian PPI (Green., et al, 2004). Contoh pemberian omeprasol 20 mg dosis tunggal selama 4 minggu. Uji klinik menunjukkan bahwa persentase kesembuhan mencapai 75-80 % untuk pengobatan 8 minggu. Jika NSAID dapat dihentikan diberikan ranitidine 150 mg selama 8 minggu. Untuk mencegah ulkus peptikum berkembang pada pasien dengan faktor resiko pendarahan lambung diberikan misoprostole 200 mg 3x sehari. Untuk

mencegah kekambuhan ulkus lambung dan duodenum dan komplikasinya diberikan: 1. Terapi profilaksis on demand dengan penetapan pemberian antasida (ranitidine, femotidin, omeprasol) dalam dosis harian 2-3 kali sehari, dan satu setengah dosis selama dua minggu dalam kasus timbulnya gejala karakteristik untuk eksaserbasi ulkus. Jika gejala eksaserbasi hilang terapi dapat dihentikan. Namun jika masih terdapat gejala tersebut maka dapat dilakukan EFGDS dan prosedur evaluasi lain. 2. Terapi suportif dilakukan terus menerus (selama satu bulan atau bahkan bertahun-tahun). Dengan setengah dosis antasida. Untuk kasus misalnya 150 mg Famotidin, dan 20 mg ranitidine (gastrosidin, kvamatel, ulfamide) untuk indikasi: Komplikasi ulkus (terkait pendarahan ulkus atau perforasi ulkus). Konkuren ulseratif-erosif esophagus. Pasien dengan berusia 60 tahun namun terapi tetap adekuat (American International Health Alliance, 2005).

11

H. PILIHAN OBAT 1. Antibiotika Amoxicillin Mekanisme kerja : Amoxicillin mengikat penicillin-binding protein 1A (PBP-1A) yang terletak di dalam sel bakteri. Penicillin berasilasi dengan domain panicilin-sensitive transpeptidase C-terminal dengan membuka cincin laktam. Inaktivasi dari enzim ini mencegah pembentukan crosslink dari dua untaian peptidoglikan yang linear, menghambat tahap ketiga dan terakhir sintesis dinding sel bakteri. Lisisnya sel kemudian diperantarai oleh enzim autolitik dinding sel bakteri seperti autolisin; hal tersebut mungkin bahwa amoxicillin mengganggu dengan menghambat autolisin (Drug Bank, 2005a). Efek samping : mual, muntah, diare; kemerahan atau respon toksik; reaksi hipersensitifitas termasuk urtikaria, angioedema, anafilaksis, reaksi menyerupai serum sickness, anemia hemolitik, nefritis interstitialis; jarang terjadi : kolitis terkait antibiotik; neutropenia; trombositopenia, gangguan koagulasi; pada dosis tinggi menyebabkan gangguan system saraf pusat termasuk kejang atau gangguan fungsi ginjal (Sukandar dkk, 2009). Kontraindikasi : hipersensitif terhadap amoksisilin, penisilin, dan betalaktam lainnya (APhA, 2009). Interaksi obat : amoksisilin dapat meningkatkan konsentrasi metotreksat, menurunkan konsentrasi vaksin tifoid, tetrasiklin dan kloramfenikol mengurangi aktivitas amoksisilin (APhA, 2009). Perhatian : perlu dilakukan regimen dosis pada pasien dengan gangguan ginjal (kliren kreatinin 1 tahun 25-30 mg/kg/hari dalam dosis tebagi (Sukandar dkk, 2009). Refluks esofagitis : 400 mg 4 kali sehari selama 4-8 minggu. Sindrom Zollinger-Ellison : 400 mg 4 kali sehari. Injeksi intramuscular : 200 mg setiap 4-6 jam; maksimal 2,4 g sehari; bayi 1 tahun 25-30 mg/kg BB dalam dosis terbagi. Infus intravena : 400 mg dalam 100 ml NaCl 0,9% selama 0,5-1 jam (dapat diulang setiap 4-6 jam). Infus berkesinambungan dengan flow rate 50100mg/jam selama 24 jam (Sukandar dkk, 2009). Efek samping : kebiasaan BAB berubah, pusing, ruam, kulit, kerusakan hati yang reversible, sakit kepala, jarang terjadi gangguan darah, nyeri otot/sendi, hipersensitivitas, bradikardi dan blok AV, pankreatitis

21

akut,nefritis interstitial, dosis tinggi menyebabkan ginekomastia (Sukandar dkk, 2009). Farmakinetika/ Farmakodinamika : onset 1 jam; durasi 4-8 jam; absorpsi : cepat; distribusi : dapat melewati plasenta dan ASI; metabolisme : sebagian di hepar menjadi bentuk metabolit; ekskresi : urin (APhA, 2009). Interaksi obat : simetidin menghambat aktivitas metabolisme oksidatif obat dengan cara mengikat sitokrom P-450 sehingga meningkatkan kerja warfarin, fenitoin, teofilin atau aminofilin (Sukandar dkk, 2009). Perhatian : gangguan fungsi hati dan ginjal (mengurangi dosis), kehamilan dan menyusui, hindari pemberian secara injeksi intravena, dosis tinggi menyebabkan aritmia dan gangguan kardiovaskuler (Sukandar dkk, 2009). Ranitidin Indikasi : tukak lambung dan tukak duodenum, refluks esofagitis, dyspepsia episodik kronis, tukak karena NSAID, tukak duodenum karena H.pylori, sindrom Zollinger-Ellison (Sukandar dkk,2009). Kontraindikasi : hipersensitivitas ranitidin dan H2-antagonis (APhA, 2009). Dosis : Oral : 150 mg 2 kali sehari (pagi dan malam hari) atau 300 mg sebelum tidur malam selama 4-7 minggu untuk tukak lambung dan tukak duodenum, sampai 6 minggu pada dyspepsia episodic kronis, dan sampai 8 minggu pada tukak karena NSAID. Pemeliharaan : 150 mg sebelum tidur malam. Tukak duodenum : 300 mg 2 kali sehari selama 4 minggu untuk memaksimalkan penyembuhan. Profilaksis tukak duodenum karena NSAID: 150 mg 2 kali sehari. Refluks esofagitis : 150 mg 2 kali sehari/ 300 mg sebelum tidur selama hingga 8 minggu; pengobatan jangka panjang esofagitis : 150 mg 2 kali sehari. Tukak lambung : anak-anak 2-4 mg/kg 2 kali sehari ( maksimal 300 mg sehari).

22

Injeksi intramuscular : 50 mg setiap 6-8 jam. Injeksi intravena lambat : 50 mg diencerkan sampai 20 ml dan diberikan selama 2 menit dan dapat diulang setiap 6-8 jam. Infuse intravena : 25 mg/jam selama 2 menit dan dapat diulang setiap 6-8 jam (Sukandar dkk, 2009). Efek samping : kebiasaan BAB berubah, pusing, ruam, kulit, kerusakan hati yang reversible, sakit kepala, jarang terjadi gangguan darah, nyeri otot/sendi, hipersensitivitas, bradikardi dan blok AV, pankreatitis akut, dosis tinggi menyebabkan ginekomastia dan nyeri pada laki-laki, eritema multiforma (Sukandar dkk, 2009). Interaksi obat : ranitidin meningkatkan efek saquinavir, menurunkan efek agen antifugal; P-glikoprotein inhibitor dapat meningkatkan efek ranitidine; P-glikoprotein inducer dapat meningkatkan efek ranitidine (APhA, 2009). Farmakinetika/ Farmakodinamika : absorpsi 50% oral; distribusi : masuk ke ASi; metabolisme : N-oksida, S-oksida, N-desmetil metabolit; ekskresi : urin 30% (oral) dan 70% (iv) (APhA, 2009). Perhatian : tidak menghambat metabolisme obat mikrosom hati; hindarkan pada porifia (Sukandar dkk,2009). Famotidin Indikasi : tukak lambung dan tukak duodenum, refluks esofagitis, dan sindrom Zollinger Ellison (Sukandar dkk, 2009). Kontraindikasi : hipersensitivitas famotidin dan H2-antagonis(APhA, 2009). Dosis : Tukak lambung dan duodenum : 40 mg sebelum tidur malam selama 4-8 minggu. Refuks esofagitis : 20-40 mg 2 kali sehari selama 6-12 minggu; pemeliharaan 20 mg 2 kali sehari. Sindrom Zollinger-Ellison : 20 mg tiap 6 jam (pasien yang telah menggunakan antagonis reseptor H2 lain diberikan dosis yang lebih tinggi) (Sukandar dkk, 2009).

23

Efek samping : kebiasaan BAB berubah, pusing, ruam, kulit, kerusakan hati yang reversible, sakit kepala, jarang terjadi gangguan darah, nyeri otot/sendi, hipersensitivitas, bradikardi dan blok AV, pankreatitis akut, dosis tinggi menyebabkan ginekomastia, eritema multiforma (Sukandar dkk, 2009). Interaksi obat : famotidin meningkatkan efek saquinavir, menurunkan efek agen antifugal (APhA, 2009). Farmakinetika/ Farmakodinamika : onset di GI : (oral) 1-3 jam, (iv) 30 menit; durasi : 10-12 jam; ikatan protein 15-20%; ekskresi : urin (APhA, 2009). Perhatian : tidak menghambat metabolism obat mikrosoma hati (Sukandar dkk,2009). Nizatidin Indikasi : tukak lambung, tukak duodenum, dan GERD (Sukandar dkk, 2009). Kontraindikasi : hipersensitivitas nizatidin dan H2-antagonis(APhA, 2009). Dosis : oral : tukak lambung dan tukak duodenum diberikan 300 mg sebelum tidur malam atau 150 mg 2 kali sehari selama 4-8 minggu (sampai 8 minggu pada tukak akibat NSAID); pemeliharaan 150 mg sebelum tidur malam. Refluks esofagitis diberikan 150-300 mg 2 kali sehari selama sampai 12 minggu (Sukandar dkk, 2009). Infus intravena : jangka pendek pada tukak lambung pasien rawat inap secara infuse intravena intermitten selama 15 menit 100 mg 3 kali sehari atau secara intravena 10mg/jam maksimal 480 mg sehari (Sukandar dkk,2009). Efek samping : kebiasaan BAB berubah, pusing, ruam, kulit, kerusakan hati yang reversible, sakit kepala, jarang terjadi gangguan darah, nyeri otot/sendi, hipersensitivitas, bradikardi dan blok AV, pankreatitis akut, dosis tinggi menyebabkan ginekomastia, berkeringat (Sukandar dkk, 2009).

24

Interaksi obat : nizatidin meningkatkan efek saquinvair; menurunkan efek agen antifungal (APhA, 2009). Farmakinetika/ Farmakodinamika : distribusi : Vd 0,8-1,5 l/kg; metabolisme : sebagian di hati, ekskresi : urin (90%-60% tidak berubah), feses (