19
Judul : Penyesuaian Perkawinan Pada Pasangan yang Menikah Tanpa Proses Pacaran (ta’aruf) Nama/Npm : Debby Faura Donna /10503039 Pembimbing : Felix Lengkong, Ph. D ABSTRAK Dalam proses menuju perkawinan, pacaran merupakan cara yang biasa dilakukan masyarakat Indonesia pada umumnya termasuk masyarakat yang beragama Islam dalam mengenal dan memilih calon pasangan.Namun, ada juga pernikahan yang dilakukan tanpa melalui pacaran dan biasanya kesepakatan untuk menikah diatur oleh orang tua atau orang lain, yaitu dijodohkan. Pernikahan tanpa didahului dengan pacaran ini biasanya dilakukan karena alasan latar belakang budaya ataupun latar belakang agama. Walaupun demikian, tidak sedikit pasangan yang yang memutuskan sendiri untuk menikah tanpa melalui proses pacaran, tanpa ada paksaan atau campur tangan dari pihak lain. Salah satunya adalah dengan cara ta’aruf. Dalam hal ini penelitian yang dilakukan. untuk memberikan informasi dan agar kita memperoleh gambaran mengenai bagaimana penyesuaian perkawinan pada pasangan yang menikah tanpa proses pacaran. Penyesuaian perkawinan adalah perubahan yang terjadi selama masa pernikahan antara suami istri untuk dapat memenuhi kebutuhan, keinginan, dan harapan masing-masing pihak, serta untuk menyelesaikan masalah yang ada sehingga kedua belah pihak merasakan kepuasan. Perkawinan tanpa prosess pacara (ta’aruf) adalah hubungan timbal-balik untuk saling mengenal yang berkaitan dengan masalah pernikahan, cara-cara yang digunakan untuk saling mengenal dalam ta’aruf, berbeda dengan proses pacaran pada umumnya, dan tidak ada cara yang baku dalam pelaksanaannya. Pasangan dapat saling bertemu untuk berkenalan dengan didampingi orang yang dipercaya oleh kedua belah pihak. Cara lain yang dapat dilakukan adalah dengan berkenalan melalui media telekomunikasi, seperti telepon ataupun sms. Setelah pasangan merasakan ada kecocokan, perkenalan ini mungkin dilanjutkan dengan saling bertemu muka, tentunya dengan didampingi oleh orang lain. Dalam metode penelitian ini, penulis menggunakan metode penelitian kualitatif dengan jenis penelitian studi kasus. Menurut Creswell, Denzin & Lincoln (dalam Heru Basuki, 2006) penelitian kualitatif adalah penelitian yang bertujuan untuk mendapatkan pemahaman yang mendalam tentang masalah-masalah manusia dan sosial, bukan mendeskripsikan bagian permukaan dari suatu realitas sebagaimana dilakukan penelitian kuantitatif dengan positivismenya. Penelitian ini meneliti tentang penyesuaian perkawinan pada pasangan yang menikah tanpa proses pacaran (ta’aruf) yang usia pernikahan dibawah 5 tahun. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan menunjukkan bahwa subjek dan pasangan memiliki penyesuaian yang cukup baik. Hal ini dapat dilihat dari kehidupan keluarganya yang harmonis dan cukup bahagia serta tidak ada masalah yang terlalu

Penyesuaian Perkawinan Pada Pasangan yang Menikah Tanpa

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Penyesuaian Perkawinan Pada Pasangan yang Menikah Tanpa

Judul : Penyesuaian Perkawinan Pada Pasangan yang Menikah Tanpa

Proses Pacaran (ta’aruf)

Nama/Npm : Debby Faura Donna /10503039

Pembimbing : Felix Lengkong, Ph. D

ABSTRAK Dalam proses menuju perkawinan, pacaran merupakan cara yang biasa

dilakukan masyarakat Indonesia pada umumnya termasuk masyarakat yang beragama

Islam dalam mengenal dan memilih calon pasangan.Namun, ada juga pernikahan yang

dilakukan tanpa melalui pacaran dan biasanya kesepakatan untuk menikah diatur oleh

orang tua atau orang lain, yaitu dijodohkan. Pernikahan tanpa didahului dengan

pacaran ini biasanya dilakukan karena alasan latar belakang budaya ataupun latar

belakang agama. Walaupun demikian, tidak sedikit pasangan yang yang memutuskan

sendiri untuk menikah tanpa melalui proses pacaran, tanpa ada paksaan atau campur

tangan dari pihak lain. Salah satunya adalah dengan cara ta’aruf.

Dalam hal ini penelitian yang dilakukan. untuk memberikan informasi dan agar

kita memperoleh gambaran mengenai bagaimana penyesuaian perkawinan pada

pasangan yang menikah tanpa proses pacaran. Penyesuaian perkawinan adalah

perubahan yang terjadi selama masa pernikahan antara suami istri untuk dapat

memenuhi kebutuhan, keinginan, dan harapan masing-masing pihak, serta untuk

menyelesaikan masalah yang ada sehingga kedua belah pihak merasakan kepuasan.

Perkawinan tanpa prosess pacara (ta’aruf) adalah hubungan timbal-balik untuk

saling mengenal yang berkaitan dengan masalah pernikahan, cara-cara yang digunakan

untuk saling mengenal dalam ta’aruf, berbeda dengan proses pacaran pada umumnya,

dan tidak ada cara yang baku dalam pelaksanaannya. Pasangan dapat saling bertemu

untuk berkenalan dengan didampingi orang yang dipercaya oleh kedua belah pihak.

Cara lain yang dapat dilakukan adalah dengan berkenalan melalui media

telekomunikasi, seperti telepon ataupun sms. Setelah pasangan merasakan ada

kecocokan, perkenalan ini mungkin dilanjutkan dengan saling bertemu muka, tentunya

dengan didampingi oleh orang lain.

Dalam metode penelitian ini, penulis menggunakan metode penelitian kualitatif

dengan jenis penelitian studi kasus. Menurut Creswell, Denzin & Lincoln (dalam Heru

Basuki, 2006) penelitian kualitatif adalah penelitian yang bertujuan untuk mendapatkan

pemahaman yang mendalam tentang masalah-masalah manusia dan sosial, bukan

mendeskripsikan bagian permukaan dari suatu realitas sebagaimana dilakukan

penelitian kuantitatif dengan positivismenya. Penelitian ini meneliti tentang penyesuaian

perkawinan pada pasangan yang menikah tanpa proses pacaran (ta’aruf) yang usia

pernikahan dibawah 5 tahun.

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan menunjukkan bahwa subjek dan

pasangan memiliki penyesuaian yang cukup baik. Hal ini dapat dilihat dari kehidupan

keluarganya yang harmonis dan cukup bahagia serta tidak ada masalah yang terlalu

Page 2: Penyesuaian Perkawinan Pada Pasangan yang Menikah Tanpa

rumit. Hal tersebut dapat dilihat dari alasan subjek mengenai keputusannya untuk

menikah dikarenakan adanya kecocokan dan persamaan minat serta adanya konsep

pasangan ideal antara satu sama lain, yaitu keimanan, pengajian, serta proses menikah

yang mereka pilih. Hal ini berdasarkan pada sikap subjek dan pasangan yang selalu

mengdepankan ajaran agama dalam kehidupan individu suami istri maupun dalam

kehidupan perkawinan mereka, untuk saling menerima dan mensyukuri atas apa yang

mereka dapat, suami istri juga telah mengetahui tugas dan kewajibannya dalam

kehidupan perkawinan. Hal ini juga yang diterapkan subjek bersama pasangannya

sehingga kehidupan pernikahan mereka berjalan dengan baik, karena dengan

diterapkanya hal tersebut mereka dapat lebih saling menerima, menghargai satu sama

lain.

Kata kunci: Penyesuaian Perkawinan, Perkawinan Tanpa Proses Pacaran (ta’aruf)

Page 3: Penyesuaian Perkawinan Pada Pasangan yang Menikah Tanpa

A. Pendahuluan

1. Latar Belakang Manusia adalah mahluk sosial yang

memiliki keinginan untuk menjalin

hubungan dengan orang lain. Manusiapun

diciptakan untuk hidup berpasang-pasangan.

Guna memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang

hanya dapat dipenuhi dengan memiliki

pasangan. Hubungan yang terjalin dapat berupa hubungan pertemanan, persahabatan,

pacaran, hidup bersama (cohabitation), dan

hubungan perkawinan melalui institusi

pernikahan. Walaupun hidup bersama dapat

menjadi alternatif untuk menggantikan

pernikahan, tetapi sebagian besar manusia

tetap memilih untuk menjalani pernikahan, karena pernikahan diikat dalam sebuah

institusi yang legal (Atwater & Duffy,

1999). Pada usia dewasa muda, tugas tugas

perkembangan yang harus diselesaikan

adalah intimacy versus isolation (Erikson

dalam Papalia, 2001). Pada tahap ini,

dewasa muda siap untuk menjalin suatu

hubungan intim seperti persahabatan dan

hubungan kerja serta hubungan cinta seksual (Hall & Lindzey, 1985). Mereka siap untuk

mengembangkan kemampuan yang

diperlukan untuk memenuhi komitmen dengan orang lain, walaupun harus disertai

dengan kompromi dan pengorbanan.

Komitment yang dimaksud adalah

komitment pribadi dalam hubungan intim,

yang salah satunya berupa pernikahan. Jika

dewasa muda tidak dapat mengembangkan

hubungan intim dengan orang lain, maka yang terjadi adalah isolasi. Hal yang

menghambat pengembangan hubungan

intim dengan orang lain adalah ketidakmampuan untuk memikul tanggung

jawab (Hall & Lindzey,1985).

Atwater dan Duffy (1999) menyatakan

bahwa kebahagiaan perkawinan tergantung

pada apa yang terjadi saat pasangan

memasuki kehidupan perkawinan yaitu

seberapa baik mereka mengalami kesesuaian atau kecocokan. Hal yang paling penting

dalam meraih kebahagiaan menurut Atwater

dan Duffy (1999) yaitu fleksibilitas dan

keinginan untuk berubah dari setiap

pasangan atau biasanya disebut dengan

istilah dengan penyesuaian perkawinan

(marital adjustment). Penyesuaian perkawinan adalah keterampilan sosial yang

diperlukan bagi pasangan yang meraih

kebahagiaan atau kepuasan perkawinan

(Spanier dalam Miranda, 1995). Hurlock

(1980) menyatakan bahwa pada dasarnya

keberhasilan sebuah perkawinan adalah

keberhasilan suami-istri dalam mewujudkan penyesuaian perkawinan.

Peneyesuaian perkawinan didefinisikan

oleh Burgess dan Locke (1983) sebagai

kesesuaian antara suami-istri terhadap

keadaan yang dapat menjadi permasalahan

yang berat/ krusial, adanya ketertarikan dan

melakukan aktivitas bersama, sering

mengungkapkan kasih sayang (affection)

dan hubungan yang saling mempercayai

(mutual confidence), sedikit mengeluh dan

sedikit menyatakan merasa sendiri, sedikit

merasa sangat tidak senang, tidak mudah

marah dan lain-lain (Burgess & Locke

dalam Miller, 1983).

Biasanya pacaran merupakan proses

awal menuju perkawinan atau dengan kata

lain pacaran merupakan sarana dalam

memilih pasangan yang cocok untuk

dijadikan pasangan hidup (Benokraitis, 1996). Pada proses memilih pasangan untuk

dijadikan pasangan hidup tidaklah bersifat

acak (Random), akan tetapi ada prinsip yang

sistematis. Duvall dan Miller (1985)

menyatakan bahwa ada dua konsep utama

dalam memahami pemilihan dalam

pembentukan hubungan dan perkawinan

yaitu exogamy dan endogamy. Dalam norma

exogamous seseorang diharuskan (require or

exerpressure) mengawini pasangan di luar golongannya dan dalam norma endogamus

seseorang diharuskan mengawini pasangan

di dalam golongannya. Selanjutnya, Duvall

dan Miller (1985) juga menyatakan bahwa

endogamy agama merupakan faktor yang

penting dalam memilih pasangan dan

mayoritas orang melangsungkan perkawinan

masih disebabkan karena adanya latar

belakang agama yang sama. Hal ini

disebabkan karena banyak agama menentang adanya perkawinan berbeda

agama sebab perkawinan berbeda agama

Page 4: Penyesuaian Perkawinan Pada Pasangan yang Menikah Tanpa

dapat melemahkan komitmen pemelukanya

terhadap kepercayaannya (Benokraitis, 1996).

Dalam proses menuju perkawinan,

pacaran merupakan cara yang biasa

dilakukan masyarakat Indonesia pada umumnya termasuk masyarakat yang

beragama Islam dalam mengenal dan

memilih calon pasangan. Ada juga

pernikahan yang dilakukan tanpa melalui

pacaran dan biasanya kesepakatan untuk

menikah diatur oleh orang tua atau orang

lain, yaitu dijodohkan. Pernikahan tanpa di

dahului dengan pacaran ini biasanya

dilakukan karena alasan latar belakang

budaya ataupun latar belakang agama.

Walaupun demikian, tidak sedikit pasangan

yang yang memutuskan sendiri untuk

menikah tanpa melalui proses pacaran, tanpa

ada paksaan atau campur tangan dari pihak

lain. Salah satunya adalah dengan cara

ta’aruf.

Pasangan yang melakukan proses perkenalan biasanya tergabung dalam suatu

kelompok pengajian tertentu. Di Indonesia

biasanya kelompok keagamaan yang

melakukan proses perkenalan ini yaitu

kelompok pengajian tarbiyah (Azis dalam

Qodari,1997). Kelompok pengajian tarbiyah

merupakan kelompok pengajian yang

berorientasi pada pemurnian ajaran agama

islam, terutama dari segala ideologi

alternative yang menawarkan system kehidupan yang utuh.

Pada pasangan yang menikah tanpa

melalui proses pacaran maka banyak hal

yang bagi kedua individu tersebut menjadi

suatu hal yang sulit karena pasangan

tersebut banyak belum mengetahui dan

mengerti tentang satu sama lainnya,

sehingga banyak hal yang harus

disesuaiakan maka dari itu penyesuaian

perkawinan ini sangat menentukan

perjalanan rumah tangga yang mereka

bangun untuk selanjutnya. Di sini pasangan

yang diteliti adalah pasangan yang baru

menjalani kehidupan perkawinannya karena

masa ini merupakan masa yang sangat

menentukan dalam membangun landasan

perkawinan pasangan tersebut untuk

kehidupan perkawinan selanjutnya (Landis

& Landis, 1970).

2.Pertanyaan Penelitian Berdasarkan dari latar belakang di atas,

peneliti ingin mengetahui: Bagaimana

gambaran/karakteristik pada penyesuaian

perkawinan pada pasangan yang menikah

tanpa proses pacaran (ta’aruf)?, Faktor-faktor apa saja yang menyebabkan

penyesuaian perkawinan pada pasangan

yang menikah tanpa proses pacaran

(ta’aruf)?

3.Tujuan Penelitian

Tujuan ini secara umum untuk memberikan informasi dan agar kita

memperoleh gambaran/karakteristik

mengenai bagaimana penyesuaian perkawinan pada pasangan yang menikah

tanpa proses pacaran, dan factor-faktor yang

menyebabkannya.

4. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis.

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi yang bermanfaat bagi

pengembangan ilmu psikologi perkawinan,

khususnya psikologi perkembangan dan psikologi social. Serta dapat menjadi

masukan yang berguna bagi penelitian yang

lebih lanjut mengenai penyesuaian

perkawinan pada pasangan yang menikah

tanpa proses pacaran.

2. Manfaat Praktis:

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai gambaaran yang jelas

tentang penyesuaian perkawinan pada

pasangan yang menikah tanpa proses pacaran dan faktor-faktor yang

mempengaruhi peneyesuaian perkawinan

tersebut, sehingga dapat bermanfaat bagi

orang-orang yang melakukan ta’aruf

mengenai penyesuaian perkawinan melalui

proses ta’aruf. dilakukan.

B. TINJAUAN PUSTAKA

A. Perkawinan

1. Pengertian

Di Indonesia, agar hubungan pria dan

wanita diakui secara hukum maka

Page 5: Penyesuaian Perkawinan Pada Pasangan yang Menikah Tanpa

perkawinan diatur dalam suatu undang-

undang. Menurut Undang-Undang Republik Indonesia (UU RI) Nomor 1 tahin 1974

pasal 1 tentang perkawinan menyatakan

bahwa perkawinan adalah:

“Ikatan lahir dan batin antara seorang pria

dan wanita sebagai suami-istri dengan

tujuan membentuk keluarga (rumah

tangga)yang bahagia dan kekal berdasarkan

Ketuhanan Yang Maha Esa.” (UU RI

Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 1 tentang

Perkawinan).

Menurut UU RI di atas defisi

perkawinan tidak hanya bersatunya pria dan

wanita secara lahir namun juga secara batin.

Perkawinan di Indonesia juga mempunyai

nilai yang luhur karena dilandasi nilai

ketuhanan pada proses pembentukannya.

2. Fungsi Perkawinan

Menurut Duvall dan Miller (1985)

dinyatakan bahwa ada beberapa fungsi perkawinan:

a. Menghasilkan Kasih Sayang

Menimbulkan kasih sayang antara suani-

istri, orang tua dan anak, antara satu

generasi dengan generasi selanjutnya.

Kasih sayang merupakan hasil dari

kehidupan berkeluarga. Pria dan wanita

dalam masyarakat barat baiasanya

melakukan perkawinan karena perasaan kasih sayang dan anak merupakan

ekspresi perasaan kasih sayang diantara

pasangan.

b. Memberikan Keamanan Secara Personal

dan Penerimaan

Keamanan dan Penerimaan yang mereka

perlukan untuk hidup dapat terpenuhi

dalam keluarga. Di dalam keluarga,

individu dapat melakukan kesalahan-

kesalahan dan belajar dari kesalahan

yang mereka lakukan dalam lingkungan

yang aman dan terlindungi. Benokraitis (1996) menyatakan bahwa keluarga

merupakan kelompok yang di dalamnya

ada perasaan saling mencintai,

memahami, memberikan rasa aman,

menerima, dan kebersamaan melalui

hubungan yang intim, jangka panjang,

face-to-face interaction (relasi tatap

muka).

c. Memberikan Kepuasan dan Tujuan

Rasa kepuasan dan berharga yang ada

pada manusia dapat diperoleh dalam

keluarga. Di dalam sebuah keluarg, orang

dewasa dan anak-anak menikmati

kehidupan satu sama laindalam

pertemuan dan perayaan-perayaan

keluarga, acara keluarga, jalan-jalan

keluarga dan aktifitas lain dimana anggota keluarga menemukan kepuasan.

Di dalam sebuah keluarga, orang tua juga

merasa bahwa mereka hidup untuk

pasangan dan untuk anak-anak menjadi

tanggung jawabnya.

d. Adanya Kepastian Kebersamaan

Hanya dalam keluarga kepastian akan

kesinambungan kebersamaan

(companionship) didapati. Teman-teman,

para tetangga, kolega dan yang lainnya

mungkin akan menjadi dekat hanya beberapa tahun saja. Adanya

kebersamaan yang berdasarkan rasa

simpati mendorong anggota keluarga

menceritakan yang terjadi pada hari itu

dan untuk saling berbagi tentang

kehidupan yang mereka jalani.

e. Sarana Sosialisasi Kehidupan Sosial

Dalam setiap masyarakat individu belajar

apa yang diharapkan dari mereka dan dimana mereka berada dalam hirarki

sosial melalui keluarganya. Pada saat

lahir anak secara otomatis memperoleh status keluarga secara genetis, fisik,

etnik, kebangsaan, agama, kebudayaan,

ekonomi, politik dan pendidikan yang

diwariskan dari keluarga dan sanak

keluarganya. Keluarga merupakan role

model bagi generasi selanjutnya dalam

kehidupan social seseorang (Berns, 1997; Benokraitis, 1996).

f. Memberikan Kontrol dan Pelajaran

tentang Kebenaran

Dalam keluarga individu pertama kali

belajar peraturan-peraturan, hukum

kewajiban dan tanggungjawab yang

merupakan karakteristik dari masyarakat

dimana mereka berada. Individu belajar

melalui instruksi, modeling,

Page 6: Penyesuaian Perkawinan Pada Pasangan yang Menikah Tanpa

reinforcement dan punishtment dari

anggota keluarganya (Berns, 1997). Anggota keluarga dapat mengkritisi,

membenarkan dan menyuruh,

memberikan pujian atau menyalahkan,

memberikan reward atau punishment,

mengajak atau mengancam satu sama

lain yang tidak mungkin dilakukan

dimanapun.

3. Motivasi Melakukan Perkawinan

Turner dan Helms (1995)

menyatakan bahwa ada beberapa

motivasi orang untuk memasuki

kehidupan perkawinan, yaitu:

a. Cinta

Cinta dan komitmen diantara pasangan

sering kali menjadi alasan utama dilakukannya perkawinan. Pasangan

ingin selalu saling berbagi dalam hidup

dan membina hubungan yang dekat

(intimate relationship) dalam lembaga

perkawinan. Cinta merupakan hal yang

paling utama pasangan melakukan

perkawinan dan hanya sedikit pasangan yang melakukan perkawinan tidak

didasari adanya perasaan cinta (Simpson,

Campbell, Berscheld, dalam Feldman,

1989).

b. Kebersamaan

Perkawinan merupakan lembaga diman

pasangan dapat menghabiskan waktunya

hidup bersama secara permanen.

Kebersamaan tersebut dapat

menimbulkan kesejahteraan (well being)

emosional dan psikologis diantara

pasangan, yang akan berdampak

tumbuhnya rasa aman dan

nyaman.kebersamaan tersebut juga dapat

memberikan rasa aman dan kesempatan

untuk saling berbagi diantara pasangan.

Sejalan dengan pernyataan tersebut,

Campbell menyatakan bahwa perkawinan

memberikan sumbangan penting yang unik bagi persaan well being pada

kebanyakan pria dan wanita (Campbell

dalam Duvall dan Miller, 1985).

Walaupun perkawinan tidak benar-benar

menjanjikan akan adanya kebersamaan,

namun kebersamaan tetap menjadi

harapan terbesar keuntungan dari

perkawinan (Knox, 1988).

c. Konformitas

Bagi beberapa pasangan, perkawinan

merupakan hal yang memang harus

dilakukan atau perkembangan dari suatu

hubungan antara pria dan wanita.

Perkawinan tampaknya merupakan

proses pemilihan. Motif social yang juga

turut terpengaruh yaitu tekanan dari

keluarga, teman-teman dan lain-laibn yang juga berpengaruh.

d. Legitimasi Hubungan Seks

Setiap masyarakat mempunyai norma-

norma yang berkenaan dengan siapa

seseorang dapat melakukan hubungan

social dan dalam keadaan (circumstance)

seperti apa (Benokraitis, 1996) status

perkawinan memberikan legitimasi

hubungan seksual. Status perkawinan

membuat pasangan suami-istri dapat

melakukan hubungan seksual secara sah dan dilindungi secara hukum.

e. Legitimasi anak

Anak yang lahir dalam sebuah keluarga

mempunyai status identitas. Turner dan

Helms (1995) menyatakan bahwa

pasangan yang melakukan perkawianan

dengan alas an untuk memiliki dan

mengasuh anak (Turner & Helms, 1995;

Feldman, 1989; Knox, 1988).

f. Perasaan siap

Pasangan memutuskan untuk melakukan perkawinan karena mereka merasa telah

siap. Perasaan siap ini merupakan hasil

proses sosialisasi di lingkungan keluarga,

pacaran, sekolah dan lingkungan kerja

(Blood, 1969). Pasangan telah melakukan

beberapa hal yang mereka ingin capai

sebelum perkawinan, seperti

menyelesaikan pendidikan dan memiliki

karir (Turner & Helms 1995).

g. Mendapatkan keuntungan

Hal ini bukanlah alasan yang kuat mengapa seseorang melakukan

perkawinan. Akan tetapi, bagi pasangan

yang memperhatikan kesejahteraan

ekonomi, alasan ini mungkin menjadi

alasn utama pasangan melakukan

perkawinan. Misalnya, orang tua yang

Page 7: Penyesuaian Perkawinan Pada Pasangan yang Menikah Tanpa

merasa keberatan anaknya memilih

pasangan hidup yang tidak mempunyai latar belakang ekonomi yang sederajat

atau keuangan yang tidak menjanjikan

(Feldman, 1989).

4.Mengenal Calon Pasangan

1. Pacaran

a. Pengertian

Menurut Kamus Besar Bahasa

Indonesia (1999), pacaran didefenisikan

sebagai, “Hubungan dengan teman lawan

jenis yang tetap dan mempunyai hubungan

bathin, biasanya menjadi tunangan atau

kekasih” (Tim Penyusun Kamus Pembinaan dan Pengembangan Bahasa,1999). Menurut

kamus bahasa Indonesia kontemporer

(Salim & Salim, 1991), pacaran didefenisikan sebagai: “Hubungan dengan

lawan jenis yang tetap dan mempunyai

hubungan cinta kasih”.

b. Tahapan Pacaran

Duval dan Miller (1985) menyatakan bahwa pacaran (dating) terbagi kedalam

beberapa tahap, yaitu:

a. Casual dating

Pada tahap ini biasanya individu

melakukan dating dengan beberapa

individu pada saat yang sama (kadang-

kadang lebih dari satu dalam satu

malam).

b. Regular dating

Pada tahap ini individu lebih sering melakukan dating hanya pada satu orang

saja, dating dengan orang lain mulai

bertkurang atau sama sekali berhenti.

c. Steady dating

Pada tahap ini hubungan dating sudah lebih serius dan ditandai dengan adanya

komitmen diantara pasangan, yaitu

ditandai denagn adanya pemberian suatu

symbol komitmen tersebut. Misalnya

dengan memberikan cincin atau kalung.

Apapun yang diberikan sebenarnya yaitu

hanya untuk menandakan atau memberitahukan (signify) orang lain

bahwa pasangan datingnya sudah ada

yang punya dan hubungan tersebut

serius.

d. Engagment

Pada tahap ini pasangan memberitahukan

kepada orang banyak bahwa mereka

menikah dan secara tradisional biasanya

ditandai dengan cincin berlian atau

penggantinya sebagai pasangan tunangan

dan pasangan yang akan dinikahi pada

masa yang akan dating.

c. Fungsi Pacaran

Knox (1988) menyatakan bahwa

fungsi pacaran (dating) yaitu:

a. Mengetahui Diri Sosial (confirmation of

social self )

Pada saat pacaran kita secara kontiniyu

berusaha untuk mengetahui bagaimana pasangan melihat kita. Misalnya, apakah

dia menyukai saya? Akankah dia

bersama saya selamanya? ketika

seseorang member umpan balikyang

positif melalui perkataan atau bahasa

tubuh, maka kita akan mersa lebih baik

terhadap diri kita sendiri dan cenderung

melihat diri kita secara positif. Pacaran

memungkinkan adanya suatu keadaan

(context) untuk mengetahui konsep diri kita dari menerima pengaruh orang lain.

b. Reaksi

Pacaran, jalan-jalan atau aktivitas

bersama adalah kegiatan yang

menyenangkan. Pada saat pacaran kita

melakukan aktivitas sesuai dengan

keinginan kita karena kita

menyenanginya. Gordon (dalam

Benokraitis, 1996) menyatakan meskipun penelitian sekarang menunjukkan tujuan

pacaran lebih seriusdan berorientasi

untuk melangsungkan perkawinan namun masih tetap menyenangkan.

c. Persahabatan /Intimasi/Seks

Motivasi utama pacaran yaitu adanya

pertemanan/persahabatan, intimasi dan

seks (Knox, 1988). Pacaran sangat

penting untuk mengembangkan dan

memelihara pertemanan jangka panjang

daripada hanya untuk rekreasi (McCabe

dalam Benokraitis, 1996)

Page 8: Penyesuaian Perkawinan Pada Pasangan yang Menikah Tanpa

d. Sosialisasi

Pada saat pacaran, individu belajar ubtuk

saling menyesuaikan dan melakukan

adaptasi tingkah lakunya terhadap orang

lain. Melalui pacaran seseorang belajar

peran gender yang diharapkan, struktur keluarga yang berbeda dengan

keluarganya dan belajar sikap,

kepercayaan dan nilai-nilai yang berbeda

dengan dirinya (Benokraitis,1996).

e. Pemilihan Pasangan

Pacaran biasanya merupakan tahap dalam

memilih pasangan hidup

(Benokraitis,1996; knox,1988). Duvall

dan Miller (1985) menyatakan bahwa fungsi pacaran yaitu menemukan dan

mengetahui seseorang yang berlainan

jenis kelamin yang mereka suka, dimana dengannya mereka merasa senang dan

yang akan mereka nikahi atau dijadikan

suami atau istri.

2. Perkawinan Tanpa Pacaran (ta’aruf)

a. Pengertian Ta’aruf (perkenalan) merupakan

bagian dari Ukhuwah Islamiyah, dimana

Islam sangat menganjurkan ummatnya

saling berta’aruf satu sama lain, suku

tertentu dengan suku lain, bangsa tertentu

dengan bangsa lain, maupun individu

tertentu dengan individu lain. Adalah sebuah

kewajaran jika dalam rangkaian menuju

perkawinan. Ta’aruf termasuk di dalamnya.

Karena itu, dalam perkembangannya, ta’aruf

saat ini juga dikenal sebagai salah satu

sarana dalam pencarian pasangan hidup.

Aktivitas yang dilakukan pada saat

proses perkenalan biasanya yaitu bertukar

biodata, kemudian melakukan diskusi dan Tanya jawab dalam forum pertemuan. Pada

saat forum pertemuan ini dimungkinkan

masing-masing calon untuk mengetahui calon pasangannya yang akan dijadikan

sebagai suami-istri dalam batas-batas

syari’at. Biasanya pada proses pertemuan ini

disertai guru mengaji atau orang yang

diminta sebagai mediator oleh salah satu

pasangan. Peran mediator adalah sebagai

perantara yang memfalitasi pertemuan atau untuk mencairkan suasana karena banyak

pasangan yang melakukan proses perkenalan

ini, sebelumnya belum saling mengenal.

Adapun hal-hal yang perlu

diperhatikan dalam melaksanakan proses

ta’aruf (Abdullah, 2003) ini adalah:

1. Persiapan ta’aruf

Seseorang yang hendak menikah harus

mengetahui siapa yang akan menjadi pendamping hidupnya tersebut secara

jelas dan utuh. Hal-hal yang perlu

diketahiu dari masing-masing calon

pendamping antara lain: kepribadian,

pandangan hidup, pola pikir berikut cara

penyelesaian suatu masalah.

2. Adab atau tata cara selama melakaukan

ta’aruf

Meski ta’aruf merupakan salah satu cara untuk menemukan dua jenis insan dalam

perkawinan, namun jika dilakukan

dengan asal-asalan, gegabah, tidak

cermat lagi tidak teliti, sangat terburu-

buru, dan mengabaikan segi-segi

kebaikan lainnya, maka bukan tidak

mungkin jika hanya keburukan semata

yang menjadi hasil akhirnya (Abdullah,

2003).

Selembar pas photo maupun secarik

kertas beriisi data-data diri tentu saja

sangat sulit menggambarkan secara utuh

perihal siapa orang tersebut. Untuk

mengetahui informasi perihal siapa sesungguhnya orang yang hendak

dijadikan pasangan hidupnya itu, ia

hendaknya berusaha menjemput bola dan tidak bersikap pasif. Mengutus perantara

atau mediator serta mendapatkan

informasi darinya memang perlu, namun

bersikap aktif dalam mencari dan

mendapatkan informasi sebanyak-

banyaknya perihal calon pendamping

tersebut yang dilakukannya sendiri, juga sangat diperlukan. Berbagai sumber

dapat digunakan untuk jalur bersikap

aktif ini. Sahabat-sahabatnya, tetangga

terdekat, hingga kerabat dekat sang calon

dapat dijadikan rujukan untuk

mengetahui siapa sesungguhnya calon

tersebut. Selama pencarian informasi sikap yang diharapkan juga adalah

pncarian dengan cara yang sopan, arif,

Page 9: Penyesuaian Perkawinan Pada Pasangan yang Menikah Tanpa

dan bijaksana, serta mengedepankan

unsure kebaikan tanpamenyinggung atau melukai sang calon yang tengah

diselidiki tersebut.

3. Mediator atau perantara proses ta’aruf.

Idealnya perantara atau mediator ta’aruf

tersebut adalah orang yang paling dekat

keberadaannya dengan sang calon

tersebut. Perantara sebaiknya adalah

seseorang yang dapat mengungkapkan

siapa sesungguhnya jati diri sang calon (Abdullah, 2003).

Orang yang patut serta pantas

dipilih untuk menjadi mediator biasanya

adalah orang yang intens berinteraksi dengan salah satu pihak. Peluang ini

banyak dimiliki oleh orang yang hidup

serumah dengan salah satu pihak, baik itu orang tua, kakak, adik, atau saudara, serta

kerabat lainnya. Selain itu, satu pihak

dapat mengajukan sendiri atau

mempertimbangkan calon perantara yang

diajukan orangtuanya sepanjang sesuai

dengan syarat-syarat penting selaku

perantara.

4. Persiapan mental

Agar proses ta’aruf berlangsung dengan benar masing-masing pihak yang terlibat

agar mempunyai keberanian, baik itu

keberanian untuk mengungkapkan secara

jujur, atau benar dalam bertanya maupun

juga dalam menjawab. Lebih jauh lagi

adalah keberanian untuk menerima hasil

akhir proses ta’aruf .

Persiapan yang penting diadakan adalah

persiapan rohani, dimana orang yang

hendak melaksanakan tahap ini

hendaklah mempersiapkan batin atau

jiwa agar berada dalam kondisi yang

stabil (Abdullah, 2003). Kondisi jiwa

yang stabil ini tidak lain sumbernya hanyalah dari Allah SWT, dengan jalan

mendekatkan diri , khusuk dalam

beribadah, memperbanyak tilawah al

Qur’an, serta memohon petunjuk

kepadaNya. Adapun segala hasil akhir

dari tahap ini, hendaklah diserahkan

segalanya kepada Allah SWT dan diyakini sepenuh hati, bahwa segala

keputusan yang diberikan Allah SWT

adalah takdir yang terbaik bagi

seseorang.

5. Jika ta’aruf gagal

Tidak ada suatu jaminan atas kepastian,

bahwa setelah melaksanakan proses

ta’aruf ini maka keduanya secra

otomatis akan segera menuju jenjang

perkawinan. Memang setelah adanya

kecocokan antara keduanya, maka

keduanya dapat melanjutkan hubungan

tersebut menjadi ikatan yang lebih kukuh menuju pelaminan. Akan tetapi, jika

ternyata masing-masing atau salah satu

pihak merasa tidak cocok setelah

mengetahui ‘kualitas’ pihak lainnya,

maka pihak yang bersangkutan dapat

memutusakan apakah ia akan terus maju

atau tidak (Abdullah, 2003).

b. Kelompok Pengajian yang Melakukan

Proses Perkenalan

Setiap kelompok pengajian tarbiyah

dipimpin oleh seorang guru mengaji yang

disebut dengan murobbi (untuk guru

mengaji laki-laki) dan murobbiyah

(untuk guru mengaji perempuan). Untuk

menjadi murobbi/yah, kedalaman pengetahuan agama seseorang memang

dianjurkan tetapi tidak selalu menjadi

syarat. Hal yang paling penting untuk

menjadi seorang murobbi/yah yaitu

konsistensinya dalam memegang

pandangan-pandangan keagamanaan

yang telah diajarkan oleh murobbi/yah

yang menjadi pembimbing kelompok

pengajian tarbiyah. Selain konsistensi,

sejumlah sikap lain yang penting dimiliki

seorang calon, seperti keikhlasan dalam

melaksanakan tugas, berpenampilan

sopan dan rapi (baju dan celana dari

bahan polos dan mengurangi warna-

warni untuk laki-laki, sedangkan untuk

wanita menggunakan jilbab dan pakaian

terusan). Otoritas seorang murobbi/yah

terhadap kelompok yang dipimpinnya

sangat besar, bahkan seorang

murobbi/yah sangat dipercaya untuk

mencarikan jodoh atau pekerjaan yang

cocok bagi anggotanya (Azis dalam

Page 10: Penyesuaian Perkawinan Pada Pasangan yang Menikah Tanpa

Qodari, 1997). orang tuanya. Tetapi

subjek berusaha untuk mengatasi rasa hampa yang dirasakan olehnya dengan

mencurahkan isi hatinya, bercerita

dengan teman atau pun keluarga, karena

dengan cara seperti itu subjek merasa

bahwa bebannya berkurang dan dirinya

merasa tidak sendiri lagi.

B. Penyesuaian Perkawianan

1. Pengertian

Berdasarkan defenisi yang dinyatakan

oleh Laswell & Laswell (dalam

Zainab,2002) penyesuaian perkawinan

merupakan penyesuaian satu sama lain diantara dua individu terhadap kebutuhan-

kebutuhan, keinginan-keinginan dan

harapan-harapan (Laswell & Laswell dalam Zainab,2002). Atau dengan kata lain, setiap

pasangan harus fleksibel dan mempunyai

keinginan untuk berubah (Atwater dan

Duffy,1999) agar dapat mencapai derajat

kenyamanan yang baik dalam hubungan

tersebut.

2. Dimensi-dimensi penyesuaian

perkawinan

a. Dyadic consensus atau kesepakatan

hubungan adalah kesepahaman atau kesepakatan antar pasangan dalam

berbagai masalah dalam perkawinan

seperti keuangan, rekreasi, keagamaan.

Perkawinan mempertemukan dua orang

dengan cirri-ciri pribadi, nilai-nilai yang

dianut, dan berbagai karakteristik pribadi

yang berbeda. Kedua individu yang berbeda ini akan menghadapi konflik-

konflik dalam berbagai aspek kehidupan

perkawinan mereka, sehubungan dengan perbedaan diantara mereka (Duvall &

Miller, 1985). Dalam hubungan

perkawinan, pasangan akan menemukan

berbagai permasalahan-permasalahan

yang harus diputuskan, seperti mengatur

anggaran belanja dan bagaimana

membagi tugas-tugas rumah tangga, dan pasangan akan menyadari bahwa mereka

mempunyai perbedaan perspektif

terhadap berbagai hal (Arnold & Parker

dalam Benokraitis, 1996).

b. Dyadic cohesion atau kedekatan

hubungan adalah kebersamaan atau kedekatan, yang menunjukkan seberapa

banyak pasangan melakukan berbagai

kegiatan secara berasama-sama dan

menikmati kebersamaan yang ada.

Banyaknya waktu yang dihabiskan

bersama akan mempengaruhi kepuasaan

individu terhadap perkawinan (Miller dalam Hurlock, 1980). Selanjutnya

Anderson menyatakan bahwa pasangan

yang merespon peristiwa-peristiwa krisis

dengan baik mempunyai derajat

kedekatan (cohesion), ikatan emosi

dengan kemampuan untuk beradaptasi

yang tinggi (Anderson dalam Knox,1988). Selanjutnya, Jhonson

(dalam knox, 1988) menyatakan bahwa

sumber kedekatan yaitu berbagi pengalaman-pengalaman di antara

pasangan yang berlangsung selama

bertahun-tahun, baik itu pengalaman

kegagalan atau pengalaman kesuksesan.

c. Dyadic satisfaction atau kepuasaan

hubungan adalah derajat kepuasan dalam

hubungan. Atwater (1983) dan

Benokraitis (1996) menyatakan bahwa

peran (suami-istri) yang dijalankan

sangat berperan dalam kepuasan

hubungan perkawinan. Blumstein (dalam

Benokraitis, 1996) menyatakan bahwa

pasangan yang baru melakukan

perkawinan melakukan proses identity bargaining dimana pasangan saling

menyesuaikan diri kembali harapan ideal

pasangan pada kenyataan (realities)

kehidupan perkawinan mereka. Dalam

proses identity bargaining, pasangan

melakukan penyesuaian-penyesuaian

terhadap peran baru mereka sebagai

suami-istri. Selain itu, ada tiga hal yang

dapat menggambarkan kepuasan dalam

suatu hubungan perkawinan yaitu (1)

Setiap pasangan harus mempunyai sikap

yang positif satu dengan yang lainnya.

(2) Pasangan memahami bahwa

kehidupan perkawinan memerlukan

komitmen dalam jangka panjang dan

waktu perkawinan merupakan lembaga

yang suci dimana pasangan bersungguh-

sungguh melakukan perjanjian “till death

Page 11: Penyesuaian Perkawinan Pada Pasangan yang Menikah Tanpa

us do part”, sehingga konflik dapat

dihindari. (3) Adanya dukungan emosional dari pasangan dalam

hubungan perkawinan tersebut.

d. Affectional expression atau ekperesi

afeksi adalah kesepahaman dalam menyatakan perasaan dan hubungan seks

maupun masalah yang ada menenai

hal-hal tersebut. Bagi beberapa orang tidak mudah untuk membiarkan orang

lainmengetahui siapa mereka, apa yang

mereka rasakan atau apa yang mereka

fikirkan. Mereka mungkin takut jika

orang lain benar-benar mengetahui

mereka, mereka mungkin ditolak sebagai teman dan orang-orang yang dicintainya.

Oleh karena itu mereka berhati-hati

terhadap dirinya dan hubungannya

dengan membatasi fikiran dan perasaan-

perasaan yang dikemukakannya (Knox,

1988). Selanjutnya menurut Knox (1988)

rasa percaya terhadap orang lain

merupakan keadaan dimana orang

mempunyai kemauan untuk terbuka satu

sama lain. Mereka harus merasa bahwa apapun perasaan-perasaan atau informasi

yang mereka bagi/kemukakan (share)

tidak akan dikritik dan merasa tetap aman

berada pada orang yang mereka percayai.

3. Kondisi-Kondisi yang Berpengaruh

terhadap Kesulitan dalam Penyesuaian

Perkawinan a. Persiapan yang terbatas untuk

perkawinan

Persiapan yang terbatas dari suami-istri

dalam keterampilan rumah tangga,

mengasuh anak, serta manajemen uang

membuat pasangan kesulitan dalam

penyesuaian perkawinannya.

b. Peran dalam perkawinan

Kecendrungan terhadap perubahan peran

dalam perkawinan bagi pria dan wanita,

kemudian konsep yang berbeda tentang

peran yang dianut kelas sosial dan

kelompok religious yang berbeda,

membuat penyesuaian perkawinan lebih

sulit dari pada masa lalu ketika peran-

peran sudah ditentukan.

c. Kawin muda

Perkawinan dan kedudukan sebagai

orang tua sebelum pasangan muda yang menyelesaikan pendidikan dan belum

mandiri secara ekonomi membuat

merekan tidak mempunyai kesempatan

untuk mempunyai pengalaman yang

dipunyai kesempatan untuk mempunyai

pengalaman yang dipunyai teman-teman

mereka.

d. Konsep yang tidak realistis tentang

perkawinan

Orang dewasa yang bekerja disekolah

dan perguruan tinggi, dengan sedikit atau

tanpa pengalaman kerja, cenderung

mempunyai konsep yang tidak realistis

tentang makna perkawinan berkenaan

dengan pekerjaan, deprivasi,

pembelanjaan uang, atau perubahan

dalam pola hidup.

e. Perkawinan campur

Penyesuaian terhgadap kedudukan

sebagai orang tua dan dengan para saudara dari pihak istri dan sebaliknya,

jauh lebih sulit dalam perkawinan antar

agama daripada bila keduanya berasal

dari latar belakang budaya (agama) yang

sama.

f. Masa pacaran yang singkat

Priode atau masa pacaran yang lebih

singkat berdampak pada setidaknya

waktu bagi pasangan untuk memcahkan banyak masalah tentang penyesuaian

sebelum mereka melangsungkan

perkawinan. Grover (dalam Benokraitis, 1996) menyatakan ada pengaruh yang

sangat tinggi antara lamanya waktu

pacaran dengan kepuasan perkawinan

yang merupakan indicator dari

penyesuaian perkawinan yang baik.

g. Konsep perkawinan yang romantis

Banyak orang dewasa yang mempunyai

konsep perkawinan yang romantis yang

berkembang pada masa remaja. Pada saat pacaran masing-masing pasangan

merasakan adanya suatu keadaan yang

romantic dan mereka menganggap bahwa

keadaan itu akan selalu ada ketika

mereka telah melangsungkan

perkawinan. Namun, banyk pasangan

menemukan bahwa perkawinan yang

Page 12: Penyesuaian Perkawinan Pada Pasangan yang Menikah Tanpa

romantis dan bulan madu tidak akan

abadi selamanya (Turner & Hems, 1995).

4. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi

Penyesuaian terhadap Perkawinan

a. Konsep pasangan yang ideal.

Dalam memilih pasangan, baik pria

maupun wanita sampai tingkat tertentu

dipengaruhi oleh konsep pasangan ideal

yang dibentuk selama masa dewasa.

Semakin telatih seseorang seseorang

menyesuaikan diri terhadap realitas maka akan semakin sulit penyesuaian

dilakukan terhadap pasangan. Misalnya

ketika seseorang dapat melakukan

penyesuaian diri diri yang dituntut dalam

dunia kerja maka orang tersebut akan

menuntut orang lain/rekan kerjanya juga

berbuat hal yang sama, sedangkan belum

tentu orang lain dapat menyesuaikan diri

dalam dunia kerja seperti dirinya.

b. Pemenuhan kebutuhan

Pada penyesuaian yang baik, individu

harus saling membantu memenuhi kebutuhan pasangannya. Sehingga,

apabila orang dewasa perlu pengenalan,

pertimbangan prestasi dan status social

agar bahagia, pasangan harus saling

membantu untuk memenuhi kebutuhan

tersebut.

c. Kesamaan latar belakang

Semakin sama latar belakang suami dan

istri, semakin mudah untuk saling menyesuaikan diri. Semakin berbeda

pandangan hidup, maka semakin sulit

penyesuaian diri dilakukan.

d. Minat dan kepentingan bersama

Kepentingan yang sama tentang suatu

hal, yang dapat dilakukan pasangan

cenderung membawa penyesuaian yang

baik dari kepentingan bersama yang sulit

dilakukan dan dibagi bersama.

e. Kesamaan nilai

Pasangan yang menyesuaikan diri dengan

baik mempunyai nilai yang kurang lebih

sama daripada mereka yang penyesuaian dirinya buruk. Biasanya latar belakang

yang sama menghasilakan nilai yang

sama pula.

f. Konsep peran

Setiap pasangan mempunyai konsep yang

pasti mengenai bagaiman seharusnya

peran seorang suami dan istri, atau setiap

orang mengharapkan pasangannya

memainkan perannya. Jika harapan terhadap peran tidak terpenuhi, akan

mengakibatkan konflik dan penyesuaian

yang buruk.

g. Perubahan dalam pola hidup

Penyesuaian terhadap pasangannya berarti mengorganisasikan pola

kehidupan, mengubah persahabatan dan

kegiatan-kegiatan social, serta mengubah

persyaratan pekerjaan,terutama bagi

seorang istri. Penyesuaian-penyesuaian

ini sering kali diikuti oleh konflik

emosional.

C. Metode Penelitian 1. Pendekatan Kualitatif

Dalam penelitian ini menggunakan

format studi kasus tipe pendekatan penelitian yang penelaahannya kepada satu

kasus yang dilakukan secara intensif,

mendalam, mendetail dan komprehensif.

Dalam penelitian studi kasus ini lebih

menekankan mengkaji variabel yang cukup

banyak pada jumlah yang kecil, tujuan dari

penelitian studi kasus ini adalah memberikan gambaran secara mendetail

tentang latar belakang, sifat-sifat serta

karakter-karakter yang khas dari kasus (Nazir, 1999).

2. Subjek penelitian

Karakteristik subjek dalam penelitian ini

adalah remaja putra, yang rentang usianya

antara 11-24 tahun yang kedua orang tuanya

telah meninggal. Sementara itu subjek penelitian dalam penelitian ini terdiri dari

satu orang subjek dengan 1 orang significant

others.

3. Tahap-tahap Persiapan a. Tahap Persiapan Penelitian, dalam

membuat pedoman wawancara yang akan dibuat sesuai dengan tujuan penelitian

dan berdasarkan teori yang relevan

Page 13: Penyesuaian Perkawinan Pada Pasangan yang Menikah Tanpa

dengan permasalahan pedoman

wawancara ini berisi pertanyaan-pertanyaan mendasar yang nantinya dapat

berkembang dalam wawancara dengan

topik penelitian.

b. Tahap Pelaksanaan Penelitian, peneliti

terjun langsung ke lapangan untuk

melakukan observasi dan wawancara

secara terpisah. Setelah itu, peneliti memindahkan hasil rekaman berdasarkan

wawancara dan hasil observasi ke dalam

bentuk verbatim tertulis, kemudian

peneliti melakukan analisis data dan

interpretasi data sesuai dengan langkah-

langkah yang dijabarkan pada bagian

teknik analisis data. Terakhir peneliti membuat diskusi dan kesimpulan dari

seluruh hasil penelitian.

4. Teknik Pengumpulan Data

Dalam penelitan ini tipe pengumpulan

data yang akan dipergunakan adalah metode

wawancara dan metode observasi.

Wawancara dengan pedoman umum, yaitu

proses wawancara dimana peneliti

dilengkapi dengan pedoman mengenai aspek-aspek yang dibahas dan pertanyaan-

pertanyaan dijabarkan tergantung pada

konteks saat wawancara berlangsung. Sedangkan dalam jenis observasi yang

dilakukan adalah observasi sistemik, dimana

pada jenis observasi ini peneliti melakukan

wawancara (Poerwandari, 1998) adapun

sistemik pencatatan yang dilakukan meliputi

materi, cara-cara mencatat hasil observasi

dan wawancara, hubungan observer dan observee dilingkungan tempat wawancara

dilakukan dan lain sebagainya.

5. Alat Bantu Penelitian

Menurut Poerwandari (2001), penulis

sangat berperan dalam seluruh penelitian

mulai dari memilih topik, mendekati topik,

mengumpulkan data, analisis, interpretasi

dan menyimpulkan data, dalam pengambilan

data dalam metode wawancara dan observasi diperlukan alat bantu, untuk

mempermudah peneliti untuk

mengumpulkan data yaitu: pedoman

wawancara, pedoman observasi, alat

perekam.

6. Keakuratan Penelitian Untuk mencapai keakuratan dalam suatu

penelitian dengan metode kualitatif, ada

beberapa teknik yang digunakan dan salah

satu teknik tersebut adalah triangulasi.

Triangulasi adalah suatu teknik pemeriksaan

keakuratan data yang memanfaatkan sesuatu

yang lain di luar data untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding

terhadap data itu. Triangulasi dapat

dibedakan menjadi emapat macam yaitu

triangulasi data, pengamat, teori, dan

metodologis.

7. Teknik Anlisis Data Data yang diperoleh akan di analisa

dengan menggunakan teknik analisa data

kualitatif. Adapun tahapan tersebut adalah mengorganisasikan data, mengelompokkan

data, analisis kasus, dan menguji asumsi.

D. Hasil Dan Analisis

1. Persiapan Penelitian Pertama kali yang dilakukan oleh

peneliti sebelum proses pengambilan data dilakukan, peneliti terlebih dahulu datang

menemui subjek di rumahnya untuk

menjelaskan kedatangan dan tujuan peneliti. Setelah maksud dan tujuan telah di ketahui

oleh calon subjek maka peneliti menjelaskan

lebih rinci mengenai penelitian yang

dilakukan peneliti agar subjek lebih

mengerti dan merasa nyaman dengan

peneliti sehingga penelitian dapat berjalan

dengan baik. Sebelum proses pengambilan data, peneliti mempersiapkan pedoman

wawancara, pedoman observasi, dan

memepersiapkan alat-alat penelitian berupa tape recorder, kertas dan alat tulis. Hal ini

dilakukan agar proses pengumpulan data

dapat berjalan dengan baik dan lancar.

2. Pelaksanaan Penelitian

Kegiatan observasi dalam penelitian ini

dilakukan pada tanggal 8 Maret 2009,pada hari minggu dikediaman rumah subjek.

Sedangkan kegiatan observasi dengan

significant others, yaitu sepupu subjek pada

tanggal 23 Maret 2009, pada hari senin.

Page 14: Penyesuaian Perkawinan Pada Pasangan yang Menikah Tanpa

Kegiatan wawancara dalam penelitian

ini dilakuakan pada tanggal 8 Maret 2009 dikediaman rumah subjek. Sedangkan

wawancara pada significant others juga

dilakukan pada tanggal 23 Maret 2009

dirumah significant other.

3. Hasil Observasi dan Wawancara

a. Gambaran Umum Subjek Karakteristik subjek dalam penelitian ini

adalah pasangan suami-istri yang menikah

tanpa proses pacaran atau ta’aruf yang mana

masa perkawinan dalam rentang waktu 1

sampai 5 tahun perkawinan. Suami dengan

inisial F, lahir pada tahun 1976 11 juni, 33

tahun yang lalu, anak ke dua dari lima bersaudara, pendidikan terakhir STM,

pekerjaan sebagai karyawan Design Grafic

di salah satu percetakan di daerah Depok, menikah pada tanggal 24 agustus 2006, suku

Minangkabau (padang). Istri dengan inisial

D, lahir pada tahun 1979 20 agustus, anak ke

lima dari tujuh bersaudara, pendidikan

terakhir Sarjana, subjek bekerja sebagai guru

bimbingan di salah satu tempat les di Depok,

menikah pada tanggal 20 agustus 2006, suku Jawa.

b. Pembahasan 1. Perkawinan tanpa proses pacaran

(ta’aruf). Dalam penelitian ini peneliti meneliti

mengenai penyesuaian perkawinan pada

pasangan suami-istri yang menikah tanpa

pacaran (ta’aruf) yang usia penikahan

kurang dari 5 tahun. Ta’aruf secara khusus diartikan, yaitu ta’aruf antara laki-laki dan

perempuan yang hendak mengikat hubungan

mereka dengan perjanjian kokoh (mitsaqon

gholizo), di bawah naungan lembaga

perkawinan. Amran mengakui istilah proses

perkenalan (ta’aruf) dalam konteks

pendekatan antara laki-laki dan perempuan

yang akan menikah (sebelum proses

melamar), Aktivitas yang dilakukan pada

saat proses perkenalan biasanya yaitu bertukar biodata, kemudian melakukan

diskusi dan Tanya jawab pada saat

pertemuan. Pada saat forum pertemuan ini

dimungkinkan masing-masing calon untuk

mengetahui calon pasangannya yang akan

dijadikan sebagai suami-istri dalam batas-

batas syari’at. Biasanya pada proses pertemuan ini disertai guru mengaji atau

orang yang diminta sebagai mediator oleh

salah satu pasangan.

Pada penelitian ini pengalaman ta’aruf

dapat dilihat pada kasus yang dialami oleh

subjek I (suami) dan subjek II (istri), yang

usia perkawinannya 2 setengah tahun, berasal dari keluarga islam yang taat baik

istri maupun suami, terutama keluarga istri

karena proses ta’aruf adalah bukan hal baru

bagi keluarga mereka. Kedua subjek

memiliki latar belakang sosial dari kelas

menengah, dan memiliki latar belakang

budaya yang berbeda, subjek I (suami) suku Minangkabau (Padang), dan subjek II (istri)

suku Jawa.

Proses perkawinan tanpa pacaran (ta’aruf) yang dilakukan oleh subjek adalah

sebuah proses pernikahan yang dipilih oleh

keduanya, karena menurut keduanya sesuai

dengan ajaran agama, dalam proses ini

memakan waktu sekitar 5 bulan, dimana

biasanya proses ta’aruf selalu melibatkan

guru dari pengajian mereka secara keseluruhan, namun pada perakteknya

mereka tidak menggunakan guru sampai

akhir pemutusan untuk menikah, dikarenakan ada hamabatan informasi

diantara kedua guru mereka. Dalam proses

mereka tidak pernah bertemu secara

langsung, namuan menggunakan media,

seperti surat dan handphone. Subjek selalu

memanfaatkan waktu untuk lebih mengenal

satu sama lain sehingga pembicaraan yang dilakukan juga serius. Hal yang membuat

subjek I dan II menjadi yakin karena adanya

kesamaan fisi dan misi, serta pandangan hidup yang sesuai dengan ajaran agama. .

2. Faktor yang mempengaruhi

penyesuaian perkawinan. Dari hasil wawancara dengan subjek I

dan subjek II serta significant other, maka

penyesuaian perkawinan pada pasangan yang menikah tanpa pacaran (ta’aruf)

memiliki hasil analisis bahwa penyesuaian

yang mereka jalani berjalan dengan baik.

Hal ini didapat dari awal pernikahan subjek

dan pasangan, dimana alasan mereka

Page 15: Penyesuaian Perkawinan Pada Pasangan yang Menikah Tanpa

menikah adalah karena adanya kecocokan,

kesepahaman, minat dan kepentingan bersama. Dengan demikian dapat

disimpulkan bahwa faktor pendorong yang

melandasi pernikahan subjek adalah adanya

kesamaan mendasar antara subjek dan

pasangannya. Sesuai dengan pendapat

Hurlock (1980) yang menyatakan bahwa

kepentingan yang sama tentang suatu hal, yang dapat dilakukan pasangan cenderung

membawa penyesuaian yang baik dari

kepentingan bersama yang sulit dilakukan

dan berbagi bersama.

Sesuai dengan makna dari penyesuaian

perkawinan yakni proses adaptasi antara

suami dan istri dalam aspek-aspek kehidupan perkawinan sehingga akan

tercapainya hubungan yang bahagia dan

harmonis. Maka setelah memasuki kehidupan pernikahan, subjek dan pasangan

saling menyesuaikan diri satu sama lain

meskipun menemui hambatan dengan

adanya perbedaan latar belakang budaya dan

pendidikan antara mereka tetapi dapat

dilalui dengan baik karena adanya

kesepakatan dan komunikasi antara subjek dan pasangannya. Seperti yang diungkapkan

oleh Duvall dan miller (1985) bahwa dalam

hubungan perkawinan, pasangan akan memnemukan berbagai permasalahan

permasalahan, yang harus diputuskan

melalui kesepakatan untuk mendapatkan

kesepahaman anatara pasangan.

Dari dimensi-dimensi dalam

penyesuaian perkawinan dapat ditarik

kesimpulan bahwa kesepakatan antar pasangan (Dyadic consesus) merupakan

dimensi yang paling dominan dan penting

dalam pernikahan subjek dan pasangan. Kemudian juga kedekatan dalam hubungan

secara fisik dan emosi (Dyadic cohesion)

terlihat dalam hubungan subjek dan

pasangannya. Sesuai dengan Spanier (dalam

Miranda, 1995) yang mengatakan bahwa

kebersamaan atau kedekatan ditunjukkan

dari seberapa banyak dan seberapa sering pasangan melakukan berbagai kegiatan

secara bersama-sama dan menimati

kebersamaan yang ada yang mana hal ini

akan mempengaruhi kepuasan individu

terhadap perkawinannya.

Dalam suatu perkawinan khususnya

perkawinan tanpa pacaran (ta’aruf) yang dibahas dalam penelitian ini, banyak sekali

penyesuaian-penyesuaian yang terjadi. Oleh

karena itu suksesnya suatu penyesuaian

perkawinan pada suami istri dapat terwujud

apabila terdapat titik temu antara pasangan,

yaitu keimanan, pengajian, serta proses

menikah yang mereka pilih. Hal ini berdasarkan pada sikap subjek dan pasangan

yang selalu mengdepankan ajaran agama

dalam kehidupan individu suami istri

maupun dalam kehidupan perkawinan

mereka, untuk saling menerima dan

mensyukuri atas apa yang mereka dapat,

suami istri juga telah mengetahui tugas dan kewajibannya dalam kehidupan perkawinan.

Hal lain yang mendukung penyesuaian

perkawinan subjek dan pasangan sehingga berjalan dengan baik karena subjek dan

pasangan dapat mnerima perubahan-

perubahan yang anda tanpa menimbulkan

konflik, hal ini dikarenakan adanya konsep

yang realitas mengenai perkawinan, hal ini

adalah kondisi yang berpengaruh dalam

penyesuaian perkawinan menurut Hurlock (1980). Yang mana subjek dan pasangan

telah memiliki kesiapan dan tujuan yang

sama dalam membangun sebuah pernikahan. Keberhasilan penyesuaian perkawinan

antara subjek dan pasangan juga terlihat dari

adanya kebahagiaan antara suami dan istri,

hubungan yang baik antara orang tua dan

keluarga suami maupun pasangan, dan rasa

kebersamaan antara subjek dan pasangan,

serta adanya penyesuaian dalam hubungan yang telah dibina suami atau istri sebelum

pernikahan dengan baik, hal ini termasuk

kedalam kriteria-kriteria keberhasilan dalam penyesuaian perkawinan dalam kehidupan

rumah tangga. Dimana jika penyesuaian

perkawinan dapat berhasil, maka keluarga

dapat menikamati waktu yang digunakan

untuk berkumpul bersama, kebersamaan

tersebut akan menimbulkan kesejahteraan

(well being) emosionel dan psikologis diantara pasangan yang akan berdampak

tumbuhnya rasa aman dan nyaman (Duvall

& Miller, 1985).

Adanya konsep pasangan ideal yang

terpenuhi oleh suami dan istri, minat dan

Page 16: Penyesuaian Perkawinan Pada Pasangan yang Menikah Tanpa

kepentingan bersama mengenai tujuan

pernikahan, subjek dan pasangan menyesuaikan diri dengan memiliki nilai,

pandangan hidup yang sama mengenai baik

dan buruknya suatu hal dalam ajaran agama

dalam penelitian ini agama Islam, memiliki

konsep peran yang pasti mengenai subjek

dan pasangan, serta subjek dan pasangan

telah saling membantu memenuhi kebutuhan pasangannya, yang mana kesemua hal ini

adalah faktor yang mempengaruhi

penyesuaian perkawinan mennurut Hurlock

(1980).

Dari keseluruhan aspek yang diteliti

dapat disimpulkan bahwa penyesuaian

perkawinan yang subjek I dan II jalani dapat berlangsung dengan baik dan positif, karena

mereka menginterpretasikan tiap-tiap

dimensi penyesuaian perkawinan, kondisi-kondisi yang berpengaruh, serta kriteria dan

faktor yang mempengaruhi penyesuaian

perkawinan berdasarkan pada kenyataan diri

sendiri dan pasangan, sebagian besar dan

hampir seluruhnya terdapat dalam diri

subjek I dan II. Bila subjek dan pasangan

menemukan masalah mereka dapat dan

mampu menyelesaikannya dengan jalan

saling menerima dan memahami dengan

berdiskudi untuk mencari jalan keluar

yang terbaik bagi subjek dan pasangan,

sesuai dengan kesepakatan bersama yang

telah mereka setujui pada awal

pernikahan.

E) Penutup A. Kesimpulan

1. Gambaran pada penyesuaian

perkawinan pada pasangan yang

menikah tanpa proses pacaran (ta’aruf)

Subjek dan pasangan melaksanakan

pernikahan tanpa proses pacaran (ta’aruf)

dapat dilihat dari proses yang mereka jalani

dan persiapan dalam pernikahan mereka,

lamanya proses perkenalan hanya 5 bulan,

namun subjek dapat memutuskan menikah,

dan berdasarkan analisa terhadap berbagai

aspek mengenai penyesuaian perkawinan

maka dapat disimpulkan subjek dan

pasangan memiliki penyesuaian yang cukup

baik. Hal ini dapat dilihat dari alasan subjek

mengenai keputusannya untuk menikah

dikarenakan adanya kecocokan dan persamaan minat serta adanya konsep

pasangan ideal antara satu sama lain.

Menurut definisi pernikahan tanpa proses

pacaran (ta’aruf) adalah komunikasi timbal

balik untuk saling mengenal yang berkaitan

dengan masalah perkawinan. Sejalan dengan

hal tersebut, proses perkenalan berbeda dengan pacaran. Pada proses perkenalan

diperlukan adanya mediator yang menjadi

perantara. mediator hendaknya orang yang

sholeh yang bisa dipertanggung jawabkan

agama dan kejujurannya. Mediator biasanya

guru mengaji salah satu calon pasangan atau

teman dekat calon yang tergabung dalam kelompok pengajian yang sama. Apabila

ditinjau dari segi ta’arufnya maka banyak

sekali penyesuaian-penyesuaian yang terjadi. Oleh karena itu suksesnya suatu

penyesuaian perkawinan bagi pasangan

suami istri dapat terwujud apabila terdapat

titik temu antara pasangan. , yaitu keimanan,

pengajian, serta proses menikah yang

mereka pilih. Hal ini berdasarkan pada sikap

subjek dan pasangan yang selalu mengdepankan ajaran agama dalam

kehidupan individu suami istri maupun

dalam kehidupan perkawinan mereka, untuk saling menerima dan mensyukuri atas apa

yang mereka dapat, suami istri juga telah

mengetahui tugas dan kewajibannya dalam

kehidupan perkawinan. Hal ini juga yang

diterapkan subjek bersama pasangannya

sehingga kehidupan pernikahan mereka

berjalan dengan baik, karena dengan diterapkanya hal tersebut mereka dapat lebih

saling menerima, menghargai satu sama

lain.

Subjek melakukan proses ta’aruf

tersebut selama 5 bulan, dimana biasanya

proses ta’aruf selalu melibatkan guru dari

pengajian secara keseluruhan, namun pada

perakteknya subjek tidak menggunakan guru

sampai akhir pemutusan untuk menikah,

dikarenakan ada hamabatan informasi

diantara kedua guru mereka, tetapi mereka

memiliki perantara yaitu sahabat dari ibu

subjek masing-masing, selama ta’aruf itu

berlangsung subjek telah mengikuti segala

aturan yang berlaku, dan persiapan-

Page 17: Penyesuaian Perkawinan Pada Pasangan yang Menikah Tanpa

persiapan, kedua subjek menjadi yakin akan

keputusan keduanya karena adanya kesamaan fisi dan misi, serta pandangan

hidup yang sesuai dengan ajaran agama

sebagaimana yang telah diatur dakan al-

Qur’an dan hadist.

2. Faktor-faktor yang menyebabkan

penyesuaian perkawinan pada

pasangan yang menikah tanpa proses

pacaran (ta’aruf).

Berdasarkan analisa terhadap berbagai Aspek mengenai penyesuaian perkawinan

maka dapat disimpulkan subjek dan

pasangan memiliki penyesuaian yang cukup

baik. Hal ini dapat dilihat dari penelitian

yang telah dilakukan dan berdasarkan pada

dimensi-dimensi penyesuaian perkawinan

maka kesepakatan antar pasangan (Dyadic

consesus) merupakan dimensi yang paling

dominan dan penting dalam pernikahan

subjek dan pasangan. Kemudian juga

kedekatan dalam hubungan secara fisik dan

emosi (Dyadic cohesion) terlihat dalam

hubungan subjek dan pasangannya,

kebersamaan atau kedekatan ditunjukkan

dari seberapa banyak dan seberapa sering

pasangan melakukan berbagai kegiatan

secara bersama-sama dan menimati kebersamaan yang ada yang mana hal ini

akan mempengaruhi kepuasan individu

terhadap perkawinannya.

Bila dilihat dari kondisi-kondisi yang berpengaruh terhadap kesulitan dalam

penyesuaian perkawinan maka yang

dominan adalah perkawinan campur dan masa pacaran yang singkat, namun kedua

hal ini bisa dilewati karena pada hal lain

suami dan istri dapat menerima konsep

realitis tentang perkawinan, dan suami istri

memiliki tujuan dan pandangan yang sama

tentang hidup dan pernikahan mereka.

Dari kriteria keberhasilan penyesuaian

perkawinan maka suami dan istri telah telah

memenuhi kriteria tersebut dimana hal yang

dominan adalah suami dan istri merasa

bahagia satu sama lain yang berasal dari

kepuasan yang diperoleh dari peran yang

mereka jalani bersama. Dimana terdapat

hubungan yang baik antara anak dan orang tua baik suami maupun istri, yang

mencerminkan keberhasilan penyesuian

perkawinan, serta adanya rasa kebersamaan antara suami dan istri dimana masing-

masing dapat menikamti waktu yang

digunakan bersama, dan kebersamaan

tersebut akan menimbulkan kesejahteraan

emosional dan psikologis diantara pasangan

yang menumbuhkan adanya rasa aman dan

nyaman berada disisi pasangan.

Bila dilihat dari faktor-faktor yang

mempengaruhi penyesuaian perkawinan

maka konsep pasangan ideal memang telah

ditemukan suami maupun istri didalam diri

pasangan masing-masing. Serta adanya

minat dan kepentingan bersama yang

membuat pasangan dapat memutuskan untuk

bersama dalam kehidupan pernikahan

bahwa, sehingga masalah-masalah yang

terjadi dapat diselesaikan dan di perbaiki

dikarenakan adanya kesamaan nilai dan

pandangan mengenai kehidupan yang

berlandaskan agama dan keimanan antara

suami maupun istri yang telah sefaham. Serta konsep peran yang jelas yang telah

dijalankan keduanya. .

B. Saran 1. Kepada subjek (suami-istri)

Dari hasil penelitian, bahwa subjek dan

pasangan sebaiknya terus mencoba dan

memahami kebiasaan-kebiasaan dan hal

yang disukai maupun tidak disukai oleh masing-masing individu, agar jauh lebih

baik kehidupan berumah tangganya.

2. Kepada istri subjek Dari hasil penelitian yang dilakukan

sebaiknya istri subjek belajar untuk

lebih ekspresif dan lebih terbuka kepada

pasangan, karena hal ini akan lebih

membantu untuk perjalanan kehidupan

pernikahan subjek dan pasangan.

3. Kepada peneliti selanjutnya Diharapkan pada penelitian selanjutnya,

peneliti bisa mengambil kriteria subjek

dengan latar belakang yang lebih beragam lagi seperti, subjek yang

menikah dengan usia yang berbeda jauh,

agar dapat membandingkan apa saja

masalah-masalah yang dihadapi dan

bagaimana mengatasinya.

Page 18: Penyesuaian Perkawinan Pada Pasangan yang Menikah Tanpa

DAFTAR PUSTAKA

Adhiem, M. F. (2000). Saatnya untuk

menikah. Jakarta: Gema Insane

Press.

Al-Mukaffi, A. (2003). Pacaran dalam

kacamata Islam. Jakarta: Penerbit Media

Dakwah

Atwater, E. (1993). Psychology of

adjustment (2th ed). New Jersey:

Prentice-Hall, Inc.

Atwater, E., & Duffy, K. G. (1999).

Psychology for living adjustment, growth, and behavior today (6th ed).

New Jersey:Prentice Hall, Inc.

Baron, R.A., & Byrne, D. (2000). Social

psycology (9th ed). Massacchussetts:

Allyn and Bacon.

Benokraitis, N. V. (1996). Marriage and

family (2th ed): Changes, choise and

constraints. New Jersey: Prentice-Hall, Inc.

Berns, R. M. (1997). Child, family, school,

community. socialization and

Support. (4th

ed). Florida: Hacourt

Brace Collage Publisher..

Bersiap Menjadi Pengantin. (2002). Majalah

wanita ummi: Identitas wanita

Islam. Edisi Spesial 5/XIV/2002. Jakarta: PT. Kimus Bina Tadzika.

Blood, R. O. (1969). Marriage (2nd

ed). New York: The Free Press.

Brehm, S.S. Intimate relationships (2nd ed).

New York :McGraw-Hill Inc.

Departeman Urusan Agama Islam. (1971).

Al-Qur’an dan terjemahannya (4th

ed). Medinah: Mujamma’al malik

Fadh li thiba’at al Mush-haf asy

Syarif.

Duvall, E.M. ; Miller, B.C. (1985).

Marriage and family development (6th ed). New York: Harper & Row,

Publishers

Feldman, R. S. (1989).Adjustment: applying

psychology in a complex world.

Singapore.

Hurlock, E. B. (1993). Psikologi

perkembangan: suatu pendekatan

sepanjang rentang kehidupan (edisi

kelima) (Terjemahan). Jakarta:

Penerbit Erlangga.

Knox, D. (1998). Choices in relationships

(2nd

ed): An introduction to

marriage and the family. St. Paul:

West Publishing company. Miranda, S. (1995). Kelekatan (attachment)

dengan penyesuaian perkawinan:

studi penjajakan mengenai

pengaruh kelekatan terhadap

penyesuaian perkawinan suami-istri

pada masa perkawinan dua tahun

pertama. Skripsi sarjana. Depok: Fakultas Psikologi Universitas

Indonesia.

Moleong, L. J. (2002) Metodologi penelitian

kualitatif. Bandung: PT. Remaja

Rosdakarya.

Narbuko, C. & Achmadi, A. (2003) Metode

penelitian. Jakarta: PT. Bumi

Aksara.

Nugroho, W. C. (2000). Gaya komunikasi

pada laki-laki dan perempuan

berstatus pacaran saat mengalami

konflik interpersonal dengan

pasangannya. Skripsi Sarjana

Depok: Fakultas Psikologi

Universitas Indonesia.

Papalia, D. E., S. W., & Feldman, R.D. (2004). Human development. (9th

ed). USA: Mc Graw-Hilll

Companies, Inc.

Page 19: Penyesuaian Perkawinan Pada Pasangan yang Menikah Tanpa

Phelan, G. K.(1979). Family relationships.

Minnesota: Burgess Publishing Company.

Poerwandari, E. K. (1998). Pendekatan

kualitatif dalam penelitian

psikologi. Jakarta: Lembaga

Pengembangan Sarana Penguruan

dan Pendidikan Psikologi (LPSP3). Universitas Indonesia.

Poerwandari, E. K. (2001). Pendekatan

kualitatif untuk perilaku manusia.

Depok: LPSP3 Faultas Psikologi

Universitas Indonesia.

Qadari, M. (1997). Sifat keterbukaan-

ketertutupan sistem kepercayaan

peserta gerakan tarbiyah

dikalangan mahasiswa Universitas

Indonesia. Skripsi Sarjana, Depok:

Fakultas Psikologi Universitas

Indonesia.

Robert, G. L. (1968). Personal growth and

adjustment (7th ed). New York:

McGraw-Hill Companies, Inc.

Salim, P. & Salaim, Y. (1991). Kamus

bahasa Indonesia kontemporer.

Jakarta: Modern English Press.

Takariawan, C. (2002). Di jalan dakwah aku

menikah. Jogjakarta: Tiga Lentera

Utama Jogjakarta.

Tim Penyusun Kamus Pembinaan dan

Pengembangan Bahasa. (1999). Kamus besar bahasa Indonesia (4 th). Jakarta: Departement Pendidikan

Dan Kebudayaan-Balai Puataka.

Turner, J. S. & Helms, D. B. (1995).

Lifespan development (5th ed). Fort

Worth: Harcourt Brace Collage Publisher.

Undang-Undang Perkawinan Republik

Indonesia No. 1 Tahun 1974.

Zainab, R. K. (2002). Penyesuaian

perkawinan antar bangsa : studi

kasus pada 5 orang wanita

Indonesia yang menikah dengan

pria asing. Skripsi Sarjana. Depok:

Fakultas Psikologi Universitas

Indonesia.