14
IURIS STUDIA: Jurnal Kajian Hukum Penyelesaian Tindak Pidana Ringan… Volume 1 Nomor 2, Oktober 2020: Page 107-120 (Porlen Hatorangan Sihotang) Page 107 Penyelesaian Tindak Pidana Ringan Menurut Peraturan Kapolri Dalam Mewujudkan Restorative Justice (Studi Di Polresta Deli Serdang) Porlen Hatorangan Sihotang Magister Ilmu Hukum Universitas Muhamadiyah Sumatera Utara, E-mail: [email protected] Abstrak Tindak Pidana Ringan (Tipiring) adalah tindak pidana yang bersifat ringan atau tidak berbahaya. Salah satu penanganan tindak pidana ringan dapat dilakukan dengan cara mengedepankan konsep restorative justice (keadilan restoratif). Restorative justice tersebut dapat dilakukan pada tingkatan proses pidana, salah satunya pada tingkat Kepolisian. Menjadi persoalan di lapangan tentang penerapannya, walaupun telah ada Perkap yang diberlakukan, termasuk pada Polresta Deli Serdang. Penelitian yang dilakukan adalah penelitian yuridis normatif yang bersumber dari data hasil wawancara kepada pihak Kepolisian Resor Kota Deli Serdang dan data sekunder dengan mengolah data dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Berdasarkan hasil penelitian dipahami bahwa pengaturan penyelesaian Tipiring menurut dapat dilihat dari kewenangan polisi di Pasal 15 Ayat (1) huruf e Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian, aturan Perkap yang dipakai untuk itu adalah Perkap Nomor 6 Tahun 2019 Tentang Penyidikan Tindak Pidana, Perkap Nomor 7 Tahun 2008 dan Perkap Nomor 14 Tahun 2012, pengaturan penyelesaian Tipiring tersebut dalam prosesnya ditegaskan oleh Surat Edaran Kapolri Nomor: SE/8/VII/2018 Tentang Penerapan Keadilan Restoratif (Restorative Justice) Dalam penyelesaian tindak pidana ringan menurut Perkap sebelumnya harus memenuhi syarat formil dan materil terlebih dahulu sesuai Pasal 12 PerKap Nomor 6 Tahun 2019, hingga pada intinya kedua belah pihak bersepakat untuk menyelesaikan tindak pidana ringan yang dimaksud dengan cara damai, dan akhirnya akan dikeluarkan surat penghentian penyelidikan/penyidikan atas perkara tersebut dengan alasan keadilan restoratif yang telah ditandatangani oleh Kapolresta Deli Serdang. Hambatan penyelesaian Tipirng menurut Perkap di Polresta Deli Serdang dapat terjadi dari sisi masyarakat hukumnya dan hambatan dari norma hukum yang belum diterapkan secara seragam. Kata Kunci: Tindak Pidana Ringan, Kepolisian, Peraturan Kapolri, Restorative Justice. Abstract Minor Crime is a criminal offense that is light or not dangerous. One of the handling of minor crimes can be done by promoting the concept of restorative justice. Restorative justice can be carried out at the level of criminal proceedings, one of which is at the Police level. There is a problem in the field regarding its application, even though a Perkap has been enacted, including at the Deli Serdang Police. This research is a normative juridical research which is derived from data from interviews with the Deli Serdang City Police and secondary data by processing data from primary legal materials, secondary legal materials and tertiary legal materials. Based on the results of the research, it is understood that the regulation on the settlement of Tipiring can be seen from the authority of the police in Article 15 Paragraph (1) letter e of Law Number 2 of 2002 concerning Police, the Perkap regulation used for this is Perkap Number 6 of 2019 concerning Criminal Investigation, Perkap Number 7 of 2008 and Perkap Number 14 of 2012, the arrangement for the settlement of Tipiring in the process is confirmed by the Chief of Police Circular Number: SE / 8 / VII / 2018 concerning the Application of Restorative Justice in the settlement of minor crimes according to the previous Perkap must meet formal and material requirements first in accordance with Article 12 of PerKap Number 6 of 2019, until in essence the two parties agree to settle the minor crime referred to in a peaceful manner, and finally a letter of termination of investigation / investigation of the case will be issued on the grounds of restorative justice signed by the Head of Police. Deli Serdang. Obstacles to resolving Tipirng according to Perkap at the Deli Serdang Police can occur from the side of the legal community and obstacles from legal norms that have not been applied uniformly. Volume 1 Nomor 2, Oktober 2020: Page 107-120 http://jurnal.bundamediagrup.co.id/index.php/iuris ISSN ONLINE: 2745-8369

Penyelesaian Tindak Pidana Ringan Menurut Peraturan

  • Upload
    others

  • View
    17

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Penyelesaian Tindak Pidana Ringan Menurut Peraturan

IURIS STUDIA: Jurnal Kajian Hukum Penyelesaian Tindak Pidana Ringan… Volume 1 Nomor 2, Oktober 2020: Page 107-120 (Porlen Hatorangan Sihotang)

Page 107

Penyelesaian Tindak Pidana Ringan Menurut Peraturan Kapolri Dalam

Mewujudkan Restorative Justice (Studi Di Polresta Deli Serdang)

Porlen Hatorangan Sihotang

Magister Ilmu Hukum Universitas Muhamadiyah Sumatera Utara, E-mail: [email protected]

Abstrak

Tindak Pidana Ringan (Tipiring) adalah tindak pidana yang bersifat ringan atau tidak berbahaya.

Salah satu penanganan tindak pidana ringan dapat dilakukan dengan cara mengedepankan konsep

restorative justice (keadilan restoratif). Restorative justice tersebut dapat dilakukan pada tingkatan

proses pidana, salah satunya pada tingkat Kepolisian. Menjadi persoalan di lapangan tentang

penerapannya, walaupun telah ada Perkap yang diberlakukan, termasuk pada Polresta Deli Serdang.

Penelitian yang dilakukan adalah penelitian yuridis normatif yang bersumber dari data hasil

wawancara kepada pihak Kepolisian Resor Kota Deli Serdang dan data sekunder dengan mengolah

data dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Berdasarkan hasil

penelitian dipahami bahwa pengaturan penyelesaian Tipiring menurut dapat dilihat dari kewenangan

polisi di Pasal 15 Ayat (1) huruf e Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian, aturan

Perkap yang dipakai untuk itu adalah Perkap Nomor 6 Tahun 2019 Tentang Penyidikan Tindak Pidana,

Perkap Nomor 7 Tahun 2008 dan Perkap Nomor 14 Tahun 2012, pengaturan penyelesaian Tipiring

tersebut dalam prosesnya ditegaskan oleh Surat Edaran Kapolri Nomor: SE/8/VII/2018 Tentang

Penerapan Keadilan Restoratif (Restorative Justice) Dalam penyelesaian tindak pidana ringan menurut

Perkap sebelumnya harus memenuhi syarat formil dan materil terlebih dahulu sesuai Pasal 12 PerKap

Nomor 6 Tahun 2019, hingga pada intinya kedua belah pihak bersepakat untuk menyelesaikan tindak

pidana ringan yang dimaksud dengan cara damai, dan akhirnya akan dikeluarkan surat penghentian

penyelidikan/penyidikan atas perkara tersebut dengan alasan keadilan restoratif yang telah

ditandatangani oleh Kapolresta Deli Serdang. Hambatan penyelesaian Tipirng menurut Perkap di

Polresta Deli Serdang dapat terjadi dari sisi masyarakat hukumnya dan hambatan dari norma hukum

yang belum diterapkan secara seragam.

Kata Kunci: Tindak Pidana Ringan, Kepolisian, Peraturan Kapolri, Restorative Justice.

Abstract

Minor Crime is a criminal offense that is light or not dangerous. One of the handling of minor crimes

can be done by promoting the concept of restorative justice. Restorative justice can be carried out at

the level of criminal proceedings, one of which is at the Police level. There is a problem in the field

regarding its application, even though a Perkap has been enacted, including at the Deli Serdang Police.

This research is a normative juridical research which is derived from data from interviews with the Deli

Serdang City Police and secondary data by processing data from primary legal materials, secondary

legal materials and tertiary legal materials. Based on the results of the research, it is understood that

the regulation on the settlement of Tipiring can be seen from the authority of the police in Article 15

Paragraph (1) letter e of Law Number 2 of 2002 concerning Police, the Perkap regulation used for this

is Perkap Number 6 of 2019 concerning Criminal Investigation, Perkap Number 7 of 2008 and Perkap

Number 14 of 2012, the arrangement for the settlement of Tipiring in the process is confirmed by the

Chief of Police Circular Number: SE / 8 / VII / 2018 concerning the Application of Restorative Justice

in the settlement of minor crimes according to the previous Perkap must meet formal and material

requirements first in accordance with Article 12 of PerKap Number 6 of 2019, until in essence the two

parties agree to settle the minor crime referred to in a peaceful manner, and finally a letter of

termination of investigation / investigation of the case will be issued on the grounds of restorative justice

signed by the Head of Police. Deli Serdang. Obstacles to resolving Tipirng according to Perkap at the

Deli Serdang Police can occur from the side of the legal community and obstacles from legal norms

that have not been applied uniformly.

Volume 1 Nomor 2, Oktober 2020: Page 107-120

http://jurnal.bundamediagrup.co.id/index.php/iuris

ISSN ONLINE: 2745-8369

Page 2: Penyelesaian Tindak Pidana Ringan Menurut Peraturan

IURIS STUDIA: Jurnal Kajian Hukum Penyelesaian Tindak Pidana Ringan… Volume 1 Nomor 2, Oktober 2020: Page 107-120 (Porlen Hatorangan Sihotang)

Page 108

Keywords: Minor Crime, Police, Chief of Police Regulation, Restorative Justice.

Cara Sitasi:

Sihotang,, Porlen Hatorangan. (2020), “Penyelesaian Tindak Pidana Ringan Menurut Peraturan Kapolri Dalam Mewujudkan Restorative Justice (Studi Di Polresta Deli Serdang)”, IURIS STUDIA: Jurnal Kajian Hukum Vol 1. No. 2, Pages: ….

A. Pendahuluan

Hukum pidana merupakan hukum yang mengatur mengenai segala perbuatan yang dikategorikan

sebagai tindak pidana. Hukum pidana terdiri dari norma-norma yang berisi keharusan-keharusan dan

larangan-larangan (oleh pembentuk undang-undang) yang telah dikaitkan dengan suatu sanksi berupa

hukuman, yakni suatu penderitaan yang bersifat khusus. Dengan demikian dapat juga dikatakan, bahwa

hukum pidana merupakan suatu sistem norma-norma yang menentukan terhadap tindakan-tindakan

yang mana (hal melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu di mana terdapat suatu keharusan untuk

melakukan sesuatu), dan dalam keadaan-keadaan tentang hukum itu dapat dijatuhkan, serta hukuman

layak yang dapat dijatuhkan terhadap tindakan-tindakan tersebut.1 Hukum pidana tersebut dapat melekat

kepada setiap subjek hukum yang melanggar aturan-aturan yang masuk dalam kategori perbuatan

pidana, subjek hukum itu bisa jadi masyarakat pada umumnya, baik itu miskin kaya, tua muda dan

berlaku terhadap tiap jenis tindak pidana baik itu tindak pidana biasa (umum), tindak pidana khusus

ataupun tindak pidana ringan.

Kedua, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana menetapkan dan mengumumkan reaksi tentang yang

akan diterima oleh orang-orang yang melakukan perbuatan dilarang itu. Pada hukum pidana modern,

reaksi ini tidak hanya berupa pidana, akan tetapi juga hal yang disebut dengan tindakan bertujuan untuk

melindungi masyarakat dari perbuatan-perbuatan yang merugikan.2

Salah satu jenis tindak pidana yang dapat diberlakukan kepada pelaku-pelaku yang melakukannya

ialah jenis tindak pidana ringan, yang hal ini tentu berlaku dan diakui oleh sistem peradilan pidana di

Indonesia. Tindak pidana ringan (Tipiring) adalah tindak pidana yang bersifat ringan atau tidak

berbahaya. Tindak pidana ringan ini tidak hanya berupa pelanggaran tapi juga mencakup kejahatan-

kejahatan ringan yang tertulis dalam Buku II KUHP yang terdiri dari, penganiayaan hewan ringan,

penghinaan ringan, penganiayaan ringan, pencurian ringan, penggelapan ringan, penipuan ringan,

perusakan ringan, dan penadahan ringan.3

Utrecht (dalam mendeskripsikan tindak pidana ringan ini) menggunakan istilah kejahatan enteng

sebagai padanan kata Lichte misdrijven dalam bahasa Belanda atau kejahatan ringan atau yang dalam

tulisan ini menggunakan istilah tindak pidana ringan. Definisi mengenai tindak pidana ringan akan sulit

ditemukan dalam KUHP, definisi tindak pidana ringan yang cukup dapat dipahami justru dapat

ditemukan dalam KUHAP sebagai ketentuan hukum pidana formal dari KUHP. Pasal 205 ayat (1)

KUHAP yang mengatur mengenai ketentuan pemeriksaan acara cepat menyatakan bahwa:4

Berdasarkan bunyi pasal tersebut dapat dilihat mengenai definisi tindak pidana ringan, yaitu sebuah

perkara yang ancaman hukuman penjara atau kurungan paling lama tiga bulan dan atau denda paling

banyak tujuh ribu lima ratus rupiah. Apabila ditelusuri lebih jauh bunyi pasal-pasal yang terdapat dalam

KUHP maka setidaknya terdapat sembilan pasal yang tergolong bentuk tindak pidana ringan, yaitu Pasal

302 Ayat (1) mengenai penganiayaan ringan terhadap hewan, Pasal 352 Ayat (1) mengenai

penganiayaan ringan, Pasal 364 mengenai pencurian ringan, Pasal 373 mengenai penggelapan ringan,

Pasal 379 mengenai penipuan ringan, Pasal 384 mengenai penipuan dalam penjualan, Pasal 407 Ayat

1 P. A. F Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Bandung: Sinar Baru, (1984), p.1-2. 2 Teguh Sulisti dan Aria Zurnetti, Hukum Pidana: Horizon Baru Pasca Reformasi, Jakarta: Rajawali Pers, (2012), p.5-6. 3 Muhammad Soma, “Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP Terhadap Perkara Tindak

Pidana Pencurian”, Jurnal Cita Hukum 1, No. 2 (2013): p.4. 4 Ibid., p.5.

Page 3: Penyelesaian Tindak Pidana Ringan Menurut Peraturan

IURIS STUDIA: Jurnal Kajian Hukum Penyelesaian Tindak Pidana Ringan… Volume 1 Nomor 2, Oktober 2020: Page 107-120 (Porlen Hatorangan Sihotang)

Page 109

(1) mengenai perusakan barang, Pasal 482 mengenai penadahan ringan, dan Pasal 315 mengenai

penghinaan ringan.5

Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 02 Tahun 2012 tidak mencantumkan Pasal

302 Ayat (1) tentang Penganiayaan Ringan Terhadap Hewan, Pasal 352 Ayat (1) tentang Penganiayaan

Ringan, dan Pasal 315 tentang Penghinaan Ringan, dengan tidak dicantumkannya ketiga pasal tersebut

dalam PERMA ini yaitu didasarkan atas pertimbangan nilai objek perkara pidana.6 Tindak pidana ringan

merupakan tindak pidana yang berakibat kecil dari perbuatan yang telah dilakukan. Dalam Kitab

Undang-Undang Hukum Pidana perbuatan ini dikatakan sebagai tindak pidana karena mengakibatkan

kerugian yang tidak lebih dari Rp. 25, selain itu perbuatannya hanya diancam dengan hukuman paling

berat selama 3 (tiga) bulan.7 Pada awalnya penyelesaian permasalahan-permasalahan hukum hanya

diselesaikan oleh pihak-pihak yang bersangkutan saja. Namun dengan adanya eksistensi negara, maka

dengan itu negaralah yang mengambil alih untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan tersebut.

Di Indonesia, hal tersebut juga yang kemudian tertuang dalam Pasal 1 Ayat (3) Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dikatakan bahwa “Negara Indonesia adalah negara hukum”.

Negara hukum berarti negara yang berdiri di atas hukum dimana dapat menjamin keadilan bagi warga

negaranya.

Restorative justice membutuhkan usaha-usaha yang kooperatif dari komunitas (pihak yang

berkepentingan) dan pemerintah untuk menciptakan sebuah kondisi dimana korban dan pelaku dapat

merekomendasikan konflik mereka. Restorative justice mengembalikan konflik kepada pihak-pihak

yang paling terkena pengaruh (korban), pelaku dan kepentingan komunitas mereka (para pihak) dan

memberikan keutamaan pada kepentingan-kepentingan mereka.

Restorative justice juga menekankan pada hak asasi manusia dan kebutuhan untuk mengenali

dampak dari ketidakadilan sosial dan dalam cara-cara yang sederhana untuk mengembalikan mereka,

daripada secara sederhana memberikan pelaku keadilan formal atau hukum dan korban tidak

mendapatkan keadilan apapun. Restorative justice juga mengupayakan untuk me-restore keamanan

korban, penghormatan pribadi, martabat, dan yang lebih penting adalah sense of control.8 Fungsi primer

atau utama dari hukum pidana, yaitu menanggulangi kejahatan, sedangkan fungsi sekunder, yaitu

menjaga agar penguasa (pemerintah) dalam menanggulangi kejahatan betul-betul melaksanakan

tugasnya sesuai dengan apa yang telah digariskan oleh hukum pidana. Di dalam fungsinya untuk

menanggulangi kejahatan, hukum pidana merupakan bagian dari politik kriminal, di samping usaha non

penal pada upaya penanggulangan itu. mengingat fungsi tersebut, pembentukan hukum pidana tidak

akan terlepas dari peninjauan efektivitas penegakan hukum.

Kebutuhan pembaharuan hukum pidana terkait pula pada masalah substansi dari KUHP yang

bersifat dogmatis. Di dalam pengajaran hukum pidana dan KUHP secara langsung ataupun tidak

langsung akan mengajarkan dan menanamkan pula tentang dogma-dogma, ajaran-ajaran, prinsip/asas

dan konsep pola pikir serta norma-norma substantif, baik yang dituangkan secara ekspilisit di dalam

KUHP maupun terkandung secara implisit pada pemikiran, konsep ataupun paham yang

melatarbelakangi KUHP tersebut.9

Keberadaan KUHAP ini adalah dalam rangka menegakkan, melaksanakan, dan mempertahankan

hukum pidana materiil (KUHP) dari pelanggaran hukum. Secara nalar yang sehat, seyogianya Indonesia

mempunyai suatu KUHP nasional terlebih dahulu baru kemudian tentang memikirkan prosedur atau tata

5 Ibid. 6 Rahmita Putri, “Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda Terhadap Tindak Pidana Pengrusakan

Barang”, Skripsi Fakultas Hukum: Universitas Hasanuddin, Makasar, (2017): p.23. 7 Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, Bandung: PT. Refika Aditama, (2003), p.35. 8 Lisa Yusnita, “Analisis Penerapan Prinsip Restorative Justice Dalam Penyelesaian Perkara Tindak Pidana Lalu Lintas”,

Skripsi, Fakultas Hukum: Universitas Hasanuddin, Makasar, (2018): p.3-4. 9 Teguh Sulisti dan Aria Zurnetti. Op.Cit., p.7.

Page 4: Penyelesaian Tindak Pidana Ringan Menurut Peraturan

IURIS STUDIA: Jurnal Kajian Hukum Penyelesaian Tindak Pidana Ringan… Volume 1 Nomor 2, Oktober 2020: Page 107-120 (Porlen Hatorangan Sihotang)

Page 110

cara untuk menegakkan, melaksanakan, dan mempertahankan hukum pidana materil tersebut melalui

hukum acara pidana. Ironisnya, Indonesia mempunyai KUHAP dahulu sebagai hukum pidana formal

dan baru kemudian memikirkan secara bertahap untuk membentuk suatu KUHP Nasional.10

Salah satu cara untuk mewujudkan restorative justice (keadilan restoratif) tersebut ialah dapat

dilakukan dengan penyelesaian tindak pidana ringan secara alternative dispute resolusion yang di

dalammya termasuk mediasi penal (hal ini tertuang dalam Perkap maupun Surat Edaran Kapolri).

Mediasi penal adalah suatu upaya atau tindakan dari mereka yang terlibat dalam perkara pidana

(mediator, pelaku, dan korban) untuk menyelesaikan perkara pidana tersebut di luar jalur proses

peradilan atau non formal.11 Dasar hukum alternative dispute resolusion ini dapat dilihat dari Peraturan

Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2008 tentang Pedoman Dasar Strategi

Dan Implementasi Pemolisian Masyarakat Dalam Penyelenggaraan Tugas Polri dan Surat Kapolri

Nomor Pol: B/3022/XII/2009/SEDOPS tentang Penanganan Kasus Melalui Alternatif Dispute

Resolusion. Tentu saja aturan ini tidak terlepas dari peraturan-peraturan yang ada di atasnya seperti

Peraturan Kapolri maupun peraturan perundang-undangan lain yang terkait.

Alternative dispute resolusion dalam penyelesaian persoalan pidana di tingkat kepolisian khususnya

pada Polresta Deli Serdang, salah satunya dilakukan dengan cara mediasi penal. Mediasi penal sering

juga disebut dengan berbagai istilah, antara lain : mediation in criminal cases atau mediation in penal

matters yang dalam istilah Belanda disebut strafbemiddeling, dalam istilah Jerman disebut der

außergerichtliche tatausgleich (disingkat ATA) dan dalam istilah Perancis disebut de mediation penale.

Karena mediasi penal terutama mempertemukan antara pelaku tindak pidana dengan korban, maka

mediasi ini sering juga dikenal dengan istilah victim offender mediation (VOM), tate opfer ausgleich

(TOA), atau offender victim arrangement (OVA). Mediasi merupakan salah satu bentuk alternatif

penyelesaian sengketa di luar pengadilan (yang biasa dikenal dengan istilah ADR atau alternative

dispute resolution, ada pula yang menyebutnya apropriate dispute resolution.12

Atas dasar itu peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dari sudut pandang pidana tentang

tindakan penyelesaian perkara tindak pidana ringan melalui jalan alternative dispute resolusion demi

terwujudnya keadilan restoratif, tentu hal itu harus berdasarkan peraturan perundang-undangan yang

ada seperti Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana maupun

aturan-aturan lain yang terkait, serta mengkaji kaidah-kaidah hukum yang berhubungan untuk dapat

secara pasti mewujudkan restorative justice, khususnya norma hukum berupa Peraturan Kapolri

(Perkap). Sehingga berangkat dari latar belakang tersebut juga, peneliti merasa tertarik untuk mengkaji

lebih mendalam tentang; bagaimana pengaturan penyelesaian tindak pidana ringan menurut Peraturan

Kapolri, bagaimana pelaksanaan penyelesaian tindak pidana ringan menurut Peraturan Kapolri di

Polresta Deli Serdang, bagaimana hambatan penyelesaian tindak pidana ringan menurut Peraturan

Kapolri di Polresta Deli Serdang. Dalam rangka menjawab rumusan masalah dan mencapai tujuan

penelitian tersebut di atas, maka penelitian ini dilakukan dengan jenis penlitian hukum yuridis normatif

yang dilakukan dengan metode penelitian kepustakaan (library Reasearch) yang menjadikan data

skunder sebagai bahan baku utamanya yaitu terdiri dari bahan hukum primer berupa teori, norma, kaidah

dan pendapat ahli hukum, bahan-bahan hukum sekunder dan tertier serta menambahkan hasil

wawancara sebagai data tambahan yang terkait dengan permasalahan.

B. Pembahasan

1. Pengaturan Penyelesaian Tindak Pidana Ringan Menurut Peraturan Kapolri

10 Ibid., p.9. 11 Barda Nawawi, Penyelesaian Perkara di Luar Pengadilan, Semarang: Pustaka Magister, (2008), p.2. 12 Muhammad Haidir Syah Putra, “Penyelesaian Perkara Tindak Pidana Ringan Melalui Mediasi Oleh Lembaga Adat Desa

Mulang Maya Kecamatan Kotabumi Selatan”. Skrispi, Fakultas Hukum: Universitas Lampung, Bandar Lampung, (2018): p.41.

Page 5: Penyelesaian Tindak Pidana Ringan Menurut Peraturan

IURIS STUDIA: Jurnal Kajian Hukum Penyelesaian Tindak Pidana Ringan… Volume 1 Nomor 2, Oktober 2020: Page 107-120 (Porlen Hatorangan Sihotang)

Page 111

Kata hukum pidana pertama kali digunakan untuk merujuk pada keseluruhan ketentuan yang

menetapkan syarat-syarat apa saja yang mengikat Negara, bila Negara tersebut berkehendak untuk

memunculkan hukum mengenai pidana, serta aturan-aturan dalam perumusan pidana, hukum pidana ini

adalah hukum pidana yang berlaku atau hukum pidana positif, yang juga sering disebut lus poenale

meliputi; perintah dan larangan atas pelanggaran terhadap badan-badan negara yang berwenang oleh

undang-undang dengan ditetapkan dalam bentuk sanksi terlebih dahulu yang harus ditaati oleh setiap

orang, ketentuan-ketentuan yang menetapkan sarana-sarana apa yang dapat didayagunakan sebagai

reaksi terhadap pelanggaran norma-norma itu, hukum penintesier atau lebih luas, hukum tentang sanksi,

aturan-aturan yang secara temporal atau dalam jangka waktu tertentu menetapkan batas ruang lingkup

kerja dari norma-norma.13

Pada dasarnya, kehadiran hukum pidana di tengah masyarakat dimaksudkan untuk memberikan rasa

aman kepada individu maupun kelompok dalam masyarakat dalam melaksanakan aktivitas

kesehariannya. Rasa aman yang dimaksudkan dalam hal ini adalah perasaan tenang, tanpa ada

kekhawatiran akan ancaman ataupun perbuatan yang dapat merugikan antara individu dalam

masyarakat. Kerugian sebagaimana dimaksud tidak hanya terkait kerugian sebagaimana yang dipahami

dalam istilah keperdataan, namun juga mencakup kerugian terhadap jiwa dan raga. Raga dalam hal ini

mencakup tubuh yang juga terkait dengan nyawa seseorang, sedangkan jiwa dalam hal ini mencakup

perasaan atau keadaan psikis.14

Bahwa pengertian hukum pidana yang memuat ketentuan-ketentuan tentang tiga macam/hal, yaitu

sebagai berikut :

1. Aturan umum hukum pidana dan yang dikaitkan atau dalam hal yang berhubungan dengan larangan

melakukan perbuatan-perbuatan tertentu yang disertai dengan ancaman pidana bagi siapa yang

melanggar larangan itu (disebut tindak pidana).

2. Syarat-syarat tertentu yang harus dipenuhi bagi orang yang melanggar aturan hukum pidana yang

disebutkan pertama di atas, agar yang melanggar tadi dapat dijatuhi pidana sesuai dengan yang

diancamkan.

3. Upaya negara yang boleh dan harus dilakukan oleh alat-alat perlengkapan negara dalam hal negara

melaksanakan/menegakkan hukum pidana yang disebutkan di atas.15

Hukum pidana dapat dibedakan dilihat dari kepada pihak diberlakukannya hukum pidana. Dibedakan

antara hukum pidana umum dan hukum pidana khusus. Hukum pidana umum adalah hukum pidana

yang ditujukan dan berlaku untuk semua warga negara (subjek hukum) dan tidak membeda-bedakan

kualitas pribadi subjek hukum tertentu. Sedangkan hukum pidana khusus adalah hukum pidana yang

dibentuk oleh negara yang hanya dikhususkan bagi subjek hukum tertentu saja. Perbedaan ini hanya

berdasarkan KUHP. Selain daripada itu hukum pidana mempunyai perbedaan menurut sumbernya,

hukum pidana dibagi menjadi hukum pidana umum dan hukum pidana khusus, hukum pidana umum

adalah semua ketentuan pidana yang terdapat/bersumber pada kodifikasi (KUHP), sering disebut dengan

hukum pidana kodifikasi. Hukum pidana khusus adalah hukum pidana yang bersumber pada peraturan

perundang-undangan di luar KUHP.16

Tindak pidana merupakan suatu istilah yang mengandung suatu pengertian dasar dalam ilmu hukum,

sebagai istilah yang dibentuk dengan kesadaran dalam memberikan ciri tertentu pada peristiwa hukum

pidana. Tindak pidana mempunyai pengertian yang abstrak dari peristiwa-peristiwa yang konkret dalam

13 Mulyati Pawennei dan Rahmanuddin Tomalili, Hukum Pidana. Jakarta: Mitra Wacana Media, (2015), p.1. 14 Ibid., p.2. 15 Adami Chazami, Pelajaran Hukum Pidana 2: Penafsiran Hukum Pidana, Dasar Peniadaan, Pemberatan & Peringan

Pidana, Kejahatan Aduan, Perbarengan & Ajaran Kausalitas, Jakarta: Rajawali Pers, (2017), p.2-3. 16 Teguh Prasetyo, Hukum Pidana. Jakarta: Rajawali Pers, (2018), p.11.

Page 6: Penyelesaian Tindak Pidana Ringan Menurut Peraturan

IURIS STUDIA: Jurnal Kajian Hukum Penyelesaian Tindak Pidana Ringan… Volume 1 Nomor 2, Oktober 2020: Page 107-120 (Porlen Hatorangan Sihotang)

Page 112

lapangan hukum pidana, sehingga tindak pidana haruslah diberikan arti yang bersifat ilmiah dan

ditentukan dengan jelas dalam kehidupan masyarakat.17

Salah satu tujuan dari hukum pidana adalah sebagai pranata sosial yang mencakupi beberapa hal

yaitu sebagai bagian dari reaksi sosial manakala terjadi pelanggaran terhadap norma-norma yang

berlaku, mencerminkan nilai dan struktur masyarakat, merupakan reafirmasi simbolis atas pelanggaran

terhadap hati nurani bersama, sebagai bentuk ketidaksetujuan terhadap perilaku tertentu, dan selalu

berupa konsekuensi yang menderitakan, atau setidaknya tidak menyenangkan. Sistem peradilan pidana

menurut Mardjono merupakan sistem pengendalian kejahatan yang terdiri dari lembaga-lembaga

kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan pemasyarakatan terpidana.

Tujuan dari sistem peradilan pidana tersebut adalah sebagai berikut :

1. Mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan.

2. Menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas bahwa keadilan telah

ditegakkan dan yang bersalah dipidana.

3. Mengusahakan agar mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak mengulangi lagi

kejahatannya.18

Bertitik tolak dari tujuan tersebut, Mardjono mengungkapkan 4 (empat) komponen sistem peradilan

pidana (kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan) diharapkan dapat bekerja sama

dan membentuk suatu integrated criminal justice system. Menurut Barda Nawawi Arief, sistem

peradilan pidana (integrated criminal justice system) merupakan satu kesatuan sistem penegakan hukum

pidana.19

Sistem peradilan pidana pada hakikatnya merupakan sistem penegakan hukum pidana atau sistem

kekuasaan kehakiman di bidang hukum pidana. Selanjutnya menentukan tujuan pemidanaan menjadi

persoalan yang cukup dilematis, terutama dalam menentukan apakah pemidanaan ditujukan untuk

melakukan pembalasan atas tindak pidana yang terjadi atau merupakan tujuan yang layak dari proses

pidana adalah pencegahan tingkah laku yang anti sosial. Menentukan titik temu dari dua pandangan

tersebut jika tidak berhasil dilakukan memerlukan formulasi baru dalam sistem atau tujuan pemidanaan

dalam hukum pidana. Pemidanaan mempunyai beberapa tujuan yang bisa diklasifikasikan berdasarkan

teori-teori tentang pemidanaan. Tujuan pemidanaan yang berkisar pada perbedaan hakikat ide dasar

tentang pemidanaan dapat dilihat dari beberapa pandangan.20

Hukum Pidana Indonesia bentuknya tertulis dikodifikasikan dalam sebuah kitab undang-undang dan

dalam perkembangannya banyak yang tertulis tidak dikodifikasikan berupa undang-undang, hukum

pidana yang tertulis dikodifikasikan itu tertera ketentuan-ketentuan di dalam Kitab Undang-Undang

Hukum Pidana (KUHP) yang berasal dari zaman pemerintah penjajahan Belanda.21

Bilamana orang mengatakan hukum pidana, maka pada umumnya yang dimaksud ialah hukum

pidana materiil. Di samping hukum pidana materiil ada hukum pidana formil. Yang menjadi suatu

hoeksteen (poros di ujung) hukum pidana materiil itu Pasal 1 Ayat (1) KUH Pidana, yang berbunyi :

“sesuatu perbuatan tidak boleh dihukum, melainkan atas kekuatan aturan hukum dalam undang-undang

yang diadakan lebih dahulu daripada perbuatan itu”. Hanya perbuatan yang disebut tegas oleh peraturan

perundang-undangan sebagai kejahatan atau pelanggaran, dapat dikenai hukuman (pidana). Apabila

terlebih dahulu tidak diadakan peraturan perundang-undangan yang memuat hukuman yang dapat

17 Mulyati Pawennei dan Rahmanuddin Tomalili. Op.Cit., p.5. 18 Yusi Amdani. Loc.Cit. 19 Ibid 20 Zainal Abidin, Pemidanaan, Pidana dan Tindakan dalam Rancangan KUHP, Position Paper Advokasi RUU KUHP, Jakarta:

Elsam, (2005), p.10. 21 Teguh Prasetyo. Op.Cit., p.18.

Page 7: Penyelesaian Tindak Pidana Ringan Menurut Peraturan

IURIS STUDIA: Jurnal Kajian Hukum Penyelesaian Tindak Pidana Ringan… Volume 1 Nomor 2, Oktober 2020: Page 107-120 (Porlen Hatorangan Sihotang)

Page 113

dijatuhi atas penjahat atau pelanggar, maka perbuatan yang bersangkutan bukan perbuatanyang dikenai

hukuman.22

Semua perbuatan yang bertentangan dengan azas-azas hukum menjadi pelanggaran hukum. Dalam

hukum pidana, suatu pelanggaran hukum disebut perbuatan melawan hukum (wederrechtelijke

handeling). Dengan kata lain, pelanggaran hukum itu, untuk hukum pidana, memuat anasir melawan

hukum (element van wederrechtelijkheid). Di antara pelanggaran hukum itu ada beberapa yang diancam

dengan hukuman (pidana), yaitu diancam dengan suatu sanksi istimewa. Pelanggaran hukum semacam

inilah yang oleh KUH Pidana dikualifikasikan peristiwa pidana.

Pada kerangka ini harus dimaknai bahwa, keadilan restoratif memfokuskan diri pada kejahatan

(crime) sebagai kerugian/kerusakan, dan keadilan (justice) merupakan usaha untuk memperbaiki

kerusakan dengan visi untuk mengangkat peran korban kejahatan, pelaku kejahatan dan masyarakat

sebagai tiga dimensi determinan yang sangat penting di dalam sistem peradilan pidana demi

kesejahteraan dan keamanan masyarakat. Dalam hal ini tujuan sistem peradilan pidana adalah : jangka

pendek resosialisasi, jangka menengah pencegahan kejahatan dan jangka panjang kesejahteraan dan

keamanan masyarakat.23

Berdasarkan uraian tersebut nampak bahwa keadilan restoratif sangat peduli terhadap pembangunan

kembali hubungan setelah terjadinya tindak pidana, daripada memperparah keretakan antara pelaku,

korban dan masyarakat yang merupakan karakter sistem peradilan pidana modern saat ini. Keadilan

restoratif merupakan reaksi yang bersifat victim-centered, terhadap kejahatan yang memungkinkan

korban, pelaku, keluarga dan wakil-wakil mayarakat untuk memperhatikan kerugian akibat terjadinya

tindak pidana. Pusat perhatian diarahkan kepada reparasi, restorasi atas kerusakan, kerugian yang

diderita akibat kejahatan dan memprakarsai serta memfasilitasi perdamaian. Hal ini untuk menggantikan

dan menjauhi keputusan terhadap yang menang atau kalah melalui system adversarial (permusuhan).

Keadilan restoratif berusaha memfasilitasi dialog antara berbagai pihak yang terlibat atau dipengaruhi

akibat kejahatan, termasuk korban, pelaku, keluarga dan masyarakat secara keseluruhan.24

Pembentukan Peraturan Kapolri untuk tujuan adanya aturan ataupun panduan pokok dalam

pelaksanaan penanganan tindak pidana ringan secara restorative justice, merupakan bagian dari

peraturan tambahan diluar dari KUHP, KUHAP maupun Undang-Undang, sehingga tentunya harus

mempunyai dasar hukum yang kuat. Karena apabila hal itu tidak diperhatikan maka akan bertentangan

dengan peraturan perundang-undangan yang di atasnya sesuai sistem hirarki perundang-undangan

sebagaimana sekarang telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang perubahan

Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

Terhadap hal untuk mengetahui dasar hukum penyelesaian tindak pidana ringan melalui restorative

justice (keadilan restoratif) berdasarkan Peraturan Kapolri, awalnya harus mengetahui tujuan dan

landasan hukum dibentuknya Peraturan Kapolri tersebut. Tentunya Peraturan-peraturan Kapolri yang

dibuat ataupun dibentuk oleh instansi kepolisian tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-

undangan yang ada di atasnya. Setelah memenuhi syarat-syarat pembentukan suatu aturan, barulah dapat

Peraturan Kapolri yang dimaksud dapat dibentuk dan diberlakukan sesuai dengan peruntukkannya.

Landasan utama yang perlu diperhatikan ialah ketentuan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019

Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan

Perundang-Undangan.

Pada 12 Agustus 2011, Pemerintah telah mengundangkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011

tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan menggantikan Undang-Undang Nomor 10 Tahun

22 E. Utrecht dan Moh. Saleh Djindang, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, Jakarta: PT. Ichtiar Baru, (1989), p.388. 23 Muladi, “Restorative Justice Dalam Sistem Peradilan Pidana Dan Implementasinya Dalam Penyelesaian Tindak Pidana Yang

Dilakukan Oleh Anak-Anak”, Makalah Disampaikan Dalam FGD – BPHN Tgl. 26 Agustus 2013, p.2. 24 Ibid., p.5.

Page 8: Penyelesaian Tindak Pidana Ringan Menurut Peraturan

IURIS STUDIA: Jurnal Kajian Hukum Penyelesaian Tindak Pidana Ringan… Volume 1 Nomor 2, Oktober 2020: Page 107-120 (Porlen Hatorangan Sihotang)

Page 114

2004. Dengan berlakunya undang-undang yang baru otomatis undang-undang yang lama dinyatkaan

dicabut dan tidak berlaku lagi. Undang-undang ini merupakan penyempurnaan terhadap kelemahan-

kelemahan dalam undang-undang sebelumnya, yaitu antara lain :

1. Materi dari Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 banyak yang menimbulkan kerancuan atau

multitafsir sehingga tidak memberikan suatu kepastian hukum;

2. Teknik penulisan rumusan banyak yang tidak konsisten;

3. Terdapat materi baru yang perlu diatur sesuai dengan perkembangan atau kebutuhan hukum dalam

pembentukan peraturan perundang-undangan; dan

4. Penguraian materi sesuai dengan yang diatur dalam tiap bab sesuai dengan sistematika.25

Berdasarkan aturan tersebut jenis peraturan perundang-undangan selain yang telah disebutkan

dalam Pasal 7 Ayat (1) Undang-Undang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, diakui

keberadaanya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh peraturan

perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan.26 Dalam hal ini

termasuk kewenangan instansi-instansi atau lembaga negara yang setingkat yang dibentuk oleh undang-

undang atau pemerintah atas perintah undang-undang, untuk pembahasan ini ialah termasuk

kewenangan instansi kepolisian

2. Pelaksanaan Penyelesaian Tindak Pidana Ringan Menurut Peraturan Kapolri Di Polresta

Deli Serdang

Perbuatan pidana adalah tindakan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan dimana disertai

ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu bagi siapapun yang melanggar larangan tersebut. Istilah

perbuatan pidana dapat disamakan dengan tindak pidana atau delik pidana. Dalam beberapa literatur

hukum pidana istilah-istilah tersebut banyak dipakai.

Menurut Moeljatno bahwa tindak pidana hakikatnya merupakan istilah yang berasal dari terjemahan

kata strafbaarfeit dalam bahasan Belanda. Kata strafbaarfeit diterjemahkan dalam bahasa Indonesia.

Beberapa kata yang digunakan menerjemahkan kata strafbaarfeit oleh sarjana-sarjana Indonesia antara

lain : tindak pidana, delict dan perbuatan pidana. Sementara dalam berbagai perundang-undangan

sendiri digunakan berbagai istilah untuk menunjukkan pengertian kata strafbaarfeit. Beberapa istilah

yang digunakan dalam undang-undang tesebut antara lain :27

a. Peristiwa pidana, istilah ini antara lain digunakan dalam Undang-Undang Dasar Sementara

(UUDS) Tahun 1950 khususnya Pasal 14;

b. Perbuatan pidana, istilah ini digunakan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1951 Tentang

Tindakan Sementara Untuk Menyelenggarakan Kesatuan Susunan, Kekuasaan dan Acara

Pengadilan-Pengadilan Sipil;

c. Perbuatan-perbuatan yang dapat hukum istilah ini digunakan dalam Undang-Undang Darurat

Nomor 2 Tahun 1951 tentang Perubahan Ordonantie Tijdelijke Byzondere Strafbepalingen;

d. Hal yang diancam dengan hukum istilah ini digunakan dalam Undang-Undang Darurat Nomor

16 Tahun 1951 Tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan;

e. Tindak pidana, istilah ini digunakan dalam berbagai undang-undang, misalnya: Undang-

Undang Nomor 7 Tahun 1953 Tentang Pemilihan Umum, Undang-Undang Darurat Nomor 7

Tahun 1953 Tentang Pengusutan, Penuntutan dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi dan

Penetapan Presiden Nomor 4 Tahun 1953 tentang Kewajiban Kerja Bakti dalam Rangka

Pemasyarakatan bagi Terpidana karena Melakukan Tindak Pidana yang Merupakan Kejahatan.

25 Ni’matul Huda, Hukum Tata Negara Indonesia, Jakarta: Rajawali Pers, (2012), p.64-65. 26 Ibid., p.68. 27 Ismu Gunadi dan Jonaedi, Cepat dan Mudah Memahami Hukum Pidana. Jakarta: PT. Prestasi Pustakaraya, (2011), p.40-41.

Page 9: Penyelesaian Tindak Pidana Ringan Menurut Peraturan

IURIS STUDIA: Jurnal Kajian Hukum Penyelesaian Tindak Pidana Ringan… Volume 1 Nomor 2, Oktober 2020: Page 107-120 (Porlen Hatorangan Sihotang)

Page 115

Menurut Tongat, penggunaan berbagai istilah tersebut pada hakikatnya tidak menjadi persoalan

sepanjang penggunaannya disesuaikan dengan konteksnya dan dipahami maknanya. Karena itu dalam

tulisannya, berbagai istilah tersebut digunakan bergantian bahkan dalam konteks yang lain, digunakan

istilah kejahatan untuk menunjukkan maksud yang sama.

Mengenai definisi tindak pidana, dapat dilihat pendapat para pakar antara lain VOS. Delik adalah

feit yang dinyatakan dapat dihukum oleh undang-undang. Sedangkan menurut Van Hamel, delik adalah

suatu serangan atau ancaman terhadap hak orang lain. Menurut Simons, delik adalah suatu tindakan

melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak sengaja oleh seorang yang dapat

dipertanggungjawabkan tindakannya dan oleh undang-undang telah dinyatakan sebagai suatu

perbuatan/tindakan yang dapat dihukum. Dengan demikian pengertian sederhana dari tindak pidana

adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan dimana disertai ancaman (sanksi)

yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut.28

Kepastian hukum secara normatif adalah ketika suatu peraturan dibuat dan diundangkan secara pasti

karena mengatur secara jelas dan logis. Jelas dalam artian tidak menimbulkan keragu-raguan (multi

tafsir) dan logis. Jelas dalam artian ia menjadi suatu sistem norma dengan norma lain sehingga tidak

berbenturan atau menimbulkan konflik norma. Kepastian hukum menunjuk kepada pemberlakuan

hukum yang jelas, tetap, konsisten dan konsekuen yang pelaksanaannya tidak dapat dipengaruhi oleh

keadaan-keadaan yang sifatnya subjektif. Kepastian dan keadilan bukanlah sekedar tuntutan moral,

melainkan secara factual mencirikan hukum. Suatu hukum yang tidak pasti dan tidak mau adil bukan

sekedar hukum yang buruk.29

Menurut Utrecht, kepastian hukum mengandung dua pengertian, yaitu pertama, adanya aturan yang

bersifat umum membuat individu mengetahui perbuatan apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan, dan

kedua, berupa keamanan hukum bagi individu dari kesewenangan pemerintah karena dengan adanya

aturan yang bersifat umum itu individu dapat mengetahui apa saja yang boleh dibebankan atau dilakukan

oleh Negara terhadap individu.30

Kepastian hukum ini berasal dari ajaran Yuridis-Dogmatik yang didasarkan pada aliran pemikiran

positivistis di dunia hukum, yang cenderung melihat hukum sebagai sesuatu yang otonom, yang mandiri,

karena bagi penganut pemikiran ini, hukum tak lain hanya kumpulan aturan. Bagi penganut aliran ini,

tujuan hukum tidak lain dari sekedar menjamin terwujudnya kepastian hukum. Kepastian hukum itu

diwujudkan oleh hukum dengan sifatnya yang hanya membuat suatu aturan hukum yang bersifat umum.

Sifat umum dari aturan-aturan hukum membuktikan bahwa hukum tidak bertujuan untuk mewujudkan

keadilan atau kemanfaatan, melainkan semata-mata untuk kepastian.31

Pada umumnya setiap masyarakat yang melakukan suatu tindak pidana yang melanggar peraturan

perundang-undangan baik dalam KUHP maupun di luar KUHP (undang-undang khusus) akan

dikenakan pertanggungjawaban pidana terhadapnya, sebagai suatu konsekuensi yang diderita pelaku

tersebut atas perbuatan yang dilakukannya. Pertanggungjawaban pidana itu merupakan pula unsur yang

terkandung di dalam penegakan hukum atas penanganan tindak pidana. Suatu pendapat mengatakan

pertanggungjawaban pidana adalah penilaian apakah seseorang tersangka/terdakwa dapat

dipertanggungjawabkan atas suatu tindak pidana yang terjadi.32 Akan tetapi tidak selalu seorang pelaku

tindak pidana harus masuk dalam ranah pengadilan untuk dikenakan pertanggungjawaban pidana.

Melalui proses sistem restorative justice seorang pelaku juga dapat dimintai pertanggunggjawaban

28 Ibid., p.41-42. 29 Cst Kansil, Christine, S.T Kansil, Engelien R, Palandeng dan Godlieb N Mamahit. Loc.Cit. 30 Riduan Syahrani. Loc.Cit. 31 Achmad Ali. Loc.Cit. 32 Erdianto Effendi, Hukum Pidana Indonesia: Suatu Pengantar, Jakarta: Refika Aditama, (2011), p.108.

Page 10: Penyelesaian Tindak Pidana Ringan Menurut Peraturan

IURIS STUDIA: Jurnal Kajian Hukum Penyelesaian Tindak Pidana Ringan… Volume 1 Nomor 2, Oktober 2020: Page 107-120 (Porlen Hatorangan Sihotang)

Page 116

pidana di luar ranah Pengadilan Pidana, yang mana merupakan sebagai suatu bentuk penanganan, hal

ini khususnya dapat diberlakukan dalam tindak pidana ringan.

Seseorang dapat diterapkan suatu penegakan hukum pidana apabila seseorang itu melakukan suatu

kesalahan yang memenuhi unsur-unsur dalam tindak pidana yang dikenakan terhadapnya. Begitupula

terhadap tindak pidana ringan, walaupun dikategorikan demikian namun tetap seseorang tersebut harus

memenuhi unsur kesalahan yang terkandung dalam pasal tindak pidana ringan yang dikenakan, barulah

pelaku itu dapat diberikan penegakan hukum sebagaimana mestinya. Walaupun penegakan hukum yang

dimaksud, dapat diterapkan berbeda dengan tindak pidana pada umumnya (bukan termasuk tindak

pidana ringan).

Para ahli hukum pidana mengartikan kesalahan secara beragam.33 Simons dalam E.Y. Kanter dan

S.R. Sianturi, secara panjang lebar membahas tentang pengertian kesalahan. Beliau berpendapat bahwa,

sudah sekian banyak pembahasan tentang hal ini, tetapi sampai kini, tentang isi dari pengertian

kesalahan itu masih tetap berbeda dan tidak pasti. Dikatakan selanjutnya bahwa sebagai dasar dari

pertanggungjawaban adalah kesalahan yang terdapat pada jiwa pelaku yang dapat dipidana, dan

berdasarkan kejiwaannya itu pelaku dapat dicela karena kelakuan itu.34

Berdasarkan Peraturan Kaporli (Perkap) tata cara dalam menangani tindak pidana ringan khususnya

di wilayah yurisdiksi Kepolisian Deli Serdang menggunakan sistem pendekatan restorative justice,

apabila itu berkaitan dengan tindak pidana ringan dan memenuhi unsur-unsur kriteria tindak pidana yang

dapat dilakukan suatu perdamaian antara para pihak (pelaku dan korban). Namun pada pokoknya, pihak

Polresta Deli Serdang tidak menangani secara langsung suatu perbuatan yang tergolong tindak pidana

ringan, karena proses penyelesaian tindak pidana ringan akan dilimpahkan kepada Polisi Sektor (Polsek)

yang masih berada di wilayah yurisdiksi hukum Polresta Deli Serdang.35 Prosedur penyelesaian tindak

pidana ringan tetap tidak dapat terlepas dari konsep-konsep dasar dari metode pendekatan restorative

justice.

Pada dasarnya untuk melihat prosedur penyelesaian tindak pidana ringan dapat dilihat dari berbagai

sisi. Tergantung pada tingkat mana sudah tindak pidana tersebut dilimpahkan. Namun walaupun

demikian, sudah sepantasnya tindak pidana ringan tidak perlu sampai pada ranah Pengadilan, karena

konsep restorative justice itu sudah dapat diterapkan pada saat tindak pidana itu masuk dalam

pemeriksaan Kepolisian. Di Pengadilan sendiri proses penyelesaian tindak pidana ringan berbeda

dengan proses penyelesaian tindak pidana secara umum. Pengadilan melalui Perma mempunyai cara

sendiri untuk menyelesaikan suatu perkara tindak pidana ringan, yang terlanjur sudah masuk pada

tingkat Pengadilan (walaupun bisa selesai di tingkat Kepolisian), aturan yang dimaksud ialah Peraturan

Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan

Jumlah Denda Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.36

Peraturan Mahakamah Agung tersebut selaras pula dengan Pasal 29 Ayat (3) Peraturan Pemerintah

Nomor 6 Tahun 2019 yang menerangkan bahwa : “Dalam hal acara pemeriksaan cepat yang merupakan

perkara tindak pidana ringan, dan/atau perkara pelanggaran lalu lintas, Penyidik atas kuasa Penuntut

Umum demi hukum menyerahkan berkas perkara, barang bukti, saksi, dan terdakwa ke pengadilan”.

Jadi sebenarnya upaya-upaya pembedaan penyelesaian hukum tindak pidana ringan telah dilakukan oleh

pihak Kepolisian maupun Pengadilan.37 Mahkamah Agung membuat peraturan tersebut karena

memahami sesungguhnya tindak pidana ringan ini tidak bisa disamakan dengan tindak pidana secara

33 E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi. Op.Cit., p.161. 34 Ibid. 35 Hasil Wawancara Kepada Bapak IPTU OJ. Samosir, Selaku Kepala Urusan Administrasi di Kepolisian Resor Kota Deli

Serdang, pada tanggal 8 Mei 2020. 36 Ibid. 37 Ibid.

Page 11: Penyelesaian Tindak Pidana Ringan Menurut Peraturan

IURIS STUDIA: Jurnal Kajian Hukum Penyelesaian Tindak Pidana Ringan… Volume 1 Nomor 2, Oktober 2020: Page 107-120 (Porlen Hatorangan Sihotang)

Page 117

umum. Sehingga sudah selayaknya konsep restorative justice sudah dapat diterapkan sedini mungkin

terhadap perbuatan yang tergolong tindak pidana ringan. Dengan begitu tindak pidana ringan dapat

diselesaikan sebelum sampai pada tingkat Pengadilan.

Proses peradilan pidana yang bersifat restoratif berpandangan bahwa mewujudkan keadilan bukan

hanya urusan pemerintah dan pelaku kejahatan, tetapi lebih dari itu harus memberikan keadilan secara

totalitas yang tidak bisa mengabaikan kepentingan dan hak-hak dari korban dan masyarakat. Dilain

pihak dalam proses peradilan pidana konvensional, kepentingan korban seolah-olah telah terwakili atau

direpresentasikan oleh Negara cq Pemerintah cq Kejaksaan dan Kepolisian. Pertanyaannya, seberapa

efektif dan representatif. Pemerintah dapat mewakili kepentingan korban kejahatan secara utuh. Perlu

cermin besar untuk dapat melihat needs and roles secara utuh dan jelas. Dalam arti bahwa restorative

justice membuat peta tentang kepentingan dan peran masing-masing, baik korban, pelaku kejahatan, dan

masyarakat yang terkait, sehingga ada dasar untuk mendistribusikan tanggungjawab akibat kejahatan

sesuai dengan posisi dan peran masing-masing, agar tercapai keadilan yang berkualitas memulihkan,

sebagaimana yang disampaikan oleh Howard Zehr.38

3. Tindak Pidana Ringan Menurut Peraturan Kapolri Di Polresta Deli Serdang

Pihak kepolisian sangat berperan dalam hal pengaplikasian pelaksanaan penyelesaian tindak pidana

ringan berdasarakan Peraturan Kapolri ini. Hal itu dikarenakan penegak hukum yang pertama kali

bersentuhan dengan pelaku dan juga korban dari suatu tindakan pidana ialah pihak kepolisian. Hal itu

merujuk pada tugas dan wewenang kepolisian yang telah diamanatkan oleh negara melalui Undang-

Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Melalui undang-undang

itu pihak esensi pokok dari tugas kepolisian ialah mengayomi masyarakat, sehingga seharusnya ketika

terjadi suatu peristiwa pidana yang penyelesaiannya masih dapat dilakukan melalui jalan musyawarah,

perdamaian, alternative dispute resolusion (bagian dari sistem restorative justice), maka pihak

kepolisian sudah sepantasnya mengutamakan menerapkan penyelesaian-penyelesaian tindak pidana

ringan yang demikian. Ketentuan itu sudah pastinya sesuai dengan tujuan dari teori kemanfaatan yang

mengkaji dari esensi utama dari suatu penyelesaian tindak pidana.

Senada dengan uraian itu Kepolisian Resor Kota Deli Serdang mengungkapkan dari sekian banyak

tujuan pokok pihak kepolisian ialah menjaga ketertiban di masyarakat. Disampaikan pula bahwa

keamanan dalam negeri merupakan syarat utama mendukung terwujudnya masyarakat madani yang

adil, makmur, dan beradab berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Serta

pemeliharaan keamanan dalam negeri melalui upaya penyelenggaraan fungsi kepolisian yang meliputi

pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan

pelayanan kepada masyarakat dilakukan oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia selaku alat negara

yang dibantu oleh masyarakat dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia.39

Perlu diketahui kehidupan dalam masyarakat hukum itu sendiri dalam masalah tindak pidana ringan

ini. Pada prinsipnya masyarakat mengalami perkembangan, maksudnya semula masyarakat sederhana

kemudian berkembang menjadi semakin kompleks. Perkembangan masyarakat tadi pasti di barengi

dengan timbulnya hukum yang dalam perkembangan pula, yakni mulai dari yang sangat sederhana

berkembang menjadi semakin kompleks pula. Dalam kondisi seperti ini berarti perkembangan di

dalamnya, bahkan dapat terjadi keduanya saling mempengaruhi dan satu sama lain saling

menyempurnakan. Perkembangan masyarakat yang dapat menimbulkan perubahan di bidang hukum,

atau sebaliknya, keadaan tersebut erat dengan pergaulan hidup setiap orang memiliki kebutuhan dan

kepentingan yang berbeda-beda.

38 Howard Zehr, Restorative Justice, Good Books: Intercourse PA, (2002), p.23. 39 Hasil Wawancara Kepada Bapak IPTU OJ. Samosir, Selaku Kepala Urusan Administrasi di Kepolisian Resor Kota Deli

Serdang, pada tanggal 8 Mei 2020.

Page 12: Penyelesaian Tindak Pidana Ringan Menurut Peraturan

IURIS STUDIA: Jurnal Kajian Hukum Penyelesaian Tindak Pidana Ringan… Volume 1 Nomor 2, Oktober 2020: Page 107-120 (Porlen Hatorangan Sihotang)

Page 118

Pada tiap pergaulan hidup itu para warganya atau anggotanya mempunyai kebutuhan dan

kepentingan, yang dapat diklasifikasikan dalam:

a. Kebutuhan fisiologis, seperti makanan, minuman, pakaian, perumahan, seks;

b. Kebutuhan keamanan, ketertiban, dan ketentraman dari gangguan, ancaman atau serangan

pihak lain;

c. Kebutuhan akan kerja sama yang saling menguntungkan atau kerja sama untuk tujuan-tujuan

kolektif;

d. Kebutuhan akan kehormatan dirinya, akan penghargaan sebagai manusia yang bermartabat dan

berkebudayaan;

e. Kebutuhan akan eksistensi dirinya dengan jiwanya yang merdeka, yang memiliki daya logika,

etika dan estetika atau nalar kreatifitas guna membudayakan dirinya.40

Perlu ada aturan atau pengaturan mengenai soal-soal kekeluargaan, benda dan harta kekayaan,

jaminan ketertiban dan keamanan, ketaatan terhadap perjanjian-perjanjian, nilai kehormatan diri, dan

badan berikut jiwa para anggota masyarakat. Jika dalam masyarakat itu dibentuk suatu sistem kekuasaan

publik, seperti negara dalam suatu masyarakat bangsa, maka keamanan dan ketertiban kekuasaan publik

itu pun harus mendapat pengaturan dan jaminan.

Kehidupan manusia di dalam pergaulan masyarakat diliputi oleh norma-norma, yaitu pengaturan

hidup yang mempengaruhi tingkah laku manusia di dalam masyarakat. Sejak masa kecilnya manusia

merasakan adanya peraturan-peraturan hidup yang membatasi sepak terjangnya. Pada permulaan yang

dialami hanyalah peraturan-peraturan yang hidup yang berlaku dalam lingkungan keluarga yang

dikenalnya, kemudian juga yang berlaku di luarnya, dalam masyarakat. Yang dirasakan paling nyata

ialah peraturan-peraturan hidup yang berlaku dalam suatu negara. Akan tetapi dengan adanya norma-

norma itu dirasakan pula olehnya adanya penghargaan dari perlindungan terhadap dirinya dan

kepentingan-kepentingannya. Demikianlah norma-norma itu mempunyai tujuan supaya kepentingan

masing-masing warga masyarakat dan ketentraman dalam masyarakat terpelihara dan terjamin.41

Terhadap penerapan norma-norma itu khususnya norma hukum terdapat beberapa perbedaan

pemahaman di lapangan. Pada kasus ini pihak kepolisian di beberapa wilayah yang ada di Indonesia

dalam melakukan tindakan kepada kasus tindak pidana ringan mempunyai suatu penerapan berbeda satu

dengan yang lainnya. Walaupun pada dasarnya pihak kepolisian telah memiliki Peraturan Kapolri

(Perkap) terkait hal tersebut. Begitu pula dengan Polresta Deli Serdang, belum tentu pola penyelesaian

tindak pidana ringan yang digunakan pada Polresta Deli Serdang sama dengan yurisdiksi pada Polresta

lain ataupun pada tingkat Polsek. Hal inilah yang menjadi awal hambatan yang timbul dari penerapan

norma hukum dalam penyelesaian tindak pidana ringan di tingkat kepolisian. Sebagian menganggap

tindak pidana ringan tetap termasuk tindakan kejahatan pidana yang harus diselesaikan di ranah

Pengadilan, sebagian menganggap bahwa tindak pidana ringan merupakan pengecualian yang dapat

diselesaikan hanya sampai tingkat Kepolisian saja.42

Pada Pasal 2 huruf d Surat Edaran Kapolri Nomor: SE/8/VII/2018 Tentang Penerapan Keadilan

Restoratif (Restorative Justice) Dalam Penyelesaian Perkara Pidana diuraikan bahwa menjawab

perkembangan kebutuhan hukum masyarakat serta memenuhi rasa keadilan semua pihak, Kepolisian

Negara Republik Indonesia selaku institusi yang diberikan kewenangan selaku penyelidik dan penyidik

serta koordinator dan pengawas penyidikan tindak pidana, merasa perlu untuk merumuskan konsep baru

dalam sistem pengakan hukum pidana terutama proses penyelidikan dan penyidikan tindak pidana yang

40 Sudarsono, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Rineka Cipta, (2007), p.45-46. 41 Ibid., p.84. 42 Hasil Wawancara Kepada Bapak IPTU OJ. Samosir, Selaku Kepala Urusan Administrasi di Kepolisian Resor Kota Deli

Serdang, pada tanggal 8 Mei 2020.

Page 13: Penyelesaian Tindak Pidana Ringan Menurut Peraturan

IURIS STUDIA: Jurnal Kajian Hukum Penyelesaian Tindak Pidana Ringan… Volume 1 Nomor 2, Oktober 2020: Page 107-120 (Porlen Hatorangan Sihotang)

Page 119

mampu mengakomodir nilai-nilai keadilan dalam masyarakat sekaligus memberikan kepastian hukum

terutama kepastian proses.43

C. Penutup

Pengaturan penyelesaian tindak pidana ringan menurut Peraturan Kapolri, diawali dari kewenangan

polisi dalam membuat peraturan kapolri itu sendiri yang tertuang tegas pada Pasal 15 Ayat 1 huruf e

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian. Pengaturan penyelesaian tindak pidana

ringan (Tipiring) menurut Perkap dilakukan dengan cara restorative justice. Dasar hukumnya ialah

Peraturan Kepala Kepolisian Nomor 6 Tahun 2019 Tentang Penyidikan Tindak Pidana, Peraturan

Kepala Kepolisian Nomor 7 Tahun 2008 dan Peraturan Kepala Kepolisian Nomor 14 Tahun 2012. Pada

proses adminstrasinya Perkap tersebut dipedomi dengan Surat Edaran Kapolri. Surat edaran itu

diantaranya ialah Surat Kapolri Nomor Pol: B/3022/XII/2009/SEDOPS Tentang Penanganan Kasus

Melalui Alternatif Dispute Resolusion dan Surat Edaran Kapolri Nomor: SE/8/VII/2018 Tentang

Penerapan Keadilan Restoratif (Restorative Justice) Dalam Penyelesaian Perkara Pidana. Aturan ini

berlaku baik dari tingkat Polsek, Polres, Polda maupun pusat.

Hambatan/kendala penyelesaian tindak pidana ringan menurut Peraturan Kapolri di Polresta Deli

Serdang dapat dilihat dari dua sisi, pertama dari sisi hambatan yang datang dari masyarakat dan yang

kedua hambatan dari sisi norma hukum. Hambatan yang datang dari masyarakat yaitu; adanya

penolakan dari masyarakat; masih banyaknya masyarakat yang keberatan untuk memafkan pelaku;

kedua belah pihak pelapor/keluarga (korban) dan terlapor/keluarga (pelaku) tidak bersepakat untuk

berdamai; kurangnya tokoh masyarakat yang ingin ikut terlibat dalam menyelesaikan konflik yang ada;

pelaku keberatan untuk bertanggungjawab ataupun memberikan ganti rugi kepada korban yang telah

dirugikan; dan adanya pihak korban yang meminta kompensasi damai yang berlebihan.

Hambatan dari sisi norma hukum ialah terkait kekuatan Perkap dalam hirarki perundang-undangan.

Karena norma hukum yang menjadi landasan penyelesaian tipiring melalui restorative justice adalah

hanya menggunakan Perkap. Sedangkan norma hukum yang lebih tinggi di atasnya seperti KUHAP

hanya mengatur terkait penyelesaian tipiring tetap pada proses Pengadilan, bukan diselesaikan di tingkat

kepolisian sesuai Pasal 205 sampai Pasal 210 KUHAP. Begitu pula dalam Undang-Undang Kepolisian

tidak mengatur secara tegas, tentang bolehnya kepolisian untuk menyelesaikan suatu kasus seperti

tipiring hanya pada tingkat kepolisian. Sehingga karena belum adanya norma hukum yang dapat

diselaraskan dengan KUHAP ataupun Undang-Undang Kepolisian, dalam penerapan restorative justice

berdasarkan Perkap di beberapa daerah tidak efektif.

Daftar Pustaka

Abidin, Zainal. (2005). Pemidanaan, Pidana dan Tindakan dalam Rancangan KUHP, Position Paper

Advokasi RUU KUHP. Jakarta: Elsam.

Chazami, Adami. (2017). Pelajaran Hukum Pidana 2: Penafsiran Hukum Pidana, Dasar Peniadaan,

Pemberatan & Peringan Pidana, Kejahatan Aduan, Perbarengan & Ajaran Kausalitas. Jakarta:

Rajawali Pers.

Effendi, Erdianto. (2011). Hukum Pidana Indonesia: Suatu Pengantar. Jakarta: Refika Aditama.

Gunadi, Ismu dan Jonaedi. (2011). Cepat dan Mudah Memahami Hukum Pidana. Jakarta: PT. Prestasi

Pustakaraya.

43 Ibid.

Page 14: Penyelesaian Tindak Pidana Ringan Menurut Peraturan

IURIS STUDIA: Jurnal Kajian Hukum Penyelesaian Tindak Pidana Ringan… Volume 1 Nomor 2, Oktober 2020: Page 107-120 (Porlen Hatorangan Sihotang)

Page 120

Hasil Wawancara Kepada Bapak IPTU OJ. Samosir, Selaku Kepala Urusan Administrasi di Kepolisian

Resor Kota Deli Serdang, pada tanggal 8 Mei 2020.

Huda, Ni’matul. (2012). Hukum Tata Negara Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers.

Lamintang, P. A. F. (1984). Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia. Bandung: Sinar Baru.

Muladi. (2013). “Restorative Justice Dalam Sistem Peradilan Pidana Dan Implementasinya Dalam

Penyelesaian Tindak Pidana Yang Dilakukan Oleh Anak-Anak”, Makalah Disampaikan Dalam

FGD – BPHN, 26 Agustus.

Nawawi, Barda. (2008). Penyelesaian Perkara di Luar Pengadilan. Semarang: Pustaka Magister

Pawennei, Mulyati dan Rahmanuddin Tomalili. (2015). Hukum Pidana. Jakarta: Mitra Wacana Media.

Prodjodikoro, Wirjono. (2003). Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia. Bandung: PT. Refika Aditama.

Putra, Muhammad Haidir Syah. (2018). “Penyelesaian Perkara Tindak Pidana Ringan Melalui Mediasi

Oleh Lembaga Adat Desa Mulang Maya Kecamatan Kotabumi Selatan”. Skrispi, Fakultas

Hukum: Universitas Lampung, Bandar Lampung.

Putri, Rahmita.“Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda Terhadap Tindak Pidana

Pengrusakan Barang”. Skripsi Fakultas Hukum: Universitas Hasanuddin, Makasar.

Soma, Muhammad. (2013). “Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam

KUHP Terhadap Perkara Tindak Pidana Pencurian”, Jurnal Cita Hukum 1, No. 2.

Sudarsono. (2007). Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Rineka Cipta.

Sulisti, Teguh dan Aria Zurnetti. (2012). Hukum Pidana: Horizon Baru Pasca Reformasi. Jakarta:

Rajawali Pers.

Yusnita, Lisa. (2018). “Analisis Penerapan Prinsip Restorative Justice Dalam Penyelesaian Perkara

Tindak Pidana Lalu Lintas”, Skripsi, Fakultas Hukum: Universitas Hasanuddin, Makasar.

Zehr, Howard. (2002). Restorative Justice. Good Books: Intercourse PA.