penologi irfan

Embed Size (px)

Citation preview

LEMBAGA PEMASYARAKATAN DALAM PROSES RESOSIALISASI DAN REINTEGRASIMakalah ini disusun untuk memenuhi kriteria penilaian Mata Kuliah Penologi Pemasyarakatan

Disusun Oleh : IRFAN ALKHOTIRI 09411733000108

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SINGAPERBANGSA KARAWANG (UNSIKA) 2011

KATA PENGANTAR Puji dan Syukur Penyusun Panjatkan ke Hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena berkat limpahan Rahmat dan Karunia-Nya sehingga penyusun dapat menyusun makalah ini tepat pada waktunya. Makalah ini membahas Lembaga Pemasyarakatan Dalam Proses Resosialisasi Dan Reintegrasi. Dalam penyusunan makalah ini, penyusun banyak mengalami hambatan akan tetapi dengan bantuan dari berbagai pihak hambatan itu bisa teratasi. Oleh karena itu, penyusun mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini, semoga bantuannya mendapat balasan yang setimpal dari Tuhan Yang Maha Esa. Penyusun menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan baik dari bentuk penyusunan maupun materinya. Kritik konstruktif dari pembaca sangat penyusun harapkan untuk penyempurnaan makalah selanjutnya. Akhir kata semoga makalah ini dapat memberikan manfaat kepada kita sekalian.

Karawang, 26 November 2011 Penyusun;

IRFAN ALKHOTIRI 09411733000108

i

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.................................................................................. .. i DAFTAR ISI ............................................................................................... ii BAB I PENDAHULUAN....................................................................1 A. Latar Belakang Masalah................................................... 1 B. Identifikasi Masalah ........................................................ 4 C. Tujuan Penyusunan ......................................................... 4 D. Metode Penyusunan ......................................................... 4

BAB II

PEMBAHASAN...................................................................... 5 A. Efektivitas Pidana Penjara dalam Proses Resosialisasi dan Reintegrasi............................................. 5 B. Peran sistem pembinaan pemasyarakatan dalam proses resosialisasi dan reintegrasi Narapidana................. 12

BAB III

PENUTUP............................................................................... 18 A. Kesimpulan ..................................................................... 18 B. Saran .............................................................................. 19

DAFTAR PUSTAKA......................................................................................20

ii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah Usaha pembaharuan hukum pidana sampai saat ini terus dilakukan, dengan satu tujuan utama yakni menciptakan suatu kodifikasi hukum pidana nasional untuk menggantikan kodifikasi hukum pidana yang merupakan warisan kolonial yakni wetboek van strafrecht voor nederlands indie 1915 yang merupakan turunan dari wetboek van strafrecht negeri belanda tahun 1886. Pembaharuan hukum pidana yang menyangkut salah satu masalah utama di dalam hukum pidana berupa lembaga pidana ini, tidak akan terlepas dari pengaruh perkembangan teori-teori tentang tujuan pemidanaan beserta aliranaliran di dalam hukum pidana yang mendasari perkembangan teori-teori tersebut. disamping kecenderungan ini, harus pula diusahakan adanya pemikiran tentang kerangka teori tentang tujuan pemidanaan yang benar-benar seusai dengan filsafat kehidupan bangsa Indonesia yang bersendikan pancasila dan undang-undang dasar 1945, yakni yang mendasarkan diri atas keseimbangan, keselarasan dan keserasian antara kehidupan social dan individual. Perumusan teori tentang tujuan pemidanaan tersebut sangat bermanfaat untuk menguji sampai berapa jauh suatu lembaga pidana mempunyai daya guna, yang dalam hal ini ditentukan oleh kemampuan lembaga pidana tersebut untuk memenuhi pelbagai tujuan pemidanaan yang bersumber pada baik perkembangan

1

teori-teori yang bersifat universal, maupun sistem nilai yang berlaku di dalam masyarakat Indonesia sendiri. Pidana penjara merupakan salah satu jenis sanksi pidana yang paling sering digunakan sebagai sarana untuk menanggulangi masalah kejahatan. penggunaan pidana penjara sebagai sarana untuk menghukum para pelaku tindak pidanabaru dimulai pada akhir abad ke-18 yang bersumber pada faham individualisme dan gerakan perikemanusiaan, maka pidana penjara ini semakin memegang peranan penting dan menggeser kedudukan pidana mati dan pidana badan yang kejam (Barda Nawawi Arief, 1996 : 42). sebagai catatan, dari seluruh ketentuan KUHP memuat perumusan delik kejahatan, yaitu sejumlah 587, pidana penjara tercantum di dalam 575 perumusan delik, baik dirumuskan secara tunggal maupun secara alternatif dengan jenis-jenis pidana lain (Barda Nawawi Arief : 69,70). ketentuan tersebut masih ditambah lagi/belum termasuk dengan perumusan sanksi pidana penjara di luar yang diatur dalam undang-undang di luar KUHP. Atas dasar tersebut maka pidana penjara yang merupakan primadona dalam sistem sanksi pidana yang paling sering dijatuhkan oleh hakim dalam memutus perkara, perlu pula dilakukan pembaharuan terhadap jenis sanksi pidana penjara. Menurut Mulder bahwa politik hukum pidana harus selalu

memperhatikan masalah pembaharuan, juga dalam masalah perampasan kemerdekaan. semakin sedikit orang dirampas kemerdekaannya semakin baik. pandangan terhadap pidana perampasan kemerdekaan juga dapat berakibat sebagai bumerang.

2

pidana perampasan kemerdekaan mengandung suatu ciri khas, yaitu bahwa dia adalah sementara. terpidana akhirnya tetap di antara kita (Barda Nawawi Arief, 2002 : 56,57). Sistem pemasyarakatan yang dianut oleh Indonesia, diatur dalam undangundang No. 12 tahun 1995, hal ini merupakan pelaksanaan pidana penjara, yang merupakan perubahan ide secara yuridis filosofis dari sistem kepenjaraan menjadi sistem pemasyarakatan. sistem pemenjaraan yang sangat menekankan pada unsur balas dendam dan penjeraan yang disertai dengan lembaga rumah penjara secara berangsur-angsur dipandang sebagai suatu sistem dan sarana yang tidak sejalan dengan konsep rehabilitasi dan reintegrasi sosial, agar narapidana menyadari kesalahannya, tidak lagi berkehendak untuk melakukan tindak pidana dan kembali menjadi warga masyarakat yang bertanggungjawab bagi diri, keluarga, dan lingkungannya (penjelasan umum UU pemasyarakatan). Bagi Negara Indonesia yang berdasarkan pancasila, pemikiran-pemikiran baru mengenai fungsi pemidanaan yang tidak lagi sekedar penjeraan tetapi juga merupakan usaha rehabilitasi dan reintegrasi social warga binaan pemasyarakatan telah melahirkan suatu sistem pembinaan yang sejak lebih dari empat puluh tahun yang dikenal dan dinamakan sistem pemasyarakatan. karena sistem

pemasyarakatan adalah suatu tatanan mengenai arah dan batas serta cara pembinaan warga binaan pemasyarakatan berdasarkan pancasila yang

dilaksanakan secara terpadu antara Pembina, yang dibina, dan masyarakat untuk meningkatkan kualitas warga binaan pemasyarakatan agar menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima

3

kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggungjawab.

B. Identifikasi masalah Dari beberapa uraian di atas saya membatasi masalah menjadi beberapa identifikasi agar pembahasan tidak melebar, yaitu : 1. Bagaimana efektifitas pidana penjara selama ini dalam proses resosialisasi dan reintegrasi narapidana? 2. Bagaimana peran lembaga pemasyarakatan dalam proses resosialisasi dan reintegrasi narapidana? C. Tujuan Penyusunan Tujuan dari penelitian makalah ini adalah untuk dapat menjelaskan, serta menunjukkan, mengenai: 1. Efektifitas pidana penjara selama ini dalam proses resosialisasi dan reintegrasi narapidana. 2. Peran lembaga pemasyarakatan dalam proses resosialisasi dan reintegrasi narapidana. D. Metode Penyusunan Dalam penyusunan makalah ini, penyusun menggunakan metode normatif yang berdasarkan atas studi pustaka. Yaitu dengan cara membaca dan merangkum data yang berkenaan dengan materi yang dibahas dalam makalah ini serta menggunkan data sekunder yang didapatkan dari beberapa media masa baik cetak maupun elektronik.

4

BAB IV PEMBAHASAN

A. Efektivitas Pidana Penjara dalam Proses Resosialisasi dan Reintegrasi Efektivitas pidana penjara dapat ditinjau dari dua aspek pokok tujuan pemidanaan, yaitu aspek perlindungan masyarakat, dan aspek perbaikan si pelaku.yang dimaksud dengan aspek perlindungan masyarakat meliputi tujuan mencegah, mengurangi atau mengendalikan tindak pidana dan memulihkan keseimbangan masyarakat (antara lain menyelesaikan konflik, mendatangkan rasa aman, memperbaiki kerugian atau kerusakan, menghilangkan noda-noda, memperkuat kembal nilai-nilai yang ada dalam masyarakat). sedangkan yang dimaksud dengan aspek perbaikan si pelaku meliputi berbagai tujuan yaitu antara lain melakukan rehabilitasi dan memasyarakatkan kembali si pelaku dan melindunginya dari perlakuan sewenang-wenang di luar hukum.

1.

Efektivitas pidana penjara dilihat dari aspek perlindungan masyarakat dilihat dari aspek perlindungan atau kepentingan masyarakat maka suatu pidana dikatakan efektif apabila pidana itu sejauh mungkin dapat mencegah atau mengurangi kejahatan. jadi, karena efektivitas dilihat dari seberapa jauh frekuensi kejahatan dapat ditekan. dengan kata lain, kriterianya terletak pada seberapa jauh efek pencegahan umum (general prevention) dari pidana penjara dalam mencegah warga masyarakat pada umumnya untuk tidak melakukan kejahatan (Barda Nawawi Arief, 2002 : 224,225).

5

2.

Efektivitas pidana penjara dilihat dari aspek perbaikan si pelaku dilihat dari aspek perbaikan si pelaku, maka ukuran efektivitas terletak pada aspek pencegahan khusus (special prevention) dari pidana. jadi, ukurannya terletak pada masalah seberapa jauh masalah itu (penjara) mempunyai pengaruh terhadap si pelaku atau terpidana. ada dua aspek pengaruh pidana terhadap terpidana, yaitu pencegahan awal (deterent aspect) dan aspek perbaikan (reformative aspect). aspek pertama (deterent aspect), biasanya diukur dengan indikator residivis. berdasarkan indicator inilah RM. Jackson menyatakan, bahwa suatu pidana adalah efektif apabila si pelanggar tidak dipidana lagi dalam suatu periode tertentu selanjutnya ditegaskan, bahwa efektivitas adalah suatu pengukuran dari perbandingan antara jumlah pelanggar yang dipidana kembali dan yang tidak dipidana kembali. aspek kedua yaitu aspek perbaikan (reformative aspect), berhubungan dengan maslah perubahan sikap dari terpidana. seberapa jauh pidan penjara dapat mengubah sikap terpidana, masih merupakan masalah yang masih belum dapat dijawab secara memuaskan. hal itu disebabkan adanya beberapa problem metodologis yang belum terpecahkan dan belum ada kesepakatan, khususnya mengenai :

a.

apakah ukuran untuk menentukan telah adanya tanda-tanda perbaikan atau adanya perubahan sikap pada diri si pelaku; ukuran recidivism rate atau reconviction rate masih banyak yang meragukan.

6

b.

berapa lamanya periode tertentu untuk melakukan evaluasiterhadap ada tidaknya perubahan sikap setelah terpidana menjalani pidana penjara. berdasarkan masalah-masalah metodologis yang dikemukakan di atas

dapatlah dinyatakan, bahwa penelitian-penelitian selama ini belum dapat membuktikan secara pasti apakah pidana penjara itu efektif atau tidak. terlebih masalah efektivitas pidana sebenarnya berkaitan dengan banyak factor (Barda Nawawi Arief, 2002 : 225, 229, 230). Paham abolisionisme mulai dikembangkan oleh Louk Hulsman dari Belanda ketika ia menjadi ketua hukum pidana dan kriminologi di universitas Erasmus, Rotterdam, pada tahun 1964. Arah pemikiran Hulsman yang secara eksplisit memiliki perspektif tampak nyata dalam sebuah pidato wisudanya, Handhaving van Recht (The Maintenance of Justice). Dalam pidatonya ia sangat memerhatikan aspek kemanusiaan yang dipandangnya dapat dikikis oleh keadilan yang dicapai melalui pelaksanaan hukum pidana. Bahkan ia berpendapat bahwa hukum pidana seharusnya dipandang sebagai salah satu sarana untuk mencapai tujuan pencegahan dan perbaikan terhadap ketidakadilan dalam masyarakat. Lebih jauh lagi Hulsman menyimpulkan bahwa sistem peradilan pidana harus dihapuskan seluruhnya karena menurutnya bahwa secara logika sistem ini tidak akan dapat menjadi sarana yang manusiawi dan peka dalam menghadapi kejahatan. Karakterisktik abolisionisme dalam konteks sistem peradilan pidana

adalah bahwa sistem peradilan pidana mengandung masalah dan paham ini tidak yakin kemungkinan terdapatnya kemajuan melalui pembaruan karena sistem ini

7

menderita cacat structural yang tidak dapat diperbaiki. Satu-satunya cara yang dianggap realistic dan paling baik ialah dengan mengubah dasar-dasar struktur sistem tersebut. Dalam perspektif Hulsman, criminal justice system atau sistem peradilan pidana dipandang sebagai masalah social. Ada empat pertimbangan yang melandasi pemikiran Hulsman, yaitu : 1. 2. Sistem peradilan pidana memberikan penderitaan Sistem peradilan pidana tidak dapat bekerja sesuai dengan yang tujuan yang dicita-citakannya. 3. 4. sistem peradilan pidana tidak terkendalikan pendekatan yang digunakan sistem peradilan pidana memiliki cacat mendasar.

Keempat pertimbangan tersebut di atas dapat dijelaskan sebagai berikut : Bahwa sistem peradilan pidana telah menjatuhkan pidana kepada pelaku kejahatan; hal ini berarti terjadi pembatasan kemerdekaan terhadap pelaku tersebut dan mereka dipisahkan atau diasingkan dari masyarakat

lingkungannya.Lebih dari itu, mereka dan keluarganya sudah dikenai stigma dan direndahkan martabatnya sehingga kedudukan mereka dalam masyarakat menjadi sangat marginal. penjatuhan pidana terhadap pelaku kejahatan ini memiliki pelbagai tujuan, mulai dari tujuan memberikan pembalasan dan melindungi masyarakat, sampai tujuan yang bersifat rehabilitative dan sosialisasi. Akan tetapi semua tujuan

8

tersebut tidak pernah dapat dicapai secara optimal karena masing-masing tujuan memiliki berbagai kelemahan yang ternyata sangat menonjol dan banyak memperoleh kritik tajam dibandingkan dengan hasil yang telah dicapai dari tujuan pemidanaan tersebut. dalam mekanisme kerja sistem peradilan pidana ini, pelaku kejahatan tidak pernah diikutsertakan sehingga pada gilirannya mereka tidak dapat ikut menentukan tujuan akhir dari pidan yang telah diterimanya. Bahkan para korban kejahatan juga pernah memperoleh manfaatdari hasil akhir suatu sistem peradilan pidana. penderitaan atau kerugian korban diwakilkan kepada jaksa penuntut umum sehingga pada esensinya, perwakilan tersebut dipandang sebagai mencuri kesempatan dari konflik antara para pihak dan diwujudkan ke dalam dua pihak, pertama Negara dan di lain pihak tersangka pelaku kejahatan. Dalam konteks pertimbangan ketiga ini, Hulsman berpendapat bahwa sistem peradilan pidana tidak terkendali apabila menghadapi kebijaksanaan dari pengambil keputusan sehingga sering rentan dan berubah-ubah, bahkan tiap-tiap instansi memiliki kewenangan yang berbeda satu sama lain dalam menangani mekanisme kerja sistem peradilan pidana yang sering merugikan hak asasitersangka pelaku kejahatan. pertimbangan keempat menunjukkan bahwa selama ini pendekatan yang dilakukan sistem peradilan pidanamengandung cacat, karena batasan tentang kejahatan dan proses sseorang memperoleh pidana kurang tepat dan tidak layak. Sedangkan menurut Hulsman, konsep kejahatan dan pidana berkaitan erat satu

9

sama lain sehingga tidak mudah menetapkan apa yang merupakan batasan kejahatan dan pidana. selain itu, keahatan merupakan konsep yang kompleks dan tidak sekedar hanya menetapkan apa yang benar dan tidak benar, apa yang salah dan tidak salah. penetapan melalui cara demikian tampak menggunakan pendekatan individual sedangkan sistem peradilan pidana memerlukan pendekatan yang bersifat multivarian. Selama ini menurut Hulsman terjadi kesalahan persepsi tentang pidana dan kejahatan atau penjahat. Bahwa antara konsep-konsep tersebut terdapat hubungan yang erat tidak selalu berarti jika ada kejahatan (dan juga penjahat) harus selalu ada pidana sehingga dalam konteks inilah tampak bahwa sistem peradilan pidana tidak luwes dan tidak kreatif dalam menemukan bentuk lain dari pengendalian social (social control). Cohen menegaskan kembali nilai-nilai (values) yang melandasi perspektif abolisionis, sebagai berikut: 1. Masih masuk akal untuk mencari alternatif yang lebih manusiawi, layak, dan efektif daripada lembaga seperti penjara. 2. kerjasama timbale balik, persaudaraan dan hidup bertetangga secara baik terkesan lebih baik bergantung pada birokrasi dan para ahli 3. Kota-kota seharusnya diperuntukkan sedemikian rupa sehingga setiap orang merasa memilikinya dan di mana gangguan ketertiban lebih ditenggang rasa (ditoleransi) daripada dibedakan dalam zona daerah rawan dan aman.

10

4.

pandangan masyarakatseharusnya ditujukan kepada keadaan fisik dan kebutuhan social

5.

perlu dicari suatu cara yang dapat menghentikan proses yang sangat merugikan di mana masyarakat tetap memelihara klasifikasi, pengawasan, dan mengasingkan kelompok masyarakat berdasarkan usia, etnis, tingkah laku, status moral, kemampuan, dan keunggulan fisik. kritik terhadap pidana penjara pada dasarnya dibagi menjadi dua bagian

yaitu kritik yang moderat dan kritik yang ekstrim. 1. kritik yang moderat pada intinya masih mempertahankan pidana penjara namun penggunaannya dibatasi. kritik yang menyangkut sudut Strafmodus melihat dari sudut pelaksanaan pidana penjara; jadi dari sudut sistem pembinaan/treatment dan kelembagaan/institusinya. kritik dari sudut strafmaat melihat dari susut lamanya pidana penjara, khususnya ingin membatasi atau mengurangi penggunaan pidana penjara pendek. kritik dari sudut strafsoort ditujukan terhadap penggunaan atau penjatuhan pidana penjara dilihat sebagai jenis pidana, yaitu adanya kecenderungan untuk mengurangi atau membatasi penjatuhan pidana penjara secara limitative dan selektif. 2. kritik yang ekstrim menghendaki hapusnya sama sekali pidana penjara (prison abolition) ini terlihat dengan adanya international conference on prison abolition (ICOPA) yang diselenggarakan pertam kali pada bulan mei 1983 di Toronto Kanada, yang kedua pada tanggal 24-27 juni 1985 di Amsterdam dan ketiga pada tahun 1987 di montreal, Kanada. Pada

11

konferensi ketiga ini istilah prison abolition telah diubah menjadi penal abolition.

B. Peran sistem pembinaan pemasyarakatan dalam proses resosialisasi dan reintegrasi Narapidana Sehubungan dengan tujuan hukum pada umumnya ialah tercapainya kesejahteraan masyarakat materiil dan spiritual, maka perbuatan yang tidak dikehendaki ialah perbuatan yang mendatangkan kerugian atas warga

masyarakat.Kerugian itu berarti ada korbannya. Perlu diingat bahwa korban dari perbuatan itu tidak hanya orang lain selain si pembuat, akan tetap i dapat pula si pembuat sendiri. Korban ini dapat tampak dengan jelas, misalnya pada pembunuhan, pencurian, pembakaran, pemberontakan dan sebagainya. Namun dapat pula korban itu tidak tampak, kerugiannya tidak segera dirasakan, misalnya pencemaran lingkungan hidup oleh pabrik-pabrik besar, iklan yang sangat merangsang untuk membeli, pengambilan kayu dari hutan secara besar-besaran tanpa perhitungan, abortus provocatus, penggunaan narkotika, hubungan seks di luar perkawinan, dan sebagainya. yang jelas ialah bahwa perbuatan yang tidak merugikan tidaklah boleh ditetapkan sebagai perbuatan yang tidak dikehendaki. Sebaliknya tidak semua perbuatan yang merugikan perlu dicegah dengan menggunakan hukum pidana. Tim perancang konsep rancangan KUHP 2004 telah sepakat bahwa tujuan pemidanaan adalah :

12

1.

Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat.

2.

Memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadikannya orang yang baik dan berguna.

3.

Menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat.

4.

Membebaskan rasa bersalah pada terpidana (pasal 51 konsep RKUHP 2004). Sedangkan dalam pasal 51 ayat (2) konsep rancangan KUHP tersebut di

atas

memberikan

makna

terhadap

pidana

dalam

sistem

hukum

Indonesia.Ditegaskan bahwa pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan tidak diperkenankan merendahkan martabat manusia. Perumusan tersebut cukup memadai bilamana ditinjau dari pandangan integrative Pancasila, sebab faktor-faktor individual dan social diperhatikan secara integralistik.Penjelasan pasal 51 Konsep Rancangan KUHP 2004 menyatakan pemidanaan merupakan suatu proses.Sebelum Proses ini berjalan, peranan hakim penting sekali.Ia mengkonkritkan sanksi pidana yang terdapat dalam suatu peraturan perundang-undangan dengan menjatuhkan pidana terhadap tertuduh dalam kasus tertentu. Ketentuan dalam pasal ini memuat tujuan ganda yang hendak dicapai melalui pemidanaan.Dalam tujuan pertama jelas tersimpul pandangan

perlindungan masyarakat.Tujuan kedua mengandung maksud bukan saja unutk merehabilitasi, tetapi juga meresosialisasi terpidana dan mengintegrasikan yang

13

bersangkutan ke dalam masyarakat.Tujuan ketiga sejalan dengan pandangan hukum adat dalam arti reaksi adat itu dimaksudkan untuk mengembalikan keseimbangan (magis) yang terganggu oleh perbuatan yang berlawanan dengan hukum adat.Jadi pidana yang dijatuhkan diharapkan dapat menyelesaikan konflik atau pertentangan dan juga mendatangkan rasa damai dalam masyarakat.Tujuan yang keempat bersifat spiritual dicerminkan dalam Pancasila sebagai dasar Negara Republik Indonesia. Berdasarkan praktek peradilan pidana di Indonesia untuk dapat terselenggaranya sistem peradilan pidana (criminal justice system ) yang baik, maka perlu dibuat suatu pedoman pemidanaan yang lengkap dan jelas. Pedoman ini sangat berguna bagi hakim dalam memutuskan suatu perkara dan mempunyai dasar pertimbangan yang cukup rasional. Maka sehubungan dengan hal tersebut di atas dalam konsep rancangan KUHP 2004 pasal 52 terdapat pedoman pemidanaan yang bunyinya sebagai berikut : a. b. c. d. e. f. g. h. i. kesalahan pembuat tindak pidana motif dan tujuan melakukannya tindak pidana sikap batin pembuat tindak pidana apakah tindak pidana dilakukan dengan berencana cara melakukan tindak pidana sikap dan tindakan pembuat sesuadah melakukan tindak pidana riwayat hidup dan keadaan social ekonomi pembuat tindak pidana pengaruh pidana terhadap masa depan pembuat tindak pidana pengaruh tindak pidana terhadap korban atau keluarga korban

14

j. k.

pemaafan dari korban dan/atau keluarganya; dan /atau pandangan masyarakat terhadap tindak pidana yang dilakukan.

Barda Nawawi Arief menyatakan bahwa pidana penjara tidak hanya mengakibatkan perampasan kemerdekaan, tetapi juga menimbulkan akibat negative terhadap hal-hal yang berhubungan dengan dirampasnya kemerdekaan itu sendiri.Akibat negative itu antara lain terampasnya juga kehidupan seksual yang normal dari seseorang, sehingga sering terjadi hubungan homoseksual dan masturbasi di kalangan terpidana. Dengan terampasnya kemerdekaan seseorang juga berarti terampasnya kemerdekaan berusaha dari orang itu yang dapat mempunyai akibat seirus bagi kehiduppan social ekonomi keluarganya.terlebih pidana penjara itu dapat memberikan stigma yang akan terbawa terus walaupun yang bersangkutan tidak lagi melakukan kejahatan. Akibat lain yang juga sering disoroti ialah bahwa pengalaman penjara dapat menyebabkan terjadinya degradasi atau penurunan derajat dan harga diri manusia (Barda N., Arief, 1999 : 36,37) Jika dipandang dari sudut kasus posisi di atas di mana tingkat residivisme, narapidana melarikan diri, ditambah dengan membludaknya penghuni Lapas atau Rutan jelas terlihat bahwa sistem pemasyarakatan sebenarnya (walaupun tidak bisa dikatakan gagal) belum mampu menjalankan apa yang menjadi cita-cita dan tujuan dari dibentuknya Lembaga pemasyarakatan. Belum lagi banyak narapidana yang meninggal dunia dengan cara tidak wajar justru di dalam Lembaga pemasyarakatan yang seharusnya menjadi pengayom bagi narapidana yang ada di dalamnya, jual beli narkoba di dalam lapas, praktek perjudian, praktek suap agar mendapat fasilitas yang lebih dari narapidana lain, atau paket tur ke bali dengan

15

bonus rambut palsu sudah bukan rahasia lagi bagi masyarakat sekarang ini. membuat kita berpikir apakah Lembaga pemasyarakatan sebenarnya efektif untuk mengayomi narapidana dalam proses resosialisasi dan reintegrasi ketika nanti keluar dari Lembaga pemasayarakatan, atau malah sebaliknya justru Lembaga pemasyarakatan itu sendiri yang menjadi guru yang baik bagi sebagian besar narapidana yang begitu keluar malah menjadi penjahat kelas kakap. Saat ini Lembaga pemasyarakatan dirasa memang belum bisa menjadi pengayom narapidana dalam proses resosialisasi dan reintegrasi dalam rangka merehabilitasi diri narapidana agar kembali menjadi warga yang baik dan bertanggungjawab.

Peran sistem pembinaan masyarakat dilaksanakan berdasarkan asas : a. Pengayoman adalah perlakuan terhadap warga binaan pemasyarakatan dalam rangka melindungi masyarakat dari kemungkinan diulanginya tindak pidana oleh warga binaan pemasyarakatan, juga memberikan bekal hidupnya kepada warga binaan pemasyarakatan agar menajdi warga yang berguna dalam masyarakat. b. Persamaan perlakuan dan pelayanan adalah pemberian perlakuan dan pelayanan yang sam kepada warga binaan pemasyarakatan tanpa membeda-bedakan orang (tidak termasuk kasus Artalytha Suryani). c. Pendidikan adalah bahwa penyelenggaraan pendidikan dan bimbingan dilaksanakan berdasarkan Pancasila, antara lain penanaman jiwa

16

kekeluargaan, keterampilan, pendidikan kerohanian, dan kesempatan untuk menunaikan ibadah. d. Penghomatan harkat dan martabat manusia adalah bahwa sebagai orang yang tersesat warga binaan pemasyarakatan harus tetap diperlukan sebagai manusia. e. Kehilangan kemerdekaan merupakan satu-satunya penderitaan adalah warga binaan pemasyarakatan harus berada dalam LAPAS untuk jangka waktu tertentu, sehingga mempunyai kesempatan penuh untuk

memperbaikinya. f. Terjaminnya hak untuk tetap berhubungan dengan keluarga dan orangorang tertentu adalah bahwa walaupun warga binaan pemasyarakatan berada di LAPAS, tetapi harus tetap didekatkan dan dikenalkan dengan mayararakat dan tidak boleh diasingkan dari masyarakat. Dengan asas-asas yang tercantum di atas sudah seharusnya sistem pembinaan masyarakat menjadi sarana yang tepat bagi narapidana untuk kembali ke masyarakat tanpa adanya ketakutan akan stigmatisasi yang buruk dari masyarakat. karena tujuan pemidanaan yang paling baik adalah dengan memasyarakatkan kembali para narapidana yang tersesat dan minghilangka rasa bersalah pada diri terpidana seperti yang tercantum dalam Rancangan Konsep KUHP 2004.

17

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Kesimpulan yang dapat kami tarik dari makalah ini adalah Tujuan diselenggarakannya sistem pemasyarakatan dalam rangka membentuk warga binaan pemasyarakatan agar menjadi manusia seutuhnya, menyadari kesalahan memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggungjawab. Namun memang tidak selamanya seperti yang diharapkan karena berbagai faktor penghambat kemajuan sistem peradilan pidana khususnya sistem pemasyarakatan, yang tadi sudah kami jelaskan di atas yakni : 1. Kepemimpinan, kualitas sumber daya antisipasi, penghayatan dan wawasan terhadap standar minimum pengamanan di kalangan pegawai pemasyarakatan. 2. Rendahnya kualitas SDM petugas pengamanan karena kurangnya pemahaman terhdap peraturan penjagaan Lembaga Pemasyarakatan (PPLP) dan prosedur tetap (protap) pelaksanaan tugas pemasyarakatan. 3. Tidak memadainya jumlah petugas pengamanan. 4. Pengaruh situasi dan kondisi di luar/masyarakat. 5. Kurang lancarnya dan kurang selektifnya pelaksanaan kegiatan pembinaan narapidana.

18

6. Sarana fisik dan sarana pengamanan yang kurang memenuhi standar minimum pengamanan.

B.

Saran Meskipun dengan berbagai hambatan yang ada, bukan berarti sistem

pemasyarakatan yang gagal dalam proses resosialisasi dan reintegrasi narapidana ketika kembali ke masyarakat nanti. dengan pengawasan yan tepat secara bersama dan tidak musiman, kami yakin lembaga pemasyarakatan dapat merubah stigma buruk yang mulai mengendap dalam sistem pemasyarakatan khususnya Lapas atau Rutan.

Karawang, 26 November 2011 Penyusun;

IRFAN ALKHOTIRI 09411733000108

19

DAFTAR PUSTAKA

A.

Buku dan Literatur Dwidja Priyatno, Sistem pelaksanaan pidana penjara di

Indonesia,Bandung: Refika Aditama, 2006. Romli Atmasasmita, Sistem peradilan pidana kontemporer, Jakarta: Kencana, 2010. P.A.F. Lamintang, Hukum Penitensier Indonesia, Bandung: Armico, 1984. Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, Bandung: Alumni, 2007. Muladi, Lembaga Pidana bersayarat, Bandung: Alumni, 1985. Barda Nawawi Arief, Kebijakan Legislatif dengan Pidana penjara, Semarang: Badan penerbit Undip, 1996.

B.

Peraturan Perundang-undangan Indonesia, Undang-undang Nomor 12 tahun 1995 tentang pemasyarakatan

20