45
PENGAJUAN PENINJAUAN KEMBALI DAFTAR PENCARIAN ORANG OLEH AHLI WARIS TERPIDANA TINDAK PIDANA KORUPSI Yunia Kandy Sarjana Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Narotama Surabaya e-mail : khenycabylita @gmail.com ABSTRACT - The Verdict of Judicial Review Number 97 PK / Pid.Sus / 2012 on the Cassation Decision Number 434 K / Pid / 2003 for the ST defendant attracted the public's attention. PK petition for ST is filed by his wife as heir. This petition is granted by an amar declaring the act of indictment to the convicted "proven" but the act is not a crime, and therefore releases the convict from all lawsuits. This is surprising, meaning the ruling dismissed the decision of the previous cassation. One consideration of the judges of the Court of Appeal granting the petition is the status of ST's wife as the legitimate heir of ST based on Yahya Harahap's view that the wife may become an heir. Such views are not quoted in full. This PK ruling sparked cynicism against a judge's decision aimed at providing justice, certainty, and expediency. But also for the status of the DPO DP is still reaping debate in many circles. Keywords: Review, Search List of People, Heirs

karyailmiah.narotama.ac.idkaryailmiah.narotama.ac.id/files/PENGAJUAN PENINJAUAN... · Web viewPENGAJUAN PENINJAUAN KEMBALI DAFTAR PENCARIAN ORANG OLEH AHLI WARIS TERPIDANA TINDAK

Embed Size (px)

Citation preview

PENGAJUAN PENINJAUAN KEMBALI DAFTAR PENCARIAN ORANG OLEH AHLI WARIS TERPIDANA TINDAK PIDANA KORUPSI

Yunia KandySarjana Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Narotama Surabaya

e-mail : khenycabylita @gmail.com

ABSTRACT - The Verdict of Judicial Review Number 97 PK / Pid.Sus / 2012 on the Cassation Decision Number 434 K / Pid / 2003 for the ST defendant attracted the public's attention. PK petition for ST is filed by his wife as heir. This petition is granted by an amar declaring the act of indictment to the convicted "proven" but the act is not a crime, and therefore releases the convict from all lawsuits. This is surprising, meaning the ruling dismissed the decision of the previous cassation. One consideration of the judges of the Court of Appeal granting the petition is the status of ST's wife as the legitimate heir of ST based on Yahya Harahap's view that the wife may become an heir. Such views are not quoted in full. This PK ruling sparked cynicism against a judge's decision aimed at providing justice, certainty, and expediency. But also for the status of the DPO DP is still reaping debate in many circles.

Keywords: Review, Search List of People, Heirs

PENDAHULUAN

Pada saat berkembangnya zaman

saat ini banyak aspek yang mengalami

pertumbuhan maupun penurunan.

Manusia misalnya, sebagai subyek

hukum yang hidup secara berkelompok

dan saling berdampingan dalam suatu

komunitas tertentu di dalam suatu

wilayah disebut dengan masyarakat.

Ketertiban dan keamanan masyarakat

dalam lingkungan akan terpelihara

bilamana tiap – tiap anggota masyarakat

menaati peraturan yang sudah ada di

dalam lingkungan masyarakat.

Tertib masyarakat dapat tercapai

apabila hukum bersifat dinamis dan

mengikuti perkembangan kebutuhan

masyarakat. Peraturan perundang-

undangan yang merupakan produk

hukum harus mampu mengatur hal-hal

yang saat ini memang dibutuhkan oleh

masyarakat, karena hukum dibentuk

untuk menjamin terciptanya ketertiban

dalam masyarakat. Maka dari itu

peraturan – peraturan ini dikeluarkan

oleh suatu badan yang berkuasa dalam

masyarakat itu disebut pemerintah.

Bermacam-macam bentuk dan

sifat kebudayaan di negara ini

menimbulkan berbagai macam dasar

hukum yang melekat. Salah satunya

hukum pidana dimana tujuan dari

hukum pidana adalah untuk mencari dan

mendapatkan setidaknya kebenaran

materiil atau kebenaran yang hakiki dari

suatu perkara pidana dengan

menerapkan ketentuan hukum acara

pidana secara jujur dan tepat, dengan

tujuan untuk mencari siapakah pelaku

yang didakwakan melakukan pelanggaran

hukum.

Setiap pelaku tindak pidana wajib

untuk dikenakan sanksi pidana yang sesuai

dengan peraturan Negara yang telah

diterapkan dan ditetapkan. Dibalik

penjatuhan sanksi atau hukuman untuk

para pelaku tindak pidana, pelaku juga

memiliki hak-hak asasi untuk memperoleh

keadilan seadil-adilnya atas putusan yang

telah dijatuhkan.

Putusan hakim terhadap subjek

hukum yang melakukan tindak pidana

yang secara sah dan meyakinkan

melakukan tindak pindana dapat berupa

putusan pemidanaan. Putusan pemidanaan

yang dijatuhkan oleh hakim terhadap

subjek hukum harus berdasarkan regulasi

yang sudah ditetapkan yang dalam hal ini

adalah Undang-Undang Nomor 8 tahun

1981 tentang Hukum Acara Pidana

(selanjutnya disebut KUHAP).

Ketika pelaku sudah mendapatkan

putusan yang telah dijatuhkan masih ada

beberapa hukum untuk membela hak asasi

manusianya sehingga dapatlah putusan

tersebut diangap sebagai implementasi atas

konsep fair trial. Dimana jika proses

hukum tindak pidana tidak menjamin dan

melindungi hak asasi individu maka dapat

terjadi perbuatan kesewenang – wenangan

yang berpengaruh pada penegakan hukum

itu sendiri dan juga dalam proses

persidangan yang mengabaikan prinsip

fair trial maka hal tersebut akan merusak

tegaknya suatu keadilan. Prinsip fair

trial dalam proses hukum pidana diatur

dalam Deklarasi Universal Hak-Hak

Asasi Manusia (DUHAM).1

Ada beberapa upaya hukum yang

dapat ditempuh, salah satunya adalah

pengajuan upaya hukum peninjauan

kembali (PK)/Herziening KUHAP

bahwa upaya hukum peninjauan kembali

(PK)/Herziening dilakukan oleh

terpidana (dapat juga diajukan melalui

penasehat hukumnya) ataupun ahli

warisnya namun tetap dihadiri oleh

terpidana. Pelaksanaan upaya hukum

peninjauan kembali (PK)/Herziening

oleh ahli waris dimana pewaris masih

belum disebut meninggal sudah bisa

dianggap sebagai ahli waris dan hak

hukum yang diberikan pada pelaku

criminal yang bisa seenaknya sendiri

tidak patuh pada putusan hakim yang

menjeratnya dipandang oleh penulis

sebagai bukti perkembangan hukum di

Indonesia. Hal yang sangat mencolok ini

kemudian menarik perhatian penulis

untuk mengkaji mengenai aturan

yuridis tentang upaya hukum peninjauan

kembali (PK)/Herziening oleh DPO,

serta menganalisa putusan Putusan

MA.RI No. 97/PK/Pid.Sus/2012, dengan

harapan agar tulisan yang ditulis oleh

penulis akan bermanfaat bagi

1 Konvenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik dalam Lembar Fakta HAM, Komnas HAM, Jakarta,2005.

perkembangan kemajuan hukum pidana di

Indonesia.

Putusan Mahkamah Agung tingkat

kasasi bukanlah upaya hukum terakhir

yang bisa ditempuh oleh terpidana

melainkan masih ada PK yang dapat

diajukan. Maka berdasarkan latar belakang

tersebut penulis dapat mengambil dua pokok

permasalahan yang terdiri :

1. Bagaimana pengaturan tentang

pengajuan peninjauan kembali DPO

oleh ahli waris terpidana tindak

pidana korupsi?

2. Apakah status “Istri” dalam Putusan

No. 97/PK/PID.SUS/2012 dapat

dikatakan sebagai “Ahli Waris”

sesuai dengan Pasal 263 ayat 1

KUHAP?

METODE PENELITIAN

Jenis penelitian ini adalah penelitian

yuridis-normatif, yaitu penelitian yang

meneliti norma yang berlaku di masyarakat.

Penelitian normatif tersebut juga disebut

dengan penelitian doktrinal. Penelitian

Doktrinal adalah penelitian yang melakukan

evaluasi terhadap peraturan perundang-

undangan, menjelaskan permasalahan

dalam peraturan tersebut, dan melakukan

prediksi efektifitas peraturan tersebut di

masa yang akan datang.2

Penelitian hukum ini bertujuan untuk

memperoleh pengetahuan normatif tentang

hubungan antara satu peraturan dengan 2 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum,

Kencana, Jakarta, 2008, hlm.32

peraturan lain dan penerapan dalam

prakteknya sehingga penelitian hukum ini

membutuhkan data primer dan data

sekunder.

SUMBER BAHAN HUKUM

Bahan hukum primer yaitu bahan

hukum yang bersifat autoritatif artinya

mempunyai otoritas3 terdiri atas:

1. Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia (UUD 1945),

2. Kitab Undang-Undang Hukum

Pidana (KUHP),

3. Kitab Undang-Undang Hukum

Acara Pidana (KUHAP),

4. Undang-Undang No. 14 tahun I985

tentang Mahkamah Agung,

5. Surat Edaran Mahkamah Agung No

1 Tahun 2012.

Bahan hukum sekunder yaitu

semua publikasi tentang hukum yang

bukan merupakan dokumen-dokumen

resmi.4 Publikasi ilmiah tersebut terdiri

dari buku, jurnal, artikel ilmiah, kamus

hukum serta publikasi ilmiah lainnya

yang mempunyai relevansi dengan

penelitian ini, dapat digunakan sebagai

penjelasan atas sumber hukum sekunder

PEMBAHASAN

PENGATURAN PENGAJUAN PENINJAUAN KEMBALI DAFTAR PENCARIAN ORANG OLEH AHLI WARIS TERPIDANA TINDAK PIDANA KORUPSI

3 Ibid, hlm 1414 Ibid.

Sejarah Pengajuan Peninjauan Kembali

Pada zaman Hindia Belanda,

peninjauan kembali (herziening) terdapat

dalam Reglement op de Strafvordering

(RSv)-Stb. Nomor 40 jo 57 tahun 1847

khususnya dalam title 18, Pasal 356 sampai

dengan Pasal 360. RSv adalah hukum acara

pidana pada Raad van Justitie, peradilan

bagi Golongan Eropa. Lembaga herziening

yang terdapat dalam RSv tersebut tidak

berlaku pada Landraad, peradilan untuk

golongan Bumiputra.

Menurut Pasal 356 RSv, herziening

dapat diajukan terhadap putusan

pemidanaan (veroordeling) yang sudah

mempunyai kekuatan hukum tetap (in kract

van gewijsde) dengan alasan:

1. Atas dasar kenyataan bahwa dalam

berbagai putusan terdapat pernyataan yang

telah dinyatakan terbukti, ternyata

bertentangan satu dengan yang lainnya.

2. Atas dasar keadaan yang pada waktu

pemeriksaan di pengadilan tidak diketahui

dan tidak mungkin diketahui, baik berdiri

sendiri maupun sehubungan dengan bukti-

bukti yang telah diajukan. Apabila keadaan

itu diketahui, pemeriksaan akan berupa

putusan bebas, putusan lepas dari segala

tuntutan hukum, tuntutan penuntut umum

tidak dapat diterima, atau terhadap perkara

itu ditetapkan ketentuan pidana yang lebih

ringan. Alasan-alasan tersebut dapat

diajukan dalam suatu permohonan

peninjauan kembali, bila dalam suatu

putusan pengadilan yang sudah berkekuatan

tetap suatu perbuatan yang

didakwakan telah dinyatakan terbukti,

tetapi tidak diikuti suatu pemidanaan.

Menurut Pasal 357 RSv, upaya

peninjauan kembali dapat diajukan

dengan suatu permohonan ke Mahkamah

Agung oleh Jaksa Agung (door den

procureur general) atau seorang

terpidana yang dijatuhi pidana dengan

putusan yang telah tetap dengan melalui

kuasa khusus untuk keperluan tersebut.5

Setelah kemerdekaan, ketentuan

peninjauan kembali pertama kali terdapat

dalam Perma Nomor 1 tahun 1969

tentang peninjauan kembali keputusan

pengadilan yang telah memperoleh

kekuatan hukum yang tetap. Latar

belakang dikeluarkannya Perma ini, dapat

diketahui dari dasar pertimbangannya

sebagai berikut :6

1. Lembaga peninjauan kembali

menjadi kebutuhan hukum yang

mendesak. Terbukti banyak sekali para

pencari keadilan mengajukan

permohonan peninjauan kembali kepada

Pengadilan Negeri atau secara langsung

kepada Mahkamah Agung. Banyak di

antara permohonan peninjauan kembali

tersebut mempunyai dasar-dasar yang

kuat, sementara belum ada hukum acara

mengenai peninjauan kembali.

Mahkamah Agung akhirnya

memberanikan diri untuk menetapkan

Peraturan Mahkamah Agung tentang

peninjauan kembali tersebut.5 Ibid6 H. Adam Chazawi, Op-cit, hal. 15

2. Untuk mengisi kekosongan hukum

dan bersifat sementara sebelum adanya

Undang-Undang yang mengatur tentang

peninjauan kembali, agar dapat menampung

kebutuhan hukum bagi pencari keadilan

untuk mengajukan peninjauan kembali.

3. Mahkamah Agung mengeluarkan

peraturan tersebut dengan maksud untuk

menambah hukum acara Mahkamah Agung

dengan hukum acara pidana peninjauan

kembali yang telah terdapat dalam Undang-

Undang Nomor 13 tahun 1965 tentang

Pengadilan dalam Lingkungan Peradilan

Umum dan Mahkamah Agung.

Berdasarkan isi Pasal 3 Perma Nomor 1

tahun 1969, bahwa Mahkamah Agung dapat

meninjau kembali atau memerintahkan

ditinjau kembali suatu putusan pidana yang

tidak mengandung pembebasan dari semua

tuduhan yang telah memperoleh kekuatan

hukum yang tetap atas dasar alasan :7

1. Apabila putusan dengan jelas

memperlihatkan kekhilafan hakim atau

kekeliruan yang mencolok;

2. Apabila dalam putusan terdapat

keterangan-keterangan yang dianggap

terbukti akan tetapi ternyata satu sama lain

saling bertentangan;

3. Apabila terdapat keadaan baru;

4. Apabila perbuatan yang telah

dituduhkan telah dinyatakan terbukti akan

tetapi tanpa diikuti oleh suatu pemidanaan.

7 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 tahun 1969 tentang Peninjauan Kembali Keputusan Pengadilan Yang Telah Memperoleh Kekuatan Hukum Yang Tetap. http://pa-rantau.pta- banjarmasin.go.id/index.php?content=umum&id=39, diunduh tanggal 15 Mei 2017

Dalam Pasal 4 ayat (1) Perma

Nomor 1 tahun 1969 tentang Peninjauan

Kembali Keputusan Pengadilan Yang

Telah Memperoleh Kekuatan Hukum

Tetap, dijelaskan bahwa permohonan

peninjauan kembali suatu putusan pidana

yang telah memperoleh kekuatan hukum

yang tetap harus diajukan oleh :8

1. Terpidana;

2. Pihak yang berkepentingan, dan

3. Jaksa Agung.

Perma Nomor 1 tahun 1969, tidak

berumur panjang karena pada tanggal 30

Nopember 1971 Mahkamah Agung

mencabut Perma tersebut melalui Perma

Nomor 1 tahun 1971. Alasan dicabutnya

Perma Nomor 1 tahun 1969 adalah

Mahkamah Agung menyadari bahwa

ketentuan mengenai peninjauan kembali

yang diatur melalui Perma merupakan

suatu kekeliruan. Kekeliruan tersebut

dikarenakan Mahkamah Agung merasa

tidak berwenang untuk mengeluarkan

Perma mengenai peninjauan kembali dan

pengaturan hukum acara mengenai

peninjauan kembali harus melalui

undang-undang. Dengan dicabutnya

Perma Nomor 1 tahun 1969 maka terjadi

kekosongan hukum mengenai peninjauan

kembali, akan tetapi pada tanggal 1

Desember 1980 dikeluarkan Perma

Nomor 1 tahun 1980 yang isinya jauh

lebih lengkap dari Perma Nomor 1 tahun

8 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 tahun 1969 tentang Peninjauan Kembali Keputusan Pengadilan Yang Telah Memperoleh Kekuatan Hukum Yang Tetap

1969.9

Syarat Formil Mengajukan Permintaan

Peninjauan Kembali

Terdapat 3 (tiga) syarat formil secara

kumulatif untuk mengajukan permohonan

upaya hukum Peninjauan Kembali dalam

Pasal 263 Ayat (1) KUHAP yaitu :

1. Dapat dimintakan pemeriksaan di tingkat

Peninjauan Kembali hanya terhadap putusan

yang telah memperoleh kekuatan hukum

tetap (in kracht van gewijsde).

2. Hanya terpidana atau ahli warisnya yang

boleh mengajukan upaya hukum Peninjauan

Kembali.

3. Boleh diajukan Peninjauan Kembali

hanya terhadap putusan yang

menghukum/mempidana saja.10

Lebih lanjut Adami Chazawi

mengatakan, bahwa tiga syarat formil

tersebut bersifat limitatif dan sangat tegas.

Ketentuan isi rumusan pasal tersebut juga

bersifat tertutup, tidak dapat ditambah oleh

hakim melalui penafsiran, meskipun dengan

alasan mencari untuk menemukan hukum.11

Syarat Materiil dalam Mengajukan 9 Ibid10 Adam Chazawi, Lembaga Peninjauan

Kembali (PK) Perkara Pidana : Penegakan Hukum dalam Penyimpangan dan Peradilan Sesat, Sinar Grafika, Jakarta, 2011, hal 26.

11 Ibid

Permohonan Peninjauan Kembali

Syarat-syarat materiil mengajukan

permohonan upaya hukum Peninjauan

Kembali secara limitatif dicantumkan

dalam Pasal 263 Ayat (2) KUHAP :

a. Apabila terdapat keadaan baru yang

menimbulkan dugaan kuat, bahwa jika

keadaan itu sudah diketahui pada waktu

sidang masih berlangsung, hasilnya akan

berupa putusan bebas atau putusan lepas

dari segala tuntutan hukum atau tuntutan

Penuntut Umum tidak dapat diterima atau

terhadap perkara itu diterapkan ketentuan

pidana yang lebih ringan.

b. Apabila dalam berbagai putusan

terdapat pernyataan bahwa sesuatu telah

terbukti, akan tetapi hal atau keadaan

sebagai dasar dan alasan putusan yang

dinyatakan telah terbukti itu, ternyata

telah bertentangan satu dengan yang lain.

c. Apabila putusan itu dengan jelas

memperlihatkan suatu kekhilafan Hakim

atau suatu kekeliruan yang nyata.

Dengan kata lain, syarat materiil agar

permohonan Peninjauan Kembali dapat

diterima dan dibenarkan oleh Mahkamah

Agung, yaitu

(1) Adanya keadaan baru (novum);

(2) Ada beberapa putusan yang saling

bertentangan (conflict van rechtspraak)

dan;

(3) Putusan yang memperlihatkan

suatu kekhilafan hakim atau kekeliruan

nyata.

Pengertian Daftar Pencarian Orang

dan Dasar Hukumnya

Menurut Undang-Undang No. 8

Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana

atau Kitab Undang-Undang Hukum Acara

Pidana (KUHAP) tidak mengenal istilah

DPO. KUHAP hanya mengatur mengenai

tersangka. Pasal 1 angka 14 KUHAP

dijelaskan bahwa tersangka adalah seorang

yang karena perbuatannya atau keadaannya

berdasarkan bukti permulaan patut diduga

sebagai pelaku tindak pidana. Terhadap

tersangka tersebut bisa dilakukan

penangkapan atau pemanggilan terlebih

dahulu jika sebelumnya belum pernah

diperiksa sebagai tersangka. Nah jika

tersangka telah dipanggil tiga kali untuk

pemeriksaan tetapi tidak datang dan tidak

jelas keberadaannya maka tersangka

tersebut bisa ditetapkan sebagai DPO. Hal

ini diatur dalam Peraturan Kapolri No. 14

tahun 2012 (Perkap 14/2012) tentang

Manajemen Penyidikan Tindak Pidana.

Dalam Pasal 31 ayat (1) Perkap

14/2012 dinyatakan bahwa tersangka yang

telah dipanggil untuk pemeriksaan dalam

rangka penyidikan perkara sampai lebih

dari 3 (tiga) kali dan ternyata tidak jelas

keberadaannya, dapat dicatat di dalam

Daftar Pencarian Orang (DPO) dan

dibuatkan Surat Pencarian Orang.

Kemudian dalam ayat (3) nya dikatakan

bahwa dalam hal tersangka dan/atau orang

yang dicari sudah ditemukan atau tidak

diperlukan lagi dalam penyidikan maka

wajib dikeluarkan Pencabutan DPO.

Pengertian Ahli Waris pada Putusan MA

No.97/PK/PID.SUS/2012

Pengertian Ahli Waris yang di

tafsirkan oleh Hakim pada Putusan

tersebut ada 2 penafsiran. Pertama,

seseorang dapat disebut sebagai ahli

waris walaupun terpidana belum

meninggal dunia. Kedua, seseorang tidak

dapat disebut sebagai ahli waris apabila

terpidana belum meninggal dunia atau

masih dalam keadaan hidup. Dari kedua

tafsir tersebut, maka penulis lebih sepakat

dengan pendapat kedua yang

mengategorikan seseorang sebagai ahli

waris apabila terpidana telah meninggal

dunia. Pendapat penulis itu didasarkan

pada makna istilah “ahli waris” dalam

Pasal 263 ayat (1) KUHAP yang

ditafsirkan dengan metode penafsiran

gramatikal (gramatical interpretatie) atau

yang sering disebut penafsiran menurut

tata bahasa dan penafsiran sistematis

(systematic interpretatie).

Metode interpretasi menurut bahasa

(gramatikal), yaitu suatu cara penafsiran

undang-undang menurut arti kata-kata

(istilah) yang terdapat dalam undang-

undang. Hukum wajib menilai arti kata

yang lazim dipakai dalam bahasa sehari-

hari yang umum. Penafsiran gramatikal

(tata bahasa) digunakan untuk

mengetahui makna ketentuan undang-

undang dengan menguraikannya menurut

bahasa, susun kata atau bunyinya.

Penafsiran gramatikal dilakukan dengan

mencari arti kata-kata dalam kamus atau

minta penjelasan-penjelasan dari para ahli

Bahasa. Dengan menggunakan penafsiran

gramatikal, maka untuk mengetahui arti

atau makna istilah “ahli waris” yang

digunakan oleh KUHAP dalam pembahasan

ini akan dilihat dari kamus bahasa dan

dibantu dengan kamus lainnya. Istilah “ahli

waris” merupakan gabungan dari 2 (dua)

unsur kata, yaitu “ahli” dan “waris.”

Di dalam Kamus Bahasa Indonesia,

kata “ahli” berarti mahir, pandai sekali,

paham sekali tentang suatu disiplin negara,

orang yang mempunyai ilmu khusus.

Kemudian kata “waris” berarti orang yang

berhak menerima harta dari orang yang

telah meninggal dunia. Menurut Kamus

Ilmiah Populer, waris berarti: 1) orang yang

berhak menerima harta benda pusaka orang

yang telah meninggal; 2) warisan, harta

peninggalan, asli waris yang sesungguhnya

seperti anak, dsb; karib waris yang dekat

kepada anak cucu dsb; sah penerima waris

berdasarkan hukum (agama, adat).

Selanjutnya di dalam Kamus Hukum,

yang dimaksud dengan ahli waris adalah

orang-orang yang berhak menerima harta

warisan (harta pusaka). Adapun yang

dimaksud dengan harta pusaka adalah harta

benda peninggalan baik benda bergerak

maupun benda tetap; harta warisan. Sesuai

dengan penjelasan dalam Kamus Bahasa

Indonesia, Kamus Ilmiah Populer, dan

Kamus Hukum di atas, maka secara

gramatikal istilah “ahli waris” memiliki arti

atau makna sebagai orang yang berhak

menerima harta benda atau harta pusaka

milik orang yang telah meninggal dunia.

Orang yang meninggal dunia yang

meninggalkan harta benda lazimnya

jugadisebut sebagai “pewaris.” Dengan

demikian dapat dikatakan bahwa secara

gramatikal seseorang baru dapat

dikategorikan sebagai ahli waris apabila

termasuk ke dalam orangorang yang

berhak menerima harta warisan atau harta

pusaka milik orang yang telah meninggal

dunia. Oleh karena itu, seseorang tidak

dapat dikategorikan sebagai ahli waris

apabila bukan termasuk orang yang

berhak menerima harta warisan dan

pemilik harta warisan masih hidup atau

belum meninggal.

STATUS ISTRI PADA PUTUSAN MA

NO. 97/PK/PID.SUS/2012 DITINJAU

DARI PASAL 263 AYAT 1 KUHAP

Disposisi Kasus

Berikut ini adalah uraian mengenai

posisi kasus Terdakwa Sudjiono Timan

yang menjadi obyek pengajuan

permohonan Peninjauan Kembali oleh

Istri terdakwa kepada Mahkamah Agung

Republik Indonesia. Uraian ini diolah

dari Dakwaan Jaksa Penuntut Umum,

Tuntutan Jaksa Penuntut Umum, Putusan

Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor

: 1440/Pid.B/2001/PN.Jak.Sel, Putusan

Mahkamah Agung RI Tingkat Kasasi

Nomor : 434 K/PID/2003, Memori

Permohonan Peninjauan Kembali, dan

Putusan Peninjauan Kembali dengan

Nomor 97 PK/Pid.Sus/2012. Dengan

demikian, data dan fakta yang terurai

disini merupakan data dan fakta yang

terungkap di dalam persidangan

sebagaimana telah termuat di dalam

putusan Peninjauan Kembali tersebut.

Uraian selengkapnya mengenai posisi kasus

tersebut adalah sebagai berikut :

Perbuatan yang dilakukan Sudjiono

Timan bersama-sama dengan Hadi Rusli,

Hario Suprobo, Witjaksono Abadiman dan

bersama-sama pula dengan Agus Anwar

dalam pengaliran dana kepada Kredit Asia

Finance Limited dianggap sebagai

perbuatan melawan hukum yang telah

mengakibatkan kerugian Negara sebesar

USD 73,841,119.70 (tujuh puluh tiga juta

delapan ratus empat puluh satu ribu seratus

sembilan belas Dollar Amerika Serikat dan

tujuh puluh sen) dan Rp.116.391.349.560,-

(seratus enam belas miliar tiga ratus

sembilan puluh satu juta tiga ratus empat

puluh sembilan ribu lima ratus enam puluh

rupiah), dengan perincian :

1. Sehubungan dengan Transaksi

pengaliran dana dari PT. BPUI

menggunakan cara penempatan dana pada

Promissory Notes Kedit Asia Finance

Limited (KAFL) menyebabkan kerugian

Negara sebesar USD 46,027,052.39 (empat

puluh enam juta dua puluh tujuh ribu lima

puluh dua Dollar Amerika Serikat dan tiga

puluh sembilan sen) dan

Rp.116.391.349.560,- (seratus enam belas

miliar tiga ratus sembilan puluh satu juta

tiga ratus empat puluh sembilan ribu lima

ratus enam puluh rupiah).

2. Sehubungan dengan Transaksi

pengaliran dana dari PT. BPUI

menggunakan perusahaan KAFL untuk

mengalirkan dana kepada PT. Primawira

Insan Persada menimbulkan kerugian

Negara sekurang-kurangnya sebesar USD

27,814,199.70 (dua puluh tujuh juta

delapan ratus empat belas juta seratus

sembilan puluh sembilan Dollar Amerika

Serikat dan tujuh puluh sen). Pada

tanggal 20 November 1995 sampai

dengan 30 Mei 1996.

Bahwa akibat perbuatan Sudjiono

Timan bersama-sama dengan Hadi Rusli,

Hario Suprobo, Witjaksono Abadiman

dan bersama-sama pula dengan Prajogo

Pangestu, aliran dana kepada Festival

Company Inc. tersebut dianggap telah

menimbulkan kerugian dan kesulitan bagi

PT. BPUI, antara lain adalah :

1. Dalam kaitannya dengan pengaliran

dana kepada Festival Company Inc.

secara dua tahap (two-step) melalui

KAFL senilai US$ 30,250,005.

a. Bukti tagihan yang dimiliki Bahana

atas KAFL hanya Promissory Notes,

sehingga ketentuan-ketentuan yang

mengatur hak dan kewajiban para pihak

tidak diatur terperinci.

b. KAFL merupakan badan hukum

asing apabila KAFL tidak dapat

membayar hutang kepada Bahana dan

Bahana akan melakukan penuntutan

sesuai prosedur hukum, akan mendapat

kesulitan.

2. Dalam kaitannya dengan

Pemberian Fasilitas Pinjaman

Penjembatanan kepada Festival Co.

sebesar USD 37,000,000.00.

a. Dokumen pendukung yang ada di

BPUI sangat terbatas sehingga sulit untuk

mengetahui pihak yang berwenang untuk

mewakili Festival Co.

b. Berdasarkan Penjanjian Kredit dan

Perjanjian Gadai Saham, saham yang

dijaminkan kepada Bahana adalah saham

APC Group milik Festival Co, tetapi

sertifikat saham yang diserahkan kepada

Bahana adalah saham APC Group milik

Festival Equities.

c. Dokumen pendukung Festival

Equities tidak dimiliki Bahana.

Bahwa akibat perbuatan Sudjiono

Timan bersama-sama dengan Hadi Rusli,

Hario Suprobo, Witjaksono Abadiman, dan

bersama-sama pula dengan Prajogo

Pangestu dalam pengaliran dana kepada

Festival Company Inc. dianggap sebagai

perbuatan melawan hukum yang telah

mengakibatkan kerugian Negara sebesar

USD 79,914,265.15 (tujuh puluh sembilan

juta sembilan ratus empat belas ribu dua

ratus enam puluh lima dan lima belas sen

Dollar Amerika Serikat), dengan perincian :

a. Sehubungan dengan pengaliran dana

pada Festival Company Inc. melalui Kredit

Asia Finance Limited menimbulkan

kerugian Negara sebesar USD

34,509,505.06. (tiga puluh empat juta lima

ratus sembilan ribu lima ratus lima dan

enam sen Dollar Amerika Serikat).

b. Sehubungan dengan Pemberian

Fasilitas Pinjaman Penjembatanan kepada

Festival Co. sebesar USD 37,000,000.00

menimbulkan kerugian Negara sekurang-

kurangnya sebesar USD 45,404,760.09.

(empat puluh lima juta empat ratus empat

ribu tujuh ratus enam puluh dan Sembilan

sen Dollar Amerika Serikat).

Perbuatan Sudjiono Timan yang

dianggap dilakukan secara melawan

hukum dimana dalam pengaliran dana

dianggap telah memperkaya Penta

Investment Limited dan atau Jubilee

Venture Capital dan atau Roberto V.

Ongpin serta dianggap mengakibatkan

kerugian Negara sebesar USD

25,187,417.08. (dua puluh lima juta

seratus delapan puluh tujuh ribu empat

ratus tujuh belas dan delapan sen Dollar

Amerika Serikat) atau setidak-tidaknya

USD 19,025,502.00 (sembilan belas juta

dua puluh lima ribu lima ratus dua Dollar

Amerika Serikat).

Selanjutnya, pada tanggal 15

Desember 1997, PT. BPUI melalui

suratnya No.059/HR/BPUI/1997,

ditujukan kepada Menteri Keuangan u.p.

Direktur Jendral Lembaga Keuangan

(DJLK) yang ditandatangani oleh Hadi

Rusli (Direktur PT. BPUI),

mengajukan permohonan untuk

memperoleh fasilitas pendanaan

subordinasi dari Rekening Dana Investasi

(RDI) dengan maksud dan tujuan untuk

digunakan dalam program stabilisasi

pasar modal dan uang oleh PT. BPUI,

yaitu sebesar Rp.250.000.000.000,- (dua

ratus lima puluh miliar), dengan jangka

waktu 3 (tiga) tahun dan tingkat bunga

tahun pertama sebesar 20% sedangkan

tingkat bunga tahun kedua dan tahun ketiga

disesuaikan dengan kondisi pasar.

Pengembalian pinjaman, pokok dan bunga

sekaligus pada akhir tahun ketiga. Terhadap

surat tersebut, Direktur Jendral Lembaga

Keuangan (Sdr. Bambang Subianto),

membuat Nota Dinas No.ND-667/LK/97,

tertanggal 15 Desember 1997 kepada

Menteri Keuangan (Sdr. Mar’ie

Muhammad) yang isinya mendukung

permohonan dan untuk meminta

persetujuan terhadap permohonan dari PT.

BPUI tersebut.

Sudjiono Timan dianggap telah

mengelola dana tersebut secara melawan

hukum, dalam hal ini Timan tidak

mengelola dana tersebut sebagaimana

persyaratan yang ditentukan oleh

Pemerintah cq. Departemen Keuangan R.I.

dan telah menggunakan dana tersebut

menyimpang dari maksud dan tujuan

pemberian fasilitas dana sebagaimana

ditetapkan oleh Menteri Keuangan, dalam

hal ini :

1. Sudjiono Timan tidak menempatkan

pada rekening khusus sebagaimana

ditentukan oleh Menteri Keuangan,

sehingga penggunaan dananya tidak bisa

diawasi oleh Menteri Keuangan.

2. Dana tersebut tidak digunakan untuk

stabilisasi pasar modal dan uang melainkan

digunakan untuk :

a. Membayar hutang MTN I, di mana

Sudjiono Timan dan Direktur Keuangan

PT. BPUI : Hadi Rusli mengatur

pelaksanaan transfer dana fasilitas RDI

pada tanggal 22 Desember 1997 ke

BNI sebesar Rp.190,5 miliar, yang

digabungkan dengan dana dari Bank

Tiara sebesar Rp.23 miliar dan dari Bank

Niaga sebesar Rp.3 miliar, antara lain

digunakan membeli dollar sebesar

Rp.106,5 miliar atau setara USD 20 juta

untuk membayar hutang PT. BPUI

tersebut, dan sisanya sebesar Rp.110

miliar di simpan dalam bentuk Time

Deposit yang keesokan harinya dicairkan

dan ditransfer lagi ke BRI Kantor cabang

khusus.

b. Investasi di PUAB (Pasar Uang

Antar Bank), di mana Sudjiono Timan

dan Direktur Keuangan PT. BPUI : Hadi

Rusli mengatur pelaksanaan transfer dana

fasilitas RDI pada tanggal 22 Desember

1997 sebesar Rp.31,15 miliar ke rekening

PT. BPUI di Bank Niaga, untuk

selanjutnya dana tersebut di transfer ke

socgen sebesar Rp.5 miliar dan Standard

Chartered Bank sebesar Rp.26,5 miliar.

c. Investasi di PUAB (Pasar Uang

Antar Bank) serta operasional PT.

Bahana Sekuritas, di mana Sudjiono

Timan dan Hadi Rusli mengatur

pelaksanaan :

- Transfer dana fasilitas RDI pada

tanggal 24 Desember 1997 ke rekening

PT. BPUI di Bank Niaga sebesar Rp.30

miliar.

- Pencairan Time deposit sebesar

Rp.20 miliar.

Untuk selanjutnya dana tersebut sebesar

Rp.30 miliar ditransfer ke Bank BII untuk

investasi PUAB (Pasar Uang Antar Bank)

dan Rp.20 miliar ditransfer ke Bahana

Sekuritas.

d. Deposit pada Bank PDFCI sebesar

Rp.15 miliar, di mana Sudjiono Timan dan

Hadi Rusli mengatur pelaksanaan transfer

dana fasilitas RDI pada tanggal 30

Desember 1997 ke rekening PT. BPUI di

Bank Niaga sebesar Rp.10 miliar,

sedangkan yang Rp.5 miliar berasal dari

dana PT. BPUI di Bank lain.

e. Deposit pada Bank PDFCI, Bank

Tiara dan Bank Umum Nasional, di mana

Sudjiono Timan dan Hadi Rusli mengatur

pelaksanaan transfer dana fasilitas RDI

pada tanggal 7 Januari 1998 ke rekening

PT. BPUI di Bank Niaga sebesar Rp.145

miliar, selanjutnya dana tersebut

ditempatkan/didepositokan pada Bank

PDFCI sebesar Rp.115 miliar, pada Bank

Tiara sebesar Rp.15 miliar, dan pada Bank

Umum Nasional Cabang Rasuna Said

sebesar Rp.10 miliar.

Melalui perbuatan yang dianggap

melawan hukum tersebut, Sudjiono Timan

telah memperkaya diri sendiri atau orang

lain atau suatu badan dalam hal ini PT.

Bahana Pembinaan Usaha Indonesia atau

PT. Bahana Sekuritas atau dan atau PT.

Bahana Artha Ventura, dan atau Bank

PDFCI, dan atau Socgen, dan atau Standard

Chartered Bank (SCB) dan atau Bank

Internasional Indonesia (BII) dan atau Bank

Tiara dan atau Bank Umum Nasional

(BUN) karena :

a. Pada tanggal 22 Desember 1997,

Sudjiono Timan bersama-sama Hadi

Rusli menyetujui dua kali transfer dana

RDI ke rekening PT. BPUI di BNI 46

No.070780115264901 sebesar Rp.170,5

miliar dan sebesar Rp.20 miliar,

kemudian dana tersebut digunakan untuk

membayar hutang MTN I sebesar

Rp.106,5 miliar, sisanya didepositokan

dan dicairkan serta ditransfer kembali

tanggal 23 Desember 1997 ke BRI KC

Khusus.

b. Pada tanggal 22 Desember 1997,

Sudjiono Timan bersama-sama Hadi

Rusli menyetujui transfer dana RDI ke

rekening PT. BPUI di Bank Niaga,

No.64-1-0078-9 sebesar Rp.31,15 miliar,

untuk kemudian pada hari yang sama

ditransfer ke Socgen Rp.5 miliar dan

SCB sebesar Rp.26,5 miliar.

c. Pada tanggal 24 Desember 1997,

Sudjiono Timan bersama-sama Hadi

Rusli menyetujui transfer dana RDI ke

rekening PT. BPUI di Bank Niaga No.64-

1-0078-9, sebesar Rp.30 miliar.

Selanjutnya setelah bercampur dengan

dana dari pencairan Time deposit sebesar

Rp.20 miliar, kemudian ditransfer ke BII

sebesar : Rp.30 miliar dengan keterangan

PUAB dan ditransfer ke PT. Bahana

Sekuritas sebesar Rp.20 miliar.

d. Pada tanggal 30 Desember 1997,

Sudjiono Timan bersama- sama Hadi

Rusli menyetujui transfer dana RDI ke

rekening PT. BPUI di Bank Niaga,

No.64-1-0078-9 sebesar Rp.10 miliar,

kemudian setelah bercampur dengan dana

dari Bank lain sebesar Rp.17,5 miliar,

kemudian didepositokan ke Bank PDFCI

sebesar Rp.15 miliar.

e. Pada tanggal 7 Januari 1998,

Sudjiono Timan bersama-sama Hadi Rusli

menyetujui transfer dana RDI ke rekening

PT. BPUI di Bank Niaga No.64-1-0078-9

sebesar Rp.145 miliar, selanjutnya

ditempatkan/ didepositokan di Bank PDFCI

sebesar Rp.115 miliar, Bank Tiara Rp. 15

miliar dan BUN Rp.10 miliar.

Perbuatan Sudjiono Timan yang

dianggap dilakukan secara melawan hukum

sebagaimana telah diuraikan di atas,

dianggap telah memperkaya PT. (Persero)

Bahana Pembinaan Usaha Indonesia dan

atau PT. Bahana Sekuritas, dan atau pihak-

pihak lain sebagaimana tersebut di atas

yang menerima aliran dana dari PT. BPUI

menggunakan dana pinjaman RDI tersebut

di atas.

Dari perbuatan Sudjiono Timan yang

dilakukan sebagaimana diuraikan di atas

dianggap telah mengakibatkan kerugian

keuangan Negara dalam hal ini Departemen

Keuangan yaitu sebesar Rp.

253.055.555.555,56 (dua ratus lima

puluh tiga miliar lima puluh lima juta

lima ratus lima puluh lima ribu lima ratus

lima puluh lima rupiah lima puluh enam

sen).

Oleh karena Sudjiono Timan

dianggap telah melakukan perbuatan

melawan hukum, yaitu dalam penyaluran

dana kepada Kredit Asia Finance Limited,

Festival Company Inc. dan Penta

Investment Limited, serta penggunaan

fasilitas Rekening Dana lnvestasi (RDI),

dan perbuatan tersebut dianggap telah

memperkaya pihak-pihak sebagaimana

yang diuraikan tersebut di atas, serta

dianggap mengakibatkan kerugian

keuangan Negara sebesar USD 178,942,

801.93 (seratus tujuh puluh delapan juta

sembilan ratus empat puluh dua ribu

delapan ratus satu Dollar Amerika Serikat

dan sembilan puluh tiga sen) dan

Rp.369.446.905.115,56 (tiga ratus enam

puluh sembilan miliar empat ratus empat

puluh enam juta sembilan ratus lima ribu

seratus lima belas rupiah dan lima puluh

enam sen), maka Sudjiono Timan

didakwa dengan dakwaan :

1. Primair, telah melakukan tindak

pidana korupsi melanggar Pasal 1 Ayat

(1) sub a jo Pasal 28 jo Pasal 34 c

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 jo

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999

jo Pasal 1 Ayat (2) KUHP jo Pasal 55

Ayat (1) ke-1 jo Pasal 65 Ayat (1)

KUHP.

2. Subsidair, telah melakukan tindak

pidana korupsi melanggar Pasal 1 Ayat

(1) sub b jo Pasal 28 jo Pasal 34 c

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971

jo Undang-Undang Nomor 31 Tahun1

999 jo Pasal 1 Ayat (2) KUHP jo Pasal

55 Ayat (1) ke-1 jo Pasal 65 Ayat (1)

KUHP.

Di Pengadilan Negeri Jakarta

Selatan, terdakwa Sudjiono Timan

diputus bebas. Terhadap putusan itu

kemudian Jaksa Penuntut Umum

mengajukan Kasasi. Oleh Majelis Hakim

kasasi, terdakwa Sudjiono Timan diputus

bersalah dan dijatuhi hukuman 15 (lima

belas) tahun beserta denda Rp 50 juta dan

membayar uang pengganti sebesar Rp 369

miliar.

Terhadap putusan kasasi tersebut

setelah mempunyai kekuatan hukum tetap,

Isteri dari Sudjiono Timan mengajukan

permohonan Peninjauan Kembali. Majelis

Hakim Peninjauan Kembali memutus

bahwa Isteri Sudjiono Timan adalah sah

sebagai pemohon Peninjauan Kembali

berdasarkan kedudukannya sebagai ahli

waris dari terpidana Sudjiono Timan.

Kedudukan Istri Sebagai Ahli Waris

dalam Sistem Pewarisan

1. Menurut Hukum Adat

Menurut hukum adat di Indonesia dikenal

adanya 3 (tiga) sistem kekeluargaan dan

waris adat, yaitu :

a) Sistem Patrilineal.

b) Sistem Matrilineal.

c) Sistem Parental atau Bilateral.

Sistem patrilineal adalah sistem

kekeluargaan yang menarik garis keturunan

nenek moyang pihak laki-laki. Di dalam

sistem ini kedudukan dan pengaruh pihak

laki-laki sangat menonjol, dimana yang

menjadi ahli waris adalah anak laki-laki.

Sistem matrilineal adalah sistem

kekeluargaan yang menarik garis keturunan

nenek moyang pihak perempuan. Di dalam

sistem kekeluargaan ini pihak laki-laki

tidak menjadi pewaris untuk anak-anaknya.

Anak-anak menjadi ahli waris dari garis

perempuan atau garis ibu karena anak-

anak mereka merupakan bagian dari

keluarga ibunya, sedangkan ayahnya

masih merupakan anggota keluarganya

sendiri.

Sistem parental atau bilateral

adalah sistem kekeluargaan yang menarik

garis keturunan dari dua sisi, baik dari

pihak ayah maupun dari pihak ibu. Di

dalam sistem ini kedudukan anak laki-

laki dan perempuan dalam hukum waris

sama dan sejajar.

Selain anak-anak yang menjadi ahli

waris kedudukan Isteri sebagai ahli waris

sangat ditentukan oleh sistem

kekeluargaan yang dianutnya. Dalam

masyarakat adat yang menganut sistem

kekeluargaan parental, janda tidak dapat

dianggap sebagai ahli waris almarhum

suaminya, akan tetapi ia berhak

menerima penghasilan dari harta

peninggalan si suami jika ternyata bahwa

harta gono-gini tidak mencukupi. Janda

berhak untuk terus hidup seperti

keadaannya pada waktu perkawinan.

Pertimbangan Hakim dalam Putusan

No.97/PK/PID.SUS/2012 Berkaitan

dengan Kedudukan Istri Tepidana

sebagai Ahli Waris

Majelis Hakim yang memeriksa

perkara Peninjauan Kembali sebagaimana

putusan Nomor 97/PK/Pid.Sus/2012

berpendapat bahwa pemohon Peninjauan

Kembali adalah Isteri Terpidana Sudjiono

Timan yang dalam kedudukannya sebagai

Ahli Waris berhak mengajukan

permohonan Peninjauan Kembali. Pendapat

Majelis Hakim ini didasarkan pada

pertimbangan-pertimbangan sebagai

berikut:

Pertama, dalam Pasal 263 Ayat (1)

KUHAP ditentukan pihak- pihak yang

berhak mengajukan Peninjauan Kembali

terhadap putusan pengadilan yang telah

memperoleh kekuatan hukum tetap, yang

bukan putusan bebas atau lepas dari segala

tuntutan hukum, adalah Terpidana atau Ahli

Warisnya.

Kedua, Pemohon Peninjauan Kembali

adalah Isteri sah dari Terpidana Sudjiono

Timan yang hingga saat diajukannya

permohonan tidak pernah melakukan

perceraian.

Ketiga, KUHAP tidak memberikan

pengertian siapa yang dimaksud “Ahli

Waris” dalam Pasal 263 Ayat (1) tersebut.

Keempat, dalam sistem hukum yang

berlaku di Negara RI, selain anak yang sah

sebagai Ahli Waris dari orang tuanya, Isteri

juga merupakan Ahli Waris dari suaminya.

Kelima, makna istilah “Ahli Waris”

dalam Pasal 263 Ayat (1) KUHAP tersebut

dimaksudkan bukan dalam konteks

hubungan waris mewaris atas harta benda

Terpidana, melainkan istilah tersebut

ditujukan kepada orang-orang yang

mempunyai kedudukan hukum sebagai Ahli

Waris dari Terpidana berhak pula untuk

mengajukan Peninjauan Kembali.

Keenam, menurut M. Yahya Harahap

dalam bukunya “Pembahasan

Permasalahan dan Penerapan KUHAP”,

Edisi Kedua, 2012, halaman 617, antara

lain menyatakan bahwa hak Ahli Waris

untuk mengajukan Peninjauan Kembali

bukan merupakan “hak substitusi” yang

diperoleh setelah Terpidana meninggal

dunia. Hak tersebut adalah “hak orisinil”

yang diberikan undang-undang kepada

mereka demi untuk kepentingan

Terpidana.

Ketujuh, berdasarkan pendapat M.

Yahya Harahap tersebut, baik Terpidana

maupun Ahli Waris sama-sama

mempunyai hak mengajukan permohonan

Peninjauan Kembali tanpa

mempersoalkan apakah terpidana masih

hidup atau tidak, lagi pula undang-

undang tidak menentukan kedudukan

prioritas di antara Terpidana dengan Ahli

Waris.

Kedelapan, Isteri atau Ahli Waris

Terpidana selaku pemohon Peninjauan

Kembali yang didampingi oleh Kuasa

Hukumnya telah hadir di sidang

pemeriksaan Peninjauan Kembali pada

Pengadilan Negeri Jakarta Selatan sesuai

dengan Berita Acara Persidangan masing-

masing tanggal 20 Februari 2012 dan

tanggal 29 Februari 2012.

Terhadap pertimbangan dari

Majelis Hakim tersebut, Sri Murwahyuni,

S.H., M.H., salah satu anggota Majelis

Hakim berpendapat berbeda (dissenting

opinion) dengan menyatakan bahwa Isteri

dari Terpidana Sudjiono Timan tidak bisa

mengajukan permohonan Peninjauan

Kembali berdasarkan pertimbangan sebagai

berikut :

- Bahwa permohonan Peninjauan

Kembali diajukan oleh Isteri terpidana.

- Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal

263 Ayat (1) KUHAP, yang dapat

mengajukan permohonan Peninjauan

Kembali adalah Terpidana atau Ahli

Warisnya, artinya Ahli Waris dapat

mengajukan permohonan Peninjauan

Kembali apabila Terpidana sudah

meninggal dunia.

- Bahwa dalam perkara a quo, tidak ada

keterangan yang menyatakan terpidana

sudah meninggal dunia, karena terpidana

tidak meninggal dunia tetapi melarikan diri

untuk menghindari kewajibannya

melaksanakan putusan Mahkamah Agung

Republik Indonesia Nomor 434

K/PID/2003 yang telah menjatuhkan pidana

penjara selama 15 (lima belas) tahun karena

terbukti melakukan korupsi, sehingga

barang bukti dirampas untuk Negara.

- Bahwa adalah ironis apabila Ahli

Waris terpidana menuntut haknya,

sementara kewajiban terpidana

melaksanakan putusan Mahkamah Agung

tidak dipenuhi atau dilaksanakan.

Berdasarkan uraian di atas, pertimbangan

dan pendapat Majelis Hakim mengenai

kedudukan ahli waris dari Isteri Terpidana

Sudjiono Timan belumlah sama, karena

terdapat perbedaan pendapat (dissenting

opinion) dari salah seorang anggota Majelis

Hakim.

Analisis Dasar Pertimbangan Hakim

Secara teoritis, beberapa pertimbangan

Majelis Hakim Peninjauan Kembali

sebagaimana yang termuat dalam Putusan

Nomor 97/PK/Pid.Sus/2012 dapat

diklasifikasikan ke beberapa aspek, yaitu

aspek filosofis, aspek sosiologis, aspek

yuridis, dan aspek teoritik.

Menurut pendapat penulis Majelis

Hakim Peninjauan Kembali tidak memuat

pertimbangan dari aspek filosofis dan

aspek sosiologis, tetapi lebih

mempertimbangkan aspek yuridis dan

aspek teoritik. Dari 8 (delapan)

pertimbang an Majelis Hakim Peninjauan

Kembali yang termuat di dalam putusan

tersebut, pertimbangan dari aspek yuridis

lebih dominan daripada aspek teoritik.

Hal ini dapat dilihat dari beberapa

pertimbangannya yang menunjukkan

bahwa terdapat 6 (enam) pertimbangan

yang merupakan aspek yuridis dan 2

(dua) pertimbangan yang merupakan

aspek teoritik. Klasifikasi pertimbangan

Hakim tersebut akan penulis uraikan

lebih lanjut dalam bagian analisis di

bawah ini.

Syarat formil pengajuan

permohonan Peninjauan Kembali diatur

dalam Pasal 263 Ayat (1) KUHAP yaitu :

“Terhadap putusan pengadilan yang telah

memperoleh kekuatan hukum tetap,

kecuali putusan bebas atau lepas dari

segala tuntutan hukum, terpidana atau

ahli warisnya dapat mengajukan

permintaan peninjauan kembali kepada

Mahkamah Agung.”

Salah satu syarat formil yang

berkaitan adalah mengenai ahli waris

sebagai pihak yang mengajukan

permohonan Peninjauan Kembali. Menurut

M. Yahya Harahap, hak yang dimiliki oleh

ahli waris tersebut merupakan hak orisinil

bukan hak substitusi. Yang dimaksud “hak

orisinil” adalah hak yang diberikan oleh

undang- undang kepada mereka demi untuk

kepentingan terpidana. Sedangkan, yang

dimaksud dengan “hak substitusi” adalah

hak yang diperoleh setelah terpidana

meninggal dunia.

Dengan demikian, apabila dikatakan

bahwa hak untuk mengajukan permohonan

Peninjauan Kembali dari ahli waris adalah

hak orisinil, sehingga hak tersebut adalah

hak yang didapatkan ahli waris walaupun

terpidana masih hidup dan bukanlah hak

substitusi yang diperoleh ahli waris setelah

meninggal dunia.

Persoalannya disini adalah kapan

seseorang dapat dikatakan sebagai ahli

waris. Penjelasan mengenai kapan

seseorang dapat dikatakan sebagai ahli

waris tidak pernah diketemukan di dalam

KUHAP. Bahwa KUHAP hanya

menyatakan : ”Yang dapat mengajukan

permohonan Peninjauan Kembali adalah

terpidana atau ahli warisnya”, sehingga

tidak dapat diketahui apa dan siapa ahli

waris yang dimaksud. Untuk mengetahui

jawaban kapan seseorang bisa disebut

sebagai ahli waris kiranya dapat merujuk

sistem pewarisan menurut Hukum Perdata

(KUHPerdata), Hukum Adat, dan Hukum

Islam yang berlaku saat ini di Indonesia.

Sistem pewarisan yang diatur di

dalam KUHPerdata mengatur pewarisan

apabila pewaris meninggal dunia. Hal itu

berarti kedudukan seseorang menjadi ahli

waris terjadi pada saat pewaris meninggal

dunia. Dengan demikian dalam perkara a

quo, Isteri terpidana Sudjiono Timan

yang telah mengajukan permohonan

Peninjauan Kembali kepada Mahkamah

Agung RI sebenarnya tidak dalam

kedudukannya sebagai ahli waris karena

Sudjiono Timan belum meninggal atau

setidak-tidaknya tidak ada penetapan dari

pengadilan yang menyatakan bahwa

Sudjiono Timan telah meninggal dunia.

Hal ini juga dapat diketemukan di dalam

buku “Perumusan Memori Kasasi dan

Peninjauan Kembali Perkara Pidana”,

yang menyatakan : Jika yang mengajukan

Peninjauan Kembali adalah ahli waris,

maka harus dapat membuktikan bahwa

yang mengajukan tersebut adalah ahli

waris terpidana. Sebaliknya hal ini

dibuktikan dengan penetapan Pengadilan

Negeri. Sebelum mengajukan Peninjauan

Kembali, ahli waris terlebih dahulu

mengajukan permohonan kepada Ketua

Pengadilan Negeri setempat untuk

memperoleh penetapan Pengadilan

Negeri.

Oleh karena, permohonan

Peninjauan Kembali telah diajukan oleh

Isteri terpidana Sudjiono Timan tidak

dalam kedudukannya sebagai ahli waris,

maka permohonan Peninjauan Kembali

tersebut tidak memenuhi syarat formil

sebagaimana diatur dalam Pasal 263 Ayat

(1) KUHAP.

Selanjutnya, jika dilihat dalam sistem

pewarisan menurut hukum adat di

Indonesia dikenal ada 3 (tiga) sistem

kekeluargaan dan waris adat, yaitu :

a. Sistem Patrilineal

b. Sistem Matrilineal

c. Sistem Parental atau Bilateral

Sistem Patrilineal adalah sistem

kekeluargaan yang menarik garis keturunan

nenek moyang pihak laki-laki. Di dalam

sistem ini kedudukan dan pengaruh pihak

laki-laki sangat menonjol, dimana yang

menjadi ahli waris adalah anak laki-laki.

Sistem Matrilineal adalah sistem

kekeluargaan yang menarik garis keturunan

nenek moyang pihak perempuan. Di dalam

sistem kekeluargaan ini pihak laki-laki

tidak menjadi pewaris untuk anak- anaknya.

Anak-anak menjadi ahli waris dari garis

perempuan atau garis ibu karena anak-anak

mereka merupakan bagian dari keluarga

ibunya, sedangkan ayahnya masih

merupakan anggota keluarganya sendiri.

Sistem Parental atau Bilateral adalah sistem

kekeluargaan yang menarik garis

keturunan dari dua sisi, baik dari pihak ayah

maupun dari pihak ibu. Di dalam sistem ini

kedudukan anak laki-laki dan perempuan

dalam hukum waris sama dan sejajar.

Dalam hukum adat di Indonesia,

Isteri dapat dikatakan sebagai ahli waris

ditemukan dalam putusan Mahkamah

Agung RI tanggal 2 Nopember 1960 Reg

Nomor 302 K/SIP/1960 yang

memutuskan sebagai berikut :

Hukum Adat di seluruh Indonesia perihal

warisan mengenai seorang janda

perempuan dapat dirumuskan sedemikian

rupa bahwa seorang janda perempuan

selalu merupakan ahli waris terhadap

barang asal suaminya dalam arti bahwa

sekurang-kurangnya dari barang asal itu

sebagian harus tetap berada ditangan

janda sepanjang perlu untuk hidup secara

pantas samapai ia meninggal dunia atau

kawin lagi, sedang dibeberapa daerah di

Indonesia disamping penentuan ini

mungkin dalam hal barang-barang

warisan adalah berupa amat banyak

kekayaan maka si janda perempuan

berhak atas sebagian dari barang-barang

warisan seperti seorang anak kandung

dari sipeninggal warisan.

Dalam perkara a quo, Isteri

terpidana Sudjiono Timan telah

mengajukan permohonan Peninjauan

Kembali kepada Mahkamah Agung RI.

Bila dilihat dalam sistem pewarisan

menurut hukum adat, Isteri Sudjiono

Timan tidak dapat dikatakan menjadi ahli

waris dikarenakan Isteri akan

berkedudukan sebagai ahli waris dari

suaminya pada saat suami meninggal

dunia, sehingga status Isteri akan menjadi

janda. Oleh karena itu, permohonan

Peninjauan Kembali yang diajukan oleh

Isteri terpidana Sudjiono Timan tidak

bisa dikatakan dapat memenuhi syarat

formil sebagaimana diatur dalam Pasal

263 Ayat (1) KUHAP.

Adapun, di dalam sistem pewarisan hukum

Islam terdapat kriteria pewarisan menurut

Al-Qur’an, yaitu sebagai berikut :

1. Anak-anak si pewaris bersama-sama

dengan orang tua si pewaris serentak

sebagai ahli waris. Sedangkan dalam sistem

hukum waris di luar Al-Qur’an hal itu tidak

mungkin sebab orang tua baru mungkin

menjadi ahli waris jika pewaris meninggal

dunia.

2. Jika pewaris meninggal dunia tanpa

mempunyai keturunan, maka ada

kemungkinan saudara-saudara pewaris

bertindak bersama-sama sebagai ahli waris

dengan orang tuanya, setidak- tidaknya

dengan ibunya. Prinsip tersebut mempunyai

maksud, jika orang tua pewaris, dapat

berkonkurensi dengan anak-anak pewaris,

apabila dengan saudara-saudaranya yang

sederajat lebih jauh dari anak-anaknya.

Menurut sistem hukum waris di luar Al-

Qur’an hal tersebut tidak mungkin sebab

saudara si pewaris tertutup haknya oleh

orang tuanya.

3. Bahwa suami-istri saling mewaris,

artinya pihak yang hidup paling lama

menjadi ahli waris dari pihak lainnya.

Peninjauan Kembali yang diajukan Isteri

terpidana Sudjiono Timan kepada

Mahkamah Agung RI dalam perkara a quo,

tidak memenuhi syarat formil perihal

pengajuan permohonan Peninjauan

Kembali. Dapat diperhatikan dalam sistem

pewarisan hukum Islam, kedudukan Istri

dapat menjadi ahli waris dari suaminya jika

pewaris (suami) meninggal dunia dimana

hal ini ditegaskan juga pada Inpres

Nomor 1 Tahun 1991 tentang Berlakunya

Kompilasi Hukum Islam, ditegaskan

mengenai pengertian Ahli Waris yang

termuat dalam Bab I Pasal 171 ialah

“Orang pada saat meninggal dunia

mempunyai hubungan darah atau

hubungan perkawinan dengan pewaris,

beragama Islam dan tidak terhalang

karena hukum untuk menjadi ahli

pewaris.”

Dalam putusan Peninjauan Kembali

Nomor 97 PK/Pid.Sus/2012., Majelis

Hakim Peninjauan Kembali, dalam

pertimbangannya, berpendapat bahwa

ahli waris sebagaimana diatur dalam

Pasal 263 Ayat (1) KUHAP dimaksudkan

bukan dalam konteks hubungan waris

mewaris atas harta benda terpidana,

melainkan istilah tersebut ditujukan

kepada orang-orang yang mempunyai

kedudukan hukum sebagai ahli waris dari

terpidana berhak pula untuk mengajukan

Peninjauan Kembali.

Dalam pertimbangannya Majelis

Hakim juga berpendapat bahwa pemohon

Peninjauan Kembali terhadap perkara a

quo adalah Istri sah dari terpidana

Sudjiono Timan yang hingga saat

diajukannya permohonan tidak pernah

melakukan perceraian (berdasarkan akte

perkawinan Nomor 542/1991 tanggal 28

Desember 1991). Berdasarkan

pertimbangan ini Majelis Hakim

berkesimpulan, dalam pertimbangannya,

bahwa dalam sistem hukum yang berlaku di

negara Republik Indonesia, selain anak

yang sah sebagai ahli waris dari orang

tuanya, Istri juga merupakan ahli waris dari

suaminya.

Menurut pendapat penulis,

pertimbangan Hakim yang menyatakan

bahwa pemohon Peninjauan Kembali ialah

Istri sah dari Sudjiono Timan adalah benar,

karena pemohon Peninjauan Kembali

adalah Istri dari terpidana Sudjiono Timan

dan belum pernah bercerai berdasarkan

Akte Perkawinan Nomor 542/1991 tanggal

28 Desember 1991. Sebaliknya,

pertimbangan Majelis Hakim menyatakan

bahwa pemohon Peninjauan Kembali ialah

ahli waris dari terpidana Sudjiono Timan

adalah tidak tepat, karena kedudukan ahli

waris secara hukum baik menurut Hukum

Perdata, Hukum Islam, dan Hukum Adat

baru timbul pada saat pewaris meninggal

dunia. Pada saat Istri dari terpidana

Sudjiono Timan mengajukan permohonan

Peninjauan Kembali kedudukannya adalah

sebagai Istri dan bukan ahli waris.

Penulis tidak sependapat dengan

pertimbangan Majelis Hakim yang

menyatakan bahwa ketentuan ahli waris

sebagaimana yang diatur dalam Pasal 263

Ayat (1) KUHAP dimaksudkan bukan

dalam konteks hubungan waris mewaris

atas harta benda terpidana, melainkan

ditujukan kepada orang-orang yang

mempunyai kedudukan hukum sebagai ahli

waris, karena Majelis Hakim dalam

pertimbangannya tidak menguraikan

rujukan atau acuan yang bisa menjadi

dasar dari pendapat tersebut.

Penafsiran “Ahli Waris” dikaitkan

pada putusan MA

No.97/PK/PID.SUS/2012

Berkaitan dengan kedudukan Istri

dari terpidana Sudjiono Timan dalam

perkara a quo, majelis Hakim yang

memutus Peninjauan Kembali memiliki

pendapat yang berbeda satu dengan

lainnya. Dalam putusannya Majelis

Hakim berpendapat bahwa pemohon

Peninjauan Kembali adalah Istri

Terpidana Sudjiono Timan yang dalam

kedudukannya sebagai ahli waris

berhak mengajukan permohonan

Peninjauan Kembali. Pendapat Majelis

Hakim ini didasarkan pertimbangan

sebagai berikut :

a. Bahwa dalam Pasal 263 Ayat (1)

KUHAP ditentukan pihak-pihak yang

berhak mengajukan Peninjauan kembali

terhadap putusan Pengadilan yang telah

memperoleh kekuatan hukum tetap, yang

bukan putusan bebas atau lepas dari

segala tuntutan hukum, adalah Terpidana

atau Ahli Warisnya.

Pertimbangan Majelis Hakim ini

merupakan pertimbangan dari aspek

yuridis, karena Majelis Hakim

menempatkan Pasal 263 Ayat (1)

KUHAP sebagai dasar untuk mengambil

putusan dalam perkara ini.

b. Bahwa Pemohon Peninjauan

kembali adalah Istri sah dari Terpidana

Sudjiono Timan yang hingga saat

diajukannya permohonan tidak pernah

melakukan perceraian (vide Akte

Perkawinan No.542/1991 tanggal 28

Desember 1991). Pertimbangan Majelis

Hakim ini merupakan pertimbangan dari

aspek yuridis, karena pemohon Peninjauan

Kembali yang merupakan Istri sah dari

terpidana Sudjiono Timan berdasarkan Akte

Perkawinan No. 542/1991 tanggal 28

Desember 1991.

c. Bahwa KUHAP tidak memberikan

pengertian siapa yang dimaksud “Ahli

Waris” dalam Pasal 263 Ayat (1) tersebut.

Pertimbangan Majelis Hakim ini

merupakan pertimbangan dari aspek

yuridis, karena Pasal 263 Ayat (1) KUHAP

yang tidak memberikan pengertian siapa

yang dimaksud dengan ahli waris telah

menempatkan Majelis Hakim dalam

keadaan yang bebas untuk menafsirkan

siapa ahli waris yang dapat mengajukan

permohonan Peninjauan Kembali.

d. Bahwa dalam sistem hukum yang

berlaku di Negara RI, selain anak yang sah

sebagai ahli waris dari orang tuanya, Istri

juga merupakan ahli waris dari suaminya.

Pertimbangan Majelis Hakim ini

merupakan pertimbangan dari aspek

yuridis, karena sistem pewarisan yang

berlaku di Indonesia menjadi acuan Hakim

untuk memberikan putusan sehingga

mengakui Istri dari terpidana Sudjiono

Timan adalah ahli warisnya.

e. Bahwa makna istilah “Ahli Waris”

dalam Pasal 263 Ayat (1) KUHAP tersebut

dimaksudkan bukan dalam konteks

hubungan waris mewaris atas harta benda

Terpidana, melainkan istilah tersebut

ditujukan kepada orang-orang yang

mempunyai kedudukan hukum sebagai

ahli waris dari terpidana berhak pula

untuk mengajukan Peninjauan Kembali.

Pertimbangan Majelis Hakim ini

merupakan pertimbangan dari aspek

yuridis. Dalam pertimbangan ini Majelis

Hakim tetap mengacu pada ketentuan

Pasal 263 Ayat (1) KUHAP yang tidak

menjelaskan mengenai siapa ahli waris.

Oleh karena itu, dalam kebebasannya

Majelis Hakim berpendapat bahwa ahli

waris bukan dalam konteks hubungan

waris mewaris terhadap harta benda

terpidana, melainkan ditujukan kepada

orang-orang yang mempunyai

kedudukan hukum sebagai ahli waris dari

terpidana berhak pula untuk mengajukan

Peninjauan Kembali.

f. Bahwa menurut M. Yahya

Harahap, SH. dalam bukunya

“Pembahasan Permasalahan dan

Penerapan KUHAP”, Edisi Kedua, 2012,

halaman 617, antara lain menyatakan

bahwa hak Ahli Waris untuk mengajukan

Peninjauan kembali bukan merupakan

“hak substitusi” yang diperoleh setelah

Terpidana meninggal dunia. Hak tersebut

adalah “hak orisinil” yang diberikan

undang-undang kepada mereka demi

untuk kepentingan terpidana.

Pertimbangan Majelis Hakim ini

merupakan pertimbangan dari aspek

teoritik, karena Majelis Hakim

menggunakan pendapatnya M. Yahya

Harahap sebagai acuan untuk menjadi dasar

adanya putusan perkara ini.

Meskipun pertimbangan ini menjadi

dasar putusan Peninjauan Kembali karena

disetujui oleh sebagaian besar anggota

Majelis Hakim, dalam musyawarah Majelis

Hakim Agung terdapat perbedaan pendapat

(dissenting opinion) dari anggota majelis

yang memeriksa dan memutus perkara ini,

yaitu Sri Murwahyuni, S.H., M.H yang

berpendapat :

- Bahwa permohonan Peninjauan

Kembali diajukan oleh Istri terpidana.

- Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal

263 Ayat (1) KUHAP, yang dapat

mengajukan permohonan Peninjauan

Kembali adalah Terpidana atau Ahli

Warisnya, artinya Ahli Waris dapat

mengajukan permohonan Peninjauan

Kembali apabila Terpidana sudah

meninggal dunia.

- Bahwa dalam perkara a quo tidak ada

keterangan yang menyatakan terpidana

sudah meninggal dunia, karena terpidana

tidak meninggal dunia tetapi melarikan diri

untuk menghindari kewajibannya

melaksanakan putusan Mahkamah Agung

RI Nomor 434 K/PID/2003 yang telah

menjatuhkan pidana penjara selama 15

(lima belas) tahun karena terbukti

melakukan korupsi, sehingga barang bukti

dirampas untuk Negara.

- Bahwa adalah ironis apabila Ahli

Waris terpidana menuntut haknya,

sementara kewajiban terpidana

melaksanakan putusan Mahkamah Agung

tidak dipenuhi atau dilaksanakan.

Terhadap perbedaan pendapat

tersebut dalam pertimbangan Majelis

Hakim, penulis berpendapat bahwa

kiranya pendapat Sri Murwahyuni, S.H.,

M.H lebih tepat karena Istri dari terpidana

Sudjiono Timan, saat mengajukan

permohonan Peninjauan Kembali belum

berkedudukan sebagai Ahli Waris. Saat

permohonan Peninjauan Kembali

diajukan oleh Istri terpidana Sudjiono

Timan, terpidana belum meninggal dunia

atau setidak-tidaknya belum ada

penetapan pengadilan yang menyatakan

Sudjiono Timan meninggal dunia.

Kedudukan Istri sebagai ahli waris

dari terpidana Sudjiono Timan akan

muncul pada saat Sudjiono Timan telah

meninggal dunia atau terdapat penetapan

pengadilan yang menyatakan bahwa

Sudjiono Timan telah meninggal dunia.

Hal ini sejalan dengan putusan

Mahkamah Agung RI tanggal 20 April

1960 Reg Nomor 110 K/SIP/1960

kedudukan janda diakui sebagai ahli

waris dari almarhum suaminya

sebagaimana ditetapkan :”bahwa menurut

hukum adat seorang janda adalah juga

menjadi ahli waris dari almarhum

suaminya.”

Selain itu pula, KUHPerdata

mengatur pewarisan terjadi apabila

pewaris meninggal dunia dan ditegaskan

juga di dalam Pasal 830 KUHPerdata

yang menyatakan “Pewarisan hanya

berlangsung karena kematian.” Dengan

demikian, Isteri terpidana Sudjiono Timan

baru berhak mengajukan permohonan

Peninjauan Kembali pada saat terpidana

Sudjiono Timan meninggal dunia.

Demikian pula menurut sistem

pewarisan hukum Islam, berdasarkan Inpres

Nomor 1 Tahun 1991 tentang Berlakunya

Kompilasi Hukum Islam, ditegaskan

mengenai pengertian Ahli Waris yang

termuat dalam Bab I Pasal 171 ialah :

“Orang pada saat meninggal dunia

mempunyai hubungan darah atau hubungan

perkawinan dengan pewaris, beragama

Islam dan tidak terhalang karena hukum

untuk menjadi ahli pewaris.”

Jadi, Istri Sudjiono Timan

mengajukan permohonan Peninjauan

Kembali dalam sistem pewarisan menurut

hukum Islam, kedudukan Istri menjadi ahli

waris terjadi pada saat suami meninggal

dunia.

Berdasarkan uraian diatas, penulis

berpendapat bahwa dalam perkara a quo,

Istri terpidana Sudjiono Timan tidak

memenuhi syarat formil permohonan

Peninjauan Kembali dikarenakan beberapa

alasan sebagai berikut :

1. Istri terpidana Sudjiono Timan tidak

dapat mengajukan permohonan Peninjauan

Kembali dengan status sebagai ahli waris

dari terpidana.

2. Kedudukan istri dapat menjadi ahli

waris dari suaminya, jika suaminya telah

meninggal dunia atau setidak-tidaknya ada

penetapan dari pengadilan yang

menyatakan pewaris telah meninggal

dunia.

3. Dasar yang menjadi acuan Istri

terpidana Sudjiono Timan dapat

mengajukan permohonan Peninjauan

Kembali mengacu kepada sistem

pewarisan menurut Hukum perdata

dikarenakan jelas dalam Pasal 830

KUHPerdata menyatakan Pewarisan

hanya berlangsung karena kematian.

Pengertian ahli waris haruslah dilihat

dalam satu kesatuan sistem hukum yang

berlaku di Indonesia. Berdasarkan teori

penafsiran, yang dalam hal ini penafsiran

sistematik, pengertian ahli waris harus

dilihat dari aspek hukum perdata. Dilihat

dari aspek perdata baik berdasarkan

KUHPerdata, Hukum Adat, Hukum

Islam, kedudukan ahli waris baru timbul

pada saat pewaris meninggal dunia.

Oleh karena itu, dalam perkara a

quo, Istri terpidana Sudjiono Timan

tidak memenuhi syarat formil

sebagai pemohon Peninjauan Kembali

karena kedudukannya sebagai Istri bukan

sebagai ahli waris sebagaimana

disyaratkan oleh Pasal 263 Ayat (1)

KUHAP.

Peninjauan kembali adalah upaya

hukum luar biasa bagi seorang terpidana

untuk memohon peninjauan ulang atas

putusan yang telah berkekuatan hukum

tetap. Putusan itu dapat berupa putusan

pengadilan negeri atau pengadilan tinggi,

juga dapat berupa putusan Mahkamah

Agung yang telah berkekuatan hukum

tetap (in kracht van gewijsde). UU No. 8

Tahun 1981 (KUHAP) sebagai hukum

acara pidana hanya membolehkan terpidana

atau ahli warisnya sebagai pihak yang dapat

mengajukan upaya hukum luar biasa PK

kepada Mahkamah Agung (Pasal 263 ayat

(1).

Adapun alasan untuk dapat mengajukan PK

adalah:

1. Apabila terdapat “keadaan baru” atau

novum;

2. Apabila dalam pelbagai putusan

terdapat saling pertentangan;

3. Apabila terdapat kekhilafan hakim

atau kekeliruan yang nyata dalam putusan

(Pasal 263 ayat (2)). Ketentuan KUHAP

sudah jelas bagi seorang terpidana yang

dihukum bersalah diberi kesempatan

terakhir untuk menempuh upaya hukum

PK. Ini didasarkan pada pemikiran bahwa

dalam negara hukum (rechsstaat), negara

dan individu ditempatkan sejajar (equality

before the law), mengingat negara diberi

kekuasaan untuk menjalankan hukum

termasuk menghukum terpidana melalui

putusan pengadilan, maka hak mengajukan

upaya PK itu hanya diberikan kepada

seorang terpidana atau ahli warisnya.

Sebelum putusan pengadilan yang

berkekuatan hukum tetap dijatuhkan, yang

menghukum seorang terdakwa, instansi lain

yaitu Kepolisian sudah melakukan

penyelidikan dan penyidikan terhadapnya,

yang disusul dengan dakwaan dan tuntutan

oleh kejaksaan, serta pemenjaraan oleh

lembaga pemasyarakatan. Dengan proses

tersebut, negara telah diberi kekuasaan

dan kewenangan yang begitu besar untuk

memenjarakan seseorang, yang berarti

merampas dan membatasi kemerdekaan

seseorang demi hukum. Dengan

demikian, seorang yang diancam

hukuman atau sedang menjalani hukuman

perlu diberi hak untuk membela diri yang

terakhir atau paling akhir agar ada

keseimbangan dan keadilan bagi individu

yang diancam hukuman atau sedang

menjalankan hukuman. Oleh karena itu,

KUHAP tidak mengatur mengenai

batasan waktu untuk mengajukan

Peninjauan Kembali.

PENUTUP

KESIMPULAN

Berdasarkan pembahasan dari

kedua rumusan masalah diatas maka

dapat di ambil dua kesimpulan yaitu:

1. Pengaturan tentang

pengajuan Peninjauan Kembali oleh Ahli

Waris yakni “Ahli Waris” dalam syarat

formil permohonan Peninjauan Kembali

dalam perkara pidana haruslah dilihat

sebagai sebuah sistem hukum yang

berlaku. Dalam pemikiran yang

demikian, mesikpun KUHAP tidak

menjelaskan secara tegas mengenai apa

dan siapa “Ahli Waris” sebagaimana

dinyatakan dalam Pasal 263 Ayat (1),

maka untuk menemukan pengertian apa

dan siapa “Ahli Waris” tersebut dapat

diacu dalam aspek keperdataan melalui

penafsiran sistematik. Berdasarkan

penafsiran sistematik ini, apa dan siapa

“Ahli Waris” dapat ditemukan, yaitu “Ahli

Waris” baru akan timbul pada saat pewaris

meninggal dunia. Dengan kata lain, dari

aspek keperdataan baik KUHPerdata,

Hukum Adat, dan Hukum Islam ditegaskan

bahwa “Ahli Waris” baru akan timbul pada

saat pewaris meninggal dunia. Hal ini

berarti bahwa “Ahli Waris” menurut Pasal

263 Ayat (1) KUHAP pun akan timbul pada

saat pewaris meninggal dunia.

2. Status Istri dalam Putusan MA

No. 97/PK/PID.SUS/2012 jika dikaitkan

dengan Pasal 263 ayat 1 KUHAP maka

kedudukan Istri dalam pengajuan PK kasus

ST harus ditafsirkan sebagai orang yang

mempunyai hubungan (perkawinan) dengan

terpidana dan terpidana telah meninggal

dunia. Penafsiran itu didasarkan pada

metode penafsiran gramatikal (gramatical

interpretatie) dan penafsiran sistematis

(systematize interpretatie). Walaupun

majelis hakim MA juga menggunakan

metode penafsiran sistematis, namun tidak

konsisten. Sesuai dengan kedua metode itu,

maka seseorang harus dapat dikategorikan

sebagai ahli waris apabila memenuhi 2

(dua) syarat, yaitu mempunyai hubungan

darah atau perkawinan dengan pewaris

(terpidana) dan pewaris (terpidana) telah

meninggal dunia. Apabila terpidana belum

meninggal dunia, maka seseorang tidak

dapat dikategorikan sebagai ahli waris

walaupun mempunyai hubungan dengan

terpidana baik hubungan darah atau

perkawinan. Dalam hal demikian, maka

69

seseorang tidak dapat mengajukan PK

dengan kedudukan sebagai ahli waris.

SARAN

Berdasarkan kesimpulan diatas

maka terdapat dua saran yang berkaitan

dengan rumusan masalah di atas yaitu:

1. Pengaturan pengajuan

Peninjauan Kembali oleh Ahli Waris

haruslah di pertegas dan dituangkan

dalam aturan hukum yang jelas

sehingga tidak terdapat celah hukum

lagi dan perkara serupa tidak terjadi

lagi.

2. Untuk selajutnya status Istri

maupun keluarga yang lain harus

dijelaskan dalam Peraturan Perundang-

undangan yang berlaku. Perubahan atas

KUHP dan KUHAP sangatlah

diperlukan karena sudah tidak relevan

lagi dengan hukum di Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA

Asikin, Z, Pengantar Ilmu Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2013.

Chazawi, Adam, Lembaga Peninjauan Kembali (PK) Perkara Pidana : Penegakan Hukum dalam Penyimpangan dan Peradilan Sesat, Sinar Grafika, Jakarta, 2011.

Chazawi, Adam, Pelajaran Hukum Pidana, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2011.

Effendy, M, Sistem Peradilan Pidana (Tinjauan terhadap beberapa perkembangan hukum pidana), Jakarta, 2012.

Hadjon, P.M., & Djatmiati, T.S, Argumentasi hukum (Legal argumentation/legal reasoning): Langkah-langkah legal problem solving dan penyusunan legal opinion, Gajah Mada University

Press. Yogyakarta, 2005.Hamzah Andi, Hukum Acara Pidana

Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2008.

Harahap, Yahya, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan Kuhap Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali, Sinar Grafika, Jakarta, 2000.

Konvenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik dalam Lembar Fakta HAM, Komnas HAM, Jakarta, 2005.

Lamintang, P.A.F., & Lamintang, T, Pembahasan KUHAP menurut ilmu pengetahuan hukum pidana dan yurisprudensi, Sinar Grafika, Jakarta, 2010.

Marpaung, Leden, Perumusan Memori Kasasi dan Peninjauan Kembali Perkara Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, 2000.

Marzuki, Peter Mahmud, Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta, 2008.

Mertokusumo, S., & Pitlo, A, Bab-bab tentang penemuan hukum. Citra Aditya, Bandung, 2013.

Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 1993.

Mulyadi, L, Hukum acara pidana (Normatif, teoritis, praktik, dan permasalahannya), Bandung, 2012.

Mulyadi, L, Hukum acara pidana suatu tinjauan khusus terhadap: Surat dakwaan, eksepsi, dan putusan peradilan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2012.

Purba, Bona.P, Fraud dan Korupsi, Lestari Kiranatama, Jakarta, 2015.

Soekanto. S., & Mamudji, S, Penelitian hukum normatif (Suatu tinjauan singkat), Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2011.

Soeparman, P, Pengaturan hak mengajukan upaya hukum peninjauan kembali dalam perkara pidana bagi korban kejahatan, Refika Aditama, Bandung, 2009.

Soeroso, R. (2013). Pengantar ilmu hukum. Jakarta: Sinar Grafika

Van Mourik, M.J.A., Studi Kasus Hukum Waris,Eresco, Bandung, 2012.

Wijayanta, T., & Firmansyah, H, Perbedaan pendapat putusan pengadilan, Pustaka Yustitia, Yogyakarta, 2011.

Zulfa, E.A, Upaya peninjauan kembali oleh jaksa penuntut umum sebagai wujud perlindungan terhadap hak korban. Makalah presentasi dalam rangka penelitian tentang peninjauan kembali putusan pidana oleh jaksa penuntut umum: Penelitian asas, teori, norma, dan praktik penerapannya dalam putusan pengadilan. Diselenggarakan oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung Republik Indonesia. Palembang Sumatera Selatan, 2012

Undang-Undang. Dasar Negara Republik Indonesia (UUD 1945).

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

Undang-Undang No. 14 tahun I985 tentang Mahkamah Agung.

Surat Edaran Mahkamah Agung No 1 Tahun 2012.

Trijono, Rachmat, Kamus Hukum, Pustaka Kemang, Jakarta, 2016.

Mappong H. A. Kadir, Makalah Wakil Ketua Mahkamah Agung Bidang Yudisial Tentang Peninjauan Kembali, Jakarta, 2011.

Forum Keadilan, Suhandi Cahaya, PK Sudjiono Timan Kemunduran Hukum Indonesia, Diakses dari http://forumkeadilan.com/hukum/suhandi-cahaya-pk-sudjionotiman-kemunduran-hukum-indonesia , diakses pada tanggal 21 April 2017.

Pengertian Pengajuan, http://kbbi.web.id, diakses pada tanggal 19 Maret 2017.