Upload
hatram
View
214
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
1
PENINGKATAN MUTU LULUSAN MELALUI PENCAPAIAN
KOMPETENSI KLINIK MAHASISWA DIII KEPERAWATAN
Catur Budi Susilo
Jurusan Keperawatan
Politeknik Kesehatan Kementerian Kesehatan Yogyakarta
email: [email protected]
Abstract
To achieve quality nurses, it is an effort to change attitudes and behaviors
of the students for the purpose of education. The purpose of education is to
prepare curriculum must fit with the skills to reach refer to established
standards. The question is whether clinical competence achieved so far is
enough for the parameters of quality of graduates? One strategy is to observe
and assess the attainment of competencies in education. With achieving the
competition into account, manager of higher education can do political
allocation resources for learning, methods, and targets of clinical competence in
order to achieve student competence.
Kata Kunci: Pencapaian Kompetensi, kompetensi klinik, DIII Keperawatan
PENDAHULUAN
Pendidikan diploma merupakan
pendidikan tinggi yang mempersiapkan
peserta didik untuk bekerja dibidang
tertentu, dimana proses pendidikannya
adalah memberikan bekal pengetahuan,
sikap dan ketrampilan agar siap memasuki
dunia kerja, sehingga kurikulum harus
didisain agar mahasiswa memperoleh
pekerjaan sesuai dengan bidang
keahliannya dengan proses pembelajaran
yang berkualitas.
Upaya pemerintah melalui
kementerian kesehatan telah berusaha
untuk meningkatkan kualitas pendidikan,
salah satu diantaranya adalah dengan
pemberlakuan kurikulum diploma 3
keperawatan yang berbasis kompetensi.
Upaya untuk mencapai kompetensi akan
memotivasi peserta didik dan pengajar
untuk meningkatkan mutu pembelajaran
yang lebih baik, agar mahasiswa mencapai
standar kompetensi. Oleh karena itu
dengan diberlakukannya kurikulum
2
Diploma 3 keperawatan oleh Departemen
Kesehatan (Kementerian Kesehatan) pada
tahun 2006, yang berbasis kompetensi
diharapkan akan mendapatkan lulusan
yang berkualitas sesuai dengan tuntutan
stakeholder (unit pelayanan kesehatan,
terutama di rumah sakit, puskesmas).
Menurut Schipper & Patriana
(1994:23-25), bahwa seseorang yang
dianggap memiliki kompetensi apabila ia
telah memiliki kualifikasi kejuruan
(kompetensi profesi), kualifikasi
penunjang, kualifikasi interdisipliner,
kualifikasi operasional, dan kualifikasi
kepribadian dan personalitas. Finch &
Crunkilton (1979:111) menjelaskan bahwa
pendidikan kejuruan menekankan pada
pengembangan ketrampilan,
pengembangan kemampuan unjuk kerja,
dan penyiapan untuk mendapatkan
pekerjaan. Pendidikan kejuruan tidak
hanya terkait dengan pengembangan
ketrampilan, tetapi juga pengembangan
untuk seluruh kompetensi yang dimiliki
peserta didik untuk mengekspresikan
dirinya dalam bekerja.
Dalam konteks penddidikan
kejuruan, belajar yang sesungguhnya
adalah bekerja di tempat kerja, karena di
tempat kerja seseorang dapat
memanfaatkan potensi dirinya secara
maksimal. Dengan demikian peserta didik
dapat kesempatan yang luas untuk
mencapai kompetensi yang diinginkan.
Pencapaian kompetensi, selain bergantung
kepada keefektifan pelaksanaan proses
pembelajaran, tetapi juga bergantung
kepada sistem penilaian. Melalui sistem
penilaian terhadap pembelajaran, sekolah
akan memperoleh informasi yang akurat
tentang kualitas pembelajaran, sehingga
sekolah dapat memperbaiki segala
kekurangan. Perbaikan kualitas
pembelajaran dan sistem penilaian sangat
penting , karena ia berkaitan langsung
dengan pencapaian kompetensi lulusan.
Hasil pengamatan di pendidikan
diploma III keperawatan hasil evaluasi
belajar disamping dilakukan di kelas, dan
laboratorium namun juga penilaian
kompetensi dilakukan dengan ujian kasus
di lahan praktek, sehingga hasil belajar
yang diperoleh pesert didik belum
mencerminkan kompetensi yang
sesungguhnya. Berdasarkan fenomena di
atas maka evaluasi pencapaian kompetensi
sangatlah penting. Pencapaian kompetensi
yang tepat bukan saja berguna untuk
3
mengetahui keberhasilan peserta didik
yang sesungguhnya, tetapi juga berguna
untuk pengembangan lembaga pendidikan,
kompetensi yang dimaksud adalah
berfokus pada kompetensi dalam
pencapaian praktek di rumah sakit
Menurut Melton (1994:285)
kompetensi terdiri atas pengetahuan,
ketrampilan dan sikap. Dengan kata lain
dalam perspektif dunia pendidikan,
kompetensi dapat diartikan sebagai sejauh
mana kemampuan unjuk kerja sistim telah
tercapai sessuai dengan target yang telah
ditentukan. Kemampuan unjuk kerja terdiri
atas kemampuan pengetahuan, ketrampilan
dan sikap kerja. Oleh karena itu evaluasi
kompetensi yang berbasis pada pencapaian
klinik perlu dilakukan, disamping kapasitas
pengetahuan dan sikap. Salah satu tujuan
evaluasi yang dilakukan adalah untuk
melihat kembali apakah program yang
dilaksanakan sesuai dengan target dan
mencapai hasil sesuai yang diharapkan.
Dari hasil kegiatan evaluasi, akan dapat
diketahui hal hal yang telah dicapai,
apakah suatu program dapat memenuhi
kriteria yang telah ditentukan. Berdasar
hasil evaluasi, dapat diambil keputusan
apakah program tersebut akan:1)
diteruskan 2) direvisi 3) dihentikan atau 4)
dirumuskan kembali sehingga dapat
ditemukan tujuan, sasaran dan alternatif
baru yang sama sekali berbeda dengan
sebelumnya.
Berdasarkan fakta yang ada pada
penyelenggara pendidikan D3
keperawatan, evaluasi pencapaian
kompetensi dilakukan setelah kegiatan
belajar dilaksanakan untuk kompetensi
yang diharapkan. Pencapaian kompetensi
selama praktek klinik tidak menjadi
parameter kualifikasi kompetensi
mahasiswa. Sistim audit tidak valid dan
akurat (dari sisi pemantauan capaian
kompetensi). Dari panduan akademik
evaluasi kompetensi menggunakan
pendekatan OSCE (Objective Structure
Competencies Evaluation) atau CPX
(Clinical Practice Examination) baik teori
maupun ketrampilan yang terintegrasi di
kelas, laboratorium dan lahan praktek
klinik. Evaluasi tersebut dilakukan per
semester setelah mahasiswa mengakhiri
suatu mata kuliah keperawatan yang
dilakukan mulai semester tiga sampai
semester enam. Hal ini karena pada
semester tersebut peserta didik sudah mulai
4
kegiatan praktek klinik baik di rumah sakit
maupun di puskesmas.
ANALISIS DAN PEMBAHASAN
Tujuan Pendidikan
Pendidikan vokasional (diploma)
harus bisa menciptakan peserta didik yang
kompeten pada bidang tertentu sehingga
setelah selesai (lulus) diproyeksikan
kedalam tiga tujuan: (1) mampu bekerja
untuk dapat menghidupi dirinya sendiri;
(2) menjadi wirausahawan yang mampu
bekerja untuk dapat menghidupi dirinya
sendiri dan merekrut orang lain untuk
diajak berkerja; dan (3) melanjutkan
pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi
(Depdiknas, 2009: 20).
Tujuan pendidikan keperawatan
jenjang Diploma IIII adalah menghasilkan
perawat profesional pemula yang
kompeten dalam: 1) memberikan asuhan
keperawatan sesuai dengan
kewenangannya, 2) menerapkan prinsip
manajemen asuhan keperawatan 3)
Berperan serta dalam penelitian
keperawatan dan menggunakan hasil
penelitian dalam asuhan keperawatan. Dan
4) mengembangkan kemampuan
profesional secara terus menerus.
Kompetensi Pendidikan Vokasi
Menurut Echols dan Shadily
(2007:132) kompetensi diterjemahkan
sebagai kecakapan, kemampuan dan
kompetensi. Diitinjau dari perspektif
estimologi berasal dari kata kompeten atau
mampu. Kata mampu memiliki arti sebagai
kemampuan atau keahlian untuk
melakukan suatu pekerjaan atau aktifitas.
Tinjauan lebih luas dari kata kompetensi
yang terkait dengan terminologi
ketenagakerjaan, adalah suatu
kemampuan/kecakapan yang dilandasi oleh
pengetahuan, keterampilan dan sikap untuk
melakukan suatu pekerjaan
DEST (2002: 3) menyebutkan bahwa
“Competency is used to refer to an
observable behaviour performed to a
specified level and therefore provides a
basis for the assessment of performance“.
Kompetensi digunakan merujuk pada suatu
perilaku kerja yang dapat diamati pada
tingkatan tertentu dan hal tersebut
memberikan dasar bagi penilaian kinerja.
Beberapa definisi yang berkaitan dengan
pengertian di atas, antara lain:
”Competence is defined as a combination
of relevant skills, konwledge and
understanding and ability to apply them”.
5
(National Vocational Qualifications
(NVQs) United Kingdom, 2008).
Undang-Undang (UU) No. 13 tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan pasal 1 ayat
10 menyebutkan bahwa kompetensi adalah
kemampuan kerja setiap individu yang
mencakup aspek pengetahuan,
keterampilan dan sikap kerja yang sesuai
dengan standar yang ditetapkan. Sementara
pada Surat Keputusan Mendiknas nomor
045/U/2002 tentang Kurikulum Inti
Perguruan Tinggi dikemukakan bahwa
kompetensi adalah seperangkat tindakan
cerdas, penuh tanggungjawab yang
dimiliki seseorang sebagai syarat untuk
dianggap mampu oleh masyarakat dalam
melaksanakan tugas-tugas di bidang
pekerjaan tertentu.
Robert A. Roe (2001:)
mengemukakan definisi dari kompetensi
adalah “Competence is defined as the
ability to adequately perform a task, duty
or role. Competence integrates knowledge,
skills, personal values and attitudes.
Competence builds on knowledge and
skills and is acquired through work
experience and learning by doing.
Kompetensi menurut Roe didefinisikan
sebagai kemampuan untuk melakukan
tugas secara memadai, kerja atau peran.
Kompetensi mengintegrasikan
pengetahuan, keterampilan, nilai-nilai
pribadi dan sikap. Kompetensi didasarkan
pada pengetahuan dan keterampilan dan
diperoleh melalui pengalaman kerja dan
belajar sambil melakukan.
Jordan, Carlile, and Stack (2008:203)
membedakan antara kompetensi dan
kompeten. Kompetensi merupakan
kemampuan melakukan seperangkat tugas
yang membutuhkan integrasi pengetahuan,
keterampilan, dan sikap. Sedangkan
kompeten merupakan kemampuan
melakukan peran secara efektif dalam
suatu konteks.
Dalam konteks pengembangan
kompetensi lulusan pendidikan vokasi,
maka penilaian kompetensi perlu secara
komprehensif mengarah kepada
kompetensi lunak (soft-competence) dan
keras (hard-competence). Kompetensi
lulusan sekolah menengah kejuruan dengan
demikian memiliki arti kemampuan atau
kecakapan kerja lulusan yang dilandasi
oleh pengetahuan, keterampilan dan sikap
untuk melakukan suatu pekerjaan, yang
pengukurannya menggunakan acuan
tertentu (criterion-referenced).
6
Secara khusus kearah satu tujuan
pendidikan vokasi adalah untuk membekali
peserta didik dengan kompetensi-
kompetensi sesuai dengan program
keahlian yang dipilih. Oleh karena lulusan
diploma dipersiapkan untuk memasuki
lapangan kerja, maka secara ekonomis,
semakin tinggi kualitas pendidikan
seseorang, maka akan semakin produktif,
sehingga selain akan meningkatkan
produktivitas nasional juga akan
meningkatkan daya saing tenaga kerja di
pasar grobal.
Menurut Gonczi (1998: 38),
karakteristik penting yang terdapat pada
model-model pendidikan berbasis
kompetensi, di antaranya: 1)Adanya daftar
kompetensi yang terdokumentasikan
disertai dengan standar dan kondisi khusus
untuk masing-masing kompetensi. 2)
Setiap saat siswa dapat dinilai pencapaian
kompetensinya ketika telah siap. 3)
Pembelajaran berlangsung dengan format
modul yang berkaitan dengan masing-
masing kompetensi. 4) Penilaian
berdasarkan standar tertentu dalam bentuk
pernyataan-pernyataan kompetensi. 5)
Sebagian besar penilaian berdasarkan
keterampilan yang didemontrasikan secara
nyata. 6) Siswa dapat memperoleh
pengecualian dari bagian pembelajaran dan
melanjutkan ke unit kerja berikutnya
berdasarkan kompetensi yang telah
tercapai. 7)Hasil belajar siswa dicatat dan
dilaporkan dalam pernyataan-pernyataan
kompetensi
Pendidikan vokasi sebagai salah satu
jenis pendidikan dalam perguruan tinggi
(PT) diberikan kebebasan akademik
sebagaimana diatur dalam UU No 20 tahun
2003 terutama pada pasal 24 ayat 1 yang
berbunyi “Dalam penyelenggaraan
pendidikan dan pengembangan ilmu
pengetahuan, pada perguruan tinggi
berlaku kebebasan akademik dan
kebebasan mimbar akademik serta otonomi
keilmuan”. Sementara penjelasan pasal 35
ayat (1) menyebutkan bahwa kompetensi
lulusan merupakan kualifikasi kemampuan
lulusan yang mencakup sikap,
pengetahuan, dan keterampilan sesuai
dengan standard nasional yang telah
disepakati.
Kebebasan akademik, mimbar
akademik, dan otonomi keilmuan yang
disandang oleh perguruan tinggi
menyebabkan beragamnya kompetensi
lulusan yang bisa dihasilkan antara satu PT
7
dengan PT yang lain. Khusus kompetensi
lulusan Diploma III keperawatan
ditentukan oleh pusat dimana kurikulum
inti sebesar 96 SKS dan muatan pelengkap
dapat dikembangkan di institusi sebesar
14-24 SKS. Kurikulum institusional
dikembangkan sesuai dengan keadaan dan
kebutuhan lingkungan serta ciri khas yang
bersangkutan.
Kompetensi DIII Keperawatan
Kurikulum berbasis kompetensi
menekankan pada kemampuan yang harus
dimiliki oleh lulusan suatu jenjang
pendidikan. Kemampuan yang harus
dicapai dinyatakan dengan standar
kompetensi, yaitu kemampuan minimum
yang harus dicapai lulusan. Standar
kompetensi merupakan modal utama untuk
bersaingdi tingkat global, karena
persaingan yang terjadi adalah pada
kemampuan sumber daya manusia. Oleh
karena itu, penerapan pendidikan berbasis
kompetensi diharapkan akan menghasilkan
lulusan yang mampu berkompetisi baik di
tingkat regional, nasional dan global
(Djemari Mardapi, 2005:74)
Implikasi penerapan kurikulum
berbasis kompetensi terletak pada
pengalaman belajar, proses pembelajaran,
dan sistem penilaian.yang tepat perlu
diketahui karakteristik kurikulum yang
digunakan. Karakteristik penting
kurikulum berbasis kompetensi adalah,
hasil belajar dinyatakan dengan
kemampuan atau kompetensi yang dapay
didemonstrasikan atau ditampilkan. Semua
peserta didik harus mencapai ketuntasan
belajar, yaitu menguasai kompetensi dasar.
Kecepatan peserta didik tidak sama, dan
penilaian menggunakan acuan kriteria.
Ada 29 kompetensi yang harus
dicapai oleh peserta didik DIII
keperawatan, dan masing masing terdiri
atas beberapa sub kompetensi, sehingga
total sub kompetensi berjumlah 229 sub
kompetensi. Keduapuluh sembilan
kompetensi tersebut adalah:1) Menerapkan
konsep, prinsip etika keperawatan dan
komunikasi dalam praktek keperawatan
professional, 2) Menerapkan pendekatan
proses keperawatan dalam melaksanakan
asuhan keperawatan dengan berpikir kritis
3) Mengkonsultasikan penanganan pasien
terhadap tim kesehatan lain 4)
Melaksanakan tindakan pengobatan
sebagai hasil kolaborasi 5) Melaksanakan
tindakan diagnostik dan tindakan khusus
sebagai hasil kolaborasi 6) melaksanakan
asuhan keperawatan pada pasien dengan
gangguan pemenuhan kebutuhan oksigen
8
7) Melaksanakan asuhan keperawatan pada
pasien dengan gangguan pemenuhan
kebutuhan cairan, elektrolit dan darah 8)
Melaksanakan asuhan keperawatan pada
pasien dengan gangguan kebutuhan nutrisi
9. Melaksanakan asuhan keperawatan pada
pasien dengan gangguan pemenuhan
kebutuhan eliminasi urin dan fekal 10)
melaksanakan asuhan keperawatan pada
pasien dengan gangguan pemenuhan
kebutuhan rasa aman dan nyaman
11)Melaksanakan asuhan keperawatan
pada pasien dengan gangguan mobilisasi
dan transportasi 12) Melaksanakan asuhan
keperawatan pada pasien dengan gangguan
istirahat dan tidut 13) melaksanakan
asuhan keperawatan pqada pasien terminal
14) melaksanakan asuhan keperawatan
pada pasien menjelang ajal 15)
melaksanakan asuhan keperawatan pada
pasien pre dan post operasi 16)
Melaksanakan asuhan keperawatan pada
pasien gawat darurat 17)melaksanakan
asuhan keperawatan pada anak sehat 18)
Melaksanakan asuhan keperawatan pada
anak sakit 19) Melaksanakan asuhan
keperawatan pada bayi resiko tinggi
20) Melaksanakan asuhan keperawatan
pada ibu hamil normal dan komplikasi 21)
melaksanakan asuhan keperawatan pada
ibu intrnatal dan bayi baru lahir 22)
Melaksanakan asuhan keperawatan pada
ibu post partum normal dan komplikasi 23)
melaksanakan asuhan keperawatan pada
pasien dengan masalah kesehatan
reproduksi 24) Melaksanakan asuhan
keperawatan pada pasien dengan masalah
psikososial 25)Melaksanakan asuhan
keperawatan pada pasien ganggusan jiwa
26) Melaksanakan asuhan keperawatan
komunitas 27) Melaksanakan asuhan
keperawatan pada kelompok khusus (anak
sekolah, pekerja,lansia) 28) melaksanakan
asuhan keperawatan pada keluarga dan 29)
berperan serta dalam penelitian dan
pengembangan keperawatan
Work Based Learning dalam Praktek
klinik
Work Based Learning (WBL) atau
Pembelajaran Berbasis Kerja telah
menjadi ciri khas pendidikan kejuruan
pada berbagai negara di berbagai belahan
bumi ini. Model pembelajaran berbasis
kerja yang telah membumi dalam dunia
kejuruan (model ini belum terbantahkan)
saat ini menjadikan WBL suatu keharusan
untuk diimplementasi jika kesuksesan
ingin diraih. Pengalaman di beberapa
negara maju menunjukkan bahwa metoda
9
ini mampu menjembatani gap/kesenjangan
transisi (transition) antara dunia
pendidikan (education) dan dunia kerja
(workforce) yang menjadi tantangan besar
yang harus disikapi dan dicarikan
pemecahannya (Sawchuk, 2010).
Konsekuensi dari WBL adalah bagi
penyelenggara pendidikan kejuruan
dituntut untuk sadar (aware) dan
memahami (understand) WBL mulai dari
perencanaan, implementasi hingga
evaluasi. Keterlibatan stageholder
(sekolah, dunia kerja dan penerintah)
pendidikan kejuruan dalam mengelola
pendidikan kejuruan yang menempatkan
WBL sebagai model pembelajaran harus
terus digali, dikembangkan dan dipelihara
keberlangsungannya (sustainability).
Program yang setengah-setengah (tidak
tuntas (mastery), bukan tuntutan dari atas)
dan berorientasi proyek semata (bila
selesai proyek tidak ada kelanjutan) karena
tergantung dari funding luar negeri, justru
akan membuat segala sesuatunya tidak
jelas termasuk model WBL yang
sebenarnya akan memberikan kontribusi
kepada pendidikan kejuruan dianggapnya
sebagai model yang tidak baik. Memang
adopsi dan adaptasi sangat diperlukan
untuk menyesuaikan dengan kultur bangsa.
Inilah pentingnya pemahaman dan
komitmen bersama dalam membangun
serta mengembangkan pendidikan kejuruan
melalui penerapan/implementasi WBL
pada pendidikan kejuruan.
Menurut Reg Revans dan Gregory
Bateson dalam bukunya Raelin (2008:1)
menjelaskan bahwa laju belajar harus sama
dengan atau melebihi tingkat perubahan,
belajar tidak hanya menciptakan tapi juga
menyesuaikan, memperluas, dan
memperdalam pengetahuan. Tanpa
pengetahuan baru atau yang disesuaikan,
tidak mungkin untuk mengubah makna
tindakan kita atau tindakan itu sendiri.
Sayangnya, kita telah menjadi terkondisi
untuk model kelas yang memisahkan teori
dari praktek, yang membuat belajar
tampaknya tidak praktis, relevan, dan
membosankan.
Ditegaskan pula bahwa Work Based
Learning (WBL) adalah pelajaran atau
program dimanana kampus/sekolah dengan
organisasi pekerjaan bersama-sama
menciptakan pengalaman pembelajaran
dan peluang baru di tempat pekerjaan
(Boud, 2001: 6). Untuk menjadikan belajar
sebagai jalan hidup maka pembelajaran
harus berlangsung secara alamiah dan
menyenangkan. Pemisahan teori dari
10
paraktik membuat pembelajaran terasa
tidak relevan, tidak berguna dan
membosankan. WBL mempersyaratkan
sebuah kombinasi dari analisis rasional,
imajinasi dan intuisi yang bermanfaat
dalam mengembangkan pemikiran. Untuk
mendukung ketercapaian program tersebut
pembelajarannya dapat dilakukan dengan
pendekatan akademik, pendekatan
kecakapan hidup (life skill), pendekatan
kurikulum berbasis kompetensi
(competency-based curriculum),
pendekatan kurikulum berbasis luas
(broad-based curriculum), pendekatan
kurikulum berbasis produksi (production-
based curriculum). Sedangkan pola
penyelenggaraannya dilakukan dengan
prinsip pendidikan sistem ganda (PSG),
yaitu pendidikan yang dilakukan secara
bekerja sama antara sekolah dan dunia
usaha dan industri (DU/DI), baik melalui
perencanaan, pelaksanaan dan penilaian
kurikulum, yang bertujuan untuk
mendekatkan kebutuhan dunia usaha dan
industri. Kurikulum Berbasis Kerja (Work
Based Curriculum) yang direncanakan
sefihak (belum melibatkan dunia kerja),
keengganan fihak industri dalam menerima
siswa/mahasiswa praktik, kurang seriusnya
pembimbing industri dalam menangani
siswa/mahasiswa praktik, kurangnya
kontrol sekolah terhadap pelaksanaan
magang (PSG atau PKL atau Praktik
klinik) yang dikarenakan kurangnya dana,
sering berubahnya kebijakan pemerintah
dan masih banyak lagi; menjadi tantangan
dan memuntut keseriusan semua fihak
untuk memikirkan jalan keluarnya.
Menurut Nurhadi, dkk. (2004) kurikulum
adalah seperangkat rencana dan pengaturan
mengenai tujuan, isi dan bahan pelajaran
serta cara yang digunakan sebagai
pedoman penyelenggaraan kegiatan
pembelajaran untuk mencapai tujuan
pendidikan. Kurikulum menjadi prasarat
yang harus dirumuskan terlebih dahulu
(prerequisite) supaya tujuan pembelajaran
dapat tercapai. Dengan demikian dalam
penyusunan kurikulum berbasis kerja
(work based curriculum) harus
mengintegrasikan antara belajar di kelas
dengan pengalaman di dunia kerja.
Pendekatan pembelajaran dalam
mengimplementasikan kurikulum di
keperawatan antara lain dengan
pembelajaran berbasis masalah (Problem
Based Learning), pembelajaran kooperatif
(Cooperatif Learning), pembelajaran
berbasis inquiry (Inquiry Based Learning),
pembelajaran autentik (Authentic
11
Instruction), pembelajaran berbasis
proyek/tugas (Project Based Learning),
pembelajaran Berbasis Kerja (Work Based
Learning), dan pembelajaran berbasis jasa
layanan (Service Learning) (Nurhadi dkk,
2004).
Dari metoda-metoda pembelajaran
di atas menempatkan pembelajaran
berbasis kerja (Worked Based Learning)
pada posisi sangat penting dalam
mengeimplementasikan kurikulum ,
dimana WBL merupakan pembelajaran
dengan pendekatan yang memungkinkan
siswa menggunakan konteks tempat kerja
untuk mempelajari materi pelajaran dan
menggunakan materi tersebut di tempat
kerja. Jadi tempat kerja atau sejenisnya
dipadukan dengan materi pelajaran untuk
mendapatkan pengalaman baru bagi siswa.
Kurikulum pendidikan DIII
keperawatan berbasis kompetensi
(competency-based) baik dalam
perancangan dan penyusunan maupun
dalam pelaksanannya juga harus
menggunakan pendekatan berbasis
kompetensi, termasuk dalam sistem
penilaian yang digunakan. Uji kompetensi
keahlian yang merupakan sistem penilaian
hasil belajar yang dilaksanakan pada akhir
pembelajaran untuk menilai apakah siswa
tersebut memiliki kompetensi tertentu.
Sehingga perlu ditegaskan bahwa
konsekuensi dari penerapan pembelajaran
berbasis kompetensi adalah bahwa
penilaian hasil belajarnya juga harus
berbasis kompetensi (Competency-based
Assessment /CBA).
Implementasi WBL dalam
keperawatan sudah dimulai ketika peserta
didik masuk pada semester tiga, mereka
harus menjalani kegiatan praktik klinik di
rumah sakit, mengikuti kegiatan perawat di
rumah sakit, dengan mengacu pada
beberapa target ketrampilan klinik yang
harus dikuasai, namun begitu peserta didik
juga dikondisikan bahwa mereka juga
dianggap sebagai perawat oleh passien di
rumah sakit, ini dilakukan sampai semester
enam, ketika akan mengakhiri masa
studinya.
Metode Pencapaian Kompetensi
Assessment menurut Finch (1999 :
271) didefinisikan sebagai as the
determination of the merit or worth of a
curriculum (or portion of that curriculum).
It includes gathering information for use in
judging the merit of the curriculum,
program, or curriculum materials.
Sedangkan menurut Australia's National
12
Training Framework (NTF), competency-
based assessment didefinisikan ; whether a
person has the skills, knowledge and
experience required to perform specific
tasks in the workplace, or to gain credit
towards a vocational education and
training qualification or course.
Assessment is based on industry
determined competency standards.
Sedangkan asesmen/pengujian menurut
Depdiknas (2004:3) adalah suatu proses
pengumpulan bukti dari seseorang, sebagai
bahan untuk membuat penilaian apakah
yang bersangkutan kompeten atau belum
kompeten sesuai dengan standar yang
ditetapkan. Bukti-bukti yang dikumpulkan
tersebut mencakup aspek pengetahuan,
keterampilan dan sikap sesuai dengan
tuntukan pekerjaan/tugas atau jabatan
sesuai dengan tuntutan standar yang
ditetapkan.
Penilaian hasil belajar dalam sistem
pembelajaran kompetensi pada dasarnya
merupakan proses penentuan untuk
memastikan peserta didik apakah sudah
kompeten atau belum kompeten.
Penentuan tersebut dilakukan dengan cara
membanadingkan bukti-bukti hasil belajar
(learning evidence) yang diperoleh seorang
peserta didik dengan kriteria kinerja
(performance criteria) yang ditetapkan
pada standar kompetensi. Untuk
mengumpulkan bukti-bukti tersebut dapat
dilakukan melalui berbagai metode, sesuai
dengan karasteristik keahlian dan konteks
pengujian. Lebih lanjut Depdiknas
(2004:1) merumuskan tujuan penilaian
(assessment) hasil belajar berbasis
kompetensi (competency-based
assessment) antara lain: (a) menyediakan
acuan atau referensi penilaian hasil belajar
peserta didik yang sesuai dengan
kurikulum pendidikan yang berbasis
kompetensi (Competency-basec
curriculum), (b) meningkatkan mutu
pelaksanaan penilaian hasil belajar peserta
didik baik yang langsung berkaitan dengan
proses pembelajaran di sekolah dan di
industri, maupun yang berkaitan dengan
penilaian penguasaan kompetensi, (c)
mengembangkan model penilaian berbasis
kompetensi (competency-based
assessment) yang dalam pelaksanaannya
melibatkan unsur internal dan eksternal
yang relevan.
Adapun kriteria penilaian meliputi
(Depdiknas: 2007): (a) validitas, (b)
reliabilitas, (c) terfokus pada kompetensi,
(d) komprehensif, (e) obyektif, dan (d)
mendidik. Sedangkan teknik penilaian
13
dapat dilakukan dengan cara: (a) penilaian
unjuk kerja, (b) penilaian sikap, (c)
penilaian tertulis, (d) penilaian proyek, (e)
penilaian produk, (f) penggunaan
portoforio, dan (g) penilaian diri. Serta
terdapat 10 faktor (Cumming, 2004) yang
mempengaruhi keberhasilan penilaian di
pendidikan kejuruan meliputi ; (1) a
strong curriculum base influencing
assessment, (2) the incorporation of
school-based assessment in all
certification, (3) preference for standards-
referenced assessment, (4) respect for
teacher judgement, (5) increasing
vocational education delivery within
schooling, (6) multiple pathways to future
study and careers, (7) school-based
assessment in the compulsory years of
schooling, (8) moves towards outcomes-
based frameworks, (9) issues relating to
national benchmark data, and (10) equity
issues.
Dalam rangka mengumpulkan bukti
untuk membuat penilaian, dipakai
beberapa metode pengujian yang selama
ini sudah banyak dipakai sebagai metode
evaluasi untuk mengukur keberhasilan
proses pendidikan dan pelatihan. Metode
penilaian kompetensi dapat dilakukan
dengan cara (Gonczi: 1998),: (a) norm-
referenced standards, (b) task-referenced
standards, (c) criterion-referenced
standards. Masih menurut Gonczi (1998)
metode penilaian berbasis kompetensi
antara lain ; (1) pencil and paper test, (2)
multiple choice test, (3) written response
test, (4) oral assessment, (5) performance
assessment, (6) work-based assessment.
Senada dengan hal tersebut Depdiknas
(2004:3) mengajukan beberapa model,
yaitu: (1) test tertulis, (2) wawancara, (3)
observasi, (4) portfolio, (5)
penugasan/pemberian proyek dan (6)
menggunakan pihak ketiga. Pada
pelaksanaan asesmen untuk menetapkan
seseorang kompeten atau belum, perlu
dipakai lebih dari satu metode pengujian
yang dipakai untuk pengumpulan bukti.
Penggunaan lebih dari satu metode
dimaksudkan agar asesmen yang dilakukan
dap
PENUTUP
1. Pencapaian kompetensi klinik
(ketrampilan) peserta didk sebagai
penilaian hasil belajar dalam sistem
pembelajaran kompetensi pada dasarnya
merupakan proses penentuan untuk
memastikan peserta didik apakah sudah
kompeten atau belum kompeten.
14
Penentuan tersebut dilakukan dengan
cara membandingkan bukti-bukti hasil
praktek klinik (clinical learning
evidence) yang diperoleh seorang
peserta didik dengan kriteria kinerja
(performance criteria) yang ditetapkan
pada standar kompetensi. Untuk
mengumpulkan bukti-bukti tersebut
dapat dilakukan melalui berbagai
metode, diantaranya adalah jumlah
ketrampilan yang diperoleh dan uji
praktek klinik (CPX), serta ujian di
laboratorium keperawatan dengan
model OSCE.
2. Pelaksanaan Competensy-based
Learning di DIII keperawatan
berdampak terhadap sistem penilaian
yang digunakan. Sehingga perlu
ditegaskan bahwa konsekuensi dari
penerapan pembelajaran berbasis
kompetensi adalah bahwa penilaian
hasil belajarnya juga harus berbasis
kompetensi (Competency-based
Assessment /CBA).
3. Ada tiga model pencapaian kompetensi
klinik peserta didik, yaitu: (a)jumlah
pencapaian target ketrampilan sesuai
dengan bidang/mata ajaran (b) uji
klinik di lahan praktik dengan
pendekatan CPX, dan (c) model uji
kompetensi di laboratorium
keperawatan dengan menggunakkan
model OSCE .Ketiga model itulah yang
menjadi parameter kelulusan peserta
didik yang dianggap menjadi parameter
kualitas lulusan.
4. Perlu adanya pengembangan lahan
praktik klinik apabila jumlah target
ketrampilan yang dicapai mahasiswa
belum memenuhi standart yang
ditetapkan sebagai tolok ukur
ketrampilan yang dicapai yang menjadi
parameter lulusan, karena jumlah
peserta didik juga harus disesuaikan
dengan jenis ketrampilan yang ada di
tatanan klinik
DAFTAR PUSTAKA
Boud, david. & Solomon, Nicky. (2001).
Work-based Learning: A New
Higher Education?. Philadelphia :
SRHE and Open University Press.
Depdiknas. (2004). Direktori Lembaga
Sertifikasi Profesi dan Tempat Uji
Kompetensi, Ditektorat Jendral
Pendidikan Dasar dan Menengah.
Jakarta
Depdiknas. 2007. Model Penilaian Kelas,
Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan SMK. Badan Standar
Nasional Pendidikan/BSNP
15
Depkes. (2006). Kurikulum Pendidikan
DIII Keperawatan, Jakarta:
Pusdiknakes
Djemari Mardapi. (2005). Rekayasa sistem
Penilaian Dalam rangka
meningkatkan Kualitas
pendidikan. HEPI, Pascasarjana
Yogyakarta
Djemari Mardapi. (2003). Desain dan
penilaian pembelajaran
mahasiswa. Makalah
Disampaikan pada Seminar
Nasional Kurikulum 2004
berbasis Kompetensi, tanggal 10
januari 2003 di Universitas
Ahmad dahlan Yogyakarta
Dest (Department of Education, Science
and Traini). (2002).Employability
Skills for the Employability Skills
the future,Australia:
Commonwealt
Mahasiswa. Makalah Disampaikan
pada seminarnnasional Kurikulum
2004 berbasis kompetensi, tanggal
10 januari 2003 di Universitas
Ahmad dahlan, Yogyakarta
Echols JM dan Shadily. (2007). Kamus
Inggris Indonesia, Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama
Finch, C. R., & Crunkilton, J. R. (1999).
Curriculum Development in
Vocational and Technical
Education : Planning, Content and
Implementation 5th
Ed. Boston,
Massachusetts : Allyn & Bacon,
Inc.
Finch, C. R., & Crunkilton, J. R. (1979).
Curriculum Development in
Vocational and Technical
Education : Planning, Content and
Implementation. Boston,
Massachusetts : Allyn & Bacon,
Inc.
Gonczi, A., (1998). Developing a
competent workforce: Adult
training strategies for vocational
educators and trainers. Leadbrook
SA: National Centre for
Vocational Education Research
Harris, R., et al. (1995). Competency Base
Education and Training: Between
a rock and whirlpool. Australia:
Macmilan Education Australia
PTY. LTD
Howell, K.W. & Nolet V. (2000).
Curricullum Based Education:
Teaching And Decision Making (
3rded). Canada: Wadsworth
Thomson Learning.
Jordan, A., Carlile, O., and Stack, A.
(2008). Approach to Learning : A
Guide for teachers. Newyork:
Open University Press & Mc.
Graw Hill.
Melton, R.F. (1994). Competencies in
Perspektive. Educational
Research, 36 (3), 285-294
Raelin, J. A. (2008). Work Based Learning
: Bridging Knowledge and Action
in The Workplace. San Francisco :
Jossey-Bass A Wiley Company.
Schippers & Patriana. (l994). Pendidikan
Kejuruan Di Indonesia, Bandung:
Angkasa.
16