68
0 KARYA TULIS PRESTASI PERSEORANGAN Penguatan Peran Deputi III Lembaga Administrasi Negara Melalui Penajaman Kajian Hukum Administrasi Negara Guna Meningkatkan Kualitas Peraturan Perundang-Undangan dan Kebijakan Nasional di Bidang Administrasi Negara DISUSUN OLEH: NAMA : TRI WIDODO WAHYU UTOMO NDH : 12 ASAL INSTANSI : LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA PROGRAM DIKLAT KEPEMIMPINAN TINGKAT I, ANGKATAN XXV JAKARTA, 2013

Penguatan Peran Deputi III LAN Melalui Penajaman Kajian HAN Guna Meningkatkan Kualitas Peraturan Perundang-Undangan

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Karya Tulis Prestasi Perseorangan (KTP-2) Diklatpim Tingkat I Angkatan XXV Tahun 2003 Lembaga Administrasi Negara RI

Citation preview

Page 1: Penguatan Peran Deputi III LAN Melalui Penajaman Kajian HAN Guna Meningkatkan Kualitas Peraturan Perundang-Undangan

0

KARYA TULIS PRESTASI PERSEORANGAN

Penguatan Peran Deputi III Lembaga Administrasi Negara Melalui

Penajaman Kajian Hukum Administrasi Negara Guna Meningkatkan

Kualitas Peraturan Perundang-Undangan dan Kebijakan Nasional

di Bidang Administrasi Negara

DISUSUN OLEH:

NAMA : TRI WIDODO WAHYU UTOMO

NDH : 12

ASAL INSTANSI : LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA

LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA

PROGRAM DIKLAT KEPEMIMPINAN TINGKAT I, ANGKATAN XXV

JAKARTA, 2013

Page 2: Penguatan Peran Deputi III LAN Melalui Penajaman Kajian HAN Guna Meningkatkan Kualitas Peraturan Perundang-Undangan

i

Penguatan Peran Deputi III Lembaga Administrasi Negara Melalui

Penajaman Kajian Hukum Administrasi Negara Guna Meningkatkan

Kualitas Peraturan Perundang-Undangan dan Kebijakan Nasional

di Bidang Administrasi Negara

Disusun Oleh:

Tri Widodo W. Utomo, SH.,MA

NDH: 12

Disahkan

Jakarta, Mei 2013

Oleh Penguji:

( Sri Hadiati WK., SH.,MBA ) ( Sunari Sarwono, MA )

Penguji I Penguji II

LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA PROGRAM DIKLATPIM TINGKAT I, ANGKATAN XXV

JAKARTA, 2013

LEMBAR PENGESAHAN

Page 3: Penguatan Peran Deputi III LAN Melalui Penajaman Kajian HAN Guna Meningkatkan Kualitas Peraturan Perundang-Undangan

ii

Penguatan Peran Deputi III Lembaga Administrasi Negara Melalui

Penajaman Kajian Hukum Administrasi Negara Guna Meningkatkan

Kualitas Peraturan Perundang-Undangan dan Kebijakan Nasional

di Bidang Administrasi Negara

Tri Widodo W. Utomo, SH.,MA

NDH: 12

Disetujui untuk diseminarkan

Jakarta, Mei 2013

(DR. IR. TJUK SUKARDIMAN, M.SI)

Pembimbing

LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA

PROGRAM DIKLATPIM TINGKAT I, ANGKATAN XXV JAKARTA, 2013

LEMBAR PERSETUJUAN PENYAJIAN

Page 4: Penguatan Peran Deputi III LAN Melalui Penajaman Kajian HAN Guna Meningkatkan Kualitas Peraturan Perundang-Undangan

iii

RINGKASAN EKSEKUTIF

Deputi III bidang Penelitian dan Pengembangan Administrasi Pembangunan dan Otomasi Administrasi Negara (Litbang APOAN) memiliki tugas untuk melaksanakan perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang penelitian dan pengembangan administrasi pembangunan dan otomasi administrasi negara. Dalam menjalankan tugasnya ini, Deputi III masih menghadapi kendala baik internal maupun eksternal. Meskipun demikian, Deputi III memiliki komitmen penuh untuk terus menerus meningkatkan kualitas proses dan hasil kajian, termasuk kemanfaatan bagi seluruh stakeholder. Sehubungan dengan hal tersebut, KPT-2 ini ingin menganalisis permasalahan dan menghasilkan rekomendasi untuk peningkatan kualitas peraturan perundang-undangan dan kebijakan nasional di bidang administrasi negara melalui peningkatan peran Deputi III. Dengan demikian, tujuan dari KTP-2 ini adalah Untuk mengenali dan menguraikan situasi problematik yang dihadapi LAN secara umum dan Deputi III secara khusus dalam pelaksanaan tugas dan fungsinya, untuk kemudian dianalisis dengan teknik tertentu (soft system methodology atau scenario planning), sehingga dapat dihasilkan gambaran keadaan masa depan, strategi, dan langkah-langkah kebijakan untuk memperbaiki situasi yang berkembang dewasa ini. Dari analisis yang dilakukan ditemukan adanya 14 (empat belas) situasi problematik yang berhubungan dengan pelaksanaan tugas Deputi III sehingga cita-cita mewujudkan sistem perundang-undangan/kebijakan yang berkualitas belum dapat diwijudkan secara optimal. Dari ke-14 kemudian dikelompokkan menjadi 5 (lima) issu yakni issu institusional, networking, mindset, partisipasi masyarakat, dan kajian/litbang administrasi negara, sebagaimana digambarkan dalam rich picture. Setelah dirumuskan conceptual model-nya dan dibandingkan dengan real world, maka dapat diidentifikasikan 3 (tiga) perubahan yang sangat diinginkan, yakni perubahan pada level mikro, level messo, dan level makro. Pada level mikro, transformasi atau perubahan yang diinginkan adalah meningkatnya kualitas produk dan manajemen kajian Hukum Adminstrasi Negara; pada level messo adalah menguatnya peran LAN dalam membangun evidence-based research untuk mewujudkan evidence-based policy atau research-based policy; sedangkan pada level makro adalah meningkatnya kualitas peraturan perrundang-undangan dan kebijakan nasional di bidang administrasi negara. Selanjutnya analisis scenario planning telah menghasilkan 11 (sebelas) variabel atau driving forces yang mempengaruhi upaya untuk mewujudkan kualitas peraturan perundang-undangan/ kebijakan nasional di bidang administrasi negara pada masa mendatang, tepatnya 2025. Setelah dilakukan analisis keterkaitan antar driving forces dengan teknik non-linier menggunakan CLD, ditemukan 2 (dua) driving forces yang paling berpengaruh yakni tingkat egoisme sektoral yang masih tinggi, tingkat dukungan kajian yang masih rendah terhadap perumusan kebijakan.kedua leverage inilah yang digunakan untuk menyusun skenario. Dari ciri-ciri kutub kedua leverage tersebut dan kombinas sumbu positif dan negatif, telah ditemukan 4 (empat) skenario dengan karakeristik berbeda-beda. Untuk memudahkan pemahaman, maka setiap skenario diberi nama sebagai metafora skenario sebagai berikut:

Page 5: Penguatan Peran Deputi III LAN Melalui Penajaman Kajian HAN Guna Meningkatkan Kualitas Peraturan Perundang-Undangan

iv

1. Skenario 1 (kuadran 1): Sistem Peraturan/Kebijakan Berkarakter Wibisana; 2. Skenario 2 (kuadran 2): Sistem Peraturan/Kebijakan Berkarakter Laksamana; 3. Skenario 3 (kuadran 3): Sistem Peraturan/Kebijakan Berkarakter Kumbakarna; 4. Skenario 4 (kuadran 4): Sistem Peraturan/Kebijakan Berkarakter Rahwana/Dasamuka,

Dari keempat skenario diatas, maka rekomendasi kebijakan yang dipilih adalah Skenario 1, yakni Sistem Peraturan/Kebijakan Berkarakter Wibisana, dengan harapan dapat memperbaiki situasi pada 3 (tiga) kuadran lainnya. Dan agar cita-cita membangun sistem kebijakan/peratuan yang berkualitas unggul pada tahun 2025 dapat terstruktur dalam kerangka pemikiran jangka panjang, jangka menengah, dan jangka pendek/tahunan, maka KTP-2 ini telah menuangkan dalam logika perencanaan strategis, paling tidak komponen-komponen utamanya. Dalam kaitan ini, telah dirumuskan pernyataan Visi, Misi, Nilai-Nilai Organsiasi (Values), serta Tujuan dan Sasaran sebagai strategi implementasi untuk mewujudkan cita-cita diatas.

Page 6: Penguatan Peran Deputi III LAN Melalui Penajaman Kajian HAN Guna Meningkatkan Kualitas Peraturan Perundang-Undangan

v

KATA PENGANTAR

“Kasih sayang dan pertolongan Allah selalu lebih besar dari pada hambatan dan

cobaan yang membentang”. Atas dasar keyakinan seperti itulah, akhirnya penulis dapat

menyelesaikan Karya Tulis Prestasi Perseorangan (KTP-2), sebagai kelengkapan administratif

dan akademis dan menjadi bagian tidak terpisahkan dalam Diklat Kepemimpinan Tingkat I

Angkatan XXV ini. Untuk itu, rasa syukur tak terhingga penulis panjatkan ke hadirat Allah Sang

Maha Pemurah dan Maha Berilmu, yang telah memberi setitik kemampuan bagi penulis untuk

berpikir, menyodorkan kosep, kemudian merajutnya dalam tulisan sederhana ini.

Selain sebagai syarat kelulusan mengikuti Diklatpim, KTP-2 ini tentu bukan hanya

formalitas belaka, itulah sebabnya, penulis mencoba semaksimal mungkin berdasarkan

kemampuan penulis untuk membuat karya ini lebih berarti, baik bagi diri pribadi penulis, tempat

kerja dan tempat mengabdi penulis di LAN-RI, serta bagi khalayak birokrat dan intelektual, serta

bagi bangsa negara Indonesia secara keseluruhan. Ide, konsep, maupun pemikiran rinci dari

karya tulis ini sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Terselesaikannya KTP-2 ini tentu bukan hasil “keringat” penulis sendiri. Ini adalah

sintesa kasat mata maupun transendental dari berbagai pihak terkait yang memungkinkan

“takdir” ini terjadi. Oleh karenanya, wajib bagi penulis mempersembahkan rasa terima kasih

yang tulus kepada Bapak Kepala LAN, Prof. Dr. Agus Dwiyanto, MPA yang telah menugaskan

dan memberi kepercayaan yang besar kepada penulis untuk mengikuti Diklatpim Tingkat I

Angkatan XXV. Atas dasar kepercayaan itu pulalah, penulis mencoba untuk tidak

mengecewakan selama menjalankan kewajiban selaku peserta. Terima kasih juga penulis

haturkan kepada Bapak Deputi III, Drs. Desi Fernanda, M.Soc.Sc, atasan langsung penulis,

yang telah memberi dukungan moril dan selalu menjadi mentor yang baik bagi penulis.

Demkian pula untuk para peneliti dan staf Pusat Kajian Hukum Administrasi Negara, penulis

menyampaikan apresiasi yang sebesar-besarnya. Tanpa keberadaan Kapusnya di tempat,

ternyata tidak menyurutkan semangat untuk mengukir preastasi dan kinerja terbaik.

Kepada para penyelenggara Diklatpim I, dari Bapak Deputi Spimnas Bidang

Kepemimpinan, Prof. Dr. Ismail Sai, SH.,MH., Kapusdiklat Spimnas Bidang Kepemimpinan,

Dra. Reni Suzana, MPPM, hingga pada tenaga administrasi yang telah memberikan pelayanan

siang malam dengan setulus hari, pak Parlan, mas Haris, mas Ari Noviono, mas Bambang

Setyo, dan lain-lain yang tidak dapat disebut satu-persatu, penulis ucapkan terima kasih,

Page 7: Penguatan Peran Deputi III LAN Melalui Penajaman Kajian HAN Guna Meningkatkan Kualitas Peraturan Perundang-Undangan

vi

dengan disertai doa semoga pengabdian bapak/ibu semua menjadi amal jariyah yang dibalas

dengan pahala tidak pernah terputus dari Allah SWT.

Kepada seluruh rekan-rekan peserta yang telah menjadikan waktu 11 minggu tidak

terasa lama dan penuh dengan aura positif, penulis sampaikan terima kasih, semoga

kebersamaan dan jalinan kekeluargaan yang telah terpatri dapat terus kita pelihara di hari-hari

mendatang. Tidak lupa pula kepada seluruh Tim Widyaiswara yang tidak dapat penulis

sebutkan satu-persatu, khususnya kepada pembimbing KTP-2, Bapak Dr. Ir. Tjuk Sukardiman,

M.Si., penulis menghaturkan jutaan terima kasih atas segala ilmu yang dicurahkan, kesabaran

yang terus ditebarkan, serta kebijaksanaan (wisdom) yang diteladankan kepada seluruh

peserta.

Terakhir, untuk istri penulis tersayang, R. Kania Bratadiredja, dan anak-anak penulis

Teteh Syifa, Mbak Rara, Kakak Tria, Kang Mizan, dan Adik Nizam, karya tulis ini adalah

persembahan dan wujud dedikasi penulis untuk keluarga. Meskipun Kakak Tria, Kang Mizan,

dan Adik Nizam sakit-sakitan dalam 3 minggu terakhir, namun cinta yang terpancar dan

sentuhan-sentuhan kejiwaan dari istri dan kelima anak penulis jauh lebih besar dan membuat

penulis mampu menyelesaikan KTP-2 ini meski terpaksa agak terhambat dan tersendat.

Semoga Allah ar Rahman ar Rahiem al Kariem senantiasa melimpahkan segala kebaikan dan

keberkahan dari segala penjuru langit dan bumi untuk kemuliaan kalian semua.

Akhirul kalam, karya sederhana ini tentu menyimpan banyak kelemahan dan

kecacatan, dibalik ide-ide yang mungkin cukup orisinal dan baik untuk perbaikan institusional.

Adanya kebaikan sepenuhnya adalah hidayah Allah, dan keburukan yang ada sepenuhnya

adalah wujud kefakiran ilmu dari penulis. Untuk itu, penulis mengundang sidang pembaca untuk

memberi pengayaan dan pelurusan terhadap karya tulis ini.

Wassalamu’alaikum

Salam semangat tak pernah padam!

Jakarta, 14 Mei 2013

(Ultah Kakak Tria ke-6)

Tri Widodo W. Utomo

NDH 12

Page 8: Penguatan Peran Deputi III LAN Melalui Penajaman Kajian HAN Guna Meningkatkan Kualitas Peraturan Perundang-Undangan

vii

LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA

PUSAT DIKLAT SPIMNAS BIDANG KEPEMIMPINAN

PAKTA INTEGRITAS

Saya yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan dengan sesungguhnya, bahwa

Karya Tulis Prestasi Perseorangan (KTP-2) saya susun sebagai salah satu syarat untuk

menyelesaikan Diklatpim Tingkat II yang seluruhnya merupakan hasil karya sendiri.

Adapun bagian-bagian tertentu dalam penulisan KTP-2 yang saya kutip secara

langsung atau tidak langsung dari hasil karya orang lain telah saya tuliskan sumbernya

secara jelas sesuai dengan norma, kaidah dan etika penulisan ilmiah.

Apabila di kemudian hari ditemukan seluruh atau sebagian KTP-2 ini bukan karya tulis

saya sendiri, atau ada indikasi adanya plagiasi di bagian-bagian tertentu, saya bersedia

menerima sanksi sesuai peraturan yang berlaku.

Pakta Integritas ini dibuat dengan sebenarnya, tanpa tekanan dari siapapun, dan Pakta

Integritas ini digunakan untuk seperlunya.

Jakarta, 14 Mei 2013

Tri Widodo Wahyu Utomo

NDH. 12

Page 9: Penguatan Peran Deputi III LAN Melalui Penajaman Kajian HAN Guna Meningkatkan Kualitas Peraturan Perundang-Undangan

viii

DAFTAR ISI

Halaman Judul ………………………………………………………………………………….. i

Lembar Pengesahan …………………………………………………………………………… ii

Lembar Persetujuan Penyajian ………………………………………………………………… iii

Ringkasan Eksekutif …………………………………………………………………………….. iv

Kata Pengantar ………………………………………………………………………………….. vi

Pakta Integritas ………………………………………………………………………………….. viii

Daftar Isi ………………………………………………………………………………………….. ix

Daftar Tabel ………………………………………………………………………………………. xi

Daftar Gambar ……………………………………………………………………………………. xii

Bab I Pendahuluan ……………………………………………………………………….. 1

A. Latar Belakang ………………………………………………………………….. 1

B. Potret Kinerja Kebijakan di Indonesia …………………………………………. 5

1. Pengujian Undang-Undang (Judicial Reviel/Constitutional Review) ..... 5

2. Evaluasi dan Klarifikasi Peraturan Daerah ............................................ 7

3. Sengketa Tata Usaha Negara akibat dikeluarkannya Keputusan

(beschikking) ......................................................................................... 10

4. Sengketa Kewenangan Antar Lembaga Negara .................................... 10

C. Symbolic Policy vs Evidence-based Policy …………………………………… 10

D. Sistem Administrasi Negara (SAN) dan Hukum Administrasi Negara

(HAN) …………………………………………………………………………….. 12

E. Maksud dan Tujuan Penulisan KTP-2 ………………………………………… 17

F. Metode dan Teknik Analisis …………………………………………………… 17

G. Sistematika Penulisan ………………………………………………………….. 18

Bab II Perumusan dan Pemecahan Masalah Menggunakan SSM …………………. 20

A. Permasalahan (Situation Considered Problematic) Terkait Tugas dan

Fungsi Instansi ………………………………………………………………….. 20

B. Dampak Apabila Permasalahan Tidak Diselesaikan ……………………….. 24

Page 10: Penguatan Peran Deputi III LAN Melalui Penajaman Kajian HAN Guna Meningkatkan Kualitas Peraturan Perundang-Undangan

ix

C. Rich Picture Penguatan Peran LAN Dalam Peningkatan Kualitas

Peraturan dan Kebijakan Nasional Melalui Penajaman Kajian HAN ……… 25

D. Root Definition dan CATWOE Analysis ……………………………………… 27

E. Conceptual Model dan Perbandingannya Dengan Dunia Nyata (Real

World) ……………………………………………………………………………. 29

F. Perubahan yang Ingin Diwujudkan (Feasible and Desirable Changes) …… 32

G. Action to be Taken to Improve the Situation (Rencana Aksi) ………………. 33

Bab III Penggambaran Masa Depan Sistem Peraturan/Kebijakan Dengan

Scenario Planning ………………………………………………………………… 35

A. Penetapan Focal Concern (FC) ……………………………………………….. 35

B. Identifikasi Driving Force (DF) …………………………………………………. 36

C. Analisis Hubungan Antar Driving Forces (DF) ………………………………. 36

D. Menyusun Matriks Skenario ……………………………………………………. 39

E. Menentukan Ciri-Ciri Kutub …………………………………………………….. 40

F. Metafora dan Narasi Skenario …………………………………………………. 42

G. Rekomendasi Kebijakan ……………………………………………………….. 45

Bab IV Pengembangan Kebijakan dan Rencana Implementasinya ……………….. 46

A. Penetapan Visi dan Misi ……………………………………………………….. 46

B. Nilai-Nilai Organisasi (Values) ………………………………………………… 47

C. Tujuan dan Sasaran …………………………………………………………….. 48

D. Kebijakan dan Program …………………………………………………………. 50

Bab V Penutup ……………………………………………………………………………… 52

Daftar Pustaka ……………………………………………………………………………………. 55

Page 11: Penguatan Peran Deputi III LAN Melalui Penajaman Kajian HAN Guna Meningkatkan Kualitas Peraturan Perundang-Undangan

x

DAFTAR TABEL

Tabel 1.1. Potret Undang-Undang yang Tidak Berkualitas Dilihat dari Tahun dan

Materinya ………………………………………………………………………… 6

Tabel 1.2. Rekapitulasi Pembatalan dan Klarifikasi Peraturan Daerah (2002-2009) … 8

Tabel 1.3. Rekapitulasi Klarifikasi Peraturan Daerah (2002-2009) …………………… 9

Tabel 1.4. Intisari Materi Sistem Administrasi Negara (SAN) Berdasarkan Textbook

Ilmu Administrasi Negara ……………………………………………………… 14

Tabel 1.5. Perbandingan Tahapan Metode SSM dan Metode Scenario Planning …… 18

Tabel 2.1. Ringkasan Situasi Problematik (Situation Considered Problematic) ……… 25

Tabel 2.2. Analisis CATWOE Untuk Menyusun Root Definition ……………………….. 28

Tabel 2.3. Perbandingan Model Konseptual dengan Dunia Nyata (Real World) ......... 31

Tabel 2.4. Usulan Kegiatan Dalam Kerangka Peningkatan Kualitas Peraturan

Perundang-Undangan dan Kebijakan Nasional di Bidang Administrasi

Negara ........................................................................................................ 33

Tabel 3.1. Driving Forces (DF) ……………………………………………………………. 36

Tabel 3.2. Analisis Leverage ……………………………………………………………… 38

Page 12: Penguatan Peran Deputi III LAN Melalui Penajaman Kajian HAN Guna Meningkatkan Kualitas Peraturan Perundang-Undangan

xi

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1. Kerangka Logis Pembenahan Kajian Kebijakan Dalam Membangun

Penyelenggaraan Negara yang Baik (Pendekatan Sistem: Input-Output-

Outcome) ……………………………………………………………………….. 24

Gambar 2.2. Rich Picture …………………………………………………………………….. 27

Gambar 2.3. Conseptual Model of the System Peningkatan Kualitas Peraturan

Perundang-Undangan dan Kebijakan Nasional Bidang Administrasi

Negara ………………………………………………………………………….. 30

Gambar 2.4. Perubahan yang Diinginkan ........................................................................ 32

Gambar 3.1. Evaluasi dan Penilaian Driving Force Dengan Teknik Non-linier ………… 37

Gambar 3.2. Matriks Skenario ……………………………………………………………… 40

Gambar 3.3. Metafora Skenario ……………………………………………………………… 42

Gambar 4.1. Peta Strategi Deputi III LAN …………………………………………………… 51

Page 13: Penguatan Peran Deputi III LAN Melalui Penajaman Kajian HAN Guna Meningkatkan Kualitas Peraturan Perundang-Undangan

1

BAB I

P E N D A H U L U A N

A. Latar Belakang

Dilihat dari sejarahnya, Lembaga Administrasi Negara (selanjutnya disebut LAN)

didirikan untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna administrasi negara. Hal ini bisa

disimak dari Pidato Perdana Menteri Djuanda tanggal 5 Mei 1958 pada saat pelantikan Prof.

Dr. Mr. Prajudi Atmosudirdjo sebagai Direktur LAN, yang antara lain menegaskan sebagai

berikut:

“… telah menjadi kenyataan, terutama di negara-negara Asia, bahwa kelambatan dari usaha-usaha pembangunan ekonomi dan masyarakat disebabkan oleh struktur dan cara bekerja Administrasi Negara yang kurang berdayaguna.

Oleh sebab itu pula, … yang menjadi salah satu tugas pokok dari LAN adalah penyelidikan (research) di lapangan Administrasi Negara, baik yang bersifat induktif dan empiris (mengumpulkan bahan-bahan didalam negeri guna memperoleh kesimpulan yang akan dijadikan faktor penting untuk menentukan corak administrasi negara kita), maupun yang bersifat komparatif (mengumpulkan bahan-bahan keterangan sistem dan struktur administrasi di negara-negara lain guna dijadikan bahan perbandingan dan perbincangan didalam usaha-usaha menemukan dan menyusun suatu Administrasi Negara Indonesia yang berdayaguna).

Dan salah satu bagian di lapangan research dari LAN ini yang sangat penting adalah “Bagian Konsultasi” yang harus terdiri atas ahli administrasi dan manajemen … yang mampu memberikan advis-advis mengenai administrasi, organisasi, metode-metode, manajemen, dsb.”

Untuk dapat memahami lebih dalam tentang LAN, perlu juga disimak Pidato Prof.

Dr. Mr. Prajudi Atmosudirdjo sebagai berikut:

“Keputusan Pemerintah untuk mendirikan LAN, yang berarti bahwa Pemerintah secara tegas hendak membangun Public Administration di Indonesia, adalah suatu titik perubahan pokok di dalam sejarah kenegaraan kita. Dengan keputusan tersebut kita meninggalkan azas Negara Hukum yang kita pelajari dari Belanda, dan dengan tidak meninggalkan hukum itu, kita sekarang sedang menuju ke suatu ”Negara Administratif” ...

Dengan mendirikan LAN ini, Pemerintah ingin mempercepat proses perubahan jiwa Pegawai-pegawai Negeri kita, yang pada masa ini masih selalu menjadi ejekan masyarakat, yaitu perubahan dari pegawai negeri yang ”hanya menjalankan peraturan” saja ke Pegawai Negeri Indonesia yang baru, yang mempunyai entrepreneurship dan leadership yang berjiwa sebagai ”managers

Page 14: Penguatan Peran Deputi III LAN Melalui Penajaman Kajian HAN Guna Meningkatkan Kualitas Peraturan Perundang-Undangan

2

of the state” atau ”public managers” yang penuh inisiatif sendiri serta berjiwa dinamis, dan yang selalu berusaha untuk mempertinggi produktivitas kerja, produktivitas negara, produktivitas modal nasional, dan sebagainya ... ”

Pidato Perdana Menteri Djuanda diatas dapat dikatakan sebagai philosophische

grondslag (dasar filosofis) dari keberadaan LAN, dan senantiasa harus dijadikan sebagai

rujukan dalam mengkaji kinerja dan kebutuhan pengembangan organisasi LAN dimasa-

masa selanjutnya. Tanpa merujuk pada pola pikir dan semangat awal pendiriannya,

pembicaraan tentang LAN bisa terjebak pada siatuasi ahistoris, dimana perdebatan tentang

LAN tidak fokus dan mengakar pada cita-cita dan mandat yang diberikan oleh para

pimpinan negara waktu itu.

Dari penggalan pidato kedua pejabat diatas nampak jelas bahwa LAN tidak hanya

memiliki tugas dalam mendidik dan melatih PNS, namun juga mengemban fungsi penelitian

(kajian) dan perkonsultasian. Itulah sebabnya, dalam berbagai peraturan yang menjadi

payung hukum eksistensi LAN hingga saat ini, fungsi penelitian atau kajian masih tetap

dipertahankan. Dan mengacu pada Keputusan Presiden No. 103/2001 tentang Kedudukan,

Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Lembaga Pemerintah

Non Departemen jo. Peraturan Presiden No. 64/2005, LAN pada prinsipnya adalah unit

pemikir (think tank) pemerintah untuk memperbaiki sistem administrasi negara dan

kualitas kebijakan publik, baik pada tataran nasional maupun daerah.

Dalam menjalankan tugas dan fungsi LAN tersebut, Deputi III bidang Penelitian

dan Pengembangan Administrasi Pembangunan dan Otomasi Administrasi Negara (Litbang

APOAN). Deputi III memiliki tugas untuk melaksanakan perumusan dan pelaksanaan

kebijakan di bidang penelitian dan pengembangan administrasi pembangunan dan otomasi

administrasi negara. Untuk melaksanakan tugas tersebut, Deputi Bidang Litbang APOAN

memiliki fungsi sebagai berikut:

1. Penyusunan telaahan kebijakan di bidang administrasi pembangunan, pengembangan

system informasi dan otomasi administrasi negara, kerjasama regional dan internasional

di bidang administrasi negara dan kajian hukum administrasi negara,

2. Penyusunan agenda kajian kebijakan di bidang administrasi pembangunan,

pengembangan sistem informasi dan otomasi administrasi negara, kerja sama regional

dan internasional di bidang administrasi negara dan kajian hukum administrasi negara,

3. Pengkajian administrasi pembangunan dan kerjasama regional,

4. Pengkajian dan pengembangan sistem informasi dan otomasi administrasi negara,

Page 15: Penguatan Peran Deputi III LAN Melalui Penajaman Kajian HAN Guna Meningkatkan Kualitas Peraturan Perundang-Undangan

3

5. Pengkajian dan pengembangan hukum administrasi negara,

6. Pengembangan kerja sama internasional di bidang administrasi negara,

7. Pelaksanaan tugas lain yang terkait yang ditetapkan oleh Kepala.

Ketujuh fungsi Deputi Litbang APOAN diatas secara operasional dilaksanakan

oleh 3 (tiga) Pusat, yakni:

1. Pusat Kajian Hukum Administrasi Negara (PKHAN),

2. Pusat Kajian Administrasi Internasional (PKAI),

3. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sistem Informasi dan Otomasi Administrasi

Negara (Puslitbang SIOAN).

Dalam melakukan tugas kajian/penelitian kebijakan tersebut, harus diakui LAN

masih menghadapi beberapa kendala dan kelemahan, baik yang bersumber pada kondisi

internal maupun eksternal. Pada aspek internal, beberapa masalah yang sering dihadapi

adalah:

� Terbatasnya kapasitas (kuantitas dan kualitas) tenaga peneliti dibandingkan dengan

lingkup substantif kajian administrasi negara yang sangat luas serta issu-issu aktual dan

tuntutan publik yang semakin berkembang.

� Terbatasnya anggaran penelitian yang membatasi kebutuhan untuk penetapan

lokus/sampel penelitian, pencetakan laporan/publikasi, pengiriman diklat bagi peneliti,

dan sebagainya.

� Mekanisme perencanaan dan koordinasi kelitbangan antar unit-unit kajian yang belum

terpola secara baku.

Sementara itu, pada aspek eksternal terdapat masalah-masalah umum yang

berada diluar kewenangan LAN, misalnya sebagai berikut:

� Belum adanya forum koordinasi kelitbangan khusus Paguyuban PAN. Hal ini

mengakibatkan indikasi program kajian yang dilakukan Kantor Menpan, LAN, BKN,

ANRI, dan BPKP tidak saling memperkuat dan bahkan membuka kemungkinan tumpang

tindih, baik dalam hal judul kegiatan, substansi, maupun lokus penelitian.

� Forum kelitbangan yang ada saat ini, yakni FKK (Forum Koordinasi Kelitbangan) belum

optimal karena selain bersifat sangat umum (tidak fokus pada issu tertentu), juga tidak

terjadual secara rutin dengan agenda yang jelas dan tegas.

� Belum adanya penetapan dari instansi Pembina Jabatan Fungsional Peneliti, yakni LIPI,

tentang standarisasi kompetensi peneliti. Kalaupun ada, nampaknya masih cenderung

asal ada dan tidak mencerminkan kompetensi yang sesungguhnya.

Page 16: Penguatan Peran Deputi III LAN Melalui Penajaman Kajian HAN Guna Meningkatkan Kualitas Peraturan Perundang-Undangan

4

Meskipun dihadapkan pada beberapa kelemahan, LAN memiliki komitmen penuh

untuk terus menerus meningkatkan kualitas proses dan hasil kajian, termasuk kemanfaatan

bagi seluruh stakeholder. Komitmen ini antara lain ditandai dengan upaya melakukan

revitalisasi kelembagaan dalam rangka organizational development, restrukturisasi program

dan kegiatan untuk mempertajam output dan outcomes, serta menerapkan pola baru dalam

promosi dan mutasi pegawai.

Terlepas dari permasalahan umum diatas, perlu dikemukakan disini bahwa hasil

kajian/penelitian yang ada saat inipun sudah cukup menunjukkan kemanfaatan yang nyata.

Bentuk-bentuk kemanfaatan beragam dari pemanfaatan sebagai bahan bacaan, koleksi

perpustakaan, rujukan dalam menyusun pidato pejabat, rujukan dalam penulisan

skripsi/thesis/disertasi di berbagai Perguruan Tinggi, penggunaan sebagai bahan ajar

perkuliahan di Perguruan Tinggi atau diklat-diklat, pengembangan wawasan bagi aparat

pemerintah, hingga adopsi sebagai muatan (content) suatu kebijakan tertentu.

Beberapa kebijakan atau hukum positif yang merupakan kontribusi pemikiran LAN

antara lain Keppres No. 44 dan 45 Tahun 1974, Inpres No. 7/1999, PP No. 101/2000,

Permenpan No. 20, 25, dan 26 Tahun 2006, Permenpan No. 13/2009, dan sebagainya.

Draft perubahan UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 43/1999

tentang Pokok-Pokok Kepegawaian, juga tidak lepas dari rekomendasi yang dihasilkan

LAN. Di tingkat daerah, rekomendasi yang dihasilkan oleh PKP2A juga cukup banyak

mewarnai kebijakan di level Provinsi, Kabupaten dan Kota.

Di tengah-tengah kendala yang ada serta kemanfaatan yang telah diraih, LAN juga

komit untuk melakukan pembenahan sistemik menuju manajemen kelitbangan yang lebih

berbobot dan professional. Pembenahan ini dilakukan sejak tahap perencanaan,

pelaksanaan, monitoring, hingga evaluasinya, yakni dengan mengoptimalkan fungsi unit-

unit kerja terkait. Pada saat yang sama, upaya membangun kompetisi yang sehat antar unit

kajian juga terus ditumbuhkan melalui berbagai program budaya kerja, salah satunya

melalui penyelenggaraan knowledge shared forum sebagai media pengembangan tradisi

akademik di unit litbang/ kajian.

Dari deskripsi tentang filosofi pendirian, mandat organisasi (tugas dan fungsi),

serta kendala dan kinerja yang dicapai tersebut diatas, dipandang perlu untuk lebih

memperkuat peran Deputi III Bidang APOAN untuk memperkokoh kedudukan dan kontribusi

LAN secara menyeluruh. Dan mengingat keragaman karakteristik tugas, fungsi, dan

departementasi Deputi III, maka dalam rangka rencana penulisan Karya Tulis Prestasi

Page 17: Penguatan Peran Deputi III LAN Melalui Penajaman Kajian HAN Guna Meningkatkan Kualitas Peraturan Perundang-Undangan

5

Perseorangan (KTP2) ini akan difokuskan pada tugas dan fungsi yang berkaitan dengan

pengkajian Hukum Administrasi Negara.

B. Potret Kinerja Kebijakan di Indonesia

Sebagaimana telah disinggung pada Bab sebelumnya, kinerja kebijakan

pemerintah secara umum kurang menggembirakan. Kebijakan pemerintah disini difokuskan

pada perumusan peraturan perundang-undangan (Undang-Undang dan Peraturan Daerah),

penerbitan Keputusan, serta sengketa kewenangan antar lembaga negara.

1. Pengujian Undang-Undang (Judicial Reviel/Constitutional Review)

Dari sejumlah permohonan yang diajukan ke MK sejak 2003 hingga 2012, tercatat

1.166 perkara yang telah ditangani oleh MK. Dari jumlah tersebut, jika dipilah

berdasarkan kewenangan, terdapat 532 perkara (45%) Pengujian Undang-Undang

(PUU), 21 perkara (2%) Sengketa Kewenangan antar Lembaga Negara, 116 perkara

(10%) Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Legislatif dan Presiden/Wakil

Presiden, serta 497 perkara (43%) PHPU Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah

(Mahkamah Konstitusi, Laporan Tahunan 2012).

Dari 532 perkara PUU yang ditangani sejak 2003 sampai 2012, MK telah

menyelesaikan 460 perkara. Jumlah penyelesaian ini terdiri dari 414 (90%) putusan dan

46 (10%) perkara melalui Ketetapan. Adapun jumlah untuk masing-masing amar

putusannya adalah 127 perkara (31%) dikabulkan, 154 perkara (37%) ditolak, dan 133

perkara (32%) tidak dapat diterima. Selebihnya, melalui ketetapan: 45 perkara (98%)

ditarik kembali dan 1 perkara (2%) tidak berwenang (MK, Laporan Tahunan 2012).

Sejak 2003 hingga 2012, tercatat 182 UU yang diuji ke MK. Dari jumlah ini,

terdapat 2 UU yang paling banyak diuji, yakni UU No. 32 Tahun 2004 tentang

Pemerintahan Daerah dengan frekuensi uji 36 kali, serta UU No. 8 tahun 1981 tentang

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dengan jumlah uji 27 kali. Sedangkan jika

ditilik berdasarkan tahun pembuatan undang-undangnya, produk legislasi tahun 2004

paling banyak diuji ke MK. Tercatat 22 UU yang dibuat pada tahun ini telah diuji ke MK

sejak 2003 hingga 2012 (MK, Laporan Tahunan 2012).

Jika banyaknya perkara PUU mengindikasikan lemahnya kapasitas perundang-

undangan, maka kelemahan terburuk legislasi nasional terjadi pada tahun 2004 dimana

dilakukan pengujian sebanyak 22 UU; disusul secara berurutan tahun 2009 (19 UU);

Page 18: Penguatan Peran Deputi III LAN Melalui Penajaman Kajian HAN Guna Meningkatkan Kualitas Peraturan Perundang-Undangan

6

2008 (18 UU); 2003 (17 UU); 2007 dan 2011 (12 UU); 1999 dan 2002 (11 UU). Adapun

jika frekuensi pengujian terhadap sebuah UU mencerminkan kualitas UU tersebut, maka

UU yang paling rendah kualitasnya adalah UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan

Daerah (36 kali pengujian); UU No. 8/1981 tentang KUHAP (27 kali); UU No. 10/2008

tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD (25 kali); UU No. 12/2008

tentang Perubahan Kedua UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah (18 kali); UU

No. 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (16 kali); UU No.

42/2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, dan UU No. 27/2009

tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (15 kali); UU No. 37/2004 tentang Kepailitan dan

Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (12 kali); UU No. 20/2003 tentang Tentang

Sistem Pendidikan Nasional, dan UU No. 24/2003 tentang Mahkamah Konstitusi (11

kali); serta UU No. 36/2009 tentang Kesehatan, dan UU No. 8/2012 tentang Pemilihan

Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD (10 kali).

Secara skematis, potret kualitas Undang-Undang berdasarkan hasil pengujian

material Mahkamah Konstitusi dapat dilihat pada Tabel dibawah ini.

Tabel 1.1. Potret Undang-Undang yang Tidak Berkualitas Dilihat dari Tahun dan

Materinya

No.

Pengujian Berdasarkan Tahun Pengundangan

Pengujian Berdasarkan Materi UU

Tahun Jml UU yg

Diuji Materi

Frek. Pe-ngujian

1 2004 22 UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah;

36

2 2009 19 UU No. 8/1981 tentang KUHAP; 27 3 2008 18 UU No. 10/2008 tentang Pemilihan Umum

Anggota DPR, DPD, dan DPRD; 25

4 2003 17 UU No. 12/2008 tentang Perubahan Kedua UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah;

18

5 2007, 2011 12 UU No. 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;

16

6 1999, 2002 11 UU No. 42/2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden; UU No. 27/2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD;

15

7 1992, 2001, 2006, 2012

5 UU No. 37/2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang

12

Page 19: Penguatan Peran Deputi III LAN Melalui Penajaman Kajian HAN Guna Meningkatkan Kualitas Peraturan Perundang-Undangan

7

8 2000 4 UU No. 20/2003 tentang Tentang Sistem Pendidikan Nasional; UU No. 24/2003 tentang Mahkamah Konstitusi;

11

UU No. 36/2009 tentang Kesehatan; UU No. 8/2012 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD;

10

Sumber: Mahkamah Konstitusi, Dinamika Penegakan Hak Konstitusional Warga Negara: Laporan Tahunan 2012, MK, 2012 (diolah).

2. Evaluasi dan Klarifikasi Peraturan Daerah

UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah pada pasal 136 mengatur bahwa

Perda dibentuk dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan,

serta penjabaran lebih lanjut dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi

dengan memperhatikan ciri khas daerah. Perda dilarang bertentangan dengan

kepentingan umum dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.

Selama ini, Pemerintah Pusat cq. Kementerian Dalam Negeri melakukan

pengawasan terhadap Perda, yang terdiri dari Klarifikasi dan Evaluasi Perda. Menurut

Permendagri No. 53/2007 tentang Pengawasan Peraturan Daerah dan Peraturan

Kepala Daerah, sebagaimana telah dicabut dengan Permendagri No. 53/2011 tentang

Pembentukan Produk Hukum Daerah, klarifikasi adalah pengkajian dan penilaian

terhadap peraturan daerah dan peraturan kepala daerah guna mengetahui apakah

peraturan daerah atau peraturan kepala daerah bertentangan dengan kepentingan

umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Sedangkan evaluasi

adalah pengkajian dan penilaian terhadap rancangan peraturan daerah dan rancangan

peraturan kepala daerah untuk mengetahui apakah bertentangan dengan kepentingan

umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.1

Terkait dengan issu peraturan daerah ini, Biro Hukum Kementerian Dalam Negeri

(2012, Issu Peraturan Daerah dan Peraturan Kepala Daerah Dalam RUU Tentang

1 Selama ini dipahami secara luas bahwa evaluasi adalah bentuk pengawasan secara preventif, sedangkan klarifikasi adalah bentuk pengawasan secara represif. Namun perlu dicatat bahwa baik UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, UU No. 27/2009 tentang MD3 (MPR, DPR, DPD, dan DPRD), Permendagri No. 53/2007 tentang Pengawasan Peraturan Daerah dan Peraturan Kepala Daerah, serta Permendagri No. 53/2011 tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah, tidak satu pasal dan ayat-pun yang menggunakan istilah ini. Satu-satunya produk hukum yang menyebut adanya istilah pengawasan represif adalah Keputusan Mendagri No. 41/2001 tentang Pengawasan Represif Kebijakan Daerah. Oleh karena itu, sebaiknya klarifikasi dan evaluasi tidak lagi dikait-kaitkan dengan pengawasan represif dan preventif karena bisa menimbulkan kebingungan hukum dan kesalahpahaman dalam interpretasi.

Page 20: Penguatan Peran Deputi III LAN Melalui Penajaman Kajian HAN Guna Meningkatkan Kualitas Peraturan Perundang-Undangan

8

Pemerintahan Daerah, bahan paparan) menyebutkan adalah 6 (enam) masalah pokok

sebagai berikut:

• Banyak peraturan daerah yang bermasalah.

• Pengawasan preventif terhadap peraturan daerah tidak optimal.

• Pembatalan peraturan daerah bermasalah langsung oleh presiden tidak efisien

mengingat jumlah dan jenis peraturan daerah banyak dan beragam.

• Kecenderungan daerah tidak menyampaikan peraturan daerah yang telah

ditetapkan kepada pemerintah sehingga pemerintah tidak dapat melakukan

klarifikasi atas peraturan daerah tersebut.

• Sulit diketahui jumlah dan jenis peraturan daerah sehingga pengawasan terhadap

peraturan daerah tidak optimal.

• Tidak ada sanksi bagi daerah yang tidak menyerahkan peraturan daerah.

Dengan banyaknya permasalahan di sekitar peraturan daerah, maka wajarlah

jika selama ini kita dengar banyaknya peraturan daerah yang dibatalkan oleh

pemerintah Pusat. Dalam hal ini, pada periode 2002-2009 klarifikasi yang menghasilkan

keputusan berupa pembatalan peraturan daerah dapat disimak pada Tabel dibawah ini.

Tabel 1.2. Rekapitulasi Pembatalan dan Klarifikasi Peraturan Daerah (2002-2009)

TAHUN PDRD MIHOL SP3 LAIN2 JUMLAH

2002 17 - 2 - 19

2003 95 3 1 6 105

2004 220 2 13 1 236

2005 118 1 4 3 126

2006 114 - - - 114

2007 161 1 4 7 173

2008 223 4 - 2 229

2009 831 11 5 29 876

Jumlah 1779 22 29 48 1878

Sumber: Biro Hukum Kementerian Dalam Negeri (2012).

Keterangan: PDRD : Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Mihol : Minuman Beralkohol SP3 : Sumbangan Pihak Ketiga Lain-lain: Perijinan, Air Tanah, Pelayanan Terpadu, Syariah, dan sebagainya.

Page 21: Penguatan Peran Deputi III LAN Melalui Penajaman Kajian HAN Guna Meningkatkan Kualitas Peraturan Perundang-Undangan

9

Semenjak tahun 2010, Menteri Dalam Negeri masih terus melakukan klarifikasi

terhadap peraturan daerah, namun tidak lagi membatalkan perda-perda bermasalah.

Pembatalan peraturan daerah dilakukan langsung melalui Peraturan Presiden.

Tabel 1.3. Rekapitulasi Klarifikasi Peraturan Daerah (2002-2009)

TAHUN PDRD MIHOL SP3 LAIN2 JUMLAH

2010 324 7 2 74 407

2011 265 12 69 5 351

2012 61 4 24 84 173

Jumlah 650 23 95 163 931

Sumber: Biro Hukum Kementerian Dalam Negeri (2012).

Sementara untuk tahun 2013, sampai dengan Februari telah diklarifikasi 423

peraturan daerah, dengan 30 diantaranya dikategorikan sebagai perda bermasalah.

Jumlah total sebanyak 931 peraturan daerah (2010-2012) yang diklarifikasi ini sering

disebut dengan peraturan daerah yang bermasalah. Jika sebelum tahun 2010 peraturan

daerah bermasalah khusus terkait Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dibatalkan

langsung oleh Menteri Dalam Negeri, maka semenjak keluarnya UU No. 28/2009

tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, Menteri Dalam Negeri tidak berwenang lagi

membatalkan Perda tentang PDRD, dan kewenangan pembatalan langsung dipegang

oleh Presiden.

Adapun yang dilakukan Kementerian Dalam Negeri terkait dengan adanya Perda

PDRD bermasalah adalah dengan menyampaikan hasil klarifikasi, dan meminta daerah

yang bersangkutan untuk melakukan review terhadap perda tersebut.

Dalam perspektif revisi UU Pemerintahan Daerah, pengaturan mengenai peraturan

daerah juga turut berubah. Dalam hal ini, arah pengaturan baru dalam RUU Pemda

untuk meminimalisir munculnya banyak Perda bermasalah adalah sebagai berikut:

• Perda harus mendapatkan nomor register sebelum diundangkan.

• Pemberian sanksi administratif bagi kepala daerah yang tidak menyampaikan Perda.

• Pengawasan preventif diterapkan untuk 8 (delapan) Raperda yakni RPJPD, RPJMD

APBD, perubahan APBD, pertanggung jawaban pelaksanaan APBD, Pajak Daerah,

Retribusi Daerah, dan RUTR.

Page 22: Penguatan Peran Deputi III LAN Melalui Penajaman Kajian HAN Guna Meningkatkan Kualitas Peraturan Perundang-Undangan

10

• Pengawasan represif dilakukan terhadap semua Perda.

• Mendagri berwenang membatalkan semua Perda Provinsi, dan Gubernur

berwenang membatalkan Perda Kabupaten/Kota yang bertentangan dengan

kepentingan umum, kesusilaan atau peraturan perundang-undangan yang lebih

tinggi.

• Diberlakukannya mekanisme perbaikan kebijakan (peraturan) melalui executive

review.

• Sanksi bagi daerah, kepala daerah dan anggota DPRD yang masih memberlakukan

Perda yang sudah dibatalkan.

3. Sengketa Tata Usaha Negara akibat dikeluarkannya Keputusan (beschikking)

Selain rendahnya kualitas kebijakan berupa regeling atau peraturan perundang-

undangan seperti Undang-Undang atau peraturan Daerah sebagaimana dikemukakan

diatas, indikasi lemahnya kebijakan juga bisa dilihat dari maraknya sengketa TUN (Tata

Usaha Negara) akibat dikeluarkannya beschikking atau keputusan. Dalam hal ini,

publikasi Mahkamah Agung dalam website-nya menyebutkan bahwa dari periode 2004

hingga 2012, terdapat 3272 putusan atas sengketa TUN.

4. Sengketa Kewenangan Antar Lembaga Negara

Sejak 2003-2012 tidak banyak perkara SKLN yang dimohonkan ke MK, bahkan

pada 2003 tidak ada satupun perkara yang diregistrasi. Meskipun begitu, pada 2006 dan

2008 terdapat 5 perkara SKLN yang ditangani. Pada 2004, 2005, 2009, dan 2010

masing-masing hanya menangani 1 perkara SKLN dalam setahun. Di tahun 2011,

terjadi peningkatan jumlah perkara SKLN yang diperiksa oleh MK, yakni 7 perkara.

Adapun di tahun 2012, MK menangani 6 perkara. Untuk perkara SKLN sejak 2003

hingga 2012 seluruhnya telah diselesaikan oleh MK. Di mana terdapat 17 putusan dan 4

ketetapan. Jika berdasarkan amarnya, putusan tersebut yakni 1 perkara (6%)

dikabulkan, 3 perkara (18%) ditolak, dan 13 perkara (76%), tidak dapat diterima

(Mahkamah Konstitusi, 2012).

C. Symbolic Policy vs Evidence-based Policy

Berbagai macam kelemahan kebijakan diatas – untuk tidak mengatakan kegagalan

kebijakan serta dampak ikutan yang mungkin timbul bila tidak segera diperbaiki,

Page 23: Penguatan Peran Deputi III LAN Melalui Penajaman Kajian HAN Guna Meningkatkan Kualitas Peraturan Perundang-Undangan

11

mengilustrasikan akan terjadinya symbolic policy dalam sistem penyelenggaraan

negara, khususnya dalam hal sistem peraturan perundang-undangan.

Konsep tentang kebijakan simbolik (symbolic policy) yang dipertentangkan

dengan kebijakan berbasis bukti-bukti (evidence-based policy), dikembangkan oleh

Michiel S. de Vries dalam papernya berjudul “Distinguishing symbolic and evidence-

based policies: the Brazilian efforts to increase the quality of basic education”

(International Review of Administrative Sciences, 77(3), Sage Publication, 2011).

Secara sederhana dapat dijelaskan bahwa symbolic policy terjadi jika sebuah

kebijakan melenceng dari semangat awal serta menghasilkan keuntungan kepada

pihak tertentu secara tidak seimbang; sementara evidence-based policy adalah

kebijakan yang dirumuskan dengan memperhatikan bukti-bukti nyata sehingga

dapat meminimalisir kemungkinan munculnya dampak yang tidak diinginkan.

De Vries menjelaskan bahwa simbol sering digunakan oleh para pengambil

kebijakan untuk memperoleh dukungan meski kebijakan yang diambil tidak efektif

dalam mengurangi masalah. Selain itu, simbol juga berfungsi untuk mengurangi

kompleksitas suatu permasalahan sekaligus untuk menarik bagi media dengan cara

mengurangi argumen yang kompleks. Dengan kedua fungsi ini, maka symbolic

policy menurut de Vries dapat diidentifikasi sebagai berikut:

1) being propagandistic, with an emphasis on illusions and appearances; 2) not caring about the effectiveness of the policies regarding the problem at hand, but rather caring about the exposure thereof; 3) being morally disputable because such policies deceive citizens, conceal hidden agendas and undermine social trust in replacing substantial arguments by strategic arguments and manipulation (see Blu¨ hdorn, 2007: 258); 4) the fact that ‘tangible resources and benefits are frequently not distributed to unorganized political group interests’ (Edelman, 1964: 23).

Selanjutnya de Vries menyebutkan adanya 4 (empat) kriteria symbolic

policy yang membedakannya dari evidence-based policy, yakni: 1) Being simplistic in its

presentation (sederhana dalam penyajian); 2) Ignoring contextual features (mengabaikan

fitur kontekstual); 3) Disregarding empirical analysis (mengabaikan analisis empirik); and 4)

Page 24: Penguatan Peran Deputi III LAN Melalui Penajaman Kajian HAN Guna Meningkatkan Kualitas Peraturan Perundang-Undangan

12

Resulting in policies benefiting the already advantaged group (menghasilkan kebijakan yang

menguntungkan kelompok yang sudah mendapat banyak keuntungan).

D. Sistem Administrasi Negara (SAN) dan Hukum Administrasi Negara (HAN)

Sesuai dengan judulnya, KTP-2 ini ingin menganalisis permasalahan dan

menghasilkan rekomendasi untuk peningkatan kualitas peraturan perundang-undangan dan

kebijakan nasional di bidang administrasi negara. Hal ini sesuai pula dengan ketentuan

Keppres No. 103/2001 Tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan

Organisasi, dan Tata Kerja Lembaga Pemerintah Non Departemen, yang mengamanatkan

bahwa LAN mempunyai tugas melaksanakan tugas pemerintahan di bidang administrasi

negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku (Pasal 4).

Sayangnya, pemahaman tentang “administrasi negara” ini hingga saat ini masih

belum jelas.2 Ada pemahaman umum bahwa administrasi negara adalah administrasi

tentang negara, sehingga administrasi negara ada dan dipraktekkan di setiap

Kementerian/Lembaga dan di seluruh jenjang pemerintahan. Disisi lain, ada semacam

konvensi bahwa administrasi negara memiliki 3 (tiga) dimensi utama, yakni Kelembagaan,

Ketatalaksanaan, dan SDM Aparatur. Belum adanya kesamaan persepsi tentang ruang

lingkup administrasi negara ini semakin diperumit dengan adanya Pusat Kajian Hukum

Administrasi Negara, sehingga memunculkan pertanyaan baru, yakni bagaimana hubungan

antara SAN dengan HAN?

Dalam konteks memetakan ulang ruang lingkup administrasi negara tadi, penulis

memandang perlu adanya perubahan cara pandang tentang SAN dan HAN. Selama ini

terdapat kesan bahwa antara SAN dan HAN dianggap memiliki hubungan yang cukup jauh.

Namun bagi penulis, keduanya ibarat satu koin mata uang dengan dua sisi yang berbeda,

sehingga keduanya sangat dekat dan bahkan tidak dapat dipisahkan. Oleh karena itu,

memahami Hukum Administrasi Negara akan lebih mudah jika didukung dengan

pemahaman yang baik terhadap Sistem Administrasi Negara; demikian pula sebaliknya.

2 Dalam khazanah akademik, definisi dan ruang lingkup administrasi publik atau administrasi negara juga masih terus diperbincangkan dan belum tercapai pemahaman yang seragam. James Fesler (1980), misalnya, mengatakan bahwa public administration has never achieved a definition that commands general assent. Senada dengan itu, Richard Stillman (1980) menulis sebagai berikut: … no one has produced a simple definition of the study of public administration … what constitutes the core values and focus of twentieth-century public administration provides lively debates and even deep divisions between students of the field. Dengan belum jelasnya definisi dan ruang lingkup administrasi publik tersebut, semakin menegaskan perlunya redefinisi administrasi publik/negara.

Page 25: Penguatan Peran Deputi III LAN Melalui Penajaman Kajian HAN Guna Meningkatkan Kualitas Peraturan Perundang-Undangan

13

Dengan cara berpikir seperti ini, maka antara sarjana administrasi negara dengan sarjana

hukum administrasi negara tidak memiliki perbedaan kompetensi yang kontras.

Meskipun keduanya memiliki keterkaitan yang sangat erat, namun tetap diperlukan

adanya pembatasan wilayah substansi yang tegas antara SAN dan HAN. Dalam hal ini,

salah satu pendekatan yang penulis pikirkan untuk membedakan keduanya adalah bahwa

SAN berhubungan dengan filosofi perlunya kebijakan, pelibatan seluruh aktor dalam

formulasi kebijakan, interaksi dan interdependensi dalam lingkungan kebijakan, serta

evaluasi dampak kebijakan. Sementara HAN berhubungan dengan soal kewenangan

lembaga/pejabat dalam perumusan kebijakan (bevoegdheid), benturan kepentingan atau

konflik antar lembaga dalam sistem kebijakan, serta upaya dan mekanisme penegakan

kebijakan. Sederhananya, SAN bicara soal substansi kebijakan (hukum material),

sedangkan HAN lebih menyentuh pada sisi beracaranya (hukum formil).

Disamping itu, redefinisi HAN sangat boleh jadi juga dibutuhkan. Dalam hal ini,

saya saya menawarkan gagasan bahwa HAN identik dengan Hukum Konstitusi. Artinya,

tugas utama HAN sesungguhnya adalah menjamin terwujudnya sinkronisasi antar hierarki

peraturan penundang-undangan. Sepanjang masih terjadi pertentangan antar aturan, maka

hal itu mencerminkan tidak bekerjanya HAN dengan baik.

Dalam konteks melakukan redefinisi HAN dan SAN ini, penulis mencoba

mengembalikan kepada “pakem” atau buku-buku teks (textbook) tentang SAN dan HAN.

Pada wilayah Sistem Administrasi Negara, paling tidak ada 11 buku referensi yang dapat

dijadikan sandaran untuk memahami sistem administrasi negara, sebagai berikut:

Page 26: Penguatan Peran Deputi III LAN Melalui Penajaman Kajian HAN Guna Meningkatkan Kualitas Peraturan Perundang-Undangan

14

Tabel 1.4. Intisari Materi Sistem Administrasi Negara (SAN) Berdasarkan Textbook Ilmu

Administrasi Negara

No. Pengarang & Judul

Buku Intisari Materi SAN

1 George E. Berkley, The Craft of Pubic Administration, Massachusetts: Allyn and Bacon Inc., 1975

• Sistem Politik Amerika: Fragmentasi, Legalisme, Anti-Governmentalism;

• Anatomi Organisasi: Pyramids, Line and Staff;

• Psikologi Organisasi: Motivasi, Patologi; • Personalia: Prosedur, Unionism;

• Kepemimpinan: Kualitas & Teknik, Pengelolaan Staf; • Komunikasi: Formal & Informal, Alat & Metode;

• Penganggaran;

• Sentralisasi;

• Tantangan Perubahan;

• Hukum Administrasi dan Pengawasan Administrasi; • Masa Depan Administrasi.

2 William L. Morrow, Public Administration: Politics, Policy, and the Political System, 2nd Edition, New York: Random House, 1975

• Birokrasi Publik;

• Demokrasi Prosedural vs Demokrasi Substantif;

• Teori Dasar Administrasi Publik: Max Weber, Woodrow Wilson, Frederick Taylor, Luther Gulick, Teori Human Relations, Tradisi Sosial Politik;

• Public Policy: Group Model, Elite Model, Incremental Model, System Model;

• Organisasi: Lini dan Staf, Independent & Special Agency, Duplikasi Yurisdiksi & Misi, Reorganisasi;

• Perilaku Administrasi: Eksekutif dan Legislatif;

• Pelayanan Publik: Sistem Kepartaian, Karir vs Politis; Profesonalisme dan Sistem Merit, Reforming the Reform;

• Partisipasi Masyarakat;

• Penganggaran;

• Issu Kontemporer: Bahasa Perencanaan dan Pluralisme, Policy Leadership, Policy Reform.

3 Howard E. McCurdy, Public Administration: A Synthesis, Cummings Publishing Co., 1977

• Organisasi: Hirarki dan Otoritas, Spesialisasi, Prinsip Staf, Penganggaran dan Personalia, Management by Objectives;

• Perilaku Manusia dalam Organisasi: Komunikasi, Partisipasi, Pembuatan Keputusan, Konflik dan Kekuasaan, Kepemimpinan Institusional;

• Birokrasi: Sisi Informal, Patologi Birokrasi, Biaya Birokrasi;

• Politik Administrasi: Pluralisme, Pemerintah Daerah, Pengawasan Legislatif, Profesionalisme Pelayanan, Federalisme, Kepegawaian, Partisipasi Masyarakat;

• Analisis Kebijakan: Planning-Programming-Budgeting, Cost-Benefit Analysis, Teori Public Choice, Riset dan Evaluasi Program, Incrementalists’ Disclaimer;

Page 27: Penguatan Peran Deputi III LAN Melalui Penajaman Kajian HAN Guna Meningkatkan Kualitas Peraturan Perundang-Undangan

15

• Kekuasaan Eksekutif; • Ilmu Manajemen: Cybernetic, Operation Research,

Mathematics, Simulation, Network Analysis;

• Pengembangan Organisasi (OD);

• Perbandingan Administrasi Publik: Masyarakat Prismatik, Ekologi Administrasi;

• Masa Depan: Regulated State, Postbureaucratic Forms of Organization, New Public Administration, Administrative Contingencies Model, Identity Crisis.

4 James W. Fesler, Public Administration: Theory and Practice, Prentice Hall, 1980

• The nature and study of Public Administration;

• Teori Organisasi: Pendekatan Struktural terhadap Organisasi Besar, Teori System, Tantangan Kelompok Pluralis dan Humanis;

• Organisasi Dalam Praktek: Anatomi Cabang Eksekutif, Reorganisasi, Masalah-Masalah Organisasi;

• Sistem Kepegawaian: Pegawai Pemerintah, Klasifikasi Jabatan, Staffing, Hak dan Kewajiban Pegawai;

• Jabatan Tingkat Tinggi: Elite, Jabatan Politis, Jabatan Eksekutif Senior;

• Pengambilan Keputusan Bidang Anggaran; • Model Pengambilan Keputusan: Rational, Case-to-

Case, Incremental, Participative;

• Implementasi: Sukses dan Gagal, Publik dan Privat;

• Pengawasan: Kongres, Peradilan.

5 Richard J. Stillman, Public Administration: Concepts and Cases, Houghton Mifflin, 1980

• Lingkungan Administrasi Publik: Konsep Birokrasi; Konsep Ekologi; Konsep Kekuasaan Administratif; Konsep Federalisme; Konsep Informal Gorup; Konsep Professional State;

• Fungsi Jamak Administrasi Publik: Pengambilan Keputusan (Konsep Public Choice); Komunikasi (Konsep Information Networks); Pengelolaan Pelayanan (Konsep Management by Objectives); Kepemimpinan Personalia; Perubahan Orga-nisasi Pemerintah (Teori Trade Offs dalam Reorganisasi); Penganggaran (Konsep Budgeting as Political Compromise and Strategy); Perencanaan Program (Konsep Policy Analysis);

• Hubungan Legislatif-Eksekutif (Konsep Details of Adminis-tration); Hubungan Atasan/Majikan-Bawahan/Pekerja (Konsep Economy of Incentives); Etika dan Pelayanan (Konsep Moral Ambiguities of Public Choice).

6 Stuart MacRae and Douglas Pitt, Public Administration: An Introduction, Massachusetts: Pitman Publishing Inc., 1982

• The Nature of Public Administration: Organisasi, Administrasi, Publik vs Privat;

• Lingkungan Sektor Publik: Kekuasaan, Kewenangan, Legitimasi;

• Setting Institusi: Pemerintah Pusat, Kabinet, Parlemen, Peradilan, Tirani Birokrasi, Kelompok Kepentingan, Akuntabilitas, Efisiensi, Responsivitas, Keterbukaan;

Page 28: Penguatan Peran Deputi III LAN Melalui Penajaman Kajian HAN Guna Meningkatkan Kualitas Peraturan Perundang-Undangan

16

• Struktur Organisasi: Pusat dan Daerah, Birokrasi Lokal;

• Pembiayaan Sektor Publik; • Alokasi Sumberdaya;

• Lembaga Independen dan Agen Voluntir; • Keberlanjutan dan Perubahan (Continuity & Change).

7 Rayburn Barton and William L. Chappell Jr., Public Administration: The Work of Government, Scott Foresman and Co. 1985

• Lingkungan Administrasi Publik: Eksternal & Politik;

• Lembaga Publik: Tipe dan Struktur, Pusat dan Daerah; • Pembuatan Kebijakan;

• Administrasi Personalis;

• Penganggaran dan Administrasi Keuangan;

• Tanggungjawab Administrasi;

• Hubungan Antar Pemerintahan; • Studi Lembaga Publik: Teori Organisasi; Komunikasi,

Pengambilan Keputusan, Kepemimpinan.

8 Jong S. Jun, Public Administration: Design and Problem Solving, Macmillan Publishing Co., 1986

• Konteks Administrasi Publik: Masyarakat, Administrasi Demokratis, Bilai Publik vs Privat;

• Latar Belakang Administrasi Publik: Intervensi Pemerintah, Netralitas, Efisiensi, Sentralisasi vs Desentralisasi, Perbandingan Administrasi;

• Paradigma, Teori dan Pendekatan; • Administrasi Publik Sebagai Desain Sosial;

• Proses Pemecahan Masalah Publik;

• Birokrasi Publik: Konsep, Keterbatasan, Klientilisme;

• Dialektika Pemahaman Administrasi: Metode dan Bahasa, Dialog dan Pembelajaran Sosial, Action Research;

• Politik dan Kebijakan Publik;

• Tanggungjawab Administrasi: Kepentingan Publik, Dimensi Etika, Redesign Organisasi, Masa Depan Administrasi Publik (Transformasi).

9 Nicholas Henry, Administrasi Negara dan Masalah-Masalah Kenegaraan, terjemahan Indonesia oleh Luciana D. Pontoh, Rajawali Press, 1988

• Paradigma Administrasi Negara: Birokrasi, Demokrasi, dan Legitimasi; Perkembangan 5 Paradigma Administrasi;

• Organisasi Negara: Teori & Konsep Organisasi; Model Manusia Administratif; Etika Birokrasi;

• Tennik-Teknik Administrasi Negara: Pendekatan Sistem; Evaluasi Program & Anggaran; Administrasi Kepegawaian;

• Urusan Masyarakat.

10 H. George Frederickson, The Spirit of Public Administration, San Fransisco: Jossey-Bass Publisher, 1997

• Administrasi Publik dan Givernance: Menemukan “Publik” dalam Administrasi Publik, Konteks Politik;

• Issu Keadilan: Diskresi Administrasi, Konsep Intergenerational Administrasi Publik;

• Etika, Kewarganegaraan, dan Kemurahhatian dalam Administrasi Publik.

Page 29: Penguatan Peran Deputi III LAN Melalui Penajaman Kajian HAN Guna Meningkatkan Kualitas Peraturan Perundang-Undangan

17

E. Maksud dan Tujuan Penulisan KTP-2

Maksud dari penulisan KTP-2 ini adalah sebagai pemenuhan persyaratan

kelulusan dalam program Diklatpim I Angkatan XXV. Adapun tujuan-tujuan ideal yang lebih

spesifik dan ingin digapai dari karya tulis ini antara lain adalah:

1. Untuk mengenali dan menguraikan situasi problematik yang dihadapi LAN secara umum

dan Deputi III secara khusus dalam pelaksanaan tugas dan fungsinya, untuk kemudian

dianalisis dengan teknik tertentu (soft system methodology atau scenario planning),

sehingga dapat dihasilkan gambaran keadaan masa depan, strategi, dan langkah-

langkah kebijakan untuk memperbaiki situasi yang berkembang dewasa ini;

2. Jika gambaran keadaan masa depan, strategi, dan langkah-langkah kebijakan tadi

dapat dihasilkan dengan baik, maka diyakini akan memberi kontribusi bagi penguatan

peran LAN pada umumnya dan Deputi III pada khususnya dalam peningkatan kualitas

peraturan perundang-undangan dan kebijakan nasional di bidang administrasi negara.

F. Metode dan Teknik Analisis

Karya Tulis ini menggunakan metode deskriptif kualitatif. Jenis penelitian ini

bertujuan untuk mengangkat fakta, situasi, peristiwa, dan fenomena, kemudian menyajikan

dan menganalisis apa adanya. Dalam penelitian ini, kedudukan penulis selaku peneliti

adalah instrumen utama sejak pengumpulan data hingga analisis, interpretasi, dan

penyimpulan.

Untuk membantu analisis dan interpretasi data hingga penyimpulan tersebut,

penulis akan menggunakan tools yakni SSM (soft system methodology) serta scenario

planning. Alasan yang mendasari pemilihan tools ini selain untuk menerapkan materi

pembelajaran yang diberikan dalam Diklatpim I, juga pertimbangan kecocokan tools

tersebut untuk mengurai dan menjelaskan masalah yang diangkat dalam karya tulis ini.

Khusus mengenai SSM, menurut Peter Checkland (Systems Thinking, Systems

Practice, John Wiley & Sons, 1999 pp. A15), ada empat tahapan utama dari SSM, yakni:

1. Finding out about a problem situation, including culturally/politically; 2. Formulating some relevant purposeful activity models; 3. Debating the situation, using the models, seeking from the debate both:

a. Changes which would improve the situation and are regarded as both desirable and (culturally) feasible, and

Page 30: Penguatan Peran Deputi III LAN Melalui Penajaman Kajian HAN Guna Meningkatkan Kualitas Peraturan Perundang-Undangan

18

b. The accommodations between conflicting interests which will enable action-to-improve to be taken;

4. Taking action in the situation to bring about improvement.

Sementara menurut Sudarsono Hardjosukarto (2012: 63-65), siklus baku dalam proses

SSM terdiri dari 7 (tujuh) tahap kegiatan yang dikelompokkan kedalam 2 (dua) ranah, yaitu

ranah dunia nyata, dan ranah berpikir serba sistem tentang dunia nyata. Dengan demikian,

secara singkat dapat dikemukakan tentang tahapan dari masing-masing tools (SSM dan

Scenario Planning), sebagai berikut.

Tabel 1.5. Perbandingan Tahapan Metode SSM dan Metode Scenario Planning

SSM Scenario Planning

1. Problem situation considered problematic;

2. Problem situation expressed; 3. Root definition of relevan purposeful

activity systems; 4. Conceptual models of the systems

(holon) named in the root definition; 5. Comparision of models and real world; 6. Change: systematically desirable,

culturally feasible; 7. Action to improve the situation.

1. Menetapkan focal concern (FC); 2. Mengindentifikasi driving forces

(DF); 3. Menganalisis hubungan antar-DF

di satu pihak, dan antara DF’s dan FC;

4. Memilih DF yang paling berpengaruh.

5. Menyusun matriks skenario; 6. Menentukan ciri kunci tiap

skenario; 7. Menyusun narasi skenario.

G. Sistematika Penulisan

KTP-2 ini disusun menjadi 5 (lima) Bab, dengan perincian sebagai berikut:

Bab 1 Pendahuluan

Bab ini berisi paparan tentang latar belakang historis dan mandat yang diberikan

oleh para pimpinan negara pada saat pendirian LAN pada tahun 1957, sampai

dengan perkembangan tugas dan kondisi umum organisasi hingga saat ini. Selain

itu, Bab ini mencoba memotret kinerja kebijakan di Indonesia untuk memberi

gambaran yang lebih komprehensif mengenai berbagai persoalan yang dihadapi

bangsa Indonesia dalam mewujudkan sistem peraturan perundang-undangan

yang berkualitas. Selanjutnya, Bab ini juga memberikan sedikit teori tentang

Symbolic Policy vs. Evidence-based Policy serta hubungan dan karakteristik

Sistem Administrasi Negara dan Hukum Administrasi Negara. Akhirnya, Bab ini

Page 31: Penguatan Peran Deputi III LAN Melalui Penajaman Kajian HAN Guna Meningkatkan Kualitas Peraturan Perundang-Undangan

19

menyajikan tentang maksud dan tujuan penulisan, metode dan teknik analisis

yang digunakan, serta sistematika penulisan KTP-2.

Bab 2 Perumusan dan Pemecahan Masalah Menggunakan SSM

Bab ini juga memberi deskripsi tentang permasaahan atau situation considered

problematic terkait pelaksanaan tugas dan fungsi organisasi, serta dampak yang

mungkin muncul jika situasi tadi tidak segera diatasi. Dari deskripsi ini selanjutnya

akan diterapkan metode soft system methodology dengan membuat rich picture

sebagai sebuah model untuk memahami keterkaitan antar situasi, disusul dengan

penetapan root definition, analisis CATWOE, serta pengembangan conceptual

model yang dibandingkan dengan kenyataan (real world). Terakhir akan

ditetapkan bentuk perubahan yang ingin dilakukan (desired changes) serta

langkah-langkah yang perlu diambil untuk memperbaiki situasi problematik yang

dihadapi (action for improvement).

Bab 3 Penggambaran Masa Depan Peraturan/Kebijakan Dengan Scenario Planning

Bab ini akan melanjutkan analisis pada bab sebelumnya dengan mengaplikasikan

teknis scenario planning. Dimulai dengan menetapkan focal concern, kemudian

mengidentifikasi driving forces dan mencari keterkaitan antar driving force serta

antara driving force dengan focal concern. Dari sini akan dihasilkan matriks

skenario yang berisi tentang 4 (empat) gambaran situasi yang mungkin terjadi

pada masa depan beserta ciri-ciri skenarionya. Selanjutnya, dari cirri-ciri skenario

akan dikembangkan dengan metafora kebijakan dan narasi dari masing-masing

skenario hingga pemilihan skenario terpilih yang akan dijadikan sebagai kebijakan

yang direkomendasikan.

Bab 4 Pengembangan Kebijakan dan Rencana Implementasinya

Bab ini berisi analisis lebih lanjut dari bab sebelumnya dengan mengaplikasikan

perencanaan stratejik sehingga ditemukan program yang dibutuhkan untuk

mencapai visi dan misi yang telah ditetapkan.

Bab 5 Penutup

Bab ini berisi tentang simpulan dan catatan penutup.

Page 32: Penguatan Peran Deputi III LAN Melalui Penajaman Kajian HAN Guna Meningkatkan Kualitas Peraturan Perundang-Undangan

20

BAB II

PERUMUSAN DAN PEMECAHAN MASALAH MENGGUNAKAN SSM

A. Permasalahan (Situation Considered Problematic) Terkait Tugas dan Fungsi Instansi

Indonesia dapat dikatakan sebagai negara kesejahteraan (welfare state). Dalam

negara kesejahteraan ini, tugas utama pemerintah pada hakekatnya adalah memberikan

pelayanan kepada masyarakat dan meningkatkan kesejahteraan atau derajat hidupnya.

Tugas inilah yang diaktualisasikan dalam wujud fungsi pengaturan (regulatory functions).

Oleh karenanya, setiap kebijakan haruslah bermuara pada semakin membaiknya kondisi

kehidupan masyarakat pada berbagai dimensinya. Jika pelayanan tidak membaik dan

kesejahteraan juga tidak meningkat, dapat dikatakan ada kesalahan pada kebijakan

tersebut. Itulah sebabnya, kualitas kebijakan sangat menentukan kualitas pelayanan dan

kesejahteraan masyarakat, sehingga dalam khazanah ilmu hukum dikenal adagium yang

berbunyi salus populi suprema lex (keselamatan dan kesejahteraan rakyat adalah hukum

yang tertinggi).

Sayangnya, hingga saat ini kualitas kebijakan publik diindikasikan masih belum

optimal, yang antara lain diindikasikan dari beberapa hal sebagai berikut:

a. Kinerja (output dan outcomes) pembangunan makro yang masih tertinggal

dibanding negara tetangga, terlebih negara maju, yang dapat dilihat dari indikator

dibawah ini:

� Skor efektivitas (government effectiveness) Indonesia sebesar -0,43 pada tahun

2004 dan meningkat menjadi -0,29 pada tahun 2008. Perkembangan skor ini

memperlihatkan adanya kemajuan kapasitas birokrasi pemerintah meskipun belum

signifikan dan masih kalah jauh dibanding negara lain, termasuk negara-negara di

Asia Tenggara (Daniel Kaufman, Aart Kray, Massimo Mastruzzi, Governance

Matters VIII: Aggregate and Individual Governance Indicators 1996-2008).

� Indeks Pembangunan Manusia (human development index) Indonesia sebesar

0.734 pada tahun 2009, dan berada pada peringkat ke 111 dari 182 negara, atau

berada dalam kategori menengah seperti tahun sebelumnya (UNDP, Mengatasi

Hambatan: Mobilitas Manusia dan Pembangunan, 2009).

� Peringkat doing business Indonesia cenderung membaik namun jika dibandingkan

dengan negara-negara tetangga, masih tertinggal cukup jauh. Jumlah hari yang

Page 33: Penguatan Peran Deputi III LAN Melalui Penajaman Kajian HAN Guna Meningkatkan Kualitas Peraturan Perundang-Undangan

21

dibutuhkan untuk memulai usaha di Indonesia membutuhkan waktu 5 (lima) kali lebih

lama dibanding dengan Malaysia. Pada tahun 2010 Indonesia berada di peringkat ke

122 dari 183 negara, membaik dari peringkat 129 di tahun sebelumnya (International

Finance Corporation, Bank Dunia, 2009).

b. Banyaknya kebijakan yang cenderung bermasalah, yang diindikasikan oleh data

dibawah ini:

� Banyaknya Perda dibatalkan (periode 2001-2008 sebanyak 1.121 Raperda

dievaluasi, 67% di antaranya dibatalkan);

� UUD 1945 banyak diterjemahkan secara keliru oleh Undang-Undang, yang

dibuktikan dengan banyaknya UU yang diuji materiil oleh MK, dan dikabulkan

Mahkamah Konstitusi. Pada periode 2003-2010, misalnya terdapat 325 gugatan,

dan 92 diantaranya dikabulkan;

� Banyaknya sengketa Tata Usaha Negara, dimana pada periode 2004-2009 terdapat

1857 kasus yang diputuskan Mahkamah Agung.

c. Selain kedua problematika diatas, ada juga problem kebijakan yang marak dalam sistem

administrasi negara di Indonesia, misalnya berkenaan dengan hubungan kewenangan

badan pemerintah yang tidak jelas dan membuka peluang terjadinya tumpang tindih

antar instansi, atau saling menghambat. Sebagai contoh, Kementerian PDT yang

mengkoordinasikan berbagai K/L dalam membangun daerah tertinggal, namun K/L yang

lain memiliki program, indikator, dan target tersendiri. Contoh lain, Pemprov Kaltim

sudah 10 tahun lebih tidak memiliki RTRW karena belum disetujui oleh Kementerian

Kehutanan. Kasus Kementerian PDT ini juga dialami oleh kementerian lain seperti

Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Kementerian Sosial,

dan sebagainya. Demikian pula, kasus buruknya sinergi dan koordinasi seperti dialami

Pemprov Kaltim juga dihadapi provinsi lain dalam kasus yang sama maupun yang

berbeda. Hubungan kewenangan yang tidak jelas ini secara tersirat menggambarkan

adanya egoisme sektoral yang jelas-jelas menyulitkan upaya melakukan harmonisasi

kebijakan antar lembaga.

Rendahnya kualitas kebijakan publik dan kondisi carut-marut sistem kebijakan

diatas terjadi karena adanya indikasi pragmatisme dalam proses perumusan kebijakan,

yakni kecenderungan mencari cara instant terhadap permasalahan yang timbul, tanpa dikaji

efektivitas dari pilihan-pilihan kebijakan dan tanpa memperhitungkan tingkat probabilitas

keberhasilan suatu kebijakan. Selain itu, para policy makers kurang mentradisikan atau

Page 34: Penguatan Peran Deputi III LAN Melalui Penajaman Kajian HAN Guna Meningkatkan Kualitas Peraturan Perundang-Undangan

22

kurang menghargai policy research sebagai bagian tak terpisahkan dari policy making.

Dengan kata lain, para pengambil keputusan dan perumus kebijakan di Republik ini sangat

kurang memiliki budaya akademik dalam siklus kebijakan yang menjadi ruang lingkup

tugasnya.

Akibatnya, kebijakan yang ada memiliki kemungkinan gagal (implementation

failure) yang lebih besar, atau hanya menguntungkan pihak-pihak tertentu secara tidak

berimbang. Situasi seperti inilah yang kemudian banyak melahirkan symbolic policy (de

Vries, 2010). Serupa dengan kondisi seperti ini, Riant Nugroho (Public Policy, Elex Media

Komputindo, 2012) memperkenalkan istilah Involusi Kebijakan, yakni suatu kebijakan yang

baik secara proses dan rumusannya namun tidak memberikan kebaikan bagi publik. Hal ini

terjadi karena politisi atau birokrat pembuatnya terjebak dalam ilusi untuk membangun citra

tentang kebaikan suatu rezim atau kekuasaan politik.

Disamping itu, faktor yang turut mempengaruhi kualitas kebijakan adalah

rendahnya kapasitas legislasi pada tingkat Pusat dan Daerah (Mahfud MD., Refleksi Kinerja

Mahkamah Konstitusi, 29-12-2009). Situasi ini lebih diperparah dengan fakta merebaknya

epentingan politik dari aktor tertentu (politisi, elite birokrasi, pengusaha, lembaga donor, dan

lain-lain) di lingkaran perumusan kebijakan dan pengambilan keputusan strategis. Kasus

hilanya pasal-pasal atau ayat-ayat dalam sebuah Rancangan Undang-Undang, atau justru

munculnya pasal atau ayat tambahan yang tidak pernah dibahas sebeumnya dalam sidang

resmi, menunjukkan adanya “kudeta redaksional” dan “penyelundupan norma hukum” yang

dilakukan oleh oknum yang tidak bertanggungjawab.3

Dari sisi masyarakat sebagai pihak yang terkena langsung dampak dari sebuah

kebijakan, rendahnya kualitas sebuah peraturan perundang-undangan juga sebagai

konsekuensi dari rendahnya kepedulian dan partisipasi murni masyarakat dalam

pembahasan hingga implementasi sebuah kebijakan. Selama ini, partisipasi masih bisa

3 Fenomena kudeta redaksional misalnya terjadi pada Bagian ke-17 Pengamanan Zat Adiktif, Pasal 113 RUU Kesehatan. Ketika ditetapkan paripurna DPR, ada tiga ayat dalam Pasal 113 tersebut. Namun, ketika ditandatangani Presiden dan disahkan sebagai lembaran negara, pasal tersebut hanya terdiri dari dua ayat. Sedangkan fenomena penyelundupan norma hukum, misalnya terjadi pada kasus RUU KUHAP, khususnya bagian yang mengatur tentang kewenangan penyadapan oleh KPK. Pada Pasal 84 RUU KUHAP dinyatakan bahwa penyadapan bisa dilakukan dalam keadaan mendesak tanpa izin hakim. Namun, kemudian, katup tersebut dibatasi lagi dengan memunculkan frase tambahan dalam Pasal 84, yang menyatakan bahwa penyadapan harus dilaporkan paling lambat dua hari sejak penyadapan dilakukan.pasal 83-84 ini berpotensi bertentangan dengan substansi Pasal 12 Ayat (1) UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK, yang secara eksplisit menyatakan bahwa lembaga ini berwenang melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan.Tentang kedua fenomena ini, baca: Saldi Isra, Penyelundupan Norma Hukum (Kompas, 1-4-2013);

Page 35: Penguatan Peran Deputi III LAN Melalui Penajaman Kajian HAN Guna Meningkatkan Kualitas Peraturan Perundang-Undangan

23

dikatakan semu dan nominal belaka karena masih adanya fenomena pengabaian terhadap

aspirasi masyarakat (benign neglect). Padahal, pembentukan sebuah peraturan perundang-

undangan secara normative harus melibatkan partisipasi masyarakat. Ketentuan seperti ini

antara lain diatur pada pasal 53 UU 10/2004 Pembentukan Peraturan perundang-

Undangan, dan Psl 139 UU 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, yang menegaskan

bahwa: “Masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan atau tertulis, baik dalam

tahap penyiapan maupun pembahasan Rancangan UU dan Rancangan Perda”.

Mencermati berbagai hal tersebut diatas, maka diperlukan adanya sebuah

perombakan yang cukup mendasar dalam sistem formulasi kebijakan di masa mendatang.

Adanya kebijakan yang didasarkan pada hasil kajian (research-based policy), atau

kebijakan yang dirumuskan dengan memperhatikan bukti-bukti nyata (evidence-based

policy), sangat perlu untuk dibudayakan. Dengan research-based policy, sebuah kebijakan

hanya layak diimplementasikan apabila telah mengalami telaah akademis melalui kajian

yang komprehensif dan teruji. Dengan evidence-based policy, sebuah kebijakan akan dibuat

dan dilaksanakan apabila fakta-fakta obyektif memang menuntut untuk itu. Dengan kata

lain, kedua hal ini diharapkan dapat menghindari merebaknya symbolic policy.

Atas dasar kondisi tersebut, kajian/penelitian di lingkungan LAN diarahkan pada

kajian kebijakan (policy research), yakni suatu proses yang dilakukan secara teratur dan

sistematis, berdasarkan pengetahuan, metode ataupun teknik tertentu yang menghasilkan

dokumen berupa saran kebijakan (policy recommendation), agenda kebijakan (policy action

plan), atau naskah kebijakan (policy draft), sebagai pertimbangan pengambil kebijakan

dalam merumuskan dan/atau menyempurnakan kebijakan yang telah ada. Dengan kata

lain, kegiatan kajian/penelitian di lingkungan LAN diharapkan mampu menciptakan link yang

kuat antara kebijakan publik dengan riset (research-based / analysis-based policy).

Dalam konstelasi sistem kebijakan seperti dipaparkan diatas, maka paling tidak

ada 3 (tiga) hal yang perlu mendapat perhatian serius oleh LAN, yakni: 1) pembenahan

manajemen kajian kebijakan; 2) peningkatan peran LAN sebagai policy think tank; dan 3)

jaminan tercapainya link and match antara kajian dengan kebijakan. Jika ketiga hal ini dapat

dilakukan, maka secara logis akan dapat diwujudkan 2 (dua) sasaran penting, yakni: 1)

kinerja kajian kebijakan yang makin baik dan unggul; serta 2) kualitas kebijakan publik di

Indonesia yang semakin handal. Dua sasaran ini, jika tercapai, akan memberi kontribusi

besar terhadap perbaikan sistem penyelenggaraan negara dalam arti luas.

Page 36: Penguatan Peran Deputi III LAN Melalui Penajaman Kajian HAN Guna Meningkatkan Kualitas Peraturan Perundang-Undangan

24

Secara skematis, kerangka berpikir pembenahan kajian kebijakan LAN dalam

rangka membangun sistem penyelenggaraan negara yang lebih baik melalui perumusan

kebijakan yang berkualitas, dapat diilustrasikan pada model sebagai berikut:

Sumber: konstruksi penulis.

Gambar 2.1.

Kerangka Logis Pembenahan Kajian Kebijakan Dalam Membangun Penyelenggaraan

Negara yang Baik (Pendekatan Sistem: Input-Output-Outcome)

B. Dampak Apabila Permasalahan Tidak Diselesaikan

Sebagai institusi pemikir (think tank), LAN jelas merasa berkepentingan untuk turut

mengurai permasalahan diatas. Selain untuk membuktikan kontribusi secara institusional,

lebih penting lagi adalah untuk turut mengawal dan mempercepat pencapaian cita-cita

Konstitusi. Sebab, apabila situasi problematik diatas tidak segera diatasi, akan

menimbulkan permasalahan yang lebih besar dan luas, antara lain:

• Kegagalan pencapaian tugas negara mewujudkan tujuan nasional sebagaimana

dimandatkan dalam Pembukaan UUD 1945. Pembangunan sosial, ekonomi, politik,

maupun fisik, akan terancam mengalami kemandegan. Jika pembangunan pada

berbagai bidang ini terhambat, maka kesinambungan pemerintahan juga dapat

terancam. Kemungkinan kegagalan seperti ini bisa terjadi mengingat peraturan

perundang-undangan dan kebijakan publik merupakan instrumen negara kesejahteraan

(welfare state) untuk melayani dan mensejahterakan rakyatnya.

Page 37: Penguatan Peran Deputi III LAN Melalui Penajaman Kajian HAN Guna Meningkatkan Kualitas Peraturan Perundang-Undangan

25

• Benturan antar peraturan perundang-undangan dan kebijakan publik akan dapat

memacu konflik kewenangan antar lembaga, bahkan konflik sosial.

• Berbagai situasi problematik diatas juga akan menyebabkan hubungan antar lembaga

yang kurang harmonis dan menjadikan kurang fokus dalam pelaksanaan tugas

pokoknya.

Dampak ini sendiri bisa berkembang laksana bola salju (snowball effect) yang

merambah sendi-sendi kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Sementara bagi LAN,

kegagalan kebijakan dan kegagalan pemerintah dalam menjalankan fungsinya akan

berkorelasi terhadap penurunan kredibilitas institusi serta penurunan ekspektasi dan

kepercayaan stakeholder, yang pada gilirannya akan menyebabkan kemanfaatan lembaga

dipertanyakan.

Oleh karena itu, LAN secara umum maupun Deputi III perlu melakukan introspeksi

dan evaluasi diri guna memetakan kembali problema yang dihadapi, potensi yang dimiliki,

tantangan dan peluang yang berkembang, serta peran-peran baru yang perlu dimainkan.

Dalam kaitan penulisan KTP-2 ini, maka peran LAN (cq. Deputi III) yang diharapkan adalah

melakukan pengkajian issu-issu aktual terkait situasi problematik tentang sistem dan hukum

administrasi negara, serta menghasilkan rekomendasi kebijakan untuk mencegah

berulangnya situasi problematik dan dampak-dampaknya, sebagaimana dipaparkan diatas.

Secara ringkas, berbagai situasi problematik dan dampak yang mungkin timbul

apabila tidak segera dipikirkan solusi terbaiknya, dapat disederhanakan seperti pada Tabel

2.1 dibawah ini.

Tabel 2.1. Ringkasan Situasi Problematik (Situation Considered Problematic)

1. Masih tingginya kadar involusi kebijakan, yakni suatu kebijakan yang baik secara

proses dan rumusannya namun tidak memberikan kebaikan bagi publik. 2. Kapasitas legislasi di pusat dan daerah yang rendah. 3. Kepentingan politik praktis dari aktor tertentu (politisi, elite birokrasi, pengusaha,

lembaga donor). 4. Tingginya egoisme sektoral yang mengakibatkan hubungan kewenangan antar

lembaga menjadi tidak jelas atau seringkali tumpang tindih. 5. Koordinasi antar lembaga yang lambat dan tidak efektif. 6. Harmonisasi peraturan yang sulit dilakukan karena adanya egoisme sektoral. 7. Keberadaan dan keberfungsian forum komunikasi kebijakan yang belum optimal. 8. Orientasi policy maker dalam perumusan kebijakan yang keliru dan seringkali lebih di-

drive oleh motif politik daripada pertimbangan teknokratik. 9. Pemaknaan terhadap kinerja kebijakan yang keliru, dengan melihat kinerja kebijakan

sebagai kuantitas pembuatan peraturan perundang-undangan, bukan pada kemanfaatan bagi publik.

Page 38: Penguatan Peran Deputi III LAN Melalui Penajaman Kajian HAN Guna Meningkatkan Kualitas Peraturan Perundang-Undangan

26

10. Budaya akademik dalam siklus kebijakan/pengambilan keputusan yang sangat lemah. 11. Dukungan dari kajian kebijakan yang belum optimal karena manajemen kelitbangan

yang juga terbatas. 12. Link and Match antara kajian dengan kebijakan yang belum terbangun sinergis. 13. Peran lembaga think tank yang masih harus terus ditingkatkan. 14. Rendahnya kepedulian dan partisipasi murni masyarakat terhadap sebuah rancangan

peraturan perundang-undangan.

C. Rich Picture Penguatan Peran LAN Dalam Peningkatan Kualitas Peraturan dan

Kebijakan Nasional Melalui Penajaman Kajian HAN

Diantara ke-14 situasi problematik diatas, beberapa diantaranya memiliki saling

keterkaitan yang cukup kuat, sehingga dapat dilakukan penggabungan situasi problematik

berdasarkan kemiripan dan kedekatannya. Dalam hal ini, dapat diidentifikasikan 5 (lima)

klasifikasi situasi problematik sebagai berikut:

1. Faktor Institusional, berkaitan dengan kapasitas legislasi yang rendah; kepentingan

politik praktis dari aktor tertentu (politisi, elite birokrasi, pengusaha, lembaga donor);

serta tingginya egoisme sektoral yang mengakibatkan hubungan kewenangan antar

lembaga menjadi tidak jelas atau seringkali tumpang tindih.

2. Faktor Networking, yakni situasi problematik yang berkenaan dengan koordinasi antar

lembaga lambat dan tidak efektif; harmonisasi peraturan sulit dilakukan; serta

keberadaan dan keberfungsian forum komunikasi kebijakan belum optimal.

3. Faktor Mindset, berhubungan dengan orientasi policy maker dalam perumusan

kebijakan yang keliru; serta pemaknaan terhadap kinerja kebijakan yang keliru.

4. Faktor Litbang/Kajian Kebijakan (Policy Research), yakni menyangkut budaya akademik

dalam siklus kebijakan sangat lemah; dukungan dari kajian kebijakan belum optimal

karena manajemen kajian lemah; link & match antara kajian dengan kebijakan belum

terbangun sinergis; serta peran lembaga think tank masih terbatas.

5. Faktor Partisipasi, yakni rendahnya kepedulian dan partisipasi murni masyarakat

terhadap sebuah rancangan peraturan perundang-undangan.

Kelima kelompok inilah yang selanjutnya akan dituangkan ke dalam rich picture,

atau sering disebut sebagai problem situation expressed.4 Dalam analisis SSM, rich picture

4 Menurut Sudarsono Hardjosukarto (Soft System Methodology: Metode Serba Sistem Lunak, UI Press,

Jakarta: 2012, hal. 70), rich picture adalah alat yang lazim digunakan dalam SSM untuk pengungkapan (expressed) situasi dunia nyata yang dianggap problematik. Dengan mengutip Checkland (1999),

Page 39: Penguatan Peran Deputi III LAN Melalui Penajaman Kajian HAN Guna Meningkatkan Kualitas Peraturan Perundang-Undangan

27

adalah langkah untuk memilah, mengelompokkan, dan menyederhanakan masalah yang

dikemukakan oleh para pemangku kepentingan tanpa menghilangkan inti dari

permasalahan tersebut. Adapun rich picture dari kompleksitas issu yang diangkat pada

KTP-2 ini dapat dimodelkan sebagaimana Gambar 2.2. dibawah ini.

Gambar 2.2.

Rich Picture

D. Root Definition dan CATWOE Analysis

Dalam konstelasi permasalahan yang digambarkan diatas, LAN (cq. Deputi III)

memiliki posisi dan peran strategis pada cluster ke-3, yakni Faktor Litbang/Kajian Kebijakan

(Policy Research). Dalam hal ini, LAN merupakan lembaga think tank yang harus memiliki

budaya akademik unggul, yang didukung dengan manajemen kajian yang efektif, serta

mampu mengkaitkan hasil kajian dengan perumusan kebijakan. Untuk itu, peran LAN

Sudarsono menjelaskan bahwa informasi yang dikumpulkan dalam rangka pembuatan dan penyajian rich picture meliputi struktur (structure), proses (process), hubungan antara struktur dengan proses tersebut, serta pokok perhatian (concerns).

Page 40: Penguatan Peran Deputi III LAN Melalui Penajaman Kajian HAN Guna Meningkatkan Kualitas Peraturan Perundang-Undangan

28

(Deputi III) harus terus diperkuat dalam menjalankan fungsi kajian kebijakan dan hukum

administrasi negara agar mampu berkontribusi dalam upaya mewujudkan profil peraturan

perundang-undangan dan kebijakan nasional yang berkualitas.

Atas dasar hal ini, selanjutnya dilakukan analisis CATWOE sebagai upaya

memformulasi root definition sebagai berikut:5

Tabel 2.2. Analisis CATWOE Untuk Menyusun Root Definition

Elemen CATWOE Deskripsi Aplikasi Untuk Analisis KTP-2

C (Costumer) Siapa yang dirugikan atau diuntungkan dengan adanya transformasi dari situasi problematik saat ini ke situasi yang diharapkan.

Masyarakat pengguna jasa layanan pemerintah.

A (Actor) Siapa yang bertanggungjawab untuk melakukan transformasi?

LAN (cq Deputi III), Unsur Legislatif (DPR, DPRD), Unsur Eksekutif (Presiden beserta Kementerian/Lembaga), Unsur Yudikatif (MA, MK).

T (Transformation) Apa input dan output dari transformasi tersebut?

Penguatan peran LAN (cq. Deputi III) untuk melaksanakan dan mempertajam Kajian Hukum Administrasi Negara

W (Weltanschauung,

World view)

Apa yang membuat transformasi bermakna secara kontekstual?

Penajaman Kajian Hukum Administrasi Negara diyakini dapat meningkatkan kualitas peraturan perundang-undangan dan kebijakan nasional di bidang administrasi negara

O (Owner) Siapa yang dapat menghentikan proses transformasi tersebut?

LAN (cq Deputi III), Unsur Legislatif (DPR, DPRD), Unsur Eksekutif (Presiden beserta Kementerian/Lembaga), Unsur Yudikatif (MA, MK).

E (Environmental Constraint)

Elemen diluar sistem mana yang baku (taken as given)

Suksesi Kepemimpinan Nasional 2014, Birokrasi Kelas Dunia 2025.

5 Menurut Sudarsono Hardjosukarto (2012: 89-91), root definition adalah deskripsi terstruktur dari sebuah sistem aktivitas manusia yang relevan dengan situasi problematis yang menjadi perhatian di dalam penelitian SSM yang berbasis tindakan, yang didalamnya tergambar proses (apa, mengapa, dan bagaimana) transformasi dalam organisasi. Root definition merupakan sebuah pernyataan yang jelas tentang aktivitas yang terjadi atau mungkin terjadi di dalam organisasi yang tengah diteliti.

Page 41: Penguatan Peran Deputi III LAN Melalui Penajaman Kajian HAN Guna Meningkatkan Kualitas Peraturan Perundang-Undangan

29

Dari analisis CATWOE diatas dapat dirumuskan root definition sebagai berikut:

“Penguatan Peran Deputi III Lembaga Administrasi Negara (P) Melalui

Penajaman Kajian Hukum Administrasi Negara (Q) Guna Meningkatkan

Kualitas Peraturan Perundang-Undangan dan Kebijakan Nasional di Bidang

Administrasi Negara (R)”

Analisis CATWOE sendiri juga merupakan alat uji atau alat bantu untuk mengingat

(mnemotic) apakah root definition yang disusun benar-benar dapat digunakan sebagai

dasar pembuatan model konseptual (Sudarsono Hardjosukarto, 2012: 96-97).

E. Conceptual Model dan Perbandingannya Dengan Dunia Nyata (Real World)

Setelah dirumuskan root definition, maka tahap selanjutnya adalah pembuatan

model konseptual (conceptual mdoel). Menurut Sudarsono Hardjosukarto (2012: 103-104),

pembuatan model konseptual didasarkan pada root definition yang telah dipilih dan diberi

nama pada tahap sebelumnya. Posisi root definition berkenaan dengan what system is,

sedangkan model konseptual berkenaan dengan apa yang harus dilakukan oleh sistem

tersebut supaya menjadi seperti apa yang dinyatakan dalam root definition.

Model konseptual yang dibuat dalam SSM bukanlah gambaran utuh tentang dunia

nyata, melainkan hanyalah duplikat (notional) dari sistem atau serba sistem aktivitas

manusia yang relevan dan dipilih. Tidak ada model yang benar atau salah, yang ada adalah

model yang relevan dengan situasi problematis Sudarsono Hardjosukarto (2012: 109).

Adapun konseptual model yang penulis kembangkan dari situasi problematis yang diangkat

pada KTP-2 ini adalah sebagai berikut.

Page 42: Penguatan Peran Deputi III LAN Melalui Penajaman Kajian HAN Guna Meningkatkan Kualitas Peraturan Perundang-Undangan

30

Gambar 2.3.

Conseptual Model of the System Peningkatan Kualitas Peraturan Perundang-Undangan dan

Kebijakan Nasional Bidang Administrasi Negara

Selanjutnya dari model konseptual diatas dilakukan pembandingan antara situasi

dunia nyata dengan model konseptual. Tahap ini tidak dimaksudkan untuk menilai

kekurangan situasi problematis dunia nyata dibandingkan dengan model konseptual yang

”sempurna”. Pembandingan ini dapat dilakukan dengan diskusi informal, diskusi formal,

penulisan skenario, atau pemodelan dunia nyata (Sudarsono Hardjosukarto, 2012: 110-

112).

Adapun perbandingan model konseptual dengan dunia nyata dalam KTP-2 ini

dapat dielaborasi sebagaimana pada Tabel 2.3. dibawah ini.

Page 43: Penguatan Peran Deputi III LAN Melalui Penajaman Kajian HAN Guna Meningkatkan Kualitas Peraturan Perundang-Undangan

31

Tabel 2.3. Perbandingan Model Konseptual dengan Dunia Nyata (Real World)

AKTIVITAS DALAM MODEL DUNIA NYATA / REAL WORLD

Melakukan pemetaan masalah rendahnya kualitas perundang-undangan secara kausalistik.

Belum ada pemetaan yang terintegrasi antar lembaga; setiap instansi memiliki peta masalah, rencana pengambangan, dan program yang terpisah satu dengan yang lain.

Menentukan prioritas pemecahan masalah.

Belum ada sistem prioritas nasional kajian kebijakan dan HAN. Selama ini banyak dokumen yang bisa ditafsirkan sebagai prioritas nasional, seperti Program Legislasi Nasional, atau RPJM Nasional.

Membangun sinergi, koordinasi, dan kemitraan dengan instansi terkait.

Masih kuatnya egosime sektoral dalam perumusan kebijakan serta tidak ada forum komunikasi kebijakan antar instansi pemerintah.

Merumuskan common platform peningkatan peraturan per-UU-an nasional.

Tidak ada dokumen besar (grand design, roadmap, atau blueprint) tentang pembangunan sistem kebijakan nasional. UU No. 12/2011lebih mengatur dari dimensi normative namun kurang memberi guidance tentang strategi dan program untuk mewujudkan kebijakan nasional yang berkualitas.

Menumbuhkan budaya akademik dalam proses perumusan kebijakan nasional.

Pendekatan politis lebih mendominasi pendekatan teknokratis dan akademis.

Merumuskan pedoman pelibatan masyarakat untuk menjamin kebijakan yang inklusif.

Masyarakat belum terlibat aktif dalam siklus penyusunan kebijakan. Selain belum ada peraturan yang “memaksa” masyarakat untuk berpartisipasi, juga ada indikasi kurangnya antusiasme masyarakat untuk terlibat dalam perancangan hingga pelaksanaan kebijakan.peraturan.

Menyusun agenda kajian kebijakan berbasis kebutuhan dan evidence.

Agenda kebijakan baru sebatas disusun untuk kebutuhan individual lembaga tertentu, belum ada policy dialogue yang mempertemukan dan mengintegrasikan agenda lintas lembaga.

Membenahi manajemen kajian untuk meningkatkan peran lembaga.

Kajian kebijakan dan HAN masih menghadapi banyak kendala dilihat dari aspek SDM peneliti, anggaran yang tersedia, mekanisme perencanaan, dan sebagainya.

Page 44: Penguatan Peran Deputi III LAN Melalui Penajaman Kajian HAN Guna Meningkatkan Kualitas Peraturan Perundang-Undangan

32

Melakukan kajian untuk menghasilkan rekomendasi bagi para pengambil kebijakan.

Hasil kajian dan rekomendasi kebijakan sering diabaikan oleh para pengambil kebijakan karena hasil kajian dan rekomendasi tersebut relatif kurang berkualitas.

Menjamin adanya link and match hasil kajian dengan peraturan per-UU-an dan kebijakan.

Kajian dan kebijakan seolah terpisah oleh ruang dan jarak yang sangat jauh. Selama ini belum ada “jembatan” yang menghubungkan dan mendekatkan keduanya.

Meningkatkan kualitas peraturan per-UU-an dan kebijakan nasional di bidang administrasi negara.

Kualitas peraturan perundang-undangan di berbagai level masih relatif rendah, sehingga kurang mampu mencapai tujuan pembentukannya.

F. Perubahan yang Ingin Diwujudkan (Feasible and Desirable Changes)

Dari rangkaian langkah yang telah dilalui semenjak mengidentifikasikan situasi

problematik, mengekspresikan situasi problematik dalam bentuk rich picture, menemukan

root definition, merumuskan model konseptual, hingga membandingkan model konseptual

dengan dunia nyata, maka langkah selanjutnya atau langkah keenam adalah menetapkan

perubahan yang diinginkan dan layak diperjuangkan. Dalam hal ini, penulis memandang

ada 3 (tiga) perubahan yang sangat diinginkan, yakni perubahan pada level mikro, level

messo, dan level makro, sebagai berikut:

Gambar 2.4.

Perubahan yang Diinginkan

Page 45: Penguatan Peran Deputi III LAN Melalui Penajaman Kajian HAN Guna Meningkatkan Kualitas Peraturan Perundang-Undangan

33

Ketiga perubahan tersebut bersifat unique. Pada satu sisi, ketiganya membentuk

hubungan sekuensial, yang berarti bahwa perubahan pada level mikro akan menentukan

berhasil tidaknya perubahan pada level messo, dan perubahan pada level messo akan

menjadi syarat mutlak bagi berubahnya situasi pada level makro. Namun pada sisi lain,

ketiga level perubahan ini juga dapat atau harus dilakukan secara simultan dan tidak dapat

saling menunggu, sehingga kegiatan yang dilakukan pada rencana aksi berkontribusi

secara terpisah atau secara bersama-sama membentuk perubahan pada ketiga level

tersebut. Perubahan pada level makro dapat pula dikatakan sebagai sasaran utama yang

diinginkan sebagai sebuah weltanschauung yang hendak diwujudkan melalui transformasi

pada level mikro dan messo.

G. Action to be Taken to Improve the Situation (Rencana Aksi)

Memperhatikan berbagai analisis pada tahapan sebelumnya, maka penulis

mengajukan beberapa kegiatan yang dipercaya dapat meningkatkan situasi problematik

yang dihadapi selama ini. Adapun rincian usulan kegiatan tersebut dapat dilihat pada Tabel

yang dimodifikasi sebagai berikut:

Tabel 2.4. Usulan Kegiatan Dalam Kerangka Peningkatan Kualitas Peraturan Perundang-

Undangan dan Kebijakan Nasional di Bidang Administrasi Negara

No. Sasaran Utama

Sasaran Antara

Kegiatan

1 Meningkatnya kualitas peraturan per-UU-an dan kebijakan nasional di bidang administrasi negara.

Meningkatnya kualitas produk dan manajemen kajian Hukum Adminstrasi Negara

• Penyusunan Renstra Kedeputian 2013-2017;

• Penajaman arah kebijakan, strategi, dan program kajian HAN;

• Penyelenggaraan forum knowledge enrichment dan konwledge shared forum untuk mengasah kompetensi teknis peneliti;

• Penguatan kapasitas peneliti melalui pengiriman dalam diklat-diklat yang relevan.

2 Menguatnya peran LAN dalam membangun evidence-based research untuk

• Audiensi dengan lembaga terkait seperti MA, MK, Komisi DPR-RI yang membidangi hukum, Kementerian Kumham (cq. Ditjen Perundang-Undangan, dst);

• Penyusunan Policy Brief untuk issu-issu kebijakan kontemporer;

Page 46: Penguatan Peran Deputi III LAN Melalui Penajaman Kajian HAN Guna Meningkatkan Kualitas Peraturan Perundang-Undangan

34

mewujudkan research-based policy

• Penyelenggaraan forum komunikasi kebijakan untuk menjembatani kajian hukum dan kebijakan dengan para policy makers.

Page 47: Penguatan Peran Deputi III LAN Melalui Penajaman Kajian HAN Guna Meningkatkan Kualitas Peraturan Perundang-Undangan

35

BAB III

PENGGAMBARAN MASA DEPAN SISTEM PERATURAN/KEBIJAKAN MENGGUNAKAN

SCENARIO PLANNING

A. Penetapan Focal Concern (FC)

Analisis pada Bab II dengan menggunakan piranti soft system methodology pada

hakekatnya penulis maksudkan untuk menghasilkan pemecahan masalah serta

rekomendasi berupa aktivitas untuk memperbaiki situasi problematik yang dihadapi. Dengan

demikian, dilihat dari kerangka waktunya (time frame), Bab II lebih dimaksudkan untuk

memenuhi kebutuhan jangka pendek dan segera.

Sedangkan pada Bab III ini, penulis akan menggunakan piranti scenario planning

yang penulis maksudkan untuk menghasilkan gambaran di masa depan terkait issu atau

substansi yang dianalisis, yakni tentang kualitas peraturan perundang-undangan dan

kebijakan nasional di bidang administrasi negara. Dengan demikian, kerangka waktunya

menjangkau sekitar 10 tahun kedepan, tepatnya tahun 2025. Pemilihan tonggak waktu 2025

ini sendiri didasarkan pada pertimbangan karena tahun tersebut merupakan akhir periode

Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2005-2025 (UU No. 17/2007) dan akhir

periode dari Grand Design Reformasi Birokrasi 2010-2025 (Peraturan Presiden No.

81/2010).

Berakhirnya secara bersamaan dua dokumen besar tersebut memberi gambaran

bahwa tahun 2025 semestinya menjadi tahun pencapaian prestasi pemerintahan yang

sangat signifikan bagi bangsa Indonesia. Maka, melalui piranti scenario planning ini, penulis

ingin memaparkan gambaran atau deskripsi (bukan preskripsi) tentang kualitas peraturan

perundang-undangan dan kebijakan nasional di Indonesia pada tahun 2025. Dengan

memiliki deskripsi tentang kemungkinan masa depan ini, maka kebijakan, program, atau

kegiatan yang dilakukan pada jangka pendek akan mempunyai benang merah dan

kesinambungan dengan sasaran atau harapan pada jangka menengah atau panjang.

Adapun untuk mengawali analisis skenario ini, dimulai dengan menetapkan focal

concern. Dalam konteks KPT-2 ini, penulis menetapkan Focal Concern yakni: “Masa

Depam Sistem Peraturan Perundang-Undangan dan Kebijakan Nasional di Bidang

Administrasi Negara Tahun 2025”.

Page 48: Penguatan Peran Deputi III LAN Melalui Penajaman Kajian HAN Guna Meningkatkan Kualitas Peraturan Perundang-Undangan

36

B. Identifikasi Driving Forces (DF)

Driving Forces pada hakekatnya adalah variabel-variabel yang menentukan

keberhasilan pencapaian Focal Concern. Dalam hal ini, agar terjadi konsistensi dalam

analisis, maka penulis memanfaatkan hasil analisis pada Bab II khususnya mengenai

situation considered problematic dan rich picture, yang dikonversi menjadi variabel

pendorong atau Driving Forces.

Tabel 3.1. Driving Forces

No. Diving Forces

1 Tingkat Kemampuan/Kapasitas Legislasi

2 Tingkat Egoisme Sektoral

3 Efektivitas Koordinasi/Komunikasi Kebijakan Antar Lembaga

4 Efektivitas Harmonisasi dalam Perumusan Peraturan/Kebijakan

5 Ketepatan Persepsi/Orientasi terhadap Peraturan/ Kebijakan

6 Kadar Budaya Akademik Dalam Siklus Kebijakan/ Pengambilan Keputusan

7 Tingkat Dukungan Kajian/Litbang Kebijakan

8 Efektivitas Lembaga Kajian/Litbang Kebijakan

9 Keluasan Networking & Kerjasama Antar Lembaga Kajian/Litbang Kebijakan

10 Efektivitas Partisipasi Masyarakat dalam Perumusan hingga Implementasi

Peraturan/Kebijakan

11 Ketersediaan dan Tingkat Dukungan Sumber Daya Kajian/Litbang Kebijakan

(SDM, Anggaran)

C. Analisis Hubungan Antar Driving Forces (DF)

Terhadap Driving Forces yang telah ditentukan diatas, dilakukan analisis

hubungan atau keterkaitan antar Driving Forces secara non-linier, yakni dengan cara

berpikir serba sistem (systems thinking) menggunakan piranti CLD (causal loops diagram).

Metode ini merupakan pergeseran pola pikir linier ke pola pikir baru yang bersifat sistemik,

Page 49: Penguatan Peran Deputi III LAN Melalui Penajaman Kajian HAN Guna Meningkatkan Kualitas Peraturan Perundang-Undangan

37

holistik, saling terkait (inter-connectedness), serta mengkombinasikan antara berpikir

analitikal dengan berpikir sintetikal. CLD sendiri merupakan cara yang tepat dan efektif

untuk menggambarkan secara ringkas pernyataan penyebab (causes) dan

mengidentifikasikan proses-proses balikan (Sumber: LAN, Modul Diklatpim II).

Adapun evaluasi dan penilaian driving forces dengan teknik non-linier dapat dilihat

sebagai berikut:

Gambar 3.1.

Evaluasi dan Penilaian Driving Force Dengan Teknik Non-linier

Dari analisis CLD diatas kemudian dihitung jumlah loops yang mencerminkan

variabel pengungkit sebagai berikut:

TingkatKemampuan/Kapasitas

Legislasi

Tingkat Egoisme

Sektoral

EfektivitasKoordinasi/Komunikasi

Kebijakan Antar Lembaga

Efektivitas Harmonisasidalam Perumusan

Peraturan/Kebijakan

KetepatanPersepsi/Orientasi terhadap

Peraturan/ Kebijakan

Kadar Budaya AkademikDalam Siklus Kebijakan/Pengambilan Keputusan

Tingkat Dukungan

Kajian/Litbang Kebijakan

Efektivitas Lembaga

Kajian/Litbang Kebijakan

Keluasan Networking &Kerjasama Antar LembagaKajian/Litbang Kebijakan

Efektivitas Partisipasi Masyarakatdalam Perumusan hingga

Implementasi Peraturan/Kebijakan

Ketersediaan dan TingkatDukungan Sumber DayaKajian/Litbang Kebijakan

S

S

S

S

S

S

S

S

SS

SS

S

S

S

SS

O

S

R1

B1

S

O

B2

S

SR2

S

S

R3

R5

S

R4

SS R7

S

S

O

O

R6

S

R8

S

S

O

B3

Page 50: Penguatan Peran Deputi III LAN Melalui Penajaman Kajian HAN Guna Meningkatkan Kualitas Peraturan Perundang-Undangan

38

Tabel 3.2. Analisis Leverage

No Driving Forces Jumlah &

Panjang Loops Ranking

1 Tingkat Kemampuan/Kapasitas Legislasi 34/122 5

2 Tingkat Egoisme Sektoral 42/142 1

3 Efektivitas Koordinasi/Komunikasi Kebijakan Antar Lembaga

33/123 6

4 Efektivitas Harmonisasi dalam Perumusan Peraturan/Kebijakan

36/129 3

5 Ketepatan Persepsi/Orientasi terhadap Peraturan/ Kebijakan

– 9

6 Kadar Budaya Akademik Dalam Siklus Kebijakan/ Pengambilan Keputusan

35/118 4

7 Tingkat Dukungan Kajian/Litbang Kebijakan 37/126 2

8 Efektivitas Lembaga Kajian/Litbang Kebijakan 4/6 7

9 Keluasan Networking & Kerjasama Antar Lembaga Kajian/Litbang Kebijakan

4/6 7

10 Efektivitas Partisipasi Masyarakat dalam Perumusan hingga Implementasi Peraturan/ Kebijakan

1/1 8

11 Ketersediaan dan Tingkat Dukungan Sumber Daya Kajian/Litbang Kebijakan (SDM, Anggaran)

1/1 8

Dari analisis perbandingan tersebut dapat ditemukan 5 (lima) driving forces yang

paling berpengaruh, yakni: 1) Tingkat Egoisme Sektoral, 2) Tingkat Dukungan

Kajian/Litbang Kebijakan, 3) Efektivitas Harmonisasi dalam Perumusan

Peraturan/Kebijakan, 4) Kadar Budaya Akademik Dalam Siklus Kebijakan/Pengambilan

Keputusan, serta 5) Tingkat Kemampuan/Kapasitas Legislasi. Selanjutnya, dari kelima

driving forces tersebut diambil 2 (dua) urutan teratas (driving forces utama) yang diyakini

merupakan faktor pengungkit kunci (key leverage) dalam mewujudkan masa depan

peraturan perundang-undangan dan lebijakan nasional bidang administrasi negara yang

berkualitas.

Jika digambarkan uses tree-nya, kedua faktor pengungkit tersebut dapat dilihat

pada skema dibawah ini.

Page 51: Penguatan Peran Deputi III LAN Melalui Penajaman Kajian HAN Guna Meningkatkan Kualitas Peraturan Perundang-Undangan

39

Leverage 1: Tingkat Egoisme Sektoral

Leverage 2: Tingkat Dukungan Kajian/Litbang Kebijakan

D. Menyusun Matriks Skenario

Kedua leverage diatas selanjutnya akan dimanfaatkan sebagai sumbu axis (X) dan

ordinat (Y) dalam penyusunan matriks skenario. Prioritas pertama atau leverage tertinggi

yakni “Tingkat Egoisme Sektoral” akan ditempatkan pada sumbu X, sedangkan variabel

“Tingkat Dukungan Kajian/Litbang Kebijakan” akan berada pada sumbu Y, dengan masing-

masing memiliki titik ekstrim negatif (kiri, bawah) dan titik ekstrim positif (kanan, atas).

Tingkat Egoisme Sektoral

Efektivitas Harmonisasi dalam Perumusan Peraturan/Kebijakan(Efektivitas Koordinasi/Komunikasi Kebijakan Antar Lembaga)

(Tingkat Egoisme Sektoral)

Efektivitas Koordinasi/Komunikasi Kebijakan Antar Lembaga

(Efektivitas Harmonisasi dalam Perumusan Peraturan/Kebijakan)

(Kadar Budaya Akademik Dalam Siklus Kebijakan/ Pengambilan Keputusan)

(Tingkat Egoisme Sektoral)

Kadar Budaya Akademik Dalam Siklus Kebijakan/ Pengambilan Keputusan

(Efektivitas Koordinasi/Komunikasi Kebijakan Antar Lembaga)

(Tingkat Dukungan Kajian/Litbang Kebijakan)

(Tingkat Kemampuan/Kapasitas Legislasi)

Tingkat Dukungan Kajian/Litbang Kebijakan

(Efektivitas Harmonisasi dalam Perumusan Peraturan/Kebijakan)

Efektivitas Lembaga Kajian/Litbang Kebijakan

(Kadar Budaya Akademik Dalam Siklus Kebijakan/ Pengambilan Keputusan)

Keluasan Networking & Kerjasama Antar Lembaga Kajian/Litbang Kebijakan

(Tingkat Kemampuan/Kapasitas Legislasi)

Tingkat Kemampuan/Kapasitas Legislasi

(Efektivitas Harmonisasi dalam Perumusan Peraturan/Kebijakan)

(Tingkat Dukungan Kajian/Litbang Kebijakan)

(Tingkat Egoisme Sektoral)

Tingkat Dukungan Kajian/Litbang Kebijakan

Efektivitas Harmonisasi dalam Perumusan Peraturan/KebijakanEfektivitas Koordinasi/Komunikasi Kebijakan Antar Lembaga

Tingkat Egoisme Sektoral

Efektivitas Lembaga Kajian/Litbang Kebijakan(Keluasan Networking & Kerjasama Antar Lembaga Kajian/Litbang Kebijakan)

(Tingkat Dukungan Kajian/Litbang Kebijakan)

Kadar Budaya Akademik Dalam Siklus Kebijakan/ Pengambilan Keputusan

(Efektivitas Koordinasi/Komunikasi Kebijakan Antar Lembaga)

(Tingkat Dukungan Kajian/Litbang Kebijakan)

(Tingkat Kemampuan/Kapasitas Legislasi)

Keluasan Networking & Kerjasama Antar Lembaga Kajian/Litbang Kebijakan(Efektivitas Lembaga Kajian/Litbang Kebijakan)

(Tingkat Dukungan Kajian/Litbang Kebijakan)

Tingkat Kemampuan/Kapasitas Legislasi

(Efektivitas Harmonisasi dalam Perumusan Peraturan/Kebijakan)

(Tingkat Dukungan Kajian/Litbang Kebijakan)

(Tingkat Egoisme Sektoral)

Page 52: Penguatan Peran Deputi III LAN Melalui Penajaman Kajian HAN Guna Meningkatkan Kualitas Peraturan Perundang-Undangan

40

Gambar 3.2.

Matriks Skenario

E. Menentukan Ciri-Ciri Kutub

Dari matriks skenario diatas terdapat 4 (empat) titik ekstrem yang terletak pada

ujung kanan dan ujung kiri untuk variabel tingkat egoisme sektoral, serta ujung atas dan

ujung bawah untuk variabel dukungan kajian/litbang kebijakan. Adapun ciri-ciri setiap kutub

dapat dijelaskan sebagai berikut:

1. Kutub Kanan (Nihil Egoisme Sektoral), ciri-cirinya adalah:

• Jumlah aturan tidak banyak, cukup yang memiliki keterkaitan antar instansi atau

yang benar-benar dibutuhkan oleh masyarakat;

• Perumusan kebijakan selalu dilakukan dalam sebuah forum kebijakan secara

inklusif;

• Dalam pembahasan rancangan peraturan, setiap instansi atau tokoh individual lebih

mengedepankan kepentingan nasional dibanding kepentingan pribadi atau

golongan;

• Produk hukum atau regulasi yang dihasilkan cenderung tidak ada penolakan atau

perlawanan dari stakeholders yang terkena regulasi tersebut.

Page 53: Penguatan Peran Deputi III LAN Melalui Penajaman Kajian HAN Guna Meningkatkan Kualitas Peraturan Perundang-Undangan

41

2. Kutub Kiri (Egoisme Sektoral Sangat Kuat), ciri-cirinya adalah:

• Banyak instansi berlomba menghasilkan produk hukum di berbagai level;

• Jarang sekali bahkan hampir tidak pernah dilakukan komunikasi kebijakan dengan

berbagai stakeholders sejak awal perumusannya;

• Kepentingan rakyat banyak cenderung diabaikan, dan agenda kebijakan banyak

diwarnai oleh kepentingan kelompok/instansi tertentu;

• Rawan terhadap munculnya konflik kewenangan antar lembaga, atau benturan

substansi antar peraturan;

• Pembahasan suatu aturan selalu menyita waktu yang panjang dibumbui perdebatan

yang berlarut-larut;

• Ketiadaan strong leadership yang mampu mengakomodasi berbagai perbedaan

kepentingan kedalam kepentingan nasional yang lebih besar;

• Energi nasional terbuang sia-sia tanpa menghasilkan manfaat yang signifikan.

3. Kutub Atas (Dukungan Optimal Kajian Terhadap Kebijakan), ciri-cirinya adalah:

• Pertimbangan politis dalam perumusan kebijakan relatif kecil, sementara

pertimbangan akademik dan teknokratik lebih menonjol;

• Kualitas peraturan/kebijakan jauh lebih baik sehingga mengurangi kemungkinan diuji

materi atau direvisi dalam waktu singkat;

• Kebutuhan sosialisasi dan uji publik terhadap (rancangan) peraturan/kebijakan tidak

perlu dilakukan tersendiri, sehingga bisa menghemat sumber daya (anggaran);

• Para policy makers lebih confidence karena kebijakan yang diambil berdasarkan

pada bukti-bukti yang obyektif.

4. Kutub Bawah (Kebijakan Tanpa Dukungan Kajian), ciri-cirinya adalah:

• Peraturan/kebijakan sangat lemah baik secara filosofis, historis, sosiologis, maupun

teoretis;

• Kemungkinan gagalnya peraturan/kebijakan lebih besar yang melahirkan symbolic

policy atau involusi kebijakan;

• Inefisiensi program dan anggaran cukup besar karena perumusan kebijakan dan

pengkajian kebijakan memerlukan anggaran secara terpisah dan tidak reinforcing;

• Masyarakat tidak mendapatkan manfaat langsung dari fungsi pengaturan oleh

pemerintah;

• Kemungkinan uji materi dan revisi peraturan/kebijakan secara terus menerus sangat

besar.

Page 54: Penguatan Peran Deputi III LAN Melalui Penajaman Kajian HAN Guna Meningkatkan Kualitas Peraturan Perundang-Undangan

42

F. Metafora dan Narasi Skenario

Kombinasi driving forces atau variabel tingkat egoisme sektoral dengan variabel

dukungan kajian/litbang kebijakan, telah menghasilkan 4 (empat) skenario dengan

karakeristik berbeda-beda. Dan untuk memudahkan pemahaman, maka setiap skenario

diberi nama sebagai metafora skenario. Adapun metafora untuk setiap skenario/kuadran

adalah sebagai berikut:

5. Skenario 1 (kuadran 1): Sistem Peraturan/Kebijakan Berkarakter Wibisana;

6. Skenario 2 (kuadran 2): Sistem Peraturan/Kebijakan Berkarakter Laksamana;

7. Skenario 3 (kuadran 3): Sistem Peraturan/Kebijakan Berkarakter Kumbakarna;

8. Skenario 4 (kuadran 4): Sistem Peraturan/Kebijakan Berkarakter Rahwana/Dasamuka,

Gambar 3.3.

Metafora Skenario

Page 55: Penguatan Peran Deputi III LAN Melalui Penajaman Kajian HAN Guna Meningkatkan Kualitas Peraturan Perundang-Undangan

43

Dari metafora tersebut, selanjutnya disusun narasi skenario sebagai berikut:6

1. Metafora Sistem Peraturan/Kebijakan Berkarakter Wibisana – “Membela

Kebenaran” (Skenario 1).

• Wibisana adalah adik Rahwana yang menjabat sebagai patih Alengka. Dia

menasehati kakaknya agar mengembalikan Sinta, istri Rama, yang diculiknya, agar

tidak terjadi pertumpahan darah. Karena Wibisana terus menasehati, Rahwana

menjadi marah dan ingin menghabisi adiknya. Untung patih Prahasta datang untuk

meredam amarah Rahwana lalu meminta Wibisana agar cepat pergi dari istana

Alengka dan menemui ibunya yang sedang sakit. Ketika Wibisana bertemu Dewi

Sukesi, ibunya, ia disuruh untuk membantu Rama agar dapat menebus dosa-dosa

ibunya. Tiba-tiba Rahwana datang dan mendengar semua percakapan mereka

berdua, sehingga ia begitu marah dan dengan wajah yang menyeramkan langsung

menyerang adiknya hingga tak berdaya lagi, Rahwana langsung membuang

Wibisana kelaut yang dikira sudah meninggal. Wibisana yang ternyata masih hidup

pergi ke gunung Maliawan tempat Rama berada untuk memberi dukungan.

• Metafora ini melambangkan bahwa sistem peraturan perundang-undangan/kebijakan

di Indonesia sudah sangat berkualitas, baik dari sisi prosedural (proses

perumusannya) maupun materi atau substansi yang diaturnya. Peraturan/kebijakan

lahir semata-mata untuk memenuhi kebutuhan publik (by needs), bukan karena

dorongan egoisme yang sempit. Dengan adanya peraturan/kebijakan yang

berkualitas tinggi ini, maka akan tercipta hubungan antar instansi pemerintah, antara

pemerintah dan masyarakat, serta antar kelompok masyarakat secara tertib, yang

mengedepankan kepentingan kolektif diatas kepentingan individual, serta menjaga

keseimbangan hak dan kewajiban secara selaras dan harmonis. Harmoni dalam

hubungan bernegara dan bermasyarakat ini pada gilirannya akan menjadi faktor

yang mempercepat pencapaian tujuan nasional sebagaimana amanat UUD 1945.

2. Metafora Sistem Peraturan/Kebijakan Berkarakter Laksmana – “Membela

Pemimpin” (Skenario 2).

• Laksmana adalah putra Prabu Dasarata, raja negara Ayodya dengan permaisuri

kedua Dewi Sumitra. Ia mempunyai empat orang saudara seayah lain ibu masing-

6 Untuk karakter Wibisana, Laksamana, Kumbakarna, dan Rahwana, lihat di http://wayang.wordpress.com/category/wayang-karakter/tokoh-ramayana/

Page 56: Penguatan Peran Deputi III LAN Melalui Penajaman Kajian HAN Guna Meningkatkan Kualitas Peraturan Perundang-Undangan

44

masing bernama Ramawijaya (dari permaisuri Dewi Kusalya), dan Barata, Satrugna

serta Dewi Kawakwa ketiganya putra Prabu Dasarata dengan permaisuri Dewi

Kekayi. Ia seorang satria brahmacari (tidak kawin). Mempunyai watak halus, setia

dan tak kenal takut. Sejak kecil Leksmana sangat rapat dan sangat sayang kepada

Ramawijaya. Dengan setia Leksmana mengikuti Ramawijaya menjalani pengasingan

selama 13 tahun bersama Dewi Sinta. Ketika Dewi Sinta diculik Prabu Dasamuka

dari tengah hutan Dandaka dan disekap di taman Argasoka negara Alengka,

Leksmana membantu perjuangan Ramawijaya merebut dan membebaskan kembali

Dewi Sinta dari sekapan Prabu Dasamuka. Setelah berakhirnya perang Alengka,

dengan setia Leksmana tetap membantu Prabu Ramawijaya mengatur tata

pemerintahan negara Ayodya.

• Metafora ini melambangkan bahwa sistem peraturan perundang-undangan/

kebijakan di Indonesia akan semakin terfragmentasi karena hanya memperhatikan

kepentingan pimpinannya semata, tanpa melihat kepentingan yang lebih luas dan

strategis. Para pengambil keputusan dan perumus kebijakan hanya bekerja

berdasarkan “petunjuk” pimpinan (by order), bukan untuk menjalankan visi misi

organisasi. Dalam hal ini, sepanjang pimpinan insitusi tadi diisi oleh orang-orang

baik, maka masih dapat diharapkan akan lahir peratuan/kebijakan yang berkualitas.

Namun bila institusi dipimpin oleh orang yang berpikir picik, hanya mementingkan

diri sendiri dengan mengorbankan orang banyak, maka masa depan sistem

peraturan/kebijakan berada pada bahaya yang serius. Loyalitas adalah hal yang

sangat baik, namun jika hanya dipersembahkan kepada segelintir orang, maka

terlalu banyak orang yang tidak bisa mendapat manfaat dari kebijakan yang ada.

3. Metafora Sistem Peraturan/Kebijakan Berkarakter Kumbakarna – “Membela

Institusi Meski Harus Melawan Kebenaran” (Skenario 3).

• Kumbakarna adalah adik Rahwana serta kakak dari Sarpakenaka dan Wibisana. Ia

rela berkorban demi membela tanah airnya dan mau membantu Rahwana meskipun

tahu bahwa kakaknya yang salah. Ia berperang bukan membela keangkaramurkaan

Prabu Dasamuka tetapi membela negara Alengka, tanah leluhurnya yang telah

memberinya hidup.

• Metafora ini melambangkan para pengambil keputusan dan perumus kebijakan yang

hanya bisa melihat kedalam (inward looking). Prinsip hidupnya yang penting berhasil

menjalankan tugas tanpa peduli dengan pihak/orang lain. Bagi mereka, adalah hal

Page 57: Penguatan Peran Deputi III LAN Melalui Penajaman Kajian HAN Guna Meningkatkan Kualitas Peraturan Perundang-Undangan

45

yang lumrah bahwa untuk mencapai keberhasilan sendiri tadi, seringkali dibarengi

dengan pengorbanan kepentingan instansi lain. Benturan kewenangan, tumpang

tindih aturan, dan pertentangan kebijakan dianggap hal yang biasa asal memberikan

keuntungan bagi institusinya.

4. Metafora Sistem Peraturan/Kebijakan Berkarakter Rahwana/Dasamuka –

“Mengkhianati Kebenaran” (Skenario 4).

• Rahwana atau Dasamuka adalah Raja Alengka, anak dari Begawan Wisrawa dan

Dewi Sukesi, serta cucu dari Prabu Sumali. Karena keangkaramurkaannya,

Rahwana menculik Sinta, istri Rama, untuk memuaskan nafsunya akan kekuasaan

dan wanita. Rahwana tidak peduli meski tindakannya berarti mengorbankan rakyat

dan seluruh prajuritnya, bahkan dapat menghancurkan negaranya.

• Metafora ini melambangkan bahwa peraturan/kebijakan disusun tanpa ada

pertimbangan rasional sama sekali. Tidak ada analisis cost-benefit atau resiko resiko

dari sebuah peraturan/kebijakan. Sesuatu yang seharusnya diatur justru tidak dibuat

aturannya, sementara sesuatu yang tidak perlu diatur justru dibahas secara serius.

Kesepakatan antar pihak dalam perumusan kebijakan juga sering dikhianati oleh

pihak tertentu. Kualitas kebijakan/peraturan menjadi sangat rendah, sehingga hanya

menguntungkan sedikit orang namun mengakibatkan protes banyak orang lainnya.

Kemungkinan terjadinya policy failure sangat tinggi, sehingga kebijakan/peraturan

juga dengan sendirinya gagal untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat dan

tujuan-tujuan lain yang dimandatkan oleh Konstitusi.

G. Rekomendasi Kebijakan

Terhadap 4 (empat) kuadran skenario atau metafora tersebut, tentu rekomendasi

yang dipilih adalah Skenario 1, yakni Sistem Peraturan/Kebijakan Berkarakter Wibisana,

dengan harapan dapat meminimalisir situasi pada 3 (tiga) kuadran lainnya.

Selanjutnya, skenario terpilih ini akan dianalisis atau dielaborasi lebih lanjut

dengan alur berpikir strategic planning yang dimulai dari penetapan visi dan misi hingga

dirumuskannya program dan rencana aksi untuk implementasi kebijakan agar terwujud cita-

cita membangun sistem kebijakan/peratuan yang berkualitas unggul pada tahun 2025,

sebagaimana tertangkap pada Kuadran 1 (Skenario 1).

Page 58: Penguatan Peran Deputi III LAN Melalui Penajaman Kajian HAN Guna Meningkatkan Kualitas Peraturan Perundang-Undangan

46

BAB IV

PENGEMBANGAN KEBIJAKAN DAN RENCANA IMPLEMENTASINYA

A. Penetapan Visi dan Misi 7

Agar cita-cita membangun sistem kebijakan/peratuan yang berkualitas unggul

pada tahun 2025 dapat terstruktur dalam kerangka pemikiran jangka panjang, jangka

menengah, dan jangka pendek/tahunan, maka perlu dituangkan dalam logika perencanaan

strategis, paling tidak komponen-komponen utamanya. Untuk itu, akan dikemukakan disini

komponen Visi, Misi, Nilai-Nilai Organsiasi (Values), serta Tujuan dan Sasaran.

Adapun Visi Deputi III dalam konteks membangun sistem kebijakan dan hukum

administrasi negara adalah:

Menjadi Policy Think Tank yang Handal dan Policy Partners yang

Terpercaya Dalam Membangun Sistem Kebijakan dan Hukum Administrasi

Negara Berbasis Bukti (Evidence-based Policy)

Adapun Misi yang dirumuskan untuk dapat mewujudkan Visi diatas adalah:

7 Deputi III Bidang Litbang Administrasi Pembangunan dan Otomasi Administrasi Negara saat ini telah

memiliki pernyataan visi, yakni “Menjadi institusi kajian dan litbang yang handal di bidang Administrasi Pembangunan, Hukum Administrasi Negara, Pengembangan Sosial Ekonomi, Peningkatan Kerjasama Internasional dan Pengembangan Teknologi Administrasi”. Untuk itu perlu ditekankan disini bahwa penetapan visi pada KTP2 tidak dimaksudkan untuk mengganti visi yang telah ada dan secara yuridis formal masih menjadi rujukan bagi perumusan program dan kegiatan di lingkungan Deputi III. Visi yang dirumuskan pada KTP2 ini lebih spesifik dan lebih sempit cakupannya karena penulis maksudkan hanya berhubungan dengan salah satu tugas Deputi III di bidang pengkajian Hukum Administrasi Negara.

Pusat Kajian Hukum Administrasi Negara (PK-HAN) sendiri juga sudah memiliki pernyataan visi yang dituangkan dalam Rencana Strategis 2010-2014 yakni “Menjadi Pusat Kajian yang handal dalam bidang Pengembangan Hukum Administrasi Negara dan Sosialisasinya Secara Nasional”. Maka, rumusan visi dan misi pada KTP2 inipun tidak dimaksudkan untuk serta merta menggantikan pernyataan visi yang telah ada, melainkan untuk menjadi pembanding khususnya dalam merumuskan visi yang baru, mengingat Renstra PK-HAN akan segera berakhir pada tahun 2014. Selain itu, perumusan visi dan misi pada karya tulis ini masih merupakan pemikiran pribadi, yang tentunya harus dikomunikasikan dengan seluruh staf dan para peneliti di PK-HAN beserta stakeholder-nya sebelum dijadikan sebagai visi baru untuk menggantikan visi yang masih berlaku saat ini.

Page 59: Penguatan Peran Deputi III LAN Melalui Penajaman Kajian HAN Guna Meningkatkan Kualitas Peraturan Perundang-Undangan

47

� Menghasilkan kajian dan rekomendasi kebijakan yang sesuai dengan tuntutan dan

kebutuhan di bidang sistem kebijakan dan hukum administrasi negara;

� Menyelenggarakan fasilitasi dan advokasi kebijakan di bidang sistem kebijakan dan

hukum administrasi negara;

� Melakukan monitoring dan evaluasi kebijakan di bidang sistem kebijakan dan hukum

administrasi negara;

� Mengembangkan kapasitas kelembagaan dan SDM bidang sistem kebijakan dan hukum

administrasi negara;

� Membangun policy networking.

B. Nilai-Nilai Organisasi (Values)

Selain visi dan misi diatas, ada beberapa sistem nilai (values) yang memberikan

motivasi, inspirasi, dan panduan secara moral dalam pelaksanaan tugas dan fungsi

organisasi. Beberapa nilai yang akan dan harus dipegang teguh tersebut adalah:

a. Kualitas, artinya seluruh elemen Deputi III khususnya PK-HAN selalu berusaha untuk

menghasilkan produk kajian berupa laporan penelitian, rekomendasi kebijakan, kertas

kebijakan (policy papaer), atau rancangan kebijakan sebaik mungkin dan mengurangi

sekecil mungkin kemungkinan kesalahan.

b. Obyektivitas, artinya seluruh elemen Deputi III khususnya PK-HAN tidak memiliki

dan/atau memperjuangkan kepentingan tertentu dalam pelaksanaan tugasnya, serta

mengambil kesimpulan berdasarkan data dan fakta, tidak semata-mata berdasarkan

opini dan judgement peneliti secara professional.

c. Profesionalitas, artinya dalam menjalankan tugasnya seluruh elemen Deputi III

khususnya PK-HAN selalu mengacu pada kaidah-kaidah atau norma akademis serta

berlandaskan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku. Para peneliti juga

berusaha untuk terus-menerus meningkatkan pengetahuan dan kemampuannya agar

dapat memberikan hasil yang terbaik untuk organisasi serta stakeholders yang dilayani,

bahkan untuk bangsa dan negara Indonesia.

d. Harmoni, artinya dalam menjalankan tugasnya seluruh elemen Deputi III khususnya

PK-HAN selalu berusaha tidak berpihak pada paham atau pendapat tertentu, serta tidak

memberikan prioritas dalam melayani stakeholders tertentu. Selain itu, para peneliti

Page 60: Penguatan Peran Deputi III LAN Melalui Penajaman Kajian HAN Guna Meningkatkan Kualitas Peraturan Perundang-Undangan

48

selalu berusaha agar hasil-hasil kajian dan rekomendasi yang dihasilkan tidak hanya

memberi manfaat kepada sekelompok pihak dan tidak menyelesaikan masalah pada

satu bidang namun menimbulkan permasalahan pada bidang lain.

e. Networking, artinya dalam menjalankan tugasnya seluruh elemen Deputi III khususnya

PK-HAN menyadari sepenuhnya bahwa hasil kerja terbaik dan kemanfaatan optimal dari

hasil pekerjaan merupakan sintesa dari akumulasi kepercayaan (trust), kerjasama dan

dukungan (teamwork), serta rasa tanggungjawab bersama (shared responsibility) dari

seluruh pihak terkait, sehingga dalam pelaksanaan tugasnya akan selalu diupayakan

terjadinya sinergi dan kolaborasi yang efektif dengan stakeholders terkait.

C. Tujuan dan Sasaran

Dalam rangka mewujudkan visi dan untuk melaksanakan misi, maka tujuan Deputi

III (organizational goals) dalam konteks membangun sistem kebijakan/peratuan yang

berkualitas unggul pada tahun 2025 dapat dirumuskan sebagai berikut:

1. Merumuskan dan menyediakan rekomendasi kebijakan pada bidang sistem kebijakan

dan hukum administrasi negara;

2. Menyelenggarakan dan menghasilkan kajian dan publikasi terkait di bidang sistem

kebijakan dan hukum administrasi negara; 8

3. Memberikan pelayanan perkonsultasian pada bidang sistem kebijakan dan hukum

administrasi negara;

4. Meningkatkan kapasitas kelembagaan (SDM, mekanisme/tata laksana kajian,

metodologi kajian, jaringan kerja, dan lain-lain) agar dapat menunjang pelaksanaan

tugas secara optimal.

Adapun sasaran Deputi III (organizational objectives) yang ditetapkan sebagai

indikator pencapaian tujuan (goals) diatas adalah:

8 Kajian kebijakan (policy research) adalah proses mencari kebenaran yang berorientasi pada policy

problem solving, dan tidak didominasi oleh pendekatan teoretik; menerapkan dan menghasilkan strategi yang cerdas, inovatif, dan aplikatif dalam menyikapi issu kebijakan (policy issues and questions); serta dirumuskan dengan memperhatikan bukti-bukti nyata (evidence-based policy).

Page 61: Penguatan Peran Deputi III LAN Melalui Penajaman Kajian HAN Guna Meningkatkan Kualitas Peraturan Perundang-Undangan

49

1. Tersedianya dan terimplementasikannya rekomendasi kebijakan yang berkualitas bagi

instansi pusat dan daerah. Beberapa indikator kinerja yang dapat dipilih secara tunggal

maupun jamak dari sasaran ini adalah:

� Persentase kebijakan/peraturan di tingkat Kementerian/Lembaga/Pemerintah

Daerah yang disusun atau direvisi berdasarkan rekomendasi kajian, atau

� Persentase masalah aktual di tingkat Kementerian/Lembaga/Pemerintah Daerah

yang dapat dipecahkan atau dikurangi berdasarkan rekomendasi kajian.

Tersusunnya dan terdistribusikannya laporan hasil penelitian/kajian serta publikasi

terkait di bidang sistem kebijakan dan hukum administrasi negara. Beberapa

indikator kinerja yang dapat dipilih secara tunggal maupun jamak dari sasaran ini

adalah:

� Jumlah laporan hasil kajian / policy paper / policy brief atau publikasi lainnya dalam

kurun waktu tertentu, atau

� Jumlah issu kebijakan yang dijadikan sebagai obyek kajian, atau

� Jumlah Kementerian/Lembaga/Pemerintah Daerah dan pihak lain baik secara

institusional maupun individual yang telah menerima laporan hasil penelitian dan

publikasi lainnya.

2. Terlaksananya perkonsultasian dan advokasi kebijakan. Beberapa indikator kinerja yang

dapat dipilih secara tunggal maupun jamak dari sasaran ini adalah:

� Jumlah Kementerian/Lembaga/Pemerintah Daerah atau pihak lain yang memberi

umpan balik dan menyatakan keinginan untuk menjadi mitra LAN (cq. Deputi III)

dalam pembenahan administrasi negara di instansinya, atau

� Persentase peningkatan wawasan dan kemampuan analistis dan akademis SDM di

Kementerian/Lembaga/Pemerintah Daerah, atau

� Persentase peningkatan program capacity building yang dilakukan Kementerian/

Lembaga/Pemerintah Daerah atas inspirasi dari kajian/rekomendasi LAN, atau

� Jumlah silaturahmi kelembagaan yang terjalin untuk memperkuat hubungan antar

lembaga dan mempertajam program kajian, seperti audiensi, studi banding,

kunjungan kerja biasa, praktek kerja lapangan dari perguruan tinggi, dan

sebagainya.

3. Tercapainya peningkatan kapasitas kelembagaan sebagai penunjang pelaksanaan

tugas. Beberapa indikator kinerja yang dapat dipilih secara tunggal maupun jamak dari

sasaran ini adalah:

Page 62: Penguatan Peran Deputi III LAN Melalui Penajaman Kajian HAN Guna Meningkatkan Kualitas Peraturan Perundang-Undangan

50

� Jumlah forum diskusi (knowledge-shared atau knowledge-enrichment) yang

diadakan pada periode waktu tertentu, atau

� Jumlah program diklat yang diikuti oleh peneliti dan staf bidang kajian, atau

� Jumlah peneliti dan staf kajian yang dikirim untuk mengikuti program pengembangan

diri (seminar, konferensi, diklat, bimbingan teknis, dan sebagainya), atau

� Jumlah publikasi yang dihasilkan peneliti diluar laporan hasil penelitian, baik secara

mandiri maupun tim, atau

� Jumlah jurnal terakreditasi yang memuat hasil penelitian LAN dan makalah/artikel

para peneliti, atau

� Jumlah media lain selain jurnal terakreditasi (jurnal belum terakreditas, majalah,

buletin, koran, website, dan lain-lain) yang memuat hasil penelitian LAN dan artikel

para peneliti.

D. Kebijakan dan Program

Dalam dokumen Renstra PK-HAN 2010-2014 disebutkan bahwa arah kebijakan

dan strategi Deputi III LAN merupakan uraian sistematis yang meliputi cara untuk mencapai

tujuan dan sasaran kedeputian. Secara terstruktur uraian tersebut diilustrasikan dalam

sebuah peta strategi yang komprehensif. Peta strategi ini merupakan suatu proses

penggambaran atas dasar hubungan sebab akibat antara satu sasaran stratejik dengan

sasaran stratejik lainnya untuk menguji alur pikir suatu strategi. Peta strategi ini mempunyai

empat perspektif yaitu: 1) perspektif nilai tambah untuk LAN, 2) perspektif nilai tambah

stakeholder, 3) perspektif proses kerja internal, serta 4) perspektif pembelajaran dan

pertumbuhan.

Secara lebih rinci, arah kebijakan dan strategi Deputi III LAN khususnya yang

berfokus pada kajian bidang Hukum Administrasi Negara tahun 2010-2014 adalah sebagai

berikut:

1. Pengkajian dan pengembangan Hukum Administrasi Negara bagi peningkatan

Penyelenggaraan Pemerintah yang bersih dan bebas korupsi, kolusi dan Nepotisme;

2. Pengkajian dan pengembangan Hukum Administrasi Negara bagi Peningkatan

Kapasitas dan Akuntabilitas Birokrasi.

Untuk mendukung arah kebijakan tersebut, strategi yang dikembangkan oleh

PKHAN selama periode tahun 2010-2014 adalah:

Page 63: Penguatan Peran Deputi III LAN Melalui Penajaman Kajian HAN Guna Meningkatkan Kualitas Peraturan Perundang-Undangan

51

1. Perumusan kebijakan pengembangan Hukum Administrasi Negara;

2. Pembinaan pelaksanaan pengembangan Hukum Administrasi Negara;

3. Fasilitasi kegiatan pengembangan Hukum Administrasi Negara;

4. Standarisasi pelaksanaan pengembangan Hukum Administrasi Negara;

5. Supervisi pelaksanaan pengembangan Hukum Administrasi Negara.

Dalam rangka implementasi arah kebijakan diatas, maka telah ditetapkan dua jenis

program sebagai berikut:

1. Program Penerapan Hukum Administrasi Negara dalam Kebijakan Aparatur

Penyelenggara Negara;

2. Program Penerapan Instrumen Pengawasan dan Akuntabilitas Hukum Administrasi

Negara Kebijakan Aparatur Penyelenggara Negara.

Gambar 4.1. dibawah ini menjelaskan peta strategi yang mendeskripsikan empat

perspektif strategi yang terbagi dalam tiga level strategi yang terdiri dari: fulfilling

stakeholder expectation, strategic drivers dan intangible assets and resources.

Gambar 4.1.

Peta Strategi Deputi III LAN

Page 64: Penguatan Peran Deputi III LAN Melalui Penajaman Kajian HAN Guna Meningkatkan Kualitas Peraturan Perundang-Undangan

52

BAB V

P E N U T U P

Dari paparan mulai pendahuluan hingga analisis menggunakan soft system

methodology dan scenario planning serta perencanaan strategis diatas, maka dapat diambil

beberapa kesimpulan sebagai berikut:

1. Pada hakekatnya LAN adalah unit pemikir (think tank) pemerintah untuk memperbaiki

sistem administrasi negara dan kualitas kebijakan publik, baik pada tataran nasional

maupun daerah. Unit-unit kerja dalam LAN tentunya juga menjalankan fungsi selaku policy

think tank and policy partner bagi stakeholder-nya masing-masing. Dalam pelaksanaan

tugas selaku think tank tersebut, Deputi III LAN masih menghadapi banyak tantangan dan

kendala baik secara internal maupun eksternal. Aspek internal berhubungan dengan

keterbatasan kapasitas SDM, keterbatasan kapasitas sumber daya non brainware, serta

fungsi perencanaan dan koordinasi kelitbangan yang belum terintegrasi. Sedangkan aspek

eksternal berhubungan dengan minimnya forum koordinasi antar lembaga kajian dan forum

komunikasi kebijakan, serta belum mantapnya standarisasi kompetensi peneliti dari instansi

pembina.

2. Ditengah keterbatasan yang ada, LAN (cq. Deputi III) telah menunjukkan kinerja dan

kontribusi yang cukup baik terhadap stakeholder-nya, khususnya dalam upaya

mempengaruhi muatan (content) suatu kebijakan/peraturan tertentu, baik di pusat maupun

di daerah. Meskipun demikian, kebutuhan untuk peningkatan secara berkelanjutan

(continuous improvement) dipandang mutlak diperlukan untuk lebih memperkuat peran

Deputi III di masa mendatang.

3. Kebutuhan penguatan peran LAN (cq. Deputi III) ini semakin menonjol jika dilihat kinerja

kebijakan di Indonesia saat ini yang relatif masih sangat rendah. Dalam hal Pengujian UU

(PUU) atau sering dikenal dengan judicial review, misalnya, sejak 2003 hingga 2012,

tercatat 182 UU yang diuji ke MK. Dari jumlah ini, terdapat 2 UU yang paling banyak diuji,

yakni UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dengan frekuensi uji 36 kali,

serta UU No. 8 tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dengan

jumlah uji 27 kali. Sedangkan jika ditilik berdasarkan tahun pembuatan undang-undangnya,

Page 65: Penguatan Peran Deputi III LAN Melalui Penajaman Kajian HAN Guna Meningkatkan Kualitas Peraturan Perundang-Undangan

53

produk legislasi tahun 2004 paling banyak diuji ke MK. Tercatat 22 UU yang dibuat pada

tahun ini telah diuji ke MK sejak 2003 hingga 2012. Ini belum termasuk Sengketa

Kewenangan antar Lembaga Negara, Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Legislatif

dan Presiden/Wakil Presiden, serta PHPU Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.

4. Di tingkat daerah-pun, potret kebijakan tidak begitu menggembirakan, yang antara lain

ditunjukkan dengan data sebanyak 1878 perda dibatalkan pada periode 2002-2009.

Sedangkan mulai periode 2010 hingga sekarang, tidak lagi dilakukan pembatalan Perda

oleh Menteri Dalam Negeri, namun hanya dilakukan klarifikasi Perda sebanyak 931 Perda.

5. Atas dasar data-data diatas, maka dapat dikatakan bahwa kebijakan atau regulasi di

Indonesia masih banyak yang mencerminkan sebagai symbolic policy dari pada evidence-

based policy. Itulah sebabnya, KPT-2 ini ingin menganalisis permasalahan dan

menghasilkan rekomendasi untuk peningkatan kualitas peraturan perundang-undangan dan

kebijakan nasional di bidang administrasi negara melalui peningkatan peran Deputi III.

6. Hasil analisis yang menggunakan dua tools yakni soft system methodology (SSM) dan

scenario planning (SP). Aplikasi SSM ditemukan adanya empat belas situasi problematik

yang berhubungan dengan pelaksanaan tugas Deputi III sehingga cita-cita mewujudkan

sistem perundang-undangan/kebijakan yang berkualitas belum dapat diwijudkan secara

optimal. Dari ke-14 kemudian dikelompokkan menjadi 5 (lima) issu yakni issu institusional,

networking, mindset, partisipasi masyarakat, dan kajian/litbang administrasi negara. Setelah

dirumuskan conceptual model-nya dan dibandingkan dengan real world, maka dapat

diidentifikasikan 3 (tiga) perubahan yang sangat diinginkan, yakni perubahan pada level

mikro, level messo, dan level makro. Pada level mikro, transformasi atau perubahan yang

diinginkan adalah meningkatnya kualitas produk dan manajemen kajian Hukum Adminstrasi

Negara; pada level messo adalah menguatnya peran LAN dalam membangun evidence-

based research untuk mewujudkan evidence-based policy atau research-based policy;

sedangkan pada level makro adalah meningkatnya kualitas peraturan perrundang-

undangan dan kebijakan nasional di bidang administrasi negara.

7. Selanjutnya analisis scenario planning telah menghasilkan 11 (sebelas) variabel atau driving

forces yang mempengaruhi upaya untuk mewujudkan kualitas peraturan perundang-

undangan/ kebijakan nasional di bidang administrasi negara pada masa mendatang,

tepatnya 2025. Setelah dilakukan analisis keterkaitan antar driving forces dengan teknik

non-linier menggunakan CLD, ditemukan 2 (dua) driving forces yang paling berpengaruh

yakni tingkat egoisme sektoral yang masih tinggi, tingkat dukungan kajian yang masih

Page 66: Penguatan Peran Deputi III LAN Melalui Penajaman Kajian HAN Guna Meningkatkan Kualitas Peraturan Perundang-Undangan

54

rendah terhadap perumusan kebijakan.kedua leverage inilah yang digunakan untuk

menyusun skenario. Dari skenario yang ada, ditetapkanlah salah satunya sebagai

rekomendasi kebijakan. Dan terakhir, agar cita-cita membangun sistem kebijakan/peratuan

yang berkualitas unggul pada tahun 2025 dapat terstruktur dalam kerangka pemikiran

jangka panjang, jangka menengah, dan jangka pendek/tahunan, maka KTP-2 ini telah

menuangkan dalam logika perencanaan strategis, paling tidak komponen-komponen

utamanya. Dalam kaitan ini, telah dirumuskan pernyataan Visi, Misi, Nilai-Nilai Organsiasi

(Values), serta Tujuan dan Sasaran sebagai strategi implementasi untuk mewujudkan cita-

cita diatas.

Page 67: Penguatan Peran Deputi III LAN Melalui Penajaman Kajian HAN Guna Meningkatkan Kualitas Peraturan Perundang-Undangan

55

DAFTAR PUSTAKA

Daniel Kaufman, Aart Kray, Massimo Mastruzzi, Governance Matters VIII: Aggregate and Individual Governance Indicators 1996-2008

George E. Berkley, 1975, The Craft of Pubic Administration, Massachusetts: Allyn and Bacon Inc.

H. George Frederickson, 1997, The Spirit of Public Administration, San Fransisco: Jossey-Bass Publisher.

Howard E. McCurdy, 1977, Public Administration: A Synthesis, Cummings Publishing Co.

James W. Fesler, 1980, Public Administration: Theory and Practice, Prentice Hall.

Jong S. Jun, 1986, Public Administration: Design and Problem Solving, Macmillan Publishing Co.

Kementerian Dalam Negeri, tanpa tahun, Isu Peraturan Daerah dan Peraturan Kepala Daerah (Dalam RUU Tentang Pemerintahan Daerah), bahan paparan, Jakarta: Biro Hukum Kemdagri.

Mahkamah Konstitusi, 2013, Dinamika Penegakan Hak Konstitusional Warga Negara: Laporan Tahunan 2012, Jakarta: MK.

Michiel S. de Vries, 2011, “Distinguishing symbolic and evidence-based policies: the Brazilian efforts to increase the quality of basic education” (International Review of Administrative Sciences, 77(3), Sage Publication.

Nicholas Henry, 1988, Administrasi Negara dan Masalah-Masalah Kenegaraan, terjemahan Indonesia oleh Luciana D. Pontoh, Rajawali Press.

Peter Checkland, 1999, Systems Thinking, Systems Practice, John Wiley & Sons.

Rayburn Barton and William L. Chappell Jr., 1985, Public Administration: The Work of Government, Scott Foresman and Co.

Riant Nugroho, 2012, Public Policy: Dinamika Kebijakan, Analisis Kebijakan, Manajemen Kebijakan, Jakarta: Elex Media Komputindo.

Richard J. Stillman, 1980, Public Administration: Concepts and Cases, Houghton Mifflin.

Saldi Isra, “Penyelundupan Norma Hukum”, dalam Kompas, kolom opini, 1 April 2013.

Stuart MacRae and Douglas Pitt, 1982, Public Administration: An Introduction, Massachusetts: Pitman Publishing Inc.

Sudarsono Hardjosukarto, 2012, Soft System Methodology: Metode Serba Sistem Lunak, Jakarta: UI Press.

UNDP, Mengatasi Hambatan: Mobilitas Manusia dan Pembangunan, 2009

William L. Morrow, 1975, Public Administration: Politics, Policy, and the Political System, 2nd Edition, New York: Random House.

Page 68: Penguatan Peran Deputi III LAN Melalui Penajaman Kajian HAN Guna Meningkatkan Kualitas Peraturan Perundang-Undangan

56

Lain-lain:

Renstra Deputi III LAN 20102014

Renstra Pusat Kajian HAN 2010-2014

Berbagai sumber internet, khususnya yang berkenaan dengan karakter wokoh wayang pada epik Ramayana.